tanggungjawab petugas pelayanan kesehatan atas...
TRANSCRIPT
TANGGUNGJAWAB PETUGAS PELAYANAN KESEHATAN ATAS
KESALAHAN DIAGNOSIS PADA PELAYANAN KESEHATAN RUMAH
SAKIT TERHADAP PASIEN
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 515 PK/Pdt/2011)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
MAWADDATUL UMMAH
1112048000050
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2016
ii
iii
iv
ABSTRAK
MAWADDATUL UMMAH. NIM 1112048000050 TANGGUNG
JAWAB PETUGAS PELAYANAN KESEHATAN ATAS KESALAHAN
DIAGNOSA PADA PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT
TERHADAP PASIEN (Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor 515/
PK/Pdt/2011). Program Studi Ilmu Hukum, Konsenterasi Hukum Bisnis, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437
H/ 2016 M. x + 82 halaman + 3 halaman Daftar Pustaka + Lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui maksud dari kesalahan diagnosa
yang dilakukan oleh dokter selaku petugas pelayanan kesehatan dalam analisa
putusan Mahkamah Agung Nomor 515/PK/Pdt/2011 ditinjau dari undang-undang
perlindungan konsumen Nomer 8 tahun 1999. Dalam penelitian ini dibahas dasar
pertimbangan Mahkamah Agung yang di analisa dengan unsur-unsur yang
terdapat dalam Undang-Undang serta untuk mengetahui dampak hasil putusan
tersebut.
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
Yuridis Normatif yaitu penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai bangunan
sistem norma. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan
pendekatan konseptual. Peraturan Undang-Undang dalam penelitian ini
diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Mahkamah Agung dalam
memutuskan perkara tersebut berdasarkan aturan dan dalam KUHPerdata pada
pasal 1365 tentang perbuatan melawan hukum serta melihat dari hasil CT-Scan
dengan menganalisa unsur-unsur yang termuat di dalamnya. Serta implikasi dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yaitu menciptakan keadilan atas
terpenuhinya hak dan kewajiban pasien sebagai konsumen, dokter dan Rumah
Sakit sebagai pelaku usaha.
Kata Kunci : Pelayanan Kesehatan, Perlindungan Konsumen, diagnosa,
Medis, Rumah sakit, Pasien.
Pembimbing : Dra. Hafni Muchtar, SH, MH, MM
Dra. Ipah Parihah, M. Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1984 sampai Tahun 2014
v
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa yang atas Rahmat dan
Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“TANGGUNGJAWAB PETUGAS PELAYANAN KESEHATAN ATAS
KESALAHAN DIAGNOSA PADA PELAYANAN KESEHATAN RUMAH
SAKIT TERHADAP PASIEN (Analisa Putusan Mahkamah Agung Nomor 515/
PK/Pdt/2011).” dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam semoga senantiasa
terlimpahkan pada Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, sahabat dan
pengikutnya.
Penulisan skripsi ini dalam penyusunannya tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak karena keterbatasan yang dimiliki
penulis, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah memberikan
arahan serta masukan atas penyusunan skripsi ini.
vi
3. Dra. Hafni Muchtar, SH, MH, MM dan Dra. Ipah Parihah, M. Hum.
Selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk membimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran
dan memberikan arahan, saran serta kritik yang membangun demi
terselesaikannya skripsi ini.
4. Mahkamah Agung yang telah bersedia memberikan data berupa putusan
kepada penulis
5. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan
studi kepustakaan dalam penulisan skripsi ini.
6. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah
memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga dapat
bermanfaat dan kebaikan-kebaikannya dibalas oleh Allah Swt.
7. Kedua orang tua penulis Ayahanda Abd. Rozak S.Pd.I dan Ibunda
Syaicho Sarminiyati S.Pd.I yang telah memberikan doa dan dukungann,
betapa penulis bersyukur memiliki orangtua seperti beliau yang selalu
memberikan semangat serta kasih sayang yang begitu besar yang hanya
Allah yang dapat membalas semuanya serta ibunda mertuaku Maysaroh
tercinta, adik-adikku tercinta Haniyatul Hasna, Mayadatul Mufidah,
Muhammad Ainurrafiq Hariri keluarga besar kaliabang tengah,
vii
Ujungharapan yang senantiasa memberikan doa dan motivasi dalam
penulisan skripsi ini.
8. H. Syahrul Fadil Lc, suami yang selalu memberikan doa dan semangat,
dukungan dan saran, serta bersedia meluangkan waktunya untuk
membantu penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga Allah Swt.
Menjadikan kita sebagai keluarga yang Sakinah Mawaddah Warrohmah.
9. Sahabat tersayang Lidia Tri Handayani, Novia Andriani, Herlina dan
Kharisma Putri K. atas kebersamaannya yang selalu memberikan
dukungan dan doa agar dapat menyelesaikan skripsi ini serta.
10. Anak kosan „‟Wanita Sholeha‟‟ Nur Aliyah, Wiwi Robiatul Adawiyah,
Futuha Arifin, Anisa Nur‟aini.serta adik kelasku tercinta Mita, Maya dan
Nawa Semoga silatuhrahmi kita tetap terjalin.
11. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum 2012 khususnya yang tergabung
dalam group “Cucu-Cucu Dekur” „‟Hukum Bisnis B‟‟ atas kekompakkan
dan kebersamaannya, semoga kelak kalian sukses.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi yang membaca. Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 30 September 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR .......................................................................................vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................ 7
D. Tinjauan dan Manfaat Penelitian .............................................. 8
E. Tinjauan (Riview) KajianTerdahulu .......................................... 9
F. Kerangka Teoritis dan Konseptual ............................................11
G. Metode Penelitian......................................................................13
H. Sistematika Penulisan ...............................................................16
BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Hukum Tentang Perlindungan Pasien .....................19
1. Pengertian Hukum Tentang Perlindungan Pasien
Menurut UU Perlindungan Konsumen
Nomer 8 Tahun1999 ..........................................................19
2. Pengertian Hukum Tentang Perlindungan Pasien
ix
Menurut KUH Perdata .......................................................21
B. Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut UUPK .....................22
C. Hubungan Pasien dan Dokter ....................................................25
1. Hubungan Pasien Dengan Dokter ......................................25
2. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien ..............................26
D. Aspek Hukum Hubungan Dokter Dengan Pasien dengan
Rumah Sakit ..............................................................................31
E. Informed Consent ......................................................................33
F. Transaksi Terapeutik .................................................................34
G. Resiko Medis .............................................................................36
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN
PETUGAS PELAYANAN KESEHATAN TERHADAP
KESALAHAN DIAGNOSA
A. Pertanggungjawaban Petugas Pelayanan Kesehatan
Terhadap Kesalahan Diagnosa Ditinjau Dari
Hukum Perlindungan Konsumen ..............................................38
B. PertanggungJawaban Petugas Pelayanan Kesehatan
Terhadap Kesalahan Diagnosa Ditinjau Dari
Hukum Perdata ..........................................................................40
1. Wanprestasi dalam Malapraktik Kedokteran .....................42
2. Perbuatan Melawan Hukum dalamMalapraktik
Kedokteran .........................................................................45
x
C. Pertanggungjawaban Petugas Pelayanan Kesehatan
Terhadap Kesalahan Ditinjau Dari Hukum Praktik
Kedokteran ................................................................................47
D. Pertanggungjawaban Penyelenggara Kesehatan
Terhadap Kesalahan Medis .......................................................49
BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 515/PK/Pdt/2011
A. Posisi Kasus ..............................................................................53
B. Pertimbangan Majlis Hakim dan Putusan Hakim .....................58
C. Penemuan Hukum oleh Hakim Terhadap Kesalahan
Diagnosa pada putusan Nomor 515/PK/Pdt/2011 ....................61
D. Analisis Putusan Mengenai Pertimbangan Majlis
Hakim Mahkamah Agung Dalam Memutuskan Perkara
Nomor 515/PK/Pdt/2011 ...........................................................65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...............................................................................78
B. Saran-Saran ...............................................................................81
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................83
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Salianan putusan Mahkamah Agung Nomor 515/PK/Pdt/2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam upaya peningkatan kualitas hidup dan pelayanan kesehatan
yang memadai, maka pemerintah maupun swasta menyediakan institusi
pelayanan kesehatan yang disebut sebagai Rumah Sakit. Rumah Sakit
yang merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatann perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan
gawat darurat disediakan untuk kepentingan masyarakat dalam hal
peningkatan kualitas hidup. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dibidang kesehatan telah berkembang dengan pesat didukung oleh sarana
kesehatan yang semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi
jasa profesional di bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin
berkebang pula. Berbagai cara perawatan dikembangkan sehingga
akibatnya juga bertambah besar, dan kemungkinan untuk melakukan
kesalahan semakin besar pula.1
Setiap masyarakat, di Negeri manapun juga menghendaki agar
mempunyai derajat kesehatan yang baik. Derajat kesehatan yang baik
dapat tercapai, jika setiap anggota masyarakat dengan perasaan bebas
mengunjungi dokter, mengemukakan dengan hati terbuka segala keluhan
1 Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta, PT.
Rineka Cipta, 2005)h.5.
2
tentanG penderitaan tentang jasmani maupun rohani, agar mendapatkan
pengobatan yang sesuai.2
Di Indonesia landasan hukum kesehatan adalah Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Pada saat diberlakukannya
Undang-Undang Kesehatan tersebut, hak atas perawatan pemeliharaan
kesehatan memperoleh dasar hukum dalam hukum Nasional Indonesia.
Dalam prakteknya kesehatan memiliki tiga subyek yaitu Rumah Sakit,
Tenaga Medis/Dokter dan Pasien yang memiliki masing-masing hak dan
kewajiban yang sudah diatur dalam undang-undang, tak dapat dihindari
pula bahwa ketiga subyek hukum tersebut juga memiliki kesenjangan-
kesenjangan, dalam hal pelayanan medis praktek kesehatan memiliki
hubungan yang saling terkait hubungan tersebut tidak terlepas dari
perjanjian yang disebut perjanjian terapeutik.
Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien
berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua
belah pihak. Berbeda dengan perjanjian pada umumnya.3 Perjanjian
terapeutik memiliki sifat dan objek yang khusus. Objek dari perjanjian
adalah pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter.
Dokter dalam melakukan profesinya selalu dituntut untuk berusaha
sebaik mungkin dalam merawat pasiennya dan setiap tindakan yang
2Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung jawaban Pidana
Dokter, (Jakarta: Erlangga, 1991), h. 223.
3Bahder Johan, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2005), h. 11
3
dilakukan harus sesuai dengan standar profesi kedokteran. Dokter sebagai
subyek hukum mempunyai tanggung jawab hukum atas setiap perbuatan
yang dilakukannya, jika perbuatan tersebut ternyata menimbulkan
kerugian terhadap pasien, maka dokter tidak dapat berdalih bahwa
tindakan tersebut bukan tanggung jawabnya.
Praktek kedokteran sebagai suatu aktifitas yang melibatkan
manusia, kita juga mengenal adanya kesalahan yang dilakukan dokter.
Mudah dimengerti karena dokter yang melakukan praktek kedokteran,
bukan saja ia adalah manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya,
tetapi yang terpenting lagi adalah karena praktek kedokteran merupakan
suatu kegiatan yang kompleks. Praktek kedokteran betapa pun berhati-
hatinya dilaksanakan selalu berhadangan dengan kemungkinan terjadinya
resiko yang salah satunya berupa kesalahan atau kelalaian yang
dimaksud.4
Maka dari itu,mau tak mau kalangan kesehatan harus lebih
memahami aspek-aspek hukum dalam pelayanan kesehatan,sehingga
dalam menjalankan profesi kepada masyarakat menjadi lebih yakin diri.5
Gugatan untuk meminta pertanggung jawaban dokter bersumber
dari dua dasar hukum, yaitu berdasarkan wanprestasi sebagaimana diatur
4Azrul Azwar, Kesehatan Kini dan Esok, (Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia, 1990),
cet. ke-I, h. 20.
5Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, (Jakarta: Widya Medika, 1997), cet.
ke-I, h. VII.
4
dalam Pasal 1239 KUHPerdata dan berdasarkan perbuatan melanggar
hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 1369 KUHPerdata.
Banyaknya terjadi kasus-kasus serta gugatan dari pihak pasien
yang melibatkan suatu Rumah Sakit, akibat dari pasien tidak puas atau
malah dirugikan dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Rumah
Sakit, merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin
meningkat. Semakin sadar masyarakat akan aturan hukum, semakin
mengetahui hak dan kewajibannya dan semakin luas pula suara-suara
yang menuntut agar hukum memainkan peranannya di bidang kesehatan.
Hal ini pula yang menyebabkan masyarakat (pasien) tidak mau lagi
menerima begitu saja cara pengobatan yang dilakukan oleh pihak medis.
Pasien ingin mengetahui bagaimana tindakan medis dilakukan agar
nantinya tidak menderita kerugian akibat kesalahan dan kelalaian pihak
medis.6
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan
merupakan suatu pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum
puas terhadap pelayanan kesehatan dan pengabdian profesi tenaga
kesehatan terhadap masyarakat pada umumnya dan pasien pada
khususnya. Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter,
maraknya tuntutan yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali
identik dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya hanya untuk
6 Soejami, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, (Bandung , Citra Aditya, 1992), hal.
9.
5
penyembuhan, dan kegagalan dalam ilmu kedokteran tidak selalu identik
dengan kegagalan dalam tindakan.
Rumah Sakit Pondok Indah adalah salah satu rumah sakit yang
terletak di daerah Jakarta Selatan. Pelayanan di RS.Pondok Indah tidaklah
sepenuhnya maksimal. Terbukti dalam pelaksanaannya hak-hak pasien di
rumah sakit tersebut belum bisa tertangani secara baik.
Setiap kegiatannya seringkali rumah sakit melimpahkan semua
kepada dokter dalam menangani proses penanganan medik. Beberapa
macam pola yang berkembang dalam kaitannya dengan hubungan kerja
antara dokter dan Rumah Sakit antara lain:7 dokter sebagai (attending
physician) mitra dan dokter sebagai independent contractor yang masing-
masing dari pola hubungan kerja tersebut akan sangat menentukan apakah
rumah sakit harus bertanggung jawab, atau tidak terhadap kerugian yang
disebabkan oleh kesalahan dokter.
Terdapat contoh kasus dalam putusan Mahkamah Agung Nomor
515/PK/Pdt/2011 yang merugikan pasien yang terjadi di Rumah Sakit
Pondok Indah yang dikeluhkan akibat dari kesalahan dokter dalam
mendiagnosa, dimana pasien yang bernama Ny. Sita Dewaki Darmoko.
Pada 12 Februari 2005, Ny. Sita Dewaki Darmoko melakukan operasi
pengangkatan tumor di ovarium. Bahwa operasi dilakukan oleh tim dokter
RSPI dimana bertindak selaku ketua tim adalah Prof. dr. Ichramsjah A.
Rahman dengan anggota terdiri dari dr. Hermansyur Kartowisatro dan
7Noor M Aziz , Laporan Penelitian Hukum Tentang Hubungan Tenaga Medik, Rumah
Sakit dan Pasien, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2010 h- 39
6
Prof. dr. I Made Nazar. Setelah operasi selesai dilakukanlah uji
laboratorium pathologi guna mengetahui apakah tumor tersebut ganas atau
tidak. Uji laboratorium yang dilakukan oleh Prof. dr. I Made Nazar.
Setelah hasilnya keluar Prof. dr. I Made Nazar menyerahkannya
kepada Prof. dr. Ichramsjah A. Rahman bahwa tumor tersebut tidak ganas
yang disampaikan pada 12 Februari 2005. Kemudian terdapat hasil PA
terakhir pada tanggal 16 Februari 2005 yang terindikasi ganas dan ternyata
hasil tersebut tidak disampaikan kepada keluarga pasien.
Pada bulan November 2005, Ny. Sita melakukan pengecekan
kembali ke Rumah Sakit tersebut karna keadaannya semakin kritis.
Diperiksalah oleh dr. Mirza Zoebir dan didentifikasi bahwa pasien terkena
verdact typus. Kemudian dr. Mirza melakukan CT Scan bahwa ada yang
tidak beres di liver korban namun dr. Mirza menyatakan bahwa belum
perlu dilakukan tindakan lebih lanjut.
Pada bulan Februari 2006, Ny. Sita pun kembali ke RSPI untuk
menemui Prof. dr. Ichramsjah A. Rahman untuk diperiksa kembali karna
keadaan pasien tidak kunjung sembuh, malah terjadi benjolan diarea
perutnya, yang dirasa sangat sakit, lalu dr. Ichramsjah merekomendasikan
pemeriksaan tersebut kepada dr. Hermansyur untuk dilakukan CT Scan
dan hasilnya adalah bawa Ny. Sita terkena Kanker liver stadium 4.
Kemudian dr. Hermansyur menyerahkan kelanjutan tindakan pengobatan
pasien kepada dr. Ichramsjah karna awalnya Ny. Sita ditangani oleh dr.
Ichramsjah.
7
Setelah dr. Ichramsjah mengetahui kesimpulan tersebut, ia pun
merasa terheran-heran akan hasil pemeriksaan tersebut. Bahwa melihat
kenyataan demikian keluarga pasien merasa kebingungan atas sikap dan
kesimpulan yang diberikan oleh dokter, bahwa para dokter tersebut tidak
menunjukan profesionalitasnya, karna hal tersebut keluarga pasien merasa
kecewa yang sangat mendalam karena keluarga korban telah memberikan
kepercayaan serta melakukan penanganan medis yang begitu lama dengan
biaya yang sangat besar dan memberatkan beban keluarga pasien.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk membahas
masalah mengenai kerugian oleh konsumen tersebut ke dalam bentuk
Skripsi dengan judul “TANGGUNGJAWAB PETUGAS PELAYANAN
KESEHATAN ATAS KESALAHAN DIAGNOSIS PADA
PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT TERHADAP PASIEN
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 515 PK/Pdt/2011)’’
B. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah penelitian, maka yang akan
menjadi identifiksi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan antara pasien sebagai konsumen dengan
tenaga medis?
2. Bagaimana ketentuan-ketentuan pemenuhan hak dan kewajiban
yang dilakukan tenaga medis kepada pasien?
3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam mengadili Putusan Nomor
515/PK/Pdt/2011?
8
C. Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas pada
penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga
pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan
penulis. Disini penulis hanya akan membahas mengenai sistematika dalam
perlindungan konsumen atas kerugian dalam hal ini berdasarkan analisis
putusan Mahkamah Agung Nomor 515/PK/Pdt/2011.
2. Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah ini ialah:
a. Sejauh mana tanggung jawab yang diberikan pihak dokter dan
Rumah Sakit terhadap pasien jika terjadi kesalahan diagnosa ?
b. Bagaimana pertimbangan hukum dalam putusan 515/PK/Pdt/2011
yang diambil oleh hakim dalam mengadili putusan kerugian yang
dialami oleh pasien?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai pokok perrmasalahan yang ada, maka adapun tujuan dari
penulisan penelitian ini antara lain:
a. Untuk mengetahui hak dan kewajiban yang diberikan pihak rumah
sakit terhadap pasien.
b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim
dalam mengadili putusan kerugian yang dialami oleh pasien.
9
2. Manfaat Penelitian
Adapun penulisan dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Secara Praktis
Memberikan informasi yang mendalam mengenai peraturan
undang-undang mengenai perlindungan pasien pada hukum bisnis
di Negara Indonesia sebagai wujud perlindungan pasien di Rumah
Sakit.
b. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu karya tulis ilmiah
yang dapat menambah khazanah khususnya dibidang ilmu hukum
bisnis.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Untuk menghindari kesamaan dan mencari perbedaan pada penulisan
skripsi ini dengan penelitian tentang perlindungan konsumen lainnya, maka
penulis melakukan penelusuran terhadap beberapa judul penelitian terlebih
dahulu. Di antara penelitian-penelitian tersebut adalah:
1. Skripsi Apriyanti mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tahun 2014 dengan judul
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DALAM
TRANSAKSI E-COMMERCE DITINJAU DARI HUKUM
PERIKATAN.” Terdapat kesamaan antara skripsi ini dengan penelitian
penulis yaitu sama-sama mebahas tentang perlindungan konsumen.
Yang membedakan yaitu pada fokus permasalahan dimana penulis
10
dalam penelitian ini lebih memfokuskan perlindungan hukum bagi
konsumen Rumah Sakit atas kesalahan diagnosa sedangkan skripsi ini
memfokuskan pembahasan mengenai perlindungan hukum bagi
konsumen dalam transaksi e-commerce.
2. Skripsi L Niken Rosali mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta
dengan judul ”PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN
SEBAGAI KONSUMEN JASA DIBIDANG PELAYANAN MEDIS
BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PERDATA”. Terdapat persamaan dalam skripsi ini dengan penelitian
penulis yaitu sama-sama membahas tentang perlindungan pasien
terhadap pelayanan medis, sedangkan yang membedakannya adalah
skripsi ini mengambil titik fokus terhadap perlindungan hukum pasien
berdasarkan kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan penulis
menfokuskan terhadap layanan medis yang disediakan di rumah sakit
berdasarkan Putusan Hakim Nomor 515/PK/Pdt/2011.
3. Buku yang berjudul “HAK-HAK KONSUMEN”, yang ditulis Dr.
Abdul Halim Barkatullah, S.Ag., S.H. M.Hum, yang diterbitkan pada
tahun 2010 edisi pertama. Kesamaan dalam buku ini dengan penelitian
penulis ialah membahas tentang hak-hak konsumen yang harus di
penuhi, sedangkan perbedaannya adalah buku ini adalah pedoman yang
membahas tentang hak-hak perlindungan konsumen saja tidak
berdasarkan putusan sedangkan penulis melihat pelanggaran
berdasarkan putusan.
11
4. Jurnal Alfiansyah Mahasiswa Universitas Brawijaya yang berjudul
“TANGGUNG GUGAT DOKTER ATAS KESALAHAN
DIAGNOSIS PARA PELAYAN MEDIS DIRUMAH SAKIT (STUDI
KASUS DI RSUD DR.SOEBANDI JAMBER”. Persamaan jurnal ini
dengan penelitian penulis adalah sama-sama menggugat dokter dalam
kesalahan pemberian diagnosa terhadap pasien. Sedangkan
perbedaannya adalah dalam jurnal ini membahas tentang menggugat
dokter medis dalam memberikan diagnosa yang salah terhadap
kelalaian para pelayan medis studi kasus di RSUD dr.Soebandi
Jamber, sedangkan penulis membahas penelitian ini berdasarkan hasil
putusan Nomor 515/PK/Pdt/2011.
F. Kerangka Teoritis dan Konseptual
Kerangka teoritis adalah dukungan dasar teoritis sebagai dasar
pemikiran dalam rangka pemecahan masalah yang dihadapi peneliti,
sedangkan kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin diteliti atau akan diteliti.
Pengertian yang akan diteliti dalam kerangka teoritis dan konseptual ini
bertujuan untuk membatasi luasnya pengertian mengenai berbagai hal yang
mempunyai hubungan dengan penelitian ini, adapun kerangka yang
digunakan adalah:
1. Kerangka Teoritis
a. Pelayanan Kesehatan
Kesehatan merupakan suatu kebutuhan pokok manusia di
samping sandang pangan dan papan, tanpa hidup yang sehat,
12
hidup manusia menjadi tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit
manusia tidak mungkin dapat melakukan kegiatan sehari-hari
dengan baik. Selain itu orang yang sedang sakit (pasien) yang
tidak mampu menyembuhkan dirinya sendiri, tidak ada pilihan
lain dengan meminta pertolongan kepada tenaga kesehatan
untuk menyembuhkan penyekitnya, dan tenaga kesehatan
tersebut melakukan upaya yang disebut sebagai pelayanan
kesehatan.8
b. Perlindungan Konsumen
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan
kepada konsumen.
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan
antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau yang diteliti. Kerangka
konseptual berisi uraian konsep-konsep yang berhubungan dengan variable
penelitian, yaitu rumusan konsep-konsep dari variable yang diteliti yang
digunakan oleh peneliti/penulis dalam penelitian atau penulisan.
Untuk menghindari terjadinya kesalah fahaman mengenai istilah-istilah
yang digunakan dalam uraian, maka di bawah ini diberikan penjelasan
mengenai beberapa istilah tersebut, yaitu:
1. Diagnosa
8 Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, (Bandung, Mandar Maju, 2001) hal . 3
13
Diagnosa adalah Penentuan jenis penyakit dengan cara meneliti
(memeriksa) gejala-gejalanya, pemeriksaan terhadap suatu hal.
2. Medis
Penentuan jenis penyakit berdasarkan tanda dan gejala dengan
menggunakan cara dan alat seperti laboratorium, foto, dan klinik.
3. Rumah Sakit
Rumah Sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional
yang pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli
kesehatan lainnya.
4. Pasien
Di dalam Undang-Undang Nomor29 Tahun 2004 Tentang Praktek
Kedokteran, pasien adalah Setiap orang yang melakukan konsultasi
masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter
atau dokter gigi.
G. Metode Penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data-data yang
diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya sesuatu
yang dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih
tepatnya “pengetahuan yang benar”, dimana pengetahuan yang benar ini
nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan
tertentu. Jenis penelitian hukum yang dilakukan adalah penelitian yuridis
14
normatif, penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian hukum yang
meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma.9
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian yang
berbentuk studi deskriptif analisis, yakni dengan cara penulisan yang
menggambarkan permasalahan yang didasarkan pada data-data yang
ada, lalu dianalisa lebih lanjut untuk diambil sebuah kesimpulan.
Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif yang berusaha mengkombinasikan pendekatan
normatif. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
yuridis normatif yang bersifat kualitatif, penelitian yang mengacu pada
norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang di
masyarakat.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari
penelitian deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan
karakteristik tertentu, tetapi juga menganalisa dan menjelaskan
mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.
3. Sumber Data
Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research,
maka diambil data dari berbagai sumber tertulis sebagai berikut :
9 Fahmi M. Ahmadi, Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h-31
15
a. Data primer
Data primer adalah sumber data asli yang memuat informasi atau
data-data bahan-bahan hukum yang terkait. Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah:
1. Undang-Undang No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
2. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
3. UU No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
4. .UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Dokter
5. Bahan-bahan hukum lain yang masih berlaku dan berkaitan
dengan yang dibahas dalam penelitian ini.
6. Putusan Mahkamah Agung Nomor 515/PK/Pdt/2011
b. Data sekunder
Data sekunder adalah sumber data yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer tersebut. Data sekunder dalam
penelitian ini adalah studi kepustakaan, buku-buku, arsip- arsip,
jurnal, dokumen-dokumen yang mendukung dalam pembahasan
ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka mendapatkan data yang akurat untuk mendukung
penelitian ini, maka penulis akan menggunakan metode pengumpulan
data, yaitu:
a. menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumen adalah
metode yang dilakukan dengan cara mencari dan mempelajari
16
data-data melalui catatan-catatan artifak melalui kajian terhadap
studi kepustakaan seperti buku karya ilmiah, jurnal serta kasus-
kasus yang berkaitan dan didapat melalui sumber yang akurat
serta berkaitan dengan penelitian ini. Studi dokumen dalam
peneitian ini digunkan untuk memperoleh data-data yang berkitan
dengan pembahasan skripsi ini.
b. Studi pustaka yaitu upaya untuk mengidentifikasi secara
sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen
yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan
masalah penelitian yang akan dilakukan. Terdiri dari dua langkah
yaitu kepustakaan konseptual meliputi artikel-artikel atau buku-
buku yang ditulis oleh para ahli yang memberikan pendapat,
pengalaman, teori-teori atau ide-ide tentang apa yang baik dan
yang buruk, hal-hal yang diinginkan dan tidak diinginkan dalam
bidang masalah.
5. Teknik Metode Penulis
Teknik penulisan skirpsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Tahun 2012” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakata.10
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan alur pemahaman dan alur pemikiran yang logis
dalam penelitian ini, penulis akan memberikan gambaran umum secara
10
Tim Penyusun FSH, Pedoman Penelitian Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan
Jaminan Mutu (PPJM), 2012
17
sistematis tentang keseluruhan penelitian ini berdasarkan buku pedoman
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta
Terbitan Tahun 2012. Adapun susunan dalam penelitian ini sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dijelaskan tentang Latar Belakang,
Identifikasi masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Riview) Kajian
Terdahulu, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Dalam bab ini akan dijelaskan Pengertian Hukum tentang
Perlindungan Pasien, Hubungan Pasien dan Dokter,
Hubungan pasien dengan dokter, Aspek hukum hubungan
dokter, pasien dengan Rumah Sakit, Informed Consent,
Transaksi Terapeutik, Resiko Medis.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG
JAWABAN PETUGAS PELAYANAN TERHADAP
KESALAHAN DIAGNOSA
Dalam Bab ini membahas tentang, Pertanggungjawaban
Petugas Pelayanan Kesehatan Terhadap Kesalahan
18
Diagnosa Ditinjau Dari Hukum Perdata.
Pertanggungjawaban Petugas Pelayanan Kesehatan
Terhadap Kesalahan Diagnosa Ditinjau Dari Hukum
Perlindungan Konsumen. Pertanggungjawaban Petugas
Pelayanan Kesehatan Terhadap Kesalahan Ditinjau Dari
Hukum Praktik Kedokteran
BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 515/PK/Pdt/2011
Berisi posisi kasus, Pertimbangan Majlis Hakim dan
putusan hakim, penemuan hukum oleh hakim terhadap
kesalahan diagnosa pada putusan Nomor 515/PK/Pdt/2011,
analisis mengenai pertimbangan Majlis Hakim Mahkamah
Agung dalam memutuskan perkara Nomor
515/PK/Pdt/2011
BAB V PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran-saran penulis berdasarkan
pemaparan bab-bab sebelumnya.
19
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Hukum Perlindungan Pasien
1. Perlindungan Pasien Sebagai Konsumen Menurut Hukum Perlindungan
Konsumen
Masalah perlindungan pasien sebagai konsumen bukanlah masalah
baru, sampai saat ini batasan hukum perlindungan konsumen masih beragam.
Masyarakat Indonesia sebagai konsumen belum mengerti benar akan arti
perlindungan pasien. Masyarakat sering tidak sadar apabila hak-haknya
dirugikan oleh pelaku usaha. Dalam Undang- undang No. 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen tidak diatur dengan jelas mengenai pasien,
tetapi pasien dalam hal ini juga merupakan seorang konsumen.
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen
dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat
merugikan konsumen itu sendiri.1
Menurut Shidarta bahwa istilah “hukum konsumen” dan “hukum
perlindungan konsumen” sudah sangat sering didengar. Namun, belum jelas
benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya. Juga, apakah kedua
1 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 2006), h. 9.
20
cabang hukum itu identik. Posisi konsumen yang lemah maka ia harus
dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah
memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi,
sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua
bidang yang sangat sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Hukum
perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang
memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur, dan juga
mengandung sifat melindungi konsumen.2
Menurut AZ Nasution, Hukum Konsumen merupakan keseluruhan
asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang
dan/atau jasa konsumen didalam pergaulan hidup.3 Hukum konsumen
memiliki skala yang lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang
didalamnya terdapat kepentingan pihak konsumen, ini adalah aspek
perlindungannya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak
konsumen terhadap gangguan pihak lain.
Pengertian dari istilah perlindungan konsumen itu sendiri dalam Pasal
1 angka 1 UUPK adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
2Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi 2006, (Jakarta:
Grasindo, 2006), h. 11.
3 AZ. Nasution,Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Tiagra
Utama, 2002), h. 37.
21
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian
perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut
cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan
tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk
kepentingan konsumen.
Pengertian tersebut disamakan dengan definisi konsumen didalam
Pasal 1 angka 2 UUPK yaitu:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
2. Perlindungan Pasien Sebagai Konsumen Menurut KUH Perdata.
Mengenai perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen
jasa pelayanan medis ada ketentuan yang mengatur. Pada dasarya ketentuan
yang mengatur perlindungan hukum bagi konsumen dapat dijumpai pasal
1365 KUH Perdata. Disamping itu pasal 1365 KUH Perdata berisikan
ketentuan antara lain sebagai berikut:
“Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
tersebut”.
Menurut Van Gelein Vitringa dengan teori Schutznem, dinyatakan
bahwa :“Seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum dan
karenanya melanggar suatu norma hukum, hanya wajib membayar ganti rugi
22
atas kerugian yang ditimbulkan, apabila norma yang dilanggar bertujuan
melindungi kepentingan orang yang dirugikan'' .4
Menurut Pasal 1366 KUH Perdata, berisikan ketentuan antara lain
sebagai berikut:
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaiannya atau
kurang hati-hatinya”.
Jika kembali kepada asas hukum dalam hukum perdata dapat
dikatakan bahwa siapapun yang tindakannya merupakan pihak lain, wajib
memberikan ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Dalam
konsep dan teori dalam ilmu hukum,5 perbuatan yang merugikan tersebut
dapat lahir karena :
(1) Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat
(yang pada umumnya dikenal dengan istilah wan-prestasi); atau
(2) Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau yang dikenal
dengan perbuatan melawan hukum).
B. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam UUPK
Hak dan kewajiban terjelma dalam tindakan perorangan atau kelompok.
Salah satu tindakan tersebut adalah tindakan antara pelaku usaha dengan
4 Guwandi, J Malpraktek Medik. Jakarta: Universitas Indonesia, 1993.
5 Hermien Hadiati dan Keoswadji. Hukum dan Masalah Medik. Surabaya : Airlangga,
1984.
23
konsumen dalam melakukan hubungan hukum. Demi kelancaran hubungan
hukum perlu diterapkan ketentuan-ketentuan yang berlaku agar hukum tersebut
dapat berjalan dengan tertib, lancar, dan teratur serta mempunyai kepastian
hukum. Dapat dikatakan hak dan kewajiban yang satu dengan yang lain tidak
boleh saling merugikan.
Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu:
Hak konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
24
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
brang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya;
Selain memperoleh hak-hak tersebut di atas, untuk menyeimbangkannya
konsumen juga mempunyai beberapa kewajiban yaitu:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan
sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, kepada
pelaku usaha diberikan hak sebagaimana diatur pada Pasal 6 UUPK.
Hak Pelaku Usaha adalah:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik.
25
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/jasa yang
diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagai konsekuensi dari hak konsumen yang telah disebutkan pada
uraian terdahulu, maka kepada pelaku usaha dibebankan pula kewajiban-
kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UUPK.
Kewajiban pelaku usaha adalah:
a. Beritikad baik dalam melakukan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur, serta tidak
diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standard mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku;
26
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba
barang dan/jasa jasa tertentu, serta memberi jaminan dan/atau garansi atas
barang yang dibuat dan diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/jasa penggantian apabila barang dan/atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
C. Hubungan Pasien Dengan Dokter
1. Hubungan pasien dengan dokter
Mulyohadi Ali menyebutkan bahwa pasien (klien pelayanan medik)
adalah orang yang memerlukan pertolongan dokter karena penyakitnya, dan
dokter adalah orang yang dimintai pertolongan karena kemampuan profesinya
yang dianggap mampu mengobati penyakit.6 Hubungan terjadi ketika dokter
bersedia menerima klien itu sebagai pasien. Hubungan antara orang yang
memerlukan pertologan dan orang yang diharapkan memberi pertolongan
pada umumnya bersifat tidak seimbang. Dokter berada di posisi paling kuat
dan pasien berada pada posisi yang paling lemah. Dalam hubungan yang
demikian, diharapkan dokter bersikap bijaksana dan tidak memanfaatkan
kelemahan pasien untuk mencari keuntungan. Selain itu dokter juga
mempunyai kewajiban moral untuk menghormati hak pasien sebagai manusia.
Ketika hubungan dokter dan pasien itu disertai dengan penerimaan
imbalan jasa dari pasien, dan pasien bersedia untuk memberikan imbalan
6Dr. Ari Yunanto, Sp. A(K), IBCLC, SH, Helmi SH., Mhum. Hukum Pidana Malpraktik Medik
Tinjauan dan Presfektif Medikolegal, (Yogyakarta, CV. AND OFFSET, 2010) h.13
27
tersebut kepada dokter, maka terjadilah hubungan yang disebut dengan
hubungan kontraktual. Dalam hubungan kontraktual terdapat terdapat
kewajiban dan hak yang harus terpenuhi akan tetapi sifat ketidak seimbangan
maka faktor kepercayaan yang memegang peran penting. Pasien hendaknya
bersikap jujur dalam mengungkapkan apa yang dokter ingin ketahui, termasuk
hal yang bersifat pribadi, dan dokter juga bersikap jujur dalam upaya
menolong pasien. Selain itu dokter dapat dipercaya bahwa dapat menyimpan
semua rahasia pasien serta tidak mengungkapkan rahasia itu kepada siapapun
tenpa sepengetahuan pasien kecuali atas perintah Undang-Undang. Sikap
saling percaya ini sangat penting agar dokter dapat mencari penyelesaian yang
dikeluhkan pasien.7
2. Hak dan Kewajiban Dokter dan Pasien
A. Hak dan Kewajiban pasien8
a. Hak pasien
Pasal 52 dan 53 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran mengatur tentang hak dan kewajiban
pasien dalam hubungannya dengan kontrak terapeutik, dimana pasien
mempunyai hak dan kewajiban tertentu. Pada pasal 52, tentang hak
7Dr. Ari Yunanto, Sp. A(K), IBCLC, SH, Helmi SH., Mhum. Hukum Pidana Malpraktik
Medik Tinjauan dan Presfektif Medikolegal, (Yogyakarta, CV. AND OFFSET, 2010) h.13 8Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan
Zaman, (Jakarta: EGC, 2007). H.6
28
pasien, disebutkan bahwa dalam menerima pelayanan pada praktik
kedokteran, pasien mempunyai hak:9
1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medik
sebagimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3)
2. Meminta pendapat dokter atau atau dokter gigi lain
3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medik
4. Menolak tindakan medik
5. Mendapatkan isi rekaman medik
Dalmy Iskandar menyebutkan rincian hak dan kewajiban pasien yang
antara lain adalah sebagai berikut.10
1. Hak memperoleh pelayanan kesehatan yang manusiawi sesuai
standar profesi
2. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi
dari dokter yang bertanggung jawab terhadap perawatannya.
3. Menolak keikutsertaan dalam penelitian kedokteran
4. Kerahasiaan atas cacatan medisnya
5. Hak untuk dirujuk kalau diperlukan
6. Hak untuk memperoleh penjelasan tentang penelitian kliniknya
9Dr. Ari Yunanto, Sp. A(K), IBCLC, SH, Helmi SH., Mhum. Hukum Pidana Malpraktik
Medik Tinjauan dan Presfektif Medikolegal, (Yogyakarta, CV. AND OFFSET, 2010) h.20
10Dr. Ari Yunanto, Sp. A(K), IBCLC, SH, Helmi SH., Mhum. Hukum Pidana Malpraktik
Medik Tinjauan dan Presfektif Medikolegal, (Yogyakarta, CV. AND OFFSET, 2010) h.21.
29
7. Hak untuk memperoleh perawatan lanjutan dengan informasi
tentang nama/alamat dokter selanjutnya
8. Hak berhubungan dengan keluarga, rohaniwan, dan sebagainya.
9. Hak mendapatkan penjelasan tentang rincian rekening (perawatan,
obat, pemeriksaan laboratorium, rontgen, USG, biaya kamar
bedah, imbalan jasa, dan sebagainya).
10. Hak memperoleh penjelasan tentang peraturan-peraturan Rumah
Sakit.
11. Hak menarik diri dari kontrak terapeutik.
b. Kewajiban Pasien11
Beberapa kewajiban pasien dalam profesi kedokteran antara lain:
1. Kewajiban memberikan informasi medik
Sebagaimana telah diketahui, infoemasi medik yang diperoleh
melalui wawancara atau anamnesis merupakan salah satu unsur
utama dalam penegakan diagnosis penyakit yang diderita oleh
seorang pasien dan selanjutnya diagnosis ini sangat penting untuk
menentukan suatu tindakan medik.
2. Kewajiban menaati petunjuk dan nasihat dokter
Kewajiban yang penting karena berkaitan langsung dengan
keberhasilan tindak medik yang diambil dokter.
11
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, (Jakarta: EGC, 2007), h, 9-10
30
3. Kewajiban memenuhi atauran-aturan pada sarana kesehatan
Dalam hal ini termasuk kewajiban menyelesaikan administrasi,
keuangan dan sebagainya. Juga termasuk hal-hal mengenai waktu
kunjungan, penunggu pasien, makanan yang boleh atau tidak
boleh diberikan kepada pasien dan lain-lain.
4. Kewajiban memberikan imbalan jasa kepada dokter
Kewajiban ini perlu ditegakan untuk tercapainya kesetaraan
hukum dalam hubungan dokter dan pasien, bahwa segala jerih
payah dokter harus dihargai dengan sepantasnya sejauh keadaan
pasien memungkinkan.
5. Kewajiban berterus-terang
Apabila selama dalam perawatan dokter atau rumah sakit timbul
masalah, misalnya pasien tidak puas atas perawatan atau
pengobatan yang diberikan, maka pasien wajib menyampaikan
pertama kali pada dokter yang merawatnya itu. Beberapa penulis
mengaitkan ini dengan itikad baik dari pasien terhadap dokternya.
6. Kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang diketahui
Beberapa penulis menyebutkan bahwa kewajiban ini sebenarnya
merupakan kesejajaran dengan hak pasien untuk sendiri, yakni
rahasianya yang wajib disimpan oleh dokter.
Pasal 53 UU No 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedoktera
mengenai kewajiban pasien
31
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya.
b. Mematuhi nasihan dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di saran pelayanan kesehatan
dan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima
B. Hak dan kewajiban dokter
a. Hak Dokter
Pasal 50 UU No 29 Tahun 2004 Tentang kedokteran dokter atau
dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar operasional.
2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional.
3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya dan
4. Menerima imbalan jasa.
Selain itu juga memiliki hak yang berasal dari hak asasi manusia
seperti:12
1. Hak atas privasinya
2. Hak untuk diperlakukan secara baik.
3. Hak untuk beristirahat.
4. Hak untuk secara bebas memilih pekerjaan.
5. Hak untuk terbebas dari ancaman dan kekerasan, dan lain-lain
sewaktu menolong pasien.
12
Dr. Ari Yunanto, Sp. A(K), IBCLC, SH, Helmi SH., Mhum. Hukum Pidana Malpraktik Medik Tinjauan dan Presfektif Medikolegal, (Yogyakarta, CV. AND OFFSET, 2010) h.24
32
b. Kewajiban Dokter
Menurut kode etik Kedokteran Indonesia/KODEKI kewajiban
dokter dapat dibagi menjadi 4 katagori:13
1. Kewajiban umum.
2. Kewajiban dokter terhadap pasien.
3. Kewajiban dokter terhadap team sejawat.
4. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri.
Pasal 51 UU No 29 Tahun 2004 TentangPraktik Kedokteran,
dokter atau dokter gigi dalam melaksakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban:
a. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
b. Merujuk pasien ke dokter atau ke dokter gigi lain yang
mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila
tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan dan pengobatan.
c. Merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang pasien bahkan
juga pasien itu meninggal dunia.
d. Melakukan pertolongan daruat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
C. Aspek Hukum Hubungan Dokter, Pasien dengan Rumah Sakit14
a. Aspek Hubungan Dokter Dengan Rumah Sakit.
13
Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, (Jakarta: EGC, 2007), h,11-12
14
Dr. Willa Chandrawila Supriadi, S.H, Hukum Kedokteran, (Anggota IKAPI : Mondar Maju, 2001) h.9-10.
33
Hubungan dokter dengan rumah sakit adalah juga hubungan antara
hubungan subyek hukum dan subyek hukum. Dokter sebagai subyek hukum
orang pribadi dan rumah sakit sebagai subyek hukum yaitu badan hukum.
Hubungan yang terbentuk adalah hubungan perdata pula, dimana timbul hak
dan kewajiban para pihak secara timbal balik.
Hubungan yang terbentuk antara dokter dan rumah sakit, dibagi
menjadi dua macam. Pertama terjadi hubungan perburuhan, yakni dokter
bekerja sebagai karyawan dari Rumah Sakit dan menerima gaji dari Rumah
Sakit. Hubungan yang seringkali terjadi pada rumah sakit swasta adalah
hubungan yang berdasarkan pada perjanjian/ kontrak yang dikenal sebagai
hubungan kontraktual.
b. Aspek Hukum Hubungan Pasien dan Rumah Sakit
Hubungan pasien dengan rumah sakit adalah hubungan antara subyek
hukum dan subyek hukum. Diatur oleh kaidah-kaidah hokum perdata dan
memenuhi hubungan yang mengatur tentang hak dan kewajiban para pihak.
Pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan rumah sakit
sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan
kesehatan yang diatur dalam perjanjian/kontrak. Rumah sakit berkewajiban
untuk memberikan jasa pelayanan kesehatan sesuai dengan ukuran atau
standar perawatan kesehatan. Dan di dalam Rumah Sakit terdapat dokter
dimana dokter dan pasien terdapat sebuah perjanjian pula.
34
D. Informed Consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunkasi
yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa
yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien.15
Informed
consent sangatlah penting mengingat tidak ada yang dapat menduga hasil akhir
dari pelayanan kedokteran. Dalam informed consent, dokter menjelaskan
mengenai diagnosis penyakit pasien, terapi yang akan di lakukan serta resiko-
resikonya. Pasien secara bebas dapat menolak atau menyetujui terapi tersebut.
Dengan persetujuan informed consent oleh pasien secara tidak langsung
telah memberikan persetujuan kepada dokter untuk dilakukan terapi kedokteran
dengan segala resikonya. Apabila dalam terapi kedokteran tersebut menimbulkan
kerugian kepada pasien seperti luka, cacat dan meninggal maka dokter tidak
dapat dituntut selama memenuhi standar profesi dan standar prosedur karena
termasuk dalam kategori resiko medis.
Informasi dan penjelasan dalam informed consent dianggap cukup,
apabila telah mencakup beberapa hal dibawah ini, yaitu : 16
1. Tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang akan dilakukan.
2. Tata cara tindakan medis yang akan dilakukan.
3. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi.
15 Budi Sampurna, dkk, Bioetik dan Hukum Kedokteran, (Jakarta:
Pustaka Dwipar, 2007), h. 79
16 Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan, (Depok: PT RajaGrafindo Persada,
2013), h. 99
35
4. Alternatif tindakan medis lain yang tersedia serta resikonya masing-masing.
5. Prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut dilakukan.
6. Diagnosis.
Undang-undang Praktik Kedokteran menentukan persetujuan pasien
dapat diberikan secara tertulis atau lisan, namun dalam praktik informed consent
dapat dilakukan secara diam, sikap pasrah.17
Persetujuan tertulis menjadi mutlak
terhadap terhadap praktik kedokteran yang memiliki resiko tinggi. Namun, dalam
kondisi tertentu seperti keadaan darurat, pasien tidak sadarkan diri dan dibawah
pengampuan maka persetujuannya dapat ditunda sampai pasien sadar atau
meminta persetujuan kepada keluarga pasien.
E. Transaksi Terapeutik
Menurut seorang pakar hukum H.H. Koeswadji, transaksi terapeutik
adalah perjanjian (verbintenis) untuk mencari atau menentukan terapi yang
paling tepat bagi pasien oleh dokter dan tenaga kesehatan. Sedangkan menurut,
Veronica Komalawati, transaksi terapeutik adalah hubungan hukum antara dokter
dan pasien dalam pelayanan medis secara profesional didasarkan kompetensi
yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu dibidang kedokteran.18
Didasarkan mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang
dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
17
Veronika Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi
Terapeutik, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), h.110 18
Cecep Triwibowo, Etika Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), h.62
36
434/MEN.KES/X/1983 Tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia
Bagi Para Dokter di Indonesia, maka yang di maksud dengan transaksi terapeutik
adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana
percaya, serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran
makhluk insani.19
Hubungan yang didasarkan kepercayaan jarang diwujudkan
dalam bentuk kontrak tertulis.
Didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) Pasal 1313
menyebutkan, suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau
lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Pengikatan diri antara
pasien dengan dokter diawal dengan persetujuan pasien terhadap pengobatan atau
terapi yang ditawarkan dokter dalam rangka penyembuhan (informed consent).
Perikatan hukum dokter dengan pasien termasuk suatu jenis perikatan
hukum yang disebut inspanning verbintenis20
atau perikatan usaha. Artinya,
suatu bentuk perikatan yang isi prestasinya adalah salah satu pihak (dokter) maka
harus berbuat sesuatu secara maksimal dengan sebaik-baiknya dan secermat-
cermatnya kepada pihak lain (pasien). Kewajiban pokok seorang dokter terhadap
pasiennya adalah inspanning, yakni suatu usaha keras dari dokter tersebut yang
19
Cecep Triwibowo, Etika Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), h.62
20
Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaaban Pidana
Dokter, (Jakarta: Erlangga, 1991), h.109
37
harus dijalankan dan yang diperlukan untuk menyembuhkan kesehatan dari
pasien.21
Transaksi terapeutik antara dokter dan pasien bukan termasuk perjanjian
resultaats karena objek perjanjian bukan hasil pelayanan medis oleh dokter,
tetapi tingkah laku atau perlakuan pelayanan medis yang di lakukan dokter.
Dokter tidak mampu menjamin hasil akhir.22
F. Resiko Medis
Resiko medis merupakan suatu cedera yang terjadi dalam suatu tindakan
medis, yang tidak dapat dibayangkan/diperkirakan sebelumnnya dan bukan
sebagai akibat dari kekurangcakapan di pihak dokter melainkan sebuah takdir,
dan dokter tidak bertanggungjawab secara hukum.23
Suatu perbuatan dokter yang dikategorikan resiko medis adalah apabila
dokter telah melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi atau standar
prosedur dan/atau standar pelayanan medis yang baik, namun tetap terjadi cedera
pada pasien yang di luar dugaan. Keadaan semacam ini seharusnya disebut
dengan resiko medis, dan resiko ini terkadang dimaknai oleh pihak-pihak diluar
profesi kedokteran sebagai medical malpractice. Untuk katagori resiko medis ini,
dokter tidak bisa langsung disalahkan karena apa yang dilakukan sudah sesuai
21
Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaaban Pidana
Dokter, (Jakarta: Erlangga, 1991), h.109 22
Bahar Azwar, Sang Dokter, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2002), h.50 23
Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), h. 122
38
dengan standar profesi. Sedangkan untuk medical malpractice itu sendiri adalah
kesalahan dalam menjalankan profesi medis yang tidak sesuai dengan standar
profesi medik dan etika kedokteran dalam menjalankan profesinya. Untuk ini
dokter dapat diminta pertanggungjawabannya baik secara pidana, perdata
maupun kode etik.24
24
Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), h. 122
39
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PETUGAS
PELAYAN KESEHATAN TERHADAP KESALAHAN DIAGNOSA
A. Pertanggungjawaban Petugas Pelayanan Kesehatan Terhadap
Kesalahan Diagnosa Ditinjau Dari Hukum Perlindungan Konsumen
Hubungan antara dokter dan pasien juga termasuk dalam hukum
perlindungan konsumen. Konsumen adalah pemakai, pengguna atau
pemanfaat barang dan atau jasa, baik untuk diri sendiri maupun keluarga dan
makhluk lain.1 Barang dan jasa adalah setiap benda berwujud atau tidak,
bergerak atau tetap, untuk diperdagangkan, dipakai, digunakan atau
dimanfaatkan.2 Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan
usaha, baik sendiri maupun bersama-sama melakukan kegiatan usaha.3
Dari tiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pasien dalam hal
ini merupakan konsumen, pelaku usaha adalah dokter dan jasa merupakan
usaha untuk menyembuhkan pasien. Selain itu, Keputusan Menteri Kesehatan
RI No.756/MEN.KES/SK/VI/2004 tentang Persiapan Liberalisasi
Perdagangan dan Jasa di Bidang Kesehatan, menyatakan bahwa jasa layanan
kesehatan termasuk bisnis. Bahkan, World Trade Organisation (WTO)
1 AZ. Nasution, dkk, Liku-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Kosumen,
(Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2011), h. 1
2 AZ. Nasution, dkk, Liku-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Kosumen,
(Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2011), h. 1
3 Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011), h. 23
40
memasukkan Rumah Sakit (RS),dokter, bidan maupun perawat sebagai
pelaku usaha.
Paradigma jasa kesehatan saat ini sudah mulai bergeser kearah
konsumeristik. Sifat konsumeristik ini terlihat dari pelayanan dari semula
bersifat sosial menjadi bersifat komersial dimana masyarakat harus
membayar biaya yang cukup tinggi untuk upaya kesehatannya.4 Pergeseran
ini mengakibatkan para dokter hanya mencari keuntungan semata sehingga
dalam melakukan praktik kedokteran seringkali melupakan hak-hak pasien,
standar prosedur dan standar operasional dan kewajiban-kewajiban dokter
yang harusnya di junjung tinggi. Masyarakat harus sadar akan hak-hak
mereka yang dilanggar karena negara telah melakukan upaya preventif
dengan membuat undang-undang untuk melindungi hak konsumen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Ayat (1) Undang-undang
Perlindungan Konsumen, kerugian yang diderita korban kesalahan diagnosa
sebagai konsumen jasa akibat tindakan medis yang dilakukan oleh dokter
sebagi pelaku usaha jasa dapat dituntut dengan sejumlah ganti rugi. Ganti
kerugian yang dapat dimintakan oleh korban kesalahan medis menurut Pasal
19 Ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen dapat berupa
pengembalian uang penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4 Safitri Hariyani, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara Dokter
Dengan Pasien, (Jakarta: Diadit Media, 2005), h. 50
41
Dapat disimpulkan bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap
korban kesalahan medis yang diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu berupa pengaturan
pertanggungjawaban dokter untuk memberikan ganti rugi kepada korban
kesalahan medis selaku konsumen, sebagai akibat adanya kesalahan atau
kelalaian dalam pelayanan kesehatannya atau kesalahan diagnosa yang di
lakukan oleh dokter selaku pelaku.
Dalam Pasal 23 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak
memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen, pertanggungjawabannya dapat digugat melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di
tempat kedudukan konsumen.5
B. Pertanggungjawaban Petugas Pelayanan Kesehatan Terhadap
Kesalahan Diagnosa Menurut KUH Perdata.
Dari sudut hukum perdata, hubungan hukum dokter – pasien berada
dalam suatu perikatan hukum (verbintenis).6
Perikatan artinya hal yang
mengikat subjek hukum yang satu terhadap subjek hukum yang lain.7
Perikatan tadi melahirkan hak dan kewajiban kepada dokter dan
pasien yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak. Disamping melahirkan
5 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen Di Indonesia, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2014), h.146 6 Adami Chazawi, Malapraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h.
41 7 Abdulkadir Muhamad, Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1982),h. 5
42
hak dan kewajiban para pihak, hubungan hukum dokter-pasien juga
membentuk petanggungjawaban hukum masing-masing. Bagi pihak dokter,
prestasi berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam hal ini (in casu)
tidak berbuat salah atau keliru dalam perlakuan medis yang semata ditujukan
bagi kepentingan kesehatan pasien adalah kewajiban hukum yang sangat
mendasar dalam perjanjian dokter-pasien (perjanjian terapeutik) yang dalam
Pasal 39 Undang-undang Praktik Kedokteran disebut sebagai kepakatan
antara dokter atau dokter gigi dengan pasien.8
Dilihat dari sumber lahirnya perikatan, ada dua kelompok perikatan
hukum. Kelompok pertama ialah perikatan yang lahir oleh suatu kesepakatan
dan kedua ialah perikatan yang lahir oleh undang-undang. Hubungan hukum
dokter-pasien berada dalam kedua jenis perikatan hukum tersebut. Bentuk
perlindungan hukum terhadap korban kesalahan diagnosis oleh dokter yang
diatur dalam KUH Perdata, yaitu berupa pengaturan pertanggungjawaban
dokter untuk memberikan ganti rugi kepada korban kesalahan diagnosis atas
kerugian yang timbul karena :
a. Tidak ditepatinya perjanjian terapeutik yang telah disepakati oleh dokter
atau wanprestasi (cidera janji), yaitu berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata.
b. Perbuatan melawan hukum, yaitu berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata.
c. Kelalaian atau ketidakhati-hatian dalam berbuat atau bertindak, yaitu
berdasarkan Pasal 1366 KUHPerdata.
8 Adami Chazawi, Malapraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h.
42
43
d. Melalaikan kewajiban berdasarkan Pasal 1367 Ayat (3) KUHPerdata.
Pelanggaran kewajiban hukum dokter dalam perikatan hukum karena
kesepakatan (perjanjian terapeutik) membawa suatu keadaan wanprestasi.
Pelanggaran suatu kewajiban hukum atas kewajiban hukum dokter karena
undang-undang membawa suatu keadaan perbuatan melawan hukum
(onrechmatige daad).9
Penjelasan mengenai kesalahan diagnosa
kedokteran karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum dari segi
perdata adalah sebagai berikut:
1. Wanprestasi Dalam Malapraktik Kedokteran
Hubungan dokter dengan pasien selalu diawali dengan transaksi
terapeutik, yaitu dokter berjanji untuk melakukan upaya yang maksimal
dengan ukuran tidak menyimpang dari standar profesi medis dan standar
prosedur operasional dalam menyembuhkan pasien.
Wanprestasi (wanprestatie) dalam arti harfiah adalah prestasi yang
buruk10
yang pada dasarnya melanggar isi/kesepakatan dalam suatu
perjanjian/kontrak oleh salah satu pihak. Bentuk nyata pelanggaran
perjanjian ada 4 macam yakni sebagai berikut:11
a. tidak memberikan prestasi sama sekali sebagaimana yang
diperjanjikan.
9 Adami Chazawi, Malapraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h.
43
10 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1985), h. 45
11
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1985), h. 45
44
b. memberikan prestasi tidak sebagaimana mestinya tidak sesuai kualitas
atau kuantitas dengan yang diperjanjikan.
c. memberikan prestasi tetapi sudah terlambat tidak tepat waktu
sebagaimana yang diperjanjikan.
d. memberikan prestasi yang lain dari yang diperjanjikan semula.
Wanprestasi dokter yang paling dekat pada bentuk pelanggaran
kewajiban pada poin b dan d. Dokter telah memberikan prestasi berupa
pelayanan medis pada pasien tetapi tidak sebagaimana mestinya, yakni
melanggar standar profesi medis atau standar prosedur termasuk dalam
wanprestasi poin b. Dokter yang memberikan prestasi tidak sesuai dengan
kebutuhan medis pasien adalah wanspretasi poin d.12
Selain melanggar isi perjanjian, dalam wanprestasi juga harus
terkandung unsur kerugian yang diakibatkan dari kesalahan diagnosa
kedokteran secara causal verband (akibat langsung). Setelah terbukti
adanya kerugian, baru pada bagaimana wujud perlakuan medis yang
dilakukan oleh dokter, baik pada saat pemeriksaan untuk mendapatkan
fakta-fakta medis untuk menarik diagnosis dan menjalankan terapi sampai
pada perlakuan-perlakuan setelah terapi dijalankan.
Petugas pelayanan kesehatan yang terbukti melakukan wanprestasi
dalam kesalahan medis dapat diminta pertanggungjawabannya lewat
gugatan wanprestasi. Pertanggungjawaban tersebut diatur dalam pasal
12 Adami Chazawi, Malapraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h.
45
45
1243 KUHPer yakni petugas pelayanan kesehatan harus memberikan
penggantian biaya dan kerugian. Biaya adalah segala bentuk pengeluaran
pasien seperti biaya berobat, biaya perjalanan dan biaya perawatan.
Kerugian merupakan pengurangan fungsi atau kehilangan sesuatu seperti
tangan pasien yang cacat sehingga tidak bisa bekerja.
Tuntutan atas dasar wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum
tidak begitu saja dapat ditukar-tukar. Wanprestasi menuntut adanya suatu
perjanjian antara pasien dan dokter. Sebaliknya pada perbuatan melanggar
hukum, biasanya penggugat dan tergugat baru pertama kali bertemu ini
tidak berarti bahwa apabila kedua belah pihak telah mengadakan
perjanjian dan kemudian timbul kecelakaan lalu mereka hanya dapat
menuntut atas dasar wanprestasi saja. Karena dapat terjadi, dalam kejadian
tidak terpenuhinya suatu kewajiban kontrak medis juga menimbulkan
suatu perbuatan melanggar hukum atau dengan kata lain wanprestasi
mungkin terjadi pada waktu yang sama menimbulkan juga suatu perbuatan
melanggar hukum.
Secara teori kesalahan diagnosa dapat dituntut melalui gugatan
wanprestasi. Namun, pada praktiknya tuntutan kesalahan diagnosis
diajukan dengan gugatan perbuatan melawan hukum. Hal ini dikarenakan
objek yang diperjanjikan di dalam perjanjian terapeutik merupakan usaha
dokter yang sebaik-baiknya dalam menyembuhkan pasien dengan tolak
ukur standar profesi dan standar prosedur. Berbeda apabila dokter
memberikan janji atas perbaikan kondisi atau kesembuhan pasien. Standar
46
profesi sendiri merupakan bentuk perikatan yang lahir dari undang-undang
yang pelanggarannya dianggap perbuatan melawan hukum. Karena tolak
ukur dari perjanjian terapeutik umumnya merupakan undang-undang maka
pada tataran praktik kesalahan diagnosis digugat dengan dasar perbuatan
melawan hukum dan bukan dengan wanprestasi.
2. Perbuatan Melawan Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran
Dalam Pasal 1353 KUHPer disebutkan perikatan yang lahir dari
undang undang sebagai akibat perbuatan orang, muncul dan suatu
perbuatan yang sah atau dan perbuatan melawan hukum. Maksud dari
pasal tersebut adalah perikatan yang berdasarkan undang-undang timbul
dari perbuatan seseorang yang sesuai maupun bertentangan dengan
undang-undang.
Syarat bagi seseorang untuk dapat dikatakan telah melakukan
perbuatan melawan hukum adalah :13
a. Adanya perbuatan (daad) yang termasuk klasifikasi perbuatan
melawan hukum.
b. Adanya kesalahan si pembuat.
c. Adaya akibat kerugian (schade).
d. Adanya hubungan perbuatan dengan akibat kerugian (oorzakelijk
verband atau causal verband) orang lain.
Di dalam Pasal 51 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran jo Pasal 58 Ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun
13
Chazawi, Malapraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h 61
47
2014 Tentang Tenaga Kesehatan diatur mengenai kewajiban petugas
pelayanan kesehatan mengatur tentang kewajiban petugas pelayanan
kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar
profesi, standar prosedur, etika perofesi, dan kebutuhan medis pasien.
Apabila seorang petugas pelayanan kesehatan melakukan pelanggaran
terhadap pasal-pasal tersebut maka dikatakan telah melanggar perikatan
yang lahir dari undang-undang dan melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam Pasal 1366 KUHPer di jelaskan bahwa seorang dokter juga
harus bertanggung jawab tidak terbatas hanya pada perbuatannya saja
melainkan juga kerugian yang disebabkan akibat kelalaiannya atau
kesalahannya.
Seorang dokter yang terbukti melakukan kesalahan medis dapat
dimintakan pertanggungjawabannya melalui gugatan perbuatan melawan
hukum. Pertanggungjawaban petugas pelayanan medis yang melakukan
kesalahan medis dari segi perbuatan melawan hukum dijelaskan dalam
Pasal 1365, 1370, 1371 KUHPer yaitu mewajibkan dokter yang
menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti biaya
pengobatan dan melakukan penggantian kerugian tersebut.14
Kerugian atau damages dapat diklasifikasikan sebagai berikut:15
a. Kerugian immaterial (general damages, non pecuniary loses).
b. Kerugian materiel (special damages, pecuniary loses) :
14
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), h.346
15
Sampurna, dkk, Bioetik dan Hukum Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Dwipar, 2007), h. 101
48
(1) Kerugian akibat kehilangan kesempatan.
(2) Kerugian nyata :
(a) Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatan;
(b) Biaya yang akan dikeluarkan sesudah saat penggugatan.
Dalam hal yang melakukan tindakan medis adalah seorang
perawat/suster, dokter tetap harus bertanggungjawab. Hal ini berdasarkan
Pasal 1367 KUHPer yaitu seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas
kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan perbuatan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggunggannya.
C. Pertanggungjawaban Petugas Pelayanan Kesehatan Terhadap
Malapraktik Medis Ditinjau Dari Hukum Praktik Kedokteran
Pasal 29 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
mengatakan, bahwa dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih
dahulu melalui mediasi. Dalam penjelasannya tidak disebutkan dengan jelas
ke badan apa mediasi itu akan diselesaikan, namun Undang-undang Praktik
Kedokteran mengamanatkan terbentuknya lembaga penyelesaian disiplin
dokter yang kemudian dikenal dengan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI). MKDKI bukan lembaga mediasi, dalam
konteks mediasi penyelesaian sengketa, namun MKDKI adalah lembaga
Negara yang berwenang untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang
dilakukan dokter atau dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran
49
atau kedokteran gigi dan menetapkan sanksi bagi dokter atau dokter gigi yang
dinyatakan bersalah.16
Jika sidang pemeriksaan disiplin dokter atau dokter gigi selesai maka
MPD akan menetapkan keputusan terhadap teradu. Keputusan tersebut dapat
berupa:17
1. Dinyatakan tidak melakukan pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.
2. Pemberian sanksi disiplin, berupa.
a. Peringatan tertulis.
b. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan, yang dapat dilakukan
dalam bentuk :
1) Reedukasi formal di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi yang terakreditasi.
2). Reedukasi nonformal yang dilakukan dibawah supervise dokter
atau dokter gigi tertentu di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi yang terakreditasi, fasilitas pelayanan kesehatan
dan jejaringnya, atau fasilitas pelayanan kesehatan lain yang
ditunjuk, sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan paling lama
1(satu) tahun.
c. Rekomendasi pencabutan STR atau SIP yang bersifat :
1) Sementara paling lama 1 (satu) tahun.
16
Eka Julianta J Wahjoepramono, Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik, (Bandung:
Karya Putra Darwati, 2012), 301 17
Eka Julianta J Wahjoepramono, Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik, (Bandung:
Karya Putra Darwati, 2012), 301
50
2) Tetap atau selamanya.
3) Pembatasan tindakan asuhan medis tertentu pada suatu area ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi dalam pelaksanaan praktik
kedokteran.
3. Apabila terbukti melakukan pelanggaran disiplin, maka setelah keputusan
Dokter atau dokter gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan
terhadap keputusan MKDKI kepada Ketua MKDKI dalam waktu
selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau diterimanya keputusan
tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung keberatannya.18
4. Dalam hal menjamin netralitas MKDKI, Pasal 59 ayat (1) Undang-undang
Praktik Kedokteran, disebutkan bahwa MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang
dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi masing-masing,
seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi Rumah Sakit dan
3 (tiga) orang sarjana hukum.19
Sehingga tidak dikhawatirkan lagi pihak
dokter akan membela rekan sejawatnya.
D. Pertanggungjawaban Penyelenggara Kesehatan Terhadap Kesalahan
Medis
Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian
yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
18
Eka Julianta J Wahjoepramono, Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik, (Bandung:
Karya Putra Darwati, 2012), h. 317 19
Eka Julianta J Wahjoepramono, Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik, (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012), h. 317
51
dirumah sakit.20
Menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009,
pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan untuk:
1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan.
2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,
lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit.
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah
sakit.
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber
daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
Suatu rumah sakit mempunyai empat bidang tanggung jawab, yaitu:21
1. Tanggung jawab terhadap personalia, hal ini berdasarkan hubungan
majikan dengan karyawan. Hubungan ini, dahulu nersifat universal
dan negara kita sampai kini masih berlaku berdasarkan KUHPer Pasal
1367. Di dalam tanggung jawab ini termasuk seluruh karyawan yang
bekerja di rumah sakit.
2. Tanggung jawab profesional terhadap mutu pengobatan atau
perawatan, hal ini berarti bahwa tingkat pemberian pelayanan
kesehatan baik oleh dokter maupun oleh perawat dan tenaga kesehatan
lainnya harus berdasarkan ukuran standar profesi. Dengan demikian,
maka secara yuridis rumah sakit bertanggung jawab apabila ada
20
Cecep Triwibowo, Etika Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), h.231-232
21
Cecep Triwibowo, Etika Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), h.232
52
pemberian pelayanan “cure and care” yang tidak lazim atau dibawah
standar.
3. Tanggung jawab terhadap sarana dan peralatan, didalam bidang
tanggung jawab ini termasuk peralatan dasar rumah sakit, peralatan
medis dan lain-lain. Hal yang terpenting adalah bahwa perlatan
tersebut selalu harus berada didalam keadaan aman dan siap pakai
pada setiap saat.
4. Tanggung jawab terhadap kemanan bangunan dan perawatannya,
sepeti bangunan roboh, genteng jatuh, sampai mencederai orang,
lantainya sangat licin sehingga sampai ada pengunjung yang jatuh.
Hal ini diatur dalam 1369 KUHPer tentang tanggung jawab pemilik
terhadap gedung
Penyelenggara Kesehatan yakni rumah sakit erat kaitannya dengan setiap
perbuatan yang dilakukan oleh dokter di rumah sakit tersebut. Rumah sakit
dibebani seluruh tanggungjawab (responsibility) untuk memastikan bahwa
pelayanan medis di rumah sakit tersebut dapat terselenggara dengan baik dan
bahwa mutu pelayanan medis yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan
(accountable).22
Dalam Pasal 46 Undang-undang 44 Tahun 2009 Tentang
Rumah Sakit disebutkan “Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum
terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan di Rumah Sakit.” Oleh karena itu, pada praktiknya apabila
22
Budi Sampurna, dkk, Bioetik dan Hukum Kedokteran, (Jakarta: Pustaka Dwipar,
2007), h. 146
53
seorang dokter terbukti melakukan malapraktik maka kerugian yang
ditimbulkan oleh dokter tersebut juga dibebankan kepada rumah sakit
tempatnya bekerja secara tanggung renteng.
54
BAB IV
ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 515/PK/Pdt/2011
A. Posisi Kasus
Putusan Mahkamah Agung Nomor 515/PK/Pdt/2011 ini
merupakan kasus antara Pitra Azmirla dan Damitra Almira (dalamhal ini
sebagai penggugat) selaku anak dari Almarhum Ny. Sita Dewati Darmoko
yang beralamat Jl. Cilandak Tengah No. 19 Cilandak Jakarta Selatan.
Melawan 1. PT. Guna Mediktama (dalam hal ini sebagai tergugat I) yang
beralamat di Jl. Metro Duta Kav. UE Pondok Indah Jakarta Selatan. 2. Dr.
Hermansyur Kartowisastro, SpB-KBD, (dalam hal ini sebagai tergugat II)
beralamat di Jl. Metro Duta Kav. UE Pondok Indah Jakarta Selatan. 3. Prof.
Dr. Ichramsjah A Rachman, Sp.Og. (dalam hal ini sebagai tergugat III)
beralamat di Jl. Metro Duta Kav. UE Pondok Indah Jakarta Selatan. 4. Prof.
Dr. I Made Nazar, SpPA (dalam ini sebagai tergugat IV) beralamat di Jl.
Metro Duta Kav. UE Pondok Indah Jakarta Selatan. 5. Dr. Emil Taufik,
SpPA, (dalam hal ini sebagai tergugat V) beralamat di Jl. Metro Duta Kav.
UE Pondok Indah Jakarta Selatan. 6. Dr. Mirza Zoebir, SpPD, (dalam hal ini
sebagai tergugat VI) beralamat di Jl. Metro Duta Kav. UE Pondok Indah
Jakarta Selatan. Dr. Bing Widjaja, SpPK (dalam hal ini sebagai tergugat VII)
beralamat di Jl. Metro Duta Kav. UE Pondok Indah Jakarta Selatan. Dan
Komite Medik Rumah Sakit Pondok Indah (dalam hal ini sebagai turut
tergugat) beralamat di Jl. Metro Duta Kav. UE Pondok Indah Jakarta Selatan.
55
Almarhumah Ny. Sita Dewati Darmoko (selanjutnya disebut
sebagai „‟pasien) bahwa pada tanggal 12 Februari 2005 pasien menjalani
pengangkatan tumor ovarium di Rumah Sakit Pondok Indah (selanjutnya
disebut RSPI), bahwa operasi dilakukan oleh Team Dokter RSPI dimana
bertindak selaku ketua Team adalah Prof. Dr. Ichramsjah A Rachman
(tergugat III) dengan anggota terdiri dari Dr. Hermansyur Kartowisastro
(tergugat II) dan Prof. Dr. I Made Nazar (tergugat IV). Setelah tindakan
operasi dilakukan oleh tergugat Prof. Dr. Ichramsjah A Rachman hasilnya
(tumor ovarium) diserahkan kepada Prof. Dr I Made Nazar untukdiperiksa di
laboratorium Pathologi guna mengetahui apakah tumor itu ganas atau tidak.
Berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium Pathologi
tertanggal 12 Februari 2005 yang diserahkan oleh Prof. Dr. Ichramsjah A
Rachman dinyatakan tumor tersebut tidak ganas. Kemudian terdapat hasil PA
(pemeriksaan akhir) terakhir pada tanggal 16 Februari 2005 yang terindikasi
ganas dan ternyata hasil tersebut tidak disampaikan oleh para tergugat kepada
pasien maupun para penggugat, sehingga pasien maupun para penggugat
masih berkesimpulan tidak terdapat indikasi tumor ganas pada diri pasien.
Kemudian pada November 2005, pasien terpaksa dibawa kembali
ke RSPI karena kondisi pasien makin kritis, suhu tubuhnya tinggi dan
khawatir terkena demam berdarah. Setibanya di RSPI, pemeriksaan dilakukan
oleh Dr. Mirza Zoebir dimana hasil pemeriksaan tidak jelas, menurutnya
Verdact Typus, namun melihat Medical Record pasien yang baru dioperasi
tumor pada bulan Februari 2005 tanpa memperhatikan hasil PA tanggal 16
56
Februari 2005 maka Dr. Mirza Zoebir memberi saran dan tindakan-tindakan
sebagai berikut.
a. Tanggal 7 November 2005.
Jenis pemeriksaan : USG Abdomen
Radiologist Dr. Chandra J
Kesan : Hepatemagalie dengan tanda-tanda chronis hepatic
dease, tampak dua mass nodule pada lobus kanan
hepar (ukuran +2,0 cm dan +1,2 cm) tak
menyingkirkan adanya Meligannicy, usul dilakukan
CT Scan Abdomen untuk konfirmasi lebih lanjut.
b. Tanggal 8 November 2005
Jenis pemeriksaan: CT Scan Abdomen (minat hepar)
Radhiologist : hanya tanda tangan, tidak ada nama tertulisnya.
Kesan : tanpak Inhomo Genous Mass kecil-kecil ukuran 1,9 X
1,7 X 1,5 cm dan 1,4 X 1,1 X 1,5 cm berbatag tegas,
hypondens lekat dengan kubah liver dengan adanya
minimal rimenhanceme dan internal inhomogenecity,
tak tampak bercak calcificasi, sups. Proses meta ( DD/
multiple hepatic cyst).
Karena menurut Dr. Mirza Zoebir ada sesuatu di lever pasien tetapi
belum perlu diapa-apakan.
Kemudian pada bulan Februari 2006 pasien kembali menemui
Prof. Dr. Ichramsjah A Rachman, karena adanya keluhan yang terus
57
dirasakan bahkan ada benjolan yang sangat terasa disebelah kiri perut.
Kemudian Prof Dr. Ichramsjah merekomendasikan kepada Dr. Hermansyur.
Pasien kemudian membuat janji dengan Dr. Hermansyur, dan setelah kedua
bertemu disarankan untuk CT Scan pada tanggal 15 Februari 2006.
Berdasarkan hasil CT Scan Dr. Hermansyur memberikan kesimpulan bahwa
pasien mengalami kanker liver stadium 4, tapi Dr. Hermansyur langsung
menyerahkan penanganan selanjutnya oleh Prof. Dr. Ichramsjah karna walnya
pasien ditangani oleh Prof Dr Ichramsjah, setelah pasienmenemui Pof Dr
Ichramsjah, dia tak percaya dengan hasil tersebut.
Melihat kenyataan demikian pasien dan para penggugat merasa
sangat kecewa atas sikap dan pelayanan yang diberikan para tegugat yang
tidak menunjukan sikap profesionalitas dan tanggung jawab. Dalam hal ini
pasien dan penggugat sudah percaya sepenuhnya dan melakukan
kewajibannya untuk mengeluarkan biaya perawatan yang cukup mahal
kepada para tergugat, tapi hasil yang didapat jauh dari yang diharapkan.
Selanjutnya atas saran teman pasien, pasien memutuskan untuk
pindah ke Rumah Sakit yang baru, sampai akhirnya bertemu dengan Dr. Aru
yang menangani penyakit pasien, atas saran Dr. Aru pasien harus melakukan
CT-Scan ulang di Rumah Sakit Meditra. Dr. Aru menyarankan untuk
mengambil sampel jaringan pasien di RSPI untuk diteliti di Singapore.
Hasilnya terdapat perbedaan dengan RSPI yang dimana hasil awalnya
disimpulkan tidak ganas.
Tanggal 6 maret 2006:
58
Reported by Dr. Wong Su Yong
Consultant Pathologist Glen Eagles Hospital
Conclusion:
Futher Riview of 2 poorly prepared paraffin blocks and H & E stained
section:
- 1 blocks consistent with a moderately differentiated endomentrioid
adenocarcinoma of the ovary.
- Blocks consistent with an endometrial tumour of borderlinemalignancy
with focal endocervical meteplasia.
Lalu disimpulkan bahwa hasilnya terdapat tumor ganas pada diri pasien,
dan selanjutnya atas persetujuan Dr. Aru dan para penggugat disepakati
melakukan kemo sebanyak 6 kali kepada pasien.
Pada tanggal 16 April 2006, setelah dilakukan kemo sebanyak 2
kali, pasien mengalami suhu badannya meninggi dan keadaanya semakin
memburuk. Para penggugat membawa pasien ke UGD RS Medistra
selanjutnya untuk diopname . ketika para penggugat menceritakan tentang
penurunan daya ingat yang dialami pasien, Dr. Aru melakukan CT Scan
Brain.
Hasil pemeriksaan pada tanggal 18 April 2006:
Jenis pemeriksaan : CT-Scan Brain
Radiologist : Dr. Sri Inggriani Sp.Rad
59
Kesan : lacunas infarot kecil diperiventrikuler kanan area oedema dengan
focus nodul kecil didaerah cortical subcorcital lobus parietalis
posterior, bisa dicurigai sebagai focus metastatis dini.
Jelas terlihat proses penanganan medis setelah 16 Februari bahwa
para tergugat telah lalai dalam menyampaikan rekam medik PA tanggal 16
Februari 2005, sehingga berakibat fatal yaitu terjadinya penurunan kesehatan
oleh pasien, bahkan para dokter di RSPI tersebut lari dari tanggung jawabnya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut terlihat kesalahan PT. Guna
Mediktama sebagai pelayan medis selaku pemilik dan pengelola RSPI kurang
tanggap:
1. Tidak melakukan koordinasi diantara sesama dokter RSPI
2. Tidak melaksanakan pelayanan medis dengan mengutamakan
penyembuhan dan pemulihan pasien secara terpadu dengan upaya
peningkatan dan pencegahan.
3. Pihak RSPI dalam hal ini PT Guna Mediktama tidak melaksanakan
perawatan terhadap pasien berdasarkan standar pelayanan medis.
B. Pertimbangan Dan Putusan Hakim
1. Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang
mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian
hukum, disamping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan
60
teliti, baik, dan cermat.1
Pada kasus ini Majelis Hakim Mahkamah Agung
telah memberikan pertimbangan sebagai berikut:
1. Alasan-alasan peninjauan kembali dapat dibenarkan, karena
terdapat kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata
yaitu: tergugat III membantu tergugat II dan tergugat IV yang
menangani korban dangan hasil PA tidak sama. Hasil PA
tanggal 16 Februari 2005 kanker ganas, tapi tergugat II, III, IV
tidak menangani dengan mengadakan tindakan sebagaimana
mestinya.
2. Bahwa tergugat V dan VII sebagai dokter Pathologi RSPI tidak
didalilkan dalam surat gugatan penggugat peranannya dalam
kasus a quo
3. Bahwa ganti rugi akibat malaprakter tersebut adalah tanggung
jawab Rumah Sakit dan dokter yang bersangkutan.
4. Bahwa penurunan jumlah ganti rugi oleh judex juris menjadi
Rp. 200.000.000 ( Dua Ratus Juta Rupiah) merupakan
kehilafan hakim / suatu kekeliruan tanpa memberikan
pertimbangan sama sekali.
5. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan diatas dengan
tidak perlu mempertimbangkan alasan peninjauan kembali
lainnya, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup
1 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), h.140
61
alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali
dari para pemohon peninjauan kembali : Pitra Azmirla dk dan
membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 1563 k/Pdt/
2009 tanggal 29 Desember 2009 serta Mahkamah Agung
mengadili kembali perkara ini dengan pertimbangan bahwa
pertimbangan Judex Facti sudah tepat dan benar, karena itu
akan diambil alis sebagai pertimbangan mahkamah agung
dalam tingkat peninjauan kembali dengan amar putusan
sebagaimana akan disebutkan di bawah ini.
6. Menimbang oleh karena para termohon peninjauan kembali
pada dipihak yang kalah, maka harus dihukum untuk
membayar biaya perkara dalam semua tingkatan pengadilan.
2. Putusan Hakim
1. Dalam Eksepsi
a. Menyatakan eksepsi dari para tergugat tidak tepat dan tidak
beralaskan.
b. Menyatakan eksepsi dari para tergugat tidak dapat diterima.
2. Dalam provisi :
Menyatakan tuntutan provisi dari Penggugat dinyatakan dapat
diterima sebagian.
3. Dalam pokok perkara :
Mengabulkan gugatan penggugat sebagian.
4. Dalam Konvensi:
62
Menyatakan para tegugat telah melakukan perbuatan melawan hukum
5. Dalam Rekonvensi.
Menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar
ganti rugi materil dan imateril kepada para penggugat yaitu sebesar
Rp. 2.000.000.000,- (Dua Milyar Rupiah).
6. Dalam Konvensi Dan Rekonvensi
a. Menolak gugatan penggugat selebihnya
b. Menghukum para termohon peninjauan kembali untuk membayar
biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar
Rp. 2.500.000;- (Dua Juta Lima Ratus Ribu Rupiah).
C. Penemuan Hukum Oleh Hakim Terhadap Sengketa Kesalahan
Diagnosa Medis pada putusan Nomor 515 / PK / Pdt / 2011.
Tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, dan memutus
serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya berdasarkan
asas bebas, jujur dan tidak memihak di suatu sidang pengadilan, dengan
menjatuhkan suatu putusan, yang disebut dengan putusan hakim.2
Dalam
hal menjalankan tugas pokok hakim tersebut pasal 5 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa: “Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selanjutnya
dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan: “Ketentuan ini dimaksudkan
agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa
2 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.52
63
keadilan masyarakat”. Dari ketentuan sebelumnya, tersirat secara juridis
maupun filosofis, hakim mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan
penemuan hukum agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.3
Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim
atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberikan tugas melaksanakan
hukum atau menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwa
hukum yang konkret. Lebih konkret lagi dapat dikatakan bahwa penemuan
hukum merupakan proses konkretisasi, kristalisasi dan individualisasi
peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan
peristiwa konkret (das sein).4
Mengenai cara penemuan hukum ada dua metode:5 1. Interpretasi
atau penafsiran, merupakan metode hukum yang memberikan penjelasan
yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode
interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada
tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Interpretasi
atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu secara:
a. Gramatikal : yaitu penafsiran menurut bahasa sehari hari. b. Historis :
yaitu penafsiran berdasarkan sejarah hukum. c. Sistematis: yaitu
3 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.27
4 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty, 2007), h.37
5Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2007), h.7
64
penafsiran undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem
perundang-undangan, d. Teleologis: yaitu penafsiran menurut makna atau
tujuan kemasyarakata, e. Perbandingan hukum : yaitu penafsiran dengan
cara membandingkan dengan kaedah hukum di tempat lain, f. Futuristis:
yaitu penafsiran yang berpedoman pada undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum. 2. Konstruksi hukum dapat digunakan
hukum sebagai metode penemuan hukum apabila dalam mengadili perkara
tidak ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang
terjadi. Konstruksi hukum ini dapat dilakukan dengan menggunakan
logika berpikir secara: a. Argumentum per analogian atau sering disebut
analogi. Pada analogi, peristiwa yang berbeda namun serupa, sejenis atau
mirip yang diatur dalam undang-undang diperlakukan sama, b.
Penyempitan hukum. pada penyempitan hukum, peraturan yang sifatnya
umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus
dengan penjelasan atau kontruksi dengan memberi ciri-ciri, c.
Argumentum a contrario, yaitu menafsirkan atau menjelaskan undang-
undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian atau peristiwa
konkrit yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang.
Sesuai dengan kerangka konseptual yang penulis paparkan diatas
penulis mengidentifikasi bahwa majelis hakim mengunakan metode
interpretasi sistematis, yaitu penafsiran yang menafsirkan peraturan
perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-
undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Karena, terbentuknya
65
suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan
sistem perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu
undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan
perundang-undangan lainnya dengan mengkaitkan dengan perbuatan
melawan hukum dalam Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad)
dalam konteks perdata diatur dalam pasal 1362 KUH Perdata atau
Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang
perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang
berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
Pasal 3 ayat (2) Peraturan Konsil Nomor 4 Tahun 2011 dalam
pertimbangannya yang menyatakan bahwa pelanggaran Disiplin
Profesional Dokter dan Dokter Gigi terdiri dari 28 bentuk, dimana bentuk
dari pelanggaran Disiplin Profesional Doter dan Dokter Gigi tersebut
antara lain berupa :
a. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
b. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang
memiliki kompetensi yang sesuai
c. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu
yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut.
66
d. Tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada
situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien; e. Tidak
memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate
information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan
praktik kedokteran.
f. Melakukan tindakan/asuhan medis tanpa memperoleh
persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat, wali, atau
pengampunya; g. Berpraktik dengan menggunakan surat tanda
registrasi, surat izin praktik, dan/atau sertifikasi kompetensi
yang tidak sah atau berpraktik tanpa memiliki surat izin praktik
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam hal ini menurut Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya
Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas
Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat
dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
67
Pada pertimbangan tersebut majlis hakim menyimpulkan bahwa
gugatan kesalahan diagnosa ini adalah perbuatan melawan hukum yang
merugikan terhadap pasien yang melakukan pengobatan di rumah sakit.
D. Analisis Putusan
Melihat yurispudensi yang ada, pada putusan Mahkamah Agung
Nomor: 515 PK/ Pdt/ 2011 yang memutus sengketa antara Pitra Azmirla dan
Damitra Almira selaku keluarga dari pasien dengan Rumah Sakit Pondok
Indah bersama ke 6 (enam dokter) yang mendiagnosis dan/atau mengobati
pasien dalam pengangkatan tumor ovarium sehingga menyebabkan pasien
meninggal. Pada pertimbangannya hakim melihat bahwa hasil diagnosis
CT-Scan yang dilakukan ke 6 (enam) dokter tadi menyatakan bahwa pasien
menderita tumor jinak dan setelah pengobatan kondisi pasien terus
menurun. Selanjutnya pihak keluarga pasien melakukan CT-Scan di rumah
sakit lain dan mendapatkan hasil diagnosis yang berbeda yakni pasien
mengalami kanker ganas. Karena terlambatnya penanganan kanker ganas
tersebut mengakibatkan pasien meninggal. Hakim menilai apabila diagnosis
dokter Rumah Sakit Pondok Indah tidak salah maka pasien dapat
diselamatkan karena akan diobati dengan pengobatan untuk kanker ganas
dan bukan tumor jinak. Para dokter yang tidak teliti dalam melakukan
diagnosis tersebut diputus oleh hakim telah melakukan perbuatan melawan
hukum dalam medis (malapraktik medis). Dalam yurispudensi ini hakim
tidak menyatakan gugatan penggugat premature meskipun tidak didasari
oleh putusan MKDKI. Hakim mendasarkan putusannya pada hasil diagnosis
CT-Scan dan persangkaan terhadap pasal 1365 KUHPerdata.
68
Menurut penulis pada Putusan Nomor: 515 PK/ Pdt/2011 terdapat
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan
hukum. karena hakim tidak berhak menentukan suatu dokter telah
melakukan suatu perbuatan melawan hukum dalam medis melainkkan
MKDKI. Pendapat penulis juga didasarkan pada Undang-undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 66 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa “Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya
dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.” Selanjutnya dalam ayat (3)
disebutkan pengaduan “Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan
tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian
perdata ke pengadilan.
Dalam ketentuan prosedur penggugatan terhadap dokter/petugas
kesehatan dilaporkan kepada MKDKI, pada intinya bahwa hakim tidak
berwenang dalam menentukan seorang dokter telah melakukan malapraktik
karena pelanggaran terhadap disiplin kedokteran merupakan kewenangan
MKDKI. Bahwa pada pertimbangan ini hakim menginterpretasikan
ketentuan Bahwa menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Konsil
Nomor 4 Tahun 2011 tentang disiplin profesional dokter dan dokter gigi
ditentukan bahwa Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) adalah merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan
69
ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi dan menetapkan
sanksi.
Hal ini juga senada dengan yurisprudensi putusan Pengadilan Negeri
Nomor 329/ Pdt.G/ 2012/ PN.Jkt.Tim. Dokter yang menangani pasien di
Rumah Sakit Primier tidak memiliki surat izin praktik. Pada poin pertama,
para tergugat membantah tuduhan penggugat karena dokter sebelum
melakukan tindakan telah mendapat persetujuan dari pasien (informed
consent). Dokter dalam hal ini telah melakukan usaha yang sebaik-baiknya
namun dokter tidak dapat menjanjikan hasil yaitu berupa kesembuhan
sehingga perbuatan dokter dianggap sebagai resiko medis. Namun, para
tergugat tidak membantah alasan penggugat bahwasanya setelah dilakukan
pengobatan terhadap pasien yaitu kateterisasi dan pemasangan ring pada
jantung tetapi pasien mengalami serangan jantung lalu diobati kembali
dengan pemasangan ring tambahan, penyedotan darah beku dan
pemasangan alat pompa jantung, namun kondisi pasien semakin menurun
sehingga dokter menyarankan kepada keluarga pasien untuk membawa
pasien ke Rumah Sakit Harapan Kita karena merupakan rumah sakit khusus
jantung sehingga memiliki fasilitas yang lengkap. Pasien mengalami
serangan jantung kedua sebelum dipindahkan dan meninggal.
Di dalam Pasal 51 Ayat (2) Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 jo
Pasal 58 Ayat (5) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 disebutkan bahwa
“Dokter wajib merujuk penerima pelayanan kesehatan ke tenaga kesehatan
70
lain yang mempunyai keahlian dan kemampuan yang lebih baik apabila
tidak mampu dalam hal pemeriksaan dan pengobatan pasien.” Seharusnya,
dokter Harmani Kalim setelah melakukan pemeriksaan dengan kateterisasi
dan tidak sanggup untuk mengobatinya langsung merujuk ke Rumah Sakit
Harapan Kita yang lebih lengkap fasilitasnya bukan mencoba untuk
mengobati pasien sampai 2 (dua) kali namun justru mengakibatkan kondisi
pasien memburuk lalu pada akhirnya baru merujuk pasien ke rumah sakit
lain yang memadai.
Kedua, penggugat mendalilkan bahwa isi rekam medis tidak sesuai
dengan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/
MENKES/ PER/ III/ 2008 yaitu isi rekam medis yang lengkap dan bukan
berupa ringkasan. Dalam jawaban tergugat mendalilkan Pasal 12 Ayat (3)
dan (4) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/ MENKES/ PER/ III/ 2008
yang pada pokonya menyebutkan bahwa isi rekam medis yang dapat diberi,
dicatat atau dicopy oleh pasien adalah dalam bentuk ringkasan medis.
Dalam hal ini Majlis Hakim membatalkan gugatan tersebut karna
Majlis Hakim dianggap tidak berwenang dalam mengadili putusan tanpa
adanya putusan yang diberikan oleh MKDKI dan majlis hakim menganggap
gugatan ini premature.
Untuk melihat apakah para tergugat telah melakukan kesalahan medis
atau tidak maka perlu dianalisis alasan dari tuntutan penggugat yang pada
pokoknya sebagai berikut :
71
1. Kelalaian yang dilakukan dokter yaitu setelah pasien melakukan
operasi pengangkatan tumor ovaarium di RSPI, dan diserahkan
kepada Dr. I Made Nazar untuk dilakukan pemerikasaan di
laboratorium, hasil awal dinyatakan tumor tersebut tidak ganas,
dan terdapat PA terakhir dan dinyatakan ganas pada tanggal 16
Februari 2005, tapi hal tersebut tidak diberitahukan oleh para
tergugat kepada penggugat.
2. Dan setelah dilakukan operasi tersebut keadaan pasien makin
memburuk, dan pasien melakukan pemeriksaan kembali ke RSPI
pada bulan November 2005 dan hasilnya dinyatakan tidak jelas
oleh Dr. Mirza Zoebir, kemudian pada bulan Februari pasien
kembali melakukan pemeriksaan karena adanya keluhan yang
terus menerus dirasakan dan adanya benjolan di perut sebelah kiri,
dan Prof Dr Ichramjah menyarankan untuk menemui Dr.
Hermansyur, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Dr. Hermansyur
pasien dinyatakan mengidap kanker liver stadium 4, para petugas
pelayanan kesehatan tersebut setelah mendapatkan hasil tersebut
tidak menunjukan profesionalitasnya sebagai dokter. Bahwa para
petugas pelayanan kesehatan tersebut tidak cepat tanggap dalam
menangani penyakit yang diderita oleh pasien, tanpa ada tindakan
pengobatan apapun.
3. Bahwa pasien telah memenuhi kewajibannya untuk membayar
semua pengobatan tersebut, biaya yang telah dikeluarkan secara
72
nyata sebesar Rp.172.734. 717 ( Seratus Tujuh Puluh Dua Juta
Tujuh Ratus Tiga puluh Empat Ribu Tujuh Ratus Tujuh belas) tapi
para pelayan kesehatan tersebut tidak melakukan kewajibannya
dengan baik dan sungguh-sungguh.
Pada poin pertama sudah jelas bahwa dokter/petugas pelayan
kesehatan telah melakukan kelalaian dalam hal tidak memberitahukan hasil
PA kepada para penggugat, dimana menurut penulis karena hasil tersebutlah
yang menentukan benar adanya kanker ganas, jika hal tersebut
diberitahukan sejak awal maka tidak akan adanya keterlambatan
penanganan medis untuk pasien.
Kedua, para petugas pelayan kesehatan tidak mempunyai itikat baik
untuk melakukan pengobatan serta penyembuhan kepada pasien, terbukti
pada hasil PA terakhir tidak diberitahukan kepada pasien, dan pasien pun
melakukan pemeriksaan terakhir yang dilakukan oleh Dr. Hermansyur yang
menyatakan pasien mengidap penyakit kanker liver stadium 4. Menurut
penulis Dr. Hermansyur bukannya menangani dan mencari solusi, tetapi Dr.
Hermansyur menyerahkan penanganan tersebut kepada Prof Dr Ichramjah
karena penanganan awal dilakukan oleh Prof Dr. Ichramsjah dan dia pun
terheran-heran dengan hasil tersebut, menurut penulis para tergugat tidak
mempunyai itikad baik kepada pasien dan tidak bersikap profesional dalam
menjalankan tugasnya. Dalam Pasal 7 poin a Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan bahwa pelaku
73
usaha (dokter) harus beritikad baik dalam melakukan usahanya (melayani
pasien) .
Ketiga, para tergugat menyatakan bahwa para penggugat sama sekali
tidak menyatakan secara rinci dengan disertai bukti-bukti yang sah yang
mendukung pernyataan mengenai kerugian yang para penggugat alami.
Bahkan jika para penggugat dapat membuktikan adanya suatu tindakan
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tergugat, para penggugat
juga harus dapat secara rinci dan berdasarkan bukti-bukti yang sah
menjabarkan kerugian yang dialami oleh para penggugat berkaitan dengan
perbuatan melawan hukum tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat dari
Prof. Dr. R Wirjono Prodjodikoro, SH.6 „‟seorang yang dalam tindakannya
merugikan orang lain, tidak dikatakan berdasarkan atas suatu hak dan
karena itu dia diwajibkan mengganti kerugian, tetapi hak tersebut haruslah
berdasarkan atas peraturan hukum‟‟. Selain itu pemohon kerugian yang
harus dinyatakan dalam suatu penjelasan yang rinci dengan didukung oleh
bukti-bukti yang sah telah juga dianut oleh hukum acara di Indonesia dan
juga dianut oleh peradilan di Indonesia ini, hal ini dibuktikan dengan
adanya: putusan Mahkamah Agung No. 550 K/SIP/1979 tanggal 8 Mei 1980
yang menyatakan : „‟ petitum tentang ganti rugi harus dinyatakan tidak
dapat diterima karena tidak diadakan perincian mengenai kerugian-kerugian
yang dituntut‟‟. Putusan Mahkamah Agung No. 19 K/SIP/1983 tanggal 3
September 1983 yang menyatakan: „‟ karena gugatan ganti rugi tidak
6 Prof. Dr. R Wirjono Prodjodikoro, SH. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke 9,
Sumur Bandung : 1984 h. 16
74
diperinci, lagi pula belum diperiksa oleh Judex Fecti. Gugatan ganti rugi
tersebut tidak dapat diterima. Dan dalam hal ini tergugat menyatakan
gugatan penggugat kabur (obscurum libellum).
Unsur-unsur malapraktik kedokteran telah di penuhi oleh para tergugat
yaitu:7
1. Adanya wujud perbuatan aktif maupun pasif tertentu dalam
praktik kedokteran.
2. Dilakukan oleh dokter atau orang yang ada dibawah perintahnya.
3. Dilakukan terhadap pasiennya.
4. Dengan sengaja maupun kelalaian.
5. Bertentangan standar profesi, melanggar hukum dan dilakukan
tanpa wewenang.
6. Menimbulkan akibat kerugian bagi nyawa pasien yakni
keterlambatan penanganan karna kesalahan diagnosa.
7. Membentuk pertanggungjawaban hukum bagi dokter.
Penulis berpendapat bahwa berdasarkan poin diatas telah terlihat jelas
adanya pelanggaran oleh petugas pelayanan kesehatan terhadap kewajiban-
kewajiban petugas pelayanan kesehatan dan standar profesi dalam
memberikan pengobatan pada pasien Ny. Sita Dewati Darmoko sehingga
menyebabkan keterlambatan pengobatan. Akibat dari keterlambatan
pengobatan pasien telah meinmbulkan kerugian bagi penggugat yakni biaya
7 Adami Chazawi, Malaraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 11
75
pengobatan selama pasien di rawat di rumah sakit. Perbuatan tersebut telah
memenuhi ketentuan dari Pasal 1365 KUHPer yaitu :
1. Ada perbuatan melawan hukum atau dengan kata lain
melawan undang-undang;
2. Melanggar hak subjektif orang lain yaitu hak-hak perorangan
dan hak-hak atas harta kekayaan.
3. Ada kesalahan (schuld) yang dapat berupa kealpaan dan
kesengajaan.
4. Ada kerugian yang diderita orang lain.
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum
dengan kerugian yang diderita.
Islam juga menghukum orang yang beriman yang baik dengan sengaja
maupun karena kelalaiannya membunuh manusia lain. Hal ini dijelaskan
dalam surat An-Nisa ayat 92-93 yang berbunyi:
د مه قتل مإمنا خطأ فتحزيز رقبة مإمنة ممة ئل أىو ئال أن ما كان لمإمه أن يقتل مإمنا ئال خطأ ية م
مإمه فتحزيز رقبة ى لكم م عد بينيم ميثاق فدية يصمدمقا فان كان مه ق م بينكم ئن كان مه ق مإمنة
بة م تحزيز رقبة مإمنة فمه لم يجد فصيام شيزيه متتابعيه ت ممة ئل أىو كان المو م عيما حكيما ه المو
Artinya : “Dan tidak patut bagi seorang yang beriman membunuh
seorang yang beriman (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja).
Barang siapa membunuh seorang yang beriman tersalah (hendaklah) dia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka
(keluarga terbunuh) bersedekah. Jika dia (si terbunuh) dari kaum yang
memusuhimu, padahal dia orang beriman, maka hendaklah (si pembunuh)
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Jika dia (si terbunuh) dari
kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barang siapa tidak memperolehnya, maka hendaklah dia (si pembunuh)
76
berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai tobat kepada Allah. Dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Q.S. An-Nisa/4: 92)
أعدم لو عذابا عظيمامه يقتل مإمنا متعمدا فجزاؤه جينمم خالدا ف لعنو غضب المو عيو ييا
Artinya : “Dan barang siapa yang membunuh seorang beriman dengan
sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya.
Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang
besar baginya.”(Q.S. An-Nisa/4: 93)
Dalam surat An-Nisa 92-93 telah secara tegas dijelaskan larangan dan
hukuman bagi dokter yang melakukan malapraktik medis baik karena
kelalaiannya menyebabkan keterlambatan pengobatan bagi pasiennya Ny.
Sita Dewati Darmoko. Dalam Pasal 1366 KUHPer juga menjelaskan bahwa
setiap orang (dokter) tidak hanya bertanggung jawab atas setiap perbuatan-
perbuatannya melainkan juga karena kelalaiannya dan kesalahannya.
Kesalahan dari dokter yang tidak menangani pasien lebih lanjut ketika
memperoleh hasil PA terakhir yang menyatakan ganas, namun setelah
diketahui, tidak diberitahukan kepada para penggugat untuk mengetahui
kejujuran penyakit yang diderita pasien, dan menimbulkan keluhan yang
terus-menerus yang dirasakan pasien, sampai akhirnya dinyatakan bahwa
pasien mengidap kanker liver stadium 4, para dokter tidak melakukan
peranannya sebagai dokter dalam memberikan pertolongan dan pengobatan
kepada pasien, sehingga akibat dari kejadian tersebut penyakit pasien
semakin parah, karena keterlambatan pengobatan yang dilakukan oleh
dokter di RSPI. Dan dalam hal ini dokter tidak melakukan itikat baik dalam
menangani pasiennya, dan telah melakukan perbuatan melawan hukum
dimana hak pasien dirugikan.
77
Pasien sebelumnya adalah ibu sekaligus kepala keluarga, yang
memberikan pendidikan dan membesarkan anaknya juga termasuk dalam
kerugian yang dialami oleh penggugat. Hal ini diatur dalam Pasal 1370
KUHPer yang menyebutkan “Dalam hal pembunuhan dengan sengaja atau
kematian seseorang karena kurang hati-hatinya orang lain, suami atau istri
yang ditinggalkan, anak atau orangtua korban yang lazimnya mendapat
nafkah dan pekerjaan korban, berhak menuntut ganti rugi yang harus dinilai
menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut
keadaan.” Oleh karena itu, Penggugat dapat meminta pertanggungjawaban
dari para dokter dan RSPI selaku Tergugat dengan melakukan gugatan
perdata untuk meminta ganti kerugian yakni:
1. Kerugian immaterial (kerugian yang tidak nyata)
Seperti pasien melakukan pengobatan yang amat panjang dan
melelahkan, sementara kelalaian penyampaian PA yang tentunya
mengakibatkan pasien semakin menderita selain itu diagnosa dan
terapi yang diberikan pada tahap berikutnya sangat terlambat
untuk mengatasi penyakit pasien yang berakibat kepada dekadensi
mental dan fisik serta berakhir dengan meninggalnya pasien. Para
penggugat merasa sangat kehilangan seorang ibu sekaligus kepala
rumah tangga yang selama ini mendidik dan membesarkan para
penggugat, menjelang akhir hayat sampai berpulangnya pasien
janji-janji dan tanggung jawab para tergugat tidak pernah
terwujud, bahkan pihak para tergugat mencari-car alasan dan terus
78
melemparkan tanggung jawab kepada pihak dokter yang
menangani pasien. Pada akhirnya pasien menjaddi korban dari
penanganan dan sikap para tergugat yang tidak profesional.
Beralasan kiranya para penggugat menuntut ganti rugi sebesar Rp.
20.000.000.000,- (dua puluh miyar rupiah). Mengingat
kepercayaan yang selama ini diberikan aleh pasien kepada para
tergugat sebagai pengelola rumah sakit besar, namun akhirnya
pasien telah mendapatkan perlakuan yang tidak sepatutnya.
2. Kerugian materil (kerugian nyata)
Bahwa selama pasien dirawat di RSPI biaya yang terus ditanggung
selama perawatan dimana kondisi kesehatan pasien tidak menentu
akibat kelalaian penyampaian PA, sehingga diagnosa yang
dilakukan menjadi tidak valid dan tidak jelas arahnya, biaya yang
telah dikeluarkan secara nyata sebesar Rp. 172.734.717(seratus
tujuh puluh dua juta tujuh ratus tiga puluh empat ribu tujuh ratus
tujuh belas).
Dalam hal ini penulis menguatkan pendapat Mahkamah Agung
dengan penjelasan diatas. Dalam pasal 46 Undang-undang Nomor 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dijelaskan bahwa rumah Sakit
bertanggung jawab terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh petugas pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Oleh karena itu, Rumah Sakit Pondok Indah, selaku penyelenggara
kesehatan dan Prof. Dr. Ichramsjah, Dr. Hermansyur, Prof Dr. I Made
79
Nazar, Dr Emil Taufik, Dr. Mirza Zoebir Dr. Bing Widjaja selaku petugas
pelayanan kesehatan harus bertanggung jawab secara tanggung renteng
mengganti kerugian yang dialami oleh penggugat.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Metode penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim pada
sengketa kesalahan diagnosa pada putusan Mahkamah Agung
Nomor 515/ PK./Pdt/2011 adalah metode interpretasi sistematis
yaitu penafsiran yang mmenafsirkan peraturan perundang-
undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-
undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Yaitu dengan
menafsirkan peraturan dalam konteks hukum perdata pada pasal
1362 KUHPerdata.
2. Mahkamah Agung telah tepat dalam pertimbangannya, dimana
hakim menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan
melawan hukum, walaupun dalam putusan Pengadilan Negeri
Nomor 349/ Pdt.G/ 2012/ PN.Jkt.Tim menyatakan gugatan
penggugat dikatakan premature karna tidak terlebih dahulu
melaporkan gugatannya kepada MKDKI, tetapi hal tersebut
tidaklah menjadi hambatan hakim dalam memutuskan perkara
hukum. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran Pasal 66 ayat (3) juga menjelaskan bahwa meski telah
dilakukan pengaduan, orang yang merasa dirugikan dapat
81
menuntut secara perdata maupun pidana sehingga penyelesaian
melewati MKDKI hanya pilihan hukum (choice of law). Terkait
dengan pokok perkara, petugas pelayanan medis telah melakukan
malapraktik. Hal ini dapat dilihat dari kelalaiannya menyebabkan
keterlambatan pengobatan bagi pasiennya Ny. Sita Dewati
Darmoko. Dalam Pasal 1366 KUHPer juga menjelaskan bahwa
setiap orang (dokter) tidak hanya bertanggung jawab atas setiap
perbuatan-perbuatannya melainkan juga karena kelalaiannya dan
kesalahannya. Kesalahan dari dokter yang tidak menangani pasien
lebih lanjut ketika memperoleh hasil PA terakhir yang menyatakan
ganas, namun setelah diketahui, tidak diberitahukan kepada para
penggugat untuk mengetahui kejujuran penyakit yang diderita
pasien, dan menimbulkan keluhan yang terus-menerus yang
dirasakan pasien, sampai akhirnya dinyatakan bahwa pasien
mengidap kanker liver stadium 4, para dokter tidak melakukan
peranannya sebagai dokter dalam memberikan pertolongan dan
pengobatan kepada pasien, sehingga akibat dari kejadian tersebut
penyakit pasien semakin parah, karena keterlambatan pengobatan
yang dilakukan oleh dokter di RSPI dan dalam hal ini dokter tidak
melakukan itikat baik dalam menangani pasiennya, dan telah
melakukan perbuatan melawan hukum dimana hak pasien
dirugikan. Pasien sebelumnya adalah ibu sekaligus kepala
keluarga, yang memberikan pendidikan dan membesarkan anaknya
82
dengan kasih sayang juga termasuk dalam kerugian yang dialami
oleh penggugat. Hal ini diatur dalam Pasal 1370 KUHPer yang
menyebutkan “Dalam hal pembunuhan dengan sengaja atau
kematian seseorang karena kurang hati-hatinya orang lain, suami
atau istri yang ditinggalkan, anak atau orangtua korban yang
lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan korban, berhak menuntut
ganti rugi yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan
kedua belah pihak, serta menurut keadaan.” Oleh karena itu,
Penggugat dapat meminta pertanggungjawaban dari para dokter
dan RSPI selaku Tergugat dengan melakukan gugatan perdata
untuk meminta ganti kerugian. Dalam pasal 46 Undang-undang
Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dijelaskan bahwa
rumah Sakit bertanggung jawab terhadap semua kerugian yang
ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh petugas pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Oleh karena itu, Rumah Sakit Pondok
Indah, selaku penyelenggara kesehatan dan Prof. Dr. Ichramsjah,
Dr. Hermansyur, Prof Dr. I Made Nazar, Dr Emil Taufik, Dr.
Mirza Zoebir Dr. Bing Widjaja selaku petugas pelayanan
kesehatan harus bertanggung jawab secara tanggung renteng
mengganti kerugian yang dialami oleh penggugat.
B. Saran
83
1. Penulis menyarankan agar dibuat undang-undang khusus yang
mengatur tentang malapraktik medis karena kasus ini sangat sering
menciderai rakyat kecil namun pengaturannya sampai saat ini belum di
buat secara rinci sehingga peraturan tersebut dapat dengan mudah
mengidentifikasi apakah tindakan dokter termasuk dalam malapraktik
atau bukan dan memberikan pengembalian hak secara penuh dari
dokter kepada pasien dalam bentuk pertanggungjawaban dokter.
2. Penulis menyarankan agar diadakan sosialisasi prihal
pertanggungjawaban dokter terhadap kesalahan atau malapraktik medis
kepada masyarakat umum melalui seminar-seminar umum agar
masyarakat tahu apa saja yang dapat dilakukan untuk mengetahui
apakah tindakan dokter merupakan malapraktik atau bukan dan
meminta pertanggungjawaban lewat jalur hukum jika terjadi
malapraktik.
3. Masayarat jangan asal melaporkan kasus ke pengadilan tapi harus lebih
aktif sesuai prosedur untuk mengadukan kesalahan yang dilakukan
petugas pelayan kesehatan melalui MKDKI selebihnya setelah
diputuskan oleh MKDKI barulah adukan ke pengadilan, karena
MKDKI telah ditunjuk oleh lembaga Negara untuk mengawasi serta
memberi sanksi karena sesuai dan mempuni apakah dokter melakukan
kesalahan atau tidak.
4. Kepada petugas pelayanan medis (dokter), untuk melakukan
pengobatan terhadap pasien dengan menghormati hak-hak pasien,
84
melakukan kewajiban dokter, menaati standar prosedur dan standar
operasional, memiliki wewenang untuk melakukan tindakan medis dan
tidak melanggar ketentuan-ketentuan lain dalam undang-undang.
5. Kepada para Hakim, untuk lebih cermat dan teliti dalam mengambil
keputusan serta mengedepankan asas kemanfaatan (utility), keadilan
(etis) dan kepastian hukum (normatif dogmatic).
85
DAFTAR PUSTAKA
Adji Seno Oemar, Prof, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung jawaban
Pidana Dokter,(Jakarta; Erlangga, 1991)
Al-Zuhailiy Wahbah, Ushul fiqh al-Islamiy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), Jilid I
Achadiat M Chrisdiono., Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam
Tantangan Zaman, (Jakarta: EGC, 2007).
Ahmadi M, Fahmi, Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah, 2010).
Ali Ahmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
(Jakarta: PT Gunung Agung, 2002),
Amir Amri, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika Jakarta 1997
Arto Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004)
Azwar Bahar , Sang Dokter, (Jakarta: Kesaint Blanc 2002),
Azwar Azrul, Kesehatan Kini dan Esok, Jakarta Ikatan Dokter Indonesia 1990
Chazawi Adami, Malaraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007).
Hadiati Hermien dan Keoswadji. Hukum dan Masalah Medik. Surabaya :
Airlangga, 1984.
Hariyani Safitri, Sengketa Medik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan Antara
Dokter Dengan Pasien, (Jakarta: Diadit Media, 2005)
Idhamy Dahlan, Karekteristik Hukum Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994),
J Guwandi, Malpraktek Medik. Jakarta: Universitas Indonesia, 1993.
Johan Bahder, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, jakarta, PT.
Rieneka Cipta 2005
Komalawati Veronika, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002),
M Aziz Noer, Laporan Penelitian Hukum Tentang Hubungan Tenaga Medik,
Rumah Sakit dan Pasien, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Jakarta 2010
86
Mertokusumo Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty, 2007).
Miru Ahmadi, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2011),
Muhamad Abdulkadir, Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1982)
Nasution AZ, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, CV.
Tiagra Utama 2002
Nasution AZ, dkk, Liku-Liku Perjalanan Undang-Undang Perlindungan Kosumen,
(Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, 2011),
Prodjodikoro R Wirjono. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke 9, Sumur
Bandung : 1984
Rifai Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)
Sampurna Budi, dkk, Bioetik dan Hukum Kedokteran, (Jakarta:Pustaka Dwipar,
2007),
Sidabalok Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung:
PT.Citra Aditya Bakti, 2006).
Siswati Sri, Etika dan Hukum Kesehatan, (Depok: PT RajaGrafindo Persada,
2013)
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi 2006, (Jakarta:
Grasindo, 2006)
Soejami, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, (Bandung , Citra Aditya,
1992)
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 1985)
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1996).
Supriadi Chandrawila Willa , S.H, Hukum Kedokteran, (Anggota IKAPI :
Mondar Maju, 2001)
Tim Penyusun FSH, Pedoman Penelitian Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan
dan Jaminan Mutu (PPJM), 2012
Triwibowo Cecep, Etika Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014)
87
Yahya Mukhtar dan Fathurrahman,Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami.(Bandung: Al-Ma’arif, 1993), Cet. 3
Yunanto Ari, Helmi. Hukum Pidana Malpraktik Medik Tinjauan dan Presfektif
Medikolegal, (Yogyakarta, CV. AND OFFSET, 2010)
Wahjoepramono J Eka Julianta Konsekuensi Hukum Dalam Profesi Medik,
(Bandung: Karya Putra Darwati, 2012),
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
Nomor : 515 PK/Pdt/2011
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memeriksa perkara perdata dalam peninjauan kembali telah memutuskan sebagai berikut
dalam perkara :
1. PITRA AZMIRLA ;
2. DAMITRA ALMIRA, keduanya bertempat tinggal di Jalan
Cilandak Tengah No. 19, Cilandak, Jakarta Selatan Selatan;
dalam hal ini memberi kuasa kepada Ninung S. B. Bremi,
SH.,MH.Kes, dkk, Advokat dari HNW Advocates and Legal
Consultants, berkantor di Jakarta Selatan, Patra Office Tower
17th floor 1702, Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 32-34,
Jakarta Selatan Selatan, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal
2 Mei 2011 ;
Para Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Para Termohon
Kasasi / Penggugat I, II / Para Terbanding ;
melawan :
1 PT. BINARA GUNA MEDIKTAMA, berkedudukan di Jalan
Metro Duta Kav. UE, Pondok Indah, Jakarta Selatan Selatan ;
2 Dr. HERMANSUR KARTOWISASTRO, SpB-KBD, bertempat
tinggal di Jalan Metro Duta Kav. UE, Pondok lndah, Jakarta
Selatan Selatan ;
3 Prof. Dr. I MADE NAZAR, SpPA, bertempat tinggal di Jalan
Metro Duta Kav. UE, Pondok Indah, Jakarta Selatan Selatan;
4 Dr. EMIL TAUFIK, SpPA, bertempat tinggal di Jalan Metro
Duta Kav. UE, Pondok Indah, Jakarta Selatan Selatan ;
5 Dr. MIRZA ZOEBIR, SpPD, bertempat tinggal di Jalan Metro
Duta Kav. UE, Pondok lndah, Jakarta Selatan Selatan ;
6 Dr. BING WlDJAJA, SpPK, bertempat tinggal di Jalan Metro
Duta Kav. UE, Pondok Indah, Jakarta Selatan Selatan ;
Para Termohon Peninjauan Kembali dahulu Para Pemohon
Kasasi / Tergugat I, II, IV, V, VI, VII / Pembanding I ;
dan
Hal. 1 dari 23 hal. Put. No. 515 PK/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
1 KOMITE MEDIK RUMAH SAKIT PONDOK INDAH,
berkedudukan di Jalan Metro Duta Kav. UE, Pondok Indah,
Jakarta Selatan Selatan ;
2 Prof. Dr. ICHARMSJAH A RACHMAN, Sp.OG, bertempat
tinggal di Jalan Metro Duta Kav. UE, Pondok Indah, Jakarta
Selatan Selatan ;
Para Turut Termohon Peninjauan Kembali dahulu Para Turut
Termohon Kasasi / Turut Tergugat, Tergugat III / Turut
Terbanding, Pembanding II ;
Mahkamah Agung tersebut ;
Membaca surat-surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa Para Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Para Termohon Kasasi / Penggugat I, II / Para
Terbanding telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan
Mahkamah Agung No. 1563 K / Pdt / 2009 tanggal 29 Desember 2009 yang telah
berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Para Termohon Peninjauan
Kembali dahulu sebagai Para Pemohon Kasasi / Tergugat I, II, IV, V, VI, VII /
Pembanding I dan Para Turut Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Para Turut
Termohon Kasasi / Turut Tergugat, Tergugat III / Turut Terbanding, Pembanding II
dengan posita gugatan sebagai berikut :
Bahwa Para Pengugat adalah ahli waris dari almarhumah Ny. Sita Dewati
Darmoko yang merupakan ibunda dari Para Penggugat.
Bahwa almarhumah Ny. Sita Dewati Darmoko adalah pasien Rumah Sakit
Pondok Indah (Tergugat I).
Bahwa pada tanggal 12 Februari 2005 almarhumah menjalani operasi
pengangkatan tumor Ovarium di Rumah Sakit Pondok Indah (Tergugat I).
Bahwa operasi dilakukan oleh team dokter RSPI dimana bertindak selaku ketua
team adalah Prof. Dr. Icharmsjah A. Rachman (Tergugat III) dengan anggota terdiri dari
Dr. Hermansyur Kartowisatro (Tergugat II) dan Prof. Dr. I Made Nazar (Tergugat IV).
Bahwa setelah tindakan operasi dilakukan oleh Prof. Dr. Icharmsjah A. Rachman
(Tergugat IlI) hasilnya (tumor ovadium) diserahkan kepada Prof. Dr. I Made Nazar
Tergugat IV) untuk diperiksa di laboratorium pathologi guna mengetahui apakah tumor
itu ganas atau tidak.
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dilaboratorium pathologi tertanggal 12
Februari 2005 yang diserahkan oleh Prof. Dr. I Made Nazar (Tergugat IV) kepada Prof.
Dr. Icharmsjah A. Rachman (Tergugat IlI) dinyatakan tumor tersebut tidak ganas.
Bahwa kemudian terdapat hasil PA terakhir pada tanggal 16 Februari 2005 yang
terindikasikan ganas dan ternyata hasil tersebut tidak disampaikan oleh Para Tergugat
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
kepada almarhumah maupun Para Penggugat, sehingga almarhumah maupun Para
Penggugat masih berkesimpulan tidak terdapat indikasi tumor ganas pada diri
almarhumah.
Bahwa kemudian pada November 2005 almarhumah terpaksa dibawa kembali ke
Rumah Sakit Pondok Indah (Tergugat I) karena kondisi almarhumah semakin kritis,
suhu tubuhnya tinggi dan khawatir terkena demam berdarah. Setibanya di Rumah Sakit
Pondok lndah, pemeriksaan dilakukan oleh Dr. Mirza Zoebir (Tergugat VI) dimana hasil
pemeriksaan tidak jelas, katanya verdaht typus, namun melihat Medical Record
almarhumah yang baru dioperasi tumor pada bulan Februari 2005 tanpa memperhatikan
hasil PA tanggal 16 Februari 2005 maka Dr. Mirza Zoebir (Tergugat VI) memberi saran
dan tindakan-tindakan antara lain :
a. Tanggal 7 November 2005.
Jenis pemeriksaan : USG Abdomen
Radiologist Dr. Chandra J
Kesan : Hepatemagalie dengan tanda-tanda chronic hepatic dease, tampak dua
massnodule pada lobus kanan hepar (ukuran + 2,0 cm dan + 1,2 cm) tak
menyingkirkan adanya Maligannicy, usul dilakukan CT Scan Abdomen untuk
konfirmasi lebih lanjut.
b. Tanggal 8 November 2005.
Jenis pemeriksaan : CT Scan Abdomen (minas hepar)
Radiologist : Hanya tanda tangan, tidak ada nama tertulisnya.
Kesan : Tampak Inhomo Genous mass kecil-kecil ukuran
1,9 x 1,7 x 1,5 cm dan 1,4 x 1,1 x 1,5 cm berbatas
tegas, hypondens, letak dekat kubah liver dengan
adanya minimal rimenhanceme dan internal-
inhomogenecity, tak tampak bercak calcificasi,
susp. proses meta (DD / multiple hepatic cyst).
Karena menurut Dr. Mirza Zoebir (Tergugat VI) ada sesuatu di lever almarhumah tetapi
belum perlu diapa-apakan.
Bahwa kemudian pada bulan Februari 2006 almarhumah kembali menemui Prof.
Dr. Ichramsiah (Tergugat IlI), karena adanya keluhan yang terus dirasakan bahkan ada
benjolan yang sangat terasa disebelah kiri perut. Kemudian Prof. Dr. Ichramsjah
(Tergugat IlI) merekomendasikan kepada Dr. Hermansyur (Tergugat II) berhubung
benjolan tersebut bukan "areanya" dia. Almarhumah kemudian membuat janji dengan
Dr. Hermansyur (Tergugat II), dan setelah keduanya bertemu disarankan untuk CT Scan
pada tanggal 15 Februari 2006. Berdasarkan hasil CT Scan, Dr. Hermansyur (Tergugat
II) memberikan kesimpulan bahwa almarhumah mengalami kanker liver stadium 4,
belum hilang keterkejutan almarhumah atas kesimpulan tersebut, Dr. Hermansyur
Hal. 3 dari 23 hal. Put. No. 515 PK/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
(Tergugat II) malah melempar kembali penanganan penyakit almarhumah kepada Prof.
Dr. Ichramsjah (Tergugat IlI) dengan alasan bahwa Dr. Hermansyur (Tergugat II) bukan
yang menangani pertama kali masalah penyakit almarhumah. Sesampainya almarhumah
menghadap kembali ke Prof. Dr. Ichramsjah (Tergugat IlI), justru Prof. Dr. Ichramsjah
(Tergugat Ill) terheran-heran dengan kesimpulan tersebut.
Bahwa melihat kenyataan demikian almarhumah dan Para Penggugat merasa
sangat kebingungan atas sikap dan kesimpulan Para Tergugat yang tidak menunjukan
profesionalitas dan tanggung jawab. Almarhumah merasa sangat kecewa dengan
pelayanan yang diberikan oleh Para Tergugat mengingat almarhumah telah memberikan
kepercayaan penanganan medis yang cukup lama dengan biaya yang sangat besar dan
memberatkan beban Para Penggugat, namun hasil yang diperoleh jauh dari harapan
almarhumah maupun Para Penggugat.
Bahwa atas saran dan bantuan teman lama dengan kekecewaan yang sangat
mendalam akhirnya almarhumah memutuskan untuk mengganti rumah sakit dan dokter
yang lama, sampai akhirnya bertemu dengan Dr. Aru yang kemudian menjadi dokter
yang menangani penyakit almarhumah, dan atas saran dari Dr. Aru almarhumah terpaksa
harus mengulang kembali semua penelitian CT Scan di Rumah Sakit Medistra.
Bahwa Dr. Aru juga menyuruh Para Tergugat untuk mengambil sample jaringan
tumor almarhumah yang berada di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta Selatan untuk
kemudian diteliti di Singapore. Hasilnya ternyata terdapat perbedaan dengan Rumah
Sakit Pondok Indah (Tergugat I) yang dimana pada hasil awalnya disimpulkan tidak
ganas.
Tanggal 6 Maret 2006 :
Reported by Dr. Wong Su Yong
Consultant Pathologist Glen Eagles Hospital
Conclusion :
Further review of 2 poorly prepared paraffin blocks and H & E stained sections :
- 1 blocks consistent with a moderately differentiated endometrioid adenocarcinoma of
the ovary.
- block consistent with an endometrial tumour of borderlinemalignancy with focal
endocervical meteplasia.
Disimpulkan terdapat tumor ganas pada diri almarhumah dan atas perbedaan hasil
tersebut kemudian diputuskan bersama baik dari Dr. Aru dan almarhumah serta
keluarga, bahwa Para Penggugat menyetujui dilaksanakan kemo yang direncanakan
sebanyak 6 kali.
Bahwa pada tanggal 16 April 2006, setelah dilakukan kemo sebanyak 2 kali,
pada tanggal ini almarhumah suhu badannya meninggi dan ketika diajak berbicara
terdengar seperti orang linglung dan disorientasi. Para Penggugat kemudian membawa
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
almarhumah ke UGD RS Medistra yang selanjutnya diputuskan untuk di opname Ketika
Para Penggugat menceritakan kepada Dr. Aru dengan keadaan daya pikir dan daya ingat
almarhumah yang kelihatannya terus menurun. Dr. Aru suggest terhadap Para Penggugat
agar almarhumah dilakukan CT Scan brain.
Hasil pemeriksaan pada tanggal 18 April 2006 :
Jenis Pemeriksaan : CT Scan brain
Radiologist : Dr. Sri Inggriani Sp.Rad
Kesan : Lacunas infarot kecil diperiventrikuler kanan Area oedema
dengan focus nodul kecil didaerah cortical subcorcital
lobus parietalis posterior, bisa dicurigai sebagai focus
metastasis dini.
Bahwa jelas terlihat proses penanganan medis selanjutnya pasca 16 Februari
2005 dimana pihak Para Tergugat telah lalai menyampaikan rekam medik PA tanggal 16
Februari 2005 tersebut, sehingga berakibat dari waktu kewaktu kesehatan almarhumah
terus saja merosot, bahkan para dokter Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta Selatan
sempat terkejut dan terkesan tidak tahu menahu dengan hasil PA yang menyatakan
adanya tumor ganas tersebut.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut terlihat kesalahan PT. Guna Mediktama
(Tergugat I) sebagai pelayan medis selaku pemilik dan pengelola Rumah Sakit Pondok
Indah di Jakarta Selatan dalam kasus ini kurang tanggap karena :
a. Tidak melakukan koordinasi diantara sesama dokter di Rumah Sakit Pondok lndah
Jakarta Selatan.
b. Tidak melaksanakan pelayanan medis dengan mengutamakan penyembuhan dan
pemulihan pasien secara terpadu dengan upaya peningkatan (promotif) dan
pencegahan (preventif).
c. Pihak Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta Selatan dalam hal ini PT. Guna Mediktama
sebagai Tergugat I tidak melaksanakan perawatan terhadap pasien berdasarkan
standar pelayanan medis.
Bahwa selanjutnya antara almarhumah yang didampingi penasehat hukumnya
mengadakan pertemuan dengan pihak PT. Guna Mediktama (Tergugat I) dan penasehat
hukumnya. Dalam beberapa pertemuan Para Penggugat telah dijanjikan akan
mendapatkan kompensasi dan ganti rugi sebesar Rp. 400.000.000,- dan selanjutnya
meningkat menjadi Rp.1.000.000.000,- walaupun kesemua nilai yang ditawarkan jauh
dari rasa keadilan namun faktanya tawaran tersebut hanyalah isapan jempol belaka.
Bahwa meskipun Para Penggugat telah 3 (tiga) kali memberikan teguran tetapi
Para Tergugat sama sekali tidak menunjukkan itikad baik untuk memberikan ganti rugi
kepada almarhumah Ny. Sita Dewati Darmoko sampai meninggal dan Para Penggugat.
Hal. 5 dari 23 hal. Put. No. 515 PK/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa berdasarkan fakta-fakta kelalaian penyampaian PA oleh Para Tergugat
pada tanggal 16 Februari 2005 serta pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan
standar pelayanan medis, yang berakibat terlambatnya mengantisipasi / mencegah
penyakit almarhumah disertai tidak adanya itikad baik untuk menyelesaikan persoalan
tersebut dengan merealisir kompensasi dan ganti rugi membuktikan Para Tergugat
nyatanya telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Bahwa sebagai akibat adanya perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan
oleh Para Tergugat tersebut dimana Para Penggugat telah mengalami kerugian berupa :
• Kerugian materil.
Bahwa selama almarhumah dirawat di RS. Pondok Indah (Tergugat I) biaya yang
harus ditanggung selama perawatan dimana kondisi kesehatan almarhumah tidak
menentu akibat kelalaian penyampaian PA, sehingga diagnosa yang dilakukan
menjadi tidak valid dan tidak jelas arahnya, biaya yang telah dikeluarkan secara nyata
sebesar Rp. 172.734.717,- (seratus tujuh puluh dua juta tujuh ratus tiga puluh empat
ribu tujuh ratus tujuh belas rupiah).
• Kerugian Immaterial.
Bahwa almarhumah mengalami proses pengobatan yang panjang dan melelahkan,
sementara kelalaian penyampaian PA yang tentunya mengakibatkan almarhumah
semakin menderita selain itu diagnosa dan terapi yang diberikan pada tahap
berikutnya sangat terlambat untuk mengatasi penyakit almarhumah yang berakibat
kepada dekadensi mental dan fisik serta berakhir dengan meninggalnya almarhumah.
Para Penggugat merasa sangat kehilangan seorang ibu sekaligus kepala rumah tangga
yang selama ini mendidik dan membesarkan Para Penggugat, menjelang akhir hayat
sampai berpulangnya almarhumah janji-janji dan tanggung jawab Para Tergugat tidak
pernah terealisir, bahkan pihak Para Tergugat mencari-cari alasan dan terus
melemparkan tanggung jawab kepada pihak dokter yang menangani almarhumah.
Pada akhirnya almarhumah menjadi korban dari penanganan dan sikap Para Tergugat
yang tidak professional. Beralasan kiranya Para Penggugat menuntut ganti rugi
sebesar Rp. 20.000.000,000,- (dua puluh milyar rupiah) mengingat kepercayaan yang
selama ini diberikan oleh almarhumah kepada Para Tergugat sebagai pengelola rumah
sakit besar, namun akhirnya almarhumah telah mendapatkan perlakuan yang tidak
sepatutnya.
Bahwa oleh karena Para Tergugat telah beritikad tidak baik, maka untuk
menjamin agar putusan ini kelak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya (tidak
illusoir) mohon agar diletakkan sita jaminan terlebih dahulu atas barang bergerak dan
tidak bergerak berupa tanah, bangunan dan berikut isinya yang terletak di Jalan Metro
Duta Kav, UE - Pondok Indah Jakarta Selatan yang setempat dikenal dengan nama RS
Pondok Indah.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa oleh karena gugatan ini didasarkan pada bukti-bukti otentik yang sulit
dibantah kebenarannya maka beralasan kiranya putusan perkara ini dinyatakan dapat
dilaksanakan terlebih dahulu meskipun terdapat verzet, banding, maupun kasasi.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat I dan II mohon kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar memberikan putusan sebagai berikut :
1 Menerima dan mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya.
2 Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
3 Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi
kepada Para Penggugat secara tunai baik kerugian material serta kerugian
immaterial sebesar Rp. 20.172.734.717,- (dua puluh milyar seratus tujuh puluh
dua juta tujuh ratus tiga puluh empat ribu tujuh ratus tujuh belas rupiah).
4 Menghukum Para Tergugat untuk membayar secara tanggung renteng uang paksa
(Dwangsom) kepada Para Penggugat sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah), untuk setiap hari keterlambatannya memenuhi isi putusan ini terhitung
sejak putusan ini diucapkan.
5 Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan atas harta
kekayaan Tergugat baik bergerak maupun tidak bergerak setempat yang dikenal
sebagai RS Pondok Indah Jalan Metro Duta Kav UE - Pondok Indah Jakarta
Selatan.
6 Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada verzet,
banding, maupun kasasi (Uitvoerbaar bij voorraad).
7 Menghukum Para Tergugat membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara
ini.
Atau
Apabila Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Selatan mempunyai pendapat lain mohon
putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo et Bono).
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat I, II, IV, V, VI dan VII
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:
GUGATAN PARA PENGGUGAT TIDAK JELAS DAN KABUR (OBSCURUM
LlBELLUM).
A. PERMOHONAN GANTI RUGI TIDAK DIRINCI.
Bahwa berdasarkan Yurisprudensi, teori dan praktek hukum acara perdata yang
berlaku, maka suatu permohonan ganti rugi berdasarkan suatu Gugatan perbuatan
melawan hukum haruslah melampirkan perhitungan kerugian yang rinci dengan
didasarkan oleh bukti-bukti yang sah dan terperinci. Jika hal ini tidak dipenuhi maka
Gugatan tersebut dapat dikategorikan, diklasifikasikan sebagai Gugatan yang kabur dan
tidak jelas (obscurum libellum).
Hal. 7 dari 23 hal. Put. No. 515 PK/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Sebagaimana dapat Majelis Hakim lihat bahwa dalam Gugatan halaman 3
sampai dengan 6, Para Penggugat sama sekali tidak menyatakan secara rinci dengan
disertai bukti-bukti yang sah yang mendukung pernyataan mengenai kerugian yang Para
Penggugat alami.
Bahkan jika memang Para Penggugat dapat membuktikan adanya suatu tindakan
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Para Tergugat -quad non-, Para
Penggugat juga harus dapat secara rinci dan berdasarkan bukti-bukti yang sah
menjabarkan kerugian yang dialami oleh Para Penggugat berkaitan dengan perbuatan
melawan hukum tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Prof. Dr. R. Wirjono
Prodjodikoro, SH, dalam bukunya "Hukum Acara Perdata Indonesia", edisi ke 9,
penerbit Sumur Bandung, 1984, halaman 16 yang menyatakan (kutipan) :
"Seorang yang dalam tindakannya merugikan orang lain, tidak dapat dikatakan berdasar
atas suatu hak dan karena itu dia diwajibkan mengganti kerugian, tetapi hak tersebut
haruslah berdasarkan atas peraturan hukum”.
Selain itu, permohonan kerugian yang harus dinyatakan dalam suatu penjelasan
yang rinci dengan didukung oleh bukti-bukti yang sah, telah juga dianut oleh hukum
acara di Indonesia dan juga dianut oleh lembaga peradilan di Indonesia ini. Hal ini
dibuktikan dengan adanya :
Putusan Mahkamah Agung No. 550 K/SIP/1979 tanggal 8 Mei 1980 yang menyatakan
(kutipan) :
"Petitum tentang ganti rugi harus dinyatakan tidak dapat diterima karena tidak diadakan
perincian mengenai kerugian-kerugian yang dituntut".
Putusan Mahkamah Agung No. 19 K/SIP/1983 tanggal 3 September 1983 yang
menyatakan (kutipan) :
"Karena Gugatan ganti rugi tidak diperinci, lagi pula belum diperiksa oleh Judex Facti,
Gugatan ganti rugi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima''.
Berdasarkan penjelasan di atas, adalah wajar dan sepantasnya bagi Majelis
Hakim yang terhormat yang memeriksa perkara ini untuk menolak Gugatan a quo atau
setidak-tidaknya tidak menerima Gugatan a quo (om de dagvaarding niet ontvankelijk te
verklaren) dikarenakan Gugatan Para Penggugat tidak jelas (obscurum libellum) dengan
dasar bahwa Para Penggugat tidak merinci dan memberikan buki-bukti yang sah dan
valid berkaitan dengan ganti rugi dalam Gugatannya.
B. POSITA TIDAK MENDUKUNG PETITUM.
Bahwa selain Gugatan Para Penggugat tidak dapat menjelaskan dan
membuktikan adanya kerugian, Gugatan a quo juga kabur (obscurum libellum) karena
posita dalam Gugatan tersebut tidak mendukung dan tidak relevan dengan petitumnya
(vide : Putusan Mahkamah Agung tanggal 8 Desember 1982 No. 1075 K/Sip/1982).
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hukum acara perdata di Indonesia telah mengatur secara tegas bahwa merupakan
syarat mutlak bagi Para Penggugat untuk menjelaskan dan menjabarkan secara benar
duduk perkara dan hukumnya pada bagian posita, yang kemudian baru pada bagian
petitum Para Penggugat memohonkan keinginannya kepada Pengadilan yang
berwenang. Jika dikaitkan dengan kasus ini jelas pada posita Gugatan, Para Penggugat
tidak pernah sama sekali menjelaskan tentang dasar hukum dan / atau bukti-bukti dan /
atau relevansinya dengan perkara perdata ini sehubungan petitum dwangsom. Hal ini
jelas sangat bertentangan dengan hukum acara dan doktrin yang berlaku di Indonesia,
yang antara lain berdasarkan pendapat Darwan Prinst, SH, dalam bukunya yang berjudul
"Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata", Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung 2002, cetakan ketiga revisi, halaman 39, yang menyatakan secara tegas
(kutipan) :
"Dengan demikian, hubungan antara posita dengan petitum sangat erat, karena posita
adalah dasar membuat petitum. Petitum tidak boleh bertentangan dan melebihi posita.
Hal-hal yang tidak diuraikan dalam posita tidak dapat dimohonkan dalam petitum"
Selain itu, tuntutan uang paksa (dwangsom) yang diajukan oleh Para Penggugat
tersebut adalah bertentangan dengan hukum acara perdata di Indonesia, oleh karena
lembaga uang paksa tersebut (dwangsom) hanya dapat dijatuhkan terhadap putusan yang
bersifat kondemnator yang bukan merupakan putusan pembayaran sejumlah uang. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 606a RV, yang berbunyi sebagai berikut :
"Sepanjang suatu keputusan Hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain
daripada membayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan, bahwa sepanjang atau setiap
kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah
uang yang besarnya ditetapkan dalam Keputusan Hakim, dan uang tersebut dinamakan
uang paksa."
Selain itu hal ini juga dipertegas dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 791 K/
Sip/1972 yang menyatakan (kutipan) :
"Uang paksa (dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang".
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, jelas tuntutan uang paksa (dwangsom) dalam
perkara perdata ini telah melanggar ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, oleh
karena Para Penggugat juga menuntut kerugian berupa tindakan pembayaran uang atas
perbuatan Para Tergugat yang dianggap telah melanggar hukum -quad non-.
Sesuai dengan penjelasan di atas, maka adalah wajar dan sepantasnya bagi
Majelis Hakim yang terhormat yang memeriksa perkara ini untuk menolak Gugatan a
quo atau setidak-tidaknya tidak menerima Gugatan a quo (om de dagvaarding niet
ontvankeljk te verklaren) dikarenakan Gugatan Para Penggugat tidak jelas (obscurum
libellum) diakibatkan karena posita tidak mendukung petitum.
Hal. 9 dari 23 hal. Put. No. 515 PK/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
C. PENJELASAN PARA PENGGUGAT TERHADAP KETERLlBATAN DAN
TINDAKAN TERGUGAT I TIDAK JELAS.
Bahwa TERGUGAT I menolak dengan tegas seluruh dalil-dalil dan dasar hukum
yang diajukan oleh Para Penggugat dalam Gugatannya, dikarenakan berdasarkan hukum
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, tidak ada dasar hukum
bagi diajukannya gugatan oleh Para Penggugat terhadap Tergugat I dan Para Pengugat
tidak dapat membuktikan bahwa Tergugat I telah melakukan suatu tindakan perbuatan
melawan hukum terhadap Para Penggugat. Hal ini didukung oleh bukti-bukti sebagai
berikut :
Mohon perhatian Majelis Hakim yang terhormat, jika diteliti secara seksama
Majelis Hakim akan melihat bahwa di dalam Gugatan a quo, tidak ada satupun
penjelasan dan Penggugat yang menjelaskan adanya tindakan yang dilalaikan oleh
Tergugat I yang telah secara langsung merugikan Para Penggugat. Dalam hal ini Para
Penggugat selalu menjelaskan dan menerangkan tindakan-tindakan yang telah dilakukan
oleh Para Tergugat lainnya saja dimana kemudian tindakan-tindakan tersebut dengan
tanpa bukti dan penjelasan yang sah kemudian didalilkan sebagai berkaitan dengan
tindakan-tindakan dari Tergugat I quod non. Hal ini dapat Majelis Hakim lihat pada :
i. butir 7, halaman 3 dari Gugatan.
ii. butir 10, halaman 4 dan Gugatan.
iii. butir 12, halaman 4 dari Gugatan. Dan
iv. butir 14, halaman 4 dari Gugatan.
Berdasarkan dalil-dalil dalam butir-butir tersebut di atas dapat Majelis Hakim
yang terhormat lihat bahwa ada beberapa hal yang sangat janggal dan juga tidak jelas
(obscurum liibellum), karena Para Penggugat tidak dapat menjelaskan perbuatan apa
yang dilakukan oleh Tergugat I yang telah merugikan Para Penggugat, semua tindakan
dan perbuatan yang dijelaskan dalam Gugatan a quo adalah merupakan tindakan dan
perbuatan yang dilakukan oleh Para Tergugat lainnya bukan Tergugat I. Para Penggugat
mencoba untuk mengkaitkan perbuatan Para Tergugat dengan Tergugat I, serta pada
butir 15 dari Gugatan a quo, tanpa dasar hukum dan bukti yang jelas. Para Penggugat
telah menuduh bahwa Tergugat I kurang tanggap quod non berdasarkan hal-hal yang
hanya merupakan suatu asumsi saja tanpa didukung oleh bukti-bukti yang valid dan sah.
Sesuai dengan pendapat para pakar hukum di Indonesia, seharusnya kualifikasi
dan tindakan dari Tergugat I yang didalilkan secara tidak sah oleh Para Penggugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum dan telah merugikan Para Penggugat quad non
haruslah dijabarkan dan dibuktikan secara jelas oleh Para Penggugat. Salah satu pakar
hukum yang menjelaskan agar pihak Penggugat dalam Gugatannya harus menjabarkan
dan membuktikan secara jelas tindakan dari pihak Tergugat adalah Darwan Prinst, SH.,
dalam bukunya yang berjudul "Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata",
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung 2002, cetakan ketiga revisi, halaman 37, yang
menyatakan secara tegas (kutipan) :
"Kualifikasi adalah suatu perumusan mengenai perbuatan materiel maupun formal dan
Tergugat, yang dapat berupa perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad,
onrechmatige overheids daad), wanprestasi dan lain-lain.
Pada kualifkasi itu harus diuraikan juga bagaimana caranya perbuatan itu dilakukan oleh
masing-masing Tergugat. Misalnya, apakah melanggar hak subjektif orang lain,
melanggar undang-undang, bertindak bertentangan dengan kewajibannya, bertentangan
dengan kesusilaan atau kebiasaan, bertindak sewenang-wenang, lalai mengontrol
pekerjaan bawahan, tidak melaksanakan kewajiban, terlambat melaksanakan kewajiban,
melaksanakan kewajiban secara salah, dan lain-lain.
Kualifikasi ini sedemikian pentingnya sehingga biasanya disusun secara alternatif.
Tujuannya agar jangan sampai perbuatan Tergugat lepas dari surat gugatan. Suatu
pengkualifikasian yang salah dalam gugatan akan menyebabkan gugatan tidak terbukti
dan karenanya akan ditolak oleh Pengadilan".
Mohon perhatian Majelis Hakim yang terhormat, dikarenakan di dalam Gugatan
a quo telah terlihat bahwa sebenarnya Para Penggugat tidak dapat menjelaskan dan tidak
dapat membuktikan sehubungan dengan tindakan apa yang telah dilakukan oleh
TERGUGAT I sendiri secara langsung yang telah mengakibatkan adanya perbuatan
melawan hukum atau mengakibatkan adanya kerugian yang diderita oleh Para
Penggugat, maka adalah wajar dan sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia, bagi
Majelis Hakim yang terhormat untuk menolak Gugatan a quo atau setidak-tidaknya
tidak menerima Gugatan a quo (om de dagvaarding niet ontvankelijk te verklaren)
dikarenakan Gugatan Para Penggugat tidak jelas (cbscurum libellum) dalam
menjelaskan dan membuktikan ada atau tidaknya tindakan Tergugat I yang telah
merugikan Penggugat.
Hal ini juga telah diakui dan dijalankan oleh beberapa putusan Mahkamah Agung
yang menyatakan bahwa orang bebas menyusun dan merumuskan Surat Gugatan, asal
cukup memberi gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar tuntutan
(Yurisprudensi Mahkarnah Agung No. 547 K / Sip / 1912 tertanggal 15 Maret 1970) dan
Putusan Mahkamah Agung No. 492 K / Sip / 1970 tertanggal 16 Desember 1970 yang
menyatakan sebagai berikut (kutipan) :
"Menurut pendapat Mahkamah Agung Gugatan Konvensi harus dinyatakan tidak dapat
diterima atas dasar Gugatan yang tidak sempurna, setidak-tidaknya yang dituntut kurang
jelas".
D. PARA PENGGUGAT SALAH MENYEBUTKAN NAMA DARI TERGUGAT I
DAN JABATAN DARI TERGUGAT VII.
Hal. 11 dari 23 hal. Put. No. 515 PK/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa Para Penggugat dalam Gugatan a quo telah salah menyebutkan nama dari
Tergugat I dimana pemilik dan pengelola RSPI dimana nama dan badan hukum yang
mengelola RSPI adalah PT. BINARA GUNA MEDIKTAMA dan bukan PT. GUNA
MEDIKTAMA. Kesalahan penyebutan nama ini menyebabkan tidak jelasnya subjek
dari Gugatan a quo apakah terhadap PT. BINARA GUNA MEDIKTAMA selaku
pemilik dan pengelola RSPI atau PT. GUNA MEDIKTAMA suatu badan hukum yang
mungkin ada hubungannya dengan RSPI.
Walaupun atas Gugatan a quo PT. BINARA GUNA MEDIKTAMA selaku
pemilik dan pengelola RSPI dalam Gugatan a quo juga mengajukan jawabannya, akan
tetapi hal tersebut tidak membenarkan kesalahan Para Penggugat dalam penyusunan
Gugatan a quo yang menyebabkan Gugatan a quo menjadi kabur dan tidak jelas
(obscurum libellum).
Selain itu, Para Penggugat dalam Gugatan a quo juga telah salah menyebutkan
jabatan dari Tergugat VII dirnana Tergugat VII bukanlah Kepala Laboratorium RSPI.
Akibat dari kesalahan penyebutan jabatan tersebut maka Gugatan a quo menjadi tidak
jelas apakah ditujukan kepada Tergugat VII selaku pribadi atau kepada Kepala
Laboratorium RSPI. Akan sangat tidak adil apabila pihak yang tidak terlibat dalam
permasalahan hukum yang menjadi dasar Gugatan a quo ikut menanggung sesuatu yang
bukan merupakan perbuatannya. Oleh karena itu adalah wajar dan pantas apabila
Majelis Hakim Yang Terhormat menolak atau menyatakan Gugatan a quo tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Tergugat III mengajukan eksepsi
yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut :
1. Bahwa Tergugat III menolak secara tegas seluruh dalil-dalil gugatan Penggugat
kecuali yang diakui secara tegas.
. Bahwa Gugatan Penggugat salah orang (Error in Person).
Bahwa gugatan yang diajukan Penggugat yang menggugat Tergugat III adalah salah
orang (Error in Person). Karena Penggugat menggugat Tergugat III adalah yang
bernama Prof. Dr. ICHARMSJAH A RACHMAN, SpOG sedangkan Klien kami
sesuai dengan KTP dengan No. 09.5006. 26124500641 yang benar adalah bernama
Prof. Dr. ICHRAMSJAH A. RACHMAN, SpOG.
3. Bahwa gugatan Penggugat Kabur, dimana dalam gugatan Penggugat pada Point 4,
Penggugat mengatakan kalau operasi yang dilakukan oleh Tergugat III sebagai Ketua
team dengan anggota terdiri dari Dr. Hermansyur Kartowisastro, SpB-KBD dan Prof.
Dr. Made Nazar, SpPA. Perlu Penggugat ketahui bahwa Prof. Dr. I Made Nazar, SpPA
tidak masuk dalam tim tersebut, namun yang benar adalah dengan Dr. Fitriadi
Kusuma, SpOG.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1809 /
Pdt.G / 2006 / PN.Jak.Sel tanggal 30 Agustus 2007 adalah sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI :
1. Menyatakan eksepsi dari Para Tergugat tidak tepat dan tidak beralasan.
2. Menyatakan eksepsi dari Para Tergugat tidak dapat diterima.
DALAM POKOK PERKARA :
. Mengabulkan gugatan Penggugat sebahagian.
. Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
. Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi
materil dan immaterial kepada Para Penggugat yaitu sebesar Rp.2.000.000.000,- (dua
milyar rupiah).
. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini,
yang hingga kini ditaksir sebesar Rp. 734.000,- (tujuh ratus tiga puluh empat ribu
rupiah).
5. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.
Menimbang, bahwa amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor : 218 /
PDT / 2008 / PT.DKI, tanggal 27 Nopember 2008 adalah sebagai berikut :
- Menerima Permohonan Banding dari :
- Pembanding I semula Tergugat I PT. GUNA MEDIKTAMA, Tergugat II Dr.
HERMANSYUR KARTOWISASTRO, SpB-KBD, TERGUGAT IV Prof. Dr. I.
MADE NAZAR, SpPA, Tergugat V Dr. EMIL TAUFIK, Sp.PA, Tergugat VI Dr.
MIRZA ZOEBIR, SpPD, Tergugat VII Dr. BING WIDJAJA, SpPK, dan
- Pembanding II semula Tergugat III Prof. Dr. ICHRAMSJAH A. RACHMAN,
SpOG.
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 1809 / Pdt.G / 2006 /
PN.Jak-Sel tertanggal 30 Agustus 2007 dengan perbaikan sekedar gugatan terhadap
Tergugat III, sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI :
1. Menyatakan eksepsi dari Para Tergugat tidak tepat dan tidak beralasan.
. Menyatakan eksepsi dari Para Tergugat tidak dapat diterima.
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian.
. Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
. Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi
materil dan immaterial kepada Para Penggugat yaitu sebesar Rp.2.000.000.000,-
(dua milyar rupiah).
. Menyatakan gugatan Para Penggugat terhadap Tergugat III tidak dapat diterima.
Hal. 13 dari 23 hal. Put. No. 515 PK/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
. Menghukum Tergugat I, II, IV, V, VI dan VII untuk membayar biaya perkara untuk
kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.
300.000,- (tiga ratus ribu rupiah).
. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.
Menimbang, bahwa amar putusan Mahkamah Agung RI No. 1563 K / Pdt / 2009
tanggal 29 Desember 2009 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai
berikut :
• Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi : 1. PT. BINARA GUNA
MEDIKTAMA, 2. Dr. HERMANSUR KARTOWISASTRO, SpB-KBD, 3. Prof.
Dr. I MADE NAZAR, SpPA, 4. Dr. EMIL TAUFIK, SpPA, 5. Dr. MIRZA
ZOEBIR, SpPD dan 6. Dr. BING WIDJAJA, SpPK, dengan memperbaiki amar
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 218 / PDT / 2008 / PT.DKI tanggal 27
Nopember 2008 yang memperbaiki amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan No. 1809 / Pdt.G / 2006 / PN.Jak.Sel tanggal 30 Agustus 2007 sehingga
seluruh amarnya berbunyi sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI :
1 Menyatakan eksepsi Para Tergugat tidak tepat dan tidak beralasan.
2 Menyatakan eksepsi Para Tergugat tidak dapat diterima.
DALAM POKOK PERKARA :
1. Mengabulkan Gugatan Penggugat sebahagian.
2. Menyatakan Tergugat I telah melakukan Perbuatan Melawan hukum.
3. Menghukum Tergugat I untuk membayar ganti rugi materil dan immaterial kepada
Para Penggugat yaitu sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
4. Menyatakan gugatan Para Penggugat terhadap Tergugat III tidak dapat diterima.
5. Menyatakan gugatan Para Penggugat terhadap Tergugat II, IV, V, VI dan VII tidak
dapat diterima.
6. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.
- Menghukum Pemohon Kasasi / Tergugat I untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap tersebut, yaitu putusan Mahkamah Agung RI No. 1563 K / Pdt / 2009 tanggal 29
Desember 2009 diberitahukan kepada Para Termohon Kasasi / Penggugat I, II / Para
Terbanding pada tanggal 18 Nopember 2010 kemudian terhadapnya oleh Para Termohon
Kasasi / Penggugat I, II / Para Terbanding (dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan
surat kuasa khusus tanggal 2 Mei 2011) diajukan permohonan peninjauan kembali
secara lisan pada tanggal 10 Mei 2011 sebagaimana ternyata dari akta permohonan
peninjauan kembali Nomor : 1809 / Pdt.G / 2006 / PN.Jak.Sel yang dibuat oleh Panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, permohonan mana disertai dengan memori
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
peninjauan kembali yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal itu juga ;
Bahwa setelah itu oleh Para Pemohon Kasasi / Tergugat I, II, IV, V, VI, VII /
Pembanding I dan Para Turut Termohon Kasasi / Turut Tergugat, Tergugat III / Turut
Terbanding, Pembanding II yang masing-masing pada tanggal 20 Mei 2011 dan 30 Mei
2011 telah diberitahu tentang memori peninjauan kembali dari Para Termohon Kasasi /
Penggugat I, II / Para Terbanding, diajukan jawaban memori peninjauan kembali yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 20 Juni 2011 ;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-
alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh
karena itu permohonan peninjauan kembali tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan
Kembali / Para Termohon Kasasi / Penggugat I, II dalam memori peninjauan kembali
tersebut pada pokoknya ialah :
KEKHILAFAN HAKIM ATAU SUATU KEKELIRUAN YANG NYATA
DALAM PERTIMBANGAN HUKUM YANG MENYATAKAN GUGATAN
TERHADAP TERGUGAT II, IV, V, VI DAN VII DINYATAKAN TIDAK DAPAT
DITERIMA.
Pertimbangan Judex Juris yang menyatakan gugatan terhadap Tergugat II, IV, V,
VI dan VII harus dinyatakan tidak dapat diterima adalah suatu kekhilafan atau
kekeliruan yang nyata, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
Bahwa pada tanggal 12 Februari 2005 Ibu Para Pemohon PK (almarhumah Ny.
Sita Dewati Darmoko) menjalani operasi pengangkatan tumor Ovarium di Rumah Sakit
Pondok Indah (Pembanding I / semula Tergugat I).
Bahwa operasi dilakukan oleh Prof. Dr. Icharmsjah A. Rachman, SpOg
(Pembanding / semula Tergugat III) dengan dibantu oleh Dr. Hermansur Kartowisastro
(Pembanding II / semula Tergugat II) dan Prof. Dr. I Made Nazar, SpPA (Pembanding III
/ semula Tergugat IV).
Bahwa hasil dari operasi tersebut (tumor ovadium) diserahkan kepada Prof. Dr. I
Made Nazar, SpPA (Pembanding III / semula Tergugat IV) untuk diperiksa di
labolatorium pathologi guna mengetahui apakah tumor itu ganas / atau tidak ?? dan hasil
pemeriksaan di labolatorium pathologi tanggal 12 Februari 2005 tersebut diserahkan
kembali oleh Prof. Dr. I Made Nazar, SpPA (Pembanding III / semula Tergugat IV)
kepada Prof. Dr. Icharmsjah A. Rachman, SpOg (Pembanding / semula Tergugat III)
sehingga dinyatakan tumor tersebut tidak ganas.
Bahwa tanggal 16 February 2005 didapatkan hasil PA terakhir pada yang
terindikasikan ganas tidak disampaikan oleh Para Pembanding / semula Para Tergugat
Hal. 15 dari 23 hal. Put. No. 515 PK/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
kepada almarhumah maupun Para Terbanding / semula Para Penggugat sehingga
almarhumah maupun Para Terbanding / semula Penggugat masih berkesimpulan tidak
terdapat indikasi tumor ganas pada diri almarhumah.
Bahwa kemudian pada November 2005 almarhumah terpaksa dibawa kembali ke
Rumah Sakit Pondok Indah (Pembanding I / Tergugat I) karena kondisi almarhumah
semakin kritis, suhu tubuhnya tinggi dan khawatir terkena demam berdarah dan
setibanya di Rumah Sakit Pondok Indah, pemeriksaan dilakukan oleh Dr. Mirza Zoebir,
SpPD (Pembanding V / semula Tergugat VI) dimana hasil pemeriksaan tidak jelas,
katanya verdacht typus. Namun melihat Medical Record almarhumah yang baru
dioperasi tumor pada bulan Februari 2005 tanpa memperhatikan hasil PA tanggal 16
Februari 2005, Pembanding V / semula Tergugat VI memberi saran dan tindakan-
tindakan antara lain :
a. Tanggal 7 November 2005.
Jenis pemeriksaan : USG Abdomen
Radiologist Dr. Chandra J
Kesan : Hepatemagalie dengan tanda-tanda chronic hepatic dease, tampak dua
massnodule pada lobus kanan hepar (ukuran +2,0 cm dan +1,2 cm) tak
menyingkirkan adanya Maligannicy, usul dilakukan CT Scan Abdomen untuk
konfirmasi lebih lanjut.
b. Tanggal 8 November 2005
Jenis pemeriksaan : CT Scan Abdomen (minat hepar)
Radiologist : Hanya tanda tangan, tidak ada nama tertulisnya.
Kesan : Tampak Inhomo Genous mass kecil-kecil ukuran
1,9 x 1,7 x 1,5 cm dan 1,4 x 1,1 x 1,5 cm berbatas
tegas, hypondens, letak dekat kubah liver dengan
adanya minimal rimenhanceme dan internal-
inhomogenecity, tak tampak bercak calcificasi,
susp. proses meta (DD / multiple hepatic cyst).
Karena menurut Dr. Mirza Zoebir, SpPD (Tergugat VI) ada sesuatu di lever
almarhumah tetapi belum perlu diapa-apakan.
Bahwa kemudian pada bulan Februari 2006 almarhumah kembali menemui Prof.
Dr. Ichramsjah (Pembanding / semula Tergugat III), karena adanya keluhan yang terus
dirasakan bahkan ada benjolan yang sangat terasa disebelah kiri perut. Kemudian Prof.
Dr Ichramsjah merekomendasikan kepada Dr. Hermansyur (Pembanding II / semula
Tergugat II) berhubung benjolan tersebut bukan “areanya” dia. Almarhumah kemudian
membuat janji dengan Dr. Hermansyur (Pembanding II / semula Tergugat II), dan
setelah keduanya bertemu disarankan untuk CT Scan pada tanggal 15 Februari 2006 dan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
berdasarkan hasil CT Scan tersebut, Tergugat II memberikan kesimpulan bahwa
almarhumah mengalami kanker liver stadium 4.
Bahwa Dr. Hermansyur (Pembanding II / semula Tergugat II) mengembalikan
penanganan penyakit almarhumah kepada Prof. Dr Ichramsjah (Pembanding / semula
Tergugat III) dengan alasan Dr. Hermansyur (Pembanding II / semula Tergugat II) bukan
yang pertama kali menangani penyakit almarhumah, akan tetapi Prof. Dr Ichramsjah
(Pembanding / semula Tergugat III) terkejut dengan kesimpulan tersebut.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap diatas, memperlihatkan bahwa
kelalaian dalam penyampaian PA kepada Para Tergugat / semula Para Penggugat oleh
Para Pembanding / semula Para Tergugat pada tanggal 16 Februari 2005 tidak
menjalankan standar pelayanan medis yang memadai dan paripurna sehingga cenderung
saling menyalahkan masing-masing pihak lain, dan sehingga berakibat pencegahan
penyakit almarhumah terlambat, bahwa dengan demikian hal-hal tersebut telah
membuktikan Para Pembanding / semula Para Tergugat senyatanya melakukan
perbuatan melawan hukum kepada almarhumah.
Majelis Hakim yang kami hormati.
Bahwa sesungguhnya perbuatan melawan hukum dalam prakteknya dapat
bersifat aktif ataupun pasif, bahwa perbuatan melawan hukum aktif terjadi bilamana
seseorang melakukan sesuatu tindakan atau perbuatan yang telah menimbulkan kerugian
kepada orang lain, sedangkan perbuatan melawan hukum yang bersifat pasif terjadi
apabila seseorang tidak melakukan perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang
menimbulkan kerugian kepada orang lain.
Bahwa pasal 1365 BW telah merumuskan perbuatan melawan hukum bagi setiap
perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain dan sehingga
mewajibkan orang yang berbuat salah tersebut mengganti kerugian pada orang lain dan
serta mewajibkan orang yang berbuat salah tersebut mengganti kerugian yang timbul
tersebut.
Bahwa unsur-unsur dari Pasal 1365 BW adalah sebagai berikut :
- Ada perbuatan melawan hukum atau dengan kata lain melawan undang-undang.
- Melanggar hak subjektif orang lain yaitu hak-hak perorangan dan hak-hak atas harta
kekayaan.
- Ada kesalahan (schuld) yang dapat berupa kealpaan dan kesengajaan.
- Ada kerugian yang diderita orang lain.
- Adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang
diderita.
Bahwa seluruh perbuatan Para Termohon Peninjauan Kembali / Para Tergugat
didasari atas keahliannya dibidang medis, akan tetapi senyata seluruh Para Tergugat
tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara baik yakni dengan tidak melakukan
Hal. 17 dari 23 hal. Put. No. 515 PK/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
kordinasi diantara sesama dokter dan tidak menjalankan perawatan Almarhumah dengan
standar pelayanan medis sehingga menyebabkan penyakit almarhumah Ny. Sita Dewati
Darmoko bertambah parah sampai akhirnya meninggal dunia.
Bahwa dasar dan alasan bahwa Para Tergugat telah melakukan perbuatan
melawan hukum karena senyatanya Para Temohon PK dalam perkara a quo mempunyai
peranan sebagai berikut :
a. Bahwa PT. Binara Guna Mediktama (Termohon PK I / Pemohon Kasasi I /
Pembanding I / dahulu Tergugat I) selaku pemilik dan pengelola Rumah Sakit
Pondok Indah yang nyata-nyata tidak menjalankan standar pelayanan medis sebaik-
baiknya terhadap pasien almarhumah Ny. Sita Dewati Darmoko.
b. Dr. Hermansur Kartowisastro, SpB-KBD (Termohon PK II / Pemohon Kasasi II /
Pembanding II / Tergugat II) adalah dokter spesialis bedah yang turut melakukan
operasi kepada Almarhumah.
c. Prof. Dr. I Made Nazar, SpPA (Termohon PK IV / Pemohon Kasasi IV / Pembanding
IV / Tergugat IV) adalah dokter spesialis pathologi Rumah Sakit Pondok Indah dan
turut pula melakukan operasi kepada Almarhumah.
d. Dr. Emil Taufik, SpPA (Termohon PK V / Pemohon Kasasi V / Pembanding V /
Tergugat V) adalah dokter spesialis pathologi Rumah Sakit Pondok Indah.
e. Dr. Mirza Zoebir, SpPD (Termohon PK VI / Pemohon Kasasi VI / Pembanding VI /
Tergugat VI) adalah dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit pondok Indah yang
turut pula menangani penyakit almarhumah Ny. Sita Dewati Darmoko.
f. Dr. Bing Widjaja, SpPK (Termohon PK VII / Pemohon Kasasi VII / Pembanding
VII / Tergugat VII) adalah dokter yang menjabat sebagai Kepala Laboratorium
Rumah Sakit Pondok Indah yaitu tempat dilakukannya pemeriksaan terhadap tumor
ovarium hasil operasi milik Almarhum.
Bahwa hasil Pathologi Anatomy tertanggal 16 Februari 2005 adalah rangkaian
dari hasil Pathologi Anatomy tanggal 12 Februari 2005, sedangkan hasil kedua Pathologi
Anatomy tersebut saling berbeda meskipun dikeluarkan oleh laboratorium yang sama,
sehingga dalam hal ini pihak laboratorium RS Pondok Indah telah menyikapi hasil PA
tersebut secara tidak hati-hati karena PA yang disampaikan kepada Tergugat III selaku
dokter yang menangani pasien Sita Dewati hanyalah hasil Pathologi Anatomy tertanggal
12 Februari 2005, sedangkan hasil Pathologi Anatomy 16 Februari 2005 tidak
disampaikan kepada Almarhum.
Bahwa dengan adanya perubahan diagnosa terhadap Pathologi Anatomy terhadap
pasien Almarhum Sita Dewati Darmoko yaitu dari tumor jinak (tidak ganas) menjadi
tumor ganas, maka bila Para Tergugat hanya melakukan standar penanganan tumor jinak
dapat berakibat fatal bagi pasien.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa masing-masing dari Para Termohon PK telah memberikan andil dengan
tidak memenuhi kewajiban yang seharusnya dilaksanakannya sebagaimana yang diatur
dalam standar pelayanan medis yang berlaku.
Bahwa perbuatan Para Termohon PK / Para Tergugat tersebut dikualifikasi
sebagai perbuatan yang bertentangan ketelitian, kehati-hatian yang mana akibat ketidak
telitian dan ketidak hati-hatian tersebut telah menimbulkan kerugian bagi orang lain
(Para Penggugat).
Bahwa dengan demikian sudah sangat jelas dan terang bahwa Pertimbangan
Judex Juris yang menyatakan gugatan terhadap Tergugat II, IV, V, VI dan VII harus
dinyatakan tidak dapat diterima adalah merupakan suatu kekhilafan hakim atau
kekeliruan yang nyata dalam memeriksa dan memutus perkara a quo.
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut
Mahkamah Agung berpendapat :
Alasan-alasan peninjauan kembali dapat dibenarkan, karena terdapat kekhilafan
Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata yaitu :
Tergugat III dibantu Tergugat II dan Tergugat IV yang menangani korban dengan
hasil PA tidak sama. Hasil PA tanggal 16 Februari 2005 kanker ganas, tapi Tergugat II,
III dan IV, tidak menangani dengan mengadakan tindakan sebagaimana mestinya.
Bahwa Tergugat V dan VII sebagai dokter patalogi Rumah Sakit Pondok Indah
tidak didalilkan dalam surat gugatan Penggugat peranannya dalam kasus a quo.
Bahwa Ganti rugi akibat malpraktek tersebut adalah tanggung jawab rumah sakit
dan dokter yang bersangkutan.
Bahwa penurunan jumlah ganti rugi oleh judex juris menjadi Rp.200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah) merupakan kekhilafan Hakim / suatu kekeliruan yang nyata,
karena tanpa memberikan pertimbangan sema sekali.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas dengan tidak perlu
mempertimbangkan alasan peninjauan kembali lainnya, menurut pendapat Mahkamah
Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari
Para Pemohon Peninjauan Kembali : PITRA AZMIRLA, dk, dan membatalkan putusan
Mahkamah Agung RI No. 1563 K / Pdt / 2009 tanggal 29 Desember 2009 serta
Mahkamah Agung mengadili kembali perkara ini dengan pertimbangan bahwa
pertimbangan judex facti sudah tepat dan benar, karena itu akan diambil alih sebagai
pertimbangan Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali dengan amar
putusan sebagaimana yang akan disebutkan dibawah ini.
Menimbang, bahwa oleh karena Para Termohon Peninjauan Kasasi berada di
pihak yang kalah, maka harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam semua
tingkat peradilan.
Hal. 19 dari 23 hal. Put. No. 515 PK/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ;
M E N G A D I L I :
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Para Pemohon Peninjauan
Kembali : 1. PITRA AZMIRLA, 2. DAMITRA ALMIRA, tersebut ;
Membatalkan putusan Mahkamah Agung RI No. 1563 K / Pdt / 2009 tanggal 29
Desember 2009.
MENGADILI KEMBALI
DALAM EKSEPSI :
1. Menyatakan eksepsi dari Para Tergugat tidak tepat dan tidak beralasan.
2. Menyatakan eksepsi dari Para Tergugat tidak dapat diterima.
DALAM POKOK PERKARA :
. Mengabulkan gugatan Penggugat sebahagian.
. Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.
. Menghukum Para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi
materil dan immaterial kepada Para Penggugat yaitu sebesar Rp.2.000.000.000,- (dua
milyar rupiah).
. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.
Menghukum Para Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara
dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus
ribu rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Kamis, tanggal 2 Pebruari 2012 oleh H. Atja Sondjaja, SH.MH. Hakim Agung
pada Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. Valerine J. L. Kriekhoff,
SH.MA dan I Made Tara, SH. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta
Hakim-Hakim Anggota tersebut dan Victor Togi Rumahorbo, SH.MH. Panitera
Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak ;
Hakim-Hakim Anggota : Ketua :ttd/. Prof. Dr. Valerine J. L. Kriekhoff, SH.MA ttd/. H. Atja Sondjaja, SH.MH
ttd/. I Made Tara, SH
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Biaya-biaya : Panitera Pengganti :
1 M a t e r a i = Rp. 6.000,- ttd/. Victor Togi Rumahorbo, SH.MH
2 R e d a k s i = Rp. 5.000,-
3 Administrasi PK = Rp. 2.489.000,- +
Jumlah= Rp. 2.500.000,-
Untuk Salinan
Mahkamah Agung R.I
a.n. Panitera
Panitera Muda Perdata
PRI PAMBUDI TEGUH, SH.MH
Nip. 19610313 198803 1 003
Hal. 21 dari 23 hal. Put. No. 515 PK/Pdt/2011
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21