sumiman udu
TRANSCRIPT
![Page 1: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/1.jpg)
1
TRADISI LISAN KABANTI: FUNGSI DAN PERANNYA DALAM MASYARAKAT WAKATOBI1
Oleh : Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum.2
ABSTRAK
Tradisi lisan kaбanti merupakan salah satu bentuk puisi yang paling banyak berkembang dalam masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya. Kaбanti lahir dan berkembang secara turun-temurun sebagai salah satu kesenian, maupun sebagai bagian dari berbagai aktivitas kehidupan masyarakat Wakatobi. Sehingga kaбanti merupakan rumah kebudayaan Wakatobi dan Buton pada umumnya. Di sisi yang lain, perkembangan berbagai kesenian modern, menyebabkan tradisi lisan kaбanti berada pada posisi yang mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Wakatobi dewasa ini tidak lagi memahami fungsi dan peran kaбanti sebagai penanda identitas dan rumah kebudayaannya.
Penelitian ini dilakukan dengan mengamati berbagai performansi kaбanti yang ada dalam masyarakat Wakatobi, yang dilengkapi dengan wawancara. Wawancara dilakukan dengan penyanyi kaбanti dan tokoh-tokoh masyarakat yang memahami adat dan budaya masyarakat Wakatobi. Data dari lapangan ditranskripsi dan terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif untuk menguraikan fungsi dan peran kaбanti dalam masyarakat Wakatobi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam masyarakat Wakatobi ditemukan beberapa fungsi dan peran kaбanti yaitu: a) berfungsi sebagai hiburan, b) alat untuk menyampaikan nasihat keagamaan; c) sebagai ingatan kolektif masyarakat tentang suatu peristiwa; d) sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak dengan bahasa-bahasa yang bernilai tinggi; e) sebagai penghalus budi, penghalus rasa; f) sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya; g) sebagai pembangkit semangat; h) sebagai alat untuk memelihara sejarah setempat; i) sebagai alat protes sosial, yaitu memprotes ketidakadilan di dalam masyarakat. Selanjutnya, peran kaбanti dalam masyarakat Wakatobi sebagai berikut, yaitu (1) sebagai pengantar tidur, (2) sarana pengungkapan perasaan muda-mudi (pobanti), (3) bagian acara adat (kadandio), (4) penenang orang sakit (бae-бae), dan (5) nyanyian kerja. Selain itu, ada juga kaбanti yang dinyanyikan sebagai pengantar tarian atau bagian dari tarian, misalnya kaбanti yang menjadi bagian dari performansi tari lariangi, performansi tari pajoge, dan performansi tari kenta-kenta.
Kata kunci: tradisi lisan kaбanti, fungsi, peran, masyarakat Wakatobi.
1 Disampaikan dalam Seminar Internasional yang dilaksanakan Asosiasi Tradisi Lisan dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi tanggal 1 sampai 3 Desember 2008 2 Dosen FKIP Universitas Haluoleo dan Sekretaris ATL Provinsi Sulawesi Tenggara
![Page 2: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/2.jpg)
2
TRADISI LISAN KABANTI: FUNGSI DAN PERANNYA
DALAM MASYARAKAT WAKATOBI3
Oleh : Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum.4
A. Pengantar
Kaбanti merupakan salah satu bentuk kesenian berupa nyanyian rakyat
(folksong) masyarakat Buton yang sampai dengan hari ini masih tumbuh dan
berkembang di seluruh daerah eks-Kesultanan Buton, yaitu Kabupaten Buton,
Kabupaten Wakatobi, dan Kota Bau-Bau. Jika dilihat dari daerah persebarannya,
kaбanti juga ditemukan di beberapa daerah di Kepulauan Maluku dan sebagian daratan
Sulawesi Tenggara yang meliputi Kota Kendari, Kota Kolaka, dan beberapa tempat
bermukimnya ‘orang pulo’ atau orang Wakatobi di Jazirah Sulawesi Tenggara.
Di samping tersebar secara geografis, kaбanti juga tersebar dalam beberapa
bahasa, yaitu bahasa Wolio, bahasa Cia-Cia, bahasa Gu Mawasangka, bahasa Lasalimu,
dan bahasa Kepulauan Tukang Besi atau bahasa Wakatobi. Dengan kata lain, seluruh
penutur bahasa-bahasa tersebut mengenal kaбanti sebagai nyanyian rakyat. Meskipun
formula atau strukturnya sedikit berbeda, tergantung dari sifat masing-masing bahasa,
tetapi sebagian besar lirik dan formula kaбanti masih sama. Pengulangan-pengulangan
dalam syair kaбanti juga menunjukkan adanya kesamaan dari seluruh bahasa yang ada
di Buton.
Sebagai salah satu bentuk kesenian rakyat yang diwariskan secara turun-
tumurun, tidak diketahui secara pasti kapan kaбanti lahir dan berkembang di dalam
masyarakat pendukungnya. Menurut La Niampe (1998:5), kaбanti yang tergolong karya
yang banyak jumlahnya dan populer di kalangan pendukungnya tersebut telah lama
dikenal oleh masyarakat Buton sejak zaman pra-Islam. Penyebaran kaбanti yang sudah
berlangsung sejak lama tersebut meliputi seluruh barata5 yang ada di Kesultanan
Buton, mulai dari Barata Muna dan Barata Tiworo di barat sampai dengan Barata
Kulisusu di utara dan Barata Kaedupa di timur Pulau Buton. 3 Disampaikan dalam Seminar Internasional yang dilaksanakan Asosiasi Tradisi Lisan dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dengan tema .... tanggal 1 sampai 3 Desember 2008 4 Dosen FKIP Universitas Haluoleo dan Sekretaris Pusat Penelitian Budaya dan Parisisata Lembaga Penelitian Universitas Haluoloe 5 Barata merupakan daerah otonom pada masa kesultanan Buton yang berfungsi mempertahankan Buton dari serangan Goa dan Ternate. Dari askep pemerintahan barata merupakan daerah otonom yang mendapatkan kewenangan yang luas dari pemerintah pusat.
![Page 3: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/3.jpg)
3
Barata Kaedupa—yang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini dan sekarang
telah dimekarkan menjadi Kabupaten Wakatobi—merupakan salah satu daerah
persebaran kaбanti dalam bahasa Kepulauan Tukang Besi. Masyarakat di daerah ini
mengenal kaбanti sebagai nyanyian rakyat yang paling disukai. Hampir seluruh
aktivitas kesenian masyarakat melibatkan kaбanti sebagai bagian dari pementasannya.
Beberapa tarian yang melibatkan kaбanti dalam komposisinya adalah tarian pajogi6,
tarian lariangi7, drama tradisional kenta-kenta8, tarian balumpa dan beberapa kesenian
lainnya. Di samping itu, aktivitas masyarakat yang melibatkan kaбanti sebagai bagian
dari kegiatan itu adalah menidurkan anak, tradisi ritual adat (pakande-kandea), acara
mangania kabuenga9, dan mangania nu uwe10, serta tradisi pengobatan tetap
menggunakan syair kaбanti.
Kaбanti yang dinyanyikan pada acara mangania kabuenga dan mangania nu
uwe disebut kadandio. Kadandio dinyanyian secara bersama-sama sambil berjalan
mengelilingi kerumunan orang yang mengantar liwo11 ke depan gadis-gadis yang akan
di-sombui12. Peserta kadandio berjalan berkeliling sambil minum konau atau arak.
Kadandio memiliki lirik yang panjang sehingga hampir tidak diketahui awal dan akhir
syair-syairnya. Lirik kadandio pun berbeda dengan lirik kaбanti yang dinyanyikan di
tempat pesta atau kaбanti yang dinyanyikan sebagai pengantar tidur anak-anak.
6 Pajogi merupakan salah satu bentuk tarian yang diikuti oleh nyanyian. Salah seorang penari menyanyikan kaбanti. Adapun jumlah penari biasanya terdiri atas enam orang wanita atau gadis dan dintari oleh laki-laki yang disebut ngiwi.Tarian ini diikuti dengan musik yang disebut oleh orang Wakatobi dengan gendang pajogi. 7 Lariangi merupakan tarian rakyat yang dipentaskan di kampung-kampung oleh delapan sampai dua belas orang gadis. Salah satu bagian lariangi terdapat pula tari pajogi. Pada saat itulah kaбanti dinyanyikan. 8 Kenta-kenta merupakan tarian tradisional yang menggambarkan kehidupan nelayan atau masyarakat maritim. Di samping gerak, juga terdapat dialog dan disertai dengan tarian. 9 Budaya sesajian pada ayunan yang merupakan sarana berkumpulnya masyarakat guna meneliti hubungan pertunangan dan perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat. Jika terjadi hubungan pertunangan yang salah menurut adat, kampung akan dilanda oleh kekeringan atau perkebunan akan diganggu oleh hama, atau ikan akan menjauh dari kampung. Kaбanti digunakan untuk menyindir kesalahan tersebut. Di samping itu, kaбanti digunakan untuk mengungkapkan perasaan muda-mudi yang saling mencintai. 10 Budaya sesajian yang dilakukan di atas air gua yang bertujuan untuk meneliti tindakan masyarakat dalam merusak lingkungan. 11 Makanan yang disusun berdasarkan tata cara adat disusun di atas talang yang biasanya dilakukan pada saat acara ritual-ritual adat. 12 Kegiatan adat, berupa memberi makan tunangan (perempuan) oleh keluarga dari pihak laki-laki. Perempuan menunggu kedatangan orang-orang yang kadandio dari kelurga tunangannya atau kelurganya bagi mereka yang belum mempunyai tunangan.
![Page 4: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/4.jpg)
4
Kadandio dinyanyikan dengan suara yang panjang, sambung-menyambung, seolah-olah
tidak ada awal dan akhir karena saling bersahutan.
Aktivitas lain yang melibatkan kaбanti adalah pada saat bekerja. Sebagai
nyanyian kerja, kaбanti dinyanyikan di tempat kerja. Irama, kata-kata, atau frase dalam
kaбanti sebagai nyanyian kerja mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat
menggugah semangat sehingga dapat menimbulkan rasa bergairah untuk bekerja.
Dalam konteks ini, kaбanti biasanya dinyanyikan pada saat bekerja di kebun (oleh
petani), mendayung sampan (oleh nelayan), dan bekerja di bangunan (oleh buruh
bangunan).
Kaбanti sebagai pengantar tidur merupakan kaбanti yang dinyanyikan untuk
meninabobokan bayi atau anak. Kaбanti sebagai pengantar tidur mempunyai irama
yang halus dan tenang, berulang-ulang, sehingga dapat membangkitkan rasa santai,
damai, dan akhirnya rasa kantuk bagi bayi atau anak yang mendengarnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Danandjaja (1995:146) bahwa nyanyian sebagai pengantar tidur
mempunyai lagu dan irama yang halus, tenang, dan berulang-ulang sehingga dapat
membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan akhirnya rasa kantuk bagi anak yang
mendengarnya.
Penggunaan kaбanti dalam berbagai aktivitas masyarakat pendukungnya
tersebut menunjukkan bahwa kaбanti merupakan kesenian rakyat yang dapat
merefleksikan budaya masyarakatnya, termasuk pandangan masyarakat tentang
perempuan. Budaya masyarakat Wakatobi selama ini telah memosisikan perempuan
dalam ketegangan. Di satu sisi, budaya Waktobi menghargai dan menghormati
perempuan, tetapi di sisi lain, budaya Wakatobi banyak membelenggu perempuan,
terutama untuk menduduki posisi-posisi tertentu dalam kehidupan bermasyarakat.
Pandangan budaya seperti ini akan mempengaruhi keberadaan perempuan, baik dalam
kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan sosialnya.
B. Kaбanti sebagai Tradisi Lisan Wakatobi
Secara etimologi kaбanti berasal dari bahasa Wolio, terdiri dari dua morfem
yaitu morfem terikat ka- dan morfem bebas бanti. Morfem terikat ka- berfungsi sebagai
pembentuk kata benda, sedangkan morfem bebas бanti mengandung pengertian puisi.
Jadi kata kaбanti berarti ‘ikhwal puisi’ (La Niampe, 1997: 8). Dijelaskan oleh La Ode
![Page 5: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/5.jpg)
5
Nsaha (1978: 235), kaбanti berarti puisi yang berisi mutiara-mutiara kebijaksanaan atau
pernyataan rasa dalam bentuk yang amat digemari dan mengena sehingga di dasar hati
bahkan dalam situasi pembicaraan umum pun dalam suasana dari hati ke hati.
Ditinjau dari kemunculannya tidak diketahui secara pasti kapan kaбanti tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat Wakatobi. Dalam tradisi tulis (naskah), kaбanti
sudah dikenal sejak beberapa abad lalu. Menurut La Niampe (1998), kaбanti sudah
dikenal oleh masyarakat Buton sejak dulu. Dengan demikian, kaбanti merupakan karya
tradisi yang tergolong tua. Tetapi dalam tradisi lisan tidak lagi diketahui secara pasti
kapan kaбanti tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Wakatobi.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kaбanti pengantar tidur
sebagai salah satu jenis kaбanti yang ada juga tidak diketahui secara pasti sejak kapan
dijadikan sebagai pengantar tidur. Seorang tokoh masyarakat Desa Tindoi, La Ode
Wole (60 tahun), mengatakan bahwa kaбanti sebagai pengantar tidur sudah menjadi
kebiasaan masyarakat Wakatobi khususnya dan Buton umumnya secara turun-
temurun.13 Sementara itu, La Ode Kamaluddin (40 tahun) menyatakan bahwa kaбanti
sudah ada sejak zaman nenek moyang. Ditambahkannya bahwa sejarah kaбanti sebagai
pengatar tidur sampai hari ini tidak ada yang mengetahui secara pasti.14
Informasi dari warga lain, khususnya dari masyarakat Desa Longa, adalah
bahwa kaбanti sudah lama dikenal oleh masyarakat, bahkan kaбanti merupakan
kesenian yang menjadi tradisi yang sudah tergolong tua. Kaбanti telah ada sejak zaman
dahulu15. Pada saat ditanyakan dari informan bernama Wa Damu (56 tahun) tentang
kapan kaбanti dijadikan sebagai pengantar tidur (lunga-lunga), ia menjawab, telagu
mea na’e anemo mina imolengo ‘nyanyian ini telah ada sejak dulu’.16
Di desa Tindoi, seorang informan bernama Wa Sale (54 tahun), pada saat
ditanyakan persoalan sejarah kaбanti sebagai pengantar tidur mengatakan bahwa tidak
ada lagi yang tahu secara pasti. Dengan demikian, sejarah munculnya kaбanti dalam
masyarakat Wakatobi khususnya dan Buton umumnya tidak diketahui secara pasti.
13 Hasil wawancara tanggal 17 Juli 2008 14 hasil wawancara tanggal 18 Juli 2008 15 Hasil wawancara dengan La Unga (65 tahun) pada tanggal 16 juli 2008. 16 Wawancara pada tanggal 16 Juli 2008 bertempat di rumah informan di Desa Longa, Kecamatan Wangi-Wangi,
Kabupaten Wakatobi.
![Page 6: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/6.jpg)
6
C. Fungsi dan Peran Kaбanti dalam Masyarakat Wakatobi
Secara garis besar karya sastra berfungsi sebagai hiburan dan berguna (Horace
dalam Wellek dan Warren, 1995: 25). Sebagaimana karya sastra yang lain, fungsi
kaбanti yang paling pertama adalah sebagai hiburan. Dalam fungsinya sebagai hiburan
tersebut, kaбanti dapat menidurkan bayi, dapat menghibur tamu di pesta, dan dapat
menyenangkan penonton tari pajogi dan lariangi. Dalam pesta atau tarian, penonton
akan semakin terlibat di dalam setiap performansi kaбanti karena mereka akan merasa
terhibur dengan mendengarkan nyanyian kaбanti. Hal ini disebabkan oleh syair kaбanti
dapat saja menyinggung perasaannya. Dalam arti, lewat syair kaбanti, penonton atau
pendengar merasa terhibur karena kaбanti menyentuh rasa, menyentuh jiwa setiap
orang yang mendengarnya.
Dalam konteks penonton tari pajogi, seseorang akan melakukan ngiwi17 setelah
mendengarkan syair kaбanti yang dinyanyikan oleh seorang penari. Contoh syair yang
dapat mendorong seseorang untuk terlibat dalam performansi tari pajogi adalah sebagai
berikut. 1. E tabea wa limbo nu-mia
Pe. permisi PG kampung 2sR- orang E ane ku-бumanti saбa’e
Pe.ada 1sR-nyanyian satu buah Permisi (perempuan) kampungnya orang Aku mau bernyanyi satu buah
2. E kaasi wa kalemo-lemo18 Pe. kasihan PG kalemo-lemo
E ku-mekarunga-runga-ngko-mo Pe.1sR-mekaranga-runga19-2spos-past
Kasihan Wa Kalemo-Lemo Aku sudah memetikmu dimasa mudamu Seseorang yang mendengarkan syair di atas, jika mengetahui bahwa si penari
adalah gadis yatim piatu, akan merasa iba dan mengambil sapu tangan penari setelah
selesai melakukan ngiwi. Ia akan mengembalikan sapu tangan itu setelah diisi dengan
uang. Perasaan iba setelah mendengarkan syair kaбanti yang didengarnya itulah yang
membuat sesorang dapat memberikan uang kepada anak yatim piatu. Dalam fungsinya
17 Tarian yang mengintari tari pajogi dan tari lariangi. 18 Jenis tanaman yang biasa tumbuh dipesisir pantai. 19 Memetik buah semasih muda atau sebelum matang.
![Page 7: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/7.jpg)
7
sebagai hiburan, kaбanti dapat menghilangkan stres bagi seseorang yang
mendengarnya.
Adapun dalam fungsinya sebagai karya sastra yang berguna, sebagaimana yang
dikemukakan Horace, kaбanti dapat menjadi alat untuk menyampaikan nasihat
keagamaan. Selain itu, juga dapat berfungsi sebagai ingatan kolektif masyarakat tentang
suatu peristiwa, misalnya ingatan kolektif mengenai batas wilayah Wanci dan Mandati,
seperti tampak pada syair kaбanti berikut. E te wanse-mo te mandati-mo Pe.art.wanse-EMPH art. Mandati-EMPH E ði Endapo nang kaselapa Pe.di Endapo art. batas wilayah
Baik (orang) Wanse maupun (orang) Mandati Di Endapo batas wilayahnya
Syair kaбanti di atas, merupakan salah satu syair yang dikutip oleh H. La
Morunga (45 tahun) saat membicarakan tentang perselisihan batas wilayah. Dengan
mengacu pada isi kaбanti di atas, maka penentuan batas wilayah Kecamatan Wangi-
Wangi dan Wangi-Wangi Selatan ketika dimekarkan pada tahun 2003 ditetapkan di atas
air Endapo.
Dalam kaitan dengan penggunaannya sebagai pengantar tidur, kaбanti berfungsi
sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak dengan bahasa-bahasa yang bernilai tinggi.
Hal ini sesuai dengan pendapat La Ode Nsaha (1978: 235) yang mengemukakan bahwa
kaбanti merupakan kumpulan kata-kata mutiara yang menyentuh sampai di hati dalam
setiap kesempatan. Lewat syair-syair kaбanti yang mengandung bahasa metafor
tersebut seorang anak dapat memiliki perasaan yang lembut.
Salah satu fungsi tradisi dalam masyarakat adalah sebagai penghalus budi,
penghalus rasa. Untuk itu, Nuhayati Rahman (1999: viii) mengatakan bahwa salah satu
cara untuk mengasah kepekaan rasa dan hati nurani adalah melalui penciptaan,
pembacaan, dan penghayatan karya tradisi. Dalam kasus kaбanti sebagai nyanyian
rakyat masyarakat Wakatobi, syair-syair kaбanti dapat menjadi sarana penghalus budi
dan hati nurani masyarakat Wakatobi. Sejak dini kaбanti telah diperdengarkan sebagai
pengantar tidur saat anak-anak Wakatobi. Mereka mulai menangkap kebudayaannya.
Contoh syair kaбanti yang dapat menghaluskan rasa dan budi tersebut terlihat dalam
teks I bait ke- 53 dan ke-54 berikut.
![Page 8: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/8.jpg)
8
53. E ara no-sangga-ko te mia Pe.kalau 2sR-cemburu –2sRpos art. orang E hoto’imani mpuu kita Pe.beriman sungguh kita Kalau kamu dicemburui orang Berimanlah sunguh-sungguh
54. E te imani-’a ngku-imani
Pe.art.beriman-past. 1sR-beriman E ðahani na tumpu balaa Pe.tahu art. datang bala Kalau beriman aku beriman Tidak tahu kalau dengan datangnya bala
Kaбanti sebagai nyanyian pengantar tidur juga berfungsi sebagai sarana
transfer budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini sesuai dengan
empat fungsi nyanyian rakyat, seperti yang dikemukakan Danandjaja (1994:
152-153).
Pertama, nyanyian rakyat berfungsi untuk (1) merenggut kita dari kebosanan
hidup sehari-hari walaupun untuk sementara waktu, (2) menghibur diri dari kesukaran
hidup sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara, atau (3) melepaskan diri dari
segala ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa. Menurut
Danandjaja (1994: 152-153), nyanyian sebagai pengantar tidur merupakan salah satu
jenis nyanyian dengan fungsi seperti itu. Untuk itu, kaбanti merupakan nyanyian yang
berfungsi sebagai pelepas ketegangan dan pemberi kedamaian dalam menghadapi
kesukaran hidup. Contoh syair kaбanti dengan fungsi tersebut dapat dilihat pada tiap-
tiap teks dalam bait pertama hingga bait ketiga berikut.
1. E bue-bue aneðo pei Pe. ayun-ayun masih bodoh
E aneðo te ðitemba-temba Pe. masih harus art. ditimang-timang
Ku ayun-ayun semasih bodoh masih harus ditimang-timang
2. E ku-bumue-bue nggala-ne Pe. 1sIR-(akan) ayun-ayun dulu-Padv.
E mina aneðo no-бahuli Pe.dari masih 3sR-kecil Aku akan mengayun-ayunnya dulu
Sewaktu ia masih kecil
![Page 9: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/9.jpg)
9
3. E ku-bumue-bue nggalane Pe. 1sIR-(akan) ayun-ayun dulu-Padv. E mondo-mo ku-sala te laro Pe. Selesai-past 1sR-salah art.dalam
Aku akan mengayun-ayunnya dulu Sudah pernah aku menyalahi perasaanya
Tiga bait pembuka pada nyanyian rakyat pada masyarakat Wakatobi tersebut
merupakan pembuka nyanyian pengantar tidur. Seorang ibu mengekspresikan bait
pertama sebagai rasa kasih sayang pada bayinya.
Bait kedua baris pertama merupakan formula dari nyanyian ini. Kata ulang bue-
bue digubah dalam bentuk yang lain, yaitu kubumue-bue nggalane. Kata ulang bue-bue
mendapatkan sisipan /-um-/ dan dilanjutkan dengan baris kedua, yaitu /E mina aneho
noбahuli/ ‘semasih ia masih kecil’. Bait tersebut merupakan ekspresi rasa bersalah dari
seorang ibu yang lama meninggalkan anaknya. Rasa bersalah tersebut dipertegas dalam
bait ketiga baris kedua, yakni seorang ibu ingin menghibur anaknya yang masih kecil
karena pernah ditinggalkan ke kebun.
Kedua, nyanyian rakyat berfungsi sebagai pembangkit semangat, seperti
nyanyian kerja. Sehubungan dengan fungsi nyanyian rakyat tersebut, kaбanti digunakan
oleh masyarakat pendukungnya sebagai pembangkit semangat pada saat bekerja di laut,
di kebun, dan di bangunan. Syair-syair kaбanti dinyanyikan sambil bekerja sehingga
melahirkan semangat dalam melakukan perkerjaan. Dengan nyanyian yang berisi kisah
cinta, mereka akan selalu memberikan semangat pada orang-orang yang sedang bekerja.
Dalam kegiatan membuka atau menyiangi kebun/ladang, ibu-ibu melakukannya sambil
bernyanyi. Mereka mengekspresikan lagu-lagu yang dapat menciptakan semangat.
Mereka kebanyakan menyanyikan kaбanti yang mengekspresikan kehidupan mereka
sehari-hari.
Ketiga, nyanyian rakyat berfungsi untuk memelihara sejarah setempat. Telah
disebutkan di depan bahwa batas Mandati dan Wanci tentang dalam syair kaбanti.
Selanjutnya, masyarakat Wangi-Wangi mengingat kisah migrasi masyarakat Wakatobi
khususnya dan Buton umumnya dengan memasukkan Pulau Buru dan Pulau Seram
sebagai tempat merantau. Ini merupakan sejarah migrasi bangsa Buton pada beberapa
puluh tahun yang lalu. Contoh syair kaбanti yang menggambarkan tentang daerah
![Page 10: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/10.jpg)
10
tujuan migrasi masyarakat Wakatobi pada zaman dulu diabadikan dalam bait pertama
teks yang dinyanyikan oleh Wa Radi berikut. E bue-bue бangka nu-Sera
Pe. ayun-ayun perahu 2sR-Seram E mbali бata na ngko-kombu-no Pe.jadi batang kayu art 2sR-tiang-past Ayun-ayun perahu perahunya Seram
Tiangnya menjadi batang kayu
Baris pertama pada bait ke-1 teks kaбanti di atas merupakan penggambaran
perahu yang selalu membawa masyarakat Wakatobi ke pulau Seram di Kepulauan
Maluku. Baris ke-2 merupakan ekspresi kondisi perahu yang mengantar mereka pada
saat itu. Perahu ini menggantungkan tenaganya pada layar yang dipasang di tiang
perahu (kokombu). Perahu yang disebut bangka pada waktu itu disebut perahu karoro.20
Kaбanti tersebut merefleksikan fungsi kaбanti sebagai rekaman sejarah migrasi
masyarakat Wakatobi ke kepulauan Maluku yang telah terjadi dalam tempo waktu yang
panjang (Rabani, 1997: 23).
Keempat, nyanyian rakyat sebagai protes sosial, yaitu memprotes ketidakadilan
di dalam masyarakat. Dalam kaбanti, ekspresi tersebut dapat dilihat pada teks kaбanti
bait ke-11 hingga bait ke-13 berikut. 11. E na бoha-бoha-nto salimbo
Pe.art. berat-I3ppos. sekampung E te paira na nsababu-no Pe.art. apa art. sebab-3spos. Beratnya kita sekampung Apa yang menjadi penyebabnya?
12. E sababu te mingku paira
Pe. sebab art. sikap apa E ðimai-no kua iaku Pe.datang-3spos. bagi saya Sikap apa yang menjadi penyebabnya? Yang datangnya dariku
13. E no-mingku toumpa namia?
Pe.3sR-sikap bagaimana orang? E no-awane na ngkakoбea Pe.3sR-dapatkan art. kebenaran Bagaimana sikapnya orang? Mereka mendapatkan kebenaran
20 Perahu yang berlayarkan kain karoro.
![Page 11: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/11.jpg)
11
Tiga bait di atas merupakan kaбanti yang diungkapkan situasi kehidupan
masyarakat yang tidak lagi memperlihatkan persahabatan, tetapi sudah saling
menyalahkan dan saling mencurigai. Kondisi ini diekspresikan dalam bait ke-11 baris
pertama yang dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai sebab terjadinya kondisi itu
pada baris kedua. Akan tetapi, si aku lirik terlebih dahulu mempertanyakan kesalahan
dirinya, yaitu pada bait ke-12. Setelah itu, si aku lirik menyalahkan orang lain.
Pada bait ke-13, si aku lirik kembali mempertanyakan sikap orang lain yang
mendapatkan pujian atau kebenaran dari masyarakat. Tiga bait di atas merupakan salah
satu protes yang sangat halus atas situasi di dalam masyarakat yang saling
menyalahkan. Si aku lirik melakukan protes atas sikap masyarakat yang seperti itu.
Selain kaбanti berfungsi seperti yang dikemukakan oleh Djames Danandjaja di
atas, fungsi kaбanti yang lain adalah untuk menghaluskan kata-kata bagi masyarakat
Wakatobi. Orang-orang yang menguasai kaбanti akan mempunyai perbendaharaan kata
yang halus. Mereka santun dalam berbicara karena mereka menggunakan metafora-
metafora yang ada dalam syair-syair kaбanti.
Di depan telah dinyatakan tentang fungsi kaбanti, maka berikut ini akan
dijelaskan peran kaбanti berdasarkan konteks aktivitas masyarakat Wakatobi.
Berdasarkan hal tersebut, peran kaбanti dalam masyarakat Wakatobi sebagai berikut,
yaitu (1) sebagai pengantar tidur, (2) sarana pengungkapan perasaan muda-mudi
(pobanti), (3) bagian acara adat (kadandio), (4) penenang orang sakit (бae-бae), dan (5)
nyanyian kerja. Selain itu, ada juga kaбanti yang dinyanyikan sebagai pengantar tarian
atau bagian dari tarian, misalnya kaбanti yang menjadi bagian dari performansi tari
lariangi, performansi tari pajoge, dan performansi tari kenta-kenta.
1. Pengantar Tidur
Kaбanti sebagai pengantar tidur dinyanyikan untuk menidurkan bayi. Kaбanti
dalam bentuk ini memiliki alunan yang halus dan lembut sehingga membuat bayi cepat
tertidur. Iramanya berulang-ulang sehingga dapat menimbulkan rasa kantuk bagi bayi.
Irama yang halus tersebut mengikuti gerakan kaki atau ayunan tempat bayi dibaringkan.
Hanya syair-syairnya yang berganti-ganti, seolah mengalir seperti air dari mulut sang
penyanyi.
![Page 12: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/12.jpg)
12
Sebagaimana telah disinggung di atas, kaбanti sebagai pengantar tidur memiliki
performansi yang berbeda-beda sesuai dengan bagaimana cara anak itu ditidurkan. Ada
anak yang ditidurkan dengan cara dibaringkan di atas tulang kering kaki ibunya disebut
lunga-lunga. Ada juga yang digendong (бata-бata) serta ada yang dibaringkan di
ayunan (kabuenga). Sejauh pengamatan peneliti, kaбanti dalam bentuk ini tidak
menggunakan musik pengiring.
2. Sarana Pengungkapan Perasaan Muda-Mudi (Poбanti)
Adapun kaбanti (pobanti) yang dinyanyikan secara berbalasan sebagai wahana
pengungkapan perasaan laki-laki dan perempuan yang biasanya dilakukan di tempat
pesta dan di kabuenga (ayunan)21. Sebelum hari pelaksanaan mangani’a nukabuenga
berlangsung, ayunan yang sudah dibuat di tengah lapangan akan ramai dengan gadis-
gadis dan anak-anak muda yang bermain ayunan sambil menyanyikan kaбanti. Pada
konteks ini, kebanyakan ibu-ibu dan bapak-bapak juga ikut meramaikan suasana
ayunan dengan menyanyikan kaбanti dari pinggir ayunan. Beberapa contoh kaбanti
yang mengekspresikan perasaan laki-laki dan perempuan dalam acara (pobanti) adalah
seperti berikut.
1. E na leu nu-romu-romu-nto Pe. art bagus 2sR-kumpul-kumpul-EMPH
E ara paka-mo ntamoga Pe.kalau tidak-past berpisah
Bagusnya kita kumpul-kumpul Kalau tidak lagi berpisah
2. E mou ane-ðo ntamoga’a Pe. walau ada-EMSH berpisah
E ta-mogaa kae nu-laro Pe. 1pIR-pisah kae22 2sR-dalam
Walaupun kita masih berpisah Kita berpisah dengan perasaan tak sampai
21 Masyarakat Wakatobi mengenal tradisi membuat ayunan dalam ukuran besar. Laki-laki dan perempuan datang ke
ayunan itu untuk menyanyi dan main ayunan. Klimaks dari acara ini adalah seluruh warga kampung datang dengan
membawa makanan (posombui), yaitu proses publikasi hubungan cinta muda-mudi kepada masyarakat umum. 22 Tidak cukup
![Page 13: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/13.jpg)
13
Pada acara kabuenga (ayunan), performansi kaбanti dilakukan bersamaan
dengan proses mengayunkan ayunan. Biasanya, perempuan didudukkan di atas ayunan
dan laki-laki mendorong ayunan sambil menyanyikan kaбanti. Kehadiran ibu-ibu dan
bapak-bapak dalam kegiatan ini juga akan mengambil alih atau menjawab kaбanti yang
dinyanyikan jika tidak dijawab oleh si anak muda atau si gadis. Dalam konteks ini,
biasanya kaбanti menggunakan alat musik gitar, gendang, dan botol. Muda-mudi
berpantun atau bernyanyi diiringi oleh musik sehingga acara pobanti cenderung
berlangsung lama karena mereka menyanyi dengan cara berbalasan. Selain itu, durasi
waktu yang panjang tersebut juga dipengaruhi oleh peserta kaбanti yang datang dan
pergi silih berganti.
Pobanti juga dinyanyikan di tempat pesta untuk menghibur orang yang bekerja
di tempat pesta. Di dalam masyarakat Wakatobi, khususnya masyarakat Wangi-Wangi,
terdapat seorang penyanyi kaбanti yang terkenal, yaitu La Ode Kamaluddin. Dalam
proses pementasan (pobanti), ia memanggil perempuan untuk menjadi pasangannya.
Hal itu dilakukannya guna memancing keterlibatan penonton. Performansi kaбanti di
tempat pesta seperti ini memberikan kesempatan kepada semua penonton untuk
menyanyikan kaбanti sehingga kalau ada seorang pemuda yang menyukai seorang
gadis di antara penonton, perasaan cintanya tersebut akan disampaikan lewat kaбanti
yang diiringi oleh musik dari kelompok La Ode Kamaluddin.
Nyanyian dari penonton biasanya akan dikembangkan oleh seorang penyanyi
kaбanti profesional, seperti La Ode Kamaludin. Seorang penyanyi kaбanti profesional
akan mampu merespons penonton lewat syair-syairnya yang kebanyakan menggunakan
syair dari penonton sebagai formula dalam syair-syair berikutnya. Oleh karena itu,
performansi kaбanti dapat bertahan hingga berjam-jam.
Selain La Ode Kamaluddin, di Kaledupa juga dikenal penyanyi kaбanti yang
selalu diundang, yaitu La Huudu. Walaupun kondisi tubuhnya cacat, La Huudu pernah
pentas tanpa henti selama dua hari dua malam ketika diundang ke Wanci, pada pesta
karia ngkoru’a23. La Sahia mengatakan bahwa pada waktu pesta di Sousu, La Huudu
pernah datang dan juga menyanyi selama dua hari dua malam.
23 Khitanan masal yang waktu itu dilaksanakan di Sousu,
![Page 14: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/14.jpg)
14
3. Bagian Pesta Adat (Kaðandio)
Kaðandio merupakan kaбanti yang dinyanyikan sebagai bagian dari kegiatan
ritual adat. Dalam masyarakat Wakatobi, kaðandio dinyanyikan pada acara mangani’a
nu uwe dan mangani’a nukabuenga, serta pada acara adat pakande-kandea. Akhir dari
setiap nyanyian selalu diiringi dengan teriakan tompa La Ode ‘silakan lempar La Ode’,
yang maksudnya adalah “silakan kau bicara La Ode, silakan sampaikan perasaanmu
pada perempuan atau gadis yang sedang menyuguhkan makanan atau minuman”. Acara
kaðandio mempunyai performansi yang menarik karena melibatkan banyak orang.
Semua orang yang hadir di dalam acara ritual adat itu merupakan bagian dari
performansi kaбanti (kaðandio).
4. Penenang Orang Sakit (бae-бae)
Бae-бae merupakan kaбanti yang digunakan sebagai sarana pengobatan.
Kaбanti бae- бae saat ini sudah jarang dipentaskan. Hal ini disebabkan oleh masyarakat
Wakatobi sudah banyak mengenal obat-obatan modern. Lirik kaбanti sebagai sarana
pengobatan memiliki irama yang halus, berulang-ulang, hingga akhirnya pasien tertidur
dalam keadaan tenang. Dengan demikian, pasien akan melewati masa-masa kritis
penyakit tetanus sambil menunggu pengobatan dari dokter atau dari dukun yang lain. Di
samping itu, бae-бae juga dinyanyikan untuk penyakit cacar (lemba). Masyarakat
Wakatobi masih percaya bahwa penyakit cacar dapat dipercepat munculnya pada tubuh
pasien dengan menyanyikan kaбanti. Pengobatan dengan nyanyian mempunyai tujuan
untuk mempercepat munculnya penyakit cacar tersebut karena menurut tradisi lisan
masyarakat Wakatobi, penyakit cacar (lemba) harus naik semua dan untuk
menaikkannya harus dinaikkan dengan kaбanti (бae-бae). Setelah semua penyakit cacar
itu muncul, berikutnya бae-бae akan menurunkan penyakit cacar tersebut.
5. Nyanyian Kerja
Penggunaan kaбanti di dalam masyarakat Wakatobi adalah pada saat bekerja.
Kebanyakan masyarakat Wakatobi bekerja sambil menyanyikan kaбanti. Hal ini terkait
dengan fungsi kaбanti sebagai hiburan, penghilang rasa letih. Dalam konteks ini, lirik
kaбanti kadang-kadang dinyanyikan dalam bentuk siulan. Namun ada juga kaбanti
![Page 15: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/15.jpg)
15
dinyanyikan dengan cara berbalasan (poбanti). Kebanyakan ibu-ibu yang bergotong-
royang menyanyikan kaбanti seperti ini.
Dalam penggunaannya sebagai nyanyian kerja, para nelayan menyanyikan
untuk mengusir rasa ngantuk. Di samping itu, mereka menyanyikan kaбanti untuk
merefleksi kehidupan mereka. Lewat kaбanti, mereka merefleksikan hidupnya. Inilah
yang dikatakan oleh La Ode Nsaha, (1975) bahwa kaбanti merupakan nyanyian yang
menyentuh sampai di hati.
6. Pengiring Tarian
Penggunaan kaбanti yang lain adalah nyanyian yang mengikuti tarian, yaitu
tarian pajogi dan tarian lariangi. Kedua tarian ini diiringi oleh nyanyian kaбanti dalam
setiap performansinya. Pada tarian pajogi, nyanyian kaбanti langsung dinyanyikan oleh
seorang penari. Ia menyanyikan kaбanti pada saat gerakan mangu-mangu.24 Syair-syair
kaбanti yang dinyanyikan oleh seorang penari memiliki kesamaan dengan nyanyian
pengantar tidur. Perbedaannya hanya terletak pada bait pertama. Seorang penari
memulai syairnya dengan syair yang menunjukkan penghormatan pada kampung.
Demikian pula dengan syair pembuka dalam tarian pajogi. 1. E tabea wa limbo nu-mia
Pe. permisi PG kampung 2sR- orang E ane ku-бumanti saбa’e
Pe.ada 1sR-nyanyian satu buah Permisi (perempuan) kampungnya orang Aku mau bernyanyi satu buah
2. E kaasi wa kalemo-lemo25 Pe. kasihan PG kalemo-lemo Kasihan Wa Kalemo-Lemo
Pe.1sR-mekaranga-runga26-2spos-past E ku-mekarunga-runga-ngko-mo Aku sudah memetikmu dimasa mudamu
24 Gerakan tarian ketika posisi tubuh penari sedikit merendah, lutut ditekuk, tangan kanan memegang kipas, dan
tangan kiri disimpan di pinggang. Pada saat mangu-mangu, penari tampil di panggung satu-satu. Dalam kasus tari
lariangi yang menyanyi adalah anggota grup yang duduk, sementara yang sedang menari tidak menyanyi. Dalam
tarian pajogi penari sekaligus menyanyikan kaбanti. 25 Jenis tanaman yang biasa tumbuh di pesisir pantai. 26 Memetik buah semasih muda atau sebelum matang.
![Page 16: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/16.jpg)
16
Pembukaan nyanyian kaбanti yang mengiringi tarian pajogi diawali untuk
menghormati kampung. Seorang atau kelompok penari yang tidak menghormati
kampung dalam memulai tarian akan dianggap tidak beradab. Setelah bait
penghormatan tersebut, seorang penari akan mengekspresikan perasaan, pikiran, dan
tingkah lakunya dalam syair-syair berikutnya. Bait kedua dalam contoh kaбanti di atas
menunjukkan bahwa penari pajogi telah mengekspresikan perasaannya.
Secara umum, masyarakat Wakatobi telah mengenal tarian ini sebagai milik
masyarakat Pookambua. Adapun grup lariangi yang paling terkenal di Wakatobi adalah
lariangi Liya, dan lariangi Kaledupa. Setiap penari pajogi dan lariangi memiliki
kemampuan yang baik dalam penguasaan syair-syair kaбanti.
Selanjutnya, dalam drama tradisional kenta-kenta, kaбanti dinyanyikan pada
saat pemain drama menarikan tarian pajogi. Hal ini disebabkan oleh drama tradisional
kenta-kenta termasuk drama rakyat yang mengkombinasikan seluruh unsur-unsur tari di
dalam pementasannya (Udu, 1999: 15—16). Hal ini sebagaimana yang dikemukakan
oleh Rendra (1993: 110) bahwa drama tradisional adalah drama yang bentuknya
mengikuti adat kebiasaan yang turun-temurun dan tidak mengikuti kepribadian seniman
penciptanya. Pendapat tersebut diperkuat oleh Tim Proyek Pengembangan Kebudayaan
Sulawesi Tenggara (1978: 62) yang mengatakan bahwa drama tradisional adalah drama
yang lahir dan berkembang di dalam masyarakat dan mempunyai struktur yang berbeda
dengan pola teater Barat. Dalam drama tradisional, bukan saja menghidangkan
pementasan drama dengan unsur dialog dan laku, melainkan juga di dalamnya
ditemukan unsur-unsur tari dan musik yang menjadi bagian dari pementasannya.
D. Penutup
Sebagai salah satu tradisi lisan yang banyak digunakan dalam masyarakat
Wakatobi, kaбanti mempunyai peran sebagai penanda identitas masyarakat Wakatobi.
Di samping itu, kaбanti juga merupakan rumah kebudayaan Wakatobi yang tetap
menjaga nilai-nilai social budaya masyarakat Wakatobi dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Oleh karena itu, untuk mengembangkan masyarakat Wakatobi yang
berbudaya dan memiliki etos kerja yang tinggi, tentunya harus tetap berusaha untuk
menjadikan kaбanti sebagai rumah kebudayaan dan sekaligus sebagai penanda identitas
bagi masyarakat Wakatobi.
![Page 17: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/17.jpg)
17
E. Daftar Pustaka
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti
Danandjaja, James. 1998. “Folklore dan Pembangunan Kalimantan Tengah: Merekonstruksi Nilai Budaya Orang Dayak Ngaju dan Ot Danum Melalui Cerita Rakyat Mereka”. Dalam Pudentia (editor). Metodologi Kajian Sastra Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.
La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis. 1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara.
Rabani, La Ode. 1997. Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton 1961-1987. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.
Rahman, Nurhayati dan Adiwimarta, Sri Sukesi. 1999. Antologi Sastra Daerah Indonesia: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Indonesia – Yayasan Obor Indonesia.
Tim Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Sulawesi Tenggara. 1987. Pedoman Kegiatan Kesenian (Seni Teater). Kendari : Nuri Mas.
Udu, Sumiman. 1999. Kenta-Kenta Sebagai Drama Tradisional Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton. Kendari: Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia.
![Page 18: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/18.jpg)
18
CURRICULUM VITAE
Sumiman Udu, lahir di Desa Longa Kecamatan Wangi‐Wangi
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, tanggal 01 Desember
1975. Sejak kecil dilelapkan dengan lantunan kaбanti yang lembut yang
pada akhirnya mengguggah seluruh pikiran‐pikirannya.
Pada tahun 1989 telah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar
pada SD Negeri Longa, kemudian pada tahun 1992 melewati bangku Madrasah Tsanawiah
Negeri Wanci lalu pada tahun 1995 menyelesaikan pendidikan menengah atas pada Madrasah
Aliyah Swasta Wangi‐Wangi. Pada tahun 1999 berhasil menyelesaikan pendidikan S1 pada
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoloe. Tahun 2006 kembali
menamatkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Sastra pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada.
Sejak 1995, bergelut dengan sastra daerah secara akademis di universitas dan
puncaknya ketika mempertahankan Skripsi dengan Judul “Kenta‐Kenta sebagai Drama
Tradisional Masyarakat Wakatobi Kabupaten Buton”, kemudian pada jenjang S2
mempertahankan tesis dengan Judul “Citra Perempuan dalam Kaбanti: Tinjauan Sosiofeminis”.
Beberapa tulisan dan penelitian yang pernah dilakukan adalah naskah drama dengan judul
“Prahara 69” yang diterbitkan dalam Antologi Drama Sulawesi Tenggara 2005. “Citra
Perempuan dalam Cerita Rakyat Wa Ode Iriwondu: Tinjauan Sosiofeminis” diterbitkan dalam
majalah Semiotika Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Haluoleo (2007).
Penelitian yang telah dilakukan adalah Sastra Lisan Buton dalam Prespektif Gender
(2005), Kemudian menjadi tim ahli dalam Inventarisasi Benda‐Benda Cagar Budaya di
Kabupaten Wakatobi (2006). Serta bersama Dr. La Niampe, M.Hum. menerbitkan buku dengan
judul ”Hubungan Raja‐Raja Wakatobi dengan Raja‐Raja di Nusantara” (2007). Serta menjadi
ketua tim peneliti dalam penelitian mengenai Inventarisasi Tarian dan Kesenian Tradisional
masyarakat Kabupaten Wakatobi yang dilaksanakan oleh Dinas Budaya dan Pariwisata
Kabupaten Wakatobi (2007).
![Page 19: Sumiman Udu](https://reader031.vdokumen.com/reader031/viewer/2022012311/5571f31049795947648d6eff/html5/thumbnails/19.jpg)
19
Beberapa tulisan yang pernah dipublikasikan adalah Manusia: Sejarah dan Budaya
(dipublikasikan pada Harian Kendari Ekspres (2005). ”Nasib Naskah Buton dan tren
Orientalisme Modern” dipublikasi dalam harian Kendari Ekspress (2007). Dan menjadi
pemakalah Simposium Internasional Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) di Bima
Nusa Tenggara Barat (2007) dengan judul makalah ”Konsep Seks Masyarakat Buton dalam
Kabanti Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa” di Bima Nusa Tenggara Barat tanggal 26‐29 Juli
2007. di samping itu juga menjadi pemakalah seminar Internasional yang diselenggarakan oleh
Pusat Penelitian Budaya dan Pariwisata Lembaga Penelitian Universitas Haluoloe dengan judul
makalah ”Citra Perempuan Melayu ‐ Buton dalam Kabanti: Tinjauan Sosiofeminis. Selanjutnya
pada bulan yang sama juga mempresentasikan makalah pada Workshop Internasional dalam
rangka pembentukan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Haluoloe pada tanggal 23 Juli 2007
yang diselenggarakan oleh Pusat penelitian Budaya dan Pariwisata Lembaga Penelitian
Universitas Haluoloe ” Potensi Budaya Sulawesi Tenggara dan Pentingnya Pendirian FIB
Unhalu27”. Serta membawakan makalah dalam workshop mengenai ”Pariwisata budaya dan
peran serta masyarakat lokal”, makalah itu juga disampaikan dalam Latihan Dasar
Kepemimpinan (LDK) dengan Tema “Regenerasi Kader yang melahirkan mahasiswa cerdas,
intelektual dan berjiwa pemimpin dalam bingkai HIPMAWANGI Kendari tanggal 24 Januari
2008 sampai dengan 27 Januari 2008. Selanjutnya menjadi pemakalah internasional dalam
seminar internasional yang dilaksanakan oleh Pusat Studi Wanita Universitas Gajah Mada
dengan judul makalah Peran Publik Perempuan Buton dalam Kabanti: Tinjauan Sosiofeminis,
tanggal 16‐17 Juli 2008 di gedung lengkung sekolah pascasarjana Universitas Gajah Mada
Yogyakarta. Serta menjadi pemakalah dalam seminar internasional yang dilaksanakan oleh
HISKI pada tanggal 12‐14 Agustus 2008 di Malang dengan judul makalah Kabanti sebagai
Media Pembelajaran Sastra pada Anak Usia Dini.
Sampai hari ini masih aktif sebagai pengajar di Almamater tercinta yaitu di Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah pada Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo. Dengan mengajarkan
mata kuliah, Teori Sastra, Kajian Puisi, Kajian Prosa, Sejarah Sastra, Filsafat, dan Sastra Daerah.
Di samping itu, saat ini aktif sebagai sekretaris Pusat Penelitian Budaya dan Pariwisata
Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo 2007‐2011.
27 Disampaikan pada Workshop Internasional Persiapan Pendirian Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Haluoleo, tanggal 18-19 Agustus 2007 di Universitas Haluoleo