syok hipovolemik (91-116).doc

42
SYOK HIPOVOLEMIK I. PENDAHULUAN Secara umum syok didefinisikan sebagai suatu keadaan hipoperfusi jaringan yang mengakibatkan metabolisme anaerob yang muncul dari interaksi mekanisme patofisilogis multipel yang komplek. Syok dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan hipoperfusi sel sehingga terjadi sindroma disfungsi organ yang multipel (MODS) dan kematian (Rodriguez dan Rosenthal, 1997). Pada keadaan syok terjadi gangguan perfusi pada organ vital karena hipoksia jaringan yang disebabkan oleh keadaan suplai dan kebutuhan oksigen yang tidak seimbang (Candido, 1996). Syok dapat pula dianggap suatu keadaan kurangnya oksigen untuk pembakaran aerob dan berkumpulnya berbagai metabolit dalam sel atau jaringan. Perubahan metabolisme sel diikuti dengan produksi asam yang menyebabkan asidosis, kerusakan sel dan kehilangan integritas sel sehingga terjadi disfungsi organ dan akhirnya terjadi kematian(Rab, 1998). Dengan adanya perubahan metabolisme anaerob, terdapat akumulasi ion hidrogen yang akan bergabung dengan laktat dan piruvat yang diproduksi oleh katabolisme glukosa yang inkomplit. Secara statistik 91

Upload: olivia-avriyanti-hanafiah

Post on 24-Sep-2015

98 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

SYOK HIPOVOLEMIK

PAGE 116

SYOK HIPOVOLEMIK

I. PENDAHULUANSecara umum syok didefinisikan sebagai suatu keadaan hipoperfusi jaringan yang mengakibatkan metabolisme anaerob yang muncul dari interaksi mekanisme patofisilogis multipel yang komplek. Syok dapat mengakibatkan kerusakan jaringan dan hipoperfusi sel sehingga terjadi sindroma disfungsi organ yang multipel (MODS) dan kematian (Rodriguez dan Rosenthal, 1997). Pada keadaan syok terjadi gangguan perfusi pada organ vital karena hipoksia jaringan yang disebabkan oleh keadaan suplai dan kebutuhan oksigen yang tidak seimbang (Candido, 1996). Syok dapat pula dianggap suatu keadaan kurangnya oksigen untuk pembakaran aerob dan berkumpulnya berbagai metabolit dalam sel atau jaringan. Perubahan metabolisme sel diikuti dengan produksi asam yang menyebabkan asidosis, kerusakan sel dan kehilangan integritas sel sehingga terjadi disfungsi organ dan akhirnya terjadi kematian(Rab, 1998). Dengan adanya perubahan metabolisme anaerob, terdapat akumulasi ion hidrogen yang akan bergabung dengan laktat dan piruvat yang diproduksi oleh katabolisme glukosa yang inkomplit. Secara statistik dapat diprediksikan oleh tingkat serum atau tingkat laktat arterial (Candido, 1996).

Klasifikasi etiologi berdasarkan Blalock tahun 1934 dibagi atas 4 kategori, yaitu hipovolemik, kardiogenik, septik dan neurogenik (Jurusz dan Gilmore 1996). Sedangkan menurut Rab 1998, syok masa kini dibagi atas: syok distributif, syok hipovolemik, syok kardiogenik dan syok obstruktif. Yang dimaksud dengan syok distributif adalah syok yang terjadi akibat otot polos sfingter arteiola dan venula kehilangan kemampuan kontraksi sehingga arteriola dan venula mengalami dilatasi. Syok distributif meliputi syok septik dan syok anafilaktik. Syok hipovolemik atau disebut juga syok preload ditandai dengan menurunnya volume intravaskuler baik karena perdarahan maupun karena kehilangan cairan tubuh. Syok kardiogenik didefinisikan sebagai syok yang terjadi akibat kegagalan pompa jantung. Dan syok obstruktif adalah syok yang terjadi akibat obstruksi aliran darah. Penyebab syok obstruktif yang utama adalah sumbatan pembuluh darah baik karena tromboemboli paru maupun karena tamponade jantung (Rab, 1998).

Kebanyakkan tanda dan gejala syok merupakan akibat rendahnya aliran darah perifer dan naiknya aktivitas simpatis adrenal. Pasien akan tampak cemas dan lemah pada stadium awal dari syok, dan kemudian menjadi apatis dan kelelahan akibat menurunnya perfusi darah ke otak. Bila tidak cepat diatasi, gejala-gejala akan berlanjut dan pasien jatuh dalam keadaan koma. Kulit pasien syok akan terlihat pucat dan dingin, kecuali pada syok septik kulit dapat teraba hangat dan basah. Denyut nadi biasanya cepat sebagai respon kompensasi menaikkan curah jantung, respirasi meningkat, pasien merasa haus, mual dan muntah. Pengeluaran urin mengalami penurunan akibat ginjal mengalami iskemia. Pada pengukuran hemodinamik seperti tekanan darah, tekanan arteri rata-rata, curah jantung, tekanan vena sentral, indeks jantung, tekanan nadi, tekanan arteri paru-paru akan menurun (Bonn dan Davis, 1991).

II. TINJAUAN UMUM SYOK2.1 Mekanisme Dasar

Sesuatu yang terjadi pada tingkat selular dan molekuler akibat hipoperfusi jaringan oleh karena syok tanpa melihat etiologinya memiliki kemiripan. Menurunnya pengangkutan oksigen ke jaringan perifer terjadi akibat penurunan tingkat perfusi. Hal ini menyebabkan perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob. Energi yang tersedia dari oksidasi glukosa menurun pada keadaan anaerob. Selain memproduksi karbondioksida, hasil akhir dari metabolisme aerob secara normal pada sel adalah asam laktat. Bila asam laktat terakumulasi akan terjadi suatu keadaan asidosis metabolik. Pada keadaan syok, keadaan asidosis pada tingkat seluler lebih banyak terjadi dibandingkan dengan yang dapat diukur dalam darah. Pada saat organ terjadi kerusakan, hilangnya fungsi organ akan menambah buruk keadaan syok. Pada akhirnya fungsi sel mengalami kerusakan yang ireversibel. Adenosin Trifosfat (ATP) yang merupakan energi molekul pada sel akan habis sehingga potensial transmembran hilang. Ion Na + akan masuk ke dalam sel ketika ion K - keluar dari sel. Tidak akan ada energi yang tersedia untuk respirasi sel, sintesa protein serta enzim-enzim yang dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan sel. Bila hal ini terjadi sel akan mengalami kematian (Jurusz dan Gilmore, 1996).

2.2 Mekanisme hemodinamik

Patogenesis syok dapat dipahami dengan prinsip fisiologi hemodinamik. Hubungan antara tekanan, aliran dan tahanan dapat digambarkan oleh hukum Ohm yaitu : Tekanan = Aliran x Tahanan.

Secara klinis dapat ditulis sebagai : MAP = CO x SVR

MAP adalah mean arterial pressure (tekanan arteri rata-rata)

CO adalah cardiac output (curah jantung)

SVR adalah systemic vascular resistance (tahanan vaskuler sistemik)

Perfusi diperlukan untuk menyediakan oksigenasi jaringan yang adekuat. Hal ini dapat ditentukan oleh CO dan SVR. CO ditentukan oleh preload, afterload, denyut jantung dan kontraktilitas jantung.

Gambar 1. Kurva Frank-Starling (Jurusz dan Gilmore, 1996).Preload digambarkan oleh Starling pada tahun 1915 sebagai rentangan serabut miokardial. Secara klinis hal ini dihubungkan sebagai left ventricular end diastolic volume (LVEDV). Kekuatan kontraktilitas serabut ventrikular meningkat bila LVEDV meningkat. Banyak faktor yang dapat menaikkan LVEDV, tetapi yang paling penting adalah volume darah dan distribusi darah. Bila melebihi suatu tingkat tertentu, peningkatan LVEDV (preload) tidak lagi menaikkan CO. Hal ini dapat digambarkan sebagai kurva Starling, dimana kurva akan mendatar pada bagian atas kurva. Gambar 1.

Pada bagian akhir dari kurva tersebut akan terjadi gagal jantung dan edema paru. Suatu alat yang paling sering dipakai untuk memperkirakan LVEDV adalah kateter arteri paru yang melewati jantung kanan. Pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) dipakai untuk memperkirakan left atrial pressure (LAP), yang pada akhirnya untuk memperkirakan LVEDV. Banyak faktor dan proses penyakit mempengaruhi pengukuran tersebut dan mengacaukan pengukuran preload, seperti penyakit katup mitral dan penyakit paru intrinsik, dimana keduanya akan merubah hubungan tekanan antara kapiler paru dan ventrikel kiri. Kontraktilitas jantung dihubungkan dengan kekuatan kontraksi otot miokardial tidak bergantung pada preload dan afterload. Hal ini disebut sebagai keadaan inotropik yang digambarkan sebagai kemampuan jantung untuk memompa preload secara konstan (LVEDV) dan afterload (SVR). Faktor terpenting yang mempengaruhi kontraktilitas adalah perfusi pada miokardium. Tanpa perfusi yang adekuat, otot jantung tidak dapat bekerja secara optimal. Perfusi koronari terjadi selama diastolik/coronary perfusion pressure (CPP). CPP adalah suatu perbedaan tekanan antara tekanan diastolik rata-rata (mean diastole pressure/ DP mean) dan LVEDV dan dapat dijabarkan sbb:

CPP = DP mean LVEDV

Suatu keadaan syok yang dapat disamakan dengan masalah kontraktilitas adalah kardiogenik syok. Juga keadaan syok yang lainnya dimana terjadi penurunan perfusi koronari secara bermakna mempunyai tendensi yang berlawanan dengan kontraktilitas jantung dan akibatnya fungsi jantung akan memperparah masalah. Sebagai tambahan terhadap hubungan perfusi koronari, kontraktilitas juga dipengaruhi oleh mediator hormonal endogen (katekolamin) dan mediator eksternal.

Afterload adalah suatu tahanan terjadap kontraksi otot jantung. Secara fisiologis ekivalen dengan tegangan dinding ventrikular selama sistolik. Secara klinis, SVR adalah suatu pengukuran yang dapat memperkirakan afterload. Hal ini dapat dihitung melalui MAP, CO dan CVP (Central Venous Pressure) dengan rumus:

SVR = MAP CVP x 80CO

Nilai normal adalah 900 dynes/detik/cm-5 . Syok septik dan neurogenik adalah tipe syok yang mempunyai efek terhadap SVR.

Komponen lain terhadap CO yang harus dipertimbangkan adalah denyut jantung (HR). Secara umum HR akan meningkatkan CO lebih dari 150 kali permenit. Nilai ini dapat tergantung pada umur dan kondisi umum. Kenaikan yang melebihi maksimum biasanya akan mengurangi pengisian diastolik dan menaikkan kebutuhan O2. Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi CO. Bradikardi dapat juga mengurangi CO (Jurusz dan Gilmore, 1996).

2.3 Patofisiologi

Syok adalah suatu sindroma dinamik yang akan mempengaruhi penderita secara keseluruhan, dimana masing-masing jenis syok memiliki karakteristik yang berbeda. Kriteria secara umum, dikatakan syok bila: (a) tekanan sistolik arteri kurang dari 80 mmHg, (b) terdapat oligouri karena penurunan aliran darah pada ginjal (c) asidosis metabolik (d) adanya perfusi jaringan yang buruk.

Tiga faktor utama untuk pengangkutan oksigen adalah curah jantung, volume sekucup dan denyut jantung. Bila salah satu dari ketiga faktor mengalami gangguan akan menyebabkan pengangkutan oksigen akan berkurang pada organ vital. Efek terhadap organ vital adalah syok. Hipovolemia menyebabkan peningkatan aktivitas pada karotis dan baroreseptor pada lengkung aorta. Terdapat peningkatan aktifitas baroreseptor atrial kanan. Aktivitas sistem nervus simpatis meningkat dan menghasilkan rangsangan pada jantung dan vasokonstriksi perifer. Kelenjar pituitari melepaskan ACTH dan ADH, menghasilkan kenaikan tingkat kortisol dan Natrium serta retensi cairan dimulai. Kenaikan adrenokortikal yang dilepaskan oleh epinephrine dan norepinephrine akan terlihat. Plasma renin-angiotensin-aldosterone meningkat dengan natrium yang banyak dan retensi air serta vasokonstriksi perifer. Bila keadaan hipovolemia berlanjut, mekanisme kompensasi tidak terjadi dan terjadi disfungsi organ mayor. (Candido, 1996)2.4 Perubahan pada tingkat seluler

Pada tingkat seluler, oksigen dan nutrisi dibutuhkan untuk memperoleh energi sehingga fungsi sel dapat dipertahankan. Pada sel, oksigen dan substrat diubah menjadi ATP, suatu bentuk energi yang dibutuhkan oleh sel. Sel menggunakan ATP untuk berbagai macam keperluan, diantaranya mekanisme keluar masuknya natrium dan kalium pada membran sel. Natrium keluar dari dalam sel, sedangkan kalium kembali ke dalam sel.

Sel menggunakan dua jalur untuk mengubah nutrisi menjadi energi. Jalur pertama adalah jalur glikolitik anaerob, yang berlokasi di dalam sitoplasma. Glikolisis mengubah glukosa menjadi ATP dan piruvat. Jalur kedua adalah jalur aerob yang disebut sebagai siklus asam sitrat atau siklus Krebs, yang berlokasi di dalam mitokondria. Pada saat oksigen tersedia, piruvat dari jalur glikolitik berpindah ke dalam mitokondria dan memasuki siklus asam sitrat dan diubah menjadi ATP dengan metabolismenya berupa CO2 dan air. Asam lemak dan protein juga dimetabolisme dalam jalur mitokondria. Pada saat kekurangan oksigen, piruvat tidak memasuki siklus asam sitrat tetapi diubah menjadi asam laktat. Pada keadaan syok lanjut, proses metabolisme seluler menjadi anaerob, dimana sejumlah asam laktat terakumulasi di dalam sel dan ekstraseluler.

Pada jalur anaerob, dimana produksi energi terus berlanjut pada keadaan tidak tersedianya oksigen, menjadi tidak efisien dan menghasilkan sedikit ATP dibandingkan dengan jalur aerob. Tanpa adanya produksi energi yang cukup, fungsi sel yang normal tidak dapat dipertahankan dan aktivitas pompa natrium-kalium terganggu. Akibatnya natrium klorida terakumulasi di dalam sel dan kalium hilang dari sel. Sel mengalami pembengkakan dan membran robek, enzim-enzim dilepaskan, sehingga terjadi destruksi intraseluler yang lebih lanjut. Sel akhirnya mengalami kematian dan enzim (myocardial depressant factor), mediator inflamasi (histamin, serotonin, tissue necrosis factor) di dalam intraseluler dilepaskan ke dalam ruang ekstraseluler. Substansi-substansi ini menyebabkan perubahan yang lebih lanjut pada mikrosirkulasi sehingga kesempatan sel untuk pulih kembali menjadi berkurang. (Urband dan Porth, 1998)

III. SYOK HIPOVOLEMIK

Syok hipovolemik disebut juga dengan syok preload yang ditandai dengan menurunnya volume intravaskuler baik karena perdarahan maupun karena hilangnya cairan tubuh. Bonn dan Davis 1991 menyebut syok hipovolemik sebagai syok oligemik yang didefinisikan sebagai penurunan jumlah cairan yang dipompa melalui jaringan vaskuler. Syok oligemik dibagi menjadi dua yaitu syok hemoragik dan non hemoragik.

Syok hipovolemik merupakan syok yang sering dihadapi oleh para ahli bedah dan terutama dihubungkan dengan perdarahan dan trauma maksilofasial. Terdapat beberapa penyebab terjadinya hipovolemik syok, tetapi seluruh penyebab tersebut pada akhirnya mengacu pada prinsip menurunnya preload dan tekanan pengisian pada jantung. Dalam hal ini dihubungkan dengan curah jantung sehingga perfusi perifer mengalami penurunan. Bila hal tersebut berlangsung terus tanpa adanya intervensi, penurunan tekanan perfusi perifer akan menyebabkan perubahan biokimia yang lebih parah pada tingkat seluler sehingga akhirnya sel tidak berfungsi dan mengalami kematian. Penurunan preload dipengaruhi oleh segala sesuatu yang menyebabkan hilangnya volume intravaskular (Jurusz dan Gilmore, 1996; Bonn dan Davis, 1991).

Kekosongan volume intravaskular dapat terjadi akibat berbagai penyakit atau kondisi kritis yaitu antara lain dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Mekanisme dan sindroma klinis yang menyebabkan terjadinya syok hipovolemik (Njoku dan Hoffman, 1997).

Asal kehilangan cairanContoh

Hemoragik

Trauma

Fraktur tulang panjang dan pelvis

Erosi vaskular atau ruptur

Inflamasi

Fistula vaskular

Non hemoragik

Redistribusi vaskular

Gastrointestinal

Ginjal

Abnormalitas vaskularHemoperitoneum

Hemothorax

Hemoragik intrapelvic

Peptic ulcer

Divertikulitis

Invasi tumor

Ruptur aorta atau aneurisma arteri

Perdarahan esofageal variseal

Sistitis hemoragik

Esofagitis

Fistula aortic-duodenal setelah operasi aneurisma abdominal

Luka bakar

Inflamasi

Acsites

Sepsis

Muntah

Diare

Diabetes Insipidus

Diabetes Mellitus

Penggunaan diuretik berlebihan

Feokromositoma

Keringat berlebih

3.1 Manifestasi klinis syok hipovolemik

Manifestasi klinis syok hipovolemik tergantung pada beberapa faktor. Pertama, tingkat hipovolemik atau jumlah kehilangan volume intravaskular merupakan faktor utama dalam menentukan ketidakstabilan hemodinamik. Seorang pasien dengan kehilangan 15% volume intravaskuler gejala yang terlihat akan berbeda dengan seorang pasien dengan kehilangan 40% volume intravaskular. Faktor kedua adalah kecepatan hilangnya volume darah. Kecepatan hilangnya darah yang lambat akan lebih dapat ditoleransi oleh tubuh dengan mekanisme kompensasi. Faktor ketiga adalah kemampuan tubuh seseorang untuk mengkompensasi. Pasien yang lebih tua dan lemah akan berbeda dengan pasien muda dalam mekanisme kompensasinya.

Beberapa tanda yang pada umumnya dihubungkan sebagai syok hipovolemik adalah adanya hipotensi, kulit yang lembab dan basah, tahikardia, oligouria dan perubahan status mental. Perubahan EKG sebagai konsekwensi iskemia miokardial terjadi pada tingkat lanjut. Sistem organ lainnya akan terpengaruh dan pada akhirnya akan mempengaruhi jantung dan otak.

Pada kehilangan darah akut (syok hemoragik) penilaian tingkat hematokrit sebagai indikator kehilangan darah merupakan hal yang tidak tepat dan tidak mendasar. Kehilangan jumlah darah yang cukup banyak hanya akan menghasilkan penurunan hematokrit yang minimal pada saat keadaan akut. (Jurusz dan Gilmore, 1996)3.2 Diagnosa

Syok hipovolemik biasanya didiagnosa dari informasi riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik dan bukan hanya berdasarkan tes laboratorium dan monitor invasif. Kehilangan cairan yang banyak atau kehilangan darah akan terlihat melalui pemeriksaan fisik seperti adanya penurunan turgor kulit, membran mukus yang kering serta vena leher yang datar. Pada situasi akut, tes laboratorium seperti Hb memperlihatkan adanya nilai batas ambang diagnostik. Adanya keadaan hipokalemia dan metabolik alkalosis menunjukkan adanya kehilangan cairan akibat muntah dan penggunaan diuretik, sedangkan keadaan metabolik asidosis terjadi akibat diare, ketoasidosis diabetik atau syok asidosis laktat. Dengan menggunakan monitoring invasif akan terlihat penurunan tekanan arteri rata-rata, CVP, tekanan arteri pulmonal serta indeks jantung.

Walaupun diagnosa syok hipovolemik seringkali dapat diidentifikasi sumber kehilangan cairan atau perdarahan, para klinisi harus mempertimbangkan adanya syok lain, seperti adanya syok kardiogenik dan syok septik. (Njoku dan Hoffman, 1997)3.3 Klasifikasi syok hipovolemik

Komite trauma Amerika membagi syok hipovolemik akibat kehilangan darah menjadi 4 tingkat berdasarkan perkiraan kehilangan darah yaitu:

Tingkat I. Kehilangan 35x/menit, capillary refill test positif dan kemungkinan hilangnya pulsasi arteri karotis. Status mental bingung atau letargik. Cairan pengganti yang diberikan adalah kristaloid 3:1 dan darah (Candido, 1996; Njoku dan Hoffman, 1997).

Jurusz dan Gilmore 1996 membagi syok hipovolemik menjadi 3 yaitu syok ringan, sedang dan berat. Klasifikasi, jumlah kehilangan volume cairan dan darah serta gejala-gejala klinis dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi syok hipovolemik (Jurusz dan Gilmore, 1996).

Kehilangan volume darah (%)Kehilangan darah (ml)Tekanan darahDenyut jantungPernafasanKulitPengeluaran urinPerubahan status mental

Ringan2000MenurunNaikNaikDingin, lembabMenurunBingung, letargik

3.4 Mekanisme fisiologis syok hipovolemik

Mekanisme fisiologis syok hipovolemik yang paling utama dan penting adalah menurunnya volume intravaskuler. Kurangnya volume ini mempengaruhi sistem kardiovaskuler. Pada penurunan volume intravaskuler, preload akan menurun. Faktor lain seperti curah jantung (kontraktilitas miokardial, afterload dan denyut jantung) akan dipengaruhi oleh hilangnya volume dan juga menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi.

Penurunan volume intravaskuler menyebabkan menurunnya tekanan arteri rata-rata dan stimulasi baroreseptor. Baroreseptor ini berada pada lengkung aorta, atria dan pada karotis. Penurunan stimulasi baroreseptor akan menghambat aktivitas parasimpatis dan meningkatkan aktifitas simpatis. Norepinephrine dilepaskan dari ujung saraf simpatis. Selain itu norephineprine dan juga epinephrine dilepas oleh medula adrenalis. Melalui refleks ini, denyut jantung dan kontraktilitas miokardial akan bertambah dan otot polos vaskuler arteriola dan venula mengalami kontraksi. Kontraksi pembuluh darah ini terjadi untuk menaikkan resistensi vaskular perifer total untuk membantu menyeimbangi penurunan preload dan kontraktilitas miokardial. Seluruh mekanisme ini adalah usaha tubuh untuk mempertahankan perfusi yang adekuat pada tingkat seluler.

Selain baroreseptor, kemoreseptor juga terstimulasi. Penurunan muatan oksigen dan kenaikan produksi karbondioksida (asidosis) merupakan stimulan pertama terhatap reseptor ini. Hasil aktifasinya adalah perubahan pernafasan dan juga efek vasokonstriksi secara menyeluruh.

Vasokonstriksi menyebabkan penurunan selektif aliran darah pada kulit, otot, dan sirkulasi splangnik. Demikian juga dengan jaringan yang memerlukan oksigen yang lebih tinggi seperti otak, jantung dan ginjal akan dipengaruhi oleh vasokonstriksi. Aliran darah dan pengangkutan oksigen harus dipertahankan agar organ tetap dapat berfungsi. Jadi, pada fase awal syok hipovolemik, tidak terdapat penurunan tekanan darah, pengeluaran urin tetap normal atau penurunan kesadaran yang minimal atau tidak terjadi sama sekali.

Pelepasan adrenergik merupakan mekanisme kompensasi yang terlibat pada syok hipovolemik yang dini. Vasokonstriksi selektif akan mengembalikan tekanan darah, curah jantung, naiknya kontraktilitas miokardial dan denyut jantung, naiknya aliran balik vena dan pada akhirnya mengalihkan darah dari organ yang kurang penting ke sistem organ tubuh yang lebih penting.

Bila keadaan syok berlanjut, terdapat pertukaran cairan dari ekstraseluler ke dalam intraseluler. Perpindahan cairan ini untuk membantu mempertahankan volume darah. Tingkat hematokrit akan turun pada saat terjadi perpindahan cairan ini. Mekanisme pertukaran cairan ini adalah berdasarkan penurunan tekanan hidrostatik pada jaringan kapiler. Gambar 2.

Tekanan ini merunun sebagai konsekwensi vasokonstriksi pada sfingter prekapiler dimana tekanannya lebih besar daripada vasokonstriksi pada sfingter postkapiler di venula. Jadi turunnya tekanan hidrostatik kapiler merupakan hasil suatu kombinasi vasokonstriksi prekapiler dengan hipotensi arteri sistemik yang sudah ada dan juga penurunan resisten aliran keluar pada ujung venula. Rendahnya tekanan hidrostatik akibat redistribusi air dan elektrolit ke dalam ruang vaskuler dengan penggantian volume intravaskuler mempengaruhi curah jantung. Mekanisme kompensasi ini terjadi secara lambat pada waktu tekanan interstisial lebih besar daripada tekanan plasma. Keadaan sebaliknya terjadi pada syok sedang karena permeabilitas kapiler mengalami perubahan dan protein keluar dari plasma menuju ruang interstisial. Pada saat jumlah protein meningkat pada ruang insterstisial, air dan partikel aktif osmotik akan tertarik dari rongga vaskuler ke dalam ruang interstisial. Juga pada saat keadaan syok berlanjut, sfingter prekapiler tidak lagi kontraksi, sehingga tekanan hidrostatik kapiler mengalami peningkatan. Hal ini menyebabkan adanya perpindahan air dan elektrolit dari ruang vaskuler kembali ke interstisial. Bila proses ini terjadi sepenuhnya, syok akan menjadi irreversibel.

Gambar 2. Mekanisme pertukaran cairan pada syok hipovolemik (Jurusz dan Gilmore, 1996).

A. Pada arteri normal, tekanan arteri rata-rata, tekanan kapiler dan tekanan venula adalah 93, 20 dan 14 mmHg.

B. Pada syok hipovolemik, penurunan tekanan hidrostatik terjadi pada jaringan kapiler. Penurunan tekanan ini merupakan suatu konsekwensi vasokonstriksi arteriola dari sfingter prekapiler pada venula. Mekanisme ini menyebabkan terjadinya redistribusi air dan elektrolik ke dalam ruang vaskuler

C. Pada keadaan syok yang lebih lanjut, arteriola dan sfingter prekapiler kehilangan kontraksi, dimana pada sfingter post-kapiler tetap kontraksi. Tekanan hidrostatik kapiler naik, air dan elektrolit keluar dari ruang vaskuler dan kembali ke dalam ruang interstisial.

Pada saat yang sama, mekanisme kompensasi yang lain menjadi aktif. Ginjal juga dipengaruhi oleh respon adrenergik dan aliran darah menjauhi kortek ginjal dan menuju jantung dan otak. Rangsang simpatik menurunkan perfusi ginjal sebagai hasil konstriksi arteri ginjal. Aksi ini menurunkan laju filtrasi ginjal (GFR) dan bermanifestasi dalam menurunnya pengeluaran urin. Keadaan oliguria akan merangsang kelenjar pituitari posterior untuk melepaskan vasopresin (ADH) yang akan menyebabkan terjadinya aksi reabsorbsi air dari tubulus ginjal. Vasopresin juga mempunyai kemampuan aksi vasokonstriksi.

Sebagai tambahan, renin dilepaskan oleh ginjal sebagai respon penurunan perfusi arteri ginjal. Gambar 3.

Gambar 3. Sistem renin-angiotensin (Jurusz dan Gilmore,1996).Renin beraksi sebagai katalis untuk pembentukan Angiotensin II dari Angiotensin I. Hormon ini mempunyai dua peranan dalam proses kompensasi. Pertama, merupakan vasokonstriktor sistemik yang cukup kuat dan kedua merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron merupakan stimulan yang kuat untuk reabsopsi natrium pada distal tubulus ginjal. Bila natrium direabsopsi, akan diikuti pelepasan retensi air sehingga membantu mengisi volume vaskular.

Mekanisme kompensasi yang kompleks terus berlangsung sebagai respon keadaan syok yang berkelanjutan. Penghentian adrenergik yang masif akan menyebabkan efek gejala pada pasien lebih merata. Pasien akan lebih tahikardia, lebih tahipneu dan lebih oligouri. Ekstremitas menjadi lebih dingin dan perubahan status mental terjadi akibat sirkulasi di otak berkurang. Vasokonstriksi yang berlebih menyebabkan penurunan perfusi jaringan dan jejas sel terjadi. Aliran darah ke jantung dan otak akan mengalami penurunan secara substansial. Respon adrenergik yang berlangsung terus akan menaikkan afterload ventrikel kanan melalui tahanan vaskular pulmonal. Afterload ventrikel kiri juga mengalami kenaikan melalui tahanan vaskular sistemik. Kenaikkan tahanan aliran keluar untuk kedua ventrikel menyebabkan penurunan curah jantung. Penurunan tekanan perfusi koronari akan menyebabkan iskemia miokardial. Penurunan tekanan perfusi di otak juga mengalami hal yang sama. Manifestasi klinisnya adalah iskemia serebral sehingga terjadi perubahan status mental dan bila berlanjut akan terjadi kehilangan kesadaran.

Peralihan aliran darah dari otot dan organ splangnik menyebabkan terjadinya iskemia yang ireversibel. Metabolisme pasien berubah dari aerob menjadi anaerob bila jaringan kekurangan oksigen secara terus menerus. Tingkat asam laktat serum bila metabolisme anaerob berlanjut akan meningkat sehingga pH darah akan turun dan terjadi keadaan asidosis metabolik. Keadaan asidosis akan menaikkan vasodilatasi arteri dan merupakan stimulus yang lebih kuat daripada penghentian rangsangan simpatis. Keadaan asidosis juga bertanggungjawab terhadap efek inotropik negatif jantung.

Bila kematian sel berlanjut, substansi vasoaktif, ion natrium, radikal bebas dan enzim lisosom dilepaskan pada membran sel yang terganggu menuju ruang instertisial kemudian menuju sirkulasi. Semua substansi ini bersifat amat merugikan terhadap vitalitas organ. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kegagalan organ multisistem (multisystem organ failure) bersamaan dengan terjadinya gagal paru, hati dan ginjal. Hal ini akan menyebabkan kematian (Jurusz dan Gilmore, 1996).

3.5 Terapi syok hipovolemik

Syok hipovolemik yang progresif dapat menyebabkan kematian, sehingga penatalaksanaan yang utama adalah mengidentifikasi kondisi dan etiologi syok serta memberikan perawatan yang adekuat sebelum terjadi kerusakan yang permanen pada sel dan organ. Tujuan utama perawatan adalah untuk mengembalikan pengangkutan oksigen yang adekuat ke seluruh jaringan tubuh. Usaha pertama yang dilakukan adalah mempertahankan jalan nafas dan ventilasi yang adekuat dan mengganti volume darah secepat mungkin. Jumlah cairan yang diberikan dan kecepatan pemberian cairan harus berdasarkan pada pemeriksaan fisik, parameter hemodinamik dan respon terhadap pemberian cairan intravaskuler. Posisikan pasien pada posisi Trendelenburg sehingga dapat terjadi perpindahan volume darah dari ekstremitas bawah ke sirkulasi sentral. Jaket MAST (military antishock) digunakan untuk menekan ekstremitas bawah dan pelvis serta menaikkan aliran balik vena dari perifer (menaikkan preload). Etiologi yang mendasari kondisi syok harus ditemukan dan sumber perdarahan harus dihentikan.

Cairan kristaloid merupakan resusitasi awal. Bila etiologi syok diperkirakan adalah perdarahan, diperlukan penggantian darah dan produk-produk darah yang dibutuhkan dengan kombinasi cairan kristaloid. Penatalaksanaan syok karena penurunan volume cairan ekstraseluler (plasma dan cairan interstisial) akibat luka bakar, peritonitis dan trauma akibat kecelakaan dimulai dengan pemberian cairan elektrolit atau plasma atau sumber protein lainnya. Kehilangan darah eksternal harus diperbaiki segera mungkin dengan pemberian cairan yang tepat (Barber dkk, 1999; Njoku dan Hoffman, 1997; Jurusz dan Gilmore, 1996).

3.5.1 Resusitasi dengan cairan

1. Cairan Ringer Laktat (Cairan kristaloid)

Cairan RL merupakan cairan yang paling banyak tersedia, murah, mudah cara pemberiannya, tidak menimbulkan reaksi alergi dan paling sering digunakan untuk resusitasi cairan pada syok. Cairan ini aman dan memberikan keseimbangan yang cepat pada ekstraseluler untuk mengembalikan cairan ekstraseluler yang kurang akibat kehilangan darah. Pendapat bahwa kandungan dalam cairan RL dapat memperparah keadaan asidosis laktat pada syok hemoragik merupakan suatu hal yang tidak mendasar. Pada hewan percobaan dan juga pada manusia menunjukkan penggunaan larutan RL sebagai tambahan menggantikan darah menghasilkan kembalinya serum laktat yang cepat dan tingkat pH yang normal dibandingkan dengan penggantian darah saja. Cairan kristaloid dapat melindungi fungsi ginjal bila keadaan hemodinamik yang normal dapat dipertahankan. Cairan kristaloid lainnya selain RL yang dapat digunakan adalah NaCl 0,9%.

Pada syok hipovolemik yang disebabkan oleh diare, muntah, obstruksi intestinal dapat digunakan kombinasi air dengan elektrolit yang hilang. Oleh karena itu terdapat dua dasar penggunaan RL yaitu:

a. Apabila volume vaskuler hilang sesudah syok, trauma atau operasi maka harus diberikan cairan untuk menggantikan cairan yang hilang.

b. Cairan yang mengandung elektrolit dapat menggantikan darah atau plasma bila diberikan dalam jumlah yang tepat.

Salah satu kerugian penggunaan cairan kristaloid untuk penatalaksaan syok adalah penggunaan cairan dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan cairan koloid. Hal ini disebabkan oleh keseimbangan cairan garam yang cepat tercapai dengan ruang ekstravaskuler. Selain itu juga ditemukan adanya konsentrasi protein serum yang rendah dibandingkan dengan penggunaan cairan koloid (Barber, 1999; Candido, 1996; Rab,1998).

2. Cairan Koloid

Penggunaan cairan koloid untuk resusitasi cairan dianjurkan oleh beberapa ahli. Beberapa peneliti menemukan cara terbaik yakni memberikan cairan koloid dan kristaloid bersama-sama. Cairan koloid yang dapat digunakan pada syok adalah hemasel, gelofusin, dekstran 70, hespan, albumin 4,5 % dan albumin 20%. Penggunaan cairan koloid seperti albumin dapat menaikkan tekanan koloid intravaskuler, terutama influks intravaskuler dari cairan interstisial. Keuntungan penggunaan cairan koloid dibandingkan dengan cairan kristaloid adalah naiknya tingkat protein total dan tingkat albumin serum. Penggunaan cairan koloid untuk mencapai stabilitas hemodinamik lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan cairan kristaloid, karena cairan koloid tetap berada di dalam ruang intravaskuler. Tetapi cairan koloid lebih mahal dan mungkin akan berikatan serta menurunkan fraksi ion kalsium serum, menurunkan tingkat sirkulasi imunoglobulin, menurunkan reaksi imun terhadap tetanus toksoid dan menurunkan produksi albumin endogenus. Keuntungan yang didapat hanya bersifat sementara karena pada keadaan syok yang berat terdapat gangguan endotelium mikrovaskuler secara menyeluruh. Kerugian lainnya adalah dihubungkan dengan reaksi anafilaktik dan koagulopati (Barber, 1999; Candido, 1996; Rab,1998).

a.Hetastarch

Hydroxyethyl starch (hetastarch) adalah cairan artifisial koloid yang berasal dari amylopectin dengan khasiat yang mirip dengan albumin dengan pH 5,5 dan tingkat osmolaritas 310 mOsm/l. Hetastarch lebih mahal dan mempunyai waktu paruh yang lebih lama daripada albumin karena memiliki berat molekul yang lebih besar (69.000) untuk degradasi enzimatik. Hetastarch menghasilkan kenaikan tekanan osmotik koloid yang lebih tinggi dibanding albumin. Seperti juga cairan koloid cairan ini mengembalikan volume intravaskular pada permukaan yang lebih luas di rongga interstisial yang sudah mengalami keadaan kompromi bila digunakan sebagai resusitasi selama keadaan syok. Resusitasi dengan cairan ini sulit dikontrol karena ekuilibrasi yang lambat dari molekul yang besar dan dapat menyebabkan fluktuasi yang cepat pada tekanan vena sentral. Koagulopati ringan dan sementara dapat terjadi pada pasien yang diresusitasi dengan cairan ini dan juga dapat terjadi depresi sistem retikuloendotelial. Selain itu kerugian penggunaan cairan ini adalah adanya reaksi anafilaksis dan koagulopati (Barber,1999; Candido, 1996).

b. Dekstran

Dekstran adalah suatu polisakarida, polimer glukosa dengan dua macam preparat yang biasa digunakan, yaitu dekstran dengan berat molekul yang tinggi (D70) dan berat molekul rendah (D40). Dekstran dengan berat molekul rendah digunakan pertama kali untuk mencegah trombosis vena dan tromboembolisme. Cairan dekstran merendahkan viskositas darah, memperbaiki aliran mikrosirkulasi dengan mencegah terjadinya aglutinasi dan endapan darah. Dekstran juga digunakan sebagai plasma expander. Dekstran memiliki waktu paruh yang lebih pendek dibandingkan dengan hetastarch. Penelitian klinis menunjukkan tidak ada perbedaan jumlah disfungsi organ atau mortalitas terhadap resusitasi dengan menggunakan dekstran dibandingkan dengan cairan garam seimbang. Walaupun demikian penggunaan dekstran dihubungkan dengan resiko anafilaksis dibandingkan dengan hetastarch atau albumin dan menyebabkan defek koagulasi dan depresi imunoglobulin (Barber, 1999; Candido, 1996).

c. Albumin

Albumin tersedia dalam preparat 5% dengan berat molekul 69.000, mengandung natrium 100 160 mEq/L, dengan waktu paruh intravaskular 24-36 jam. Osmolaritas 288 mOsm/L dan tekanan osmotik koloid rata-rata 20 mmHg dan pH 7,0. Albumin memperbaiki tekanan osmotik koloid sehingga terjadi redistribusi air dari ruang interstisial ke dalam ruang intravaskuler. Albumin juga memberikan asam amino yang dibutuhkan untuk metabolisme nitrogen yang dibutuhkan untuk perbaikkan jaringan dan penyembuhan luka.

Penggunaan albumin pada syok biasanya dikombinasi dengan cairan kristaloid untuk mendapatkan hasil yang maksimal (Candido, 1996).

3. Cairan Hipertonik

Penelitian klinis dan eksperimental menunjukkan sedikit larutan hipertonik (7,5 % NaCl, 2.400 mOsm/l) merupakan cairan resusitatif awal yang efektif. Penggunaannya secara intravena menghasilkan kenaikkan volume plasma sementara, serta meningkatkan fungsi sirkulasi dengan menurunnya tahanan perifer total. Cairan ini dapat mengisi ruang intravaskuler dan interstisial. Curah jantung juga meningkat lebih besar dibandingkan dengan penggunaan cairan RL dengan volume yang sama. Selain itu tekanan arteri rata-rata juga terdapat kenaikkan.

Cairan ini menghasilkan beban air yang lebih rendah dibandingkan dengan cairan resusitasi cairan garam yang ekivalen. Walaupun demikian, pasien yang diberikan cairan hipertonik sebagai cairan resusitasi memerlukan monitoring yang ketat untuk mencegah koma hipernatremia dan hiperosmolar. Penelitian terakhir pada pasien menunjukkan tekanan darah naik dengan segera dalam beberapa menit setelah syok dan dilakukan resusitasi, tetapi tidak terdapat perubahan dalam angka kelangsungan hidup. Penggunaan jangka lama tidak memberikan keuntungan bila tidak diberikan infus volume yang tepat. Pada hewan percobaan, terjadi kematian yang lebih tinggi dalam 24 jam setelah resusitasi dengan cairan hipertonik ataupun dekstran (Barber, 1999; Candido, 1996).

4. Cairan Pengganti darah

Cairan pengganti darah mulai dikembangkan setelah diketahui resiko transfusi darah. Penelitian sebelumnya dengan menggunakan darah yang bebas hemoglobin menghasilkan reaksi alergi, gagal ginjal, koagulopati dan disfungsi imun sekunder. Suatu bahan yang disebut sebagai stroma-free hemoglobin (SFH) dapat mengeliminasi efek samping tersebut, namun masih terdapat masalah dalam penggunaannya sebagai cairan resusitasi. SFH mempunyai afinitas terhadap oksigen yang abnormal, waktu paruh plasma yang pendek dan hanya tersedia dari manusia. Perfluorochemical compound (Fluorosol-DA) mengandung elektrolit, bikarbonat dan starch yang digunakan untuk mendapatkan keseimbangan osmotik dan pH dengan plasma. Bahan ini memiliki kapasitas pembawa oksigen yang lebih rendah daripada hemoglobin. Fluorosol-DA sudah digunakan secara ekstensif di Jepang dan pada percobaan klinis terbukti merupakan cairan pengganti hemoglobin yang efektif. Efek yang merugikan pada bahan ini adalah adanya udem pulmonari yang akut, aktivasi komplemen dan kaskade koagulasi, gagal nafas akut dan depresi sistem retikuloendotelial. Bahan ini mahal dan membutuhkan penyimpanan yang khusus untuk mencegah terbentuknya gelatin (Barber, 1999).

3.5.2 Pemberian darah dan komponennya

1. Packed Red cells (PRBCs)

Sel darah merah yang diberikan berupa komponen whole blood dipisah dari plasma dan disimpan dalam gliserol. Indikasi pemberian adalah perdarahan berat sampai dengan syok. Pada umumnya diberikan bila darah keluar lebih dari 750 cc. Komplikasi pemberian PRBCs adalah terjadinya reaksi hemolitik karena ketidakcocokan sistem antigen antibodi, misalnya sistem ABO. Beberapa cc saja dapat menimbulkan syok, kegagalan ginjal dan DIC, dengan manifestasi klinis berupa menggigil, rasa terbakar, sakit kepala, dada dan muka terasa terbakar. Bila terjadi reaksi antigen antibodi ini maka transfusi harus dihentikan, cek darah kembali, monitor produksi urin, tekanan darah dan lakukan pemeriksaan PT, PTT, fibrinogen, trombosit, fibrin produk degradasi dan hemoglobinemia dan kebanyakan bilirubin naik sesudah 5-7 hari. Kegagalan ginjal terjadi karena syok dan vasokonstriksi yang disebabkan oleh reaksi aglutinasi dan pertimbangkan pemberian heparin. Di samping itu mungkin pula terjadi ekstravaskular hemolitik yang ditandai secara klinis dengan keadaan pasien menggigil, demam dan meningginya bilirubin dalam darah (Rab, 1998).

2. Transfusi whole blood.

Salah satu bentuk transfusi adalah pemberian darah dalam jumlah masif whole blood. Whole blood terdiri atas komponen seluler (RBCs, trombosit dan sel darah putih) dan plasma aseluler. Beberapa klinisi menggunakan pemberian whole blood bila semua komponen darah dibutuhkan pada perdarahan yang masif (Rab, 1998; Njoku dan Hoffman, 1997).

3. Transfusi trombosit

Transfusi trombosit diindikasikan untuk memperbaiki hemostasis terhadap pasien dengan keadaan trombositopenia absolut atau relatif. Keadaan trombositopenia tsb dapat terjadi pada keadaan adanya perdarahan akibat trauma maupun perdarahan spontan, keadaan fungsi platelet yang abnormal, penggunaan aspirin dalam jangka waktu lama atau bila dibutuhkan satu volume pengganti darah selama resusitasi pada keadaan perdarahan. Tiap unit trombosit dapat menaikkan jumlah trombosit sebanyak 7000 sampai 10000/mm3. Transfusi trombosit tidak diindikasikan untuk disfungsi trombosit uremik karena transfusi trombosit pada keadaan uremik akan mengganggu pelepasan faktor von-Willebrand sehingga menurunkan adesi trombosit. Pada pasien dengan keadaan uremik, dianjurkan menggunakan desmopressin acetate, cryoprecipitate dan estrogen konjugasi. (Njoku dan Hoffman, 1997)

4. Transfusi granulosit

Granulosit dapat dipertimbangkan bila jumlah granulosit kurang yang didapat sebagai akibat sepsis, neonatus pansitopenik dan febril netropenik (Rab, 1998).

5. Pemberian plasma (Njoku dan Hoffman, 1997)

a. FFP (Fresh frozen plasma)

FFP mengandung semua faktor koagulasi, fibrinogen dan antritrombin III. FFP diindikasikan untuk memperbaiki faktor koagulasi pada keadaan (1) defisit faktor koagulasi seperti pada penyakit hati dan hemofilia, (2) setelah mengganti komponen sel darah sebanyak 2 labu, (3) adanya abnormalitas prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastine time (aPTT) akibat penggunaan heparin atau koumadin.

b. Cryoprecipitate

Cryoprecipitate mengandung faktor VIII, faktor IX, von Willebrand, fibrinogen, antithrombin III dan fibronektin. Cryopresipitate diindikasikan untuk mengganti defisiensi faktor-faktor tersebut.

3.5.3 Terapi tambahan

1. VasopressorKeadaan klinis syok hemogarik ditandai dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat akibat hipovolemia. Penggunaan vasopressor pada keadaan syok dapat menaikkan tekanan darah tetapi dapat terjadi kenaikan tahanan perifer dan mengurangi perfusi jaringan. Terapi dengan vasopressor juga akan memperburuk defisit volume plasma yang dihubungkan dengan perdarahan. Penggunaan bahan ini sebagai resusitasi tidak dianjurkan. (Barber, 1999)

2. Adenosin Trifosfat (ATP)

Adanya penurunan tingkat energi fosfat yang tinggi selama syok hemoragik dan juga penurunan perubahan ADP menjadi ATP menyebabkan dimulainya suatu terapi penggantian ATP. Pada model percobaan ATP-Mgcl2 telah ditemukan dapat memperbaiki angka harapan hidup pada syok yang letal dengan kombinasi cairan resusitasi yang adekuat. (Barber, 1999)

3. Antibiotik

Penggunaan antibiotik spektrum luas digunakan bila terdapat luka yang terkontaminasi disertai dengan tindakan debridemen yang baik. Antibiotik yang aman dan efektif adalah Cefoxitin 2 gr IV. (Barber, 1999)

4. Analgetik

Pasien syok hipovolemik yang memerlukan analgetik seperti pada cedera yang menyebabkan rasa sakit yang hebat (fraktur, peritonitis, cedera dada) biasanya diberikan morfin atau narkotik IV. (Barber, 1999)

5. Steroid

Pada penelitian menunjukkan produksi steroid adrenokortikal terstimulasi secara maksimal pada keadaan syok hipovolemik. Penurunan steroid pada keadaan hipovolemik dapat terjadi pada pasien dengan usia lanjut atau pada pasien dengan penyakit adrenokortikal yang spesifik seperti penyakit Addison, postadrenalectomy atau pasien dengan supresi adrenal dengan steroid adrenokortikal eksogenus. Pada kondisi spesifik yang demikian, pemberian hidrokortison intravena dibutuhkan. Pada pasien trauma dengan syok hipovolemik, pemberian adrenokortikoid bukan merupakan indikasi.(Barber, 1999)3.6 Monitoring

Pasien-pasien syok merupakan pasien dengan kondisi kritis yang memerlukan monitoring invasif, terutama pada kasus-kasus syok dengan pemberian obat-obatan vasoaktif sebagai tindakan resusitasi dan sebagai dukungan terhadap sistem kardiovaskuler. Secara umum monitoring dapat diklasifikasikan sebagai monitoring rutin dan tidak rutin (extraordinary). Monitoring rutin adalah semua sarana dan prasarana yang harus tersedia pada setiap pasien kritis yang dirawat di bagian ICU. Pada monitoring tidak rutin adalah bila diperlukan sarana dan prasarana tambahan khusus yang tidak terdapat pada perlengkapan ICU yang rutin, seperti contohnya adalah alat pengukuran cairan paru ekstravaskular.

Pasien-pasien syok harus selalu dimonitor tekanan darah secara kontinu dengan pengukuran tekanan intraterial, denyut dan irama jantung, jumlah respirasi, temperatur, tekanan jantung pada sisi kanan dan kiri, elektrokardiogram dan hematokrit. Penggunaan kateter arteri dibutuhkan untuk mendapatkan sampel darah arteri untuk menentukan keadaan elektrolit, keadaan asam basa dalam darah dan koagulasi serta tingkat laktat pada arteri bila dibutuhkan. Kateter arteri pulmonal juga diperlukan untuk mengukur tekanan arteri paru-paru, curah jantung dan parameter-parameter lainnya seperti resistensi vaskular dsb. Monitoring tekanan vena sentral sangat berguna untuk menentukan kualifikasi kehilangan darah. Kehilangan 500 sampai 800 ml per 70 kg berat badan akan menurunkan tekanan vena sentral sebesar 7 cm air.

Curah jantung dapat diperkirakan dengan pengukuran PCWP (pulmonary capillary wedge pressure) dengan menggunakan kateter Swan-Ganz atau dengan menggunakan tehnik termodilusi. (Candido, 1996; Njoku dan Hoffman, 1997; Barber 1999)IV. KESIMPULANSyok hipovolemik adalah suatu keadaan hipoperfusi jaringan akibat menurunnya volume intravaskuler yang diakibatkan oleh perdarahan atau hilangnya cairan tubuh. Manifestasi klinis syok hipovolemik secara umum adalah adanya hipotensi, kulit yang lembab dan basah, tahikardia, oliguria dan perubahan status mental. Pada keadaan lanjut dapat terjadi iskemia miokardial dan kerusakan organ vital lainnya. Prinsip utama penatalaksanaan syok hipovolemik adalah memperbaiki keadaan hipoksia sel dan malperfusi jaringan dengan mengganti volume cairan tubuh yang hilang secepatnya. Cairan kristaloid merupakan tindakan resusitasi awal. Bila syok hipovolemik terjadi akibat hilangnya darah, diperlukan pengganti darah dan produk-produk darah yang dibutuhkan dengan kombinasi cairan kristaloid. Monitoring terhadap keadaan syok sama dengan standar monitoring gawat darurat lainnya yaitu antara lain: monitoring tanda-tanda vital (suhu, nadi, respirasi, tekanan darah), CVP, curah jantung, oksigen dan karbondioksida, urin, ECG, asam basa, elektrolit, pH intragastrik dan serebral.

DAFTAR PUSTAKA1. Barber, A dkk. 1999.Shock. In Schwartz, S. Principles of Surgery. Volume 1 7th ed. New York. McGraw Hill. h. 101 1212. Bonn, G and Davis, C. 1991. Shock in Fonseca, R and Walker, R. Oral and Maxillofacial Trauma. Volume 1. Philadelphia. W.B Saunders Company. h58 73.3. Candido, K. 1996. Shock: Pathophysiology and Diagnosis in Collins V. Physiologic and Pharmacologic Base of Anesthesia. Baltimore. William & Wilkins. h 255 2784. Dachlan, R dan Nizar, R. 1989. Shock. Dalam Muhiman, M dkk. Anestesiologi. Jakarta FKUI. h 186-1935. Jurusz, D and Gilmore. 1996. Shock and Hypoperfusion States. In OLeary J. The Physiologic Basis of Surgery. 2nd ed. Baltimore. Williams & Wilkins. h 84 996. Njoku, M and Hoffman, W. 1997. Hypovolemic Shock. In In Murray, M dkk. Critical Care Medicine Perioperative Management. Philadelphia. Lippincott-Raven. h 285 2927. Rab, T. 1998. Pengatasan Syok. Jakarta EGC. 8. Rodriquez, R and Rosenthal, M. 1997.Etiology and Pathophysiology of Shock. In Murray, M dkk. Critical Care Medicine Perioperative Management. Philadelphia. Lippincott-Raven. h 185-1979. Urband, N and Porth, C. 1998.Heart Failure and Circulatory Shock. In Porth, C. Pathophysiology Concepts of Altered Health States. 5th ed. Philadelphia, Lippincott. h 442-452.

91

1