surveilan dm.docx

32
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terjadinya transisi epidemiologi yang paralel dengan transisi demografi dan transisi teknologi di Indonesia dewasa ini telah mengakibatkan perubahan pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit tidak menular (PTM) meliputi penyakit degeneratif dan man made diseases yang merupakan faktor utama masalah morbiditas dan mortalitas. Terjadinya transisi epidemiologi ini disebabkan terjadinya perubahan sosial ekonomi, lingkungan dan perubahan struktur penduduk, saat masyarakat telah mengadopsi gaya hidup tidak sehat, misalnya merokok, kurang aktivitas fisik, makanan tinggi lemak dan kalori, serta konsumsi alkohol yang diduga merupakan faktor risiko PTM. Pada abad ke-21 ini diperkirakan terjadi peningkatan insidens dan prevalensi PTM secara cepat, yang merupakan tantangan utama masalah kesehatan dimasa yang akan datang. WHO memperkirakan, pada tahun 2020 PTM akan menyebabkan 73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia. Diperkirakan negara yang paling merasakan dampaknya adalah negara berkembang termasuk Indonesia. Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu PTM yang semakin meningkat prevalensinya. DM mempunyai karakteristik seperti hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya yang menimbulkan berbagai komplikasi

Upload: xxbasilxx

Post on 26-Dec-2015

550 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terjadinya transisi epidemiologi yang paralel dengan transisi demografi dan transisi

teknologi di Indonesia dewasa ini telah mengakibatkan perubahan pola penyakit dari penyakit

infeksi ke penyakit tidak menular (PTM) meliputi penyakit degeneratif dan man made diseases

yang merupakan faktor utama masalah morbiditas dan mortalitas. Terjadinya transisi

epidemiologi ini disebabkan terjadinya perubahan sosial ekonomi, lingkungan dan perubahan

struktur penduduk, saat masyarakat telah mengadopsi gaya hidup tidak sehat, misalnya merokok,

kurang aktivitas fisik, makanan tinggi lemak dan kalori, serta konsumsi alkohol yang diduga

merupakan faktor risiko PTM.

Pada abad ke-21 ini diperkirakan terjadi peningkatan insidens dan prevalensi PTM secara

cepat, yang merupakan tantangan utama masalah kesehatan dimasa yang akan datang. WHO

memperkirakan, pada tahun 2020 PTM akan menyebabkan 73% kematian dan 60% seluruh

kesakitan di dunia. Diperkirakan negara yang paling merasakan dampaknya adalah negara

berkembang termasuk Indonesia.

Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu PTM yang semakin meningkat

prevalensinya. DM mempunyai karakteristik seperti hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik

pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah (ADA, 2002). DM merupakan salah satu jenis

penyakit tidak menular yang mendunia dengan prevalensi kejadian yang terus mengalami

peningkatan.

Penderita diabetes mellitus di dunia meningkat tajam setiap tahunnya pada tahun 1994

sebesar 110,4 juta menjadi 150 juta penderita dan pada tahun 2010 sebesar 279,3 juta dan tahun

2020 sebesar 300 juta (Hendromartono, 2000).

1

Tahun 2011 diperkirakan 366 juta penduduk dunia menderita diabetes melitus tipe 2 dan 71,4

juta diantaranya berasal dari Asia Tenggara (WHO, 2010).

Estimasi World Health Organization (WHO) tentang jumlah DM di Indonesia pada tahun

2000 sebesar 8,4 juta orang, tahun 2003 sebesar 13,8 juta orang, dan tahun 2030 menjadi 21,3

juta orang yang akan menjadikan Indonesia sebagai peringkat ke-4 terbesar di Dunia (Depkes RI,

2008b). Prevalensi DM tipe 2 di daerah urban sebesar 14,7%, sedangkan di rural sebesar 7,2%,

maka diperkirakan pada tahun tersebut jumlah penderita diabetes sejumlah 8,2 juta di daerah

urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk, pada

tahun 2030, jumlah penduduk usia > 20 tahun sebanyak 194 juta dan dengan asumsi prevalensi

DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%), maka diperkirakan terdapat 12 juta penderita diabetes

di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. PersentaseDM tipe 2 di Indonesia mencapai 85-90%

dari total penderita DM.

Prevalensi penyakit DM di Indonesia sebesar 5,7% yang terdiri atas 1,5% atau sebesar

26% dari total penderita mengetahui bahwa dirinya DM (diagnosed diabetesmellitus) dan 4,2%

atau sebesar 74% dari total penderita tidak mengetahui bahwa dirinya DM (undiagnosed diabetes

mellitus), dimana prevalensi DM meningkat pada usia ≥ 35 tahun dan menurun setelah usia > 74

tahun.

Peningkatan kasus DM yang tajam banyak terjadi pada masyarakat dengan perubahan

pola konsumsi tinggi lemak dan mempunyai kebiasaan aktifitas fisik yang rendah, sehingga

meningkatnya kasus overweight dan obesitas. Orang yang kurang gerak cenderung overweight

dan obesitas yang kemudian berhubungan dengan terjadinya peningkatan diabetes mellitus.

Obesitas merupakan salah satu manifestasi dari masalah gizi lebih yang terjadi akibat

akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat mengganggu kesehatan. Bila seseorang

bertambah berat badannya maka ukuran sel lemak akan bertambah besar dan kemudian

jumlahnya bertambah banyak. Obesitas dapat diukur dengan dengan berbagai cara baik secara

laboratorium maupun non laboratorium.

2

Pengukuran yang sering dilakukan adalah pengukuran non laboratorium (pengukuran praktis)

dengan mengukur indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan rasio lingkar pinggang panggul

untuk memantau status gizi seseorang. Pengukuran praktis merupakan alat atau cara sederhana

untuk memantau status gizi seseorang karena praktis dan murah dalam penggunaanya.

Obesitas merupakan faktor risiko paling penting terhadap terjadinya diabetes mellitus

dimana prevalensi diabetes mellitus 2,9 kali lebih tinggi pada mereka dengan status overweight.

Hasil studi prospektif memperlihatkan bahwa berkembangnya penyakit DM tipe 2 pada obesitas

paling cepat dibandingkan perkembangan penyakit lainnya dengan nilai RR > 3.

Prevalensi obesitas di Indonesia berdasarkan Riskesdas (2007 dan 2010) dilihat dari IMT

mengalami peningkatan. Tahun 2007 prevalensi obesitas umum untuk penduduk umur > 15

tahun sebesar 19,1% dimana sebesar 13,9% terjadi pada laki-laki dan 23,8% pada perempuan.

Prevalensi obesitas umum tahun 2010 pada penduduk umur > 18 tahun sebesar 21,7%, dimana

prevalensi obesitas pada laki-laki sebesar 16,3% dan pada perempuan 26,9%. Berdasarkan

lingkar pinggang (LP) diketahui prevalensi obesitas sentral di Indonesia tahun 2007 sebesar

18,8%, dimana prevalensi pada perempuan sebesar 29% dan pada laki-laki sebesar 7,7%.

Prevalensi obesitas di negara maju maupun negara berkembang semakin meningkat,

diperkirakan jumlah orang dengan obesitas di seluruh dunia melebihi 250 juta orang dengan IMT

> 30 kg/m2,sekitar 7% dari populasi orang dewasa di dunia. Menurut WHO peningkatan jumlah

obesitas berat akan dua kali lipat dibandingkan dengan orang dengan berat badan kurang dari

tahun 1995 sampai 2025 dan prevalensinya akan meningkat mencapai 50% pada tahun 2025.

Prediksi WHO pada tahun 2005 kurang lebih terdapat 400 juta orang dewasa yang obesitas, dan

di tahun 2015 diperkirakan meningkat menjadi 700 juta orang obesitas (Kemenkes RI, 2010).

3

Untuk melakukan upaya penanggulangan penyakit tidak menular diperlukan suatu sistem

surveilans penyakit yang mampu memberikan dukungan upaya program dalam daerah kerja

Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional, dukungan kerjasama antar program dan

sektor serta kerjasama antara Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional dan internasional.

Pada tahun 1987 telah dikembangkan Sistem Surveilans Terpadu (SST) berbasis data,

Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP), dan Sistem Pelaporan Rumah Sakit

(SPRS), yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan perbaikan. Disamping keberadaan

SST telah juga dikembangkan beberapa sistem Surveilans khusus penyakit Tuberkulosa,

penyakit malaria, penyakit demam berdarah, penyakit kusta dan lain sebagainya. Sistem

Surveilans tersebut perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan ketetapan Undang-undang

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999

tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah; Peraturan Pemerintah

Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai

Daerah Otonom; dan Keputusan Menteri Kesehatan No.1116/MENKES/SK/VIII/2003 tentang

Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan serta kebutuhan informasi

epidemiologi untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular dan penyakit tidak

menular.

B. Rumusan masalah

Bagaimana surveilans epidemiologi diabetes mellitus itu?

C. Tujuan penulisan

Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui surveilans epidemiologi dalam

kaitannya diabetes mellitus

4

D. Manfaat penulisan

Penulisan makalah ini diharapkan memberikan manfaat teoritis mengenai pelaksanaan surveilans

diabetes mellitus dengan kajian makalah ini dan manfaat praktisnya, yaitu:

1. Untuk penulis

Meningkatkan pemahaman teori.

2. Untuk pembaca

Meningkatkan pemahaman mengenai surveilans epidemiologi diabetes mellitus

5

BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI DIABETES MELLITUS

1. Definisi

Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai berbagai kelainan

metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata,

ginjal, saraf dan pembuluh darah (Mansjoer dkk,1999).

Menurut Francis dan John (2000), Diabetes Mellitus klinis adalah suatu sindroma

gangguan metabolisme dengan hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu

defisiensi sekresi insulin atau berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya.

2. Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Mellitus menurut National Diabetus Data Group meliputi:

a) Klasifikasi Klinis

- Diabetes Mellitus

- Tipe tergantung insulin (DMTI), Tipe I

- Tipe tak tergantung insulin (DMTTI), Tipe II

DMTTI yang tidak mengalami obesitas

DMTTI dengan obesitas

- Gangguan Toleransi Glukosa (GTG)

- Diabetes Kehamilan (GDM)

b) Klasifikasi risiko statistic

- Sebelumnya pernah menderita kelainan toleransi glukosa

- Berpotensi menderita kelainan toleransi glukosa

6

Pada Diabetes Mellitus tipe 1 sel-sel β pancreas yang secara normal menghasilkan

hormon insulin dihancurkan oleh proses autoimun, sebagai akibatnya penyuntikan insulin

diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Diabetes mellitus tipe I ditandai oleh

awitan mendadak yang biasanya terjadi pada usia 30 tahun. Diabetes mellitus tipe II terjadi

akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah

produksi insulin.

3. Etiologi

a) Diabetes Mellitus tergantung insulin (DMTI)

- Faktor genetic

- Faktor imunologi

- Faktor lingkungan

b) Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)

Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic diperkirakan

memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Diabetes Mellitus tak tergantung

insulin (DMTTI) penyakitnya mempunyai pola familiar yang kuat. DMTTI ditandai dengan

kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat

resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada

reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselluler yang

meningkatkan transport glukosa menembus membran sel. Pada pasien dengan DMTTI terdapat

kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Hal ini dapat disebabkan oleh berkurangnya

jumlah tempat reseptor yang responsif insulin pada membran sel. Akibatnya terjadi

penggabungan abnormal antara komplek reseptor insulin dengan system transport glukosa.

Kadar glukosa normal dapat dipertahankan dalam waktu yang cukup lama dan meningkatkan

sekresi insulin, tetapi pada akhirnya sekresi insulin yang beredar tidak lagi memadai untuk

mempertahankan euglikemia (Price,1995).

7

Diabetes Mellitus tipe II disebut juga Diabetes Mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI) atau

Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) yang merupakan suatu kelompok heterogen

bentuk-bentuk Diabetes yang lebih ringan, terutama dijumpai pada orang dewasa, tetapi

terkadang dapat timbul pada masa kanak-kanak.

Faktor risiko yang berhubungan dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya adalah:

a) Usia ( resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun)

b) Obesitas

c) Riwayat keluarga

d) Kelompok etnik

e) Patofisiologi

8

DM Tipe I DM Tipe II

Idiopatik, usia, genetil, dllReaksi Autoimun

Jmh sel β pancreas menurunsel β pancreas hancur

Defisiensi insulin

Hiperglikemia Lipolisis meningkatKatabolisme protein meningkat

Penurunan BB polipagi

Glukoneogenesis meningkat Gliserol asam lemak

bebas meningkatGlukosuria

KetogenesisKehilangan elektrolit urineDiuresis Osmotik

9

5. Manifestasi klinis

Menurut Askandar (1998) seseorang dapat dikatakan menderita Diabetes Mellitus apabila

menderita dua dari tiga gejala yaitu:

a) Keluhan TRIAS: banyak minum, banyak kencing dan penurunan berat badan.

b) Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl

c) Kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl

Sedangkan menurut Waspadji (1996) keluhan yang sering terjadi pada penderita Diabetes

Mellitus adalah: Poliuria, Polidipsia, Polifagia, Berat badan menurun, Lemah, Kesemutan, Gatal,

Visus menurun, Bisul/luka, Keputihan.

6. Komplikasi

Beberapa komplikasi dari Diabetes Mellitus (Mansjoer dkk, 1999) adalah:

a) Akut

Hipoglikemia dan hiperglikemia

b) Komplikasi menahun Diabetes Mellitus

- Penyakit makrovaskuler : mengenai pembuluh darah besar, penyakit jantung koroner

(cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).

- Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati, nefropati.

- Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstrimitas), saraf otonom berpengaruh

pada gastro intestinal, kardiovaskuler (Suddarth and Brunner, 1990).

- Proteinuria

- Kelainan koroner

- Ulkus/gangren (Soeparman, 1987, hal 377)

Kehilangan cairan hipotonik

ketonuriaketoasidosisHiperosmolaritasPolidipsi

coma

10

Terdapat lima grade ulkus diabetikum antara lain:

Grade 0 : tidak ada luka

Grade I : kerusakan hanya sampai pada permukaan kulit

Grade II : kerusakan kulit mencapai otot dan tulang

Grade III : terjadi abses

Grade IV : Gangren pada kaki bagian distal

Grade V : Gangren pada seluruh kaki dan tungkai bawah distal

7. Evaluasi diagnostik

Kriteria yang melandasi penegakan diagnosa DM adalah kadar glukosa darah yang

meningkat secara abnormal. Kadar gula darah plasma pada waktu puasa yang besarnya di atas

140 mg/dl atau kadar glukosa darah sewaktu diatas 200 mg/dl pada satu kali pemeriksaan atau

lebih merupakan criteria diagnostik penyakit DM.

8. Penatalaksanaan

Tujuan utama terapi DM adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar

glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadinya komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan

terapeutik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa

terjadi hipoglikemia dan gangguan series pada pola aktivitas pasien.

Ada lima konponen dalam penatalaksanaan DM, yaitu:

a) Diet

b) Latihan

c) Penyuluhan

d) Obat

YANMEDPROMKES

BINKESMASPROFESIPOKJA

DIREKTORAT JENDRAL PENGENDALIAN

DINKES PROPINSI

DINKES KABUPATEN/KOTA

PUSKESMAS PENGELOLA

DESAPOSBINDU

e) Insulin

f) Cangkok pancreas

11

B. Surveilan Epidemiologi

1. Pengorganisasian

Pengorganisasian dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko

penyakit Diabetes milletus dimaksudkan agar program yang dilaksanakan dapat lebih efektif,

efisien dan berkualitas serta dapat memanfaatkan segala sumber daya atau potensi yang ada

diwilayah kerjanya. Organisasi disusun sesuai dengan tingkatan dan keterkaitan secara

langsung dalam struktur.

Alur Pengorganisasian pengendalian penyakit diabetes milletus. Peran masing-masing

unit kerja adalah:

12

1) Pusat

a. Mengembangkan pedoman tentang survailans penyakit Diabetes milletus. Di

semua tingkat pelayanan dengan melibatkan organisasi profesi, pengelola program

dan pelaksana pelayanan yang dibutuhkan dalam pencegahan dan penanggulangan

penyakit Diabetes milletus.

b. Membina, mengawasi dan memfasilitasi program pencegahan dan

penanggulangan penyakit diabetes milletus tingkat nasional melalui penetapan

kebijakan nasional, standarisasi dan pengaturan dengan bimbingan dan

pengendalian.

c. Mendorong dan memfasilitasi berfungsinya jaringan kerjasama antar institusi

pelayanan dalam upaya pencegahan dan penangulangan diabetes milletus.

d. Meningkatkan kegiatan promosi dan pencegahan dalam pelayanan diabetes milletus

di institusi pelayanan

e. Mengembangkan pelayanan diabetes milletus berbasis masyarakat

f. Melakukan monitoring dan evaluasi

2) Propinsi

a. Mengembangkan pedoman dan instrument.

b. Mengembangkan berbagai model surveilans penyakit diabetes milletus

c. Menyebarluaskan informasi.

d. Melakukan advokasi kepada penentu kebijakan di tingkat Propinsi

e. Melakukan monitoring dan evaluasi

3) Kabupaten/kota

a. Membuat kebijakan tentang pengendalian (surveilans, promosi kesehatan dan

manajemen pelayanan) penyakit Diabetes milletus dan faktor risiko nya

b. Melakukan pelatihan penemuan kasus dan penatalaksanaan penyakit tidak

menular khususnya penyakit diabetes milletus bagi tenaga kesehatan di Puskesmas

13

c. Melakukan advokasi kepada penentu kebijakan di tingkat kabupaten

d. Melakukan monitoring dan evaluasi

4) Rumah sakit

a. Melakukan deteksi dini terhadap penyakit diabetes milletus dan faktor risiko.

b. Melakukan pencatatan pelaporan tentang diabetes milletus dan faktor risiko.

c. Melakukan penyuluhan

d. Melakukan faktor rujukan

e. Melakukan pengobatan

5) Puskesmas

a. Melakukan deteksi dini terhadap penyakit Diabetes milletus dan faktor risiko berikut

tata laksana.

b. Melakukan pencatatan dan pelaporan.

c. Melakukan penyuluhan.

d. Melakukan sistem rujukan bila terdapat kasus yang tidak dapat ditangani.

2. Strategi

Strategi program pencegahan dan penanggulangan diabetes milletus yaitu:

a. Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat dalam pencegahan dan

penanggulangan diabetes milletus.

b. Memfasilitasi dan mendorong tumbuhnya gerakan dalam pencegahan dan

penanggulangan diabetes milletus.

c. Meningkatkan kemampuan SDM dalam pencegahan dan penanggulangan diabetes

milletus.

d. Meningkatkan surveilans rutin dan faktor risiko, registri penyakit, surveilans

kematian yang disebabkan diabetes milletus

14

e. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan (penemuan/ deteksi dini dan

tata laksana diabetes milletus).

f. Melaksanakan sosialisasi advokasi pada pemerintah daerah legislatif dan stakeholder

untuk terlaksananya dukungan pendanaan dan operasional.

Sistematika penemuan kasus dan tatalaksana penyakit Diabetes milletus meliputi :

a. Penemuan kasus dilakukan melalui pendekatan deteksi dini yaitu melakukan kegiatan deteksi

dini terhadap faktor risiko penyakit diabetes milletus yang meningkat pada saat ini dengan cara

screening kasus (penderita).

b. Tatalaksana pengendalian penyakit diabetes milletus dilakukan dengan pendekatan:

1) Promosi kesehatan diharapkan dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi

kesehatan diri serta kondisi lingkungan sosial, diintervensi dengan kebijakan publik, serta

dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai perilaku hidup

sehat dalam pengendalian diabetes milletus.

2) Preventif dengan cara larangan merokok, peningkatan gizi seimbang dan aktifitas fisik

untuk mencegah timbulnya faktor risiko menjadi lebih buruk dan menghindari terjadi

Rekurensi (kambuh) faktor risiko.

3) Kuratif dilakukan melalui pengobatan farmakologis dan tindakan yang diperlukan.

Kematian mendadak yang menjadi kasus utama diharapkan berkurang dengan

dilakukannya pengembangan manajemen kasus dan penanganan kegawatdaruratan

disemua tingkat pelayanan dengan melibatkan organisasi profesi, pengelola program

dan pelaksana pelayanan yang dibutuhkan dalam pengendalian diabetes milletus.

15

4) Rehabilitatif dilakukan agar penderita tidak jatuh pada keadaan yang lebih buruk dengan

melakukan kontrol teratur dan fisioterapi Komplikasi serangan diabetes milletus yang

fatal dapat diturunkan dengan mengembangkan manajemen rehabilitasi kasus kronis

dengan melibatkan unsur organisasi profesi, pengelola program dan pelaksana

pelayanan di berbagai tingkatan.

3. Pelaksanaan Surveilan Pada Diabetes Mellitus

Surveilans Faktor ResikoData SP2TP Puskesmas

DATA DAN INFORMASI

PROMOSI KESEHATAN

PELAYANAN KESEHATAN

Pola hidup sehat/tidak merokokDiet seimbangAktivitas fisik

Training dan wawancaraBMITensi

Penatalaksanaan diabetes milletus berbasis pada kesehatan masyarakat (public health)

didahului oleh pengumpulan data dan informasi. Merujuk pada kebijakan yang ada, data dan

informasi yang dibutuhkan adalah yang berhubungan dengan kesakitan, kematian serta faktor

risiko. Sumber data dan informasi yang dapat menjadi acuan antara lain adalah dari SP2TP

puskesmas. Penggunaan data dari SP2TP dimaksudkan bila pada daerah yang rencananya akan

dilakukan intervensi tidak mempunyai data dan informasi yang spesifik daerah tersebut,

surveilans yang dilakukan dimasyarakat ditujukan bagi factor risiko penyebab diabetes

milletus, seperti pola makan, aktifitas, merokok.

Surveilans diabetes milletus meliputi surveilans faktor risiko, surveilans penyakit dan

surveilans kematian. Surveilans faktor risiko merupakan prioritas karena lebih fleksibel dan lebih

sensitif untuk mengukur hasil intervensi dalam jangka menengah. Dalam melakukan surveilan,

berbagai pihak dan organisasi kemasyarakatan dapat diikut sertakan baik organisasi yang

formal (governance organization) maupun non formal (non governance organization).

16

Bagan surveilens faktor resiko

Format surveilans dapat dibuat sesuai dengan tingkatan dan institusi penyelenggara

surveilan yang akan dilakukan. Pada tingkat puskesmas, format surveilans berupa

perpanjangan dari dlaqnosa diabetes milletus yang dibuat terhadap pasien. Bila seorang pasien

terdiagnosa sebagai penderita diabetes milletus, tindakan selanjutnya adalah mengisi form faktor

risiko yang dibuat.

4. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dan pelaporan kegiatan Pengendalian PTM khususnya tatalaksana faktor

risiko penyakit diabetes mellitus diperlukan dalam perencanaan, pemantauan dan evaluasi serta

pengambilan keputusan. Untuk itu kegiatan ini harus dilakukan secara cermat dan teliti, karena

kesalahan dalam pencatatan dan pelaporan akan mengakibatkan kesalahan dalam menetapkan

suatu tindakan.

17

1. Pencataan.

Perlu suatu mekanisme pencatatan yang baik, formulir yang cukup serta cara pengisian

yang benar dan teliti. Pencatatan dilaksanakan sesuai dengan jenis kegiatan yang dilaksanakan,

yaitu :pencatatan kegiatan pelayanan Pengendalian PTM khususnya tatalaksana penyakit

diabetes mellitus. Formulir pencatatan terdiri dari :

a. Kartu rawat jalan untuk mencatat identitas dan status pasien yang berkunjung ke

Puskesmas/sarana pelayanan kesehatan lainnya untuk memperoleh layanan rawat

jalan.

b. Kartu rawat tinggal dan kegunaanya dengan kartu rawat jalan namun diperuntukan

bagi pasien rawat inap di Puskesmas.

c. Kartu Penderita diabetes mellitus yang berisikan identitas penderita yang dilayani di

Puskesmas dan diberikan kepada penderitanya.

d. Formulir Laporan Bulanan penyakit diabetes mellitus (sesuai format laporan

surveillans yang sudah ada)

e. Buku Register

f. Buku Rujukan

2. Pelaporan

a. Tingkat Puskesmas.

Dari pustu, bides ke pelaksana kegiatan di puskesmas. Pelaksana kegiatan

merekapitulasi data yang dicatat baik di dalam gedung maupun di luar gedung,

serta laporan dari pustu dan bides. Hasil rekapitulasi oleh pelaksana kegiatan

diolah dan dimanfaatkan untuk tindak lanjut yangdiperlukan dalam rangka

meningkatkan kinerja yang menjadi tanggung jawabnya.

18

b. Tingkat Dinas Kabupaten/Kota

Hasil rekapitulasi/entri data disampaikan ke pengelola program kabupaten kemudian

rekap dikoreksi, diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan untuk umpan balik, bimbingan

teknis program dan tindak lanjut yang diperlukan dalam melaksanakan program.

Setiap tiga bulan hasil rekap dikirimkan ke dinkes propinsi dan Direktorat

Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI.

c. Tingkat Dinas Kesehatan Propinsi

Laporan diterima untuk dikompilasi/direkap dan disampaikan untuk diolah dan

dimanfaatkan dalam rangka tindak lanjut dan pengendalian yang diperlukan. Hasil

kompilasi yang telah di olah menjadi umpan balik dinkes kabupaten/kota.

d. Tingkat Pusat

YANMEDPROMKESPROFESIPOKJA

LSM

DIREKTORAT JENDRAL PENGENDALIAN PEENYAKIT DAN

PENYEHATAN LINGKUNGAN

DINKES PROPINSIPTM, RUMAH SAKIT, PKM

DINKES KABUPATENPTM, RUMAH SAKIT, PKM

PUSKESMAS, PENGELOLA PROGRAM PTM

DESA POSBINDU KADER PTM

Hasil olahan paling lambat 2 (dua) bulan setelah berakhirnya triwulan disampaikan

pada pengelola program untuk di analisis serta dikirimkan ke dinas kesehatan

propinsi sebagai umpan balik. Hasil laporan yang diolah kemudian dijadikan si sebagai

umpan balik. Hasil laporan yang diolah kemudian dijadikan sebagai bahan koordinasi

dengan institusi terkait di masing tingkatan.

19

Bagan: Alur pelaporan pengendalian penyakit hipertensi

Keterangan :

: Garis Koordinasi

: Garis Laporan

: Garis Umpan Balik

20

5. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai

keberhasilan penemuan dan penatalaksaan penderita diabetes mellitus. Kegiatan ini dilaksanakan

secara berkala untuk mendeteksi bilamana ada masalah dalam penemuan dan

penatalaksanaan penderita diabetes mellitus agar dapat dilakukan tindakan perbaikan. Pada

prinsipnya semua kegiatan harus dimonitor dan dievaluasi antara lain penemuan penyakit

diabetes mellitus mulai dari langkah penemuan penderita dan faktor risikonya,

penatalaksanaan penderita yang meliputi hasil pengobatan, dan efek samping sehingga kegagalan

pengendalian penyakit diabetes mellitus di pelayanan primer dapat ditekan.

Seluruh kegiatan tersebut harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses

maupun keluaran (output). Cara pemantauan dapat dilakukan dengan menelaah laporan,

pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana dan penderita diabetes

mellitus.

21

22

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Diabetes Mellitus merupakan penyebab kematian tertinggi di bagian instalasi rawat inap

di rumah sakit di Indonesia yaitu sebanyak 3.316 kematian dengan CFR 7,9%. Indonesia

merupakan negara keempat setelah India, Cina dan Amerika Serikat sebagai penderita penyakit

Diabetes Mellitus dengan persentase 8,4 di tahun 2000 dan diperkirakan akan bertambah

persentasenya di tahun 2030 sebesarnya 21,3%.

Penyebab utama terjadi Diabetes Mellitus dipengaruhi oleh tidak terkontrolnya glukosa

darah akibat factor kegemukan, hipertensi, pengetahuan, life style, dan sebagainya.

Diabetes Mellitus klinis adalah suatu sindroma gangguan metabolisme dengan

hiperglikemia yang tidak semestinya sebagai akibat suatu defisiensi sekresi insulin atau

berkurangnya efektifitas biologis dari insulin atau keduanya.

Tanda dan gejala, diantaranya keluhan TRIAS seperti banyak minum, banyak kencing

dan penurunan berat badan. Kadar glukosa darah pada waktu puasa lebih dari 120 mg/dl. Dan

kadar glukosa darah dua jam sesudah makan lebih dari 200 mg/dl

Penyebab diabetes mellitus yaitu:

1. Diabetes Mellitus tergantung insulin (DMTI)

a. Faktor genetic

b. Faktor imunologi

c. Faktor lingkungan

23

2. Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (DMTTI)

Secara pasti penyebab dari DM tipe II ini belum diketahui, factor genetic diperkirakan

memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Faktor risiko yang berhubungan

dengan proses terjadinya DM tipe II, diantaranya adalah usia ( resistensi insulin cenderung

meningkat pada usia di atas 65 tahun), obesitas, riwayat keluarga, kelompok etnik.

Penatalaksanaan diabetes mellitus diantaranya diet, latihan, penyuluhan, obat, dan cangkok

panngkreas