svlk menjamin pengadaan barang/jasa pemerintah yang berkelanjutan

4
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN 0 2B 4B 6B 8B 10B USD 162,340,187.48 USD 1,424,809,541.99 USD 8,034,792,378.38 USD 8,197,132,565.87 DE untuk 15 HS CODE V-LEGAL untuk 15 HS CODE V-LEGAL untuk SEMUA HS CODE total ekspor (V-LEGAL untuk SEMUA HS CODE + DE) PERBANDINGAN NILAI EKSPOR 15 HS CODE MENGGUNAKAN DE DAN V-LEGAL SERTA TOTAL EKSPOR DENGAN V-LEGAL (1 JANUARI S.D 1 OKTOBER 2015). Sumber: Ditjen PHKA, 2015 SVLK MENJAMIN PENGADAAN BARANg/JASA PEMERINTAH YANG BERKELANJUTAN SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/ atau legalitas kayu serta ketelusuran kayu melalui Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL), Sertifikasi Legalitas Kayu (S-LK), dan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP). Proses ini diawasi oleh Pemantau Independen dalam rangka memastikan legalitas kayu dan produk dari kayu yang dipanen, diangkut, diolah, dan diekspor dari Indonesia. Penilaian legalitas dilaksanakan secara independen oleh auditor yang berasal dari Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional, menggunakan standar penilaian/verifikasi yang dikembangkan oleh perwakilan pemangku kepentingan kehutanan Indonesia dan ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. SVLK dibangun melalui proses panjang sejak 2003 yang melibatkan para pemangku kepentingan kehutanan, baik akademisi, asosiasi, kementerian terkait, dan LSM yang kemudian ditetapkan melalui Permenhut Nomor P.38/Menhut- II/2009. SVLK diberlakukan secara wajib bagi semua unit usaha kehutanan baik di hulu maupun hilir serta pemilik hutan hak. PEMBERANTASAN PEMBALAKAN DAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL Implementasi penerapan SVLK membantu menurunkan kasus illegal logging, karena industri pengolahan kayu hanya menerima kayu yang telah memegang S-PHPL/S-LK Hutan dan S-LK. TREND MENURUNNYA KASUS ILLEGAL LOGGING TAHUN 2005-2014 Sumber: SILK Online, 2015 Bingkai kayu, tong dan bejana/sejenisnya yang terbuat dari kayu, perkakas/bagiannya, bagian sapu/sikat dari kayu, hak sepatu bot atau sepatu dari kayu, perangkat makan dan perangkat dapur, tempat duduk lainnya dengan rangka dari kayu (dengan penutup atau tidak), perabot kayu untuk kantor, perabot kayu untuk dapur, perabot kayu untuk kamar mandi, perabot kayu lainnya dan bagian dari perabot kayu. JENIS PRODUK DALAM CAKUPAN 15 HS CODE

Upload: multistakeholder-forestry-programme

Post on 25-Jul-2016

216 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: SVLK Menjamin Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang Berkelanjutan

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

0

2B

4B

6B

8B

10B

USD 162,340,187.48

USD 1,424,809,541.99

USD 8,034,792,378.38

USD 8,197,132,565.87

DE untuk 15 HS CODE V-LEGAL untuk 15 HS CODE

V-LEGAL untuk SEMUA HS CODE

total ekspor (V-LEGAL untuk SEMUA HS CODE + DE)

PERBANDINGAN NILAI EKSPOR 15 HS CODE MENGGUNAKAN DE DAN V-LEGAL

SERTA TOTAL EKSPOR DENGAN V-LEGAL(1 JANUARI S.D 1 OKTOBER 2015).

Sumber: Ditjen PHKA, 2015

SVLK MENJAMIN

PENGADAAN BARANg/JASA

PEMERINTAH

YANG BERKELANJUTAN

SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/ atau legalitas kayu serta ketelusuran kayu melalui Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL), Sertifikasi Legalitas Kayu (S-LK), dan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP). Proses ini diawasi oleh Pemantau Independen dalam rangka memastikan legalitas kayu dan produk dari kayu yang dipanen, diangkut, diolah, dan diekspor dari Indonesia. Penilaian legalitas dilaksanakan secara independen oleh auditor yang berasal dari Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional, menggunakan standar penilaian/verifikasi yang dikembangkan oleh perwakilan pemangku kepentingan kehutanan Indonesia dan ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

SVLK dibangun melalui proses panjang sejak 2003 yang melibatkan para pemangku kepentingan kehutanan, baik akademisi, asosiasi, kementerian terkait, dan LSM yang kemudian ditetapkan melalui Permenhut Nomor P.38/Menhut- II/2009. SVLK diberlakukan secara wajib bagi semua unit usaha kehutanan baik di hulu maupun hilir serta pemilik hutan hak.

PEMBERANTASAN PEMBALAKAN DAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL

Implementasi penerapan SVLK membantu menurunkan kasus illegal logging, karena industri pengolahan kayu hanya menerima kayu yang telah memegang S-PHPL/S-LK Hutan dan S-LK.

PENGADAAN BARANG PEMERINTAH DARI KAYU BERSERTIFIKASI LEGALITAS KAYU

Produk yang berkelanjutan dan hijau dewasa ini telah menjadi tuntutan dari berbagai kalangan untuk diproduksi dan dihasilkan. Hal ini sangat berkaitan dengan isu lingkungan dan perubahan iklim yang terjadi, yang menuntut produk-produk yang legal, bersertifikasi dan memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan secara internasional.

Dukungan dan komitmen dari pelaku usaha/industri kehutanan dan pemilik hutan hak terhadap pelaksanaan SVLK dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampai 31 Juli 2015 telah ada 281 perusahaan Hutan Alam dan Hutan Tanaman yang telah memiliki Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) dan Sertifikat Legalitas Kayu Hutan (S-LK Hutan), dimana 248 sertifikat masih berlaku, 27 sertifikat dicabut dan 6 dibekukan. Selain itu terdapat 2.087 perusahaan/industri dan kelompok IKM/hutan hak/masyarakat pengelola Hutan Negara yang telah memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK), dimana 1.990 sertifikat masih berlaku, 12 sertifikat dibekukan dan 85 dicabut. Pemenuhan terhadap SVLK terus berlanjut dan dilakukan oleh pelaku usaha terkait serta mendapatkan dukungan dari Kementerian, Pemerintah Daerah, lembaga donor dan stakeholder terkait.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memelopori kebijakan pengadaan barang produk kayu yang ber S-LK melalui Surat Edaran S-553/Um/4/2015 tertanggal 8 Juni 2015 yang menegaskan pengadaan barang produk kayu di lingkup KLHK harus yang ber-SLK.

Kebijakan ini juga telah dilakukan oleh beberapa Pemda, seperti: Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah melalui Peraturan Bupati Klaten No. 16 tahun 2014 dan Kabupaten Jombang Provinsi Jawa Timur melalui Peraturan Bupati No. 14 tahun 2015. Langkah ini juga telah direflikasi oleh Kabupaten Buleleng Provinsi Bali, Trenggalek Provinsi Jawa Timur dan Kota Yogyakarta Provinsi D.I.Y yang juga sedang menyiapkan peraturan/kebijakan serupa.

TREND MENURUNNYAKASUS ILLEGAL LOGGING

TAHUN 2005-2014

Sumber: SILK Online, 2015

Pengadaan Publik yang ramah lingkungan (Sustainable Public Procurement) merupakan suatu mekanisme dimana pertimbangan lingkungan diperhitungkan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa. Pengadaaan Barang/Jasa di lingkungan pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah, dan ketentuan yang mengatur konsep dasar Pengadaaan Barang/Jasa yang ramah lingkungan adalah sebagaimana terdapat pada Pasal 105, yaitu:

(1) Konsep Ramah Lingkungan merupakan suatu proses pemenuhan kebutuhan Barang/Jasa K/L/D/I, sehingga keseluruhan tahapan proses Pengadaan dapat memberikan manfaat untuk K/L/D/I dan masyarakat serta perekonomian, dengan meminimalkan dampak kerusakan lingkungan.

(2) Konsep Pengadaan Ramah Lingkungan dapat diterapkan dalam Dokumen Pemilihan berupa persyaratan-persyaratan tertentu, yang mengarah pada pemanfaatan sumber daya alam secara arif dan mendukung pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik pekerjaan.

(3) Pengadaan Barang/Jasa yang Ramah Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengadaan (value for money). “

Pasal 105 tersebut di atas dapat dijadikan salah satu dasar hukum bagi kebijakan pengadaan barang menggunakan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu, mengingat produk kayu yang telah bersertifikat legalitas kayu bukan hanya dihasilkan dari usaha dan produksi yang legal berdasarkan hukum Indonesia, tetapi juga telah memenuhi prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.

Untuk mendukung kebijakan Pengadaaan Barang/Jasa Pemerintah melalui penggunaan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu, maka pilihan kebijakan dan produk hukum (policy option) yang dipilih sebaiknya berupa Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perka LKPP) tentang Penggunaan Produk Kayu Bersertifikasi Legalitas Kayu. Perka LKPP ini berlaku sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 105 Perpres No. 54/2010, yang disusun sebagai acuan dan pedoman bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN serta pengadaan yang menggunakan APBN/APBD. Secara teknis, LKPP bekerjasama dengan Pemerintah Daerah yang Kepala Daerahnya sudah mendukung sustainable public procurement untuk melaksanakan uji coba/pilot project pengadaaan barang/jasa dalam menggunakan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu.

Secara filosofis, LKPP sebagai regulator dan procurement authority dapat berkontribusi secara optimal dalam mewujudkan sustainable development, mitigasi climate change, dan mendukung perbaikan tata kelola hutan yang baik (forest governance). Dalam konteks kebijakan makro, LKPP akan berkontribusi bagi ketaatan pada Paris Agreement under the UNFCCC dan Sustainable Development Goal yang pada akhirnya akan berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan, mitigasi perubahan iklim, dan tata kelola hutan yang efektif. Perka LKPP ini juga memberi justifikasi secara filosofis pengaturan fiscal incentive dan fiscal support. Secara yuridis, mendukung semua kayu Indonesia diperdagangkan sesuai dengan hukum dan prinsip pengelolaan secara lestari. Secara sosiologis, penyusunan Perka LKPP ini disusun secara partisipatif melalui konsultasi publik kepada beberapa relevant stakeholder di sektor pengadaan barang/jasa pemerintah, kehutanan, serta para pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan pengadaan ramah lingkungan. Perka LKPP ini juga perlu dilengkapi lampiran yang mengatur Standard Bidding Document yang berisi mengenai format dokumen, spesifikasi, kontrak pengadaan, dan evaluasi dalam pelaksanaan pengadaan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu.

Bingkai kayu, tong dan bejana/sejenisnya yang terbuat dari

kayu, perkakas/bagiannya, bagian sapu/sikat dari kayu, hak sepatu bot

atau sepatu dari kayu, perangkat makan dan perangkat dapur, tempat

duduk lainnya dengan rangka dari kayu (dengan penutup atau tidak),

perabot kayu untuk kantor, perabot kayu untuk dapur, perabot kayu

untuk kamar mandi, perabot kayu lainnya dan bagian dari perabot kayu.

JENIS PRODUK DALAM CAKUPAN 15 HS CODE

Page 2: SVLK Menjamin Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang Berkelanjutan

JUMLAH PERUSAHAAN/KELOMPOKPEMEGANG SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU (S-LK)

2.087

281

JUMLAH PERUSAHAAN YANG MEMILIKISERTIFIKAT PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI

DAN SERTIFIKAT LEGALITAS KAYU HUTAN

Perbup Klaten No. 16/2014

Percepatan Perizinan terkait SVLKInsentif dan non- fiskalFasilitasi PendampinganBantuan pembiayaanPelatihan dan DiklatPOKJA Percepatan SVLK

KepBup Jepara No. 500/139 Thn 2013

Penyederhanaan izinSosialisasi SVLKKlinik SVLKKegiatan pro rakyatPelatihan-pelatihanMembuat buku panduan

SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/ atau legalitas kayu serta ketelusuran kayu melalui Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL), Sertifikasi Legalitas Kayu (S-LK), dan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP). Proses ini diawasi oleh Pemantau Independen dalam rangka memastikan legalitas kayu dan produk dari kayu yang dipanen, diangkut, diolah, dan diekspor dari Indonesia. Penilaian legalitas dilaksanakan secara independen oleh auditor yang berasal dari Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional, menggunakan standar penilaian/verifikasi yang dikembangkan oleh perwakilan pemangku kepentingan kehutanan Indonesia dan ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

SVLK dibangun melalui proses panjang sejak 2003 yang melibatkan para pemangku kepentingan kehutanan, baik akademisi, asosiasi, kementerian terkait, dan LSM yang kemudian ditetapkan melalui Permenhut Nomor P.38/Menhut- II/2009. SVLK diberlakukan secara wajib bagi semua unit usaha kehutanan baik di hulu maupun hilir serta pemilik hutan hak.

PEMBERANTASAN PEMBALAKAN DAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL

Implementasi penerapan SVLK membantu menurunkan kasus illegal logging, karena industri pengolahan kayu hanya menerima kayu yang telah memegang S-PHPL/S-LK Hutan dan S-LK.

PENGADAAN BARANG PEMERINTAH DARI KAYU BERSERTIFIKASI LEGALITAS KAYU

Produk yang berkelanjutan dan hijau dewasa ini telah menjadi tuntutan dari berbagai kalangan untuk diproduksi dan dihasilkan. Hal ini sangat berkaitan dengan isu lingkungan dan perubahan iklim yang terjadi, yang menuntut produk-produk yang legal, bersertifikasi dan memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan secara internasional.

Dukungan dan komitmen dari pelaku usaha/industri kehutanan dan pemilik hutan hak terhadap pelaksanaan SVLK dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampai 31 Juli 2015 telah ada 281 perusahaan Hutan Alam dan Hutan Tanaman yang telah memiliki Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) dan Sertifikat Legalitas Kayu Hutan (S-LK Hutan), dimana 248 sertifikat masih berlaku, 27 sertifikat dicabut dan 6 dibekukan. Selain itu terdapat 2.087 perusahaan/industri dan kelompok IKM/hutan hak/masyarakat pengelola Hutan Negara yang telah memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK), dimana 1.990 sertifikat masih berlaku, 12 sertifikat dibekukan dan 85 dicabut. Pemenuhan terhadap SVLK terus berlanjut dan dilakukan oleh pelaku usaha terkait serta mendapatkan dukungan dari Kementerian, Pemerintah Daerah, lembaga donor dan stakeholder terkait.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memelopori kebijakan pengadaan barang produk kayu yang ber S-LK melalui Surat Edaran S-553/Um/4/2015 tertanggal 8 Juni 2015 yang menegaskan pengadaan barang produk kayu di lingkup KLHK harus yang ber-SLK.

Kebijakan ini juga telah dilakukan oleh beberapa Pemda, seperti: Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah melalui Peraturan Bupati Klaten No. 16 tahun 2014 dan Kabupaten Jombang Provinsi Jawa Timur melalui Peraturan Bupati No. 14 tahun 2015. Langkah ini juga telah direflikasi oleh Kabupaten Buleleng Provinsi Bali, Trenggalek Provinsi Jawa Timur dan Kota Yogyakarta Provinsi D.I.Y yang juga sedang menyiapkan peraturan/kebijakan serupa.

Pengadaan Publik yang ramah lingkungan (Sustainable Public Procurement) merupakan suatu mekanisme dimana pertimbangan lingkungan diperhitungkan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa. Pengadaaan Barang/Jasa di lingkungan pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah, dan ketentuan yang mengatur konsep dasar Pengadaaan Barang/Jasa yang ramah lingkungan adalah sebagaimana terdapat pada Pasal 105, yaitu:

(1) Konsep Ramah Lingkungan merupakan suatu proses pemenuhan kebutuhan Barang/Jasa K/L/D/I, sehingga keseluruhan tahapan proses Pengadaan dapat memberikan manfaat untuk K/L/D/I dan masyarakat serta perekonomian, dengan meminimalkan dampak kerusakan lingkungan.

(2) Konsep Pengadaan Ramah Lingkungan dapat diterapkan dalam Dokumen Pemilihan berupa persyaratan-persyaratan tertentu, yang mengarah pada pemanfaatan sumber daya alam secara arif dan mendukung pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik pekerjaan.

(3) Pengadaan Barang/Jasa yang Ramah Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengadaan (value for money). “

Pasal 105 tersebut di atas dapat dijadikan salah satu dasar hukum bagi kebijakan pengadaan barang menggunakan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu, mengingat produk kayu yang telah bersertifikat legalitas kayu bukan hanya dihasilkan dari usaha dan produksi yang legal berdasarkan hukum Indonesia, tetapi juga telah memenuhi prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.

Untuk mendukung kebijakan Pengadaaan Barang/Jasa Pemerintah melalui penggunaan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu, maka pilihan kebijakan dan produk hukum (policy option) yang dipilih sebaiknya berupa Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perka LKPP) tentang Penggunaan Produk Kayu Bersertifikasi Legalitas Kayu. Perka LKPP ini berlaku sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 105 Perpres No. 54/2010, yang disusun sebagai acuan dan pedoman bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN serta pengadaan yang menggunakan APBN/APBD. Secara teknis, LKPP bekerjasama dengan Pemerintah Daerah yang Kepala Daerahnya sudah mendukung sustainable public procurement untuk melaksanakan uji coba/pilot project pengadaaan barang/jasa dalam menggunakan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu.

Secara filosofis, LKPP sebagai regulator dan procurement authority dapat berkontribusi secara optimal dalam mewujudkan sustainable development, mitigasi climate change, dan mendukung perbaikan tata kelola hutan yang baik (forest governance). Dalam konteks kebijakan makro, LKPP akan berkontribusi bagi ketaatan pada Paris Agreement under the UNFCCC dan Sustainable Development Goal yang pada akhirnya akan berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan, mitigasi perubahan iklim, dan tata kelola hutan yang efektif. Perka LKPP ini juga memberi justifikasi secara filosofis pengaturan fiscal incentive dan fiscal support. Secara yuridis, mendukung semua kayu Indonesia diperdagangkan sesuai dengan hukum dan prinsip pengelolaan secara lestari. Secara sosiologis, penyusunan Perka LKPP ini disusun secara partisipatif melalui konsultasi publik kepada beberapa relevant stakeholder di sektor pengadaan barang/jasa pemerintah, kehutanan, serta para pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan pengadaan ramah lingkungan. Perka LKPP ini juga perlu dilengkapi lampiran yang mengatur Standard Bidding Document yang berisi mengenai format dokumen, spesifikasi, kontrak pengadaan, dan evaluasi dalam pelaksanaan pengadaan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu.

Page 3: SVLK Menjamin Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang Berkelanjutan

Perbup Jombang No. 14/2015Percepatan Perizinan terkait SVLKInsentif dan non- fiskalFasilitasi PendampinganBantuan pembiayaanPelatihan dan DiklatPOKJA Percepatan SVLK

MoU Ditjen BUK dan Dekranasda Bali, 6 September 2013

SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/ atau legalitas kayu serta ketelusuran kayu melalui Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL), Sertifikasi Legalitas Kayu (S-LK), dan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP). Proses ini diawasi oleh Pemantau Independen dalam rangka memastikan legalitas kayu dan produk dari kayu yang dipanen, diangkut, diolah, dan diekspor dari Indonesia. Penilaian legalitas dilaksanakan secara independen oleh auditor yang berasal dari Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional, menggunakan standar penilaian/verifikasi yang dikembangkan oleh perwakilan pemangku kepentingan kehutanan Indonesia dan ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

SVLK dibangun melalui proses panjang sejak 2003 yang melibatkan para pemangku kepentingan kehutanan, baik akademisi, asosiasi, kementerian terkait, dan LSM yang kemudian ditetapkan melalui Permenhut Nomor P.38/Menhut- II/2009. SVLK diberlakukan secara wajib bagi semua unit usaha kehutanan baik di hulu maupun hilir serta pemilik hutan hak.

PEMBERANTASAN PEMBALAKAN DAN PERDAGANGAN KAYU ILEGAL

Implementasi penerapan SVLK membantu menurunkan kasus illegal logging, karena industri pengolahan kayu hanya menerima kayu yang telah memegang S-PHPL/S-LK Hutan dan S-LK.

PENGADAAN BARANG PEMERINTAH DARI KAYU BERSERTIFIKASI LEGALITAS KAYU

Produk yang berkelanjutan dan hijau dewasa ini telah menjadi tuntutan dari berbagai kalangan untuk diproduksi dan dihasilkan. Hal ini sangat berkaitan dengan isu lingkungan dan perubahan iklim yang terjadi, yang menuntut produk-produk yang legal, bersertifikasi dan memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan secara internasional.

Dukungan dan komitmen dari pelaku usaha/industri kehutanan dan pemilik hutan hak terhadap pelaksanaan SVLK dari tahun ke tahun semakin meningkat. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampai 31 Juli 2015 telah ada 281 perusahaan Hutan Alam dan Hutan Tanaman yang telah memiliki Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) dan Sertifikat Legalitas Kayu Hutan (S-LK Hutan), dimana 248 sertifikat masih berlaku, 27 sertifikat dicabut dan 6 dibekukan. Selain itu terdapat 2.087 perusahaan/industri dan kelompok IKM/hutan hak/masyarakat pengelola Hutan Negara yang telah memiliki Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK), dimana 1.990 sertifikat masih berlaku, 12 sertifikat dibekukan dan 85 dicabut. Pemenuhan terhadap SVLK terus berlanjut dan dilakukan oleh pelaku usaha terkait serta mendapatkan dukungan dari Kementerian, Pemerintah Daerah, lembaga donor dan stakeholder terkait.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah memelopori kebijakan pengadaan barang produk kayu yang ber S-LK melalui Surat Edaran S-553/Um/4/2015 tertanggal 8 Juni 2015 yang menegaskan pengadaan barang produk kayu di lingkup KLHK harus yang ber-SLK.

Kebijakan ini juga telah dilakukan oleh beberapa Pemda, seperti: Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah melalui Peraturan Bupati Klaten No. 16 tahun 2014 dan Kabupaten Jombang Provinsi Jawa Timur melalui Peraturan Bupati No. 14 tahun 2015. Langkah ini juga telah direflikasi oleh Kabupaten Buleleng Provinsi Bali, Trenggalek Provinsi Jawa Timur dan Kota Yogyakarta Provinsi D.I.Y yang juga sedang menyiapkan peraturan/kebijakan serupa.

Pengadaan Publik yang ramah lingkungan (Sustainable Public Procurement) merupakan suatu mekanisme dimana pertimbangan lingkungan diperhitungkan dalam proses Pengadaan Barang/Jasa. Pengadaaan Barang/Jasa di lingkungan pemerintah diatur dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah, dan ketentuan yang mengatur konsep dasar Pengadaaan Barang/Jasa yang ramah lingkungan adalah sebagaimana terdapat pada Pasal 105, yaitu:

(1) Konsep Ramah Lingkungan merupakan suatu proses pemenuhan kebutuhan Barang/Jasa K/L/D/I, sehingga keseluruhan tahapan proses Pengadaan dapat memberikan manfaat untuk K/L/D/I dan masyarakat serta perekonomian, dengan meminimalkan dampak kerusakan lingkungan.

(2) Konsep Pengadaan Ramah Lingkungan dapat diterapkan dalam Dokumen Pemilihan berupa persyaratan-persyaratan tertentu, yang mengarah pada pemanfaatan sumber daya alam secara arif dan mendukung pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik pekerjaan.

(3) Pengadaan Barang/Jasa yang Ramah Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengadaan (value for money). “

Pasal 105 tersebut di atas dapat dijadikan salah satu dasar hukum bagi kebijakan pengadaan barang menggunakan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu, mengingat produk kayu yang telah bersertifikat legalitas kayu bukan hanya dihasilkan dari usaha dan produksi yang legal berdasarkan hukum Indonesia, tetapi juga telah memenuhi prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.

Untuk mendukung kebijakan Pengadaaan Barang/Jasa Pemerintah melalui penggunaan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu, maka pilihan kebijakan dan produk hukum (policy option) yang dipilih sebaiknya berupa Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perka LKPP) tentang Penggunaan Produk Kayu Bersertifikasi Legalitas Kayu. Perka LKPP ini berlaku sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 105 Perpres No. 54/2010, yang disusun sebagai acuan dan pedoman bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN serta pengadaan yang menggunakan APBN/APBD. Secara teknis, LKPP bekerjasama dengan Pemerintah Daerah yang Kepala Daerahnya sudah mendukung sustainable public procurement untuk melaksanakan uji coba/pilot project pengadaaan barang/jasa dalam menggunakan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu.

Secara filosofis, LKPP sebagai regulator dan procurement authority dapat berkontribusi secara optimal dalam mewujudkan sustainable development, mitigasi climate change, dan mendukung perbaikan tata kelola hutan yang baik (forest governance). Dalam konteks kebijakan makro, LKPP akan berkontribusi bagi ketaatan pada Paris Agreement under the UNFCCC dan Sustainable Development Goal yang pada akhirnya akan berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan, mitigasi perubahan iklim, dan tata kelola hutan yang efektif. Perka LKPP ini juga memberi justifikasi secara filosofis pengaturan fiscal incentive dan fiscal support. Secara yuridis, mendukung semua kayu Indonesia diperdagangkan sesuai dengan hukum dan prinsip pengelolaan secara lestari. Secara sosiologis, penyusunan Perka LKPP ini disusun secara partisipatif melalui konsultasi publik kepada beberapa relevant stakeholder di sektor pengadaan barang/jasa pemerintah, kehutanan, serta para pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan pengadaan ramah lingkungan. Perka LKPP ini juga perlu dilengkapi lampiran yang mengatur Standard Bidding Document yang berisi mengenai format dokumen, spesifikasi, kontrak pengadaan, dan evaluasi dalam pelaksanaan pengadaan produk kayu bersertifikasi legalitas kayu.

Page 4: SVLK Menjamin Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang Berkelanjutan

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Multistakeholder Forestry ProgrammeDipo Tower, Lantai 9, Unit BJl. Jenderal Gatot Subroto Kav. 50-52Jakarta 10260T: +62 21 298 664 00-1F: +62 21 298 664 02E: [email protected]