taujihat+ramadhan

55
28 Taujih Ramadhan Dikutip dari akun FB Ust Irsyad Syafar Present by Irsyad Fans Club dan Majelis Ilmu Arrisalah

Upload: muhammad-azzam-shabri

Post on 04-Dec-2015

12 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

..

TRANSCRIPT

28 Taujih Ramadhan

Dikutip dari akun FB Ust Irsyad Syafar

Present by Irsyad Fans Club dan Majelis Ilmu Arrisalah

(Ramadhan 28)

MENCARI TANDA QABUL

Setiap orang bekerja pasti mengharapkan hasil. Petani bekerja di sawah adalah mengharapkan panen yang baik. Pedagang berjualan di pasar adalah untuk mendapatkan untung dan laba. Tukang dan buruh bekerja di pabrik atau perusahaan adalah untuk mendapatkan upah memadai. Pegawai bekerja juga mengharapkan gaji yang baik. Begitulah semua jenis pekerjaan.

Dalam konteks beribadah, maka orang-orang beriman pasti mengharapkan sesuatu dari amal shalehnya. Yaitu mengharapkan diterimanya amal shalehnya oleh Allah. Rasulullah saw kalau selesai shalat shubuh sering berdoa memohon kepada Allah, “Ya Allah, aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik dan amalan yang diterima...”. (HR Ibnu Majah). Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail saat membangun Ka’bah juga memohon kepada Allah, “Ya Tuhan kami, terimalah amal shaleh dari kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui... “ (QS Al Baqarah: 127)

Dahulu kala, di masa anak-anak Adam, Allah memperlihatkan amalan yang diterima atau tidak. Ketika dua orang anak nabi Adam, Qabil dan Habil bersaing untuk menikahi kembaran salah satu mereka yang perempuan. Kembaran Qabil lebih cantik dari pada kembaran Habil. Tetapi nabi Adam tidak menyetujui keinginan anaknya tersebut. Beliau meminta keduanya berqurban kepada Allah. Siapa yang diterima qurbannya (amalannya), dialah yang berhak menikahi perempuan tersebut. Adapun Habil, adalah seorang peternak. Ia berqurban seekor ternak yang gemuk dan yang terbaik. Sedangkan Qabil seorang petani. Dia berikan qurbannya dari tanamannya yang buruk. Setelah itu masing-masing qurban diletakkan di atas bukit. Mereka menunggu qurbannya di terima. Ternyata api menyambar qurbannya Habil dan tidak menyentuh qurbannya qabil. Itu pertanda qurban Habil yang diterima. Qabil sangat marah dan membunuh adiknya, agar tidak bisa menikahi kembarannya.. (Kisah mereka dalam tafsir Ibnu Katsir tentang QS Al Maidah: 27)

Begitulah Allah memperlihatkan langsung bukti diterimanya sebuah amalan. Namun, kita saat ini tidak akan mampu memastikan sebuah amal atau ibadah kita telah diterima Allah atau belum. Akan tetapi kita bisa mencari atau melihat tanda-tandanya. Cukup banyak tanda-tanda sebuah amalan sudah “maqbul” disisi Allah.

Tanda yang pertama, terkabulnya doa oleh Allah SWT. Orang yang amalnya diterima oleh Allah SWT, jika berdoa, do’a yang ia panjatkan langsung menembus dinding-dinding langit, sehingga Allah SWT mendengar dan menerimanya. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh Rasulullah saw, tentang tiga orang yang terjebak dalam gua dan mereka masing-masing berdoa dengan berwasilah kepada amal ibadahnya yang telah berlalu. Doa mereka terkabul karena amalan mereka diterima Allah. Sehingga batu besar yang menutup goapun bergeser dan mereka dapat keluar dengan selamat.

Tanda kedua yaitu banyaknya manusia yang mencintai dirinya. Hal ini dimungkinkan karena Allah mencintai orang tersebut karena amal ibadahnya, sehingga kemudian mengkondisikan manusia untuk senang, mencintai dan menghargai orang tersebut. Dalam haditsnya Rasulullah menjelaskan: “Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, memerintah Jibril AS untuk menyeru penduduk langit, “Wahai penduduk langit, sesungguhnya Allah SWT mencintai si Fulan, maka cintailah dia”. Maka penduduk langit pun mencintai Fulan dan di bumi semua orang menerimanya.” (HR Bukhari dan Muslim

Tanda ketiga adalah senang dan bersemangat melakukan amal saleh. Karena hatinya telah semakin bersih dan keimanannya terus bersemi, sehingga ia senantiasa terdorong untuk berbuat baik. Tampak nyata dalam dirinya telah bertambahnya hidayah Allah. Allah menyatakan, “Dan orang-orang yang telah mendapat hidayah, Allah tambahkan hidayah baginya, dan kami berikan ketaqwaan kepadanya”. (QS Muhammad: 17). Maka setelah ramadhan berlalu, shalatnya semakin terjaga, puasa sunat syawal dapat dituntaskan, infaq dan sedekah terus berlanjut, dzikirnya semakin baik, akhlaknya semakin mulia, jiwanya semakin pemurah.

Tanda keempat adalah tidak kembali berbuat dosa setelah mengerjakan ketaatan. Karena itu menandakan hatinya belum bersih, jiwanya belum suci. Dan kembali berbuat dosa merupakan tanda kebinasaan dan kerugian yang nyata. Bila selepas ramadhan, shalat mulai bolong-bolong, maksiat kembali digeluti, berbohong menjadi ringan, makanan haram tidak dihindari, maka ini alamat ibadah tidak maqbul disisi Allah. Yahya bin Mu’adz seorang senior tabi’in mengatakan, “Siapa yang beristighfar dengan lidahnya, tapi hatinya bertekad untuk bermaksiat dan azamnya kembali kepada dosa, maka puasanya tertolak darinya, dan pintu diterimanya amalan tertutup di depannya”.

Tanda kelima adalah mencintai orang-orang shaleh dan keshalehan serta membenci kemaksiatan dan pelakunya. Lebih banyak bergaul dan berinteraksi dengan lingkungan yang baik serta menghindari “keakraban” dengan lingkungan yang rusak. Sebab ibadahnya telah membuahkan keimanan yang kuat di dalam dada. Dan iman yang benar akan memberikan loyalitas (wala’) kepada sesama mukmin serta berlepas diri (bara’) dari orang kafir. “Sesungguhnya penolong (wali) kalian hanyalah Allah dan RasuluNya serta orang-orang yang beriman. (yaitu) yang menegakkan shalat, membayarkan zakat dan mereka tunduk kepada Allah. Barang siapa yang memberikan loyalitas (wala’) kepada Allah, RasulNya dan orang-orang beriman, maka sungguh para pengikut Allah merekalah orang-orang yang menang”. (QS Al Maidah: 55 – 56).

Banyak lagi tanda-tanda sebuah amalan diterima oleh Allah SWT. Semakin bersih hati seorang mukmin, semakin terasa baginya pengaruh ibadah yang dilakukannya. Seluruh atau sebagian dari tanda-tanda tersebut, untuk kita cari dan kita hadirkan dalam diri kita. Tidak untuk kita cocokkan dengan orang lain. Sebab kita tidak akan ditanya tentang amalan mereka. Jika kita menemukannya, maka mari kita bersyukur kepada Allah. Jika tidak, segera kita memohon ampun kepada Allah dan menjemput amal shaleh berikutnya, mengejar ketertinggalan, menutupi kekurangan dan kealpaan kita.

(Ramadhan 27)

HARUS DISEMBLIH

Dua syarat diterimanya sebuah ibadah adalah: Ikhlas dan muwaafaqatus sunnah (sesuai dengan tuntunan Rasulullah). Bila salah satu dari dua syarat ini tidak terpenuhi, niscaya sebuah amal shaleh takkan diterima Allah. Bila seseorang shalat shubuh dengan ikhlas karena Allah, lalu dikerjakannya 4 rakaat, maka tidak akan sah dan tidak diterima Allah. Karena tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Sebaliknya bila dia shalat shubuh 2 rakaat, lengkap rukun dan syaratnya, tetapi dikerjakan karena segan dengan orang lain, tak enak dengan tetangga, malu dengan mertua, maka juga tidak akan diterima Allah. Karena tidak ikhlas.

Khusus terkait dengan keikhlasan, maka ada dua hal yang tidak bisa bersatu dengan keikhlasan. Keduanya (terhadap ikhlas) ibarat api dan air, tak mungkin disatukan. Keduanya pasti akan menggerogoti serta menghabiskan keikhlasan.

Yang pertama adalah sikap tamak. Yaitu sikap mengharapkan suatu materi atau posisi dari manusia dibalik amal shaleh/ibadah yang kita kerjakan. Sikap ini sangat bertentangan dengan ikhlas. Akibatnya, amalan yang bercampur harapan kepada manusia itu akan tertolak. Shalat, puasa, sedekah, haji dan umrah, dan ibadah lainnya, bila dikerjakan dengan harapan dapat jabatan, naik pangkat, dapat posisi ditengah manusia, atau penghasilan tambahan, sangat dikhawatir akan menjadi tertolak. Sebab, Allah paling tidak mau dipersekutukan dengan siapapun. “Aku adalah yang paling tidak butuh dengan sekutu. Bila seseorang beramal dengan mempersekutukanKu dengan yang lain, niscaya Aku akan tinggalkan dia dan sekutunya...”. (dari Hadits Qudsi riwayat Muslim).

Allah SWT menegaskan, “Barang siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shaleh, dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepadaNya...”. (QS Al Kahfi: 110). Amal shaleh dalam ayat ini maksudnya sesuai tuntunan syariat, sedangkan tidak mempersekutukan maksudnya adalah keikhlasan. Keduanya merupakan syarat diterimanya sebuah ibadah.

Agar kita selamat, maka sikap tamak kepada manusia ini harus DISEMBLIH. Begitu bahasa yang digunakan oleh Ibnul Qayyim Al Jauziah. Dengan apa disemblih? Disemblih dengan pisau putus asa. Maksudnya, kita tidak usah terlalu harap kepada manusia. Kebanyakan manusia hanyalah “pemberi harapan palsu”. Karena manusia pada hakekatnya tidak punya apa-apa. Hanya Allah lah yang takkan mungkir janji. Sebab, segala sesuatu berada di tanganNya, dalam kekuasanNya. Bahkan di akhirat kelak, bila ada manusia yang berbuat shaleh karena manusia lain, maka ia akan diperintahkan untuk mencari atau meminta pahala kepada orang lain tersebut. Dan itu pasti mustahil didapatkan.

Yang kedua adalah sikap suka dipuji. Sikap ini juga bertentangan dengan keikhlasan. Lebih dekat kepada riya dan mencari popularitas. Seorang sahabat Rasulullah bernama Ubadah bin Shamit, ditanya oleh seseorang, “Bagaimanakah pendapatmu, tentang seseorang yang shalat karena Allah tapi ia juga senang dipuji? Ia juga puasa karena Allah, tapi senang dipuji? Ia juga bersedekah karena Allah namun juga suka dipuji? ia juga pergi haji karena Allah, tapi ia juga suka dipuji?”... Ubadah bin Shamit menjawab, “Tidak ada pahala baginya sama sekali. Karena Allah telah berkata: “Aku adalah sebaik-baik sekutu. Barang siapa yang membuat sekutu selainKu bersamaKu, maka sekutu itu untuknya semuanya. Aku tidak butuh dengannya...”. (dalam tafsir Ath Thabari, HR Al Bazzar)

Sifat senang dipuji ini sebenarnya normal dan manusiawi. Bila dosisnya sedikit dan ala kadarnya. Tapi akan menjadi terlarang dan pengganggu dalam amal shaleh kepada Allah,

apalagi dalam dosis yang berlebihan. Kuncinya harus zuhud (mengurangi diri) dari dunia dan lingungan yang suka memuji. Rasulullah saw malah memberikan arahan yang tegas terhadap orang-orang yang suka memuji-muji orang lain di depannya. Seorang lelaki memuji salah satu gubernur di depannya. Maka seorang sahabat Rasulullah bernama Al Miqdad berdiri dan menyiramkan pasir ke wajah pemuji tersebut sambil berkata, “Kami diperintahkan Rasulullah untuk menyiramkan pasir ke wajah orang-orang yang suka memuji...” (HR Muslim). Dalam hadits lain Rasulullah saw memerintahkan: “Apabila kamu melihat orang-orang yang suka memuji, maka siramkanlah pasir ke wajahnya...”. (HR Muslim)

Agar kita menjadi mudah dan ringan untuk menyemblih sikap tamak dan suka dipuji ini, kita harus membangun keyakinan yang kuat bahwa semua yang kita harapkan hanya ada di tangan Allah, tidak ada di tangan manusia. Dan semua puja-puji orang lain kepada kita, sedikitpun takkan menambah nilai amal shaleh kita di sisi Allah. Sebagaimana celaan dan cacian mereka juga takkan menguranginya. Hanyalah pujian Allah yang akan menyelamatkan kita, dan celaanNya saja yang akan mencelakakan kita.

Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, Ajarkan aku sebuah amalan, bila aku kerjakan, niscaya aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia?”. Rasulullah menjawab: “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya kamu akan dicintai Allah. Zuhudlah terhadap harta manusia, niscaya kamu akan dicintai manusia tersebut...”. (HR Ibnu Majah)

Allah memberikan arahanNya: “Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah itu pasti benar. Dan sekali-kali janganlah kamu gelisah dengan orang-orang yang tidak yakin dengan ayat-ayat Allah...” (QS Ar Ruum: 60).

Amalan kita selama ramadhan ini lumayan banyak dan beragam. Keshalehan kita lumayan meningkat dan bertambah. Alhamdulillah, segala puji dan harapan hanya bagi Allah. Semuanya terlaksana karena karunia dan rahmatNya semata. Hanya saja kita harus mewaspadai jangan sampai keikhlasan kita dirusak oleh dua penghancurnya, tamak dan suka dipuji.

(Ramadhan 26)

3 RUMAH 3 HATI

Seorang pencuri sedang merencanakan pencurian besar dengan target hasil yang maksimal. Sekarang dia dihadapkan kepada tiga pilihan rumah yang hendak dicuri...

Rumah pertama adalah rumah mewah, istana seorang raja. Di dalamnya penuh dengan harta berharga, intan berlian dan emas permata. Bila berhasil masuk dan mencuri di dalamnya, pastilah akan panen besar. Bisa pensiun tujuh keturunan.

Rumah kedua, adalah rumah orang kaya dari rakyat biasa. Rumahnya lumayan bagus, cantik dan indah. Di dalamnya juga banyak harta dan barang-barang berharga. Bila mencuri di rumah ini, tentulah hasilnya juga lumayan. Bisa membiayai hidup keluarga untuk beberapa waktu lamanya.

Rumah ketiga adalah sebuah gubug reot, jelek, buruk dan tak ada apa-apa di dalamnya. Tak ada perabot dan tak ada perhiasan sama sekali. Pemiliknya seorang miskin. Mencuri di rumah ini sama sekali tidak ada artinya. Hanya orang bodoh yang berniat mencuri di sini.

Dihadapan tiga pilihan tersebut, si pencuri harus menetapkan keputusan yang tepat. Pencurian harus berhasil, membawa barang dan harta yang banyak, sekaligus tidak ketahuan atau tidak tertangkap oleh si pemilik rumah.

Rumah manakah yang dijadikannya target atau sasaran??? Rumah ketiga pastilah takkan dipilih. Buat apa mencuri di sana? Tidak ada apa-apanya. Malah bisa jadi, ada ular berbisa sembunyi di sana. Atau, jangan-jangan, itu rumah seorang pencuri juga...

Sedangkan rumah pertama, bila dicuri, itu berbahaya dan beresiko. Pastilah rumah seorang raja penuh pengawalan. Ada polisi, satpam atau bahkan sepasukan tentara yang mengawalnya. Belum lagi kamera CCTV yang pasti dipasang di berbagai penjuru dan tempat yang penting. Mencuri di rumah tersebut sama saja dengan menyerahkan diri. Rumah pertama bukan pilihan yang tepat.

Akhirnya pilihan jatuh ke rumah kedua. Minim resiko, tapi ada peluang mendapat harta lumayan. Sebab rumah seorang kaya yang hanya rakyat biasa, takkan ada pengawalan seketat rumah raja. Sehingga kemungkinan lolos juga sangat besar. Maka rumah jenis kedua inilah yang menjadi sasaran empuk para pencuri.

Begitulah perumpamaan hati manusia. Ada tiga jenis hati sebagaimana ada tiga jenis rumah. Dan si pencuri adalah gambaran dari iblis atau syetan yang datang hendak merusak hati tersebut.

Rumah pertama adalah gambaran hati manusia pilihan, yang penuh dengan iman dan ketaqwaan. Bercahaya dan menerangi jalan pemiliknya. Bersih dan terhindar dari noda dan dosa. Kalaupun sempat muncul goresan-goresan kecil kesalahan dan dosa, maka segera dapat dibersihkan dengan taubat dan amal shaleh. Inilah hati para Nabi dan Rasul serta orang-orang shalih pilihan. Hati mereka juga mendapat penjagaan dan pengawalan dari Allah. Sehingga bila ada iblis datang menggoda hendak menyesatkan, Allah berikan bantuan dan cahaya (burhan) sehingga dia selamat dan tidak jatuh kepada kesalahan.

Sebagai contoh adalah Nabi Yusuf. Ketampanannya telah membuat istri raja tergila-gila. Sampai puncaknya dia menjebak Yusuf di dalam kamar. Nafsu dan syahawatnya sudah tidak

terbendung lagi untuk berbuat dosa dengan Yusuf. Dan Nabi Yusuf hampir saja terjatuh ke dalam maksiat tersebut kalau seandainya tidak ada cahaya petunjuk (burhan) dari Allah. Maka loloslah dia dan selamat dari jebakan dosa itu, walaupun harus menanggu resiko masuk penjara setelah itu.

Nabi Ibarahim saat mencari tuhan yang sebenarnya. Sempat mengira bahwa bintang-gemintang adalah tuhan. Namun saat bintang tersebut menghilang, dia batalkan perkiraannya tersebut. Lalu ketika menyaksikan bulan muncul dengan terang benderang, dikiranya itu adalah tuhan. Namun dikala bulan telah menghilang, dia batalkan keyakinan itu dan dia minta petunjuk kepada Tuhan yang sebenarnya. Ketika matahari muncul lebih terang dan lebih besar, dikiranya lagi ini adalah tuhan. Namun saat matahari terbenam, Ibrahim melepaskan diri dari segala bentuk kesyirikan.

Nabi Muhammad saw juga pernah mengalami kegundahan yang sangat dalam. Hatinya kacau dan jiwanya berguncang saat terputusnya wahyu di awal-awal kenabiannya. Beberapa kali sempat Beliau naik ke bukit hendak bunuh diri. Tapi jibril datang menyelamatkannya. Sehingga hatinya kembali tentram beriman kepada Allah.

Tidak jarang, ada hamba-hamba Allah yang shaleh yang diselamatkan Allah dari jebakan dosa dan maksiat. Dengan cara dan skenario Allah yang Maha Lembut dan Maha Bijaksana. Ada hambaNya yang lolos dari perbuatan zina (fitnah wanita), ada yang selamat dari fitnah harta dunia, dan ada yang tegar di dalam fitnah jabatan (tahta).

Adapun rumah ketiga, maka itu adalah perumpamaan hati orang kafir dan munafik. Hatinya kosong melompong dari iman dan taqwa. Yang ada di dalamnya hanyalah hitam kelamnya maksiat dan dosa. Iblis tidak perlu lagi datang menggoda. Tanpa digoda dan diperdaya, dia bisa berbuat dosa. Karena dia sendirinya sudah menjadi syetan manusia. Berbuat dosa di mana-mana dan menjerumuskan manusia lain ke dalam dosa.

Sedangkan rumah kedua, itulah gambaran hati mukmin biasa seperti kita. Ada lumayan amal shaleh yang kita kerjakan. Ada cahaya iman dan taqwa di hati kita. Tapi, kita tidak punya jaminan keamanan dan penjagaan. Kecuali saat kita telah menggapai puncak-puncak keimanan. Maka serangan dan gempuran iblis akan terus datang silih berganti. Menggoda, merayu dan memperdaya kita. Kadang kita kuat, kokoh, tegar dan perkasa menghadapinya. Sehingga kita tidak jatuh kepada dosa. Tapi, tidak jarang juga kita tumbang, lemah, layu dan jatuh kepada dosa. Begitulah seterusnya sampai akhir hayat kita.

Oleh karena itu, kita mesti berusaha mengawal hati dan diri kita. Sehingga tidak mengalami fluktuasi iman yang ekstrim. Agar nanti tetap berakhir dengan kondisi yang bersih dan husnul khaatimah. Diantaranya dengan tetap komitmen bersama jamaah. Bekerja dan banyak berinteraksi bersama orang-orang shaleh. Dengan kebersamaan itu, amal shaleh menjadi ringan dan dosa-dosa menjadi jauh. Rasulullah saw menyatakan, “Kalian mesti berjamaah, dan jauhilah berpecah-belah, karena sesungguhnya syetan itu bersama orang yang sendirian. Maka barang siapa yang menginginkan bagian tengahnya sorga, hendaklah ia komit bersama jamaah...”. (dari HR Tirmidzi dishsahihkan Albany).

Kiat kedua adalah dengan selau memohon perlindungan kepada Allah. Sebab, Dialah yang Maha Kuasa membolak-balikkan hati. “Dan Kami bolak-balikan hati dan pandangan mereka...” (QS Al An’am: 110)). Rasulullah bersabda, “Hati manusia terletak diantara dua jari-jemari Allah, Dia bolak-balikkan sesuai kehendakNya...”. (HR Tirmidzi). Anas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah sering bermohon kepada Allah yang artinya, “Wahai Yang Maha membolak-balikkan hati, kokohkanlah hatiku di atas agamaMu...”. (dari HR Tirmidzi dishshihkan Albany).

Ramadhan telah mengkondisikan kita begitu banyak berinteraksi dengan orang-orang serta momen-momen keshalehan. Akibatnya, kita menjadi ringan dan bersemangat beribadah. Suasana seperti ini mesti dijaga dan diabadikan di hari-hari kedepan ba’da ramadhan, agar sipencuri tidak menghempaskan kita.

(Ramadhan 25)

DZIKIR DAN SYUKUR

Tugas utama kita sebagai makhluk Allah adalah beribadah kepadaNya. Ada dua pondasi utama ibadah kita, yaitu dzikir dan syukur. Keduanya dirangkum oleh Allah dalam firmanNya yang artinya, “Maka ingitlah Aku niscaya Aku akan mengingatmu, dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kalian kufur kepadaKu...” (QS Al Baqarah: 152)

Dzikir adalah mengingat dan selalu mengagungkan Allah. Dzikir yang benar dilakukan dengan lidah dan hati. Dzikir lidah dengan mengucapkan, dzikir hati dengan pengakuan dan keimanan. Dzikir yang benar tidak akan terwujud bila tidak mengenal Allah dengan baik. Karena, bagaimana mungkin mengingat dan mengagungkanNya kalau tidak kenal denganNya???. Oleh karena itu, setiap mukmin mesti mengenal Allah dengan baik dan benar.

Mengenal Allah dengan baik dan benar itu adalah melalui ayat-ayatNya yang di dalam Al Quran (Ayat qauliyah). Baru kemudian diperkuat dengan ayat-ayatNya yang terbentang di jagad raya (ayat kauniah). Jangan sampai terbalik. Sebab informasi yang valid dan benar tentang Allah hanyalah yang bersumber dariNya sendiri. Dan itu adanya hanya di dalam Al Quran. Di sana Allah perkenalkan diriNya, keMaha AgunganNya, keMaha KuasaanNya, keMaha PerkasaanNya dan seterusnya. Melaui Al Quran Allah beritahu hambaNya tentang Dia dan tentang tugas hambaNya kepadaNya. Maka melalui Al Quran kita menjadi tahu dan kenal sifat-sifat Allah yang Agung dan nama-namaNya yang mulia. Setelah itu, kita bisa menguatkan dengan ayat kauniah yang terlihat di depan mata.

Bila kita mengenal Allah melalui ayat kauniah saja, tidak bersandarkan wahyu dariNya, kita akan bisa mengalami apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim ketika mencari tuhan yang sebenarnya. Saat malam tiba, dilihatnya bintang-gemintang menghiasi langit. Dikiranya itulah yang tuhan. Namun saat bintang menghilang, dia katakan aku tidak suka yang menghilang. Saat dilihatnya bulan yang bercahaya terang, dikiranya inilah yang tuhan. Saat bulan lenyap setelah fajar menyingsing, dia katakan aku bisa sesat kalau tidak diberi petunjuk oleh Tuhan yang sebenarnya. Saat dilihatnya matahari muncul, bercahaya terang dan lebih besar, dia katakan inilah yang tuhan. Ini lebih besar. Tapi akhirnya, saat matahari terbenam dia nyatakan kepada kaumnya aku berlepas diri dari segala kesyirikan yang kalian lakukan. (dalam QS Al An’am: 75 – 80)

Jika kita mengenal Allah dengan baik dan benar, maka kita akan dapat mengingatnya dengan benar pula. Bila kita merasa sakit, kita akan tahu bahwa kita punya Tuhan yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Maka kita meminta kepadaNya. Saat kita merasa butuh dan sangat kekurangan, kita ingat bahwa kita punya Tuhan yang maha kaya. Maka kita pun akan meminta kepadaNya. Kala kita merasa terzhalimi, kita ingat bahwa kita punya Tuhan yang maha perkasa dan pembalas dendam. Maka kita pun akan serahkan urusan kita kepadaNya. Ketika kita merasa lemah dan tak berdaya, kita ingat bahwa kita punya Tuhan yang maha kuat lagi perkasa, maka kita pun akan bersandar kepadaNya.

Allah SWT memuliakan dan sangat meninggikan derjat orang-orang yang berdzikir. Mereka dipuji oleh Allah dan diberikan ampunan dan pahala yang bersar bersama manusia-manusia pilihan dari kalangan orang-orang berimana, orang-orang yang jujur, orang-orang yang sabar, orang-orang khusyuk, orang-orang yang bersedekah, orang-orang yang berpuasa dan orang-orang yang menjaga kehormatannya. (dalam QS Al Ahzab: 35)

Orang-orang yang senantiasa berdzikir akan selalu bersama Allah. Bahkan Allah yang bersamanya, memberikan segala pertolongannya. Dalam hadits qudsi Allah menyatakan: “Aku sesuai dengan persangkaan hambaku tentangKu. Dan Aku selalu bersamanya jika dia

mengingatKu. Jika dia mengingatKu dalam dirinya, niscaya Aku akan mengingatnya dalam diriKu. Jika dia mengingatku di depan khalayak, niscaya Aku akan mengingatnya di khalayak yang lebih baik. Jika dia mendekat kepadaKu sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepadaKu sehasta, Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika dia datang kepadaKu dengan berjalan, Aku akan mendatanginya sambil berlari...” (HR Bukhari dan Muslim)

Itu dzikir, adapun syukur adalah terimakasih dan pengakuan kita atas segala nikmat dan karuniaNya kepada kita, yang diwujudkan dalam seluruh bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah. Walaupun semua bentuk ibadah itu takkan melunasi sebagian kecil pemberianNya (apalagi seluruhnya), tapi itulah sikap dan akhlak seorang hamba. Tahu diri dan rendah hati kepada tuannya. Namanya juga hamba, takkan bisa membalas lebih baik dari pemberian tuannya, lebih mulia dari yang dia terima, lebih berharga dari yang milik tuannya. Dan si hamba juga tahu diri, bahwa terimakasihnya itu sedikitpun takkan menambah kekayaan Tuan yang telah memberinya. Tapi, karena dia tahu diri, dia akan berterimakasih sekuat kemampuan yang dia punya.

Maka seluruh ibadah yang kita lakukan, mulai dari shalat, puasa, zakat, haji dan umrah, sedekah, peduli sesama dan berbagai bentuk ibadah lainnya, itu adalah tanda kita sebagai hamba yang bersyukur. “Apakah tidak layak aku menjadi hamba yang bersyukur”, kata Rasulullah saw tentang shalat-shalat malamnya yang panjang.

Ibnu Al Qayyim al jauziah menyebutkan bahwa kita menyembah Allah dengan 15 bentuk macam ibadah. Pertama kita menyembah Allah dengan Hati kita dengan 5 macam bentuk ibadah, sesuai dengan 5 macam hukum fiqh. Ada yang wajib bagi hati, sepeti beriman kepada Allah. Ada yang sunnat bagi hati, seperti cinta yang halal kepada sesam mukmin. Ada yang mubah bagi hati, seperti gembira dan bahagia. Ada yang makruh bagi hati seperti membenci kepada sesama dan ada yang haram bagi hati, seperti iri dan dengki. Lalu kita menyembah Allah dengan lidah juga sebanyak 5 macam ibadah. Ada yang wajib bagi lidah seperti kalimat syahadat. Ada yang sunnah bagi lidah seperti berkata baik. Ada yang mubah bagi lidah seperti bicara dan obrolan yang halal. Ada yang makruh bagi lidah seperti mengucapkan kata-kata yang tak berguna, membicarakan yang tak bermanfaat. Dan ada yang haram bagi lidah seperti mengucapkan kalimat kufur dan maksiat. Kemudian kita menyembah Allah dengan seluruh anggota tubuh dengan 5 macam ibadah. Ada yang wajib bagi tubuh seperti shalat dan puasa. Ada yang sunnah seperti shalat sunnat dan puasa sunnat. Ada yang mubah seperti makan dan minum. Ada yang makruh seperti pekerjaan yang tidak bermanfaat. Dan ada yang haram seperti mencuri, emrampok dan lain-lain. Semua yang wajib, sunnat dan mubah kita kerjakan, dan semua yang makruh dan haram kita tinggalkan. Itulah 15 aplikasi ibadah kita.

Allah swt menempatkan orang-orang yang bersyukur (Asy Syakirin) lebih baik dan lebih mulia dibandingkan orang-orang yang bersabar. Sebab sabar adalah sikap menahan dan kekuatan menanggung beban, sedangkan bersyukur telah sampai kepada tingkat memberi dan berperan.

“Dan sesungguhnya telah di wahyukan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu, “Jika kamu mempersekutukan Tuhan, niscaya akan hapuslah amalmu, dan tetulah kamu akan masuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah, dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”. (QS Az Zumar: 65 – 66)

(Ramadhan 24)

SETIA SAMPAI AKHIR

Seorang arsitek telah bekerja pada sebuah perusahaan real estate bertahun-tahun. Seluruh ilmu dan kemampuannya telah didedikasikannya untuk kemajuan dan kejayaan perusahaan tersebut. Sudah dekat saatnya dia mengambil pensiun dan beristirahat. Cukuplah rasanya semua kontribusi dan pengorbanan dia berikan, sehingga perusahan tersebut menjadi besar. Maka diapun mengajukan permohonan pensiun kepada direkturnya.

Betapa kagetnya dia ternyata sang direktur memberikan tugas baru kepadanya. Alih-alih segera dapat pensiun, malah sekarang dia diberi proyek baru. Direktur menugaskannya merancang sebuah rumah dan sekaligus membangunnya di salah satu kawasan elit milik perusahaan tersebut. Semua biaya yang ditimbulkan dari pekerjaan ini menjadi beban perusahaan. Dengan sedikit berat hati arsitek ini melaksanakan tugas tersebut. Setelah mendapatkan spesifikasi global dari rumah yang diinginkan sang direktur, dia pun mulai merancang desain dan kemudian membangun rumah tersebut.

Hatinya ingin segera tuntas dari pekerjaan ini. Maka pekerjaanpun dikebut agar rumah cepat selesai. Komposisi material bangunan tidak terlalu diperhatikan. Kualitas semen, kayu, cat dan warnanya tidaklah yang terbaik. Yang penting bentuk rumah dan tampilan luarnya, sudah seperti yang diinginkan direkturnya. Lalu seluruh perabotan dan mobiler rumah tersebut dibeli dan disusun pada posisinya. Namun, perabotan ini juga bukanlah yang terbaik dikelasnya.

Setelah rumah itu selesai dan siap untuk ditempati, si arsitek datang menghadap direkturnya sambil menyerahkan kunci rumah tersebut, sebagai tanda bahwa tugas sudah selesai, misi sudah dijalankan. Sang direktur menyambutnya dengan senang. Bahkan langsung diajaknya turun ke lapangan meninjau langsung proyek tersebut. Sesampai di lokasi sang direktur semakin senang. Rumah sudah jadi, tegak dengan megahnya di komplek tersebut. Dia masuk meninjau ke dalam rumah, berkeliling ke setiap ruang dan kamar yang ada. Bentuk rumah sudah sesuai dengan rancangan, warna sudah cocok, tampilannya sudah oke punya.

“Engkau telah laksanakan perintahku dengan baik. Bahkan lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Engkau memang karyawanku yang hebat dan istimewa...” ujar sang direktur penuh bahagia memuji pekerjaan anak buahnya. “Nah, sesuai dengan permintaanmu, sekarang kamu sudah boleh pensiun. Sebagai penghargaan dariku dan dari perusahaan ini, rumah ini aku hadiahkan untukmu. Ambilah kunci ini, dan berbahagialah bersama keluargamu di sini, sampai akhir hayatmu...”. sang direktur tersenyum penuh bangga, sambil menyerahkan kunci rumah tersebut, kemudian pergi berlalu kembali ke kantornya.

Si arsitek berdiri terpaku, diam seribu bahasa, tak tahu apa yang hendak diucapkan. Sampai-sampai berterima-kasihpun tak sempat diucapkannya kepada bosnya yang sudah pergi berlalu. Hatinya sedih, kacau, galau, menyesal bercampur aduk. Kalaulah dari awal dia tahu bahwa rumah ini akan menjadi miliknya, tentulah akan dikerjakannya dengan penuh maksimal, semua bahan dan material akan diambilnya dari kualitas terbaik. Perabot dan mobilernya pastilah akan dia beli yang nomor satu. Bahkan dia bisa menambahkan banyak hal di rumah itu untuk kebutuhannya kelak bersama keluarga. Akan tetapi, semua sudah terlanjur. Apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan selalu saja datang terlambat.

Ramadhan sudah dipenghujung. 7 hari yang tersisa adalah saat-saat berharga. Karena 7 malam terakhir merupakan waktu paling berpeluang mendapatkan lailatul qadr. Namun disinilah permasalahannya. Jebakan amal di akhir-akhir. Tarikan suasana menyambut idul fitri

kadang terlalu mempesona. Tak jarang hatipun sudah terbawa arus untuk cepat selesai. Apalagi bila pemahaman kita tentang berlebaran kurang lurus.

Perlu kita ketahui dengan baik, bahwa kita bergembira dan bersuka cita pada hari Idul fitri adalah karena telah berhasil maksimal beribadah dan melakukan kebajikan selama ramadhan. Siang diisi dengan puasa, mencari rezeki yang halal, menjaga shalat-shalat wajib 5 waktu dengan berjamaah. Malam hari dipenuhi dengan qiyamullail, tadarrus Al Quran, tilawah dan mentadabburinya. Sedekah, infaq dan juga zakat mengalir dengan ringan dari kantong dan tangan kita. Tak lupa pula, doa-doa khusyuk, istighfar dan munajat kepadaNya menghiasi sepertiga malam terakhir kita sepanjang ramadhan. Karena alasan ini semualah kita berhari raya dan layak tersenyum, tertawa bahagia di 1 syawwal.

Adapun karena baju, celana dan pakaian kita baru, rumah dan kendaran baru atau diperbaharui, bisa bertemu sanak-saudara, reuni dengan teman-teman lama, bisa pulang kampung atau mudik bersama, itu semua tak ada kaitan dengan kemuliaan ramadhan. Dan tak layak dijadikan sebagai sesuatu yang sangat bahagia bagi seorang yang beriman. Apalagi kalau puasa hanya terpaksa, setiap saat menunggu waktu berbuka. Tarawih juga terpaksa, setiap malam mencari masjid yang tercepat selesainya. Tilawah tak sempurna, tadabbur tak ada, infaq ala kadarnya, istigfar sekenanya dan lain-lain sebagainya. Lalu, atas nama apa bahagia di Idul Fitri???. Kabahagian yang hakiki adalah di saat iman kita bertambah, posisi kita dengan Allah semakin mulia, derjat kita dipandanganNya semakin naik.

Oleh karena itu semua, sampai berakhirnya ramadhan ini, kita akan terus setia mengawalnya agar tetap sempurna. Bahkan semakin ke akhir semakin meningkat kualitasnya. “Sesungguhnya amal tersebut tergantung dengan akhir (penghabisannya)...” (terdapat dalam HR Bukhari dari Sa’ad As Saa’idi). Shiyam dan qiyam mesti tetap terjaga sampai ke akhir. Kekurangan dan ketidakmaksimalan ibadah di hari-hari yang telah berlalu mesti ditutupi dengan melebihkannya di hari yang tersisa. Sekaranglah saatnya kita merancang mau dapat sorga seperti apa nantinya? Mau istana seperti apa di dalamnya? Mau fasiltas kemulian apa saja yang didambakan?

Prinsip yang kita pegang adalah “hari terakhir ramadhan adalah hari kita paling berkualitas menyembah Allah”. Dan hari terbaik kita adalah hari di saat kita berjumpa denganNya. Dengan cara ini, insyaAllah nanti dihadapan Allah kita takkan menyesal/kecewa. Ternyata seluruh perbuatan kita kembalinya untuk kita juga. “Jika kalian berbuat baik, niscaya kalian berbuat baik untuk diri kalian sendiri. Dan jika kalian berbuat buruk, niscaya (keburukan) itu juga untuk kalian sendiri...” (QS Al Isra’: 7).

(Ramadhan 23)

YANG KITA BENCI BELUM TENTU BURUK UNTUK KITA

Dikisahkan bahwa di sebuah negeri yang mayoritas penduduknya bertani, para petani mengangkut hasil pertaniannya ke pasar dengan memikulnya. Karena mereka tidak memilki sarana transportasi sama sekali. Tapi ada satu keluarga keluarga kecil beranak satu yang memiliki seekor kuda. Dengan kudanya ini, keluarga tersebut sangat terbantu mengangkut hasil tani mereka. Setiap kali berpapasan dengan keluarga lain yang hanya memikul beban dengan pundak mereka, mereka berkomentar, “Enak sekali kalian, punya kuda untuk mengangkut beban...”

Suatu hari keluarga pemilik kuda ini ditimpa musibah. Kuda mereka hilang (menghilang). Sudah dicari-cari ke seluruh pelosok kampung, tapi tidak juga mereka temukan. Kemungkinan besar sudah masuk ke hutan. Akibatnya mereka juga terpaksa memikul hasil tani mereka. Karena selama ini sudah terbiasa dengan kuda, pekerjaan memikul barang ini terasa sangat berat bagi mereka. Sehingga mereka semakin sedih sekaligus letih. Masyarakatpun ikut sedih melihatnya. Namun, setelah beberapa hari, tanpa diduga-duga, kuda tersebut kembali ke kandangnya. Si bapak pemilik kuda tersebut sangat kaget sekaligus sangat bahagia. Kebahagiaannya bertambah, karena ternyata kuda itu kembali dengan ditemani seekor kuda lain dari hutan. Jadilah dia sekarang mempunyai dua ekor kuda. Penduduk sekitar yang sebelumnya sudah ikut sedih dan prihatin, sekarang justru tercengang sekaligus cemburu. “Sungguh enaknya mereka, sudah dua ekor pula kudanya....”, begitu lebih kurang perasaan penduduk kampung tersebut.

Karena si bapak tadi sangat bahagia, dia ajak keluarganya “menikmati” kuda barunya ini. Mereka menunggangi kuda lama dan juga kuda baru mereka. Namun malangnya, karena kuda itu masih liar dan belum biasa ditunggangi, anak lelaki remaja bapak tersebut terlempar dari punggung kuda dan terjatuh. Akibatnya kaki anak tersebut patah. Belum lama mereka terlepas dari kesedihan dan menikmati “hadiah” tak terduga ini, tiba-tiba datang pula musibah. Anak laki-laki mereka satu-satunya terbaring cidera patah kaki. Masyarakat berdatangan menjenguk dan menghibur mereka.

Selang beberapa hari, kampung itu dimasuki oleh serombongan tentara kerajaan. Rupanya para prajurit kerajaan tersebut datang ke kampung itu untuk melaksanakan titah atau intruksi sang raja. Titahnya adalah, seluruh remaja laki-laki harus ikut bergabung dalam pasukan kerajaan. Dan tidak dibolehkan satupun keluarga menolak titah raja ini. Sebab yang menolak akan mendapat hukuman berat. Akibatnya, semua remaja laki-laki di kampung itu digiring dan dibawa ke pusat kerajaan. Untuk selanjutnya bergabung menjadi pasukan kerajaan. Banyak keluarga bersedih dan sangat berduka dengan kebijakan kerajaan yang mendadak ini. Mereka tiba-tiba harus kehilangan anak remaja mereka. Namun ini tidak terjadi dirumah keluarga tadi. Anak remaja mereka tidak diambil. Sebab anak tersebut patah (cidera) kaki.

Dalam kehidupan kita ini, kita menemukan banyak kejadian dan beragam peristiwa. Sebagian ada yang kita sukai dan sebagian lainnya tidak kita sukai. Kecendrungan kita adalah senang dengan yang kita sukai, karena kita menganggap itu baik bagi kita. Padahal itu belumlah sepenuhnya seperti itu. Orang-orang beriman dipandu Allah (dalam hal ini) dengan arahanNya, “Bisa jadi kalian membenci sesuatu, padahal sesuatu itu baik bagi kalian. Dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu buruk bagi kalian. Sedangkan Allah lebih tahu, dan kalian tidak mengetahui...” (terjemahan QS Al Baqarah: 216)

Ayat ini mengajarkan banyak hikmah bagi orang-orang beriman dalam menyikapi segala peristiwa yang dialaminya.

Pertama, dalam menilai sesuatu janganlah dengan menggunakan standar suka atau tidak suka, karena itu sangat relatif dan subjektif. Akan tetapi ukurlah dengan standar redha atau tidaknya Allah. Dengan cara ini seorang mukmin akan tetap menghambakan diri kepada Allah. Bersyukur bila mendapat nikmat, bersabar bila mendapat ujian. “Sungguh unik urusan orang beriman, seluruh urusannya adalah baik. Dan hanya berlaku bagi orang beriman. Bila mendapat nikmat dia besyukur, dan itu baik baginya. Bila ditimpa musibah dia bersabar, dan itu baik baginya...” (dari HR Muslim)

Kedua, seorang mukmin tidaklah layak “mengusulkan” sesuatu kepada Allah. Apalagi sampai memprotes “kebijakan” Allah. Sebab ia tidak tahu, sedangkan Allah, Dialah yang paling tahu. Allah tidak ditanya tentang “keputusanNya”. Sebaliknya, manusialah yang ditanya nanti tentang perbuatannya. “Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, tapi merekalah yang ditanya...” (QS Al Anbiya: 23).

Ketiga, setiap mukmin hendaklah menyerahkan seluruh urusannya kepada Allah. Dan bila dia telah serahkan kepadaNya, maka dia harus percaya dan menerima segala ketetapannya. Seorang mukmin tidak boleh memaksakan pilihannya kepada Allah. Cukuplah baginya meminta kepadaNya “pilihan terbaik” dan dimudahkan untuk mencapai “pilihan Allah yang terbaik” itu dengan segala kebutuhannya. Disingkirkan dari pilihan yang buruk dan dimudahkan untuk menghindarinya....

Sesungguhnya, lulus ujian atau tidak lulus, masuk kuliah atau tidak masuk, dapat pekerjaan atau belum, mendapat jodoh atau tidak mendapatkannya, memperoleh keturunan atau tidak sama sekali, itu semua bukan lah standar kemulian dan kehinaan. Cara penyikapannya lah yang akan memuliakan atau menghinakan kita. “...Janganlah kalian kira (ujian) itu buruk bagi kalian, justru ia baik bagi kalian...” (QS An Nur: 11)

(Ramadhan 22)

MENINGGALKAN KEBIASAAN YANG TAK BERGUNA

Diantara ciri berkualitasnya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya, Rasulullah saw menyatakan, “Bagian dari bagusnya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan apa yang tidak perlu baginya...” (HR Tirmidzi, dishahihkan Albany)... Karena memang hanya orang yang bodohlah yang masih mau menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak bermanfaat.

Namun kalau seseorang sudah terbiasa dengan hal-hal yang kurang atau tidak bermanfaat, maka akan sangat berat baginya untuk meninggalkannya. Hanya satu jalan untuk melepaskan diri yaitu meninggalkan kebiasaan buruk tersebut karena Allah semata. Bila jujur dan tulus meninggalkannya, niscaya akan terasa ringan. Para ulama menyebutkan bahwa “barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan ganti baginya yang lebih baik...”. Ganti tersebut tidak mesti sesuatu yang kongkrit. Ganti yang paling mahal adalah keterpautan hati kepada Allah dan kecintaan kepadaNya serta ketenangan jiwa.

Banyak hal yang tidak berguna yang harus kita tinggalkan, agar kita terus dapat meniti tangga-tangga kemuliaan, menapaki maqam hamba-hamba pilihan.

Pertama, ilmu yang tidak diamalkan. Ia bagaikan pohon tak berbuah. Ada namun tak memberikan manfaat. Tahu tapi tidak menimbulkan amal nyata. Hanya sekedar kata-kata dan bahan bicara. kondisi ini hanya akan mengundang murka dari Allah. “Besar sekali kemurkaan dari Allah, bila engkau mengatakan apa yang tidak engkau perbuat...” (QS Ash Shaf: 3). Kita tahu namun kita tak mengamalkannya. Ini tidaklah bermanfaat bagi kita.

Kedua, beramal tetapi tidak ikhlas. Berbuat tetapi mengharapkan balasan dari manusia, menginginkan keuntungan dunia. Bukan mengharapkan ridhaNya. Tentu ini akan sia-sia. Sebab, Allah telah tegaskan, “Aku adalah yang paling tidak butuh terhadap sekutu. Barang siapa yang beramal dengan mempersekutukan Aku dengan yang lain, niscaya aku akan tinggal dia dan sekutunya itu”. (Hadits Qudsi dalam Shahih Muslim). Walaupun kita amalkan ilmu kita, tapi tidak juga berguna. Karena tiada keikhlasan.

Ketiga, harta yang tidak dikeluarkan infaq dan sedekahnya. Sesungguhnya itu adalah harta yang tidak berkah. Mengundang kerusakan dan takkan memberikan manfaat bagi pemiliknya. Dan di dunia, pemiliknya takkan senang apalagi tentram dengan harta tersebut, justru akan menyusahkannya. Sedangkan di akhirat kelak, akan menjadi sumber petaka dan sengsara. Rasulullah saw menyatakan, “Tiada hari melainkan setiap pagi ada dua malaikat yang turun ke dunia. Salah satunya berdoa kepada Allah, “Ya Allah, berikanlah ganti (harta) bagi orang yang berinfaq”. Dan yang satu lagi berdoa, “Ya Allah berikanlah kehancuran (harta) bagi orang yang tidak berinfaq:. (HR Bukhari dan Muslim).

Keempat, hati yang kosong dari cinta kepada Allah, kering dari rasa rindu kepadaNya. Hati seperti ini adalah hati yang sakit. Tidak menyuruh kecuali kepada keburukan. Tidak mendorong kecuali kepada yang sia-sia. Syetan sangat mudah bersarang di sana. Bila hati sudah berpenyakit, maka jasad bisa menjadi sakit dan rusak. “Ketahuilah, di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Apabila ia baik, maka baiklah seluruh jasad. Apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati...” (dari HR Bukhari dan Muslim).

Kelima, pisik yang “nganggur” dari ketaatan dan ibadah. Sejak dari bangun tidur sampai tidur kembali, ia banyak kerja dan aktivitas. Namun porsi “amal shaleh” atau “ketaatan” sangat minimal. Lelah di dunia, tapi juga sengsara di akhirat. Betapa buruknya pisik yang seperti ini.

Banyak lagi kesia-siaan yang harus kita kurangi bahkan kita hapuskan dari agenda dan kebiasaan kita. Cinta dan kasih sayang yang tak diikat dengan redha Allah dan perintahNya, waktu yang banyak habis terbuang sia-sia tanpa dapat mencicil “ketinggalan” amalan yang luput dan terlupa, apalagi mengejar level-level orang mulia, pikiran yang menerawang melewati batas-batas ajal tapi hampa dan tak berguna, baik untuk kebaikan di dunia ataupun kemuliaan di akhirat, atau melayani orang-orang yang tidak membuat kita (dengan layanan itu) semakin dekat kepada Allah, dan tidak berkontribusi untuk kebaikan agama kita. Semua itu dan hal-hal semisalnya bisa masuk dalam kategori kesia-sian yang harus kita tinggalkan.

“Tak akan bergeser kaki anak Adam di hari kiamat di sisi Tuhannya, sebelum ditanya tentang 5 perkara: tentang umurnya kemana dihabiskan, tentang masa mudanya kemana digunakan, tentang hartanya dari mana diperoleh dan kemana dibelanjakan, dan tentang ilmunya apa saja yang sudah diamalkan...” (HR Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud, dihasankan Albany).

(Ramadhan 21)

PANGKAL SEGALA DOSA

Pangkal segala dosa dan maksiat itu ada tiga:

1) Ketergantungan kepada selain Allah. 2) Menuruti dorongan emosional. 3) mengikuti kehendak syahawat.

Ketergantungan kepada selain Allah adalah terpautnya hati kepada makhluk, baik berupa manusia, harta maupun jabatan dan kekuasaan. Bila manusia terpaut hatinya dengan salah satu dari 3 jenis makhluk tersebut, maka manusia bisa tersandera dengannya. Lama-kelamaan patuh dan menurut dengannya. Tanpa disadarinya kemudian dia bisa menyembahnya. Maka jatuhlah dia kepada dosa syirik yang bisa terancam takkan di ampuni oleh Allah. Berarti dosa syirik berpangkal dari keterpautan hati kepada selain Allah.

Karenanya, kita tidak boleh berlebihan menyukai dan bergantung kepada sesuatu. Sebab kita bisa diperbudaknya. Tidak jarang, kita terlalu suka dengan sebuah makanan untuk berbuka. Kalau itu tidak ada, maka kita akan kecewa dan berbuka hari itu terasa hampa. Atau kita suka dengan model pakaian atau sepatu tertentu untuk berlebaran, kalau belum punya model seperti itu, maka akan terus mencarinya. Kalau tak dapat, lebaran menjadi terasa kurang bermakna. Kita terlalu dekat dengan seorang teman. Setiap pertemuan atau berpergian mesti dengannya. Kalau tak ada dia, terasa tak ramai dan perasaan tak ceria. Hati-hati, jangan sampai membuat hati tersandera kecuali hanya kepada Allah.

Adapun dorongan emosional, ia merupakan pangkal dari dosa-dosa kezhaliman. Karena disebabkan oelh emosi, seseorang bisa saja dengan ringan menganiaya. Tidak khawatir membuat orang lain cidera. Puncak dosa ini adalah pembunuhan. Antara pangkal dan puncak dosa, bertebaranlah berbagai dosa-dosa kezhaliman, seperti iri dan dengki, mencuri, memukul, menyakiti, merampok dan lain sebagainya. Anak nabi Adam (Qabil) telah jatuh kepada dosa ini. Karena dia menuruti kehendak emosionalnya, karena cemburu (iri dan dengki) kepada adek kandungnya (Habil). Akhirnya dia membunuh sang adek. Jadilah dia pelopor dosa besar ini di dunia.

Karenanya, kita mesti hati-hati dan waspada terhadap dosa kita kepada orang lain. Sekecil apapun dosa itu. Biarlah harta kita terlebih kepada orang dari pada harta orang yang termakan oleh kita. Biarlah hak kita agak terkurang dari pada kewajiban kita yang tak maksimal. Biarlah jatah kita terambil atau terpakai oleh orang lain dari pada jatah mereka terpakai oleh kita. Sebab itu semua bisa masuk dalam bab kezhaliman.

Sedangkan dorongan syahawat, maka ini merupakan pangkal dari dosa fahsya’ (keji). Puncaknya adalah perbuatan zina. Barang siapa yang tidak mampu mengendalikan syahawatnya, maka ia sedang merintis karir ke arah dosa yang hina ini. “Siapa yang menjamin kepadaku (untuk menjaga) apa yang terletak antara dua jenggot (mulut) dan apa yang terletak diantara dua paha (kemaluan), niscaya aku jamin baginya sorga...” begitu janji Rasulullah dalam HR Bukhari.

Karenanya, selama ramadhan ini kita berlatih maksimal mengendalikan syahawat. Baik syahawat mulut, perut maupun syahawat kemaluan. Dengan harapan, di luar ramadhan kita semakin terkendali dan terjaga. Hati-hati kalau di saat berbuka, kita kembali melepaskan syahawat mulut dan perut tanpa batas. Hati-hati selama ramadhan kita tak menjaga diri dari

sesuatu yang menprovokasi syahawat kemaluan, seperti film, gambar, pergaulan dan sebagainya.

Ketiga pangkal-pangkal dosa ini saling mempengaruhi dan mengajak satu sama lain. Kesyirikan bisa membawa kepada kezhaliman dan perbuatan keji. Sebagaimana juga kezhaliman bisa menggiring kepada perbuatan syirik dan keji. Begitu juga perbuatan keji dan syahawat, bisa membawa kepada syirik dan kezhaliman. Solusinya adalah menguatkan tauhid dan keikhlasan kepada Allah (menghindari syirik). Lalu membiasakan bersikap adil dan objektif dalam setiap situasi (menghindari kezhaliman). Kemudian disiplin diri dalam menjaga makanan dan kehormatan (menghindari dosa syahawat)

Allah memuji hamba-hambaNya yang bergelar ‘Ibaadur Rahman yang terhindar dari 3 puncak dosa tersebut, “Mereka adalah orang-orang yang tidak menyeru tuhan lain bersama Allah, dan mereka tidak membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan kebenaran, dan mereka tidak berzina... (QS Al Furqan: 68).

(Ramadhan 20)

ALLAH TIDAK BUTUH IBADAH KITA

Saat kita beribadah kepada Allah dengan berbagai bentuk ibadah dan ketaatan, jangan pernah terbayang atau terfikir oleh kita bahwa Allah membutuhkan ibadah kita itu. Dan kalau kita tidak menyembahnya maka Dia akan menjadi rugi atau hina. Tidak sama sekali. Allah tidak perlu itu semua. Ibadah yang kita lakukan kepadaNya adalah kebutuhan kita, untuk kemashlahatan kita dan sekaligus tugas kita sebagai hambaNya.

Allah menegaskan, “Wahai hambaKu!, seandainya seluruh kalian dari awal sampai akhir, seluruh manusia dan jin, semuanya dalam kondisi orang yang paling beriman, niscaya itu takkan menambah sedikitpun kerajaanKu. Wahai hambaKu!, seandainya seluruh kalian dari awal sampai akhir, seluruh manusia dan jin, semuanya dalam kondisi orang yang paling pendosa, niscaya itu takkan mengurangi kerajaanKu sedikitpun...” (dalam hadits Qudsi riwayat Muslim)

Maka ibadah dan ketaatan kita sama sekali tidak berpengaruh kepada Allah. Sebagaimana juga dosa dan maksiat kita juga tidak akan menurunkan kemulian Allah. “Sesungguhnya hanyalah amalan kalian yang Aku hitung untuk kalian. Barang siapa yang mendapatkan (balasan) kebaikan, maka hendaklah dia memuji Allah. Dan barang siapa yang mendapatkan (balasan) sebaliknya, maka janganlah dia mencela kecuali dirinya sendiri...” (dalam Hadits Qudsi yang sama)

Rasulullah saw juga pernah mengabarkan, “Aku menyaksikan apa yang tidak kalian saksikan, mendengar apa yang tidak kalian dengar. Langit semuanya telah merintih, dan wajar dia merintih. Karena tidak ada satu jengkalpun di langit kecuali ada malaikat yang bersujud kepada Allah...” (HR Tirmidzi dishahihkan Albany).

Tak terhitung jumlah malaikat yang tiada henti menyembah Allah. Coba kita bayangkan betapa luasnya langit, melebihi bumi. Lalu setiap jengkalnya ada malaikat yang bersujud meletakkan keningnya menyembah Allah, tiada putus sampai hari kiamat, tiada lelah, tiada futur, penuh tulus dan ikhlas. Ada malaikat yang diciptakan Allah bertasbih saja sejak diciptakan sampai hari kiamat. Ada yang bertahmid saja, bertahlil saja, rukuk saja dan sujud saja, dan seterusnya. Kira-kira apalah artinya ibadah kita yang hanya secuil, kadang terputus, kadang tidak tulus, bercampur ria, bercampur lalai dan lupa, dan berbagai kelemahan lainnya...? tidak ada bandingannya dengan ibadah para malaikat.

Ibadah yang kita lakukan semuanya untuk kebaikan hidup kita di dunia dan di akhirat. Dengan kataatan dan kepatuhan kita kepada Allah, kita menjadi berhak mendapat berbagai karunia dan keberkahan dariNya: “Kalau seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, sungguh Kami bukakan bagi mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustai (Kami). Maka Kami hukum mereka gara-gara apa yang mereka perbuat...” (QS Al A’raf: 96)

Dengan demikian, ibadah menjadi kebutuhan utama bagi kita, bukan sekedar kewajiban. Bila kita butuh, maka kita akan mencarinya, mengejarnya dan berjuang sekuat tenaga untuk meraihnya. Sebaliknya, bila ibadah kita anggap sebagai kewajiban, maka kita akan terpaksa mengerjakannya, tak sabar untuk segera berakhir darinya dan cepat puas bila sudah menyelesaikannya. Ibarat orang yang punya hutang, ingin segera lunas lalu pergi.

Merugilah orang-orang munafiq yang merasa telah menipu Allah. Dengan berpuara-pura menyembahNya, atau mengerjakan dengan malas, atau mengharapkan pujian orang lain (ria).

Lalu dengan cara demikian dia menyangka sudah menyelesaikan kewajiban dan telah membohongi Allah. Padahal mereka sebenarnya sedang membohongi diri mereka sendiri. “Sesungguhnya orang-orang munafiq menipu Allah, padahal Allah lah yang menipu mereka. Apabila mereka menunaikan shalat, mereka tunaikan dengan malas, ria kepada manusia. Dan mereka tidak berdzikir kepada Allah kecuali sangat sedikit..” (QS An Nisa: 142)

Biarlah kita lapar berpuasa menahan diri dari yang halal di dunia, semoga kelak kita kenyang sekenyang-kenyangnya di akhirat. Biarlah badan kita letih berdiri qiyam menyembah Allah di malam-malam gulita, semoga kelak kita nyaman dan santai berdiri di padang mahsyar dan di depan mahkamah Allah. Biarlah mulut kita kering berdzikir dan tilawah mengagungkan kalamNya, asal di akhirat kelak tiada haus dan dahaga menikmati telaga sorga yang tiada tara.

“Sesungguhnya bagimu (wahai Adam di sorga), tidak pernah lapar dan tidak akan telanjang. Dan engkau tak akan pernah haus di sana dan tak pernah merasa panas (gerah)... “ (QS Thaha: 118 – 119)

(Ramadhan 19)

MEMBURU LAILATUL QADR

Lailatul qadr terdiri dari dua kata “lailah” dan “qadr”. Lailah berati malam. Sedangkan qadr mengandung beberapa arti, diantaranya : berarti kadar atau taqdir (ketentuan Allah). Sebab, malam qadr itu adalah malam yang Allah SWT menetapkan segala ketentuanNya untuk tahun tersebut. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh firman Allah yang artinya :“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”. (QS Ad Dukhan : 4). Yang dimaksud urusan di sini adalah segala perkara yang berhubungan dengan kehidupan makhluk seperti : hidup, mati, rezeki, nasib baik dan nasib buruk dan lain sebagainya.

Qadr juga berarti mulia dan agung. Karena Allah telah memuliakan malam ini dengan menurunkan Al Quran pada malam tersebut dan mengangkat nilainya menjadi lebih mulia dari seribu bulan. Disamping itu, para Malaikat (termasuk Malaikat Jibril) turun ke dunia di sepanjang malam tersebut. Allah berfirman yang artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah itu malam kemulian itu ?. Malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Para Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mngatur segala urusan’’.( QS Al Qadr : 1-4 )

Dengan demikian Lailatul Qadr adalah malam yang sangat mulia dan agung, memiliki nilai yang sangat fantastis yang tidak dimiliki oleh malam-malam dan hari-hari yang lain. Segala bentuk ibadah yang dilakukan pada malam tersebut bernilai lebih dibandingkan dengan ibadah yang sama selama 1000 bulan (sekitar 84 tahun). Atau dengan kata lain lebih baih baik dari seluruh umur seorang manusia. Sebab mayoritas manusia saat ini umurnya sekitar 65 – 70 tahun. Dan usia itu dapat dipastikan tidak semuanya produktif dari segi ibadah, karena disana terdapat usia kanak-kanak yang merupakan usia pra taklif, dan juga terdapat usia renta (10 –15 tahun terakhir) yang sering terganggu dengan beberapa udzur dan halangan yang menyebabkan produktifitas ibadah pun berkurang. Dengan demikian, kalau 75 tahun umur manusia tersebut, diperkirkan hanya 60 % yang efektif untuk beribadah. Jumlah ini tentunya jauh dibawah nilai Lailatul Qadr yang lebih baik dari 84 tahun usia manusia.

Dengan nilai seperti ini, wajarlah kiranya Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang mendirikan Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan perhitungan maka diampuni segala dosanya yang berlalu” (HR Bukhari dan Muslim). Setiap mukmin yang berakal pastilah takkan membiarkan malam yang paling berharga ini.

Banyak sekali hadits hadits yang memerintahkan setiap muslim untuk berusaha mencari Lailatul Qadr tersebut. Ada beberapa lafadz yang digunakan Rasulullah dalam memerintahkan hal ini. Diantaranya dengan kata-kata taharrau (carilah dengan detail), atau dengan kata uthlubuu (carilah, tuntutlah), atau dengan kata iltamisuu (carilah dengan penuh rasa), atau dengan kata tahayyanuu (carilah waktu-waktunya). Semuanya dalam bentuk perintah (fiil amr). Ini menunjukkan betapa pencarian Lailatul Qadr tersebut sangat urgen, sehingga Rasulullah perlu mengulang-ulangnya dan dengan kalimat yang berbeda-beda.

Lebih jauh lagi, secara aplikatif Rasululllah telah mengajarkan bagaimana proses pencarian tersebut. Rasululllah mengajak para shahabat untuk iktikaf dan berkemah di mesjid. Pada mulanya Rasululllah mencarinya di sepuluh malam pertama. Kemudian beliau pindah pada tahun berikutnya kesepuluh pertengahan. Dan terakhir beliau mencarinya di sepuluh malam terakhir. Bahkan di Ramadhan yang terakhir dalam hidupnya, beliau melakukan iktikaf di 20 malam terakhir.

Selama proses pencarian tersebut yang dilakukan adalah qiyam, tilawah, dzikir, istighfar dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Artinya pencarian Lailatul Qadr bukanlah seperti menunggu datangnya sebuah bis, sambil ngobrol-ngobrol, bercanda, cerita kesana-kemari dan sebagainya, apalagi menunggunya sambil nonton televisi atau main game. Tetapi adalah dengan mengoptimalkan segala kemampuan untuk melakukan berbagai bentuk ibadah dalam kualitas dan kuantitas yang lebih di setiap malam-malam Ramadhan, dengan harapan salah satu dari malam-malam yang telah diisi dengan berbagai ibadah tersebut bertepatan dengan Lailatul Qadr

Para ulama memastikan bahwa Lailatul Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadhan di setiap tahun hijriyah. Hal itu berdasarkan ayat-ayat yang disebutkan di atas (QS 44 : 3-4 dan QS 97: 1-5). Yang menjadi permasalahan adalah pada hari keberapa dalam bulan Ramadhan datangnya Lailatul Qadr tersebut?. Bila kita mampu menghidupkan keseluruh malam-malam ramadhan, maka dapat dipastikan, insya Allah kita mendapatkan malam qadr.

Namun, kalau kita agak sibuk atau mungkin memang agak “malas” sedikit, maka dari 29 atau 30 hari bulan Ramadhan, yang paling besar kemungkinan terjadinya Lailatul Qadr adalah pada sepuluh malam terakhir. Sesuai dengan Hadits Rasulullah SAW yang artinya, “Carilah Lailatul Qadr pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Bila kita masih sibuk dan agak malas juga dan ingin lebih mudah, maka dari sepuluh hari terakhir tersebut yang paling berpeluang terjadinya lailatul qadr adalah adalah malam-malam yang ganjil. Rasulullah pernah mengatakan, “Carilah Lailatul Qadr pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan” (HR Bukhari).

Kalau kita ingin meminta keringanan tambahan, dari malam ganjil di 10 yang terlebih besar peluangnya?. Maka carilah pada tujuh malam-malam terakhir. Sebagaimana Ibnu Umar yang meriwayatkan bahwa beberapa orang shahabat Rasulullah bermimpi bahwa Lailatul Qadr terjadi pada tujuh malam terakhir. Sehingga Rasulullah berkata, “Saya lihat mimpi-mimpi kalian telah sepakat dengan tujuh malam terkhir, maka barang siapa yang ingin mencarinya (Lailatul Qadr) hendaklah mencarinya di tujuh malam terakhir” (HR Bukhari dan Muslim )

Namun jika kita masih lemah dan malas, serta tak berdaya, manakah dari tujuh malam terakhir yang ganjil tersebut yang paling berpeluang terjadinya Lailatul Qadr? Kemungkinannya adalah malam yang ke 27. Hal ini berdasarkan hadits Ubay bin Kaab yang bercerita yang artinya, “Demi Allah , sesungguhnya saya sangat tahu kapan malam tersebut (Lailatul Qadr), yaitu malam yang kita diperintah oleh Rasulullah untuk melakukan qiyam, yaitu malam yang ke dua puluh tujuh”. (HR Muslim )

Namun demikian, Lailatul Qadr tidaklah selalu di malam yang ke 27. Ia akan berpindah-pindah dari satu malam ke malam yang lainnya pada tahun-tahun berikutnya. Tahun ini bisa terjadi pada pada malam ke 25, dan tahun berikutnya bisa terjadi pada malam yang ke 23 atau 29, dan begitu seterusnya sesuai dengan kehendak dan hikmah Allah SWT. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah yang artinya, “Carilah dia (Lailatul Qadr) pada 9 (malam) yang tersisa, 7 (malam) yang tersisa, 5 (malam) yang tersisa” (HR Bukhari )

Dalam hadits lain ketika Rasulullah bersujud di atas tanah yang basah, Lailatul Qadr tersebut bertepatan dengan malam yang ke 21 (HR Muslim riwayat Abu Said Al Khudri). Dengan demikian Lailatul Qadr itu tidaklah tetap pada satu malam yang sama. Dan yang pasti Allah itu Maha Adil dan Bijaksana. Tidaklah akan disia-siakanNya orang yang bersungguh-sungguh dan tidaklah akan dimuliakanNya orang yang malas dan hanya mau senang saja...

(Ramadhan 18)

MENGHADAPI BABAK FINAL

Bila ramadhan sudah selesai 18 hari, maka kita segera memasuki malam ke 19. Itu artinya kita sudah berada di gerbang 10 hari terakhir. Apalagi bila diperkirakan ramadhan tahun ini hanya akan berumur 29 hari. Maka malam ke 20 adalah salah satu dari 10 malam terakhir.

Tahukah kita apa itu malam 10 terakhir? Ini adalah malam-malam paling istimewa dari seluruh hari-hari ramadhan. Inilah “babak finalnya” seluruh rangkaian ibadah selama ramadhan. Yang ketinggalan dari pergulatan malam-malam babak final ini, tentulah orang-orang yang merugi (kecuali yang memiliki udzur syar’i).

Adalah Baginda Rasulullah saw sangat mengistimewakan malam-malam 10 terakhir dari bulan ramadhan. Ibunda ‘Aisyah berkata, “Rasulullah saw bersungguh-sungguh (dalam beribadah) pada 10 terakhir ramadhan, yang Beliau tidak bersungguh-sungguh seperti itu di bulan yang lain”. (dalam HR Muslim). ‘Aisyah juga bercerita bahwa, “Baginda Rasulullah saw bila telah masuk 10 terakhir ramadhan, Beliau mengencangkan ikat pinggang, menghidupkan malam-malamnya dan membangunkan keluarganya”. (HR Ibnu Khuzaimah, sesuai syarat shahih Bukhari dan Muslim)

Bila Rasulullah saw memberikan perlakuan istimewa terhadap 10 terakhir ramadhan, meningkatkan intensitas/kualitas/kuantitas ibadahnya, bahkan sampai membangunkan keluarganya, pastilah itu menunjukkan secara jelas dan tegas bahwa 10 terakhir ramadhan sangat istimewa dan utama di sisi Allah.

Rasulullah saw merutinkan i’tikaf di 10 terakhir ramadhan, semenjak adanya syariat puasa ramadhan. Dan khusus di ramadhan terakhir hayatnya, Rasulullah melaksanakan i’tikaf selama 20 hari terakhir. Beliau kencangkan ikat pinggangnya dalam artian menggenjot diri untuk beribadah dan mengurangi pergaulan dengan dunia dan keluarga. Beliau hidupkan malam-malamnya dalam artian lebih banyak bangun di malam hari dari pada tidur. Beliau bangunkan seluruh keluarganya artinya Beliau upayakan keterlibatan maksimal anggota keluarganya dalam kebaikan dan kemuliaan.

Sahabat Rasulullah juga memberikan perlakuan khusus untuk malam-malam 10 terakhir ramadhan. Ubay bin Ka’ab yang biasa rutin mengimami shalat qiyam di Madinah di 20 malam pertama, bila 10 malam terakhir beliau i’tikaf dan mengkhususkan sendiri beribadah, tidak ingin banyak diganggu orang lain. Begitu juga Abu Bakrah, dia shalat qiyam ramadhan di 20 malam pertama sebagaimana qiyamnya di sepanjang tahun. Tapi bila masuk 10 malam terakhir, maka ia melipatgandakan qiyamnya dan bersungguh-sungguh. (terdapat dalam riwayat Tirmidzi dishahihkan oleh Albany)

Ketika Rasulullah beri’tikaf di 10 terakhir ramadhan, ‘Aisyah datang menghadap Rasulullah meminta izin untuk ikut juga i’tikaf. Rasulullah pun mengizinkan. Setelah itu Hafshah datang ke ‘Aisyah agar memintakan izin untuknya kepada Rasulullah. Beliau juga memberikan izin. Kemudian, Zainab binti Jahsy juga melakukan hal yang sama. Begitulah, semua istri Rasulullah saw juga ikut i’tikaf. (terdapat dalam HR bukhari)

10 malam terakhir ramadhan adalah babak final dari seluruh hari-hari ramadhan. Di malam-malam inilah Rasulullah saw memerintahkan para sahabat dan pengikutnya untuk memburu dan mendapatkan “lailatul qadr”. Malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Barang siapa yang beribadah pada malam qadr tersebut, maka nilai ibadahnya lebih mulia dari ibadah yang sama selama 1000 bulan. Namun sebaliknya, barang siapa yang tidak mendapatkan lailatu

qadr, maka dia telah diharamkan dari segala kebaikan. (terdapat dalam HR An Nasai, dishahihkan oleh Albany).

Kita mesti segera menyiapkan diri secara maksimal untuk memasuki dan mengisi 10 malam terakhir ini. Persiapan hati dan niat, pisik dan kesehatan, agenda dan kegiatan. Boleh saja kita agak kurang maksimal di malam-malam awal ramadhan. Tapi di 10 terakhir ini tidak ada pilihan, harus maksimal. Jangan sampai rela bila pencuri-pencuri licik dan lihai mengambil waktu-waktu mahal ini. Kalau kita berniat cuti kerja, inilah saat yang tepat untuk cuti.

Bila babak final ini sudah berlangsung, tapi kita masih sibuk dengan dunia, terikat dengan pekerjaan yang tidak berharga, tersandera oleh kegiatan-kegiatan tak bermakna, terpaku oleh lemahnya jiwa, maka siapkanlah diri untuk kerugian yang sangat nyata...

(Ramadhan 17)

'AMMAARUL MASAAJID

Salah satu indikator iman seorang mukmin yang nampak dengan jelas dan kasat mata adalah intensitas kehadirannya di masjid menyembah Allah dan memakmurkannya.

Allah berfirman yang artinya, "Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta senantiasa menunaikan shalat, membayarkan zakat dan tidak takut kepada apapun kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS At Taubah: 18)

Ibnu Jarir ath Thabari menyebutkan bahwa yang dimaksudkan orang yang memakmurkan masjid disini adalah orang yang mengakui keesaan Allah, ikhlas beribadah kepadaNya. Artinya, mereka bukan sekedar orang yang meramaikan masjid. Melainkan orang yang meramaikan masjid dengan hak-hak masjid berupa iman kepada Allah, hari akhir, menegakkan shalat dan membayarkan zakat serta hanya takut kepada Allah. Mereka itulah yang dikatakan 'ammarul masaajid.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya Allah menyeru pada hari kiamat: "Mana tetanggaku, mana tetanggaku?". Para Malaikat bertanya, "Ya Tuhan kami, siapakah gerangan yang pantas menjadi tetanggaMu?" Maka Allah menjawab, "Dimanakah 'ammarul Masaajid (maksudnya merekalah orangnya)?". (HR Ahmad dishahihkan oleh Albany)

Abu Sa'id meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Bila kalian melihat seorang yang selalu bolak-balik ke masjid, maka saksikanlah bahwa dia beriman..." (HR Tirmidzi dishahihkan oleh Albany)

Para pemakmur masjid adalah orang-orang yang hatinya terpaut dengan masjid, agendanya rutin ke masjid, amal shalehnya banyak di masjid dan tersambung dengan masjid. Mereka adalah orang-orang yang mendapat keistimewaan dari Allah.

Allah SWT akan memberikan naungan kepada 7 golongan pada hari kiamat, di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan Allah. Salah satu dari 7 golongan tersebut adalah orang yang hatinya terpaut dengan masjid... (terdapat dalam HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Suatu hari Rasulullah tidak lagi melihat seorang wanita yang biasa menyapu masjid. Beliau bertanya kepada para sahabat perihal wanita itu. Ternyata para sahabat mengabarkan bahwa wanita tersebut sudah meninggal. Rasulullah agak sedikit marah tidak diberitahu tentang kematiannya. Beliau menanya mereka dimana kuburan wanita tersebut. Lalu Rasulullah saw menziarahi kuburannya dan menshalatkannya. (terdapat dalam HR Bukhari dari Abu Hurairah).

Pekerjaan menyapu masjid yang sering disepelekan banyak orang, ternyata Rasulullah sangat memuliakannya. Sampai-sampai sudah dikuburpun masih didatangi dan dishalatkan oleh Rasulullah. Tidak sekedar hanya di doakan atau shalat ghaib dari jauh.

Sesungguhnya, bila ingin meraih kemuliaan di sisi Allah, baik di dunia maupun di akhirat maka masjidlah tempatnya. Seorang mukmin mesti mengakrabkan dirinya dengan masjid dan segala aktifitasnya. Mulai dengan hal yang sederhana, tidak sungkan adzan, ringan tangan membersihkan karpet atau merapikannya, sampai kepada menjadi imam dan pengurusnya. Bahkan bisa ketingkat mengatur masjid dengan manajemen modern. Dengan menjadikan masjid sebagai pusat layanan ibadah dan sosial bagi masyarakat. Dimana masjid bukan saja

menyediakan tempat ibadah yang nyaman, tapi juga memberikan layanan kesehatan, bimbingan belajar/pendidikan, perbaikan ekonomi masyarakat berupa baitul mal dan sejenisnya.

Ramadhan telah menggiring banyak orang hadir ke masjid. Ada banyak wajah baru mengisi shaf-shaf shalat. Bagi orang beriman, ini merupakan peluang untuk memperluas ruang-ruang pemakmuran masjid. Perlu dibuat banyak pengikat bagi para jamaah masjid agar hati mereka semakin terpaut dengan masjid.

Diawali dengan peningkatan kecerdasan jamaah dalam beragama, tidak sekedar ikut-ikutan atau budaya. Melainkan berdasarkan aturan syariat yang bersumber kepada Al Quran dan sunnah. Sehingga berbagai ritual ibadah yang dilaksanakan betul-betul memiliki landasan yang kuat. Ini satu ikatan...

Ikatan berikutnya adalah merekat ukhuwwah antara sesama jamaah yang rutin di masjid tersebut. Ukhuwwah yang mengarah ke arah saling mengenal dengan baik, kemudian saling memahami dan selanjutnya bisa saling membantu. Jadilah jamaah satu masjid ini layaknya sebuah keluarga besar. Dan ini sangat tergantung dengan manajer atau pengurus masjid.

Ikatan lainnya adalah peningkatan wawasan dan cara pandang jamaah tentang masjid dan fungsinya. Tidak semata-mata untuk shalat saja. Tapi juga sebagai pusat kegiatan masyarakat. Agar kemudian jamaah tidak merasa aneh apalagi alergi bila masjid memerankan fungsi sosial ditengah masyarakat. Istilah pembangunan masjid tidak pernah selesai yang menjadi pemahaman sebagian pengurus masjid, harus segera dihapus. Pembangunan masjid harus segera selesai dan tuntas. Setelah itu segera fokus untuk membangun dan memakmurkan penduduk masjid.

Penduduk masjid yang terkendala dalam kesehatan, sedikit banyaknya mendapatkan suppor dari "masjidnya". Yang terkendala dalam masalah pendidikan, juga mendapat sedikit solusi dari masjid. Yang mengalami masalah ekonomi juga mendapat pilihan jalan keluar dari masjid.

Semakin banyak ikatan-ikatan hati dengan masjid, niscaya masjid akan semakin makmur. Dan jamaahnya juga bisa menjadi "makmur" dalam hal ibadah, sosial dan ekonomi.

(Ramadhan 16)

TAMBAH IMAN TAMBAH SANTUN

Surat at Taubah adalah satu-satunya surat dalam Al Quran yang tidak dimulai dengan bismillah. Para ulama menyebutkan karena surat ini dimulai dengan adzab dari Allah dan berisi banyak kemarahan serta murkaNya kepada orang kafir dan kaum munafiqun atas segala sikap mereka terhadap ajaran Allah. Termasuk tentunya beberapa kesalahan para sahabat yang ditegur oleh Allah ada di dalam surat ini. Karena alasan itu semua, surat ini tidak dibuka dengan bismillah (yang penuh kasih dan sayang), karena itu tidak cocok dengan kandungan surat.

Namun demikian surat ini ditutup dengan sebuah pujian sekaligus sanjungan Allah kepada Rasulullah saw. Dimana Allah memujinya sebagai seorang Nabi yang santun lagi penyayang...

"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, dia sangat menginginkan kebaikan bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang beriman.." (QS At Taubah: 128)

Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah sangat santun dan penyayang kepada para sahabat. Tak mau Beliau membiarkan mereka susah atau menderita. Kepada mereka Beliau lebih sering mengedepankan toleransi dan kemaafan. Adapun terhadap kekafiran dan dosa, pastilah Beliau sangat tegas. Termasuk kepada diri sendiri, Beliau mengedepankan kehati-hatian dari pada toleransi.

Suatu hari seorang sahabat jatuh kepada kesalahan di bulan ramadhan. Ia telah bergaul disiang ramadhan, dan mengadu kepada Rasulullah, menyatakan dirinya telah binasa. Lalu Rasulullah menanyakan kesiapannya berpuasa 2 bulan berturut-turut. Ia tidak sanggup. Diminta untuk memerdekakan budak, ia juga tidak mampu. Disuruh memberi makan 60 orang miskin, juga tidak sanggup. Lalu Rasulullah memberinya segantang korma dan berkata, "Bersedekahlah dengannya kepada orang miskin!". Ia menjawab: "kepada yang lebih miskin? Tidak ada yang lebih miskin dari kami di madinah ini..". Rasulullah tersenyum sampai nampak gigi taringnya, dan bersabda, "Pulanglah, dan beri makanlah keluargamu". (HR Jamaah).

Betapa santun dan penyayangnya Rasulullah kepada orang tersebut. Sudah jelas ia melakukan kesalahan besar, dibulan ramadhan lagi, malah dia pula yang menikmati dendanya. Itu karena Rasulullah tidak sakleg kepada sahabatnya, tinggi tafahumnya (mengerti), luas tasamuhnya (toleransi).

Suatu hari seorang lelaki arab dari kampung datang ke masjid Nabawi. Rasulullah dan para sahabat ada di sana. Lelaki itu tiba-tiba buang air kecil di pojok masjid. Semua orang menghardiknya. Tapi Rasulullah melarang mereka dan membiarkan lelaki tersebut menyelesaikan hajatnya. Setelah selesai, Rasulullah menyuruh para sahabat menyiramkan seember air ke bagian masjid yang terkena BAK tadi. Setelah itu barulah Rasulullah menjelaskan tentang masjid dan adab-adabnya kepada lelaki tersebut. Begitulah penyayangnya Beliau kepada para sahabatnya. (Kisah terdapat dalam HR Bukhari)

Sikap santun ini Beliau aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari kepada dan bersama sahabat, sekaligus Beliau ajarkan dan puji pelakunya. Kepada seorang sahabat yang bernama Al Asyaj Beliau berkata, "Dalam dirimu ada dua sifat yang disukai Allah, yaitu sifat santun dan kehati-hatian..." (HR Muslim).

Beliau mengajarkan, "Sesungguhnya lemah lembut dalam segala hal akan menghiasinya. Dan bila hilang dari hal tersebut akan membuatnya cacat (aib) (HR Muslim)

"Seorang mukmin juga bukan orang yang suka mencela, bukan orang yang suka melaknat, tidak juga berkata/berbuat porno, dan bukan orang yang tidak tahu malu..." (dalam HR Tirmidzi dishahihkan oleh Albany).

Begitulah tuntunan Rasulullah saw. Keimanan akan berbuah kesantunan dan sifat penyayang. Karena iman membuat ketenangan jiwa dan terkendalinya emosional serta lapang dada. Bila iman bertambah, bertambah pula ketenangan dan kelapangannya. Sebaliknya, bila berkurang iman, semakin risau jiwa, sempit dada dan tak terkendalinya emosional.

Semakin ke ujung ramadhan ini kita lewati, tentunya akan semakin meningkat pula iman kita. Sehingga kitapun kemudian semakin penyantun dan penyayang. Semakin mudah dan sabar menyikapi tingkah orang lain. Susah melihat orang lain menderita dan senang melihat mereka berbahagia...

Bila ada yang justru semakin kasar, sulit toleran, tidak berlapang dada, tentu dikhawatirkan puasanya belum berpengaruh signifikan pada penambahan iman... kepada Allah kita berlindung dari kondisi itu.

(Ramadhan 15)

DOA PENGAKUAN

Allah SWT memerintahkan kita hambaNya untuk selalu berdoa kepadaNya. Dan Allah memberikan garansi langsung bahwa doa itu akan diijabahiNya. Bagi siapa yang malas, enggan atau tidak mau berdoa, maka dia telah dianggap Allah sebagai orang yang sombong kepadaNya. Dan Allah mengancamnya dengan siksa neraka jahannam.

"Dan Tuhan kalian telah berkata: "Berdoalah kepadaKu niscaya Aku akan mengabulkannya untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang yang sombong dari beribadah (berdoa) kepadaKu niscaya mereka akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina..." (terjemahan QS Ghafir: 60)

Begitulah, betapa Maha Pemurah dan Penyayangnya Allah kepada hambaNya. Bila tidak diminta, justru Dia marah. Sedangkan manusia, kalau diminta justru malah marah.

Kita mungkin sering berdoa. Dan malah kadang doa kita itu panjang dan banyak. Karena memang kebutuhan kita banyak, keinginan kita beragam dan angan-angan kita terlalu jauh.

Namun kadang kita juga lupa bahwa hakekat berdoa yang Allah perintahkan kepada kita adalah wujud penghambaan kita kepadaNya. Itu sebabnya di ayat di atas disebutkan langsung bahwa orang-orang yang sombong dari beribadah kepadaKu.... harusnya kalimat yang cocok setelah perintah berdoa adalah: ".... sesungguhnya orang-orang yang sombong dari berdoa kepadaKu..."

Karenanya, saat kita berdoa kepada Allah, jangan sampai berubah pula status kita sebagai hamba menjadi tuan. Meminta ini dan itu, meminta segala-galanya.... dan lain-lain. Hampir-hampir saja kitalah yang tuan yang sedang "menyuruh" hambanya untuk melakukan banyak hal.

Kalau kita baca Al Quran dari awal sampai akhir, maka kita akan temukan banyak doa di dalamnya. Doa yang Allah ajarkan kepada kita melalui hamba-hambaNya. Bukan sembarang hamba, melainkan hamba-hamba pilihan dari pada Nabi dan Rasul. Bukan sembarang doa, tetapi doa diwaktu dan momen yang sangat genting lagi penting. Ulama mengajarkan bahwa doa yang paling utama adalah yang ada di dalam Al Quran. Kemudian yang terdapat di dalam hadits. Apalagi kalau doa tersebut di dalam Al Quran, diucapkan oleh Nabi atau Rasul, dalam situasi yang sangat genting, pastilah itu sebaik-baik doa.

Coba perhatikan doa Nabi Adam dan Hawa saat mendapat hukuman keluar dari sorga dan dilempar ke dunia. "Keduanya berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah berbuat aniaya kepada diri kami sendiri. Jika tidak Engkau ampuni kami, dan tidak Engkau sayangi kami, niscaya kami sungguh termasuk orang-orang yang merugi". (Terjemah QS Al A'raf: 23).

Situasi sangat genting, yaitu pindah dari sorga ke dunia. Dari puncak segala nikmat yang tiada terkira, menuju dunia yang penuh kesusahan dan penderitaan, berat dan penuh beban.... Pastilah dalam situasi ini doa/permintaan kepada Allah adalah meminta sesuatu yang paling urgen, paling mendesak dan sangat dibutuhkan.

Ternyata Nabi Adam tidak minta jangan keluarkan dari sorga. Atau cukupkanlah semua kebutuhan kami di dunia nanti. Tidak, bukan itu yang dimintanya. Justru doa Nabi Adam berisi pengakuan kehambaannya, pengakuan kelemahannya, pengakuan ketidakmampuannya, dan pengakuan akan keMaha-an Allah SWT. Dengan doa itu Allah terima taubat Adam dan Hawa, dan Allah jaga mereka berdua hidup di dunia.

Lihatlah juga Nabi Yunus yang mengalami situasi yang sangat mengerikan. Dimakan ikan besar. Berada di dalam perutnya entah sampai kapan dan dibawa entah kemana di dalam lautan. Dalam logika manusia hanya ada satu kata: mati...

Dalam situasi sulit dan genting itu, inilah doanya Nabi Yunus kepada Allah : "Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau... sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim..." (terjemahan QS Al Anbiya: 87)

Nabi Yunus tidak meminta diselamatkan dan dikeluarkan dari perut ikan tersebut. Tapi ia menyampaikan pengakuan kepada Allah. Pengakuan akan kekuasaan Allah, dan pengakuan akan kehambaan dan kelemahan dirinya. Maka terhindarlah dia dari terkubur di perut ikan sampai hari kiamat, selamat kembali ke daratan setelah dimuntahkan oleh ikan tersebut.

Nabi Musa menghadapi situasi sulit. Musuh yang dihadapi sangat berat. Sementara kaumnya dari bani israil banyak yang membangkang dan tidak patuh kepadanya. Ketika diajak dan disuruh berperang melawan pasukan musuh, eh malah kaumnya menjawab, "Pergilah kamu berdua dengan Tuhanmu, berperanglah berdua (melawan musuh) kami di sini menunggu sambil duduk-duduk. .."

Beraat rasanya berjuang seperti ini. Punya kaum dan pengikut tapi membangkang dan menolak untuk ikut berjuang. Sementara musuh yang dihadapi sangat kuat. Maka Nabi Musa pun berdoa kepada Allah, "Ya Tuhanku, aku tidak punya (apa-apa) selain saudaraku (Nabi Harun), maka tetapkanlah keputusanMu antara kami dengan kaum yang fasiq.." (terjemahan QS Al Maidah: 25).

Maka Allah selamatkan nabi Musa dan Harun dengan menghukum bani israil yang pembangkang. Mereka tersesat di muka bumi selama 40 tahun.

Lagi-lagi dalam situasi ini, doa Nabi Musa dominan dalam bentuk pengakuan kepada Allah dan penyerahan diri sepenuhnya kepada kekuasaanNya.

Rasulullah saw pernah mengajarkan dalam haditsnya bahwa doa terbaik adalah doa di hari arafah. Sedangkan doa terbaik yang pernah Beliau ucapkan dan para Nabi sebelumnya juga mengucapkannya di hari arafah itu adalah, "Tidak ada tuhan selain Allah, satu-satunya tiada sekutu bagiNya, bagiNya seluruh kerajaan dan seluruh pujian, dan Dia Maha Berkuasa atas segala sesuatu..." (dalam HR Tirmidzi, dishahih Albany)

Ternyata doa terbaik dari manusia-manusia terbaik, di hari yang terbaik pula adalah berupa pengakuan. Tidak mesti berisi permintaan. Karena pengakuan itulah yang sebenarnya tugas dan hakekat hamba sekaligus penyembahan kepada Allah. Adapun urusan memberi rezeki dan nikmat itu adalah urusan Allah bukan urusan hamba.

Sebuah pengakuan seorang hamba secara mendalam diajarkan juga oleh Rasulullah saw kepada kita, melalui doa-doanya saat sudah terusir dalam hijrah ke Thaif. Keluarga yang membela di kota Makkah juga sudah tiada. Khadijah sudah wafat dan Abu Thalib juga sudah meninggal. Kaki Beliau berdarah-darah akibat lemparan batu anak-anak dan budak Thaif. Di sebuah kebun Rasulullah melantunkan doanya kepada Allah:

"Ya Allah, aku kadukan kepadaMu lemahnya kekuatanku, sedikitnya upayaku, dan hinanya aku dihadapan manusia. Wahai yang Maha Pengasih Penyayang, Engkau Tuhan sekalian orang yang lemah, dan Engkau adalah Tuhanku. Kepada siapakah Engkau serahkan aku? Kepada orang jauh yang akan menghancurkanku? Atau kepada musuh yang akan menguasai urusanku? Jika tidak ada marahMu kepadaku maka aku tidak peduli, akan tetapi kemaafanMu lah yang lebih menaungiku. Aku berlindung dengan cahaya wajahMu yang menerangi segala kegelapan, dan

memperbaiki segala urusan dunia, dari turunnya murkaMu (kepadaku), atau marahMu yang akan menimpaku. KepadaMu lah segala sandaran sampai Engkau redha, tiada daya dan tiada upaya kecuali bersamaMu....".

Doa terbaik di malam qadar yang diajarkan Baginda Rasulullah saw juga berupa pengakuan, "Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf lagi Pemurah, Engkau menyukai ampunan, maka ampunilah aku..." (HR Tirmidzi dan Nasai, dishahihkan Albany).

Di ramadhan yang mulia ini, dimana doa-doa para shoimin (orang-orang yang berpuasa) dikabulkan oleh Allah, maka sewajarnyalah kita kedepankan pengakuan kita kepada Allah sebelum berbagai hajat (kebutuhan) kita, kita mohonkan kepadaNya...

(Ramadhan 14)

MAKAR ALLAH vs MAKAR MEREKA

Salah satu Raja besar pertama di muka bumi ini yang membangkang kepada Allah adalah Raja Namrud. Ia berkuasa dimuka bumi selama 400 tahun, dengan penuh keangkuhan dan kediktatoran. Tak ada yang mampu menghadapi kekuasaannya. Nabi Ibrahim pun berhijrah darinya. Tapi Allah lebih besar dari kerajaannya. Allah kirimkan seekor serangga masuk ke dalam hidung dan salurannya. Akibatnya 400 tahun dia memukul-mukul kepalanya dengan martil. Sampai- sampai ada yang kasihan dengannya, diikatkannya kedua tangan namrud. Tapi dengan kedua tangan terikat itupun dia tetap memukul kepalanya. 400 dia berbuat kediktatoran, 400 tahun pula dia disiksa Allah di dunia... (lihat tafsir Ibnu Katsir utk QS An Nahl: 26).

Raja Fir'aun tidak terlalu beda nasibnya. Kediktatorannya tidak diragukan lagi. Ia klaim dirinya sebagai tuhan, dan dia paksa rakyatnya menjadi budaknya. Diputar baliknya fakta. Nabi Musa yang menyeru kepada iman dan tauhid, justru beliau dan para mukminin pengikutnyalah yang dituduh berbuat kerusakan di muka bumi. Mereka tertuduh sebagai pembuat makar terhadap kediktatoran fir'aun. Para penasehat dan dewan pertimbangan kerajaannya juga punya pikiran yang sama. Nabi Musa dan pengikutnya menjadi sasaran pembunuhan dan pembantaian. Namun Allah Maha Besar. Fir'aun dan pengikutnya ditenggelamkan Allah di laut merah. Dan kaum yang tertindas (bani israil) mewarisi kerajaannya... (simak QS Al A'raf: 103 -137). Dan kini jasad fir'aun terbaring diam di pusat cairo sebagai bukti firman Allah QS Yunus: 92)

Begitu pula saat dedengkot kafir qureisy bersekongkol untuk memenjarakan Rasulullah, atau membunuhnya atau mengusirnya dari kota Mekkah. Makar mereka sudah begitu rapi dan tersusun. Strategi pembunuhan Rasulullah yang tidak akan menimbulkan gejolak dikalangan bani Hasyim dan bani Abdi manaf sudah sangat rapi. 11 pemuda gagah dari kabilah berbeda sudah disiapkan dengan pedang terhunus untuk menghabisi Rasulullah. Kalau mati, darahnya bertebaran di 11 kabilah. Sehingga bani Hasyim takkan kuat menuntut balas. Paling-paling mereka akan rela dengan bayaran diyat. Namun makar Allah lebih rapi. Menumbangkan makar mereka. Rasulullah selamat sampai ke Madinah. Berikutnya, hanya dalam satu kali peperangan saja para dedengkot kafir qureisy pun dikirim ke neraka jahannam. Abu lahab sendiri mati buruk setelah sakit berhari-hari. Bangkainya yang membusuk tak ada yang berani mengurusnya. Akhirnya dibuang orang ke dalam lubang besar di Makah.

Musailamah al kazzab mengaku sebagai nabi, menggalang kekuatan di yamamah, menggembos sendi-sendi umat Islam yang baru saja terguncang dengan wafatnya Rasulullah. Hari-hari kekuatannya terus bertambah. Para pengikutnya pun semakin banyak. Benteng yamamah menjadi sangat kuat dan sulit ditaklukkan. Namun, setelah perjuangan dan kesabaran panglima Khalid bin Walid bersama pasukannya, benteng itupun berhasil ditembus dan nabi palsu pun tewas di tangan pasukan Khalid.

PM israel Yitzak rabin, bertahun-tahun menindas rakyat palestina. Ribuan nyawa rakyat palestina melayang. Tapi akhirnya dia pun tewas ditembak oleh yahudi yang lain. Begitu juga ariel sharon yang telah mengotori masjidil Aqsa, membantai kaum muslimin yang shalat di sana, mengakhiri hayatnya dengan keadaan koma lebih dari dua tahun. Tubuh dan pisiknya membusuk tapi dia masih hidup sampai akhirnya tewas mengenaskan.

Para diktator diberbagai negeri Islam juga telah merasakan akhir hayat yang hina. Yang sering menangkapi dan memenjara para ulama, berakhir kekuasaannya di penjara. Yang banyak membunuh ulama dan rakyatnya sendiri, berakhir hidupnya dengan mati ditembak oleh

rakyatnya juga. Yang sering mengusir para ulama dari negerinya sendiri, berakhir kekuasaannya dengan lari terusir ke luar negeri...

Hidup ini memang sandiwara. Tapi makar Allah tetap akan mengalahkan seluruh bentuk makar. "Mereka berbuat makar, Kami pun akan berbuat makar, sedangkan mereka tidak menyadarinya". (QS An Naml: 50). "Dan mereka membuat makar, padahal makar mereka sudah dalam ilmu Allah, dan makar mereka itu takkan mampu meruntuhkan gunung-gunung.." (QS Ibrahim: 46)

Di bulan Ramadhan 2013 Presiden Mursi di kudeta. Puluhan ribu kaum muslimin yang berpuasa dibantai dan dipenjara oleh kudeta militer assisi. Sebagian jenazah mereka dibakar bersama masjid Rab'ah Adawiyah dan rumah sakitnya. Ribuan lagi lari dan menghilang demi menghindari penangkapan junta militer. Lalu Ramadhan ini Presiden Mursi akan mereka bunuh bersama para ulama lainnya. "Dan mereka membuat makar, sedangkan Allah juga membuat makar... Dan Allah sebaik-baik yang membuat makar".

Hasbunallah wani'mal wakiil...

(Ramadhan 13)

TSIQAH KEPADA ALLAH

Nabi Allah Ibrahim as telah mengajarkan kita bagaimana seorang mukmin begitu tsiqah (percaya) kepada Allah. Saat dia baru berumur 16 tahun dia sudah harus menghadapi raja zhalim yang sangat kuat. Keteguhannya dengan tauhid harus dia bayar mahal. Sebuah api besar telah disiapkan oleh pasukan namrud. Dengan sebuah "ketapel" besar, tubuh Ibrahim muda dilemparkan ke dalam api besar tersebut.

Imam Bukhari menyebutkan dalam shahihnya dari Ibnu Abbas, bahwa saat dilempar tersebut Nabi Ibrahim mengucapkan kalimat "hasbiyallahu wa ni'mal wakiil.." cukuplah bagiku hanya Allah, Dia lah sebaik-baik pelindung..."

Imam Ibnu Katsir menukilkan sebuah riwayat dari salaf, bahwa saat Nabi Ibrahim terlempar di udara, malaikat Jibril menawarkan bantuan, "Apakah kamu butuh pertolongan?". Nabi Ibrahim menjawab, "Adapun kepadamu, maka aku tidak butuh bantuan. Sedangkan kepada Allah, iya aku butuh..."

Dengan ketsiqahannya yang bulat dan utuh itu kemudian Nabi Ibrahim mendapat pertolongan dan penjagaan dari Allah. Api yang besar itu mendapat intruksi khusus dari Allah, "Wahai api, jadilah kamu dingin dan keselamatan bagi Ibrahim..." (QS Al Anbiya: 69). Maka api itupun menjadi dingin. Bahkan saat itu api di seluruh dunia menjadi tidak panas sama sekali. Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa kalaulah Allah tidak perintahkan keselamatan bersama dingin kepada api, bisa-bisa Nabi Ibrahim akan mati kedinginan di dalam api besar tersebut. (Lihat tafsir Ibnu Katsir utk ayat 69 QS al Anbiya).

Saat Nabi Ibrahim sudah semakin tua, tapi dia belum juga mendapat keturunan. Nabi Ibrahim tetap percaya kepada Allah. Ia tidak pernah putus asa terhadap kekuasaan Allah, dan selalu meminta kepadaNya untuk mendapat keturunan...., "Ya Tuhanku, berilah aku keturunan yang shaleh..." Akhirnya pun Nabi Ibrahim mendapat keturunan, Nabi Ismail lahir saat Ibrahim berusia 99 tahun, dan Nabi Ishaq lahir saat Ibrahim berumur 112 tahun.

Ketika Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah, harus meninggalkan istrinya dan anaknya (Hajar dan Ismail) di negeri yang tidak ada tanam-tanaman, di samping rumah Allah yang mulia. Nabi Ibrahim dengan penuh tsiqah menyerahkannya kepada Allah, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini aman, dan berilah penduduknya rezeki berupa buah-buahan, yaitu bagi yang beriman kepada Allah dan hari kemudian...." (terjemahan QS Al Baqarah: 126).

Allah pun memberikan rezeki yang tidak terhingga ke negeri Makkah. Air zamzam yang tak pernah berhenti semenjak masa Nabi Ibrahim sampai hari ini, jutaan manusia yang berhaji dan berumrah, telah dan terus meminum dan mengambilnya. Berbagai buah-buahan datang membanjiri kota Mekkah walaupun tidak ada pohonnya.

Nabi Ibrahim tak rela menyerahkan urusan/keselamatan pribadinya kecuali hanya kepada Allah. Kepada Jibril pun dia tak mau. Urusan anak-anaknya dia serahkan kepada Allah, "Ya Tuhanku, jadikanlah aku orang yang menegakkan shalat, dan jadikan pula anak keturunanku seperti itu..." begitulah realisasi dari sebuah iman dan tsiqah.

Ketsiqahan kepada Allah merupakan buah dari iman kepada Allah. Dan iman merupakan hasil dari ibadah yang benar kepadaNya. Karena itu, setiap kali bertambahnya ibadah seorang muslim, seharus bertambah pula keimanannya. Selanjutnya bertambah pula ketsiqahannya kepada Allah.

Dalam perkembangan kehidupan kita saat ini, yang semakin berat, sikap materialistis yang semakin menggurita, berbagai permasalahan hidup dan kehidupan datang silih berganti. Masalah rumah tangga, problematika suami istri, pendidikan anak dan keturunan, hubungan sosial bertetangga dan bermasyarakat. Sungguh semuanya semakin berat kalau kita hanya tegak di atas kaki sendiri. Hanya bersama Allah kita akan mampu menghadapi dan menanggulanginya.

Kadang kebanyakan kita merasa tidak perlu dengan Allah, kecuali saat sudah kepepet, terdesak dan terpojok. Seolah-olah materi bisa menyelesaikan segala-galanya, dan logika manusia dapat mengukur segala situasi. Baru bergantung kepada Allah bila sudah mentok.

Madrasah Ramadhan harus merubah kita menjadi hamba-hamba yang sejak awal memang bergantung kepada Allah. Segala kebutuhan dunia kita dijemput dengan ibadah kepadaNya. Segala rencana kehidupan dimulai dengan tawakkal kepadaNya. Sehingga kemudian apapun hasil yang Allah berikan dapat diterima dengan penuh ridha dan qana'ah.

Dengan cara ini, insyaAllah, setiap kali kita bertemu ramadhan, setiap kali itu pula kita semakin dekat denganNya....

(Ramadhan 12)

PERBANYAK KARYA, RAIH KUNCI-KUNCI SORGA

Sepanjang sejarah perjuangan umat Islam, bulan Ramadhan menjadi saksi sejarah lahirnya karya-karya besar umat Islam. Banyak peristiwa besar telah terukir dengan tinta emas menghiasi lembaran indah perjuangan kaum muslimin.

Bulan Ramadhan tahun 2 H adalah kemenangan pertama kaum muslimin pada perang badar. 314 orang pasukan muslim menumbangkan 1000 orang pasukan kafir qureisy.

Setelah itu, Ramadhan 5 H adalah persiapan perang khandaq. Rasulullah saw dan para sahabat menggali parit panjang untuk mengamankan Madinah. Agar pasukan kafir qureisy tidak bisa masuk menerobos kota madinah. Bulan syawalnya perang khandaq berlangsung. 10 ribu pasukan qureisy tidak mampu masuk madinah dan tidak bisa mengalah 3000 orang pasukan muslim.

Kemudian Ramadhan 8 H Rasulullah saw bersama 10 ribu pasukan muslim menaklukkan kota Mekkah. Rakyat kota Mekkah pun masuk Islam berbondong-bondong. Kemenangan itu terus berlanjut dengan penaklukkan Thaif dan Hunain.

Di bulan Ramadhan 9 H pasukan Rasulullah saw berangkat ke Tabuk, di hari yang sangat panas. Pasukan ini berhasil memberikan pelajaran kepada pasukan Romawi untuk tidak mengganggu wilayah kaum muslimin. Kemudian Ramadhan 11 H Rasulullah saw mengirim Ali bin Abi Thalib bersama pasukannya menaklukkan Yaman.

Kemudian di Ramadhan 92 H Andalusia (spanyol) direbut pasukan Islam dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziyad. Dan pada Ramadhan 459 H umat Islam membuka portugal dan menjadikan seluruh daratan spanyol menjadi Islam.

Tahun 584 H di bulan Ramadhan, panglima Shalahuddin al Ayyubi membebaskan mayoritas negeri Islam dari jajahan Romawi dalam perang salib.

Lalu pada Ramadhan 658 H terjadi perang 'Ain Jalut, dimana umat Islam dibawah pimpinan panglima Islam Saifuddin Qutz berhasil mengalah pasukan Mongol yang telah menjajah negeri Islam.

Dinasti Turki Utsmani juga menorehkan tinta emas perjuangan umat Islam. Pada Ramadhan 1294 H pasukan Turki Utsmani berhasil mengalahkan pasukan Rusia. 740 ribu pasukan rusia dikalahkan oleh 34 ribu pasukan muslim.

Pada tahun 1390 H, pasukan mesir berhasil merebut kembali daratan Sinai dari tangan yahudi Israel. Perang yang terkenal dengan perang 10 ramadhan atau perang oktober 1973 itu, berhasil dimenangkan pasukan Islam dan mereka merebut benteng Bar Lev, serta kembalinya daratan sinai kepangkuan Mesir.

Ini semua adalah peristiwa-peristiwa besar yang pasti menyedot segala sumber daya, baik tenaga, pikiran, harta maupun jiwa. Pastilah hari-hari Ramadhan mereka penuh dengan kerja dan karya.

Begitulah suasana Ramadhan bagi seorang mukmin. Ramadhan bukan hari-hari bermalas-malasan, banyak tidur, berkurangnya produktifitas dan semangat kerja. Ramadhan adalah saatnya menorehkan karya-karya penting. Tidak saja terpaku dengan amal shaleh individual

seperti shalat, puasa, qiyam, tilawah dan dzikir. Tapi juga menyasar ke amal-amal shaleh sosial yang berdampak manfaat luas dan dirasakan oleh jumlah manusia yang lebih banyak.

Maka ditengah berkompetisinya kita menikmati shaum, qiyam tarawih dan tadarrus Al Quran, selama ramadhan ini jangan sampai kita lewatkan peluang amal shaleh lain yang berpahala besar, seperti silaturrahim, mengunjungi faqir miskin dan berbagi dengan mereka, memudahkan urusan dan kesusahan orang lain, amar makruf dan nahi munkar serta mengantarkan hidayah Allah berdakwah kepada sesama.

Rasulullah saw pernah mengabarkan bahwa di sorga ada sebuah pintu yang bernama Ar Rayyan, disediakan hanya bagi orang-orang yang berpuasa. Bila semua yang berpuasa sudah masuk, maka pintu itu ditutup. Tidak diizinkan masuk melalui pintu itu kecuali orang-orang yang puasa. (Terdapat dalam HR Bukhari)

Lalu dalam hadits lain Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa di sorga ada banyak pintu. Orang yang ahli shalat akan dipanggil masuk sorga di pintu shalat. Yang ahli puasa akan dipanggil dari pintu Ar Rayyan. Yang ahli sedekah akan dipanggil dari pintu sedekah. Yang ahli jihad akan dipanggil dari pintu jihad.... Saat itu Abu Bakar bertanya, "Adakah orang yang dipanggil masuk sorga dari berbagai (seluruh) pintu-pintu tersebut?". Rasulullah saw menjawab, "Ya ada. Saya berharap engkau termasuk di dalam golongan itu wahai Abu Bakar". (Dalam HR Bukhari dari Abu Hurairah).

Dengan petunjuk Rasulullah saw ini, mari kita tambahkan jenis dan jumlah amal shaleh kita. Agar banyak kunci-kunci sorga yang kita amankan untuk diri kita. Setelah itu, kita serahkan kepada Allah SWT, dari mana Dia mau memasukkan kita ke sorgaNya...

(Ramadhan 11)

IBLIS, SIPENCURI

Iblis makhluk Allah terlaknat telah bersumpah dihadapan Allah bahwa ia akan menghalangi hamba-hambaNya dari jalan yang lurus. Ia juga telah bersumpah akan menggoda manusia dari arah depan, arah belakang, dari kanan dan kiri manusia. Target akhirnya agar kebanyakan manusia tidak bersyukur, tidak menyembah Allah, dan seterusnya. (Dlm QS Al A'raf: 16-17)

Karenanya, iblis tidak pernah berputus asa mengumpulkan sebanyak-banyaknya pengikut setia. Untuk kelak menjadi temannya di neraka. Dengan melancarkan berbagai tipu daya dan godaan, yang penting target tercapai.

Adakalanya targetnya adalah menjerumuskan manusia ke dalam maksiat. Atau menghalangi manusia dari berbuat baik. Atau merusak amalan orang-orang yang sudah selesai beramal, agar tidak jadi berbuah pahala.

Untuk hal yang terakhir di atas, ini merupakan tantangan bagi para mukminin dalam beramal. Kalau terhadap orang-orang awam iblis mungkin menjerumuskan mereka ke dalam maksiat, maka untuk orang yang beriman, atau terbiasa beramal shaleh, iblis kerjanya adalah mencuri amalan atau pahala mereka. Sehingga amalan yang sudah dikerjakan dengan baik, rusak setelah itu oleh jebakan iblis.

Awalnya sebuah ibadah sudah dikerjakan secara rahasia. Tapi karena liciknya iblis dan piawainya ia dalam mencuri, maka ibadah itupun bisa dicuri pahalanya. Yaitu mengalihkan amalan yang rahasia tersebut menjadi terang-terangan.

Beberapa kejadian sederhana berikut, bisa kita jadikan contoh sekaligus kita waspadai agar tidak kecurian:

Pertama, misalnya salah seorang kita agak sering berpuasa sunnat senin kamis. Namun suatu kali, iya tdk berpuasa di hari kamis. Lalu ia sembunyikanlah tidak puasa ini dengan makan dan minum ditempat yang lain yang tersembunyi. Sehingga terkesan oleh khalayak bahwa dia tetap puasa. Ini bisa masuk dalam katagori syirik kecil atau riya. Kalau ingin ikhlas, baiknya ia makan dan minum didepan orang lain.

Kedua, ada orang yang menceritakan kepada orang lain bahwa dia sudah puluhan tahun puasa sunnat. Dalam hati dia bermaksud memberi contoh atau mengajarkan kepada orang lain. Tapi iblis tetap bisa merusak hati dan niatnya dalam waktu-waktu setelah itu.

Ketiga, seseorang diajak makan oleh teman atau tetangganya. Lalu dia menjawab, "Maaf, ini hari kamis..." maka jawaban ini memberi kesan kepada orang lain bahwa dia rajin dan sering puasa setiap kamis. Padahal itu kalau dijawab, "Maaf saya puasa..." itu sudah cukup.

Keempat, seseorang terlihat mengantuk di pagi hari... dia ingin agar terkesan ia qiyamullail tadi malam... ini juga bisa menjadi jebakan iblis.

Atau contoh yang kelima, kita sudah puasa hari ini, atau shalat qiyam dengan lebih baik dan panjang, atau sudah banyak tilawah dan dzikir. Tapi diwaktu yang sama kita memandang orang lain yang tidak seperti kita, tidak puasa atau tidak qiyam, mereka lebih hina dan agak dibawah kita levelnya... Ini juga merupakan akal bulus dan tipuan iblis yang terkenal punya slogan : "Aku lebih baik dari padanya, aku dari api, sedangkan dia dari tanah..."

Dalam momen bulan ramadhan ini, ditengah kompetisi amal shaleh yang terus kita pacu, disaat kita mulai menapaki hari-hari semakin bernilai di bulan ramadhan, kita mesti tetap waspada terhadap pencuri amal shaleh kita. Jangan sedikitpun terasa dalam hati dan perasaan bahwa kita telah lebih baik dari orang lain....

Orang beriman akan senantiasa meminta kepada Allah agar dibantu dan ditolongNya untuk berdzikir, bersyukur dan beribadah kepadaNya, dengan sebaik-baiknya...

(Ramadhan 10)

"MENIKMATI" AMAL SHALEH

Kita perlu naik kelas dalam beribadah dan beramal shaleh. Dari sebelumnya menunaikan ibadah, naik ke arah menikmati ibadah. Sebab, kesan yang muncul dari menunaikan itu adalah sekedar lunasnya hutang, tunainya kewajiban. Sedangkan menikmati ibadah, kita betul-betul merasakan kenyamanan, ketenangan, kebahagian dan "manisnya" ibadah.

Indikasi sederhananya bila kita menikmati sesuatu, kita akan betah berlama-lama dengan sesuatu tersebut, larut bersamanya serta tak merasakan waktu berlalu dan lelahnya fisik saat melakukannya.

Allah SWT mengisyaratkan kandungan ini secara tidak langsung dalam beberapa ayatnya dengan beberapa kalimat, "Bertaqwalah dengan sebenar-benarnya taqwa..." atau "Berjihad dengan sebenar-benarnya jihad..." atau, "Membaca Al Quran dengan sebenar-benarnya tilawah..." dalam bahasa haditsnya, "Merasakan manisnya iman...". Intinya, beribadah dengan sebenar-benarnya ibadah. Tidak terpaksa melakukannya apalagi sampai bermain-main.

Sepuluh hari sudah ramadhan bersama kita. Harusnya, dalam rentang waktu tersebut, dengan berbagai amal shaleh atau ibadah berdosis tinggi (di bulan-bulan sebelumnya tidak seperti ini), kita telah melewati pemusatan latihan yang lumayan. Dan mengalami sedikit perubahan dalam beribadah.

Hari-hari awal ramadhan wajar kita (mungkin) agak terasa berat berpuasa, letih menahan lapar, capek melakukan tarawih, lelah membaca Al Quran.... dan lain-lainnya, karena sebelumnya kurang terbiasa.

Tapi ini sudah sepuluh hari. Tidak makan dan minum 13 jam sudah tidak lagi menjadi beban. Shalat isya dan tarawih dari pukul 19.30 sampai 21.30 atau bahkan pukul 22.00, tidak lagi begitu berat. Tilawah satu juz sehari sudah menjadi ringan.

Maka saatnya kita naik kelas. Kita harus menikmati ibadah ini. Menikmatinya dalam artian meningkat kualitasnya, ada kesabaran di hati untuk tidak cepat selesai, ada tekad yang kuat agar amal shaleh ini sangat layak "dihidangkan" kepada Allah. Mulai serius menghiasinya. Sehingga nantinya di sepuluh terakhir menjadi puncak dan husnul khitam...

Orang beriman sangat menyadari bahwa dia menyembah Allah adalah agar Allah ridha, bukan agar dia puas. Agar Allah senang bukan dia yang senang. Maka pastilah dia akan lakukan dengan penuh ihsan. Seperti yang digambarkan Rasulullah, "Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya. Jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia Maha melihatmu..." (dari HR Bukhari Muslim dari Abu Hurairah).

Orang beriman beribadah dan beramal adalah agar amalan itu diterimaNya dan layak diberiNya ganjaran. Pastilah dia akan melakukannya dengan baik, memenuhi rukun dan syarat, menghiasinya dengan yang sunnat, menguranginya dari yang makruh... dan lain sebagainya, sesuai dengan yang layak dan pantas dengan keagungan Allah.

Kalau kita shalat, tapi yang terpikir oleh kita kapan shalat ini akan selesai, kalau kita tilawah, tapi pikiran kita selalu mengingat kapan tuntas satu juz, kalau kita berinfaq, tapi diberikan dengan kasar atau menyakiti sipenerimanya, kalau kita berbagi dan memberi namun hanya yang tidak kita sukai, barangkali memang kita belum menikmati amal shaleh. Kita baru sebatas menunaikannya.

Sebagai ilustrasi, bila seseorang menghidangkan sebuah kue atau makanan yang lezat. Tapi dihidangkan di atas sepatu, dan sepatu itu masih sangat baru dan bersih. Pastilah orang tetap tidak akan mau menyantapnya. Sebaliknya, bila makanan yang sederhana, tapi dihiasi dengan baik, diatas tempat dan piring yang baik, pastilah akan menarik selera orang disekitarnya. (Bagi Allah, perumpamaan yang jauh lebih mulia)

Tentunya kita tak akan bicara tentang orang yang "kebut-kebutan" dalam shalat tarawih, tanpa memperhatikan kualitas dan kuantitas bacaan serta tumakninahnya, atau orang yang kejar-kejaran membaca Al Quran tanpa memperhatikan tajwidnya.... Entahlah, apakah mereka sedang menunaikannya atau mempermainkannya....

"Kembali lagi, ulangi shalatmu, kamu belum shalat...." (penggalan HR Bukhari Muslim, dari abu Hurairah).

(Ramadhan 9)

HANYA MAU MASUK SORGA

Seorang lelaki tua datang bertanya kepada Rasulullah saw, "Wahai Muhammad, kapan hari kiamat?" Rasulullah saw menjawab, "Apakah yang telah anda siapkan untuk itu?"... Lelaki itu menjawab, "Aku tidak siapkan shalat yang besar, tidak juga puasa yang besar. Akan tetapi aku sangat mencintai Allah dan RasulNya...". Kemudian Rasulullah menimpalinya, "Sesungguhnya engkau akan bersama kekasih yang kau cintai...". (terdapat dlm HR Al Bazzar dan Daaru Quthni).

Di sini sangat jelas petunjuk Rasulullah saw. Silakan mempunyai keinginan dan cita-cita mulia. Boleh saja berobsesi sesuatu. Tapi, permasalahannya adalah apakah yang sudah dipersiapkan untuk itu...

Kalau masing-masing kita ditanya, apakah anda mau masuk sorga? Pastilah semua akan mudah dan spontan memberikan jawaban, ya saya ingin masuk sorga. Namun bila dilanjutkan pertanyaannya, apakah yang sudah kita persiapkan untuk itu? Disinilah kita akan sedikit tertegun, sejenak terdiam, tidak langsung bisa menjawab.

Ya, kita akui bahwa kita agak grogi menjawab pertanyaan kedua ini. Grogi karena memang tidak percaya diri dengan berbagai amal yang sudah dikerjakan, apakah memang akan mengantarkan kita ke sorga atau belum. Atau juga grogi karena memang belum ada persiapan sama sekali untuk itu.

Kalau kita diberitahu lebih lanjut, bahwa pintu pertama menuju sorga itu adalah mati, lalu kita ditanya lagi, "Maukah anda mati sekarang?"... Kita tentu akan menggelengkan kepala, tidak. Lho, katanya mau masuk sorga? Kok nggak mau memasuki pintunya?... Jujur, kita memang, sampai saat ini masih belum siap mati...

Ketidaksiapan kita ini karena akhirat memang belum lebih utama di hati kita dibanding dunia. Dunia ini masih menyandera kita begitu kuat. Nikmat demi nikmatnya begitu menggoda dan mempesona. Hingga akibatnya kita terus diseretnya...

Untuk hal ini, kita memang perlu memperbanyak interaksi dengan segala yang berbau akhirat. Mulai dari pengetahuan, informasi, berita-berita yang haq dari Al Quran dan sunnah, sampai kepada suasana dan rasanya. Kita perlu menjenguk orang sakit, mengunjungi jenazah dan menyelenggarakannya, dan berziarah ke kuburan. "Ziarahilah kuburan, sesungguhnya itu mengingatkan kalian kepada akhirat.." (HR Abu Daud, dishahihkan Albany).

Ketidaksiapan kita juga disebabkan karena belum PDnya kita dengan berbagai amal shaleh/ibadah kita. Apakah sudah cukup dan memenuhi keinginan Allah atau beluam, kita masih ragu.

Untuk hal ini, maka solusinya kita mesti beribadah ibadahnya orang yang akan mati. Kita shalat, seolah-olah itulah shalat kita yang terakhir. Kita puasa, seolah-olah inilah puasa kita yang terakhir. Kita qiyam, seolah-olah ini merupakan qiyam perpisahan. Sehingga semuanya terlaksana dengan kualitas yang memadai. Rasulullah saw pernah menasehati seorang lelaki, "Apabila kamu shalat, maka shalatlah shalatnya orang yang akan berpisah...(mati)". (HR Ibnu Majah dan Ahmad, dishahihkan Albany)

Dengan cara ini, mudah-mudahan kita telah menyiapkan diri untuk masuk sorga...

(Ramadhan 8)

AGAR KAPAL TIDAK TENGGELAM

Sebuah kampung di tepi pantai dihuni oleh kaum yahudi. Mereka sedang diuji oleh Allah SWT. Mata pencaharian mereka sehari-hari adalah menangkap ikan. Tapi mereka diwajibkan beribadah di hari sabtu dan diharamkan menangkap ikan. Namun disinilah ujiannya. Di hari-hari biasa tidak ada ikan yang datang. Justru di hari sabtu itulah yang banyak ikan. Seolah-olah ikan-ikan tersebut ingin mengejek mereka semua, dan mencul kepermukaan dari berbagai arah.

Penduduk yahudi itupun terbelah menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama melanggar aturan Allah. Mereka tetap memancing dan menangkap ikan di hari sabtu tsb. Itupun dengan sedikit berkilah, mereka letakkan peralatan memancing dan menjala ikan sebelum hari sabtu. Lalu hari sabtunya ikan-ikan tersebut terjerat dan terperangkap. Setelah siang sabtu berlalu, malam harinya barulah mereka mengambil ikan yang sudah terjerat.

Kelompok kedua adalah orang-orang yang beriman dari kalangan mereka. Kelompok ini menegur kelompok pertama dan mengingatkan larangan Allah tentang haramnya menangkap ikan di hari sabtu. Ketika teguran dan peringatan mereka tidak diindahkan, merekapun menyingkir dari tempat tersebut.

Adapun kelompok ketiga adalah orang-orang yang membiarkan saja pelanggaran tersebut. Bahkan justru mereka mengkritisi kelompok kedua yang ikut campur urusan orang lain. "Biarkan sajalah mereka, gak usah dinasehati. Nanti juga bakal dihukum oleh Allah.." seperti itu komentar mereka.

Begitulah 3 kelompok terpecah dari peristiwa tersebut. Namun tak lama kemudian hukuman Allah langsung turun. Kelompok pertama dilaknat Allah dan berubah menjadi kera dan monyet. Laki-laki perempuan tiba-tiba menjadi monyet. Wajah, bentuk dan rupa mereka berubah. Bahkan ekor pun tumbuh di pantat mereka. Mereka hanya hidup 3 hari saja seperti itu. Setelah itu mereka pun mati.

Adapun kelompok kedua Allah selamatkan dari laknat karena mereka telah menasehati teman dan saudara mereka dari perbuatan haram. Merekapun dipuji oleh Allah.

Sedangkan kelompok ketiga yang tidak peduli bahkan mengkritisi kelompok kedua, nasibnya tidak dijelaskan dalam Al Quran. Banyak ulama tafsir menjelaskan bahwa mereka telah dilupakan oleh Allah sebagai bentuk hukuman atas pasifnya mereka terhadap kebatilan.

Kisah ini diabadikan oleh Allah dalam QS Albaqarah 65-66 dan QS Al A'raf: 163-167.

Kejadian ini memberikan pelajaran berharga kepada orang-orang beriman untuk selalu proaktif dengan kebaikan, terlibat dalam amar makruf dan nahi mungkar, peduli dengan lingkungan. Sikap proaktif ini akan menjadi penyebab terhindarnya dari murka Allah sekaligus melemahkan sumber-sumber keburukan dan kebatilan.

Dalam bulan ramadhan yang mulia ini, kita tidak cukup dengan keshalehan individual saja. Sibuk mentaati Allah sendiri-sendiri, lalu membiarkan orang-orang sekitar kita tidak ikut serta, dan malah tenggelam dalam kemaksiatan. Jangan biarkan ada yang seenaknya tidak shalat, tidak puasa atau berbuka didepan khalayak, atau menfasilitasi orang lain utk tidak berpuasa. Mereka mesti dinasehati dengan baik, didekati dan disentuh hatinya agar mendapat hidayah Allah.

Setiap muslim dan muslimah, terutama ditengah-tengah komunitas muslim mesti menularkan kebaikannya kepada orang lain, membantu mereka juga untuk mentaati Allah dan tidak bermaksiat kepadaNya.

Bahkan sikap ini akan terwujud maksimal dan berbuah maksimal bila dilakukan bersama-sama, menggunakan kekuasaan dan jabatan serta pengaruh.

Sebagaimana Baginda Rasul mengajarkan, hendaklah kalian merubah kemungkaran itu dengan kekuatan/kekuasaan, atau dengan lisan atau yang paling minimal adalah dengan hati... (terdapat dalam HR Muslim).

Ini semua dilakukan agar terhindar dari murka dan kemarahan Allah, yang apabila datang, kadang tidak saja menimpa orang-orang yang berbuat dosa/aniaya saja, tapi bisa menimpa semua.

Rasulullah saw telah ilustrasikan dalam haditsnya: "Perumpamaan orang yang menegakkan agama Allah dan orang-orang yang melanggarnya, seperti sekelompok kaum yang menaiki kapal. Sebagian mendapat tempat di atas, sebagian lagi dibawah. Yang di bawah ini bila membutuhkan air, terpaksa melewati orang yang di atas. Lalu orang yang bagian bawah ini punya ide, sebaiknya dilobangi saja bagian bawah kapal ini, sehingga mudah mendapat air dan tidak mengganggu yang di atas.

Maka bila seandainya orang-orang di atas membiarkan orang yang dibawah melaksanakan ide mereka, niscaya mereka dan seluruh kapal akan tenggelam dan celaka. Tapi bila mereka halangi rencana tersebut, niscaya orang yang dibawah akan selamat, serta seluruh penumpang akan selamat... (dari HR Bukhari dari Nukman bin Basyir).

Begitulah, pembiaran kemaksiatan ditengah masyarakat, hanya akan membawa masyarakat tersebut tenggelam dalam maksiat dan kecelakaan....

(Ramadhan 7)

BERSYUKUR ITU PERILAKU HAMBA

Ibunda Aisyah menyaksikan Rasulullah saw melakukan qiyamullail begitu rupa, sampai-sampai kaki Beliau bengkak (sakit). Akhirnya Aisyah bertanya: "Kenapa Engkau perbuat ini semua wahai Rasulullah?, padahal Allah telah ampuni segala dosamu yang berlalu dan yang akan datang?". Rasulullah saw menjawab: "Tidakkah sepantasnya aku menjadi hamba yang bersyukur?"... (terdapat dalam HR Bukhari dan Muslim).

Begitulah sikap dan karakter seorang hamba yang diajarkan oleh Rasulullah saw kepada kita. Hamba yang benar itu harus tahu diri dan pandai berterima kasih. Bukan saja sekedar patuh kepada "tuannya", tapi juga menunjukkan kesantunannya dalam bentuk pandai berterima kasih.

Sebab, si hamba tahu betul siapa dirinya dan siapa "tuannya". Ia sangat sadar bahwa ia tidak ada apa-apanya sama sekali. Kalau bukan karena kebaikan dan kemurahan "Sang Tuan", niscaya ia tak berharga sama sekali.

Seperti itulah seharusnya perilaku makhluk kepada Allah Sang Pencipta. Karena Dialah ia menjadi ada. Karena Dialah yang memberikan kehidupan, nikmat, makan dan minum, air dan udara, rumah dan tempat tinggal... dan berbagai fasilitas lainnya, tanpa bayaran.

Atas segala pemberian dan fasilitas tersebut, setiap hamba tidak saja wajib mematuhiNya, tapi juga sangat wajib berterima kasih kepadaNya.

Cobalah sekiranya kita pernah menolong seseorang dari satu kesusahan. Lalu setelah itu kita jumpai orang tersebut sopan kepada kita, patuh dan menghormati kita. Pastilah kita akan senang dengannya dan siap untuk membantunya lagi bila membutuhkan.

Sebaliknya, bila ia kurang ajar dan tidak sopan kepada kita, tidak pandai berterima kasih, pastilah kita akan marah atau benci kepadanya. Dan kapan pun kita takkan tertarik untuk menolongnya kembali.

Apalagi Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Perkasa, yang berada di atas segala perumpamaan yang indah. Dia pasti akan senang dengan hamba-hambaNya yang mau melaksanakan perintahNya dan mensyukuri pemberianNya.

Sebaliknya Dia akan marah dan murka kepada hamba-hamba yang tidak tahu diri, tidak pandai bersyukur lagi angkuh dan tidak patuh kepadaNya.

Karena itu, saat kita melakukan berbagai ketaatan kepada Allah, baik shalat, puasa, tilawah, sedekah, shalat malam... dsb, haruslah kita sadari betul bahwa kita melakukannya karena kita memang hamba Allah, dan karena kita ingin berterima kasih kepadaNya.

Tidak pernah seorang hamba yang mulia akan menolak perintah Tuhannya, apalagi akan mempertanyakan kenapa harus begini perintahnya? Apa logika dan rasionalnya? Ia takkan mengukur perintah Allah dengan akal dan otaknya. Karena ia sadari otaknya juga bagian dari pemberianNya.

Begitulah dulu Nabi Nuh yang tidak memprotes perintah Allah untuk membuat kapal, padahal ia berada jauh dari air atau laut. Begitu pula ibunya Musa menerima ilham dari Allah agar membuang bayinya ke sungai untuk selamat dari kematian. Padahal bayinya pasti takkan bisa

berenang. Seperti itu pula Ibrahim menerima perintah Allah untuk meninggalkan istrinya Hajar bersama bayinya Ismail di lembah padang pasir tandus yang tak berair dan tak ada tumbuhan, untuk membangun peradaban dan kehidupan baru. Padahal air adalah sumber kehidupan.

Mereka semua tidak saja patuh atas perintah-perintah tersebut, tapi juga semakin bertambah ketaatannya kepada Allah. Sebab kapatuhan tanpa kesyukuran belumlah melahirkan ubudiyah yang sebenarnya.

Sesungguhnya orang-orang yang menolak ajaran Allah dan ajaran RasulNya dengan dalih tidak masuk akal atau tidak logis, mereka itu tidak akan mampu mensyukuri nikmat-nikmatNya, dan mereka sudah tidak lagi merasa sebagai seorang hamba....

(Ramadhan 6)

RAHASIA KEIKHLASAN

Semakin besar "bagian" Allah dalam amalan seorang hamba maka semakin besar pulalah balasan yang Allah berikan baginya. Sebaliknya, semakin besar jatah hamba dibalik amalannya, dan semakin kecil yang untuk Allah, maka semakin kecil pulalah pahala dan balasan yang Allah sediakan untuknya.

Disinilah letak urgennya sebuah niat atau rencana atau keinginan. Niat bisa menjadikan amalan sederhana menjadi besar di sisi Allah. Sebaliknya niat juga bisa menyebabkan kerdilnya amalan-amalan besar.

Seorang lelaki berjalan di padang pasir kehausan. Lalu dia mencari air untuk minum. Ia turun ke sebuah sumur dan mendapatkan air untuk diminum. Ketika ia telah keluar dari sumur tersebut, ia bertemu seekor anjing yang tengah kehausan. Lelaki ini berbalik dan turun ke sumur kembali. Dengan sepatunya yang terbuat dari kulit dia bawa air ke atas dan diberinya anjing tersebut minum. Karena perbuatan tersebut, lelaki ini masuk sorga... (terdapat dalam HR Bukhari).

Lihatlah amalan lelaki tersebut. Hanya memberi minum seekor anjing. Ya, hanya seekor anjing. Anjing, bukan kucing. Tapi Allah hadiahi dia dengan sorga. Apa yang istimewa dari amalan kecil ini? Adalah niatnya yang sangat ikhlas. Tidak ada kepentingannya dengan memberi minum anjing. Tidak ada pencitraan ataupun popularitas.

Kebalikan dari hadits di atas, Rasulullah saw mengabarkan tentang 3 golongan yang pertama kali dimasukkan ke dalam neraka. Mereka adalah orang yang mati berperang di jalan Allah, qori Al Quran dan orang yang dermawan yang suka berinfaq.

Kok bisa seperti itu? Bukankah 3 amalan tersebut adalah amal shaleh yang besar nilai dan pahalanya di sisi Allah? Mati di medan jihad adalah mati syahid. Pahalanya adalah masuk sorga tanpa hisab. Membaca Al Quran pahalanya berlipat ganda tidak terkira. Satu huruf bisa bernilai 10 kali lipat pahala. Derjatnya bisa menyamai malaikat. Orang dermawan dan suka berinfaq adalah disukai Allah. Bisa dapat balasan pahala 700 kali lipat. Tapi, kenapa masuk neraka???

Ternyata permasalahannya adalah pada niat. Yang mati dalam jihad niatnya bukan karena Allah, tetapi karena ingin digelari sebagai pahlawan dan pemberani. Adapun sipembaca Al Quran niatnya bukan karena Allah, tetapi untuk mendapat gelar qori. Sedangkan yang dermawan niatnya juga bukan karena Allah. Tetapi agar digelari seorang yang pemurah dan dermawan... (terdapat dalam HR Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah dishahihkan oleh Albany).

Akibatnya, mereka menjadi golongan pertama yang masuk neraka. Padahal amalannya termasuk amalan-amalan puncak.

Karena itu, niat menjadi sangat menentukan tinggi atau rendahnya sebuah amalan. Khusus ibadah puasa yang memang spesial untuk Allah, maka harus dijaga dan dipastikan betul bahwa ibadah ini semata-mata karena Allah, demi mematuhi perintahNya dan untuk meraih redhaNya. Tidak ada terselib dalam hati karena segan kepada teman, atau karena tertekan dengan lingkungan sekitar, atau alasan lain yang bukan karena Allah...

Allah telah janjikan balasan khusus bagi ibadah puasa. Melampaui 10 kali lipat, bahkan melewati pahala 700 kali lipat. Tak terbatas, hanya Allah yang menentukan...sebab puasa khusus hanya untuk Allah....

"Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasinya.... dia tinggalkan syahwatnya, makannya dan minumnya karena Aku..." (Hadits Qudsi riwayat Bukhari dan Muslim).

(Ramadhan 5)

ORANG-ORANG YANG LEMAH

Dalam shahihnya Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw mengatakan: "Apabila datang bulan Ramadhan maka pintu-pintu sorga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup, dan syetan-syetan dibelenggu (dirantai)..."

Dari hadits ini muncul beberapa pertanyaan yang menggelitik. Diantaranya, untuk apa semua pintu sorga dibuka? Toh kalau ada yang meninggal di bulan Ramadhan gak bakal langsung masuk sorga. Sebab agenda masuk sorga itu kan nanti setelah hari qiyamat, setelah manusia berbangkit dan amal-amal dihisab. Dan yang masuk sorga duluan kan Rasulullah saw ??

Begitu juga pintu neraka, untuk apa semuanya ditutup? Toh kalau ada orang kafir yang mati tak bakal langsung masuk neraka. Sebab jadwal agenda masuk neraka itu juga nanti, setelah qiyamat...??

Kemudian, katanya syetan-syetan dibelenggu, tapi kok masih saja banyak orang Islam yang berbuat maksiat, berbohong, menipu, mengumbar aurat, tidak shalat, tidak puasa dan lain-lain?

Ulama hadits seperti Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi telah menjelaskan maksud dari hadits ini. Merka menjelaskan bahwa pintu sorga dibuka artinya pintu rahmat dan kasih sayang Allah dibuka. Peluang pahala diperbanyak dan dilipatgandakan. Sedangkan pintu neraka ditutup maksudnya adalah dipersulitnya peluang berbuat dosa dan banyaknya ampunan dari Allah.

Dengan bahasa lain, Allah menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga kondusif untuk mentaatiNya dan terhalang dari bermaksiat kepadaNya.

Nah, selanjutnya, bila suasana dan situasi telah dikondisikan oleh Allah sedemikian rupa di bulan Ramadhan, lalu masih ada saja muslim atau muslimah yang berbuat dosa dan maksiat, juga malas berbuat taat, tentulah ia seorang yang sangat-sangat lemah jiwa dan hatinya. Pastilah dia di luar bulan ramadhan lebih tidak mampu lagi berbuat kebaikan.

Rasulullah saw menyatakan: "Orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, lalu berangan-angan balasan pahala dari Allah..." (HR Tirmidzi).

Adapun terkait masih banyaknya orang yang berbuat dosa padahal kata Rasul syetan-syetan sudah dibelenggu, maka ini ada beberapa penjelasan:

Pertama, dalam hadits riyawat yang lain disebutkan bahwa yang dibelenggu itu adalah syetan-syetan pembangkang dan para kaliber atasnya. Adapun syetan-syetan kecil masih berkeliaran dan gentayangan. Dari penjelasan ini dapat dipahami betapa lemahnya manusia yang masih berbuat dosa di bulan ramadhan. Sama syetan kelas teri dan kroco-kroco iblis saja dia telah terpedaya. Apalagi nantik dengan induk semangnya...

Kedua, Ibnu Hajar dalam keterangannya di dalam kitab Fathul bahri menyatakan bahwa syetan-syetan itu dikekang dan dirantai adalah sebenarnya (hakiki). Bukan kiasan. Maka dari sana juga dapat dipahami betapa lemahnya manusia yang berbuat dosa di ramadhan. Syetan yang terbelenggu saja masih sanggup memperdayanya. Apalagi nantik setelah semua mdreka terbebas dari rantai dan belenggu. Pasti lebih mudah lagi menggoda dan memperdaya....

Ketiga, dan ini yang lebih parah. Yaitu syetan dan iblis semuanya sudah terbelenggu dan terpenjara. Lalu, Manusia-manusia yang masih berbuat dosa di bulan ramadhan, karena telah sangat lemahnya jiwa dan dirinya, mereka sendirilah yang berinisiatif untuk berbuat dosa. Sesungguhnya mereka telah berubah menjadi syetan-syetan manusia atau sebaliknya manusia syetan.

Hal ini telah Allah isyaratkan dalam firmanNya QS Al An'am: 112 yang artinya: "Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi, musuh dari kalangan syetan-syetan manusia dan syetan jin, yang satu sama lain saling memerintahkan hiasan kata yang menipu...."

(Ramadhan 4)

RAMADHAN BULAN KEDERMAWANAN

Rasulullah saw adalah seorang yang sangat dermawan. Beliau memberi kepada orang lain pemberian orang yang tidak takut miskin. Tidak jarang Beliau menjadi tak punya apa-apa karena sudah diberikan kepada orang lain.

Ada seorang lelaki yang datang dan masuk Islam, diberi oleh Beliau sepadang rumput binatang ternak. Ia sangat bahagia dan segera berangkat menuju kaumnya. Kepada mereka ia berkata: "Masuk Islamlah kalian, demi Allah sesungguhnya Muhammad memberi pemberian orang yang tidak takut miskin..." (Shahih Muslim dari Anas bin Malik)

Pernah juga seorang arab kampung bertemu Beliau saat perjalanan pulang dari perang Hunain. Lelaki itu memaksa meminta selendang (sorban) Nabi. Sampai Beliau terdesak ke sebuah pohon. Tapi Beliau tetap sabar dan memberi orang berperilaku seperti itu... (di dalam HR Bukhari).

Begitulah Beliau, nabi kita yang Mulia, Baginda Muhammad saw. Tak pernah menolak sedikitpun atau mengatakan tidak terhadap permintaan para sahabatnya.

Sudah begitu, ternyata Rasulullah sangat dan paling dermawan di bulan Ramadhan. Bahkan lebih dermawan dalam kebaikan dari pada angin yang berhembus... (HR Bukhari). Angin bisa kemana saja dan mengenai siapa saja. Begitu juga Beliau, lebih dermawan dari angin mengalir... tanpa pilih kasih.

Karena itu, kedermawanan juga merupakan ciri dan identitas ramadhan. Orang yang sudah terbiasa menahan nafsunya dari hartanya yang halal, pastilah ringan baginya memindahkan atau membagikan sebagian hartanya tsb kepada orang lain. Dengan kata lain, puasa memberikan pengaruh positif terhadap tingkat kedermawanan seseorang.

Teringat saya tentang "perangai" saya dengan dosen-dosen di timur tengah. Dimana saya perhatikan lumayan banyak dosen saya yang rutin puasa sunnah senin dan kamis. Setelah saya perhatikan, ternyata mereka bila saat puasa terkesan lebih pemurah. Bila saya minta sesuatu di hari senin atau kamis, terasa agak lebih mudah dan cepat terealisasi. Sampai- sampai saat suatu waktu saya ingin memiliki kitab riyadush shalihin yang bagus, cetakan arab saudi, saya datangi wakil direktur urusan kemahasiswaan pada hari kamis. Saya katakan bahwa saya ingin punya kitab riyadush shalihin untuk berdakwah di kampung halaman. Beliau langsung merespon. Dan dapatlah saya kitab tsb yang bagus dan baru... � Kejadian semisal itu sangat banyak saya rasakan saat kuliah di Lipia jakarta, di Kuwait dan di Cairo. Begitulah efek langsung dari puasa yang benar.

Adalah pemandangan yang sangat menyejukkan hati bila diramadhan ini kita saling berlomba dalam memberi dan berbagi. Tidak lagi sekedar mengenyangkan diri dengan berbagai menu perbukaan... tapi mulai berfikir saya mau memberi apa dan siapakah hari ini?

Kita merindukan hadirnya pasar pabukoan gratis, atau jamuan gratis di pinggir jalan bagi siapa saja yang tak sempat pulang saat adzan berkumandang... dan bentuk-bentuk kedermawanan lainnya...

* Harta kita yg abadi adalah yang kita berikan, sedangkan harta yang kita sisihkan/simpan, itu adalah harta ahli waris kita....(kandungan HR Bukhari dari Ibnu Mas'ud)

(Ramadhan 3)

RAMADHAN BULAN QIYAM

Rasulullah saw pernah menyatakan dalam hadits shahih muttafaqun 'alaih bahwa "Siapa yang puasa ramadhan dengan penuh iman dan perhitungan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu..".

Tapi perlu diingat juga, bahwa hadits ini ada kawannya. Yaitu sabda Baginda Nabi saw: "Siapa yang qiyam ramadhan dengan penuh iman dan perhitungan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu...".

Bahkan ada yang lebih dahsyat lagi, "Siapa yang qiyam pada malam qadar dengan penuh iman dan perhitungan, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu.."

Sangat jelas sekali betapa hadits-hadits tsb di atas menginformasikan kepada kita bahwa agenda utama kita di siang ramadhan adalah shiyam/puasa. Itulah ibadah yang paling utama yang harus kita jaga dan kita laksanakan dengan penuh iman dan perhitungan.

Adapun di malam-malam ramadhan, agenda utama kita dan yang paling inti adalah qiyam ramadhan, atau yang paling akrab dengan nama shalat tarawih. Inilah ibadah paling utama di malam ramadhan. Yang harus dikawal dan dijaga dengan iman dan lerhitungan. Sekaligus ini juga merupakan identitas asli bulan ramadhan. Pendek kata, siang ramadhan yaa shiyam, malam ramadhan yaa qiyam.

Namun dalam tataran realita kita, sudahkah qiyam ramadhan atau tarawih ini menempati posisi terhormat di malam ramadhan kita?

Kita akui alhamdulillah semua masjid kita dan bahkan mushalla, hidup dan semarak dengan tarawih selama bulan ramadhan. Mulai dari malam pertama sampai malam terakhir.

Namun sayangnya, agenda shalat tarawih belum menjadi rating pertama dalam program malam ramadhan. Banyak masjid yang jauh-jauh hari sudah mencari dan memesan penceramah untuk selama ramadhan. 30 malam dengan 30 penceramah. Tidak jarang disebuah masjid untuk jadwal penceramah ramadhan 1436 H sudah tuntas dan penuh pada syawal 1435 H. Dari berbagai kota dan bahkan propinsi para penceramah diundang. Mulai dari kualifikasi S1 sampai S3 bahkan Profesor. Mulai dari yang produk dalam negeri sampai alumni timur tengah. Untuk para penceramah ini masjid menganggarkan dana yang tidak sedikit. Mulai dari 3 juta sampai 15 juta sebulan. Bahkan bisa lebih. Begitu juga para jamaah, kecendrungannya juga sudah mulai memburu dan memilih masjid-masjid dengan penceramah kelas atas.

Persiapan dan anggaran untuk agenda ceramah ini tidak sebanding dengan persiapan dan agenda shalat tarawih yang ianya adalah amalan terbaik di malam ramadhan. Seberapa antusiaskah pengurus masjid mencari imam yang baik dan berkualitas untuk tarawih? Berapa dianggarkan? Banyakkah masjid yang mengontrak penuh satu bulan seorang imam yang hafizh dan fasih untuk tarawih yang lebih khusuk, tenang, syahdu, berdiri lebih panjang? Lalu, seberapa antusiaskah jamaah mencari dan mengejar masjid yang imam tarawihnya lebih baik dan khusyuk?

Tidak jarang terjadi jamaah yang terbatuk-batuk kalau imamnya agak panjang membaca ayat. Atau ada yang protes kenapa shalatnya terlalu panjang. Atau ada juga yang cendrung mencari masjid yang lebih cepat selesainya....

Mencari penceramah yang bagus adalah baik. Tetapi lebih baik lagi menyediakan imam yang bagus. Masjid-masjid besar ditimur tengah, mulai dari Al masjidil Haram, Masjid Nabawi, masjid Amru bin Ash di mesir, masjid Al Kabir di kuwait dan masjid-masjid lainnya di negara2 Islam, jarang atau hampir tidak ada penceramah di malam ramadhan. Tapi para imamnya, jangan ditanya. Ribuan orang datang ke masjid untuk menikmati tarawih bersama mereka. Kadang harus bersimbah air mata dengan ayat-ayat yang dibacanya... Karena memang, qiyam itu identitas ramadhan di malam hari.

(Ramadhan 2)

RAMADHAN SYAHRUL QURAN

Ramadhan sangat identik dengan Al Quran, dan menjadi identitasnya. Karena Ramadhan adalah bulan yang diturunkannya Al Quran pada bulan tersebut. Tentunya pemilihan bulan Ramadhan oleh Allah bukanlah sembarangan. Disamping itu, nama bulan Ramadhan juga satu-satunya yang Allah sebutkan secara jelas di dalam Al Quran. Sedangkan nama-nama lain tidak ada di dalamnya. Ini menunjukkan keagungan dan kemuliaan khusus dari Allah. Dan memuliakan apa yang Allah muliakan merupakan karakter orang-orang beriman.

Oleh karena itu, orang-orang beriman mesti menghadirkan identitas ini dalam diri mereka (paling tidak) selama bulan ramadhan. Kemana dia beraktifitas, Al Quran menemani dan hadir bersamanya. Sehabis shalat shubuh dia bersama quran, dalam perjalanan menuju tempat kerjanya dia juga bersama Quran. Saat jam istirahat kantor, disela-sela waktu senggang, menjelang atau sesudah shalat-shalat wajib, setelah usai tarawih dan witir, menjelang tidur.... tampak sekali dalam setiap momen tersebut Al Quran melingkupi dan hadir bersamanya.

Kehadiran Al Quran ini bisa beragam. Mulai dari membacanya, mendengarkannya, memahami dan mempelajari isinya, menghafalnya, sampai kepada mengamalkan dan mendakwahkannya...

Pendek kata, ada mushaf (Alquran) ditangannya, ada dibibirnya, ada dalam dialog dan diskusinya, ada dipendengarannya, ada dalam pikirannya, ada dirumah dan kendaraannya...

Dengan kehadiran seperti ini, seorang mukmin akan terbebas dari jenis sekelompok kaum yang dikadukan Rasulullah kepada Allah dalam QS Furqan : "Dan Rasul berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadi Al Quran terpinggirkan...".

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang termasuk meminggirkan Al Quran adalah: tidak mengimaninya, tidak membenarkannya, tidak membaca dan mendengarkannya, tidak mengamalkannya, dll...

Bila di Ramadhan yang mulia ini Al Quran belum menjadi identitas, belum hadir dalam aktifitas kehidupan, masih terpinggirkan... niscaya di bulan-bulan lain tak akan hadir sama sekali...

RAMADHAN 1

Salah satu identitas ramadhan yang paling jelas adalah ramadhan itu syahrush shiyam. Shiyam itu artinya imsak atau menahan. Sebulan penuh Allah membimbing kita agar mampu menahan diri dari sesuatu yang asalnya halal di luar ramadhan.

Sebulan penuh di siang hari kita menahan diri dari makanan dan minuman yang halal dan milik kita sendiri. Suami istri yang halal juga menahan diri dari bergaul di siang hari.

Dari latihan menahan diri terhadap yang halal, diharapkan kita menjadi lebih ringan menahan diri dari yang memang haram hukumnya. Dari memakan makanan yang haram, tidak milik kita, atau diperoleh secara zhalim atau tidak sah.

Agar puasa ramadhan juga berkualitas dan diterima oleh Allah, kita juga dilatih sebulan penuh agar menahan pandangan, pendengaran, pikiran dan perbuatan dari yang yang akan merusak pahala berpuasa. Melihat dan mendengar yang porno, bergunjing, menfitnah, berbuat sia-sia dan tidak berguna.

Dengan latihan ini sebulan penuh tentunya kita akan keluar dari bulan ramadhan dalan keadaan benar2 bersih, bersemangat dalam kebaikan dan menjauh dari keburukan.

Seharusnya, selepas ramadhan, tidak ada lagi muslim yang shaim yang memakan yang haram, suka bergunjing, berbuat sia-sia, merokok, senang maksiat dsb.

Namun, realita dan pemandangan yang masih dominan diantara kita selama ramadhan adalah menahan tapi tak rela, imsak tapi terpaksa. Buktinya adalah saat berbuka kembali, kerakusan bertambah, hawa nafsu tak terkendali, selera tak tertahankan, kosumsi meningkat sebaliknya produktifitas menurun, serta kesia-siaan dan kemubadziran melonjak...

* Betapa banyak orang yang berpuasa, namun hasil akhir yang dia peroleh hanyalah lapar dan haus. Betapa banyak orang yang qiyamullail, tetapi buah yang diperolah hanya letih dan begadang.