tatalaksana asma pada anak

66
TATALAKSANA ASMA PADA ANAK RAHMAH INDRIYANI

Upload: gustiandari-fidhya

Post on 26-Sep-2015

48 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Penatalaksanaan Asma Pada anak Power Point Presentation

TRANSCRIPT

TATALAKSANA ASMA PADA ANAK

TATALAKSANA ASMA PADA ANAK

RAHMAH INDRIYANI

Berdasarkan GINA tatalaksana serangan asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu Tatalaksana dirumah dan di Rumah sakit.

Tatalaksana dirumah dilakukan oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri.

Hal ini dapat dilakukan oleh pasien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur dan mempunyai pendidikan yang cukup.

Panduan pengobatan dirumah, terapi awal yang diberikan adalah inhalasi B-agonis kerja cepat sebanyak 2 kali dengan selang waktu selama 20 menit.

Bila belum ada perbaikan, segera mencari pertolongan ke dokter atau sarana kesehatan.

Tatalaksana diklinik atau UGD

Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan ke UGD langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi asma.

Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian B2 agonis kerja cepat dengan penambahan garam fisiologis secara nebulisasi.

Nebulisasi serupa dapat diulang 2 kali dengan selang waktu 20 menit.

Pada pemberian ketiga, dapat ditambahkan obat anti-kolinergik.

Jika menurut awal pasien datang jelas dalam keadaan serangan berat maka langsung diberikan nebulisasi B-agjonis dikombinasi dengan obat anti-kolinergik.

Tatalaksana di UGD berdasarkan beratnya asma

Serangan asma ringan

Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukan respon yang baik berarti derajat serangannya ringan. Kemudian pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan -> pasien dapat dipulangkan.

Pasien dibekali obat B-agonis (inhalasi atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam

Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus maka ditambahkan steroid oral jangka pendek dalam waktu 3-5 hari.

Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk re-evaluasi tatalaksana.

Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga re-evaluasi dilakukan di klinik rawat jalan.

Serangan asma sedang

Jika dengan pemberian nebulisasi 2 kali pasien hanya menunjuka respons parsial -> kemungkinan derajat serangannya sedang.

Jika serangannya sedang, inhalasi langsung dengan B2-agonis dan ipratropium bromide (antikolinergik), pasien perlu diobservasi dan ditangani di ruang rawat sehari.

Pada serangan asma sedang, diberikan kortikosteroid sistemik (oral) metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.

Serangan asma berat

Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukan respons yaitu gejala dan tanda serangan masih ada -> pasien harus dirawat diruang rawat inap.

Serangan asma berat diberikan B2 agonis dan antikolinergik. Oksigen 2-4L/m diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi.

Sedangkan bila pasien menunjukan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat di ruang rawat intensif.

Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari

Pemberian oksigen sejak dari UGD dilanjutkan. Setelah di UGD menjalani nebulisasi B-agonis + antikolinergik bila perlu tiap 2 jam. Kemudian diberikan steroid sistemik oral (metilprednisolon, prednison atau triamsinolon). Pemberian kortikosteroid dilanjutkan sampai 3-5 hari. Jika dalam 8-12 jam keadaan klinis membaik -> pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien ringan yang dipulangkan dari UGD.

Bila dalam 12 jam responnya tetap tidak baik maka pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan tatalaksana serangan asma berat.

Tatalaksana di Ruang Rawat Inap

Pemberian oksigen diteruskan.

Jika ada dehidrasi atau asidosis, maka atasi dehidrasi dengan pemberian cairan intravena dan evaluasi kemudian.

Steroid IV diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam drengan dosis 0,5-1 mg/kgBB/hari.

Nebulisasi B2-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis jarak pemberian diperlebar jadi 4-6 jam.

Aminofilin diberikan secara IV dengan ketentuan sebagai berikut :

Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml diberikan 20-30 menit.

Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya ( kurang dari 4 jam), dosis yang diberikan adalah setengah dosis inisial.

Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 10-21 ug/ml

4 jam kemudian duberikan aminofilin dosis rumatan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam.

Jika telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam sampai dengan 24 jam. Steroid dan aminofilin diganti dengan pemberian per oral.

Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat B-agonis (inhalasi atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dala 24-48 jam untuk re-evaluasi tatalaksana.

Kriteria Rawat di Ruang Intensif

Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah menunjukan tanda ancaman henti napas langsung dirawat di ICU. Kriteria pasien yang memerlukan perawatan ICU adalah sebagai berikut :

Tidak ada respon sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD atau perburukan serangan asma yang cepat.

Adanya kebingungan, disorientasi dan tanda lain ancaman henti napas atau hilangnya kesadaran.

Ancaman henti napas, hipoksemia tetap terjadi walaupun diberi oksigen (kadar PaO2 , 60 mmHg atau PCO2 >45 mmHg)

Terapi Medikamentosa

Bronkodilator

Beta Adrenergik Kerja Pendek (short acting).

Mekanisme : stimulasi terhadap reseptor-reseptor beta adrenergik -> perubahan ATP menjadi cyclic-AMP -> timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi.

Efek lain : peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vascular da berkurangnya pelepasan mediator dari sel mast.

Reseptor B1 terutama terdapat di jantung sedangkan reseptor B2 berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel infalamsi, jantung, pembuluh darah, otot lurik.

Goloongan obat ini adalah : epinefrin/adrenalin dan B2 agonis selektif.

Epinefrin/adrenalin

Pada umumnya, epinefrin tidak direkomendasikan lagi untuk mengobati asma, kecuali jika tidak ada obat B2-agonis selektif.

Epinefrin terutama diberikan jika ada reaksi anafilaksis atau angioedema. Obat ini dapat diberikan secara subkutan atau inhalasi aerosol.

pemberian SC -> larutan epinefrin 1:1000 (1 mg/ml) dengan dosis 0,01 ml/kgBB dapat diberikan sebanyak 3 kali selang waktu 20 menit.

Mula kerja adrenalin SC adalah 5-15 menit efek puncaknya 30-120 menit durasi efeknya 2-3 jam.

Epinefrin akan menimbulkan stimulasi pada reseptor B1, B2, dan a sehingga akan menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.

B2-agonis selektif

Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, terbutalin dan fenoterol. Dosis salbutamol oral adalah 0,1-0,15 mg/kgBB/kali diberikan tiap 6 jam. Dosis terbutalin oral 0,05-0,1 mg/kgBB/kali diberikan tiap 6 jam, fenoterol 0,1 mg/kgBB/kali tiap 6 jam.

Pemberian secara oral akan menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit efek puncaknya dalam 2-4 jam dan lama kerjanya sampai 5 jam.

Pemberian secara inhalasi (dengan inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja yang lebih cepat (1 menit), efek puncak dicapai dalam 10 menit, dan lama kerja 4-6 jam.

Pemberian secara inhalasi lebih disukai daripada pemberian SC atau IV karena dapat mengurangi rasa nyeri dan kegelisahan pasien.

Untuk serangan ringan -> diberikn metered dose inhaler (MDI) 2-4 semprotan tiap 3-4 jam.

Untuk serangan sedang diberikan 6-10 semprotan tiap 1-2 jam, sedangkan serangan berat memerlukan 10 semportan.

Pemberian dengan MDI > dari 6 semprotan harus dengan pengawasan dokter.

Salbutamol dapat diberikan dengan nebuliser dengan dosis 0,1-0,15 mg/kgBB (dosis mas : 5 mg/kali) dengan interval 20 menit atau nebulisasi secara kontinu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/ jam (dosis max : 15 mg/jam).

Pasien yang tidak responsif dengan pemberian 2 kali inhalasi atau nebuliser dikategorikan sebagai non-responder dan pada inhalasi ketiga dapat ditambahkan ipratropium bromida.

Berdasarkan teori, pemberian obat B-agonis secara IB berguna untuk serangan asma berat karena pada keadaan ini obat B-agonis inhalalasi sulit untuk mencapai jalan napas dibagian distal obstruksi. Dan tidak ada perbedaan antara pemberian IV atau inhalasi.

Pemberian B2-agonis IV dapat dipertimbangkan jika pasien tidak berespon dengan pemberian nebulisasi B2-agonis, kortikosterois IV dan teofilin + ipratropium bromida.

Salbutamol IV dapat diberkan dengan dosis mulai dari 0,2 mcg/kgBB/menit dan dinaikan 0,1 mcg/kg setiap 15 menit dengan dosis max 4 mcg/kgBB/menit.

Efek samping : tremor otot skeletal, sakit kepala, palpitasi dan takikardia.

Methyl Xanthine (Teofilin Kerja Cepat)

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan B2-agonis inhalasi, tetapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obai ini sebaiknya diberikan hanya serangan asma berat yang dengan pemberian kombinasi B2-agonis dan antikolinergik serta steroid kurang memberikan respons.

Konsentrasi obat ini di darah harus dijaga sekitar 10-20 mcg/ml agartetap memiliki efek terapi.

Dosis aminofilin IV jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya dosis awal sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam 20 ml dekstrosa 5% atau garam fisiologis diberikan 20-30 menit.

Jika pasien sudah mendapat aminofilin kurang dari 12 jam sebelumnya, dosis diberikan setengahnya.

Selanjutnya aminofilin diberikan dosis rumatan yaitu 0,5-1 mg/kgBB/jam. Dosis maksimal aminofili adalah 16-20 mg/kgBB/hari .

Karena farmakokinetik teofilin dipengaruhi oleh usia pasien, dosis awal aminofilin berbeda-besa sesuai dengan usia :

Usia 1-6 bln -> 0,5 mg/kgBB/jam

Usia 6-11 bln -> 1,0 mg/kgBB/jam

usia 1-9 thn -> 1,2-1,5mg/kgBB/jam

4. Usia > 10 tahun -> 0,9 mg/kgBB/jam.

Efek samping : mual, muntah dan sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardia dan aritmia.

Anti-kolinergik

Ipratropium bromida

Pemberian kombinasi nebulisasi B2-agonis dan antikolinergik menghasilkan efek yang lebih baik daripada jika masing-masing obat diberikan secara sendiri-sendiri. Kombinasi ini sebaiknya diberikan jika 1 kali nebulisasi B2-agonis tidak/kurang memberikan respon. Dosis yang dianjutkan adalah 0,1 mg/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam. Dapat juga diberikan dalam larutan 0,025% dengan dosis usia >6 th : 8-20 tetes

Untuk usia < 6 tahun : 4-10 tetes

Efek sampingnya adalah kekeringan (minimal) atau rasa tidak enak di mulut .

KORTIKOSTEROID

Pemberian kortikosteroid sistemik mempercepat perbaikan serangan asma dan pemberiannya merupakan bagian tatalaksana dari asma.

Kortikosteroid sistemik diberikan apabila :

Terapi inisial inhalasi B2 agonis kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama.

Serangan asma tetap terjadi meskipun pasien telah menggunakan kortikosteroid inhalasi sbg controler.

3. Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Pemberian glukokortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai perbaikan klinis., efek max dicapai dalam 12-24 jam.

Pemberian kortikosteroid bisa mencegah progresivitas asma, mencegah perlunya rawat inap di RS, mengurangi gejal, memperbaiki fungsi paru

Preparat oral yang digunakan adalah : prednison, prednisolon atau triamsinolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari.

Kortikosteroid IV perlu diberikan pada kasus asma yang dirawat di RS. Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena memiliki kemampuan penetrasi ke jaringan paru yang lebih baik, efek anti inflamasi yag lebih besar serta efek mineralokortikosterois minimal.

Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB diberikan tiap 4-6 jam.

Hidrokortison IV diberikan dengan dosis 4 mg/kgBB setiap 4-6 jam.

Deksametason diberikan secara bolus IV dengan dosis -1 mg/kgBB dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari diberikan setiap 6-8 jam.

Pada pasien yang intoleran terhadap prednison oral, dapat diberikan inhalasi steroid dosis tonggi (efektivitasnya sama).

Obat-obat lain

Magnesium sulfat

Dianjurkan sbg terapi sistemik pada serangan asma berat. Pemberian obat ini dapat dipertimbangkan pada anak dgn serangan asma berat yg dirawat di ICU terutama yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroi sistemik dan nebulisasi berulang dgn B2 agonis dan aminofilin.

Efeknya : bronkodilator

Dosis : 25-50 mg.kgBB IV diberikan selama 1 jam.

Kadar Mg serum sebaiknya diperiksa setiap 6 jam karena kadar di dalam darah tetap sebesar 3,5-4,5 meq/dl.

Efek samping : kelemahan otot, penurunan refleks tendon, hipotensi, takikardia, mual, muntah, flushing

Pada penelitian -> pemberian Mg sulfat 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20 meniy dilanjutkan 30 mg/kgBB/jam -> memiliki efektivitas yang sama dgn pemberian B2 agonis.

Mukolitik

Pemberian mukolitik pada serangan asma ringan dan sedang dapat dilakukan tetapi harus HATI-HATI pada anak dgn refleks batuk yang tidak optimal.

Mukolitik inhalasi tidak mempunyai efek yang signifikan -> pada serangan asma berat justru bisa memperberat batuk dan menghambat aliran napas.

Antibiotik

Terapi suportif : oksigen

Tatalaksana Jangka Panjang Asma pada Anak

Tujuan tatalaksana asma jangka panjang :

Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak pada umumnya, termasuk bermain dan berolahraga.

Sesdikit mungkin angka absensi sekolah.

Gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari.

4. uji fungsi paru senormal mungkin

kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan

6. Efek samping obat dapat dicegah sehingga tidak/sedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Tatalaksana Medikamentosa

Obat asma dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

Obat pereda (reliever)

Obat pengendali (controller)

Obat pereda disebut juga obat pelega/obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma yang sedang timbul. Jika serangan sudah menghilang, maka obat ini tidak digunakan lagi.

Kelompok obat pengendali disebut juga pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi kronik saluran napas. Sehingga obat ini digunakan terus-menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, bergantung pada derajat penyakit asma dan responnya terhadap pengobatan.

ASMA EPISODE JARANG

Cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator B-agonis inhalasi kerja pendek atau golongan xantin kerja cepat hanya apabila perlu saja.

Anjuran menggunakan inhalasi tidak mudah dilakukan karena obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua daerah. Selain itu pemakaian obat inhalasi memerlukan pelatihan yang benar dan membutuhkan alat bantu.

Bila obat inhalasi tidak ada, dapat diberikan B-agonis per oral.

Berdasarkan Pedoman Nasional Asma Anak, pemberian anti-inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan tidak dianjurkan.

Hal ini sesuai dengan GINA, obat pengendali belum diperlukan pada asma intermitten dan baru diperlukan pada asma persisten ringan.

Obat pengendali yang diberikan adalah anti-inflamasi yaitu steroid inhalasi dosis rendah atau kromoglikat inhalasi.

ASMA EPISODE SERING

Penggunan B-agonis inhalasi lebih dari 3 kali/minggu atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan merupakan indikasi penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali.

Dahulu anti-inflamasi lini pertama yang digunakan adalah kromoglikat (kurang bermanfaat pada tatalaksana jangka panjang.

Atas dasar ini PNAA revisi terakhir tidak mencantumkan kromolin sebagai lini pertama melainkan Kortikosteroid dosis rendah.

obat steroid inhalasi yang sering digunakan pada anak adalah budesonid sehingga digunakan sebagai OBAT STANDAR.

Dosis rendah steroid inhalasi : 100-200 ug/hari budesonid (flutikason : 50-100 ug/hari) untuk anak berusia 800 ug/hari agaknya mulai timbul pengaruh terhadap poros hipotalamus-hipofisis adrenal sehingga dapat berdampak pada pertumbuhan.

Efek samping steroid inhalasi dapat dikurangi dengan penggunaan alat pemberi jarak berupa perenggang (spacer) -> mengurangi deposisi obat di daerah orofaringeal -> shg mengurangi absorpsi sistemik dan meningkatkan deposisi obat di paru.

Jika setelah pemberian steroid inhalasi dosis rendah tidak timbul respon yang baik, diperlukan terapi alternatif lainnya yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau tetap memberikan steroid dosis rendah ditambah LABA (long-active B-agonis) atau theophylline slow release (TSR) atau antileucotrien reseptor (ALTR).

Dosis medium steroid inhalasi 12 tahun 400-600 ug/hari ( flutikason : 200-300 uh/hari).

Apabila dengan pengobatan lini kedua selama 8-12 minggu tetap terdapat gejala asma, dapat diberikan alternatif lini ketiga yaitu meningkatkan dosis steroid sampai dengan dosis tinggi atau tetap dosis medium ditambah LABA atau TSR atau ALTR.

Dosis tinggu steroid inhalasi setara dengan >400 ug/hari budesonid pada anak usia 600 ug/hari budesonid untuk anak berusia diatas 12 tahun.

Jika dosis inhalasi sudah mencapai >800 ug/hari tetapi tetap tidak ada respon yang biak -> digunakan kortikosteroid oral (sistemik).

Dosis awal : 1-2 mg/kgBB/hari.

Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang sehari pada pagi hari.

Penggunaan korikosteroid oral harus hati-hati -> efeknya berbahaya.

Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) -> ada laporan adanya penngakatan enzim hati. Hal inilah yang menjadi kontraindikasi pada pasien kelainan hati.

Kebijakan Step up dan Step down

Kebijakan step up :

- pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah dilakukan.

Pemberian obat sudah tepat susunannya dan sudah tepat caranya.

Tindakan 1 dan 2 itu sudah dicoba selama 4-6 minggu.

Efek samping ICS tidak ada

Kebijakan step down

- pengendalian lingkungan harus tetap baik

Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.

ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis terkecil yang masih dapat mengendalikan asmanya.

Obat-obat tatalaksana JP

Steroid inhalasi dosis rendah

penggunaan steroid inhalasi dosis rendah 100-200 ug budesonid atau setara untuk asma episode sering. Menurut PNAA, steroid inhalasi dosis rendah baru digunakan jika penggunaan Disodium cromoglycate tidak berhasil.

Glukokortikoid

dosis yang dapat digunakan adalah sampai 400 ug/hari

Disodium cromoglycate -> obat ini tidak ada di Indonesia. Kemampuan obat untuk mengatasi inflamasi dan mencegah AR lebih rendah bila dibandingkan dgn steroid inhalasi dosis rendah. Namun obat ini tidak mempunyai efek samping.

Anti-leukotrien

ada 2 preparat :

1. Montelukast -> belum ada di Indonesia

2. Zafirlukast -> digunakan untuk anak yang usianya > 7 tahun. Efek samping -> dapat mengganggu fungsi hati

sehingga pada bulan-bulan pertamanya -> diperlukan pemantauan pada fungsi hati. Dosis dibagi menjadi 2 kali dalam sehari, diberikan saat perut kosong (ac).

Bila dosis harian steroid inhalasi sudah mencapai 400 ug/hari atau gejala stadium asma persisten belum dapat terkendali maka perlu kita tinjau obat tambahan :

1. LABA (Long acting B2 agonist)

ada 2 preparat inhalasi : salmeterol dan formeterol dan 1 obat oral yaitu procaterol. Formeterol + budesonid -> mengurangi kerja NFk-y -> menekan kerja neofibroblas.

Pemberian steroid inhalasi 400 ug dengan tambahan LABA -> lebih baik daripada dosis steroid inhalasi menjadi 2 kali lebih tinggi, dilihat dari sering timbulnya gejala serangan, FEV 1 pagi dan sore hari, serta menurunkan hiperreaktivitasdan AR.

Kini terdapat kombinasi antara steroid + LABA ini :

1. fluticasone + salmeterol -> seretide (MDI)

2. budesonid + formoterol -> symbicort (DPI)

Keuntungannya dalam kombinasi ini adalah :

penggunaan obat menjadi lebih mudah dan ketaatan pemakaian obat meningkat. Harganya cukup memadai. Efeknya juga saling melengkapi.

LTRA (Leukotriene receptor antagonist)

Teofilin lepas lambat

Jika pengobatan diatas tidak berhasil -> dosis steroid inhalasi menjadi 800 ug. Jikan dengan dosis ini asma baru terkendalikan maka reseptor glukokortikoid sudah kurang sensitif atau bahkan sudah resisten.

Pada keadaan ini harus dilakukan evaluasi

Jika pengobatan steroid inhalasi dosis tinggi tetap tidak ada perbaikan -> diberikan steroid oral tapi efek sistemik lebih sering terjadi.

Pada serangan asma, steroid oral berupa prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB/hari seringa dibagi dalam 1 atau 2 dosis.