tatalaksana pemberian obat pada demam tifoid

7
VIII. Tatalaksana Pemberian Obat Pada Demam Tifoid Obat yang Digunakan Kloramfenikol dan penisilin masih tetap merupakan pilihan pertama untuk penderita demam tifoid, yang mana pasien biasanya menjadi tidak panas dalam 3-5 hari. Kloramfenikol Kloramfenikol bekerja dengan cara menghambat sintesis protein bakteri dan mempunyai efek yang kecil terhadap fungsi metabolisme lainnya, bersifat bakteriostatik dan kadang-kadang bakterisid pada konsentrasi obat yang tinggi. Pada umumnya bakteri Gram-negatif dihambat oleh konsentrasi 2-5 μg/ml. Penderita yang mendapat pengobatan dengan kloramfenikol memperlihatkan efek terapinya setelah beberapa jam pemberian, berupa hilangnya kuman Salmonella dari darah. Perbaikan klinis sering merupakan bukti dalam 48 jam dan panas serta tanda-tanda lainnya penyakit akan hilang dalam 3-5 hari pengobatan. Kepustakaan lain menyatakan 7 hari, tetapi pengobatan tetap dilanjutkan minimal 10-14 hari, atau dilanjutkan 5- 7 hari setelah ada perbaikan. Dosis kloramfenikol yang digunakan pada penderita demam tifoid sangat bervariasi, dosis mulai dari 30-50 mg/kgBB/hari sampai 50-100 mg/kgBB/hari (maksimum 2 gr/hari) dibagi 4 dosis selama 14-21 hari. Di Bagian Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung digunakan 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10-14 hari. Untuk neonatus (< 2 minggu) dapat diberikan 25 mg/kgBB/hari. Pengobatan umumnya secara oral, pada kasus yang berat diberikan secara intravena. Untuk anak malnutrisi, pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Pengobatan dengan kloramfenikol, kemungkinan relaps lebih tinggi dan tidak mencegah berkembangnya karier kronik. Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama karena murah dan mudah didapat. Anemia aplastik sebagai akibat kloramfenikol jarang terjadi, kejadiannya satu di antara 24000-40000 penderita yang memakai kloramfenikol. Pemberian kloramfenikol pada

Upload: savithri-subramaniam

Post on 28-Oct-2015

90 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

gg

TRANSCRIPT

Page 1: Tatalaksana Pemberian Obat Pada Demam Tifoid

VIII. Tatalaksana Pemberian Obat Pada Demam Tifoid

Obat yang DigunakanKloramfenikol dan penisilin masih tetap merupakan pilihan pertama untuk penderita demam tifoid, yang mana pasien biasanya menjadi tidak panas dalam 3-5 hari.

KloramfenikolKloramfenikol bekerja dengan cara menghambat sintesis protein bakteri dan mempunyai efek yang kecil terhadap fungsi metabolisme lainnya, bersifat bakteriostatik dan kadang-kadang bakterisid pada konsentrasi obat yang tinggi. Pada umumnya bakteri Gram-negatif dihambat oleh konsentrasi 2-5 μg/ml. Penderita yang mendapat pengobatan dengan kloramfenikol memperlihatkan efek terapinya setelah beberapa jam pemberian, berupa hilangnya kuman Salmonella dari darah. Perbaikan klinis sering merupakan bukti dalam 48 jam dan panas serta tanda-tanda lainnya penyakit akan hilang dalam 3-5 hari pengobatan. Kepustakaan lain menyatakan 7 hari, tetapi pengobatan tetap dilanjutkan minimal 10-14 hari, atau dilanjutkan 5-7 hari setelah ada perbaikan.Dosis kloramfenikol yang digunakan pada penderita demam tifoid sangat bervariasi, dosis mulai dari 30-50 mg/kgBB/hari sampai 50-100 mg/kgBB/hari (maksimum 2 gr/hari) dibagi 4 dosis selama 14-21 hari. Di Bagian Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung digunakan 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10-14 hari. Untuk neonatus (< 2 minggu) dapat diberikan 25 mg/kgBB/hari. Pengobatan umumnya secara oral, pada kasus yang berat diberikan secara intravena. Untuk anak malnutrisi, pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Pengobatan dengan kloramfenikol, kemungkinan relaps lebih tinggi dan tidak mencegah berkembangnya karier kronik. Sampai saat ini kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama karena murah dan mudah didapat.Anemia aplastik sebagai akibat kloramfenikol jarang terjadi, kejadiannya satu di antara 24000-40000 penderita yang memakai kloramfenikol. Pemberian kloramfenikol pada neonatus dapat menyebabkan sindrom Grey disertai muntah, flatulensi, hipotermia, syok, serta adanya kolaps. Adapun larangan pemberian kloramfenikol ditujukan pada anak dengan kolelitiasis dan atau disfungsi kandung empedu.

TiamfenikolTiamfenikol merupakan bentuk penyempurnaan dari kloramfenikol dengan struktur yang sama, sejak 10 tahun terakhir ini mulai banyak digunakan terutama di negara Eropa tetapi tidak beredar di Amerika. Tiamfenikol mempunyai daya penetrasi yang lebih baik sehingga mencapai kadar bakterisid yang lebih baik pula. Untuk pengobatan demam tifoid dapat digunakan dosis 50 mg/kgBB/hari pada minggu pertama lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis separuhnya. Dibandingkan dengan kloramfenikol, tiamfenikol mempunyai risiko lebih rendah untuk terjadinya anemia aplastik.

Ampisilin dan AmoksisilinAmpisilin dan amoksisilin merupakan antibiotik yang berspektrum luas dan termasuk golongan antibiotik penisilin. Antibiotik ini mempunyai mekanisme kerja antibakteri

Page 2: Tatalaksana Pemberian Obat Pada Demam Tifoid

berupa kerusakan dinding sel bakteri dengan menghambat sintesis peptidoglikan yang terdapat pada dinding sel. Ampisilin stabil dalam asam dan lebih aktif terhadap bakteri Gram-negatif, sedangkan amoksisilin serupa dengan ampisilin tetapi absorbsinya lebih baik dan memberikan kadar darah yang lebih tinggi.Ampisilin memberikan respons klinis yang lebih lambat dengan kegagalan pengobatan dan kejadian relaps masih lebih banyak bila dibandingkan degnan kloramfenikol. Panas akan turun dan gejala klinis membaik dalam waktu 3-5 hari pengobatan. Pemberian per oral 100-200 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis, selama 2 minggu (maksimum 8 gr/hari). Amoksisilin digunakan sebagai alternatif pengobatan bila ditemukan resistensi terhadap kloramfenikol. Sama baiknya dengan kloramfenikol, merupakan alternatif terpilih untuk demam tifoid, tanpa karier dan angka relaps 2%. Dosis amoksisilin adalah 40-100 mg/kgBB/hari, diberikan 3 kali selama 20-24 hari, untuk penderita yang resisten terhadap kloramfenikol, untuk karier kronik dapat diberikan dosis tinggi secara intravena. Ampisilin dan amoksisilin merupakan obat yang kurang mempunyai toksisitas langsung, kebanyakan efek samping berat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas. Reaksi alergi dapat berupa syok anafilaksis, urtikaria, panas, pembengkakan sendi, pruritus hebat, dan gangguan pernapasan, serta berbagai ruam kulit lainnya. Sedangkan reaksi toksisitas disebabkan oleh iritasi langsung karena suntikan i.m. atau i.v. dalam konsentrasi yang sangat tinggi berupa nyeri setempat, indurasi, tromboplebitis, atau degenerasi saraf yang disuntik secara tidak sengaja. Pemberian dosis besar per oral dapat menyebabkan gangguan saluran pencernaan terutama mual, muntah dan diare.

Trimetoprim dan SulfametoksazolTrimetoprim adalah sebuah antimetabolit yang mempengaruhi sintesis asam folat, sebuah penghambat dihidrofolat reduktase yang sangat selektif pada organisme rendah menghambat asam dihidrofolat reduktase pada bakteri. Sulfametoksazol dapat diberikan baik secara oral ataupun intravena. Trimetoprim terabsorbsi baik dari usus serta terdistribusi luas dalam cairan tubuh dan jaringan. Trimetoprim dan sulfametoksazol masing-masing mempunyai sifat sebagai bakteriostatik, tetapi apabila dikombinasi akan bersifat bakterisida. Dalam tahun 1986, kombinasi trimetoprim sulfametoksazol tampil sebagai obat terpilih untuk demam tifoid, terutama digunakan pada penderita yang alergi atau adanya dugaan kuat kuman S. typhi resisten terhadap kedua obat tersebut (ampisilin dan kloramfenikol).Respon penggunaan obat trimetoprim dan sulfametoksazol tidak sebaik respons terhadap ampisilin dan kloramfenikol, tetapi dapat menghasilkan banyak perbaikan klinis yang cepat walaupun tetap lebih lambat bila dibandingkan dengan kloramfenikol.Dosis peroral yang digunakan untuk TMP 10-12 mg/kgBB/hari dan SMZ 50-60 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis atau TMP 185 mg/m2/hari dan SMZ 925 mg/m2/hari, dibagi 2 dosis dua kali sehari selama 14 hari.Pemberian TMP-SMZ secara intravena, memerlukan 125 ml cairan pelarut untuk 80 TMP. Anak yang menerima antibiotik ini secara intravena harus hati-hati dengan memonitor pemasukan cairan.Pengobatan kurang dari 14 hari akan meninggalkan risiko relaps. Relaps tampaknya jarang terjadi pada pengobatan TMP-SMZ dibandingkan dengan kloramfenikol.

Page 3: Tatalaksana Pemberian Obat Pada Demam Tifoid

Trimetoprim-sulfametoksazol dapat memberikan efek samping berupa efek obat anti folat, terutama anemia megaloblastik, leukopenia, dan granulositopenia. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian asam folinat secara bersamaan 6-8 mg/hari. Di samping itu kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol dapat menyebabkan semua reaksi yang tidak diharapkan dan berhubungan dengan sulfonamid. Kadang-kadang juga timbul mual dan muntah, panas, vaskulitis, kerusakan ginjal atau gangguan susunan saraf.

Golongan SefalosporinMulti drug resistant Salmonella typhi (MDRST) adalah istilah yang diberikan pada kuman Salmonella typhi yang resisten terhadap tiga antibiotik oral pilihan pertama, yaitu kloramfenikol, ampisilin, dan trimetoprim-sulfametoksazol. Dari laporan resistensi terhadap kloramfenikol, wabah besar pertama demam tifoid yang disebabkan oleh kuman MDRST telah terjadi di Meksiko tahun 1972. sejak itu terdapat banyak kejadian wabah di seluhur belahan dunia, MDRST telah muncul sebagai masalah yang utama di Asia Selatan. Masalah ini juga didukung oleh sejumlah kasus MDRST yang terjadi pada anak dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi dibandingkan kuman yang sensitif terhadap obat. Baru-baru ini generasi ke-3 sefalosporin telah dipertimbangkan sebagai obat utama pada MDRST pada anak dengan hasil memuaskan (>90%).Di bawah ini akan dibahas beberapa obat-obatan dari golongan sefalosporin yang digunakan dalam pengobatan MDRST. Sefalosporin merupakan antibiotik yang menyerupai penisilin, tetapi resisten terhadap beta-laktamase serta aktif terhadap bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif.Mekanisme kerja sefalosporin analog dengan yang diterangkan untuk penisilin, yaitu menghambat sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Penggunaan sefalosporin pada demam tifoid dimulai pada generasi ke-3 sehubungan dengan sifatnya yang lebih aktif untuk melawan bakteri Gram-negatif. Seftriakson, sefotaksim, sefiksim, dan sefoperason adalah yang sering digunakan sebagai alternatif pengobatan pada MDRST, yang mana keberhasilannya mencapai lebih dari 90% serta angka relaps 0-48.Lama pengobatan dengan sefalosporin generasi ke-3 masih kontroversial, banyak yang menganjurkan 7-10 hari atau minimal 3 hari setelah ada tanda-tanda perbaikan. Hasil suatu penelitian mengatakan bahwa penggunaan sefiksim peroral sama efektifnya dengan penggunaan seftriakson intravena. Efek samping penggunaan sefalosporin berupa nyeri hebat setelah suntikan intramuskular dan tromboflebitis setelah suntikan intravena berulang. Reaksi toksik lainnya meliputi anafilaksis, urtikaria, ruam kulit, panas, eosinofilia, granulositopenia, dan anemia hemolitik. Pemberian peroral dapat menimbulkan diare, mual, muntah, dan peningkatan SGOT. Sedangkan reaksi alergi dapat berupa anakfilasis. Sefalosporin terutama diekskresi oleh filtrasi glomerulus dan diekskresi tubulus ke dalam urin yang mana kadarnya dapat mencapai 200-2000 ug/ml. Obat penghambat tubulus (misalnya probenesid) dapat sangat meningkatkan kadar serum. Pada gagal ginjal, dosis harus diturunkan karena ekskresi sefalosporin mungkin jelas akan terganggu serta kadar jaringan dan cairan yang tinggi dapat menimbulkan efek toksik.

Aztreonam

Page 4: Tatalaksana Pemberian Obat Pada Demam Tifoid

Aztreonam merupakan antibiotik beta-laktam selain golongan penisilin ataupun sefalosporin yang mempunyai efek terhadap Salmonella typhi. Aztreonam mempunyai aktivitas antimikroba seperti antibiotik beta-laktam, mengikat protein pengikat penisilin, merusak sintesis dinding sel bakteri, dan menyebabkan kematian kuman, sangat resisten terhadap hidrolisis oleh kebanyakan beta-laktamase. Antibiotik ini mempunyai aktivitas yang luar biasa secara invitro terhadap kuman aerob dan anaerob Gram-negatif. Dari hasil penelitian, aztreonam tampaknya memuaskan sebagai obat alternatif pada penderita demam tifoid atau kasus resisten terhadap kloramfenikol atau bila penggunaan kloramfenikol merupakan kontraindikasi. Aztreonam juga digunakan bila ditemukan penderita dengan riwayat alergi terhadap penggunaan obat penisilin atau sefalosporin.Hasil penelitian didapatkan lama perawatan dan penurunan tanda-tanda klinis terjadi secara bersama-sama, tidak ditemukan adanya relaps. Leukopenia yang berat dan neutropenia yang berat telah diobservasi pada satu pasien yang diobati dengan aztreonam. Dari hasil penelitian dengan dosis 150 mg/kgBB/hari pada anak demam tifoid, aztreonam memperlihatkan lama pengobatan yang sama dengan kloramfenikol. Perbaikan klinis terjadi dalam waktu yang sama pula. Kultur darah didapatkan hasil steril dalam waktu yang sama setelah pengobatan.

QuionolonQuinolon adalah antimikroba sintesis yang merupakan derivat dari asam piridonkarboksilat. Efek bakterisidal diperoleh dengan cara menghambat aktivitas enzim DNA girase. Spektrum antibiotiknya sangat besar, meliputi kuman Gram-positif dan negatif, termasuk kuman yang telah resisten terhadap antibiotik golongan beta-laktam dan aminoglikosida. Quinolon dapat diberikan peroral dan didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan kecuali otak. Mekanisme resistensi obat quinolon pada suatu populasi kuman masih sulit untuk diterangkan. Quinolon telah digunakan pada penderita dengan keadaan karier Salmonella typhi. Efek samping yang terjadi akibat penggunaan obat ini adalah rendah berupa mual, muntah, anoreksia, rasa tidak enak, nyeri gastrointestinal, dan diare; efek pada sistem saraf dapat berupa nyeri kepala, mabuk, gangguan tidur; efek pada sistem sirkulasi bisa berupa hipotensi, reaksi hipersensitivitas. Sedangkan kontraindikasi pemberian quinolon adalah untuk penderita yang hipersensitif terhadap quinolon, lesi pada sistem saraf, anak/remaja yang sedang tubuh, dan wanita hamil.Dari hasil penelitian terhadap penderita demam tifoid, didapatkan data bahwa quinolon memiliki daya hambat yang luar biasa terhadap kuman Salmonella typhi. Pengobatan selama 7 hari didapatkan penurunan demam dalam 2-7 hari (kloramfenikol 2-6 hari), serta terbukti efektif dalam mengobati penderita yang kambuh setelah pengobatan kloramfenikol. Dosis pada dewasa diberikan antara 2x200 mg sampai 3x300 mg yang mana tidak seorang pun mengalami relaps atau kekambuhan, sehingga obat ini merupakan salah satu obat alternatif yang baik pada pengobatan demam tifoid dan sekaligus dapat mencegah penularan lebih lanjut dari penyakit ini di kalangan masyarakat.