sunan abi daud

13
METODOLOGI SUNAN ABI DAUD Mata Kuliah Studi Metodologi Hadits Dosen Pengampu DR. LUTHFI HADI AMINUDIN, M.Ag Disampaikan oleh Drs. Ahmad Thobroni Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Ponorogo

Upload: hamimthohari

Post on 28-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sunan Abi Daud

METODOLOGI SUNAN ABI DAUD

Mata Kuliah Studi Metodologi Hadits

Dosen Pengampu

DR. LUTHFI HADI AMINUDIN, M.Ag

Disampaikan oleh Drs. Ahmad ThobroniMahasiswa Pasca Sarjana STAIN Ponorogo

Page 2: Sunan Abi Daud

METHODOLOGI KITAB SUNAN ABI DAUD

PENDAHULUAN

Sebagai salah satu elemen penting yang menjadi sumber hukum setelah al-Qur’an,

Hadis juga membutuhkan perhatian khusus dalam pemeliharaan keabsahan dan keasliannya.

Oleh karena itu, menuliskannya merupakan hal urgen yang perlu diperhatikan untuk

memelihara otentitas Hadis Rasulullah Saw. yang begitu banyak. 

Ibnu Mubarak pernah ditanya tentang penulisan Hadis dan beliau berkata, “Kalaulah

tidak ditulis, kita tak dapat menghafalnya”. Begitu juga Ahmad bin Hanbal, beliau berkata,

“Sebagian kaum membenci penulisan Hadis dengan takwil. Padahal mereka akan melakukan

kesalahan jika meninggalkan penulisan Hadis. Telah sampai kepada kami Hadis dari kaum

yang menghafalnya dan kaum yang menuliskannya. Adapun kaum yang menuliskannya lebih

meyakinkan”1

 RIWAYAT HIDUP

Namanya Abu Daud Sulaiman Ibn al-Asy’as Ibn Ishak Ibn Basyir Ibn Syidad Ibn

Amr Ibn Amran al-Azdiy al-Sijistaniy. Ia dilahirkan di Sijistan (salah satu wilayah dalam

kota Bashrah) pada 202 H/ 817 M. dan meninggal di Bashrah tanggal 15 Syawal 275 H/ 888

M.

Abu Daud adalah seorang ulama yang hafizd al-Qur’an dan ahli dalam berbagai ilmu

pengetahuan keislaman, terutama ilmu fikih dan hadis. Pendidikannya dimulai dengan belajar

bahasa arab, al-Qur’an dan pengetahuan agama lainnya. Sampai usia 21 tahun ia bermukim di

Bagdad. Setelah itu ia melanjutkan belajarnya keluar daerah seperti Hijaz, Syam (Syuriah),

Mesir, Khurasan, Ray (Teheran), Harat, Kufah, Tarsus, dan Basrah.

Dalam perjalanannya itu ia berjumpa dan berguru kepada para pakar hadis, seperti Ibn

Amr al-Darir, Ahmad Ibn Hanbal, al-Qa’nabiy, Muslim bin Ibrahim, Abdullah Ibn Raja’,

Abu Walid al-Tayalisiy dan lain-lain. Sebagian gurunya ada pula yang menjadi guru Imam

Bukhari dan Muslim, seperti Ahmad bin Hanbal, Usman Ibn Syaibah, dan Qutaibah Ibn

Sa’id.

1 As-Sijistani, Abu Daud al-Azdi, Sunan Abu Daud, (Kairo: Dâr al-Hadits, 1999,hal 12

Page 3: Sunan Abi Daud

KEUTAMAAN BELIAU

Maslamah bin Qâsim berkata, “Beliau adalah orang yang tsiqah, zâhid, dan mengetahui

sangat banyak tentang Hadis, beliau adalah imam Hadis pada masanya”. Sedangkan menurut

ar-Razi, beliau  berkata, “Aku melihatnya di Baghdad dan beliau datang ke ayah saya, beliau

dapat dipercaya”2

GURU-GURU ABU DAUD

Abu Daud adalah seorang pembelajar sejati dan tekun. Untuk bisa meriwayatkan hadis-hadis

Rasulullah beliau terbang dan hinggap dari satu kota  ke kota yang lain untuk belajar dari

para ulama ternama kala itu. Cukup banyak ulama-ulama yang pernah menjadi guru-gurunya

di antaranya; al-Qa’nabî dan Sulaimân bin Harb dari Mekah, Muslim bin Ibrahim, Abdullah

bin Rajâ’, Abu al-Walîd ath-Thayâlisî dan Musâ bin Ismâ’îl di Basrâh, al-Hasan bin al-Rabî’

al-Bûrânî dan Ahmad bin Yûnus al-Yarbû’î dari Kûfah, Abu Taubah al-Rabî’ bin Nâfi’ dari

Halb, Abu Ja’far al-Nafîlî dan Ahmad bin Abi Syu’aib di Harrân, Hîwah bin Syuraih, Yazîd

bin Abdu Rabah di Himsha, Shafwân bin Shâlih dan Hisyâm bin Âmir di Damaskus, Ishâq

bin Râhawiyah di Khurâsân, Ahmad bin Hanbâl di Baghdad, Qutaibah bin Sa’îd di Balkh,

Ahmad bin Shalîh dari Mesir, dan lain sebagainya.3

Madzhabnya

Al-Dawâwudî menyebutkan dalam “Thabaqât al-Mufassirîn”  bahwa al-Qhadî Husain bin al-

Farrâ’ memasukkannya ke dalam salah satu generasi pertama dari madzhab Hanabilah.

Sedangkan akidahnya bermadzhab Salaf dalam mengikuti sunnah dan penerimaannya.4

2 Ibid, hal 32

3 Imam Syamsu ad-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman ad-Dzahabi, Siyaru A’lâm wa an-Nubalâ’, vol. 10,  Dar al-Hadist, Kairo,  2006, hal. 332-333.4 Ibid, hal 27

Page 4: Sunan Abi Daud

METODOLOGI ABU DAUD DALAAM PENULISAN HADITS

1. Dalam penulisan kitab Sunan, beliau tidak sekedar mengeluarkan hadis-hadis shahih

saja, namun hadis shahih, hasan lidzatihi dan hasan lighairihi dan hadis-hadis yang

disepakati ulama untuk tidak meninggalkannya. Apabila terdapat kelemahan dalam

hadis-hadis tersebut beliau pasti menjelaskannya dan mewaspadainya. Sedangkan apa

yang tidak beliau komentari maka hadis itu adalah shalih.

2. Hadis-hadis tersebut disusun sesuai dengan bab fikih yang mencakup seluruh

permasalahan dan hukum-hukum baik akidah, ibadah, muamalah, nikah, jihad, dan

juga tentang akhlak dan sulukiyah.

3. Beliau memulai setiap bab dengan hadis-hadis yang dibutuhkan.

4. Kitab Sunan memiliki kelebihan dalam memeperinci hadis dan pemabagiannya dalam

bab-bab, dan juga profil periwayah hadis.

5. Belaiu tidak cukup menyebutkan lafzh riwayah.5

PERANAN KITAB SUNAN ABU DAUD DALAM PEMIKIRAN ISLAM

Imam Abu Daud melalui perjalanan pencarian ilmu yang panjang sebelum beliau

membukukan hadis-hadis dalam kitab Sunannya. Beliau menuliskan Hadis dari ulam-ulama

Hadis di Irak, Kurâsan, Syam, Mesir dan beberapa kota lain.

Imam Abu Daud telah menuliskan Hadis Rasulullah Saw. sebanyak 500.000 hadis, akan

tetapi yang beliau pilih dan kumpulkan dalam kitab Sunan sejumlah 4.800 hadis yang

semuanya adalah shahih, yang menyerupai shahih ataupun yang mendekati shahih. Ketika

beliau membacakan kitab ini di hadapan khalayak, kitab ini menjadi seperti mushaf, mereka

tidak menentangnya bahkan sebagian orang di zamannya menghafalnya dan menjadikannya

sebagai rujukan.6

5 Dr. Kautsar Mahmud al-Muslimi, Min al-Muhaditsin, thabaqat, manahij, marwiyat. hal. 250.6 Imam Syamsu ad-Din Muhammad bin Ahmad bin Usman ad-Dzahabi, Siyaru A’lâm wa an-Nubalâ’, vol. 10, Dar al-Hadist, Kairo, 2006, hal.335

Page 5: Sunan Abi Daud

Beliau menulis kitab Sunan di Baghdad dan mendapat pujian ketika ia

menunjukkannya kepada Imam Ahmad. Beliau juga mendapatkan pujian dari ulama lain

semasanya perihal pembukuan kitab Sunan. Ibrahim al-Harby berkata, “Ketika Abu Daud

menuliskan kitab ini, seakan-akan Hadis dilembutkan bagi Abu Daud sebagaimana

dilembutkannya besi bagi Nabi Daus As.”

Diriwayatkan juga ketika kitab Sunan dibacakan di hadapan Ibnu al-A’rabi, dan beliau

meminta kepadanya untuk me-nuskhah-nya, Ibnu A’rabi berkata, “Kalaulah seandainya

seseorang hanya memiliki ilmu dari mushaf (al-Qur’an) kemudian dari kitab ini, maka dia

tidak membutuhkan kepada ilmu selain itu”7

Tingkatan-tingkatan Sunan Abi Daud

Abu Dawud dalam menyusun kitab Sunannya tidak hanya memfokuskan hadits-hadits

shahih, tetapi juga memasukkan hadits dha’if. Tingkatan hadits dalam kitab Sunan Abu

Dawud tersebut dapat diketahui dari surat beliau ke penduduk Makkah ketika menjelaskan isi

kitab Sunan-nya. Penjelasan Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya secara garis besar membagi

hadits kedalam lima tingkatan, yaitu:

1. Hadits Shahih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna

ingatannya, sanadnya bersambung, tidak berillat dan tidak pula janggal. Hadits ini

disebut hadits shahih li zatihi, karena tingkat ke-shahihan-nya tanpa dukungan hadits

lain yang menguatkannya.

2. Ma Yusyabbihahu (yang menyerupai shahih)

Para muhadditsin mengutarakan perbandingan istilah yang digunakan Abu

Dawud tersebut dengan istilah yang berlaku bagi para muhadditsin. Yang

dimaksud Abu Dawud istilah ma yusyabbahahu adalah hadits shahih li

ghairihi, karena hadits tersebut menyerupai shahih li zatihi, tetapi martabatnya

di bawah shahih li zatihi.

7 Abu al-Fidâ’ Ismail bin Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, vol. 12, Dâr al-Manâr, Kairo, 2001, hal 55.

Page 6: Sunan Abi Daud

3. Ma Yuqoribuhu (yang mendekati shahih)

Istilah yang digunakan oleh Abu Dawud tersebut menurut sebagian

muhadditsin adalah hadits hasan li zatihi, karena hadits hasan li zatihi bisa

naik menjadi hadits shahih li ghairihi apabila didukung oleh hadits yang lain.

Ibnu Shalah dan Imam al-Nawawi memberikan defenisi hadits hasan menurut

istilah Abu Dawud sebagai “ Hadits yang disebutkan secara mutlak dan tidak

ada dalam salah satu kitab shahih (Bukhari dan Muslim) dan tidak ada di

antara ulama yang menetapkan ke-shahih-annya, bagi yang membedakan

antara hadits shahih dan hasan, maka hadits tersebut adalah hadits hasan

menurut Abu Dawud”. Ibnu Shalah menyatakan bahwa dalam kitab Sunan

Abu Dawud tesebut mengandung banyak hadits hasan. Sebagaimana

penjelasan yang diberikan Abu Dawud sendiri ketika menjelaskan isi kitabnya.

4. Wahnun Syadidun (sangat lemah)

Istilah hadits tersebut menurut istilah yang berlaku bagi para muhadditsin

berarti hadits yang sangat dha’if. Namun terhadap hadits ini Abu Dawud

memberikan sejumlah penjelasan mengenai letak ke-dha’ifan-nya dan menurut

beliau hadits dha’if tersebut lebih kuat bila dibandingkan dengan pendapat

ulama. Pencantuman hadits dha’if yang disertai keterangan letak ke-dha’ifan-

nya dibolehkan.

5. Shalih (yang tidak dijelaskan)

Para ulama berbeda pendapat dalam mengomentari istilah yang dipakai Abu

Dawud. Imam al-Nawawi dan Ibnu Shalah menjelaskan bahwa jika hadits

tersebut diriwayatkan dalam salah satu kitab shahih (Bukhari dan Muslim)

maka hadits tersebut adalah shahih, dan jika tidak diriwayatkan dalam salah

satu kitab shahih dan tidak ada ulama yang menerangkan tentang derajat

hadits tersebut, maka hadits tersebut adalah hadits hasan menurut Abu Dawud.

Pendapat tersebut menunjukkan kehati-hatian agar tidak menetapkan

keshahihan suatu hadits tersebut karena tidak tercantum dalam salah satu kitab

Page 7: Sunan Abi Daud

shahih dan tidak ada seorang pun di antara para imam hadits yang menetapkan

keshahihannya.8

Kelebihan dan Kekurangannya

Di antara pandangan positif para ulama terhadap Sunan Abu Dawud tersebut, antara lain

sebagai berikut:

1. Al-Khattabi berkata: “ketahuilah, kitab Sunan Abu Dawud adalah sebuah kitab yang

mulia yang belum pernah disusun sesuatu kitab yang menerangkan haidts-hadits

hukum sepertinya. Para ulama menerima baik kitab Sunan tersebut, karenanya dia

menjadi hakim antara ualam dan para fuqaha’ yang berlainan mazhab. Kitab itu

menjadi pegangan ulam Irak, Mesir, Maroko,dan negeri lain”.

2. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, mengemukakan: “ Kitab Sunan Abu Dawud memiliki

kedudukan tinggi dalam dunia Islam dan pemberi keputusan bagi perselisihan

pendapat. Kepada kitab itulah oarang-orang jujur mengharapkan keputusan. Mereka

merasa puas atas keputusan dari kitab itu. Abu Dawud telah menghimpun segala

macam hadits hhukum dan menyusunnya dengan sistematika yamg baik dan indah,

serta membuang hadits yang lemah”.

3. Ibnu al-‘Arabi, mengatakan: “Apabila seseorang sudah memiliki kitabullah dan kitab

Sunan Abu Dawud, maka tidak lagi memerlukan kaitab lainnya”.

4. Imam al-Ghazali berkata: “Kitab Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid

untuk mengetahui hadits-hadits hukum”.

Di samping ulama-ulama tersebut yang memberikan penilaian baik atas kelebihan kitab

Sunan Abu Dawud, ada juga ulama hadits yang mengkritik kelemahan yang terdapat dalam

kitab Sunan Abu Dawud tesebut.

Di antara para ulama yang mengkritik itu adalah Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam al-Nawawi

dan Ibnu Taimiyah. Kritik tersebut meliputi:

Tidak adanya penjelasan tentang kualitas suatu hadits dan kualitas sanad (sumber,

silsilah dalam haditsnya), sementara yang lainnya disertai dengan penjelasan.

8 Suryadi, Studi Kitab Hadits, Yogyakarta: Teras, 2003, cet. I

Page 8: Sunan Abi Daud

Adanya kemiripan Abu Dawud dengan Imam Hambali dalam hal mentoleransi hadits

yang oleh sementara kalangan dinilai dha’if.

Kritik juga dilakukan oleh Ibnu al-Jauzi, seorang tokoh ahli hadits bermazhab

Hambali yang telah melakukan penelitian terhadap kitab Sunan Abu Dawud,

dan beliau menemukan hadits yang maudhu’ (palsu) sebanyak sembilan

hadits. Namun kritikan tesebut telah dibahas kembali oleh Jalaluddin al-Suyuti

dalam kitabnya al-la’ali al-Masnu’ah fi Ahadits al-Maudhu’ah dan Ali bin

Muhammad bin Iraq al-Kunani daalam kitabnya Tanjih al-Syari’ah al-

Maudhu’ah. Dalam kitab tersebut dijelaskan kembali hadits-hadits yang

dikritik oleh Ibnu al-Jauzi.9

Penutup

Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam benar-benar membutuhkan literatur keilmuan yang

tersisa dari ulama-ulama Islam terdahulu dari perjalanan panjang mereka menuntut ilmu

untuk menjadikanya sebuah wawasan, perbandingan, atau untuk menyingkap keutamaan–

keutamaannya. Pada masa ini telah muncul para ilmuwan yang berusaha untuk kembali

memunculkan kitab-kitab terdahulu ke permukaan, sehingga tidak hanya menjadi penghias

sejarah keilmuan Islam. Dengan banyak cara mereka berusaha untuk menemukan kelebihan,

kekurangan, pemikiran-pemikiran, dan lain sebagainya dalam kitab-kitab tersebut.

9 www.islam2pedia.com/2011/04/kitab-sunan-abu-daud.