surat bahrun si pencemas untuk si belia julaika

7
SURAT BAHRUN SI PENCEMAS UNTUK SI BELIA JULAIKA 06 Mei 2015 Untukmu yang tak mengenalku Berjuta salut, haru dan harapan untukmu dariku Semoga kau dalam keadaan sehat, bersemangat, dan tetap riang Lenteraku. Dalam pembukaan surat ini aku ingin menyatakan bahwa aku turut berduka cita padamu. Jangan kau sesali apa yang telah berlalu, tetaplah melaju mengikuti arah kemiringan bumi, ikutilah aliran sungai yang menghilir. Memang sekarang kau tidak berada dalam pijakan yang kau harap sebagai penghantar daya hidupmu ke titik kulminasi potensimu. Dengan demikian Melatiku, ingatlah kau, bahwa apa yang kau alami ini bukanlah berarti kau kehilangan pijakan. Keberpihakan dunia belum meramahkan dirinya atas dirimu, di hadapanmu. Melatiku, tahukah kau apa yang menjadi tugasmu sekarang? Marilah kita sudahi dulu mukadimmah ini. Semoga kau tetap dalam sejatinya hidupmu. Tahukah kau kisah seorang besar yang begitu bodoh, si Einstein? Ia tidak sama dengan kita dalam bentuk fisik, tapi aku yakin kau mengetahui namanya. Ia seorang ilmuwan abad yang lalu. Ia seorang ilmuwan yang pernah dicap anak ‘goblok’ di sekolahnya,

Upload: rio-mastri

Post on 28-Jan-2016

218 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

fiksi

TRANSCRIPT

Page 1: Surat Bahrun Si Pencemas Untuk Si Belia Julaika

SURAT BAHRUN SI PENCEMAS UNTUK SI BELIA JULAIKA

06 Mei 2015

Untukmu yang tak mengenalku

Berjuta salut, haru dan harapan untukmu dariku

Semoga kau dalam keadaan sehat, bersemangat, dan tetap riang Lenteraku.

Dalam pembukaan surat ini aku ingin menyatakan bahwa aku turut berduka cita padamu.

Jangan kau sesali apa yang telah berlalu, tetaplah melaju mengikuti arah kemiringan bumi,

ikutilah aliran sungai yang menghilir. Memang sekarang kau tidak berada dalam pijakan yang

kau harap sebagai penghantar daya hidupmu ke titik kulminasi potensimu.

Dengan demikian Melatiku, ingatlah kau, bahwa apa yang kau alami ini bukanlah berarti

kau kehilangan pijakan. Keberpihakan dunia belum meramahkan dirinya atas dirimu, di

hadapanmu. Melatiku, tahukah kau apa yang menjadi tugasmu sekarang? Marilah kita sudahi

dulu mukadimmah ini. Semoga kau tetap dalam sejatinya hidupmu.

Tahukah kau kisah seorang besar yang begitu bodoh, si Einstein? Ia tidak sama dengan

kita dalam bentuk fisik, tapi aku yakin kau mengetahui namanya. Ia seorang ilmuwan abad yang

lalu. Ia seorang ilmuwan yang pernah dicap anak ‘goblok’ di sekolahnya, bukan hanya di kelas.

Konsekuensi yang diterimanya untuk kata itu adalah ‘dikeluarkan’ dari sekolah.

Apakah kau pernah membayangkan orang segoblok Einstein akan menjadi seorang

ilmuwan yang namanya dan buah pikirannya akan diingat dan dipegang oleh semua orang

sepanjang masa; menjadi seorang tokoh yang tak terlupakan dalam dunia keilmuan; seorang

yang memberi kontribusi besar terhadap perkembangan peradaban dunia?

Oh, Lentera. Ingatlah kau selalu dengan janji Tuhan, Tuhan kita, Allah SWT, bahwa tak

akan pernah Ia akan menjadikan makhluknya sia-sia di muka bumi ini, lebih kurang seperti

itulah pesannya.

Einstein adalah orang yang berkeyakinan berbeda dari kita, mengapa Tuhan tetap tidak

menyia-nyiakannya? Terbersitkah dalam benakmu pertanyaan ini? Ya, itu sebuah pertanyaan

bagus. Kau harus ingat Melati, Tuhan tidak memiliki sifat pilih kasih tentang persoalan dunia, Ia

Page 2: Surat Bahrun Si Pencemas Untuk Si Belia Julaika

menghargai setiap usaha yang dilakukan. Ia tidak memiliki sifat picik itu, Ia tak bisa disamakan

dengan sebagian dari kita yang “berada di atas angin”. Tuhan tetap menganggap Einstein sebagai

makhluk ciptaan-Nya, Melati. Begitulah adanya.

Marilah kita beralih pada fenomena lainnya, yang terdekat dengan kita, katakanlah ia

bernama Si Buyung. Si Buyung tak pernah melejit namanya seperti Einstein, dikenal luas oleh

dunia ilmiah maupun bukan. Apa kau kenal Si Buyung? Dia tidak nyata, ia hanyalah representasi

dari fenomena.

Mengapa ia tak seperti Einstein, apakah Tuhan itu tidak adil? Jangan sekali-kali kau

berpikir seperti itu Melati. Oh, kau Lentera. Marilah kita susun narasinya.

Antara Einstein dan Si Buyung adalah sama, sama-sama makhluk Tuhan, tapi mereka

juga memiliki perbedaan dalam mencerna kehidupan, Melati. Einsten memfasilitasi dirinya

sendiri, sedangkan Si Buyung tidak. Ia tak pernah sadar atau disadarkan akan kemampuannya. Ia

tidak ‘tercerahkan!’ Untuk ini Si Buyung harus mencontoh pada Einstein, walaupun Si Buyung

menganggap Einstein seorang ‘kafir’, karena ini bukanlah menyangkut keimanan, ini dunia,

bagaimana cara Einstein dalam menjawab pertanyaan duniawi.

Seharusnya Si Buyung bisa memfasilitasi dirinya, bukan menanti sesuatu yang terberi

(being). Tuhan tidaklah melempar dadu untuk setiap jalan hidup makhluknya. Jalan hidup kita

hanya kitalah yang berkuasa atas arahnya. Bukan tidak ada peran Tuhan dalam jalan hidup kita,

Ia memberi petunjuk melalui tanda-tanda yang ada di dunia untuk kita, itulah cara campur tangan

Tuhan.

Ingatkah kau apa yang sering didakwahkan oleh ulama kita tentang kalimat “berlomba-

lombalah dalam mengejar; membuat; atau mencari kebaikan”, seperti yang diisyaratkan pada

setiap manusia muslim? Apakah ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang terpisah dari kebaikan?

Tidak, Lentera, jawabannya tidak!

Orang-orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya oleh Tuhan seperti yang

tercantum dalam Alquran. Kira-kira begitulah inti dari pesan-Nya. Maaf saya tidak terlalu baik

dalam mengingat persis seperti apa yang ada. Bukankah apabila kita berilmu kita akan dapat

membuat hidup kita lebih baik; kita dapat memahami hidup, yang pada akhirnya akan

Page 3: Surat Bahrun Si Pencemas Untuk Si Belia Julaika

mengarahkan kita pada kebaikan? Tuhan tidak pernah membatasi kita dalam upaya mencari

ilmu.

Dapat disarikan bahwa dua potong kalimat itu saling berkaitan, Melati.

Mari kita kembali pada saudara kita yang malang tadi, Si Buyung. Apa sebenarnya yang

menjadi permasalahan oleh Si Buyung, aku yakin kau dapat menangkap arah pembicaraan ini.

Saudara kita tak pernah memfasilitasi dirinya, tidak pernah berusaha memecahkan teka-

teki hidupnya di dunia, yang pada akhirnya telah membedakannya dari seorang Einstein, saudara

kita dari negeri absurd. Walaupun Si Buyung taat beribadah, tapi ia tidaklah memaknai arti

ibadahnya dan arti ajaran dari Islam yang dianutnya.

Oh, Lentera, janganlah kau redup.

Memang tidak pasti apakah Si Buyung akan menjadi Einstein, tapi setidaknya ia

mendapatkan hidupnya, mencurahkan segala potenisi dirinya. Arti kehidupan hakikinya adalah

pencapaian puncak kesadaran, sadar akan potensi diri.

Ada sebuah nama yang agak asing di telinga umum, Sigmund Freud. Ia adalah seorang

filosof, sama seperti Einstein. Freud bergelut di dunia psikologi, hingga akhirnya ia dikenal

sebagai “Bapak Psikoanalisa”.

Ada satu pernyataan darinya yang ingin kupetik, manusia, dalam hal potensi diri, dapat

diibaratkan seperti sebuah gunung es. Potensi diri yang tampak hanyalah puncaknya saja –

seperti halnya kita melihat gunung es dari jarak jauh. Namun, Melati, dapatkah kau bayangkan

apabila kita dekati gunung es tersebut dan melihat kaki gunung es itu? Takjub, hanya itu yang

bisa kukatakan. Alangkah besarnya potensi diri seseorang – sebesar kaki gunung, lebih besar dari

puncak tentunya.

Inilah nasib sial Si Buyung, saudara kita tadi. Ia tak pernah melihat betapa besar kaki

gunungnya. Apa yang akan terjadi pada Si Buyung apabila ia mengetahuinya? Berbagai

kemungkinan akan terjadi.

Lentera, jangan, janganlah sampai kau terlena oleh kehidupan yang melenakan ini

Lentera. Terlalu banyak yang sayang untuk tidak diketahui tentang hidup kita ini, jangan kau sia-

siakan, bergeraklah selalu, bergeraklah Lentera. Tetaplah kau mencari tahu, tak henti

Page 4: Surat Bahrun Si Pencemas Untuk Si Belia Julaika

mempertanyakan, tetaplah kau jaga cahaya jiwamu agar tetap bersinar, jadikanlah jiwamu

menjadi jiwa yang selalu bergerak.

Kehidupan di masa yang akan dating selalu menggoda kita, selalu menawarkan tantangan

yang lebih dari apa yang pernah kita temui di masa sebelumnya, ia akan semakin buas, liar, dan

berbahaya. Bersiaplah!

Oh, Lentera, apa kau bosan dengan kecerewetanku? Maaf, aku adalah manusia yang

selalu merasa cemas. Kekhawatiranku telah membentuk watakku seperti sekarang ini. Aku tak

ingin generasi mendatang akan mengulangi kesalahan generasi yang lalu. Aku mendambakan

generasi yang memiliki jiwa yang berbeda – tentunya lebih baik – dari generasi sebelumnya.

Aku adalah anak zaman melamun, bukan merenung. Bedakan dua hal itu, melamun

berarti kosong, merenung akan membuahkan hasil.

Aku ingat kata seorang professor dari “Negeri Kata-kata” – Minangkabau – yang lebih

merupakan sebuah sindiran kalau aku menilainya. Katanya, setiap peristiwa besar akan

melahirkan tokoh yang besar pula dengan pemikiran besar, tapi tidak berlaku untuk Indonesia.

Inil,ah yang aku khawatirkan, Melati.

Bukalah matamu, sadari itu, sadari tentang keberadaanmu. Jiwamu, engkaulah

penguasanya, maka berkuasalah engkau terhadapnya. Jangan biarkan orang lain merenggutnya

darimu, jangan biarkan orang lain merampasnya, karena kehidupanmu ada pada jiwamu.

Capailah kemenangan jiwamu, jadikan norma-norma yang berlaku di sekitarmu – agama dan

adat budaya – sebagai tamengmu, sebagai senjatamu, dan sekaligus sebagai penunjuk jalanmu.

Mulailah menatap dunia, gapailah dengan tanganmu bintang gemintang yang terlalu

lancang masuk ke dalam mimpimu dan mengusik mimpimu. Bintang yang kau bayangkan

selama ini, yang kau mimpikan selama ini, yang kau rasa tak mungkin akan tersentuh olehmu.

Disanalah hidupmu.

Lenteraku, semua ini untuk dirimu, cerahkanlah dunia, cerahkanlah mereka. Mengapa

kutujukan ini padamu, karena aku berharap besar padamu. Kaulah orang yang pernah jujur

dalam bertanya padaku tentang hal pribadiku, kau sadari itu, kau penasaran, lalu kau pertanyakan

untuk mengobati rasa penasaranmu. Kau masih merdeka dalam pikiran, kaulah yang kuharapkan.

Page 5: Surat Bahrun Si Pencemas Untuk Si Belia Julaika

Apa yang kau pertanyakan tidak pernah kujadikan alasan untukku membencimu. Kau

lakukan hal yang sebaliknya, kau pikat aku dengan cara yang berbeda, cara yang unik. Kau

berhasil dalam hal ini. Kau pikat aku dengan kemerdekaan pikiranmu.

Bukan beribu jumlah orang sepertimu di negeri kita, apalagi sekarang, di zaman yang

melenakan setiap manusia dengan kemanjaan yang ditawarkannya. Diantara beribu orang, kau

telah mengambil tempat dalam barisan mereka yang minoritas, hanya segelintir orang yang sama

sepertimu dalam pikiran yang merdeka.

Jelmakanlah dirimu melati. Menjelmalah kau menjadi Lentera, bukan sekadar penerang

bagi seorang nelayan di tengah lautan, bukan pula untuk sekelompok nelayan, melainkan

jadikanlah dirimu teruntuk bagi nelayan-nelayan di sebentang muka bumi ini.

Lenteraku, kau yang melampauiku, langkahilah aku, capailah kemenanganmu atas dunia

ini.

Maaf apabila aku salah dalam pengetikan dan penyusunan-pemakaian kata. Aku

bukanlah ahli di bidang perbahasaan. Aku lebih memilih untuk membuatnya dalam bentuk

ketikan hanyalah karena aku takut kau tak mengerti dengan tulisan tanganku.