syafiq mughni2
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Diskursus tentang filsafat islam tidak akan pernah lepas dari
perdebatan metafisika. Pandangan tentang metafisika merupakan titik awal
pemikiran para filsuf islam. Hampir seluruh pemikir islam mempunyai
pandangan tentang metafisika. Mulai dari Al-Kindi, al-Farabi sampai pada
para pemikir modern seperti Sir Muhammad Iqbal. Sejarah pun mencatat
pandangan metafisika dalam islam, bias dikatakan sebagai bentuk zaman
keemasan dalam islam untuk mendeskripsikan terhadap sifat-sifat
ketuhanannya (teologis) atau bahkan kaitannya dengan alam semesta
(kosmologis).
Metafisika merupakan sebuah kajian tentang sesuatu “yang ada”
sebagai “yang ada”. Pandangan ini bisa kita temukan dalam pemikiran
Aristoteles dalam kebiasaan filsafat Yunani. Sedangkan di dalam kajian
islam metafisika bisa diartikan sebagai pembahasan tentang ketuhanan dan
juga tentang alam. Al-Kindi menyebutkan bahwa Tuhan adalah wujud yang
Haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sejak awal & tidak akan pernah
ada selama-lamanya. Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah
didahului wujud yang lain dan wujudnya tidak akan pernah berakhir serta
tidak ada wujud lain melainkan dengan perantaranya.
Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik",
φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang
mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika
adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab
pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah
Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?. Cabang utama
metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di
alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya
memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk
keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan
kemungkinan.
Dalam makalah ini tidak semua tokoh pemikir islam bisa pemakalah
sebutkan. Pasalnya Dari zaman al-Kindi hingga pada saat ini (post-Modern)
kajian tetang metafisika tetap menjadi kajian yang sangat diagung-
agungkan dalam islam. Berbeda dengan filsafat barat pembahasan tentang
metafisika terhenti di zaman renaisans yang ditandai dengan filsafat
kemanusiaan. Oleh sebab itulah pemakalah hanya menampilkan empat
tokoh yang berbicara tentang metafisika, yakni al-Kindi, al-Farabi, Ibnu
Sina, dan juga Ibnu Thufail.
BAB II
METAFISIKA DALAM PANDANGAN FILOSUF ISLAM
A. AL-KINDI
Al-Kindi (lahir: 801 - wafat: 873), bisa dikatakan merupakan filsuf
pertama yang lahir dari kalangan Islam. Semasa hidupnya, selain bisa
berbahasa Arab, ia mahir berbahasa Yunani pula. Banyak karya-karya para
filsuf Yunani diterjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain karya
Aristoteles dan Plotinus. Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang
diterjemahkannya sebagai karangan Aristoteles dan berjudulkan Teologi
menurut Aristoteles, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungani1.
Al-Kindi berasal dari kalangan bangsawan, dari Irak. Ia berasal dari
suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 873. Ia
merupakan seorang tokoh besar dari bangsa Arab yang menjadi pengikut
Aristoteles, yang telah mempengaruhi konsep al Kindi dalam berbagai
doktrin pemikiran dalam bidang sains dan psikologi.
Al Kindi menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri,
astronomi, astrologi, aritmatika, musik(yang dibangunnya dari berbagai
prinip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik.
Ia membedakan antara intelek aktif dengan intelek pasif yang
diaktualkan dari bentuk intelek itu sendiri. Argumen diskursif dan tindakan
demonstratif ia anggap sebagai pengaruh dari intelek ketiga dan yang
keempat. Dalam ontologi dia mencoba mengambil parameter dari kategori-
kategori yang ada, yang ia kenalkan dalam lima bagian: zat(materi), bentuk,
gerak, tempat, waktu, yang ia sebut sebagai substansi primer.
Al Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis,
yang kemudian diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia
juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan
penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan religius-ortodoks
terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalam keadaan
yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam) al Kindi dapat
membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan ortodoks itu.
Sehubunga dengan dalil gerak, Al-Kindi mengajukan pertanyaan
sekaligus memberikan jawaban-nya dalam ungkapan berikut:
1 Wikipedia.com
”mungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin? Jawaban-nya: Yang demikian itu tidak mungkin, dengan demikian, alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu, demikian pula alam ini ada akhirnya, oleh karena-nya alam ini harus ada yang menciptakannya. Dari segi filsafat, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argument Aristoteles tentang Causa Prima dan penggerak pertama. Penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argument ilmu Kalam. Alam berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru. Maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptaan-nya. Yang menciptakan dari tiada2.
Tentang dalil ke alam wujud, Al-Kindi mengatakan bahwa tidak
mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan. Demikian pula
sebaiknya tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan alam inderawi atau
yang dapat di pandang sebagai inderawi, karena dalam wujud semuanya
mempunyai kesamaan keanekaan dan kesatuan. Maka sudah pastilah hal ini
terjadi karena ada sebab. Bukan karena kebetulan, dan sebab ini bukan
alam wujuad yang mempunyai persamaan dan kebenaran dan keseragaman
Itu sendiri. Jika tidak demikian akan terjadi hubungan sebab-akibat yang
tidak berkesudahan, dan hal ini tidak mungkin terjadi, oleh karenya, sebab
itu adalah di luar wujud itu sendiri3.
Eksistensinya lebih tinggi, lebih mulia. Dan lebih dulu adanya. Sebab
ini tidak lain adalah tuhan. Mengenai dalil keteraturan alam wujud sebagai
bukti adanya tuhan. Al-Kindi mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi
tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya dzat yang tidak terlihat, dan
dzat yang tidak terlihat itu tidak mungkin di ketahui adanya kecuali dengan
adanya keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan adanya yang
terdapat dalam alam ini. Argument demikian ini di sebut argument teologik
yang pernah juga di gunakan Aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari
adanya ayat-ayat Al-Qu’an. Tentang sifat-sifat tuhan, Al-Kindi berpendirian
seperti golongan meu’tazilah, yang menonjolkan ke esaan sebagai satu-
satu-nya sifat tuhan.
B. AL-FARABI
1. Riwayat Hidup
Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di
Farab (Transoxania) pada tahun 870 M.6 Al-Farabi dalam sumber-sumber
2 Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007.),243 Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997,) 16
Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.4 Ia berasal dari keturunan
Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang
Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik5 Ibunya berasal dari Turki.
Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.6 Sebagai
pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk
berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis
karya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting.
Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur,
lama sepeninggalnya.7
Al-Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam.
Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam
kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi.
Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih
kekuasaan. Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan
kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di atas, ia
tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran
dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara. Pembaruan
itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi
filsafat.
Walaupun al-Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama
terkemuka namun ia lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai
penulis karya-karya filsafat politik. Para ahli sepakat memberikan pujian
yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan
juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika keadaa
Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika, meluaskan
dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi.
Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula
dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah
keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al-Qur’ an. Ia
juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia. Periode kedua adalah
4 Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung : Mizan,1997), 26 5 Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984), h. 89 6 Paket Studi Islam VIII : Filsafat Islam (Jakarta : Paramadina, tt), 667 Ibrahim Madkour, “Al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim Philosophy alih bahasa Ilyas Hasan Para Filosof Muslim (Bandung : Mizan, 1992), h. 55
periode usia tua dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat
belajar yang terkemuka pada abad ke-4/10.Di sana ia bertemu dengan
sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan penerjemah. Ia
tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling
terkemuka adalah Abu Bisyr Matta ibn Yunus. Untuk beberapa lama ia
belajar dengannya. Baghdad merupakan kota yang pertama kali
dikunjunginya. Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah
ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah
al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi, lalu diajaknya
pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama
istana. Kota kesayangannya adalah Damaskus. Ia menghabiskan umurnya
bukan di tengah-tengah kota, akan tetapi di sebuah kebun yan terletak di
pinggir kota. Di tempat inilah ia kebanyakan mendapat ilham menulis
buku-buku filsafat.8
Begitu mendalam penyelidikanya tentang filsafat Yunani terutama
mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari julukan Mu’
alim Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan kepada
Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar ilmu logika
yang pertama dalam sejarah dunia. Al-Farabi menunjukkan kehidupan
spiritual dalam usianya yang masih sangat muda dan mempraktekkan
kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan
komponis beberapa irama musik, yang masih dapat didengarkan dalam
perbendaharaan lagu sufi musik India. Orde Maulawiyah dari Anatolia
masih terus memainkan komposisinya sampai sekarang. Al-Farabi telah
mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Buku-buku ini masih berupa
naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya sudah diterbitkan
dalam bahasa Perancis oleh D’ Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum
dipelajari secara mendalam. Pengetahuan estetika al-Farabi bergandengan
dengan kemampuan logikanya. Ia meninggal pada tahun 950 M dalam usia
80 tahun.
2. Pemikiran tentang Metafisika
8 Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam Sedjarah dan Perkembangannya di Dunia Internasional (Jakarta : Bulan Bintang, 1964), 89
Menyibukkan diri di bidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang
hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, melainkan merupakan salah
satu ciri kemanusiaan kita. Berfilsafat merupakan salah satu kemungkinan
yang terbuka bagi setiap orang., seketika ia mampu menerobos lingkaran
kebiasaan sehari-hari. Salah satu cabang filsafat adalah metafisika.
Kebutuhan manusia akan metafisika merupakan dorongan yang muncul
dari hidup manusia yang mempertanyakan hakikat kenyataan.
Manusia adalah produk masyarakat tertentu. Ia adalah anak
zamannya. Manusia tidak membentuk diri sendiri. Opini-opini pribadi
dibentuk oleh masyarakat tempat tinggalnya. Setiap pemikiran selalu
mewakili zamannya dan hasil dialektika dengan sejarahnya. Hasilnya
terkadang spekulatif dan terkadang pula hasil pengembangan pemikiran
yang sudah ada. Diskusi tentang metafisika ini sudah dimulai dari masa
Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang being atau “yang ada”
Heraklitos dikritik oleh Parmanides, Plato dikritik oleh Aristoteles (Guru
Pertama). Heraklitos berteori bahwa hakikat kenyataan adalah perubahan.
Teori ini ditentang oleh Parmanides yang berpendapat bahwa hakikat
kenyataan adalah yang tetap. Plato berusaha mengkomromikan wacana ini
dengan cara mengakomodir keduanya. Baginya hakikat kenyataan adalah
dua yaitu yang tetap (alam ide) dan yang berubah (alam nyata).
Plato sendiri berpihak kepada alam yang tetap yaitu alam ide sebagai
hakikat sesungguhnya kenyataan. Sedangkan alam yang berubah yaitu
alam nyata hanyalah bayangan saja. Aristoteles murid Plato juga mencoba
memecahkan masalah ini. Ia mengikuti pembagian kenyataan ini kepada
dua yaitu yang tetap (form) dan yang berubah (matter). Aristoteles,
berbeda dengan Plato, berpihak pada yang berubah. Dalam penyusunan
logika yang terbagi kepada dua belas kategori pada hakikatnya ia membagi
kepada dua yaitu esensi (satu kategori) dan aksidensi (11 kategori). Al-
Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi dan bentuk. Materi
merupakan kemungkinan, sedangkan bentuk yang menentukan
kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa kayu sebagai
materi mengandung banyak kemungkinan: menjadi kursi, lemari dan
sebagainya. Kemungkinan itu barulah terlaksana menjadi suatu kenyataan
kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya.9
Ajaran Aristoteles tentang materi-bentuk, berangkat dari ajaran
tentang gerak. Gerak menurut Aristoteles ada dua macam, gerak karena
perbuatan (aksi) seperti batu yang dilemparkan orang, dan gerak spontan
menurut kodrat, seperti batu yang jatuh ke bawah. Pengertian gerak
(Yunani –kinesis, Latin motus, Inggeris motion) bagi Aristoteles tidak
sebagaimana pengertian modern ; perubahan lokal, seperti bergeraknya
mobil dari suatu tempat ke tempat yang lain. Bagi Aristoteles, gerak juga
berarti perubahan, dan perubahan dapat dibedakan dalam empat macam ;
perubahan/gerak substansial, gerak kuantitatif, gerak kualitatif, dan gerak
lokal.
Gerak susbstansial adalah perubahan dari suatu substansi menjadi
substansi lain, misalnya jika seekor anjing mati kemudian berubah menjadi
bangkai, maka ia telah mengalami perubahan substansial. Atau mungkin
juga bisa dikatakan kayu yang dibakar kemudian berubah menjadi abu.
Gerak kuantitatif, yaitu perubahan yang terjadi pada kuantitasnya seperti
dari satu menjadi dua, tiga dan seterusnya, atau dari kecil menjadi besar,
seperti pohon kecil menjadi besar. Gerak kualitatif, jika kertas putih
berubah warnanya menjadi kuning, atau bunga yang berwarna merah
jingga kemudian esok harinya berubah menjadi layu, maka perubahan
itulah yang disebut perubahan kualitatif. Gerak lokal, yaitu perpindahan
dari suatu tempat ke tempat lain, misalnya pagi hari malas berada di
kamar kemudian siang hari berada di ruang tamu.
Kemudian Aristoteles menyusun logika yang merupakan hukum-
hukum berpikir secara silogistis. Walaupun Aristoteles sudah
merekomendasikan ke alam nyata namun dengan silogistis ini maka
dialektika antara kenyataan dengan akal menjadi penting dan akal lebih
merupakan penentu. Setelah Plato dan Aristoteles tidak ada pemikir genial
yang muncul, Baru lima abad kemudian muncul Plotinus. Plotinus
menerangkan kemunculan alam dengan adanya hirarcy of being.
Metafisika, menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama
:
9 Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984), 91
a. Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu
ontologi.
b. Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat
dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya
memuncak dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang tidak
lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan
prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai
sumber wujudnya, yaiu teologi.
c. Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi
yang mendasari ilmu-ilmu khusus.10
Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena
materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat
tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminology religius, wujud non fisik
mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud
ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.37 Dalam
kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid
secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala
yang ada selain Allah adalah makhluk, diciptakan (hadis). Tetapi bagaimana
yang banyak keluar dari yang Ahad memunculkan diskusi yang mendalam.11
Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tentu saja menimbulkan
berbagai persoalan, karena para apparatus ilmu/ulama merespons dengan
ilmu mereka masing-masing. Filsafat dan ilmu pengetahuan timbul sebagai
produk pemikiran manusia. Akal yang dianugerahakan Tuhan kepada
manusia itulah yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam
kebudayaan Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan penting.
Sementara di dalam Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi.
Akal mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam al-Quran dan Hadis. Ayat
yang pertama turun memerintahkan umat untuk membaca yang berarti
berpikir.12
Para ulama Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan
demikian menghargai akal yang kedudukannya tinggi itu. Mereka tidak
10 Osman Bakar, Hiererki Ilmu, h. 12011 Paket Studi Islam VIII, H 67 12 Nasution, “Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam” dalam StudiaIslamika, No. 4, Th. II, April-Juni 1977, h. 4
segan-segan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani yang mereka jumpai di daerah-daerah Bizantium dan Persia yang
jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Seperti yang sudah disinggung di depan
ini sejalan dengan kedudukan tinggi dari akal yang terdapat dalam
peradaban Yunani yang dibawa Alexander Yang Agung ke Timur Tengah
pada abad ke-IV SM.41 Karena itu ada mind set yang sama. Persepsi yang
sama ini bertemu dan mempermudah usaha pemaduannya. Karena ada
platform atau mind set yang sama maka umat Islam pada masa Islam klasik
tanpa beban mencoba untuk mengambil filsafat dan ilmu pengetahuan dari
Yunani itu. Karena khazanah Yunani itu dalam bahasa Yunani maka
dilaksanakan program penerjemahan ke dalam bahasa Arab. Pada mulanya
buku-buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Siriac, bahasa ilmu
pengetahuan di Mesopotamia pada saat itu. Kemudian ke dalam bahasa
Arab dan akhirnya penerjemahan langsung ke dalam bahasa Arab.
Pandangan luas dari ulama zaman itu membuat para filosof Islam
seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn Tufail dan Ibn
Rusyd dapat menerima filsafat Pytagoras, Plato, Aristoteles, dan lain-lain,
walaupun sesungguhnya menurut Harun filosof-filosof Yunani itu bukan
orang yang beragama, seperti yang dikenal dalam Abrahamic Religion.
Filsafat mereka dengan mudah dapat disesuaikan oleh filosof-filosof Islam
itu dengan ajaran dasar dalam al-Quran. Idea Tertinggi Plato, Penggerak
Pertama Aristoteles, dan Yang Maha Satu Plotinus mereka identikkan
dengan Allah SWT. Bahkan al-Farabi berpendapat bahwa Plotinus dan
Aristoteles termasuk dalam jumlah nabi-nabi yang tidak disebutkan
namanya dalam al-Quran. Oleh karena itu ia berusaha untuk mendamaikan
filsafat Aristoteles dengan gurunya Plato. Sikap yang apresiatif ini berbeda
dengan sikap yang muncul belakangan yang beranggapan bahwa filsafat
membawa kepada kekafiran, kemudian muncul pandangan mempelajari
filsafat adalah haram.
Ada bebera respons akan kedatangan filsafat Yunani ini. Pertama,
respons yang sangat antusias di kalangan para filosof. Kedua, sikap yang
gembira yaitu oleh para ahli Kalam. Mereka menggunakan metode-metode
filsafat untuk ilmu kalam yang berguna mempertahankan akidah dari
serangan musuh yang menggunakan metode filsafat Yunani. Ketiga, respos
yang sangat kritis yaitu oleh para fukaha’ dan ahli bahasa yang tidak
senang dengan kedatangan filsafat Yunani ini. Sedangkan sikap yang
cenderung tenang adalah para sufi.
Dari berbagai sikap ini tentu saja karena ada perbedaan pandangan
tentang kebenaran yang dibawa oleh filsafat Yunani. Karena selama ini
semenjak Rasulullah meninggal mereka hidup dengan mempedomani ajaran
al-Qur’ an dan Hadis. Para ahli Fikh yang menguasai mayoritas wacana
umat merasa berkewajiban untuk membela pandangan al-Qur’ an dan
Hadis. Mereka berpendapat bahwa kebenaran hanyalah yang terdapat
dalam al-Quran. Titik debat ini dikarenakan selama ini umat hanya
mengenal kebenaran dengan paradigma wahyu sementara para filosof
membawa pandangan tentang kebenaran dengan paradigma filsafat.
Menurut Harun para filosof Islam mencurahkan pemikirannya untuk
menjelaskan kepada masyarakat bahwa kebenaran yang dibawa filsafat
sama dengan kebenaran yang dibawa oleh wahyu. Para fukaha’ mendistorsi
bahwa kebenaran hanya dalam interpretasi fikh. Masuknya anasir lain ke
tubuh umat Islam tak terelakkan lagi bagi pemikir untuk memberikan
pemecahan sesuai dengan kapasitas masing-masing. Al-Kindi memang telah
berusaha menelaah wacana Neo-Platonisme akan tetapi ia belum secermat
al-Farabi. Misalnya, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “alam yang
pluralis” ini merupakan masalah falsafi yang telah menjadi tema
pembahasan utama dalam kalangan filosof Yunani. Masalah ini juga telah
menduduki tempat yang khusus dalam pemikiran filosof Islam13.
Dalam filsafat Yunani, problema ini dibahas dalam tingkat fisika,
sedangkan dalam filsafat Neo-Platonisme dan Islam, ia dikaji sebagai
problema keagamaan. Kendati cara pengkajian masalah tersebut tidak
berbeda dalam dua mazhab tersebut, namun tujuannya tidak sama. Dalam
mazhab Neo-Platonisme dan filsafat Islam, tujuan pem- bahasan metafisika
adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat
memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal. Dalam sistem yang
semacam ini, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “pluralitas alamiah” ini
merupakan titik berangkat atau dasar utama dalam membangun filsafat
13 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime, h. 11 DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004 : 83 - 100 98
seluruhnya.47 Alam semesta muncul dari yang Esa dengan proses emanasi.
Bertentangan dengan dogma ortodoks tentang penciptaan, filsafat Islam
mengemukakan doktrin kekekalan alam. Doktrin emanasi digunakan untuk
menjelaskan ini.48
Hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
a. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
b. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
c. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
d. Benda-benda bumi (teresterial).14
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana
yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak
berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada
apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam
materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang
disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.
Proses emanasi itu adalah sebagai berikut.
Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini
timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan
pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia
disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud
kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah
wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga
berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama. Sebagaimana
al-Kindi, al-Farabi juga berkeyakinan bahwa antara agama dan filsafat
tidak ada pertentangan. Berbeda dengan al-Kindi, jika terdapat perbedaan
antara akal dan wahyu maka al-Farabi memilih hasil akal sedangkan al-
Kindi memilih wahyu.
Menurut pendapatnya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran
hasil spekulasi filsafat hakikatnya satu, sungguhpun bentuknya berbeda. Al-
Farabi merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan
antara agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu dua. Pertama
pengadaan keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia
sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian tafsir rasional
14 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 118
terhadap ajaran-ajaran Islam. Sikap ini tentu untuk mendukung apresiasi
terhadap pemikiran Yunani. Al-Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles
secara kategoris telah menolak keberadaan ide-ide Plato, tetapi ketika
Aristoteles tiba pada masalah teologi dan gagasan tentang “sebab
pertama” alam semesta, dia menemukan dirinya berhadapan dengan
masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk Ilahiyah, yang eksistensinya, tak
syak lagi mesti diperanggapkan dalam Akal Tertinggi Wujud Pertama.
Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan.
Tentang Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah membicarakan tentang
Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak menerangkan
bagaimana alam ini dijadikan. Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori
emanasi. Disini ia menjelaskan munculnya segala sesuatu dengan tidak
melalui Kun Fayakun seperti pemahaman tradisional. Segala sesuatu dari
Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematis, dan dari sudut
pandangan Islam heterodok (mengandung banyak bid’ ah). Al-Farabi
membagi ilmu kepada dua, yaitu konsepsi tasawwur mutlak dan konsep
yang disertai keputusan pikiran (judgment-tasdiq). Diantara konsep itu ada
yang baru sempurna apabila didahului oleh yang sebelumnya sebagaimana
tidak mungkin menggambarkan benda tanpa menggambarkan panjang,
lebar dan dalam tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada
setiap konsep, melainkan harus berhenti pada suatu konsep yang
penghabisan yang tidak mungkin dibayangkan adanya konsep yang
sebelumnya, seperti konsep tentang wujud, wajib dan mungkin.
Kesemuanya ini tidak memerlukan adanya konsep yang sebelumnya, karena
konsep-konsep tersebut adalah pengertian-pengertian yang jelas dan benar
dan terdapat dalam pikiran.
Adapun keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka diantaranya ada
yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal sebelumnya. Seperti
pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan terlebih dahulu
adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap yang tersusun berarti
baru. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas dalam akal,
seperti halnya dengan hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan lebih
besar dari sebagian. Kesemuanya ini adalah pikiran-pikiran yang terdapat
dalam akal dan yang bisa dikeluarkan sebagai pengingatan karena tidak
ada sesuatu yang lebih terang dari padanya dan tidak perlu dibuktikan
karena sudah jelas dengan sendirinya. Juga hukum-hukum tersebut
memberikan keyakinan dan juga merupakan dasar aksioma.
Ada tiga hal pokok yang menjadi persoalan metafisika, yaitu ;
a. Segi esensi (zat) dan eksistensi (wujud) sesuatu.
b. Pokok utama segala yang maujud
c. Prinsip utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan.
Dalam Fushus al-Hikmah al-Farabi membedakan antara zat (esensi)
dan wujud (eksistensi). Zat menanyakan apanya sesuatu, wujud adanya
sesuatu. Terdapat dua macam zat ;Pertama yang wajib ada.64 Aristoteles
membagi obyek metafisika kepada dua yaitu ; Yang Ada sebagai yang Ada
dan Yang Ilahi. Pengaruh Aristoteles kepada al- Farabi kelihatan.
Pembahasan mengenai yang ada, yang ada dalam keadaannya yang wajar,
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan semacam ini berusaha untuk
memahami yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya.
Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat
terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan
apakah barang sesuatu itu memang sungguh-sungguh ada. Jika kita ikuti
cara berpikir demikian berarti kita akan sampai pada pendapat bahwa
hanya Tuhanlah yang sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-
mutlaknya, artinya yang tidak tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu
yang lainnya mempunyai nilai nisbi. Dasar piramida falsafah yang
diletakkan dengan kukuh oleh al-Farabi ini segera dilanjutkan
pembangunannya oleh para penerusnya, dan karya-karya Guru Kedua ini
mempersiapkan kondisi dunia pemikiran Islam untuk mengalami sekali lagi
serbuan Hellenisme yang semakin dahsyat.66 Al-Farabi seperti Aristoteles
membedakan antara materi (zat) dan bentuk (shurah). Materi sendiri
berupa kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan : Kayu sebagai
materi mengandung banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari
dan sebagainya. Kemungkinan itu baru terlaksana jika sudah menjadi
kenyataan kalau diberi bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan
sebagainya.
Dengan cara berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para
ahli tafsir pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan
pikirannya yang mengatakan, bahwa suatu kesimpulan yang diambil di atas
dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk hidup daripada
kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali tidak didasari
oleh dalil-dalil.67 Jadi argumentasi itu penting sekali dari pada hanya
mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti yang banyak terjadi
di kalangan umat Islam. Dalam risalahnya al-Farabi membedakan enam
macam akal budi.
a. Akal budi pada umumnya dikatakan sebagai yang masuk akal
(reasonable) dan utama dalam bahasa (percakapan) sehari-hari
dan yang disebut oleh Aristoteles phironesis (al-ta’ aqqul).
b. Akal budi yang dinyatakan oleh para teolog sebagai yang
memerintah atau larangan tindakan-tindakan umum tertentu dan
yang sebagian identik dengan pikiran sehat (common sense- indria
bersama).
c. Akal budi yang oleh Aristoteles digambarkan dalam Analytica
Posteriora sebagai kecakapan memahami prinsip-prinsip primer
demonstrasi, secara instingtif dan intuitif.
d. Akal budi yang berakar dalam pengalaman. Akal budi ini
memungkinkan kita dapat mengambil keputusan secara jitu (tanpa
salah), melalui kecakapan intuitif, mengenai prinsip-prinsip dari
benar dan salah.
e. Akal budi yang dapat diambil rujukannya dalam De Anima yang
dikarang oleh Aristoteles, seorang pemikir yang berpengaruh ke
dalam dirinya terutama dalam soal logika, dan juga metafisika.
f. Meskipun demikian, tindakan akal kecerdasan aktif ini tidak
berkesinambungan dan tidak juga konstan, ini tidaklah disebabkan
oleh adanya kepasifan (passivity) yang patut untuknya, tetapi oleh
kenyataan bahwa materi, dimana dia harus beroperasi, bisa saja
mempunyai keinginan atau kecendrungan untuk tidak puas
menerima bentuk-bentuk yang memancar dari padanya, karena
beberapa rintangan atau yang lainnya.15
C. IBNU SINA
1. Biografi Ibnu Sina
15
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina.
Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang
tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.Di
Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu
agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu
agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mutafalsir Abu
Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang
elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-
Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama
dan meta sika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni
dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari
Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab16.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan
cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini
menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus
terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu meta sika-nya Arisstoteles,
kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu
kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua
persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang,
bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka
dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari
Al-Farabi
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya,
seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun,
kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak
orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan
teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati
orang - orang sakit.Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca
buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia
memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata
permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur
karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya
16 Ahmad, Zaenal Abidin Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia, Jakarta, Bulan Bintang, 1949
pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya.
Dalam bidang materia medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan
bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga - dimana tumbuh - tumbuhan
banayak membantu terhadap bebebrapa penyakit tertentu seperti radang
selaput otak (miningitis).
Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran
darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh
William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi
selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali
pusarnya.
Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di
masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius
orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang
merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang
bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat
pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred
Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat
memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana,
dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah
dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang
meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd
dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles
disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”[
Selain kepandaiannya sebagai filosof dan dokter, iapun penyair. Ilmu
- ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang
ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku - buku yang
dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.
Kebanyakan buku - bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin.
Ketika orang - orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku -
buku itu sebagai textbook, dipelbagai universitas. Oleh karena itu nama
Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropah sangat berpengaruh.
Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena
kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya
menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga
menulis dalam bahasa Persia. Buku bukunya dalam bahasa Persia, telah
diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.
Karya - karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah
As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-
Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari
pada itu, ia banyak menulis karangan karangan pendek yang dinamakan
Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi
dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.
Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk
dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya.
Diantaranya karya yang paling masyhur adalah “Qanun” yang merupakan
ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini
dterjemahkan ke baasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita
Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab
AsSyifa”. Karya ini merupakan titik puncak lsafat paripatetik dalam Islam
Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema
filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir
Barat Ibnu Sina wafat pada tahun 428 hijriyah pada usia 58 tahun. Beliau
pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat
manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina
adalah contoh dari peradaban besar Iran di zamannya
2. Metafisika Ibnu Sina
Pemikiran metafisika Ibnu Sina bertitik tolak kepada pandangan
filsafatnya yang membagi tiga jenis hal yaitu:
a. Penting dalam dirinya sendiri, tidak perlu kepada sebab lain untuk
kejadiannya, selain dirinya sendiri yaitu tuhan.
b. Berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada
yang menjadikan.
c. Makhluk mungkin, yang ada bisa pula tidak ada, dan ia sendiri tidak
butuh kepada kejadiannya maksudnya benda-benda yang tidak
berakal seperti: pohon, air, batu, tanah, dll.
Dalam membahas mengenai adanya Tuhan dalam hubungannya
dengan alam semesta. Ibnu Sina mengatakan dalam bukunya “Al Isharat”,
“titik dan pandangan argument orang terhadap wujud yang pertama,
keesaannya kemahaagungannya, tidak berkehendak kepada sesuatu yang
lain selain dari ciptaannya atas makhluk itu sendiri, tanpa pandangan
betapapun ciptaan dan bentuknya, meskipun ciptaannya dipandang sebagai
tanda adanya tuhan. Orang akan lebih mengerti dengan lebih kuat dan baik
terhadap tuhan, karena adanya makhluk berarti adanya tuhan. Adanya
pandangan segala makhluk, dapat dibenarkan pendapat tentang adanya
tuhan.
Sesuatu ada yang dibutuhkan adalah keadaan yang masuk akal,
bukanlah hal yang mustahil. Ada yang dibutuhkan ini adalah Tuhan Yang
Maha Esa. Segala ada yang lain itu adalah mungkin akan tetapi sebagian
darinya diperlukan oleh ada dan sebagiannya tidak diperlukan. Mereka ini
mempunyai akal yang terpisah antara yang satu dengan yang lain. Dari
bentuk sempurna kebutuhan pada bentuk yang tidak sempurna dan
mungkin. Yang dimksud dengan bentuk sempurna dan kebutuhan itu adalah
tuhan. Jalan pikiran yang disusun oleh ibnu Sina :
a. Akal terpisah
b. Bentuk
c. Jasmani
d. Benda dan kejadian.
Dalam setiap ukuran itu terdapat berbagai jenis makhluk yang
berbeda dalam susunan kejadiannya, Akal terpisah mempunyai susunan ke
atas dan ke bawah, yang paling tinggi adalah akal terpisah atau sebab
pertama. Yang terendah adalah akal ke sepuluh yang disebut sebagai wakil
akal, masuk ke dalam alam turun-temurun dan rusak. Akal pertama
mengalir dari apa yang dibutuhkan dengan jalan pelimpahan, yang kedua
melimpah dari yang pertama demikian terus menerus sampai pada akal
yang kesepulul. Tuhan adalah akal murni yang mengetahui irinya sendiri.
D. IBNU THUFAIL
1. Biografi Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibn 'Abd Al
Malik ibn Muhammad ibn Tufail, dalam tulisan latin, Abubacer. Ia adalah
pemuka pertama dalam pemikiran filosofis Muwahhid yang berasal dari
Spanyol.17 Ia dilahirkan di Cadix, Provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506
H/1110 M. Ibnu Thufail termasuk dalam keluarga suku Arab terkemuka,
Qais.18
Ibnu Khalkan pernah berkomentar tentang Ibnu Thufail, "Dia seorang
yang mendalami semua bagian dari ilmu hikmah. Dia belajar dari para ahli
hikmah, diantaranya Abu Bakar bin Shaight atau Inu Bajah dan lain-lain.
Ibnu Thufail memiliki banyak karangan dan berambisi untuk memadukan
antara ilmu Syariat dan hikmah. Beliau sangat ahli dalam bidang itu.19
Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktek di Granda.
Karena ketenaran atas jabatan tersebut, maka ia diangkat menjadi
sekretaris Gubernur di Propinsi itu. Pada tahun 1154 M. (549 H.), ibnu
Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, Penguasa
Muwahid Spanyol pertama yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter
tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan pada Khalifah Muwahid Abu Ya'qub
Yusuf (558 H\1163 M-580 H.\1184 M).20
Kemudian pemerintahan yang dipimpin oleh Abu Ya'qub Yusuf
menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosuf dan metode
ilmiah. Khalifah ini memberikan kebebasan berfilsafat, dan membuat
Spanyol disebut tempat kelahiran kembali negri Eropa sebagaimana
dikatakan oleh R. Briffault. Bersama Khalifah Abu Ya'qub Yusuf, Ibnu Tufail
menjadi berpengaruh besar, dan dia yang memperkenalkannya dengan
Ibnu Rusyd (meninggal tahun 595 H\1198 M). atas kehendak khalifah, dia
memberi saran kepada Ibnu Bajjah agar membuat keterangan atas karya-
karya Aristoteles, suatu tugas yang dilaksanakan dengan penuh semangat
oleh Ibnu Bajjah tapi tak dapat diselesaikan sampai dia meninggal. Ibnu
Tufail meninggalkan jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578
H\1182 M, dikarenakan usianya yang lanjut dan dia menganjurkan
pelindungnya agar memilih Ibnu Rusyd agar menggantikan kedudukannya.
17 Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, Cetakan ketiga, 2007, h. 271. 18 Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cetakan pertama, 2004. 205 diambil dari Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:Universitas Indonesia, 1985),. 55. 19 Dr. Muhammad 'Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, Cetakan pertama, 2002, h. 277. diambil dari Ibnu Khalkan, juz 7, h. 134-135. 20 Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam .271-272
Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Ya'qub dan setelah dia
meninggal (pada tahun 580 H\ 1184 M) dia mendapatkan penghargaan pula
dari putranya Abu Yusuf Al Mansur (580 H\1185 M-595 H\1199 M). ibnu
Tufail meninggal di Maroko pada tahun 581 H.\1185 – 86 M, Al Mansur
sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.21
Ibnu Thufail adalah seorang yang alim, berwawasan luas, dokter, ahli
ilmu alam, peramal, filosof, dan penyair.22 Ia belajar kedokteran dan filsafat
di Seville dan Cordoba. Ia berkeyakinan bahwa, hati itulah pokok pangkal
keimanan sedang akal ber ada di bawah hati, maka kecenderungan pemikir-
pemikir Islam lebih mengarah ke tasawuf. Begitulah Ibnu Thufail muncul
untuk membuktikan kebenaran pendapat ini dalam suatu Cerita yang
terkenal dengan nama Hay bin Yaqdhan23.
Buku-buku biografi menyebutkan beberapa karangan dari Ibnu
Thufail yang menyangkut beberapa karangan dari Ibnu Thufail yang
menyangkut beberapa lapangan filsafat, seperti filsafat fisika, metafisika,
kejiwaan dan sebagainya, di samping risalah-risalah (surat-surat) kiriman
kepada Ibnu Rusyd24 dan On the Soul yang hilang, satu-satunya karya Ibn
Thufail yang sampai kepada kita adalah roman filsafat yang berjudul Hay
bin Yaqadhan, ("Kehidupan Anak Kesadaran"). Judul karya ini memang
sama dengan buah karya Ibnu Sina yang diakuinya sendiri berisikan
Kebijaksanaan Timur (Oriental Wisdom). Kebijaksanaan Timur pulalah yang
menjadi pikiran Ibn Thufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibn Thufail,
pokok pikirannya ini bisa diidenfikasi sebagai tasawuf yang kala itu ditolak
oleh kebanyakan filosof Muslim, termasuk Ibn Bajjah. Diskursus rasional,
menurut para filosof anti tasawuf, bertolak belakang dengan pengalaman
mistis yang oleh para ahli diyakini bersifat ekstra-rasional dan tak
terperikan.25
Ibnu Khatib menganggap dua risalah mengenai ilmu pengobatan itu
sebagai karyanya. Al Bitruji (muridnya) dan Ibn Rusyd percaya bahwa dia
21 Ibid, h. 27222 Dr. Muhammad 'Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim op.cit.23 Prof. Drs. H. Rustam E. Tamburaka, M.A, Pengantar Ilmu Sejarah Teori Filsafat Sejarah ( Sejarah Filsafat dan Iftek), Jakarta: Rineka Cipta, Cetakan pertama, 1999, h. 215. 24 Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Gelora Aksara Pratama. Cetakan keempat, 1990, h. 161.25 Majid Fakhry Sejarah Filsafat Islam, Bandung: Mizan, Cetakan pertama, 2001. h. 104.
memiliki gagasan-gagasan astronomis asli. Al Bitruji membuat sangkalan
atas teori Ptolemeus mengenai epicycles dan eccentric circles, yang dalam
kata pengantar karyanya Kitab Al Hai’ah dikemukakannya sebagai
sumbangan dari gurunya Ibnu Thufail. Dengan mengutip perkataan Ibn
Rusyd, ibn Abi Usaibiah menganggap Fi Al Buqa' Al Maskunah wal-Ghair Al
Maskunah sebagai karya Ibnu Thufail, tapi dalam catatan Ibn Rusyd sendiri
acuan semacam itu tidak dapat ditemukan. Al Marrakushi, yang ahli sejarah
itu, mengaku telah melihat naskah asli dari salah satu risalahnya mengenai
ilmu ketuhanan. Miguel Casiri masih ada. Risalah Hayy bin Yaqadhan dan
Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah, yang disebut terakhir ini berbentuk
naskah. Kata pengantar dari Asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya
merupakan satu bagian dari Risalah Hay bin Yaqadhan, yang judul
lengkapnya ialah Risalah Hayy bin Yaqadhan Fi Asrar Al Hikmah Al
Mashiriqiyyah,26 Risalah ini merupakan intisari pikiran-pikiran filsafat Ibnu
Thufail, dan yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai-bagai bahasa.
Suatu manuskrip di perpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmat
al-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia Filsafat Timur) tidak lain adalah bagian
dari risalah Hay bin Yaqadhan.27
Sesudah itu ia mengatakan bahwa tujuan filsafat tersebut ialah
memperoleh kebahagiaan dengan jalan dapat berhubungan dengan Akal-
Faal melalui akal (pemikiran). Persoalan hubungan tersebut merupakan
perkara yang paling pelik pada masanya. Ada dua jalan untuk memperoleh
kebahagiaan tersebut. Pertama, jalan tasawuf batini yang di bela oleh al-
Ghazali, tetapi tidak memuaskan Ibnu Thufail. Kedua, jalan pemikiran dan
perenungan yang ditempuh oleh al-Farabi beserta murid-muridya, dan yang
hendak diperjelas oleh Ibnu Thufail.
Dalam hubungan ini Munk mengatakan sebagai berikut:
" Ibnu Thufail berusaha menurut caranya sendiri dalam memecahkan persoalan yang menyibukkan filosof-filosof Islam, yaitu persoalan "hubungan" atau dengan perkataan lain, hubungan manusia dengan Akal-Fall dan dengan Allah. Cara al Ghazali yang didasarkan atas rasa sufi tidak membuat ia tertarik, dan ia lebih mengutamakan cara Ibnu Bajah. Ia mengikuti cara ini dan ikut serta menjelaskan perkembangan pekerjaan pikiran pada si "penyendiri" (al-mutawahhid) yang dapat terbebas dari kesibukan-
26 Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam op.cit. h.272-27327 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam op.cit., h. 161
kesibukan masyarakat dan pengaruhnya. Selain dari itu, ia menjadikan "penyendiri" tersebut yang jauh sama sekali dari pengaruh masyarakat, telah terbuka pikirannya dan dirinya sendiri terhadap semua wujud, dan dengan usahanya sendiri serta dorongan dari Akal-Faal ia dapat memahami rahasia-rahasia alam dan persoalan metafisika yang paling tinggi." 28
2. Filsafat Metafisika Ibnu Thufail
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan
adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud, sebab dunia tgak bisa
maujud dengan sendirimya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab
materi yanhg merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu
Pencipta. Di pihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan
membaca suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh
karena itu, dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud
benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidakdsapat
mengenaliNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi
hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.
Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga, dan gerak
sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, membutuhkan penggerakan atau
penyebab efesien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini berupa sebuah
benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu
menghasilkan suatu pengaruh yang tak terbatas. Oleh sebab itu penyebab
efesien dari gerak kekal harus bersifat immaterial. Ia tidak boleh di
hubungkan dengan materi ataupun dipisahkan darinya, a da di dalam
materi itu tanpa materi itu, sebab penyatuan dan pemisahan,
keterkandungan a tau keterlepasann merupakan tganda-tanda material,
sedang penyebab efisien itu sesungguhnya lepas dari itu semua.
Tuhan dan dunia keduanya kekal, bagaimana bisa yang pertgama
dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti
pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan
dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, dan percaya Tuhan ada sebelum
adanya dunia dalam hal ini esensi tapi tidak dalam waktu. Ambilah satu
contoh, jika kau pegang sebuah benda dengan tanganmu, maka benda itu,
tak pelak lagi, akan bergerak dikarenakan gerakan tangan itu, jadi gerak
28 Ibid, h 161-162
itu bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak
tangan tersebut, meskipun dalam soal waktu keduanya tak saling me
ndahului.
Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu
Thufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia itu bakanlah
suatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditaffsirkan
sebagai cahaya yang sifat esensilanya merupakan penerangan dan
pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh Al Ghazali, Ibu Thufail
memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri
dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal atau berakhir. Dunia
tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan hari
penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi bentuk lain
bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti terus
berlangsung dalam satu atau bentuk lain, sebab kehancurannya tidak
sesuai dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan
merupakan penerangan dan pegejawantahan. kekal.
Ibnu Thufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa
kecuali satu itu. Manifestasi kemajemukan kemaujudan dari yang satu
dijelaskannya dalam gaya Neo-Platonik yang menonton, sebagai tahap-
tahap berurutan pemacaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses itu,
pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari pada
cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin dan yang dari sana
menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkan kemajemukan. Semua
itu merupakan pantulan cahaya matahari, dan bukan matahari itu sendiri,
juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula sesuatu yang lain dari matahari
atau cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu
dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi
kalau kita pandang cermin, yang di situ cahaya tersebut dipantulkan. Hal
yang sama berlaku juga pada cahaya pertama beserta perwujudannya di
dalam kosmos.
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Kindi dan al-
Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat
secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang
kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua
terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam
walaupun harus berjuang keras untuk itu. Walaupun pemikiran
metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim belakangan seperti al-
Ghazali. terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik
untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika, metafiska, ilmu
politik, dan logika telah memberinya hak untuk
menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-
filosof Islam
Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam.
Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman
pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan
mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang
agamis dalam ber lsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf
yang terlalu banyak berfikir. Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan
dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud
pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada. Tuhan
adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan
mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia
yang paling unggul, lebih unggul dari losof karena nabi memiliki akal
aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan losof
mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.
Filsafat Ibnu Thufail secara ringkas sesungguhnya ingin menyatakan bahwa
seorang manusia yang mempunyai pikiran yang cerdas dan memiliki kesiapan
secara natural memungkinkan untuk sampai kepada suatu pengetahuan secara
gradual dari suatu yang indrawi kepada suatu yang rasional atau dari suatu yang
tak di ketahui (majhul ) menuju suatu yang di ketahui ( malum) sampai kemudian
menuju ke pembentukan pengetahuan yang bersifat metafisika , dan kemungkinan
itu tetap ada sekalipun ia hidup di habitat yang terisolir dari manusia tanpa
bantuan bahasa, tradisi, agama dan budaya yang mewarnainya , dan itulah tema
yang ingin di tunjukkan dalam kehidupan hay bin yaqdhan dalam
keterisolasirannya yang total sejak kelahirannya , ini berbeda dengan Ibnu Sina
dan Ibnu Bajah yang berpendapat bahwa pemikiran tentang hal-hal metafisika
merupakan hasil dari pembelajaran, study, dan inteletualitas yang berarti
mensyaratkan bagi orang yang mencapai pengetahuan tersebut untuk hidup dalam
habitat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia.com
Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997,)
Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi
Ilmu (Bandung : Mizan,1997),
Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984),
Paket Studi Islam VIII : Filsafat Islam (Jakarta : Paramadina, tt),
Ibrahim Madkour, “Al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of
Muslim Philosophy alih bahasa Ilyas Hasan Para Filosof Muslim
(Bandung : Mizan, 1992),
Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam Sedjarah dan Perkembangannya di
Dunia Internasional (Jakarta : Bulan Bintang, 1964)
Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984),
Harun Nasution, “Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam”
dalam StudiaIslamika, No. 4, Th. II, April-Juni 1977,
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime, h. 11 DINIKA Vol. 3 No. 1,
January 2004 :
Ahmad, Zaenal Abidin Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof
Dunia, Jakarta, Bulan Bintang, 1949
Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, Cetakan
ketiga, 2007,.
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam Filosof dan
Filsafatnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cetakan pertama,
2004. 205 diambil dari Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:Universitas Indonesia, 1985),.
Dr. Muhammad 'Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof
Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, Cetakan pertama, 2002, h. 277.
diambil dari Ibnu Khalkan, juz 7
Prof. Drs. H. Rustam E. Tamburaka, M.A, Pengantar Ilmu Sejarah
Teori Filsafat Sejarah ( Sejarah Filsafat dan Iftek), Jakarta: Rineka
Cipta, Cetakan pertama, 1999,
Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Gelora Aksara
Pratama. Cetakan keempat, 1990,
Majid Fakhry Sejarah Filsafat Islam, Bandung: Mizan, Cetakan
pertama, 2001..