tajuk utama vol. 1, no. 1, edisi juli 2012 resorsinol ... · pdf filejakarta sebagai contoh...
TRANSCRIPT
Forpro 1
Industri kayu berupa produk majemuk (papan partikel,
kayu lapis, venir lamina), kayu olahan, pulp, komponen mebel dan
lain sebagainya di Indonesia merupakan industri penghasil devisa
dengan nilai ekspor mencapai US $ 750.000.000 atau 45,23 % dari
nilai ekspor hasil pertanian dan kehutanan atau setara
dengan 10,25 % dari seluruh nilai ekspor.
Dalam industri kayu majemuk, perekat
merupakan salah satu bahan utama yang
amat penting karena berperan 20-60%
dari seluruh biaya produksi. Sampai saat ini,
sebagian besar perekat yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan industri kayu tersebut
adalah perekat sintetis jenis termoset seperti: Urea
formaldehida (80%), Phenol formaldehida (10%)
dan Melamin formaldehida (10%). Sementara untuk
produk kayu keperluan struktural atau bangunan
dan perkapalan masih menggunakan perekat
impor dari Belgia dan Jepang, yaitu perekat dingin
tipe WBP (Weather and Boil Proof ) dari jenis phenol
resorsinol formaldehida (
) dan resorsinol formaldehida
( ). Selain itu ada pula
jenis perekat termoplastik termoset yang berbahan
baku isosianat, poliuretan atau polivinilasetat dan
perekat .
Menurut data dari Biro Pusat Statistik, pada
tahun 2008 Indonesia telah mengimpor perekat
jenis termoset, yaitu: Urea formaldehida sebanyak
201,9 ton dengan nilai Rp 2,5 milyar, Phenol
formaldehida sebanyak 56,5 ton dengan nilai
Rp 30,9 milyar dan Melamin formaldehida sebanyak
353,8 ton dengan nilai Rp 21,8 milyar. Sementara
jenis perekat termoplastik termoset sebanyak
Phenol Resorcinol
Formaldehyde, PRF
Resorcinol Formaldehyde, RF
hotmelt
2.214,5 ton dengan nilai Rp 28,6 milyar, jenis perekat
sintetis lainnya sebanyak 1.336,5 ton dengan nilai
Rp 38,3 milyar dan jenis perekat alami mencapai
193,2 ton dengan nilai Rp 3 milyar. Jenis-jenis
perekat tersebut di atas sebagian besar merupakan
perekat sintetis yang berasal dari hasil pengolahan
minyak bumi di mana sumber dayanya bersifat tidak
dapat dipulihkan . Penggunaannya
juga menyebabkan pencemaran lingkungan dan
menghasilkan emisi gas.
Salah satu solusi alternatif pengganti bahan
baku perekat yang bersumber dari dalam negeri
dan mempunyai sifat dapat dipulihkan (
serta ramah lingkungan antara lain dari ekstrak cair
limbah kayu merbau ( spp.). Kayu merbau
sebagai salah satu jenis kayu komoditi ekspor
Indonesia, mudah dikenal dari seratnya yang
berwarna merah kecokelatan, memiliki keunggulan
dalam kekerasan dan tektur halus kayunya.
Kegunaanya cukup luas sebagai
karena sifat fisik dan mekanik yang dimilikinya
membuat kayu merbau menjadi sebuah simbol
exlusive dalam hal untuk penggunaan di
dalam ruangan. Salah satu kelemahan kayu ini
adalah dalam keadaan hujan atau lembab, kayu
merbau mampu mengeluarkan senyawaan ekstrak-
tif berwarna merah, yang menurut hasil analisa
(non renewable)
renewable)
Intsia
kayu bangunan
desain
Resorsinol Limbah
Biomassa Kayu Merbau
Perekat Kayu Komposit
dari
sebagai
Oleh : Adi Santoso
Tajuk UtamaTajuk Utama � Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012
ekstrak cair tersebut mengandung komponen
kimia fenolik yamg didominasi oleh senyawa
resorsinol. Keberadaan senyawa fenolik dalam kayu
ini salah satunya berfungsi sebagai bahan
pembangun dinding sel dan sistem pertahanan
tumbuhan terhadap serangga penggerek tanaman.
Ekstrak cair limbah kayu merbau yang
didominasi senyawa resorsinol ini ternyata dapat
dikopolimerisasi membentuk kopolimer sebagai
resin untuk aplikasi perekat kayu untuk proses
kempa dingin yang kualitasnya sekelas dengan
perekat golongan resorsinol impor, seperti phenol
resorsinol formaldehida (
) dan resorsinol formaldehida
( ). Pada skala labora-
torium produk kopolimerisasi ekstrak cair limbah
kayu merbau ini dapat diaplikasikan pada
pembuatan produkkayu lamina dengan proses
kempa dingin 1 - 3 jam, berupa
(CLT) dari 5 (lima) jenis kayu sengon, pinus, mindi,
pangsor dan mangium, baik secara tunggal
maupun kombinasi dari jenis-jenis kayu tersebut.
Emisi formaldehida dari produk kayu lamina
tersebut tergolong F**** (klasifikasi produk paling
rendah emisi).
Uji coba di laboratorium juga menunjukkan
bahwa resin produk kopolimerisasi ekstrak merbau
ini dapat diaplikasikan pada pembuatan kayu lapis
berinti sengon (tripleks maupun multipleks)
dengan kempa dingin selama 10 menit, kempa
panas (120 C) selama 2 menit pada 4 (empat) jenis
kayu keruing, meranti merah, manii, dan pinus
masing-masing sebagai lapisan atas dan bawah.
Uji coba aplikasi resin produk kopolimerisasi
resorsinol dari ekstrak limbah kayu merbau dalam
pembuatan produk majemuk pada skala industri
untuk ekspor ke Amerika dan Timur Tengah berupa
produk pada 7 (tujuh)
jenis kayu, yaitu: Sungkai, Oak, Kempas, Merbau,
Acacia, Mahoni dan Karet, masing-masing meng-
gunakan dari jenis kayu sengon di daerah Jawa
Tengah memperlihatkan hasil yang memuaskan,
demikian pula hasil uji coba pada pembuatan kayu
lamina untuk sarang lebah (ekspor ke Korea) di
daerah Jawa Barat dan kayu lapis sengon (ekspor ke
Jepang) di Propinsi Banten.
Prospek penggunaan perekat berbahan dasar
dari limbah biomassa merbau sangat me-
nguntungkan guna mencapai dan
. Langkah pemanfaatan ini pelu
didukung semua perekatan kayu di
Indonesia.
Phenol Resorcinol
Formaldehyde, PRF
Resorcinol Formaldehyde, RF
Cross Linked Timber
3 ply-1strip flooring parquet
core
green technology
green product
stakeholder
O
Forpro2
Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012 �
Forpro 3
PENGAWETANKAYU:
Pengawetan kayu adalah suatu upaya untuk meningkatkan keawetan atau
meningkatkan kekebalan kayu terhadap serangan organisme perusak kayu,
sehingga umur pakai kayu bertambah panjang menjadi beberapa kali lipat.
Pengawetan kayu dapat mencegah kerusakan kayu akibat jamur, serangga
(rayap dan bubuk), penggerek kayu di laut, kembangsusut dan kebakaran.
Dengan manfaat seperti itu, kita semua semestinya gemar menerapkan
pengawetan kayu dalam setiap pemanfaatan kayu untuk sesuatu yang
permanen. Siapapun pasti menginginkan kayu bangunan (konstruksi) rumah
dan gedung yang dimilikinya awet.
Sebenarnya nenek moyang kita sudah
menyadari manfaat keawetan dan pe-
ngawetan kayu. Mereka punya kearifan
untuk itu, mulai dari penentuan waktu kapan
sebatang pohon sebaiknya ditebang, meren-
damnya dalam lumpur, di kolam atau air mengalir,
hingga mengasapi kayu atau bambu.
Sayangnya, justru dewasa ini pengawetan kayu
di Indonesia belum membudaya. Bahkan ada
kelompok masyarakat yang masih meragukan
manfaat pemberian bahan pengawet kepada kayu.
Padahal, pengawetan kayu tidak hanya mencip-
takan kekebalan kayu, tetapi juga penting dalam
menjaga kelestarian sumberdaya hutan dan
kesinambungan usaha.
Di Indonesia, jenis kayu yang memiliki keawetan
tinggi atau tergolong ke dalam kelas awet I dan
II jumlahnya relatif sedikit, yaitu kira-kira hanya
600 dari 4.000 jenis yang dapat mencapai
diameter 40 cm. Di samping itu, kita juga tidak
boleh terjebak dengan nama jenis kayu yang sudah
dikenal awet (I dan II), karena sekarang banyak
pohon yang dipanen pada umur muda, sehingga
umur layanannya menjadi singkat. Contoh, kayu
rasamala ( ) yang secara alamiAlitingiaexcelsa
awet (kelas awet II), pada umur pohon 48 tahun
ternyata umur layanannya hanya 33 bulan dan
jati ( termasuk kelas awet II jika daur
teknisnya 80 tahun, padahal sekarang mau
diturunkan menjadi 30 tahun. Keawetan jati umur
30 tahun sudah pasti tidak sama dengan jati umur
80 tahun.
Sesungguhnya dugaan akan terjadi kelangkaan
akan bahan bangunan organik khususnya kayu
awet di Indonesia sudah diprediksi sejak awal abad
ke 20, ketika pada tahun 1911 Jawatan Kereta Api
mengimpor bantalan rel dari kayu yang telah
diawetkan. Untuk menjawab tantangan tersebut,
pada tahun 1939 Jawatan Kehutanan di Bengkalis,
Riau mendirikan industri pengawetan kayu, ketika
mendapat order untuk ekspor bantalan rel kereta
api dari kayu kempas ( sp.). Kemudian,
pada tahun 1953 NV. Gebr. Van Swaay atas
permintaan Jawatan Kehutanan membuka
cabangnya di Surabaya dan Tanjung Priok untuk
antara lain: (1) mengawetkan kayu tiang listrik PLN,
(2) mengawetkan kayu perumahan dalam proyek
Tectonagrandis)
Koompassia
Sempat Mendapat Perhatian
Belum Membudaya MeskiManfaatnya Nyata
Oleh : Barly
Tajuk UtamaTajuk Utama � Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012
khusus Kebayoran dan Slipi dan (3) mengawetkan
kayu bantalan dan bangunan di pelabuhan.
Pada tahun 1966, Direktorat Jendral Kehutanan
mendirikan pabrik pengawetan kayu di Cipinang,
Jakarta sebagai contoh pengawetan kayu yang
berasal dari luar Jawa. Hasilnya cukup memuaskan
sehingga pemakaian kayu jati )
untuk bantalan rel, tiang listrik dan telepon dapat
dikurangi.
Pengawetan kayu nampak mulai menjanjikan
pada tahun 1970-an sejalan dengan rencana
pembangunan lima tahunan (REPELITA), yaitu
ditandai dari bertambahnya instalasi proses vakum-
tekan dari 3 (tiga) menjadi 14 unit (1974) dan 32 unit
(1986). Instalasi tersebut digunakan untuk melayani
PLN dalam rangka mengawetkan 40.000 tiang kayu
yang terdiri atas kayu rasamala ( ),
tusam ( ) di Wilayah Exsploitasi IX
Jawa Tengah dan kayu damar laut ( sp.) dan
keruing ( spp.) di Wilayah Eksploitasi
Sumatra Utara. Di samping itu, Koperasi Listrik
Pedesaan menggunakan berbagai jenis kayu
setempat guna keperluan jaringan di Luwu
(SulawesiTengah), Lombok dan Lampung.
Selain instalasi proses vakum-tekan, masih ada
puluhan instalasi pengawetan dengan proses
rendaman dingin dan panas-dingin yang dikelola
oleh para pengembang perumahan terutama yang
mendapat fasilitas kredit melalui Bank Tabungan
Negara (KPR-BTN). Di samping itu, PT INHUTANI di
Samarinda membangun unit perumahan pra-
pabrik yang dipasarkan di Kalimantan Timur dari
kayu meranti yang diawetkan, PERUMNAS
membangun industri rumah pra-pabrik di Cibadak,
Sukabumi dan Semarang, menggunakan kayu
borneo yang diawetkan dan PT Djajanti Djaya
membuat rumah pra-prabik di Irian Jaya.
Pengawetan kayu bulat di pembalakan dan kayu
gergajian dari jenis kayu yang berwarna cerah
(Tectonagrandis
Altingiaexcelsa
Pinusmerkusii
Shorea
Dipterocarpus
Forpro4
seperti ramin ( ), Jelutung
( sp.), tusam ( ) dan meranti putih
( spp.) juga dimulai pada awal tahun 1970
yang bertujuan untuk mencegah jamur biru
( ) dan penggerek kayu basah. Cara
tersebut kemudian marak ketika kayu karet
( ) menjadi primadona sebagai
pengganti peran kayu ramin.
Meskipun substitusi kayu seperti beton, baja
ringan dan plastik (WPC) sudah tersedia di pasar,
untuk berbagai tujuan penggunaan, kayu dengan
berbagai keunggulannya tidak tergantikan.
Contoh, bantalan rel kereta api yang dipasang di
jembatan, sambungan dan wesel, PT KAI tetap akan
menggunakan kayu. Kebutuhan rumah di
Indonesia terus meningkat dari 7,4 juta unit pada
tahun 2004 menjadi 8 juta unit pada tahun 2009.
Pada tahun 2012 kekurangan rumah diperkirakan
sebanyak 13,6 juta unit dengan perhitungan
penambahan kebutuhan sebesar 800 ribu unit
setiap tahun karena didorong oleh pertumbuhan
jumlah penduduk yang memerlukan rumah baru
dan perbaikan rumah yang rusak. Dari jumlah
kebutuhan tersebut, 200.000 unit diantaranya
direncanakan berbentuk rumah panggung guna
pemenuhan kebutuhan rumah murah bagi
masyarakat di pedesaan.
Persoalan utama dalam pembangunan rumah
murah bagi rakyat terletak pada kelangkaan bahan
baku kayu yang berkualitas. Kebutuhan masyarakat
u n t u k m e m b a n g u n b e r b a g a i k o n s t r u k s i
diperkirakan sebanyak 25 juta m kayu bulat per
tahun. Sementara, perkiraan kebutuhan kayu
gergajian untuk keperluan perumahan berkisar
antara 6-8 juta m . Jumlah itu akan bertambah
seiring dengan banyaknya peristiwa bencana alam,
yang berujung pada kebutuhan kayu untuk
memperbaiki bangunan rumah atau konstruksi
yang rusak.
Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, perlu
dilakukan kampanye tentang pengawetan kayu,
khususnya pengawetan dengan cara sederhana
menggunakan bahan dan peralatan yang tersedia
di pasar lokal. Di samping itu, pengawetan kayu
tentunya perlu mendapatkan dukungan penuh dari
semua pihak, termasuk masyarakat. Karena diakui,
sampai saat ini masih dijumpai sejumlah tantangan,
antara lain: pemahaman yang kurang dari sebagian
kalangan masyarakat, mitos yang salah bahwa
pengawetan itu mahal, bahaya pencemaran
Gonistylusbancanus
Dyera Pinusmerkusii
Shorea
blue stain
Heveabrasiliensis
Perlu Disosialisaikan Kembali
3
3
Pengawetan kayu dengan bahan kimia
menggunakan alat vakum tekan di Pustekolah - Bogor
Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012 �
Forpro 5
lingkungan, kendala geografis, sarana dan pra-
sarana, serta sumber daya manusia (SDM) yang
belum tersedia.
Masyarakat juga perlu memahami dampak dari
penggunaan kayu tidak awet. Kerugian yang
ditimbulkan bukan hanya dari segi materi berupa
pemborosan kayu, waktu dan biaya tetapi juga
imateri seperti rasa nyaman dan aman dari kelalaian
yang mengakibatkan bangunan tidak layak fungsi,
padahal hak masyarakat untuk memperoleh
kenyamanan dan keamanan dijamin dalam
Undang-undang No. 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung.
Di Indonesia memang belum tersedia data
berapa besar volume kayu yang setiap tahun
dihabiskan untuk mengganti konstruksi yang
lapuk. Di Amerika, angka tersebut ialah 10%. Angka
di Indonesia sangat mungkin lebih besar meng-
ingat kondisi alam kita yang memang kondusif
bagi organisme perusak kayu (OPK). Dengan asumsi
10% saja, berarti sekitar 3,636 juta m kayu bundar
setiap tahun rusak karena lapuk (asumsi produksi
kayu dari hutan alam sebesar 36,36 juta m
pertahun). Jika harga kayu bundar rata-rata
Rp. 500.000.-/m , maka kerugian tersebut bisa
mencapai Rp.1,818 triliun atau setara 363.600 ha
hutan jika potensinya 100 m /ha. Potensi kerugian
tersebut makin ke hilir akan bertambah besar,
sebab kerusakan kayu bukan saja karena pelapukan
(jamur), tetapi juga oleh serangga (bubuk dan
rayap) yang jenisnya cukup banyak. OPK tersebut
tumbuh dan berkembangbiak karena kondisi
lingkungan yang kondusif.
Sejatinya, masyarakat tidak perlu ragu akan
keamanan dan manfaat pengawetan kayu. Saat ini
Negara maju seperti Australia, New Zealand dan
Amerika Serikat masih terus melaksanakan peng-
awetan kayu. Bahkan negara tetangga seperti
Malaysia dan Thailand masih menggunakan kayu
yang diawetkangunakeperluanberbagaikonstruksi.
3
3
3
3
Pencegahan OPK melalui pengawetan
merupakan cara perlindungan paling efektif dan jauh
lebih murah ketimbang terlanjur kayu bangunan
rusak dan harus diganti. Jika daur teknis kayu
pertukangan diturunkan dapat dipastikan
keawetannya rendah. Dengan demikian peng-
awetan kayu bisa dikatakan investasi kehutanan
untuk masa depan. Oleh karena itu sebaiknya semua
kayu yang akan digunakan dalam konstruksi harus
diawetkan dan tersedia di pasar dengan harga yang
terjangkau oleh masyarakat. Sebab dengan
terhindarnya kayu dari serangan OPK, berarti
membantu menambah jumlah ketersediaan kayu
untuk berbagai keperluan, membuka kesem-patan
berusaha dan kelangsungan usaha dengan mutu
produk sesuai kebutuhan standar tanpa
mengganggu kelestarian hutan.
Segala sesuatu memang tidak akan berjalan
tanpa peran pemerintah yang signifikan. Dalam hal
pengawetan kayu, yang akan berdampak pada
penghematan hutan (pengurangan luas hutan
yang ditebang), Pemerintah dituntut untuk
mengeluark an kebi jak an-kebi jak an yang
mengarahkan pengawetan kayu menjadi budaya,
sebagaimana halnya di negara maju. Itu antara lain
dapat dalam bentuk menghidupkan kembali
peraturan atau ketentuan agar developer
perumahan menggunakan kayu yang diawetkan,
memberi subsidi bagi industri pengawetan kayu,
memberikan pelatihan SDM, dan sebagainya.
Dalam hal ini Kementerian Kehutanan perlu duduk
bersama dengan kementerian lainnya untuk
bersinergi menghasilkan kebijakan lintas sektoral
yang terbaik bagi negeri.
Peran Pemerintah
Kayu yang sudah diawetkan siap untuk digunakan
Alat/ruang kombinasi pengeringan dan pengawetan kayu
menggunakan energi surya dan listrik rancangan
peneliti Pustekolah - Bogor
� Vol. 1, No. 1, Edisi Juli 2012