surimi benedictus ryza 12.70.0053 e4 unika soegijapranata

28
SURIMI LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT Disusun oleh: Nama: Benedictus Ryza Tjahja Putra NIM: 12.70.0053 Kelompok E4 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Upload: reed-jones

Post on 22-Nov-2015

53 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

SURIMI

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:

Nama: Benedictus Ryza Tjahja PutraNIM: 12.70.0053Kelompok E4

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA

SEMARANG

20141. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan Surimi dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Surimi

KelompokPerlakuanWHC(mg H2O)Sensoris

KekenyalanAroma

E1Sukrosa 2,5%

Garam 2,5%

Polifosfat 0,1%255928,27+++

E2Sukrosa 2,5%

Garam 2,5%

Polifosfat 0,1%252763,71++++

E3Sukrosa 2,5%

Garam 2,5%

Polifosfat 0,1%212191,56++++

E4Sukrosa 2,5%

Garam 2,5%

Polifosfat 0,1%298670,89+++++

E5Sukrosa 2,5%

Garam 2,5%

Polifosfat 0,1%262890,30+++++

E6Sukrosa 2,5%

Garam 2,5%

Polifosfat 0,1%216125,21++++++

Keterangan:

Kekenyalan: +

= Tidak Kenyal

Aroma: += Tidak Amis

++= Kenyal

++= Amis

+++= Sangat Kenyal

+++= Sangat Amis

Berdasarkan pada tabel hasil pengamatan diatas dapat diketahui bahwa nilai WHC pada perlakuan penambahan sukrosa 2,5%; garam 2,5%; dan polifosfat 0,1% terbesar ada pada kelompok E4 yaitu 298670,89 mgH2O, sedangkan untuk nilai WHC terkecil ada pada kelompok E3 yaitu 212191,56 mgH2O. Produk dari surimi ini pada umumnya memiliki karakteristik kenyal, dibuktikan dari setiap kelompok menghasilkan nilai kekenyalan ++ dan +++. Karakteristik selanjutnya yaitu aroma, untuk kelompok E1 dan E2 tidak amis, kelompok E3 dan E4 amis dan kelompok E5 dan E6 sangat amis. Aroma amis tersebut muncul karena produk yang digunakan yaitu ikan, pada kloter E ini menggunakan sampel ikan bawal.

2. PEMBAHASAN

Praktikum kali ini membahas tentang Surimi, yaitu protein myofibril yang terdapat pada daging ikan yang sudah mengalami pencucian, penambahan cryoprtotectans, dan disimpan pada kondisi suhu rendah (beku) dan selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan dasar produk olahan makanan (Park, 2005). Surimi adalah daging lumat atau daging halus yang sudah dibersihkan, dicuci berulang kali sehingga darah, pigmen, bau, dan lemak hilang. Peranginangin et al (1999) berpendapat bahwa surimi merupakan hancuran daging ikan yang mengalami proses pembersihan dengan menggunakan larutan garam yang dingin, penambahan bahan tambahan, pengepresan, pengemasan, dan pembekuan. Ada yang mengatakan pula surimi tersebut adalah produk setengah jadi karena digunakan sebagai bahan dasar dari produk seafood yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi sebagai contoh scallops, shrimp, dan crab meat (Park, 2005). Jika ingin mendapatkan produk surimi dengan mutu tinggi, harus memperhatikan bahan baku yang segar dan memiliki kandunga protein pada ikan yang tidak mengalami proses denaturasi (Lanier et al, 1992).

Jurnal yang berjudul Effect of Washing Cycle and Salt Addition on the Properties of Gel from Silver Catfish (Pangasius Sp.) Surimi membahas surimi merupakan daging cincang yang diolah dengan cara dicuci untuk menghilangkan sebagian besar lemak, darah, enzim dan protein sarkoplasma sehingga stabil saat melalui proses penyimpanan beku dengan penambahan krioprotektan. Proses pencucian ini merupakan salah satu metode atau langkah yang paling penting dalam proses pembuatan surimi ini, karena dengan melakukan pencucian akan meningkatkan kekuatan gel surimi salah satunya.

Dilihat dari segi organoleptik, bahan baku yang akan dipakai untuk pembuatan surimi harus memiliki karakteristik kesegaran sebagai berikut :

Bau

: segar

Rupa dan warna: warna daging spesifik dengan jenis ikan dan memiliki rupa bersih

Rasa

: mempunyai rasa netral dan agak manis

Daging

: elastis dan daging terlihat kompak

(Peranginangin et al., 1999).

Selain itu berdasarkan data dari (SNI 01-3229 1992), ada beberapa macam persyaratan yang harus dipenuhi dalam pemilihan bahan baku yang akan digunakan dalam proses pembuatan surimi, antara lain :

Bebas bau yang menandakan pembusukan

Bahan baku terlihat bersih

Tidak menimbulkan bahaya yang mengancam kesehatan

Bebsa dari dekomposisi dan pemalsuan produk

Bebas dari sifat alamiah lainnya yang mampu menurunkan nilai mutu

Maka dari itu, pada praktikum kali ini menggunakan ikan bawal yang masih segar dengan disimpan dalam refrigerator untuk menjaga kualitas yang baik. Suhu refrigerator berkisar 0-2oC dan 5-7oC atau menggunakan suhu rendah yang dapat mempertahankan mutu ikan karena dengan pemakaian suhu rendah akan menghambat pertumbuhan mikroba merugikan. Ikan akan melewati proses thawing sebagai pretreatment dan dilakukan dengan cepat, jika tidak akan menyebabkan mutu bahan baku tersebut akan menurun (Potter, 1978).

Ikan bawal air tawar (Colossoma macropomum) adalah salah satu contoh spesies ikan yang memiliki potensial untuk dibudidayakan baik di kolam maupun di keramba. Ikan bawal ini sebenarnya belum lama diperkenalkan di industri perikanan tanah air, akan tetapi karena hasil penyebarannya mendapatkan respon baik dari para petani ikan, jumlah konsumsi ikan bawal semakin meningkat. Ikan bawal mempunyai rasa daging yang gurih dan enak, meskipun cukup banyak terdapat duri pada dagingnya. Sebagai ikan yang dapat dikonsumsi, ikan bawal ini sekarang menjadi alternatif baru (Abaas, 2001). Ikan bawal air tawar dijadikan sebagai alternative pilihan karena memiliki harga yang cukup murah dan terjangkau oleh masyarakat pada umumnya, mudah dalam pembudidayaan dan memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi (Arie, 2000).

Berdasarkan jurnal yang berjudul Effect of Medium Temperature Setting on Gelling Characteristics of Surimi from Some Tropical Fish membahasa mengenai penanganan pengolahan surimi. Secara umum, pengolahan pendahuluan bisa dilakukan pada suhu rendah, medium, dan tinggi yaitu sekitar 0-40C untuk suhu rendah, 250C untuk suhu medium, dan 400C untuk suhu tinggi. Perbedaan suhu tersebut dapat mempengaruhi karakteristik gel yang dihasilkan, tentu saja berdasarkan spesies ikan yang dipakai sebagai bahan baku. Penggunaan suhu rendah lebih membutuhkan banyak waktu, sehingga pada industry pengolahan surimi dengan skala produksi besar umumnya menggunakan suhu tinggi agar cepat dan efisien, tetapi pada praktikum kali ini menggunakan suhu medium.

Pada praktikum mengenai surimi kali ini menggunakan beberapa metode yang dilakukan. Pertama, ikan yang dijadikan sebagai bahan baku dicuci bersih dengan air mengalir dan ditimbang beratnya. Ikan disiangi dengan cara membuang bagian sirip, kepala, sisik, ekor, isi perut dan kulitnya. Daging putih ikan diambil dan ditimbang sebanyak 100 gram yang kemudian digiling hingga halus, selama penggilingan bisa ditambahakan es batu untuk menjaga suhu agar tetap rendah. Proses penyiangan tersebut dilakukan dengan tujuan agar mencegah laju pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroba alami yang terdapat dalam ikan (Vatria, 2010). Setelah itu, daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali, jika ikan tinggi lemak bisa dilakukan pencucian dengan menggunakan larutan NaHCO 3% dan dicuci kembali dengan air es, kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Langkah selanjutnya yaitu ditambahkan sukrosa sebanyak 2,5% (untuk kelompok 1,2,3); 5% (untuk kelompok 4,5,6). Selanjutnya ditambahkan garam sebanyak 2,5% untuk semua kelompok serta ditambahkan pula polifosfat sebanyak 0,1% (untuk kelompok 1,2); 0,3% (untuk kelompok 3,4); dan 0,5% (untuk kelompok 5,6). Setelah diberi bahan tersebut, daging ikan dimasukkan ke dalam wadah dan dibekukan dalam freezer selama 1 malam. Terakhir, dilakukan proses thawing dan diukur WHC serta kualitas sensorisnya meliputi kekenyalan dan aroma.

Menurut jurnal dengan judul Quality Characteristics of Surimi made from Sabalo (prochilodus platensis) as Affected by Water Washing Composition proses pengolahan dan penentuan metode pengolahan surimi harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang baik. Gel surimi dihasilkan dari komposisi yang berbeda tergantung dari solusi saat mencuci. Pengaruh larutan NaHCO3 dan H3PO4 dievaluasi melalui ekstraksi protein selama proses pencucian dan sifat gel pada produk akhir.

Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Winarno et al. (1980), bahan tambahan yang diberikan pada daging lumat pada proses pembuatan surimi memiliki tujuan untuk meningkatkan konsistensi dari nilai gizi, mengendalikan keasaman, kebasaan, meningkatkan cita rasa, dan tekstur dari surimi. Bahan tambahan tersebut antara lain :

Polifosfat

Polifosfat ini berguna untuk memisahkan aktomiosin yang terikat dengan myosin. Myosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan mampu menahan mineral dan vitamin. Berdasarkan teori dari Haryati (2001), saat proses pemasakan, myosin tersebut akan membentuk gel dan polifosfat akan membantu untuk menahan air dengan cara menutup bagian pori-pori mikroskopis dan kapiler. Penambahan polifosfat ini memiliki tujuan untuk menambah nilai kelembutan dan mampu memperbaiki sifat dari surimi dari segi kelembutan dan elastisitas.

Garam

Penambahan garam ini bertujuan untuk melepas myosin dari serat ikan yang kemudian akan membentuk gel yang kuat. Garam dengan takaran atau porsi yang tepat ditambahkan ke daging lumat ini berguna sebagai penyedap rasa, penambahn aroma dan bumbu (Winarno et al., 1980).

Bahan cryoprotectansCryoprotectant adalah bahan tambahan pada proses pembuatan surimi yang tidak dapat langsung diolah, namun disimpan dahulu pada suhu rendah atau beku dengan waktu yang cukup lama. Menurut Zhou et al., (2006) cryoprotectant mampu menginaktifkan kondensasi dengan cara mengikat molekul air melewati ikatan hydrogen. Cryoprotectant ternyata juga mampu meningkatkan kemampuan air yang berperan sebagai energy pengikat, menstabilkan protein, dan mencegah terjadinya pertukaran molekul air dari protein. Cryoprotectant yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu sukrosa, karena sukrosa merupakan salah satu jenis Cryoprotectant yang dapat menghambat proses denaturasi protein pada produk surimi (Wong, 1989).

Berdasarkan jurnal dengan judul Development and Physicochemical Analysis of Fish Ball from Starry Triggerfish (Abalistes Stellatus) Surimi, menggunakan metode pendahuluan dengan diberi tambahan 4% sukrosa dan 0.2% sodium tripolyphosphate sebagai cryoprotecants. Kemudian dilakukan juga pencucian sebanyak tiga kali, pertama dan kedua dengan menggunakan garam 0,2%, dan ketiga dengan 0,3% garam dengan rasio ikan dan air yang digunakan.2.1. Kekenyalan

Pembahasan pertama yang akan diulas yaitu kekenyalan produk surimi. Tingkat kekenyalan ini dipengaruhi oleh faktor kesegaran ikan yang digunakan sebagai bahan baku. Hal tersebut berhubungan langsung dalam kemampuan surimi untuk membentuk gel. Kesegaran ikan ini dapat dilihat dari waktu dan suhu penyimpanan ikan. Menurut pendapat dari Phatcharat et al (2012) semakin lama ikan disimpan pada suhu rendah atau beku, maka kemampuan ikan untuk membentuk gel akan semakin menurun. Oleh karena itu, pada praktikum kali ini semua kelompok menghasilkan produk surimi yang kenyal karena ikan bawal yang dipakai masih dalam keadaan segar. Gel dari surimi dibuat dengan cara penambahan protein, proses pencucian, dan penggunaan mikroorganisme transglutaminasi.

Teori selanjutnya dikatakan oleh Hossain et al (2004), tingkat kekenyalan surimi ini dapat dipengaruhi oleh konsentrasi garam yang ditambahkan. Konsentrasi garam ideal atau optimal untuk membentuk gel yang diinginkan yaitu sekitar 1,7% hingga 3,5%. Percobaan pembuatan surimi pada praktikum kali ini untuk semua kelompok menggunakan konsentrasi garam yang sama yaitu 2,5%. Kekenyalan gel maksimum ada pada kelompok E2, E4, dan E6, sedangkan untuk E1, E3, dan E5 sudah membentuk kekenyalan gel namun tidak sangat kenyal. Hal tersebut dapat terjadi karena masih ada beberapa faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap kekenyalan gel.

Hultin (1985) mengatakan bahwa faktor utama yang perlu diperhatikan dalam pembuatan surimi antara lain suhu air yang dipakai dan penggilingan daging ikan karena jumlah protein yang larut air sebagai contoh sarkoplasma yang hilang selama proses pencucian tergantung pada suhu air tersebut. Jumlah protein larut air yang hilang tersebut akan memberikan pengaruh pada kekuatan gel. Hal tersebut dapat terjadi karena protein larut air akan mengikat protein myofibril sehingga dapat menghambat pembentukan gel. Dengan begitu, jika semakin banyak protein larut air yang hilang, maka akan mendapatkan protein myofibril optimal yang akan semakin memperkuat gel yang dihasilkan pula. Pada proses pencucian surimi dilakukan pada suhu ruang, sehingga banyak protein larut air yang hilang dan mengakibatkan kekuatan gel akan menurun sehingga mempengaruhi kekenyalan surimi. Sebaiknya pencucian dilakukan menggunakan air dengan suhu 5oC-10oC jika ingin mendapatkan hasil yang maksimal atau tingkat kekenyalan yang tinggi.

Selain itu, penambahan polifosfat ternyata memberikan pengaruh juga terhadap kekenyalan surimi. Hal tersebut dapat terjadi karena polifosfat berperan sebagai penahan air dengan cara menutup bagian pori-pori mikroskopis dan kapiler sehingga jika semakin banyak polifosfat yang ditambahkan, maka kekenyalam surimi akan meningkat pula atau semakin banyak jumlah air yang ditahan (Peranginangin et al. 1999). Pada tabel hasil pengamatan diatas dapat dilihat pada konsentrasi polifosfat 0,5% (kelompok E5 dan E6) menghasilkan tingkat kekenyalan berturur turur kenyal dan sangat kenyal. Seharusnya pada konsentrasi tersebut mampu menghasilkan tingkat kekenyalan yang maksimal atau sangat kenyal, namun pada kelompok E5 justru hanya kenyal saja. Mungkin pada saat melakukan pencucian menggunakan air dengan suhu lebih dari yang ditentukan, dilakukan pada suhu lebih tinggi (suhu ruang).

Kekenyalan surimi ini ternyata juga dapat dipengaruhi oleh nilai WHCnya. Jika kekuatan serap air semakin besar atau baik, maka akan membentuk tekstur gel yang semakin baik pula (semakin kenyal) (Djazuli, N et al, 2009). Dapat dilihat pada tabel hasil pengamatan diatas, kelompok E3 memiliki nilai WHC paling rendah, begitu juga dengan tingkat kekenyalan yang dihasilkan hanya kenyal. Berbeda dengan kelompok E4 yang memiliki nilai WHC paling tinggi, menghasilkan gel dengan kekenyalan yang tinggi. Namun pada kelompok E6 dengan nilai WHC yang rendah justru menghasilkan gel yang sangat kenyal. Hal tersebut kurang sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Djazuli, N et al (2009) bahwa nilai WHC berhubungan dengan kekenyalan. Seharusnya semakin banyak jumlah air yang terperangkap, kekuatan gel yang dihasilkan juga semakin meningkat atau optimal dan diperoleh tingkat kekenyalan yang maksimal pula. Hal tersebut dapat terjadi mungkin praktikan kurang teliti dalam menjalankan metode yang tersedia, atau bisa jadi tidak dalam kondisi yang sempurna.

2.2. Aroma

Masuk ke pembahasan selanjutnya yaitu aroma. Aspek sensoris ini adalah faktor yang penting bagi produk surimi. Salah satu cara untuk menjaga nilai baik aroma ini yaitu dengan melakukan pencucian. Proses pencucian ini dilakukan agar bau amis yang terdapat pada ikan bisa hilang, dan meningkatkan konsentrasi dari protein myofibril (Reinheimer et al, 2010). Dilihat dari tabel hasil pengamatan diatas, pada kelompok E1 dan E2 menghasilkan aroma tidak amis, kelompok E3 dan E4 menghasilkan aroma amis, dan untuk kelompok E5 dan E6 menghasilkan produk surimi yang sangat amis. Terjadi perbedaan tingkat aroma (keamisan) dari masing masing produk surimi untuk setiap kelompok yang mungkin disebabkan karena terjadi perbedaan pula pada saat proses pencuciannya. Produk surimi yang masih menghasilkan aroma amis dan sangat amis berarti belum dilakukan secara baik dan optimal pada proses pencucian karena surimi masih belum bersih atau masih ada kotoran-kotoran dan senyawa yang mampu menimbulkan bau amis.

2.3. WHC

Pembahasan yang terakhir yaitu mengenai nilai WHC (Water Holding Capacity). Pengujian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui kemampuan bahan untuk mengikat molekul air. Berdasarkan teori dari Djazuli, N et al, (2009), interaksi antara protein dengan air (daya ikat air) ternyata memiliki peran yang cukup penting dalam pembentukan gel. Surimi ini rentan terhadap proses denaturasi saat masa penyimpanan. Denaturasi tersebut dapat terjadi karena adanya peningkatan konsentrasi garam mineral dan substansi organic yang terlarut pada saat sebelum melewati pembekuan di dalam sel. Konsentrasi garam mineral ini akan meningkat tinggi ketika sel membeku, sehingga dapat menyebabkan terjadi proses pemisahan dan denaturasi protein.

Laura et al. (2005) mengatakan bahwa proses denaturasi protein dapat dihambat oleh adanya sukrosa. Larutan gula atau sukrosa ini mempunyai kelompok polihidroksi yang mampu bereaksi dengan molekul air oleh ikatan hydrogen. Denaturasi protein mampu menyebabkan lapisan molekul dari protein bagian dalamnya yang memiliki sifat hidrofobik terbalik keluar dan akan bergabung dengan fase cair sehingga diperoleh hasil yaitu energy bebas positif yang mempu meningkatkan permukaan protein kurang stabil (Wong, 1989).

Berdasarkan tabel hasil pengamatan diatas mengenai nilai WHC, kelompok E4 menghasilkan nilai WHC paling tinggi yaitu 298670,89 mgH2O dengan perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3%. Sedangkan kelompok E3 menghasilkan nilai WHC paling rendah yaitu 212191,56 mgH2O dengan perlakuan penambahan sukrosa 5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3%. Hal tersebut kurang sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Peranginangin et al. (1999) bahwa semakin besar konsentrasi polifosfat yang ditambahkan maka akan semakin besar pula nilai WHC yang dihasilkan. Seharusnya nilai WHC terbesar ada pada kelompok E5 atau E6 yang menggunakan konsentras polifosfat yang tinggi yaitu 0,5%. Namun tidak hanya polifosfat saja yang mempengaruhi hasil WHC, penambahan garam pun juga dapat mempengaruhi pembentukan gel.

Menurut jurnal yang berjudul Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste limbah dari proses surimi seperti duri ikan, kepala, kulit, dan sisik ikan dalam skala pabrik pengolahan surimi dapat dijadikan sebagai sumber alternative untuk memproduksi kecap ikan. Sekitar kurang lebih 40% dari limbah hasil pengolahan surimi tersebut bisa juga digunakan sebagai pakan ternak, sehingga tidak terbuang sia-sia.

3. KESIMPULAN

Surimi adalah daging lumat atau daging halus yang sudah dibersihkan, dicuci berulang kali sehingga darah, pigmen, bau, dan lemak hilang. Surimi yaitu protein myofibril yang terdapat pada daging ikan yang sudah mengalami pencucian, penambahan cryoprtotectans, dan disimpan pada kondisi suhu rendah (beku) dan selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan dasar produk olahan makanan. Ikan bawal adalah salah satu spesies ikan yang cocok untuk dipakai sebagai bahan baku pembuatan surimi. Proses pengolahan surimi melalui beberapa tahap, antara lain pencucian, penyiangan, penambahan sukrosa, garam dan polifosfat, dan pembekuan. Metode pencucian dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan bau amis, komponen larut air, bahan yang tidak diinginkan, dan meningkatkan konsentrasi protein myofibril. Metode pemisahan daging dengan bagian lain seperti kepala, duri, tulang, kulit, dan sisik dilakukan dengan tujuan untuk mencegah pertumbuhan mikroba alami pada ikan. Polifosfat ini berguna untuk memisahkan aktomiosin yang terikat dengan myosin.

Penambahan larutan polifosfat dilakukan dengan tujuan untuk menambah elastisitas surimi, memperbaiki daya ikat air, dan nilai kelembutan. Penambahan garam ini bertujuan untuk melepas myosin dari serat ikan yang kemudian akan membentuk gel yang kuat. Cryoprotectant adalah bahan tambahan pada proses pembuatan surimi yang tidak dapat langsung diolah, namun disimpan dahulu pada suhu rendah atau beku dengan waktu yang cukup lama. Tingkat kekenyalan ini dipengaruhi oleh faktor kesegaran ikan yang digunakan sebagai bahan baku. Faktor utama yang perlu diperhatikan dalam pembuatan surimi antara lain suhu air yang dipakai dan penggilingan daging ikan karena jumlah protein yang larut air sebagai contoh sarkoplasma yang hilang selama proses pencucian tergantung pada suhu air tersebut. Pembentukan gel dapat terjadi dikarenakan protein myofibril mampu membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat memerangkap air. . Jika kekuatan serap air semakin besar atau baik, maka akan membentuk tekstur gel yang semakin baik pula (semakin kenyal). Salah satu cara untuk menjaga nilai baik aroma ini yaitu dengan melakukan pencucian. Terjadi perbedaan tingkat aroma (keamisan) dari masing masing produk surimi untuk setiap kelompok yang mungkin disebabkan karena terjadi perbedaan pula pada saat proses pencuciannya. Surimi ini rentan terhadap proses denaturasi saat masa penyimpanan. Proses denaturasi protein dapat dihambat oleh adanya sukrosa. Semakin besar konsentrasi polifosfat yang ditambahkan maka akan semakin besar pula nilai WHC yang dihasilkan. Tidak hanya polifosfat saja yang mempengaruhi hasil WHC, penambahan garam pun juga dapat mempengaruhi pembentukan gel.Semarang, 16 September 2014

Praktikan

Asisten Dosen

Benedictus Ryza Tjahja Putra

Dea Nathania

12.70.0053

4. DAFTAR PUSTAKA

Abaas Siregar Djarijah. (2001). Budidaya Ikan Bawal. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Amir Izzwan Zamri and S.I. Etty. (2012). Development and Physicochemical Analysis of Fish Ball from Starry Triggerfish (Abalistes Stellatus) Surimi. Diakses pada tanggal 15 September.

Arie Usni. (2000). Budidaya Bawal Air Tawal. PT Penebar Swadaya, Jakarta.

Djazuli, N et al. (2009). Modifikasi Teknologi Pengolahan Surimi Dalam Pemanfaatan By-Catch Pukat Udang di Laut Arafura. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Institut Pertanian Bogor.

Hossain, Mohammed Ismail; Muhammad Mostafa Kamal; Fatema Hoque Shikha; dan Md. Shahidul Haque. (2004). Effect of Washing and Salt Concentration on the Gel Forming Ability of Two Tropical Fish Species. International Journal of Agriculture & Biology 15608530/2004/065762766.

Hultin HO. (1985). Characteristic of muscle tissue. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker, Inc.

J.W. Park. Surimi and Surimi Seafood.2nd ed. Boca Raton: Taylor & Francis group, LLC. (2005) Pp.4-5.

J.W. Park. Surimi and Surimi Seafood. Marcel Deccer, Inc. (2005). Pp 60-69.

Laura, P. H., P. K. Greer, C. T. Trinh and C. L. James. 2005. Proteinase activity and stability of natural bromelain preparations. International Immunopharmacology 5: 783-793.

M.A. Amiza and K. Nur Ain. (2012). Effect of Washing Cycle and Salt Addition on the Properties of Gel from Silver Catfish (Pangasius Sp.) Surimi. Diakses pada tanggal 16 September 2014.

Mara A. Reinheimer, Jos R. Medina, Marcelino R. Freyre, Gustavo A. Prez. (2010). Quality Characteristics of Surimi made from Sabalo (prochilodus platensis) as Affected by Water Washing Composition. Diakses pada tanggal 15 September 2014.

Mathana Sangjindavong*, Juta Mookdasanit, Pongtep Wilaipun, Pranisa Chuapoehuk and Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish Sauce from Surimi Waste. Diakses pada tanggal 15 September 2014.

Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. (1999). Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Instalasi Penelitian Perikanan Laut Slipi, Balai Penelitian Perikanan Laut.

Phatcharat, S; Benjakul, S; Visessanguan, W. (2004). Effect of Washing with Oxidising Agents on The Gel-Forming Ability and Physicochemical Properties of Surimi Produced From Bigeye Snapper (Priacanthus tayenus). Department of Food Technology Prince of Songkla University Thailand.

Potter, N.N. (1978). Food Science 3rd edition. AVI Publishing Company, Inc. USA.

Reinheimer et al. (2010). Quality Characteristics of Surimi Made From Sabalo (Prochilodus platensis) as Affected by Water Washing Composition. World Congress and Exhibiton Engineering. Argentina.

SNI 01-3229 1992. Persyaratan Bahan Baku Sirip Cucut Segar Beku. http://www.bkipm.kkp.go.id/bkipm/en/sni/PRODUK%20PERIKANAN. Diakses pada tanggal 15 September 2014.

Soottawat Benjakul, Chakkawat Chantarasuwan, Wonnop Visessanguan. (2002). Effect of Medium Temperature Setting on Gelling Characteristics of Surimi from Some Tropical Fish. Diakses pada tanggal 15 September 2014.

T.C. Lanier and C.M. Lee. Surimi technology.1st ed. Marcel Dekker, Inc. (1992) . 79-112.

Vatria, Belvi. (2010). Pengolahan Ikan Bandeng (Chanos-Chanos) Tanpa Duri. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Rekayasa.

Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. (1980). Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.

Wong, D.W.S. (1989). Mechanism and Theory in Food Chemistry. New York: Academic Press.

Zhou A, Benjakul S, Pan K, Gong J, Liu X. (2006). Cryoprotective effect of trehalose and sodium lactate on tilapia (Sarotherodon nilotica) surimi durimg frozen storage. Journal of Food Chemistry 96(2):96-103.

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan

LA = (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + hn)

LB = (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 +hn)

Luas area basah = LA - LB

Kandungan air bebas (mg H2O)

Perhitungan E1Luas Atas

30.450 mm2Luas Bawah

6.180 mm2Luas Area Basah= 30.450 6.180

= 24.270 mm2Mg H2O

255.928,27

Perhitungan E2Luas Atas

30.060 mm2Luas Bawah

6.090 mm2

Luas Area Basah= 30.060 6.090

= 23.970 mm2

Mg H2O

252.763,71

Perhitungan E3Luas Atas

24.469,86 mm2Luas Bawah

4.346,1 mm2

Luas Area Basah= 24.469,86 4.346,1

= 20.123,76 mm2

Mg H2O

212.191,56 Perhitungan E4Luas Atas

35.428 mm2Luas Bawah

7.106 mm2Luas Area Basah= 35.428 7.106

= 28.322 mm2

Mg H2O

298.670,89 Perhitungan E5Luas Atas

30.705 mm2

Luas Bawah

5.775 mm2

Luas Area Basah= 30.705 5.775

= 24.930 mm2

Mg H2O

262.890,30

Perhitungan E6Luas Atas

25.742,67 mm2Luas Bawah

5.246 mm2Luas Area Basah= 25.742,67 5.246

= 20.496,67 mm2

Mg H2O

216.125,21

5.2. Laporan Sementara