tamplate laporan kp
DESCRIPTION
Template Kerja Praktik 2015TRANSCRIPT
COVER
JUDUL KERJA PRAKTIK
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR SIMBOL
BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANGI.2. TUJUANI.3. TOPIK
BAB II MANAJEMEN PEKERJAAN
II.1. WAKTU PELAKSANAAN DAN VOLUME PEKERJAAN
II.2. LINGKUP PEKERJAAN
II.3. TAHAPAN PELAKSANAAN PEKERJAAN1. Presentasi Awal
Pada hari pertama kerja praktek, dilakukan presentasi untuk menjelaskan apa saja yang akan dilakukan selama kerja praktek di Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) Bali.
2. Pengenalan modul
Melakukan pembelajaran mengenai cara dan langkah-langkah pembuatan Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan.
3. Pengerjaan Modul
Melakukan pengambilan data dan mengolah data tersebut menjadi peta yang siap digunakan. Data yang digunakan antara lain yaitu Citra Satelit MODIS level 2 dan level 3, data angin dan gelombang BMKG, serta data vektor rupa bumi Indonesia.
4. Presentasi Akhir
Pada hari terakhir kerja praktek, dilakukan presentasi mengenai hasil yang dilakukan selama kerja praktek di Balai Penelitian dan Observasi Laut (BPOL) Bali.
II.4. STRUKTUR ORGANISASI
Gambar 2.1 Struktur Organisasi
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
PER.34/MEN/2011, struktur organisasi dan tata kerja Balai Penelitian dan Observasi
Laut (BPOL) terdiri dari :
a. Kepala Balai
Mempunyai Tugas melakukan koordinasi dan memberikan arahan seluruh kegiatan
riset dan non riset serta membina bawahan di lingkungan BPOL sesuai tata kerja dan
peraturan yang berlaku untuk kelancaran pelaksanaan tugas.
b. Sub Bagian Tata Usaha
Mempunyai Tugas melakukan urusan keuangan, persuratan, kearsipan,
kepegawaian, dan rumah tangga dan perlengkapan, serta tata laksana.
c. Seksi Tata Operasional
Mempunyai tugas melakukan penyusunan rencana program dan anggaran,
pemantauan dan evaluasi serta laporan.
d. Seksi Pelayanan Teknis
Mempunyai tugas melakukan pelayanan teknis, jasa, informasi, komunikasi,
diseminasi, publikasi, kerja sama, dan pengelolaan prasarana dan sarana penelitian
dan observasi, serta perpustakaan.
e. Kelompok Jabatan Fungsional
Mempunyai tugas melakukan kegiatan sesuai dengan jabatan fungsional masing -
masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku).
II.5. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB ELEMEN DAN UNIT ORGANISASIII.5.1. Tugas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
34/MEN/2011 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian dan
Observasi Laut, BPOL mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan
observasi sumber daya laut.
II.5.2. Fungsi
a. Penyusunan rencana program dan anggaran, pemantauan dan evaluasi, serta
laporan.
b. Pelaksanaan penelitian dan observasi sumber daya laut di bidang fisika dan
kimia kelautan, daerah potensial penangkapan ikan, dan perubahan iklim,
serta pengkajian teknologi kelautan.
c. Pelayanan teknis, jasa, informasi, komunikasi, dan kerja sama penelitian dan
observasi.
d. Pengelolaan prasarana dan sarana penelitian dan observasi dan Pengelolaan
urusan tata usaha dan rumah tangga Balai.
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
III.1. Fishing ground
Fishing ground merupakan perairan tempat melakukan kegiatan penangkapan
ikan (Sudirman dan Anchar, 2000). Dapat dikatakan, fishing ground adalah daerah atau
lokasi yang memiliki kondisi yang mendukung bagi keberadaan ikan. Menurut Nomura
dan Yamazaki (1977), alasan utama sebagian spesies berkumpul pada suatu wilayah
perairan disebabkan oleh beberapa hal, yaitu ikan akan memilih lingkungan hidup yang
sesuai dengan kondisi tubuhnya, ikan akan mencari sumber makanan yang banyak, dan
ikan akan mencari tempat yang cocok untuk pemijahan dan perkembangbiakan.
Untuk mengembangkan suatu perairan menjadi daerah penangkapan, terdapat tiga
aspek utama yang harus dipertimbangkan, yaitu sumberdaya ikan, teknologi
penangkapan ikan, dan kondisi lingkungan. Interaksi ketiga faktor tersebut yang
menentukan apakah suatu lokasi perairan laut dapat disebut sebagai daerah
penangkapan (fishing ground) atau tidak (Ghazali, 2010).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi fishing ground ini diantaranya yaitu suhu
permukaan laut, konsentrasi klorofil, arus laut, salinitas air laut, dan kandungan oksigen
terlarut. Selain itu, fenomena upweeling dan front juga dapat menjadi indikasi lokasi
fishing ground, dimana daerah tersebut menandakan adanya fitoplankton yang
merupakan makanan bagi ikan. Selain itu, terdapat juga faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi lokasi fishing ground ini.
Penentuan zona tangkapan ikan atau fishing ground ini salah satunya dapat
dilakukan menggunakan data dari satelit Modis. Modis adalah sensor yang dibawa oleh
Earth Observing System (EOS) pada satelit Terra dan satelit Aqua, yang merupakan
bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space
Administration (NASA).
III.2. Penginderaan Jauh
III.2.3.Pengertian dan Konsep Dasar
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni memperoleh informasi tentang
objek, daerah, atau gejala dengan cara menganalisis data yang diperoleh dengan
menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala
yang sedang dikaji. Alat yang dimaksud pada bahasan ini adalah pengindera
atau sensor yang pada umumnya dipasang pada wahana (platform) yang berupa
pesawat terbang, satelit, pesawat ulang alik, dan sebagainya. Objek yang ingin
diketahui dapat berupa objek di permukaan bumi, di atas permukaan bumi,
maupun di antariksa (Lillesand dan Kiefer, 1997).
Secara umum, penginderaan jauh adalah ilmu untuk memperoleh
informasi fenomena alam pada obyek (permukaan bumi) yang diperoleh tanpa
kontak langsung dengan objek di permukaan bumi melalui pengukuran pantulan
(reflection) ataupun pancaran (emission) oleh media gelombang
elektromagnetik yang kemudian energi tersebut direkam oleh sensor.
Gambar 3.1 Konsep Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994)
Sumber energi dalam penginderaan jauh adalah radiasi elektromagnetik
yang secara umum berasal dari energi matahari. Dibentuk sekaligus oleh dua
komponen, yaitu komponen listrik dan magnetik yang keduanya berjalan
dengan fase yang sama, tegak lurus satu sama lain, dan tegak lurus dengan arah
rambatnya. Empat komponen yang sangat penting dalam sistem ini menurut
Butler, et. al. (1988) adalah :
1. Matahari sebagai sumber energi yang berupa radiasi elektromagnetik.
Radiasi elegtromagnetik merupakan suatu bentuk energi yang hanya dapat
diobservasikan melalui interaksinya dengan objek.
2. Atmosfer merupakan lintasan dari radiasi elektromagnetik, karena semua
energi yang dideteksi dengan sistem ini melalui atmosfer dengan jarak dan
panjang jalur tertentu.
3. Sensor merupakan alat yang mendeteksi radiasi elektromagnetik yang
dipantulkan dari objek dan kemudian mengubahnya dalam bentuk sinyal
yang dapat direkam dan ditampilkan sebagai citra.
4. Target atau objek, yaitu fenomena yang terdeteksi sensor.
Menurut Sutanto (1994), ada empat alasan mengapa citra semakin banyak
digunakan, yaitu :
1. Citra menggambarkan objek di permukaan bumi secara lengkap,
permanen, dan meliputi daerah yang luas dengan format yang
memungkinkan untuk mengkaji objek – objek beserta hubungannya.
2. Jenis citra tertentu, tampak tiga dimensi bila pengamatan dilakukan
dengan stereoskop.
3. Karakteristik objek yang tidak tampak mata dapat diwujudkan dalam
bentuk citra, sehingga objeknya dapat dikenali.
4. Citra dapat dibuat dengan cepat, meskipun untuk daerah yang sulit
didatangi atau diteliti secara terrestrial. Interpretasi citra dapat dilakukan
baik siang maupun malam.
Analisa data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta
tematik, data statistik, dan data lapangan. Hasil analisa yang diperoleh berupa
informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi, dan
kondisi sumberdaya lokasi. Informasi tersebut bagi para pengguna dapat
dimanfaatkan untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan.
Keseluruhan proses mulai dari pengambilan data, analisis data, hingga
penggunaan data tersebut dinamakan Sistem Penginderaan Jauh (Purwadhi,
2001).
III.2.4.Penginderaan Jauh untuk Fishing Ground
Penggunaan teknik penginderaan jauh dalam bidang kelautan yaitu
dengan menggunakan cahaya matahari sebagai sumber energi untuk melakukan
interpretasi terhadap objek di permukaan laut. Dengan sistem ini, dapat
dihasilkan citra satelit yang merupakan data klorofil-a, arus, suhu, dan posisi
koordinat permukaan perairan yang dideteksi (Syohraeni, 2005).
Cahaya matahari merupakan komponen penting bagi wahana pengindera
yaitu sensor satelit dan fitoplankton sebagai objek yang diindera. Menurut
Wallen (dalam Raharjo, 2004), dari segi fisiologisnya spektrum cahaya yang
penting untuk fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton adalah cahaya biru.
Rata – rata kecepatan proses fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton lebih
tinggi pada spektrum gelombang tampak tersebut, hal ini disebabkan absorbsi
cahaya biru oleh fitoplankton lebih efektif dibandingkan cahaya hijau. Cahaya
matahari yang penting untuk mendeteksi radiasi fitoplankton adalah spektrum
tampak yaitu pada panjang gelombang 400 – 700 nm.
Untuk penggunaan teknologi ini dalam bidang fishing ground, dapat
digunakan parameter suhu dan klorofil-a untuk mendeteksi nilai suhu yang
sesuai dengan habitat ikan dan nilai klorofil-a yang sesuai dengan nilai tempat
hidup ikan. Nilai suhu dan klorofil-a tersebut didapatkan dari nilai reflektan
yang didapatkan oleh sensor satelit dari permukaan air laut. Sehingga melalui
proses interpretasi akan didapatkan area yang diduga sebagai tempat fishing
ground (Afifi dan Ridho, 2014).
III.3. Citra Modis
Modis (Moderate-Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan salah satu
sensor yang dimiliki EOS (Earth Observing System) dan dibawa oleh dua wahana
NASA yaitu satelit Terra dan satelit Aqua. Sensor Modis merupakan turunan dari
sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer), SeaWiFsS (Sea-
Viewing Wide Field of View Sensor) dan HIRS (High Resolution Imaging
Spectrometer) yang dimiliki EOS yang sebelumnya telah mengorbit.
Sensor Modis pertama diluncurkan pada satelit Terra pada tanggal 18 Desember
1999 dan sensor MODIS kedua diluncurkan pada satelit Aqua pada tanggal 4 Mei
2002. Sensor MODIS melewati titik yang sama di bumi sekitar dua kali per hari. Satelit
Terra dan Aqua mengorbit bumi pada arah yang berlawanan, dengan Terra melintasi
katulistiwa dari utara ke selatan di pagi hari dan Aqua melintasi katulistiwa dari selatan
ke utara disore hari. Orbit ganda ini memungkinkan titik yang sama di bumi untuk
dapat dilihat sekitar dua kali per hari, sekali selama pagi dan sore, yang
memaksimalkan jumlah gambar bebas awan yang dikumpulkan dan didownload setiap
hari. Sistem satelit ini terus memberikan data ganda Modis secara real-time untuk
stasiun di permukaan tanah dan semua data Modis disediakan gratis untuk semua
pengguna.
Tabel 3.1. Spesifikasi Satelit Modis
(Sumber : http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php)
Orbit: 705 km, 10:30 a.m. descending node (Terra) or 1:30 p.m.
ascending node (Aqua), sun-synchronous, near-polar,
circular
Scan Rate: 20.3 rpm, cross track
Swath
Dimensions:
2330 km (cross track) by 10 km (along track at nadir)
Telescope: 17.78 cm diam. off-axis, afocal (collimated), with
intermediate field stop
Size: 1.0 x 1.6 x 1.0 m
Weight: 228.7 kg
Power: 162.5 W (single orbit average)
Data Rate: 10.6 Mbps (peak daytime); 6.1 Mbps (orbital average)
Quantization: 12 bits
Spatial
Resolution:
250m (bands 1-2)
500 m (bands 3-7)
1000 m (bands 8-36)
Design Life: 6 years
Sensor Modis menghasilkan resolusi radiometrik 16-bit perpiksel dan
menghasilkan citra digital dalam beberapa band yaitu : biru (band 3), merah (band 1),
hijau (band 4), near-infrared (band 2, 5, dan 16-19), SWIR (band 6 dan 7), visible (band
8-15), MWIR (band 20-26), dan TIR (band 27-36). Sementara resolusi spasial antara
250 m hingga 1000 m: band 1 dan 2 (250m), band 3-7 (500m), dan band 8-36 (1000m).
(Prahasta, 2008).
Pada Citra Modis, terdapat beberapa bagian atau level citra yang bisa di dapat,
yaitu :
1. Level 0 merupakan data mentah yang baru di dapat dari satelit.
2. Level 1 merupakan data mentah ditambah dengan informasi tentang kalibrasi
sensor dan geolokasi.
a. Level 1a mengandung informasi lebih yang dibutuhkan pada set data. Data
ini digunakan untuk input geolocation, calibration, dan processing.
b. Level 1b adalah data yang telah mempunyai terapannya, hasil dari kalibrasi
sensor pada level 1a.
3. Level 2 merupakan data citra gabungan dari data level 1a dan 1b. Data level 2
menetapkan nilai geofisik pada tiap piksel, yang berasal dari perhitungan raw
radiance level 1a dengan menerapkan kalibrasi sensor, koreksi atmosfer, dan
algoritma bio-optik. Pada umumnya ahli - ahli oseonografi menggunakan data ini
untuk penelitian yang akan dilakukan.
4. Level 3 merupakan data citra yang telah terdapat semuanya seperti algoritma,
koreksi, klasifikasi karena data hanya menampilkan nilai data yang dibutuhkan.
Data ini merupakan data level 2 yang dikumpulkan dan dipaketkan dalam periode
1 hari, 3 hari, 8 hari, 1 bulan, dan 1 tahun.
III.4. Klorofil-a
Klorofil-a merupakan pigmen hijau fitoplankton yang digunakan dalam proses
fotosintesis. Semua fitoplankton mengandung klorofil-a yang beratnya kira – kira 1 – 2
% dari berat kering alga (Realino, 2005). Sebenarnya ada tiga macam klorofil, yaitu
klorofil-a, klorofil-b, dan klorofil-c. Dari ketiga jenis klorofil tersebut, klorofil-a
merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton sehingga
kelimpahannya dapat dilakukan melalui pengukuran konsentrasi klorofil-a di perairan
(Parsons et al., 1984 dalam Realino, 2005).
Klorofil-a merupakan salah satu dari parameter yang sangat menentukan
produktivitas primer di perairan pantai atau laut. Klorofil-a merupakan suatu pigmen
yang didapatkan dalam fitoplankton dan mempunyai fungsi sebagai mediator dalam
proses fotosintesis. Oleh karena itu, kandungan klorofil-a dalam perairan merupakan
salah satu indikator tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat kesuburan
suatu perairan. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil-a sangat terkait
dengan kondisi oseanografis suatu perairan (Wyrtki, 1961 dalam Hartoko et. al. 2009).
Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan
kedalaman perairan. Di Laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi konsentrasinya pada
perairan pantai dan pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai. Tingginya sebaran
konsentrasi klorofil-a di perairan pantai dan pesisir disebabkan karena adanya suplai
nutrien dalam jumlah besar melalui run-off dari daratan, sedangkan rendahnya
konsentrasi klorofil-a diperairan lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien dari
daratan secara langsung. Namun pada daerah- daerah tertentu di perairan lepas pantai
dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Keadaan ini
disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses fisik
massa air, dimana massa air mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan
permukaan (Valiela, 1984 dalam Hartoko et. al., 2009).
Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien
dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup
tersedia, maka konsentrasi klorofil-a akan tinggi, begitu pula sebaliknya. Perairan
oseanis di daerah tropis umumnya memiliki konsentrasi klorofil-a yang rendah karena
keterbatasan nutrien dan kuatnya stratifikasi kolom perairan akibat pemanasan
permukaan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Namun berdasarkan pola penyebaran
klorofil-a secara musiman maupun secara spasial, di beberapa bagian perairan dijumpai
konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi. Hal ini disebabkan karena adanya pengkayaan
nutrien pada lapisan permukaan perairan melaui dinamika massa air, diantaranya yaitu
upwelling, percampuran vertikal massa air, serta pola pergerakan massa air yang
membawa nutrien dari perairan sekitarnya (Tubalawony, 2007).
III.5. Parameter Oseanografi
Keberadaan ikan pada suatu perairan berhubungan dengan parameter - parameter
oseanografi di perairan tersebut seperti suhu permukaan laut, salinitas, arus, dan
ketersediaannya sumber makanan. Informasi mengenai parameter - parameter
oseanografi sangat dibutuhkan untuk penentuan lokasi fishing ground.
III.5.1.Suhu Permukaan Laut
Nybakken dan James (1992) menyatakan bahwa suhu adalah ukuran
energi molekul. Di samudera, suhu bervariasi secara horisontal sesuai dengan
garis lintang dan juga secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Suhu
merupakan salah satu faktor pentng dalam mengatur proses kehidupan dan
penyebaran organisme.
Suhu permukaan laut merupakan salah satu faktor utama penggerak siklus
musim baik di daerah tropis maupun sub tropis dimana suhu permukaan laut
akan mempengaruhi kondisi atmosfer, cuaca, dan musim. Bahkan munculnya
fenomena El Nino dan La Nina dapat dipelajari melalui suhu permukaan laut.
Banyak lagi hal lain terkait aplikasi yang dapat dipengaruhi oleh suhu
permukaan laut, diantaranya kesuburan perairan atau laut serta bidang perikanan
(Ghazali, 2010).
Suhu merupakan faktor pembatas bagi proses produksi lautan. Faktor ini
bersifat tidak langsung, pertama suhu yang terlalu tinggi dapat merusak jaringan
tubuh plankton, yang kedua akan menggangu perairan itu sendiri. Selain itu,
suhu berpengaruh terhadap pergerakan zooplankton yang akan sangat jelas pada
lapisan termoklin di lautan. Pada lapisan ini, terjadi perubahan suhu yang sangat
drastis dan ini merupakan penghalang bagi pergerakan vertikal zooplankton,
yang berarti berpengaruh juga terhadap distribusinya (Raymont, 1980 dalam
Utami, 2010).
Suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan ikan, aktifitas, dan
mobilitas gerakan, penyebaran, kelimpahan penggerombolan, maturasi,
fekunditas, pemijahan masa inkubasi, dan penetasan telur serta kelulusan hidup
larva ikan. Perubahan suhu perairan di bawah suhu optimal meyebabkan
penurunan aktifitas gerakan dan aktifitas makan serta menghambat
berlangsungnya proses pemijahan (Nofridiansyah, 2010).
Di permukaan laut, suhu bervariasi secara horisontal sesuai dengan garis
lintang dan juga secra vertikal sesuai dengan kedalaman laut tersebut. Nontji
(1987) menyatakan bahwa suhu merupakan parameter oseanografi yang
mempunyai pengaruh sangat dominan terhadap kehidupan ikan khususnya dan
sumber daya hayati laut pada umumnya. Menurut Hefni (2003) dalam Utami
(2010), kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan plankton sekitar 20°C sampai
30°C.
Menurut Laevastu dan Rosa (1962) dalam Sinaga (2006), untuk perairan
tropis, pengaruh suhu permukaan laut terhadap distribusi ikan adalah kecil, hal
ini disebabkan karena suhu relatif sama (konstan) sepanjang tahun. Oleh karena
itu, deteksi keberadaan ikan berdasarkan suhu permukaan laut di daerah tropis
mempunyai tingkat ketidakpastian yang relatif tinggi.
III.5.2.Pola Arus Permukaan
Arus adalah proses pergerakan massa air laut yang menyebabkan
perpindahan massa air laut tersebut secara terus – menerus (Gross, 1972 dalam
Rusman 2014). Sementara itu, Pond dan Pickard (1983) dalam Rusman (2014)
mengemukakan bahwa arus laut adalah proses gerakan massa air laut menuju
kesetimbangan hidrostatis yang menyebabkan perpindahan horisontal dan
vertikal massa air.
Pola arus permukaan sangat mempengaruhi ikan dalam penyebarannya.
Dimana arus ini sangat berpengaruh saat ikan bertelur dan mencari makan.
Karena dasar inilah banyak ikan yang melakukan migrasi untuk menemukan
daerah dengan arus yang sesuai dengan habitat ikan tersebut. Migrasi ikan - ikan
dewasa disebabkan arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai bentuk rute
alam. Tingkah laku ikan dapat disebabkan arus, khususnya arus pasang surut.
Arus secara langsung dapat mempengaruhi distribusi ikan - ikan dewasa dan
secara tidak langsung akan sangat mempengaruhi pengelompokan makanan
(Laevastu dan Hayes 1981).
Fishing ground yang paling baik biasanya terletak pada daerah batas
antara dua arus atau di daerah upwelling dan divergensi. Batas arus
(konvergensi dan divergensi) dan kondisi oseanografi dinamis yang lain (seperti
eddies), berfungsi tidak hanya sebagai perbatasan distribusi lingkungan bagi
ikan, tetapi juga menyebabkan pengumpulan ikan pada kondisi ini.
Pengumpulan ikan - ikan yang penting secara komersil biasanya berada pada
tengah - tengah arus eddies. Akumulasi plankton dan telur ikan juga berada di
tengah - tengah antisiklon eddies. Pengumpulan ini bisa berkaitan dengan
pengumpulan ikan dewasa dalam arus eddies (melalui rantai makanan). (Reddy,
1993).
III.6. Upwelling
Upwellingadalah penaikan massa air laut dari lapisan dalam ke lapisan
permukaan. Gerakan naik ini membawa serta air yang suhunya lebih dingin, salinitas
tinggi, dan zat – zat hara yang kaya naik ke permukaan (Nontji, 2002 dalam Satrya,
2010). Biasanya di daerah upwellingselalu diikuti dengan tingginya produktivitas
plankton. Sebaran suhu permukaan laut merupakan salah satu parameter yang dapat
digunakan untuk mengetahui terjadinya proses upwellingdi suatu perairan (Nikyuluw,
2005 dalam Satrya, 2010). Dalam proses upwelling ini terjadi penurunan suhu
permukaan laut dan tingginya kandungan zat hara dibandingkan daerah sekitarnya.
Tingginya kandungan zat hara tersebut merangsang perkembangan fitoplankton di
permukaan. Karena perkembangan fitoplankton sangat erat kaitannya dengan tingkat
kesuburan perairan, maka proses upwelling selalu dihubungkan dengan meningkatnya
produktivitas primer di suatu perairan dan selalu diikuti dengan meningkatnya populasi
ikan di perairan tersebut (Pariwono et al., 1988 dalam Satrya, 2010).
Menurut Realino, (2005) dalam Nofridiansyah (2010), upwelling dapat terjadi
karena tiga proses yaitu :
1. Upwelling terjadi pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan suatu
rintangan seperti mid-ocean ridge (suatu ridge yang berada di tengan lautan)
dimana arus tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke
permukaan.
2. Upwellingterjadi ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat
massa air di utara berada di bawah pengaruh gaya Coriolis dan massa air di
selatan ekuator bergerak kearah selatan di bawah gaya Coriolis juga. Keadaan
tersebut akan menimbulkan ruang kosong pada lapisan di bawahnya, hal ini
terjadi karena adanya divergensi pada perairan tersebut.
3. Upwellingdapat pula disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai akibat tiupan
angin yang terus – menerus selama beberapa waktu. Arus ini membawa massa air
di permukaan pantai ke laut lepas yang mengakibatkan ruang kosong di daerah
pantai yang kemudian diisi oleh massa air di bawahnya.
Upwelling yang berskala kecil seperti umumnya terdapat di perairan Indonesia
berkaitan erat dengan sistem arus yang ada. Penelitian upwellingtelahdilakukandi
berbagai perairan di Indonesia, beberapa daerah upwelling telah diketahui dan
dibuktikan dengan pasti, tetapi di beberapa daerah lain masih merupakan dugaan yang
perlu dikaji lebih lanjut. Upwelling di perairan Indonesia dan sekitarnya ada yang
berskala besar seperti di selatan Jawa danada yang berskala kecil seperti di Selat
Makassar dan Selat Bali (Birowo, 1979 dalam Satrya, 2010).
III.7. Front
Front adalah pertemuan dua massa air yang mempunyai karakteristik berbeda,
baik temperaturnya maupun salinitasnya, seperti pertemuan antara massa air dari laut
Jawa yang lebih panas dengan dengan air dari Samudera Hindia yang lebih dingin
(Utami, 2010). Menurut Denman dan Powell (1984) dalam Sinaga (2006), terbentuknya
shelf break frontdi suatu perairan akan mempengaruhi distribusi fitoplankton perairan
tersebut. Pada kondisi ini ditemukan hubungan antara keberadaan fitoplankton dengan
keberadaan frontdi suatu perairan.
Robinson (1991) dalam Utami (2010), menyatakan bahwa front penting dalamhal
produktivitas perairan laut karena cenderung bersama-sama air yang dingin dan kaya
nutrient. Frontyang terbentuk mempunyai produktivitas karena merupakan perangkap
baik zat hara dari kedua massa yang bertemu, sehingga merupakan feeding ground bagi
jenis ikan pelagis. Selain itu,, pertemuan dua massa air yang berbeda merupakan
perangkap bagi migrasi ikan karena pergerakan air yang cepat dan ombak yang besar,
hal ini menyebabkan daerah frontmerupakan fishing groundyang baik.
Beberapa hasil penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara
kelimpahan fitoplankton yang ada di daerah front. Dengan penginderaan jauh telah
ditemukan adanya perubahan warna air laut di daerah thermal front yang menyiratkan
perubahan konsentrasi klorofil dan fitoplankton. Selain itu, dijelaskan pula adanya
penyimpangan dari organisme planktonik dengan konsentrasi 104 organisme per liter
copepods di pantai di mana terjadi front, sedangkan spesies lain mendominasi di bagian
lepas pantai (Denman dan Powell, 1984 dalam Sinaga, 2006).
III.8. Laut Sawu
BAB IV METODOLOGI
IV.1. ALAT DAN BAHANIV.2. SPESIFIKASI ALAT HARDWARE DAN SOFTWARE
IV.3. METODE PELAKSANAAN PEKERJAANIV.4. JADWAL PEKERJAANIV.5. PELAKSANAAN PEKERJAAN
BAB V PELAKSANAAN
V.1 BLA BLA BLA
BAB VI PENUTUP
VI.1. KESIMPULANVI.2. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN1. HASIL PEKERJAAN
a. DATAb. PETAc. CD
2. ADMINISTRASIa. FORM PENGAJUAN KERJA PRAKTIKb. SURAT PERMOHONAN KERJA PRAKTIKc. SURAT BALASAN PERMOHONAN KERJA PRAKTIK DARI BPOLd. SURAT PENUGASANe. FORM KONSULTASI PEMBIMBING DARI BPOLf. FORM KONSULTASI PEMBIMBING DARI JURUSANg. SURAT KETERANGAN TELAH MELAKUKAN KERJA PRAKTIK