syafiq mughni2

36
BAB I PENDAHULUAN Diskursus tentang filsafat islam tidak akan pernah lepas dari perdebatan metafisika. Pandangan tentang metafisika merupakan titik awal pemikiran para filsuf islam. Hampir seluruh pemikir islam mempunyai pandangan tentang metafisika. Mulai dari Al-Kindi, al-Farabi sampai pada para pemikir modern seperti Sir Muhammad Iqbal. Sejarah pun mencatat pandangan metafisika dalam islam, bias dikatakan sebagai bentuk zaman keemasan dalam islam untuk mendeskripsikan terhadap sifat-sifat ketuhanannya (teologis) atau bahkan kaitannya dengan alam semesta (kosmologis). Metafisika merupakan sebuah kajian tentang sesuatu “yang ada” sebagai “yang ada”. Pandangan ini bisa kita temukan dalam pemikiran Aristoteles dalam kebiasaan filsafat Yunani. Sedangkan di dalam kajian islam metafisika bisa diartikan sebagai pembahasan tentang ketuhanan dan juga tentang alam. Al-Kindi menyebutkan bahwa Tuhan adalah wujud yang Haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sejak awal & tidak akan pernah ada selama- lamanya. Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah didahului wujud yang lain dan wujudnya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan dengan perantaranya. Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat

Upload: atmari-enje

Post on 27-Jun-2015

141 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Syafiq Mughni2

BAB I

PENDAHULUAN

Diskursus tentang filsafat islam tidak akan pernah lepas dari

perdebatan metafisika. Pandangan tentang metafisika merupakan titik awal

pemikiran para filsuf islam. Hampir seluruh pemikir islam mempunyai

pandangan tentang metafisika. Mulai dari Al-Kindi, al-Farabi sampai pada

para pemikir modern seperti Sir Muhammad Iqbal. Sejarah pun mencatat

pandangan metafisika dalam islam, bias dikatakan sebagai bentuk zaman

keemasan dalam islam untuk mendeskripsikan terhadap sifat-sifat

ketuhanannya (teologis) atau bahkan kaitannya dengan alam semesta

(kosmologis).

Metafisika merupakan sebuah kajian tentang sesuatu “yang ada”

sebagai “yang ada”. Pandangan ini bisa kita temukan dalam pemikiran

Aristoteles dalam kebiasaan filsafat Yunani. Sedangkan di dalam kajian

islam metafisika bisa diartikan sebagai pembahasan tentang ketuhanan dan

juga tentang alam. Al-Kindi menyebutkan bahwa Tuhan adalah wujud yang

Haq (sebenarnya) yang tidak pernah tiada sejak awal & tidak akan pernah

ada selama-lamanya. Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak pernah

didahului wujud yang lain dan wujudnya tidak akan pernah berakhir serta

tidak ada wujud lain melainkan dengan perantaranya.

Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik",

φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang

mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika

adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab

pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah

Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?. Cabang utama

metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di

alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya

memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk

keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan

kemungkinan.

Dalam makalah ini tidak semua tokoh pemikir islam bisa pemakalah

sebutkan. Pasalnya Dari zaman al-Kindi hingga pada saat ini (post-Modern)

Page 2: Syafiq Mughni2

kajian tetang metafisika tetap menjadi kajian yang sangat diagung-

agungkan dalam islam. Berbeda dengan filsafat barat pembahasan tentang

metafisika terhenti di zaman renaisans yang ditandai dengan filsafat

kemanusiaan. Oleh sebab itulah pemakalah hanya menampilkan empat

tokoh yang berbicara tentang metafisika, yakni al-Kindi, al-Farabi, Ibnu

Sina, dan juga Ibnu Thufail.

Page 3: Syafiq Mughni2

BAB II

METAFISIKA DALAM PANDANGAN FILOSUF ISLAM

A. AL-KINDI

Al-Kindi (lahir: 801 - wafat: 873), bisa dikatakan merupakan filsuf

pertama yang lahir dari kalangan Islam. Semasa hidupnya, selain bisa

berbahasa Arab, ia mahir berbahasa Yunani pula. Banyak karya-karya para

filsuf Yunani diterjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain karya

Aristoteles dan Plotinus. Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang

diterjemahkannya sebagai karangan Aristoteles dan berjudulkan Teologi

menurut Aristoteles, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungani1.

Al-Kindi berasal dari kalangan bangsawan, dari Irak. Ia berasal dari

suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 873. Ia

merupakan seorang tokoh besar dari bangsa Arab yang menjadi pengikut

Aristoteles, yang telah mempengaruhi konsep al Kindi dalam berbagai

doktrin pemikiran dalam bidang sains dan psikologi.

Al Kindi menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri,

astronomi, astrologi, aritmatika, musik(yang dibangunnya dari berbagai

prinip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik.

Ia membedakan antara intelek aktif dengan intelek pasif yang

diaktualkan dari bentuk intelek itu sendiri. Argumen diskursif dan tindakan

demonstratif ia anggap sebagai pengaruh dari intelek ketiga dan yang

keempat. Dalam ontologi dia mencoba mengambil parameter dari kategori-

kategori yang ada, yang ia kenalkan dalam lima bagian: zat(materi), bentuk,

gerak, tempat, waktu, yang ia sebut sebagai substansi primer.

Al Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis,

yang kemudian diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia

juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan

penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan religius-ortodoks

terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalam keadaan

yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam) al Kindi dapat

membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan ortodoks itu.

Sehubunga dengan dalil gerak, Al-Kindi mengajukan pertanyaan

sekaligus memberikan jawaban-nya dalam ungkapan berikut:

1 Wikipedia.com

Page 4: Syafiq Mughni2

”mungkinkah sesuatu menjadi sebab adanya adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin? Jawaban-nya: Yang demikian itu tidak mungkin, dengan demikian, alam ini adalah baru, ada permulaan dalam waktu, demikian pula alam ini ada akhirnya, oleh karena-nya alam ini harus ada yang menciptakannya. Dari segi filsafat, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argument Aristoteles tentang Causa Prima dan penggerak pertama. Penggerak yang tidak bergerak. Dari segi agama, argument Al-Kindi itu sejalan dengan argument ilmu Kalam. Alam berubah-ubah, semua yang berubah-ubah adalah baru. Maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptaan-nya. Yang menciptakan dari tiada2.

Tentang dalil ke alam wujud, Al-Kindi mengatakan bahwa tidak

mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan. Demikian pula

sebaiknya tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan alam inderawi atau

yang dapat di pandang sebagai inderawi, karena dalam wujud semuanya

mempunyai kesamaan keanekaan dan kesatuan. Maka sudah pastilah hal ini

terjadi karena ada sebab. Bukan karena kebetulan, dan sebab ini bukan

alam wujuad yang mempunyai persamaan dan kebenaran dan keseragaman

Itu sendiri. Jika tidak demikian akan terjadi hubungan sebab-akibat yang

tidak berkesudahan, dan hal ini tidak mungkin terjadi, oleh karenya, sebab

itu adalah di luar wujud itu sendiri3.

Eksistensinya lebih tinggi, lebih mulia. Dan lebih dulu adanya. Sebab

ini tidak lain adalah tuhan. Mengenai dalil keteraturan alam wujud sebagai

bukti adanya tuhan. Al-Kindi mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi

tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya dzat yang tidak terlihat, dan

dzat yang tidak terlihat itu tidak mungkin di ketahui adanya kecuali dengan

adanya keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan adanya yang

terdapat dalam alam ini. Argument demikian ini di sebut argument teologik

yang pernah juga di gunakan Aristoteles, tetapi juga bisa diperoleh dari

adanya ayat-ayat Al-Qu’an. Tentang sifat-sifat tuhan, Al-Kindi berpendirian

seperti golongan meu’tazilah, yang menonjolkan ke esaan sebagai satu-

satu-nya sifat tuhan.

B. AL-FARABI

1. Riwayat Hidup

Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di

Farab (Transoxania) pada tahun 870 M.6 Al-Farabi dalam sumber-sumber

2 Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007.),243 Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997,) 16

Page 5: Syafiq Mughni2

Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.4 Ia berasal dari keturunan

Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang

Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik5 Ibunya berasal dari Turki.

Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.6 Sebagai

pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk

berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis

karya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting.

Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur,

lama sepeninggalnya.7

Al-Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam.

Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam

kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi.

Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih

kekuasaan. Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan

kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di atas, ia

tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran

dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara. Pembaruan

itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam fondasi

filsafat.

Walaupun al-Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama

terkemuka namun ia lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai

penulis karya-karya filsafat politik. Para ahli sepakat memberikan pujian

yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan

juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika keadaa

Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika, meluaskan

dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi.

Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula

dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah

keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al-Qur’ an. Ia

juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia. Periode kedua adalah

4 Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung : Mizan,1997), 26 5 Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984), h. 89 6 Paket Studi Islam VIII : Filsafat Islam (Jakarta : Paramadina, tt), 667 Ibrahim Madkour, “Al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim Philosophy alih bahasa Ilyas Hasan Para Filosof Muslim (Bandung : Mizan, 1992), h. 55

Page 6: Syafiq Mughni2

periode usia tua dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat

belajar yang terkemuka pada abad ke-4/10.Di sana ia bertemu dengan

sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan penerjemah. Ia

tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling

terkemuka adalah Abu Bisyr Matta ibn Yunus. Untuk beberapa lama ia

belajar dengannya. Baghdad merupakan kota yang pertama kali

dikunjunginya. Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian pindah

ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah

al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al-Farabi, lalu diajaknya

pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat al-Farabi sebagai ulama

istana. Kota kesayangannya adalah Damaskus. Ia menghabiskan umurnya

bukan di tengah-tengah kota, akan tetapi di sebuah kebun yan terletak di

pinggir kota. Di tempat inilah ia kebanyakan mendapat ilham menulis

buku-buku filsafat.8

Begitu mendalam penyelidikanya tentang filsafat Yunani terutama

mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari julukan Mu’

alim Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan kepada

Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar ilmu logika

yang pertama dalam sejarah dunia. Al-Farabi menunjukkan kehidupan

spiritual dalam usianya yang masih sangat muda dan mempraktekkan

kehidupan sufi. Ia juga ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan

komponis beberapa irama musik, yang masih dapat didengarkan dalam

perbendaharaan lagu sufi musik India. Orde Maulawiyah dari Anatolia

masih terus memainkan komposisinya sampai sekarang. Al-Farabi telah

mengarang ilmu musik dalam lima bagian. Buku-buku ini masih berupa

naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi sebagiannya sudah diterbitkan

dalam bahasa Perancis oleh D’ Erlenger. Teorinya tentang harmoni belum

dipelajari secara mendalam. Pengetahuan estetika al-Farabi bergandengan

dengan kemampuan logikanya. Ia meninggal pada tahun 950 M dalam usia

80 tahun.

2. Pemikiran tentang Metafisika

8 Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam Sedjarah dan Perkembangannya di Dunia Internasional (Jakarta : Bulan Bintang, 1964), 89

Page 7: Syafiq Mughni2

Menyibukkan diri di bidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang

hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, melainkan merupakan salah

satu ciri kemanusiaan kita. Berfilsafat merupakan salah satu kemungkinan

yang terbuka bagi setiap orang., seketika ia mampu menerobos lingkaran

kebiasaan sehari-hari. Salah satu cabang filsafat adalah metafisika.

Kebutuhan manusia akan metafisika merupakan dorongan yang muncul

dari hidup manusia yang mempertanyakan hakikat kenyataan.

Manusia adalah produk masyarakat tertentu. Ia adalah anak

zamannya. Manusia tidak membentuk diri sendiri. Opini-opini pribadi

dibentuk oleh masyarakat tempat tinggalnya. Setiap pemikiran selalu

mewakili zamannya dan hasil dialektika dengan sejarahnya. Hasilnya

terkadang spekulatif dan terkadang pula hasil pengembangan pemikiran

yang sudah ada. Diskusi tentang metafisika ini sudah dimulai dari masa

Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang being atau “yang ada”

Heraklitos dikritik oleh Parmanides, Plato dikritik oleh Aristoteles (Guru

Pertama). Heraklitos berteori bahwa hakikat kenyataan adalah perubahan.

Teori ini ditentang oleh Parmanides yang berpendapat bahwa hakikat

kenyataan adalah yang tetap. Plato berusaha mengkomromikan wacana ini

dengan cara mengakomodir keduanya. Baginya hakikat kenyataan adalah

dua yaitu yang tetap (alam ide) dan yang berubah (alam nyata).

Plato sendiri berpihak kepada alam yang tetap yaitu alam ide sebagai

hakikat sesungguhnya kenyataan. Sedangkan alam yang berubah yaitu

alam nyata hanyalah bayangan saja. Aristoteles murid Plato juga mencoba

memecahkan masalah ini. Ia mengikuti pembagian kenyataan ini kepada

dua yaitu yang tetap (form) dan yang berubah (matter). Aristoteles,

berbeda dengan Plato, berpihak pada yang berubah. Dalam penyusunan

logika yang terbagi kepada dua belas kategori pada hakikatnya ia membagi

kepada dua yaitu esensi (satu kategori) dan aksidensi (11 kategori). Al-

Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi dan bentuk. Materi

merupakan kemungkinan, sedangkan bentuk yang menentukan

kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa kayu sebagai

materi mengandung banyak kemungkinan: menjadi kursi, lemari dan

Page 8: Syafiq Mughni2

sebagainya. Kemungkinan itu barulah terlaksana menjadi suatu kenyataan

kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya.9

Ajaran Aristoteles tentang materi-bentuk, berangkat dari ajaran

tentang gerak. Gerak menurut Aristoteles ada dua macam, gerak karena

perbuatan (aksi) seperti batu yang dilemparkan orang, dan gerak spontan

menurut kodrat, seperti batu yang jatuh ke bawah. Pengertian gerak

(Yunani –kinesis, Latin motus, Inggeris motion) bagi Aristoteles tidak

sebagaimana pengertian modern ; perubahan lokal, seperti bergeraknya

mobil dari suatu tempat ke tempat yang lain. Bagi Aristoteles, gerak juga

berarti perubahan, dan perubahan dapat dibedakan dalam empat macam ;

perubahan/gerak substansial, gerak kuantitatif, gerak kualitatif, dan gerak

lokal.

Gerak susbstansial adalah perubahan dari suatu substansi menjadi

substansi lain, misalnya jika seekor anjing mati kemudian berubah menjadi

bangkai, maka ia telah mengalami perubahan substansial. Atau mungkin

juga bisa dikatakan kayu yang dibakar kemudian berubah menjadi abu.

Gerak kuantitatif, yaitu perubahan yang terjadi pada kuantitasnya seperti

dari satu menjadi dua, tiga dan seterusnya, atau dari kecil menjadi besar,

seperti pohon kecil menjadi besar. Gerak kualitatif, jika kertas putih

berubah warnanya menjadi kuning, atau bunga yang berwarna merah

jingga kemudian esok harinya berubah menjadi layu, maka perubahan

itulah yang disebut perubahan kualitatif. Gerak lokal, yaitu perpindahan

dari suatu tempat ke tempat lain, misalnya pagi hari malas berada di

kamar kemudian siang hari berada di ruang tamu.

Kemudian Aristoteles menyusun logika yang merupakan hukum-

hukum berpikir secara silogistis. Walaupun Aristoteles sudah

merekomendasikan ke alam nyata namun dengan silogistis ini maka

dialektika antara kenyataan dengan akal menjadi penting dan akal lebih

merupakan penentu. Setelah Plato dan Aristoteles tidak ada pemikir genial

yang muncul, Baru lima abad kemudian muncul Plotinus. Plotinus

menerangkan kemunculan alam dengan adanya hirarcy of being.

Metafisika, menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama

:

9 Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984), 91

Page 9: Syafiq Mughni2

a. Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu

ontologi.

b. Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat

dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya

memuncak dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang tidak

lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan

prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai

sumber wujudnya, yaiu teologi.

c. Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi

yang mendasari ilmu-ilmu khusus.10

Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena

materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat

tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminology religius, wujud non fisik

mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud

ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.37 Dalam

kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid

secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala

yang ada selain Allah adalah makhluk, diciptakan (hadis). Tetapi bagaimana

yang banyak keluar dari yang Ahad memunculkan diskusi yang mendalam.11

Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tentu saja menimbulkan

berbagai persoalan, karena para apparatus ilmu/ulama merespons dengan

ilmu mereka masing-masing. Filsafat dan ilmu pengetahuan timbul sebagai

produk pemikiran manusia. Akal yang dianugerahakan Tuhan kepada

manusia itulah yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam

kebudayaan Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan penting.

Sementara di dalam Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi.

Akal mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam al-Quran dan Hadis. Ayat

yang pertama turun memerintahkan umat untuk membaca yang berarti

berpikir.12

Para ulama Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan

demikian menghargai akal yang kedudukannya tinggi itu. Mereka tidak

10 Osman Bakar, Hiererki Ilmu, h. 12011 Paket Studi Islam VIII, H 67 12 Nasution, “Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam” dalam StudiaIslamika, No. 4, Th. II, April-Juni 1977, h. 4

Page 10: Syafiq Mughni2

segan-segan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat

Yunani yang mereka jumpai di daerah-daerah Bizantium dan Persia yang

jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Seperti yang sudah disinggung di depan

ini sejalan dengan kedudukan tinggi dari akal yang terdapat dalam

peradaban Yunani yang dibawa Alexander Yang Agung ke Timur Tengah

pada abad ke-IV SM.41 Karena itu ada mind set yang sama. Persepsi yang

sama ini bertemu dan mempermudah usaha pemaduannya. Karena ada

platform atau mind set yang sama maka umat Islam pada masa Islam klasik

tanpa beban mencoba untuk mengambil filsafat dan ilmu pengetahuan dari

Yunani itu. Karena khazanah Yunani itu dalam bahasa Yunani maka

dilaksanakan program penerjemahan ke dalam bahasa Arab. Pada mulanya

buku-buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Siriac, bahasa ilmu

pengetahuan di Mesopotamia pada saat itu. Kemudian ke dalam bahasa

Arab dan akhirnya penerjemahan langsung ke dalam bahasa Arab.

Pandangan luas dari ulama zaman itu membuat para filosof Islam

seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn Tufail dan Ibn

Rusyd dapat menerima filsafat Pytagoras, Plato, Aristoteles, dan lain-lain,

walaupun sesungguhnya menurut Harun filosof-filosof Yunani itu bukan

orang yang beragama, seperti yang dikenal dalam Abrahamic Religion.

Filsafat mereka dengan mudah dapat disesuaikan oleh filosof-filosof Islam

itu dengan ajaran dasar dalam al-Quran. Idea Tertinggi Plato, Penggerak

Pertama Aristoteles, dan Yang Maha Satu Plotinus mereka identikkan

dengan Allah SWT. Bahkan al-Farabi berpendapat bahwa Plotinus dan

Aristoteles termasuk dalam jumlah nabi-nabi yang tidak disebutkan

namanya dalam al-Quran. Oleh karena itu ia berusaha untuk mendamaikan

filsafat Aristoteles dengan gurunya Plato. Sikap yang apresiatif ini berbeda

dengan sikap yang muncul belakangan yang beranggapan bahwa filsafat

membawa kepada kekafiran, kemudian muncul pandangan mempelajari

filsafat adalah haram.

Ada bebera respons akan kedatangan filsafat Yunani ini. Pertama,

respons yang sangat antusias di kalangan para filosof. Kedua, sikap yang

gembira yaitu oleh para ahli Kalam. Mereka menggunakan metode-metode

filsafat untuk ilmu kalam yang berguna mempertahankan akidah dari

serangan musuh yang menggunakan metode filsafat Yunani. Ketiga, respos

Page 11: Syafiq Mughni2

yang sangat kritis yaitu oleh para fukaha’ dan ahli bahasa yang tidak

senang dengan kedatangan filsafat Yunani ini. Sedangkan sikap yang

cenderung tenang adalah para sufi.

Dari berbagai sikap ini tentu saja karena ada perbedaan pandangan

tentang kebenaran yang dibawa oleh filsafat Yunani. Karena selama ini

semenjak Rasulullah meninggal mereka hidup dengan mempedomani ajaran

al-Qur’ an dan Hadis. Para ahli Fikh yang menguasai mayoritas wacana

umat merasa berkewajiban untuk membela pandangan al-Qur’ an dan

Hadis. Mereka berpendapat bahwa kebenaran hanyalah yang terdapat

dalam al-Quran. Titik debat ini dikarenakan selama ini umat hanya

mengenal kebenaran dengan paradigma wahyu sementara para filosof

membawa pandangan tentang kebenaran dengan paradigma filsafat.

Menurut Harun para filosof Islam mencurahkan pemikirannya untuk

menjelaskan kepada masyarakat bahwa kebenaran yang dibawa filsafat

sama dengan kebenaran yang dibawa oleh wahyu. Para fukaha’ mendistorsi

bahwa kebenaran hanya dalam interpretasi fikh. Masuknya anasir lain ke

tubuh umat Islam tak terelakkan lagi bagi pemikir untuk memberikan

pemecahan sesuai dengan kapasitas masing-masing. Al-Kindi memang telah

berusaha menelaah wacana Neo-Platonisme akan tetapi ia belum secermat

al-Farabi. Misalnya, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “alam yang

pluralis” ini merupakan masalah falsafi yang telah menjadi tema

pembahasan utama dalam kalangan filosof Yunani. Masalah ini juga telah

menduduki tempat yang khusus dalam pemikiran filosof Islam13.

Dalam filsafat Yunani, problema ini dibahas dalam tingkat fisika,

sedangkan dalam filsafat Neo-Platonisme dan Islam, ia dikaji sebagai

problema keagamaan. Kendati cara pengkajian masalah tersebut tidak

berbeda dalam dua mazhab tersebut, namun tujuannya tidak sama. Dalam

mazhab Neo-Platonisme dan filsafat Islam, tujuan pem- bahasan metafisika

adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat

memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal. Dalam sistem yang

semacam ini, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “pluralitas alamiah” ini

merupakan titik berangkat atau dasar utama dalam membangun filsafat

13 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime, h. 11 DINIKA Vol. 3 No. 1, January 2004 : 83 - 100 98

Page 12: Syafiq Mughni2

seluruhnya.47 Alam semesta muncul dari yang Esa dengan proses emanasi.

Bertentangan dengan dogma ortodoks tentang penciptaan, filsafat Islam

mengemukakan doktrin kekekalan alam. Doktrin emanasi digunakan untuk

menjelaskan ini.48

Hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :

a. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.

b. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.

c. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).

d. Benda-benda bumi (teresterial).14

Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana

yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak

berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada

apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam

materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang

disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.

Proses emanasi itu adalah sebagai berikut.

Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini

timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan

pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia

disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud

kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah

wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga

berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama. Sebagaimana

al-Kindi, al-Farabi juga berkeyakinan bahwa antara agama dan filsafat

tidak ada pertentangan. Berbeda dengan al-Kindi, jika terdapat perbedaan

antara akal dan wahyu maka al-Farabi memilih hasil akal sedangkan al-

Kindi memilih wahyu.

Menurut pendapatnya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran

hasil spekulasi filsafat hakikatnya satu, sungguhpun bentuknya berbeda. Al-

Farabi merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan keharmonisan

antara agama dan filsafat. Dasar yang dipakainya untuk itu dua. Pertama

pengadaan keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia

sesuai dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian tafsir rasional

14 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 118

Page 13: Syafiq Mughni2

terhadap ajaran-ajaran Islam. Sikap ini tentu untuk mendukung apresiasi

terhadap pemikiran Yunani. Al-Farabi berkeyakinan bahwa Aristoteles

secara kategoris telah menolak keberadaan ide-ide Plato, tetapi ketika

Aristoteles tiba pada masalah teologi dan gagasan tentang “sebab

pertama” alam semesta, dia menemukan dirinya berhadapan dengan

masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk Ilahiyah, yang eksistensinya, tak

syak lagi mesti diperanggapkan dalam Akal Tertinggi Wujud Pertama.

Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang ketauhidan.

Tentang Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah membicarakan tentang

Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia tidak menerangkan

bagaimana alam ini dijadikan. Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori

emanasi. Disini ia menjelaskan munculnya segala sesuatu dengan tidak

melalui Kun Fayakun seperti pemahaman tradisional. Segala sesuatu dari

Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat sistematis, dan dari sudut

pandangan Islam heterodok (mengandung banyak bid’ ah). Al-Farabi

membagi ilmu kepada dua, yaitu konsepsi tasawwur mutlak dan konsep

yang disertai keputusan pikiran (judgment-tasdiq). Diantara konsep itu ada

yang baru sempurna apabila didahului oleh yang sebelumnya sebagaimana

tidak mungkin menggambarkan benda tanpa menggambarkan panjang,

lebar dan dalam tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada

setiap konsep, melainkan harus berhenti pada suatu konsep yang

penghabisan yang tidak mungkin dibayangkan adanya konsep yang

sebelumnya, seperti konsep tentang wujud, wajib dan mungkin.

Kesemuanya ini tidak memerlukan adanya konsep yang sebelumnya, karena

konsep-konsep tersebut adalah pengertian-pengertian yang jelas dan benar

dan terdapat dalam pikiran.

Adapun keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka diantaranya ada

yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal sebelumnya. Seperti

pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan terlebih dahulu

adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap yang tersusun berarti

baru. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas dalam akal,

seperti halnya dengan hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan lebih

besar dari sebagian. Kesemuanya ini adalah pikiran-pikiran yang terdapat

dalam akal dan yang bisa dikeluarkan sebagai pengingatan karena tidak

Page 14: Syafiq Mughni2

ada sesuatu yang lebih terang dari padanya dan tidak perlu dibuktikan

karena sudah jelas dengan sendirinya. Juga hukum-hukum tersebut

memberikan keyakinan dan juga merupakan dasar aksioma.

Ada tiga hal pokok yang menjadi persoalan metafisika, yaitu ;

a. Segi esensi (zat) dan eksistensi (wujud) sesuatu.

b. Pokok utama segala yang maujud

c. Prinsip utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan.

Dalam Fushus al-Hikmah al-Farabi membedakan antara zat (esensi)

dan wujud (eksistensi). Zat menanyakan apanya sesuatu, wujud adanya

sesuatu. Terdapat dua macam zat ;Pertama yang wajib ada.64 Aristoteles

membagi obyek metafisika kepada dua yaitu ; Yang Ada sebagai yang Ada

dan Yang Ilahi. Pengaruh Aristoteles kepada al- Farabi kelihatan.

Pembahasan mengenai yang ada, yang ada dalam keadaannya yang wajar,

menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan semacam ini berusaha untuk

memahami yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya.

Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat

terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan

apakah barang sesuatu itu memang sungguh-sungguh ada. Jika kita ikuti

cara berpikir demikian berarti kita akan sampai pada pendapat bahwa

hanya Tuhanlah yang sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-

mutlaknya, artinya yang tidak tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu

yang lainnya mempunyai nilai nisbi. Dasar piramida falsafah yang

diletakkan dengan kukuh oleh al-Farabi ini segera dilanjutkan

pembangunannya oleh para penerusnya, dan karya-karya Guru Kedua ini

mempersiapkan kondisi dunia pemikiran Islam untuk mengalami sekali lagi

serbuan Hellenisme yang semakin dahsyat.66 Al-Farabi seperti Aristoteles

membedakan antara materi (zat) dan bentuk (shurah). Materi sendiri

berupa kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan : Kayu sebagai

materi mengandung banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari

dan sebagainya. Kemungkinan itu baru terlaksana jika sudah menjadi

kenyataan kalau diberi bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan

sebagainya.

Dengan cara berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para

ahli tafsir pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan

Page 15: Syafiq Mughni2

pikirannya yang mengatakan, bahwa suatu kesimpulan yang diambil di atas

dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk hidup daripada

kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali tidak didasari

oleh dalil-dalil.67 Jadi argumentasi itu penting sekali dari pada hanya

mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti yang banyak terjadi

di kalangan umat Islam. Dalam risalahnya al-Farabi membedakan enam

macam akal budi.

a. Akal budi pada umumnya dikatakan sebagai yang masuk akal

(reasonable) dan utama dalam bahasa (percakapan) sehari-hari

dan yang disebut oleh Aristoteles phironesis (al-ta’ aqqul).

b. Akal budi yang dinyatakan oleh para teolog sebagai yang

memerintah atau larangan tindakan-tindakan umum tertentu dan

yang sebagian identik dengan pikiran sehat (common sense- indria

bersama).

c. Akal budi yang oleh Aristoteles digambarkan dalam Analytica

Posteriora sebagai kecakapan memahami prinsip-prinsip primer

demonstrasi, secara instingtif dan intuitif.

d. Akal budi yang berakar dalam pengalaman. Akal budi ini

memungkinkan kita dapat mengambil keputusan secara jitu (tanpa

salah), melalui kecakapan intuitif, mengenai prinsip-prinsip dari

benar dan salah.

e. Akal budi yang dapat diambil rujukannya dalam De Anima yang

dikarang oleh Aristoteles, seorang pemikir yang berpengaruh ke

dalam dirinya terutama dalam soal logika, dan juga metafisika.

f. Meskipun demikian, tindakan akal kecerdasan aktif ini tidak

berkesinambungan dan tidak juga konstan, ini tidaklah disebabkan

oleh adanya kepasifan (passivity) yang patut untuknya, tetapi oleh

kenyataan bahwa materi, dimana dia harus beroperasi, bisa saja

mempunyai keinginan atau kecendrungan untuk tidak puas

menerima bentuk-bentuk yang memancar dari padanya, karena

beberapa rintangan atau yang lainnya.15

C. IBNU SINA

1. Biografi Ibnu Sina

15

Page 16: Syafiq Mughni2

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina.

Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang

tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.Di

Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu

agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu

agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Dari mutafalsir Abu

Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang

elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-

Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama

dan meta sika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni

dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari

Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab16.

Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan

cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini

menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus

terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu meta sika-nya Arisstoteles,

kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu

kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua

persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang,

bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka

dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari

Al-Farabi

Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya,

seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun,

kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak

orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan

teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati

orang - orang sakit.Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca

buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia

memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata

permohonannya itu tidak pernah dikecewakan. Sering - sering ia tertidur

karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya

16 Ahmad, Zaenal Abidin Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia, Jakarta, Bulan Bintang, 1949

Page 17: Syafiq Mughni2

pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya.

Dalam bidang materia medeica, Ibnu Sina telah banyak menemukan

bahan nabati baru Zanthoxyllum budrunga - dimana tumbuh - tumbuhan

banayak membantu terhadap bebebrapa penyakit tertentu seperti radang

selaput otak (miningitis).

Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran

darah manusia, dimana enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh

William Harvey. Dia pulalah yang pertama kali mengatakan bahwa bayi

selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali

pusarnya.

Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di

masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius

orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang

merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang

bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat

pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred

Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat

memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana,

dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah

dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang

meraja lela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd

dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles

disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”[

Selain kepandaiannya sebagai filosof dan dokter, iapun penyair. Ilmu

- ilmu pengetahuan seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada yang

ditulisnya dalam bentuk syair. Begitu pula didapati buku - buku yang

dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair.

Kebanyakan buku - bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin.

Ketika orang - orang Eropa diabad tengah, mulai mempergunakan buku -

buku itu sebagai textbook, dipelbagai universitas. Oleh karena itu nama

Ibnu Sina dalam abad pertengahan di Eropah sangat berpengaruh.

Dalam dunia Islam kitab - kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena

kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya yang baik dan caranya

menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga

Page 18: Syafiq Mughni2

menulis dalam bahasa Persia. Buku bukunya dalam bahasa Persia, telah

diterbitkan di Teheran dalam tahun 1954.

Karya - karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah

As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-

Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari

pada itu, ia banyak menulis karangan karangan pendek yang dinamakan

Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi

dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya.

Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk

dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya.

Diantaranya karya yang paling masyhur adalah “Qanun” yang merupakan

ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini

dterjemahkan ke baasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita

Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab

AsSyifa”. Karya ini merupakan titik puncak lsafat paripatetik dalam Islam

Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema

filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir

Barat Ibnu Sina wafat pada tahun 428 hijriyah pada usia 58 tahun. Beliau

pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat

manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina

adalah contoh dari peradaban besar Iran di zamannya

2. Metafisika Ibnu Sina

Pemikiran metafisika Ibnu Sina bertitik tolak kepada pandangan

filsafatnya yang membagi tiga jenis hal yaitu:

a. Penting dalam dirinya sendiri, tidak perlu kepada sebab lain untuk

kejadiannya, selain dirinya sendiri yaitu tuhan.

b. Berkehendak kepada yang lain, yaitu makhluk yang butuh kepada

yang menjadikan.

c. Makhluk mungkin, yang ada bisa pula tidak ada, dan ia sendiri tidak

butuh kepada kejadiannya maksudnya benda-benda yang tidak

berakal seperti: pohon, air, batu, tanah, dll.

Dalam membahas mengenai adanya Tuhan dalam hubungannya

dengan alam semesta. Ibnu Sina mengatakan dalam bukunya “Al Isharat”,

“titik dan pandangan argument orang terhadap wujud yang pertama,

Page 19: Syafiq Mughni2

keesaannya kemahaagungannya, tidak berkehendak kepada sesuatu yang

lain selain dari ciptaannya atas makhluk itu sendiri, tanpa pandangan

betapapun ciptaan dan bentuknya, meskipun ciptaannya dipandang sebagai

tanda adanya tuhan. Orang akan lebih mengerti dengan lebih kuat dan baik

terhadap tuhan, karena adanya makhluk berarti adanya tuhan. Adanya

pandangan segala makhluk, dapat dibenarkan pendapat tentang adanya

tuhan.

             Sesuatu ada yang dibutuhkan adalah keadaan yang masuk akal,

bukanlah hal yang mustahil. Ada yang dibutuhkan ini adalah Tuhan Yang

Maha Esa. Segala ada yang lain itu adalah mungkin akan tetapi sebagian

darinya diperlukan oleh ada dan sebagiannya tidak diperlukan. Mereka ini

mempunyai akal yang terpisah antara yang satu dengan yang lain. Dari

bentuk sempurna kebutuhan pada bentuk yang tidak sempurna dan

mungkin. Yang dimksud dengan bentuk sempurna dan kebutuhan itu adalah

tuhan. Jalan pikiran yang disusun oleh ibnu Sina :

a. Akal terpisah

b. Bentuk

c. Jasmani

d. Benda dan kejadian.

Dalam setiap ukuran itu terdapat berbagai jenis makhluk yang

berbeda dalam susunan kejadiannya, Akal terpisah mempunyai susunan ke

atas dan ke bawah, yang paling tinggi adalah akal terpisah atau sebab

pertama. Yang terendah adalah akal ke sepuluh yang disebut sebagai wakil

akal, masuk ke dalam alam turun-temurun dan rusak. Akal pertama

mengalir dari apa yang dibutuhkan dengan jalan pelimpahan, yang kedua

melimpah dari yang pertama demikian terus menerus sampai pada akal

yang kesepulul. Tuhan adalah akal murni yang mengetahui irinya sendiri.

D. IBNU THUFAIL

1. Biografi Ibnu Thufail

Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibn 'Abd Al

Malik ibn Muhammad ibn Tufail, dalam tulisan latin, Abubacer. Ia adalah

pemuka pertama dalam pemikiran filosofis Muwahhid yang berasal dari

Page 20: Syafiq Mughni2

Spanyol.17 Ia dilahirkan di Cadix, Provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506

H/1110 M. Ibnu Thufail termasuk dalam keluarga suku Arab terkemuka,

Qais.18

Ibnu Khalkan pernah berkomentar tentang Ibnu Thufail, "Dia seorang

yang mendalami semua bagian dari ilmu hikmah. Dia belajar dari para ahli

hikmah, diantaranya Abu Bakar bin Shaight atau Inu Bajah dan lain-lain.

Ibnu Thufail memiliki banyak karangan dan berambisi untuk memadukan

antara ilmu Syariat dan hikmah. Beliau sangat ahli dalam bidang itu.19

Karier Ibnu Thufail bermula sebagai dokter praktek di Granda.

Karena ketenaran atas jabatan tersebut, maka ia diangkat menjadi

sekretaris Gubernur di Propinsi itu. Pada tahun 1154 M. (549 H.), ibnu

Thufail menjadi sekretaris pribadi Gubernur Ceuta dan Tangier, Penguasa

Muwahid Spanyol pertama yang merebut Maroko. Dan dia menjabat dokter

tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan pada Khalifah Muwahid Abu Ya'qub

Yusuf (558 H\1163 M-580 H.\1184 M).20

Kemudian pemerintahan yang dipimpin oleh Abu Ya'qub Yusuf

menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosuf dan metode

ilmiah. Khalifah ini memberikan kebebasan berfilsafat, dan membuat

Spanyol disebut tempat kelahiran kembali negri Eropa sebagaimana

dikatakan oleh R. Briffault. Bersama Khalifah Abu Ya'qub Yusuf, Ibnu Tufail

menjadi berpengaruh besar, dan dia yang memperkenalkannya dengan

Ibnu Rusyd (meninggal tahun 595 H\1198 M). atas kehendak khalifah, dia

memberi saran kepada Ibnu Bajjah agar membuat keterangan atas karya-

karya Aristoteles, suatu tugas yang dilaksanakan dengan penuh semangat

oleh Ibnu Bajjah tapi tak dapat diselesaikan sampai dia meninggal. Ibnu

Tufail meninggalkan jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578

H\1182 M, dikarenakan usianya yang lanjut dan dia menganjurkan

pelindungnya agar memilih Ibnu Rusyd agar menggantikan kedudukannya.

17 Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, Cetakan ketiga, 2007, h. 271. 18 Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cetakan pertama, 2004. 205 diambil dari Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:Universitas Indonesia, 1985),. 55. 19 Dr. Muhammad 'Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, Cetakan pertama, 2002, h. 277. diambil dari Ibnu Khalkan, juz 7, h. 134-135. 20 Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam .271-272

Page 21: Syafiq Mughni2

Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Ya'qub dan setelah dia

meninggal (pada tahun 580 H\ 1184 M) dia mendapatkan penghargaan pula

dari putranya Abu Yusuf Al Mansur (580 H\1185 M-595 H\1199 M). ibnu

Tufail meninggal di Maroko pada tahun 581 H.\1185 – 86 M, Al Mansur

sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.21

Ibnu Thufail adalah seorang yang alim, berwawasan luas, dokter, ahli

ilmu alam, peramal, filosof, dan penyair.22 Ia belajar kedokteran dan filsafat

di Seville dan Cordoba. Ia berkeyakinan bahwa, hati itulah pokok pangkal

keimanan sedang akal ber ada di bawah hati, maka kecenderungan pemikir-

pemikir Islam lebih mengarah ke tasawuf. Begitulah Ibnu Thufail muncul

untuk membuktikan kebenaran pendapat ini dalam suatu Cerita yang

terkenal dengan nama Hay bin Yaqdhan23.

Buku-buku biografi menyebutkan beberapa karangan dari Ibnu

Thufail yang menyangkut beberapa karangan dari Ibnu Thufail yang

menyangkut beberapa lapangan filsafat, seperti filsafat fisika, metafisika,

kejiwaan dan sebagainya, di samping risalah-risalah (surat-surat) kiriman

kepada Ibnu Rusyd24 dan On the Soul yang hilang, satu-satunya karya Ibn

Thufail yang sampai kepada kita adalah roman filsafat yang berjudul Hay

bin Yaqadhan, ("Kehidupan Anak Kesadaran"). Judul karya ini memang

sama dengan buah karya Ibnu Sina yang diakuinya sendiri berisikan

Kebijaksanaan Timur (Oriental Wisdom). Kebijaksanaan Timur pulalah yang

menjadi pikiran Ibn Thufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibn Thufail,

pokok pikirannya ini bisa diidenfikasi sebagai tasawuf yang kala itu ditolak

oleh kebanyakan filosof Muslim, termasuk Ibn Bajjah. Diskursus rasional,

menurut para filosof anti tasawuf, bertolak belakang dengan pengalaman

mistis yang oleh para ahli diyakini bersifat ekstra-rasional dan tak

terperikan.25

Ibnu Khatib menganggap dua risalah mengenai ilmu pengobatan itu

sebagai karyanya. Al Bitruji (muridnya) dan Ibn Rusyd percaya bahwa dia

21 Ibid, h. 27222 Dr. Muhammad 'Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof Muslim op.cit.23 Prof. Drs. H. Rustam E. Tamburaka, M.A, Pengantar Ilmu Sejarah Teori Filsafat Sejarah ( Sejarah Filsafat dan Iftek), Jakarta: Rineka Cipta, Cetakan pertama, 1999, h. 215. 24 Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Gelora Aksara Pratama. Cetakan keempat, 1990, h. 161.25 Majid Fakhry Sejarah Filsafat Islam, Bandung: Mizan, Cetakan pertama, 2001. h. 104.

Page 22: Syafiq Mughni2

memiliki gagasan-gagasan astronomis asli. Al Bitruji membuat sangkalan

atas teori Ptolemeus mengenai epicycles dan eccentric circles, yang dalam

kata pengantar karyanya Kitab Al Hai’ah dikemukakannya sebagai

sumbangan dari gurunya Ibnu Thufail. Dengan mengutip perkataan Ibn

Rusyd, ibn Abi Usaibiah menganggap Fi Al Buqa' Al Maskunah wal-Ghair Al

Maskunah sebagai karya Ibnu Thufail, tapi dalam catatan Ibn Rusyd sendiri

acuan semacam itu tidak dapat ditemukan. Al Marrakushi, yang ahli sejarah

itu, mengaku telah melihat naskah asli dari salah satu risalahnya mengenai

ilmu ketuhanan. Miguel Casiri masih ada. Risalah Hayy bin Yaqadhan dan

Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah, yang disebut terakhir ini berbentuk

naskah. Kata pengantar dari Asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya

merupakan satu bagian dari Risalah Hay bin Yaqadhan, yang judul

lengkapnya ialah Risalah Hayy bin Yaqadhan Fi Asrar Al Hikmah Al

Mashiriqiyyah,26 Risalah ini merupakan intisari pikiran-pikiran filsafat Ibnu

Thufail, dan yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai-bagai bahasa.

Suatu manuskrip di perpustakaan Escurrial yang berjudul Asrar al-Hikmat

al-Masyriqiyyah (Rahasia-rahasia Filsafat Timur) tidak lain adalah bagian

dari risalah Hay bin Yaqadhan.27

Sesudah itu ia mengatakan bahwa tujuan filsafat tersebut ialah

memperoleh kebahagiaan dengan jalan dapat berhubungan dengan Akal-

Faal melalui akal (pemikiran). Persoalan hubungan tersebut merupakan

perkara yang paling pelik pada masanya. Ada dua jalan untuk memperoleh

kebahagiaan tersebut. Pertama, jalan tasawuf batini yang di bela oleh al-

Ghazali, tetapi tidak memuaskan Ibnu Thufail. Kedua, jalan pemikiran dan

perenungan yang ditempuh oleh al-Farabi beserta murid-muridya, dan yang

hendak diperjelas oleh Ibnu Thufail.

Dalam hubungan ini Munk mengatakan sebagai berikut:

" Ibnu Thufail berusaha menurut caranya sendiri dalam memecahkan persoalan yang menyibukkan filosof-filosof Islam, yaitu persoalan "hubungan" atau dengan perkataan lain, hubungan manusia dengan Akal-Fall dan dengan Allah. Cara al Ghazali yang didasarkan atas rasa sufi tidak membuat ia tertarik, dan ia lebih mengutamakan cara Ibnu Bajah. Ia mengikuti cara ini dan ikut serta menjelaskan perkembangan pekerjaan pikiran pada si "penyendiri" (al-mutawahhid) yang dapat terbebas dari kesibukan-

26 Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam op.cit. h.272-27327 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam op.cit., h. 161

Page 23: Syafiq Mughni2

kesibukan masyarakat dan pengaruhnya. Selain dari itu, ia menjadikan "penyendiri" tersebut yang jauh sama sekali dari pengaruh masyarakat, telah terbuka pikirannya dan dirinya sendiri terhadap semua wujud, dan dengan usahanya sendiri serta dorongan dari Akal-Faal ia dapat memahami rahasia-rahasia alam dan persoalan metafisika yang paling tinggi." 28

2. Filsafat Metafisika Ibnu Thufail

Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan

adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud, sebab dunia tgak bisa

maujud dengan sendirimya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab

materi yanhg merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu

Pencipta. Di pihak lain, anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan

membaca suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh

karena itu, dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud

benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidakdsapat

mengenaliNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi

hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.

Kekekalan dunia berarti kekekalan geraknya juga, dan gerak

sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, membutuhkan penggerakan atau

penyebab efesien dari gerak itu. Jika penyebab efisien ini berupa sebuah

benda, maka kekuatannya tentu terbatas dan karenanya tidak mampu

menghasilkan suatu pengaruh yang tak terbatas. Oleh sebab itu penyebab

efesien dari gerak kekal harus bersifat immaterial. Ia tidak boleh di

hubungkan dengan materi ataupun dipisahkan darinya, a da di dalam

materi itu tanpa materi itu, sebab penyatuan dan pemisahan,

keterkandungan a tau keterlepasann merupakan tganda-tanda material,

sedang penyebab efisien itu sesungguhnya lepas dari itu semua.

Tuhan dan dunia keduanya kekal, bagaimana bisa yang pertgama

dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti

pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan

dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, dan percaya Tuhan ada sebelum

adanya dunia dalam hal ini esensi tapi tidak dalam waktu. Ambilah satu

contoh, jika kau pegang sebuah benda dengan tanganmu, maka benda itu,

tak pelak lagi, akan bergerak dikarenakan gerakan tangan itu, jadi gerak

28 Ibid, h 161-162

Page 24: Syafiq Mughni2

itu bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak

tangan tersebut, meskipun dalam soal waktu keduanya tak saling me

ndahului.

Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu

Thufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia itu bakanlah

suatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditaffsirkan

sebagai cahaya yang sifat esensilanya merupakan penerangan dan

pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh Al Ghazali, Ibu Thufail

memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri

dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal atau berakhir. Dunia

tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan hari

penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi bentuk lain

bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti terus

berlangsung dalam satu atau bentuk lain, sebab kehancurannya tidak

sesuai dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan

merupakan penerangan dan pegejawantahan. kekal.

Ibnu Thufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa

kecuali satu itu. Manifestasi kemajemukan kemaujudan dari yang satu

dijelaskannya dalam gaya Neo-Platonik yang menonton, sebagai tahap-

tahap berurutan pemacaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses itu,

pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari pada

cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin dan yang dari sana

menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkan kemajemukan. Semua

itu merupakan pantulan cahaya matahari, dan bukan matahari itu sendiri,

juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula sesuatu yang lain dari matahari

atau cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu

dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi

kalau kita pandang cermin, yang di situ cahaya tersebut dipantulkan. Hal

yang sama berlaku juga pada cahaya pertama beserta perwujudannya di

dalam kosmos.

Page 25: Syafiq Mughni2

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Kindi dan al-

Farabi sebagai filosof Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat

secara lebih mendalam. Ia mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang

kemudian banyak diikuti oleh filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua

terhadap dirinya membuktikan keseriusannya dalam membina filsafat Islam

walaupun harus berjuang keras untuk itu. Walaupun pemikiran

metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir muslim belakangan seperti al-

Ghazali. terutama dalam metafisika emanasi, figur al-Farabi masih menarik

untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam bidang fisika, metafiska, ilmu

politik, dan logika telah memberinya hak untuk

menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-

filosof Islam

Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam.

Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman

pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan

mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang

agamis dalam ber lsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf

yang terlalu banyak berfikir. Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan

dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud

pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada. Tuhan

adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan

mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).

Pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian menjelaskan bahwa nabilah manusia

yang paling unggul, lebih unggul dari losof karena nabi memiliki akal

aktual yang sempurna tanpa latihan atau studi keras, sedangkan losof

mendapatkannya dengan usaha dan susah payah.

Filsafat Ibnu Thufail secara ringkas sesungguhnya ingin menyatakan bahwa

seorang manusia yang mempunyai pikiran yang cerdas dan memiliki kesiapan

secara natural memungkinkan untuk sampai kepada suatu pengetahuan secara

gradual dari suatu yang indrawi kepada suatu yang rasional atau dari suatu yang

tak di ketahui (majhul ) menuju suatu yang di ketahui ( malum) sampai kemudian

menuju ke pembentukan pengetahuan yang bersifat metafisika , dan kemungkinan

Page 26: Syafiq Mughni2

itu tetap ada sekalipun ia hidup di habitat yang terisolir dari manusia tanpa

bantuan bahasa, tradisi, agama dan budaya yang mewarnainya , dan itulah tema

yang ingin di tunjukkan dalam kehidupan hay bin yaqdhan dalam

keterisolasirannya yang total sejak kelahirannya , ini berbeda dengan Ibnu Sina

dan Ibnu Bajah yang berpendapat bahwa pemikiran tentang hal-hal metafisika

merupakan hasil dari pembelajaran, study, dan inteletualitas yang berarti

mensyaratkan bagi orang yang mencapai pengetahuan tersebut untuk hidup dalam

habitat manusia.

Page 27: Syafiq Mughni2

DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia.com

Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997,)

Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi

Ilmu (Bandung : Mizan,1997),

Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984),

Paket Studi Islam VIII : Filsafat Islam (Jakarta : Paramadina, tt),

Ibrahim Madkour, “Al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of

Muslim Philosophy alih bahasa Ilyas Hasan Para Filosof Muslim

(Bandung : Mizan, 1992),

Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam Sedjarah dan Perkembangannya di

Dunia Internasional (Jakarta : Bulan Bintang, 1964)

Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984),

Harun Nasution, “Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam”

dalam StudiaIslamika, No. 4, Th. II, April-Juni 1977,

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime, h. 11 DINIKA Vol. 3 No. 1,

January 2004 :

Ahmad, Zaenal Abidin Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof

Dunia, Jakarta, Bulan Bintang, 1949

Drs. H. A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung : Pustaka Setia, Cetakan

ketiga, 2007,.

Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam Filosof dan

Filsafatnya, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cetakan pertama,

2004. 205 diambil dari Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai

Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:Universitas Indonesia, 1985),.

Dr. Muhammad 'Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Para Filosof

Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, Cetakan pertama, 2002, h. 277.

diambil dari Ibnu Khalkan, juz 7

Prof. Drs. H. Rustam E. Tamburaka, M.A, Pengantar Ilmu Sejarah

Teori Filsafat Sejarah ( Sejarah Filsafat dan Iftek), Jakarta: Rineka

Cipta, Cetakan pertama, 1999,

Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Gelora Aksara

Pratama. Cetakan keempat, 1990,

Page 28: Syafiq Mughni2

Majid Fakhry Sejarah Filsafat Islam, Bandung: Mizan, Cetakan

pertama, 2001..