ta’arudh adillah dan solusinya oleh : mhd. fikri maulana...
TRANSCRIPT
1
Ta’arudh Adillah dan Solusinya
Oleh : Mhd. Fikri Maulana Nasution
Pascasarjana Ilmu Falak UIN Walisongo Semarang
Abstrak
Ta’arudh Adillah menjadi topik yang hangat, Ta’arudh
Adillah merupakan pertentangan antara dua dalil hukum -
Islam. Dalil-dalil yang saling bertentangan padahal
sumber atau asal dari dalil-dalil itu adalah pembuat
syariat yakni Allah dan Rasulnya, sehingga untuk
memetakan pertentangan-pertentangan ada beberapa cara
yang telah dikenal untuk menyelesaikan Ta‟arudh al-
adillah seperti Nasakh, Tarjih ataupun Jam‟ wa Taufiq.
A. Latar Belakang
Ta‟arudh al-adillah adalah sebuah konsep usul
fikih yang menggambarkan adanya beberapa dalil syariah
yang merujuk kepada satu masalah yang sama dengan
ketentuan hukum yang berbeda bahkan berlawanan.
Dengan istilah lain frasa tersebut dapat diungkapkan
dengan istilah konflik dalil atau pertentangan dalil.1
Mengetahui adanya ta‟arudh al-adillah merupakan
salah satu cara untuk memahami hukum Islam dan
mengeluarkan hukum dari sumber aslinya, dalam usul
1Syamsul Anwar, “Ta‟ârud Al-Adillah dan Tanâwu‟ dalam Ibadah:
Tinjauan Tentang Bacaan Basmalah dalam Salat”, jurnal asy-Syir‟ah, Ilmu
Syari‟ah dan Hukum, Vol. 47, No. 2, Desember 2013, hlm. 417.
2
fikih dikenal istilah turuq al-istinbath (metode
menetapkan hukum). Penerapan turuq al-istinbath ini,
para fuqaha dapat memahami maksud, tujuan dan cara
pelaksanaan suatu hukum. Memahami ta‟arudh al-adillah,
fuqaha dapat menetapkan hukum, melaksanakan hukum
dan menyelesaikan hukum pada suatu permasalahan.
Menemukan hukum dari sumbernya sangat penting,
karena realitas permasalahan kehidupan manusia
mengalami perkembangan dari masa ke masa, begitu pula
pada era modern ini banyak permasalahan yang muncul
membutuhkan penyelesaian dari aspek hukum Islam.
B. Pengertian Ta’arudh al-Adillah
Pertentangan atau kontradiksi dalam bahasa Arab
disebut dengan ta‟arudh, yang artinya ketidakpaduan satu
dengan yang lainnya, atau ketidakcocokan satu dengan
yang lainnya.
Wahbah az-Zuhaili, secara etimologi berarti salah
satu dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dari
hukum yang dikehendaki dalil lain.
Asy-Syaukani dalam karya monumentalnya Irsyad
al-Fuhul menjelaskan berarti salah satu dari dua dalil
menunjukkan pada hukum suatu peristiwa tertentu,
sedangkan dalil yang lain menunjukkan hukum yang
berbeda dengan itu.
3
Al-Khudlari Bik menjelaskan, ta‟arudh ialah bila
maksud suatu dalil bertentangan dengan maksud dalil
lain.2
Menurut Abdul Wahab Khallaf yang perlu
diperhatikan dalam memahami ta‟arud al-adillah, yaitu
bahwasannya tidak terdapat kontradiksi yang sebenarnya
antara dua ayat atau antara dua hadis yang sahih atau
antara ayat dan hadits sahih. Jika kelihatannya ada
kontradiksi maka itu hanya lahirnya saja sesuai dengan
apa yang tampak pada akal, bukan kontradiksi yang
sebenarnya. Alasannya, karena Allah tidak mengeluarkan
dua hukum yang bertentangan untuk satu peristiwa dalam
satu waktu.3Tetapi jika kontradiksi itu terjadi pada qiyas
maka hal ini merupakan kontradiksi yang sebenarnya, oleh
karena itu boleh jadi salah satu dari dua qiyas itu ada
kesalahan.
Sebagaimana asy-Syatibi memandang bahwa pada
hakikatnya ta‟arudh al-adillah tidak mungkin terjadi,
karena dasar syari‟ah adalah wahyu Allah. Adanya hal itu
hanya dari segi pandang mujtahid, manakala dua dalil
tidak mungkin dikompromikan. Dengan demikian, adanya
2Ahmad Atabik, “Kontradiksi Antar Dalil dan Cara
Penyelesaiannya Prespektif Ushuliyyin”, jurnal Yudisia, Pemikiran Hukum
dan Hukum Islam, Vol. 6, No. 2, Desember 2015, hlm. 258. 3 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-
Dakwah al-Islamiyah, tt),hlm. 320.
4
realitas pemahaman mengenai kontradiksi dalil ini
tampaknya merupakan problem kemampuan seorang
mujtahid atau ahli hukum Islam dalam memadukan dalil,
baik dari konsep sejarah maupun maknanya. Dalam
konteks inilah ta‟arudh al-adillah dipahami, yakni
masing-masing dari dua dalil atau lebih yang
menghendaki adanya suatu hukum yang berbeda, dan
dalil-dalil tersebut sederajat.4
Seperti ulama lainnya, as-Syatibi berpendapat
bahwa inti ta‟arudh ini berkisar pada dua petunjuk yang
berbeda, satu menafikan dan yang lain menetapkan.
Seperti memandang keserupaan yang berlaku pada suatu
kasus, umpamanya dalam kasus hamba yang dapat dilihat
dari sudut manusianya (adami) atau dianggap harta (mal).
Contoh lain, pertentangan sebab-sebab, seperti
mencampur adukan mayat dengan binatang yang
disembelih atau mencampuradukan istri dengan
perempuan ajnabiyah, karena masing-masingnya ada
kemungkinan sebab adanya yang dihalalkan dan
diharamkan. Contoh lain, pertentangan syarat, seperti
pertentangan dua penjelasan, ketika kita mengatakan
bahwa syahadah adalah syarat bebasnya hukuman, maka
4 Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam: Membongkar
Konsep al-Istiqra‟ al-Ma‟nawi asy-Syatibi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2013), hlm. 151-152.
5
salah satu keduanya menurut penetapan dan yang lain
menuntut penundaannya.5 Jadi, dalam kenyataannya
kontradiksi dalil yang terjadi tidak terlepas dari tiga
kemungkinan, yaitu: pertentangan dari segi lahiriyahnya
semata, kesulitan mengkompromikan dua dalil yang
nampak bertentangan, atau kesalahan anggapan terhadap
satu dalil yang sebetulnya bukan dalil.6
C. Jenis-jenis Ta’arudh al-Adillah
Dalam ta‟arudh al-adillah ada empat jenis, yaitu:7
a. Ta’arudh antara al-Qur’an dengan al-Qur’an.
Sebagaimana firman Allah:
ٱنبغبل م ٱنخ خهق يب ل حؼه صت ش نخشكبب ٱنح
Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai,
untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah
menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.(QS.
An-Nahl (16): 8).
Ayat di atas, dapat diambil sebuah pengertian bahwa kuda,
baghal, dan keledai hanya diperuntukkan untuk kendaraan
saja, sedang ayat berikut bermakna berbeda.
5Ibid., hlm. 153. 6 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, alih bahasa Saefullah
Ma‟shum, dkk, cet. ke-18, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2016), hlm. 501. 7Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih,
(Jakarta: Amzah, 2005), hlm. 313-314.
6
ب حأكه ي ب ؼبو نخشكبا ي انهز جؼم نكى الأ الله
Allahlah yang menjadikan binatang ternak untuk kamu,
sebagiannya untuk kamu kendarai dan sebagiannya untuk
kamu makan. (QS. Al-Mu‟min (40): 79).
b. Ta’arudh antara Sunnah dan Sunnah
ػ ػبئشت ه صهه الل ػه ه انهب ب اه الل ػ او سلايت سض
و )يخفق ػه( ص بع ثىه غخسم ج صبح جبب ي سههى كب
Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra. bahwa Nabi ketika
masuk waktu subuh dalam keadaan junub karena
melakukan jima‟ kemudian mandi dan menjalankan
puasa.
Hadis ini bertentangan dengan hadis lain yang berbunyi:
ي و احذكى جبب فلا ص بح لاة انص نهصه د ارا
Bila telah dipanggil untuk salat Subuh, sedang salah satu
di antaramu dalam keadaan junub maka jangan puasa di
hari itu.
c. Ta’arudh antara Sunnah dengan Qiyas
Ta‟arudh antara sunnah dengan qiyas, dapat dilihat dalam
contoh tentang ukuran hewan untuk aqiqah berdasarkan
sunnah, satu kambing untuk putri dan dua kambing untuk
putra, berdasar hadis:
انجبست شبة ػ يكبفئخب انغلاو شبحب قت حق ػ انؼق
7
Aqiqah itu sesuatu yang mesti dikerjakan untuk anak laki-
laki dua kambing dan untuk anak perempuan seekor
kambing. (HR. Asma binti Yazid)
Bagi yang berpegang pada qiyas maka untuk aqiqah ini
boleh hewan yang lebih besar, unta lebih dari sapi dan
sapi lebih dari kambing, ini hampir pendapat sebagian
besar fuqaha. Sedang yang berpegang pada bunyi hadis di
atas adalah Imam Malik, bahwa aqiqah itu dilakukan
dengan menyembelih kambing.
d. Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas
Contohnya adalah peng-qiyas-an masalah perkawinan
Nabi Muhammad saw. terhadap Siti Aisyah, sebagaimana
diriwayatkan Bukhari Muslim:
سههى نسج ل الل صهه الل ػه سس ج ه ػبئشت قبنج: حض ػ
)سا يسهى ػ ػبئشت( ج حسغ س أب ب ب ب س
Dari Aisyah beliau berkata: Rasulullah mengawini saya
ketika saya berumur enam tahun dan mengumpuliku
ketika saya sebagai gadis yang telah berumur sembilan
tahun. (HR. Muslim dari Aisyah)
Berdasarkan hadis di atas, dapat diambil sebuah hukum
kebolehan mengawinkan orang tua terhadap anaknya
yang belum dewasa tanpa izin yang bersangkutan yang
masih di bawah umur, demikian pendapat Hanafiyah.
8
Sedangkan ulama Syafi‟iyah menganggap karena
kegadisannya.
D. Cara Menyelesaikan Ta’arudh al-Adillah
Manakala seorang ahli hukum Islam menemukan
dalil-dalil yang bertentangan, maka secara umum
ditemukan dua metode penyelesaian. Pertama, metode
Hanafiyah, yaitu:
(1) Menerapkan teori nasakh, yakni membatalkan
hukum yang datang lebih dahulu dengan dalil yang datang
kemudian, setelah melalui usaha penelitian eksistensi dalil
dari sudut kesejarahan.
(2) Menerapkan teori tarjih, yaitu berusaha
menguatkan salah satu dari dalil-dalil yang bertentangan
tersebut berdasarkan petunjuk-petunjuk yang
mendukungnya, dengan memperhatikan segi petunjuk
kandungan nash dan segi keadilan para periwayat.
(3) Mengumpulkan dan mengompromikan dua dalil
yang tampaknya bertentangan berdasarkan prinsip
pengamalan dua dalil lebih utama dan pengabaiannya.
9
(4) Tasaqut ad-Dalilain, yaitu menggugurkan dua
dalil yang tampak bertentangan dan mencari dalil lain
sekalipun derajatnya lebih rendah. Kedua,
Metode Syafi‟iyah dalam menyelesaikan ta‟arudh al-
adillah , yaitu:
(1) Al-jam‟u wa at-taufiq (mengumpulkan dan
mengompromikan),
(2) Menetapkan teori nasakh (pembatalan hukum),
(3) Tarjih, yaitu menguatkan salah satu dalil atas
yang lain,
(4) Takhyir, memilih salah satu dalil yang
bertentangan,
(5) Tawaqquf, yaitu meninggalkan dua dalil yang
bertentangan dan mencari dari dalil yang lain.8
Menurut Abu Zahrah jika secara lahiriah terdapat dua
nash yang bertentangan, maka wajib mengadakan
penelitian dan ijtihad untuk mengumpulkan dan
mengkompromikan kedua nash tersebut dengan cara yang
benar disebut dengan istilah انجغ انخفق. Di antara
8 Ibid., hlm. 152.
10
metode al-jam‟u wa al-taufiq ialah pertama jika ada dua
nash yang satu bersifat khas dan yang satu lagi bersifat
„am, maka yang khas dapat mentakhsis yang „am. Kedua
dengan cara men-ta‟wil salah satu kedua nash ini. Jika
tidak mungkin dengan dua cara di atas, maka perlu
dilakukan ijtihad dengan cara memenangkan di antara
salah satu dua dalil atau yang disebut dengan tarjih. Jika
cara tarjih ini pun tidak mungkin sedangkan diketahui
sejarah datangnya dua nash itu, maka yang datang
kemudian adalah sebagai penghapus (nasikh) terhadap
dalil yang datang lebih dahulu. Jika cara terakhir ini pun
tidak mungkin maka harus ditangguhkan pengalaman dua
nash tersebut.9
Hal penting yang harus diketahui tentang ta‟arud al-
adillah yaitu bahwa kontradiksi dua dalil syara‟ tidak
mungkin terjadi kecuali apabila kedua dalil itu sama-sama
kuatnya. Apabila salah satu dari dua dalil itu ada yang
lebih kuat maka yang diamalkan adalah dalil yang lebih
kuat. Dengan demikian, maka tidak akan terjadi
kontradiksi antara dalil qaț‟i dengan dalil yang zānni,
antara naș dengan ijma‟ atau qiyas, maupun antara ijma‟
dengan qiyas. Kontradiksi hanya dapat terjadi antara dua
9Ibid.
11
ayat, atau dua hadis yang mutawatir atau antara dua
qiyas.10
Bahwa antara akal dan wahyu terdapat ruang
yang dapat dikompromikan. Kebebasan berpikir sebagai
kinerja akal namun harus dibatasi dengan tanggung jawab
dan moral. 11
1. Solusi Penyelesaian Ta’arudh12
Menurut Hanafiyah, ta‟arudh mungkin terjadi
diantara dalil-dalil syar‟i ataupun diantara dalil-
dalil lain yang tidak syar‟i. Jika yang terjadi
adalah ta‟arudh diantara dua dalil syar‟i, maka
seorang mujtahid harus menempuh empat
langkah berikut secara berurutan:
a. Nasakh
Disini seorang mujtahid dituntut untuk
mencari sejarah dari dua dalil syar‟i tersebut.
Apabila dapat diketahui secara pasti mana
dalil yang lebih dulu datang dan mana yang
terakhir datang, maka dilakukan voting
bahwa dalil yang datang belakangan itu
menasakh dalil yang datang lebih dulu.
10Ibid., hlm. 232. 11 Mahsun Mahfudz, Kebebasan Berpikir dan Etika (Mengintip
Ruang Bertemu dan Ruang Berpisah), Jurnal Hermenia 6 (2007). 12Ahmad Atabik, “Kontradiksi Antar Dalil dan Cara
Penyelesaiannya Prespektif Ushuliyyin”, jurnal Yudisia, Pemikiran Hukum
dan Hukum Islam, Vol. 6, No. 2, Desember 2015, hlm. 262-264.
12
Namun apabila dua dalil yang dimaksud itu
sama kuatnya, misalnya ada pertentangan
antara dua ayat yang memungkinkan untuk
menasakh satu sama lainnya, atau terjadi
ta‟arudh antara ayat dengan sunnah
mutawatir ataupun sunnah masyhur, atau
terjadi ta‟arudh diantara dua khabar yang
statusnya ahad.
Contoh terjadinya pertentangan antara ayat
dengan ayat adalah ayat tentang iddah wafat
dengan ayat tentang iddah hamil. Ayat
tentang iddah wafat berbunyi: “Orang-orang
yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri
itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah)
empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah:
234).
Ayat ini berdasarkan keumumannya
menghendaki bahwa setiap orang yang
meninggal dunia dan meninggalkan istri,
maka iddah istrinya berakhir dalam empat
bulan sepuluh hari, baik wanita itu dalam
keadaan hamil atau tidak.
13
Sedangkan ayat tentang iddah hamil
berbunyi: “Dan perempuan-perempuan yang
hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya.” (QS.
Ath-Thalaq: 4).
Nash ini sesuai dengan keumumannya
menunjukkan bahwa setiap wanita yang
hamil, iddahnya adalah sampai dengan
melahirkan, baik beriddah karena ditinggal
mati suaminya, atau karena dicerai. Secara
zhahir terjadi pertentangan diantara kedua
ayat di atas. Wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya dalam keadaan hamil, merupakan
suatu kasus dimana nash yang pertama
menghendaki bahwa iddahnya berakhir
dengan masa tunggu empat bulan sepuluh
hari, sedangkan nash yang kedua
menghendaki iddahnya berakhir dengan
melahirkan kandungannya.
Ibnu Mas‟ud meriwayatkan, bahwa status
ayat yang kedua turun belakangan dibanding
ayat yang pertama. Sehingga ayat yang
kedua statusnya menasakh ayat yang pertama
dalam hal penentuan waktu iddahyang
14
nampak bertentangan. Yaitu wanita hamil
yang ditinggal mati suaminya. Dengan
demikian iddah wanita hamil yang ditinggal
mati suaminya adalah dengan melahirkan.
Begitulah pendapat mayoritas ulama.
b. Tarjih
Al-Barzanji menjelaskan disaat mujtahid
tidak mengetahui sejarah dari dua dalil yang
saling kontradiktif, maka selanjutnya
dilakukan pentarjihan jika memungkinkan,
dengan beberapa metode tarjih yang akan
saya jelaskan pada pembahasan berikutnya.
Seperti mentarjihkan dalil yang muhakkam
dan mengakhirkan dalil yang mufassar.
Mentarjihkan ibarat dan mengakhirkan
isyarat. Mentarjihkan dalil yang
bersifatmengharamkan daripada yang
menghalalkan. Mentarjihkan salah satu
khabar ahad dengan menilai kedhabitan,
keadilan, atau kefakihan perawinya, dan lain
sebagainya.
Kalangan Hanafiyah lebih mendahulukan
metode tarjih daripada al-jam‟u (kompromi).
Karena mendahulukan yang rajih (kuat) dan
15
mengalahkan yang marjuh (lemah) adalah
logis. Sebagaimana yang dilakukan Abu
Hanifah. Ia lebih mendahulukan hadits yang
berbunyi: “Bersucilah kalian dari air
kencing,” daripada hadits yang menjelaskan
tentang penduduk „Urainah yang meminum
air kencing unta.
Abu Hanifah lebih mengamalkan hadits
“Bersucilah kalian dari air kencing,” karena
hadits ini jelas ada petunjuk pengharaman
(yaitu perintah untuk bersuci dari air
kencing), meskipun sebenarnya kalimat “air
kencing” itu sendiri masih bersifat umum
dan bisa dimaknai dengan kencingnya
binatang yang tidak dapat dimakan
dagingnya, atau air kencing yang dalam
kondisi tidak dijadikan obat. Abu Hanifah
berdalih bahwa menolak kemudharatan itu
lebih diprioritaskan daripada menarik
kemaslahatan.
c. Al-jam’u wa at-taufiq (metode kompromi)
Apabila kesulitan untuk dilakukan
pentarjihan, maka seorang mujtahid beralih
ke metode berikutnya, yaitu metode
16
kompromi diantara dua dalil. Sebab
mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu
lebih baik daripada meninggalkan keduanya.
Sedangkan cara-cara kompromi sebagaimana
disebutkan dalam kitab Musallam ats-tsubut
dan lainnya adalah dengan mengamati
karakter dua dalil yang ada. Misalnya kedua
dalil tersebut samasama bersifat umum,
maka dilakukan kompromi dengan cara
diversifikasi. Jika kedua dalil tersebut sama-
sama mutlak, maka dilakukan kompromi
dengan cara limitasi. Jika sama-sama khusus,
maka dilakukan kompromi dengan cara
pembagian. Jika kedua dalil ada yang umum
dan ada yang khusus, maka dilakukan
kompromi dengan cara menspesifikasi dalil
yang umum.
E. Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah dalam Konsep
Maqasid sebagai Solusi Konstruktif menurut
Yasser Audah13
Pada umumnya naskh merupakan produk
pemahaman manusia ketimbang produk wahyu. Yasser
13Jaser „Audah, al-Maqasid untuk Pemula, (Yogyakarta: Suka-Press
UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm. 66-69.
17
Auda dalam bukunya al-Maqasid untuk Pemula
memberikan contoh mengenai keterbatasan metode naskh.
Pada surat at-Taubah ayat 5, yang kemudian dinamakan
Ayah al-Sayf (Ayat Pedang), Allah berfiman:
ى جذح ث ح ششك فئرا ٱسهخ ٱلأشش ٱنحشو فٲقخها ٱن
خزى أقبيا ٱقؼذا نى كمه يشصذ فئ حببا ٱحصشى
حى غفس سه ه ٱلله ة فخها سبهى إ ك ا ٱنضه ءاح ة ه ٱنصه
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka
bunuhlah orang-orang musyrikin di mana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka.Kepunglah
mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka
bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi maha
Penyayang.”
Konteks sejarah dari ayat tersebut adalah konteks
perang antara kaum Muslimin dan kaum Musyrikin
Makkah pada tahun ke-9 H. Konteks tematik surah ke-9
adalah konteks dari perang yang sama.
Akan tetapi, ayat tersebut telah dicabut dari konteks
tematik dan konsep sejarahnya, dan diklaim sebagai
penentu hukum hubungan antarkaum Muslimin dan non-
Muslim di setiap tempat, waktu dan situasi. Sehingga
18
muncullah anggapan bahwa ayat tersebut berkontradiksi
dengan lebih dari 200 ayat al-Qur‟an yang lain, yang
semuanya mengajak kepada dialog, kebebasan akan
kepercayaan, pemberian maaf, damai dan kesabaran.
Dalam sejarah fikih, konsiliasi antar dalil-dalil yang
tampak berbeda itu, sepertinya tidak menjadi pilihan.
Berdasarkan metode nasakh, mayoritas para penafsir
Qur‟an berkesimpulan bahwa dalam surat at-Taubah ayat
5 ini, yang diwahyukan menjelang wafatnya Nabi saw.,
telah menghapus setiap dan semua ayat-ayat lain, yang
diwahyukan lebih awal, yang tampak menyelisihinya.
Bersadarkan pemahaman nasakh, ayat-ayat seperti
yang berikut ini telah dianggap tiada:
غث كفش بٲنطه ف ٱنغ شذ ي ٱنش قذ حهبه ل إكشا ف ٱنذ
ٱلله ل ٱفصبو نب ثق ة ٱن سك بٲنؼش فقذ ٱسخ بٲلله ؤي غ س
ػهى
“Tidak ada paksaan dalam urusan agama.
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan
yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada
Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)
19
ٱنكهى ػ ف ست حش جؼهب قهبى ق ى قى نؼه ث ى ي ب قض فب
ب ه سا حظب ي اضؼۦ خبئت يه ل حضال حطههغ ػه شا بۦ رك
حس حب ٱن ه ٱلله ٱصفح إ ى ى فٲػف ػ ى إله قهلا ي ي
“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami
kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras
membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari
tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan
sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan
dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan
melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara
mereka (yang tidak berkhianat. Maafkanlah mereka dan
biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik” (QS. Al-Maidah: 13)
ب صف أػهى ب ئت ح ٱنسه أحس ٱدفغ بٲنهخ
“Balaslah perbuatan buruk dengan yang lebih baik.
Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan.”(QS.
Al-Mu‟minun: 96)
ل ق هك ٱنهز ل سخخفه حق ػذ ٱلله ه فٲصبش إ
“Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah
adalah benardan sekali-kali janganlah orang-orang yang
20
tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu
menggelisahkan kamu.”(QS. Ar-Rum: 30)
ى ا ي ظه إله ٱنهز أحس ب إله بٲنهخ م ٱنكخ ا أ ذن ل حج
ا ءايهب بٲنه قن ح حذ كى إن ب إن كى أضل إن ب أضل إن ز
نۥ يسه
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab,
melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan
orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah:
"Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu;
Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya
kepada-Nya berserah diri.” (QS. Al-Ankabut: 46)
د ن نكى دكى
“Katakanlah: Untukmu agamamu, dan untukkulah
agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6)
Demikian pula, sejumlah besar hadits Nabi saw.
yang melegalkan terjadinya kesepakatan-kesepakatan
perdamaian dan hidup berdampingan antarbudaya, telah
ditiadakan, semuanya berdasarkan metode penghapusan
itu. Salah satu tradisi ke-Nabi-an yang dianggap telah
dihapus dan digantikan oleh Ayat Pedang tersebut Sahifah
al-Madinah (Deklarasi Madinah), di mana Nabi dan kaum
21
Yahudi telah mencatat sebuah kesepakatan yang
mendefinisikan hubungan antara kaum Muslimin dan
kaum Yahudi yang hidup di Madinah. Deklarasi Madinah
itu menyebutkan bahwa: “Muslimin dan Yahudi adalah
satu ummah (bangsa), di mana Muslimin memiliki agama
mereka sendiri dan Yahudi memiliki agama mereka
sendiri pula.” Ulama klasik dan neo-tradisional
mengomentari Sahifah itu sebagai sesuatu yang telah
dihapus berdasarkan Ayat Pedang dan beberapa ayat yang
serupa dengannya.
Apabila kita memandang ayat-ayat dan hadits-hadits
di atas secara uni-dimensi (damai versus perang), maka
hal ini akan berimplikasi adanya kontradiksi, di mana
kebenaran mutlak harus berpihak kepada salah satu: damai
dan perang. Hasil dari pikiran uni-dimensional seperti ini
adalah sebuah pilihan yang kaku antara damai atau perang
pada semua tempat, waktu dan situasi. Kekakuan inilah
yang sulit dibayangkan keabsahannya, padahal kondisi
damai dan perang itu selaluberubah-ubah.
Dalam hal ini pula Yasser Audah beranggapan
bahwa terdapat hal lain yang menambah muskil nasakh
yaitu pembengkakan jumlah kasus penghapusan yang
diklaim oleh tabi‟in, di mana jumlah kasus itu justru
melebihi kasus yang dibicarakan para Sahabat sendiri.
22
Setelah abad pertama, semakin banyak lagi kasus nasakh
yang diklaim oleh para ulama mazhab-mazhab, yang tidak
pernah diklaim oleh generasi tabi‟in. Sehingga pada
akhirnya, nasakh seakan-akan menjadi strategi untuk
mendiskreditkan opini lawan. Sebagai contoh, Abu al-
Hasan al-Karkhi pernah menulis: “Kaidah dasar adalah:
Setiap ayat Qur‟an yang berbeda dengan opini para ulama
mazhab kami, dianggap telah dicabut dari konteksnya atau
telah di-nasakh-kan.”
Dengan demikian, tidak jarang dalam literatur fikih
terdapat hukum tertentu yang dianggap nasikh oleh satu
mazhab, sedangkan dianggap mansukh oleh yang lain.
Penggunaan sepihak metode naskh ini telah memperparah
kekurangan yang sudah ada pada interpretasi multi-
dimensional terhadap dalil-dalil hukum Islami.
urutan surat at-Taubah ayat 5 lebih akhir turunnya
daripada ayat-ayat yang datang lebih dulu yang sudah
disebutkan di atas. Maka jika digunakan teori nasakh
dalam hal ini tidak sesuai, karena ayat-ayat yang turun
sebelumnya mengisyaratkan bahwa umat beragama itu
harus saling menghormati kepercayaannya masing-masing
orang, harus saling menjaga satu sama lain, namunsetelah
dinasakh yang berlaku adalah ayat pedang, sehingga jika
23
ayat pedang diterapkan di Indonesia maka tidak aktual dan
realistis, sehingga yang terjadi kemudian setiap orang
Muslim jika bertemu dengan orang Kafir akan terjadi
pembunuhan di mana-mana. Dalam hal ini, kedua ayat
tersebut masih bisa digunakan dengan menggunakan
metode jam‟u wa taufiq.
F. Penutup
Dalam penyelesaian masalah ta‟arudh al-adillah
ini digunakan metode jam‟u wa taufiq, sebagaimana yang
telah dikemukakan oleh Yaseer Audah beranggapan
bahwa terdapat hal lain yang menambah muskil nasakh
yaitu pembengkakan jumlah kasus penghapusan yang
diklaim oleh tabi‟in, di mana jumlah kasus itu justru
melebihi kasus yang dibicarakan para Sahabat sendiri.
Setelah abad pertama, semakin banyak lagi kasus nasakh
yang diklaim oleh para ulama mazhab-mazhab, yang tidak
pernah diklaim oleh generasi tabi‟in. Sehingga pada
akhirnya, nasakh seakan-akan menjadi strategi untuk
mendiskreditkan opini lawan.
Daftar Pustaka
Anwar, Syamsul, “Ta‟ârud Al-Adillah dan Tanâwu‟
dalam Ibadah: Tinjauan Tentang Bacaan
Basmalah dalam Salat”, jurnal asy-Syir‟ah, Ilmu
24
Syari‟ah dan Hukum, Vol. 47, No. 2, Desember
2013.
Atabik, Ahmad, “Kontradiksi Antar Dalil dan Cara
Penyelesaiannya Prespektif Ushuliyyin”, jurnal
Yudisia, Pemikiran Hukum dan Hukum Islam,
Vol. 6, No. 2, Desember 2015.
Ibrahim, Duski, Metode Penetapan Hukum Islam:
Membongkar Konsep al-Istiqra‟ al-Ma‟nawi asy-
Syatibi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Jumantoro, Totok, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu
Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2005.
Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, Mesir:
Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah.
Khinny, Musthofa Sa‟id al-, Atsarul Ikhtilaf fi Qawa‟id al-
Ushuliyah fi Iktilafi al-Fuqaha, Beirut: Al-Resalah,
1998.
Mahfudz, Mahsun, Kebebasan Berpikir dan Etika (Mengintip
Ruang Bertemu dan Ruang Berpisah), Jurnal Hermenia
6 (2007).
Syafe‟i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2010.
Syafe‟i,Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh Untuk UIN, STAIN,
PTAIS,cet. Ke-IV,Bandung: CV Pustaka Setia,
2010.
25
Shidiq, Sapiudin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2011.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, alih bahasa
Saefullah Ma‟shum, dkk, cet. ke-18, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2016.
Jaser „Audah, al-Maqasid untuk Pemula, Yogyakarta:
Suka-Press UIN Sunan Kalijaga, 2013.