sukuk negara sebagai alternatif sumber...
TRANSCRIPT
i
SUKUK NEGARA SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER
PEMBIAYAAN UTANG LUAR NEGERI INDONESIA
(Kajian Konsep dan Kebijakan)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Disusum Oleh :
Siti Cahyani
NIM : 1113086000012
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H / 2017 M
ii
SUKUK NEGARA SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER
PEMBIAYAAN UTANG LUAR NEGERI INDONESIA
(Kajian Konsep dan Kebijakan)
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Syarat- syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh :
Siti Cahyani
NIM : 1113086000012
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Prof. Dr. Muhammad Said, MA
NIP : 19710524200003103
JURUSAN EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF
Hari ini Kamis, 13 April 2017 telah dilaksanakan Ujian Komprehensif atas
Mahasiswa :
1. Nama : Siti Cahyani
2. NIM : 1113086000012
3. Jurusan : Ekonomi Syariah
4. Judul Skripsi : “Sukuk Negara sebagai Alternatif Sumber
Pembiayaan Utang Luar Negeri Indonesia (Kajian Konsep dan
Kebijakan)”
Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang
bersangkutan selama proses ujian komprehensif, maka diputuskan bahwa
mahasiswa tersebut diatas dinyatakan lulus dan diberi kesempatan untuk
melanjutkan ke tahap Ujian Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 April 2017
1. Ali Rama, SE., M.Ec ( )
NIP : 198406282015031002 Penguji I
2. RR.Tini Anggraeni, M.Si ( )
NUPN : 99201000301 Penguji II
iv
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
Hari ini Rabu, 26 Juli 2017 telah dilaksanakan Ujian Skripsi atas Mahasiswa :
1. Nama : Siti Cahyani
2. NIM : 1113086000012
3. Jurusan : Ekonomi Syariah
4. Judul Skripsi : “Sukuk Negara Sebagai Alternatif Sumber
Pembiayaan Utang Luar Negeri Indonesia (Kajian Konsep dan
Kebijakan).”
Setelah mencermati dan memperhatikan penampilan dan kemampuan yang
bersangkutan selama proses ujian skripsi, maka diputuskan bahwa mahasiswa
tersebut diatas dinyatakan lulus dan skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 26 Juli 2017
1. Endra Kasni Laila Yuda, S.Ag., M.Si ( )
NIP : 197208181998032003 Ketua
2. Prof. Dr. Muhammad Said, MA ( )
NIP : 19710524200003103 Sekretaris
3. Prof. Dr. Muhammad Said, MA ( )
NIP : 19710524200003103 Pembimbing
4. Ali Rama, SE., M.Ec ( )
NIP : 198406282015031002 Penguji Ahli
v
LEMBAR PERNYATAAN
KEASLIAN KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Siti Cahyani
No. Induk Mahasiswa : 1113086000012
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Jurusan : Ekonomi Syariah
Dengan ini menyatakan bahwa dalam penulisan skripsi ini, saya:
1. tidak menggunakan ide orang lain tanpa mampu mengembangkan dan
mempertanggunggjawabkan
2. tidak melakukan plagiat terhadap naskah karya orang lain
3. tidak menggunakan karya orang lain tanpa menyebutkan sumber asli
atau tanpa ijin pemilik karya
4. tidak melakukan pemanipulasian dan pemalsuan data
5. mengerjakan sendiri karya ini dan mampu bertanggung jawab atas
karya ini
Jikalau di kemudian hari ada tuntutan dari pihak lain atas karya saya, dan telah
melalui pembuktian yang dapat dipertanggung-jawabkan, ternyata memang
ditemukan bukti bahwa saya telah melanggar pernyataan di atas, maka saya siap
untuk mengenai dikenai sanksi berdasarkan aturan yang berlaku di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.
Jakarta, 10 Juli 2017
Yang Menyatakan,
( Siti Cahyani )
1113086000012
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama : Siti Cahyani
2. Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 15 Juli 1994
3. Alamat : Komplek Dosen UIN, Asrama Putri Jl Ibnu
Taimiyah IV No. 162 Pisangan, Ciputat 15419
4. Telepon : 08995536045
5. Email : [email protected]
II. PENDIDIKAN
1. SD Negeri Babakan Tahun 2001-2007
2. SMP Pembangunan 1 Tigaraksa Tahun 2007-2010
3. MAN 1 Tangerang Tahun 2010-2013
4. S1 Ekonomi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013-2017
III. PENGALAMAN ORGANISASI
1. Anggota Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta, periode 2013-
sekarang
2. Anggota Forum Penerima Bidikmisi (FORMABI) UIN Jakarta periode
2013-sekarang
3. Sekbid Pengembangan Ekonomi (PE) Lembaga Dakwah Kampus (LDK)
UIN Jakarta periode 2014-2015
4. Sekbid Kewirausahaan Organisasi Mahasantri Ma’had (OMM) Asrama
Putri UIN Jakarta periode 2014-2015
5. Anggota Koperasi Mahasiswa (KOPMA) UIN Jakarta periode 2015-
sekarang
6. Pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Syariah bidang Sosial
dan Agama FEB UIN Jakarta periode 2015-2016
7. Sekretaris Komunitas Mahasiswa Untuk Mushola (KOMUS) FEB UIN
Jakarta periode 2016-sekarang
vii
8. Bendahara Mabna Syarifah Muda’im (ASPI) UIN Jakarta Periode 2016 –
2017.
IV. LATAR BELAKANG KELUARGA
1. Ayah : Jakri
2. Tempat, & Tgl. Lahir : Tangerang, 13 April 1960
3. Ibu : Suanah
4. Tempat & Tgl. Lahir : Tangerang, 20 Juli 1969
5. Alamat : Kp. Babakan Rt 003 Rw 004 Ds. Pematang Kec.
Tigaraksa Kab. Tangerang-Banten
6. Anak ke dari : 5 dari 8 bersaudara
viii
SUKUK STATE AS AN ALTERNATIVE SOURCE OF FOREIGN
DEBT FINANCING INDONESIA
(concept and policy review)
By: Siti Cahyani
ABSTRACT
This study discusses the State Sukuk as an Alternative Source of Foreign
Debt Financing Indonesia. The scope of the discussion consists of the description of the development of sukuk country in Indonesia, the government policy in
developing the state sukuk, as well as the contribution of the sukuk of the state
towards the financing of Indonesia's foreign debt. The research method used in
this research is descriptive qualitative.
The results of this study indicate that the sukuk of the state as part of the
instrumental of Government Securities issued by the Government based on Law
no. 19 of 2008, along with Government Securities (SUN), which since 2005 is
directed as the main instrument in financing. So gradually shifting the position
and percentage of sources of financing based on Foreign Debt to the State
Securities. Judging from the value of the State Sukuk is still very small compared
to Government Debt and Foreign Debt Indonesia, but when viewed from the
percentage of growth of State Sukuk experienced a positive growth compared with
SUN and ULN.
Keywords: state sukuk, alternative, state securities, SUN, financing, policy,
government, instruments, foreign debt.
ix
SUKUK NEGARA SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER
PEMBIAYAAN UTANG LUAR NEGERI INDONESIA
(Kajian Konsep dan Kebijakan)
Oleh: Siti Cahyani
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai Sukuk Negara sebagai Alternatif
Sumber Pembiayaan Utang Luar Negeri Indonesia. Cakupan pembahasan terdiri dari pendeskripsian perkembangan sukuk negara di Indonesia, Kebijakan
pemerintah dalam mengembangkan Sukuk negara, serta kontribusi sukuk negara
terhadap pembiayaan utang luar negeri Indonesia. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian adalah deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sukuk negara sebagai bagian dari
instrumn Surat Berharga Negara diterbitkan Pemerintah berdasarkan UU No. 19
Tahun 2008, beserta Surat Utang Negara (SUN) yang sejak tahun 2005 diarahkan
sebagai instrumen utama dalam pembiayaan. Sehingga secara bertahap menggeser
posisi dan porsentase sumber pembiayaan berdasarkan Utang Luar Negeri kepada
Surat Berharga Negara. Dilihat dari nilainya Sukuk Negara masih terbilang sangat
kecil dibandingkan dengan Surat Utang Negara maupun Utang Luar Negeri
Indonesia, namun jika dilihat dari porsentase pertumbuhannya Sukuk Negara
mengalami pertumbuhan yang positif dibandingkan dengan SUN maupun ULN.
Kata kunci: sukuk negara, alternatif, surat berharga negara, SUN, pembiayaan,
kebijakan, pemerintah, instrumen, utang luar negeri
x
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karuniaNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
yang berjudul “Sukuk Negara sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan Utang
Luar Negeri Indonesia (Kajian Konsep dan Kebijakan)”. Shalawat serta salam
senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, Nabi akhir zaman
dan Suritauladan yang telah membawa kita ke zaman kebaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa banyak pihak yang telah membantu
dalam proses penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua, serta keluarga tercinta yang selalu memberikan kasih sayang,
do’a dan dukungan yang tidak dapat tergantikan dengan apapun.
2. Bapak Dr. Arief Mufraini Lc, M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Yogi Citra Pratama M.Si, selaku Ketua Jurusan Ekonmi Syariah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Prof. Dr. Muhammad MA, selaku dosen Pembimbing Skripsi , terima
kasih atas waktu, bimbingan, nasihat dan kebaikan yang telah Bapak berikan
kepada penulis.
xi
6. Seluruh Dosen dan Staf Karyawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah
memberikan ilmu pengetahuan dan berbagai bantuan kepada penulis selama
masa perkuliahan sampai kelulusan.
6. Bapak Dr. KH. Akhmad Sodiq MA, selaku Kepala Pusat Ma’had Al-Jami’ah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih atas nasihat dan siraman rohani
yang telah diberikan kepada penulis.
7. Bunda Nailil Huda Lc, M.Si, dan seluruh Mudabbiroh mabna Syarifah
Muda’im serta seluruh keluarga besar ma’had Al- Jamiah UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta , terima kasih atas doa, nasihat, motivasi, kebaikan dan
ketulusan yang telah diberikan kepada penulis.
8. Seluruh Guru MAN 1 Tangerang yang telah memberikan bantuan baik secara
moril maupun materil dari awal perkuliahan sampai kelulusan, sungguh
kebaikan kalian takkan terlupakan.
9. Untuk Para sahabat taat yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
senantiasa menemani dan mendoakan penulis dalam keadaan suka maupun
duka, menghiasi hari dengan canda tawa, sungguh kalian adalah harta yang
teramat berharga.
10. Untuk Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ekonomi Syariah serta teman-
teman Ekonomi Syariah angkatan 2013 FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuan dan
motivasi selama perkuliahan sampai kelulusan.
xii
12. Untuk teman-teman Komunitas Mahasiswa Untuk Mushola (KOMUS) FEB
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, trimakasih atas semua bantuan dan motivasi
yang telah diberikan.
13. Seluruh pihak yang telah terlibat dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini
yang tidak dapat penulis sebutkan, terimakasih atas semua bantuan dan
kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki
penulis. Oleh karena itu, segala bentuk kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak sangat penulis harapkan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembacar sekalian.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 10 Juli 2017
( Siti Cahyani )
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... ..i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .......................................................................... .ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN KOMPREHENSIF ............................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI....................................................iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH ..................................... ..v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................................... vi
ABSTRACT .....................................................................................................................viii
ABSTRAK ..................................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………x
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………..xxii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .................................................................................. 8
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 10
A. Tinjauan Literatur ..................................................................................... 10
1. Ekonomi Islam di Indonesia ................................................................ 10
2. Kebijakan Fiskal dalam Islam ............................................................. 15
3. Sukuk sebagai Instrumen Kebijakan fiskal ......................................... 28
B. Penelitian Sebelumnya ............................................................................. 31
C. Kerangka Pemikiran ................................................................................. 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... 37
A. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 37
B. Metode Pemilihan Sampel ........................................................................ 37
C. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 37
D. Metode Analisis Data ............................................................................... 38
xiv
BAB IV A. Perkembangan Sukuk di Indonesia .......................................................... 40
1. Jenis Sukuk secara Umum ................................................................... 40
2. Jenis Sukuk Kontemporer ................................................................... 41
3. Sejarah dan Perkembangan Sukuk di Indonesia .................................. 44
4. Sukuk Negara/ Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) ..................... 46
5. Metode dan Mekanisme Penerbitan Sukuk Negara ............................. 58
6. Pertumbuhan Sukuk Negara (SBSN) di Indonesia .............................. 61
7. Risiko Pembiayaan dengan Sukuk.........................................................64
BAB V B. Kebijakan Pemerintah dalam Mengembangkan Sukuk Negara ............ 67
1. Reksadana Syariah .............................................................................. 67
2. Dewan Syariah Naisonal-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) ........ 68
3. Jakarta Islamic Indeks (JII) ................................................................. 71
4. Pasar Modal Syariah ........................................................................... 72
5. Obligasi Syariah dan Surat Utang Negara (SUN) ................................. 80
6. Kebijakan (Regulasi) Pemerintah dalam Mengembangkan Sukuk
Negara ................................................................................................. 84
BAB VI C. Kontribusi Sukuk Negara Terhadap Utang Luar Negeri Indonesia…...90
1. Defisit Anggaran dalam APBN ........................................................... 90
2. Utang Luar Negri Indonesia ................................................................. 93
3. Keunggulan Penerapan Sukuk Negara (SBSN) ................................. 111
4. Analisis SWOT ................................................................................. 115
5. Strategi Meningkatkan Pertumbuhan dan Perkembangan SBSN…....117
BAB VII PENUTUP ................................................................................................. 122
A. Kesimpulan ....................................................................................... 122
B. Saran ................................................................................................. 125
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 127
LAMPIRAN ................................................................................................................ 131
DAFTAR TABEL
xv
No. Keterangan Halaman
1.1 Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia periode 2012-2016 3
4.1 Jenis dan Seri Sukuk Negara di Indonesia 51
4.2 Nilai / Emisi Sukuk Negara tahun 2008 – 2016 62
4.3 Total Outstanding SBSN tahun 2008 – 2016 63
5.1 Perbedaan SBSN dan SUN 84
6.1 Sumber & Total Pendapatan Negara periode 2012-2016 90
6.2 Defisit APBN periode 2012-2016 92
6.3 Utang Luar Negeri Indonesia Berdasarkan Kelompok Peminjam 107
6.4 Utang Luar Negeri Indonesia Berdasarkan Sektor Ekonomi 109
6.5 Utang Luar Negeri Indonesia Berdasarkan Kreditor 110
6.6 Porsentase Pertumbuhan SBN dan SUN tahun 2012-2016 117
xvi
DAFTAR GAMBAR
No. Keterangan Halaman
2.1 Kerangka Pemikiran Penelitian 36
4.1 Jenis Suku secara Umum 40
4.2 Regulasi Sukuk di Indonesia 47
5.1 Pengembangan Produk Obligasi – Sukuk 81
5.2 Nilai Sukuk Korporasi 2002-2008 81
6.1 Anternatif Pembiayaan Defisit APBN oleh Pemerintah 92
6.2 Perkembangan ULN Indonesia pada masa orde baru 102
6.3 Utang Luar Negeri Indonesia Periode 1999-2004 103
6.4 Utang Luar Negeri Indonesia periode 2004 – 2009 105
6.5 Utang Luar Negeri Indonesia Periode 2010-2016 107
6.6 Utang Luar Negeri Indonesia Keseluruhan Periode 2010 – 2016 108
6.7 Posisi Utang Pemerintah Pusat periode 2012 – 2017 116
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan ekonomi pada umumnya dialami oleh berbagai
negara di dunia, baik itu di negara berkembang maupaun negara maju, di
negara Islam maupun sekuler. Namun beban permasalahan lebih berat
dirasakan oleh negara berkembang. Jika negara maju telah sukses
melewati fase peralihan dari ekonomi dengan sektor tradisional kepada
fase efisiensi teknologi dengan sektor industri perkotaan modern, sehingga
memperoleh produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (P.
Todaro, 2002: 132). Meskipun demikian, kesenjangan sosial dan alokasi
untuk penanaman modal dan investasi tetap menjadi permasalahan.
Negara berkembang memiliki permasalahan lebih kompleks, baik
permasalahn mikro maupun permasalahan dalam konteks ekonomi makro.
Ruang lingkup ekonomi mikro menitikberatkan pada permasalahan
ekonomi individu, rumah tangga, dan pasar. Sedangkan ekonomi makro
melingkupi secara keseluruhan, baik itu variabel pendapatan nasional,
kesempatan kerja, pengangguran, inflasi, anggaran pemerintah,
pertumbuhan serta pembangunan ekonomi dan lain sebagainya
(Suprayitno, 2008 : 6 - 8).
Dalam negara yang menerapkan peran serta pemerintah dalam
sistem perekonomian, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah baik itu
kebijakan fiskal maupun moneter akan berdampak besar terhadap roda
2
perekonomian. Kebijakan moneter yakni kebijakan dalam lingkup
keuangan negara. Sedangkan kebijakan fiskal yakni kebijakan dalam
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ( P3EI,
2014 :463). Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV Bab VIII
pasal 23 ayat 1 : Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud
dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-
undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam praktiknya, di Indonesia pendapatan negara sebagian besar
berasal dari Pajak dan pendapatan lainnya berasal dari Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP). Adapun untuk belanja negara terbagi menjadi tiga
pos yakni belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah dan pembiayaan.
Berdasarkan target pencapaian pembangunan dan pertumbuhan ekonomi,
Indonesia menerapkan budget atau anggaran defisit dalam penerapan
pengeluaran/ belanja negara. Permasalahan defisit anggaran merupakan
hal yang tidak asing lagi dihadapi oleh negara yang ingin memperoleh
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tinggi di tengah
keterbatasan sumber daya dan dana yang di miliki. Pada praktiknya dalam
menyelesaian permasalahan defisit anggaran tersebut, pemerintah
mengambil kebijakan dengan pembiayaan/ pinjaman baik didalam maupun
di luar negeri (utang). Oleh karena itu, setiap periodenya sebagian
anggaran pendapatan negara dialokasikan untuk pembiayaan atau
membayar utang yang dilakukan pada periode sebelumnya.
3
Seperti kita ketahui beberapa periode ini pemerintah melakukan
pembangunan proyek dan infrastruktur secara besar-besaran, baik jalan
Tol, MRT, jalur kereta cepat dan sebagainya. Hal ini menyebabkan
pembengkakan defisit anggaran yang berakibat pada pengambilan
kebijakan dengan alternatif pembiayaan dari luar negeri. Permasalahan
defisit anggaran dan utang luar negeri bukanlah hal baru dalam APBN, hal
ini sudah menjadi masalah yang akut dan berkelanjutan.
Berikut laporan perkembangan Utang Luar Negeri (ULN)
Indonesiaperiode 2012-2016 yangdilaporkan oleh Kementrian Keuangan
RI dan Bank Indonesia :
Tabel 1.1 : Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia periode 2012-2016
berdasarkan kelompok Peminjam dalam Juta USD.
Peminjam 2012 2013 2014 2015 2016
1. Pemerintah dan Bank Sentral
1.1 Pemerintah
1.2 Bank Sentral
123.736
114.294
9.932
123.548
114.294
9.255
129.736
123.806
5.930
142.608
137.396
5.212
159.798
155.946
3.852
2. Swasta
2.1 Bank
2.2 Bukan Bank
2.2.1 LKBB
2.2.2 Perusahaan Bukan
Lembaga Keuangan.
126.245
23.018
103.228
7.713
95.515
142.561
24.431
118.130
7.947
110.183
163.592
31.673
131.920
10.149
121.771
167.445
31.925
135.520
11.247
124.357
163.451
29.225
134.227
10.261
123.966
TOTAL 252.364 266.109 293.328 310.053 323.249
Sumber : Kementerian Keuangan RI dan Bank Indonesia (Diolah)
Dilihat dari jumlahnya, utang luar negeri Indonesia terus
mengalami peningkatan. Meskipun utang dipandang memiliki resiko yang
4
relatif kecil, namun tetap memiliki kelemahan dan risiko di kemudian
hari. Dilihat dari pihak pemberi pinjaman, ada dua hal penting yang
dianggap memotivasi dan melandasi bantuan luar negeri ke negara-negara
debitor. Kedua hal tersebut adalah motivasi politik (political motivation)
dan motivasi ekonomi (economic motivation), dimana keduanya
mempunyai keterkaitan yang sangat erat yang satu dengan yang lainnya
(Basri (2003) dalam Rowland, 2013 : 356).
Seiring dengan permasalahan yang terjadi, perkembangan ekonomi
syariah pun tidak dapat ditampikkan dan semakin di rasakan. Ekonomi
syariah tidak hanya menjadi salah satu bidang studi di dunia pendidikan,
melainkan berkembang pada lembaga keuangan, instansi, bisnis, pasar
modal maupun pasar uang berbasiskankan syariah untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat maupun pemerintah. Jika kita telusuri awal
pertamakali syariah di tegakkan, yakni pada jaman Rasulullah SAW, maka
kita peroleh sejarah awal mula praktik ekonomi berlandaskan Al- Qur‟an
dan as-Sunnah diterapkan. Meskipun pada fase tersebut perekonomian
masih sangat sederhana dan lebih ditujukkan demi tegaknya agama.
Karakter umum dari perekonomian pada masa itu adalah komitmennya
yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatian yang besar terhadap
keadilan dan pemerataan kekayaan. Pasar menempati peranan penting
sebagai mekanisme ekonomi, tetapi pemerintah dan masyarakat juga
bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan
keadilan (P3EI, 2014 : 98). Dasar-dasar perekonomian syariah yang
5
digunakan dimasa sekarang banyak bersumber dari kegiatan maupun
transaksi pada masa tersebut, yang kemudian banyak mengalami
modifikasi dan perkembangan sesuai tuntutan jaman.
Jika melihat dari awal berdirinya lembaga keuangan syariah yang
menjadi tonggak sekaligus pelopor perkembangan ekonomi syariah itu
sendiri, maka kita bahas mengenai lembaga keuangan dengan basis non
ribawi yang pertama kali berdiri, yakni Bank Mit Ghamr yang di prakarsai
Dr. Ahmad Najjar pada tahun 1963 di Mesir. Kehadiran Bank ini memberi
inspirasi bagi umat muslim di seluruh dunia, sehingga timbulah kesadaran
bahwa prinsip-prinsip Islam dapat di aplikasikan (Karim, 2013: 23).
Adapun lembaga keuangan non ribawi yang pertama berdiri di
Indonesia yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991.
Pemikiran mengenai hal terebut sudah hadir sejak era „70 an. Namun
memiliki berbagai kendala terutama dalam hal politik, karena pendirian
bank ini di indikasikan dengan upaya mendirikan negara Islam. Lahirnya
ketentuan perbankan syariah yang lebih rinci yakni UU No.7/1998 yang
merupakan amandemen dari UU No. 10 tahun 1992, mengawali tumbuh
pesatnya cabang-cabang BMI dan lahirnya bank-bank syariah baru atau
cabang syariah pada bank umum (Karim, 2013 : xiv-xviii). Semenjak
lahirnya payung hukum perbankan syariah UU No. 21 tahun 2008,
perbankan syariah di Indoneia mengalami prosfek yang cerah. Pada tahun
2016 jumlah bank syariah yakni sebanyak 199 Bank yariah yang terdiri
dari12 BUS, 22 UUS dan 165 BPRS (Gustani, 2017). Selain perbankan
6
syariah, lembaga keuangan syariah non bank pun mengalami pertumbuhan
dan perkembngan yang sangat signifikan baik itu asurani syariah,
pegadaian syariah, BMT, koperai syariah, lembaga ziswaf, reksadana
syariah dan lain sebagainya.
Setelah lembaga keuangan syariah baik bank maupun non bank
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan, hal tersebut
tidak hanya di nikmati oleh kalangan masyarakat pada umumnya,
melainkan berperan dalam pemerintahan. Beberapa produk dan jasa yang
dipasarkannya pun semakin beragam. Salah satu contoh produk hasil
inovasi dan modifikasi dari produk yang dipasarkan sebelumnya ialah
sukuk/ surat berharga sebagai bukti kepemilikan atau penyertaan modal
sementara (Pradono, 2010). Di Indonesia penerbitan sukuk dimulai oleh
sektor swasta yakni PT Indosat Tbk pada tahun 2002 dengan nilai 175
Miliar, kemudian diikuti oleh pemerintah untuk pembiayaan yang
diprioritaskan melalui APBN. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
yang lebih dikenal Sukuk Negara disahkan oleh pemerintah yakni dengan
di keluarkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2008. Dalam Undang-
Undang tersebut di sebutkan bahwa yang di maksud SBSN atau Sukuk
adalah surat berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah,
sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang
rupiah atau mata uang asing (Diyanti, 2010 : 13).
Di Indonesia, sukuk merupakan salah satu instrumen syariah yang
memiliki daya tarik yang cukup signifikan. Meskipun dari segi
7
pengembangannya kalah cepat dan tergolong lambat jika dibandingkan
dengan Malaysia. Pada tahun 2016, sukuk negara yang di terbitkan oleh
Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pengelola Pembiayaan
dan Resiko (DJPPR) terdiri dari tujuh jenis yakni Sukuk Ritel, Islamic
Fixed Rate (IFR), Sukuk Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS), Sukuk
Dana Haji Indonesia (SDHI), Project Based Sukuk (PBS), Sukuk Valas,
dan Sukuk Tabungan (Infosyariah, 2016).
Dilihat dari jumlah penerbitan sukuk negara sebagai instrumen
kebijakan fiskal, nilainya semakin mengalami peningkatan. Menurut Eri
Hariyanto, Pegawai Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan RI,
dalam tulisannya yang berjudul “Peran Sukuk Negara sebagai Instrumen
Fiskal dan Moneter” menyebutkan bahwa : tahun 2008 jumlah sukuk
negara yang di terbitkan senilai Rp 4,7 Triliun, tahun 2012 meningkat
menjadi Rp 57,09 Triliun. Kemudian diperiode 2014 meningkat menjadi
Rp 75,54 Triliun. Selain peningkatan dari segi jumlah, dari segi tujuan dan
fungsi pun mengalami perkembangan. Jika periode-periode sebelumnya
penerbitan sukuk negara hanya ditujukan untuk menutupi defisit APBN,
namun saat ini diarahkan untuk proyek pembiayaan infrastruktur.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis
ingin mengetahui bagaimana perkembangan sukuk negara (SBSN) di
Indonesia dan bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengembangkan
sukuk negara, serta bagaimana kontribusi sukuk negara terhadap
pembiayaan utang luar negeri Indonesia, maka penulis melakukan
8
penelitian yang berjudul “SUKUK NEGARA SEBAGAI
ALTERNATIF SUMBER PEMBIAYAAN UTANG LUAR NEGERI
INDONESIA (Kajian Konsep dan Kebijakan)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan atas latar belakang diatas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini antara lain :
1. Bagaimana perkembangan sukuk negara (SBSN) di Indonesia ?
2. Bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengembangkan sukuk
negara (SBSN) ?
3. Bagaimana kontribusi sukuk negara (SBSN) terhadap pembiayaan
utang negara ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perkembangan sukuk negara (SBSN) di Indonesia.
2. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah terhadap pengembangan
sukuk negara (SBSN) di Indonesia .
3. Untuk mengetahui kontribusi sukuk negara (SBSN) terhadap
pembiayaan utang negara.
9
b. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat atas penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah
sebagai berikut :
1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah
pemahaman dan wawasan mengenai kontribusi sukuk negara
terhadap pembiayaan Utang Luar Negeri Indonesia..
2. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangsi keilmuan serta dapat dijadikan referensi
untuk karya tulis selanjutnya yang berkaitan dengan sukuk negara
dan Utang Luar Negeri Indonesia.
3. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsi keilmuan serta menambah referensi kepustakaan
mengenai kontribusi sukuk negara dalam pembiayaan utang
negara.
4. Bagi Praktisi, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber
rujukan dalam menyelesaikan permasalahan dan pengambilan
kebijakan terkait sukuk negara (SBSN) dalam pembiayaan utang
negara.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur
1. Ekonomi Islam
1.1 Pengertian Ekonomi Islam
Membahas mengenai ekonomi dalam perspektif Islam, maka ada
satu titik awal yang harus diperhatikan secara benar-benar, yaitu :
ekonomi dalam Islam sesungguhnya bermuara kepada akidah
Islam, yang bersumber dari syariatnya yakni Al-Qur‟an dan as-
Sunnah (Huda dkk, 2009 : 1). Sedangkan definisi mengenai
ekonomi islam itu sendiri di kemukakan oleh beberapa tokoh
yakni:
a. Ekonomi Islam adalah Ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai-
nilai Islam. Hal ini bukan berarti kaum muslim dicegah untuk
mempelajari masalah-masalah ekonomi non-mulim. akan tetapi
mereka yang di ilhami oleh nilai-nilai Islam diperintahkan syariat
untuk untuk mempelajari masalah minoritas non-muslim dalam
sebuah negara Islam khususnya, dan mengenai kemanusiaan pada
umumnya (Mannan, 1995 : 19)
b. Menurut M. Umer Chapra, (1996) yang dimaksud dengan ekonomi
Islam adalah sebuah cabang ilmu yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya
11
yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa membatasi
kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan
makro dan ekologi (Sholahuddin, 2007 : 5).
c. Sedangkan Muhammad Nejatullah Ash-Sidiqy mengemukakan
ekonomi Islam adalah respon pemikir muslim terhadap tantangan
ekonomi pada masa tertentu yang dalam usaha nya dibantu oleh
Al-Qur‟an dan as-Sunnah, ijtihad dan pengalaman (Huda, 2009 :
2).
d. Hazanuzzaman (1984) dan Metwally (1995) mendefinisikan
ekonomi Islam merupakan ilmu ekonomi yang diturunkan dari
ajaran Al-Qur‟an dan Sunnah, untuk menjawab permasalahan
kekinian yang jika tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an dan Sunnah
maka digunakan metode fiqh untuk menjelaskannya. Dalam hal ini
ekonomi Islam dipandang lebih bersifat normatif ketika
perkembangan ilmu ekonomi Islam belum didukung oleh praktik,
sehingga ekonomi Islam dianggap tidak memiliki kelemahan dan
selalu dianggap benar. Kegagalan dalam memecahkan masalah
ekonomi empiris dipandang bukan sebagai kelemahan ekonomi
Islam, melainkan kegagalan ekonom dalam menafsirkan Al-Qur‟an
dan Sunnah (P3EI, 2014 : 18).
12
1.2 Prinsip- prinsip Dasar Ekonomi Islam
Ekonomi, bisnis, dan keuangan tidak dapat dipisahkan dari norma-
norma etika yang berasal dari agama (M. Said dan Kaviyarasu,
2014). Sehingga ekonomi dalam Islam, memiliki prinsip-prinsip
yang menjadi dasar dalam kajian keilmuan maupun
pengaplikasiannya. Selain itu, dalam ekonomi berbasis Islam
terdapat dua dimensi penting yang harus diperhatikan yakni
dimensi material dan non material (Amalia, 2009) sehingga
menghasilkan prinsip-prinsip dasar sebagi berikut :
a. Prinsip tauhid. Prinsip ini berfungsi untuk membedakan sang
pencipta dengan makhluk-Nya yang di ikuti dengan
penyerahan tanpa syarat oleh setiap makhluk terhadap
kehendak Tuhannya serta memberikan perspektif yang pasti
dan menjamin proses pencarian kebenaran oleh manusia yang
pasti tercapai sepanjang menggunakan petunjuk Tuhan.
b. Prinsip keadilan. Prinsip ini merupakan hal yang sangat
fundamental dan mencakup seluruh asfek kehidupan. Menurut
Choudhury keadilan distribusi merupakan pilar utama dalam
menegakkan keadilan distribusi. Tanpa keadilan maka tatanan
kehidupan sosial, ekonomi akan mengalami
ketidakseimbangan dan menghasilan berbagai permasalahan.
c. Prinsip kebebasan. Prinsip kebebasan dalam ekonomi Islam
bukanlah prinsip kebebasan tanpa aturan. Melainkan
13
kebebasan dalam hal ini masih dibingkai dengan tauhid.
Menurut Rafik Isaa Beekun (1997), prinsip kebebasan ini
merupakan unsur komplementer dari konsep khalifah: karena
sampai pada tingkat tertentu, manusiadi anugerahi kehendak
bebas untuk mengarah dan membimbing kehidupannya sendiri
sebagai khalifah dibumi. Kebebasan ini yakni untuk
mengaplikasikan potensi nalar kreatif yang mendorong fungsi
kekhalifahan agar terimplementasi secara aktual.
d. Prinsip pertanggung jawaban. Refleksi adanya tanggung jawab
antara lain adanya pembalasan terhadap setiap tindakan
manusia atas adanya kebebasan dan kebolehan kepemilikan
harta, legalitas perdagangan, dan kebolehan menjalin akad
kerja sama. Wujud dari refleksi pertanggung jawaban ini yakni
pertanyaan Allah di akhirat akan asal muasal dan arah
pengelolaan harta (Amalia, 2009 : 359-362)
1.3 Ekonomi Islam di Indonesia
Ekonomi Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang
ditandai dengan di dirikannya lembaga keuangan non ribawi yakni
Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Namun
sebelum itu para tokoh cendekiawan muslim sudah lama
memperjuangkannya, hanya saja terkendala oleh politik dan
hukum. Kendala ini disebabkan oleh adanya indikasi bahwa
pendirian bank Islam merupakan upaya untuk mendirikan negara
14
Islam. Sepeti kita ketahui, dari awal proklamasi kemerdekaan para
tokoh pejuang mulim dan nasionalis berbeda pendapat dalam hal
agama dan kenegaraan. Oleh sebab itulah perkembngan ekonomi
Islam di Indonesia terbilang lambat jika dibandingkan dengan
negara muslim lainnya seperti Arab dan Malaysia.
Meskipun demikian, pada periode selanjutnya ekonomi Islam
di Indonesia mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara
signifikan. Jika pada tahun 1992-1998 hanya ada satu unit bank
syariah, pada tahun 2005 meningkat menjadi 20 unit dengan
rincian 3 unit Bank Umum Syariah (BUS) dan 17 Unit Usaha
Syariah (Karim, 2013 : 25). Kemudian untuk tahun 2016
jumlahnya meningkat, yakni terdapat 199 bank syariah dengan
rincian 12 Bank Umum Syariah, 22 Unit Usaha Syariah dan 165
Bank Pengkreditan Syariah (Gustani, 2016).
Dengan pemberlakuan Hukum 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah yang diterbitkan pada tanggal 16 Juli 2008,
pembangunan nasional industri perbankan syariah memiliki dasar
hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhan dengan
cepat (M. Said dkk, 2013). Selain perbankan, lembaga keuangan
syariah non perbankanpun mengalami pertumbuhan secara
signifikan, baik itu koperasi syariah, Baitul Maal wa Tamwil
(BMT), pembiayaan syariah, reksadana syariah, pasar uang
syariah, pasar modal syariah dan lain sebagainya.
15
2. Kebijakan Fiskal dalam Islam
2.1 Definisi Kebijakan Fiskal Islam
Secara umum, kebijakan fiskal di definisikan dengan kebijakan
dalam pemasukan dan pengeluaran negara/pemerintah. Dalam
praktiknya pajak merupakan pos penyumbang terbesar dalam
pemasukan, adapun dalam pengeluarannya umum menggunakan
sistem defisit anggaran.
Menurut M.A Mannan (1992) kebijakan fiskal dan anggaran
dalam Islam yakni kebijakan yang bertujuan untuk mengembangkan
suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan yang
berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada
tingkat yang sama.
Menurut Prof. R.W. Lindson, dalam membuat pengeluaran dan
pemasukan pemerintah, harus mengikuti ketentuan jenis, waktu dan
prosedur. Sehingga kebijakan fiskal didefinisikan sebagai alat untuk
mengatur dan mengawasi perilaku manusia yang dapat dipengaruhi
melalui insentif yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan
pemerintah melalui perpajakan, pinjaman atau jaminan terhadap
pinjaman pemerintah (Mannan, 1992 : 230)
Kebijakan fiskal dan anggaran belanja dalam Islam (Elvan, 2014)
bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan
atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai
material dan spiritual pada tingkat yang sama. Fungsi daripada sektor
16
fiskal menurut Islam yakni memelihara terhadap hukum, keadilan dan
juga pertahanan, perumusan dan pelaksanaan terhadap kebijakan
ekonomi, manajemen kekayaan pemerintah yang ada di dalam BUMN,
dan intervensi ekonomi oleh pemerintah jika diperlukan.
2.2 Prinsip-prinsip Kebijakan Ekonomi dalam Islam
Islam merupakan agama rahmatal lil‟alamin yang mengatur
semua asfek kehidupan (komprehensif). Al-Qur‟an merupakan
sumber hukum yang paling utama di antara as-Sunnah, Ijma, ijtihad
dan sebagainya. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip kebijakan ekonomi
dalam Islam adalah sebagai berikut (Amalia, 2010 : 76-77 ) :
a. Allah Swt adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut
alam semesta. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-
Qur‟an surat an-Najm ayat : 31
ولله ب ف اىسهىاث وب ف االسض ىيجزي اىهزي اسئىا ببعيىا ويجزي
اىزي احسىا بب ىحس
Artinya : “ Dan hanya kepunyaan Allah lah apa yang ada dilangit
dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka
kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik dengan pahala yang lebih baik (QS. an- Najm : 31).
b. Manusia adalah khalifah Allah Swt dimuka bumi, bukan pemilik
yang sebenarnya. Ayat yang menjelaskan hal ini yakni QS. al-
Baqarah : 30
17
عو ف االسض خييفت... وار قبه سبهل ىييئنت اهي جب
Artinya : Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi” (QS.
al-Baqarah : 30).
Dalam keterangan ayat di atas di sebutkan bahwa yang di maksud
dengan khalifah yakni dapat bermakna pengganti, pemimpin atau
penguasa (Al-Qur‟an terjemah , Al Jamil : 6). Ayat lain yang
menjelaskan manusia sebagi khalifah yakni QS. al-Hadid : 7
ب جعين سخخيفي فيه ه ءاىا ببلل وسسىىه وءافقىا ص
فبىزي ءىا ن
وافقىا ىه اجش مبيش
Artinya : “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan
nafkahkan lah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan
kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara
kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh
pahala yang besar” (QS. Al-Hadid : 7).
Dalam keterangan ayat diatas disebutkan bahwa yang di maksud
dengan “ nafkahkan lah sebagian dari hartamu yang Allah telah
menjadikan kamu menguasainya”, adalah penguasaan yang tidak
mutlak, karena pemilik absolut adalah Allah SWT.
c. Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah seijin Allah
Swt, maka orang yang kurang beruntung mempunyai hak atas
sebagian kekayaan yang dimilki oleh orang yang lebih beruntung.
Hal ini sebagaimana yang terkandung dalam Qs. al- Dzariat : 19
18
وفي اىاىه حقه ىيسب ئو واىحشو
Artinya : “Dalam kekayaan seseorang terdapat hak bagi orang
miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta”.
d. Kekayaan harus berputar dan tidak boleh di timbun. Sebagaimana
yang terkandung dalam QS. al-Hasyr : 7
مي الينى د وىت بي االغيبء ن
Artinya “ Supaya kekayaan itu tidak hanya beredar dikalangan
orang-orang kaya saja diantara kamu” (QS. al-Hasyr : 7).
Ayat ini merupakan dasar keharusan distribusi kekayaan, agar
tidak ada dikuasai oleh sekelompok orang. Sehingga disparitas atau
kesenjangan sosial dalam masyarakat dapat di minimalkan.
e. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuk, termasuk riba harus
dihilangkan. Didalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang
menjelaskan pelarangan riba, diantaranya : QS. ar-Rum : 39, QS.
an-Nisa : 160-161, QS. Ali Imran : 130, QS. al-Baqarah : 278-279.
ا انخ ؤي يبيههب ا ىزي اىا احهقىا هللا ور سوا ب بقي اىشه
Artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman! bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang beriman” (QS. al-Baqarah: 278).
Ayat-ayat tersebut menjelaskan pelarangan riba secara bertahap
mulai dari keterangan tidak kebermanfaatan riba sampai
pelarangan secara tegas (Huda, 2008 :13-15).
19
f. Menerapkan sistem warisan sebagai media re-distribusi kekayaan.
Mengenai warisan ini Allah Swt menjelaskannya dalam Qs. al-
Maidah: 176
وىه اخج ا ا شؤا هيل ىيس ىه وىذ قي ن ف اىنييتقو هللا يفخي قي يسخفخىل
اثخي فيهب مبخبفبج وهىى يشثهب ا ىه ين ىهب وىذج فيهب صف ب حشك
ب حشك ه سبء فييزمش ثو حظه قي اىثيث جبال وه قي االثيي وا مب ىا اخىة سه
وهللا بنو شيء عييقييبيه هللا ىن ا حضيىا
Artinya : “ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah
(yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi
mempunyai saudara perempuan, maka baginya (saudara
perempuannya itu) seperdua dari harta yang di tinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara
perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara
perempuan perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka
bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu
tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Qs. al-
Maidah: 176)
20
g. Menetapkan kewajiban bagi seluruh individu, termasuk orang-
orang miskin. Kewajiban tersebut dalam bentuk ketaatan kepada
Allah dan rasul-Nya (Amalia, 2010 : 76-77 ).
2.3 Sejarah dan Praktik Kebijakan Fiskal Islam
Kebijakan fiskal dalam Islam pertama kali dipraktikkan dan di
terapkan pada zaman Rasulullah, yakni setelah hijrahnya nabi dan
kaum muslimin dari Mekah ke Madinah. Pada periode tersebut Nabi
berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus pemimpin agama.
Setelah menyelesaikan masalah politik dan konstitusional, Rasulullah
kemudian merubah sistem ekonomi dan keuangan negara sesuai
dengan ketentuan Al-Qur‟an. Meskipun kebijakan ekonomi yang
dilakukan masih sangat sederhana dan di tujukan demi dakwah dan
syiar agama, namun memberikan hasil yang luar biasa. Salah satu
kebijakan Rasulullah setiba di Madinah yakni mempersaudarakan
kaum muhajirin dan kaum anshor. Dengan kebijakan tersebut maka
perekonomian kedua belah pihak dapat berjalan dengan baik.
Kebijakan tersebut menjadikan akad-akad syariah seperti mudharabah,
mujaro‟ah, musaqot terealisasikan. Selain itu, Rasulullah SAW
membangun Baitul Mal yang terletak di masjid nabawi sebagai pusat
penghimpunan kekayaan negara. Kekayaan yang terkumpul meskipun
jumlahnya sedikit, namun di distribusikan dalam jangka pendek
seluruhnya kepada masyarakat (Amalia, 2010 : 76-78).
21
Setelah Rasulullah wafat, pemerintahan dipegang oleh para sahabat
yang lebih dikenal dengan Khulafa Al Rasyidin. Pada masa ini
kebijakan yang dilakukan tidak jauh berbeda dan bersifat melanjutkan
serta menerapkan yang sudah dijalankan oleh Rasulullah. Setelah
pemerintahan Khulafa Al Rasyidin berakhir, estafet kepemimpinan
dilanjutkan oleh Daulah Bani Umayyah dan Daulah Bani Abbasyiah.
Meskipun pada masa tersebut mengalami naik turun kepemimpinan
serta kekacauan politik, namun pada masa itu juga Islam pernah
mengalami puncak kejayaaan; diantaranya pada masa pemerintahan
Umar ibn Abdul Aziz dan Harun Ar Rasyid (Amalia, 2010 : 102 -
103).
2.4 Instrumen Kebijakan Fiskal Islam
Menurut Kadim As-Sadr (1989) yang di kutip dalam Amalia (2010),
instrumen kebijakan fiskal dalam Islam terdiri dari beberapa bagian,
antara lain :
2.4.1 Peningkatan pendapatan nasional dan tingkat partisipasi kerja.
Kebijakan pertama yang dilakukan oleh Rasulullah ketika di
Madinah yakni mempersaudarakan kaum muhajirin dan kaum
anshor supaya terjadi distribusi pendapatan dan berimplikasi
pada peningkatan permintaan total. selain itu Rasulullah
menerapkan kebijakan penyediaan lapangan pekerjaan bagi
kaum muhajirin dengan mengimplementasikan akad
muzara‟ah, musaqat, dan mudharabah, sekaligus meningkatkan
22
pendapatan nasional kaum muslimin. Kemudian Rasulullah
membagikan tanah untuk pemukiman kaum muhajirin
sehingga meningkatkan partisipasi kerja dan mensejahterakan
kaum muslimin, serta memprioritaskan pembagian harta
rampasan perang kepada kaum muhajirin yang pada saat itu
sedang lemah sosial dan ekonominya.
2.4.2 Kebijakan pajak. Rasulullah menerapkan kebijakan pajak yang
terdiri dari kharaj, khums dan zakat sehingga tercipta
kestabilan harga dan mengurangi tingkat inflasi.
2.4.3 Anggaran. Rasulullah melakukan pengaturan APBN secara
cermat, efektif dan efisien sehingga jarang terjadi defisit
anggaran.
2.4.4 Kebijakan fiskal khusus. Beberapa kebijakan khusus yang
dilakukan oleh Rasulullah yakni meminta bantuan kaum
muslimin secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan pasukan
muslimin, meminjam peralatan perang milik non muslim
secara cuma-cuma, meminjam uang kepada orang-orang
tertentu untuk diberikan kepada muallaf dan menerapkan
kebijakan insentif untuk menjaga dan meningkatkan partisipasi
kerja dan produksi kaum muslim (Amalia, 2010 : 80 – 81).
23
2.5 Sumber-Sumber Pendapatan Negara
Dalam praktiknya, sumber pendapatan negara pada zaman
Rasulullah tidak hanya berasal dari zakat melainkan berasal dari
beberapa sumber, antara lain :
2.5.1 Kharaj atau pajak tanah; pemungutannya berdasarkan tingkat
produktivitas tanah, dengan spesifikasi tiga hal yakni
karakteristik atau tingkat kesuburan tanah, jenis tanaman, dan
jenis pengairan.
2.5.2 Zakat; yang dikumpulkan dalam bentuk uang tunai, hasil
peternakan dan hasil pertanian.
2.5.3 Khums atau pajak proporsional sebesar 20 persen. Menurut
kalangan syiah objek khums adalah semua pendapatan,
sedangkan menurut kalangan sunni objek khums hanyalah
harta rampasan perang. Namun Imam Abu Ubaid (seorang
ulama sunii) beranggapan bahwa objek khums meliputi
barang temuan dan barang tambang.
2.5.4 Jizyah atau pajak bagi orang-orang non muslim sebagai
pengganti layanan sosial-ekonomi dan jaminan perlindungan
keamanan dari negara Islam.
2.5.5 Penerimaan lainnya seperti kaffarah dan harta waris dari
orang yang tidak memiliki ahli waris (Amalia, 2010 : 78).
Secara ringkas sumber pendapatan pada zaman Rasulullah dapat
dikelompokkan menjadi tiga golongan besar yakni :
24
a. Pendapatan dari kaum muslimin yang terdiri dari zakat, ushr,
zakat fitrah, wakaf, amal fadhla, nawaib, dan shadaqah.
b. Pendapatan dari kaum non muslim yang terdiri dari : jizyah,
kharaj, dan ushr.
c. Pendapatan dari sumber lain terdiri dari : ghanimah, fay, uang
tebusan, hadiah, pinjaman dari kaum muslim maupun non
muslim (Huda, 2008 : 162).
Pada masa kepemimpinan Khulafa Al Rasyidin sumber pendapatan
negara tidak jauh berbeda ketika pada zaman Rasulullah. Setelah
wafat Rasulullah, Abu Bakar ash-Shiddiqterpilih menjadi pemimpin
agama sekaligus kepala negara kaum muslimin. Kebijakan yang
dilakukan yakni melanjutkan sesuai yang telah diterapkan oleh
Rasulullah (Amalia, 2010 : 89). Setelah pemerintahan Abu Bakar
Ash-Shiddiq berakhir dilanjutkan oleh khalifah Umar ibn Khatab.
Umar ibn Khatab mengklasifikasikan sumber pendapatan negara
menjadi empat bagian. Jika pada zaman Rasulullah fokus pendapatan
negara pada sumber penerimaan, maka pada masa Umar ibn Khatab
mengalami perkembangan dengan menekankan pada distribusi dari
sumber pendapatan tersebut, yakni:
1. Pendapatan zakat dan „ushr (pajak tanah), yang di distribusikan
dalam tingkat lokal dan jika mengalami kelebihan maka di
25
simpan di Baitul Mal Pusat dan dibagikan kepada delapan
ashnaf.
2. Pendapatan khums dan sedekah, yang di distribusikan kepada
fakir miskin tanpa diskriminasi muslim atau non muslim.
3. Pendapatan kharaj, fai, jizyah, „ushr (pajak perdagangan), dan
sewa tanah, yang digunakan untuk membayar dana pensiun
dan menutupi biaya operasional administrasi, militer, dan
sebagainya.
4. Pendapatan lain-lain, yang digunakan untuk membayar para
pekerja, pemeliharaan anak-anak terlantar dan sosial lainnya
(Amalia, 2010 : 93).
Pada masa pemerintahan Utsman ibn „Affan dilakukan beberapa
perubahan kebijakan dalam hal administrasi maupun pergantian
gubernur. Pada masa itu juga diterapkan kebijakan membagi-bagikan
tanah negara kepada individu-individu untuk reklamasi dan kontribusi
kepada Baitul Mal sehingga diperoleh kenaikan pendapatan sebesar 41
juta dirham dibanding pada masa Umar ibn Khatab. Sedangkan pada
masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, pendapatan negara yang
disimpan di Baitul Mal pusat maupun daerah berjalan dengan baik
bahkan mengalami surplus (Amalia, 2010 : 97).
Setelah masa pemerintahan khulafa al rasyidin berakhir pemerintahan
diambil alih oleh dinasti Umayyah, pada masa ini terjadi peralihan
gaya pemerintahan yakni dari demokratis menjadi kerajaan. Meskipun
26
terjadi banyak kerusuhan, namun pada masa ini juga Islam pernah
meraih kejayaan. Salah satu prestasi gemilang yakni dialami pada
masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz, dimana kebijakan yang
diterapkan berhasil mensejahterakan masyarakat. Bahkan pada masa
tersebut, pernah terjadi surplus pendapatan dan peningkatan taraf
kehidipan masyarakat, sehingga tidak didapati orang yang mau
menerima zakat dikarnakan sudah sejahtera. Setelah dinasti Umayyah
runtuh, pemerintahan di kuasai oleh dinasti Abbasiyah. Pada masa
ini, pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran diperoleh pada masa
Khalifah Harun al-Rasyid. Sumber pendapatan negara pada masa ini
bersumber dari kharaj, jizyah, zakat, fa‟i, ghanimah, „usr dan harta
lainnya (Amalia, 2010 : 108).
2.6 Belanja dan Pengeluaran Negara
Belanja atau pengeluaran negara untuk harta yang terkumpul di Baitul
Mal dialokasikan untuk penyebaran Islam, pendidikan dan
kebudayaan, pengembangan ilmu pengetahuan, pembangunan
infrastruktur, pembangunan armada perang dan keamanan, serta
penyediaan layanan kesejahteraan sosial. Seluruh alokasi tersebut
mempunyai dampak terhadap pertumbuhan ekonomi baik secara
langsung maupun tidak langsung (Amalia, 2010 : 79).
Untuk pengelolaan pendapatan dan pengeluaran negara, Rasulullah
menyerahkannya kepada Baitul Mal menggunakan asas anggaran
27
berimbang. Artinya semua penerimaan digunakan untuk pengeluaran
secara keseluruhan (Huda, 2008 : 162).
Kebijakan fiskal pada masa khalifah Umar ibn Khatab yakni dengan
membentuk beberapa departemen untuk mendistribusikan harta di
Baitul Mal :
a. Departemen Pelayanan Militer, yang berfungsi mendistribusikan
dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat perang. Besarnya
disesuaikan dengan jumlah tanggungan keluarga.
b. Departemen Kehakiman dan Eksekutif, yang bertanggung jawab
terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif.
Besarnya disesuaikan dengan kebutuhan, agar terhindar dari
praktik suap.
c. Departemen Pendidikan dan Pengembangan Islam. Departemen
ini mendistribusikan bantuan untuk penyebar dan pengembang
ajaran Islam beserta keluarganya.
d. Departemen Jaminan Sosial, yang berfungsi mendistribusikan
dana bantuan kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita
(Amalia, 2010 : 92)
Pengeluaran negara pada zaman Rasulullah dan para sahabat, sangat
jarang mengalami defisit karena para pemimpin menggunakan prinsip
bahwa pengeluaran hanya boleh dilakukan apabila ada penerimaan.
Adapun defisit anggaran pernah terjadi satu kali yakni sebelum
28
terjadinya perang Hunayn (jatuhnya kota Makkah), disebabkan
banyaknya orang yang masuk Islam sehingga pengeluaran zakat lebih
besar daripada penerimaan. Setelah itu tidak pernah lagi terjadi defisit
anggaran bahkan pada masa Umar ibn Khatab dan Utsman ibn Affan
terjadi surplus anggaran (Karim, 2007 : 26).
Meskipun demikian, sejarah menunjukkan bahwa pada zaman Dinasti
Abbasiyah, pemerintah Islam pernah mengalami defisit anggaran
selama 16 tahun. Dalam hal ini tentu kita harus membedakan antara
Islam sebagai konsep yang sempurna dengan subjek atau orang-orang
yang menerapkannya dalam kehidupan (Karim, 2007 : 244).
3. Sukuk sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal
3.1 Definisi Sukuk
Secara terminologi sukuk berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata
“sakk” bentuk tunggal, sedangkan dalam bentuk jamaknya yakni
“sukuk” yang artinya sertifikat atau bukti kepemilikan. Sukuk
dapat pula diartikan sebagai sertifikat atas kepemilikan atau
investasi atas kepemilikan suatu yang tidak dapat dipisahkan dalam
suatu aset atau kumpulan aset (Rama, 2015 : 159 ).
Sebelum dikenal dengan istilah sakk (bahasa Arab) istilah sukuk
merupakan berasal dari Persia yakni “jak”. Menurut Goitien shak/
sukuk, berasal dari kata cek atau cheque yang terdapat dalam
bahasa Inggris yang bermakna surat utang, yang kemudian
29
berkembang di Eropa. Dalam sejarah Islam, sukuk dikenal pada
masa Khalifah Umar ibn Khattab. Khalifah Umar ibn Khattab
membuat shak dengan membubuhkan stempel dibagian bawah
shak tersebut (Rodoni, 2009 : 109).
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
32/DSN/MUI/IX/2002, yang dimaksud dengan Obligasi Syariah
atau sukuk adalah suatu surat berharga berjangka panjang
berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada
pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah tersebut,
berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana
obligasi pada saat jatuh tempo.
Istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah “bond” yang
mengandung makna loan (Utang), dengan menambahkan kata
Islamic maka sukuk mengandung makna yang sangat kontradiktif
karena mekanisme utang biasanya didasari oleh interest / bunga
sedangkan bunga itu sendiri termasuk kedalam riba yang
diharamkan. Oleh karena itu, sejak tahun 2007 istilah bond diganti
dengan istilah sukuk sesuai aturan Bapepam Lembaga Keuangan
(Rodoni, 2009 : 107).
Menurut Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institution (AAOIFI) sukuk adalah bentuk sertifikat
bernilai sama yang mewakili bagian tak terpisahkan dalam
30
kepemilikan suatu asset berwujud, manfaat atau jasa, kepemilikan
dari asset suatu proyek atau aktivitas investasi tertentu, yang terjadi
setelah adanya penerimaan dana sukuk, penutupan pemesanan dan
dana yang dterima dimanfaatkan sesuai dengan tujuan penerbitan
sukuk (Rama, 2015 : 160).
3.2 Sukuk di Indonesia
Adapun sejarah sukuk di Indonesia dimulai oleh sektor
swasta/perusahaan, yakni PT Indosat Tbk pada tahun 2002 yang
menerbitkan surat berharga untuk penyertaan modal perusahaan
yang pada saat itu masih dikenal dengan istilah obligasi syariah.
Kemudian diikuti oleh pemerintah untuk pembiayaan yang
diprioritaskan melalui APBN dan sampai saat ini fungsi sukuk
tidak hanya untuk pembiayaan APBN, namun sudah berkembang
pada proyek pembangunan infrastruktur (Pradono, 2010 : 5).
Di Indonesia sendiri Surat Berharga Syarian Negara atau sukuk
diperkenalkan melalui UU No. 19 Tahun 2008 pasal 1, disebutkan
bahwa SBSN/ sukuk adalah surat berharga negara yang di terbitkan
berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan
aset SBSN baik dalam bentuk mata uang rupiah ataupun mata uang
asing, dimana aset SBSN adalah Barang Milik Negara (Salim, 2011
: 13).
Sukuk sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal yang
digunakan oleh pemerintah dalam menutupi defisit anggaran dan
31
proyek pembangunan infrastruktur sudah memiliki beberapa jenis,
dan dari tahun 2012 hingga tahun 2014 totalnya mencapai Rp
83,38 Triliun (Haryanto, 2015).
B. Penelitian Sebelumnya
Kajian dan pembahasan tentang sukuk menarik perhatian banyak pihak.
Hal ini ditandai dengan adanya sejumlah laporan riset dan publikasi dalam
bentuk buku maupun artikel. Adapun penelitian-penelitian sebelumnya
yang di jadikan rujukan sekaligus referensi oleh penulis adalah sebagai
berikut :
1. Moch. Azhka Rinaldhy, Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Brawijaya Malang, 2015.
“Kajian Terhadap Penerapan Sukuk sebagai Alternatif Sumber
Pembiayaan Negara.” Dalam penelitian ini Rinaldhy menjelaskan
mengenai kelebihan Sukuk Negara dibandingkan Utang Luar Negeri,
Cara yang digunakan dalam penerbitan sukuk, Penerapan sukuk di
beberapa negara, Peluang penerbitan sukuk dan Risiko yang terdapat
dalam penerbitan sukuk.
Penelitian tersebut tidak menjelaskan mengenai perkembangan sukuk
negara, dan kontribusi sukuk negara terhadap Utang Luar Negeri
Indonesia.
2. Pradono dan P. Adiatna, Simposium XIII FSTPT, Unika
Soegijapranata, 2010.
32
“Peluang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai Alternatif
Pembiayaan Infrastruktur Transportasi.” Penelitian tersebut
menjelaskan potensi SBSN sebagai alternatif atau solusi kurangnya
dana pembiayaan pemerintah untuk proyek infrastruktur transportasi,
manfaat penerbitan sukuk, dan kelemahan sukuk.
Penelitian diatas tidak menjelaskan mengenai perkembangan sukuk
negara, kebijakan pemerintah dalam pengembangan sukuk negara dan
kontribusi sukuk negara terhadap pembiayaan Utang Luar Negeri
Indonesia.
3. Fahmi Salim, Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
“Konsep dan Aplikasi Sukuk Negara dalam Kebijakan Fiskal di
Indonesia”. Dalam penelitian ini Fahmi menjelaskan bahwa terdapat
beberapa mekanisme penerbitan sukuk, antara lain: pelelangan,
bookbuilding, dan private placement disertai dengan adanya
underlying asset. Penggunaan dana sukuk untuk membiayai anggaran
belanja negara secara keseluruhan dan tidak ada pos-pos yang rinci.
Beberapa risiko yang terdapat pada sukuk di antaranya: inflasi,
fluktuasi nilai tukar kurs, dan gagal bayar.
Penelitian diatas tidak menjelaskan mengenai perkembangan sukuk
negara, kebijakan pemerintah dalam pengembangan sukuk negara dan
kontribusi sukuk negara terhadap pembiayaan Utang Luar Negeri
Indonesia.
33
4. Diyanti, Jurusan muamalat (Ekonomi Syariah) Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
“Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Alokasi Dana Sukuk Dalam
APBN”. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Dalam peneliian ini Diyanti menyatakan bahwa dana sukuk dari hasil
penerbitan atau pelelangan masuk menjadi satu rekening pada
penerimaan lain, sehingga tidak terlihat kemana dan untuk alokasi
defisit bagian mana dalam APBN. Pemanfaatan dana SBSN masih
belum mengena pada sasaran sektor riil. Serta mengatakan bahwa
konsep defisit anggaran sangat di hindari dalam kaca mata ekonomi
Islam. Dalam keuangan publik Islam belanja negara disesuaikan
dengan pemasukan dan dibuat klasifikasi pengeluaran negara menurut
sumbernya, sehingga pengelolaan dan alokasinya diharapkan akan
tertib, transparan dan terinci.
Penelitian tersebut tidak menjelaskan mengenai perkembangan sukuk
negara, kebijakan pemerintah dalam pengembangan sukuk negara dan
kontribusi sukuk negara terhadap Utang Luar Negeri Indonesia.
5. Novia Liza, Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
“Analisis Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Underlying Asset
Sukuk Negara”. Dalam penelitian ini Novia mengatakan bahwa tujuan
pemerintah menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara atau sukuk
adalah untuk menutupi defisit APBN dan pembangunan proyek. Tidak
34
hanya itu, pemerintah menggunakan Barang Milik Negara sebagai
Underlying Asset SBSN adalah untuk memberi kenyamanan bagi
Investor dan harus memenuhi syarat-syarat sesuai Peraturan Menteri
Keuangan No. 04/PMK.08/2009.
Penelitian tersebut tidak menjelaskan mengenai perkembangan sukuk
negara, kebijakan pemerintah dalam pengembangan sukuk negara dan
kontribusi sukuk negara terhadap Utang Luar Negeri Indonesia.
C. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat di gambarkan sebagai
berikut:
Secara terminologi sukuk berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata
“sakk” bentuk tunggal, sedangkan dalam bentuk jamaknya yakni “sukuk”
yang artinya sertifikat atau bukti kepemilikan. Sukuk dapat pula diartikan
sebagai sertifikat atas kepemilikan atau investasi atas kepemilikan suatu
yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu aset atau kumpulan aset (Rama,
2015 : 159 ).
Istilah sukuk merupakan pengganti dari istilah “bond” yang
mengandung makna loan (Utang), dengan menambahkan kata Islamic
maka sukuk mengandung makna yang sangat kontradiktif karena
mekanisme utang biasanya didasari oleh interest / bunga sedangkan bunga
itu sendiri termasuk kedalam riba yang diharamkan (Rodoni, 2009 : 107).
35
Sukuk Negara atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
menurut UU No. 19 Tahun 2008 pasal 1 adalah surat berharga negara yang
di terbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian
penyertaan aset SBSN baik dalam bentuk mata uang rupiah ataupun mata
uang asing, dimana aset SBSN adalah Barang Milik Negara.
Idealnya penggunaan dana sukuk harus digunakan untuk sektor-
sektor riil dan produktif. Dalam Undang-Undang Surat Berharga Syariah
Negara disebutkan; sukuk adalah bagian dari SBN (Surat Berharga Ngara)
yang dananya digunakan untuk membiayai defisit APBN dan pembiayaan
proyek (Salim, 2011: 8).
Utang luar negeri didefinisikan sebagai utang penduduk (resident)
yang berdomisili di suatu wilayah teritori ekonomi kepada bukan
penduduk (non resident) (Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia,
2016).
Besarnya akumulasi utang luar negeri, memaksa pemerintah
mengatur secara khusus dan mengubah paradigma mengenai penanganan
pinjaman luar negeri yang tertuang dalam Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) tahun 1999-2004. Kebijakan pemerintah ditekankan untuk
mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri (Tambunan, 2008 :
265). Agar utang tidak membebani ruang gerak fiskal, sejak tahun 2005
SBN dijadikan sumber utama dalam pembiayaan defisit anggaran
(Nasrullah, 2015 : 54).
36
Gambar 2.1 : Kerangka Pemikiran Penelitian
Defisit APBN
Sukuk Instrumen Kebijakan Fiskal
Kontribusi Sukuk
Negara
Utang Luar Negeri Indonesia
Kebijakan
Pengembangan
Sukuk Negara
Perkembangan
Sukuk Negara
37
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Karena luasnya ruang lingkup yang dapat dijadikan objek penelitian,
maka peneliti fokus pada tujuan yang ingin dicapai yakni ingin
mengetahui kontribusi sukuk negara terhadap pembiayaan Utang Luar
Negeri Indonesia. Maka ruang lingkup dalam penelitian ini yaitu
membahas mengenai perkembangan Sukuk, kebijakan pemerintah dalam
mengembangankan sukuk dan Utang Luar Negeri Indonesia.
B. Pendekatan Penelitian
Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni
pengetahuan mengenai perkembangan sukuk, kebijakan pemerintah dalam
pengembangan sukuk serta kontribusi sukuk terhadap pembiayaan Utang
Luar Negeri Indonesia, maka penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, yaitu penelitian dengan data yang dinyatakan dalam bentuk-
bentuk simbolik seperti pernyataan-pernyataan tafsiran, tanggapan-
tanggapan lisan harfiah, tanggapan-tanggapan nonverbal (tidak berupa
ucapan lisan), dan grafik-grafik (Amirin, 1995 : 119).
C. Sumber dan Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua sumber data, yakni
data primer dan data sekunder. Data primer atau utama diperoleh dari
38
wawancara (Reportmen) dengan pihak Direktorat Pembiayaan Syariah,
dan Dosen ahli dibidang ekonomi Islam. Adapun data sekunder diperoleh
dari dokumentasi, Laporan Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian
Keuangan RI, Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS), Hasil
penelitian sebelumnya, serta literatur yang terkait dengan penelitian baik
berupa buku, artikel maupun jurnal.
Adapun pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari sumber
dokumentasi yang penulis kumpulkan melalui penelusuran literatur, baik
berupa buku, artikel, jurnal, laporan-laporan penelitian terdahulu, serta
dari situs - situs resmi yang relevan dengan penelitian.
D. Metode Analisis Data
Langkah-langkah yang disarankan dalam mengolah dan menganalisis
data kualitafif yakni : memvalidasi data; mengorganisasi data; menyajikan
temuan, memvalidasi temuan, dan menafsirkan serta teorisasi temuan
(Indrawan & Poppy, 2014 : 152 - 160).
Dalam penelitian terdapat tiga tahapan langkah untuk mengorganisasi
data dan informasi, yakni : Transkripsi, Reduksi data dan Koding data
(Indrawan & Poppy, 2014 : 154). Adapun tahapan mengorganisasikan data
dalam penelitian ini, antara lain :
a. Transkripsi data, yakni membuat uraian dalam bentuk tulisan yang
rinci dan lengkap mengenai apa yang dilihat dan didengar, baik secara
langsung maupun rekaman (Indrawan & Poppy, 2014). Dalam hal ini,
39
peneliti menampilkan data yang diungkapkan oleh Reportmen yang
kemudian dinarasikan. Hal ini ditujukan supaya pernyataan dan
informasi yang diperoleh dapat diklasifikasikan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian.
b. Reduksi data, yakni merangkum, memilih hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, serta dicari tema dan
polanya. Untuk memudahkan penelitian, maka penulis menggunakan
alat bantu berupa type record (alat rekam) dan catatan personal.
Dalam hal ini penulis adalah pelaku utama dalam penelitian.
c. Koding data adalah kegiatan peneliti untuk mengelompokkan data
dan memberi kode berdasarkan kesamaan data. Dalam hal ini penulis
memetakan hasil wawancara sesuai dengan topik pertanyaan. Adapun
pihak yang diwawancarai yakni Bapak Manggiarto Dwi Sadono
selaku kepala seksi pengembangan instrumen dan keuangan syariah
pada Direktorat Pembiayaan Syarian; Dosen ahli bidang ekonomi
syariah Fakultas Ekonomi dan Binis UIN Jakarta yakni Prof. Dr.
Ahmad Rodoni, Dr. Roikhan Mochammad Aziz; Serta Prof. Dr.
Amany Burhanuddin Lubis selaku dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Jakarta dan anggota MUI. Pertanyaan dalam wawancara
memfokuskan pada : perkembangan sukuk negara di Indonesia,
Kebijakan dalam mengembangkan sukuk negara serta Kontribusi
sukuk negara terhadap Utang Luar Negeri Indonesia.
40
BAB IV
A. Perkembangan Sukuk di Indonesia
1. Jenis Sukuk secara Umum
Dalam Disertasinya, Gusniarti (2012 : 148) mengklasifikasikan
sukuk kedalam beberapa kategori. Berikut jenis sukuk berdasarkan
pembagian hasil, akad, basis asset, dan pihak yang menerbitkan.
Gambar 4.1 : Jenis Suku secara Umum
Sumber : Gusniarti, 2012 (diolah)
Dari pengklasifikasian tersebut, tidak semua jenis sukuk
diterbitkan di Indonesia. Hanya beberapa jenis saja yang terbit dan
berkembang di Indonesia. Secara umum, terdapat dua jenis sukuk di
Indonesia; yakni sukuk korporasi (sukuk perusahaan) dan sukuk
negara atau SBSN (Surat Berharga Syariah Negara).
Basis Asset
Penerbit
Akad
Sukuk bagi hasil, sukuk fee &
sukuk marjin.
Sukuk asset & sukuk
penyertaan.
Sukuk Pemerintah & Sukuk
Perusahaan.
Sukuk mudarabah, sukuk
musyarakah, sukuk murabahah,
sukuk Istishna, sukuk salam,
sukuk ijarah, sukuk muzara‟ah
& sukuk musaqah.
Jenis Sukuk
Pembagian
Penghasilan
41
2. Jenis Sukuk Kontemporer
Jika dilihat dari akad yang digunakan, terdapat beberapa macam
sukuk yang di terbitkan pada masa kontemporer, diantaranya (Rodoni,
2009 : 116) :
a. Sukuk ijarah
Ijarah adalah perjanjian (akad) antara pihak pemberi sewa atau
pemberi jasa (mu’jir) dan pihak penyewa/pengguna jasa (musta’jir)
untuk memindahkan hak guna (manfaat) atas suatu objek Ijarah
yang dapat berupa manfaat barang dan/atau jasa dalam waktu
tertentu dengan pembayaran sewa dan/atau upah (ujrah) tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan objek Ijarah itu sendiri
(Kemenkeu dan Bapepam LK). Sukuk Ijarah (Rodoni, 2009)
adalah suatu sertifikat yang memuat nama pemiliknya dan
melambangkan kepemilikan terhadap aset yang bertujuan untuk
disewakan, atau kepemilikan manfaat, dan atau kepemilikan jasa
sesuai jumlah efek yang dibeli dengan harapan mendapatkan
keuntungan dari hasil sewa yang berhasil di realisasikan
berdasarkan transaksi ijarah (Anjari, 2014 : 20).
b. Sukuk Musyarakah
Musyarakah adalah perjanjian (akad) kerjasama antara dua pihak
atau lebih (syarik) dengan cara menyertakan modal baik dalam
42
bentuk uang maupun bentuk aset lainnya untuk melakukan suatu
usaha (Kemenkeu dan Bapepam LK).
Sukuk musyarakah adalah sukuk yang diterbitkan berdasarkan
perjanjian/ akad musyarakah, dimana dua pihak atau lebih bekerja
sama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru,
mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan
usaha. Kemudian keuntungan akan dibagi sesuai nisbah yang di
sepakati dan jika terjadi kerugian, maka ditanggung bersama sesuai
proporsi modal masing-masing pihak.
c. Sukuk Mudharabah
Dalam qamus al-Mustalahat al-Iqtisadhiyah fi al-Hadarah al-
Islamiyah karangan Muhammad „Imarah menyebutkan bahwa
mudharabah merupakan bentuk masdar dari daraba yudaribu
mudarabah berasal dari kata darb - fi al ard dengan makna safara
yang berarti pergi, bermigrasi dalam arti bepergian dalam urusan
dagang (Gusniarti, 2012 : 149). Sedangkan menurut Kementerian
Keuangan RI, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (Bapepam & LK); Mudharabah (qiradh) adalah
perjanjian (akad) kerjasama antara pihak pemilik modal (shahib al-
mal) dan pihak pengelola usaha (mudharib) dengan cara pemilik
modal (shahib al-mal) menyerahkan modal dan pengelola usaha
(mudharib) mengelola modal tersebut dalam suatu usaha.
43
Sukuk Murabahahadalah sertifikat yang melambangkan
kepemilikan terhadap utang yang berakibat dari pembiayaan
murobahah. sukuk ini termasuk dalam non-tradable sukuk yakni
tidak dapat diperjualbelikan karena melambangkan utang (Anjari,
2014 : 21).
d. Sukuk Istishna
Istishna adalah perjanjian (akad) antara pihak pemesan/pembeli
(mustashni’) dan pihak pembuat/penjual (shani’) untuk membuat
objek Istishna yang dibeli oleh pihak pemesan/pembeli
(mustashni’) dengan kriteria, persyaratan, dan spesifikasi yang
telah disepakati kedua belah pihak (Kemenkeu dan Bapepam LK).
Sukuk Istishna (Rodoni, 2009) adalah suatu sertifikat yang
melambangkan kepemilikan terhadap utang yang diakibatkan dari
pembiayaan istishna. Sukuk ini melambangkan suatu jual beli
dimana para pihak menyepakati jual beli dalam rangka pembiayaan
suatu proyek / barang. Adapun harga, aktu penyerahan, dan
spesifikasi barang/ proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan
kesepakatan (Anjari, 2014 : 21).
e. Sukuk salam
Menurut Rodoni (2009) dalam Arum (2014 : 21), sukuk salam
adalah sukuk yang mengandung nilai sama yang diterbitkan untuk
44
mobilisasi modal saham dan barang yang akan diserahkan
berdasarkan akad salam adalah milik dari pemegang sukuk salam.
Dalam sukuk salam, keuntungan diperoleh dari kenaikan harga
pada saat jatuh tempo. Sukuk ini tidak dapat diperdagangkan
selama aset yang mendasarinya merupakan utang. Utang tersebut
hanya dapat di ubah menjadi aset nyata pada saat jatuh tempo
ketika subjek salam diserahkan.
3. Sejarah dan Perkembangan Sukuk di Indonesia
Seperti kita ketahui, di Indonesia sukuk yang pertama kali terbit
ialah sukuk korporasi atau lebih dikenal dengan istilah obligasi
syariah. Pada tahun 2002, Dewan Syari‟ah Nasional mengeluarkan
fatwa No: 32/DSN-MUI/IX/2002, tentang Obligasi Syariah. Kemudian
pada bulan Oktober 2002 PT. Indosat Tbk mengeluarkan obligasi
syariah yang pertama kali di pasar modal Indonesia sebesar 175 milyar
dengan tingkat imbal hasil 16,75%, imbal hasil ini cukup tinggi
dibanding rata-rata return obligasi konvensional. Pada akhir tahun
2008, sedikitnya telah ada 23 perusahaan yang telah menerbitkan
obligasi syariah di Indonesia. Emiten penerbit obligasi syariah tersebut
berasal dari beragam jenis usaha, mulai dari perusahaan
telekomunikasi, perkebunan, transportasi, lembaga keuangan, properti,
sampai industri wisata (Jarkasih dan Aam, 2009).
45
Meskipun dipandang sangat potensial dan prospektif,
perkembangan obligasi syariah di Indonesia dapat dikategorikan
sangat lambat. Hal tersebut dapat kita lihat dari perbandingan total
emisi obligasi syariah Indonesia dengan negara tetangga. Pada
pertengahan tahun 2008 total emisi obligasi syariah Indonesia baru
mencapai lima triliun rupiah lebih ($500 juta), relatif kecil
dibandingkan dengan Malaysia yang pada pertengahan tahun 2007 saja
telah membukukan total emisi RM 111,5 miliar ($33 miliar). Hal
tersebut disebabkan oleh banyaknya tantangan yang dihadapi dalam
pengembangan obligasi syariah di Indonesia (Achsien, 2004)
diantaranya adalah sosialisasi kepada investor, opportunity cost, aspek
likuiditas, sampai regulasi atau perundang-undangan (Jarkasih & Aam,
2009: 2).
Menurut Ascarya (2007) sukuk korporasi di Indonesia pada
umumnya merupakan inisiasi dari underwriter, bukan dari korporasi
penerbit sukuk itu sendiri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pemahaman
tentang kelebihan dan kelemahan sukuk (Jarkasih dan Aam, 2012).
Pada tahun 2008 terjadi perubahan istilah obligasi syariah menjadi
istilah sukuk. Pergantian istilah ini dimaksudkan agar tidak terjadi
kontradiktif makna dari istilah tersebut. Oleh sebab itu pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2008. Dalam Undang-
Undang tersebut di sebutkan bahwa yang di maksud Surat Berharga
Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk adalah surat berharga Negara yang
46
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan
terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah atau mata uang
asing (Diyanti, 2010 : 13). Dari awal penerbitan tahun 2008 hingga
tahun 2016, pemerintah telah menerbitkan beberapa jenis sukuk
beserta metode penerbitan/penjualan.
4. Sukuk Negara / Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
Sebagaimana pengklasifikasian sukuk secara umum diatas,
terdapat dua jenis sukuk berdasarkan pihak yang menerbitkan yakni
sukuk perusahaan dan sukuk pemerintah (sukuk negara). Adapun
sukuk perusahaan/ sukuk korporasimenurut Fatwa Dewan Syariah
Nasional No. 32/DSN/MUI/IX/2002 adalah suatu surat berharga
berjangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan
emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten
untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah
tersebut, berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana
obligasi pada saat jatuh tempo.
Sedangkan sukuk negara atau Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) menurut UU No. 19 Tahun 2008 pasal 1 adalah surat berharga
negara yang di terbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas
bagian penyertaan aset SBSN baik dalam bentuk mata uang rupiah
ataupun mata uang asing, dimana aset SBSN adalah Barang Milik
47
Negara. Adapun regulasi dan peraturan sukuk di Indonesia (Soemitra,
2014 : 276) adalah sebagai berikut :
Gambar 4.2 : Regulasi Sukuk di Indonesia
Sumber : Soemitra, 2014 (diolah)
4.1 Jenis dan Seri Sukuk Negara/ SBSN
Sukuk negara di Indonesia pertama kali terbit pada tahun 2008
dengan jenis IFR (Islamic Fixed Rate) namun hingga tahun 2016 sudah
terdapat 7 jenis sukuk negara yang diterbitkan oleh pemerintah.
Adapun jenis sukuk negara adalah sebagai berikut (infosyariah.com,
2016) :
4.1.1 Islamic Fixed Rate (IFR)
Sukuk jenis ini di jual kepada investor institusi melalui lelang dan
private placement dalam jangka diatas 1 tahun. Jenis imbalan atau
kupon IFR bersifat tetap dan dibayarkan setiap 6 bulan
menggunkan mata uang rupiah. IFR dapat diperdagangkan dipasar
sekunder. IFR terbit perdana pada tahun 2008, dengan cara
Sukuk
Sukuk
Korporasi
Sukuk
Negara
UU No.8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal
Peraturan No.IX.A.13;
No.IX.A.14, II.K.I, dan lainnya
UU No.19 Tahun 2008 SBSN
Peraturan Pelaksanaan SBSN
48
bookbuilding di pasar dalam negeri. Kemudian sejak tersedianya
sistem lelang Sukuk Negara pada tahun 2009, maka penerbitannya
dilakukan dengan metode lelang secara reguler yang diikuti oleh
peserta lelang. Namun jenis sukuk ini tidak di terbitkan lagi dan
digantikan dengan seri PBS (Project Based Sukuk) yang memiliki
fitur yang relative sama dengan seri IFR.
4.1.2 Project Based Sukuk (PBS)
Project Bases Sukuk adalah sumber pendanaan melalui
penerbitan SBSN yang digunakan untuk membiayai kegiatan
tertentu yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara/ Lembaga.
SBSN PBS dijual kepada investor institusi melalui lelang dan
private placement dengan underlying asset berupa proyek
maupun kegiatan APBN dan disusun dengan menggunakan
struktur Ijarah Asset to be Leased. Jenis sukuk ini dapat
diperdagangkan dengan imbalan berupa kupon yang bersifat
tetap dan dibayarkan setiap 6 bulan sekali dengan mata uang
rupiah.
4.1.3 Sukuk Ritel (SR)
Sukuk Ritel adalah sukuk negara yang ditujukan sebagai
instrumen investasi bagi warga negara Indonesia yang dijual
melalui agen penjual. Hasil penerbitan sukuk jenis ini digunakan
untuk membiayai pembangunan proyek-proyek infrastruktur di
Indonesia. Sukuk ini terbit perdana pada tahun 2009 dan telah
49
terbit dengan dua skema ijarah, yaitu Ijarah Sale and Lease Back
dan Ijarah Asset to be Leased. Sukuk Ritel di jual melalui agen
penjual dengan ketentuan minimal sebesar lima juta rupiah.
Akad yang digunakan dalam penerbitan sukuk jenis ini yaitu
berbasiskan syariah yakni dalam bentuk sewa (ijarah) yang
mencerminkan kepemilikan asset berwujud yang di sewakan.
Sukuk ini bukan penyertaan utang, melainkan bukti kepemilikan
terhadap asset SBSN (underlying asset) yang di sewakan.
Kupon Suku Ritel bersifat tetap yang dibayar setiap bulan dan
dapat di perjualbelikan. Investor Sukuk Ritel akan menerima
ujrah (uang sewa) dalam jumlah yang tetap secara berkala dari
tansaksi tersebut.
4.1.4 Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI)
Sukuk Dana Haji Indonesia adalah penempatan dana haji dan
Dana Abadi Umat (DAU) dalam SBSN yang dilakukan dengan
private placement berdasarkan kesepakatan bersama antara
Departemen Agama dan Departemen Keuangan. Sukuk jenis ini
pertama kali terlaksana pada tahun 2009. Selanjutnya
penempatan dana SDHI dalamSBSN dilakukan secara periodik
setiap tahunnya oleh Kementerian Agama. SDHI dijual kepada
investor institusi lembaga pengelola dana haji. Imbalan jenis
sukuk ini berupa kupon yang bersifat tetap dan dibayarkan
setiap bulan dengan mata uang rupiah. SDHI tidak dapat
50
diperdagangkan. Akad yang sering digunakan yaitu ijarah al
khadamat dengan underlying asset berupa jasa layanan haji
yang terdiri dari flight (penerbangan), catering (makanan), dan
housing (pemondokkan).
4.1.5 Surat Perbendaharaan Negara Syariah (SPNS)
Surat Perbendaharaan Negara Syariah atau SBSN jangka pendek
adalah SBSN yang berjangka waktu sampai dengan 12 bulan
dengan pembayaran berupa kupon /diskonto. SPSN dijual
kepada investor institusi melalui lelang dan private placement
dengan mata uang rupiah. SPSN pertama kali terbit melalui
lelang pada tahun 2011. Akad yang didapat digunakan dalam
jenis sukuk ini adalah ijarah, istishna, musyarakah, mudharabah,
dan akad syariah lainnya.
4.1.6 Sukuk Valas (SNI)
Sukuk Valas adalah SBSN yang diterbitkan dalam denominasi
valuta asing dipasar perdana Internasional dengan tingkat
imbalan tetap serta dapat diperdagangkan. Sukuk Valas pertama
kali terbit pada maret 2016 dengan jangka waktu 10 tahun.
Sukuk Valas diterbitkan dipasar Internasional dalam mata uang
USD melauli Joint Lead Manager (JLM) (infosyariah.com,
2016).
51
4.1.7 Sukuk Tabungan (ST)
Sukuk Tabungan merupakan jenis SBSN yang diterbitkan untuk
individu warga negara Indonesia. Sukuk tabungan dijual kepada
investor individu WNI melalui agen penjualan dengan
pembelian minimal dua juta rupiah. Kupon sukuk tabungan
bersifat tetap dan dibayarkan setiap bulan. Suku tabungan tidak
dapat diperdagangkan namun memiliki fasilitas early
redemption. Akad yang digunakan adalah wakalah yang di
pasarkan pertama kali pada Agustus 2016 ( infosyariah.com,
2016). Untuk lebih jelasnya, ditampilkan seri sukuk beserta
keterangannya dalam table berikut :
Tabel 4.1 : Jenis dan Seri Sukuk Negara di Indonesia
Seri Keterangan
Sukuk Seri Islamic
Fixed Rate (IFR)
Berstruktur ijarah sale and lease back.
Sukuk Negara yang diterbitkan di pasar
perdana dalam negeri dengan denominasi
rupiah yang ditujukan bagi investor dengan
nominal pembelian cukup besar.
Underlying assetnya adalah hak manfaat
barang milik Negara.
Dapat diperdagangkan.
Tingkat imbal hasil tetap.
Mulai terbit tahun 2008.
Projet Based Sukuk
(PBS)
Berstruktur ijarah asset to be leased.
Sukuk Negara yang diterbitkan dengan
menggunakan proyek sebagai underlying
52
asset.
Tingkat imbal hasil tetap.
Dapat diperdagangkan.
Mulai terbit tahun 2011.
Sukuk Ritel (SR) Berstruktur ijarah sale and lease back.
Sukuk negara yang dijual khusus untuk
investor individu WNI.
Underlying asset nya adalah hak manfaat
barang milik Negara.
Dapat diperdagangkan.
Tingkat imbal hasil tetap.
Mulai terbit tahun 2009.
Sukuk Dana Haji
Indonesia (SDHI)
Sukuk Negara yang khusus untuk penempatan
dana haji pada sukuk.
Underlying assetnya adalah jasa layanan haji.
Tidak dapat diperdagangkan.
Mulai terbit tahun 2011.
Sukuk Perbendaharaan
Negara Syariah (SPNS)
Berstruktur ijarah sale and lease back.
Sukuk Negara yang diterbitkan dengan tenor
kurang dari satu tahun.
Underlying assetnya adalah hak manfaat
barang milik negara.
Dapat diperdagangkan.
Tingkat imbal hasil tetap.
Mulai terbit tahun 2011.
Sukuk Negara
Indonesia (SNI) / Valas
Berstruktur ijarah sale and lease back.
Sukuk Negara yang diterbitkan dipasar
perdana Internasional dalam denominasi
valuta asing dengan cara bookbuilding.
Underlying assetnya adalah hak manfaat
53
barang milik negara.
Dapat diperdagangkan.
Tingkat imbal hasil tetap.
Mulai terbit tahun 2009.
Sukuk Tabungan (ST) Diterbitkan untuk individu warga Negara.
Penjualan melalui agen penjual.
Tidak dapat diperdagangkan.
Tingkat imbal hasil tetap.
Mulai terbit tahun 2016.
Sumber : Soemitra, 2014 (diolah).
Adapun jenis Sukuk Negara (SBSN) berdasarkan alur / kronologi penerbitan dari
tahun 2008 – 2016 dapat dilihat dari gambar berikut :
Gambar 4.4 : Penerbitan Sukuk Negara (SBSN) tahun 2008 – 2016
Sumber : Direktorat Pembiayaan Syariah, 2017.
54
4.2 Karakteristik dan Manfaat Sukuk Negara
Sukuk negara / Surat Berharga Syariah Negara adalah salah satu
instrument keuangan syariah yang memiliki karakteristik sendiri
dibandingkan dengan instrument lain, diantaranya : (1) SBSN
diterbitkan oleh pemerintah atau Special Purpose Vehiche (SPV), (2)
dapat diperdagangkan atau tidak sesuai pada jenis akad dan
persyaratan, (3) pembayaran imbal hasil tetap (fixed coupon) atau
bervariasi (variable coupon), pembayaran imbalan dan jatuh tempo
dijamin oleh UU No.19 Tahun 2008 dan UU APBN, (4) pembayaran
imbalan dilakukan secara bulanan atau semesteran, (5) di jual pada
harga par, premium atau diskon, (6) investor SBSN terdiri dari investor
syariah dan konvensional, individu dan institusi, (7) diterbitkan dalam
rupiah atau dalam mata uang asing (Soemitra, 2014 : 292).
Manfaat sukuk negara pada awal penerbitan adalah sebagai salah
satu alternatif sumber pembiayaan defisit anggaran. Namun seiring
perkembangannya, sukuk memiliki beberapa manfaat (direktorat
pembiayaan syariah dalam Soemitra, 2014) diantaranya : (1)
Pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), (2)
diversifikasi sumber pembiayaan, (3) perluasan basis investor, (4)
mendorong perluasan pasar keuangan syariah, (5) mengelola portofolio
pembiayaan negara, (6) optimalisasi pemanfaatan dan mendorong
tertib pengelolaan barang milik Negara, dan (7) pembiayaan
55
pembangunan proyekinfrastruktur dalam sektor energi,
telekomunikasi, perhubungan, pertanian, industri manufaktur, dan
perumahan rakyat (Soemitra, 2014 : 292).
4.3 Struktur Akad dan Tahap Penerbitan Sukuk Negara
4.3.1 Struktur Akad Sukuk
Menurut Direktorat Pembiayaan Syariah, struktur akad penerbitan
sukuk negara secara umum di bagi menjadi tiga yaitu (Soemitra,
2014 : 294):
a. Ijarah sale and lease back; adalah jual beli suatu asset yang
kemudian pembeli menyewakan asset tersebut kepada penjual.
Akad yang di gunakan dalam struktur ini yakni akad jual beli
(bay’) dan akad ijarah (sewa) yang dilaksanakan terpisah.
Penjualan asset pada dasarnya hanyalah penjualan hak manfaatnya,
tanpa disetai dengan penyerahan fisik dan pemindahan hak
kepemilikan.
b. Ijarah al-khadamat; adalah struktur akad ijarah atas penyediaan
suatu jasa tertentu. Sukukijarah al-khadamatyaitu sukuk yang
diterbitkan dengan tujuan untuk menyedaikan jasa tertentu dan
menyebutkan fee penyediaan jasa yang dimaksud, sehingga
pemegang sukuk menjadi pemilik jasa dan berhak mendapat fee
atas penyediaan jasa tersebut.
c. Ijarah asset to be leased; adalah sukuk yang diterbitkan dengan
akad ijarah dimana objek ijarahnya sudah ditentukan
56
spesifikasinya, dan sebagian objek ijarah sudah ada pada saat akad
dilakukan, tetapi penyerahan keseluruhan objek ijarah dilakukan
dimasa yang akan datang sesuai kesepakatan. Sukuk dengan
struktur akad ini merupakan surat berharga yang diterbitkan
sebagai bukti kepemilikan atas bagian (hissah) dari asset SBSN
yang menjadi objek ijarah baik yang sudah ada maupun yang akan
ada (Soemitra, 2014 : 294).
d. wakalah ; struktur akad dimana pihak pemberi kuasa (muwakkil)
dan pihak penerima kuasa (wakil) melakukan kesepakatan.
Kesepakatan ini dilakukan dengan syarat kedua pihak wajib
memiliki kecakapan dan kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum menurut ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
(Otoritas Jasa Keuangan, 2015 : 18-19).
4.3.2 Tahap Penerbitan Sukuk
Setiap struktur sukuk melibatkan tiga tahapan dalam penerbitan,
yaitu tahap penerbitan SBSN, tahap pembayaran imbalan, dan
tahap jatuh tempo. Tahap penerbitan SBSN selalu diawali dengan
identifikasi barang milik Negara atau proyek yang akan dijadikan
sebagai landasan (underlying). Tahap selanjutnya yaitu melakukan
perumusan struktur SBSN yang meliputi jenis akad, tenor, volume,
denominasi, dan metode penerbitan. Penyusunan dokumen syariah
dan dokumen pasar modal. Permintaan pernyataan kesesuaian
57
syariah atas SBSN, dan pelaksanaan / penjualan sukuk Negara/
SBSN (Soemitra, 2014 : 293).
4.4 Pihak yang Terlibat dalam Penerbitan Sukuk Negara
Dalam penerbitan sukuk negara membutuhkan keterlibatan para
pihak yang akan membuat kesepakatan (Burhanuddin, 2011),
diantaranya yaitu : (1) Pemerintah (originator), (2) perusahaan
penerbitan SBSN, (3) Shariah Complient Endorsemment (SCE), dan
(4) pemegang sukuk (investor).
Dalam proses penerbitan sukuk negara/ SBSN, pemerintah harus
mendapatkan persetujuan dari DPR pada saat pengesahan APBN yang
diperhitungkan sebagai nilai maksimal surat berharga Negara yang
akan diterbitkan oleh pemerintah dalam satu tahun anggaran.
Pemerintah wajib menyertakan barang milik Negara sebagai
underlying asset sebagai objek atau dasar transaksi dalam penerbitan
sukuk, berdasarkan UU No.19 tahun 2008 dasar transaksi sukuk
Negara antara lain barang milik Negara (berupa tanah atau bangunan,
objek pembiayaan, dan proyek-proyek pemerintah).
Perusahaan penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan
berdasarkan ketentuan undang-undang dalam rangka menjalankan
tugas umum pemerintah dibidang keuangan Negara. Perusahaan ini
selain bertindak sebagai penerbit SBS juga berfungsi sebagai wali
amanat yang akan melaksanakan perikatan dengan pemerintah,
megawasi SBSN, dan melakukan tindakan hukum lain untuk
58
kepentingan pemegang SBSN (investor). Dalam penerbitan SBSN,
perusahaan penerbit SBSN memerlukan adanya Special Purpose
Vehicle (SPV).
SPV adalah badan hukum yang dibentuk memfasilitasi transaksi
alam rangka penerbitan sukuk. SPV didirikan dalam bentuk badan
hukum khusus berdasarkan UU SBSN dan didirikan didalam negeri
dan menjalankan fungsi antara lain; (1) penerbit sukuk, (2) melakukan
transaksi atau perikatan dengan obligor untuk kepentingan obligor, (3)
bertindak sebagai wali amanat utama untuk kepentingan investor, (4)
dapat menunjuk pihak lain sebagai wali amanat pendamping untuk
membantu melaksanakan tugas-tugas SPV sebagai wali utama.
Kegiatan SPV ini akan berakhir dengan sendirinya ketika sukuk telah
jatuh tempo (Soemitra, 2014 : 292-293).
5. Metode dan Mekanisme Penerbitan Sukuk Negara
5.1 Metode Penerbitan Sukuk
Menurut laporan Kementerian Keuangan (2010) dalam Rinaldy
(2015) metode penerbitan sukuk dapat dilakukan dengan beberapa
cara. Sesuai dengan International best practice penerbitan sukuk
dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu :
a. Bookbuilding
Metode ini dilakukan dengan cara : agen penjual / Joint Lead
Manager yang telah ditunjk mengumpulkan pemesanan
59
pembelian dalam periode penawaran yang telah ditentukan dan
di catat dalam book order oleh book runner. Metode ini
digunakan untuk penerbitan sukuk Negara ritel, sukuk valas,
dan sukuk domestik lainnya.
b. Lelang
Metode lelang adalah penerbitan dengan mengikutsertakan
Bank Indonesia sebagai agen lelang dan peserta lelang SBSN
yang telah di tunjuk. Dalam metode ini peserta lelang
mengajukan penawaran pembelian dalam suatu periode waktu
penawaran yang telah ditentukan. Metode ini digunakan untuk
penerbitan sukuk domestik.
c. Private Placement
Dalam metode private Placement kegiatan penerbitan dan
penjualan surat berharga dilakukan oleh pihak penerbit kepada
pihak tertentu dengan ketentuan dan persyaratan yang
disepakati bersama. Metode ini digunakan untuk penerbitan
Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) (Soemitra, 2014 : 291).
5. 2 Mekanisme Penerbitan Sukuk
Dalam mekanismenya, penerbitan sukuk memerlukan
sejumlah asset tertentu yang menjadi objek penjanjian (underlying
asset). Aset tersebut harus bernilai ekonomis, dapat berupa asset
berwujud maupun tidak berwujud, termasuk proyek yang dalam
60
proses penyerahan. Fungsi asset tersebut sebagai syarat untuk
menghindari riba, penentuan jenis akad dan agar dapat
diperdagangkan di pasar sekunder.
Emiten atau pihak yang akan menerbitkan sukuk harus
terlebih dahulu memenuhi persyaratan, diantaranya bisnis
utamanya halal, memiliki peringkat investasi yang baik, keuangan
yang sehat dan memiliki citra yang baik di mata publik.
Penerbitan sukuk harus terlebih dahulu mendapatkan persyaratan
kesesuaian prinsip syariah untuk meyakinkan investor bahwa
sukuk telah distruktur sesuai dengan syariah. Pengakuan
kesyariahan atau syariah compliance endorsement didapatkan dari
otoritas yang telah ditunjuk atau diakui bersama yakni Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Dalam pembentukan sukuk, minimal terdapat 3 pihak yang
terlibat, yaitu : (1) Obligor atau pihak yang bertindak sebagai
pemilik sah atas asset yang kemudian bertanggung jawab atas
pembayaran imbalan dan nilai nominal sukuk yang diterbitkan
sampai jatuh tempo; (2) Special Purpose Vehicle (SPV) atau
badan yang terpercaya yang bertindak mengeluarkan sertifikat
sukuk; (3) investor atau pihak yang menanamkan modal dalam
instrument sukuk. Pihak ini berhak atas imbalan margin, fee, dan
nilai nominal sukuk sesuai dengan partisipasi masing-masing.
61
Sekumpulan asset yang dipilih oleh originator/ obligor
untuk dijual kepada SPV berdasarkan kesepakatan bahwa asset ini
nantinya akan disewakan kembali oleh originator (jika akadnya
sukuk ijarah), dengan nilai sewa yang disepakati dan dalam
jangka waktu tertentu asset tersebut akan dibeli kembali dan
dalam jangka waktu tertentu asset tersebut akan dibeli kembali
oleh obligor sesuai harga pasar atau harga yang berlaku. Aset
yang sudah diperjual belikan tidak dibagikan kepada investor tapi
dipercayakan pada SPV untuk disewakan kembali kepada
originator. Adapun hasil sewa akan dibagikan kepada investor
sesuai penyertaan modal masing-masing. Jika telah jatuh tempo,
asset akan di jual kepada originator melalui SPV dan hasil
penjualan asset akan dibayarkan kepada masing-masing investor
sesuai dengan nilai modal awal (Rama, 2015 : 163-164).
6. Pertumbuhan Sukuk Negara (SBSN) di Indonesia
Penawaran perdana sukuk negara (Ishaq Hasibuan, 2016) di pasar
domestik dilakukan pada 26 Agustus 2008 dengan nominal
dimenangkan Rp 4,7 triliun. Pada tahun 2015 sebesar Rp 386, 29
triliun, sedangkan total oustandingnya sebesar Rp 297,58 triliun.
Per 2 Juni 2016 total penerbitan sukuk negara telah mencapai Rp
500,06 triliun dengan outstanding Rp 395,29 triliun. Total
outstanding sukuk negara berdasarkan mata uang didominasi oleh
62
mata uang rupiah sebesar 67,8% dan mata uang USD sebesar
32,2%. Sedangkan berdasarkan tradabilitynya, sebanyak 85,91%
outstanding Sukuk Negara dapat diperdagangkan dan sisanya
sebesar 14.09% tidak dapat diperdagangkan yakni seri-seri SDHI.
Sebagian besar outstanding sukuk negara memiliki tenor pendek
antara 0 -5 tahun. Hal ini sejalan dengan preferensi kebanyakan
investor syariah yang lebih memilih tenor-tenor pendek. Dan
untuk outstanding SBSN berdasarkan seri yang paling banyak
adalah seri SNI dan PBS (kompasiana.com).
Pertumbuhan sukuk negara (SBSN) menurut laporan Direktorat
Pembiayaan Syariah dari awal penerbitan sampai tahun 2016
dilihat dari nilai emisi dan outstandingnya adalah sebagai berikut :
Tabel 4.2 : Nilai / Emisi Sukuk Negara tahun 2008 – 2016 (dalam
Triliun Rupiah)
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
IFR 4,7 1,3 6,2 4,6 0,4 - - - -
SR - 5,6 8,0 7,3 13,6 15,0 19,3 22,0 31,5
SNI - 7,0 - 9,0 9,6 17,2 17,7 26,4 33,4
SDHI - 2,7 12,8 11,0 15,3 12,9 4,5 1,0
SPSN - - - 1,3 1,4 11,7 16,2 14,3 17,0
SPNS-NT - - - - - - - 5,1 2,5
PBS - - - - 16,7 9,3 9,4 46,2 19,9
ST - - - - - - - - 2,6
Total 4,7 16,6 27,0 33,3 57,1 53,2 75,5 118,5 179,9
Sumber : Direktorat Pembiayaan Syariah, 2017 (diolah)
63
Tabel 4.3 : Total Outstanding SBSN tahun 2008 – 2016 (dalam
Triliun Rupiah)
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
IFR 4,7 5,98 12,13 16,74 17,14 16,59 16,59 11,24 11,24
SR - 5,56 13,59 20,93 28,99 35,92 47,91 56,26 72,79
SNI - 6,11 5,84 14,96 25,47 50,58 62,20 96,57 127,64
SDHI - 2,69 12,78 23,78 35,78 31,53 33,20 36,70 36,70
SPSN - - - 1,32 0,20 8,63 10,74 9,02 7,70
SPNS-NT - - - - 16,71 26,03 35,48 82,72 153,98
PBS - - - - - - - 5,08 -
ST - - - - - - - - 2,59
Total 4,70 20,23 44,34 77,73 124,28 169,29 206,10 297,58 412,63
Sumber : Direktorat Pembiayaan Syariah, 2017 (diolah)
Adapun untuk tahun 2016 nilai sukuk negara berdasarkan tenornya terbagi
menjadi tiga yakni: 0-5 tahun sebesar 278,62 T (55,7 %); 6-10 tahun sebesar
125,43 T (25,07 %); dan yang lebih dari 10 tahun sebesar 96,10 T (19, 22 %).
Berdasarkan nilai mata uang nilai sukuk negara terdiri dari 33,68 (66,72 %) mata
uang domestik / rupiah; dan sebesar 166,10 T (19,22 %) mata uang aing/ USD.
Selain itu, sukuk negara sebesar 460,78 T (92,14 %) dapat diperdagangkan; dan
sisanya sebesar 39,28 T (7,86 %) tidak rapat diperdagangkan. Terkait nilai sukuk
negara berdasarkan jenis/ seri adalah sebagai berikut (Laporan : Direktorat
Pembiayaan Syariah, 2017) :
Sumber : Direktorat Pembiayaan Syariah, 2017 (diolah)
PBS SNI SR SDHI SPSN IFR ST
Nilai 194,27 T 166,39 T 67,50 T 36,70 T 22,55 T 10,07 T 2,59 T
Posentase 38,82 % 33,27 % 13,50 % 7,43 % 4,51 % 2,01 % 0,52 %
64
7. Risiko Pembiayaan dengan Sukuk
Secara umum, risiko pada sukuk mirip dengan risiko obligasi
konvensional karena keduanya merupakan instrumen pada pasar modal.
Risiko-risiko yang dihadapi investor sukuk menurut Chartered
Financial Analyst adalah sebagai berikut (Jarkasih & Aam, 2009 : 7) :
a. Risiko Tingkat Pengembalian (Rate of Return Risk)
Risiko tingkat pengembalian ada pada semua tipe sukuk dengan
pengembalian tetap (fixed rate). Imbal hasil yang mengacu pada
LIBOR atau benchmark konvensional lainnya membuat return pada
sukuk dipengaruhi suku bunga. Sedangkan pada akad mudharabah,
imbal hasil sangat bergantung pada kinerja perusahaan yang dapat
naik dan turun.
b. Risiko Kredit (Credit Risk)
Risiko kredit pada sukuk ijarah dihadapi oleh investor disebabkan
kegagalan pembayaran (default) atas sewa underlying asset.
Kecenderungan default menjadi lebih besar karena mekanisme
penjadwalan ulang atas hutang dengan imbal hasil/suku bunga lebih
tinggi tidak diperbolehkan dalam hukum Islam. Risiko kredit pada
sukuk harus dinilai secara independen khususnya jika pemberi
pinjaman memiliki alternatif penggantian lain ketika underlying
asset tidak dapat menutupi kerugian yang terjadi.
65
c. Risiko Nilai Tukar (Foreign Exchange Rate Risk)
Risiko nilai tukar dapat terjadi jika return atas
pengelolaanunderlying asset diberikan dalam mata uang asing.
Penerbit dapat menghitung dan memberikan jaminan atas risiko
tersebut dalam rangka melindungi investor dari pergerakan nilai
tukar.
d. Risiko Tingkat Harga (Price/Collateral Risk)
Risiko tingkat harga terjadi ketika spesifikasi aset yang tercermin
pada nilai penerbitan sukuk yang diajukan berbeda dengan nilai
pasar sesungguhnya dan laporan atas nilai underlying asset. Sukuk
ijarah paling rentan menghadapi risiko ini karena aset yang
disewakan dapat mengalami depresiasi hingga di bawah harga
pasar. Pengelolaan yang baik atas aset menjadi faktor penting dalam
menghadapi risiko ini.
e. Risiko Likuiditas (Liquidity Risk)
Pertumbuhan pasar sekunder yang lambat membuat investor sukuk
menghadapi risiko likuditas. Kecenderungan membeli dan menahan
(buy and hold) pada mayoritas investor sukuk membuat mekanisme
transfer kepemilikan sukuk tidak efisien. Hal ini terjadi pula pada
Sukuk Salam, dimana aset yang mewadahi kontrak merupakan
komoditas pertanian. Sehingga perdagangan pada sekuritas tersebut
menimbulkan unsur spekulasi. Zero Coupon Sukuk seperti Sukuk
Istisna dan Murabahah juga tidak dapat diperdagangkan di pasar
66
sekunder karena mirip dengan jual beli hutang (bai ad-dayn) yang
dilarang oleh mayoritas ulama.
f. Risiko Kepatuhan Syariah (Sharia Compliance Risk)
Perkembangan pasar yang pesat memungkinkan adanya struktur
sukuk yang tidak memenuhi aspek syariah. Standarisasi dan
perhatian atas aturan-aturan syariah pada sukuk dibuat dalam
rangka melindungi investor muslim dari praktek-praktek yang
prinsip-prinsip Islam (Jarkasih & Aam, 2009 : 7 - 8).
67
BAB V
B. Kebijakan Pemerintah dalam Mengembangkan Sukuk Negara
Kebijakan pemerintah dalam mengembangkan sukuk negara atau
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai instrumen kebijakan fiskal
maupun moneter di Indonesia, terbagi kedalam beberapa bagian.
Kebijakan tersebut diantaranya dalam hal institusi (kelembagaan), regulasi
(UU dan Peraturan), dewan yang menaungi dan mengawasi (DSN-MUI),
dan pengembangan produk :
1. Reksadana Syariah
Secara bahasa, reksadana syariah berasal dari kata reksa yang
berarti kelola atau pelihara, dana yang berarti uang dan syariah yang
artinya aturan-aturan yang sesuai dengan Islam. Jadi reksadana
syariah adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana
dari masyarakat pemodal yang selanjutnya di investasikan dalam
portofolio efek oleh manajer investasi serta sesuai dengan ketentuan
atau peraturan dan hukum yang telah di tetapkan pokok-pokoknya
oleh Allah SWT (Rodoni, 2009 : 79).
Pada akhir tahun 1990-an, pasar keuangan syariah telah
menyadari bahwa pengembangan pasar modal adalah hal yang penting
untuk bertahan dan pertumbuhan ke depan. Pada saat yang sama,
gelombang deregulasi dan liberalisai pasar modal dibeberapa negara
mengarah kepada kerjasama yang erat antara institusi keuangan
syariah dan konvensional untuk menemukan likuiditas dan
68
manajemen portofolio. Oleh karena itu dilakukan beberapa upaya,
yakni dengan pengembangan efek debt-like dalam bentuk sekuritas
berbasis asset dan pengembangan dana syariah yang mengandung
portofolio sekuritas seperti saham ekuitas, komoditas dan sebagainya.
Reksadana ekuitas syariah menjadi populer di mata investor. Oleh
karena itu, institusi keuangan syariah terus membutuhkan pemasukan
seperti sekuritas tetap dengan level risiko rendah dan sesuai dengan
syariah. Institusi keuangan syariah perlu mengembangkan struktur
maturitas asset mereka melampaui jatuh tempo jangka pendek biasa
yang diberikan oleh instrumen pembiayaan perdagangan. Hal ini
mengarah kepada eksperimen dengan mengeluarkan sekuritas berbasis
asset sesuai syariah yang disebut sukuk, yang memilki karakteristik
risiko/pengembalian yang mirip dengan efek utang konvensional
(Iqbal & Abbas, 2015 : 219).
Di Indonesia, danareksa syariah secara resmi di luncurkan pada
tanggal 3 Juli 1997 oleh PT danareksa Investment Management.
Terbitnya instrumen danareksa syariah ini merupakan langkah awal
perkembangan pasar modal syariah di Indonesia (Hamid, 2009 : 39).
2. Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia adalah dewan
yang dibentuk karena kesadaran akan perlunya sebuah lembaga yang
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas
69
lembaga keuangan syariah (LKS). Dewan ini merupakan respon atas
terbitnya reksanadana syariah pada tahun 1997. Adapun
pembentukannya berdasarkan SK No. Kep-754/MUI/II/1999 tentang
Pembentukan Dewan Syariah Nasional MUI. Dewan ini memiliki
tugas dan fungsi antara lain; (1) mengeluarkan fatwa tentag ekonomi
syariah untuk dijadikan pedoman bagi praktisi dan regulator, (2)
menerbitkan rekomendasi, sertifikat, dan syariah approval bagi
lembaga keuangan dan bisnis syariah, dan (3) melakukan pengawasan
asfek syariah atas produk/jasa dilembaga keuangan atau bisnis syariah
(dsnmui.or.id, 2017).
Seiring dengan kebijakan Bapepam LK, sejumlah fatwa DSN-
MUI dan peraturan Bapepam LK (OJK) terkait dengan penerapan
prinsip syariah di pasar modal, DSN-MUI telah menerbitkan 14 fatwa
yang berkaitan dengan produk syariah di pasar modal di Indonesia,
yakni :
a. Fatwa No.20/DSN-MUI/IX/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan
Investasi untuk Reksadana Syariah.
b. Fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah.
c. Fatwa No. 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah
Mudharabah.
d. No.40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman
Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
e. Fatwa No. 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.
70
f. Fatwa No.59/DSN-MUI/V/2007 tentang Obligasi Syariah
Mudharabah Konversi.
g. Fatwa No. 65/DSN-MUI/III/2008 tentang Hak Memesan Efek
Terlebih Dahulu (HMETD) Syariah.
h. Fatwa No. 66/DSN-MUI/III/2008 tentang Warran Syariah.
i. Fatwa No. 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN).
j. Fatwa No. 70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode Penerbitan
SBSN.
k. Fatwa No. 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and Lease Back.
l. Fatwa No. 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang SBSN Ijarah Sale and
Lease Back.
m. Fatwa No. 76/DSN-MUI/VI/2010 tentang SBSN Ijarah Asset To
Be Leased.
n. Fatwa No. 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip
Syariah dalam mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di
Pasar Reguler Bursa Efek (Soemitra, 2014 : 100-101).
Bapepam LK (OJK) telah mengakomodir fatwa DSN-MUI ke
dalam tiga peraturan yang mengatur tentang efek syariah sejak tahun
2006, yaitu peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek
Syariah, Peraturan Nomor IX.A.14 tentang akad yang digunakan
dalam penerbitan efek syariah dan peraturan Nomor II.K.I tentang
71
Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. Selain itu, diterbitkan
pula undang-undang yang mengatur tentang SBSN (Surat Berharga
Syariah Negara) yaitu UU No.19 Tahun 2008 (Soemitra, 2014 : 101).
Terbitnya undang-undang ini menjadi awal lahirnya sukuk negara dan
sekaligus menjadi solusi defisit APBN.
3. Jakarta Islamic Indeks (JII)
Jakarta Islamic Indeks (JII) merupakan indeks yang
dikembangkan oleh Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang bekerja sama
dengan Danareksa Investment Management untuk merespon
kebutuhan informasi yang berkaitan dengan investasi syariah. Jakarta
Islamic Indeks adalah subset dari Indeks Harga Saham Gabungan
diluncurkan pada tanggal 3 Juli 2000. JII merupakan penyaringan
(filter) terhadap saham yang listing. Rujukan dalam penyaringannya
adalah fatwa syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
Berdasarkan fatwa ini BEJ memilah emiten yang unit usahnya sesuai
dengan syariah. Perbedaan mendasar antara indeks konvensional
dengan indeks Syariah adalah asfek halal dan haram pada produk
maupun mekanisme bisnis emiten.
Menurut Khan (2005) identifikasi perusahaan yang dapat ikut dalam
saham syariah dan dapat masuk pada daftar Jakarta Islamic Indeks
antara lain :
a. Emiten atau perusahaan tersebut tidak berkaitan dengan riba
72
b. Perusahaan tersebut tidak membuat/ memproduksi barang atau
jasa yang dilarang oleh syariah.
c. Perusahaan tidak mengeksploitasi faktor-faktor produksi alam
secara berlebihan.
d. Perusahaan tidak mempermainkan harga sekehendaknya, dan
perusahaan tersebut tidak menghalangi terjadinya free market.
e. Perusahaan tersebut mempunyai social responsibility yang tinggi
sehingga memiliki kepedulian terhadap ummat.
Ketentuan mengenai kriteria investasi syariah berdasarkan Dewan
Syariah Nasional (DSN), dilihat dari rasio keuangannnya antara lain :
(1) perusahaan yang mendapatkan dana pembiayaan atau sumber dana
dari utang tidak lebih dari 30% dari rasio modalnya, (2) pendapatan
bunga yang di peroleh perusahaan tidak lebih dari 15 persen dan (3)
perusahaan yang memiliki aktiva kas atau piutangnya tidak lebih dari
50 persen (Rodoni, 2009 : 72-73).
4. Pasar Modal Syariah
4.1 Definisi dan landasan hukum Pasar Modal Syariah
Membahas mengenai pasar modal syariah, maka kita perlu
mengetahui makna dari pasar modal itu sendiri. Pasar modal
syariah, tumbuh dan berkembang jauh setelah pasar modal ada dan
berkontribusi dalam kehidupan masyarakat.
73
Pasar modal adalah perdagangan instrumen keuangan (sekuritas)
jangka panjang, baik dalam bentuk modal sendiri (stock) maupun
utang (bonds), baik yang diterbitkan oleh pemerintah maupun oleh
perusahaan swasta (Rodoni, 2009 : 62). Definisi pasar modal
secara luas menurut Dahlan (2004) dalam Soemitra (2014) adalah
pasar konkret atau abstrak yang mempertemukan pihak yang
menawarkan dan memerlukan dana jangka menengah dan panjang.
Pengertian lainnya, yakni tempat pertemuan antara penawaran dan
permintaan surat berharga/ tempat bertemunya pihak yang
membutuhkan modal (emiten) dan pihak yang memiliki modal
(investor) untuk melakukan transaksi dalam rangka penggunaan
modal tersebut (Soemitra, 2014 : 82-83).
Pasar modal syariah adalah pasar yang kegiatannya berhubungan
dengan perdagangan efek syariah perusahaan publik yang
berkaitan dengan efek yang diterbitkannya serta lembaga profesi
yang berkaitan dengannya, dimana semua produk dan mekanisme
operasionalnya tidak boleh bertentangan dengan hukum muamalat
Islamiyah. Pengertian lainnya dari pasar modal syariah adalah
pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip syariah/ sarana atau
tempat betemunya penjual dan pembeli instrumen keuangan
syariah, dalam transaksinya berpedoman pada ajaran islam, serta
menjauhi hal-hal yang dilarang (Rodoni, 2009 : 62).
74
4.2 Peran dan Fungsi Pasar Modal Syariah
Alasan adanya pasar modal (Soemitra, 2014) dalam sistem
keuangan yakni kemampuan dalam memindahkan dana dari unit
yang kelebihan dana kepada unit yang kekurangan dana dalam
suatu perekonomian. Pasar modal memfasilitasi serta
mengintermediasi antara emiten dan investor. Namun, secara
teoritis pasar modal menjalankan dua fungsi simultan yakni fungsi
intermediasi ekonomi dan fungsi keuangan.
Fungsi intermediasi ekonomi pasar modal dijalankan dengan
meujudkan pertemuan pihak yang memilki kelebihan dana dengan
pihak yang memerlukan dana. Pasar modal berperan sebagai sarana
bagi pendanaan usaha atau sebagai sarana bagi perusahaan untuk
mendapatkan dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang
diperoleh dari pasar modal syariah dapat digunakan untuk
pengembangan usaha, ekspansi, penambahan modal kerja dan lain-
lain yang sesuai dengan prinsip syariah.
Fungsi keuangan pasar modal dilaksanakan dengan memberikan
kemungkinan dan kesempatan untuk memperoleh imbalan bagi
pemilik dana melalui investasi. Pasar modal menjadi sarana bagi
masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan, baik
dalam bentuk saham, obligasi maupun reksadana. Masyarakat
dapat menempatkan dana yang dimilikinya sesuai dengan
75
karakteristik keuntungan dan risiko masing-masing instrumen
(Soemitra, 2014 : 87).
4.3 Regulator Pasar Modal Syariah di Indonesia
Hadirnya pasar modal konvensional (Frederic, 2007) dalam
aktivitas ekonomi yakni karena adanya kebutuhan suatu sistem
yang mampu berperan dalam memindahkan dana-dana yang
langka (investor) kepada pengguna dana (emiten) guna
menumbuhkan dan meningkatkan standar kehidupan yang
dinikmati oleh masyarakat. Adapun pasar modal syariah
(Saepuddin, 2011) muncul di era modern, selain dalam rangka
memenuhi kebutuhan keuangan masyarakat sebagimana
dijalankan oleh pasar modal konvensional, juga dilatarbelakangi
oleh multifaktor. Sebagian pakar menyebutkan bahwa sistem
keuangan dan pasar modal syariah muncul di era modern sebagai
bentuk perlawanan ideologi atas meluasnya model keuangan dan
perbankan berbasis bunga di negeri-negeri muslim. Sebagian
pakar lain menambahkan adanya motif politik akomodasi dan
motif identitas kultural yang ikut serta mendorong kehadiran
kembali ekonomi dan keuangan syariah di era modern.
Keberadaan multi faktor ini yang mendorong kehadiran kembali
ekonomi dan keuangan syariah di era modern sangat
memungkinkan, karena aktivitas ekonomi umumnya saling
76
berkaitan dan dipengaruhi oleh faktor politik, hukum, moral, dan
pola ideology para pelakunya (Soemitra, 2014 : 93).
Pasar modal syariah dikembangkan dalam rangka mengakomodir
kebutuhan umat islam di Indonesia yang ingin melakukan investasi
di pasar modal sesuai prinsip syariah serta untuk menarik minat
investor potensial mancanegara untuk berinvestasi di pasar modal
indonesia (Rodoni, 2009 : 62).
Dalam paradigma integrasi (Muhammad Touriq, 2002), regulator
pasar modal Indonesia berperan memastikan bahwa para pelaku
pasar mampu mengidentifikasi produk dan mekanisme transaksi
yang sesuai dengan kriteria syariah dipasar modal. Dari segi
produk, regulator menelaah produk pasar modal apakah
mengandung unsur riba, gharar, maisir dan hal lainnya yang
dilarang syariah. Regulator tidak akan memasukkan produk yang
melanggar syariah kedalam kategori produk syariah seperti
obligasi berbasis bunga, produk derivatif yang sangat spekulatif
dan gharar yang tinggi dalam kontrak berjangka indeks. Dari sisi
mekanisme transaksi, regulator menelaah dan mengkaji mekanisme
margin trading dan short selling untuk mencermati apakah ada
potensi riba dan spekulasi didalamnya. Payung hukum yang
digunakan oleh produk syariah di pasar modal syariah Indonesia
adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(UUPM). Pada prinsipnya (Huda & Heykal, 2014) Undang-
77
Undang ini tidak membedakan apakah kegiatan pasar modal
dilakukan dengan prinsip syariah atau tidak. Atas dasar ini
dipahami bahwa kegiatan pasar modal Indonesia dapat dilakukan
sesuai prinsip syariah dan dapat pula dilakukan sesuai dengan
prinsip konvensional (Soemitra, 2014 : 96-97).
Untuk mendukung model kebijakan integrasi produk syariah di
pasar modal Indonesia, Bapepam LK dan DSN-MUI telah
menyepakati empat butir kerjasama yang tertuang dalam nota
kesepahaman tertanggal 14 Maret 2003 dan nota kesepahaman
antara DSN-MUI dengan Self Regulatory Organizations (SROs)
pasar modal Indonesia. Empat butir nota kesempatan Bapepam LK
dan DSN-MUI yaitu : penyusunan peraturan efek syariah di pasar
modal syariah, penelaahan pernyataan pendaftaran penerbitan efek
syariah di pasar modal, pengawasan kepatuhan pemenuhan prinsip
syariah di pasar modal syariah, dan kebijakan dalam
pengembangan produk keuangan syariah di pasar modal (Soemitra,
2014 : 99).
Di Indonesia, penerapan dan operasional pasar modal syariah yakni
diaplikasikan dalam bentuk Jakarta Islamic Index (JII) pada bursa
efek Jakarta. Ditinjau dari segi landasan hukum positif, tidak ada
undang-undang khusus mengenai pasar modal syariah, namun
ketentuannya terdapat dalam keputusan ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam & LK) Nomor :
78
Kep-130/BI/ 2006 tentang penerbitan efek syariah pada tanggal 23
November 2006. Adapun praktek investasi secara syariah itu
sendiri, sudah berjalan sejak pertengahan 1997 melalui instrumen
pasar modal syariah yaitu reksadana syariah dan obligasi syariah
pada tahun 2002 (Rodoni, 2009 : 63).
4.4 Implementasi Pasar Modal Syariah di Indonesia
Kemunculan lembaga ekonomi dan keuangan syariah di era
modern merupakan kritik umat Islam atas kegagalan ekonomi
konvensional dalam memecahkan masalah ekonomi dan keuangan
manusia modern. Krisis keuangan yang menerpa sistem ekonomi
dan keuangan dunia sejak dua dekade terakhir telah memunculkan
pemikiran semakin perlunya alternatif model intermediasi yang
dapat dijalankan serta mampu memberikan solusi yang lebih baik
bagi masalah ekonomi dan keuangan yang di hadapi (Soemitra,
2014 : 44).
Respon atas kemampuan operasional keuangan syariah
memunculkan dua pilihan pola kebijakan pengembangan produk
syariah dalam sistem keuangan global termasuk pasar modal.
Pertama, pola terpisah (separation) berarti produk syariah yang
dikelola terpisah dengan produk konvensional. Dalam pola ini
kebijakan diarahkan pada pemisahan sistem kliring dan mekanisme
pembayaran, memisahkan infrastruktur syariah dan standar
akuntansi, serta memisahkan regulator dan sistemnya. Pola terpisah
79
dimana produk syariah dikelola dalam pasar modal dengan struktur
pasar modal nasional yang menjalankan sistem syariah berdasarkan
gagasan universalitas dan kesempurnaan islam dengan
mengandaikan terbentuknya suatu model masyarakat Islam murni,
sehingga prinsip ekonomi dan keuangan islam dapat terwujud
sepenuhnya. Iran, Sudan, dan Pakistan adalah menjalankan pasar
modal syariah secara penuh diatur dalam regulasi negara
didasarkan pada syariat Islam. Kedua, pola integritas (integration)
berarti produk syariah dikelola berdampingan atau parallel
sekaligus berkompetisi dengan produk konvensional. Dalam pola
ini kebijakan diarahkan pada pengembangan produk syariah
dengan batasan-batasan syariah sebagai standar kualitasnya,
menggunakan infrastruktur keuangan konvensional yang sudah
ada. Berbeda dengan pendukung pola komprehensif, sejumlah
pemikir Islam meski mengakui adanya perbedaan ekonomi dan
keuangan syariah dengan ekonomi dan keuangan konvensional,
namun mereka masih membuka pintu bagi interaksi antar ekonomi
dan keuangan syariah dengan konvensional. Ekonomi Islam
memang berbeda dengan ekonomi konvensional secara filosofi dan
epistemology. Namun tidak ada salahnya menerima alat analisis
ekonomi konvensional lewat beberapa modifikasi dalam asumsi
berperilaku. Pendekatan ini disebut dengan pendekatan integrase
parsial bertahap, dimana lebih menekankan pada langkah-langkah
80
bertahap untuk memodifikasi tatanan social ekonomi modern
menuju idealitas Islam. Dalam hal ini Indonesia dan mayoritas
negara Muslim lainnya menggunakan metode integrasi dalam
pengembangan lembaga ekonomi dan keuangan syariah, dan
termasuk dalam pasar modal syariah (Soemitra, 2014 : 49-53).
5. Obligasi Syariah (Sukuk Korporasi) dan Surat Utang Negara
(SUN)
5.1 Obligasi Syariah (Sukuk Korporasi)
Seperti yang telah di sebutkan sebelumnya, obligasi syariah
menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
32/DSN/MUI/IX/2002 adalah suatu surat berharga berjangka
panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten
kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten
untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah
tersebut, berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali
dana obligasi pada saat jatuh tempo. Di Indonesia, obligasi
konvensional lebih dahulu ada dan berkembang dipasar modal
konvensional, sedangkan obligasi syariah terbit pada tahun 2002.
Obligasi syariah pertama kali diterbitkan oleh PT Indosat Tbk
pada tahun 2002 dengan nilai 175 Miliar, sebagai penyertaan
modal perusahaan (Jarkasih dan Aam, 2009 : 9). Beberapa tahun
kemudian terjadi pergantian istilah obligasi syariah menjadi
81
sukuk. Pada tahun 2008 terbit UU No.19 tentang sukuk Negara
atau SBSN. Penerbitan instrument ini adalah sebagai salah satu
alternatif pembiayaan deficit anggaran. Kronologi terbitnya
instrument obligasi konvensional, obligasi syariah, dan sukuk
negara dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 5.1 : Pengembangan Produk Obligasi - Sukuk
Sumber : Soemitra, 2014 (diolah)
Pada akhir Juli 2008 telah ada 31 penerbitan sukuk korporasi di
Indonesia dengan nilai total 5,1 triliun. Penerbitan sukuk
pertahunnya cenderung fluktuatif. Nilai nominal penerbitan
terbesar terjadi pada tahun 2007 yakni senilai Rp 1.3 triliun dan
2008 senilai Rp 1,5 triliun (Jarkasih dan Aam, 2009 : 9). Berikut
perkembangan sukuk korporasi pada tahun 2002-2008 :
Gambar 5.2 : Nilai Sukuk Korporasi 2002-2008 (dalam Miliar
Rupiah)
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Nilai Sukuk Korporasi
Obligasi
Konvensional
lkl
Obligasi Syariah
(2002)
Sukuk Negara
(2008)
82
Nilai 175 790 1.624 2.209,4 2.359,4 3.569,4 5.103,4
Emiten 1 7 16 19 19 25 31
Sumber : Jarkasih dan Aam, 2009 (diolah)
Sukuk korporasi meraih 5% dari pasar obligasi keseluruhan dalam
segi besaran nominal dan meraih 10% dari segi jumlah penerbitan.
Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan pangsa pasar perbankan
syariah yakni 1,7% (Jarkasih dan Aam, 2009 : 11). Emiten penerbit
obligasi syariah tersebut berasal dari beragam jenis usaha, mulai dari
perusahaan telekomunikasi, perkebunan, transportasi, lembaga
keuangan, properti, sampai industri wisata.
Berdasarkan akad yang digunakan, penerbitan sukuk korporasi di
Indonesia baru menggunakan akad Mudharabah dan Ijarah. Penerbitan
sukuk pertama kali menggunakan akad mudharabah, akad ini
dianggap paling memenuhi kepatuhan syariah. Akad ijarah pertama
kali digunakan pada tahun 2004 dan sejak saat itu akad ijarah paling
banyak dipakai. Hal ini terkait dengan struktur ijarah yang mampu
memberikan pengembalian tetap (fixed return). Sejalan dengan trend
obligasi konvensional, dimana suku bunga tetap lebih populer
dibandingkan dengan suku bunga mengambang (Jarkasih dan Aam,
2009 : 11-12).
5.2 Surat Utang Negara (SUN)
Menurut UU No. 24 tahun 2002, pasal 1 SUN (Surat Utang Negara)
adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata
uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan
83
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa
berlakunya. Selain UU dasar hukum lainnya adalah beberapa
peraturan Menteri Keuangan, seperti Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 66/KMK.01/2003, Peraturan Menkeu Nomor
209/PMK.08/2009, Peraturan Menkeu Nomor 50/PMK.08/2008, dan
peraturan dari Bank Indonesia (BI) terkait dengan peran BI sebagai
agen lelang, registrasi, kliring setelmen SUN dan centralregistrasi
(Nasrullah, 2015 : 54-55).
Tujuan penerbitan SUN yaitu : (1) Membiayai defisit APBN; (2)
Menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara
arus kas penerimaan dan pengeluaran dari rekening Kas Negara dalam
satu tahun tertentu, (3) Mengelola portofolio utang Negara.
Pemerintah menerbitkan SUN setelah mendapat persetujuan DPR
yang disahkan dalam kerangka pengesahan APBN dan setelah
berkonsultasi dengan BI, kemudian pemerintah berkewajiban
membayar bunga dan pokok saat jatuh tempo, dana untuk membayar
pembayaran bunga dan pokok SUN disediakan dalam APBN
(Direktorat Surat Utang Negara DJPU, dalam Nasrullah; 2015 : 55).
SBSN dan SUN adalah instrumn SBN (Surat Berharga Negara) yang
digunakan pemerintah dalam menutup defisit anggaran selain . Namun
keduanya memiliki perbedaan masing-masing. Adapun perbedaan
SBSN dan SUN adalah sebagai berikut :
84
Tabel 5.1 : Perbedaan SBSN dan SUN
Sukuk Negara / SBSN Obligasi Negara / SUN
Prinsip Dasar
Surat Berharga yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti
kepemilikan/ penyertaan terhadap Aset
SBSN
Surat Berharga yang merupakan
surat pengakuan utang tanpa
syarat dari penerbit
Underlying Asset Memerlukan underlying asset sebagai dasar
penerbita
Umumnya tidak ada
Fatwa atau Opini
Syariah
Memerlukan Fatwa/Opini Syariah untuk
menjamin kesesuaian sukuk dengan prinsip
syariah
Tidak ada
Penggunaan Dana Sumber pembiayaan APBN, termasuk
Pembiayaan proyek pemerintah
Sumber pembiayaan APBN
Return Imbalan, bagi hasil, margin, capitalgain Bunga, capital gain
Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 19 tahun 2008
tentang Surat Berharga Syariah Negara
Undang-Undang Nomor 24 tahun
2001 tentang Surat Utang Negara
Sumber : Nasrullah; 2015 (diolah)
6. Kebijakan (Regulasi) Pemerintah dalam Mengembangkan Sukuk
Negara (SBSN)
Indonesia adalah salah satu negara yang aktif dalam
mengembangkan ekonomi syariah baik dari segi keilmuan maupun
lembaga keuangan. Salah satu kebijakan pemerintah dalam
mengembangkan ekonomi syariah terlihat dari salah satu instrumen
keuangan syariah yang diikutsertakan dalam pembiayaan negara.
Sukuk Negara atau SBSN menurut UU No. 19 Tahun 2008 pasal 1
adalah surat berharga negara yang di terbitkan berdasarkan prinsip
syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset SBSN baik dalam
85
bentuk mata uang rupiah ataupun mata uang asing, dimana aset SBSN
adalah Barang Milik Negara.
Dalam praktiknya pelaksanaan dan pengembangan pasar
modal syariah mengikuti pola integritas (integration) dengan
pendekatan integrasi parsial. Produk syariah dikelola
berdampingan atau parallel sekaligus berkompetisi dengan produk
konvensional. Dalam pola ini kebijakan diarahkan pada
pengembangan produk syariah dengan batasan-batasan syariah
sebagai standar kualitasnya, menggunakan infrastruktur keuangan
konvensional yang sudah ada. Ekonomi Islam memang berbeda
dengan ekonomi konvensional secara filosofi dan epistemology.
Namun tidak ada salahnya menerima alat analisis ekonomi
konvensional lewat beberapa modifikasi dalam asumsi berperilaku.
Pendekatan ini lebih menekankan pada langkah-langkah bertahap
untuk memodifikasi tatanan social ekonomi modern menuju
idealitas Islam. Dalam hal ini Indonesia menggunakan metode
integrasi dalam pengembangan lembaga ekonomi dan keuangan
syariah, dan termasuk dalam pengembangan sukuk negara (SBSN)
(Soemitra, 2014 : 49-53).
Sukuk negara mrupakan memodifikasi instrumen keuangan
konvensional yakni Obligasi, Obligasi Negara (SUN) kemudian
dimodifikasi dalam bentuk syariah sehingga terbit surat berharga
dalam konteks syariah, yakni SBSN/ Sukuk Negara.
86
6.1 Peraturan Pelaksanaan SBSN di Indonesia
Dalam pelaksanaanya, sukuk Negara/ SBSN diatur melalui
beberapa peraturan, diantaranya :
6.1.1 Fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI
Salah satu tugas dan fungsi DSN-MUI adalah mengeluarkan
fatwa tentag ekonomi syariah untuk dijadikan pedoman bagi
praktisi dan regulator. Maka dalam pelaksanaanya, SBSN
didasarkan atas fatwa DSN-MUI sebagai berikut :
a. Fatwa No. 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN).
b. Fatwa No. 70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode
Penerbitan SBSN.
c. Fatwa No. 71/DSN-MUI/VI/2008 tentang Sale and
Lease Back.
d. Fatwa No. 72/DSN-MUI/VI/2008 tentang SBSN Ijarah
Sale and Lease Back.
e. Fatwa No. 76/DSN-MUI/VI/2010 tentang SBSN Ijarah
Asset To Be Leased (Soemitro, 2014 : 297).
6.1.2 Opini Dewan Syariah nasional-MUI
Selain mengeluarkan fatwa terkait pelaksanaan SBSN, DSN-
MUI juga mengeluarkan opini-opini sebagai berikut :
a. No. B-266/DSN-MUI/VIII/2008 tentang Opini atas
Penerbitan SBSN seri IFR-0001.
b. No. B-118/DSN-MUI/III/2009 tentang Opini atas
Penerbitan SBSN dengan Metode Private Placement
87
dengan Akad Ijarah al-Khadamat atas Pelayanan Haji
dengan nama Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI).
c. No. B-273/DSN-MUI/VIII/2009 tentang Opini atas
Penerbitan SBSN dengan Metode lelang ijarah.
d. No. B-373/DSN-MUI/X/2009 tentang Opini atas
Penerbitan SBSN dengan Metode Lelang Ijarah Sale
and Lease Back yang menggunakan barang milik
negara sebagai objek ijarah.
e. No. B-021/DSN-MUI/I/2010 tentang Opini atas Skema
dan Objek Ijarah Sukuk Ritel Seri 002 dengan Metode
Penjualan Bookbuilding.
f. No. B-036/DSN-MUI/I/2011 tentang Opini atas Skema
dan Objek ijarah Sukuk Ritel Seri 003.
g. No. B-210/DSN-MUI/VI/2011 tentang Opini atas
Penerbitan SBSN Berbasis Proyek (project based
sukuk).
h. No. B-250/DSN-MUI/VII/2011 tentang Opini atas
Penerbitan Surat Perbendaharaan Negara Syariah
dengan akad ijarah sale and lease back.
i. No. B-077/DSN-MUI/II/2012 tentang Opini atas
Skema dan Objek Ijarah Sukuk Ritel Seri 004
(Soemitro, 2014 : 296).
88
6.1.3 Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri Keuangan
(PMK)
Terkait pelaksanaan SBSN, Pemerintah dan Menteri Keuangan
mengeluarkan peraturan sebagai berikut :
a. PP No. 56 Tahun 2008 tentang Perusahaan Penerbit
Surat Berharga Syariah Negara.
b. PP No. 57 Tahun 2008 tentang Pendirian Perusahaan
Penerbit Surat Berharga Syariah Negara Indonesia.
c. PP No. 67 Tahun 2008 tentang Perusahaan Penerbit
Surat Berharga Syariah Negara Indonesia I.
d. PP No. 51 Tahun 2010 tentang Perusahaan Penerbit
Surat Berharga Syariah Negara Indonesia II.
e. PP No. 56 Tahun 2011 tentang Pembiayaan Proyek
melalui Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara.
f. PMK No. 218/PMK/2008 tentang Penerbitan dan
Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Ritel di Pasar
Perdana Dalam Negeri.
g. PMK No. 118/PMK.08/2008 tentang Penerbitan dan
Penjualan SBSN Ritel dengan Cara Bookbuilding di
Pasar Perdana Dalam Negeri.
h. PMK No. 152/PMK.08/2008 tentang Penerbitan SBSN
dalam Valuta Asing di Pasar Perdana Internasional.
89
i. PMK No.5/PMK.08/2012 tentang Penerbitan dan
Penjualan SBSN di Pasar Perdana Dalam Negeri
dengan Cara Lelang.
j. PMK No. 75/PMK.08/2009 tentang Penerbitan dan
PenjualanSBSN dipasar Ritel dengan cara Penempatan
Langsung (private placement) di Pasar Perdana Dalam
Negeri.
k. PMK No. 129/PMK.08/2008 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan No.125/PMK.08/2008.
l. PMK No. 129/PMK.08/2011 tentang Penggunaan
Proyek sebagai Dasar Penerbitan SBSN (Soemitra,
2014 : 291).
90
BAB VI
C. Kontribusi Sukuk Negara terhadap Utang Luar Negeri Indonesia
1. Defisit Anggaran dalam APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan
rencana keuangan tahunan pemerintah negara yang di setujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). APBN berisikan daftar sistematis
dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran
negara dalam satu tahun anggaran yang terhitung sejak 1 Januari
sampai 31 Desember setiap periodenya (Anjari, 2014 : 25). Di
Indonesia pendapatan negara terbagi menjadi dua sumber, yakni
pendapatan yang berasal dari Pajak dan Pendapatan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Berdasarkan laporan Kementian Keuangan Indonesia,
Pendapatan Negara periode 2012-2016 adalah sebagai berikut :
Tabel 6.1 : Sumber & Total Pendapatan Negara periode 2012-2016 (dalam
Triliun Rupiah)
Sumber : Kementerian Keuangan RI, APBN 2016 (Diolah)
Dari tabel diatas terlihat untuk periode 2016, pajak menyumbang
75 % terhadap total pendapatan, kepabeanan dan cukai 10 % dan PNBP &
No. Tahun Pajak Kep.& Cukai Hibah PNBP Total
1 2012 835,5 144,7 5,8 351,8 1.338,1 T
2 2013 921,4 156,0 6,8 354,8 1.438,9 T
3 2014 985,1 161,7 5,1 398,7 1.550,6 T
4 2015 1.294,3 195,0 3,3 269,1 1.761,6 T
5 2016 1.360,2 186,5 2,0 276,8 1.822,5 T
91
hibah 25 %. Adapun untuk belanja negara, terbagi menjadi tiga; belanja
pemerintah pusat, transfer ke daerah, dan pembiayaan; baik dalam maupun
luar negeri. Selain itu dalam pelaksanaannya, pemerintah menggunakan
kebijakan defisit anggaran. Kebijakan tersebut diarahkan untuk
memperkuat stimulus fiskal yang di arahkan untuk meningkatkan kafasitas
produksi dan penguatan daya saing dengan tetap mengendalikan risiko dan
menjaga kesinambungan fiskal dalam jangka menengah dan panjang
(Kementerian Keuangan RI, 2016: 40).
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2017 di
Indonesia, target pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp 1.750,3 triliun
yang terdiri atas; (1) pajaksebesar Rp 1.498,9 triliun; (2) Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 250,0 triliun, dan (3) Penerimaan
Hibah sebesar Rp 1,3 triliun. Pada sisi belanja negara disepakati sebesar
Rp 2.080,5 triliun, yang terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp
1.315,5 triliun, dan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 764,9
triliun. Belanja Pemerintah Pusat terdiri atas belanja Kementerian
Negara/Lembaga sebesar Rp 763,6 triliun dan belanja Non Kementerian
Negara/Lembaga sebesar Rp 551,9 triliun. Adapun besaran defisit yang
masih berada dalam batas sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
yaitu sebesar Rp 330,2 triliun atau 2,41% terhadap Produk Domestic Bruto
(PDB). Defisit APBN tahun 2017 tersebut direncanakan akan dibiayai
dengan pembiayaan anggaran sebesar Rp 330,2 miliar (Jaelani, 2007 : 2).
92
Berikut laporan Defisit anggaran oleh Kementerian Keuangan RI periode
2012-2016 :
Tabel 6.2 : Defisit APBN periode 2012-2016 (dalam Triliun Rupiah)
No. Tahun Defisit APBN
(Triliun Rp. )
Defisit LKPP
(Triliun Rp.)
Defisit LKPP (%
terhadap PDB)
Defisit APBN ( %
terhadap PDB)
1 2012 190,1 153,3 1,86 2,23
2 2013 224,2 209,5 2,24 2,38
3 2014 241,5 216,7 2,30 2,40
4 2015 222,5 - - 1,90
5 2016 273,2 - - 2,15
Sumber : Kementerian Keuangan RI, APBN 2016 (Diolah)
Dari total pendapatan/ penerimaan negara yang diperoleh setiap
tahunnya, anggaran tersebut mengalami defisit yang cukup tinggi,
meskipun pada periode 2015 jumlahnya menurun, namun di tahun 2016
mengalami peningkatan yang signifikan yakni sebesar 273,2 Triliun atau
sekitar 2,15 % dari PDB. Defisit tersebut disikapi dengan mengambil
beberapa alternatif kebijakan pembiayaan. Lebih Jelasnya dapat dilihat
dari bagan berikut :
Gambar 6.1 : Anternatif Pembiayaan Defisit APBN oleh Pemerintah
Instrumen Pembiayaan APBN
Surat Berharga Negara (SBN) Pinjaman
Surat Utang
Negara
(SUN)
Pinjaman/
Utang Luar
Negeri
Pinjaman
Dalam Negeri
Surat Berharga
Syariah Negara
(SBSN)
93
Sumber : Sukuk Negara, Kompasiana.com (diolah)
Dari gambar tersebut terlihat dua langkah kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah sebagai instrumen pembiayaan atas defisit anggaran dalam
APBN, kebijakan tersebut terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara
(SBN), dan melakukan pinjaman. Surat Berharga Negara itu sendiri terdiri
dari Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN). Sedangkan pinjaman pemerintah, bersumber dari pinjaman dalam
negeri maupun pinjaman/ utang luar negeri.
2. Utang Luar Negeri Indonesia
2.1 Definisi Utang Luar Negeri
Indonesia adalah salah satu negara anggota ASEAN dan termasuk
kedalam kategori negara berkembang. Salah satu permasalahan yang
dialami oleh negara berkembang dalam mencapai pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi yakni keterbatasan sumber daya yang di miliki.
Dalam menghadapi keterbatasan tersebut, salah satu alternatif yang
dilakukan yakni dengan pembiayaan/ pinjaman yang berasal dari
dalam maupun luar negeri.
Pinjaman luar negeri atau lebih dikenal dengan Utang Luar Negeri
(ULN) adalah semua pinjaman yang menimbulkan kewajiban
membayar kembali terhadap pihak luar negeri dalam valuta asing
maupun dalam bentuk rupiah atau pinjaman dalam negeri yang
menimbulkan kewajiban membayar kembali terhadap pihak luar negeri
94
(Al Maulidi, 2013 : 20). Selain itu, utang luar negeri dapat juga
didefinisikan sebagai utang penduduk (resident) yang berdomisili di
suatu wilayah teritori ekonomi kepada bukan penduduk (non resident)
(Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, 2016).
2.2 Faktor Pendorong Utang Luar Negeri
Menurut Basri (2003) dalam Rowland (2013), menyebutkan bahwa
terdapat dua faktor yang menjadi motivasi dan landasan bantuan luar
negeri dari negara pendonor terhadap negara debitor, yakni motivasi
politik (political motivation) dan motivasi ekonomi (economic
motivation). Kedua faktor ini memiliki keterkaitan yang sangat erat
satu sama lainnya (Rowland, 2013 : 356).
Pemanfaatan utang luar negeri sebagai alternatif pembiayaan
pembangunan/ pertumbuhan ekonomi merupakan suatu yang tidak
terpisahkan dari pembangunan ekonomi dan sosial, baik dinegara maju
maupun negara berkembang. Faktor politik pemanfaatan utang luar
negeri teraplikasi dalam bentuk pembangunan kembali perekonomian
negara-negara Eropa Barat pasca perang Dunia II pada dekade 1950-an
melalui bantuan/pinjaman luar negeri. Mungkin jika tidak adanya
bantuan/pinjaman dari luar negeri beberapa negara yang kalah perang
seperti Jepang dan Korea selatan, tidak akan maju seperti sekarang ini
(Tambunan, 2013 : 1).
Adapun faktor ekonomi tercermin dalam 4 argumen penting yakni
(Rowland, 2013 : 356 - 357 ) :
95
a. adanya two gap model, dimana negara-negara berkembang
kekurangan dalam mengakumulasi tabungan domestik sehingga
tidak mampu memenuhi kebutuhan investasi untuk memicu
pertumbuhan ekonomi. Dan di sisi lain, kekurangan yang di alami
negara-negara bersangkutan dalam memenuhi nilai tukar asing
untuk membiayai kebutuhan impor itulah yang memacu
pengambilan kebijakan utang luar negeri.
b. Memfasilitasi dan mempercepat proses pembangunan dengan cara
meningkatkan pertambahan tabungan domestik sebagai akibat dari
pertumbuhan yang lebih tinggi. pertumbuhan tersebut akan
berkorelasi positif terhadap negara maju.
c. Technical assistance atau transfer sumber daya manusia tingkat
tinggi kepada negara-negara penerima bantuan. Hal ini untuk
menjamin aliran dana yang masuk dapat digunakan secara efisien
agar memicu pertumbuhan ekonomi
d. Absorptive capacity yakni dalam bentuk apa dana tersebut di
gunakan. terlepas faktor-faktor diatas ada faktor pendorong dan
penarik (push and pull factor) yang menentukkan terjadinya
perpindahan modal dari negara maju ke negara berkembang. dua
faktor ini merupakan perpaduan antara motif ekonomi dan politik
yang menjadi pertimbangan utama investor rasional (Rowland,
2013 : 356 - 357 ).
2.3 Jenis Utang Luar Negeri
96
Utang luar negeri dapat dibedakan kedalam beberapa
bentuk/ jenis berdasarkan klasifikasi syarat pengembalian, negara
pemberi pinjaman maupun berdasarkan ekonomi. Adapun
klasifikasinya adalah sebagai berikut (Rowland, 2013 : 360 - 361) :
2.3.1 Pinjaman dengan Syarat Pengembalian.
Pinjaman ini terbagi menjadi tiga jenis, yakni (1) hadiah /
grant : bantuan luar negeri yang tidak bersyarat
pengembalian atau pelunasannya kembali; (2) pinjaman
lunak : pinjaman dengan syarat yang sangat ringan, dimana
jangka aktu pengembaliannya antara 20-30 tahun dan
tingkat bunga antara 0 - 4,5 persen pertahun; (3) pinjaman /
kredit ekspor : kredit yang diberikan oleh negara
pengekspor dengan jaminan tertentu untuk meningkatkan
ekspor dengan jangka waktu pengembalian antara 7 – 15
tahun dan tingkat bunga antara 4 – 8,5 persen; (4) kredit
komersial : kredit yang dipinjamkan oleh bank dengan
tingkat bunga dan lain-lain sesuai perkembangan pasar
internasional.
2.3.2 Pinjaman Berdasarkan Negara Pemberi Pinjaman.
Pinjaman jenis ini terdiri dari (1) pinjaman/ kredit bilateral :
pinjaman luar negeri yang berasal dari pemerintah suatu
negara melalui suatu lembaga atau lembaga non keuangan
yang ditunjuk oleh pemerintah bersangkutan untuk
97
memberikan pinjaman (Kemenkeu dan BI, 2016); (2)
pinjaman/ kredit multilateral : bantuan/ kredit yang berasal
dari gabungan beberapa negara atau organisasi seperti
peserta IBRD, IDA, UNDP, ADB dan sebagainya dengan
syarat pengembalian sesuai perjanjian negara yang
bersangkutan.
2.3.3 Pinjaman Menurut Kategori Ekonomi, Barang / Jasa.
Pinjaman jenis ini terdiri dari : (1) bantuan program :
bantuan berupa program seperti pendidikan, kesehatan atau
kebudayaan dalam bentuk tunai atau devisa kredit; (2)
bantuan proyek : bantuan yang diperoleh untuk pembiayaan
dan pengadaan barang/ jasa pada proyek-proyek
pembangunan yang dapat berupa peralatan-peralatan,
barang-barang atau jasa; (3) bantuan teknik : bantuan
berupa pengiriman tenaga ahli dari luar negeri atau tenaga-
tenaga Indonesia yang dilatih di luar negeri (Rowland, 2013
: 360 - 361)
2.4 Sejarah dan Perkembangan ULN Indonesia
Perkembangan utang luar negeri Indonesia di pengaruhi
oleh sistem politik danpemerintahan Indonesia itu sendiri, yakni
dapat dibedakan menjadi 3 periode. Periode pertama di awal
pemerintahan yakni tahun 1945-1965 dikenal dengan orde lama,
98
setelah itu Indonesia memasuki masa transisi politik dan
pemerintahan dari orde lama ke pemerintahan orde baru yakni
tahun 1965-1998. Melewati fase orde baru Indonesia sampai pada
era reformasi yakni tahun 1998- sekarang. Adapun sejarah dan
perkembangan utang luar negeri Indonesia adalah sebagai berikut
(Tambunan, 2008) :
2.4.1 Utang Luar Negeri pada Masa Orde Lama
Peran utang luar negeri dalam perekonomian Indonesia
telah dimulai sejak masa Orde Lama, yakni yang di dapat dari
negara-negara barat dan sebagian besarberasal dari negara-
negara komunis seperti Uni Soviet, Polandia, Jerman Timur,
Hongaria dan Cina (Tambunan, 2008 : 5-7). Meskipun pada
masa ini Indonesia menerapkan sisten non-Blok, namun pada
praktiknya pemerintahan pada saat itu yang di pimpin oleh
Presiden Soekarno lebih condong dan dekat kepada negara-
negara komunis. Pada orde ini, keadaan politik dalam negeri
masih belum stabil dan banyak terjadi pemberontakan dari
dalam maupun luar negeri. Selain itu, penggunaan atau
pemanfaatan utang luar negeri belum dilakukan secara produktif
dan efisien karena pinjaman tersebut banyak digunakan untuk
proyek maupun program pembangunan mercusuar. Fokus
pemerintah pada masa itu lebih kepada memperkokoh
kedaulatan negara serta memperkenalkan Indonesia pada
99
penduduk dunia.Pembangunan perekonomian rakyat harus
berdasarkan koperasi dan arah pembangunan ditujukan untuk :
membebaskan negara dari segala kekurangan, kemiskinan,
keterbelakangan diberbagai bidang kehidupan dan menjaga
pengakuan kedaulatan bangsa; serta merumuskan pembangunan
perekonomian dan dengan semangat koperasi yang di susun
sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
pancasila dan UUD 1945 (Mustopadidjaja, 2012 : 16-17).
Pada masa ini pemerintah sangat berhati-hati dan
menerapkan persyaratanyang ketat terhadappinjaman luar
negeri. Persyaratan tersebut diantaranya : negara pemberi
pinjaman tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri,
sukuk bunga rendah sekitar 3 - 3,5 persen pertahun dan jangka
aktu pengembalian yang relatif lama sekitar 10-20 tahun untuk
keperluan industri sedangkan untuk keperluan pembangunan
infrastruktur jangka waktu pengembaliannya lebih panjang lagi.
Utang luar negeri Indonesia pada tahun 1950 tercatat sekitar 7,8
miliar dollar AS yang terdiri dari 4 miliar dollar AS utang
warisan Hindia Belanda dan 3,8 miliar dollar AS utang baru
pemerintah. Pada masa ini yang melakukan pinjaman luar negeri
hanya pemerintah karena pihak swasta masih belum
berkembang (Tambunan, 2008 : 280-281).
100
2.4.2 Utang Luar Negeri pada Masa Orde Baru
Setelah terjadi transisi politik pada tahun 1965, diikuti
dengan pergantian pemerintahan dari orde lama kepada
pemerintahan orde baru yang di pimpin oleh Soeharto. Pada
masa ini terjadi transisi pemerintahan sekaligus perubahan
mengenai utang luar negeri baik dari segi kebijakan sumber
pinjaman maupun pemanfaatan. Jika pada masa orde lama utang
luar negeri di dominasi dari negara komunis, maka pada masa
orde baru Indonesia anti komunis dan sepenuhnya tergantung
pada pinjaman negara-negara barat seperti Jepang, Bank Dunia,
dan Lembaga Moneter Internasional (IMF). Perbedaan orientasi
Presiden Soeharto didasarkan pada pemikiran pragmatis bahwa
pinjaman dari negara-negara barat lebih potensial dan lebih
memberikan keuntungan dari pada pinjaman dari blok komunis,
terlebih setelah peristiwa gerakan 30 September (G30 S)
pemerintah lebih berhati-hati berurusan dengan negara-negara
komunis (Tambunan, 2008 : 7).
Penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa pada
periode ini memasuki era stabilitasi dan rehabilitasi serta
terfokus pada upaya mengatasi kemerosotan perekonomian
periode sebelumnya yakni dengan beberapa langkah strategis
untuk mengatasi kesulitan ekonomi dan keuangan, dengan
upayapenataan kembali kelembagaan negara sesuai dengan
101
konstitusi yang dilandasi konsep demokrasi politik serta
persiapan-persiapan pembangunan masyarakat adil makmur
berdasarkan pancasila dan UUD 1945 (Mustopadidjaja, 2012 :
116-117).
Pada masa pemerintahan Soeharto, pemakaian pinjaman
luar negeri diprioritaskan untuk renovasi dan pembangunan
infrastruktur fisik maupun non fisik, seperti pembangunan
fasilitas dan sistem transportasi, sektor kesehatan, pembangkit
dan jaringan listrik, fasilitas telekomunikasi, irigasi teknis,
pelabuhan laut dan udara (Tambunan, 2008 : 8).
Dalam perkembangannya, pada masa ini utang luar negeri
tidak hanya digunakan untuk pembangunan sarana dan
prasarana, akan tetapi juga digunakan untuk pengembangan
industri manufaktur. Pada awalnya industri tersebut hanya
diorientasikan untuk menggantikan barang-barang impor,
namun kemudian berkembang pada orientasi ekspor.
Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi atas bantuan dana
dari luar negeri pada masa ini berjalan sangat pesat. Irigasi
teknis dan program intensifikasi padi meningkatkan
produktivitas disektor pertanian dan mengantarkan Indonesia
pada tercapainya swasembada beras pada tahun 1985
(Tambunan, 2008 : 9).
102
Jika pada era Soekarno pemerintah memberikan peraturan
dan persyaratan yang cukup ketat terhadap pinjaman dari luar
negeri, maka pada era Soeharto peraturan serta persyaratan
tersebut lebih longgar. Sikap pemerintah yang sangat terbuka
terhadap pinjaman dari luar negeri didorong oleh dua faktor,
yakni pemerintah menganggap utang luar negeri sebagai salah
satu langkah tepat untuk memutus dan menekan jumlah
kemiskinan melalui pembangunan besar-besaran dan perlunya
utang luar negeri dalam pengembangan industri dan
perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini berakibat pada
membengkaknya utang luar negeri Indonesia (Tambunan, 2008
: 281). Berikut utang luar negeri Indonesia periode 1981-1998
berdasarkan ADB database dalam juta dollar AS.
Gambar 6.2 : Perkembangan ULN Indonesia pada masa orde
baru (juta dollar AS)
Sumber : ADB database dalam Tambunan, 2008 (diolah).
103
2.4.3 Utang Luar Negeri pada Masa Reformasi - Sekarang
Setelah terjadi krisis ekonomi tahun 1997/1998 kebiasaan
membiayai pembangunan dengan utang luar negeri terus
dilanjutkan oleh pemerintahan pasca kabinet Soeharto (Tambunan,
2008 : 10). Hal ini disebabkan sudah membengkaknya utang luar
negeri yang diwariskan oleh orde baru, sehingga pemerintah dan
rakyat harus menanggung beban tersebut. Menurut Joedo, 2004
dalam Tambunan (2008), besarnya akumulasi utang luar negeri
yang diwariskan oleh pemerintah orde baru, memaksa pemerintah
mengatur secara khusus dan mengubah paradigma mengenai
penanganan pinjaman luar negeri yang tertuang dalam Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004. Kebijakan pemerintah
ditekankan untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang luar
negeri (Tambunan, 2008 : 265).
Berikut jumlah utang luar negeri Indonesia periode 1999-2004
dalam juta dollar AS.
Gambar 6.3 : Utang Luar Negeri Indonesia Periode 1999-2004
104
Sumber : ADB database dalam Tambunan, 2008 (diolah).
Permasalahan utang luar negeri Indonesia pada masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dirasa
masih sangat berat. Menurut Kusfiardi (2008) dalam Rowland
(2013), menyatakan bahwa pada tahun 2004 pemerintah harus
mengalokasikan dana sebesar 9,032 miliar dollar AS untuk cicilan
pokok dan bunga utang luar negeri. Pengalokasian dana tersebut,
menggerus pendapatan nasional dan merugikan keuangan negara.
Namun pada periode ini juga, upaya mengurangi ketergantungan
pada utang luar negeri dilakukan dengan serius (Tambunan, 2008 :
10-11).
Menurut data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia
dalam Rowland (2013) menyatakan bahwa pada tahun 2005
outstanding utang luar negeri Indonesia sebesar 80,072 miliar
dollar AS. Kemudian pada tahun 2006, utang luar negeri
pemerintah yang disanggupi oleh Colsultative Group on Indonesia
(CGI) sebesar 26.069,70 miliar dollar AS, yang terdiri dari
10.147,70 miliar dollar AS utang bilateral dan 15.922,00 miliar
dolar AS utang multilateral. Pemerintah pada akhirnya
memutuskan mengembalikan pinjaman siaga dari Dana Moneter
Internasional (IMF) dan membubarkan CGI, namun jumlah
outstanding utang luar negeri Indonesia mengalami peningkatan
yakni pada triwulan 1 tahun 2008 menjadi 87.159 miliar dollar AS.
105
Kemudian dalam APBN perubahan 2008, pemerintah
mengalokasikan dana sebesar Rp 92,242,7 triliun untuk
pembayaran utang luar negeri dan pada tahun 2009 sebesar Rp
94,891,4 triliun (Rowland, 2013 : 409). Kemudian untuk jumlah
utang luar negeri Indonesia, berdasarkan laporan Kementrian
Keuangan dan Bank Indonesia pada tahun 2010 sebesar 202.413
juta USD dan tahun 2011 sebesar 252.364 juta USD. Berikut
perkembangan jumlah utang luar negeri Indonesia periode 2004 –
2009 dalam juta USD.
Gambar 6.4 : Utang Luar Negeri Indonesia periode 2004 - 2009
Sumber : Kemenkeu RI dan Bank Indonesia, 2010 (diolah)
Jika pada masa orde lama utang luar negeri Indonesia
hanya terdiri dari utang pemerintah, kemudian pada masa orde baru
utang luar negeri terdiri dari utang pemerintah dan pihak swasta,
maka pada masa setelah reformasi pemerintah menyusun dan
melaporkan perkembangan utang luar negeri Indonesia melalui
0
50
100
150
200
2004 2005 2006 2007 2008 2009
ULN
Pemerintah BI Swasta
106
laporan statistik utang luar negeri Indonesia oleh Kementerian
Keuangan RI dan Bank Indonesia secara terperinci.
Berdasarkan kelompok peminjam, utang luar negeri
Indonesia terbagi menjadi tiga (Kementerian Keuangan RI dan
Bank Indonesia, 2017), yakni utang luar negeri pemerintah, utang
luar negeri bank sentral dan utang luar negeri swasta .
Utang luar negeri pemerintah adalah utang yang dimiliki
oleh pemerintah pusat, yang terdiri dari utang bilateral, multilateral,
fasilitas kredit ekspor, komersial, leasing dan Surat Berharga
Negara (SBN) yang diterbitkan didalam maupun diluar negeri dan
dimiliki oleh bukan penduduk.
Utang luar negeri bank sentral adalah utang yang dimilki
oleh Bank Indonesia yang diperuntukkan dalam rangka mendukung
neraca pembayaran dan cadangan devisa. Selain itu utang yang
dimiliki Bank Indonesia kepada pihak bukan penduduk yang telah
menempatkan dananya pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan
utang dalam bentuk kas maupun simpanan serta kewajiban lainnya
kepada bukan penduduk.
Utang luar negeri swasta adalah utang luar negeri penduduk
kepada bukan penduduk dalam valuta asing dan atau rupiah
berdasarkan perjanjian utang (loan agreement) atau perjanjian
lainnya, dalam bentuk kas maupun simpanan bukan penduduk dan
kewajiban lainnya kepada bukan penduduk. Utang luar negeri
107
swasta terdiri dari utang bank dan non bank (Kementerian
Keuangan RI dan BI, 2017). Berikut laporan perkembangan Utang
Luar Negeri Indonesia periode 2010-2016 berdasarkan kelompok
peminjam:
Tabel 6.3: Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia periode 2010-2016
berdasarkan kelompok Peminjam (dalam Juta USD).
Peminjam 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
1. Pemerintah dan Bank Sentral
1.1 Pemerintah
1.2 Bank Sentral
118.631
106.867
11.764
118.642
112.427
6.215
123.736
114.294
9.932
123.548
114.294
9.255
129.736
123.806
5.930
142.608
137.396
5.212
154.480
150.958
3.521
2. Swasta
2.1 Bank
2.2 Bukan Bank
2.2.1 LKBB
2.2.2 PKBB
83.789
14.382
69.407
3.575
65.833
106.732
18.466
88.266
6.103
82.162
126.245
23.018
103.228
7.713
95.515
142.561
24.431
118.130
7.947
110.183
163.592
31.673
131.920
10.149
121.771
167.445
31.925
135.520
11.247
124.357
161.543
29.104
132.440
10.257
122.183
TOTAL 202.413 225.375 252.364 266.109 293.328 310.053 316.023
Sumber : Kemenkeu RI dan Bank Indonesia, 2017 (Diolah)
Gambar 6.5 : Utang Luar Negeri Indonesia Periode 2010-2016
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
ULN
Pemerintah BI Swasta
108
Sumber : Kemenkeu RI dan Bank Indonesia, 2017 (Diolah)
Dari data tersebut terlihat utang luar negeri Indonesia mengalami
kenaikan secara signifikan, baik dari pihak Pemerintah, Bank Indonesia,
maupun pihak swasta. Pada akhir tahun 2016 terlihat utang Bank
Indonesia dan swasta mengalami penurunan, namun nilai utang
pemerintah konsisten meningkat, sehingga secara total keseluruhan utang
luar negeri Indonesia setiap tahunnya semakin mengalami peningkatan.
Berikut perkembangan utang luar negeri Indonesia secara keseluruhan
periode 2010 – 2016 (dalam Juta USD).
Gambar 6.6 : Utang Luar Negeri Indonesia secara Keseluruhan Periode
2010 – 2016 ( Juta USD)
Sumber : Kemenkeu dan Bank Indonesia, 2017 (diolah).
Selain itu, utang luar negeri Indonesia juga dilihat berdasarkan
klasifikasi sektor ekonomi dan sumber pinjaman/ kreditor. Sektor ekonomi
0
50
100
150
200
250
300
350
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
ULN
109
masing-masing memiliki kebutuhan dalam jumlah dan porsentase yang
berbeda-beda. Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan RI dan Bank
Indonesia (2016) utang luar negeri Indonesia terbagi kedalam 10 sektor.
Pengklasifikasian tersebut di susun berdasarkan sektor ekonomi yang
digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mencatat Produk Domestik
Bruto. Berikut daftar utang luar negeri Indonesia periode 2012-2016
berdasarkan sektor ekonomi :
Tabel 6.4 : Utang Luar Negeri Indonesia Berdasarkan Sektor
Ekonomi (dalam juta USD)
No Sektor 2012 2013 2014 2015 2016
1 Pertanian, peternakan,
perikanan & kehutanan
7.533 8.862 9.279 9.677 7.719
2 Pertambangan & penggalian 21.074 27.544 27.234 25.818 25.525
3 Industri pengolahan 27.180 30.135 33.346 34.351 34.577
4 Listrik, gas & air bersih 21.946 21.270 22.123 22.909 22.777
5 Bangunan 12.206 10.766 9.875 9.283 9.200
6 Perdagangan, hotel & restoran 7.111 8.145 9.923 10.154 9.949
7 Pengangkutan & komunikasi 12.161 12.423 13.652 13.934 14.153
8 Keuangan, persewaan & jasa
perusahaan
107.869 113.754 134.809 152.799 161.070
9 Jasa-jasa 17.766 18.274 18.781 18.602 18.395
10 Sektor lain 17.518 14.937 14.305 13.292 12.658
Total 252.364 266.109 293.328 310.819 316.023
Sumber : Kementerian Keuangan RI dan Bank Indonesia, 2017 (Diolah)
110
Adapun Utang Luar Negeri Indonesia berdasarkan sumbr/ kreditornya
terbagi kedalam beberapa bagian, rinciannya dapat dilihat dalan tabel
berikut :
Tabel 6.5 : Utang Luar Negeri Indonesia Berdasarkan Kreditor (dalam juta USD)
2012 2013 2014 2015 2016
Negara Pemberi Pinjaman :
Amerika
Australia
Austria
Belanda
Belgia
Hongkong
Inggris
Jepang
Jerman
Korea Selatan
Prancis
Singapura
Spanyol
Swiss
Tiongkok
Amerika lainnya
Eropa lainnya
Asia lainnya
Afrika
Oceania
Sindikasi Negara-negara
153.555
10.718
1.463
1.045
13.982
969
3.955
3.109
40.026
3.577
3.089
3.126
42.288
445
1.193
5.060
3.422
4.541
4.821
766
52 1
5.908
163.122
10.102
1.270
1.032
13.116
1.024
4.820
4.641
32.826
3.388
4.841
3.062
49.830
421
1.586
6.158
3.875
5.116
6.238
737
57
8.883
176.826
11.663
1.328
812
11.705
869
6.725
5.491
30.463
3.225
5.747
3.164
60.454
383
1.264
7.869
3.945
4.961
8.010
943
85
7.722
178.370
10.257
1.385
619
10.951
792
7.841
4.510
31.340
3.489
6.232
3.033
58.213
438
996
13.660
3.580
4.724
7.737
1.035
58
7.479
171.801
10.640
1.541
519
9.091
660
8.039
3.474
31.287
3.484
6.423
3.169
54.261
458
1.335
14.289
2.495
4.786
7.926
762
61
7.100
Organisasi Internasional :
ABD
IBRD
IDA
IDB
IFAD
IMF
NIB
EIB
Lainnya
27.413
10.985
10.423
2.208
522
130
3.053
32
59
71.396
27.126
9.869
11.339
2.098
556
138
3.050
28
49
75.861
26.434
8.722
12.176
1.880
581
145
2.868
22
39
90.068
28.925
9.278
14.380
1.677
643
155
2.747
17
28
103.524
29.675
8.892
15.721
1.498
686
163
2.678
13
25
114.547
TOTAL 252.364 266.109 293.328 310.819 316.023
Sumber : Kementerian Keuangan RI dan Bank Indonesia, 2017 (Diolah)
111
3. Keunggulan Penerapan Sukuk Negara (SBSN)
Dalam suatu perekonomian defisit anggaran dan utang nasional
memang suatu hal yang wajar, persoalannya adalah bagaimana dapat
menjaga defisit anggaran pada tingkat yang aman sehingga defisit tersebut
masih dapat dicarikan pembiayaannya. Penjelasan Pasal 12 ayat 3
Undang-UndangNomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
menyebutkan bahwa defisit anggaran dibatasi maksimal sebesar 3 persen
dan utang maksimal 60 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Keadaan defisit anggaran Indonesia masih dibawah batasan yang
diamanatkan undang-undang, namun yang menjadi masalah adalah defisit
anggaran yang dibiayai dengan utang dalam jangka panjang akan
mempersempit ruang gerak fiskal (Nasrullah, 2015 : 53).
Berdasarkan Informasi APBN 2016, pembayaran bunga APBN
2016 yakni 91% untuk utang dalam negeri nominalnya sebesar Rp 168,5
Triliun dan 9% untuk utang luar negeri nominalnya sebesar Rp 16,4
Triliun. Kebijakan pembayaran bunga utang 2016 ditujukan untuk
memenuhi kewajiban pemerintah untuk menjaga kredibilitas dan
kesinambungan pembiayaan serta untuk menjaga efisiensi pembayaran
bunga utang, antara lain melalui pemilihan komposisi instrumen utang dan
melaksanakan transaksi lindung nilai (Direktorat Penyusunan APBN,
2016).
112
3.1 Sukuk sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan
Saat ini pemerintah telah memiliki berbagai instrumen sebagai sumber
pembiayaan anggaran. Instrumen tersebut diantaranya adalah pinjaman
langsung (direct loan) dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) atau
government securities. Dengan mempertimbangkan faktor risiko dan biaya
utang, dalam sepuluh tahun terakhir pemerintah lebih banyak
menggunakan penerbitan SBN sebagai instrumen pembiayaan defisit.
Penerbitan SBN memberikan kebebasan bagi pemerintah dalam
menggunakan dana hasil penerbitan SBN tersebut. Selain itu, penerbitan
SBN juga dapat digunakan untuk mengoptimalkan dana masyarakat
Indonesia yang berada di lembaga keuangan domestik. Sukuk Negara
dapat turut memperkaya efek syariah yang diperdagangkan di pasar modal
syariah, sehingga dapat mengembangkan, memperkuat dan meningkatkan
peran sistem keuangan berbasis syariah di dalam negeri (Nasrullah, 2015 :
57).
3.2 Sukuk Menarik Investor Dalam dan Luar Negeri
Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan dan pendidikan, masyarakat
Indonesia saat ini telah dikategorikan dalam masyarakat kelas menengah
dengan tingkat pendapatan perkapita yang semakin tinggi. Meningkatnya
kemakmuran tersebut selain berdampak pada kenaikan konsumsi, juga
berdampak terhadap kebutuhan instrumen investasi. Sebagai negara
dengan penduduk muslim terbesar di dunia, masyarakat Indonesia juga
semakin menyadari pentingnya berinvestasi sesuai dengan kaidah hukum
113
Islam (Haryanto, 2016). Kondisi inilah yang menjadi kekuatan dan
peluang penerapan serta pengembangan sukuk negara, agar masyarakat
dapat berinvestasi sesuai hukum Islam serta berkontribusi aktif dalam
pembangunan Negara. Selain itu, melihat perkembangan dan penerapan
sukuk negara dinegara-negara lain, peluang meraih investor asing pun
cukup besar yakni dari negara-negara muslim yang memiliki kelebihan
dana dari penjualan minyak (wawancara langung dengan Manggiarto,
2017).
3.3 Sukuk Mengurangi Ketergantungan Utang Luar Negeri
Menurut Joedo, 2004 dalam Tambunan (2008), besarnya akumulasi
utang luar negeri yang diwariskan oleh pemerintah orde baru, memaksa
pemerintah mengatur secara khusus dan mengubah paradigma mengenai
penanganan pinjaman luar negeri yang tertuang dalam Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) tahun 1999-2004. Kebijakan pemerintah
ditekankan untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri
(Tambunan, 2008 : 265).
Kebijakan mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri
tertuang dalam 4 butir arah kebijakan ekonomi, yakni : (1) butir 7 :
mengembangkan kebijakan fiskal dengan memerhatikan prinsip
transparansi, disiplin, keadilan, efisiensi dan efektivitas untuk menambah
penerimaan negara dan mengurangi ketergantungan dana dari luar negeri;
(2) butir 9 : mengoptimalkan penggunaan pinjaman luar negeri pemerintah
untuk kegiatan ekonomi produktif yang dilaksanakan secara transparan,
114
efektif dan efisien. Mekanisme dan prosedur peminjaman luar negeri harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan di atur dengan
Undang-undang; (3) butir 23 : menyehatkan APBN dengan mengurangi
defisit anggaran melalui peningkatan disiplin anggaran, pengurangan
subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan penerimaan
pajak progresif yang adil dan jujur serta penghematan pengeluaran; (4)
butir 26 : melakukan renegosiasi dan mempercepat restrukturisasi utang
luar negeri bersama-sama dengan Dana Moneter Internasional, Bank
Dunia, lembaga internasional lainnya, dan negara donor dalam
memerhatikan kemampuan bangsa dan negara yang dilaksanakan secara
transparan dan dikonsultasikan dengan DPR (Tambunan, 2008 : 265- 266).
Selain melalui GBHN, amanat untuk mengurangi ketergantungan
terhadap pinjaman luar negeri juga tertuang dalam Program Pembangunan
Nasional (PROPENAS) 2000-2004/ Undang-Undang No.25 tahun 2000
yang berisi pedoman secara rinci pengelolaan utang pemerintah serta
Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara dan
Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2003 tentang pengendalian jumlah
kumulatif defisit APBN dan APBD, serta batasan maksimal defisit
anggaran yakni maksimal 3 persen dari PDB dan jumlah pinjaman
pemerintah pusat dan daerah maksimal 60 persen dari PDB (Tambunan,
2008 : 266- 267).
Agar utang tidak membebani ruang gerak fiskal, sejak tahun 2005
SBN dijadikan sumber utama dalam pembiayaan defisit anggaran,
115
kenaikan SBN periode 2010-2014, antara lain untuk refinancing utang
lama yang jatuh tempo, dan refinancing dilakukan dengan utang baru yang
mempunyai terms & conditions yang lebih baik. SBN yang selama ini
digunakan adalah SUN (Surat Utang Negara) yang terdiridari Obligasi
Negara dan Surat Perbendaharaan Negara; dan SBSN (Surat Berharga
Syariah Negara) atau Sukuk Negara (Nasrullah, 2015 : 54).
SUN (Surat Utang Negara) menurut UU No. 24 tahun 2002, pasal
1 adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata
uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa
berlakunya. Sedangkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) menurut
UU No. 19 Tahun 2008 pasal 1 adalah surat berharga negara yang di
terbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan
aset SBSN baik dalam bentuk mata uang rupiah ataupun mata uang asing,
dimana aset SBSN adalah Barang Milik Negara.
Setidaknya ada empat keuntungan menggunakan SBN untuk
menutup pembiayaan defisit APBN dibandingkan menggunakan ULN.
Pertama, lebih transparan karena mudah untuk mendapatkan benchmark
price di pasar modal yang selalu update setiap saat. Kedua, lebih
fleksibel karena dapat dilakukan setiap saat dengan instrumen yang
semakin beragam. Ketiga, lebih akuntabel karena melalui public offering
tanpa proses negosiasi yang lama dan eksklusif. Keempat, lebih murah
116
karena struktur biaya SBN lebih sederhana dibandingkan dengan
pinjaman luar negeri pada umumnya (Sutedi, 2009).
Pemanfaatan sukuk dapat lebih diarahkan untuk menutup defisit
anggaran pemerintah dan dapat mengakhiri ketergantungan skema
pembiayaan pembangunan yang selama ini berbasis utang karena
perangkap utang dapat mereduksi alokasi anggaran belanja pembangunan
dan kesejahteraan rakyat. Pembiayaan melalui pinjaman luar negeri yang
berjalan sekarang hanya menambah beban utang dan sekaligus cicilan
bunganya serta meningkatnya arus modal ke luar negeri (Rinaldhy,
2015).
Berikut Laporan Kementerian Keuangan RI, DJPPR mengenai posisi
utang Pemerintah Pusat periode 2012 – 2017.
Gambar 6.7 : Posisi Utang Pemerintah Pusat periode 2012 – 2017.
Sumber : DJPPR; Kemenkeu RI, 2017 (Diolah)
117
Dari data tersebut kita bisa lihat porsentase posisi SBN meningkat
dari tahun ke tahun, sedangkan porsentase posisi pinjaman mengalami
penurunan secara signifikan. Bahkan ditahun 2016 nilai SBN sudah
mencapai 79 % terhadap total utang pemerintah pusat dan sedangkan nilai
pinjaman hanya mencapai 21 %. Untuk lebih jelasnya mengenai
porsentase nilai SBN diuraikan dalam tabel berikut :
Tabel 6.6 : Porsentase Pertumbuhan SBN dan SUN tahun 2012-2016
Tahun 2012 2013 2014 2015 2016
SBSN 57,1 (4,2%) 53,2 (3,2 %) 75,5 (3,9 %) 118,5 (4,9 %) 179,9 (6,6
%)
SUN 1.309,9 (95,8
%)
1.607,8
(96,8 %)
1.885,5
(96,1 %)
2.291,5
(95,1 %)
2.554,1
(94,4 %)
Total SBN 1.361 1.661 1.931 2.410 2.734
Sumber : Direktorat Pembiayaan Syariah, 2017 (Diolah)
Porsentase pertumbuhan SBSN meningkat setiap periodenya,
meskipun nilai dan porsentasenya terbilang masih sangat kecil. Namun hal
ini menunjukkan perkmbangan poitif dan peluang yang besar; bukan hal
yang tidak mungkin jika dimasa yang akan datang SBSN menjadi
instrumen utama sumber pembiayaan sekaligus mengurangi
ketergantungan pinjaman luar negeri.
4. Analisis SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, Threath)
Untuk melihat sejauh mana sukuk negara (SBSN) dapat memberikan
kontribusi terhadap pembiayaan utang luar negeri Indonesia, dilakukan
analisis dengan metode SWOT. Hal ini dilakukan untuk melihat kekuatan,
kelemahan, Peluang, dan ancaman penerbitan sukuk negara (SBSN).
118
4.1 Strength (Kekuatan)
Kekuatan dalam penerbitan sukuk negara yakni : (1) Penerbitan UU
No. 19 Tahun 2008 menjadi landasan hukum yang kuat penerbitan
SBSN; (2) Kebutuhan diversifikasi pembiayaan defisit anggaran
merupakan kekuatan dari penerbitan sukuk negara (SBSN) yang
bertujuan untuk mengantisipasi rencana akan dikuranginya
pembiayaan yang berasal dari luar negeri (hasil wawancara dengan
Manggiarto Dwi Sadono, 2017). Kekuatan lainnya yakni : (3) Adanya
kebutuhan mendesak pemerintah untuk mngatasi kekurangan dana
pembangunan infrastruktur di Indonesia; (4)Underlying asset sukuk
menjauhkan unsur ketidakjelasan dan ketidakpastian dalam investasi;
(5) Lembaga keuangan dan instrumen syariah lainnya sudah banyak
berdiri dan berkembang; (6) Minat mayarakat terhadap bisnis syariah
semakin meningkat (Pradono, 2010 : 6 – 7). (7) Selain itu,
pembiayaan dengan SBSN lebih menggunakan prinsip kehati-hatian
dibandingkan pembiayaan dengan pinjaman / utang (Nasrullah, 2015)
4.2 Weaknes (Kelemahan)
Kelemahan dari SBSN antara lain : (1) Pasar keuangan syariah di
Indonesia tidak terlalu liquid, (2) Belum adanya kepastian masalah
perpajakan terkait dengan transaksi yang melibatkan investor sukuk
(Sunarsip (2007) dalam Pradono, 2010), (3) Belum adanya koordinasi
yang baik antar pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan SBSN; (4)
Kurangnya sosialiasi pada pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan
119
sukuk; (5) Laporan The Accounting And Auditing Organiation for
Islamic Financial Institution (AAIFI, 2006) menyebutkan bahwa 85 %
sukuk yang beredar belum syariah (Pradono, 2010 : 7). Selain itu, (6)
sukuk negara nialinya masih sangat kecil dibandingkan dengan utang
luar negeri Indonesia (hasil wawancara dengan Roikhan, 2017).
4.3 Opportunity (Peluang)
Peluang penerbitan sukuk negara yakni : (1) Sekitar 88 % penduduk
Indonesia muslim menjadi peluang pasar yang besar untuk penerbitan
SBSN; (2) Tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan syariah di
Indonesia; (3) Penentuan harga sukuk tidak menggunakan instrumen
bunga sehingga merupakan binis yang halal untuk muslim (Pradono,
2010 : 7); (4) Seiring dengan semakin meluasnya penggunaan prinsip
syariah di pasar keuangan dalam dan luar negeri, potensi investor asing
yang ditandai dengan semakin banyaknya negara yang menerbitkan
instrumen pembiayaan berbasis syariah dan semakin meningkatnya
jumlah investor dalam instrumen keuangan syariah menjadi peluang
penerbitan sukuk (Rinadlhy, 2015).
4.4 Threath (Ancaman)
Faktor ancaman pertama, yaitu kebanyakan produk keuangan syariah
bersifat “debt-based” atau “debt-likely” seharusnya “profit-loss
sharing” (Sunarsip, 2007). Ancaman kedua, pricing sukuk pun
cenderung mengikuti bond di pasaran, sehingga interest based bond
benchmark ini mengundang kontroversi di industri keuangan Islam
120
sendiri (Yudi, 2010). Ancaman ketiga, Sukuk pada saat ini menganut
instrumen pasar dan akibatnya menjadi lebih mahal (Agus, 2010).
Ancaman keempat, SBSN dapat menyerupai obligasi konvensional
jika tidak adanya pengawasan yang ketat dari DSN-MUI. Ancaman
kelima, pada saat ini birokrasi penerbitan Sukuk menjadi agak rumit
karena ada beberapa tahap yang harus dilalui sesuai dengan ketentuan
syariah yang belum tersosialisasi dengan baik (Pradono, 2010 : 7 - 8).
Ketidakpahaman masyarakat terutama investor terhadap sukuk
menjadi kendala dan ancaman penerapan sukuk (Rinadlhy, 2015).
5. Strategi Meningkatkan Pertumbuhan dan Perkembangan SBSN.
Dalam pelaksanaannya perlu adanya peningkatan asfek kepatuhan
syariah dalam akad yang digunakan dalam penerbitan SBSN, dan perlu
dipahami bahwa kepatuhan terhadap prinsip syariah harus mampu
mengupayakan terwujudnya asfek formal berbarengan dengan asfek
substansi ekonomi syariah (Soemitra, 2014 : 335).
Produk syariah dipasar modal masih perlu masih perlu didorong
secara lebih mendalam agar tidak sekedar berhenti pada regulasi dan
upaya menjadikan produk syariah sebagai sarana investasi yang halal,
tetapi juga mendorong investasi syariah sebagai alternatif investasi
nasional yang beriorientasi pada pemenuhan tujuan syariah yang
mnjalankan fungi pembinaan masyarakat, menegakkan keadilan, dan
121
mengupayakan pemerataan kemaslahatan ekonomi (M.A. Choudhury
(2005) dalam Soemitra, 2014 : 347).
Meningkatkan peranan pengawasan DSN MUI terhadap SBSN yang
diterbitkan agar sesuai dengan ketentuan dan kepatuhan syariah.
Penyederhanaan sistem pelaksanaan teknis penerbitan Sukuk tanpa keluar
koridor peraturan syariah, dan kemudian adanya peningkatan sosialisasi
SBSN kepada pihak-pihak yang terlibat didalamnya (Pradono, 2010 : 8).
Selain itu, nilai sukuk negara menurut laporan Direktorat Pembiayaan
Syariah (2016) nilainya sebesar 17 % dari total nilai SBN, sedangkan 83%
SBN diperoleh dari SUN. Hal tersebut menunjukkan bahwa; meskipun
sukuk negara mengalami peningkatan secara signifikan, akan tetapi
nilainya masih terbilang kecil. Oleh karena itu perlu
menumbuhkembangkan pasar keuangan syariah Domestik dan
Internasional, diantaranya dengan melakukan sosialisasi dan edukasi
mengenai SBSN, harmonisasi perpajakan, penyesuaian akuntansi, regulasi
dan harmonisasi manajemen (Soemitra, 2014 : 344).
122
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perkembangan sukuk dapat dilihat dari beberapa asfek,
diantaranya ;
a. Perkembangan sukuk negara/ SBSN dilihat dari tujuan
penerbitan; pada awalnya sukuk negara hanya ditujukan untuk
menutupi defisit anggaran, namun sekarang sukuk negara
sudah dimanfaatkan untuk diversifikasi sumber pembiayaan,
perluasan basis investor, mendorong perluasan pasar keuangan
syariah, mengelola portofolio pembiayaan negara, optimalisasi
pemanfaatan dan mendorong tertib pengelolaan barang milik
negara, dan pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur
dalam sektor energi, telekomunikasi, perhubungan, pertanian,
industri manufaktur, dan perumahan rakyat.
a. Perkembangan sukuk negara dilihat dari jenis/ seri sukuk yang
diterbitkan; Dilihat dari jumlahnya, Indonesia sudah
menerbitkan 7 jenis sukuk, namun yang kini beredar hanya 6
jenis. Seri sukuk tersebut antara lain : IFR, PBS, SNI, SDHI,
SPNS dan ST. Pemerintah tidak hanya menerbitkan sukuk
domestik, namun juga menerbitkan sukuk internasional yakni
sukuk seri SNI, kemudian pemerintah menerbitkan sukuk
123
untuk individu yakni sukuk Ritel (2009) dan sukuk Tabungan
tahun 2016. Jenis sukuk tersebut lebih banyak dibandingkan
dengan SUN yang hanya mmiliki 5 jenis. Selain itu metode
penjualan serta sktruktur akad sukuk negara pun berkembang
semula diterbitkan menggunakan metode bookbuilding, namun
sekarang sudah ditambah dengan metode lelang dan private
placement. Terdapat tiga jenis struktur akad sukuk yakni;
Ijarah sale and lease back, ijarah al-khadamat, dan ijarah
asset to be leased.
Akad yang digunakan tersebut masih diniali kurang memenuhi
kepatuhan syariah.
b. Perkembangan sukuk negara dilihat dari total emisi dan
outstanding; Nilai emisi dan outstanding sukuk negara terus
mengalami peningkatan secara signifikan. Meskipun demikian
nialinya masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah
Utang Luar Negeri Indonesia, Selain itu jumlah Outstanding
sukuk negara masih sangat kecil yakni sekitar 17 % terhadap
SBN sedangkan 83 % berasal dari SUN.
2. Kebijakan pemerintah dalam mengembangkan sukuk negara/
SBSN di Indonesia, yakni mengikuti pola kebijakan
pengembangan ekonomi syariah secara umum, yaitu dengan
pendekatan integrasi parsial. Produk syariah dikelola
124
berdampingan atau parallel sekaligus berkompetisi dengan produk
konvensional. Dalam pola ini kebijakan diarahkan pada
pengembangan produk syariah dengan batasan-batasan syariah
sebagai standar kualitasnya, menggunakan infrastruktur keuangan
konvensional yang sudah ada. Adapun kebijakan yang sudah
dilaksanakan sebagai berikut :
b. Kebijakan Institusional ; dibentuknya lembaga keuangan dan
instrumen syariah, seperti : danareksa syariah, Jakarta Islamic
index (JII), dan pasar modal syariah,
c. Dibentuknya Dewan yang menaungi dan mengawasi
penerbitan dan praktik sukuk negara serta instrumen syariah
lainnya dengan Fatwa DSN-MUI beserta Opini DSN-MUI.
d. Kebijakan pengembangan/ modifikasi produk sebelumnya;
terbitnya beberapa jenis dan seri sukuk negara. Pemerintah
tidak hanya menerbitkan sukuk domestik, namun juga
menerbitkan sukuk internasional yakni sukuk seri SNI pada
tahun 2009, kemudian pemerintah menerbitkan sukuk untuk
individu yakni sukuk Ritel (2009) dan sukuk Tabungan tahun
2016.
e. Kebijakan Regulasi ;terbitnya UU No.19 tahun 2008 tentang
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Peraturan Pemerintah
(PP) serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang SBSN
dan pelaksanaanya.
125
Dilihat dari regulasinya pemerintah lebih mengandalkan SUN
dibandingkan SBSN hal ini terlihat dari outstanding sukuk
dalan SBN
3. Kontribusi sukuk negara dalam mengurangi ketergantungan
pembiayaan pada Utang Luar Negeri teraplikasikan dengan sukuk
dijadikan salah satu instrumen SBN yakni terbitnya UU No. 19
Tahun 2008. Sejak tahun 2005 SBN diprioritaskan menjadi
sumber utama defisit anggaran. Pertumbuhan sukuk negara
cenderung meningkat setiap tahunnya, namun nilainya masih
sangat kecil jika dibandingkan dengan SUN dan total Utang Luar
Negeri Indonesia. Oleh karena itu perlu adanya tinjauan atau revisi
kembali akad yang digunakan dalam penerbitan SBSN, perlu
adanya pos khusus pengelolaan dan alokasi dana SBSN agar tidak
tercampur dengan sumber pembiayaan lain. Selain itu SBSN perlu
ditingkatkan dari segi nila agar SBN tidak terlalu didoominasi oleh
SUN.
B. Saran
Dalam pelaksanaanya SBSN masih harus ditumbuhkembangkan
dalam beberapa asfek, berikut saran penulis sampaikan kepada
pihak :
126
a. DSN-MUI : perlu mengevaluasi dan merevisi akad yang
digunakan dalam penerbitan SBSN, karena dinilai masih
kurang memenuhi kepatuhan syariah.
b. Direktorat Pembiayaan Syariah : perlu adanya transparansi,
sosialisasi, edukasi dan komunikasi mengenai penerbitan dan
pengelolaan SBSN terhadap masyarakat dan pihak-pihak yang
terkait.
c. DJPPR : perlu memberikan ruang yang lebih besar terhadap
penerbitan SBSN serta mengoptimalkan peran fungsi SBSN
dalam pembiayaan.
d. Pihak Anggaran : Perlu adanya transparansi dan pos-pos
alokasi yang jelas penggunaan dana SBSN.
e. Peneliti selanjutnya : perlu adanya pengembangan pembahasan
lebih mendalam menegnai SBSN dengan sumber dan literatur
lainnya, sebagai bentuk sosialisasi dan edukasi kepada
masyarakat.
127
Daftar Pustaka
Al Maulidi, Muhammad Iqbal. Pengaruh Utang Luar Negeri dan Penanaman
Modal Asing (PMA) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia
Periode 1990-2011. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
Amirin, Tatang M. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada, 1995.
Amalia, Euis. Keadilan Distribusi dalam Ekonomi Islam. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2009.
Anjari, Arum Shepteoreni. Analisis Pengaruh Tingkat Pembiayaan APBN,
Produk Domestik Bruto (PDB) , Inflasi, dan Tingkat Suku Bunga BI Rate
Terhadap Penerbitan Sukuk Negara (SBSN) di Indonesia. Jakarta : UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
Direktorat Pembiayaan Syariah, 2017. Milestone Sukuk Negara. Diakses
melaluihttp://www.djppr.kemenkeu.go.id/uploads/files/images/Milestone
SukukNegara.jpg
Direktorat Penyusunan APBN. Informasi APBN 2016. Jakarta : Direktorat
Jenderal Anggaran, 2016. diakses melaluihttp ://www. kemenkeu. go.id /
apbn2016 pada 3 Mei 2017.
Diyanti. Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Alokasi Dana Sukuk Dalam APBN.
Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Gusniarti. Transaksi Sekuritas Syariah di Pasar Sekunder Perspektif Ekonomi
Islam. Jakarta : Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2012.
Gustani. Daftar Lengkap Bank Syariah di Indonesia. Diakses melalui : https:
//akuntansikeuangan.com/daftar-lengkap-bank-syariah/ pada 12 Mei
2017.
Haryanto, Eri. Peluang Pembiayaan Infrastruktur Melalui Sukuk Negara. Diakses
melalui http: //www.kemenkeu.go.id/sites/ default /files/Peluang
PembiayaanInfrastrukturmelaluiSukukNegara.pdf diaksespada 12 Mei
2017.
Haryanto, Eri. Peran Sukuk Negara sebagai Instrumen Fiskal dan Moneter.
Diakses melalui : https: //www .kemenkeu. go.id/sites /default/files/ Peran
SukukNegarasebagaiInstrumenFiskaldanMoneter_0.pdf. paa 7 Juli 2017.
Hidayatullah, Agus dkk. Al Jamil Al-Qur’an Tajwid Warna, Terjemah Perkata,
Terjemah Inggris. Bekasi : Cipta Bagus Segara, 2012.
128
Hulwati. Ekonomi Islam, Teori dan Praktiknya dalam perdagangan Obligasi
Syariah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia. Jakarta : Ciputat Press
Group, 2006.
Huda, Nurul dkk. Ekonomi Makro Islam, Pendekatan Teoritis. Jakarta : Kencana,
2009.
Indrawan, Rully & Poppy Yaniawaty. Metode Penelitian : Kuantitatif, Kualitatif
dan Campuran untuk Manajemen, Pembangunan, dan Pendidikan.
Bandung : Refika Aditama, 2004.
Infosyariah.com. Jenis Sukuk Negara. Diakses melalui : http://www.infosyariah .com/2016/12/mengenal-jenis-sukuk-negara-indonesia.html pada 12 Mei
2017.
Iqbal, Zamir & Abbas Mirakhor. Pengantar Keuangan Islam : Teori dan Praktik.
Jakarta : Prenadamedia Group, 2008.
Jaelani, Aan. Manajemen Pengeluaran Publik di Indonesia : Tinjauan Ekonomi
Islam pada APBN. Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, IAIN Syekh
Nurjati, 2017. Cirebon. Di akses melalui : file: ///G: / ManajemenKeu
PublikIndonesia 2017 (1). pdf pada 20 Maret 2017.
Jarkasih, Muhamad & Aam Slamet Rusydiana. Perkembangan Pasar Sukuk:
Perbandingan Indonesia, Malaysia dan Dunia. 2009. Diakses melalui :
https://saepudinonline.wordpress.com/2/07/17/ perkembangan-pasar-
sukuk-perbandingan-indonesia-malaysia-dan-dunia. pada 25 April 2017.
Karim, Adiwarman. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2013.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam suatu Kajian Kontemporer. Depok : Gema
Insani, 2007.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Makro Islam. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2007.
Kementerian Keuangan RI & Bank Indonesia. Statistik Utang Luar Negeri
Indonesia. Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pengelolaan
Pembiayaan dan Resiko. Vol.l, 2010. Diakses melalui
file:///C:/Users/librarydi01/ Downloads / SULNI%20Apr17.pdf pada 03
Mei 2017.
Kementerian Keuangan RI & Bank Indonesia. Statistik Utang Luar Negeri
Indonesia. Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pengelolaan
Pembiayaan dan Resiko. Vol.Vlll, 2017. Diakses melalui
file:///C:/Users/librarydi01/ Downloads / SULNI%20Apr17.pdf pada 03
Mei 2017.
129
Laporan Triwulan OJK. Total Emisi dan Outstanding Sukuk Negara. Diakses
melalui : http://www.ojk.go.id/Files/201506/ LaporanTriwulanan I2015 _
1435022752.pdf pada 23 Mei 2017.
Liza, Novia. Analisis Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Underlying
Asset Sukuk Negara. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Mannan, Muhammad Abdul. Ekonomi Islam: Teori dan Praktek. Jakarta:
Intermasa, 1992.
Mannan, Muhammad Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT.
Dana bhakti wakaf, 1995.
M. Said, Muhammad dkk. Strategic Management, Understanding and its
Aplication : The Case of the Bank Muamalat Business. International
Journal of Scientific Research. Vol : 2 (5), May 2013.
M. Said, Muhammad & Kaviyarasu E. Prosperity and Sosial Justice
Consequences of Applying Ethical Norms of Islamic Finance: Literature
Review. Journal of Economics and Sustainable Development. Vol.5 No.2,
2014.
Mustopadidjaja. Bappenas dalam Sejarah perencanaan Pembangunan Indonesia
1945-2025. Jakarta : Paguyuban Alumni Bappenas, 2012.
Nasrullah, Aan. Studi Surat Berharga Negara : Analisis Komparatif Sukuk
Negara dengan Obligasi Negara dalam Pembiayaan Defisit APBN.
Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul U‟la (STAIM), 2015.
Pradono & P. Adiatna. Peluang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebagai
Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Transportasi. Simposium XIII
FSTPT Unika Soegijapranata, 2010.
Rama, Ali. Sistem Ekonomi dan Keuangan Syariah. Jakarta : Pusat Penelitian dan
Penerbitan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Rinaldy, Moch.Azkha. Kajian Terhadap Penerapan Sukuk Sebagai Alternatif
Sumber Pembiayaan negara. Jurnal Ilmiah. Universitas Brawijaya,
Malang 2015.
Rodoni, Ahmad. Investasi Syariah. Jakarta : Lembaga Penelitian UIN Jakarta,
2009.
Rowland. Hutang Luar Negeri dan Pembiayaan Pembangunan di Indonesia.
diakses melalui : http://rowland_pasaribu.staff.gunadarma.ac.id/
Downloads/folder/0.2 pada 12 Mei 2017.
Salim, Fahmi. Konsep dan Aplikasi Sukuk Negara dalam Kebijakan Fiskal di
Indonesia. Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
130
Sholahuddin. Asas-asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007.
Soemitra, Andri. Masa Depan Pasar Modal Syariah di Indonesia. Jakarta,
Prenadamedia Group, 2014.
Suprayitno, Eko. Ekonomi Mikro Perspektif Islam. Malang : UIN-Malang Press,
2008.
Tambunan, Tulus T.H. Pembangunan Ekonomi & Utang Luar Negeri. Jakarta :
Rajawali Pers, 2008.
131
LAMPIRAN
Hasil Wawancara
Narasumber : Manggiarto Dwi Sadono
Jabatan : Kepala Seksi Pengembangan Instrumen dan Kuangan Syariah
Tempat : Gedung Frans Seda Lt.5 Jln. Dr. Wahidin No.1 Jakarta Pusat.
Tanggal : 21 Juni 2017
1. Pertanyaan : Apakah latar belakang pemerintah menerbitkan SBSN ?
Jawaban : Latar belakang pemerintah menerbitkan SBSN yakni karena
adanya defisit APBN, untuk mendukung perkembangan ekonomi syariah,
untuk memferifikasikan pembiayaan, dan adanya peluang dana dari
negara-negara yang mmpunyai kelebihan dana akibat kenaikan harga
minyak.
2. Pertanyaan : Sejak kapan SBSN menjadi salah satu sumber pembiayaan
defisit anggaran?
Jawaban : SBSN terbit dan menjadi salah satu sumber pembiayaan defisit
anggaran sejak tahun 2008 – karang.
3. Pertanyaan : Berapa Jenis/ seri SBSN yang di terbitkan oleh pemerintah
hingga tahun 2016?
Jawaban : Ada 7 jenis / seri, yang dipasarkan dipasar domestik yakni
Islamic Fixed Rate (IFR), Sukuk Ritel (SR), Sukuk Dana Haji Indonesia
(SDHI), Sukuk Project Based (PBS), Surat Perbendaharaa Syariah Negara
(SPSN), Sukuk Tabungan (ST) dan yang dipasarkan dipasar Internasional
yakni Sukuk Negara Indonesia (SNI)/ Sukuk Valas.
4. Pertanyaan : Bagaimana metode dalam penerbitan SBSN ?
132
Jawaban : Dalam penerbitan SBSN terdapat tiga metode, yakni :
Bookbuilding, Lelang, dan Private Placement.
5. Pertanyaan : Akad apa saja yang digunakan dalam penerbitan SBSN ?
Jawaban : Akadnya ada 4 yaitu Ijarah Sale and Lease Back
(menggunakan BMN), Ijarah al- Khadamat (Jasa Layanan Haji), Ijarah
Asset To Be Leased (Proyek) dan Wakalah.
6. Pertanyaan : Siapa saja pihak yang terlibat dalam penerbitan SBSN?
Jawaban : Pihak yang terlibat dalam penerbitan SBSN yaitu Direktorat
Pembiayaan Syariah (DJPPR), Pengelola Anggaran, Pengelola BMN,
Bank Indonesia, DSN-MUI, DPR dan Bappenas.
7. Pertanyaan : Apakah payung hukum yang menaungi penerbitan dan
pelaksanaan SBSN di Indonesia?
Jawaban : UU No.19 Tahun 2008, Peraturan Menteri Keuangan...
8. Pertanyaan : Barang Milik Negara dan proyek apa saja yang dijadikan
underlying asset dalam penerbitan SBSN?
Jawaban : Yang dijadikan underlying asset diantaranya Gedung
Kemenkeu, Proyek pengairan irigasi, kampus dan sebagainya.
9. Pertanyaan : Apakah sudah terdapat pembagian pos-pos dalam hal
pengalokasian dana SBSN?
Jawaban : Tidak ada. Dana sukuk masuk dalam 1 rekening, akan
tetapi ada pencatatannya. Dana tersebut kemudian dialokasikan oleh pihak
anggaran.
10. Pertanyaan : Kendala apa saja yang di alami dalam penerbitan SBSN
beserta kebijakan yang telah dilaksanakan?
133
Jawaban : Kendala teknis terdapat pada BMN membutuhkan administrasi
terhadap DPR yang dipengaruhi isu-isu dan perpolitikan.
11. Pertanyaan : Apakah kelebihan SBSN dalam pembiayaan negara,
dibandingkan pembiayaan dengan utang luar negeri?
Jawaban : SBSN itu lebih independent, tidak terikat oleh perjanjian
dan ketentuan selayaknya pembiayaan dengan pinjaman/utang serta dari
segi marketnya SBSN lebih luas dibandingkan dengan pinjaman.
12. Pertanyaan : Bagaimana tingkat pertumbuhan SBSN dilihat dari total
emisi dan outstanding nya?
Jawaban : Pertumbuhannya saya jawab dengan data saja ya,berikut
data pertumbuhan SBSN (dalam Triliun) :
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
IFR 4,7 1,3 6,2 4,6 0,4 - - - -
SR - 5,6 8,0 7,3 13,6 15,0 19,3 22,0 31,5
SNI - 7,0 - 9,0 9,6 17,2 17,7 26,4 33,4
SDHI - 2,7 12,8 11,0 15,3 - 12,9 4,5 1,0
SPSN - - - 1,3 1,4 11,7 16,2 14,3 17,0
SPNS-NT - - - - - - - 5,1 2,5
PBS - - - - 16,7 9,3 9,4 46,2 19,9
ST - - - - - - - - 2,6
Total 4,7 16,6 27,0 33,3 57,1 53,2 75,5 118,5 179,9
13. Pertanyaan : Bagaimana relasi antara pertumbuhan SBSN dan ULN
Indonesia selama periode 2008-2016?
Jawaban : SBSN dan SUN sebagai instrumen SBN akan terus tumbuh
mnjadi sumber utama dalam pembiayaan, sedangkan ULN dari
pertumbuhannya cenderung menurun. Pemerintah menarik dana ULN
dengan jumlah yang lebih sedikit dari jumlah yang dianggarkan. Adapun
134
jumlah ULN yang terus meningkat setiap tahunnya, itu dikarenakan defisit
APBN yang mengalami peningkatan setiap tahunnya.
135
Hasil Wawancara
Narasumber : Prof. Dr. Ahmad Rodoni
Jabatan : Dosen Fakultas Ekonomi dan Binis UIN Jakarta
Tempat : Kantor / Ruang kerja dosen prodi perbankan syariah Lt.3 FEB
UIN Jakarta.
Tanggal : 13 Juni 2017
1. Pertanyaan : Apakah latar belakang pemerintah menerbitkan SBSN ?
Jawaban : Latar belakang pemerintah menerbitkan SBSN untuk
menambah APBN dan membiayai infratruktur
2. Pertanyaan : Sejak kapan SBSN menjadi salah satu sumber pembiayaan
defisit anggaran?
Jawaban : Sukuk mulai ramai sekitar awal tahun 2010-an.
3. Pertanyaan : Akad apa saja yang digunakan dalam penerbitan SBSN
Jawaban : Akad yang digunakan itu ada mudharabah dan ijarah
4. Pertanyaan : Siapa saja pihak yang terlibat dalam penerbitan SBSN?
Jawaban : Yang terlibat itu pemerintah, ada wali amanat dan investor.
5. Pertanyaan : Barang Milik Negara dan proyek apa saja yang dijadikan
underlying asset dalam penerbitan SBSN?
Jawaban : Barang Milik Negara yang dijadikan underlying asset
diantaranya ; Istora Senayan, Lapangan Banteng dan sekarang bisa saja
proyek yang dijadikan underlying asset.
6. Pertanyaan : Kendala apa saja yang di alami dalam penerbitan SBSN ?
Jawaban : Kendalanya bagaimana meyakinkan investor dan melihat
pasar apakah sedang dalam kondisi baik atau tidak.
136
7. Pertanyaan : Apakah kelebihan SBSN dalam pembiayaan negara ?
Jawaban : kelebihan SBSN yaitu lebih menarik investor karena
instrumen keuangan syariah sedang naik daun, selain itu SBSN lebih
syar‟i karena tidak mengandung riba.
137
Hasil Wawancara
Narasumber : Dr. Roikhan Mochammad Aziz, MM
Jabatan : Dosen Fakultas Ekonomi dan Binis UIN Jakarta
Tempat : Kantor / Ruang kerja dosen prodi Ekonomi syariah Lt.4 FEB
UIN Jakarta.
Tanggal : 14 Juni 2017
1. Pertanyaan : Apakah latar belakang pemerintah menerbitkan SBSN ?
Jawaban : Latar belakang Penerbitan SBSN yaitu kebutuhan menutup
defisit APBN.
2. Pertanyaan : Sejak kapan SBSN menjadi salah satu sumber pembiayaan
defisit anggaran?
Jawaban : Sejak tahun 2008.
3. Pertanyaan : Berapa Jenis/ seri SBSN yang diterbitkan oleh pemerintah
hingga tahun 2016?
Jawaban : SBSN yang telah diterbitkan ada 7 jenis/ seri (IFR, SR, SNI,
PBS, SDHI, SPNS, dan ST).
4. Pertanyaan : Akad apa saja yang digunakan dalam penerbitan SBSN?
Jawaban : Hanya akad ijarah,
5. Pertanyaan : Siapa saja pihak yang terlibat dalam penerbitan SBSN?
Jawaban : Yang terlibat yaitu Pemerintah, Menteri Keuangan, Kemenag,
dan sebagainya.
138
6. Pertanyaan : Apakah payung hukum yang menaungi penerbitan dan
pelaksanaan SBSN di Indonesia?
Jawaban : UU Keuangan Negara, UU SBSN, dan Fatwa DSN-MUI.
7. Pertanyaan : Barang Milik Negara dan proyek apa saja yang dijadikan
underlying asset dalam penerbitan SBSN?
Jawaban : Yang dijadikan underlying asset SBSN yaitu ; Gelora Bung
Karno, Manfaat Kantor Kementerian Keuangan, Kereta Api, PLN, Jalan
Tol dan sebagainya.
8. Pertanyaan : Apakah sudah terdapat pembagian pos-pos dalam hal
pengalokasian dana SBSN?
Jawaban : Tdiak ada. Dana dikumpulkan dalam satu akun pendapatan
SBSN, dana yang sudah terkumpul tersebut kemudian dialokasikan oleh
pihak anggaran kepada pos-pos pengeluaran.
9. Pertanyaan : Kendala apa saja yang di alami dalam penerbitan SBSN ?
Jawaban : Kendalanya yaitu nilai SBSN masih relatif kecil, serta
kurangnya minat dan kepercayaan investor asing.
10. Pertanyaan : Apakah kelebihan SBSN dalam pembiayaan negara,
dibandingkan pembiayaan dengan utang luar negeri?
Jawaban : SBSN cenderung lebih berhati-hati, keuntungannya besar dan
biasanya lebih ditujukan untuk investor dalam negeri.
139
Hasil Wawancara
Narasumber : Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis
Jabatan : Dosen Fakultas Syariah dan Hukum serta anggota MUI
Tempat : Kompleks dosen UIN Jakarta.
Tanggal : 24 Juni 2017
1. Pertanyaan : Apakah latar belakang pemerintah menerbitkan SBSN ?
Jawaban : Latar belakang pemerintah menerbitkan SBSN karena adanya
UU SBSN, ekonomi Islam diakui oleh negara dan masyarakat serta
adanya interaksi dengan luar negeri yang menerbitkan sukuk hingga
perlu ada kesamaan untuk melakukan muamalah antar negara dan untuk
membantu pembiayaan dalam negeri.
2. Pertanyaan : Sejak kapan SBSN menjadi salah satu sumber pembiayaan
defisit anggaran?
Jawaban : Sejak UU SBSN terbit (tahun 2008)
3. Pertanyaan : Apakah payung hukum yang menaungi penerbitan dan
pelaksanaan SBSN di Indonesia?
Jawaban : UU SBSN an fatwa DNS-MUI.
4. Pertanyaan : Kendala apa saja yang di alami dalam penerbitan SBSN ?
Jawaban : Masih kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat
terhadap SBSN dan masih rendahnya tingkat kepercayaan investor asing
terhadap sukuk Indonesia.
5. Pertanyaan : Apakah kelebihan SBSN dalam pembiayaan negara,
dibandingkan pembiayaan dengan utang luar negeri?
140
Jawaban : SBSN diorientasikan untuk dalam negeri.