tanatologi
DESCRIPTION
bmgsjjssgTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembusukan pada kulit tahap awal terjadi pengelupasan kulit ari (epidermis) jika
digesek dan ditekan, tahap lanjut kulit ari mudah terlepas jika tergesek dan terdapat
bula/vesikel pembusukan, dan tampak anyaman pembuluh darah bawah kulit yang
membusuk berwarna merah tua kebiruan (gambaran anyaman tersebut terjadi dari sel-sel
darah yang membusuk yang masih ada di pembuluh darah) pada pembusukan ringan
rambut masih sukar tercabut (Wujoso, 2008).
Memperkirakan saat kematian yang mendekati ketepatan mempunyai arti penting
khususnya bila dikaitkan dengan proses penyidikan. Untuk dapat memperkirakan saat
kematian perlu diketahui perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh seseorang yang
meninggal dunia, dan juga faktor-faktor apa saja yang berperan di dalam terjadinya
perubahan-perubahan tersebut (Idries, 1997).
Kadang-kadang seorang dokter dihadapkan dengan suatu keputusan sulit untuk
mendiagnosa suatu kematian apakah sudah terjadi atau belum. Dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang semakin maju maka definisi matipun berubah mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan yang ada. Secara tradisional mati dapat didefinisikan secara sederhana
yaitu berhentinya ketiga sistem penunjang kehidupan sistem syaraf pusat, jantung dan paru
secara permanent (permanent cessation of life) ini yang disebut sebagai mati klinis atau
mati somatis. Tetapi dengan ditemukannya respirator maka disusunlah kriteria diagnostik
baru yang berdasarkan pada konsep “brain death is death”. Kemudian konsep inipun
diperbarui menjadi “brain steem death is death” (Basbeth, 2005).
Adanya perubahan-perubahan yang terjadi setelah kematian, yang menurut kenyataan
mempunyai pola tertentu, memungkinkan untuk dapat memperkirakan saat kematian
seseorang. Untuk dapat memperoleh hasil kiraan yang tidak terlalu menyimpang, penilaian
dari perubahan-perubahan yang terjadi haruslah tidak berdiri secara tersendiri, melainkan
ditafsir secara bersama-sama dengan memperhatikan pula berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi perubahan-perubahan tersebut. Perubahan-perubahan pada mayat yang
dimaksud adalah: terjadinya penurunan suhu (algor mortis), terbentuknya lebam mayat
(livor mortis), terbentuknya kaku mayat (rigor mortis), terjadinya pembusukan
1
(dekomposisi), terjadinya adipocere dan mumifikasi serta terjadinya perubahan-perubahan
biokimiawi (Idries, 1997).
Pembusukan (dekomposisi) sebagai salah satu tanda pasti suatu kematian, merupakan
proses degradasi jaringan akibat proses autolisis dan kerja bakteri. Pembusukan mulai
tampak kira-kira 24 jam pascamati berupa perubahan warna kehijauan pada perut kanan
bawah yang secara bertahap menyebar keseluruh perut dan dada menyertai terciumnya bau
busuk. Pembuluh darah bawah kulit akan melebar, hijau kehitaman, kemudian kulit ari
terkelupas/menggelembung, lama-lama gas menyebabkan pembengkakan tubuh
menyeluruh, terutama pada jaringan longgar. tubuh dalam sikap seperti petinju, rambut dan
kuku mudah dicabut, seluruh wajah membengkak warna ungu kehijauan. Kira-kira 36 – 48
jam pascamati akan dijumpai larva lalat. Pembusukan lebih cepat bila suhu keliling
optimal, kelembaban udara cukup, banyak bakteri pembusuk, tubuh gemuk, penderita
infeksi atau sepsis (Kapita Selekta, 2000).
1.2 Tujuan Pembahasan
Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan berguna
bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya dibagi
menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan menambah
wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik dan tepat, dan
melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas kedokteran, dimana pemikiran
ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter agar mampu menganalisis suatu
persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara khusus tujuan penyusunan makalah ini
ialah sebagai berikut :
a. Melengkapi tugas small group discussion skenario dua, modul dua puluh dua tentang
tanatologi dan traumatologi.
b. Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
c. Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam menghadapi
ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat diharapkan
dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh tujuan tersebut
dapat tercapai dengan baik
2
1.3 Metode dan Teknik
Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering
digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana, yaitu dengan
menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber
data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehinggga diperoleh
informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang
didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan
dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.
Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tanatologi
2.1.1 Defenisi
Thanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan
logos (ilmu). Thanatologi adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mempelajari
kematian dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi
perubahan tersebut. Dalam thanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati
somatis (mati klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral, dan mati otak (mati batang
otak) (FKUI, 1997).
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
berupa tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan tersebut
dapat timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya kerja
jantung dan peredaran darah berhenti, pernafasan berhenti, refleks cahaya dan kornea
hilang, kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan pascamati
yang jelas yang memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda tersebut
dikenal sebagai tanda pasti kematian berupa lebam mayat (hipostatis atau lividitas pasca-
mati), kaku mayat (rigor mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan, mumifikasi, dan
adiposera (FKUI,1997).
2.1.2 Manfaat
b Kepentingan mempelajari tanatologi adalah untuk menetapkan :
a. Waktu kematian
b. Sebab kematian pasti
Contoh : keracunan CO akan terdapat kulit merah terang (terjadi perubahan warna
kulit)
c. Cara kematian (homocide, suicide, accident)
d. Transplantasi (donor organ)
Syarat :
Ada izin dari korban/keluarganya
Sudah meninggal
4
2.1.3 Jenis Kematian
Jenis kematian ada 3 yaitu :
1. Mati klinis/ somatis
Proses kematian yang hanya dapat dilihat secara mikroskopis karena
terjadi gangguan pada sistem pernafasan, kardiovaskular, dan
pernafasan yang bersifat menetap.
Ditandai dengan tidak adanya gerakan, refleks-refleks, EEG mendatar
selama 5 menit, serta tidak berfungsinya jantung dan paru-paru.
Organ-organ belum tentu mati, masih bisa dimanfaatkan untuk
transplantasi.
Defenisis ini sering dianut oleh orang awam.
2. Mati seluler/molekular
Proses kematian sel/jaringan setelah mati klinis
Waktu kematian tiap organ/jaringan berbeda. Otak merupakan organ
yang paling sensitif yaitu sekitar 3-5 menit. Jaringan otak akan
mengalami mati seluler setelah 4 jam dan kornea masih dapat diambil
dalam jangka waktu 6 jam setelah seseorang dinyatakan mati somatis.
Penentuan mati seluler ini terutama penting dalam hal transplantasi
organ
3. Mati cerebral
Yaitu proses kematin yang ditandai dengan tidak berfungsinya otak dan
susunan saraf pusat. Definisi ini adalah defenisi yang diakui oleh WHO
Kerusakan batang otak : pernafasan berhenti namun masih bisa
dipertahankan dengan ventilator
2.1.4 Waktu Kematian
Faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan saat terjadinya kematian adalah:
1. Livor Mortis
Bercak merah ungu (livide) pada bagian terbawah tubuh karena penumpukan eritrosit
pada bagian terendah akibat pengaruh gravitasi, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan
alas keras. Mulai tampak 20-30 menit pascamati, makin lama makin luas dan
lengkap.Intensitas menetap setelah 8-12 jam(Kapita Selekta, 2000).
5
2. Rigor Mortis
Terjadi karena cadangan glikogen dalam otot habis maka energi tidak terbentuk dan
aktin-miosin menggumpal sehingga otot menjadi kaku. Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya kaku jenazah adalah suhu tubuh, volume otot dan suhu lingkungan (Kapita
Selekta, 2000). Rigor mortis atau kaku jenazah terjadi akibat hilangnya ATP. ATP
digunakan untuk memisahkan ikatan aktin dan myosin sehingga terjadi relaksasi otot.
Namun karena pada saat kematian terjadi penurunan cadangan ATP maka ikatan antara
aktin dan myosin akan menetap (menggumpal) dan terjadilah kekakuan jenazah. Rigor
mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin bertambah hingga mencapai
maksimal pada 12 jam postmortem. Kemudian setelah itu akan berangsur-angsur
menghilang sesuai dengan kemunculannya. Pada 12 jam setelah kekakuan maksimal (24
jam postmortem) kaku jenazah sudah tidak ada lagi. Faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya kaku jenazah adalah suhu tubuh, volume otot dan suhu lingkungan. Makin tinggi
suhu tubuh makin cepat terjadi kaku jenazah. Rigor mortis diperiksa dengan cara
menggerakkan sendi fleksi dan antefleksi pada seluruh persendian tubuh.
Hal-hal yang perlu dibedakan dengan rigor mortis atau kaku jenazah adalah:
1) Cadaveric Spasmus, yaitu kekakuan otot yang terjadi pada saat kematian dan
menetap sesudah kematian akibat hilangnya ATP lokal saat mati karena kelelahan
atau emosi yang hebat sesaat sebelum mati.
2) Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein karena panas sehingga
serabut otot memendek dan terjadi flexi sendi. Misalnya pada mayat yang
tersimpan dalam ruangan dengan pemanas ruangan dalam waktu yang lama.
3) Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan yang dingin sehingga
terjadi pembekuan cairan tubuh dan pemadatan jaringan lemak subkutan sampai
otot.
3. Suhu Tubuh
Pada saat sesudah mati, terjadi karena adanya proses pemindahan panas dari badan ke
benda-benda di sekitar yang lebih dingin secara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi.
Penurunan suhu badan dipengaruhi oleh suhu lingkungan, konstitusi tubuh dan pakaian.
Bila suhu lingkugan rendah, badannya kurus dan pakaiannya tipis maka suhu badan akan
menurun lebih cepat. Lama kelamaan suhu tubuh akan sama dengan suhu lingkungan.
6
4. Algor Mortis
Algor mortis atau penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari
tubuh yang panas ke lingkungan yang lebih dingin dengan cara radiasi, konduksi,
evaporasi, dan konveksi. Penurunan suhu badan lebih cepat terjadi pada suhu lingkungan
yang rendah, berangin dengan kelembaban rendah, tubuh kurus, posisi terlentang, pakaian
tipis, orang tua dan anak (Kapita Selekta, 2000).
5. Dekomposisi
Pembusukan jenazah terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan kerja
bakteri. Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan pada perut bagian
kanan bawah yang secara bertahap menyebar ke seluruh perut dan dada disertai terciumnya
bau busuk (Kapita Selekta, 2000).
Setelah kematian, tubuh mengalami proses dekomposisi yang merupakan proses
kompleks mulai dari proses autolisis sel akibat enzim-enzim autolisis, sampai proses
eksternal sel oleh bakteri dari usus, jamur dan lingkungan sekitar termasuk binatang yang
merusak mayat. Proses dekomposisi dapat berbeda-beda, dari satu tubuh dibanding tubuh
lain, dari lingkungan satu dibanding lingkungan lain, bahkan dari satu bagian tubuh mayat
dibanding bagian tubuh lain dari mayat yang sama.Proses dekomposisi pada tubuh manusia
berlangsung kurang lebih 4 menit setelah kematian.
Proses ini dimulai dengan proses yang dinamakan autolisis atau auto-digesti. Ketika
sel-sel tubuh kekurangan oksigen dan karbon dioksida dalam darah meningkat, pH darah
menurun, sampah atau sisa metabolisme sel tertumpuk dan meracuni sel. Kerusakan sel
terjadi dan enzim-enzim dalam sel mulai menghancurkan sel dari dalam, menyebabkan sel
rupturan melepaskan cairan yang kaya akan nutrien. Setelah cukup banyak sel yang ruptur,
cairan yang kaya akan nutrien menjadi tersedia dan memungkinkan proses pembusukan
selanjutnya.
Proses selanjutnya adalah penghancuran dari jaringan lunak tubuh oleh aksi mikro
orgamisme seperti bakteri, fungi dan protozoa yang merupakan hasil dari katabolisme dari
jaringan menjadi gas, cairan dan molekul sederhana. Dekomposisi adalah proses yang
rumit, namun terutama bergantung pada suhu lingkungan dan kelembaban.
6. Adipocere
Perubahan postmortem berupa proses terbentuknya bahan yang berwarna keputihan,
lunak dan berminyak yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh postmortem. Faktor yang
7
mempermudah terbentuknya adipocere adalah kelembaban, lemak tubuh, suhu panas, dan,
invasi bakteri endogen ke jaringan. Faktor penghambat antara lain air, udara dingin.
Adiposera akan menghambat pembusukan (dekomposisi) (Kapita Selekta, 2000).
7. Mumifikasi
Mumifikasi terjadi pada suhu panas dan kering sehingga tubuh akan terdehidrasi
dengan cepat. Mummifikasi terjadi pada 12-14 minggu. Jaringan akan berubah menjadi
keras, kering, warna coklat gelap, berkeriput dan tidak membusuk (Kapita Selekta, 2000).
Mumifikasi pada orang dewasa umumnya tidak terjadi pada seluruh bagian tubuh. Pada
umumnya mumifikasi terjadi pada sebagian tubuh, dan pada bagian tubuh lain proses
pembusukan terus berjalan.
8. Pengosongan Lambung
Pengosongan lambung dapat dijadikan salah satu petunjuk mengenai saat kematian.
Karena makanan tertentu akan membutuhkan waktu spesifik untuk dicerna dan
dikosongkan dari lambung. Misalnya sandwich akan dicerna dalam waktu 1 jam sedangkan
makan besar membutuhkan waktu 3 sampai 5 jam untuk dicerna.
9. Aktivitas Serangga
Aktivitas serangga juga dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian yaitu dengan
menentukan umur serangga yang biasa ditemukan pada jenazah. Necrophagus species akan
memakan jaringan tubuh jenazah. Sedangkan predator dan parasit akan memakan serangga
Necrophagus. Omnivorus species akan memakan keduanya baik jaringan tubuh maupun
serangga. Telur lalat biasanya akan mulai ditemukan pada jenazah sesudah 1-2 hari
postmortem. Larva ditemukan pada 6-10 hari postmortem. Sedangkan larva dewasa yang
akan berubah menjadi pupa ditemukan pada 12-18 hari.
2.1.5 Diagnosa Kematian Dari Perubahan Cepat
Untuk mendiagnosa perubahan cepat dari kematian digunakan beberapa alat antara lain
stetoskop, lampu senter, palu refleks, EEG, dan ECG. Prinsipnya adalah mendeteksi
traktus respiratorius dan denyut jantung. Beberapa tes yang dapat digunakan adalah :
1. Tes kardiovaskular
a. Magnus test
8
Karena jantung berhenti maka sirkulasi juga berhenti. Caranya dengan mengikat/
menutup ujung jari korban dengan karet, lalu lilebaskan, maka tidak tampak adanya
perubahan warna dari pucat menjadi merah.
b. Diaphonos test
Caranya dengan menyinari ibu jari korban dengan lampu senter dan tidak terlihat
ada sirkulasi (warna merah terang)
c. Fluorescin test
Caranya dengan menyuntikkan zat warna fluorescin maka zat warna fluorescin
akan terlokalisir ditempat suntikkan karena tidak ada aliran darah.
d. Tes lilin
Bagian tubuh korban ditetesi lilin cair maka tidak akan terjadi vasodilatasi
(hiperemis) sebagai reaksi terhadap rangsangan panas karena sirkulasi tidak ada.
e. EKG dan Stetoskop
2. Pernafasan
a. Kaca
Tidak tampak uap air ketika kaca diletakkan didepan hidung atau mulut korban
b. Bulu-bulu halus
Tidak terdapat reaksi bersin/geli ketika bulu-bulu halus diletakkan didepan hidung
korban.
c. Winslow test
Dilakukan pada orang yang pernafasannya agonal (tinggal satu-satu nafasnya)
dengan cara menempatkan cermin didada korban dan disinari dengan lampu senter.
Bila bernafas maka sinar lampu senter akan ikut bergerak atau bis menggunakan
baskom berisi air yang akan bergerak bila ada pergerakan didada.
3. Tes saraf
a. Memeriksa refleks : refleks kornea
b. EEG
2.1.6 Tanda Kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang
berupa tanda kematian yang perubahannya biasa timbul dini pada saat meninggal atau
beberapa menit kemudian. Perubahan tersebut dikenal sebagai tanda kematian yang
nantinya akan dibagi lagi menjadi tanda kematian pasti dan tanda kematian tidak pasti.
9
2.1.6.1 Tanda Kematian Tidak Pasti
1. Pernapasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit.
2. Terhentinya sirkulasi yang dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3. Kulit pucat.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat
dihilangkan dengan meneteskan air mata (Budiyanto, 1997).
2.1.6.2 Tanda kematian pasti
1. Livor mortis
Nama lain livor mortis ini antara lain lebam mayat, post mortem lividity, post mortem
hypostatic, post mortem sugillation, dan vibices.
Livor mortis adalah suatubercak atau noda besar merah kebiruan atau merah ungu
(livide) pada lokasi terendah tubuh mayat akibat penumpukan eritrosit atau stagnasi darah
karena terhentinya kerja pembuluh darah dan gaya gravitasi bumi, bukan bagian tubuh
mayat yang tertekan oleh alas keras. Bercak tersebut mulai tampak oleh kita kira-kira 20-
30 menit pasca kematian klinis. Makin lama bercak tersebut makin luas dan lengkap,
akhirnya menetap kira-kira 8-12 jam pasca kematian klinis (Idries, 1997).
Sebelum lebam mayat menetap, masih dapat hilang bila kita menekannya. Hal ini
berlangsung kira-kira kurang dari 6-10 jam pasca kematian klinis. Juga lebam masih bisa
berpindah sesuai perubahan posisi mayat yang terakhir. Lebam tidak bisa lagi kita
hilangkan dengan penekanan jika lama kematian klinis sudah terjadi kira-kira lebih dari 6-
10 jam. Ada 4 penyebab bercak makin lama semakin meluas dan menetap, yaitu :
1. Ekstravasasi dan hemolisis sehingga hemoglobin keluar.
2. Kapiler sebagai bejana berhubungan.
3. Lemak tubuh mengental saat suhu tubuh menurun.
4. Pembuluh darah oleh otot saat rigor mortis.
Livor mortis dapat kita lihat pada kulit mayat. Juga dapat kita temukan pada organ
dalam tubuh mayat. Masing-masing sesuai dengan posisi mayat.
Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat terlentang, dapat kita lihat pada belakang
kepala, daun telinga, ekstensor lengan, fleksor tungkai, ujung jari dibawah kuku, dan
kadang-kadang di sampingleher. Tidak ada lebam yang dapat kita lihat pada daerah
skapula, gluteus dan bekas tempat dasi.
10
Lebam pada kulit mayat dengan posisi mayat tengkurap, dapat kita lihat pada dahi,
pipi, dagu, bagian ventral tubuh, dan ekstensor tungkai. Lebam pada kulit mayat dengan
posisi tergantung, dapat kita lihat pada ujung ekstremitas dan genitalia eksterna.
Lebam pada organ dalam mayat dengan posisi terlentang dapat kita temukan pada
posterior otak besar, posterior otak kecil, dorsal paru-paru, dorsal hepar, dorsal ginjal,
posterior dinding lambung, dan usus yang dibawah (dalam rongga panggul).
Ada tiga faktor yang mempengaruhi livor mortis yaitu volume darah yang beredar,
lamanya darah dalam keadaan cepat cair dan warna lebam.
Volume darah yang beredar banyak menyebabkan lebam mayat lebih cepat dan lebih
luas terjadi. Sebaliknya lebih lambat dan lebih terbatas penyebarannya pada volume darah
yang sedikit, misalnya pada anemia.
Ada limawarna lebam mayat yang dapat kita gunakan untuk memperkirakan penyebab
kematian yaitu
1. warna merah kebiruan merupakan warna normal lebam
2. warna merah terang menandakan keracunan CO, keracunan CN, atau suhu dingin
3. warna merah gelap menunjukkan asfiksia
4. warna biru menunjukkan keracunan nitrit
5. warna coklat menandakan keracunan aniline (Spitz, 1997).
Interpretasi livor mortis dapat diartikan sebagai tanda pasti ke matian, tanda
memperkirakan saat dan lama kematian, tanda memperkirakan penyebab kematian dan
posisi mayat setelah terjadi lebam bukan pada saat mati.
Livor mortis harus dapat kita bedakan dengan resapan darah akibat trauma
(ekstravasasi darah). Warna merah darah akibat trauma akan menempati ruang tertentu
dalam jaringan. Warna tersebut akan hilang jika irisan jaringan kita siram dengan air
(Mason, 1983).
2. Kaku mayat (rigor mortis)
Kaku mayat atau rigor mortisadalah kekakuan yang terjadi pada otot yang kadang-kadang
disertai dengan sedikit pemendekan serabut otot, yang terjadi setelah periode pelemasan/
relaksasi primer; hal mana disebabkan oleh karena terjadinya perubahan kimiawi pada
protein yang terdapat dalam serabut-serabut otot (Gonzales, 1954).
11
a. Cadaveric spasme
Cadaveric spasme atau instantaneous rigor adalah suatu keadaan dimana terjadi
kekakuan pada sekelompok otot dan kadang-kadang pada seluruh otot, segera
setelah terjadi kematian somatis da n tanpa melalui relaksasi primer (Idries, 1997)
b. Heat Stiffening
Heat Stiffening adalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu tinggi, misalnya
pada kasus kebakaran (Idries, 1997).
c. Cold Stiffening
Cold Stiffeningadalah suatu kekakuan yang terjadi akibat suhu rendah, dapat terjadi
bila tubuh korban diletakkan dalam freezer, atau bila suhu keliling sedemikian
rendahnya, sehingga cairan tubuh terutama yang terdapat sendi-sendi akan
membeku (Idries, 1997).
3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis)
Algor mortis adalah penurunan suhu tubuh mayat akibat terhentinya produksi panas
dan terjadinya pengeluaran panas secara terus-menerus. Pengeluaran panas tersebut
disebabkan perbedaan suhu antara mayat dengan lingkungannya. Algor mortis merupakan
salah satu perubahan yang dapat kita temukan pada mayat yang sudah berada pada fase
lanjut post mortem.
Pada beberapa jam pertama, penurunan suhu terjadi sangat lambat dengan bentuk
sigmoid. Hal ini disebabkan ada dua faktor, yaitu masih adanya sisa metabolisme dalam
tubuh mayat dan perbedaan koefisien hantar sehingga butuh waktu mencapai tangga suhu.
Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat atau lamanya penurunan suhu tubuh mayat,
yaitu :
1. Besarnya perbedaan suhu tubuh mayat dengan lingkungannya.
2. Suhu tubuh mayat saat mati. Makin tinggi suhu tubuhnya, makin lama penurunan
suhu tubuhnya.
3. Aliran udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
4. Kelembaban udara makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
5. Konstitusi tubuh pada anak dan orang tua makin mempercepat penurunan suhu
tubuh mayat.
6. Aktivitas sebelum meninggal.
7. Sebab kematian, misalnya asfiksia dan septikemia, mati dengan suhu tubuh tinggi.
8. Pakaian tipis makin mempercepat penurunan suhu tubuh mayat.
12
9. Posisi tubuh dihubungkan dengan luas permukaan tubuh yang terpapar.
Penilaian algor mortis dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut, antara lain:
1. Lingkungan sangat mempengaruhi ketidakteraturan penurunan suhu tubuh mayat.
2. Tempat pengukuran suhu memegang peranan penting.
3. Dahi ding in setelah 4 jam post mortem.
4. Badan dingin setelah 12 jam post mortem.
5. Suhu organ dalam mulai berubah setelah 5 jam post mortem.
6. Bila korban mati dalam air, penurunan suhu tubuhnya tergantung dari suhu, aliran,
dan keadaan airnya.
7. Rumus untuk memperkirakan berapa jam sejak mati yaitu (98,4 0F - suhu rectal 0F)
: 1,5 0F (Gonzales, 1954).
4. Pembusukan
Pembusukan mayat nama lainnya dekomposisi dan putrefection. Pembusukan mayat
adalah proses degradasi jaringan terutama protein akibat autolisis dan kerja bakteri
pembusuk terutama Klostridium welchii. Bakteri ini menghasilkan asam lemak dan gas
pembusukan berupa H2S, HCN, dan AA. H2S akan bereaksi dengan hemoglobin (Hb)
menghasilkan HbS yang berwarna hijau kehitaman. Syarat terjadinya degradasi jaringan
yaitu adanya mikroorganisme dan enzim proteolitik.
Proses pembusukan telah terjadi setelah kematian seluler dan baru tampak oleh kita
setelah kira-kira 24 jam kematian. Kita akan melihatnya pertama kali berupa warna
kehijauan (HbS) di daerah perut kanan bagian bawah yaitu dari sekum (caecum). Lalu
menyebar ke seluruh perut dan dada dengan disertai bau busuk.
Ada 17 tanda pembusukan, yaitu wajah dan bibir membengkak, mata menonjol, lida h
terjulur, lubang hidung dan mulut mengeluarkan darah, lubang lainnya keluar isinya seperti
feses (usus), isi lambung, dan partus(gravid), badan gembung, bulla atau kulit ari
terkelupas, aborescent pattern/ marbling yaitu vena superfisialis kulit berwarna kehijauan,
pembuluh darah bawah kulit melebar, dinding perut pecah, skrotum atau vulva
membengkak, kuku terlepas, rambut terlepas, organ dalam membusuk, dan ditemukannya
larva lalat.
Organ dalam yang cepat membusuk antara lain otak, lien, lambung, usus, uterus gravid,
uterus postpartum, dan darah. Organ yang lambat membusuk antara lain paru-paru,
jantung, ginjal dan diafragma. Organ yang paling lambat membusuk antara lain kelenjar
prostat dan uterus non gravid.
13
Larva lalat dapat kita temukan pada mayat kira-kira 36-48 jam pasca kematian.
Berguna untuk memperkirakan saat kematian dan penyebab kematian karena keracunan.
Saat kematian dapat kita perkirakan dengan cara mengukur panjang larva lalat. Penyebab
kematian karena racun dapat kita ketahui dengan cara mengidentifikasi racun dalam larva
lalat. Ada sembilan faktor yang mempengaruhi cepat-lambatnya pembusukan mayat, yaitu :
1. Mikroorganisme. Bakteri pembusuk mempercepat pembusukan.
2. Suhu optimal yaitu 21-37 0C mempercepat pembusukan.
3. Kelembaban udara yang tinggi mempercepat pembusukan.
4. Umur. Bayi, anak-anak dan orang tua lebih lambat terjadi pembusukan.
5. Konstitusi tubuh. Tubuh gemuk lebih cepat membusuk dari pada tubuh kurus.
6. Sifat medium. Udara : air : tanah (1:2:8).
7. Keadaan saat mati. Oedem mempercepat pembusukan. Dehidrasi memperlambat
pembusukan.
8. Penyebab kematian. Radang, infeksi, dan sepsis mempercepat pembusukan. Arsen,
stibium dan asam karbonat memperlambat pembusukan.
9. Seks. Wanita baru melahirkan (uterus post partum) lebih cepat mengalami
pembusukan.
Pada pembusukan mayat kita juga dapat menginterpretasikan suatu kematian sebagai
tanda pasti kematian, untuk menaksir saat kematian, untuk menaksir lama kematian, serta
dapat membedakannya dengan bulla intravital (Al-Fatih II, 2007).
5. Adipocere (lilin mayat)
Adipocere adalah suatu keadaan dimana tubuh mayat mengalami hidrolisis dan
hidrogenisasi pada jaringan lemaknya, dan hidrolisis ini dimungkinkan oleh karena
terbentuknya lesitinase, suatu enzim yang dihasilkan oleh Klostridium welchii, yang
berpengaruh terhadap jaringan lemak.
Untuk dapat terjadi adipocere dibutuhkan waktu yang lama, sedikitnya beberapa
minggu sampai beberapa bulan dan keuntungan adanya Adipocere ini, tubuh korban akan
mudah dikenali dan tetap bertahan untuk waktu yang sangat lama sekali, sampai ratusan
tahun (Idries, 1997).
6. Mummifikasi
Mummifikasi dapat terjadi bila keadaan lingkungan menyebabkan pengeringan dengan
cepat sehingga dapat menghentikan proses pembusukan. Jaringan akan menjadi gelap,
14
keras dan kering. Pengeringan akan mengakibatkan menyusutnya alat-alat dalam tubuh,
sehingga tubuh akan menjadi lebih kecil dan ringan. Untuk dapat terjadi mummifikasi
dibutuhkan waktu yang cukup lama, beberapa minggu sampai beberapa bulan; yang
dipengaruhi oleh keadaan suhu lingkungan dan sifat aliran udara (Idries, 1997).
2.1.7 Perubahan-perubahan Yang Terjadi Setelah Kematian
Ada 2 fse perubahan post mortem yaitu fase cepat (early) dan fase lambat (late).
Perubahan cepat (early) :
a. Tidak adanya gerakan
b. Jantung tidak berdenyut (henti jantung)
c. Paru-paru tidak bergerak (henti nafas)
d. Kulit dingin dan turgornya menurut
e. Mata tudak ada reflek pupil dan tidak bergerak
f. Suhu tubuh sama dengan suhu lingkungan lebam mayat (post mortallividity)
g. Lebam mayat
Perubahan lambat (late) :
a. Kaku mayat (post mortal rigidity
b. Pembusukan(decomposition)
c. Penyabunan (adipocere)
d. Mummifikasi
Selain perubahan pada mayat tersebut di atas, beberapa perubahan lain dapat digunakan
untuk memperkirakan saat mati.
1. Perubahan pada mata
Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-kanan kornea akan
berwarna kecoklatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea
(traches noires sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis. Kekeruhan yang
terjadi pada lapis terluar dapat dihilangkan dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang
telah mencapai lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan
yang menetap ini terjadi sejak kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata
tertutup maupun terbuka, kornea menjadi keruh kira-kira 10 – 12 jam pasca mati dan
dalam beberapa jam saja fundus tidak tampak jelas.
15
Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi pupil pada
penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya mati.
Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian hingga 15 jam pasca mati.
Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan makula dan mulai memucatnya diskus
optikus. Kemudian hingga 1 jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak tajam
lagi. Selama 2 jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi
kuning. Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih gelap. Pada saat
itu pola vaskular koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar belakang merah
dengan pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pasca mati menjadi kabur
dan setelah 5 jam menjadi homogen dan lebih pucat. Pada kira-kira 6 jam pasca mati, batas
diskus kabur dan hanya pembuluh-pembuluh besar yang mengalami segmentasi yang dapat
dilihat dengan latar belakang kuning kelabu. Dalam waktu 7 – 10 jam pasca mati akan
mencapai tepi retina dan batas diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus
hanya dapat dikenali dengan adanya konvergensi beberapa segmen pembuluh darah yang
tersisa. Pada 15 jam pasca mati tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan
diskus, hanya makula saja yang tampak berwarna coklat gelap.
2. Perubahan dalam lambung
Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat digunakan
untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan saat mati. Namun
keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam membuat keputusan.
Ditemukannya makanan tertentu dalam isi lambung dapat digunakan untuk menyimpulkan
bahwa korban sebelum meninggal telah makan makanan tersebut.
3. Perubahan rambut
Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0,4 mm/hari, panjang
rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian. Cara
ini hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau
jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia mencukur.
4. Pertumbuhan kuku
Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang diperkirakan
sekitar 0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian bila dapat
diketahui saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku.
16
5. Perubahan dalam cairan serebrospinal
Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian belum lewat
10 jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80 mg% menunjukkan kematian belum 24
jam, kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10 mg% masing-masing menunjukkan kematian
belum mencapai 10 jam dan 30 jam.
6. Dalam cairan vitreus
terjadi peningkatan kadar kalium yang cukup akurat untuk memperkirakan saat
kematian antara 24 – 100 jam pasca mati.
7. Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian
sehingga analisis darah pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat
tersebut semasa hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri,
serta gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu gangguan fungsi tubuh
selama proses kematian dapat menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum
kematian itu terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan perubahan dalam darah yang dapat
digunakan untuk memperkirakan saat mati dengan lebih tepat.
8. Reaksi supravital
Yaitu reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi
jaringan tubuh pada seseorang yang hidup. Beberapa uji dapat dilakukan terhadap mayat
yang masih segar, misalnya rangsang listrik masih dapat menimbulkan kontraksi otot
mayat hingga 90 – 120 menit pasca mati dan mengakibatkan sekresi kelenjar keringat
sampai 60 – 90 menit pasca mati, sedangkan trauma masih dapat menimbulkan perdarahan
bawah kulit sampai 1 jam pasca mati.
2.2 Traumatologi
2.2.1 Definisi Traumatologi
Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan atas
jaringan tubuh yang masih hidup, sedanglogos berarti ilmu. Traumatologi adalah cabang
ilmu kedokteran yang mempelajari tentang trauma atau perlukaan, cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), yang kelainannya terjadi pada tubuh
karena adanya diskontinuitas jaringan akibat kekerasan yang menimbulkan jejas.
17
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera yang
hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa). (Budiyanto dkk 1997).
2.2.2 Klasifikasi Traumatologi
2.2.2.1 Mekanik
2.2.2.1.1 Kekerasan Oleh Benda Tumpul
Benda – benda yang dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini adalah benda
yang memiliki permukaan tumpul. Luka yang terjadi dapat berupa memar (kontusio,
hematom), luka lecet (ekskoriasi, abrasi) dan luka terbuka/robek (vulnus laseratum).
1. Memar (kontusio, hematom)
Memar adalah suatu perdarahan dalam jaringan bawah kulit atau kutis akibat pecahnya
kapiler dan vena yang disebabkan oleh kekerasan benda tumpul(Budiyanto dkk 1997).
Memar banyak terjadi karena tekanan yang besar dalam waktu yang singkat (Catanese
2010). Penekanan ini menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil dan dapat
menimbulkan perdarahan pada jaringan bawah kulit atau organ dibawahnya (Catanese
2010). Lokasi dari adanya luka memar disebabkan adanya gaya gravitasi sehingga lokasi
luka memar letaknya mungkin jauh dari letak benturan (Budiyanto dkk 1997).
Letak, bentuk, luas dan adanya luka memar dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti
(Budiyanto dkk 1997 & Kumar et all 2007):
1. Besarnya kekuatan
Semakin besar kekuatan yang diterima maka akan adanya luka memar lebih besar.
2. Kondisi dan jenis jaringan (jaringan ikat longgar, jaringan lemak)
Semakin sedikit kandungan jaringan ikat longgar dan jaringan lemak maka semakin
mudah juga adanya luka memar
3. Usia
Semakin usia tua maka lebih mudah adanya luka memar, karena pada usia tua
lapisan kulit (epidermis dan dermis) lebih tipis, keelastisitas kulit, dan pembuluh
darah pada usia tua sudah rapuh.
4. Jenis kelamin
Pada wanita lebih mudah untuk menimbulkan adanya luka memar,karena lapisan
kulit pada wanita lebih tipis.
5. Corak dan Warna kulit
Memar akan mudah terlihat pada kulit yang berwarna lebih terang/putih.
6. Kerapuhan Pembuluh darah
18
Semakin rapuh pembuluh darah maka semakin mudah adanya luka memar, ini
sejalan dengan bertambahnya umur.
7. Lokasi
Lokasi yang memiliki pembuluh darah lebih banyak semakin memudah adanya
luka memar.
2. Luka lecet (ekskoriasi, abrasi)
Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang
memiliki permukaan kasar atau runcing. Misalnya pada kecelakaan lalu lintas, tubuh
terbentur aspal jalan, atau sebaliknya benda tersebut yang bergerak dan bersentuhan
dengan kulit. Sesuai dengan mekanisme terjadinya, luka lecet dapat diklasifikasikan
sebagai luka gores (scratch), luka lecet serut (graze), luka lecet tekan (impression, impak
abrasion), dan geser.
1. Luka Lecet Gores/Scratch:
Diakibatkan oleh benda runcing (misalnya kuku jari yang menggores kulit) yang
menggeser permukaan kulit (epidermis) di depannya dan mengakibatkan lapisan
tersebut terangkat sehingga dapat menunjukan arah kekerasan yang terjadi. Berbeda
dengan luka iris dimana pada luka gores jaringan yang rusak menyobek bukan
mengiris.
2. Luka Lecet Serut (Graze):
Adalah variasi dari luka gores yang daerah persentuhannya dengan permukaan kulit
lebih lebar. Arah kekerasan ditentukan dengan melihat letak tumpukan epitel.
3. Luka Lecet Tekan:
Disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit. Gambaran luka lecet tekan
yang ditemukan pada mayat adalah daerah kulit yang kaku dengan warna lebih
gelap dan sekitarnya akibat menjadi lebih padatnya jaringan yang tertekan serta
terjadinya pengeringan yang berlangsung pasca mati.
4. Luka Lecet Geser
Disebabkan oleh tekanan linier pada kulit disertai gerakan bergeser, misalnya pada
kasus gantung atau jerat serta korban pecut.
3 Luka terbuka/robek (vulnus laseratum)
Luka robek merupakan luka terbuka akibat trauma benda tumpul, yang menyebabkan
kulit teregang ke satu arah dan bila batas elastisitas kulit terlampaui, maka akan terjadi
19
robekan pada kulit. Luka robek disebabkan oleh benda yang permukaannya runcing tetapi
tidak begitu tajam sehingga merobek kulit dan jaringan bawah kulit dan menyebabkan
kerusakan jaringan kulit dan bawah kulit (Catanese 2010). Tepi dari laserasi ireguler dan
kasar, disekitarnya terdapat luka lecet yang diakibatkan oleh bagian yang lebih rata dari
benda tersebut yang mengalami indentasi (Catanese 2010).
Luka ini mempunyai ciri bentuk luka yang umumnya tidak beraturan, tepi atau dinding
tidak rata, tampak jembatan jaringan antar kedua tepi luka, bentuk dasar luka tidak
beraturan, seiring tampak luka lecet atau luka memar di sisi luka, ujung luka tidak runcing,
akar rambut tampak hancur atau tercabut.
2.2.2.1.2 Kekerasan oleh benda tajam
Trauma tajam ialah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan
tubuh oleh benda-benda tajam. Ciri-ciri umum dari luka benda tajam adalah sebagai
berikut :
a. Garis batas luka biasanya teratur, tepinya rata dan sudutnya runcing
b. Bila ditautkan akan mejadi rapat (karena benda tersebut hanya memisahkan, tidak
menghancurkan jaringan) dan membentuk garis lurus dari sedikit lengkung.
c. Tebing luka rata dan tidak ada jembatan jaringan.
d. Daerah di sekitar garis batas luka tidak ada memar.
Trauma tajam dikenal dalam tiga bentuk pula yaitu luka iris atau luka sayat (vulnus
scissum), luka tusuk (vulnus punctum) dan luka bacok (vulnus caesum).
1. Luka iris/sayat
Luka sayat ialah luka karena alat yang tepinya tajam dan timbulnya luka oleh karena alat
ditekan pada kulit dengan kekuatan relativ ringan kemudian digeserkan sepanjang kulit.
Ciri luka sayat:
a. Pinggir luka rata
b. Sudut luka tajam
c. Rambut ikut terpotong
d. Jembatan jaringan ( -)
e. Biasanya mengenai kulit, otot, pembuluh darah, tidak sampai tulang
2. Luka tusuk
20
Luka tusuk ialah luka akibat alat yang berujung runcing dan bermata tajam atau tumpul
yang terjadi dengan suatu tekanan tegak lurus atau serong pada permukaan tubuh. Contoh:
a. Belati, bayonet, keris
b. Clurit
c. Kikir
d. Tanduk kerbau
Ciri luka tusuk (misalnya senjata pisau / bayonet) :
a. Tepi luka rata
b. Dalam luka lebih besar dari panjang luka
c. Sudut luka tajam
d. Sisi tumpul pisau menyebabkan sudut luka kurang tajam
e. Sering ada memar / echymosis di sekitarnya
3. Luka bacok
Luka bacok ialah luka akibat benda atau alat yang berat dengan mata tajam atau agak
tumpul yang terjadi dengan suatu ayunan disertai tenaga yang cukup besar. Contoh :
pedang, clurit, kapak, baling-baling kapal. Ciri luka bacok:
a. Luka biasanya besar
b. Pinggir luka rata
c. Sudut luka tajam
d. Hampir selalu menimbulkan kerusakan pada tulang, dapat memutuskan bagian
tubuh yang terkena bacokan
e. Kadang-kadang pada tepi luka terdapat memar, aberasi
2.2.2.1.3 Tembakan senjata api
Luka tembak adalah luka yang disebabkan adanya penetrasi anak peluru atau persentukan
peluru dengan tubuh. Untuk senjata api, cara senjata itu di tembakan juga dapat di
tentukan, yaitu :
a. Secara tegak lurus atau miring
b. Dengan jarak tembak temple, dekat, sedang atau jauh
Jika di tembakan tegak lurus kearah permukaan tubuh maka ciri-cirinya :
1) Letak lubang luka terhadap cincin lecet konsentris luka di tembakan secara
miring kearah permukaan tubuh maka ciri-cirinya :
Letak lubang luka terhadap cincin lecet episentris
21
2) Jika di tembakan dengan jarak kontak maka luka yang terjadi mempunyai ciri-
ciri :
Bentuknya seperti bintang (cruriform )
Terlihat memar berbetuk sirkuler akibat hentakan balik dari moncong
senjata.
3) Jika di tembakan dengan jarak dekat ( 1 inci-2 kaki ) maka ciri–ciri dari luka
yang terjadi adalah :
Berupa lubang berbentuk bulat yang di kelilingi cincin lecet
Terdapat produk dari mesiu ( tattoo, sisa-sisa mesiu atau jelaga )
4) Jika di tembakan dengan jarak jauh ( lebih 2 kaki ) maka luka yang terjadi
mempunyai ciri-ciri:
Berupa lubang berbentuk bulat yang di kelilingi cincin lecet
Tidak di temukan produk mensiu
2.2.2.2 Fisika
Kekerasan fisik adalah kekerasan yang disebabkan oleh benda-benda fisik, antara
lain:
2.2.2.2.1 Benda bersuhu tinggi
Kekerasan oleh benda bersuhu tinggi akan dapat menimbulkan luka bakar yang cirinya
amat tergantung dari jenis bendanya, ketinggian suhunya serta lamanya kontak dengan
kulit. Api, benda padat panas atau membara dapat mengakibatkan luka bakar derajat I, II,
III, atau IV. Zat cair panas dapat mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, atau III. Gas panas
dapat mengakibatkan luka bakar tingkat I, II, III, atau IV.
2.2.2.2.2 Benda bersuhu rendah
Kekerasan oleh hawa bersuhu dingin biasanya dialami oleh bagian tubuh yang terbuka;
seperti misalnya tangabn, kaki, telinga atau hidung. Mula-mula pada daerah tersebut akan
terjadi vasokonstriksi pembuluh darah superfisial sehingga terlihat pucat. Selanjutnya akan
terjadi paralise dari vasomotor kontrol yang mengakibatkan daerah tersebut menjadi
kemerahan. Pada keadaan yang berat dapat terjadi gangren.
2.2.2.2.3 Sengatan listrik
22
Sengatan oleh benda bermuatan listrik dapat menimbulkan luka bakar sebagai akibat
berubahnya energi listrik menjadi panas. Besarnya pengaruh listrik pada jaringan tubuh
tersebut tergantung dari besarnya tegangan (voltase), kuatnya arus (amper), besarnya
tahanan (keadaan kulit kering atau basah), lamanya kontak serta luasnya daerah terkena
kontak. Bentukluka pada daerah kontak (tempat masuknya arus) berupa kerusakan lapisan
kulit dengan tepi agak menonjol dan di sekitarnya terdapat daerah pucat, dikelilingi daerah
hyperemis. Sering ditemukan adanya metalisasi. Pada tempat keluarnya arus dari tubuh
juga sering ditemukan luka. Nahkan kadang-kadang bagian dari baju atau sepatu yang
dilalui oleh arus listrik ketika meninggalkan tubuh juga ikut terbakar. Tegangan arus
kurang dari 65 volt biasanya tidak membahayakan, tetapi tegangan antara 65-1000 volt
dapat mematikan. Sedangkan kuat arus (amper) yang dapat mematikan adalah 100 mA.
Kematian tersebut terjadi akibat fibrilasi ventrikel, kelumpuhan otot pernafasan atau pusat
pernafasan. Sedangkan faktor yang sering mempengaruhi kefatalan adalah kesadaran
seseorang akan adanya arus listrik pada benda yang dipegangnya. Bagi orang-orang tidak
menyadari adanya arus listrik pada benda yang dipegangya biasanya pengaruhnya lebih
berat dibanding orang-orang yang pekerjaannya setiap hari berhubungan dengan listrik.
2.2.2.2.4 Petir
Petir terjadi karena adanya loncatan arus listrik di awan yang tegangannya dapat
mencapai 10 mega volt dengan kuat arus sekitar 100.000 A ke tanah. Luka-luka karena
sambaran petir pada hakekatnya merupakan luka-luka gabungan akibat listrik, panas dan
ledakan udara. Luka akibat panas berupa luka bakar dan luka akibat ledakan udara berupa
luka-luka yang mirip dengan luka akibat persentuhan dengan benda tumpul. Dapat terjadi
kematian akibat efek arus listrik yang melumpuhkan susunan saraf pusat, menyebabkan
fibrilasi ventrikel. Kematian juga dapat terjadi karena efek ledakan ataun efek dari gas
panas yang ditimbulkannya.Pada korban mati sering ditemukan adanya arborescent
mark(percabangan pembuluh darah terlihat seperti percabangan pohon), metalisasi benda-
benda dari logam yang dipakai. Pakaian korban terbakar atau robek-robek.
2.2.2.2.5 Tekanan (barotrauma)
Trauma akibat perubahan tekanan pada medium yang ada di sekitar tubuh manusia
dapat menimbulkan kelainan atau gangguan yang sering disebut disbarisme yang terdiri
atas 2 macam yaitu:
B. Hiperbarik
23
Sindrom ini disebabkan oleh karena tekanan tinggi, antara lain:
Turun dari ketinggian secara mendadak: saat pesawat mendarat atau turun
gunung
Berada didalam kedalaman air: pada penyelam bebas, scuba diving (menyelam
dengan tangki oksigen), snorkeling (menyelam dengan tube di mulut) penyelam
dengan pakaian khusus.Gejala yang dapat ditimbulkanoleh perubahan tekanan
tersebut dapat berupa:
Barotrauma pulmoner: pneumotoraks, emboli udara atau emfisema interstisial.
Barotalgia: rasa nyeri, membrana timpani pecah, perdarahan, vertigo atau
dizzines.
Barodontalgia: pengumpulan gas yang menyebabkan rasa nyeri atau bahkan
meletus.
Narkosis Nitrogen: amnesia atau disorientasi
C. Hipobarik
Sindroma ini disebabkan oleh perubahan tekanan rendah, antara lain:
Naik ke tempat tinggi secara mendadak: saat pesawat mengudara atau saat
pesawat meluncur keluar angkasa.
Berada di dalam ruang bertekanan rendah: misalnya di dalam decompression
chamber.
Gejala yang ditimbulkannya disebabkan oleh pembentukan dan pengumpulan
gelembung-gelembung udara di dalam jaringan lunak, rongga-rongga atau organ-
organ berongga.Gejala tersebut antara lain:
Sendi-sendi terasa kaku disertai nyeri hebat
Rongga dada dirasakan tercekik, sesak napas dan batuk yang hebat
Gejala pada susunan syaraf tergantung letak emboli dan letak emfisema
subkutan
Rongga perut terasa kembung
Gigi-geligi terasa rasa nyeri (barodontalgia)
2.2.2.3 Kimia
Zat-zat kimia korosif dapat menimbulkan luka-luka apabila mengenai tubuh manusia. Ciri-
ciri lukanya amat tergantung dari golongan zat kimia tersebut, yaitu:
2.2.2.3.1 golongan asam
Termasuk zat kimia korosif golongan asam antara lain:
24
Asam mineral, yaitu: H2SO4, HCL, NO3
Asam organik, yaitu: asam oksalat, asam formiat dan asam asetat
Garam mineral, yaitu: AgNO3, dan Zinc Chlorida
Halogen, yaitu: F, Cl, Ba dan J
Cara kerja zat kimia korosif dari golongan ini sehingga mengakibatkan luka ialah:
Mengekstraksi air dari jaringan
Mengkoagulasi protein menjadsi albuminat
Mengubah hemoglobin menjadi acid hematin
Ciri-ciri dari luka yang terjadi akibat zat-zat asam korosif tersebut di atas ialah:
Terlihat kering
Berwarna coklat kehitaman, kecuali yang disebabkan oleh nitric acid erwarna
kuning kehijauan
Perabaan keras dan kasar
2.2.2.3.2 golongan basa
Zat-zat kimia korosif yang termasuk golongan basa antara lain:
KOH
NaOH
NH4OH
Cara kerja dari zat-zat tersebut sehingga menimbulkan luka ialah:
Mengadakan ikatan dengan protoplasma sehingga membentuk alkaline albumin dan
sabun
Mengubah hemoglobin menjadi alkaline hematin
Ciri-ciri luka yang terjadi sebagai akibat persentuhan dengan zat-zat ini adalah:
Terlihat basah dan edematus
Berwarna merah kecoklatan
Perabaan lunak dan licin
2.2.3 Waktu Terjadinya Kekerasan
Waktu terjadinya kekerasan merupakan hal yang sangat penting bagi keperluan
penuntutan oleh penuntut umum, pembelaan oleh penasehat hukum terdakwa serta untuk
25
penentuan keputusan oleh hakim. Dalam banyak kasus, informasi tentang waktu terjadinya
kekerasan itu akan dapat digunakan sebagai bahan analisa guna mengungkapkan banyak
hal, terutama yang berkaitan dengan alibi seseorang. Masalahnya ialah, tidak seharusnya
seseorang dituduh atau dihukum jika pada saat terjadinya tindak pidana ia berada di tempat
yang jauh dari tempat kejadian perkara. Dengan melakukan pemeriksaan yang teliti , akan
dapat ditentukan:
1. Luka antemortem dan post mortem
Jika pada tubuh jenazah ditemukan luka maka pertanyaanya ialah luka itu terjadi
sebelum atau sesudah mati. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dicari ada
tidaknya tanda –tanda intra vital. Jika di temukan berarti luka terjadi sebelum mati dan
demikian pula sebaliknya. Tanda intravital itu sendiri pada hakekatnya merupakan
tanda yang menunjukan bahwa
a. Jaringan setempat masih hidup ketika terjadi trauma
Tanda –tanda bahwa jaringan yang terkena trauma masih dalam keadaan hidup
ketika terjadi trauma antara lain :
1) Retraksi jaringan
Terjadi karena serabut–serabut elastic dibawah kulit terpotong dan kemudian
mengkerut sambil menarik kulit di atasnya. Jika arah luka memotong serabut
secara tegak lurus maka bentuk luka akan menganga, tetapi jika arah luka
sejajar dengan serabut elastic maka bentuk luka tak begitu menganga.
2) Reaksi vaskuler
Bentuk reaksi vaskuler tergantung dari jenis trauma, yaitu :
Pada trauma suhu panas, bentuk reaksi intravitalnya berupa :
Eritema ( kulit berwarna kemerahan ), vesikel atau bulla.
Pada trauma neda keras dan tumpul, bentuk intravitas berupa kontusi atau
memar
3) Reaksi mikroorganisme ( infeksi )
Jika tubuh dari orang yang masih hidup mendapat trauma dan meninggalkan
luka terbuka maka kuman –kuman kan masuk serta menimbulkan infeksi yang
ciri–cirinya sebagai berikut :
Warna kemerahan
Terlihat bengkak
Terdapat pus
Bila sudah lama terlihat danya jaringan granulasi
26
4) Reaksi biokimiawi
Jika jaringan yang masih hidup mendapat trauma maka pada daerah tersebut
akan terjadi aktivitas biokimiawi berupa :
kenaikan kadar serotonin (kadar maksimal terjadi 10 menit sesudah trauma)
Kenaikan kadar histamine ( kadar maksimal terjadi jadi 20-30 menit
sesudah trauma).
Kenaikan kadar enzyme ( ATP, aminopeptidase, acid-phosphatase dan
alkali-phosphatase ) yang terjadi beberapa jam sesudah trauma sebagai
akibat dari mekanisme pertahanan jaringan.
b. Organ dalam masih berfungsi saat terjadi trauma
Jika organ dalam ( jantung atau paru – paru )masih dalam keadaan berfungsi ketika
terjadi trauma maka tanda – tandanya antara lain :
1) Perdarahan hebat ( profuse bleeding ) :
Trauma yang terjadi pada orang hidup akan menimbulkan perdarahan yang
banyak sebab jantung masih bekerja sehingga terus menerus memomp darah
keluar lewat luka. Berbeda sekali dengan trauma yang terjadi sesudah mati
sebab keluarnya darah di sini secara pasif karena pengaruh gravitasi sehingga
jumlahnya tidak banyak. Perdarahan pada luka intravital di bagi menjadi 2 yaitu
perdarahan internal dan eksternal. Perdarahan internal mudah dibuktikan karena
darah tertampung di rongga badan ( rongga perut, rongga dada, rongga panggul,
rongga kepala dan kantong pericardium ) sehingga dapat di ukur pada waktu
otopsi. Sedangkan perdarahan eksternal (darah tumpah di tempat kejadian)
hanya dapat disimpulkan jika pada waktu otopsi di temukan tanda-tanda anemis
(muka dan organ-organ dalam pucat) disertai tanda–tanda limpa melisut,
jantung dan nadi utama tidak berisi darah.
2) Emboli udara
Terdiri atas emboli udara venosa ( pulmoner ) dan emboli udara arterial
( sistematik ). Emboli udara venosa terjadi jika lumen dari vena yang terpotong
tidak mengalami kolap karena terfixir dengan baik, seperti vena jugularis
eksterna atau subclavia. Udara akan masuk ketika tekanan di jantung kanan
negative. Gelembung udara yang terkumpul di jantung kanan dapat terus
menuju ke daerah paru – paru sehingga dapat mengganggu fungsinya. Emboli
arterial dapat terjadi sebagai kelanjutan dari emboli udara venosa pada penderita
foramen ovale persisten atau sebagai akibat dari tindakan pneumotoraks
27
artificial atau karena luka – luka yang menembus paru – paru. Kematian dapat
terjadi akibat gelembung udara masuk pembuluh darah koroner atau otak.
3) Emboli lemak
Emboli lemak terjadi pada trauma tumpul yang mengenai jaringan berlemaka
atau trauma yang mengakibatkan patah tulang panajang. Akibatnya, jaringan
lemak akan mengalami pencairan dan kemudian masuk kedalam pembuluh
darah vena yang pecah menuju atrium kanan, ventrikel kanan dan dapat terus
menuju daerah paru – paru.
4) Pneumotorak
Jika dinding dada menderita luka tembus atau paru – paru menderita luka,
sementara paru – paru itu sendiri tetap berfungsi maka luka tersebut dapat
berfungsi sebagai ventil. Akibatnya, udara luar atau udara paru-paru akan
masuk ke rongga pleura setiap inspirasi. Semakin lama udara yang masuk ke
rongga pleura semakin banyak yang pada akhirnya akan menghalangi
pengembangan paru – paru sehingga pada akhirnya paru – paru menjadi kolap.
5) Emfisema kulit ( krepitasi kulit )
Jika trauma pada dada mengakibatkan tulang iga patah dan menusuk paru –paru
maka pada setiap ekspirasi udara paru – paru dapat masuk kejaringan ikat di
bawah. Pada palpasi akan terasa ada krepitasi di sekitar daerah trauma. Keadaan
seperti ini tidak mungkin terjadi jika trauma terjadi sesudah orang meninggal
dunia. Jika trauma terjadi sesudah orang meninggal dunia maka kelainan -
kelainan tersebut di atas tidak mungkin terjadi mengingat pada saat itu jantung
dan paru – parunya sudah berhenti bekerja.
2. Umur luka
Untuk mengetahui kapan terjadi kekerasan, perlu diketahui umur luka. Hanya saja,
tidak ada satupun metode yang dapat digunakan untuk menilai dengan tepat kapan
suatu kekerasan ( baik pada korban hidup ataupun mati ) dilakukan mengingat adanya
factor individual, penyulit ( misalnya infeksi, kelainan darah atau penyakit defisiensi )
serta factor kualitas dari kekerasan itu sendiri. Kendati demikian ada beberapa cara
dapat di gunakan untuk memperkirakannya, yaitu dengan melakukan :
a. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan dengan mata telanjang atas luka dapat memperkirakan berapa umur
luka tersebut. Pada korban hidup, perkiraan di hitung dari saat trauma sampai saat
di periksa pada korban mati, mulai dari saat trauma sampai saat kematiaanya.
28
b. Pemeriksaan mikroskopik ( histology ).
Mengingat hasil makroskopik sangat variatif dan jauh dari ketepatan maka perlu di
lakukan pemeriksaan mikroskopik pada korban mati. Selain berguna bagi
intravitalis luka, pemeriksaan mikroskopik juga untuk menentukan umur luka
secara lebih teliti. Caranya ialah dengan mengamati perubahan–perubahan
histologiknya
Perubahan –peruabahan histologik dari luka ini sangat di pengaruhi ada tidaknya
infeksi. Perlu di ketahui bahwa infeksi akan memperlambat proses penyembuhan
luka. Peningkatan akitfitas adenosine triphosphatase dan aminopeptidase dapat di
lihat lebih dini, yaitu setengah jam setelah trauma. Peningkatan aktifitas
aminopeptidase dapat di lihat sesudah 2 jam, sedangkan peningkatan acid
phosphatase dan alkali phosphatase sesudah 4 jam.
2.2.4 Cara Melakukan Kekerasan
Untuk sejata tajam, cara senjata itu di gunakan dapat di bedakan, yaitu :
1. Diiriskan
Di iriskan mengandung pengertian bahwa mata tajam dari sejata tersebut di tekankan
lebih dahulu ke suatu bagian dari tubuh dakn kenudian di geser kearah yang sesuai dari
senjata. Luka yang di timbulkannya merupakan luka iris ( incised wound ) yang ciri-
cirinya:
a. Sesuai ciri–ciri umum luka akibat senjata tajam
b. Panjang luka lebih besar dari dalamnya luka.
2. Ditusukan
Artinya bagian dari senjata tajam di tembakkan pada suatu bagian dari tubuh dengan
arah tegak lurus atau miring kemudian ditekan kedalam tubuh sesuai arah tadi. Luka–luka
yang di timbulkannya merupaka luka tusuk ( stab wound ) yang ciri–cirinya :
a. Sesuai ciri–ciri umum luka akibat senjata tajam
b. Dalam luka lebih besar dari panjangnya luka.
3. Dibacokan
Mengandung perngertian bahwa senjata tajam yang ukurannya relative besar dan
diayunkan dengan tenaga yang kuat sehingga mata tajam dari senjata tersebut mengenai
sautu bagian dari tubuh. Tulang-tulang di bawahnya biasnya berfungsi sebgai bantalan
sehingga ikut menderita luka. Luka yang di timbulkannya merupakan luka bacok ( chop
wound ) yang ciri-cirinya :
29
a. Sesuai ciri-ciri umum luka akibat senjata tajam
b. Ukuran luka besar dan menganga
c. Panjang luka kurang lebih sama dengan dalam luka
d. Biasnya tulang tulang dibawahnya ikut menderita luka
Jika senjata yang di gunakan tidak begitu tajam maka disekitar garis batas luka terdapat
memar.
4. Di tembakan
Untuk senjata api, cara senjata itu di tembakan juga dapat di tentukan, yaitu :
c. Secara tegak lurus atau miring
d. Dengan jarak tembak temple, dekat, sedang atau jauh
Jika di tembakan tegak lurus kearah permukaan tubuh maka ciri-cirinya :
1) Letak lubang luka terhadap cincin lecet konsentris luka di tembakan secara
miring kearah permukaan tubuh maka ciri-cirinya :
Letak lubang luka terhadap cincin lecet episentris
2) Jika di tembakan dengan jarak kontak maka luka yang terjadi mempunyai ciri-
ciri :
Bentuknya seperti bintang (cruriform )
Terlihat memar berbetuk sirkuler akibat hentakan balik dari moncong
senjata.
3) Jika di tembakan dengan jarak dekat ( 1 inci-2 kaki ) maka ciri–ciri dari luka
yang terjadi adalah :
Berupa lubang berbentuk bulat yang di kelilingi cincin lecet
Terdapat produk dari mesiu ( tattoo, sisa-sisa mesiu atau jelaga )
4) Jika di tembakan dengan jarak jauh ( lebih 2 kaki ) maka luka yang terjadi
mempunyai ciri-ciri:
Berupa lubang berbentuk bulat yang di kelilingi cincin lecet
Tidak di temukan produk mensiu
2.2.5 Akibat Trauma
Aspek medik
Konsekuensi dari luka yang di timbulkan oleh trauma dapat berupa :
a. Kelainan fisik / organic
Bentuk dari kelainan fisik atau organic ini dapat berupa :
Hilangnya jaringan atau bagian dari tubuh
30
Hilangnya sebagaian atau seluruh organ tertentu
b. Gangguan fungsi dari organ tubuh tertentu
Bentuk dari gangguan fungsi tergantung dari organ atau bagaian tubuh yang
terkena trauma. Contoh dari gangguan fungsi antara lain lumpuh, buta, tuli atau
terganggunya fungsi organ-organ dalam.
c. Infeksi
Seperti di ketahui bahwa kulit atau membrane mukosa merupakan barier terhadap
infeksi. Bila kulit atau membrane tersebut rusak maka kuman akan masuk lewat
pintu ini. Bahkan kuman dapat masuk lewat daerah memar atau bahkan irritasi
akibat benda yang terkontaminasi oleh koman. Jenis kuman dapat berupa
streptococcus, staphylococcus, echeria coli, proteus vulgaris, clostridium tetani
serta kuman yang menyebabkan gas gangrene.
d. Penyakit
Trauma sering di anggap sebagai precipitating factor terjadinya penyakit jantung
walaupun hubungan kausalnya sulit diterangkan dan masih dalam kontroversi.
e. Kelainan psikis
Trauma, meskipun tidak menimbulkan kerusakan otak, kemungkinan dapat menjadi
precipitating factor bagi terjadinya kelainan mental yang spketrumnnya amat luas;
yaitu dapat berupa compensational neurosis, anxiety neurosis, dementia praecox
primer ( schizophrenia ), manic depressive atau psikosis. Kepribadian serta potensi
individu untuk terjadinya reaksi mental yang abnormal merupakan factor utama
timbulnya gangguan mental tersebut; meliputi jenis, derajat serta lamanya
gangguan. Oleh sebab itu pada setiap gangguan mental post-trauma perlu dikaji
elemen-elemen dasarnya yang terdiri atas latar belakang mental dan emosi serta
nilai relative bagi yang bersangkutan atas jaringan atau organ yang terkena trauma.
Secar umum dapat diterima bahwa hubungan antara kerusakan jaringan tubuh atu
organ dengan psikosis post trauma di dasarkan atas :
Keadaan mental benar
benar sehat sebelum trauma
Trauma telah merusak susunan syaraf pusat
Trauma, tanpa mempersoalkan lokasinya, mengancam kehidupan seseorang.
Trauma menimbulkan kerusakan pada bagian yang struktur dan fungsinya
dapat mempengaruhi emosi organ genital, payudara, mata, tangan atau wajah.
Korban cemas akan lamanya waktu penderitaan
31
Psikosis terjadi dalam tenggang waktu yang masuk akal
Korban dihantui oleh kejadian ( kejahatan atau kecelkaan ) yang menimpanya.
2.2.6 Konteks Peristiwa Penyebab Luka
Latar belakang penyebab luka dapat disebabkan oleh peristiwa pembunuhan, bunuh diri
atau kecelakaan .
1. Pembunuhan
Ciri-ciri lukannya adalah :
a. Lokasi luka di sembarang tempat, yaitu daerah yang mematikan maupun yang tidak
mematikan
b. Luka tersebut di daerah yang dapat di jangkau maupun yang tidak dpat di jangkau
oleh tangan korban
c. Pakaian yang menutupi daerah luka ikut robek terkena senjata
d. Dapat di temuka luka tangkisan ( defensive wounds ), yaitu pada korban yang sadar
ketika mengalami seranga. Luka tangkisan tersebut terjadi akibat reflek menahan
serangan sehingga letak luka tangkisan biasanya pada lengan bawah bagian luar.
2. Bunuh diri
Ciri-ciri lukanya adalah :
a. Lokasi luka pada daerah yang dapat mematikan secara cepat.
b. Lokasi tersebut dapat dijangkau oleh tangan yang bersangkutan
c. Pakaian yang menutupi luka tidak ikut robek oleh senjata
d. Ditemukan luka-luka percobaan ( tentative wounds )
Luka percobaan tersebut terjadi karena yang bersangkutan masih ragu-ragu atau karena
sedang memilih letak senjata yang pas sambil mengumpulkan keberaniaanya, sehingga
ciri-ciri luka percobaan adalah :
a. Jumlahnya lebih dari satu
b. Lokasinya disekitar luka yang mematikan
c. Kualitasnya lukanya dangkal
d. Tidak mematikan
3. Kecelakaaan
Jika ciri-ciri luka yang ditemukan tidak mengambarkan pembunuhan atau bunuh diri maka
kemungkinannya adalah akibat kecelekaan. Untuk lebih memastikannya perlu di lakukan
pemeriksaan ditemapt kejadian.
32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
33
Thanatologi adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mempelajari kematian
dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan
tersebut. Dalam thanatologi dikenal beberapa istilah tentang mati, yaitu mati somatis (mati
klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral, dan mati otak (mati batang otak) (FKUI,
1997).
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang berupa
tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan tersebut dapat
timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya kerja jantung
dan peredaran darah berhenti, pernafasan berhenti, refleks cahaya dan kornea hilang, kulit
pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan pascamati yang jelas
yang memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai
tanda pasti kematian berupa lebam mayat (hipostatis atau lividitas pasca-mati), kaku mayat
(rigor mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan, mumifikasi, dan adiposera
(FKUI,1997).
Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang trauma atau
perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), yang
kelainannya terjadi pada tubuh karena adanya diskontinuitas jaringan akibat kekerasan
yang menimbulkan jejas. Klasifikasi traumatologi secara umum:
1. Mekanik
a. Kekerasan oleh benda tumpul
1) Memar (kontusio, hematom)
2) Luka lecet (ekskoriasi, abrasi)
3) Luka terbuka/robek (vulnus laseratum)
b. Kekerasan oleh benda tajam
1) Luka iris/sayat
2) Luka tusuk
3) Luka bacok
c. Tembakan senjata api
1) Luka tembak temple (contact wound)
2) Luka tembak jarak dekat (close – range wounds)
3) Luka tembak jarak jauh (long – range wounds)
2. Fisika
a. Suhu
b. Listrik dan Petir
34
c. Perubahan tekanan udara
3. Kimia
a. Asam
b. Basa kuat
3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para pembaca dan
mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
a. Kombinasikan metode pembuatan makalah berikutnya.
b. Pembahsan yang lebih mendalam disertai data-data yang lebih akurat.
Beberapa poin diatas merupakan saran yang kami berikan apabila ada pihak-pihak
yang ingin melanjutkan penelitian terhadap makalah ini, dan demikian makalah ini disusun
serta besar harapan nantinya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususunya
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatra Utara semester VI/2014 dalam
penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mun’im Idries. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama.
Binarupa Aksara. Hal. 54-77
Saukko, P.Knight, B. 2001. The Pathophysiology of Death in Knight’s Forensic
Pathology. 3th edition. Hodder Arnold. Page 52-90
35
Sphepherd, R. 2003. Changes after death in simpson’s forensik medicine. 12 th edition.
Arnold. Pages 37-48
Vij,K. 2008. Death and its medikolegal aspects (forensik thanatology) in textbook of
forensik medicine and toxycology principles and practice. 4 th edition elsiver. Page
101-133
Tim Penulis Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta:FKUI; 1997.h. 25-36.
Corazza O, Schifano F, Ketamin use, near death States Reported in a Sample of 50
Misusers. Informahealthcare.USA. 2010; 916-24
Husni, GM. Hukum Kesehatan Ilmu Kedokteran Forensik, bagian Kedokteran Forensik
Fakulatas Kedokteran Universitas Andala, Padang: FKUNAND; 2007.h.15-26
Greyson B, On The Mind/body Problem: The theory of Essence, Journal of Near Death
Studies. 1992:7N.
Klemerk KZ, Kersnik J, Grmec S, The Effect Of Carbon Dioxide On Near-Death
Experiences In Out Of Hospital Cardiac Arrest Survivors: A Prospective Observational
Study, Critical Care. 2010:14:R56;p
Greyson B, “False Positive”Claims of Near Death Experiences and “False Negative”
denials of Near Death Experiences, Death Studies.2005;29:p145-55
Kripke DF, The Dark Side of Sleeping Pills. UC San Diego Health System. 2011:4
Guernsey E, Apparent Death from Lighning, In: Homeopathic Domestic
Practice.William Radde:1857
(online), tersedia : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21606/4/Chapter
%20II.pdf (15 Juni 2014)
http://eprints.uns.ac.id/4927/1/134980908201008411.pdf
36