tasawuf dan pendidikan karakter...1 tasawuf dan pendidikan karakter implementasi nilai-nilai...

111
1 TASAWUF DAN PENDIDIKAN KARAKTER Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara Penulis: Dr. H. Subaidi, M.Pd Dr. H. Barowi, M.Ag Pengantar: Prof. Dr. H. Muhtarom (Direktur Pascasarjana Universitas Wahid Hasyim Semarang) Editor : Dr. Samidi Khalim, M.S.I

Upload: others

Post on 11-Feb-2021

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    TASAWUF DAN

    PENDIDIKAN KARAKTER

    Implementasi Nilai-Nilai Sufistik

    Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara

    Penulis:

    Dr. H. Subaidi, M.Pd

    Dr. H. Barowi, M.Ag

    Pengantar:

    Prof. Dr. H. Muhtarom

    (Direktur Pascasarjana Universitas

    Wahid Hasyim Semarang)

    Editor :

    Dr. Samidi Khalim, M.S.I

  • 3

    TASAWUF DAN

    PENDIDIKAN KARAKTER

    Implementasi Nilai-Nilai Sufistik

    Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara

    Penulis:

    Dr. H. Subaidi, M.Pd

    Dr. H. Barowi, M.Ag

    Pengantar:

    Prof. Dr. H. Muhtarom

    (Direktur Pascasarjana Universitas

    Wahid Hasyim Semarang)

    Editor :

    Dr. Samidi Khalim, M.S.I

  • TASAWUF DAN PENDIDIKAN KARAKTER

    Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA Matholi’ul Huda

    Bugel Jepara

    Hak cipta dilindungi undang-undang

    Penulis : Subaidi, Barowi

    Editor : Samidi Khalim

    Pengantar : Muhtarom

    Layout : ……………….

    Desain Cover : ………………..

    TASAWUF DAN PENDIDIKAN KARAKTER

    Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA Matholi’ul Huda

    Bugel Jepara

    Diterbitkan oleh……………..

    Cetakan I, Desember 2018

    viii + 111 hlm., 17 x 24 cm.

    ISBN : 978-602-364-585-5

    Pencetak:

    …………………….

    Jl…………………..

    Telp.:……………………….

    Email:………………………..

    Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

    tanpa seizin tertulis dari penulis

  • 5

    PRAKATA

    َّرِحْي ِبْسم هللا الّرْْحِن ال

    نَْيا َوادّليْنِ ،َالَْحْمُد لِِلِ َرّبِ الَْعا لَِمْيَ تَِعْيُ عَََل ُاُمْوِر ادلُّ اَلم ،َوِبِه نَس ْ اَلُة َوالسَّ ِدََن ََل َ َ عَ َوالصَّ يِّ

    ٍد ـِلْيَ ُمَحمَّ ََ ِد اََلنِْبـَياِء َوِاَماِم ْاملُـْر يِّ ا بَْعدُ َ َ ، أَمَّ ِبِه َاْْجَِعْيَ َوعَََل اَِِلِ َوََصْ

    Teriring puji dan syukur ke hadirat Allah SWT. Shalawat dan salam

    senantiasa dihaturkan ke pangkuan Nabi Muhammad Saw., keluarga, para

    sahabat dan umatnya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat,

    hidayah, dan inayah-Nya kepada kita, Amin.

    Syukur Alhamdulillah, buku berjudul:TASAWUF DAN PENDIDIKAN

    KARAKTER Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb di MA

    Matholi’ul Huda Bugel Jepara ini telah selesai penulisannya. Penulis berharap

    semoga buku ini banyak manfaat bagi pembaca secara umum, khususnya

    santri, pelajar dan mahasiswa, Amin….

    Kritik dan saran dari semua pihak selalu diharapkan demi perbaikan

    buku ini, dan disampaikan banyak terimakasih.

    Jepara, Desember 2018

    `al-Faqir,

    Dr. H. Subaidi, M.Pd.

  • KATA PENGANTAR

  • 7

    PENGANTAR EDITOR

    Buku yang ditulis Dr. H. Subaidi, M.Pd ini merupakan hasil riset di

    Madrasah Aliyah Matholi’ul Huda Bugel Jepara. Sebuah upaya untuk

    menganalisis ajaran tasawuf antara teks dan konteks. Teks yang termaktub

    dalam kitab Tanwĩrul Qulûb karya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (sufi

    dari Irak yang hidup pada abad ke-13) dijadikan sebagai pijakan untuk

    melihat praktik pendidikan karakter yang diaplikasikan oleh MA Matholi’ul

    Huda Bugel Jepara.

    Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi merupakan Ulama Besar dan

    guru Thariqat al Qadiriyah, thariqat yang dinisbatkan kepada Syaikh Abdul

    Qadir Al-Jaelani dari Irak (1077-1166 M). Amin Al-Kurdi dalam fikihnya

    bermadzab Syafi’i, dan juga menguasai berbagai disiplin ilmu agama yang

    lain, seperti ilmu hadis dan tafsir. Pada dasarnya pemikiran Amin Al-Kurdi

    memadukan tiga prinsip keislaman, yaitu: akidah, fikih dan tasawuf. Dalam

    kitab Tanwĩrul Qulûb, Syaikh Amin Al-Kurdi membagi kajiannya menjadi

    tiga bagian besar yaitu; bidang akidah diniyyah (akidah keagamaan); bidang

    fikih yang mengikuti ajaran Madzhab Imam as-Syafi’i; dan bidang tasawuf

    yang berdasarkan kepada ajaran akidah Ahlussunah wal Jama’ah al-

    Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan menyertakan dalil-dalilnya, baik itu dalil

    aqli maupun dalil naqli.

    MA Matholi’ul Huda yang berada di Jl. Raya Desa Bugel, Kecamatan

    Kedung, Kabupaten Jepara ini berdiri sejak tahun 1943, namun secara riil

    beroperasi menerima murid pada tahun 1965. Sebagai lembaga pendidikan

    Islam telah menerapkan pendidikan akhlak kepada anak didiknya dalam

    setiap mata pelajaran dan aktivitas. Pendidikan akhlak yang identik dengan

    pendidikan karakter menjadi salah satu misi yang diemban oleh MA

    Matholi’ul Huda. Karakter atau akhlak merupakan tabiat, watak, atau sifat-

    sifat kejiwaan seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Oleh

    sebab itu MA Matholiul Huda Bugel Jepara ini bertujuan meningkatkan

    mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang menagrah pada mencapai

    pembentukan karakter (akhlak) anak-anak didiknya secara utuh, terpadu dan

    seimbang.

    Sistem pendidikan yang diterapkan di MA Matholi’ul Huda Bugel

    inilah yang kemudian dikaji oleh Saudara Dr. Subaidi, M.Pd. Melalui

    kacamata tasawuf, khususnya ajaran Tasawuf Syaikh Muhammad Amin Al-

    Kurdi dalam Kitab Tanwĩrul Qulûb. Berdasarkan penelitian Dr. Subaidi,

    M.Pd, setidaknya ada 34 ajaran tasawuf Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi

    yang telah diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar (KBM) di MA

    Matholi’ul Huda Bugel Jepara.

    Adapun nilai-nilai sufistik dalam kitab Tanwĩrul Qulûb yang sudah

    diaplikasikan dalam KBM di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara melalui

    model pembiasaan membaca kalimat thayyibah, melantunkan tilawah ayat-

  • ayat al-Quran, do’a dan dzikir. Pembentukan karakter kepribadian diri

    melalui pembiasaan disiplin, jujur, dan tanggungjawab dalam semua aktivitas

    pembelajaran. Pembentukan karakter sosial di MA Matholi’ul Huda ini

    melalui budaya sikap toleransi, peduli pada lingkungan dan sesama, sikap

    demokratis.

    Masih banyak lagi nilai-nilai sufistik Kitab Tanwĩrul Qulûb karya

    Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi yang sudah diterapkan sebagai

    pendidikan karakter di MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara. Maka untuk lebih

    jelasnya bagaimana praktik pendidikan karakter tersebut, silahkan pembaca

    menikmati sajian buku ini; “Tasawuf dan Pendidikan Karakter”.

    Semarang, 10 Desember 2018

    Editor,

    Samidi Khalim

  • 9

    DAFTAR ISI

    Kata Pengantar ................................................................................... v

    Daftar Isi ............................................................................................. vi

    BAB I

    Pendahuluan ………………………………………………………...

    1

    BAB II

    Sufisme dan Pendidikan Karakter …………………………………..

    7

    BAB III

    Mengenal Syaikh Amin al-Kurdi dan Kitab Tanwĩrul Qulûb ………

    15

    BAB IV

    Ajaran Tasawuf Dan Pengembangan Pendidikan Karakter ………...

    19

    BAB V

    Implementasi Nilai-Nilai Sufistik Dalam Pendidikan Karakter di

    MA Matholi’ul Huda Bugel Jepara ………………………................

    88

    BAB VI

    Penutup ……………………………………………………………...

    93

    Daftar Pustaka ……………………………………………................ 95

    Biografi Penulis …………………………………………………….. 101

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    emajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak dibarengi oleh

    kematangan jiwa adalah bagaikan granat hidup di tangan anak-anak

    yang akan membahayakan kelangsungan hidup (Madjid, 2000: 582). Disisi

    lain diungkapkan, kemajuan dan kemakmuran pada masyarakat industri,

    ternyata menimbulkan kemiskinan baru, yaitu kemiskinan akhlak Islam dan

    spiritualitas. Hal demikian merupakan gejala menarik, bukan saja yang

    menimpa pada masyarakat maju dan rasional, namun manakala ketenangan

    batin sudah lenyap, maka siapa pun akan tertarik dan rindu untuk mencari

    ketenangan yang tak sebatas kesenangan hedonism (Umar, 2000: 5). Oleh

    karena itu, akhlak Islami berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol

    manusia, agar dimensi kemanusiaan tidak ternodai oleh modernisasi yang

    mengarah kepada dekadensi moral, sehingga ia akan menghantarkan manusia

    pada tercapainya keunggulan moral (Ulfah & Istiyani, 2016: 95-96).

    Pendidikan akhlak Islami dalam konteks pendidikan Islam adalah upaya

    pendewasaan jiwa peserta didik dalam perjalanan menuju kedekatan dengan

    Allah SWT. Dalam berbagai referensi ilmiah, pendidikan akhlak Islam adalah

    merubah peserta didik dari jiwa yang kotor menuju jiwa yang bersih, dari nalar

    yang belum tunduk kepada Allah menuju nalar yang patuh kepada syari’at, dari

    hati yang keras dan berkarat menuju hati yang lembut dan jernih. Merubah

    dari rohani yang jauh dari kesadaran kepada Allah lalai dalam beribadah

    dan kurang ikhlas melakukannya menuju rohani yang ma’rifat kepada Allah

    dan senantiasa berbakti kepada-Nya dengan tulus, dari tubuh yang kurang

    mentaati aturan syari’at menuju menjadi tubuh yang senantiasa memegang

    aturan-aturan syariat Allah (Hawwa, 2006: 69). Dengan demikian peserta

    didik akan terus meningkat kecerdasannya, sehingga secara berangsur-angsur

    akan terbentuk ahlak al-karimah pada jiwa mereka (Mufid, 2016: 255).

    Untuk memberikan gambaran jawaban persoalan diatas maka

    keberadaan pendidikan Islami sangat diperlukan dalam upaya

    mengembangkan potensi individu dan membentuk generasi yang berakhlak

    mulia sebagaimana ajaran Islam. Dharma Kesuma mengatakan bahwa tujuan

    pendidikan haruslah mengarah kepada busemata (Kesuma, 2011: 8).

    Berdasarkan latar belakang tersebut, maka buku ini berupaya

    K

  • 11

    membahas pemikiran Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi dalam kitab

    Tanwĩrul Qulûb. Kitab tersebut berisi tentang ajaran sufisme yang

    dipengaruhi oleh para guru mursyid tariqah. Ajarannya menekankan pada

    pentingnya pembersihan hati (tashfiyatul qalb) dan perilaku terpuji (al-

    akhlaq al-mahmudah). Pendidikan sufistik yang berupaya membentuk

    perilaku terpuji ini sejalan dengan konsep pendidikan karakter yang sedang

    digalakkan oleh pemerintah Indonesia.

    Pendidikan Karakter menurut Para Pakar

    Sejauh penelusuran penulis telah ditemukan beberapa hasil penulisan

    yang mendeskripsikan tentang pendidikan karakter baik dalam buku-buku

    pendidikan karakter pada umumnya, maupun pendidikan karakter lainnya.

    Namun dalam kajian pustaka ini, penulis akan mendeskripsikan kajian

    pendidikan karakter hanya pada teks-teks keislaman yang terdapat dalam

    kitab Tanwĩrul Qulûb karya Amin al Kurdi. Adapun beberapa penulisan

    dimaksud antara laian:

    Jurnal Pendidikan Agama Islam Volume 3 Nomor 2 November 2015

    yang ditulis Rangga Sa’adillah S.A.P.,“Pendidikan Karakter Menurut KH.

    Wahid Hasyim”. Penulisan ini mendeskripsikan tentang nilai-nilai

    pendidikan karakter yang diajarkan KH. Abdul Wahid Hasyim sejalan dengan

    tujuan pendidikan karakter yakni membngun kehidupan kebangsaan yang

    multiKultural, membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur,

    dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia,

    mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikir baik, dan berlaku

    baik serta keteladanan baik, membangun sikap damai, kreatif, mandiri, dan

    mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain (Sa’adillah, 2015: 275).

    Jurnal Ta’dib Volume 16 No.2 (Desember 2013) yang ditulis oleh

    Deswita, “Konsep Pemikiran Ibnu Sina tentang Pendidikan Akhlak”.

    Penulisan ini menjelaskan tentang pendidikan akhlak yang mengintegrasikan

    nilai-nilai idealitas dengan pandangan pandangan pragmatis. Seperti

    pendidikan anak harus dimulai dengan pendidikan al-Qur’an tetapi dengan

    tidak memberatkan jasmani dan akal pikirannya. Dalam mengembangkan

    pendidikan akhlak, ia menggunakan metode diskusi dan pergaulan anak,

    Karen pendidikan akhlak anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia

    berada, pada dsarnya anak memiliki sifat meniru. Menurut Ibnu Sina sarana

    pendidikan akhlak, bisa lewat teks-teks Arab klasik atau syi’ir, karena lewat

    sarana ini banyak nilai kemuliaan yang terkait dengan akhlak mulia.

  • Penulisan Subaidi, buku berjudul “Abdul Wahab Asy-Sya’rani: Sufisme

    dan Pengembangan Pendidikan Karakter” tahun 2015. Dari penulisan ini

    menjelaskan tentang pemikiran Abdul Wahab Asy-Sya’rani terkait dengan

    pemikiran pendidikan akhlak-tasawuf yang mendorong terhadap

    pengembangan pendidikan karakter bangsa.

    At-Tarbawi, jurnal kajian kependidikan Islam Volume 1 Nomor 1

    Januari - Juni 2016, “Pendidikan Karakter berbasis Keagamaan (Studi Kasus

    di SDIT Nur Hidayah Surakarta)” yang ditulis oleh Fauzi Annur. Dalam

    tulisan ini mendeskripsikan tentang pendidikan karakter dilaksanakan dalam

    jalur proses pembelajaran dan diluar proses pembelajaran. Dalam jalur diluar

    proses pembelajaran, seperti halnya dalam program pembiasaan. Proram ini

    merupakan pembinaan yang didalamnya terdapat berbagai tema nilai-nilai

    karakter Islami. Untuk kelas-kelas tertentu sekali dalam seminggu dilakukan

    halaqah siswa dengan tujuan pengecekan terhadap siswa yang aktif dalam

    kegiatan peningkatan akhlak Islami tersebut.

    Berdasarkan kajian pustaka tersebut dapat diketahui bahwa sebenarnya

    penulisan tentang pendidikan karakter sudah banyak dilakukan, namun

    analisanya belum pernah dilakukan untuk mengkaji pemikiran Syaikh

    Muhammad Amin Al- Kurdi dalam kitab Tanwĩrul Qulûb. Kajian-kajian yang

    ada juga belum spesifik menganalis teks salaf dan tema pendidikan. Oleh

    karena itu, maka penulisan ini merupakan sesuatu yang baru dalam

    memperluas kajian pendidikan karakter dalam kitab tersebut.

    Alur Pemikiran Buku ini

    1. Pendidikan Karakter

    Pendidikan dapat diartikan sebagai pembimbingan secara

    berkelanjutan (Suhartono, 2008: 15). Makna tersebut menunjukkan bahwa

    manusia sepanjang hidup selalu membutuhkan bimbingan. Pendidikan

    adalah proses secara terus menerus dialami oleh manusia sepanjang hayatnya

    (Wiyani, 2013: 5). Pendidikan merupakan seluruh kegiatan yang

    direncanakan serta dilaksanakan secara teratur dan terarah di lembaga

    pendidikan sekolah (Suhartono, 2008: 46). Sedangkan Ki Hajar Dewantara

    mendifinisikan pendidikan sebagai upaya menumbuhkan budi pekerti

    (karakter) pikiran (intelect) dan tubuh anak. Ketiganya tidak boleh

    dipisahkan, agar anak dapat tumbuh dengan sempurna (Samani & Hariyanto,

    2012: vii).

    Oleh karena pendidikan itu merupakan pembimbingan dan upaya

  • 13

    menumbuhkan budi pekerti maka penulisan ini mengkaji lebih detail terkait

    dengan pendidikan karakter. Secara harfiyah, karakter berarti kualitas mental

    atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Dalam Kamus psikologi

    dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian yang ditinjau dari titik tolak

    etis atau moral (Suhartono, 2008: 20). Menurut Kamus Besar Bahasa

    Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti

    yang membedakan seseorang dari yang lain (Kurniawan, 2014: 28). Karakter

    merupakan sesuatu yang dibangaun secara terus menerus secara

    berkesinambungan melalui harmoni pikiran dan perbuatan, pikiran demi

    pikiran. Perbuatan demi perbuatan (Samani & Hariyanto, 2012: 41).

    Pendidikan karakter merupakan salah satu program prioritas

    pembangunan nasional oleh pemerintah. Hal ini secara implisit telah

    ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun

    2005-2025 (Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2007). Keberadaan

    pendidikan karakter sebagai misi pertama dari sekian misi, guna

    mewujudkan visi pembangunan nasional. Diantaranya adalah terwujudnya

    karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia dan bermoral

    berasarkan Pancasila. Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan

    Nasional No.20 Tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan

    terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran

    agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya

    untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, penegndalian diri,

    kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketramplan yang diperlukan

    dirinya dan masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan

    kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia.

    Karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak,

    atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain

    (Depdiknas, 2005: 1270). Pendidikan karakter bisa diartikan sebagai sebuah

    bantuan sosial agar individu dapat bertumbuh dalam menghayati

    kebebasannya dalam hidup bersama orang lain di dunia (Kusuma, 2007: 4).

    Tujuan dari pendidikan karaker adalah untuk meningkatkan mutu

    penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian

    pembentukan karakter dan akhlak anak didik secara utuh, terpadu dan

    seimbang (Muslich, 2014: 81).

    Konsep pendidikan karakter prespektif Islam lebih dikenal dengan

    pendidikan akhlak. Secara historis, pendidikan karakter merupakan misi

    utama para Nabi dan Rasul (Tim Direktorat Pendidikan Madrasah, 2010:

  • 34). Salah satunya adalah misi pendidikan Karakter yang tertuang dalam

    QS. Al-Ahzab: 21:

    رَ َلَقْد َكاَن َلُكْم ِفي َرُسولي اَّللهي ُأْسَوٌة َحَسَنٌة ليَمْن َكاَن يَ ْرُجو اَّللهَ َواْليَ ْوَم اآلخي َوذََكَر اَّللهَ َكثيريًا

    “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik

    bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

    (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.

    Nabi Saw. diutus Allah sebagai suri teladan bagi umat disetiap

    waktu, saat dan tempat (Ulwan, 1981: 634). Pendidikan karakter dipahami

    sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam

    bersikap, dan berperilaku sesuai dengan nlai-nilai luhur diwujudkan dalam

    interaksi dengan Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya.

    Oleh karenanya, pendidikan karakter tidak bisa hanya sekedar mentransfer

    ilmu pengetahuan tetapi perlu proses, contoh teladan, pembiasaan atau

    pembudayaan dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat

    (Maksudin, 2013: 17).

    Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara

    mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan

    menginternalisasi, serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak

    muliasehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Untuk mewujudkan

    karakter tersebut, khususnya yang mengacu pada nilai-nilai sufistik dan

    Islam, akan dilakukan kajian secara mendalam dalam kitab Tanwĩrul Qulûb

    karya Syaikh Muhammad Amin al Kurdi terkait dengan pendidikan karakter

    yang memiliki relevansi dengan pengembangan karakter bangsa.

    Teori yang Digunakan

    Penulisan ini menggunakan jenis library research dengan metode

    deskriptif kualitatif. Tujuannya untuk mendeskripsikan dan menganalisis

    pemikiran orang secara individu maupun kelompok (Sukmadinata, 2012: 60),

    dalam konteks penulisan ini adalah Syaikh Muhammad Amin al Kurdi dalam

    kitab Tanwĩrul Qulûb.

    Sumber data primernya adalah kitab Tanwĩrul Qulûb (Sugiyono, 2012:

    326). Sedangkan data sekunder yang penulis gunakan adalah buku referensi,

  • 15

    jurnal ilmiah, serta data lain yang berkaitan dengan pendidikan karakter.

    Selain itu, buku-buku atau penulisan seputar pendidikan karakter lainnya.

    Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan secara

    langsung dengan menggunakan dokumen berbentuk tulisan dan karya

    monumental dari seseorang, yaitu Amin Al-Kurdi sebagai ulama besar lahir

    pada abad ke-13 di kota Irbil dekat kota Moshul di Irak (Al-Kurdi, t.t.: 3).

    Analisis data dalam penulisan ini menggunakan metode deskriptif

    analisis, penulis berusaha untuk mengumpulkan data dan menyusunnya

    kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dari data-data tersebut, guna untuk

    membuka pesan yang terkandung dalam kitab Tanwĩrul Qulûb karya Syaikh

    Muhammad Amin Al-Kurdi, dengan menggunakan metode deduksi (Al-

    Kurdi, t.t.: 44), artinya secara umum isi dan kandungan teks kitab Tanwĩrul

    Qulûb yang mendiskusikan soal pendidikan akhlak dan keislaman secara

    umum kemudian ditarik sebuah kesimpulan khusus yaitu pendidikan

    karakter.

  • BAB II

    SUFISME DAN PENDIDIKAN KARAKTER

    Pengertian Sufisme

    ada abad ke-2 hijriah, banyak umat Islam yang memperbincangkan kata

    tasawuf. Mereka memaknai tasawuf banyak dikaitkan dengan pakaian

    kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Hal demikian merupakan simbol

    kesederhanaan mereka (Nicholson, 1996: 3).

    Tasawuf dalam bahsa inggris di sebut juga sufisme (Sufism). Sufisme

    Islam adalah proses peleburan dan penggabungan semua jala-jala sistem

    berpikir dan merasa yang dianut oleh sebagian umat Islam hingga

    terwujudnya suatu sentrum sebagai identias wujudiah (eksistensi)

    kemanusiaan yang berorientasi kepada ketuhanan (Siregar, 1999: 12).

    Ajaran Islam sufistik adalah ajaran yang lebih mengedepankan aspek

    hakikat dan substansi ajaran legal-formal.Islam corak seperti ini lebih

    menekankan titik temu nilai-nilai kemanusiaan. Ajaran ini menekankan

    pandangan bahwa manusia sebagai makhluk Allah yang diciptakan dengan

    tujuan tertentu. Ketidakmampuan seseorang menunaikan ajaran agama yang

    dianutnya itu wilayah merupakan keterbatasan sebagai manusia. Allah SWT.

    yang berhak menghitung dan mengukur penyimpangan perbuatan dan

    perilaku hamba-Nya (Umar/Net/https://www.rmol.co/read/Pengaruh-Ajaran-

    Sufisme/diakses tanggal 17 Oktober 2018, pukul 10.22 WIB). Artinya,

    komunikasi dan hubungan langsung dengan Allah berlaku taraf-taraf yang

    berbeda hingga mencapai “kesatuan paripurna”, yaitu tidak ada yang terasa

    kecuali Yang Maha Esa. Hal demikian dikatakan tangga transcendental yang

    tingkatan-tingkatannya berakhir oada dzat yang transenden (Sihab, 2001: 29).

    Tujuan yang mendasar dari ajaran tasawuf adalah membersihkan hati

    (tasfiyatul qalb), maka perlu berganti pakaian mewah menjadi pakaian

    kesederhanaan dan tawadhu’. Orientasi ajaran tasawuf hanya kepada Tuhan,

    ia tidak merosot kepada derajat umat manusia pada umumnya, hingga

    kejadian-kejadian dunia tidaklah mempengaruhinya (Sholikhin, 2004: 6).

    Sebagaimana terminologi tasawuf yang dijelaskan oleh para ahli, seperti

    Imam Junaidi al-Baghdai, bahwa tasawuf adalah membersihkan hati dari apa

    yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang meninggikan

    P

  • 17

    budi pekerti, memadamkan sifat-sifat kelemahan manusia, menjauhi segala

    seruan dari hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruhanian, dan

    bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang terlebih penting

    dan terlebih kekal, menaburkan nasehat kepada sesame umat, memegang

    teguh janji dengan Allah dalam segala hakikat, dan mengikuti contoh

    Rasulullah dalam segala syari’at (Kurniawan, 2013: 11-12). Sementara

    makna tasawuf menurut Imam Ghazali adalah akhlak atau karakter. Orang

    yang memberikan bekal akhlak atasmu, berarti ia memberikan atas dirimu

    dalam tasawuf, maka jiwanya adalah menerima (perintah) untuk beramal

    karena mereka sesungguhnya melakukan suluk kepada sebagian akhlak

    karena keadaan mereka yang ber suluk dengan nur (cahaya) iman

    (Kurniawan, 2013: 11-12).

    Sedangkan tasawuf menurut Hamka adalah akhlak yang luhur (ihsan)

    yang merupakan refleksi penghayatan keagamaan esoteric yang mendalam,

    tetapi tidak dengan serta merta melakukan pengasingan diri (uzlah). Tasawuf

    ini menekankan perlunya keterlibatan diri dalam masyarakat dan

    menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan (Kurniawan, 2013:

    11-12).

    Menurut Junaidy al-Baghdadi dalam Abdullah sebagaimana dikutip

    Asep Kurniawan bahwa tasawuf adalah membesihkan hati dariapa yang

    mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang meninggikan budi

    pekerti, memadamkan sifat-sifat kelemahan manusia, menjauhi segala seruan

    hawa nafsu, menghendaki sifat-sifat suci keruhanian, dan bergantung pada

    ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang terlebih penting dan terlebih kekal,

    menaburkan nasehat kepada sesama umat, memegang teguh janji dengan Allah

    dalam segala hakikat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam segala syari’at

    (Abdullah, 2007: 11-12).

    Amin Al-Kurdi (t.t.: 406) memberikan pengertian tasawuf adalah ilmu

    yang bisa mengetahui kondisi baik dan buruknya jiwa, cara menyucikan dari

    karakter tercela dan menghiasi dengan sifat-sifat terpuji, cara suluk dan

    menuju kepada Allah. Adapun obyeknya adalah merupakan pekerjaan hati

    dan indra dari aspek pembersihan dan membeningkannya. Sedangkan buah

    dari tasawuh adalah hati menjadi bersih, mengetahui alam ghaib dari segi

    perasaan dan eksistensi, selamat di akhirat, beruntung dengan ridha Allah,

    memperoleh kebahagiaan abadi, menyinari hati dan membeningkannya, agar

    tersingkap hal-hal yang agung dan memperjelas sesuatu, dimana penglihatan

    hati tidak bisa melihat.

  • Dari pengertian tasawuf diatas, menurut Amin Al-Kurdi intinya adalah

    bahwa ajaran tasawuf itu tashfiyatul qalb (pembersihan hati) melalui berbagai

    jalan dan cara sesuai dengan ajaran yang telah diperoleh dari guru mereka

    masing-masing, dan diselaraskan dengan ajaran al-Qur’an dan sunnah

    Rasulullah Saw. dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.. Dengan kata

    lain ajaran tasawuf perlu merujuk pada pedoman syari’at yang telah

    digariskan kemudian melandasi perilaku tariqah, menuju hakikat.

    Memahami Arti Karakter

    Pendidikan karakater belakangan ini menjadi terending topik utama

    pendidikan. Ia menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa.

    Pendidikan karakater diharapkan mampu menjadi basic utama dalam

    mensuksekan Indonesia Emas 2025. Studi tentang karakter, sudah lama

    menjadi pokok perhatian para tokoh muslim dunia, para ulama-kyia, para

    psikolog, para pendidik. Apa pengertian karakter tersebut, bisa dipahami

    secara berbeda-beda oleh para ahli sesuai dengan penekanan dan pendekatan

    mereka masing-masing.

    Makna penting pendidikan karakter adalah optimalisasi berbaagai

    muatan karaketr yang baik dan positif yang menjadi modal dasar

    pengembangan individu dan bangsa. Aktualisasi pendidikan karakter

    sebenarnya dapat melalui cita-cita dan tujuan nasional yang mencakup usaha

    mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan membangun manusia Indoesia

    yang cerdas dan berbudaya. Dalam konteks cerdas dan berbudaya dan

    kepribadian dimaknai memilki kecerdasan emosional, dengan kata lain

    berkarakter mulia atau berbudi luhur, dan berakhlakul karimah.

    Sedangkan berbudaya memiliki arti sebagai kemampuan dan kapasitas

    untuk menangkap dan mengembangkan nilai-nilai moral dan nilai kemanusiaan

    yang beradab dalam sikap dan tindakan berbangsa dan bernegara dengan penuh

    tanggung jawab. Lebih lanjut Philips (2000) menyebutkan bahwa pendidikan

    karakter harus melibatkan semua pihak, antara lain; rumah tangga, sekolah, dan

    lingkungan sekolah lebih luas (masyarakat). Oleh karenanya langkah-langkah

    yang perlu dilakukan adalah menyambung kembali hubungan dan jaringan

    pendidikan yang terputus antara ketiga hubungan tersebut. Charakter building

    tidak akan berhasil selama antara ketiga komponen tersebut kurang ada

    keseimbangan dan harmonisasi (Yuliana, 2010: 94-95).

    Terminologi karakter memiliki banyak pengertian. Dalam KBBI karakter

    diartikan sebagai tabiat, watak, sefiat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti

  • 19

    yang membedakan seseorang dari pada yang lain (Pusat Bahasa, 2005: 1270).

    Watak dapat dimaknai sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran

    dan tingkah laku, budi pekerti serta tabiat dasar. Musfiroh (2008: 27) mengatakan

    bahwa karakter mengacu pada serangkaian sikap perilaku (behavior), motivasi

    (motivation), dan ketrampilan (skill) yang meliputi keinginan untuk melakukan

    hal yang terbaik. Sedangkan Semiawan (Sudarsono, 1999:17) mendeskripsikan

    bahwa karakter adalah keseluruhan kehidupan psikis seseorang yang merupakan

    hasil interaksi antara faktor endogen dan eksogin atau pengalaman dari seluruh

    pengaruh lingkungan (Suhardi, 2012: 318-319). Mohammad Fakhry Gaffar

    (2010: 4) mendefinisikan bahwa pendidikan karakter adalah sebuah proses

    tranformasi nilai-nilai kehidupan kehidupan untuk di tumbuhkembangkan

    dalam keperibadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku

    kehidupan orang itu. Dalam definisi tersebut ada tiga ide pikiran penting,

    yaitu: 1) proses transformasi nilai-nilai, 2) ditumbuh kembangkan dalam

    kepribadian, dan 3) menjadi satu dalam perilaku (Gaffar, 2010: 4).

    Pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan

    akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang

    universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka

    berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia,

    maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap,

    perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,

    hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini

    muncul konsep pendidikan karakter (character education). Ahmad Amin

    menjadikan kehendak (niat) sebagai awal terjadinya akhlak (karakter) pada

    diri seseorang, jika kehendak itu diwujudkan dalam bentuk pembiasaan

    sikap dan perilaku (Amin, 1995: 62).

    Pendidikan karakter dalam prespektif Islam diartikan dengan

    pendidikan akhlak. Kata akhlak dari bahsa Arab khuluqun artinya budi

    pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata karma, sopan santun, adab

    dan tindakan. Kata akhlak Kata akhlak juga terambil dari kata khalaqa atau

    khalqun artinya kejadian, serta erat kaitannya dengan khaliq artinya

    menciptakan, tindakan atau perbuatan, sebagaimana terdapat kata al-khaliq

    yang mempunyai arti mencipta, dan makhluq yang artinya diciptakan

    (Hamid dan Saebani, 2013: 43). Islami dalam Hasan Alwi (2010: 328)

    artinya bersifat keislaman, atau mengandung unsur-unsur serta nilai-nilai

    Islam.

  • Strategi Pendidikan Karakter

    Pendidikan Karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter

    kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau

    kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap

    Tuhan, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga

    menjadi manusia insan kamil (Nugroho, 2011: 138). Pendidikan Karakter

    menurut Ratna Megawangi adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak

    agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mengaplikasikan hal

    tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan

    sumbangsih positif kepada lingkungan sekitar. Nilai-nilai karakter yang perlu

    ditanamkan kepada anak-anak adalah nilai-nilai universal yang mana seluruh

    agama, tradisi, dan budaya pasti menjunjung tinggi nila-nilai tersebut. Nilai-

    nilai universal ini harus dapat menjadi perekat bagi seluruh anggota

    masyarakat walaupun berbeda latar belakang budaya, suku, dan agama

    (Megawangi, 2007: 93).

    Menurut Majid dan Andayani (2012: 186) bahwa dalam proses

    pembentukan dan pendidikan karakter, setidaknya ada tiga strategi yang

    perlu dialui, yaitu: 1) Moral Knowing/ Learning to Know. Tahapan ini

    merupakan langkah awal dalam pendidikan karakter. Dalam langkah ini

    tujuan diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai.

    Murid diharapkan harus mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia atau

    terpuji dan akhlak buruk atau tercela serta nilai-nilai universal; memahami

    secara logis dan rasional atas makna penting akhlak mulia dan bahaya

    akhlak buruk atau tercela dalam kehidupan, mengenal kepribadian Nabi

    Muhammad Saw. sebagai figur teladan akhlak mulia, sebagaimana ajaran

    Islam; 2) Moral Loving/ Moral Feeling. Langkah ini dimaksudkan untuk

    menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia.

    Tahap ini menjadi sasaran pendidik dari demensi emosional murid, hati,

    atau jiwa, bukan lagi akal, rasio dan logika. Seorang guru menyentuh emosi

    murid sehingga tumbuh kesadaran, keinginan, dan kebutuhan terhadap nilai-

    nilai akhlak mulia dam dirinya. Guna mencapai langkah ini seorang guru

    bisa memasukkan kisah-kisah yang menyentuh hati, modelling, atau

    kontemplasi. Dalam hal ini, murid diharapkan juga mampu menilai diri

    sendiri (muhasabah) atas beberapa kekurangan yang ada; 3) Moral Doing/

    Learning to do. Pada tahap ini diharapkan para murid telah mempraktikkan

    nilai-nilai akhlak terpuji dalam pola kehidupan mereka. Jika selama

    perubahan tingkah laku terpuji belum terlihat walaupun sedikit, maka

  • 21

    selama itu pula seseorang memiliki beberapa pertanyaan yang sesegera

    mungkin dicari jawabannya. Teladan merupakan guru yang paling

    baikdalam internalisasi nilai, sedangkan langkah berikutnya adalah

    pembiasaan dan motivasi (Lickona, 1991: 21).

    Sumber dan Nilai Pendidikan Karakter

    Pendidikan karakter dikembangkan dari sumber-sumber sebagai

    berikut: 1) Agama. Untuk menjaga tatanan masyarakat Indonesia selalu

    berdasar pada norma ketuhanan yang tercermin dalam ajaran agama; 2)

    Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila telah tertanam kuat

    sejak nenek moyang bangsa memulai membangun peradaban bangsa

    Indonesia. Ia menjadi sumber nilai pendidikan karakter yang teruji dari

    bebrabagai tantangan zaman. Nilai ini diwujudkan dalam setiap tutur kata,

    berpikir, dan perilaku sehari-hari; 3) Budaya. Nilai ini menjadi dasar dalam

    memaknai suatu peristiwa, fenomena, dan kejadian yang berlangsung dalam

    setiap interaksi antar anggota masyarakat; 4) Tujuan Pendidikan Nasional.

    Tujuan ini terdiri dari berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki waga

    Negara Indonesia. Hal ini dilakukan agara secara nyata bisa dilaksanakan

    pendidikan karakter di berbagai lembaga pendidikan.

    Berpijk dari sumber-sumber diatas, maka dihasilkan sejumlah nilai-

    nilai pendidikan karakter untuk pendidikan karakter bangsa, yaitu:

    1) Religius: Merupakan sikap yang memegang teguh perintah

    agamanya dan menjauhi larangan agamanya, seraya saling menjaga

    kerukunan dan kesatuan antar berbeda pemeluk agama dan keyakinan; 2)

    Jujur: Merupakan sikap yang selalu berpegang teguh untuk menghindari

    keburukan dengan menjaga perkataan, perasaan dan perbuatan untuk selalu

    berkata dengan benar dan dapat dipercaya; 3) Toleransi: Perilaku yang

    cenderung menghargai perbedaan dengan mengurangi mempertajam

    perselisihan karena perbedaan. Perilaku ini diwujudkan dengan penerimaan

    atas perbedaan, dan keragaman sebagai suatu kekayaan bangsa Indonesia

    untuk mewujudkan fungsi toleransi dalam kehidupan berbangsa dan

    bernegara; 4) Disiplin: Tindakan yang menjaga dan mematuhi anjuran yang

    baik dan menghindari dan menjauhi segala larangan yang buruk secara

    konsisten dan berkomitmen; 5) Kerja keras: Mencurahkan segala kemampuan

    dan kemauan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan sesuai hasil yang

    diharapkan dengan tepat waktu dan berorientasi lebih pada proses dan

    perkembangan daripada berorientasi pada hasil; 6) Kreatif: Selalu mencari

    https://guruppkn.com/fungsi-toleransi-dalam-kehidupan

  • alternatif penyelesaian suatu permasalahan dari berbagai sudut pandang. Ini

    dilakukan untuk mengembangkan tata cara atau pemahaman terhadap suatu

    masalah yang sudah ada terlebih dahulu melalui pendekatan sudut pandang

    yang baru; 7) Mandiri: Meyakini potensi diri dan melakukan tanggung jawab

    yang diembannya dengan penuh percaya diri dan berkomitmen; 8)

    Demokratis: sikap dan tindakan yang menilai tinggi hak dan kewajiban

    dirinya dan orang lain dalam kedudukan yang sama. Ini dilakukan untuk

    memberikan pengakuan secara setara dalam hak berbangsa seraya merawat

    kemajemukan bangsa indonesia; 9) Rasa ingin tahu: suatu sikap dan tindakan

    yang selalu berupaya untuk mengetahui apa yang dipelajarinya secara lebih

    mendalam dan meluas dalam berbagai aspek terkait; 10) Semangat

    kebangsaan: Suatu sudut pandang yang memandang dirinya sebagai bagian

    dari bangsa dan negaranya. Sudut pandang yang mewujudkan sikap dan

    perilaku yang akan mempertahankan bangsa dari berbagai ancaman, serta

    memahami berbagai faktor penyebab konflik sosial baik yang berasal dari

    luar maupun dari dalam;11) Cinta tanah air: tekad yang terwujud dalam

    perasaan, perilaku dan perkataan yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian,

    dan penghargaan yang tinggi terhadap aspek sosial, fisik budaya, ekonomi,

    dan politik dari bangsa dan negaranya; 12) Menghargai prestasi: perasaan

    bangga terhadap kelebihan dan keunggulan yang dimiliki dirinya sebagai

    individu maupun dirinya sebagai anggota masyarakat. Perasaan bangsa ini

    akan mendorong untuk memperoleh pencapaian-pencapaian yang positif bagi

    kemajuan bangsa dan Negara; 13) Bersahabat/komunikatif: Perilaku yang

    ditunjukan dengan senantiasa menjaga hubungan baik dengan interaksi yang

    positif antar individu dalam suatu kelompok dalam kehidupan berbangsa dan

    bernegara; 14) Cinta damai: Perilaku yang selalu mengutamakan kesatuan

    rasa dan perwujudan harmoni dalam lingkungan yang majemuk dan

    multicultural; 15) Senang membaca: Rasa ingin meningkatkan pengetahuan

    dan pemahaman melalui gemar mencari informasi baru lewat bahan bacaan

    maupun mengajak masyarakat di lingkungan sekitarnya untuk memupuk

    perasaan gemar membaca ini; 16) Peduli sosial: Kepekaan akan segala

    kesulitan yang dihadapi oleh lingkungannya dan masyarakatnya. Kepekaan

    ini kemudian terwujud dalam tindakan, perasaan, dan perbuatan yang

    berulang-ulang dan menjadi kebiasaan dalam mengatasi berbagai kesulitan

    yang dihadapi oleh orang-orang di sekitarnya, yang mana individu tidak

    terfokus pada dirinya sendiri dan bekerja sama dalam mengatasi

    permasalahan yang dihadapi; 17) Peduli lingkungan: Menjadikan pelestarian

    https://guruppkn.com/cara-merawat-kemajemukan-bangsa-indonesiahttps://guruppkn.com/cara-merawat-kemajemukan-bangsa-indonesiahttps://guruppkn.com/faktor-penyebab-konflik-sosial

  • 23

    alam sebagai salah satu dasar perilaku dan kebiasaan yang dicerminkan di

    lingkungannya agar terus terjadi siklus pembaharuan di alam yang

    berkesinambungan secara alami. Ini dilakukan agar alam yang ditempatinya

    tetap lestari dan abadi; 18) Tanggung Jawab : Menyadari bahwa segala hal

    yang diperbuat oleh dirinya bukan hanya merupakan tugas dan kewajiban

    bagi dirinya sendiri, namun juga keluarga, lingkungan, masyarakat, negara,

    dan Tuhan Yang Maha Esa (Maunah, 2015: 92).

  • BAB III

    MENGENAL SYAIKH AMIN AL-KURDI DAN KITAB

    TANWĩRUL QULŪB

    Biografi Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi

    min Al-Kurdi, nama lengkapnya Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi,

    juga dipanggil Syaikh Sulaiman Al- Kurdi. Ia dilahirkan pada abad ke-

    13 di kota Irbil dekat kota Moshul di Irak (Al-Kurdi,t.t.: 3), sebuah kota yang

    cukup populer terutama setelah serangan dan pendudukan Amerika Serikat

    atas negeri itu. Ayah Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah seorang

    Ulama Besar, pemuka dalam Thariqat al Qadiriyah, sebuah thariqat yang

    telah dirintis oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jaelani. Guru Syaikh Muhammad

    Amin Al-Kurdi yang terkenal adalah Syaikh Al-Quthub, Maulana Umar,

    seorang wali Allah yang tinggal di Irbil, Irak. Ia banyak banyak memperoleh

    gemblengan dengan berbagai ilmu syari’at dan thariqat, sehingga

    membuatnya memiliki dasar yang kuat dalam ilmu lahir maupun batin (Al-

    Kurdi,t.t.: 4).

    Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah seorang pelajar yang

    gigih, di mana masa mudanya dihabiskan untuk belajar berbagai disiplin ilmu

    agama dari guru-guru besar yang masyhur kala itu. Setelah menamatkan

    pelajaran di Irbil, ia memulai perjalanan spiritual mengunjungi orang-orang

    shalih dan makam orang-orang shalih. Kemudian dengan bekal tawakal

    kepada Allah dan do’a dari para guru, ia memulai perjalanan ke Hijaz dengan

    menumpang kapal laut dari kota Basrah, Irak. Ia tinggal di Mekkah belajar

    dari guru-guru terkemuka di Mekkah dan tenggelam dalam berbagai amal

    shalih. Pada tahun 1300 H. ia berangkat ke Madinah dan menetap di sana,

    belajar dan menempa rohani di Baqi’ dan jabal Uhud. Sepanjang berada di

    kota Madinah, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi selalu menunaikan ibadah

    haji setiap tahun (Al-Kurdi,t.t.: 11).

    Pada akhir usianya, ia pindah ke Mesir karena didorong rasa rindu dan

    cinta kepada para Ahlul Bait Rasulullah Saw., dimana pada saat itu sangat

    banyak menetap di Mesir, ketimbang di Mekkah dan Madinah. Saat menetap

    di Mesir inilah ia meneguk habis pelajaran-pelajaran berharga dari kitab fiqih

    as-Syafi’i dan kitab-kitab hadis yang utama. Guru-guru Syaikh Muhammad

    A

  • 25

    Amin Al-Kurdi dalam ilmu fiqih antara lain: Syaikh Asymuni dan Syaikh

    Musthafa ‘Izz as-Syafi’i, dua orang ulama Universitas Al-Azhar paling

    terkemuka di zaman itu di Mesir. Dalam ilmu hadis dan tafsir, ia belajar dari

    Syaikh Salim al-Bisyri, serta para Masyaikh di al Azhar dengan menamatkan

    kitab Shahih Bukhari dan Muslim, Musnad as-Syafii, al Muwatha’ Imam

    Malik, serta Tafsir Baidhawi (Al-Kurdi,t.t.: 13). Ia diangkat sebagai Syaikh

    besar pada thariqat al-Khalidiyah dan Naqsyabandiyah di Mesir.

    Kemasyhurannya menyinari seluruh Mesir sebagai Ulama ahli Fiqih

    madzhab Syafi’i dan Syaikh Besar Thariqat Naqsyabandi. Dan Syaikh

    Muhammad Amin Al-Kurdi wafat pada tahun 1332 H. dan dimakamkan di

    sebelah makam dua Imam besar dunia, Imam Jalaluddin al Mahali dan Imam

    Tajuddin as-Subki (Al-Kurdi,t.t.: 55).

    Corak pemikiran Syaik Muhammad Amin Al-Kurdi

    Amin al-Kurdi adalah seorang Ulama Besar, sekaligus guru Thariqat

    al Qadiriyah, sebuah thariqat yang telah dirintis oleh Syaikh Abdul Qadir Al-

    Jaelani. Corak pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gemblengan guru-

    gurunya, dengan ilmu-ilmu syari’at dan tasawuf (thariqat), sehingga

    membuatnya memiliki dasar yang kuat dalam ilmu lahir maupun batin (Al-

    Kurdi,t.t.: 4). Perjalanan spiritualnya dengan cara mengunjungi orang-orang

    shalih dan makam orang-orang shalih guna memperoleh bimbingan khusus

    dari merka.

    Corak ilmu syariat atau ilmu fiqih yang ia tekuni adalah fiqih as-Syafi’i

    secara khusus, dan ajarn fiqih dari madzhab selain Syafi’i pada umumnya.

    Dalam ilmu hadis dan tafsir seperti hadis-hadis dalam shahih bukhari dan

    muslim, musnad as-Syafii, al-Muwatha’ Imam Malik, serta Tafsir Baidhawi

    (Al-Kurdi,t.t.: 13).

    Pemikiran Amin Al-Kurdi berdasarkan atas tiga prinsip keislaman yang

    sangat kuat, yaitu akidah, fiqih dan tasawuf. Ketiganya tidak keluar dari nash

    al-Qur’an dan sunnah Nabi Saw., juga diperkuat dengan ijma’, sehingga ia

    mengatakan dengan tegas bahwa telah menjadi keharusan atas umat Islam

    yang hidup di akhir zaman untuk taqlid (mengikuti) kepada ajaran para imam

    mujtahid dari faham ahlussunnah dan imam madzhab empat. Dengan

    mengikuti mereka berarti akan selamat dalam kehidupan beragama.

    Sebaliknya, ia menegaskan bahwa barangsiapa yang tidak ikut salah seorang

    dari para Imam ini, (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan mengucapkan

    bahwa ia terlepas dari Madzhab yang empat serta hanya menggali langsung

  • dari kitab al-Qur’an dan sunnah saja, maka orang tersebut tidak akan selamat,

    dan termasuk orang yang sesat lagi menyesatkan.

    Amin al Kurdi diangkat sebagai Syaikh Besar pada thariqat al-

    Khalidiyah dan Naqsyabandiyah di Mesir. Karena kemasyhurannya

    menyinari seluruh Mesir sebagai Ulama ahli Fiqih madzhab Syafi’i dan

    Syaikh Besar Thariqat Naqsyabandi.

    Kitab Tanwĩrul Qulûb

    Kitab Tanwĩrul Qulûb terbagi atas tiga bagian besar yaitu; 1) bagian

    akidah diniyyah (akidah keagamaan) yang terdiri atas 3 bab (Al-Kurdi, t.t.:

    9). 2) bagian fiqih mengukuti ajaran Madzhab Imam as-Syafi’i yang terdiri

    atas 11 bab yang dibagi menjadi 94 pasal (Al-Kurdi,t.t.: 93), dan 3) bagian

    tasawuf dibagi atas 22 pasal (Al-Kurdi,t.t.: 401). Terkait dengan pembahasan

    akidah dengan jelas, Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi mengatakan bahwa

    pembahasan isi kitab hanya berdasarkan kepada ajaran akidah Ahlussunah

    wal Jama’ah al-Asy’ariyah dan Maturidiyah dengan menyertakan dalil-dalil

    aqli dan naqli serta menolak syubhat yang dimunculkan oleh ajaran sesat di

    luar Ahlussunah wal Jama’ah (Al-Kurdi,t.t.: 42).

    Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi mengatakan bahwa Allah memiliki

    20 sifat yang wajib atas Allah antara lain: Wujud, Qidam, Baqa’,

    Mukhalafatu Lilhawadits, Qiyamuhu Binafsih, Wahdaniyah, Qudrat, Iradat,

    Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, Kalam, Qadiran, Muridan Aliman, Hayyan,

    Sami’an, Bashiran, Mutakaliman. Dan 20 sifat yang Mustahil atas Allah

    antara lain: Adam, Huduts, Fana’, Mumatsalutu Lilhawadits, Qiyamuhu

    Bighayrih, Ta’addud, Ajzu, Karahah, Jahil, Maut, Samamu, Umyu, Bukmu,

    Kaunuhu ‘Ajizan, Kaunuhu Karihan, Kaunuhu Jahilan, Kaunuhu Mayyitan,

    Kaunuhu Asama, Kaunuhu A’ma, Kaunuhu Abkama (Al-Kurdi,t.t.: 11).

    Adapun sifat Jaiz yaitu melakukan segala sesuatu yang mungkin atau

    meninggalkannya (Al-Kurdi,t.t.: 25). Dalil atas sifat ini adalah surat Al-

    Qashash ayat: 68 “dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan

    memilihnya.”

    Dalam bab Fiqih, ia menjelaskan secara lengkap hampir seluruh

    permasalahan merujuk pada fiqih Imam Syafi’i. Meskipun pembahasannya

    tidak dilakukan secara panjang lebar namun mencukupi untuk bekal para

    pelajar pesantren memahami ilmu fiqih dalam mazhab Syafi’i, karena di

    samping cukup lengkap dalam berbagai permasalahan yang diperlukan, juga

    disertai dengan dalil-dalil pendukung dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-

  • 27

    hadis Nabi. Dalam kitab ini juga terdapat pembahasan bab Farã’idh (warisan)

    dengan cukup luas.

    Sedangkan dalam pembahasan tasawuf, ia memulai dengan

    pembahasan lima pokok yang menjadi sifat tasawuf, yaitu: 1). Taqwa kepada

    Allah, wara’ dan istiqamah, 2). Mengikuti sunnah Nabi perkataan dan

    perbuatannya, 3). Memalingkan diri dari makhluk, bersabar dan bertawakal

    kepada Allah, 4). Ridha 5). Taubat dan Syukur kepada Allah. Demikian

    pemahaman Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi atas tiga prinsip dasar

    akidah, fiqih dan tasawuf, sehingga ia mengatakan dengan tegas bahwa telah

    menjadi keharusan atas umat yang hidup di akhir zaman ini untuk bertaqlid

    kepada Imam-Imam Mujtahid dari faham Ahlussunnah dan Imam madzhab

    yang Empat. Dengan mengikuti mereka berarti akan selamat dalam

    kehidupan beragama. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa barangsiapa yang

    tidak ikut salah seorang dari para Imam ini, (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan

    Hambali), dan mengucapkan bahwa ia terlepas dari Madzhab yang empat

    serta hanya menggali langsung dari kitab al Qur’an dan Sunnah saja, maka

    orang tersebut tidak akan selamat, dan termasuk orang yang sesat lagi

    menyesatkan. Menurutnya, hal itu terjadi adalah karena keterbatasan waktu

    orang-orang sekarang dalam memahamkan agama, serta banyaknya pengaruh

    rusak akibat lemahnya moralitas, kedurhakaan yang meluas, dan tingginya

    kecintaan pada hal-hal yang bersifat kebendaan duniawi. Di samping tidak

    tersusun rapinya buku-buku pembahasan masalah agama di luar Madzhab

    yang Empat ini. Apalagi dilihat tentang kedalaman ilmu, jelas orang sekarang

    tertinggal jauh jika dibandingkan dengan ilmu para Imam Madzhab yang

    Empat.

  • BAB IV

    AJARAN TASAWUF

    DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER

    Tasawuf dan Pengembangan Karakter

    emperbincangkan ajaran tasawuf erat sekali dengan mendiskusikan

    soal akhlak atau karakter Islam. Akhlak menjadi pondasi dan dasar

    dari pelaksanaan ajaran tasawuf, sehingga dalam praktik, tasawuf sudah

    seharusnya mementingkan akhlak atau karakter.

    1. Prinsip Takhalli: Menjauhkan Diri Dari Karakter Tercela

    Menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi bahwa akhlak atau

    karakter itu ada dua bagian, yaitu ruang lingkup karakter tercela (akhlak adz-

    dzamĩmah) dan ruang lingkup karakter terpuji (akhlak al-hamĩdah). Akhlak

    atau karakter tercela, merutnya termasuk najis ma’nawiyah dimana dengan

    akhlak atau karakter ini seseorang tidak mungkin bisa taqarrub kepada Tuhan

    yang Maha Suci. Akhlak atau karakter tercela mengantarkan manusia menuju

    kehancuran, karena Allah melarang pribadi seorang yang beriman dan

    beragama Islam memiliki sifat tercela.

    Diantara karakter tercela yang perlu dihindari adalah; setiap ucapan dan

    perbuatan yang dilarang al-Qur’an, setiap sesuatu yang diharamkan Allah,

    jika direnungkan ternyata merupakan perbuatan yang keji, buruk dan maksiat

    yang menimbulkan kerugian, setiap cerita mengenahi orang-orang yang

    menantang Allah dan Rasul-Nya yang disampaikan al-Qur’an bertujuan agar

    umat Islam menjauhinya, dan setiap ancaman yang diancamkan Allah.

    Adapun jenis-jenis sifat akhlak atau karakter tercela, menurut Syaikh

    Muhammad Amin Al-Kurdi adalah digambarkan seperti; hasad, al-hiqd, al-

    kibr, al-‘ujub, al-bahil, riya’, cinta jabatan dan kedudukan, pemarah,

    menggunjing, adu domba, pembohong, banyak omong, dan lainnya (Al-

    Kurdi, t.t.: 429).

    Adapun penjelasan secara rinci tentang karakter tercela yang harus

    dijauhi oleh para pelaku ajaran tasawuf adalah sebagai berikut:

    M

  • 29

    1) Al-Hasad.

    Hakikat al-hasad, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t :

    429-430) adalah sikap tidak senang terhadap ni’mat Allah atas saudaranya

    (orang lain) kemudian ia merasa senang atas hilangnya ni’mat dari saudara

    tersebut. Sikap dan perilaku hasad tersebut tergolong perilaku dan sikap yang

    buruk dan juga merupakan penyakit hati yang harus dihindari. Cara memutus

    perilaku tercela seperti itu dari diri seseorang adalah melalui jalan tasawuf.

    Perilaku tercela seperti hasad ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:

    َاْْلََسُد َيَُْكُل ْاْلََسَناتي َكَما ََتُْكُل النهاُر ْاْلََطبَ “Dengki itu memakan kebaikan-kebaikan seperti api memakan kayu bakar”.

    (HR. Ibnu Majah).

    2) Al-Hikdu atau dengki

    Al-Hikdu, adalah sikap dengki. Artinya, sikap yang didalamnya

    terdapat rasa memusuhi, benci dan memutus kebahagiaan orang lain. Sifat ini

    adalah sifat yang tercela yang timbul akibat perilaku hasud, meninggalkan

    hubungan kekrabatan dan mencari keburukan orang lain. Sifat ini juga sangat

    berbahaya dalam kehidupan, baik kehidupan rumah tangga maupun

    kemasyarakatan, karena tidak ada orang yang suka dengan seseorang yang

    berkarakter seperti ini (Al-Kurdi, t.t.: 431).

    3) Al-Kibr

    Al-Kibr, adalah diri merasa besar dan menganggap orang lain

    dibawahnya. Padahal dalam ajaran Islam sikap dan perilaku sombong itu

    termasuk perbuatan iblis, sebagaimana Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi

    (t.t., 431) bahwa sesungguhnya sombong itu awal dari perbuatan maksiat

    kepada Allah. Sedangkan kata al-kibr terambil dari kata takabur, berasal dari

    bahasa Arab takabbara-yatakabbaru artinya sombong atau membanggakan

    diri. Banyak hal yang menyebabkan orang menjadi sombong akibat takabur

    di antaranya dalam ilmu pengetahuan, amal dan ibadah, nasab, kecantikan,

    dan kekayaan. Takabur termasuk termasuk sifat yang tercela yang harus di

    hindari (Samarqandi, 1986: 501). Lebih lanjut Syaikh Muhammad Amin Al-

    Kurdi (t.t.: 431) mengatakan bahwa al-kibr semakna dengan ta`azum, yakni

    menumbuhkan keagungan dan kebesaran dirinya atas orang lain. Sehubugan

  • dengan perilaku tercela, secara tegas Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi

    merujuk terhadap sabda Nabi Saw.:

    ْن كيْبٍ ثْ َقاُل َذرهٍة مي ال َيْدُخُل اْْلَنهَة َمْن َكاَن ِفي قَ ْلبيهي مي“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat

    kesombongan sebesar biji sawi.”

    Agama Islam mengajarkan agar manusia berakhlak mulia atau

    berkarakter luhur. Salah satu akhlak atau karakter tercela yang harus dijauhi

    oleh umat Islam adalah sikap takabur atau sombong. Orang yang sombong

    merasa dirinya sempurna dan memandang dirinya di atas orang lain.

    4) Al-‘Ujub

    Al-‘Ujub, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t.: 432) adalah

    kesombongan dalam diri dengan rasa paling sempurna dalam segi ilmu dan

    amal. Sedangkan menurut Bisyr Al-Hafi mendefenisikan pengertian ‘ujub

    adalah “menganggap hanya amalanku saja yang banyak dan memandang

    remeh amalan orang lain.”

    Pada era sekarang barangkali gejala paling dominan yang tampak pada

    orang yang terkena penyakit ‘ujub adalah sikap suka melanggar hak dan

    menyepelekan orang lain. Sedangkan menurut Sufyan Ats-Tsauri,

    mengatakan bahwa ‘ujub adalah perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga

    seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh

    jadi ia tidak dapat beramal sebaik amal saudaranya itu dan boleh jadi

    saudaranya itu lebih wira’i dari perkara haram dan lebih suci jiwanya

    ketimbang dirinya”.

    5) Al-Bakhil

    Al-Bakhil, menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah enggan

    memberi kepada orang lain khawatir hartanya berkurang (Al-Kurdi, t.t.: 432).

    Untuk memperkuat penjelasan tentang al-bakhil ini, Syaikh Muhammad

    Amin Al-Kurdi mengutip firman Allah dalam QS. Ali Imron: 180;

    ْن َفْضليهي ُهَو َخرْيًا ََلُْم َبْل ُهَو شَ ُ مي َا َآََتُهُم اَّلله يَن يَ ْبَخُلوَن ِبي ر ٌّ ََلُْم َواَل ََيَْسََبه الهذيُلوا بيهي يَ ْوَم اْلقيَياَمة ُقوَن َما َبَي َسُيَطوه

  • 31

    “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah

    berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu

    baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka.

    Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari

    kiamat”.

    Kata al-bahil banyak diterjemahkan banyak orang dengan istilah kikir,

    artinya menahan untuk memberi sesuatu yang semestinya diberikan. Seperti

    pernyataan Al-Jurjani (1988: 42) mendefinisikan bahwa bakhil dengan

    menahan hartanya sendiri, yakni menahan memberikan sesuatu pada diri

    orang lain yang sebenarnya tidak berhak untuk ditahan atau dicegah, mislanya

    uang, makanan, minuman, dan lain-lain. Sifat ini merupakan sifat seseorang

    yang amat tercela dan hina, karenan ia tidak akan mengeluarkan harta yang

    wajib dikeluarkan baik dalam ketentuan agama seperti zakat, nafkah keluarga

    atau menurut ketentuan perikemanusiaan seperti sedekah, infaq, dan hadiah.

    6) Ar-Riya’

    Riya’ secara bahasa adalah melihat karena ketika berbuat, selalu

    berusaha agar dilihat dan perhatikan orang lain untuk memperoleh pujian.

    Sedangkan secara istilah adalah sikap atau tindakan seseorang

    memperlihatkan amal perbuatan serta ibadah kepada orang lain. Denga arti

    lain bahwa riya’ adalah melakukan amal ibadah dengan niat karena selain

    Allah, ingin memperoleh pujian orang lain. Dalam konteks ini, seseorang

    dalam melakukan amal ibadah diperlukan niat karena Allah bukan karena

    orang atau manusia. Niat yang hanya karena Allah adalah sangat menentukan

    kadar iman seseorang dalam melakukan amal ibadah atau pekerjaan, agar

    amalnya memperoleh ridla Allah. Sebagaimana sabda Nabi Saw. yang

    artinya; "Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya dan

    seseorang akan memperoleh balasan sesuai dengan apa yang diniatkan.

    " (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi (t.t.: 434)

    memperkuat pernyataan ini dengan mengutip hadits riwayat Ibnu Jurairin at-

    Thabari bahwa “Allah tidak menerima amal seseorang dimana dalam amal

    tersebut terdapat riya’ walaupun sebutir dzarrah”. Artinya sikap dan perilaku

    seseorang yang mengedepankan sifat riya’ merupakan suatu amal yang dicela

    oleh agama, karena ia merupakan akhlak atau karakter yang harus dijauhi oleh

    umat Islam.

  • Riya’ telah dikategorikan perbuatan syirik kecil; demikian ini ungkapan

    yang dikemukakan Rasulullah Saw.:

    ْركُ َعَلْيُكمْ افُ َأخَ َما َأْخَوفَ إينه رْ َوَما قَاُلْوا ْاأَلْصَغُر، الشيِّ َرُسْولَ يَ ْاأَلْصَغرُ كُ الشيِّيْ إيَل اْذَهبُ ْوا اْلقيَياَمةي يَ ْومَ َوَجله َعزه هللاُ يَ ُقْولُ الريَِّيُء، قَالَ هللاي؟ نْ َيا ِفي اُءْونَ تُ رَ الهذي الدُّ

    ْنَدُهمُ َتَيُدْونَ َهلْ أمحد( اه)رو اْْلََزاءَ عي

    “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah

    syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah

    SAW?”, Beliau menjawab, “Riya.! Dan Allah akan berkata pada hari kiamat,

    terhadap mereka-meeka yang riya, ‘pergilah kalian kepada orang-orang

    yang dahulu di dunia kalian riya’, apakah kalian mendapatkan ganjaran dari

    mereka?” (HR. Ahmad).

    Oleh karenanya, ada tiga sebab yang memotori timbulnya riya: Pertama

    karena ingin mendapatkan pujian dan nama baik di masyarakat, Kedua,

    kekhawatiran mendapat celaan manusia, dan ketiga, menginginkan sesuatu

    yang dimiliki orang lain (tamak). Ketiga hal ini didasari dari hadits riwayat

    Imam Bukhari:

    ه َصلهى هللاٌ َعَلْيهي َوَسلهمَ فَ َقالَ يَ هللاُ َعْنُه، َأنه َأْعَرابييًّا َسَألَ النهبي ْ ُمْوَسى َرضي َعنْ َأبييهًة، َوالرهُجلُ يُ َقاتيلُ ليرُيَى َمكَ انُُه، َوالرهُجلُ يُ َقاتيلُ يَ َرُسْولَ هللاي، الرهُجلُ يُ َقاتيلُ محَي

    يَ اْلُعْلَيا ُّ َصلهى هللاُ َعَلْيهي َوَسلهمَ َمنْ قَاَتلَ ليَتُكوْ نَ َكليَمةَ هللاي هي ليلذيِّْكري، فَ َقالَ النه بيْ َسبيْيلي هللاي .فَ ُهوَ ِفي

    “Dari Abu Musa al-Asyari ra, mengatakan bahwa seorang Badui bertanya

    kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, seseorang berperang

    karena kekesatriaaan, seseorang berperang supaya posisinya dilihat oleh

    orang, dan seseorang berperang karena ingin mendapatkan pujian?

    Rasulullah Saw. menjawab “Barang siapa yang berperang karena ingin

    menegakkan kalimatullah, maka dia fi sabilillah.” (HR. Bukhari).

  • 33

    Agar seseorang bisa menghindari sifat dan perilaku yang mengandung

    riya’ maka diharapakan mengikuti petunjuk Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi

    Thalib tentang ciri-ciri riya’ yang terdapat dalam jiwa seseorang:

    قَالَ َعليي ٌّ َكرهمَ هللاُ َوْجَهُه، ليْلُمَرائييْ َعاَلَماٌت، َيْكُسلُ إيَذا َكانَ َوحْ َدُه، َويَ ْنَشطُ إيَذا ُقصُ إيَذا ُذمه ، َويَزيْيدُ ِفي اْلَعَملي إيَذا أُْثََن، َويَ ن ْ َكانَ ِفي النهاسي

    “Orang yang riya, terdapat beberapa ciri, (1) malas, jika seorang diri, (2)

    giat jika di tengah-tengah orang banyak, (3) bertambah semangat beramal

    jika mendapatkan pujian, (4) berkurang frekwensi amalnya jika mendapatkan

    celaan.”

    7) Al-Ghadlab

    Ghadhab secara harfiah berarti “marah” atau “pemarah”. Sifat pemarah

    dapat membakar jiwa dan menghanguskan akal. sifat ini dilarang oleh Allah

    dan Rasul-Nya. Rasulallah bersabda: “Sesungguhnya ada seorang laki-laki

    berkata: Si Fulan marah kepada si Fulanah berilah saya wasiat. Nabi Saw.

    bersabda: Janganlah kamu marah, (kemudian) orang itu mengulangi

    perkataannya beberapa kali. Nabi Saw. bersabda: Janganlah kamu marah”.

    Islam memberikan rambu-rambu cara menghindari sifat ghadhab,

    antara lain: merenungkan dan memahami ayat Al-Qur’an dan hadis yang

    menjelaskan keutamaan orang yang dapat menahan amarah; munculkan tekad

    untuk menahan amarah guna memperoleh keutamaan dan pahala dari Allah;

    takut akan murka Allah; merenungkan dan memahami dampak negatif

    ghadhab yang dapat menimbulkan permusuhan dan balas dendam;

    membayangkan dan merenungkan paras buruk orang lain yang sedang marah.

    Selanjutnya membayangkan hal tersebut terjadi pada diri sendiri; dan

    memahami bahwa marah merupakan buah dari perilaku ‘ujub.

    Oleh karena itu, orang yang beriman hendaknya bisa menghindari sifat-

    sifat ghadlab, antara lain:

    a) Merenungkan dan memahami ayat al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan

    keutamaan orang yang dapat menahan amarah.

    b) Munculkan tekad untuk menahan amarah guna memperoleh keutamaan

    dan pahala dari Allah.

    c) Takut akan balasan dan murka Allah.

  • d) Merenungkan dan memahami dampak negatif gadab yang dapat

    menimbulkan permusuhan dan balas dendam.

    e) Membayangkan paras buruk orang lain yang sedang marah dan selanjutny

    membayangkan hal tersebut terjadi pada diri sendiri.

    f) Memahami bahwa marah merupakan buah dari perilaku ‘ujub.

    Rasulullah Saw. mengajarkan agar seseorang melakukan hal-hal

    berikut:

    a) Mohon perlindungan kepada Allah dari gadlab.

    b) Duduklah bila kemarahan belum reda.

    c) Apabila belum merasa reda, berbaringlah. Berbaring di tanah

    dimaksudkan agar manusia merasakan bahwa dirinya adalah makhluk

    yang tidak memiliki daya upaya kecuali atas kehendak-Nya.

    d) Apabila belum reda, berwudu atau mandilah. Hal ini dikarenakan emosi

    berasal dari api dan api akan padam jika disiram dengan air atau tanah

    (Zubaidi, 2016: 2001).

    8) Al-Ghibah

    Dalam bahasa Indonesia ghibah diartikan menggunjing. Secara bahasa

    ghibah artinya tidak ada. Artinya, menyebutkan orang lain yang tidak hadir

    dihadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak senang oleh yang

    bersangkutan, namun jika keburukan yang disebut itu tidak tebukti atau tidak

    ada pada orang yang bersangkutan itu disebut dengan istilah buhtan atau

    kebohongan besar. Dengan demikian walaupun keburukan yang diungkap

    oleh si penggunjing memang disandang oleh yang di pergunjingkan maka

    tetaplah dilarang (Sanusi, 2012: 58-59).

    Menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, bahwa ghibah adalah

    membicarakan orang lain dengan hal yang tidak disenanginya bila ia

    mengetahuinya baik yang disebut-sebut itu kekurangan yang ada pada badan,

    ucapan, perbuatan, agama, keduniaan, hingga pada pakaian, rumah atau

    kendaraannya (Al-Kurdi, t.t.: 436).

    Ghibah tidak terbatas dengan lisan saja, namun juga bisa terjadi dengan

    tulisan atau isyarat seperti kerdipan mata, gerakan tangan, cibiran bibir dan

    sebagainya. Sebab intinya adalah memberitahukan kekurangan seseorang

    kepada orang lain. Suatu ketika ada seorang wanita datang kepada ‘Aisyah

    ra. Ketika wanita itu sudah pergi ‘Aisyah mengisyaratkan dengan tangannya

  • 35

    yang menunjukkan bahwa wanita itu berbadan pendek. Rasulullah Saw.

    lantas bersabda “Engkau telah melakukan ghibah”

    Termasuk contoh ghibah adalah gerakan memperagakan orang lain

    seperti menirukan cara jalan seseorang, cara berbicaranya dan lain-lain.

    Bahkan yang demikian ini lebih parah daripada ghibah karena di samping

    mengandung unsur memberitahu kekurangan orang, juga mengandung tujuan

    mengejek atau meremehkan. Larangan perilaku tercela ini merujuk pad

    firman Allah dalam QS. al-Hujurat; 12;

    ًتا َفَكريْهُتُموه يهي َمي ْ َواَل يَ ْغَتْب بَ ْعُضُكْم بَ ْعًضا َأَيُيبُّ َأَحدُُكْم َأْن َيَُْكَل َْلَْم َأخي“Dan janganlah sebagian kamu menggunjingkan sebagian yang lain.

    Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang

    sudah mati? Maka tentulah kamu merasajijik kepadanya.”

    9) An-Namĩmah atau adu domba

    Pengertian an-namĩmah menurut para ahli, diantaranya adalah: Imam

    al-Baghawi, namimah adalah mengutip suatu perkataan dengan tujuan untuk

    mengadu domba antara seseorang dengan si pembicara. Sedangkan menurut

    Imam Ibnu Hajar al-Asqalaani mengatakan bahwa namimah adalah

    membeberkan sesuatu yang tidak suka untuk dibeberkan. Baik yang tidak

    suka adalah pihak yang dibicarakan atau pihak yang menerima berita,

    maupun pihak lainnya. Baik yang disebarkan itu berupa perkataan maupun

    perbuatan. Baik berupa ‘aib ataupun bukan.

    Adapun terminologi namimah menurut Syaikh Muhammad Amin Al-

    Kurdi (t.t.: 437) adalah memindahkan perkataan sebagian orang kepada orang

    lain dengan tujuan merusak antara mereka. Syaikh Muhammad Amin Al-

    Kurdi, lebih lanjut mengatakan bahwa kaum muslimin ber-ijma’ (sepakat)

    bahwa namimah hukumnya haram, karena ia tergolong perilaku yang bernilai

    dosa besar. Dalil keharaman namimah dari Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’,

    yaitu dalam QS.al-Qalam:10-11:

    نٍي ) ٍف َمهي يٍم )01َواَل ُتطيْع ُكله َحاله اٍء بيَنمي (00( ََههاٍز َمشه “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina

    yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.”

    Lebih lanjut Amin Al-Kurdi memperkuat terkait dengan larangan

    namimah dengan mengutip hadits nabi Saw.:

  • الََيْدُخُل ْاْلَنهَة َنَهام

    “Tidak akan masuk surga orang yang mengumbar fitnah”

    Islam mengajarkan agar seseorangan bisa menjauhi karakter tercela

    seperti namimah, karena pelaku namimah diancam dengan adzab di alam

    kubur, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Abbas meriwayatkan, “(suatu

    hari) Rasulullah Saw. melewati dua kuburan, lalu bersabda, “Sesungguhnya

    penghuni kedua kubur ini sedang diadzab. Dan keduanya bukanlah diadzab

    karena perkara yang berat untuk ditinggalkan. Yang pertama, tidak

    membersihkan diri dari air kencingnya. Sedang yang kedua, berjalan kesana

    kemari menyebarkan namimah.” (HR. Al-Bukhari). Hal tersebut juga

    diperkuat dengan sabda nabi Saw. berikut:

    ََبني ُ َعَلْيهي َوَسلهَم َعني الَرُجَلنْيي اَلَلَذْيني رَآَُهَا يُ َعذه ُ َصلهى اَّلله ِفي فَ َقْد َأْخَبَ النهبيَن البَ وْ ْستيْبَاَء مي ، َوَيْْتُك اآلَخُر االي ْيَمةي َبنْيَ النهاسي لنهمي ي َأَحُدَُهَا َبي َا، ََيْشي .قُ بُ ْوريَهي لي

    “Nabi memberi khabar tentang dua laki-laki yang disiksa dalam kubur; salah

    satunya berjalan dengan mengumbar namimah anatara manusia, yang lainya

    tidak bersih setelah kencing”.

    10) Al-Kidzb atau Pendusta.

    Pendusta merupakan sifat seseorang yang berkata tidak sesuai dengan

    fakta-fakta yang ada. Dalam berkata, seseorang tidak diperbolehkan

    berdasarkan kejahilan, tetapi seharusnya berdasarkan informasi yang akurat.

    Sebagaimana ungkapan Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi bahwa dikatakan

    pendusta atau al-kidzb adalah orang yang menginformasikan sesuatu tetapi

    tidak sesuai dengan kenyataan fakta-faktanya. Dan sifat demikian termasuk

    karakter yang tercela dan termasuk perbuatan dosa. Agar sesorang menjauhi

    sifat pendusta ini,lebih lanjut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi

    mempertegas dengan mengutip sabda nabi Saw.;

    َي هللاُ َعْنُه قَاَل: قَاَل َرُسْوُل هللاي َصلهى هللاُ َعَلْيهي عْن َعْبدي هللاي بني َمْسُعْود َرضيْي إيَل اْلَْ ه يَ ْهدي ِّي،َوإينه اْلبي ْي إيَل اْلبي ْدَق يَ ْهدي نه الصِّي ،فَإي ْدقي لصِّي نهةي، َوَسلهَم : َعَلْيُكْم َبي

  • 37

    يْ ًقا،َوَما يَ َزاُل الرهُجُل َيْصُدُق وَ دِّي ْنَد هللاي صي ْدَق َحَّته ُيْكَتَب عي ُكْم يَ َتَحرهى الصِّي َوإييهْي إيَل النهار، َوَما ْي إيَل اْلُفُجْوري، َوإينه اْلُفُج ْوَر َيه ْدي َب يَ ْهدي نه اْلَكذي َب،فَإي َواْلَكذي

    َب َحَّته ُيْك تَ َب عي ُب َويَ َتَحرهى اْلَكذي اَبً ْن َد هللاي َك ذه يَ َزاُل الرهُجُل َيْكذي “Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd ra, ia berkata:“Rasûlullâh Saw. bersabda,

    ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada

    kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila

    seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di

    sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta,

    karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan

    mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta

    dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta

    (pembohong)”.

    2. Prinsip Tahalli: Menghiasi Diri Dengan karakter Terpuji

    Beberapa ajaran tasawuf yang relevan dengan nilai-nilai karakter

    terpuji prespektif Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi adalah: al-aqĩdah as-

    shahĩhah (akidah yang benar), taubat, al-I’rădh ‘anil ma’siyat (berpaling dari

    maksiat) dan wa an-nadm ‘ala fi’liha (menyesal atas melakukannya), al-

    hayă’ minallah (malu kepada Allah), taat, sabar, wara’, zuhud, qanaah, ridla,

    syukur, memuji kepada Allah, sidqul hadĩts (jujur dalam berbicara), al-wafa’

    (menepati janji), adăul amănah (menjalankan amanah), tarkul khiyănat

    (meninggalkan berkhiyanat), menjaga hak bertetangga, pemurah,

    ifsyăussalam (menebar kedamaian), berperilaku baik, cinta akhirat, tidak

    cinta dunia, tidak membuat sakit terhadap orang lain, khauf, roja’, tawakal,

    menjaga harga diri, mahabatullah (cinta Allah), mengharap wushul kepada

    Allah, al-adab (berbudi pekerti), muhăsabatun nafs (evaluasi diri),

    husnudzan (berperasangka baik), al-mujăhadah (mujahadah), meninggalkan

    riya’ dan perdebatan, dzikrul maut (ingat mati), tafaquh filqur’an

    (memperdalam al-Qur’an), ikhlash. Dan apabila seorang murid melakukan

    berbagai akhlak atau karakter terpuji seperti ini dalam mendekatkan diri

    kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan menjadi orang yang berbahagia

    dunia dan akhirat (Al-Kurdi, t.t.: 440-441).

  • Untuk memperjelas nilai-nilai karakter terpuji tersebut adalah sebagai

    berikut:

    1) al-Aqĩdah as-Shahĩhah (akidah yang benar)

    Akidah merupakan pokok-pokok keimanan yang telah ditetapkan oleh

    Allah. Penanaman keimanan seseorang bukan secara dogmatis, melainkan

    melalui dalil baik naqli maupun aqli. Akan tetapi akal manusia terbatas maka

    tidak semua hal yang harus diimani dapat diindra dan dijangkau oleh akal

    manusia. Para ulama sepakat bahwa dalil-dalil aqli yang benar dapat

    menghasilkan keyakinan dan keimanan yang kokoh. Sedangkan dalil-dalil

    naqli yang dapat memberikan keimanan yang bisa diharapkan hanyalah dalil-

    dalil yang bersifat qath’i.

    Akidah seperti yang diisyaratkan al-Qur’an adalah sebagai wadah acuan

    Allah, dimana umat manusia diminta supaya membentuk dirinya dalam

    perjalanan hidupnya mengikuti bentuk dan corak seperti yang ditetapkan oleh

    Allah tersebut. Akidah yang benar adalah akidah yang berdasar al-Qur’an dan

    as-Sunnah dengan dasar dan dalil yang pasti. Kaum muslimin wajib

    mempelajari dan mendalami ajaran akidah agar dapar terhindar dari ajaran

    yang sesat. Aqaid adalah beberapa perkara yang wajib diyakini kebenarannya

    oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, menjadi keyakinan yang tidak

    bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan (al-banna, 1963: 465).

    Sedangkan akidah menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi (1978: 21):

    ْن َقَضاَي ْاْلَقه َي ََمُْمْوَعٌة مي يهةي ْاملَُسلهَمةي َبيْ اَْلَعقيْيَدُة هي ْطَرةي ْالَبَدهي لَعْقلي َوالهسْمعي َوْالفيتيَها قَا حه َها َصْدرَُه َجازيًما بيصي ْنَسُان قَ ْلبَ َها َويُ ْثِني َعَلي ْ َها ْاالي َها يَ ْعقيُد َعَلي ْ ًعا بيُوُجْودي طي

    حُّ َاْن َيُكْوَن أَبَ اَلفُ َها أَنهُه ُيصي َا الَ يُ َري خي داً.َوثُ بُ ْوِتي ‘Aqîdah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum

    (axioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, fitrah. (Kebenaran) itu

    dipatrikan (oleh manusia) di dalam hati (serta) diyakini kesahihan dan

    keberadaannya (secara pasti) dan ditolak segala sesuatu yang berten-tangan

    dengan kebenaran itu.

    Akidah hampir semakna dengan iman. Ada sedikit perbedaan antara

    akidah dan iman. Iman adalah sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan

    dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota badan. Iman mengandung tiga

    aspek yaitu: 1) keyakinan dalam hati, 2) diucapkan dengan lisan, 3)

  • 39

    diamalkan melalui anggota badan. Sedangkan akidah berupa keyakinan. Jadi,

    jika akidah terkait dengan aspek dalam (aspek hati) dari iman, iman tidak

    hanya menangkut aspek hati, tetapi juga aspek luar. Aspek dalam iman adalah

    keyakinan dan aspek luarnya berupa pengakuan lisan dan pembuktiannya

    dengan amal perbuatan (Ghufran dan Zubaidi, 2016: 3).

    Memang ada tiga unsur pokok dalam akidah Islam yang tidak bisa

    dipisahkan satu dengan yang lainnya. Artinya, jika sesorang mengaku

    berakidah Islam atau lebih mudahnya ia mengaku sebagai muslim, maka

    harus ada tiga unsur pokok ini didalam dirinya, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan.

    Ketiganya mempunyai hubungan yang sangat erat (Zubaidi, 2018: 2-3).

    Akidah Islam adalah sesuatu yang dipercayai dan diyakini

    kebenarannya oleh hati manusia, sesuai ajaran Islam dengan berpedoman

    kepada al-Quran dan hadits. Aqidah Islam meliputi:

    a) percaya adanya Allah dan segala sifat-sifat-Nya

    b) percaya adanya malaikat-malaikat Allah

    c) percaya kepada Kitab-kitab Allah

    d) percaya kepada nabi dan rasul Allah

    e) percaya keapda hari akhir dan sesuatu yang terjadi pada saat itu

    f) percaya kepada qadha’ dan qadar (Zubaidi, 2018: 3).

    Dengan demikian akidah Islam adalah sesuatu yang dipercayai dan

    diyakini kebenarannya oleh hati manusia, sesuai ajaran Islam dengan

    berpedoman kepada al-Quran dan hadits. Aqidah Islam meliputi: percaya

    adanya Allah dan segala sifat-sifat-Nya (al-ĩman billăhi wa sifătihi); percaya

    adanya malaikat-malaikat Allah (al-ĩman bi malăikatillăhi); percaya kepada

    kitab-kitab Allah (al-ĩman bikităbillahi); percaya kepada nabi dan rasul Allah

    (al-ĩman binnabiyyihi wa rasûlihi; percaya keapda hari akhir (al-ĩman

    biyaumil Ãkhir) dan sesuatu yang terjadi pada saat itu; dan percaya kepada

    qadha’ dan qadar (al-ĩman bil qdlăi walqadari). Akidah mempunyai

    beberapa fungsi sebagai dasar dari akhlak atau karakter terpuji, antara lain:

    dasar bagi setiap tindakan manusia (akhlak atau karakter); mendasari

    terlaksananya akhlak terpuji atau karakter mulia; dan membentengi diri

    timbulnya akhlak atau karakter tercela (Zubaidi, 2018: 3).

    Sikap mental yang menunjukkan karakter terpuji dari nilai al-aqidah as-

    shahihah relevansinya dengan pengembangan karakter bangsa adalah:

    a) Nilai religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan

    ajaran agama yang dianutnya. Artinya, sebagai umat Islam akan patuh

  • dalam melaksanakan ajaran yaitu keyakinan dan akidah mereka selalu

    berpedoman pada al-Qur’an dan Hadits.

    b) Nilai Damai, yaitu sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan

    orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran. Artinya, ketenangan

    dalam amal ibadah bagi kaum muslimin, dimana mereka yakin benar

    bahwa apa yang mereka dikerjakan sudah sesuai dengan nilai-nilai ajaran

    al-Qur’an, dan sunnah, dengan demikian hati mereka akan merasa senang,

    dan tentram sehingga dapat mendorong pada ketentram jiwa mereka

    dalamkehidupan sehari-hari.

    c) Nilai Disiplin, yaitu, tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh

    pada berbagai ketentuan dan peraturan. Artinya, kepatuhan terhadap

    ketentuan dan aturan yang dilegalkan oleh guru dan pendidik mereka

    semua bisa dikerjakan dengan baik dan benar serta tepat sesuai dengan

    ketentuan.

    Bisa dipahami bahwa, akidah atau iman merupakn ruh dalam ajaran

    agama Islam karena manusia bisa diukur tinggi rendah derajatnya atas dasar

    keimanan dan taqwanya. Iman seseorang memiliki dampak sosial yang tinggi

    terhadap kehidupan bermasyarakat. Jika akidah atau keimanannya baik maka

    realisasi kehidupannya akan menjadi baik pula. Semua aktifitasnya merujuk

    atas dasar qudrah dan iradah Allah. Artinya, aktifitasnya diorientasikan pada

    pengabdian kepada Allah, tidak untuk kepentingan kesenangan duniawi.

    Mengenalkan seseorang dengan nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan), sikap

    taqarrub kepada Allah, menumbuhkan rasa mahabah (cinta) kepada Allah,

    sikap tafwidh al-amr (pasrah urusan) kepada Allah, merupakan bagian dari

    pendidikan karakter mulia. Ajaran inilah yang akan membawa manusia

    berkarakter terpuji dan berkpribadian (Nugroho, 2017: 376-377).

    Melalui ajaran al-aqĩdah as-shahĩhah tersebut, nilai-nilai utama yang

    ditekankan adalah karakter religius, karakter cinta damai, karakter keteguhan

    hati, karakter disiplin dan kemandirian. Disamping itu, ada sisi rasionalitas

    agama, karakter yang tampil kuat ini berasal dari rasio agama (Nugroho,

    2017: 370)

    2) At-Taubat

    Menurut Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdi, bahwa taubat merupakan

    tingkatan pertama yang harus dilalui seseorang yang sedang menempuh jalan

    tasawuf guna untuk mendekatkan diri kepada Allah. Taubat adalah kembali

  • 41

    dari sifat-sifat tercela menuju sifat-sifat yang terpuji. Lebih lanjut Amin Al-

    Kurdi menyatakan bahwa orang yang kembali dari sesuatu yang berselisih

    dari ketentuan dengan merasa takut akan adzab atau siksa Allah maka ia

    dinamakan tăib. Dan orang yang kembali Allah karena malu atas perbuatan

    tersebut dilihat oleh-Nya, maka ia dinamakan munĩb. Sedangkan orang yang

    kembali kepada Allah atas dasar mengagungkan kebesaran Allah maka ia

    dinamakan awwăb. Maka wajib bagi seorang hamba sesegera mungkin untuk

    bertaubat agar bisa keluar dari murka Allah dan selamat dari kerusakan yang

    abadi (Al-Kurdi, t.t.: 418). Dalam memperkuat pentingnya taubat bagi

    seseorang untuk menuju kepada Allah, Amin Al-Kurdi mengutip QS. An-

    Nur: 31;

    ُنوَن َلَعلهُكْم تُ ْفليُحون يًعا أَي َُّها اْلُمْؤمي َوتُ وبُوا إيَل اَّللهي َجَي“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman

    supaya kamu beruntung.”

    Artinya, sebagai orang yang beriman setelah melakukan taubat atas

    semua kesaalah yang ia lakukan, kemudian melakukan tazkiyath an-nafs

    (pembersihan jiwa) dalam melaksanakan perintah Allah SWT. sebagai bentuk

    kepatuah kepada-Nya. Dalam merealisasikan pertaubatan kepada Allah,

    seseorang harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya adalah; menyesal

    atas beberapa dosa yang telah lewat; berniat tidak akan megulang kembali

    perbuatan yang ia lakukan; minta halal kepada orang dimusuhi atas

    kesalahan, kemudian berbuat baik kepada mereka (Al-Kurdi, t.t.: 421).

    Tasawuf bertujuan agar manusia membangun poros hubungan langsung

    dengan Allah SWT. sehingga manusia menyadari benar bahwa dirinya

    berada sedekat mungkin dengan Allah. Ia (salik) harus menapaki jalan

    panjang berupa terminal-terminal spiritual yang mesti dilalui dan penuh

    dengan rintangan. Terminal atau maqam tersebut salah satunya adalah taubat.

    Nilai-nilai karakter yang dapat dibangun melalui pengamalan ajaran

    tasawuf seperti taubat ini adalah pengembangan karakter religius, jujur, dan

    tanggung jawab. Religius dapat dideskripsikan sebagai sikap dan perilaku

    yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama terkait dengan penyesalan atas

    kesalahan-kesalahan yang telah dikerjakan, untuk kembali melakukakan

    kebaikan, dan tidak akan mengulang lagi (Zubaidi, 2015: 151). Karena dalam

    literatur tasawuf, dosa dan kesalahan dimaknai sebagai penghalanag (hijab)

  • dari al-Mahbub (Kekasih) yaitu Allah SWT. Oleh kareannya menjauhkan diri

    dari perilaku dosa dan kesalahan tersebut sangat-sangat diharuskan,

    mengingat hal tersebut tidak disukai oleh-Nya.

    Sebagai orang yang ingin taqarrub kepada Allah, jika melakukan

    sebuah kesalahan hendaknya segera bertaubat dan sadar apabila suatu ketika

    karena kekhilafan ia berbuat dosa. Ia akan segera memohon ampun dan

    bertaubat kepada Allah SWT. dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan

    dosa tersebut.

    Sebagai mana diterangkan dalam QS. An-Nisa’: 110;

    يًما َ َيَيدي اَّللهَ َغُفورًا رَحي َوَمْن يَ ْعَمْل ُسوًءا َأْو َيْظليْم نَ ْفَسُه ُثُه َيْستَ ْغفيري اَّلله“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya,

    kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha

    Pengampun lagi Maha Penyayang” (Zubaidi, 2018: 137).

    Lebih lanjut Amin Al-Kurdi (t.t.: 420) mempertegas urgennya taubat

    dalam perjalanan orang yang mendaki jalan tasawuf guna mendekatkan diri

    kepada Allah. Sebagaimana hadits:

    ُتْم لََتاَب َعَلْيُكْم – رواه ابن ماجه َماَء ُثُه تُ ب ْ َلْوَعليْمُتْم َاْْلَطَاَيَحَّته تَ ب ْ ُلَغ السه Apabila kamu sekalian mengetahaui beberapa kesalahan sampai menembus

    langit, kemudian kamu sekalian bertaubat, maka Allah akan menerima taubat

    kamu sekalain.

    Bisa dipahami bahwa, orang yang bertaubat itu sebagai kekasih Allah,

    dan orang yang bertaubat dari dosa dan kesalahan sebagaimana orang yang

    tidak mempunyai dosa sama sekali (Al-Kurdi, t.t.: 420).

    Salah satu tujuan pendidikan sufistik adalah bagaimana seseorang bisa

    menata hati yang merupakan inti ajaran tasawuf sebagai penguatan karakter

    spiritual seperti perilaku taubat. Lewat ajaran taubat inilah seseorang mampu

    memahami dan mengenal Allah sebagai basic utama membentuk karakter

    terpuji.

    3) al-I’rădh ‘anil ma’siyat (berpaling dari maksiat)

    Dalam literatur Islam, maksiat bisa memasukkan kata yang berdekatan

    seperti sayyiah, khatiah, dan itsmun. Setiap orang beriman wajib hukumnya

  • 43

    untuk menjauhi. Mewaspadai dan menghindari semua perbuatan atau

    karakter tercela tersebut sangat dianjurkan oleh agama, karena semua itu

    dilarang Allah.

    Allah memberikan peringatan bahwa besuk dihari qiyamat manusia

    akan diminta sebuah pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka

    lakukan di dunia, disaat itu mulut mereka terkunci, tetapi tangan, dan kaki

    bisa berbicara untuk memberi kesaksian atas perbuatan mereka sehari-hari.

    Sebagaimana dalam QS. Yasin: 65:

    بُ ونَ َا َكانُوا َيْكسي ْم َوَتْشَهُد َأْرُجُلُهْم ِبي يهي ْم َوُتَكلِّيُمَنا أَْيدي هي َواهي اْليَ ْوَم ََنْتيُم َعَلى َأف ْ“Pada hari ini (Kiamat) Kami tutup mulut-mulut mereka; dan berkatalah

    kepada Kami