surat bahrun si pencemas untuk si belia julaika
DESCRIPTION
fiksiTRANSCRIPT
SURAT BAHRUN SI PENCEMAS UNTUK SI BELIA JULAIKA
06 Mei 2015
Untukmu yang tak mengenalku
Berjuta salut, haru dan harapan untukmu dariku
Semoga kau dalam keadaan sehat, bersemangat, dan tetap riang Lenteraku.
Dalam pembukaan surat ini aku ingin menyatakan bahwa aku turut berduka cita padamu.
Jangan kau sesali apa yang telah berlalu, tetaplah melaju mengikuti arah kemiringan bumi,
ikutilah aliran sungai yang menghilir. Memang sekarang kau tidak berada dalam pijakan yang
kau harap sebagai penghantar daya hidupmu ke titik kulminasi potensimu.
Dengan demikian Melatiku, ingatlah kau, bahwa apa yang kau alami ini bukanlah berarti
kau kehilangan pijakan. Keberpihakan dunia belum meramahkan dirinya atas dirimu, di
hadapanmu. Melatiku, tahukah kau apa yang menjadi tugasmu sekarang? Marilah kita sudahi
dulu mukadimmah ini. Semoga kau tetap dalam sejatinya hidupmu.
Tahukah kau kisah seorang besar yang begitu bodoh, si Einstein? Ia tidak sama dengan
kita dalam bentuk fisik, tapi aku yakin kau mengetahui namanya. Ia seorang ilmuwan abad yang
lalu. Ia seorang ilmuwan yang pernah dicap anak ‘goblok’ di sekolahnya, bukan hanya di kelas.
Konsekuensi yang diterimanya untuk kata itu adalah ‘dikeluarkan’ dari sekolah.
Apakah kau pernah membayangkan orang segoblok Einstein akan menjadi seorang
ilmuwan yang namanya dan buah pikirannya akan diingat dan dipegang oleh semua orang
sepanjang masa; menjadi seorang tokoh yang tak terlupakan dalam dunia keilmuan; seorang
yang memberi kontribusi besar terhadap perkembangan peradaban dunia?
Oh, Lentera. Ingatlah kau selalu dengan janji Tuhan, Tuhan kita, Allah SWT, bahwa tak
akan pernah Ia akan menjadikan makhluknya sia-sia di muka bumi ini, lebih kurang seperti
itulah pesannya.
Einstein adalah orang yang berkeyakinan berbeda dari kita, mengapa Tuhan tetap tidak
menyia-nyiakannya? Terbersitkah dalam benakmu pertanyaan ini? Ya, itu sebuah pertanyaan
bagus. Kau harus ingat Melati, Tuhan tidak memiliki sifat pilih kasih tentang persoalan dunia, Ia
menghargai setiap usaha yang dilakukan. Ia tidak memiliki sifat picik itu, Ia tak bisa disamakan
dengan sebagian dari kita yang “berada di atas angin”. Tuhan tetap menganggap Einstein sebagai
makhluk ciptaan-Nya, Melati. Begitulah adanya.
Marilah kita beralih pada fenomena lainnya, yang terdekat dengan kita, katakanlah ia
bernama Si Buyung. Si Buyung tak pernah melejit namanya seperti Einstein, dikenal luas oleh
dunia ilmiah maupun bukan. Apa kau kenal Si Buyung? Dia tidak nyata, ia hanyalah representasi
dari fenomena.
Mengapa ia tak seperti Einstein, apakah Tuhan itu tidak adil? Jangan sekali-kali kau
berpikir seperti itu Melati. Oh, kau Lentera. Marilah kita susun narasinya.
Antara Einstein dan Si Buyung adalah sama, sama-sama makhluk Tuhan, tapi mereka
juga memiliki perbedaan dalam mencerna kehidupan, Melati. Einsten memfasilitasi dirinya
sendiri, sedangkan Si Buyung tidak. Ia tak pernah sadar atau disadarkan akan kemampuannya. Ia
tidak ‘tercerahkan!’ Untuk ini Si Buyung harus mencontoh pada Einstein, walaupun Si Buyung
menganggap Einstein seorang ‘kafir’, karena ini bukanlah menyangkut keimanan, ini dunia,
bagaimana cara Einstein dalam menjawab pertanyaan duniawi.
Seharusnya Si Buyung bisa memfasilitasi dirinya, bukan menanti sesuatu yang terberi
(being). Tuhan tidaklah melempar dadu untuk setiap jalan hidup makhluknya. Jalan hidup kita
hanya kitalah yang berkuasa atas arahnya. Bukan tidak ada peran Tuhan dalam jalan hidup kita,
Ia memberi petunjuk melalui tanda-tanda yang ada di dunia untuk kita, itulah cara campur tangan
Tuhan.
Ingatkah kau apa yang sering didakwahkan oleh ulama kita tentang kalimat “berlomba-
lombalah dalam mengejar; membuat; atau mencari kebaikan”, seperti yang diisyaratkan pada
setiap manusia muslim? Apakah ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang terpisah dari kebaikan?
Tidak, Lentera, jawabannya tidak!
Orang-orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya oleh Tuhan seperti yang
tercantum dalam Alquran. Kira-kira begitulah inti dari pesan-Nya. Maaf saya tidak terlalu baik
dalam mengingat persis seperti apa yang ada. Bukankah apabila kita berilmu kita akan dapat
membuat hidup kita lebih baik; kita dapat memahami hidup, yang pada akhirnya akan
mengarahkan kita pada kebaikan? Tuhan tidak pernah membatasi kita dalam upaya mencari
ilmu.
Dapat disarikan bahwa dua potong kalimat itu saling berkaitan, Melati.
Mari kita kembali pada saudara kita yang malang tadi, Si Buyung. Apa sebenarnya yang
menjadi permasalahan oleh Si Buyung, aku yakin kau dapat menangkap arah pembicaraan ini.
Saudara kita tak pernah memfasilitasi dirinya, tidak pernah berusaha memecahkan teka-
teki hidupnya di dunia, yang pada akhirnya telah membedakannya dari seorang Einstein, saudara
kita dari negeri absurd. Walaupun Si Buyung taat beribadah, tapi ia tidaklah memaknai arti
ibadahnya dan arti ajaran dari Islam yang dianutnya.
Oh, Lentera, janganlah kau redup.
Memang tidak pasti apakah Si Buyung akan menjadi Einstein, tapi setidaknya ia
mendapatkan hidupnya, mencurahkan segala potenisi dirinya. Arti kehidupan hakikinya adalah
pencapaian puncak kesadaran, sadar akan potensi diri.
Ada sebuah nama yang agak asing di telinga umum, Sigmund Freud. Ia adalah seorang
filosof, sama seperti Einstein. Freud bergelut di dunia psikologi, hingga akhirnya ia dikenal
sebagai “Bapak Psikoanalisa”.
Ada satu pernyataan darinya yang ingin kupetik, manusia, dalam hal potensi diri, dapat
diibaratkan seperti sebuah gunung es. Potensi diri yang tampak hanyalah puncaknya saja –
seperti halnya kita melihat gunung es dari jarak jauh. Namun, Melati, dapatkah kau bayangkan
apabila kita dekati gunung es tersebut dan melihat kaki gunung es itu? Takjub, hanya itu yang
bisa kukatakan. Alangkah besarnya potensi diri seseorang – sebesar kaki gunung, lebih besar dari
puncak tentunya.
Inilah nasib sial Si Buyung, saudara kita tadi. Ia tak pernah melihat betapa besar kaki
gunungnya. Apa yang akan terjadi pada Si Buyung apabila ia mengetahuinya? Berbagai
kemungkinan akan terjadi.
Lentera, jangan, janganlah sampai kau terlena oleh kehidupan yang melenakan ini
Lentera. Terlalu banyak yang sayang untuk tidak diketahui tentang hidup kita ini, jangan kau sia-
siakan, bergeraklah selalu, bergeraklah Lentera. Tetaplah kau mencari tahu, tak henti
mempertanyakan, tetaplah kau jaga cahaya jiwamu agar tetap bersinar, jadikanlah jiwamu
menjadi jiwa yang selalu bergerak.
Kehidupan di masa yang akan dating selalu menggoda kita, selalu menawarkan tantangan
yang lebih dari apa yang pernah kita temui di masa sebelumnya, ia akan semakin buas, liar, dan
berbahaya. Bersiaplah!
Oh, Lentera, apa kau bosan dengan kecerewetanku? Maaf, aku adalah manusia yang
selalu merasa cemas. Kekhawatiranku telah membentuk watakku seperti sekarang ini. Aku tak
ingin generasi mendatang akan mengulangi kesalahan generasi yang lalu. Aku mendambakan
generasi yang memiliki jiwa yang berbeda – tentunya lebih baik – dari generasi sebelumnya.
Aku adalah anak zaman melamun, bukan merenung. Bedakan dua hal itu, melamun
berarti kosong, merenung akan membuahkan hasil.
Aku ingat kata seorang professor dari “Negeri Kata-kata” – Minangkabau – yang lebih
merupakan sebuah sindiran kalau aku menilainya. Katanya, setiap peristiwa besar akan
melahirkan tokoh yang besar pula dengan pemikiran besar, tapi tidak berlaku untuk Indonesia.
Inil,ah yang aku khawatirkan, Melati.
Bukalah matamu, sadari itu, sadari tentang keberadaanmu. Jiwamu, engkaulah
penguasanya, maka berkuasalah engkau terhadapnya. Jangan biarkan orang lain merenggutnya
darimu, jangan biarkan orang lain merampasnya, karena kehidupanmu ada pada jiwamu.
Capailah kemenangan jiwamu, jadikan norma-norma yang berlaku di sekitarmu – agama dan
adat budaya – sebagai tamengmu, sebagai senjatamu, dan sekaligus sebagai penunjuk jalanmu.
Mulailah menatap dunia, gapailah dengan tanganmu bintang gemintang yang terlalu
lancang masuk ke dalam mimpimu dan mengusik mimpimu. Bintang yang kau bayangkan
selama ini, yang kau mimpikan selama ini, yang kau rasa tak mungkin akan tersentuh olehmu.
Disanalah hidupmu.
Lenteraku, semua ini untuk dirimu, cerahkanlah dunia, cerahkanlah mereka. Mengapa
kutujukan ini padamu, karena aku berharap besar padamu. Kaulah orang yang pernah jujur
dalam bertanya padaku tentang hal pribadiku, kau sadari itu, kau penasaran, lalu kau pertanyakan
untuk mengobati rasa penasaranmu. Kau masih merdeka dalam pikiran, kaulah yang kuharapkan.
Apa yang kau pertanyakan tidak pernah kujadikan alasan untukku membencimu. Kau
lakukan hal yang sebaliknya, kau pikat aku dengan cara yang berbeda, cara yang unik. Kau
berhasil dalam hal ini. Kau pikat aku dengan kemerdekaan pikiranmu.
Bukan beribu jumlah orang sepertimu di negeri kita, apalagi sekarang, di zaman yang
melenakan setiap manusia dengan kemanjaan yang ditawarkannya. Diantara beribu orang, kau
telah mengambil tempat dalam barisan mereka yang minoritas, hanya segelintir orang yang sama
sepertimu dalam pikiran yang merdeka.
Jelmakanlah dirimu melati. Menjelmalah kau menjadi Lentera, bukan sekadar penerang
bagi seorang nelayan di tengah lautan, bukan pula untuk sekelompok nelayan, melainkan
jadikanlah dirimu teruntuk bagi nelayan-nelayan di sebentang muka bumi ini.
Lenteraku, kau yang melampauiku, langkahilah aku, capailah kemenanganmu atas dunia
ini.
Maaf apabila aku salah dalam pengetikan dan penyusunan-pemakaian kata. Aku
bukanlah ahli di bidang perbahasaan. Aku lebih memilih untuk membuatnya dalam bentuk
ketikan hanyalah karena aku takut kau tak mengerti dengan tulisan tanganku.