sulapa eppa pada lipa sabbe sengkang - jurnal

9
Jurnal Seni Budaya 50 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 A. Pengantar Masyarakat suku Bugis di Sengkang Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan dikenal akan tradisi menenun. Menenun saat ini menjadi salah satu sumber penghasilan masyarakat suku Bugis. Pelras, “sejak lama keterampilan bertenun merupakan salah satu sumber penghasilan utama orang Bugis.” Forrest dalam Pelras menuliskan, “penduduk Sulawesi sangat terampil menenun kain, umumnya kain kapas bergaya kambai yang mereka ekspor ke seluruh Nusantara. Kain-kain itu bermotif kotak-kotak merah bercampur biru. Mereka juga membuat sabuk sutra indah, tempat menyelipkan keris mereka.” (Pelras, 2006:289) Salah satu hasil tenunan masyarakat suku Bugis Sengkang yang dikenal adalah sarung sutra. Umumnya sarung terbuat dari bahan katun atau polyester, namun oleh masyarakat suku Bugis Sengkang sarung dibuat dengan bahan sutra. Sehingga disebut sarung sutra yang dalam bahasa SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG Supratiwi Amir Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta Jl. Ki Hadjar Dewantara No. 19 Kentingan, Jebres, Surakarta, 57126 ABSTRAK Lipa sabbe merupakan sebuah sarung yang terbuat dari benang sutra yang ditenun menggunakan alat walida dan bola-bola. Dalam masyarakat Bugis sarung telah menjadi bagian yang tidak pernah lepas dari kegiatan kehidupan sehari-hari, misalnya sarung tuk ibadah, memanjat pohon, mengusir nyamuk, menggendong anak, dan pakaian sehari-hari lain. Berbeda dengan lipa sabbe yang digunakan dalam kegiatan ritual khusus, juga memiliki motif yang mengandung sebuah makna. Kekhususan ini menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk mengkaji lipa sabbe. Melihat bentuk dan motif-motif lipa sabbe yang cenderung segi empat kotak-kotak merupakan sebuah manifestasi dari wujud sulapa eppa. Hal ini merupakan bentuk upaya masyarakat untuk melakukan sebuah pemaknaan, agar lipa sabbe mampu bereksistensi dan tidak hilang dari peradaban. Kata kunci: Lipa’ Sabbe, Sulapa’ Eppa’, Sengkang. ABSTRACT Lipa sabbe is a sarong made of silk thread which is woven using a tool of walida and balls. In Bugis society, the sarong has become a part that has never been separated from the activities of daily life. The sarong for prayer gloves, for climbing trees, for repelling mosquitoes, for carrying children, and other everyday clothes are different. Lipa sabbe which is used in special ritual activities also has a different motive that contains a meaning. This particularity becomes an interesting thing for the writer to study lipa sabbe. Seeing the shape and motifs of lipa sabbe which tend to be rectangular squares is a manifestation of the sulapa eppa form. This is a form of community efforts to make a meaning in order that lipa sabbe is always exist and not disappear from civilization. Keywords: Lipa ’Sabbe, Sulapa’ Eppa ’, Sengkang. lokal Bugis disebut lipa sabbe, sebutan yang akan kita gunakan dalam tulisan ini. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Sutra adalah benang halus dan lembut yang berasal dari kepompong ulat sutra” (KBBI, 2008). Oleh karena itu, seyogianya lipa sabbe Sengkang memiliki tekstur mulus, lembut, dan tidak licin. Namun, lipa sabbe memiliki tekstur kaku, hal ini berbeda dengan sifat sutra itu sendiri. Lipa sabbe ditenun secara konvensional yaitu mengunakan alat tenun walida dan bola-bola, disebut juga dengan alat bukan mesin atau ATBM. Proses menenun ini telah dilakukan secara turun- temurun. Suwati Kartiwa menulis: “Menenun di daerah Sulawesi Selatan dilakukan oleh wanita, sejak masih gadis sampai ia berkeluarga” (Soeharto, 1995:308). Kegiatan menenun masih dapat dijumpai di bawah kolong-kolong rumah masyarakat di daerah Tosora, Lagosi, Tanasitolo, dan Empagae, meskipun penenun yang banyak ditemui adalah ibu rumah tangga. Pekerjaan ini merupakan pengisi waktu sekaligus menjadi sumber penghasilan mereka di

Upload: others

Post on 05-Nov-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG - Jurnal

Jurnal Seni Budaya

50 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018

A. Pengantar

Masyarakat suku Bugis di SengkangKabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan dikenalakan tradisi menenun. Menenun saat ini menjadi salahsatu sumber penghasilan masyarakat suku Bugis.Pelras, “sejak lama keterampilan bertenun merupakansalah satu sumber penghasilan utama orang Bugis.”Forrest dalam Pelras menuliskan, “penduduk Sulawesisangat terampil menenun kain, umumnya kain kapasbergaya kambai yang mereka ekspor ke seluruhNusantara. Kain-kain itu bermotif kotak-kotak merahbercampur biru. Mereka juga membuat sabuk sutraindah, tempat menyelipkan keris mereka.” (Pelras,2006:289)

Salah satu hasil tenunan masyarakat sukuBugis Sengkang yang dikenal adalah sarung sutra.Umumnya sarung terbuat dari bahan katun ataupolyester, namun oleh masyarakat suku BugisSengkang sarung dibuat dengan bahan sutra.Sehingga disebut sarung sutra yang dalam bahasa

SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG

Supratiwi AmirProgram Pascasarjana

Institut Seni Indonesia SurakartaJl. Ki Hadjar Dewantara No. 19 Kentingan, Jebres, Surakarta, 57126

ABSTRAK

Lipa sabbe merupakan sebuah sarung yang terbuat dari benang sutra yang ditenun menggunakan alat walidadan bola-bola. Dalam masyarakat Bugis sarung telah menjadi bagian yang tidak pernah lepas dari kegiatankehidupan sehari-hari, misalnya sarung tuk ibadah, memanjat pohon, mengusir nyamuk, menggendong anak,dan pakaian sehari-hari lain. Berbeda dengan lipa sabbe yang digunakan dalam kegiatan ritual khusus, jugamemiliki motif yang mengandung sebuah makna. Kekhususan ini menjadi hal yang menarik bagi penulis untukmengkaji lipa sabbe. Melihat bentuk dan motif-motif lipa sabbe yang cenderung segi empat kotak-kotakmerupakan sebuah manifestasi dari wujud sulapa eppa. Hal ini merupakan bentuk upaya masyarakat untukmelakukan sebuah pemaknaan, agar lipa sabbe mampu bereksistensi dan tidak hilang dari peradaban.

Kata kunci: Lipa’ Sabbe, Sulapa’ Eppa’, Sengkang.

ABSTRACT

Lipa sabbe is a sarong made of silk thread which is woven using a tool of walida and balls. In Bugis society,the sarong has become a part that has never been separated from the activities of daily life. The sarong forprayer gloves, for climbing trees, for repelling mosquitoes, for carrying children, and other everyday clothes aredifferent. Lipa sabbe which is used in special ritual activities also has a different motive that contains ameaning. This particularity becomes an interesting thing for the writer to study lipa sabbe. Seeing the shapeand motifs of lipa sabbe which tend to be rectangular squares is a manifestation of the sulapa eppa form. Thisis a form of community efforts to make a meaning in order that lipa sabbe is always exist and not disappearfrom civilization.

Keywords: Lipa ’Sabbe, Sulapa’ Eppa ’, Sengkang.

lokal Bugis disebut lipa sabbe, sebutan yang akankita gunakan dalam tulisan ini. Menurut Kamus BesarBahasa Indonesia, “Sutra adalah benang halus danlembut yang berasal dari kepompong ulat sutra” (KBBI,2008). Oleh karena itu, seyogianya lipa sabbeSengkang memiliki tekstur mulus, lembut, dan tidaklicin. Namun, lipa sabbe memiliki tekstur kaku, halini berbeda dengan sifat sutra itu sendiri.

Lipa sabbe ditenun secara konvensionalyaitu mengunakan alat tenun walida dan bola-bola,disebut juga dengan alat bukan mesin atau ATBM.Proses menenun ini telah dilakukan secara turun-temurun. Suwati Kartiwa menulis: “Menenun didaerah Sulawesi Selatan dilakukan oleh wanita, sejakmasih gadis sampai ia berkeluarga” (Soeharto,1995:308). Kegiatan menenun masih dapat dijumpaidi bawah kolong-kolong rumah masyarakat di daerahTosora, Lagosi, Tanasitolo, dan Empagae, meskipunpenenun yang banyak ditemui adalah ibu rumahtangga. Pekerjaan ini merupakan pengisi waktusekaligus menjadi sumber penghasilan mereka di

Page 2: SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG - Jurnal

Supratiwi Amir: Sulapa Eppa Pada Lipa Sabbe Sengkang

Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 51

samping mengurus rumah tangga. Sebagai hasilseni tenun, lipa sabbe memiliki bentuk sertamotif dan warna yang khas dari masyarakatBugis.

Kurang lebih ada empat motif yang digunakanpada sarung sutera Sengkang, yakni motif balotettong atau bergaris tegak, motif makalu ataumelingkar, motif lobang atau berkotak besar ataukosong, dan motif renni atau berkotak kecil.(Tempo.co, Keindahan Motif Sutra Sengkang,diakses tanggal 11 Mei 2013) Produksi lipa sabbecenderung menggunakan motif kotak-kotak danmotif kotak-kotak yang dikombinasikan denganmotif bunga dan kupu-kupu. Pelras juga menyatakan,“..., walau Sulawesi selatan sangat terkenal akanproduk sarung sutra kotak-kotaknya, kain tenun yangdihasilkan sebenarnya jauh lebih bervariasi.” (Pelras,2006: 289) Kecenderungan motif kotak-kotak padalipa sabbe mengingatkan penulis akan wujud sulapaeppa yang ada dan masih hidup dalam masyarakatBugis.

Lipa sabbe didesain tidak hanya sekedarbarang fungsional, form follows function melainkanbarang yang memiliki nilai dalam masyarakatpenggunanya, form follows meaning. Kelahiran sebuahkarya seni didorong motivasi tertentu. Misalnya,keinginan manusia akan hal-hal yang indah, keinginanberkomunikasi, atau sebuah desakan untuk memenuhikebutuhan sehari-hari. Seni murni atau fine art adalahseni atas dorongan estetik, yaitu keinginan untukmengekspresikan hal-hal yang indah yang dirasakanatau yang dialami. Adapun seni terapan atau appliedart adalah seni yang kehadirannya selain untuk nilaiestetik juga untuk kebutuhan diluar ekspresi estetik(Soedarso, 2006:101).

Wujud dan keberadaan lipa sabbe dalammasyarakat Bugis menarik perhatian penulis. Sebagaihasil kebudayan lipa sabbe tidak hadir hanya untukmemenuhi kebutuhan sehari-hari, keberadaannyadidorong oleh nilai estetik dan juga nilai diluarestetik. Nilai estetik pada lipa sabbe dapat dipahamisebagai upaya untuk membangun kesadaranmasyarakat Bugis. Pentingnya untuk memberi maknapada sebuah hasil kebudayaan dinyatakan olehSachari. Menurutnya, tanpa upaya memberi maknapada objek-objek budaya yang dihasilkan, maka karyatersebut akan hilang dalam peradaban (Sachari,2007:40).

Sebagai ruang lingkup kajianpenulis secarakhusus membahas mengenai wujud dan fungsi danmakna lipa sabbe dalam masyarakat.

B. Pembahasan

Seni tenun merupakan warisan budaya yangbernilai tinggi, kaya akan imajinasi dan perbendaharaansimbolik. Imajinasi dan simbol tersebut diwujudkandalam bentuk motif yang mencerminkan nilai-nilaispiritual (Soeharto, 1995:vi). Sebagai warisan budaya,lipa sabbe memiliki wujud yang dapat diindera, yaknibentuk, nilai, dan fungsi dalam masyarakat. Terdapatmotif-motif yang dulunya pernah digunakan secarakhusus. Namun seiring waktu, perkembangan motiflipa sabbe tidak disertai dengan perkembangan nilai-nilai yang ada sebelumnya. Bahkan kemajuanteknologi dan kebutuhan masyarakat yang meningkatmenjadikan nilai-nilai tradisi pada lipa sabbeditinggalkan dan terlupakan.

1. Bentuk dan ukuran lipa sabbeSarung sutra adalah kain panjang yang dibuat

dengan menggunakan gedogan atau alat tenun walidadan alat tenun bola-bola atau ATBM. Alat tenungedogan atau walida menghasilkan ukuran kain 110 x400 cm, ukuran ini menghasilkan 2 buah sarung.Sedangkan, alat tenun bola-bola atau ATBMmenghasilkan ukuran kain 60 x 400 cm, ukuran iniuntuk menghasilkan 1 buah sarung. (WawancaraNovember 2014, Ida Sulawati)

(Koleksi Foto Supratiwi)

Lipa sabbe terdiri atas 2 bagian, yakni bagiankapalanna atau kepala sarung dan badan sarung.Bagian badan sarung biasanya didasari dengan motifberbentuk geometri. Demikian pula halnya pada bagiankepala sarung, yang terbentuk karena adanya motifyang sejenis namun berbeda ukuran dan atau berbedawarna, atau adanya perbedaan motif yang cukupkontras, yang menunjukkan bagian kepala dan badansarung. Kepala sarung ditemukan pada bagian tengah

Bagian badan sarung

Bagian kepala sarung

Page 3: SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG - Jurnal

Jurnal Seni Budaya

52 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018

lipa sabbe. Meskipun disebut sebagai kepala sarung,ternyata pemakaian kepala sarung diletakkan padabagian belakang ketika akan menggunakan lipasabbe.

(Foto 1 tampak depan dan 2 tampak belakang,Koleksi Supratiwi)

2. Motif pada lipa sabbeMotif lipa sabbe ditentukan oleh pemanfaatan

jalur benang pakan dan jalur benang lungsi. Berikutini merupakan motif-motif lipa sabbe Sengkangberbentuk geometris.a) Motif balo tettong dan makkalu

(Koleksi Foto Supratiwi)

Pada motif balo tettong hanya ada garis-garisvertikal yang ditemui, sedangkan pada motif makkaluhanya ada garis-garis horizontal yang ditemui. Disebutmakkalu, yaitu melingkar kaena ujung dari garishorizontal pada motif ini akan bertemu kembali setelahujung kain disatukan dengan cara dijahit. Sehinggamotif tersebut mengelilingi badan sarung. Keduamotif ini dapat ditemukan pada bagian kepala sarungatau badan sarang.

(Gambar Ulang, ilustrasi motif makkalu)

b) Motif balo renni dan balo lobbang

(Sarung motif balo renni, Kolesi Foto Aziz Said)

Motif balo renni atau berkotak kecil berbedadengan motif balotettong atau makkalu. Motif inimerupakan perpaduan bentuk garis-garis vertikal danhorizontal yang tipis dan saling bersilangan sehingganampak seperti kotak-kotak kecil atau dalam bahasaBugis renni. Demikian pula pada motif balo lobang,merupakan motif kotak-kotak, hanya saja ukuran

1 2

Page 4: SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG - Jurnal

Supratiwi Amir: Sulapa Eppa Pada Lipa Sabbe Sengkang

Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 53

kotaknya lebih lebar. Selain itu ketebalan garis yangdigunakan untuk garis vertikal dan horizontalnya jugaberbeda. Motif ini dapat dilihat pada seluruh permukaankain atau disebut badan sarung bahkan hingga kepalasarung. Saat ini motif balo renni atau balo lobang masihdapat dilihat baik sebagai motif itu sendiri ataudipadukan dengan motif lainnya.

(Sarung motif balo lobang, Koleksi Foto Aziz Said)

c) Motif cobo’ dan bombang

(Sarungmotif cobo’, Koleksi Foto Aminah Silk)

(Gambar ulang, 1. motif bombang dan2. motif cobo’)

Motif cobo tersusun dari bentuk segitiga yangberjejeran sambung menyambung. Selain motif cobo’,terdapat pula motif bombang yang dalam bahasa lokalBugis berarti ombak. Motif bombang tersusun daribentuk segitiga sama sisi yang berjejeran melintang,dan sambung menyambung. Motif cobo’ sama halnyadengan motif bombang, hanya saja motif cobo’ lebihruncing. Kedua motif ini dapat ditemui pada seluruhpermukaan kain sebagai badan sarung atau padabagian kepala sarung saja. Motif ini juga biasanyadipadukan dengan motif-motif geometri lainnya, sepertibalo lobang, caca wali, dan lain sebagainya.

d) Motif caca wali

(Sarung motif caca wali, Koleksi Foto Aminah Silk)

(Gambar ulangmotif caca wali, Supratiwi)

Motif caca wali hanya dapat dilihat padasebagian badan sarung, yakni di tepi atau pinggiransarung atau pada bagian kepala sarung saja. Cacawali yang berarti runcing pada kedua ujungnya memilikibentuk segi empat belah ketupat yang identik dengansulapa eppa Wala suji1.

Page 5: SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG - Jurnal

Jurnal Seni Budaya

54 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018

e) Motif lontara

(Sarung motif balo tettong dan lontara,Koleksi Foto Supratiwi)

Pada gambar terlihat motif balo tettong yangterdapat pada badan sarung serta motif lontara yangterdapat pada kepala sarung. Disebut motif lontarakarena motif tersebut menyerupai bentuk huruf lontara.Adapun penyebutan huruf lontara konon karena huruftersebut dituliskan pertama di daun lontar. Berikutmerupakan bentuk huruf lontara.

(Sumber: www.omniglot.com)

Selain motif berbentuk geometri, jugadiproduksi motif berbentuk dekorasi bunga dan hewan.Misalnya: motif lagosi dan motif kupu-kupu. Motif

lagosi merupakan motif kembang besar yang pertamakali dikembangkan di Desa lagosi, Sengkang.Sehingga orang menyebutnya motif kembang lagosi.Motif lipa sabbe kini berkembang dan lebih bervariasi.Hal ini ditunjukkan dengan adanya motif-motif baruyang lebih dekoratif, sehingga ada banyak pilihan motif.Kebutuhan yang meningkat menjadikan lipa sabbesebagai sebuah komoditas. Secara serta mertapenenun di tuntut kreatifitasnya untuk menciptakanmotif-motif baru. Adapun penamaan motif-motif lipasabbe masa kini tidak lagi menggunakan nama-namaragam hias geometri, melainkan dengan nama-namamotif baru yang diambil dari suatu peristiwa yang terjadipada waktu menenun.

3. Fungsi Lipa Sabbe dari Masa ke MasaKain tenun merupakan salah satu

perlengkapan hidup manusia. Sebagai salah satuperlengkapan hidup, kain tenun mempunyai beberapafungsi dalam berbagai aspek kehidupan, yakni aspekekonomi, sosial, religi, estetika dan lain sebagainya(Kartiwa, 1989:15).

a. Pada Masa Kerajaan (Tahun 1399-1957)Sarung dalam kehidupan masyarakat Bugis

digunakan untuk kebutuhan sandang, yakni penutupbawahan dan kerudung. Pada masa KerajaanWajo sarung sutra atau lipa sabbe hanya digunakandi kalangan bangsawan–rakyat mempersembahkansarung sutra pada saat hajatan sebagai bentuk hadiahuntuk rajanya. Di samping itu, lipa sabbe digunakansebagai alat kelengkapan upacara pernikahan dalamprosesi mappacci2. Selain itu, menurut SuryadinLaoddang sarung sutra mengandung makna simbolikyang terdapat pada motifnya. Pada prosesi khusussarung sutera digunakan untuk menyampaikanmaksud. Sarung sutra juga digunakan sebagai simbolstatus sosial seseorang dalam masyarakat. Padamasa ini setiap motif memiliki makna(Wawancara, 17April 2015).

Pada masa kerajaan sutra yang ditenunmenjadi bahan sandang menggunakan bahan sutramurni dan warna yang digunakan untuk mewarnaibenang sutra merupakan pewarna dari serat alam.Sehingga, ketika dikenakan pakian tersebut terasaadem atau tidak panas dan warnanya pun awettahan lama. Sebagai bahan sandang pada masalampau dalam hal ini masa kerajaan, sarung sutraatau lipa sabbe tidak pernah bisa lepas darifungsinya sebagai pelengkap kebutuhan budaya.Selain menjadi pakaian sehari-hari, kain sarung Bugisatau lipa sabbe, digunakan untuk kelengkapan

Page 6: SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG - Jurnal

Supratiwi Amir: Sulapa Eppa Pada Lipa Sabbe Sengkang

Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 55

upacara yang bersifat sakral yaitu upacara pernikahanadat Bugis. Lipa sabbe juga sebagai hadiah untukmempelai perempuan dari mempelai laki-laki yangakan menikah.

Pada motif tertentu yang terdapat dalam lipasabbe digunakan untuk menunjukkan status sosial,misalnya motif kotak-kotak kecil dalam bahasa lokalBugis balo renni digunakan untuk kaum perempuan,sedangkan motif berkotak besar dalam bahasa Bugisbalo lobbang digunakan untuk kaum laki-laki. Adapununtuk mengetahui status seseorang yang telahmenikah, pernah menikah, dan belum menikah dilihatdari warna yang digunakan. Pada sarung juga terdapatmotif yang digunakan sebagai alat komunikasi,misalnya pada saat melamar gadis Bugis cukup hanyamembawa atau memperlihatkan sarung motif tertentumaka kita dapat mengetahui maksud dari si pembawasarung (Suryadin Laoddang, Wawancara 17 April2015).

b. Pada Masa Pemerintahan Daerah (Tahun 1957-1980)

Setelah Konferensi Meja Bundar, pada tahun1957 Wajo bersama swaprajalain akhirnya menjadikabupaten. Setelah menjadi wilayah kabupaten,sarung sutra atau lipa sabbe digunakan sebagaipasangan bawahan baju bodo3. Sejak tahun 1980analat tenun bukan mesin yang disingkat ATBM tidakhanya memproduksi kain sutera tetapi lebih dikembangkan dengan memproduksi kain motif testurepolos, selendang, perlengkapan bahan pakaian,asesoris rumah tangga, hotel, kantor dan sebagainyaberdasarkan permintaan pasar dan konsumen(http://science-student14.blogspot.com/). Hal inimenunjukkan bahwa pada tahun 1980 masyarakatBugis tidak hanya menenun benang sutra untukdijadikan bahan sandang sarung sutra atau lipa sabbe,melainkan menenun benang sutra denganmemproduksi kebutuhan sandang selain sarung.

Pada tahun ini juga terjadi krisis industritenunWajo. Terjadi kelangkaan bahan baku sutra untukdiproduksi oleh industri kecil atau industri rumahtangga. Sementara pemerintah lebih memprioritaskanindustri tekstil yang berkala besar. Para penenun danpengusaha sutra kehilangan bahan baku di pasaran.Sebagian besar petani murbey mulai beral ihketanaman bernilai ekspor sehingga bahan baku suterapun semakin menjadi langkah. Sementara untukmengimpor bahan baku luar, para penenun harusmengeluarkan biaya lebih besar sehingga produksisemakin menurun (http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/).

Pada tahun 1997 industri tenun Wajo nyarislumpuh total karena kehilangan bahan baku. Padamasa lalu ketika terjadi kelangkaan bahan baku dipasaran, para penenun masih bisa berharap daribenang lokal yang diproduksi petani di Wajo dansekitarnya. Akan tetapi setelah krisis ekonomi 1997kelangkaan bahan baku tidak dapat diatasi. Kebijakanpemerintah yang mementingkan impor bahan bakubenang pada tahun 1980-an menjadikan sektorpertenunan kehilangan bahan baku pada saat krisis.Benang impor tak terbeli oleh penenun karenaharganya melambung tinggi. Industri tenun Wajo yangtersebar di beberapa tempat, seperti kecamatanSabbangparu, Kecamatan Tempe, KecamatanMajauleng, Pammana mengalami problem, yaitukurangnya pasokan bahan baku yang berkualitas dansulitnya pemasaran produk tenun. Dua hal ini membuatpara perajin tidak dapat meningkatkan produksinya.

c. Pada Tahun 1980- SekarangKrisis bahan baku sutra dan meningkatnya

permintaan konsumen akan kebutuhan bahansandang, pada akhirnya memberikan pilihan parapenenun untuk menggunakan benang sutra sintetisyang dikenal dengan istilah benang impor. Meskipunsebenarnya harga benang sintetis jauh lebih mahalketimbang benang lokal. Di samping itu, untukmenghadapi kelangkaan sebagian para penenun jugamengkombinasikan serat benang sutra dengan seratalam lainnya.

Kebutuhan masyarakat yang terus meningkatmenuntut para perajin tenun sutra di kota SengkangKabupaten Wajo tidak hanya memproduksi sarungsutra atau lipa sabbe. Para pengrajin akhirnyaminingkatkan produksi sarung sutra dan bahansandang lain seperti selendang, kain baju, dan lainsebagainya dengan bahan benang sutra sintetis ataukombinasi sintetis dengan benang lain. Kendatidemikian, sebagian masyarakat mungkin tidakmenyadari bahwa sutra yang dikenakan sekarangberbeda dengan sutra yang ada pada masa lampau.Meskipun sarung sutra atau lipa sabbe dan kain sutralainnya di produksi dengan bahan sintetis namundalam masyarakat masih menyebut sarung tersebutdengan sarung sutra atau kain sutra.

4. Bahan Lipa SabbeLipa sabbe terbuat dari bahan sutra, meskipun

saat ini banyak juga diproduksi sarung dengan bahankatun atau vescoss tetapi menggunakan motif yangsama seperti motif pada lipa sabbe. Sutra merupakanbarang mewah dan memiliki kualitas tinggi, yang

Page 7: SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG - Jurnal

Jurnal Seni Budaya

56 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018

menurut teori objektivitas bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika adalah kualitasyang melekat pada benda tersebut. Berikut inimerupakan kualitas sutra yang mendai bahan utamadalam pembuatan lipa sabbe.a) Sutra merupakan bahan yang sangat kuat.

Kekuatan sutra sebanding dengan kawat halusyang terbuat dari baja.

b) Sutra juga lembut saat menyentuh kulit. Asamamino dalam serat sutra yang membuat sutraterasa lembut dan nyaman. Bahkan sutra dapatmenjaga agar terhindar dari berbagai penyakit kulit.Tentu hal ini akan membuat pemakainya merasanyaman.

c) Sutra memiliki kemampuan menyerap yang baiksehingga cocok digunakan di udara yang hangatdan tropis. Karena itu, setiap pemakai bahan sutraakan merasa sejuk.

d) Bahan sutra memiliki ciri khas yaitu berkilau sepertimutiara. Hal ini disebabkan karena lapisan-lapisanfibroin, yaitu sejenis protein yang dihasilkan ulatsutra, membentuk struktur mikro yang berbentukprisma. Struktur prisma inilah yang menyebabkancahaya akan disebar ketika terkena bahan darisutra sehingga menimbulkan efek kilau yang indahpada sutra.

e) Sutra memiliki daya tahan terhadap panas dantidak mudah terbakar.

f) Benda yang menggunakan bahan sutra mampumelindungi kulit tubuh dari sinar ultraviolet yangdapat merusak kulit.

5. Sulapa Eppa Wala Suji pada Motif Lipa SabbeSulapa eppa sebagai bentuk kepercayaan

berupa simbol susunan semesta yaitu api, air, angin,dan tanah. Dengan pandangan ini, masyarakat Bugismemandang dunia sebagai sebuah kesempurnaan.Adapun wala suji merupakan tempat ditemukanbentuk sulapa eppa, sehingga kada orangmenyebutnya sulapa eppa wala suji sebagianmasyarakat hanya menyebut sulapa eppa.Walasuji ini terbuat dari anyaman bamboo karena pohonbambu dipercaya memiliki makna filosofi. Pohonbambu merupakan salah satu tumbuhan yang memilikibanyak manfaat bagi kehidupan manusia. Ada satusisi dari pohon bambu dapat dijadikan bahanpembelajaran bermakna, yakni pada saat prosespertumbuhannya. Pohon bambu ketika awalpertumbuhannya atau sebelum memunculkan tunasdan daunnya terlebih dahulu menyempurnakanstruktur akarnya. Akar yang menunjang kedasar bumimembuat bambu menjadi sebatang pohon yang sangat

kuat, lentur, dan tidak patah sekalipun ditiup anginkencang.

Kepercayaan dan pandangan mitologi orangBugis dan Makassar memandang alam semestasebagai sulapa eppa wala suji, yang berarti segi empatbelah ketupat. Sarwa alam adalah satu kesatuan yangdisimbolkan dengan bentuk segi empat belah ketupatyang juga terdapat dalam salah satu huruf lontara/sa/berarti /seua/, yakni tunggal atau esa/sa/menyimbolkan mikrokosmos/sulapa eppa’na taue,yaitu segi empat tubuh manusia. Di puncak terletakkepala, sisi kiri dan kanan adalah tangan, dan ujungbawah adalah kaki. Simbol/sa/menyatakan diri secarakonkrit pada bagian kepala manusia yang disebtsauang, berarti mulut atau tempat keluar sadda yangberarti bunyi. Bunyi tersebut disusun sehinggamempunyai makna yang disebut ada, yakni kata,sabda, atau titah. Dari ada menjadi adae atau ade’.(Mattulada,1995:8-9).

(Sulapa eppa dalam Bentuk dan motif lipa sabbe)

Ade’ yang berarti adat merupakan manifestasidari pandangan hidup manusia Bugis dalam institusisosial mereka dan menempati kedudukan tertinggidalam norma sosial yang mengatur pola tingkah lakukehisupan masyarakat. Setia manusia Bugis yangberada dalam lingkaran adat merupakan bagian yangtak terpisahkan dari suatu unit sosial, atau dengankata lain mekanisme kehidupan sosial dijiwai dandimotori oleh adat. Nilai-nilai dalam masyarakatmerupakan suatu sistem sosial yang lahir berdasarkanketetapan adat telah membentuk pola tingkah lakudan pandangan hidup manusia Bugis. (Abdullah, 1985:5-6)

Pola tingkah laku masyarakat Bugismerupakan wujud tindakan yang berkaitan erat dengan

Page 8: SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG - Jurnal

Supratiwi Amir: Sulapa Eppa Pada Lipa Sabbe Sengkang

Volume 16 Nomor 1, Juli 2018 57

unsur budaya yang dikenal dengan sebutan siri4. Siridianggap sebagai sesuatu hal yang prinsipil dalamdiri mereka. Tidak ada satu nilaipun yang lebihberharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumiini selain dari pada siri. Bagi masyarakat Bugis sendiri,siri adalah jiwa mereka, harga diri, dan martabatmereka. Oleh karenanya, manusia Bugis relamengorbakan jiwanya untuk menegakkan siri(Abdullah, 1985:37).

Ade’ termanivestasi dalam simbol sulapa eppayang disederhanakan dalam bentuk kotak-kotak yangada pada lipa sabbe. Sebagai warisan budaya,manifestasi yang diwujudkan ke dalam bentuk danmotif-motif lipa sabbe yang cenderung kontak-kotakdapat dimaknai bahwa lipa sabbe berupaya menjagasiri. Sebagaimana fungsi lipa sabbe yang digunakansebagai kebutuhan sandang, penutup organreproduksi manusia serta hal-hal yang merupakanaurat sebagai bagian dari siri atau rasa malu.

Bentuk dan motif kotak-kotak cenderungdipersepsikan sebagai sulapa eppa yakni memilikiempat sisi sehingga dapat dimaknai sebagai nilaiestetis, simbol yang menjaga siri’.

Garis horizontal Garis vertikal

Motif yang terbentuk dari garis vertikaldimaknai sebagai sebuah nilai untuk selalu mengingatadanya hubungan manusia dengan sang pencipta.Sementara untuk garis horizontal dimaknai sebagaisebuah nilai untuk menjalin hubungan manusia denganmakhluk disekitarnya, baik itu manusia, hewan,ataupun tanaman. Motif kotak-kotak yang terbentukdari perpaduan garis tipis secara vertikal dan horizon-tal yang disebut dalam motif balo renni menimbulkankesan halus dan sifat feminis. Sehinga motif ini pernahdikhususkan untuk para perempuan Bugis.Sedangkan motif kotak-kotak yang terbentuk dariperpaduan garis yang sedikit tebal menimbulkan kesankuat dan bersifat gagah, maka motif ini pernahdikhususkan untuk laki-laki Bugis.

Adapun keberadaan kepala sarung dan badansarung pada lipa sabbe dapat dianalogikan sebagaisebuah sistem sosial yang mengatur pola perilaku.

Dalam Hal ini, kepala sarung mengatur perilaku sipengguna saat menggunakan lipa sabbe, kepalasarung diletakkan pada bagian belakang. Keduabagian ini juga dimaknai sebagai bentuk kesatuan akanhubungan pemimpin dengan rakyatnya dalam sebuahkelompok masyarakat Bugis yang bersatu untukmenjaga dan memperjuangkan siri’ (Sudirman Sabang,Wawancara 2 Agustus 2015).

C. KesimpulanLipa sabbe Sengkang adalah kain panjang

yang ditenun dengan menggunakan alat gedogan atauwalida dan alat tenun bola-bola atau ATBM. Memilikibagian kepala sarung yang terletak di tengah kain danbagian badan kain yang cenderung didasari oleh motifgeometri. Motif lipa sabbe yang sering ditemukanyakni motif balo tettong, motif balo renni, motif balolobang, motif pucuk, motif bombang atau cobo’, danmotif lagosi.

Lipa sabbe merupakan wujud dari manifestasinilai-nilai yang mengatur pola tingkah laku masyarakatBugis. Perilaku tersebut diatur oleh ade’ atau adatuntuk menjaga jiwa, harga diri, dan martabat manusiaBugis yang disebut dengan siri’. Lipa sabbe sebagaiwarisan budaya yang mengandung nilai berupapandangan hidup serta menjaga siri itu sendiri. Olehkarenanya itu, seharusnya pemilik kebudayaanmemil iki kesadaran untuk menjaga danmelestarikannya.

Catatan Akhir:

1Wala suji adalah istilah yang digunakan dalammasyarakat Bugis yakni pagar atau gerbang yangterbuat dari anyaman bambu yang bermotif segiempatbelah ketupat.

2Mappacci merupakan prosesi pencucian calonpengantin sebelum pernikahan

3Baju bodo merupakan pakaian tradisional wanitaSulawesi Selatan yang digunakan dengan mengenakansarung sutera sebagai bawahan.

4Siri artinya malu, merupakan daya pendoronguntuk melenyapkan, mengasingkan, mengusir dansebagainya terhadap siapa saja yang menyinggungperasaan mereka. Hal ini menjadi kewajiban adat,kewajiban yang mempunyai sanksi adat berupahukuman menurut norma-norma adat jika kewajibanitu tidak dilaksanakan. Siri juga sebagai pendorong ,bervariasi ke arah sumber pembangkitan tenaga untukmembanting tulang, bekerja untuk suatu pekerjaan atauusaha. (C.H. Salam Basjah dan appena Mutaringdalam Abdullah, 1985: 39-40)

Page 9: SULAPA EPPA PADA LIPA SABBE SENGKANG - Jurnal

Jurnal Seni Budaya

58 Volume 16 Nomor 1, Juli 2018

KEPUSTAKAAN

Abdullah, hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar.Jakarta: Inti Idayu Press.

Agus Sachari. 2007. Budaya Visual Indonesia. Jakarta:Penerbit Erlangga.

Kartiwa, Suwati. 1989. Tenun Ikat, Indonesian Ikats.Jakarta: Djambatan.

Mattulada. 1995. Latoa, Satu Lukisan AnalitikTerhadap Antropologi Politik Orang Bugis.Ujung Pandang: Hasanuddin UniversityPress.

Pelras, Christian. 2005. Manusia Bugis. Jakarta: Nalarbekerja sama dengan Forum Jakarta Paris,EFEO.

Soedarso Sp. 2006. Trilogi Seni, Penciptaan,Eksistensi, dan Kegunaan Seni”.Yogyakarta: ISI Yogyakarta.

Soeharto, Tien. 1995. Indonesia Indah Buku 3,Tenunan Indonesia. Jakarta: PerumPercetakan Negara Republik Indonesia.

Narasumber:

Saharuddin (52) Wirasasta, pemilik Galeri Sutra,Sempange. Sengkang.

Suryadin Laoddang (36) Penggiat Sastra Klasik Bugis,La Galigo. Yogyakarta.

Sudirman Sabbang (...) Kepala Bagian Dinas PemudaOlahraga dan Kebudayaan Kabupaten Wajo.Sengkang.