sumiman udu

19
1 TRADISI LISAN KABANTI: FUNGSI DAN PERANNYA DALAM MASYARAKAT WAKATOBI 1 Oleh : Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum. 2 ABSTRAK Tradisi lisan kaбanti merupakan salah satu bentuk puisi yang paling banyak berkembang dalam masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya. Kaбanti lahir dan berkembang secara turun-temurun sebagai salah satu kesenian, maupun sebagai bagian dari berbagai aktivitas kehidupan masyarakat Wakatobi. Sehingga kaбanti merupakan rumah kebudayaan Wakatobi dan Buton pada umumnya. Di sisi yang lain, perkembangan berbagai kesenian modern, menyebabkan tradisi lisan kaбanti berada pada posisi yang mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Wakatobi dewasa ini tidak lagi memahami fungsi dan peran kaбanti sebagai penanda identitas dan rumah kebudayaannya. Penelitian ini dilakukan dengan mengamati berbagai performansi kaбanti yang ada dalam masyarakat Wakatobi, yang dilengkapi dengan wawancara. Wawancara dilakukan dengan penyanyi kaбanti dan tokoh-tokoh masyarakat yang memahami adat dan budaya masyarakat Wakatobi. Data dari lapangan ditranskripsi dan terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif untuk menguraikan fungsi dan peran kaбanti dalam masyarakat Wakatobi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam masyarakat Wakatobi ditemukan beberapa fungsi dan peran kaбanti yaitu: a) berfungsi sebagai hiburan, b) alat untuk menyampaikan nasihat keagamaan; c) sebagai ingatan kolektif masyarakat tentang suatu peristiwa; d) sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak dengan bahasa- bahasa yang bernilai tinggi; e) sebagai penghalus budi, penghalus rasa; f) sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya; g) sebagai pembangkit semangat; h) sebagai alat untuk memelihara sejarah setempat; i) sebagai alat protes sosial, yaitu memprotes ketidakadilan di dalam masyarakat. Selanjutnya, peran kaбanti dalam masyarakat Wakatobi sebagai berikut, yaitu (1) sebagai pengantar tidur, (2) sarana pengungkapan perasaan muda-mudi (pobanti), (3) bagian acara adat (kadandio), (4) penenang orang sakit (бae-бae), dan (5) nyanyian kerja. Selain itu, ada juga kaбanti yang dinyanyikan sebagai pengantar tarian atau bagian dari tarian, misalnya kaбanti yang menjadi bagian dari performansi tari lariangi, performansi tari pajoge, dan performansi tari kenta-kenta. Kata kunci: tradisi lisan kaбanti, fungsi, peran, masyarakat Wakatobi. 1 Disampaikan dalam Seminar Internasional yang dilaksanakan Asosiasi Tradisi Lisan dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi tanggal 1 sampai 3 Desember 2008 2 Dosen FKIP Universitas Haluoleo dan Sekretaris ATL Provinsi Sulawesi Tenggara

Upload: sumiman-udu

Post on 12-Jun-2015

844 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sumiman Udu

1

TRADISI LISAN KABANTI: FUNGSI DAN PERANNYA DALAM MASYARAKAT WAKATOBI1

Oleh : Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum.2

ABSTRAK

Tradisi lisan kaбanti merupakan salah satu bentuk puisi yang paling banyak berkembang dalam masyarakat Wakatobi dan Buton pada umumnya. Kaбanti lahir dan berkembang secara turun-temurun sebagai salah satu kesenian, maupun sebagai bagian dari berbagai aktivitas kehidupan masyarakat Wakatobi. Sehingga kaбanti merupakan rumah kebudayaan Wakatobi dan Buton pada umumnya. Di sisi yang lain, perkembangan berbagai kesenian modern, menyebabkan tradisi lisan kaбanti berada pada posisi yang mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Wakatobi dewasa ini tidak lagi memahami fungsi dan peran kaбanti sebagai penanda identitas dan rumah kebudayaannya.

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati berbagai performansi kaбanti yang ada dalam masyarakat Wakatobi, yang dilengkapi dengan wawancara. Wawancara dilakukan dengan penyanyi kaбanti dan tokoh-tokoh masyarakat yang memahami adat dan budaya masyarakat Wakatobi. Data dari lapangan ditranskripsi dan terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif untuk menguraikan fungsi dan peran kaбanti dalam masyarakat Wakatobi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dalam masyarakat Wakatobi ditemukan beberapa fungsi dan peran kaбanti yaitu: a) berfungsi sebagai hiburan, b) alat untuk menyampaikan nasihat keagamaan; c) sebagai ingatan kolektif masyarakat tentang suatu peristiwa; d) sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak dengan bahasa-bahasa yang bernilai tinggi; e) sebagai penghalus budi, penghalus rasa; f) sebagai sarana transfer budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya; g) sebagai pembangkit semangat; h) sebagai alat untuk memelihara sejarah setempat; i) sebagai alat protes sosial, yaitu memprotes ketidakadilan di dalam masyarakat. Selanjutnya, peran kaбanti dalam masyarakat Wakatobi sebagai berikut, yaitu (1) sebagai pengantar tidur, (2) sarana pengungkapan perasaan muda-mudi (pobanti), (3) bagian acara adat (kadandio), (4) penenang orang sakit (бae-бae), dan (5) nyanyian kerja. Selain itu, ada juga kaбanti yang dinyanyikan sebagai pengantar tarian atau bagian dari tarian, misalnya kaбanti yang menjadi bagian dari performansi tari lariangi, performansi tari pajoge, dan performansi tari kenta-kenta.

Kata kunci: tradisi lisan kaбanti, fungsi, peran, masyarakat Wakatobi.

                                                            1 Disampaikan dalam Seminar Internasional yang dilaksanakan Asosiasi Tradisi Lisan dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi tanggal 1 sampai 3 Desember 2008 2 Dosen FKIP Universitas Haluoleo dan Sekretaris ATL Provinsi Sulawesi Tenggara

Page 2: Sumiman Udu

2

TRADISI LISAN KABANTI: FUNGSI DAN PERANNYA

DALAM MASYARAKAT WAKATOBI3

Oleh : Sumiman Udu, S.Pd., M.Hum.4

A. Pengantar

Kaбanti merupakan salah satu bentuk kesenian berupa nyanyian rakyat

(folksong) masyarakat Buton yang sampai dengan hari ini masih tumbuh dan

berkembang di seluruh daerah eks-Kesultanan Buton, yaitu Kabupaten Buton,

Kabupaten Wakatobi, dan Kota Bau-Bau. Jika dilihat dari daerah persebarannya,

kaбanti juga ditemukan di beberapa daerah di Kepulauan Maluku dan sebagian daratan

Sulawesi Tenggara yang meliputi Kota Kendari, Kota Kolaka, dan beberapa tempat

bermukimnya ‘orang pulo’ atau orang Wakatobi di Jazirah Sulawesi Tenggara.

Di samping tersebar secara geografis, kaбanti juga tersebar dalam beberapa

bahasa, yaitu bahasa Wolio, bahasa Cia-Cia, bahasa Gu Mawasangka, bahasa Lasalimu,

dan bahasa Kepulauan Tukang Besi atau bahasa Wakatobi. Dengan kata lain, seluruh

penutur bahasa-bahasa tersebut mengenal kaбanti sebagai nyanyian rakyat. Meskipun

formula atau strukturnya sedikit berbeda, tergantung dari sifat masing-masing bahasa,

tetapi sebagian besar lirik dan formula kaбanti masih sama. Pengulangan-pengulangan

dalam syair kaбanti juga menunjukkan adanya kesamaan dari seluruh bahasa yang ada

di Buton.

Sebagai salah satu bentuk kesenian rakyat yang diwariskan secara turun-

tumurun, tidak diketahui secara pasti kapan kaбanti lahir dan berkembang di dalam

masyarakat pendukungnya. Menurut La Niampe (1998:5), kaбanti yang tergolong karya

yang banyak jumlahnya dan populer di kalangan pendukungnya tersebut telah lama

dikenal oleh masyarakat Buton sejak zaman pra-Islam. Penyebaran kaбanti yang sudah

berlangsung sejak lama tersebut meliputi seluruh barata5 yang ada di Kesultanan

Buton, mulai dari Barata Muna dan Barata Tiworo di barat sampai dengan Barata

Kulisusu di utara dan Barata Kaedupa di timur Pulau Buton.                                                             3 Disampaikan dalam Seminar Internasional yang dilaksanakan Asosiasi Tradisi Lisan dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dengan tema .... tanggal 1 sampai 3 Desember 2008 4 Dosen FKIP Universitas Haluoleo dan Sekretaris Pusat Penelitian Budaya dan Parisisata Lembaga Penelitian Universitas Haluoloe 5 Barata merupakan daerah otonom pada masa kesultanan Buton yang berfungsi mempertahankan Buton dari serangan Goa dan Ternate. Dari askep pemerintahan barata merupakan daerah otonom yang mendapatkan kewenangan yang luas dari pemerintah pusat.

Page 3: Sumiman Udu

3

Barata Kaedupa—yang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini dan sekarang

telah dimekarkan menjadi Kabupaten Wakatobi—merupakan salah satu daerah

persebaran kaбanti dalam bahasa Kepulauan Tukang Besi. Masyarakat di daerah ini

mengenal kaбanti sebagai nyanyian rakyat yang paling disukai. Hampir seluruh

aktivitas kesenian masyarakat melibatkan kaбanti sebagai bagian dari pementasannya.

Beberapa tarian yang melibatkan kaбanti dalam komposisinya adalah tarian pajogi6,

tarian lariangi7, drama tradisional kenta-kenta8, tarian balumpa dan beberapa kesenian

lainnya. Di samping itu, aktivitas masyarakat yang melibatkan kaбanti sebagai bagian

dari kegiatan itu adalah menidurkan anak, tradisi ritual adat (pakande-kandea), acara

mangania kabuenga9, dan mangania nu uwe10, serta tradisi pengobatan tetap

menggunakan syair kaбanti.

Kaбanti yang dinyanyikan pada acara mangania kabuenga dan mangania nu

uwe disebut kadandio. Kadandio dinyanyian secara bersama-sama sambil berjalan

mengelilingi kerumunan orang yang mengantar liwo11 ke depan gadis-gadis yang akan

di-sombui12. Peserta kadandio berjalan berkeliling sambil minum konau atau arak.

Kadandio memiliki lirik yang panjang sehingga hampir tidak diketahui awal dan akhir

syair-syairnya. Lirik kadandio pun berbeda dengan lirik kaбanti yang dinyanyikan di

tempat pesta atau kaбanti yang dinyanyikan sebagai pengantar tidur anak-anak.

                                                            6 Pajogi merupakan salah satu bentuk tarian yang diikuti oleh nyanyian. Salah seorang penari menyanyikan kaбanti. Adapun jumlah penari biasanya terdiri atas enam orang wanita atau gadis dan dintari oleh laki-laki yang disebut ngiwi.Tarian ini diikuti dengan musik yang disebut oleh orang Wakatobi dengan gendang pajogi. 7 Lariangi merupakan tarian rakyat yang dipentaskan di kampung-kampung oleh delapan sampai dua belas orang gadis. Salah satu bagian lariangi terdapat pula tari pajogi. Pada saat itulah kaбanti dinyanyikan. 8 Kenta-kenta merupakan tarian tradisional yang menggambarkan kehidupan nelayan atau masyarakat maritim. Di samping gerak, juga terdapat dialog dan disertai dengan tarian. 9 Budaya sesajian pada ayunan yang merupakan sarana berkumpulnya masyarakat guna meneliti hubungan pertunangan dan perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat. Jika terjadi hubungan pertunangan yang salah menurut adat, kampung akan dilanda oleh kekeringan atau perkebunan akan diganggu oleh hama, atau ikan akan menjauh dari kampung. Kaбanti digunakan untuk menyindir kesalahan tersebut. Di samping itu, kaбanti digunakan untuk mengungkapkan perasaan muda-mudi yang saling mencintai. 10 Budaya sesajian yang dilakukan di atas air gua yang bertujuan untuk meneliti tindakan masyarakat dalam merusak lingkungan. 11 Makanan yang disusun berdasarkan tata cara adat disusun di atas talang yang biasanya dilakukan pada saat acara ritual-ritual adat. 12 Kegiatan adat, berupa memberi makan tunangan (perempuan) oleh keluarga dari pihak laki-laki. Perempuan menunggu kedatangan orang-orang yang kadandio dari kelurga tunangannya atau kelurganya bagi mereka yang belum mempunyai tunangan.

Page 4: Sumiman Udu

4

Kadandio dinyanyikan dengan suara yang panjang, sambung-menyambung, seolah-olah

tidak ada awal dan akhir karena saling bersahutan.

Aktivitas lain yang melibatkan kaбanti adalah pada saat bekerja. Sebagai

nyanyian kerja, kaбanti dinyanyikan di tempat kerja. Irama, kata-kata, atau frase dalam

kaбanti sebagai nyanyian kerja mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat

menggugah semangat sehingga dapat menimbulkan rasa bergairah untuk bekerja.

Dalam konteks ini, kaбanti biasanya dinyanyikan pada saat bekerja di kebun (oleh

petani), mendayung sampan (oleh nelayan), dan bekerja di bangunan (oleh buruh

bangunan).

Kaбanti sebagai pengantar tidur merupakan kaбanti yang dinyanyikan untuk

meninabobokan bayi atau anak. Kaбanti sebagai pengantar tidur mempunyai irama

yang halus dan tenang, berulang-ulang, sehingga dapat membangkitkan rasa santai,

damai, dan akhirnya rasa kantuk bagi bayi atau anak yang mendengarnya. Hal ini sesuai

dengan pendapat Danandjaja (1995:146) bahwa nyanyian sebagai pengantar tidur

mempunyai lagu dan irama yang halus, tenang, dan berulang-ulang sehingga dapat

membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan akhirnya rasa kantuk bagi anak yang

mendengarnya.

Penggunaan kaбanti dalam berbagai aktivitas masyarakat pendukungnya

tersebut menunjukkan bahwa kaбanti merupakan kesenian rakyat yang dapat

merefleksikan budaya masyarakatnya, termasuk pandangan masyarakat tentang

perempuan. Budaya masyarakat Wakatobi selama ini telah memosisikan perempuan

dalam ketegangan. Di satu sisi, budaya Waktobi menghargai dan menghormati

perempuan, tetapi di sisi lain, budaya Wakatobi banyak membelenggu perempuan,

terutama untuk menduduki posisi-posisi tertentu dalam kehidupan bermasyarakat.

Pandangan budaya seperti ini akan mempengaruhi keberadaan perempuan, baik dalam

kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan sosialnya.

B. Kaбanti sebagai Tradisi Lisan Wakatobi

Secara etimologi kaбanti berasal dari bahasa Wolio, terdiri dari dua morfem

yaitu morfem terikat ka- dan morfem bebas бanti. Morfem terikat ka- berfungsi sebagai

pembentuk kata benda, sedangkan morfem bebas бanti mengandung pengertian puisi.

Jadi kata kaбanti berarti ‘ikhwal puisi’ (La Niampe, 1997: 8). Dijelaskan oleh La Ode

Page 5: Sumiman Udu

5

Nsaha (1978: 235), kaбanti berarti puisi yang berisi mutiara-mutiara kebijaksanaan atau

pernyataan rasa dalam bentuk yang amat digemari dan mengena sehingga di dasar hati

bahkan dalam situasi pembicaraan umum pun dalam suasana dari hati ke hati.

Ditinjau dari kemunculannya tidak diketahui secara pasti kapan kaбanti tumbuh

dan berkembang dalam masyarakat Wakatobi. Dalam tradisi tulis (naskah), kaбanti

sudah dikenal sejak beberapa abad lalu. Menurut La Niampe (1998), kaбanti sudah

dikenal oleh masyarakat Buton sejak dulu. Dengan demikian, kaбanti merupakan karya

tradisi yang tergolong tua. Tetapi dalam tradisi lisan tidak lagi diketahui secara pasti

kapan kaбanti tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Wakatobi.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa kaбanti pengantar tidur

sebagai salah satu jenis kaбanti yang ada juga tidak diketahui secara pasti sejak kapan

dijadikan sebagai pengantar tidur. Seorang tokoh masyarakat Desa Tindoi, La Ode

Wole (60 tahun), mengatakan bahwa kaбanti sebagai pengantar tidur sudah menjadi

kebiasaan masyarakat Wakatobi khususnya dan Buton umumnya secara turun-

temurun.13 Sementara itu, La Ode Kamaluddin (40 tahun) menyatakan bahwa kaбanti

sudah ada sejak zaman nenek moyang. Ditambahkannya bahwa sejarah kaбanti sebagai

pengatar tidur sampai hari ini tidak ada yang mengetahui secara pasti.14

Informasi dari warga lain, khususnya dari masyarakat Desa Longa, adalah

bahwa kaбanti sudah lama dikenal oleh masyarakat, bahkan kaбanti merupakan

kesenian yang menjadi tradisi yang sudah tergolong tua. Kaбanti telah ada sejak zaman

dahulu15. Pada saat ditanyakan dari informan bernama Wa Damu (56 tahun) tentang

kapan kaбanti dijadikan sebagai pengantar tidur (lunga-lunga), ia menjawab, telagu

mea na’e anemo mina imolengo ‘nyanyian ini telah ada sejak dulu’.16

Di desa Tindoi, seorang informan bernama Wa Sale (54 tahun), pada saat

ditanyakan persoalan sejarah kaбanti sebagai pengantar tidur mengatakan bahwa tidak

ada lagi yang tahu secara pasti. Dengan demikian, sejarah munculnya kaбanti dalam

masyarakat Wakatobi khususnya dan Buton umumnya tidak diketahui secara pasti.

                                                            13 Hasil wawancara tanggal 17 Juli 2008 14 hasil wawancara tanggal 18 Juli 2008 15 Hasil wawancara dengan La Unga (65 tahun) pada tanggal 16 juli 2008. 16 Wawancara pada tanggal 16 Juli 2008 bertempat di rumah informan di Desa Longa, Kecamatan Wangi-Wangi,

Kabupaten Wakatobi.

Page 6: Sumiman Udu

6

C. Fungsi dan Peran Kaбanti dalam Masyarakat Wakatobi

Secara garis besar karya sastra berfungsi sebagai hiburan dan berguna (Horace

dalam Wellek dan Warren, 1995: 25). Sebagaimana karya sastra yang lain, fungsi

kaбanti yang paling pertama adalah sebagai hiburan. Dalam fungsinya sebagai hiburan

tersebut, kaбanti dapat menidurkan bayi, dapat menghibur tamu di pesta, dan dapat

menyenangkan penonton tari pajogi dan lariangi. Dalam pesta atau tarian, penonton

akan semakin terlibat di dalam setiap performansi kaбanti karena mereka akan merasa

terhibur dengan mendengarkan nyanyian kaбanti. Hal ini disebabkan oleh syair kaбanti

dapat saja menyinggung perasaannya. Dalam arti, lewat syair kaбanti, penonton atau

pendengar merasa terhibur karena kaбanti menyentuh rasa, menyentuh jiwa setiap

orang yang mendengarnya.

Dalam konteks penonton tari pajogi, seseorang akan melakukan ngiwi17 setelah

mendengarkan syair kaбanti yang dinyanyikan oleh seorang penari. Contoh syair yang

dapat mendorong seseorang untuk terlibat dalam performansi tari pajogi adalah sebagai

berikut. 1. E tabea wa limbo nu-mia

Pe. permisi PG kampung 2sR- orang E ane ku-бumanti saбa’e

Pe.ada 1sR-nyanyian satu buah Permisi (perempuan) kampungnya orang Aku mau bernyanyi satu buah

2. E kaasi wa kalemo-lemo18 Pe. kasihan PG kalemo-lemo

E ku-mekarunga-runga-ngko-mo Pe.1sR-mekaranga-runga19-2spos-past

Kasihan Wa Kalemo-Lemo Aku sudah memetikmu dimasa mudamu Seseorang yang mendengarkan syair di atas, jika mengetahui bahwa si penari

adalah gadis yatim piatu, akan merasa iba dan mengambil sapu tangan penari setelah

selesai melakukan ngiwi. Ia akan mengembalikan sapu tangan itu setelah diisi dengan

uang. Perasaan iba setelah mendengarkan syair kaбanti yang didengarnya itulah yang

membuat sesorang dapat memberikan uang kepada anak yatim piatu. Dalam fungsinya

                                                            17 Tarian yang mengintari tari pajogi dan tari lariangi. 18 Jenis tanaman yang biasa tumbuh dipesisir pantai. 19 Memetik buah semasih muda atau sebelum matang.

Page 7: Sumiman Udu

7

sebagai hiburan, kaбanti dapat menghilangkan stres bagi seseorang yang

mendengarnya.

Adapun dalam fungsinya sebagai karya sastra yang berguna, sebagaimana yang

dikemukakan Horace, kaбanti dapat menjadi alat untuk menyampaikan nasihat

keagamaan. Selain itu, juga dapat berfungsi sebagai ingatan kolektif masyarakat tentang

suatu peristiwa, misalnya ingatan kolektif mengenai batas wilayah Wanci dan Mandati,

seperti tampak pada syair kaбanti berikut. E te wanse-mo te mandati-mo Pe.art.wanse-EMPH art. Mandati-EMPH E ði Endapo nang kaselapa Pe.di Endapo art. batas wilayah

Baik (orang) Wanse maupun (orang) Mandati Di Endapo batas wilayahnya

Syair kaбanti di atas, merupakan salah satu syair yang dikutip oleh H. La

Morunga (45 tahun) saat membicarakan tentang perselisihan batas wilayah. Dengan

mengacu pada isi kaбanti di atas, maka penentuan batas wilayah Kecamatan Wangi-

Wangi dan Wangi-Wangi Selatan ketika dimekarkan pada tahun 2003 ditetapkan di atas

air Endapo.

Dalam kaitan dengan penggunaannya sebagai pengantar tidur, kaбanti berfungsi

sebagai sarana pendidikan bagi anak-anak dengan bahasa-bahasa yang bernilai tinggi.

Hal ini sesuai dengan pendapat La Ode Nsaha (1978: 235) yang mengemukakan bahwa

kaбanti merupakan kumpulan kata-kata mutiara yang menyentuh sampai di hati dalam

setiap kesempatan. Lewat syair-syair kaбanti yang mengandung bahasa metafor

tersebut seorang anak dapat memiliki perasaan yang lembut.

Salah satu fungsi tradisi dalam masyarakat adalah sebagai penghalus budi,

penghalus rasa. Untuk itu, Nuhayati Rahman (1999: viii) mengatakan bahwa salah satu

cara untuk mengasah kepekaan rasa dan hati nurani adalah melalui penciptaan,

pembacaan, dan penghayatan karya tradisi. Dalam kasus kaбanti sebagai nyanyian

rakyat masyarakat Wakatobi, syair-syair kaбanti dapat menjadi sarana penghalus budi

dan hati nurani masyarakat Wakatobi. Sejak dini kaбanti telah diperdengarkan sebagai

pengantar tidur saat anak-anak Wakatobi. Mereka mulai menangkap kebudayaannya.

Contoh syair kaбanti yang dapat menghaluskan rasa dan budi tersebut terlihat dalam

teks I bait ke- 53 dan ke-54 berikut.

Page 8: Sumiman Udu

8

53. E ara no-sangga-ko te mia Pe.kalau 2sR-cemburu –2sRpos art. orang E hoto’imani mpuu kita Pe.beriman sungguh kita Kalau kamu dicemburui orang Berimanlah sunguh-sungguh

54. E te imani-’a ngku-imani

Pe.art.beriman-past. 1sR-beriman E ðahani na tumpu balaa Pe.tahu art. datang bala Kalau beriman aku beriman Tidak tahu kalau dengan datangnya bala

Kaбanti sebagai nyanyian pengantar tidur juga berfungsi sebagai sarana

transfer budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini sesuai dengan

empat fungsi nyanyian rakyat, seperti yang dikemukakan Danandjaja (1994:

152-153).

Pertama, nyanyian rakyat berfungsi untuk (1) merenggut kita dari kebosanan

hidup sehari-hari walaupun untuk sementara waktu, (2) menghibur diri dari kesukaran

hidup sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara, atau (3) melepaskan diri dari

segala ketegangan perasaan sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa. Menurut

Danandjaja (1994: 152-153), nyanyian sebagai pengantar tidur merupakan salah satu

jenis nyanyian dengan fungsi seperti itu. Untuk itu, kaбanti merupakan nyanyian yang

berfungsi sebagai pelepas ketegangan dan pemberi kedamaian dalam menghadapi

kesukaran hidup. Contoh syair kaбanti dengan fungsi tersebut dapat dilihat pada tiap-

tiap teks dalam bait pertama hingga bait ketiga berikut.

1. E bue-bue aneðo pei Pe. ayun-ayun masih bodoh

E aneðo te ðitemba-temba Pe. masih harus art. ditimang-timang

Ku ayun-ayun semasih bodoh masih harus ditimang-timang

2. E ku-bumue-bue nggala-ne Pe. 1sIR-(akan) ayun-ayun dulu-Padv.

E mina aneðo no-бahuli Pe.dari masih 3sR-kecil Aku akan mengayun-ayunnya dulu

Sewaktu ia masih kecil

Page 9: Sumiman Udu

9

3. E ku-bumue-bue nggalane Pe. 1sIR-(akan) ayun-ayun dulu-Padv. E mondo-mo ku-sala te laro Pe. Selesai-past 1sR-salah art.dalam

Aku akan mengayun-ayunnya dulu Sudah pernah aku menyalahi perasaanya

Tiga bait pembuka pada nyanyian rakyat pada masyarakat Wakatobi tersebut

merupakan pembuka nyanyian pengantar tidur. Seorang ibu mengekspresikan bait

pertama sebagai rasa kasih sayang pada bayinya.

Bait kedua baris pertama merupakan formula dari nyanyian ini. Kata ulang bue-

bue digubah dalam bentuk yang lain, yaitu kubumue-bue nggalane. Kata ulang bue-bue

mendapatkan sisipan /-um-/ dan dilanjutkan dengan baris kedua, yaitu /E mina aneho

noбahuli/ ‘semasih ia masih kecil’. Bait tersebut merupakan ekspresi rasa bersalah dari

seorang ibu yang lama meninggalkan anaknya. Rasa bersalah tersebut dipertegas dalam

bait ketiga baris kedua, yakni seorang ibu ingin menghibur anaknya yang masih kecil

karena pernah ditinggalkan ke kebun.

Kedua, nyanyian rakyat berfungsi sebagai pembangkit semangat, seperti

nyanyian kerja. Sehubungan dengan fungsi nyanyian rakyat tersebut, kaбanti digunakan

oleh masyarakat pendukungnya sebagai pembangkit semangat pada saat bekerja di laut,

di kebun, dan di bangunan. Syair-syair kaбanti dinyanyikan sambil bekerja sehingga

melahirkan semangat dalam melakukan perkerjaan. Dengan nyanyian yang berisi kisah

cinta, mereka akan selalu memberikan semangat pada orang-orang yang sedang bekerja.

Dalam kegiatan membuka atau menyiangi kebun/ladang, ibu-ibu melakukannya sambil

bernyanyi. Mereka mengekspresikan lagu-lagu yang dapat menciptakan semangat.

Mereka kebanyakan menyanyikan kaбanti yang mengekspresikan kehidupan mereka

sehari-hari.

Ketiga, nyanyian rakyat berfungsi untuk memelihara sejarah setempat. Telah

disebutkan di depan bahwa batas Mandati dan Wanci tentang dalam syair kaбanti.

Selanjutnya, masyarakat Wangi-Wangi mengingat kisah migrasi masyarakat Wakatobi

khususnya dan Buton umumnya dengan memasukkan Pulau Buru dan Pulau Seram

sebagai tempat merantau. Ini merupakan sejarah migrasi bangsa Buton pada beberapa

puluh tahun yang lalu. Contoh syair kaбanti yang menggambarkan tentang daerah

Page 10: Sumiman Udu

10

tujuan migrasi masyarakat Wakatobi pada zaman dulu diabadikan dalam bait pertama

teks yang dinyanyikan oleh Wa Radi berikut. E bue-bue бangka nu-Sera

Pe. ayun-ayun perahu 2sR-Seram E mbali бata na ngko-kombu-no Pe.jadi batang kayu art 2sR-tiang-past Ayun-ayun perahu perahunya Seram

Tiangnya menjadi batang kayu

Baris pertama pada bait ke-1 teks kaбanti di atas merupakan penggambaran

perahu yang selalu membawa masyarakat Wakatobi ke pulau Seram di Kepulauan

Maluku. Baris ke-2 merupakan ekspresi kondisi perahu yang mengantar mereka pada

saat itu. Perahu ini menggantungkan tenaganya pada layar yang dipasang di tiang

perahu (kokombu). Perahu yang disebut bangka pada waktu itu disebut perahu karoro.20

Kaбanti tersebut merefleksikan fungsi kaбanti sebagai rekaman sejarah migrasi

masyarakat Wakatobi ke kepulauan Maluku yang telah terjadi dalam tempo waktu yang

panjang (Rabani, 1997: 23).

Keempat, nyanyian rakyat sebagai protes sosial, yaitu memprotes ketidakadilan

di dalam masyarakat. Dalam kaбanti, ekspresi tersebut dapat dilihat pada teks kaбanti

bait ke-11 hingga bait ke-13 berikut. 11. E na бoha-бoha-nto salimbo

Pe.art. berat-I3ppos. sekampung E te paira na nsababu-no Pe.art. apa art. sebab-3spos. Beratnya kita sekampung Apa yang menjadi penyebabnya?

12. E sababu te mingku paira

Pe. sebab art. sikap apa E ðimai-no kua iaku Pe.datang-3spos. bagi saya Sikap apa yang menjadi penyebabnya? Yang datangnya dariku

13. E no-mingku toumpa namia?

Pe.3sR-sikap bagaimana orang? E no-awane na ngkakoбea Pe.3sR-dapatkan art. kebenaran Bagaimana sikapnya orang? Mereka mendapatkan kebenaran

                                                            20 Perahu yang berlayarkan kain karoro.

Page 11: Sumiman Udu

11

Tiga bait di atas merupakan kaбanti yang diungkapkan situasi kehidupan

masyarakat yang tidak lagi memperlihatkan persahabatan, tetapi sudah saling

menyalahkan dan saling mencurigai. Kondisi ini diekspresikan dalam bait ke-11 baris

pertama yang dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai sebab terjadinya kondisi itu

pada baris kedua. Akan tetapi, si aku lirik terlebih dahulu mempertanyakan kesalahan

dirinya, yaitu pada bait ke-12. Setelah itu, si aku lirik menyalahkan orang lain.

Pada bait ke-13, si aku lirik kembali mempertanyakan sikap orang lain yang

mendapatkan pujian atau kebenaran dari masyarakat. Tiga bait di atas merupakan salah

satu protes yang sangat halus atas situasi di dalam masyarakat yang saling

menyalahkan. Si aku lirik melakukan protes atas sikap masyarakat yang seperti itu.

Selain kaбanti berfungsi seperti yang dikemukakan oleh Djames Danandjaja di

atas, fungsi kaбanti yang lain adalah untuk menghaluskan kata-kata bagi masyarakat

Wakatobi. Orang-orang yang menguasai kaбanti akan mempunyai perbendaharaan kata

yang halus. Mereka santun dalam berbicara karena mereka menggunakan metafora-

metafora yang ada dalam syair-syair kaбanti.

Di depan telah dinyatakan tentang fungsi kaбanti, maka berikut ini akan

dijelaskan peran kaбanti berdasarkan konteks aktivitas masyarakat Wakatobi.

Berdasarkan hal tersebut, peran kaбanti dalam masyarakat Wakatobi sebagai berikut,

yaitu (1) sebagai pengantar tidur, (2) sarana pengungkapan perasaan muda-mudi

(pobanti), (3) bagian acara adat (kadandio), (4) penenang orang sakit (бae-бae), dan (5)

nyanyian kerja. Selain itu, ada juga kaбanti yang dinyanyikan sebagai pengantar tarian

atau bagian dari tarian, misalnya kaбanti yang menjadi bagian dari performansi tari

lariangi, performansi tari pajoge, dan performansi tari kenta-kenta.

1. Pengantar Tidur

Kaбanti sebagai pengantar tidur dinyanyikan untuk menidurkan bayi. Kaбanti

dalam bentuk ini memiliki alunan yang halus dan lembut sehingga membuat bayi cepat

tertidur. Iramanya berulang-ulang sehingga dapat menimbulkan rasa kantuk bagi bayi.

Irama yang halus tersebut mengikuti gerakan kaki atau ayunan tempat bayi dibaringkan.

Hanya syair-syairnya yang berganti-ganti, seolah mengalir seperti air dari mulut sang

penyanyi.

Page 12: Sumiman Udu

12

Sebagaimana telah disinggung di atas, kaбanti sebagai pengantar tidur memiliki

performansi yang berbeda-beda sesuai dengan bagaimana cara anak itu ditidurkan. Ada

anak yang ditidurkan dengan cara dibaringkan di atas tulang kering kaki ibunya disebut

lunga-lunga. Ada juga yang digendong (бata-бata) serta ada yang dibaringkan di

ayunan (kabuenga). Sejauh pengamatan peneliti, kaбanti dalam bentuk ini tidak

menggunakan musik pengiring.

2. Sarana Pengungkapan Perasaan Muda-Mudi (Poбanti)

Adapun kaбanti (pobanti) yang dinyanyikan secara berbalasan sebagai wahana

pengungkapan perasaan laki-laki dan perempuan yang biasanya dilakukan di tempat

pesta dan di kabuenga (ayunan)21. Sebelum hari pelaksanaan mangani’a nukabuenga

berlangsung, ayunan yang sudah dibuat di tengah lapangan akan ramai dengan gadis-

gadis dan anak-anak muda yang bermain ayunan sambil menyanyikan kaбanti. Pada

konteks ini, kebanyakan ibu-ibu dan bapak-bapak juga ikut meramaikan suasana

ayunan dengan menyanyikan kaбanti dari pinggir ayunan. Beberapa contoh kaбanti

yang mengekspresikan perasaan laki-laki dan perempuan dalam acara (pobanti) adalah

seperti berikut.

1. E na leu nu-romu-romu-nto Pe. art bagus 2sR-kumpul-kumpul-EMPH

E ara paka-mo ntamoga Pe.kalau tidak-past berpisah

Bagusnya kita kumpul-kumpul Kalau tidak lagi berpisah

2. E mou ane-ðo ntamoga’a Pe. walau ada-EMSH berpisah

E ta-mogaa kae nu-laro Pe. 1pIR-pisah kae22 2sR-dalam

Walaupun kita masih berpisah Kita berpisah dengan perasaan tak sampai

                                                            21 Masyarakat Wakatobi mengenal tradisi membuat ayunan dalam ukuran besar. Laki-laki dan perempuan datang ke

ayunan itu untuk menyanyi dan main ayunan. Klimaks dari acara ini adalah seluruh warga kampung datang dengan

membawa makanan (posombui), yaitu proses publikasi hubungan cinta muda-mudi kepada masyarakat umum. 22 Tidak cukup

Page 13: Sumiman Udu

13

Pada acara kabuenga (ayunan), performansi kaбanti dilakukan bersamaan

dengan proses mengayunkan ayunan. Biasanya, perempuan didudukkan di atas ayunan

dan laki-laki mendorong ayunan sambil menyanyikan kaбanti. Kehadiran ibu-ibu dan

bapak-bapak dalam kegiatan ini juga akan mengambil alih atau menjawab kaбanti yang

dinyanyikan jika tidak dijawab oleh si anak muda atau si gadis. Dalam konteks ini,

biasanya kaбanti menggunakan alat musik gitar, gendang, dan botol. Muda-mudi

berpantun atau bernyanyi diiringi oleh musik sehingga acara pobanti cenderung

berlangsung lama karena mereka menyanyi dengan cara berbalasan. Selain itu, durasi

waktu yang panjang tersebut juga dipengaruhi oleh peserta kaбanti yang datang dan

pergi silih berganti.

Pobanti juga dinyanyikan di tempat pesta untuk menghibur orang yang bekerja

di tempat pesta. Di dalam masyarakat Wakatobi, khususnya masyarakat Wangi-Wangi,

terdapat seorang penyanyi kaбanti yang terkenal, yaitu La Ode Kamaluddin. Dalam

proses pementasan (pobanti), ia memanggil perempuan untuk menjadi pasangannya.

Hal itu dilakukannya guna memancing keterlibatan penonton. Performansi kaбanti di

tempat pesta seperti ini memberikan kesempatan kepada semua penonton untuk

menyanyikan kaбanti sehingga kalau ada seorang pemuda yang menyukai seorang

gadis di antara penonton, perasaan cintanya tersebut akan disampaikan lewat kaбanti

yang diiringi oleh musik dari kelompok La Ode Kamaluddin.

Nyanyian dari penonton biasanya akan dikembangkan oleh seorang penyanyi

kaбanti profesional, seperti La Ode Kamaludin. Seorang penyanyi kaбanti profesional

akan mampu merespons penonton lewat syair-syairnya yang kebanyakan menggunakan

syair dari penonton sebagai formula dalam syair-syair berikutnya. Oleh karena itu,

performansi kaбanti dapat bertahan hingga berjam-jam.

Selain La Ode Kamaluddin, di Kaledupa juga dikenal penyanyi kaбanti yang

selalu diundang, yaitu La Huudu. Walaupun kondisi tubuhnya cacat, La Huudu pernah

pentas tanpa henti selama dua hari dua malam ketika diundang ke Wanci, pada pesta

karia ngkoru’a23. La Sahia mengatakan bahwa pada waktu pesta di Sousu, La Huudu

pernah datang dan juga menyanyi selama dua hari dua malam.

                                                            23 Khitanan masal yang waktu itu dilaksanakan di Sousu,

Page 14: Sumiman Udu

14

3. Bagian Pesta Adat (Kaðandio)

Kaðandio merupakan kaбanti yang dinyanyikan sebagai bagian dari kegiatan

ritual adat. Dalam masyarakat Wakatobi, kaðandio dinyanyikan pada acara mangani’a

nu uwe dan mangani’a nukabuenga, serta pada acara adat pakande-kandea. Akhir dari

setiap nyanyian selalu diiringi dengan teriakan tompa La Ode ‘silakan lempar La Ode’,

yang maksudnya adalah “silakan kau bicara La Ode, silakan sampaikan perasaanmu

pada perempuan atau gadis yang sedang menyuguhkan makanan atau minuman”. Acara

kaðandio mempunyai performansi yang menarik karena melibatkan banyak orang.

Semua orang yang hadir di dalam acara ritual adat itu merupakan bagian dari

performansi kaбanti (kaðandio).

4. Penenang Orang Sakit (бae-бae)

Бae-бae merupakan kaбanti yang digunakan sebagai sarana pengobatan.

Kaбanti бae- бae saat ini sudah jarang dipentaskan. Hal ini disebabkan oleh masyarakat

Wakatobi sudah banyak mengenal obat-obatan modern. Lirik kaбanti sebagai sarana

pengobatan memiliki irama yang halus, berulang-ulang, hingga akhirnya pasien tertidur

dalam keadaan tenang. Dengan demikian, pasien akan melewati masa-masa kritis

penyakit tetanus sambil menunggu pengobatan dari dokter atau dari dukun yang lain. Di

samping itu, бae-бae juga dinyanyikan untuk penyakit cacar (lemba). Masyarakat

Wakatobi masih percaya bahwa penyakit cacar dapat dipercepat munculnya pada tubuh

pasien dengan menyanyikan kaбanti. Pengobatan dengan nyanyian mempunyai tujuan

untuk mempercepat munculnya penyakit cacar tersebut karena menurut tradisi lisan

masyarakat Wakatobi, penyakit cacar (lemba) harus naik semua dan untuk

menaikkannya harus dinaikkan dengan kaбanti (бae-бae). Setelah semua penyakit cacar

itu muncul, berikutnya бae-бae akan menurunkan penyakit cacar tersebut.

5. Nyanyian Kerja

Penggunaan kaбanti di dalam masyarakat Wakatobi adalah pada saat bekerja.

Kebanyakan masyarakat Wakatobi bekerja sambil menyanyikan kaбanti. Hal ini terkait

dengan fungsi kaбanti sebagai hiburan, penghilang rasa letih. Dalam konteks ini, lirik

kaбanti kadang-kadang dinyanyikan dalam bentuk siulan. Namun ada juga kaбanti

Page 15: Sumiman Udu

15

dinyanyikan dengan cara berbalasan (poбanti). Kebanyakan ibu-ibu yang bergotong-

royang menyanyikan kaбanti seperti ini.

Dalam penggunaannya sebagai nyanyian kerja, para nelayan menyanyikan

untuk mengusir rasa ngantuk. Di samping itu, mereka menyanyikan kaбanti untuk

merefleksi kehidupan mereka. Lewat kaбanti, mereka merefleksikan hidupnya. Inilah

yang dikatakan oleh La Ode Nsaha, (1975) bahwa kaбanti merupakan nyanyian yang

menyentuh sampai di hati.

6. Pengiring Tarian

Penggunaan kaбanti yang lain adalah nyanyian yang mengikuti tarian, yaitu

tarian pajogi dan tarian lariangi. Kedua tarian ini diiringi oleh nyanyian kaбanti dalam

setiap performansinya. Pada tarian pajogi, nyanyian kaбanti langsung dinyanyikan oleh

seorang penari. Ia menyanyikan kaбanti pada saat gerakan mangu-mangu.24 Syair-syair

kaбanti yang dinyanyikan oleh seorang penari memiliki kesamaan dengan nyanyian

pengantar tidur. Perbedaannya hanya terletak pada bait pertama. Seorang penari

memulai syairnya dengan syair yang menunjukkan penghormatan pada kampung.

Demikian pula dengan syair pembuka dalam tarian pajogi. 1. E tabea wa limbo nu-mia

Pe. permisi PG kampung 2sR- orang E ane ku-бumanti saбa’e

Pe.ada 1sR-nyanyian satu buah Permisi (perempuan) kampungnya orang Aku mau bernyanyi satu buah

2. E kaasi wa kalemo-lemo25 Pe. kasihan PG kalemo-lemo Kasihan Wa Kalemo-Lemo

Pe.1sR-mekaranga-runga26-2spos-past E ku-mekarunga-runga-ngko-mo Aku sudah memetikmu dimasa mudamu

                                                            24 Gerakan tarian ketika posisi tubuh penari sedikit merendah, lutut ditekuk, tangan kanan memegang kipas, dan

tangan kiri disimpan di pinggang. Pada saat mangu-mangu, penari tampil di panggung satu-satu. Dalam kasus tari

lariangi yang menyanyi adalah anggota grup yang duduk, sementara yang sedang menari tidak menyanyi. Dalam

tarian pajogi penari sekaligus menyanyikan kaбanti. 25 Jenis tanaman yang biasa tumbuh di pesisir pantai. 26 Memetik buah semasih muda atau sebelum matang.

Page 16: Sumiman Udu

16

Pembukaan nyanyian kaбanti yang mengiringi tarian pajogi diawali untuk

menghormati kampung. Seorang atau kelompok penari yang tidak menghormati

kampung dalam memulai tarian akan dianggap tidak beradab. Setelah bait

penghormatan tersebut, seorang penari akan mengekspresikan perasaan, pikiran, dan

tingkah lakunya dalam syair-syair berikutnya. Bait kedua dalam contoh kaбanti di atas

menunjukkan bahwa penari pajogi telah mengekspresikan perasaannya.

Secara umum, masyarakat Wakatobi telah mengenal tarian ini sebagai milik

masyarakat Pookambua. Adapun grup lariangi yang paling terkenal di Wakatobi adalah

lariangi Liya, dan lariangi Kaledupa. Setiap penari pajogi dan lariangi memiliki

kemampuan yang baik dalam penguasaan syair-syair kaбanti.

Selanjutnya, dalam drama tradisional kenta-kenta, kaбanti dinyanyikan pada

saat pemain drama menarikan tarian pajogi. Hal ini disebabkan oleh drama tradisional

kenta-kenta termasuk drama rakyat yang mengkombinasikan seluruh unsur-unsur tari di

dalam pementasannya (Udu, 1999: 15—16). Hal ini sebagaimana yang dikemukakan

oleh Rendra (1993: 110) bahwa drama tradisional adalah drama yang bentuknya

mengikuti adat kebiasaan yang turun-temurun dan tidak mengikuti kepribadian seniman

penciptanya. Pendapat tersebut diperkuat oleh Tim Proyek Pengembangan Kebudayaan

Sulawesi Tenggara (1978: 62) yang mengatakan bahwa drama tradisional adalah drama

yang lahir dan berkembang di dalam masyarakat dan mempunyai struktur yang berbeda

dengan pola teater Barat. Dalam drama tradisional, bukan saja menghidangkan

pementasan drama dengan unsur dialog dan laku, melainkan juga di dalamnya

ditemukan unsur-unsur tari dan musik yang menjadi bagian dari pementasannya.

D. Penutup

Sebagai salah satu tradisi lisan yang banyak digunakan dalam masyarakat

Wakatobi, kaбanti mempunyai peran sebagai penanda identitas masyarakat Wakatobi.

Di samping itu, kaбanti juga merupakan rumah kebudayaan Wakatobi yang tetap

menjaga nilai-nilai social budaya masyarakat Wakatobi dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Oleh karena itu, untuk mengembangkan masyarakat Wakatobi yang

berbudaya dan memiliki etos kerja yang tinggi, tentunya harus tetap berusaha untuk

menjadikan kaбanti sebagai rumah kebudayaan dan sekaligus sebagai penanda identitas

bagi masyarakat Wakatobi.

Page 17: Sumiman Udu

17

E. Daftar Pustaka

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti

Danandjaja, James. 1998. “Folklore dan Pembangunan Kalimantan Tengah: Merekonstruksi Nilai Budaya Orang Dayak Ngaju dan Ot Danum Melalui Cerita Rakyat Mereka”. Dalam Pudentia (editor). Metodologi Kajian Sastra Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

La Niampe, 1998. Kabanti Bula Malino : Kajian Filologis Sastra Wolio Klasik. Bandung : Universitas Padjadjaran: Tesis Program Pascasarjana.

La Ode Nsaha, Tamburaka dan Asis. 1978/1979. Aneka Budaya Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penggalian Nilai-Nalai Budaya Sulawesi Tenggara.

Rabani, La Ode. 1997. Migrasi dan Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton 1961-1987. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada.

Rahman, Nurhayati dan Adiwimarta, Sri Sukesi. 1999. Antologi Sastra Daerah Indonesia: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Jakarta: Masyarakat Pernaskahan Indonesia – Yayasan Obor Indonesia.

Tim Proyek Pusat Pengembangan Kebudayaan Sulawesi Tenggara. 1987. Pedoman Kegiatan Kesenian (Seni Teater). Kendari : Nuri Mas.

Udu, Sumiman. 1999. Kenta-Kenta Sebagai Drama Tradisional Masyarakat Kepulauan Tukang Besi Kabupaten Buton. Kendari: Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo

Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: PT Gramedia.

Page 18: Sumiman Udu

18

CURRICULUM VITAE 

 

  Sumiman  Udu,  lahir  di  Desa  Longa  Kecamatan  Wangi‐Wangi 

Kabupaten Wakatobi  Provinsi  Sulawesi  Tenggara,  tanggal  01  Desember 

1975.  Sejak  kecil dilelapkan dengan  lantunan  kaбanti  yang  lembut  yang 

pada akhirnya mengguggah seluruh pikiran‐pikirannya. 

  Pada  tahun  1989  telah menamatkan  pendidikan  Sekolah  Dasar 

pada  SD Negeri  Longa,  kemudian  pada  tahun  1992 melewati  bangku Madrasah  Tsanawiah 

Negeri Wanci lalu pada tahun 1995 menyelesaikan pendidikan menengah atas pada Madrasah 

Aliyah  Swasta Wangi‐Wangi.  Pada  tahun  1999  berhasil menyelesaikan  pendidikan  S1  pada 

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa 

dan  Seni  Fakultas Keguruan dan  Ilmu Pendidikan Universitas Haluoloe. Tahun 2006  kembali 

menamatkan  pendidikan  S2  pada  Program  Studi  Ilmu  Sastra  pada  Sekolah  Pascasarjana 

Universitas Gadjah Mada. 

  Sejak  1995,  bergelut  dengan  sastra  daerah  secara  akademis  di  universitas  dan 

puncaknya  ketika  mempertahankan  Skripsi  dengan  Judul  “Kenta‐Kenta  sebagai  Drama 

Tradisional  Masyarakat  Wakatobi  Kabupaten  Buton”,  kemudian  pada  jenjang  S2 

mempertahankan tesis dengan Judul “Citra Perempuan dalam Kaбanti: Tinjauan Sosiofeminis”. 

Beberapa  tulisan  dan  penelitian  yang  pernah  dilakukan  adalah  naskah  drama  dengan  judul 

“Prahara  69”  yang  diterbitkan  dalam  Antologi  Drama  Sulawesi  Tenggara  2005.  “Citra 

Perempuan dalam Cerita Rakyat Wa Ode  Iriwondu: Tinjauan Sosiofeminis” diterbitkan dalam 

majalah  Semiotika  Jurusan  Pendidikan  Bahasa  dan  Seni  Fakultas  Keguruan  dan  Ilmu 

Pendidikan Universitas Haluoleo (2007). 

  Penelitian  yang  telah  dilakukan  adalah  Sastra  Lisan  Buton  dalam  Prespektif Gender 

(2005),  Kemudian  menjadi  tim  ahli  dalam  Inventarisasi  Benda‐Benda  Cagar  Budaya  di 

Kabupaten Wakatobi (2006). Serta bersama Dr. La Niampe, M.Hum. menerbitkan buku dengan 

judul ”Hubungan Raja‐Raja Wakatobi dengan Raja‐Raja di Nusantara”  (2007). Serta menjadi 

ketua  tim peneliti dalam penelitian mengenai  Inventarisasi  Tarian  dan  Kesenian  Tradisional 

masyarakat  Kabupaten  Wakatobi  yang  dilaksanakan  oleh  Dinas  Budaya  dan  Pariwisata 

Kabupaten Wakatobi (2007). 

Page 19: Sumiman Udu

19

  Beberapa  tulisan  yang  pernah  dipublikasikan  adalah Manusia:  Sejarah  dan  Budaya 

(dipublikasikan  pada  Harian  Kendari  Ekspres  (2005).    ”Nasib  Naskah  Buton  dan  tren 

Orientalisme  Modern”  dipublikasi  dalam  harian  Kendari  Ekspress  (2007).  Dan  menjadi 

pemakalah  Simposium  Internasional Masyarakat  Pernaskahan Nusantara  (Manassa) di Bima 

Nusa  Tenggara  Barat  (2007)  dengan  judul makalah  ”Konsep  Seks Masyarakat  Buton  dalam 

Kabanti Kaluku Panda Atuwu  Incana Dempa” di Bima Nusa Tenggara Barat tanggal 26‐29 Juli 

2007. di samping itu juga menjadi pemakalah seminar Internasional yang diselenggarakan oleh 

Pusat Penelitian Budaya dan Pariwisata Lembaga Penelitian Universitas Haluoloe dengan judul 

makalah ”Citra Perempuan Melayu ‐ Buton dalam Kabanti: Tinjauan Sosiofeminis. Selanjutnya 

pada bulan yang sama  juga mempresentasikan makalah pada Workshop  Internasional dalam 

rangka  pembentukan  Fakultas  Ilmu  Budaya Universitas Haluoloe  pada  tanggal  23  Juli  2007 

yang  diselenggarakan  oleh  Pusat  penelitian  Budaya  dan  Pariwisata  Lembaga  Penelitian 

Universitas  Haluoloe  ”  Potensi  Budaya  Sulawesi  Tenggara  dan  Pentingnya  Pendirian  FIB 

Unhalu27”. Serta membawakan makalah dalam workshop mengenai ”Pariwisata budaya dan 

peran  serta  masyarakat  lokal”,  makalah  itu  juga  disampaikan  dalam  Latihan  Dasar 

Kepemimpinan  (LDK)  dengan  Tema  “Regenerasi  Kader  yang melahirkan mahasiswa  cerdas, 

intelektual  dan  berjiwa  pemimpin  dalam  bingkai  HIPMAWANGI  Kendari  tanggal  24  Januari 

2008  sampai  dengan  27  Januari  2008.  Selanjutnya menjadi  pemakalah  internasional  dalam 

seminar  internasional  yang  dilaksanakan  oleh  Pusat  Studi Wanita  Universitas  Gajah Mada 

dengan  judul makalah Peran Publik Perempuan Buton dalam Kabanti: Tinjauan Sosiofeminis, 

tanggal  16‐17  Juli  2008  di  gedung  lengkung  sekolah  pascasarjana  Universitas  Gajah Mada 

Yogyakarta.  Serta menjadi  pemakalah  dalam  seminar  internasional  yang  dilaksanakan  oleh 

HISKI  pada  tanggal  12‐14  Agustus  2008  di Malang  dengan  judul makalah  Kabanti  sebagai 

Media Pembelajaran Sastra pada Anak Usia Dini. 

  Sampai hari  ini masih aktif  sebagai pengajar di Almamater  tercinta yaitu di Program 

Studi Pendidikan Bahasa dan  Sastra  Indonesia dan Daerah pada  Jurusan Pendidikan Bahasa 

dan Seni Fakultas Keguruan dan  Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo. Dengan mengajarkan 

mata kuliah, Teori Sastra, Kajian Puisi, Kajian Prosa, Sejarah Sastra, Filsafat, dan Sastra Daerah. 

Di  samping  itu,  saat  ini  aktif  sebagai  sekretaris  Pusat  Penelitian  Budaya  dan  Pariwisata 

Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo 2007‐2011. 

                                                            27 Disampaikan pada Workshop Internasional Persiapan Pendirian Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Haluoleo, tanggal 18-19 Agustus 2007 di Universitas Haluoleo