tarbi yah

33
Ta`lim, ta`dib, dan tarbiyah Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan Tuhanmu-lah yang maha pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya.” Dunia pendidikan dalam Islam mendapatkan perhatian yang utama selain masalah ketahuidan. Surat Al- Alaq, sebagai wahyu pertama, secara tersirat menyuruh umat manusia untuk tidak serta merta “beriman” sebelum adanya “ilmu” sehingga orang bertauhid bukanlah tanpa dasar. Ruang “dialogis keimanan” ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir secara”hanif”, tanpa ada paksaan, untuk menerima ketauhidan universal Islam. Pendidikan dalam Islam bukanlah sebuah “transfer of knowledge” semata, pemindahan ilmu dari guru-murid, tanpa adanya dialog-dialog kritis dari kedua belah pihak (guru-murid), sebagaimana digambarkan dalam dialog antara Nabi Muhammad dengan Jibril saat menerima wahyu pertama di gua Hira’. Dengan adanya “umpan balik” antara guru-murid melahirkan berbagai macam konsep-konsep pendidikan dalam Islam, diantaranya: ta’lim, ta’dib dan tarbiyah. Kosep ini semua bermuara pada pendidikan transformatif, pendidikan

Upload: cahyono-orra-neckonecko

Post on 28-Oct-2015

51 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

nnn

TRANSCRIPT

Page 1: Tarbi Yah

Ta`lim, ta`dib, dan tarbiyah

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah

menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dengan Tuhanmu-lah

yang maha pemurah, yang mengajar manusia dengan perantaran kalam.

Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak di ketahuinya.”

Dunia pendidikan dalam Islam mendapatkan perhatian yang utama selain

masalah ketahuidan. Surat Al-Alaq, sebagai wahyu pertama, secara tersirat

menyuruh umat manusia untuk tidak serta merta “beriman” sebelum adanya

“ilmu” sehingga orang bertauhid bukanlah tanpa dasar. Ruang “dialogis

keimanan” ini memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir

secara”hanif”, tanpa ada paksaan, untuk menerima ketauhidan universal

Islam. Pendidikan dalam Islam bukanlah sebuah “transfer of knowledge”

semata, pemindahan ilmu dari guru-murid, tanpa adanya dialog-dialog kritis

dari kedua belah pihak (guru-murid), sebagaimana digambarkan dalam

dialog antara Nabi Muhammad dengan Jibril saat menerima wahyu pertama

di gua Hira’. Dengan adanya “umpan balik” antara guru-murid melahirkan

berbagai macam konsep-konsep pendidikan dalam Islam, diantaranya:

ta’lim, ta’dib dan tarbiyah. Kosep ini semua bermuara pada pendidikan

transformatif, pendidikan yang menghantarkan peserta didik menjadi

“ahsanu taqwim”.

Pengertian ta’lim, ta’dib, dan tarbiyah.

Ta’lim, secara bahasa berarti pengajaran (masdar dari ‘alama-yu’alimu-

ta’liman), secara istilah berarti pengajaran yang bersifat pemberian atau

penyampian pengertian, pengetahuan dan ketrampilan. Menurut Abdul

Fattah Jalal, ta’lim merupakan proses pemberian pengatahuan, pemahaman,

pengertian, tanggung jawab, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau

bersih dari segala kotoran sehingga siap menerima hikmah dan mampu

mempelajari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya ( ketrampilan). Mengacu

pada definisi ini, ta’lim, berarti adalah usaha terus menerus manusia sejak

lahir hingga mati untuk menuju dari posisi ‘tidak tahu’ ke posisi ‘tahu’

seperti yang digambarkan dalam surat An Nahl ayat 78, “dan Allah

Page 2: Tarbi Yah

mengeluarkan dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu

apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar

kamu bersyukur”.

Ta’dib, merupakan bentuk masdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban,

yang berarti mengajarkan sopan santun. Sedangkan menurut istilah ta’dib

diartikan sebagai proses mendidik yang di fokuskan kepada pembinaan dan

penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar.

Menurut Sayed Muhammad An-Nuquib Al-Attas, kata ta’dib adalah

pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan

kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam

tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah

pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan

wujud keberadaan-Nya. Definisi ini, ta’dib mencakup unsur-unsur

pengetahuan (ilmu), pengajaran (ta’lim), pengasuhan (tarbiyah). Oleh sebab

itu menurut Sayed An-Nuquib Al Attas, tidak perlu mengacu pada konsep

pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib sekaligus.

Karena ta’dib adalah istilah yang paling tepat dan cermat untuk

menunjukkan dalam arti Islam.

Tarbiyah, merupkan bentuk masdar dari kata robba-yurabbi-tarbiyyatan,

yang berarti pendidikan. Sedangkan menurut istilah merupakan tindakan

mangasuh, mendididk dan memelihara.

Muhammad Jamaludi al- Qosimi memberikan pengertian bahwa tarbiyah

merupakan proses penyampian sesuatu batas kesempurnaan yang dilakukan

secara setahap demi setahap. Sedangkan Al-Asfahani mengartikan tarbiyah

sebagai proses menumbuhkan sesuatu secara setahap dan dilakukan sesuai

pada batas kemampuan.

Menurut pengertian di atas, tarbiyah diperuntukkan khusus bagi manusia

yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian tarbiyah yang

dikaitkan dengan alam raya mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi

segala yang dibutuhkan serta menjaga sebab-sebab eksistensinya.

Analisis perbandingan antara konsep ta’lim’, ta’dib dan tarbiyah

Page 3: Tarbi Yah

Istilah ta’lim’, ta’dib dan tarbiyah dapatlah diambil suatu analisa. Jika

ditinjau dari segi penekanannya terdapat titik perbedaan antara satu dengan

lainnya, namun apabila dilihat dari unsur kandungannya, terdapat

keterkaitan yang saling mengikat satu sama lain, yakni dalam hal

memelihara dan mendidik anak.

Dalam ta’lim, titik tekannya adalah penyampain ilmu pengetahuan yang

benar, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah

kepada anak. Oleh karena itu ta’lim di sini mencakup aspek-aspek

pengetahuan dan ketrampilan yang di butuhkan seseorang dalam hidupnya

dan pedoman perilaku yang baik.

Sedangkan pada tarbiyah, titik tekannya difokuskan pada bimbingan anak

supaya berdaya (punya potensi) dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta

dapat berkembang secara sempurna. Yaitu pengembangan ilmu dalam diri

manusia dan pemupukan akhlak yakni pengalaman ilmu yang benar dalam

mendidik pribadi.

Adapun ta’dib, titik tekannya adalah pada penguasaan ilmu yang benar

dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku

yang baik.

Denga pemaparan ketiga konsep di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

ketiganya mempunyai satu tujuan dalam dunia pendidikan yaitu

menghantarkan anak didik menjadi yang “seutuhnya”, perfect man, sehingga

mampu mengarungi kehidupan ini dengan baik. waAllahu ‘alam.

Oleh : Zaenul Ngator (direktur TPA masjid Baiturrahman Gowok)

http://mimbarbaiturrahman.blogspot.com/2009/01/talim-tadib-dan-tarbiyah.html

Page 4: Tarbi Yah

Tarbiyah, Sebuah Proses Pembentukan

13 Juni 2007 oleh Embun Tarbiyah

Tarbiyah… sebenarnya apa tujuan dari tarbiyah itu? Baik murobbi maupun mutarobbi seharusnya paham akan tujuan tarbiyah sehingga tarbiyah tidak hanya sekedar rutinitas tapi ada target atau tujuan yang dicapai.

Tarbiyah, Sebuah Proses Pembentukan

Ust. Abdul Muiz, MA

Pengertian Tarbiyah secara bahasa tansyiah (pembentukan), riayah (pemeliharaan), tanmiyah (pengembangan), dan taujih (pengarahan)Maka proses tarbiyah yang kita lakukan dengan menggunakan sarana dan media bermacam-macam, seperti halaqah, tatsqif, ta’lim fil masjid, mukhoyyam, lailatul katibah dan lainnya harus memperhatikan empat hal di atas sebagai langkah-langkah praktis untuk sampai pada tujuan strategis, yaitu terbentuknya pribadi muslim atau shalih mushlih.

1.Tansyi’ah (Pembentukan)Dalam proses tansyi’ah harus memperhatikan tiga sisi penting, yaitu:a. Pembentukan ruhiyah ma’nawiyahPembentukan ruhiyah ma’nawiyah dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan ibadah seperti qiyamul lail, shaum sunnaah, tilawah Qur’an, dzikir, dan lain-lain. Para murabbi harus mampu menjadikan sarana-sarana tarbiyah ruhiyah semisal mabit, lailatul katibah, jalasah ruhiyah, dalam membentuk pribadi mutarobbi pada sisi ruhiyah ma’nawiyahnya dirasakan serta disadari oleh mutarobbi bahwa ia sedang menjalani proses pembentukan ma’nawiyah ruhiyah. Jangan sampai mabit hanya untuk mabit.

b. Pembentukan fikriyah tsaqafiyahSarana dan media tarbiyah tsaqofah harus dijadikan sebagai sarana dan media yang dapat membentuk peserta tarbiyah pada sisi fikriyah tsaqafiyah, jangan sampai tatsqif untuk tatsqif dan ta’lim untuk ta’lim, tetapi harus jelas tujuannya bahwa tatsqif untuk pembentukan tasaqofah yang benar dan utuh, ta’lim untuk tsaqofah fid dien dan ini harus disadari dan dirasakan oleh murabbi dan mutarobbi.

c. Amaliyah harakiyahProses tarbiyah selain bertujuan membentuk pribadi dari sisi ruhiyah ma’nawiyah dan fikriyah tsaqafiyah juga bertujuan membentuk amaliyah harakiyah yang harus dilakukan secaa bebarengan dan berkisanambungan seperti kewajiban rekruitmen dengan da’wah fardiyah, da’wah amah dan bentuk-bentuk nayrud tarbiyah lainnya, serta pengelolaan halaqoh tarbiyah yang baru sehingga sisi ruhiyah ma’nawiyah dan fikriyah tsaqofiyah teraktualisasi dan terformulasikan dalam bentuk amal nyata dan kegiatan riil serta dirasakan oleh lingkungan dari masyarakat luas.

Page 5: Tarbi Yah

2.Ar-Riayah (Pemeliharaan)Kepribadian Islami yang sudah atau muai terbentuk harus dijaga dan dipelihara ma’nawiyah, fikriyah tsaqofiyah dan amaliyahnya dan ditaqwin (dievaluasi) sehingga jangan sampai ada yang berkurang, menurun atau melemah. Dengan demikian kualitas dan kuantitas ibadah ritual, wawasan konseptual, fikrah dan harakah tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Tidak ada penurunan dalan tilawah yaumiyah, qiyamul lail, shaum sunnah, baca buku, tatsqif, liqoat tarbiyah dan aktifitas da’wah serta pembinaan kader.

3. At-Tanmiyah (Pengembangan)Dalam proses tarbiyah, murabbi dan mutarobbi tidak boleh puas dengan apa yang ada dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki, apalagi menganggap sudah sempurna. Murobbi dan mutarrobbi yang baik adalah murobbi dan mutaroobi yang selalu memperbaiki kekurangan dan kelemahan serta meningkatkan kualitas, berpandangan jauh ke depan, bahwa tarbiyah harus siap dan mampu menawarkan konsep perubahan dan dapat mengajukan solusi dan berbagai permasalahan umat dan berani tampil memimpin umat. Oleh karenanya kualitas diri dan jama’ah merupakan suatu tuntutan dan kebutuhan dalam proses tarbiyah.

4.At-Taujjh (Pengarahan) dan At-Tauzif (Pemberdayaan)Tarbiyah tidak hanya bertujuan untuk melahirkan manusia yang baik dan berkualitas secara pribadi namun harus mampu memberdayakan dan kualitas diri untuk menjadi unsure perubahan yang aktif dan produktif (Al muslim as shalih al mushlih).Murobbi dapat mengarahkan, memfungsikan dan memberdayakan mutarobbinya sesuai dengan bidang dan kapasitasnya. Mutarobbi siap untuk diarahkan, ditugaskan, ditempatkan dan difungsikan, sehingga dapat memberikan kontribusi riil untuk da’wah, jama’ah dan umat, tidak ragu berjuang dan berkorban demi tegaknya dienul Islam.“Dan di antara orang-orang yang beriman itu ada orang-orang yang menjadi apa yang mereka telah janjikan kepada Allah, maka di anatra mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah janjinya (QS….)

Indikasi keberhasilan tarbiyah bisa dilihat pada peran dan kontribusi kader dalam penyebaran fikrah, pembentukan masyarakat Islam, memerangi kemungkaran, memberantas kerusakan dan mampu mengarahkan dan membimbing umat ke jalan Allah. Serta dalam keadaan siap menghadapi segala bentuk kebatilan yang menghadang lajunya da’wah Islam“Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (QS. 9:111)

Page 6: Tarbi Yah

Semoga Allah selalu bersama kita dan kemenangan memilih kepada kita.“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad:7)

http://www.oasetarbiyah.com/?p=25 http://embuntarbiyah.wordpress.com/2007/06/13/tarbiyah-sebuah-proses-pembentukan/

Page 7: Tarbi Yah

TARBIYAHA. Pengertian Tarbiyah

1. Secara etimologi ;

Tarbiyah berasal dari bahasa Arab yang berarti pendidikan, sedangkan orang yang mendidik dinamakan Murobi. Secara umum, tarbiyah dapat dikembalikan kepada 3 kata kerja yg berbeda, yakni:

Rabaa-yarbuu yg bermakna namaa-yanmuu, artinya berkembang.

Rabiya-yarbaa yg bermakna nasya-a, tara’ra-a, artinya tumbuh. Rabba-yarubbu yg bermakna aslahahu, tawallaa amrahu, sasa-

ahuu, wa qaama ‘alaihi, wa ra’aahu, yang artinya masing memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga dan memeliharanya (atau mendidik).

2. Secara istilah:

Muhammad Yunus dan Qasim Bakr berkata: Tarbiyah yaitu memberikan suatu pengaruh dari seluruh kebutuhan yang diperlukan yang telah dipilih untuk membantu anak agar membentuk jasmani, akal dan akhlak dengan bertingkat dan berterusan sampai memenuhi suatu target kesempurnaan yang dimampui agar dia dapat hidup bahagia di kehidupan individualnya serta sosial dan jadilah amal anak itu bermanfaat bagi masyarakat. (At-Tarbiyah wa Ta’lim karya Muhammad Yunus dan Qasim Bakar).

Menurut Syeikh Nasiruddin Al-Bani menyimpulkan definisi yang diberikan oleh Imam Baidhawi dan Al-Asfahani, bahwa tarbiyah mengandung pengertian-pengertian sebagai berikut:1. Menjaga dan memelihara fitrah manusia .2. Pengembangan dan persiapan lengkap untuk memelihara fitrah3. Mengarahkan fitrah tersebut untuk mengaplikasikan amalan dalam rangka menegakkan khilafah islamiyah.4. Semuanya itu dilakukan dengan bertingkat, level demi level, jenjang demi jenjang (Minhaj Tadris Ulum Syariyah dinukil dalam Risalah Tarbiyah wat Ta’lim karya Abu Hamidah Al-Harbi)

Dr. A. Madkur menjelaskan bahwa pengertian tarbiyah mengandung beberapa unsur, yaitu:1. Ialah suatu aktifitas terencana dan terprogram bertujuan untuk membumikan Islam berserta tujuan-tujuannya di tengah-tengah masyarakat.2. Secara itlaq, murabbi al-haq adalah Allah Sang Pencipta, Pencipta fitrah dan

Page 8: Tarbi Yah

penentu yang telah menggariskan peraturan dan perundang-undaangan serta syariat agar manusia hidup sejahtera.3. Tarbiyah merupakan pembentukan iman kepada Allah.4. Tarbiyah merupakan usaha yang terus menerus dan pemupukan yang konsisten. (Risalah Tarbiyah wat Ta’lim karya Abu Hamidah Al-Harbi)

Syeikh Umar Muhammad Abu Umar berkata mengenai definisi tarbiyah: “Ialah aplikasi perintah-perintah Allah”. (Al-ihad wal Ijtihad Ta’amulat fil Manhaj 82). “Maknanya seluruh muslim adalah orang yang tertarbiyah dan mendapatkan tazkiyah dengan mengamalkan perintah-perintah Allah ta’ala. Dengan kata lain barang siapa yang ingin mentarbiyah dirinya maka dia harus mengaplikasikan perintah-perintah Allah. Sudah dimaklumi, bahwa setiap amalan ibadah masing-masing mengandung atsar (efek) khusus. Atsar shalat berbeda dengan siyam sebagaimana siyam juga memiliki atsar tarbiyah yang berbeda dengan shalat, serta zakat memiliki efek khusus yang berlainan dengan shalat dan siyam”. (Al-Jihad wal Ijtihad Ta’amulat fil Manhaj 82)

B. Tujuan Tarbiyah

Tujuan Pendidikan akan menentukan kearah mana anak didik akan dibawa. Disamping itu pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia.  Tujuan pendidikan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu menurut islam dan tujuan pendidikan secara umum.

a. Tujuan Pendidikan Dalam IslamTujuan pendidikan islam adalah mendekatkan diri kita kepada Allah dan pendidikan islam lebih mengutamakan akhlak. Secara lebih luas pendidikan islam bertujuan untuk1. Pembinaan Akhlak2. Penguasaan Ilmu3. Keterampilan bekerja dalam masyarakat4. Mengembangkan akal dan Akhlak5. Pengajaran Kebudayaan6. Pembentukan kepribadian7. Menghambakan diri kepada Allah8. Menyiapkan anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat.b. Tujuan Pendidikan Secara UmumTujuan pendidikan secara umum dapat dilihat sebagai berikut:1.Tujuan pendidikan terdapat dalam UU No2 Tahun 1985 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang seutuhnya yaitu yang beriman dan dan bertagwa kepada tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan kerampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan berbangsa.

Page 9: Tarbi Yah

2.Tujuan Pendidikan nasional menurut TAP MPR NO II/MPR/1993 yaitu  Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja profesional serta sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan memepertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawaan sosial, serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.3.TAP MPR No 4/MPR/1975, tujuan pendidikan adalah membangun di bidang pendidikan didasarkan atas falsafah negara pancasila dan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangun yang berpancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan kreatifitas dan tanggung jawab dapat menyuburkan sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, dapat mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur, mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam UUD 1945.

Secara global tarbiah Islamiah bertujuan membangun kepribadian Islam yang integral dari segala sisinya, khususnya sisi aqidah, ibadah, ilmu pengetahuan, budaya, akhlaq, perlilaku, pergerakan, keorganisasian dan manajerial, sehingga seluruh kegiatan tarbiah akan mengembangkan potensi ruhani, jasmani, dan akal manusia.

Tujuan akhir tarbiah Islamiyah adalah menyiapkan seseorang untuk dapat mengemban tanggung jawab da’wah dan menghadapi rintangan dalam da’wah.Sasaran tarbiahSasaran tarbiah untuk tingkat individu mencakup sepuluh point yaitu;

1. salimul aqidah, setiap individu dituntut untuk memiliki kelurusan aqidah yang hanya dapat diperoleh melalui pemahaman terhadap Al Quran dan As-Sunnah2. Shahihul ibadah, setiap individu dituntut untuk beribadah sesuai dengan petunjuk yang disyariatkan kepada Rasulullah saw. Pada dasarnya, ibadah bukanlah ijtihad seseorang karena ibadah itu tidak dapat diseimbangkan melalui penambahan, pengurangan atau penyesuaian dengan kondisi kemjuan zaman.3. Matinnul khuluq, setiap individu dituntut untuk memiliki ketangguhan akhlaq/karakter sehingga mampu mengendalikan hawa nafsu dan syahwat.4. Qadirun ‘alal kasbi, setiap individu dituntut untuk mampu

Page 10: Tarbi Yah

menunjukkan potensi dan kretivitasnya dalam dunia kerja.5. Mutsaqqaful fikri, setiap individu

dituntut untuk memiliki keluasan wawasan. Artinya, dia harus mampu memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengembangkan wawasan.6. Qawiyul jism, setiap individu dituntut untuk memliki kekuatan fisik melalui sarana-sarana yang dipersiapkan Islam.7. Mujahidun li nafsi, setiap individu dituntut untuk mengendalikan hawa nafsunya dan senatiasa mengokohkan diri di atas hukum-hukum Allah melalui ibadah dan amal saleh. Artinya, ia dituntut untuk berjihad melawan bujuk rayu setan yang menjerumuskan manusia pada kejahatan dan kebatilan.8. Munadzam fi syu’unihi, setiap individu dituntut mampu mengatur segala urusannya sesuai dengan keteraturan Islam. Pada dasarnya, setiap pekerjaan yang tidak teratur hanya akan berakhir pada kegagalan.9. Haritsun ‘ala waqtihi, setiap individu dituntut untuk memelihara waktunya sehingga dia akan terhindar dari kelalaian. Dengan begitu, diapun akan mampu menghargai waktu orang lain sehingga dia tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan kesia-siaan, baik untuk kehidupan dunia maupun akhiratnya. Tampaknya, tepat sekali apa yang dikatakan oleh ulama salaf bahwa waktu itu ibarat pedang. Jika ia tidak ditebaskan dengan tepat, ia akan menebas diri kita sendiri.10. Nafi’un li ghairihi, setiap individu menjadikan dirinya bermanfaat bagi orang lain.

C. Macam-macam Tarbiyah

Syeikh Khalid Ahmad Basyantut dalam Tarbiyah Al-Askariyah Al-Islamiyah memerinci aspek-aspek tarbiyah islamiyah dengan enam aspek, yaitu:1. Tarbiyah ruhiyah: mengangkat umat dari ketergantunga dan kecintaannnya pada dunia.2. Tarbiyah fikriyah: Mencetak umat agar memahami kedudukan jihad dalam Islam sebagaimana mereka menegatahui siapa musuh-musuh mereka.3. Tarbiyah nafisyah: Mencetak umat yang berani berkorban dalam jihad baik jihad harta maupun nyawa fisabilillah.4. Tarbiyah badaniyah: Mencetak tubuh yang kuat dan kokoh agar mampu menopang beratnya medan peperangan.5. Tarbiyah ijtimaiyah: Mencetak pribadi-pribadi yang saling bergotong royong, syuro dan menyatu dengan para ikhwan sehingga sifat individualisme akan terkikis.6. Tarbiyah siyasiyah: Mencetak umat agar mampu mengatur dan mengendalikan suatu organisasi dalam skala kecil maupun besar berdasar asas Islam.

Page 11: Tarbi Yah

D. Umar bin Khattab (Salah satu Figur yang patut diteladani dalam bidang Tarbiyah)

Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat yang telah berhasil mentarbiyahi dirinya. Dimana sebelum masuk ke dalam agama Islam, Umar adalah salah seorang yang sangat menentang ajaran Islam. Namun, setelah masuk ke dalam agama Islam, beliau menjadi orang yang begitu mencintai Rasulullah dan ajaran Islam. Contohnya, hal itu terlihat dari kesadaran beliau bahwa jabatan sebagai seorang khalifah bukanlah sebuah kebanggaan, melainkan sebagai sebuah beban yang harus ia tanggung demi kemaslahatan umat.

dalam Sirah Shahabah, disebutkan bahwa Said bin Zaid pernah menolak amanah menjadi guber nur di Himsh (Syria). Hal ini membuat Umar bin Khattab RA mencengkeram leher gamisnya seraya menghardiknya, “Celaka kau, Said! Kau berikan beban yang berat di pundakku dan kau menolak membantuku.” Baru kemudian, dengan berat hati, Said bin Zaid mau menjadi gubernur.

Ada lagi kisah lain, yaitu Umar bin Khattab memberhentikan Khalid bin Walid pada saat memimpin perang. Hal ini dilakukan untuk menghentikan pengultusan kepada sosok panglima yang selalu berhasil memenangkan pertempuran ini. Khalid menerimanya dengan ikhlas. Dengan singkat, ia berujar, “Aku berperang karena Allah dan bukan karena Umar atau jabatanku sebagai panglima.” Ia pun tetap berperang sebagai seorang prajurit biasa. Khalid dicopot “judul”-nya sebagai panglima perang. Namun, ia tetap membuat “kitab” dan membantu menorehkan kemenangan.

Di bawah pemerintahan Umar bin Khaththab, Khalifah Kedua setelah Rasulullah saw wafat, penduduk Madinah dibiasakan menyimpan makanan. Akibatnya, dari berbagai daerah masyarakat datang berbondong bondong, mengungsi di kota Nabi itu. Selama beberapa saat Madinah bisa bertahan. Tapi lama kelamaan penduduknya makin tertekan. Mereka mulai kekurangan bahan makanan. Lalu apa yang dilakukan Umar bin Khaththab kala itu?

Ketika kelaparan mencapai puncaknya, Umar pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang Badui dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum Badui itu melakukannya lebih dahulu. Orang Badui sepertinya benar benar menikmati makanan itu. “Agaknya, Anda tak pernah mengenyam lemak?” tanya Umar.

“Benar,” kata Badui itu. “Saya tak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang orang memakannya sampai sekarang,” tambahnya.

Mendengar kata kata sang Badui, Umar bersumpah tidak akan memakan lemak sampai semua orang hidup seperti biasa. Ucapannya benar benar dibuktikan. Kata-katanya

Page 12: Tarbi Yah

diabadikan sampai saat ini, “Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya,” ujar Umar.

Padahal, saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada di tangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya.

http://mycountry.blogdetik.com/2010/07/21/tarbiyah/

Page 13: Tarbi Yah

Tarbiyah hak semua orang

Abu Bakar ra. mewakili kalangan tua dan tokoh masyarakat. Ali bin Abi Thalib ra. mewakili kalangan muda terpelajar. Khadijah ra. mewakili kalangan wanita pengusaha. Zaid bin Haritsah ra. mewakili kalangan tenaga kerja (khadam). Bilal bin Rabah ra. mewakili kalangan mantan budak. Ibnu Shihab Ar-Rumi mewakili belahan dunia barat (Romawi). Salman Al-Farisi mewakili belahan dunia Timur (Persia). Utsman bin Affan ra. mewakili kalangan saudagar. Asma binti Abu Bakar ra. mewakili kalangan aktivis perempuan. Aisyah binti Abu Bakar R. A. mewakili kalangan wanita terpelajar. Umar bin Khattab ra. mewakili kalangan elit dan pejabat publik. Usamah bin Zaid R. A. mewakili anak-anak belasan tahun (remaja lingkungan). Abdullah bin Umar ra. mewakili kalangan remaja terpelajar. Hasan bin Tsabit ra. mewakili kalangan pujangga seniman dan penyair. Zaid bin Tsabit ra. mewakili kalangan muda ahli bahasa. Mus’ab bin Umair ra. mewakili kalangan elit muda perkotaan. Abdullah bin Ummi Maktum ra. mewakili kalangan tunanetra. Rafi’ bin Khudaij R.A mewakili olahragawan cabang memanah. Samrah bin Jundab mewakili olahragawan cabang gulat. Rufaidah R.A, mewakili kalangan dokter dan perawat (tenaga medis). Al-Habbab ibnu Mundzir ra. mewakili kalangan militer dan ahli strategi perang. Nuaim bin Mas’ud ra. mewakili kalangan ahli rekayasa dan menejemen konflik. Ummu Aiman ra. mewakili wanita pekerja dan Ibu Rumah Tangga. Abdullah ibnu Mas’ud ra. mewakili kalangan Qurra’ (Qari Al-Qur’an) 

Daftar panjang nama sahabat-sahabat terkemuka yang me-wakili kurang lebih 24 segmen atau lapisan masyarakat yang ada, merupakan gambaran keberhasilan da’wah dan tarbiyah di masa Rasulullah Saw. yang menyentuh hampir semua segmen yang ada di masyarakat. Keberhasilan Rasulullah Saw. dalam merekrut dan mengkader para sahabat dari berbagai segmen tersebut menunjukkan pula keyakinan beliau bahwa semua segmen sosial memiliki potensi dan peluang kontribusi yang sama dalam melapangkan jalan da’wah menuju kemenangan. Keikutsertaan semua segmen sosial itu merupakan daya dukung dan sebuah sinergi kekuatan bagi perjuangan menegakkan kebenaran. Selain itu juga menyebabkan terbangunnya sebuah kesadaran kolektif yang kemudian melahirkan kekuatan kolektif yang pada akhirnya menandai lahirnya sebuah peradaban baru dengan perubahan paradigma, sikap dan perilaku. 

Ajaran Islam yang integral dan terpadu (syamil mutakamil) di masa Rasulullah tidak hanya dipahami dalam tataran normatif-konseptual, tetapi juga dipraktekkan pada tataran implementatif-operasional, sehingga jangkauan operasional da’wah beliau merambah hampir ke semua segmen masyarakat. Tidak ada satu segmen pun di masyarakat yang luput dari fokus bidikan da’wah dan tarbiyah, mulai dari kalangan muda hingga orang tua, dari anak-anak hingga remaja, dari budak hingga orang merdeka, dari fakir miskin hingga saudagar kaya, dari pekerja kasar hingga tenaga ahli, dari masyarakat biasa hingga elit politik serta olahragawan hingga seniman.

Page 14: Tarbi Yah

Gambaran tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah telah, berhasil secara optimal memenuhi hak-hak tarbiyah semua orang, karena setiap orang berhak ditarbiyah agar memiliki pemahaman dan pengamalan nilai-nilai Islam secara baik tanpa memandang segmen sosial dari mana ia berasal. Seperti halnya kemerdekaan adalah hak asasi setiap bangsa, maka tarbiyah adalah hak mendasar pula bagi setiap manusia. Oleh sebab itu Rasulullah Saw. diutus untuk menyampaikan risalah Allah Swt dalam rangka memenuhi hak-hak seluruh manusia untuk memperoleh kebenaran seperti termaktub dalam Qs. Saba’ ayat 28:

“Dan kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, tapi kebanyakan manusia tiada mengetahui"

Filosofi Tarbiyah

Secara harfiah kata-kata tarbiyah tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi kata-kata tersebut secara tersirat ada dalam istilah ribbiyyuna katsir (Qs. Ali Imran 3: 146). Ribbiyyun menunjukkan hasil dari sebuah proses tarbiyah yakni orang-orang yang tertarbiyah. Mereka telah mendapatkan arahan rabbani secara intensif sehingga wawasan dan pemahannya menjadi tumbuh dan berkembang, kepribadiannya terbentuk dan ter-shibghah (terwarnai) dengan nilai-nilai Islam. Selain itu fikrah-nya juga terisi dengan pengetahuan yang mendalam mengenai dasar-dasar keislaman, baik masalah akidah, ibadah dan muamalah serta akhlak. Kesemuanya itu akhirnya membuat peserta-peserta tarbiyah tersebut memiliki mentalitas yang kuat, tidak mudah takut(maa wahanu) serta tidak mudah lemah dan menyerah (maa dha’ufu) dalam menghadapi berbagai rintangan di jalan da’wah. Bahkan sebaliknya tidak tinggal diam (wa mastakaanu) dan senantiasa menampakkan militansi juang yang tinggi dan kesabaran yang produktif di jalan da’wah.

Sekilas seolah tak ada perbedaan antara istilah da’wah dan tarbiyah, tetapi sebenarnya ada perbedaan spesifik di antara kedua istilah tersebut. Pengertian da’wah dalam Al-Qur’an lebih bersifat umum yakni berbentuk tabligh dan ta’lim, hanya menyampaikan dan mengajarakan saja, sehingga bersifat satu arah. Sementara pengertian tarbiyah menunjukkan adanya intensitas pembinaan, hubungan, evaluasi dan komunikasi dua arah.

Perbedaannya memang lebih pada masalah teknis operasionalnya, sehingga mungkin dapat dikatakan bahwa tarbiyah adalah da’wah khusus karena sudah lebih menukik dan mendalam. Demikian pula halnya dengan pengertian da’i dan murabbi. Tugas da’i lebih merupakan upaya membuka wawasan, mengetuk pintu nurani dan masih bersifat temporer baik dari segi frekuensi maupun keterikatan hubungan dengan orang-orang yang dida’wahinya, serta bersifat satu arah dalam hal komunikasi. Sedangkan murabbi memiliki frekwensi dan keterikatan hubungan yang lebih permanen dan menggunakan komunikasi dua arah sehingga terjadilah proses simbiosis mutualisme. Di satu sisi seorang murabbi memberikan output tarbawi namun di sisi lain tetap membutuhkan input tarbawi dari para mutarabbinya. Oleh sebab itu terdapat arahan kuat dari Allah Swt. agar kita menjadi rabbaniyyin (orang-orang tertarbiyah) yang selalu bersemangat

Page 15: Tarbi Yah

mengajarakan Al-Qur’an dan juga mengkaji al Qur’an secara intensif (Qs. Ali Imran 3: 79).

Secara psikologis, paling tidak di Indonesia, memang ada perbedaan antara da’i dan murabbi. Setiap murabbi pasti juga da’i, tetapi tidak semua da’i-da’i menjadi murabbi. Tolok ukur perbedaan nya ada pada tahapan dan cara kerja serta hasilnya.

Pengertian da’i di Indonesia baru sampai pada tahapan membabat hutan dan menyemai benih tanaman, tetapi belum menindaklanjutinya dengan program-program berkesinambungan yang akan merawat benih tersebut agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi pohon berkualitas yang akarnya menghujam kuat ke dalam perut bumi serta produktif berbuah setiap saat (Qs. Saba’ 14: 24). Jadi da’i belum sampai pada tahapan merubah akhlak dan membentuk kepribadian.

Sebagian da’i di Indonesia dilihat dari rara kerjanya, menunjukkan kecenderungan menerapkan sistim one man show atau single fighter. Mereka memiliki aspek figuritas yang dominant sehingga orang-orang yang di bawah pengaruh da’wahnya lebih kuat komitmen figuritas yang emosional-kharismatik (Al-Iltizam al-Wijahy) dari pada komitmen nilai (Al-Iltizam as-syar’i wal ma’nawy) yang rasional. Kesan feodalisme masih sangat kental mewarnai hubungan sebagian da’i dengan ummatnya sehingga justru melestarikan hirarki sosial, kultus individu dan fanatisme figure meskipun dibungkus dengan kemasan Islam.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum para da’i di Indonesia baru sampai pada taraf menyemarakkan arena da’wah dengan aneka orasi dan retorika. Jadi belum sampai pada usaha merubah secara revolusioner sebagaimana semangat perubahan yang mewarnai generasi pertama di masa Rasulullah Saw.

Sedangkan sebaliknya seorang murabbi, lebih menekankan pada komitmen nilai dan bukannya komitmen figuritas, sehingga tidak berlaku bertumpu hanya pada satu tokoh yang kharismatis. Selain itu murabbi lebih memberikan perhatian pada proses tarbiyah dan mengembangkan semangat dialog dan partisipasi aktif dalam kerangka amal jama’i.

Rasulullah Saw. dan para sahabat lebih berperan sebagai murabbi tinimbang da’i, oleh karena itu tidak seorang sahabat pun yang menyandang gelar da’i kondang. Namun kerja da’wah mereka begitu nyata dan produktif dalam hal mentarbiyah, membina dan membentuk pribadi, rumah tangga dan masyarakat yang islami.

Strategi da’wah one man show atau single fighter tidak pernah diterapkan Rasulullah Saw. dalam berda’wah dan berjuang. Beliau sadar benar tidak mungkin secara sendirian memenuhi hak tarbiyah semua orang dari berbagai segmen di masyarakat. Oleh karena itu beliau tidak membiarkan peran sebagai murabbi tertumpu pada dirinya. Beliau menanamkan semangat dan mendis-tribusikan tugas-tugas sebagai murabbi kepada para sahabat.

Page 16: Tarbi Yah

Para sahabat lalu sesuai dengan kafa’ahnya masing-masing aktif melakukan rekrutmen tarbawi, Abu Bakar ra misalnya sukses merekrut dan mentarbiyah orang-orang yang berada di segmen yang sama dengannya yakni kalangan tokoh dan saudagar kaya. Mush’ab bin Umair R,.A. produktif mentarbiyah kalangan elit politik Yatsrib. Kemudian Abdullah bin Ummi Maktum ra. menunjukan prestasinya dalam mentarbiyah lapisan masyarakat kelas bawah. Dan yang tak terduga mantan budak Khabbab bin Al-Arath diam-diam berhasil mentarbiyah adik Umar bin Khattab yakni Fatimah binti Khattab dan suaminya Said bin Zaid. Secara tidak langsung Fatimah menjadi sebab masuk Islamnya Umar bin Khattab ra.

Hak dan Kewajiban Tarbiyah

Umumnya setiap orang sangat senang dan merespon dengan antusias bila hak-haknya dibicarakan dan diperjuangkan. Apa-lagi bila hak-hak yang ditawarkan tersebut berbentuk materi, maka semua tangan akan menjulur ke depan, berlomba-lomba lebih dahulu mendapatkan haknya. Namun tidak demikian hal-nya dengan hak tarbiyah. Tidak semua orang mau menerima-nya apalagi sampai memintanya. Oleh sebab itu diperlukan upaya penyadaran dan pengkondisian agar setiap orang dengan senang hati mau menerima dan bahkan menuntut haknya untuk ditarbiyah yakni hak untuk mendapatkan pengarahan yang benar dalam memahami dan menjalankan nilai-nilai Islam.

Bila di satu sisi tarbiyah adalah hak semua orang, maka di sisi lain harus dipahami bahwa tarbiyah merupakan kewajiban bagi sebagian orang. Mereka adalah orang-orang yang telah mendapatkan karunia kebaikan dari Allah berupa hidayah dan kelapangan dada untuk menerima dan menjalankan nilai-nilai islam dalam kehidupan. Dan bukti rasa syukur kepada Allah atas segala karunia dan hidayah yang diberikan-Nya, maka ia harus berbuat baik kepada orang lain dengan cara mentarbiyahnya, sebagaimana firman Allah Swt. dalam al-Qashas (28):77

" Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu" (Qs: 28; 77)

Jadi tarbiyah adalah hak dan sekaligus kewajiban. Setiap muslim harus berusaha menjadi orang-orang yang rabbani yang senantiasa berupaya memperoleh hak-haknya dan kemudian  menunaikan kewajibanya mentarbiyah orang lain (bima kuntum tu’allimuunal kitaaba wa bimaa kuntum tadrusuun).

Dan tidak ada satu alasan pun untuk mengurangi hak-hak tarbiyah seseorang, seandainya ia seorang ahli maksiat. Dr. Abdul Karim Zaidan di dalam kitabnya Ushuludda’wah, me-nuturkan bahwa mereka tetap harus dipandang dengan penuh rasa sayang dan belas kasihan serta dipenuhi hak-hak tarbi-yahnya agar suatu saat menjadi insyaf. Demikian yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dalam bersikap kepada Ikrimah bin Abi JahaL Ikrimah selama ini dikenal sebagai penjahat pe-rang yang tidak pernah absen di barisan terdepan dalam me-merangi umat Islam. la memiliki dendam kesumat dan selalu ingin melampiaskannya dengan rara memerangi umat Islam, karena ayahnya Abu Jahal terbunuh di dalam Perang Badar.

Page 17: Tarbi Yah

Tetapi ketika Fathu Mukkah, ia menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Saw. dengan mengendarai kuda. Sesampainya di ke-mah Rasulullah ternyata ia disambut oleh Rasulullah dengan penuh kehangatan dan kasih saying," Marhaban Birrakibil Mu-hajir" (Selamat datang wahai si penunggang kuda yang hendak berhijrah – minal jahalah ilal islam).

Perlakuan Rasulullah yang simpatik dan penuh kelembutan membuat Ikrimah bersimpuh di pangkuan tarbiyah Rasulu-llaah Saw. la bahkan menjadi berubah 180 derajat dan mengisi lembaran-lembaran kehidupannya dengan kebajikan-kebaijkan yang luar biasa. la menjadi penulis wahyu yang terabadikan di dalam kitab-kitab tafsir hingga saat ini dan mendapatkan karunia syahadah dalam perang Yarmuk di masa kekhalifahan Abu bakar As-Siddiq ra.

Oleh karena itu tidak ada alasan untuk mengabaikan hak-hak tarbiyah seseorang, hanya karena ia dianggap tidak punya harapan lagi. Atau mendahului kehendak Allah dengan meng-anggap bahwa orang tersebut sudah ditakdirkan untuk binasa dan diadzab oleh allah Swt. Bukankah Rasulullah Saw. selalu berusaha denganmujahadah lahiriyah dan batiniyah agar dapat memenuhi hak-hak tarbiyah kaum Quraisy termasuk kaum elitnya, sehingga beliau pernah secara khusus berdo’a agar Al-lah berkenan kiranya memberi hidayah kepada salah satu di antara dua Umar,

"Allahumma a’izzal biahadil umarayn" (Ya Allah muliakanlah Islam dengan dua Umar, Umar bin Khattab dan Amru’ bin Hisyam (Abu Jahal))". Dan do’a beliau dikabulkan dengan masuk Islamnya Umar bin Khattab yang menandai awal kebangkitan da’wah Islam.

Rasulullah Saw. bahkan tetap menunjukan semangat men-tarbiyah orang lain meskipun usianya sudah berangkat senja. Bukankah beliau mulai mentarbiyah para sahabatnya ketika usianya sudah berkepala empat?

Oleh sebab itu jangan sampai ada anggapan bahwa semangat mentarbiyah adalah semangat masa lalu atau masa muda ketika masih menjadi pelajar atau mahasiswa. Sehingga ketika sudah berkeluarga, usia bertambah dan disibuki dengan aktivitas men-cari mai’syah dan mengurus keluarga, kewajiban mentarbiyah pun ditinggalkan.

Seyogyanya kemahiran mentarbiyah tidak boleh ditinggalkan begitu saja karena para sahabat saja di usia senjanya masih terus mengasah ketrampilannya memanah. Ketika ditanya oleh sese-orang,

“Mengapa Anda setua ini masih saja terus berlatih memanah?” ternyata jawabannya sungguh mencengangkan.

“Aku merasa berdosa kalau kemahiran yang pernah kudapatkan di saat Rasulullah masih ada, hilang begitu saja karena telah aku tinggalkan."

Page 18: Tarbi Yah

Selain merupakan kewajiban, kegiatan mentarbiyah adalah suatu usaha agar dapat memiliki ma’dzirah (alasan untuk berlepas diri) bila kelak dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Swt. Yakni telah dilakukan satu usaha optimal untuk mengajak orang lain kepada kebenaran sesuai dengan manhaj yang dia-jarkan Rasulullah Saw. Kewajiban seorang murabbi hanyalah mentarbiyah, sementara hak memberi hidayah sepenuhnya di tangan Allah Swt.

Tidak seorang pun berhak mendahului kehendak Allah bahwa orang atau kelompok tertentu tidak perlu lagi dida’wahi atau ditarbiyah kerena dianggap layak atau sepantasnyalah dibi-nasakan dan diadzab oleh Allah Swt. Seseorang yang paham benar tentang urgensi mentarbiyah tidak akan mudah berputus asa dan mendahului kehendak Allah. Sebaliknya ia memiliki motivasi yang semakin kuat untuk mentarbiyah agar memiliki alasan berlepas diri untuk pertanggung jawaban di hadapan Allah Swt. kelak. Sebagaimana firman allah Swt. dalam Qur’an surat Al-A’raf: 164.

"Dan (ingatlah) ketika suatu umat di anatara mereka berkata, "Me-ngapa kamu menasehati satu kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengadzab mereka dengan adzab yang amat keras?” Mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertaqwa" (Qs. Al Isra’ 17: 164).

Kaderiasi Segmentatif dengan Studi Kasus Segmen Wanita.

Syumuliatul islam (integralitas Islam) tidak hanya tampak dari kekomprehensifan ajarannya tetapi juga terlihat dari keleng-kapan segmen pendukungnya. Hal itulah yang menyebabkan Islam dapat berkembang dan memiliki tatanan social-politik yang kuat. Di masa Rasulullah Saw. seluruh segmen masyarakat diberdayakan agar dapat memberikan kontribusi bagi kejayaan Islam.

Misalnya di segmen ketentaraan, Rasulullah Saw. memper-kokoh basis militernya dengan program alih teknologi persen-jataan perang dari negara lain. Beliau mengutus dua orang sahabatnya untuk mempelajari teknologi perakitan senjata jenis manjanik dan sekaligus kendaraan perangnya (dabbabah).

Perhatian Rasulullah Saw. yang besar terhadap segmen keten-taraan tidak membuat beliau berkurang perhatiannya terhadap segmen-segmen lainnya, misalnya segmen kewanitaan. Islam memberikan kesetaraan antara laki-laki dan wanita dalam ke-taqwaan, peluang memberikan kontribusi amal (Qs. Ali Imran 3: 195) serta hak mendapatkan tarbiyah secara optimal karena memiliki hubungan kemitraan yang dilandasi keimanan dan amal shaleh (QS. At Taubah 9: 71). 

Rasulullah Saw. memberikan perhatian khusus untuk men-tarbiyah segmen wanita karena menyadari peran dominan wa-nita dalam mentarbiyah anak-anaknya dan kaumnya. Bahkan dalam sebuah adigium dikatakan wanita adalah madrasah, seko-lah yang mendidik sebuah generasi:

Page 19: Tarbi Yah

“Ibu adalah madrasah. Bila Anda memepersiapkannya dengan baik maka berarti. Anda telah mempersiapkan sebuah generasi yang baik.”

Isteri-isteri Rasulullah Saw. (ummahatul mukminin) dan para shahabiyah telah membuktikan perannya sebagai madrasah yang senantiasa mentarbiyah anak-anaknya dengan shibghah Islam. Bahkan dapat dikatakan hampir tidak ada anak-anak sahabat yang tidak mewarisi nilai-nilai kebaikan dari orang tuanya.

Sebut saja misalnya Usamah bin Zaid yang dibesarkan dan dididik oleh ibundanya Ummu Aiman ra. la menjadi panglima perang dalam usia 18 tahun. Begitu pula Abdullah bin Zubair yang akhirnya menemui syahadah dalam mempertahankan prinsip, dididik dengan baik oleh ibunya, Asma binti Abu Bakar ra. Atau Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah, seorang Khalifah Bani Umayah benar-benar mewarisi keutamaan akhlak dan perangai kakeknya Umar bin Khattab ra.. Ibu Umar bin Abdul Aziz adalah seorang gadis penjual susu yang jujur yang kemu-.dian dinikahi oleh Ashim bin Umar bin Umar atas anjuran ayahnya, Umar bin Khattab.

Peran shahabiyah dalam mentarbiyah anak-anaknya sangat besar andilnya dalam melahirkan sebuah generasi yang tetap menjaga orisinalitas Islam (ashalah Islamiyah) yang kemudian dikenal sebagai generasi tabi’in, dan tabiit-tabi’in.

Mengapa para shahabiyah yang sekaligus merupakan istri shahabat-shahabat mulai Rasulullah mampu melakukan kerja besar seperti itu? Ternyata jawabannya adalah karena mereka tidak sekadar menanti atau menerima hak-hak tarbiyahnya, melainkan meminta dan menuntut langsung hak-hak tarbiyah mereka ke Rasulullah Saw. Sebagaimana beliau memenuhi hak-hak tarbiyah para shahabat.

Dalam satu riwayat dituturkan para istri shahabat suatu ketika merasa iri kepada suami-suaminya karena selalu menda-patkan wawasan dan pengetahun yang baru dari Rasulullah Saw. Mereka lalu menghadap Rasulullah dan memohon pada beliau agar mereka mendapatkan hak yang sama seperti yang didapatkan para suami mereka.

"Ya Rasulallah, ij’al lanaa yauman au yaumain tu’allimanaa sya-raa’ial Islaam" (Wahai Rasulullah, berikanlah kesempatan dan waktu buat kami, satu atau dua hari untuk mendapatkan pe-ngajaran syariat Islam darimu), tuntut mereka dengan penuh semangat.

“Ijtimi’na Yaumi kadza wa kadza" (berkumpullah kalian pada hari ini dan ini), demikian Rasulullah Saw. langsung merespon kesungguhan dan semangat mereka dalam menuntut pemenuh-an hak-hak tarbiyah mereka. Wallahu a’lamu bisshawab.

ditulis oleh Drs. Muhammad Said 

http://beranda.blogsome.com/2006/05/02/tarbiyah-hak-semua-orang/

Page 20: Tarbi Yah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.http://www.kemdiknas.go.id/media--publik/daftar-istilah.aspx

Page 21: Tarbi Yah

Tarbiyah berasal dari bahasa Arab yang berarti pendidikan, sedangkan orang yang mendidik dinamakan Murobi.

[sunting] Etimologi

Secara umum, tarbiyah dapat dikembalikan kepada 3 kata kerja yg berbeda, yakni:

1. Rabaa-yarbuu yg bermakna namaa-yanmuu, artinya berkembang.2. Rabiya-yarbaa yg bermakna nasya-a, tara’ra-a, artinya tumbuh.3. Rabba-yarubbu yg bermakna aslahahu, tawallaa amrahu, sasa-ahuu, wa qaama

‘alaihi, wa ra’aahu, yang artinya masing memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga dan memeliharanya (atau mendidik).

[sunting] Makna

Makna tarbiyah adalah sebagai berikut:

1. proses pengembangan dan bimbingan, meliputi jasad, akal, dan jiwa, yang dilakukan secara berkelanjutan, dengan tujuan akhir si anak didik tumbuh dewasa dan hidup mandiri di tengah masyarakat.

2. kegiatan yg disertai dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati, perhatian, bijak, dan menyenangkan (tidak membosankan).

3. menyempurnakan fitrah kemanusiaan, memberi kesenangan dan kemuliaan tanpa batas sesuai syariat Allah SWT.

4. proses yg dilakukan dengan pengaturan yg bijak dan dilaksanakan secara bertahap dari yg mudah kepada yg sulit.

5. mendidik anak melalui penyampaian ilmu, menggunakan metode yg mudah diterima sehingga ia dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

6. kegiatan yg mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan, dan perasaan memiliki terhadap anak.

7. Tarbiyah terdiri atas (1) Tarbiyah Khalqiyyat, yakni pembinaan dan pengembangan jasad, akal,

jiwa, potensi, perasaan dengan berbagai petunjuk, dan (2) tarbiyah diiniyyat tahdzibiyyat, pembinaan jiwa dengan wahyu untuk kesempurnaan akal dan kesucian jiwa menurut pandangan Allah SWT.

[sunting] Arti

Dalam Islam, istilah pendidikan disebut dengan tarbiyah. Menurut ilmu bahasa, tarbiyah berasal dari tiga pengertian kata -robbaba-robba-yurobbii- yang artinya memperbaiki sesuatu dan meluruskannya. Sedang arti tarbiyah secara istilah adalah:

Page 22: Tarbi Yah

1. menyampaikan sesuatu untuk mencapai kesempurnaan, dimana bentuk penyampaiannya satu dengan yang lain berbeda sesuai dengan tujuan pembentukannya.

2. menentukan tujuan melalui persiapan sesuai dengan batas kemampuan untuk mencapai kesempurnaan.

3. sesuatu yang dilakukan secara bertahap dan sedikit demi sedikit oleh seorang pendidik.

4. sesuatu yang dilakukan secara berkesinambungan, maksudnya tahapan-tahapannya sejalan dengan kehidupan, tidak berhenti pada batas tertentu, terhitung dari buaian sampai liang lahat.

5. dijadikan sebagai tujuan terpenting dalam kehidupan, baik secara individu maupun keseluruhan, yaitu untuk kemashlahatan ummat dengan asas mencapai keridhaan Allah SWT seperti tersirat dalam firman Allah:

“"Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia, 'hendaklah kamu menjadi penyembahku, bukan penyembah Allah'. Akan tetapi(dia berkata),'hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya."(Al Imran:79)

http://id.wikipedia.org/wiki/Tarbiyah

Page 23: Tarbi Yah