survei dan opini
DESCRIPTION
Hubungan publikasi survei di media massa terhadap sikap pemilih menjelang pemilihan umumTRANSCRIPT
HUBUNGAN PUBLIKASI SURVEI DENGAN SIKAP CALON
PEMILIH
(Studi Aalisis Regresi Linier Pada Masyarakat Sumatera Utara Mengenai Publikasi
Survei di Media Massa)
Gema Nusantara
MAGISTER ILMU KOMUNIKASI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAYABAYA
2013
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak reformasi berlangsung di Indonesia tahun 1998, sistem politik mulai
berubah. Kini kepala pemerintahan dipilih langsung. Presiden dipilih langsung.
Gubernur dipilih langsung. Bupati, walikota juga dipilih langsung. Metode dan
kultur kompetisi berubah. Seseorang menjadi presiden, gubernur, walikota bukan
lagi ditentukan partai. Mereka terpilih bukan lagi karena petunjuk pejabat, juga
bukan lagi dipilih oleh anggota parlemen. Mereka menjadi pemimpin
pemerintahan karena dipilih langsung oleh ratusan ribu bahkan jutaan pemilih.
Politik menjadi tak pasti. Siapa yang menang, siapa yang kalah, susah kita
prediksi. Calon partai besar bisa kalah. Presiden yang ingin menjadi presiden lagi
juga bisa kalah. Orang mulai mencari pegangan baru untuk memahami sebab
musabab kemenangan dan kekalahan seseorang dalam Pemilu yang dipilih
langsung.
Survei merupakan salah satu metode yang sering dipakai untuk
mengetahui preferensi para pemilih. Melalui survei, para peneliti bisa membuat
meramalkan kandidat atau partai mana yang berpeluang menang.
Menurut Umar S Bakry Direktur Lembaga Survei Nasional, survei dan
demokrasi adalah satu paket. Bagi negara yang menganut sistem demokrasi atau
demokrasinya sudah mapan maka survei akan menjadi kebutuhan. Indonesia
sedang dalam transisi menuju demokrasi. Di situlah survei dibutuhkan. (Rakyat
Merdeka, 15 Maret 2008). Amerika Serikat (AS) saja yang demokrasinya sudah
maju masih membutuhkan ribuan lembaga survei. Orang AS sadar dengan adanya
survei, politik menjadi lebih pasti dan rasional. Orang AS paham bahwa survei
membuat apa yang kita targetkan dapat dikalkulasi lebih dini. Sebab itu orang AS
tidak gagap dan emosi menerima hasil pemilu karena semuanya telah terkalkulasi
sejak awal melalui aneka survei (Koran Jakarta, 24 Sepetember 2008).
Awalnya, ketika metode itu dipakai menjelang Pemilihan Presiden 2004,
banyak orang meremehkannya. Survei tak lebih dipandang sebagai kembangan
2
pilpres. Hal ini tidak lepas dari hasil survei awal, Susilo Bambang Yudhoyono
mengungguli calon lainnya. Padahal, SBY berasal dari partai baru, Partai
Demokrat, sedangkan calon lain dari partai besar. Para pengkritik itu berasumsi
pilihan partai akan berbanding lurus dengan pilihan capres.
Ketika hasil Pilpres 2004 mirip dengan hasil survei, barulah banyak orang
terbelalak. Lebih-lebih para pelaku survei itu juga melakukan quick count hasil
pemilihan, yang hasilnya mendekati penghitungan manual. Orang semakin
percaya pada hasil survei. Bahkan, para penyelenggara survei kemudian disebut
“dukun politik.” Mereka pun mulai banyak dilirik dan laris manis. Sejak saat itu,
muncul lembaga survei baru, termasuk dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Melihat fenomena inilah maka lembaga survei mulai bertumbuhan
bagaikan Jamur pada musim hujan. Lembaga survei tersebut ada banyak macam
ragamnya mulai dari yang dikelola secara professional, sampai dengan yang
dikelola secara asal-asalan. Fungsi lembaga survei menurut Toto Sugiarto
Direktur Eksekutif Soegeng Saryadi Syndicate : “Fungsi lembaga survei adalah
mengukur denyut nadi politik rakyat. Kemudian juga, untuk melihat alasan
pemilihan publik pada satu kekuatan politik tertentu, misalnya, visi-misi atau
penampilan dari calon. Kita berusaha mengetahui alasan di balik pemilihan
seorang calon dan kekuatan politik tertentu”.
Selain itu fungsi lembaga survei terhadap elite politik adalah memberikan
gambaran popularitas dan elektabilitas para elite politik. Sehingga dalam
melakukan kampanye politik tidak terkesan salah alamat dan dapat efektif dalam
menggunakan strategi dan ongkos politik untuk menjadi pejabat publik di pemilu
atau pilkada. Para elite politik menggunakan survei selain untuk mengetahui
gambaran opini publik tetapi juga sebagai pencitraan politik.
Di Indonesia, jumlah lembaga survei masih jauh dari ideal untuk
memberikan kontribusi bagi demokrasi yang sehat dan transparan. Untuk Negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia seperti Indonesia ini, sedikitnya butuh 1000
lembaga survei. Sebagai perbandingan di AS sekarang ini ada lebih dari 7000
lembaga survei. (Koran Jakarta, 24 Sepetember 2008).
3
Sayangnya, meskipun jumlah lembaga survei di Indonesia masih terbatas
dan eksistensinya masih “seumur jagung”, beberapa pihak sudah mulai jengah dan
gerah dengan sepak terjang lembaga survei. Para elite politik memandang
lembaga survei bersifat hipokrit, artinya para elite politik apabila melihat hasil
survei dan posisinya berada dibawah, mereka langsung tidak percaya dan tidak
menerima hasil survei tersebut lalu menjustifikasi bahwa lembaga survei tersebut
tidak kredibel atau adanya indikasi survei tersebut adalah survei pesanan. Tetapi
akan sangat berbeda jika hasil survei itu posisinya berada di atas atau bagus, maka
para elite politik beranggapan bahwa survei itu benar dan lembaga tersebut
kredibel (Pelita, 13 Mei 2009).
Ketua DPP Partai Golkar Firman Subagyo menyatakan, kehadiran
lembaga survei tetap dibutuhkan sebagai lembaga kontrol sekaligus untuk
melakukan mapping terhadap berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Paling
tidak, hasil survei bisa dijadikan parameter untuk mengetahui persepsi publik
terhadap partai politik maupun tingkat elektabilitas tokoh tertentu. Misalnya,
seorang yang ingin maju dalam pilkada, tentunya bisa menggunakan lembaga
survei untuk mengetahui sejauh mana elektabilitas atau nilai jual serta
ketokohannya.
Sekjen PDIP Tjahyo Kumolo berpendapat bahwa lembaga survei
digunakan oleh partainya hanya sebagai kajian perbandingan saja agar dapat
dilakukan lebih akurat dan objektif dan strategi politik yang dilakukannya sesuai
mengenai sasaran.
Sedangkan Sekjen Hanura Yus Usman Sumanegara menengarai banyak
lembaga survei yang tidak kredibel dalam melakukan survei. Bahkan terkesan ada
permainan kasar untuk melakukan kebohongan publik. Lembaga survei harus
memiliki etika dan kredibilitas yang bisa dipertanggung jawabkan jangan sampai
melakukan promosi dan mencari popularitas dan mengorbankan elektabilitas yang
ada (Radar Bogor, 13 April 2009).
Mengenai kredibilitas lembaga survei pernah juga dipersoalkan oleh
Sutiyoso yang mempertanyakan orang-orang tertentu yang rela membayar
4
lembaga survei hanya ingin menjadi pemimpin bangsa untuk meningkatkan
popularitas dirinya maupun seolah-olah terangkat dalam rating bursa capres.
“kalau sudah menipu diri seperti itu, bagaimana kalau nanti terpilih sebagai
pemimpin bangsa. Apa yang dilakukan para capres dan parpol agar bisa terkenal
melalui lembaga survei tak ubahnya seperti onani politik untuk menyenangkan
dirinya sendiri tanpa didukung oleh fakta dan dilapangan”. Sutiyoso juga
mempertanyakan kredibilitas lembaga-lembaga survei yang seharusnya bisa
memberikan gambaran dan fakta-fakta yang benar, serta realitas sosial yang ada,
bukan hanya sebagai pesanan saja.
Sementara itu, mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat
Nur Wahid berpendapat bahwa lembaga survei tidak perlu ditakuti dan diyakini,
karena lembaga survei bukan tuhan yang harus disembah dan juga bukan hantu
yang harus ditakuti. Lembaga survei sering salah dalam memberikan hasil survei.
Menurut pandangan Direktur Eksekutif LSN Umar S Bakry, “ mengenai
lembaga survei yang tidak kredibel, sebenarnya dalam profesi apapun pasti ada
yang kredibel dan ada yang tidak. Begitu pula di komunitas survei, pasti ada
lembaga yang dianggap tidak kredibel tapi jangan pula menafikan lembaga survei
yang kredibel, dan kita tidak bisa memukul rata semua lembaga itu”. (Koran
Jakarta, 24 Sepetember 2008).
Di negeri ini banyak orang yang salah paham terhadap survei dan lembaga
survei ketimbang yang memahaminya. Salah paham yang paling mendasar adalah
mengenai distribusi sampel dalam aktivitas survei politik. Bahkan seorang Jusuf
Kalla pun pernah mempertanyakan bagaimana mungkin pendapat 1000 orang
dapat mewakili 200 juta penduduk Indonesia? Kesalahpahaman Jusuf Kalla ini
mewakili jutaan pandangan awam terhadap metode survei. Survei adalah metode
ilmiah yang sudah terbukti dan teruji ribuan kali akurasinya. Asal dilakukan
dengan prosedur dan metodologi yang benar mulai dari desain survei hingga
eksekusi dilapangan. Pendapat 1000 responden sangat mungkin
mempresentasikan pendapat 200 juta orang. Sedangkan kalau prosedurnya salah
50 juta sampel pun belum tentu mewakili pendapat 200 juta orang.
5
Kesalahpahaman yang kedua adalah soal objektivitas, banyak pihak
mencurigai hampir semua lembaga survei di Indonesia sekarang ini tidak lagi
independen sehingga hasil surveinya cenderung subjektif. Hasil survei konon
lebih banyak disesuaikan kepentingan klien untuk menjadi corong atau media
pencitraan kekuatan politik atau capres tertentu.
Akibatnya, hasil survei tentang capres menjadi berbeda-beda karena setiap
lembaga survei akan menempatkan kliennya berada diatas. Menjelang pilpres
2009, banyak muncul lembaga survei yang aneh dan hasil survei yang lucu-lucu.
Sangat mudah menerka lembaga tersebut mengabdi pada kepentingan apa dan
siapa. Tapi harus diakui juga banyak lembaga survei yang bisa menjadi
independen hasil surveinya karena berpegang teguh pada metodologi dan sikap
ilmiah yang benar. Terhadap lembaga survei yang kredibel ini tidak heran publik
berdecak kagum terhadap akurasi mereka dalam membuat quick count di sejumlah
pilkada.
Dalam melakukan publikasi survei tentunya akan menimbulkan efek
terhadap setiap orang, khususnya para calon pemilih. Efek yang ditimbulkan
diharapkan dapat membantu pemilih dalam menggambarkan situasi politik yang
sedang terjadi saat itu, dan juga dapat membantu para pemilih untuk lebih
memantapkan pilihannya nanti. Namun seringkali hasil publikasi survei
diharapkan sebagian orang dapat mempengaruhi pilihan dari para pemilih nanti,
sehingga banyak hasil survei yang disiarkan di media-media dapat memberikan
sebuah efek, yang biasa disebut bandwagon effect dan Underdog Effect.
Traugott dan Lavrakas memberikan pengertian bandwagon effect sebagai
suatu efek yang terjadi di mana seorang (calon) pemilih mengubah preferensi
pilihannya pada kandidat tertentu akibat ekspos dari hasil-hasil polling opini
publik. Istilah lain, yaitu underdog effect menunjuk pada suatu efek simpati yang
diberikan oleh pemilih kepada kandidat yang banyak diprediksikan kalah dalam
pemilihan. (LSI, Desember 2007).
DI Paman Sam sana dikenal bandwagon effect dari survei elektabilitas ini
sebagai bagian dari taktis atau strategi yang sengaja diciptakan untuk membuat
6
pemilih atau konstituen lawan menjadi pesimis, sehingga diharapkan mengalihkan
dukungannya kepada kandidat yang dicitrakan akan menang, juga untuk sekaligus
mengajak yang golput dan yang belum mengambil keputusan, itulah ketiga
segmen pasarnya.
Bandwagon effect terjadi ketika kemenangan Ronald Reagan di pemilu
Amerika Serikat 1980. Ketika itu, Ronald Reagan yang notabene seorang artis,
berhasil mengejutkan dunia dengan memenangi pemilu dan menjadi presiden AS.
Padahal, saat itu usia Reagan hampir mendekati 70 tahun. Dia tercatat sebagai
presiden AS tertua ketika memperoleh kekuasaan.
Kemenangan Reagan sendiri ditentukan oleh faktor bandwagon effect
yang dilakukan oleh tim suksesnya. Bandwagon effect yaitu kecenderungan
masyarakat akan melakukan atau memercayai sesuatu karena mayoritas orang
melakukan atau mempercayai hal tersebut. Kala itu jaringan televisi NBC telah
mengumumkan kemenangan Reagan dari hasil exit poll. Pengumuman exit poll
dilakukan ketika pemilih di wilayah timur Amerika telah selesai memilih. Padahal
di wilayah barat, pemilihan belum dilakukan karena adanya perbedaan waktu.
Karena di wilayah timur Reagan menang mutlak, akibatnya pemilih di
barat yang telah mengetahui kemenangan tersebut cenderung untuk memilih sang
pemenang. Dan fakta membuktikan bahwa Reagan kemudian menang dengan
cukup telak.
Kondisi yang sama tentu dapat kita rasakan dalam pilpres yang baru saja
berlangsung di Indonesia. Tim sukses SBY bahkan sudah mencoba menggunakan
bandwagon effect jauh hari sebelum pilpres berlangsung. Hal ini terlihat dari
survei-survei yang dilakukan oleh tim sukses SBY-Boediono. Hampir di setiap
survei yang dirilis setiap tiga bulan sekali, SBY menang telak dibandingkan
pasangan yang lain.
Tidak hanya dilakukan sebelum pilpres, bandwagon effect bahkan
dilakukan ketika hari pencontrengan tengah berlangsung. Hampir sama seperti
yang dilakukan oleh NBC tahun 1980, beberapa stasiun televisi di Indonesia pun
7
selalu meng-up date hasil sementara pilpres melalui exit poll. Hampir setiap jam
kita dapat melihat bagaimana mutlaknya kemenangan SBY.
Namun, yang lebih kontroversial, hasil exit poll ini diumumkan ketika
masih ada daerah yang belum melakukan pemilihan. Beberapa daerah di Papua
bahkan melakukan pemilihan di hari berikutnya. Hasil exit poll yang diumumkan
sebelum pemilihan selesai dilaksanakan sepenuhnya tentu memengaruhi psikologi
masyarakat. Kebanyakan masyarakat tentu akan beranggapan buat apa lagi
memilih pasangan yang lain jika SBY sudah menang, dengan angka mutlak pula.
(Harian Kompas 25 Juli 2009 dalam wisnuprasetyautomo.blogspot.com)
Dalam sejarah politik di sana juga, ada lagi efek simpati yang disebut
underdog effect yang terbalik dengan arah diatas, justru yang diperkirakan
menang dalam survei elektabilitas, malah ternyata kalah dalam Hari H pemilu,
karena para pemilih dalam melihat publikasi survei lebih simpati kepada calon-
calon yang tidak diunggulkan.
Catatan :
1.2. Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah
1.2.1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasikan masalah-
masalah penelitian sebagai berikut
Survei digunakan untuk mengetahui referensi pemilih
Lembaga survei membuat demokrasi di Negara kita menjadi lebih
berwarna dan kreatif.
Elite politik memandang lembaga survei bersikap hipokrit.
Elite politik menggunakan lembaga survei sebagai alat pencitraan.
Elite politik dan kalangan masyarakat meragukan metodologi yang
digunakan lembaga survei.
Para elite politik masih gagap terhadap survei.8
Elite politik dan kalangan masyarakat meragukan distribusi sampel.
Publikasi survei memberikan efek bandwagon dan underdog di kalangan
masyarakat.
1.2.2. Perumusan Masalah
Karena terbatasnya waktu, tenaga, dan biaya, masalah harus dibatasi agar
dapat dijawab dan dikaji secara mendalam. Berdasarkan latar belakang masalah
dan identifikasi masalah di atas, permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada
hal-hal sebagai berikut :
Apakah survei politik yang dilakukan lembaga survei mampu mewakili
opini masyarakat?
Apakah publikasi survei menimbukan bandwagon effect dan underdog
effect di masyarakat?
Apakah publikasi survei mempengaruhi sikap masyarakat?
Seberapa besar pengaruh bandwagon effect dan underdog effect di
Indonesia?
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui hubungan publikasi survei terhadap sikap pemilih di
Sumatera Utara
Untuk mengetahui dampak langsung (bandwagon dan Underdog effect)
dari publikasi survei terhadap sikap pemilih di Sumatera Utara.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai sumbangsih pemikiran yang
dapat digunakan untuk teori yang telah ada. Mengenai fenomena lembaga survei
di kalangan elite politik dan persepsi elite politik dan masyarakat dalam
menyikapi hasil publikasi survei di media massa.
1.4.2. Kegunaan Praktis
9
Sebagai bahan pertimbangan untuk para elite politik yang ingin
menggunakan lembaga survei dalam melakukan segala aktifitas survei baik
kepentingan politik maupun kepentingan individu. Kegunaan untuk masyarakat
dapat digunakan sebagai referensi dalam pilihan pada pemilu 2014. Bagi peneliti
lain, hasil penelitian ini harap dijadikan bahan masukan dan menambah referensi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Survei
2.1.1.1. Pengertian Survei
Istilah survei biasanya dirancukan dengan istilah observasi dalam
pengertian sehari-hari. Pada hal kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang
berbeda, walaupun keduanya merupakan kegiatan yang saling berhubungan.
Menurut kamus Webster, pengertian survei adalah suatu kondisi tertentu yang
menghendaki kepastian informasi, terutama bagi orang – orang yang bertanggung
jawab atau yang tertarik.
Menurut Singarimbun (1991, p.3) survei yaitu “penelitian yang mengambil
sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul
data yang pokok”. Sedangkan menurut Suhermin (dalam blognya
suhermin.blogspot.com) survei adalah aktivitas untuk mengestimasi sesuatu
(seperti : jumlah orang, persepsi atau pesan-pesan tertentu).
(lilikmaryanto.wordpress.com)
Survei sering rancu dengan sensus. Padahal perbedaannya cukup jelas.
Penelitian survei adalah pengumpulan data dari suatu populasi dengan memilih
sampel, sedangkan sensus adalah pengumpulan data terhadap seluruh anggota
populasi. Survei tidak selalu identik dengan kuesioner (meski teknik pengumpulan
data survei seringkali menggunakan kuesioner karena berhubungan dengan
sampel berjumlah besar). Dalam praktiknya, terkadang pelaksanan survei tidak
hanya menggunakan kuesioner atau angket, namun dilengkapi dengan wawancara
atau observasi.
10
Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan untuk melakukan
penelitian survei, antara lain:
Penelitian survei dapat digunakan untuk sampel yang besar.
Penggunaan kuesioner dapat menghasilkan data/informasi yang beragam
dari setiap responden/individu dengan variabel penelitian yang banyak.
Data yang diperoleh dari sampel dapat digeneralisasikan pada populasi.
2.1.1.2. Jenis Survei
Ada beberapa kategori penelitian survei dilihat dari proses pelaksanaannya
dan perlakuan terhadap sampel.
Survei Sekali Waktu (Cross-sectional Survei). Data hanya dikumpulkan
untuk waktu tertentu saja dengan tujuan menggambarkan kondisi populasi.
Survei Rentang Waktu (Longitudinal Survei). Survei dilakukan berulang
untuk mengetahui kecenderungan suatu fenomena dari waktu ke waktu.
Survei Tracking/Trend. Survei dilakukan pada populasi yang sama namun
dengan sampel berbeda untuk mengetahui kecenderungan suatu fenomena
dari waktu ke waktu.
Survei Panel. Survei dilakukan terhadap sampel yang sama untuk
memahami suatu fenomena dari waktu ke waktu.
Survei Cohort. Survei dilakukan pada sekelompok populasi yang spesifik
untuk mengetahui perkembangan suatu fenomena dari waktu ke waktu.
2.1.1.3. Tahapan Survei
Secara umum survei dilakukan dalam beberapa tahapan, yakni: 1)
Menentukan masalah penelitian ; 2) Membuat desain survei ; 3) Mengembangkan
instrumen survei; 4) Menentukan sampel; 5) Melakukan pre-test; 6)
Mengumpulkan data; 7) Memeriksa data (editing); 8) Mengkode data; 9) Data
entry; 10) Pengolahan dan analisis data; 11) Interpretasi data; dan 12) Membuat
kesimpulan serta rekomendasi.
2.1.2. Sejarah Lembaga Survei
11
Survei politik semacam ini banyak digunakan di negara-negara demokrasi
pada akhir perang dunia II atau pada akhir 1940-an. Kualitas hasil survei maupun
presisinya hasil survei pun ditentukan oleh metodologi yang digunakannya
maupun mekanisme kontrol periodik terhadap metodologi itu sendiri. Sejarah juga
mencatat bahwa Negara Amerika Serikat mulai menjalankan survei politik ini
pada akhir tahun 1940-an ini, pada awalnya banyak yang salah baik secara
metodologis maupun pelaksanaan di lapangan, hal ini dikarenakan belum
dikenalnya metodologi survei sosial yang baik. Akan tetapi lama kelamaan,
keilmuan terhadap metodologi survei pun berkembang dan memiliki banyak
ragam. Ditunjang oleh berkembangnya juga ilmu terapan politik, pemahaman
perilaku pemilih, analisa sosiologis dan geopolitik serta beberapa ilmu terapan
yang lain.
Lembaga yang paling bergengsi dalam sejarah politik Amerika Serikat
(AS) adalah Gollup Poll, hal ini dikarenakan kemampuannya dalam meramalkan
pemenangan pemilihan presiden satu minggu sebelum hari H Pemilihan Umum.
Gollup Poll yang berdiri sejak tahun 1950, telah membawa dampak yang luas bagi
perkembangan teknologi survei politik dalam proses demokrasi di Amerika
Serikat. Saat ini Gollup Poll telah memiliki 6.500an surveyor lapangan dan 700an
Peneliti Ilmu Sosial yang tersebar di seluruh negara bagian di Amerika Serikat.
Bahkan Gollup Poll juga telah mendirikan kelembagaan sejenis di 17 negara di
Benua Eropa.
Gollup Poll telah mengembangkan diri tidak sekedar bidang politik tetapi
juga bidang sosial lainnya, seperti survei tingkat kemiskinan, survei tingkat
kesenjangan ekonomi dan lain-lain. Hasil Survey Gollup Poll telah menjadi diktat
khusus di kampus-kampus besar di Amerika Serikat dan Benua Eropa dalam
menjelaskan angka maupun tabel keilmuan sosial secara umum.
2.1.2.1. Survei Politik Di Indonesia
Yang harus dicermati oleh konsultan politik atau lembaga survei adalah
metodologi dasar yang digunakan dalam survei tersebut. Dalam karya ilmiah
kontemporer sudah banyak menjelaskan tentang metodologi penelitian baik
12
penelitian kualitatif maupun kuantitatif. Keduanya memiliki kebutuhan dan tujuan
penelitian yang berbeda. Yaitu responden diambil secara acak dan sistematis serta
diajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat netral dan diusahakan terhindar dari
konflik kepentingan yang ada.
Lembaga Survei juga harus memperhatikan kualitas dari pewawancara
lapangan yang harus memiliki integritas dalam menjaga kualitas kemurnian data
yang didapatnya. Materi-materi yang disajikan dalam pelatihan pewawancara pun
harus diarahkan pada kemampuan-kemampuan dalam membaca situasional peta
politik dilapangan. Juga ditambahkan materi-materi yang terkait dengan keadaan
sosial budaya masyarakat lokal yang turut mempengaruhi pengambilan keputusan
politik elite politik lokal, sehingga dapat memperkuat hasil kesimpulan survei
yang didapat.
Presisinya suatu data survei juga harus ditunjang dengan frekuensi survei
lapangan yang dilaksanakan. Sangat diragukan hasilnya jika suatu daerah
pemilihan yang memiliki jumlah pemilih diatas 1,5 juta pemilih hanya
melaksanakan 2 atau 3 kali survei dengan interval waktu yang berdekatan. Artinya
dibutuhkan perhitungan yang jelas tentang kebutuhan frekuensi survei lapangan
itu sendiri. Mengingat kontrol kualitas juga membutuhkan waktu yang cukup
dalam menilai kualitas hasil survei yang didapat.
Frekuensi survei pun bisa optional ditambahkan mengingat adanya
pergerakan politik yang cukup tinggi. Hal ini mencegah perbedaan yang cukup
tajam antara hasil survei sebelum terjadinya pergerakan politik dengan
sesudahnya. Semisal lawan politik melakukan aktifitas pembangunan isu yang
berdampak dahsyat pada perilaku pemilih maka sudah selayaknya sang calon
melakukan survei ulang khususnya pada daerah-daerah basis. Akan tetapi jika
terjadi stagnasi dalam sikap pemilih maka tidak dibutuhkan survei lapangan
kembali.
Terdapat minimal dua jenis survei dalam mengukur kecenderungan
pemilih, yang pertama adalah Survei Popularitas, yang mana survei ini bersifat
kuantitatif dengan harapan memberikan gambaran yang utuh tentang angka
13
popularitas sang calon. Yang kedua adalah Survei Elektabilitas, survei yang
cenderung bersifat kualitatif, mengingat hasilnya mengarah pada keyakinan
pemilih terhadap pilihannya. Kedua hasil survei tersebut dapat saling melengkapi
sebagai satu kesatuan meninjau kecenderungan perilaku pemilih. Akan tetapi yang
pasti adalah kedua survei tersebut sangat bertolakbelakang dalam tahapan
pelaksanaannya. Para pewawancara harus secara tepat memperhatikan perbedaan
materi pertanyaan yang diajukan kepada responden.
Kelembagaan survei di dalam kehidupan politik dan demokrasi di
Indonesia mendorong juga kehidupan politik yang lebih transparan dan rasional.
Tidak ada lagi asumsi-asumsi non rasional yang mengemuka dalam perhitungan
politik. Metode-metode konvensional dalam strategi pemenangan pun mulai
ditinggalkan seperti pengumpulan massa besar-besaran di suatu wilayah
pemenangan tanpa memiliki data valid tentang arah keputusan politik masyarakat
setempat.
Survei juga dapat secara cepat memantau pergerakan mesin-mesin partai
politik pengusung sang calon, dalam artian suatu wilayah kerja mesin partai bisa
tersajikan data yang jelas tentang kinerja terukur tentang capaian-capaian politik
yang didapat oleh mesin partai politik. Dalam survei politik juga didapatkan
manfaat yang lain, semisal pejabat yang tengah menduduki suatu jabatan tertentu
(incumbent) dapat menjadikan hasil survei sebagai alat mengetahui posisi dirinya
di mata publik dalam hal kinerja pemerintahannya. Selain itu bagi yang belum
menduduki jabatan, hasil survei juga dapat mengukur tingkat popularitas dirinya
sebelum pemilihan berlangsung.
2.1.2.2. Pentingnya Survei Bagi Elite Politik
Survei digunakan tim sukses untuk menentukan strategi pemenangan
kandidat
Untuk mengetahui bagaimana peta/sebaran dukungan dan preferensi
pemilih terhadap kandidat berdasarkan aspek: wilayah, usia, jenis kelamin,
pekerjaan, agama, afiliasi keagaamaan dan organisasi sosial, serta tingkat
sosio-ekonomi.
14
Untuk mengetahui bagaimana tingkat popularitas kandidat di masyarakat,
baik pada masa pra-kampanye maupun pada masa kampanye menjelang
pemilihan.
Melalui survei tim sukses akan dapat memperkirakan seberapa besar dana
yang diperlukan untuk membiayai kampanye
Melalui survei tim sukses dapat mengemas pencitraan kandidat sesuai
dengan ideal yang diharapkan pemilih dan dapat menggunakan media
kampanye yang tepat
Untuk mengidentifikasi isu-isu strategis yang berkembang di masyarakat
sebagai bahan kampanye kandidat dan dapat menyusun program
kampanye sesuai kehendak pemilih
Untuk mengetahui besaran peluang atau probabilitas menang kandidat
dalam pilkada.
Sarana ”sosialisasi” kandidat kepada masyarakat.
2.1.2.3. Dampak Publikasi Survei
Selain mengukur pendapat umum, survei juga bisa punya dampak pada
pendapat umum. Terutama ketika hasil survei tersebut dipublikasikan di media.
Hasil survei atas suatu isu ketika dipublikasikan, dikonsumsi oleh khalayak
umum, dan sedikit banyak akan berdampak pada pendapat masyarakat atas suatu
isu. Hal yang sama terjadi pada survei pemilihan. Media pertama kali hanya
berpotensi memberitakan kandidat atau partai mana yang mendapat dukungan
pemilih terbesar. Tetapi pemberitaan ini akan berdampak pada pemilih yang
membaca hasil-hasil prediksi tersebut.
Menurut Lang and Lang (1984), dampak publikasi hasil survei itu ada
beberapa macam, secara umum bisa dikategorikan ke dalam dua dampak :dampak
tidak langsung dan dampak langsung pada pemilih.
Dampak tidak langsung adalah efek yang terjadi pada survei yang tidak
berhubungan secara langsung terhadap pemilih. Kandidat atau partai yang
diunggulkan oleh survei akan mendapatkan manfaat. Hasil dukungan pada survei
pada pra pemilihan dapat memproduksi liputan media, kontribusi dana sumbangan
15
sehingga kampanye kandidat atau partai lebih banyak diliput. Hal ini karena
dengan media bisa populer. Seorang kandidat yang menempati posisi teratas
dalam survei pra pemilihan akan terlihat lebih populer dihadapan para massa
pemilih. Popularitas kandidat ini bisa menarik minat elite partai yang akan
mengusung kandidat tertentu. Kandidat yang tengah memimpin dalam survei pra
pemilihan akan lebih punya kemungkinan didukung oleh elite partai. penyumbang
dana juga lebih suka memberikan sumbangan pada calon yang tengah memimpin
dalam survei pra pemilihan.
Dampak tidak langsung lain dari survei pra pemilihan adalah pada
responden survei. Menurut Lang and Lang, prediksi kandidat atau partai yang
akan memenangkan pemilihan akan berpengaruh pada responden dalam survei-
survei menjelang pemilihan. Dampak ini lebih tampak ketika responden survei itu
membaca dan memperhatikan hasil-hasil survei di media. Mereka yang unggul
dalam pemilihan, lebih mungkin didukung.
Sementara dampak langsung adalah dampak dari publikasi hasil survei
terhadap perilaku pemilih.Pemilih menjadikan hasil survei yang mengunggulkan
kandidat atau partai tertentu sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Ini bisa
berupa tiga bentuk. Pertama, pemilih yang masih mengambang (belum punya
pilihan) menjadikan hasil survei sebagai dasar memilih. Kurangnya informasi
mengenai kandidat yang maju dalam pemilihan atau keragu-raguan calon yang
dipilih, membuat pemilih lebih memperhatikan calon atau kandidat yang
diprediksi menang.
Kedua, pemilih menggunakan hasil survei untuk memantapkan dukungan
pada calon atau partai tertentu. Pemilih sudah punya dukungan pada calon atau
partai. Dukungan ini makin mantap setelah melihat hasil survei juga
memperlihatkan pilihan dirinya atas partai atau calon tertentu tidak berbeda
dengan pilihan orang banyak, yang tercermin pada hasil survei. Ketiga, pemilih
merubah preferensi atau dukungan berdasarkan pada hasil survei. Pemilih disini
sebetulnya sudah punya calon pilihan, tetapi mengubah dukungan setelah melihat
hasil survei. Dampak langsung dari publikasi survei bagi perubahan sikap dan
perilaku pemilih karena adanya efek psikologis (bandwagon dan underdog).
16
Ada beberapa faktor yang terbukti berperan dalam menghasilkan
bandwagon atau underdog effect, yaitu :
Ruang lingkup pemilihan
Orientasi Pemilih
Pengetahuan akan informasi dan isu kandidat
Persepsi trend suara dimasa mendatang
Predisposisi pemilih pada kandidat
Identifikasi pemilih pada partai/kandidat
Dampak Publikasi Hasil Survei Pada Pemilih
Dari bermacam dampak survei pra pemilihan diatas, yang lebih relevan
dibahas adalah dampak secara langsung pada pemilih. Hingga saat ini, dampak
publikasi hasil survei pra pemilih pada pemilih, masih menjadi perdebatan yang
tajam. Ada sejumlah ahli yang menyatakan hasil survei tidak berdampak pada
pemilih, kalaupun punya dampak, dampak itu tidaklah signifikan dalam
mempengaruhi pilihan pemilih. Sementara ada ahli lain yang berpendapat
sebaliknya. Pemberitaan hasil survei dan ketika berita itu diakses oleh calon
pemilih, akan punya dampak yang signifikan pada perilaku pemilih. Pemilih bisa
mengubah dukungan pada kandidat atau partai akibat membaca hasil survei pra
pemilihan di media.
Ahli yang menyatakan dampak publikasi hasil survei pra pemilihan tidak
signifikan, diantaranya adalah Herbert Asher (2004). Ia menyatakan, survei pra
pemilihan kemungkinan memang punya dampak pada pemilih, tetapi dampak itu
relatif kecil dan tidak signifikan. Asher justru menunjuk dampak terbesar dari
publikasi hasil survei itu pada dampak tidak langsung, seperti liputan media yang
lebih besar, liputan kampanye yang lebih massif dan jumlah sumbangan dana
yang besar pada calon yang diprediksi menang.
Sementara ahli yang menyatakan publikasi hasil survei punya dampak
secara langsung pada pemilih lebih banyak. Lillian Diaz-Castillo pernah membuat
17
suatu peta penelitian mengenai dampak publikasi hasil survei pada pemilih yang
pernah dilakukan. Menurut Diaz-Castillo (2005), hingga tahun 2005, terdapat 21
studi mengenai bidang ini yang pernah dipublikasikan terutama penelitian-
penelitian yang dimuat dijurnal dan laporan penelitian internasional. Dari 21
penelitian tersebut, 10 penelitian diantaranya menunjukan bukti cukup kuat
adanya efek publikasi survei pada pemilih.
Ada dua penjelasan yang umumnya dipakai untuk menggambarkan
dampak dari publikasi survei, yaitu : Penjelasan informasional dan psikologis.
Penjelasan Informasional
Kecenderungan orang untuk mencari informasi dalam memandu dirinya
saat membuat pilihan. Publikasi survei memberi informasi mengenai pilihan atau
kandidat mana yang banyak dipilih, sekaligus memandu pilihan mana yang
sebaiknya diambil. Publikasi survei di media mempengaruhi perhatian dan apa
yang dipikirkan oleh pemilih (termasuk misalnya berita kampanye apa yang
dibaca, peristiwa dan kisah hidup mana yang dipilih untuk diperhatikan)
dipengaruhi oleh siapi kandidat yang diprediksi menang oleh hasil survei.
Ini bisa dianalogikan dengan orang yang tengah mencari mobil baru.
Orang bisa bingung memilih mobil mana yang paling baik. Orang bisa
menggunakan data penjualan mobil, dimana mobil yang banyak dipakai
mencerminkan mobil terbaik. Polling seperti informasi mengenai “data penjualan
mobil” yang bisa dipakai sebagai informasi dalam memeriksa opini mayoritas.
Penjelasan Psikologis
Penjelasan ini banyak mengambil teori psikologi yang melihat
kecenderungan orang mengikuti suara mayoritas. Publikasi hasil survei
memberikan gambaran mengenai suara mayoritas. Pemilih cenderung untuk
mengikuti suara mayoritas karena tidak ingin terlihat beda dengan pendapat
mayoritas orang. Teori yang banyak dikutip adalah teori persepsi cermin dari
Fields and Schuman.
18
Seseorang kerap memproyeksikan pendapatnya dengan pendapat orang
lain atau pendapat banyak orang. Orang menganggap pendapatnya atas suatu isu
sama atau sejalan dengan pendapat orang lain atas isu tersebut. Teori ini melihat
orang lain atau orang kebanyakan berfikir sama dengan dirinya sendiri atas suatu
isu.
Kecenderungan tersebut bisa terjadi karena orang secara sederhana
memproyeksikan pendapat tetangga atau lingkungan sosial dengan pendapat
pribadinya. Gejala itu muncul pertama-tama orang membuat asumsi tentang apa
yang orang lain percayai dan kemudian mengadopsi asumsi atau penilaian
tersebut untuk dirinya sendiri.
2.1.3. Elite Politik
Salah satu aspek yang dikaji dalam sistem politik atau kehidupan
bernegara adalah masyarakat. Masyarakat dibagi atas dua kelas yaitu (1) Kelas
Masyarakat Elite dan (2) Kelas Masyarakat Non Elite atau masyarakat pada
umumnya. Dan Kelas Masyarakat Elit dibedakan atas elite yang berkuasa (Elite
Politik/Elite Penguasa) dan elite yang tidak berkuasa.
Menurut Laswell, Elite Politik mencakup semua pemegang kekuasaan
dalam suatu bangunan politik. Elite ini terdiri dari mereka yang berhasil mencapai
kedudukan dominan dalam sistem politik dan kehidupan masyarakat .Mereka
memiliki kekuasaan, kekayaan dan kehormatan.
Menurut para teoritikus politik, elite Politik adalah mereka yang memiliki
jabatan politik dalam sistem politik. Jabatan politik adalah status tertinggi yang
diperoleh setiap warga Negara. Dalam sistem politik apapun, setiap struktur
politik atau struktur kekuasaan selalu ditempati oleh elite yang disebut elite politik
atau elite penguasa.
Elite Politik merupakan kelompok kecil dari warganegara yang berkuasa
dalam sistem politik. Penguasa ini memiliki kewenangan yang luas untuk
mendinamiskan struktur dan fungsi sebuah sistem politik. Secara operasional para
19
elite politik atau elite penguasa mendominasi segi kehidupan dalam sistem politik.
Penentuan kebijakan sangat ditentukan oleh kelompok elit politik.
Sedangkan menurut Karl W. Deutch bahwa pelaku politik utama dalam
suatu sistem politik disebut elite politik. Elite politik terdiri dari dua tingkatan
yaitu: Elite Politik Tinggkat Tinggi dan Elite Politik Tingkat Menengah.
Elite Politik Tingkat Tinggi dalam suatu sistem politik atau Negara
meliputi presiden (perdana menteri) dan para menteri
Elite Politik Tingkat Menengah yaitu para penguasa dibawah menteri dan
para pemimpin daerah yang bertugas untuk mengimplementasikan
program dan kebijakan yang dibuat oleh elite politik tingkat tinggi.
Menurut Karl Marx, politik adalah suatu perjuangan kelas. Stratifikasi
sosial ini akan hilang atau berobah dengan jalan kekerasan. Pemikiran Marx
dipengaruhi oleh kelas proletariat, dimana elite dapat berubah dengan melalui
revolusi.
2.2. Studi Terdahulu
Penelitian mengenai dampak publikasi survei adalah penelitian Eriyanto
(2007) mengenai “Bagaimana Efek Polling (publikasi survei) Pada Pemilih Di
Indonesia” yang dilakukan di Pilkada Kabupaten Garut. Berdasarkan penelitian
yang dilakukannya ditemukan efek Polling, dimana adanya responden yang
beralih suara dari semula mendukung kandidat A berubah menjadi mendukung
kandidat B, setelah diinformasikan hasil polling, atau ada responden yang semula
tidak mempunyai pilihan, tetapi berubah memilih salah satu kandidat setelah
adanya publikasi hasil polling.
Hasil polling dapat menjadi berpengaruh ketika pemilih tidak punya
informasi yang memadai mengenai kandidat yang akan bertarung dalam
pemilihan. Dalam kasus pilkada Kabupaten Garut hanya sedikit sekali responden
yang mengenal kandidat yang akan bertarung dalam pemilihan. Pengenalan yang
rendah ini bisa terjadi dikarenakan kurangnya akses media bagi masyarakat Garut,
sehingga para kandidat yang bertarung dalam pemilihan kurang begitu dikenal
20
masyarakat. Pemilih yang tidak pernah mendengar kandidat ada kecenderungan
terimbas dengan hasil publikasi polling. Efek polling ini adalah responden yang
berpindah pilihan setelah diberikan informasi hasil polling.
Penelitian yang dilakukan Eriyanto (2007) adalah penelitian kualitatif dengan
metode analisis dari beberapa media, mengenai perubahan trend popuaritas dan
elektabilitas masing-masing kandidat di Kabupaten Garut, Sedangkan penelitian
yang penulis lakukan adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode
survei secara wawancara tatap muka, dimana pengambilan sampel menggunakan
metode multistage random sampling dengan margin of error +/- 3.3 persen, dan
pada tingkat kepercayaan (level of confidence) sebesar 95 persen. Adapun tujuan
akhir dari penelitian yang penulis lakukan adalah mencari hubungan antara
publikasi survei terhadap sikap pemilih, dilihat dalam trend popularitas,
akseptabilitas dan elektabilitas tiap-tiap kandidat hingga proses pemilihan
berlangsung.
Penelitian lain yang penting memperlihatkan adanya efek publikasi hasil
survei adalah penelitian yang dilakukan oleh Richard Nadeau, Edouard Cloutier
dan JH Guay. Umummya penelitian-penelitian mengenai efek survei, konteksnya
adalah pemilihan. Richard Nadeau dkk membuat penelitian dengan konteks non
pemilihan, yakni persepsi publik di Kanada terhadap isu aborsi dan masa depan
Quebec. Penelitian itu memperlihatkan adanya publikasi mengenai hasil survei
dan diketahui oleh khalayak, mempengaruhi jawaban antara 5 hingga 7 %.
Responden dalam penelitian Richard Nadeau dkk. Di Amerika tetapi juga Pemilu
di negara lain. Yang menarik, efek itu juga ditemukan dalam penelitian non
pemilihan dengan topik diluar Pemilu. Meski demikian, dari sejumlah studi dan
penelitian mengenai topik ini ada dua isu yang hingga saat ini masih menjadi
perdebatan. Pertama, sejauh mana atau seberapa besar dampak dari publikasi itu.
Banyak penelitian memang memperlihatkan bandwagon effect ataupun underdog
effect ada, tetapi seberapa besar dampaknya?
Penelitian yang dilakukan oleh Richard Nadeau, Edouard Cloutier dan JH
Guay, meneliti tentang perubahan persepsi publik mengenai isu aborsi di Kanada,
yang dimana konteksnya non pemilihan. Sedangkan penelitian yang penulis
21
lakukan dalam konteks pemilihan di Sumatera Utara untuk mengetahui perubahan
sikap dan perilaku masyarakat Sumatera Utara dalam menyikapi publikasi survei
di media massa.
Catatan :
2.3. Teori Yang Digunakan
2.3.1. Bandwagon Effect Theory
Istilah band wagon mengacu pada tradisi perayaan yang muncul sejak
tahun 1855. Dalam perayaan pesta, suatu iring-iringan parade didahului oleh
kereta kuda. Ahli-ahli sosial mengambil istilah bandwagon untuk merujuk pada
situasi ketika seseorang berusaha untuk menyesuaikan diri dengan pendapat
mayoritas orang banyak. Traugott dan Lavrakas memberikan pengertian
bandwagon effect sebagai suatu efek yang terjadi di mana seorang (calon) pemilih
mengubah preferensi pilihannya pada kandidat tertentu akibat eksposure dari
hasil-hasil polling opini publik (http://www.pergerakankebangsaan.org/?p=141).
Bandwagon effect yaitu kecenderungan masyarakat akan melakukan atau
memercayai sesuatu karena mayoritas orang melakukan atau mempercayai hal
tersebut. Teknik ini berusaha menyakinkan khalayak dan mengajak khalayak
untuk melakukan hal yang telah dilakukan oleh orang-orang kebanyakan.
"Everybody is doing it, You should do it too", "We are all doing it". Jadi khalayak
akan berfikir untuk mendukung dan melakukan hal yang sama.
2.3.2. Underdog Effect
Efek underdog adalah fenomena pendapat publik yang menimpa pada
dirinya sendiri: ketika pada pemilih pemilu menganggap pihak tertentu atau
kandidat untuk menjadi pemenang kemungkinan, mereka cenderung untuk
mendukung pesaing yang diperkirakan akan kehilangan dukungan "underdog"
dalam persaingan. Hal ini menyiratkan bahwa keberhasilan nyata dapat merusak
dirinya sendiri. Asal usul istilah ini tidak jelas, meskipun kadang-kadang
mengklaim bahwa itu pertama kali digunakan pada pemilihan presiden AS 1948.
Simon (1954) adalah yang pertama untuk menggunakannya dalam analisis ilmiah.
22
Efek underdog adalah salah satu manifestasi hipotesis beberapa "pengaruh
impersonal", efek pada 'sikap, keyakinan, atau perilaku yang berasal dari orang-
orang ini' individu tayangan tentang sikap, keyakinan, atau perilaku kolektif dari
orang lain anonim di luar bidang mereka kontak pribadi (Mutz 1998; Persepsi
Sosial: Dampak Impersonal). Contoh lain adalah "bandwagon efek," melengkapi
efek underdog dengan asumsi dampak positif dari pendapat mayoritas dirasakan,
dan gagasan "strategis" atau "taktis" suara, yang mengharapkan pemilih untuk
menahan diri dari memilih calon atau partai pertama preferensi jika mereka
menganggap hal itu terjadi hanya lemah didukung oleh orang lain, agar tidak
menyia-nyiakan suara mereka (Reality Perceived sebagai Proses Komunikasi).
Dalam literatur, efek underdog biasanya diperlakukan sebagai pendamping efek
bandwagon dalam suatu publikasi.
2.3.3. Teori Komunikasi Politik (teori jarum suntik)
Teori jarum suntik berpendapat bahwa khalayak sama sekali tidak
memiliki kekuatan untuk menolak informasi setelah ditembakkan melalui media
komunikasi. Khalayak terlena seperti kemasukan obat bius melalui jarum suntik
sehingga tidak bisa memiliki alternative untuk menentukan pilihan lain, kecuali
apa yang disiarkan oleh media. Teori ini juga dikenal dengan sebutan teori peluru
(bullet theory).
Berdasarkan teori tersebut, komunikator politik (politisi, professional, dan
aktivis) selalu memandang bahwa pesan politik apa pun yang disampaikan kepada
khalayak, apalagi kalau melalui media massa, pasti menimbulkan efek yang
positif berupa citra yang baik, penerimaan atau dukungan. Ternyata asumsi
tersebut tidak benar seluruhnya, karena efek sangat tergantung pada situasi dan
kondisi khalayak, di samping daya tarik isi, dan kredibilitas komunikator. Bahkan
berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa media massa memiliki pengaruh
lebih dominan dalam tngkat kognitif (pengetahuan) saja, tetapi kurang mampu
menembus pengaruh pada sikap dan perilaku. Ditemukan bahwa sesungguhnya
khalayak itu tidak pasif dalam menerima pesan.
23
Dengan demikian, asumsi bahwa khalayak tak berdaya dan media perkasa,
tidak terbukti secara empirik. Meskipun demikian, teori jarum hipodermik atau
teori peluru tidak runtuh sama sekali karena tetap diaplikasikan atau digunakan
untuk menciptakan efeksivitas dalam komunikasi politik. Hal ini tergantung
kepada sistem politik, sistem organisasi dan situasi, terutama yang dapat
diterapkan dalam system politik yang otoriter, dengan bentuk kegiatan seperti
indoktrinasi, perintah, instruksi, penugasan, dan pengarahan. Itulah sebabnya teori
ini tetap relevan dan mampu menciptakan komunikasi yang efektif. Teori ini juga
lebih memusatkan perhatian kepada efek afektif dan behavioral
2.3.3. Teori Sikap
Sikap (attitude) didefinisikan oleh Robbins (2007) sebagai pernyataan
evaluatif, baik yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan terhadap objek,
individu, atau peristiwa. Hal ini mencerminkan bagaimana perasaan seseorang
tentang sesuatu.
Sementara Kreitner dan Kinicki (2005) mendefinisikan sikap sebagai
kecenderungan merespon sesuatu secara konsisten untuk mendukung atau tidak
mendukung dengan memperhatikan objek tertentu.
Setyobroto (2004) dalam buku psikologi dasar mengutip beberapa definisi
sikap dari berbagai ahli, yang antara lain dinyatakan oleh
Harvey dan Smith menegaskan bahwa sikap adalah cara bertindak tersebut
cenderung positif dan negatif. Sikap tidak tampak dari dan tidak dapat
diamati, yang tampak adalah perilaku atau tindakan.
Thursone menyatakan sikap dapat diukur dari pendapat-pendapat
seseorang.
Raymont B. Cattell menyatakan bahwa sikap bukanlah suatu tindakan,
atau aksi, tetapi merupakan cara bertindak. Sesuai pendapat tersebut,
Newcomb mengatakan bahwa sikap bukan sebagai pelaksana motif
tertentu, tetapi merupakan kesediaan untuk bangkitnya motif tertentu.
24
Lebih lanjut, Newcomb menyatakan bahwa dari sudut pandang motivasi
sikap merupakan suatu keadaan kesediaan untuk bangkitnya motif.
Selanjutnya, Setyobroto (2004) merangkum batasan sikap dari berbagai ahli
psikologi sosial diantaranya pendapat G.W. Alport, Guilford, Adiseshiah dan John
Farry, serta Kerlinger yaitu :
Sikap bukan pembawaan sejak lahir Dapat berubah melalui pengalaman Merupakan organisasi keyakinan-keyakinan Merupakan kesiapan untuk bereaksi Relatif bersifat tetap Hanya cocok untuk situasi tertentu Selalu berhubungan dengan subjek dan objek tertentu Merupakan penilaian dari penafsiran terhadap sesuatu Bervariasi dalam kualitas dan intensitas Meliputi sejumlah kecil atau banyak item Mengandung komponen kognitif, afektif dan konatif
Sesuai dengan pendapat serta sifat-sifat yang dikemukakan oleh para ahli
dapat disimpulkan pengertian sikap sebagai organisasi keyakinan-keyakinan yang
mengandung aspek kognitif, konatif dan afektif yang merupakan kesiapan mental
psikologis untuk mereaksi dan bertindak secara positif atau negatif terhadap objek
tertentu. Dari definisi di atas dapat juga disimpulkan bahwa sikap bukanlah
pembawaan sejak lahir, sikap dapat berubah melalui pengalaman, merupakan
organisasi keyakinan, merupakan kesiapan untuk memberikan reaksi, relatif tetap,
hanya cocok untuk situasi tertentu, serta merupakan penilaian dan penafsiran
terhadap sesuatu.
Sikap mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga
komponen itu adalah komponen kognitif, afektif dan konatif dengan uraian
sebagai berikut (Robbins, 2007) :
1. Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang
berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, atau persepsi
pendapat, kepercayaan. Komponen ini mengacu kepada proses berpikir,
dengan penekanan pada rasionalitas dan logika. Elemen penting dari
kognisi adalah kepercayaan yang bersifat penilaian yang dilakukan
25
seseorang. Kepercayaan evaluatif yang dimanifestasikan sebagai kesan
yang baik atau tidak baik yang dilakukan seseorang terhadap objek atau
orang.
2. Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang
berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap obyek sikap.
Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang
adalah hal negatif.
3. Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu
komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak atau
berperilaku terhadap obyek sikap. Misalnya ramah, hangat, agresif, tidak
ramah atau apatis. Beberapa tindakan dapat diukur atau dinilai untuk
memeriksa komponen perilaku sikap.
Catatan :
2.3. Hipotesis Kerja
H1: Publikasi Survei Berpengaruh Positif Terhadap Sikap Pemilih
H2: Publikasi Survei Berpengaruh Positif Terhadap Underdog Effect
H3: Publikasi Survei Berpengaruh Positif Terhadap Bandwagon Effect
2.4. Model Hubungan Antar Variabel
Gambar 1. Model Hubungan Antar Variabel
26
Lembaga Survei
Efek (Bandwagon dan Underdog)
Sikap Pemilih
Media Massa
Pada Gambar 1. Lembaga Survei (X) melakukan publikasi survei melalui
media massa, yang memberikan suatu pesan yang memiliki makna dalam
masyarakat khususnya para pemilih sehingga menimbulkan awareness terhadap
publikasi survei tersebut. Hasil publikasi tersebut juga menimbulkan efek
bandwagon dan underdog (Y1) yang terjadi dikalangan masyarakat atau calon
pemilih. Selanjutnya para calon pemilih memperoleh interest terhadap publikasi
survey yang begitu massif dilakukan di media cetak, yang pada akhirnya para
calon memilih melakukan action terhadap hasil publikasi tersebut di pilgub
Sumatera Utara nanti. Apakah publikasi survei di media massa yang begitu massif
dapat mempengaruhi sikap calon pemilih (Y2).
III. METODOLOGI
3.1 Rancangan penelitian dan desain penelitian
Penenelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang bertujuan untuk
mengetahui hubungan publikasi survei di media massa terhadap sikap calon
pemilih dalam pilgub Sumatera Utara.
Menurut Campbell & Stanley dalam Arikunto, “penelitian jenis eksperimen
ada 2 yaitu pre eksperimental design dan Rancangan True Dalam penelitian ini,
peneliti mengunakan Rancangan True Eksperimen karena dalam penelitian ini
untuk memperoleh data dari suatu perlakuan (treatmen) mengunakan sampel dari
populasi penelitian dilakukan. Peneliti memberikan perlakuan eksperimen untuk
kemudian mengobservasi efek atau pengaruh yang terjadi akibat perlakuan
tersebut. Dalam penelitian ini perlakuan yang dilakukan dengan publikasi survei
di media massa yang meneliti adanya hubungan publikasi survei di media massa,
sehingga menimbulkan suatu efek psikologis (bandwagon dan underdog) dalam
sikap calon pemilih dengan menggunakan sampel dalam suatu populasi.
3.2 Penentuan Subjek Penelitian
Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian” (Arikunto, 1996:115).
“Populasi merupakan keseluruhan individu atau objek yang diteliti yang memiliki
beberapa karakteristik yang sama. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka
27
dapat diartikan bahwa populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang
memiliki karakteristik yang sama. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah seluruh calon pemilih dalam Pilgub Sumut 2013 atau seluruh penduduk
Sumut yang minimal telah berusia 17 tahun dan/atau belum 17 tahun tetapi sudah
menikah.
Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 1996:
117), sampel yaitu sebagian dari populasi. Jadi sample penelitian adalah objek
yang dilibatkan langsung dalam penelitian sesungguhnya yang dapat menjadi
wakil populasi. Adapun pengambilan sample dengan cara teknik pencuplikan
secara rambang berjenjang (multistage random sampling). Adapun sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 880 sampel. Yang memiliki Margin of error
+/- 3.3 persen, dan pada tingkat kepercayaan (level of confidence) sebesar 95
persen.
3.3 Variabel Penelitian
“Variabel adalah objek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian suatu
penelitian” (Arikunto, 1996:99). Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa variabel merupakan objek yang bervariasi dan dapt dijadikan sebagai titik
perhatian suatu penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah pengaruh
publikasi survei di media massa sebagai variabel bebas dan sikap calon pemilih
sebagai variable terikat. Karena dalam penelitian ini variabelnya ganda maka
variabel yang satu mempunyai hubungan atau pengaruh dengan variabel yang
lain. Variabel X (variabel bebas) mempengaruhi variable Y (variable terikat).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah wawancara dengan
pedoman kuesioner dan dokumentasi.
28
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Maksud
digunakannya wawancara anatara lain adalah (a) mengkonstruksi
mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi, perasaan, motivasi,
tuntutan, kepedulian dan lain-lain, (b) mengkonstruksikan fenomena-
fenomena yang terjadi di masa lalu dan saat ini. Dalam penelitian ini
teknik wawancara yang peneliti gunakan adalah wawancara dengan
pedoman kuesioner artinya peneliti mengajukan beberapa pertanyaan
dalam panduan kuesioner yang berhubungan dengan fokus permasalahan.
Sehingga data-data yang dibutuhkan dalam penelitian dapat terkumpul
secara maksimal sedangkan subjek peneliti dengan teknik Purposive
Sampling yaitu pengambilan sampel bertujuan, sehingga memenuhi
kepentingan peneliti. Sedangkan jumlah informan yang diambil adalah
seluruh penduduk Sumut yang minimal telah berusia 17 tahun dan/atau
belum 17 tahun tetapi sudah menikah.
Teknik Dokumentasi, Biasanya disebut data sekunder karena
pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara / teknik dokumentasi
atau kepustakaan (library research). Yaitu teknik yang didalam
memperoleh data-data berasal dari literature-literature yang relevan
seperti: buku, jurnal ilmiah, surat kabar dan lain sebagainya yang penulis
kumpulkan dari perpustakaan serta internet sebagai sumber pendukung.
3.5 Analisis Data
Setelah semua data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah
pengolahan dan analisa data. Yang di maksud dengan analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara
dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,
memilih mana yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan
sehingga mudah dipahami oleh dirinya sendiri atau orang lain.
29
Untuk menguji adanya pengaruh publikasi survei di media massa dengan
sikap calon pemilih menggunakan Analisis regresi linier menggunakan aplikasi
SPSS 21, agar kesimpulan yang diambil peneliti tidak menyimpang.
3.6 Pengecekan Keabsahan Temuan
Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaruhi dari konsep
kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas). Derajat kepercayaan keabsahan
data (kredebilitas) dapat diadakan pengecekkan dengan teknik pengamatan yang
tekun, dan triangulasi data dengan menggunakan aplikasi SPSS 21.
Ketekunan pengamatan yang dimaksud adalah menemukan ciri-ciri dan
unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang
sedang dicari.
Untuk memperoleh keabsahan data maka dalam analisa ini akan
menggunakan teknik trianggulasi data yang berarti mengadakan cross dan chek
antara sumber data satu dengan yang lain dan antara nara sumber yang satu
dengan yang lain sehingga dapat ditarik kesimpulan analisa yang signifikan atas
permasalahan yang diteliti. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama
penelitian berlangsung. Verifikasi ini merupakan tinjuan ulang pada catatan-
catatan lapangan untuk menguji kebenaran data, kekokohan, kecocokannya, yakni
yang merupakan validitasnya.
30
Diagram 1. Rancangan Penelitian
3.7. Jadwal Penelitian
No KegiatanBulan
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep1 Pra Observasi2 Acc judul3 Penyusunan
proposal 4 Seminar
proposal 5 Revisi proposal 6 Penyerahan
hasil seminar7 Operasional
penelitian 8 Bimbingan 9 Penulisan
laporan akhir 10 Sidang
31
DAFTAR PUSTAKA
Ansolabhere, Stephen and Shanto Iyenger, "Of Horseshoes and Horse Race:
Experimental Studies of the Impact of Poll Result on Electoral
Behaviour", Political Communication", Vol.XI, 1984
Arikunto, S., 1996, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
Rineka Cipta
Asher, Herbert, Polling and the Public: What Every Citizen Should Know, Sixt
Edition, Washington, CQPress, 2004
Diaz-Castillo, Lillian, Bandwagon and Underdog Effect on A Low Information,
Low Involvement Election, Disertasi Doktoral Pada Departemen Ilmu
Politik, Ohio State University, 2005.
Koran Jakarta, Koran Harian, Edisi 126/2008, Jakarta
Lang, Kurt and Gladys Lang, "The Impact of Polls on Public Opinion", ANNALS
American Academy of Political and Social Science, No. 472, 1984.
Navazio, Robert, "An Experimental Approach to Bandwagon Effect", Public
Opinion Quarterly, No. 41, 1977.
Pelita, Harian Umum, Edisi 10.786/2009. Jakarta
Schmitt-Beck, Rudger, "Mass Media, The Electorate, and the Bandwagon: A
Study of Communication Effects on Vote Choice in Germany",
International Journal of Public Opinion Research, No. 8, 1996.
Traugott, MW and Paul J. Lavrakas, The Voter's Guide to Election Polls,
Chatham, Chatam House Publisher, 1996, hal 207.
Catatan
32