subkhan rojuli
TRANSCRIPT
1
SUBKHAN ROJULI
STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS
Diterbitkan oleh
Mer-C Publishing
2
Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS
Penulis: Subkhan Rojuli
Email : [email protected] Editor: Johanes Che Parikesit
Tata Letak: Tim Kreatif Mer-C Publishing
Sampul: Heru
Diterbitkan Oleh:
Mer-C Publishing
Alamat
PT Adhi Sarana Nusantara
Jl. Ulujami Raya no 2 Perdatam Jakarta Selatan
0852-1225-3539
E-mail: [email protected]
www.mer-c-publishing.com
Cetakan I
Jakarta, Mer-C Publishing, November 2016
106; 14 x 20 cm
ISBN : 978-602-60510-0-4
Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
Hak Cipta dilindungi Undang-undang All right reserved
3
“Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para widyaiswara LAN dan para dosen UPI Bandung yang
telah memberi bekal pengetahuan untuk mendukung penulisan buku ini. Penulis sangat menyadari bahwa bahan ajar ini jauh dari sempurna. Penulis sangat mengharapkan masukan kritik dan saran untuk bahan perbaikan, semoga
buku ini dapat bermanfaat”.
4
DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMA KASIH ........................ 3
DAFTAR ISI ................................................ 4
BAB I. KONSEP PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN IPS .......................... 8
A. Pengertian Pembelajaran, IPS dan
Pendidikan IPS ............................ 8
B. Hakikat, Perspektif dan Tujuan
Pembelajaran Pendidikan IPS .... 10
C. Dimensi Pendidikan IPS ............. 15
D. Hubungan Pendidikan IPS dengan
Ilmu-ilmu Sosial .......................... 19
BAB II. MASALAH PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN IPS ........................... 20
A. Pengertian Masalah ..................... 20
B. Jenis-Jenis Masalah Pembelajaran
Pendidikan IPS ............................ 20
BAB III. KONSEP STRATEGI
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS 34
5
A. Konsep Strategi Pembelajaran
Pendidikan IPS………… ............ 34
B. Unsur Strategi Pembelajaran… ... 40
C. Dasar Pemilihan Strategi……… . 41
D. Variabel Strategi Pembelajaran… 43
BAB IV. KLASIFIKASI STRATEGI
PEMBELAJARAN PIPS ............... 46
A. Strategi Pembelajaran PIPS…… 46
B. Model-Model Pembelajaran…….. 51
C. Pendekatan Pembelajaran ........... 58
D. Metode Pembelajaran .................. 59
E. Teknik Pembelajaran................... 65
BAB V. PENENTUAN STRATEGI
PEMBELAJARAN PIPS ............... 66
A. Perbedaan Individu dan Keragaman 66
B. Menangani Siswa di Kelas Yang
Beragam…… .............................. 77
C. Penentuan Pembelajaran PIPS Dalam
Lingkungan Yang Beragam…… 83
BAB VI. INOVASI PEMBELAJARAN PIPS 112
6
A. Pengertian Inovasi Pembelajaran
PIPS…… ..................................... 112
B. Peluang Inovasi Pembelajaran PIPS 113
C. Tantangan Inovasi Pembelajaran PIPS114
D. Kendala Inovasi Pembelajaran PIPS 120
E. Arah Inovasi Pembelajaran PIPS 123
BAB VII. TEORI-TEORI YANG MELANDASI
PEMBELAJARAN PIPS ............... 140
A. Daftar Teori Pembelajaran dan
Penemunya…… .......................... 140
B. Contoh Aplikasi Teori Dalam
Pembelajaran PIPS…….. ............ 143
1. Teori Kontruktivisme ............ 143
2. Teori Experential Learning ... 155
3. Contextual Teaching & Learning 169
4. Work Based Learning............ 174
BAB VIII. CONTOH PENELITIAN INOVASI
PEMBELAJARAN PIPS ..................... 182
A. Pendahuluan ............................... 182
B. Landasan Teori ........................... 191
C. Desain Penelitian ........................ 211
7
DAFTAR PUSTAKA .................................. 219
BIODATA PENULIS ................................... 229
8
BAB I
KONSEP PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS
A. Pengertian Pembelajaran, IPS dan Pendidikan IPS
Pembelajaran (learning) dapat didefinisikan
sebagai pengaruh permanen atas perilaku,
pengetahuan dan keterampilan berfikir, yang
diperoleh melalui pengalaman (Santrock, 2011:266).
Merujuk pada kurikulum 2013 IPS untuk
SMP/MTs bahwa IPS merupakan mata pelajaran yang
mengkaji tentang isu-isu social dengan unsur
kajiannya dalam konteks peristiwa, fakta, konsep dan
generalisasi (Supardan, 2015 : 17). Sedangkan
pengertian IPS di SD adalah suatu bahan kajian yang
terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi,
seleksi dan modifikasi yang diorganisasikan dari
konsep-konsep dan keterampilan Sejarah, Geografi,
Sosiologi, Antropologi dan Ekonomi (Gunawan, 2013
: 48).
Menurut Somantri (2001 : 92) bahwa
pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi
9
dari disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora serta
kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan
disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan
pendidikan.
Konsep IPS pada dasarnya merupakan satu
konsep keterpaduan sebab IPS hakikatnya merupakan
kajian yang diambil dari berbagai disiplin ilmu yang
bertujuan agar siswa dapat menjadi warga Negara
yang baik dan memilki tanggung jawab dan dapat
memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan
bagi dirinya (Agus Mulyana dalam Somantri, dkk;
2010 : 112).
Pendidikan IPS bukan merupakan pendidikan
disiplin ilmu tetapi adalah suatu kajian tentang
masalah-masalah social yang dikemas sedemikian
rupa dengan mempertimbangkan factor psikologis
perkembangan peserta didik dan beban waktu
kurikuler untuk program pendidikan, sedangkan Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) adalah sebuah program
pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri,
sehingga tidak akan ditemukan baik dalam
10
nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial,
maupun ilmu pendidikan (Gunawan, 2013 : 113).
B. Hakikat, Perspektif dan Tujuan Pembelajaran
Pendidikan IPS
Hakikat IPS adalah telaah tentang manusia
sebagai makhluk social yang selalu hidup bersama
dan dunianya (Gunawan, 2013 : 17).
Menurut Ridwan Effendi dalam Somantri, dkk
(2010 : 32) alasan mempelajari pendidikan IPS adalah
membantu kita untuk memahami bagaimanan hidup
bersama dengan yang lain (seperti bertetangga dan
berinteraksi dengan lingkungannya, meningkatkan
kepedulian dengan masalah sekitar sehingga untuk
memupuk nilai-nilai hidup bersama di atas diperlukan
sarana, yaitu pelajaran IPS.
Roberta Woolover dan Kathryn P. Scoot
(1987) dalam Somantri, dkk (2010 : 39-53)
merumuskan ada lima perspektif dalam mengajarkan
IPS, yaitu :
11
1) IPS diajarkan sebagai pewarisan nilai
kewarganegaraan, tujuan utamanya adalah
mempersiapkan anak didik menjadi warga Negara
yang baik.
2) IPS diajarkan sebagai pendidikan ilmu-ilmu social,
tujuan utamanya adalah mendidik anak untuk
memahami ilmu-ilmu social.
3) IPS diajarkan sebagai reflektif inquiry dengan
penekanan terpenting yaitu bagaimana guru
memberikan motivasi agar siswa dapat berpikir.
4) IPS diajarkan sebagai pengembangan pribadi
siswa, tujuan utamanya ialah mengembangkan
seluruh potensi siswa baik pengetahuan, fisik,
social dan emosinya.
5) IPS diajarkan sebagai proses pengambilan
keputusan dan tindakan social yang rasional,
tujuan utamanya ialah bagaimana siswa diajari
untuk dapat membuat keputusan dan tindakan yang
rasional.
12
Pada kurikulum 2013 tujuan pembelajaran IPS
dinyatakan sebagai berikut (Widarwati dan Wijayati,
E; 2016 : 9) :
1) IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran
integrative social studies, bukan sebagai
pendidikan disiplin ilmu, sebagai pendidikan
berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan
berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan
pengembangan sikap peduli dan bertanggung
jawab terhadap lingkungan social dan alam.
Disamping itu, tujuan pendidikan IPS menekankan
pada pengetahuan tentang bangsanya, semangat
kebangsaan, patriotisme, serta aktivitas masyarakat
di bidang ekonomi dalam ruang atau space wilayah
NKRI.
2) Muatan pembelajaran di Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah yang berbasis pada
konsep-konsep terpadu dari berbagai disiplin ilmu
untuk tujuan pendidikan adalah mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
13
3) Pada hakikatnya IPS dikembangkan sebagai mata
pelajaran dalam bentukintegrated social studies.
Muatan IPS berasal dari sejarah, ekonomi,
geografi, dan sosiologi. Mata pelajaran ini
merupakan program pendidikan yang berorientasi
aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir,
kemampuan belajar, rasa ingin tahu,dan
pengembangan sikap peduli dan bertanggung
jawab terhadap lingkungan sosial dan alam.
4) Tujuan pendidikan IPS menekankan pada
pemahaman tentang bangsa, semangat
kebangsaan,patriotisme,dan aktivitas masyarakat
dibidang ekonomi dalam ruang atau space wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5) Pendidikan IPS menggunakan pendekatan trans-
disciplinarity di mana batasbatas disiplin ilmu
tidak lagi tampak secara tegas dan jelas,karena
konsepkonsep disiplin ilmu berbaur dan/atau
terkait dengan permasalahanpermasalahan yang
dijumpai di sekitarnya. Kondisi tersebut
14
memudahkan pembelajaran IPS menjadi
pembelajaran yang kontekstual.
6) Pembelajaran IPS diintegrasikan melalui konsep
ruang, koneksi antar ruang, dan waktu.
Tujuan pembelajaran pendidikan IPS menurut
Suwarma Al-Muchtar (2014, 15-16) adalah
mempersiapkan para pelajar menjadi warga Negara
yang baik dan mengembangkan kemampuan
menggunakan penalaran dalam pengambilan
keputusan setiap persoalan yang dihadapi.
Jack R. Fraenkel (1980) dalam Somantri
(2010 : 99-100) membagi tujuan IPS dalam empat
kategori, yaitu :
1) Pengetahuan, yaitu kemahiran dan pemahaman
terhadap sejumlah informasi dan ide-ide.
2) Keterampilan, yaitu pengembangan kemampuan-
kemampuan tertentu sehingga digunakan
pengetahuan yang diperolehnya
3) Sikap, yaitu kemahiran, mengembangkan dan
menerima keyakinan-keyakinan, interes,
15
pandangan-pandangan dan kecenderungan
tertentu.
4) Nilai, yaitu kemahiran memegang sejumlah
komitmen yang mendalam, mendukung ketika
sesuatu dianggap penting dengan tindakan yang
tepat.
C. Dimensi Pendidikan IPS
Program pendidikan IPS yang komprehensif
adalah program yang mencakup empat dimensi
(Sapriya, 2014 : 48) yang meliputi :
1) Dimensi pengetahuan (knowledge)
Secara konseptual pengetahuan mencakup :
fakta, konsep dan generalisasi yang dipahami oleh
siswa. Fakta adalah data yang spesifik tentang
peristiwa, objek, orang, dan hal-hal yang terjadi
(peristiwa). Konsep merupakan kata-kata atau
frase yang mengelompok, berkategori dan
memberi arti terhadap kelompok fakta yang
berkaitan. Generalisasi merupakan suatu
16
ungkapan/pernyataan dari dua atau lebih konsep
yang saling terkait.
2) Dimensi keterampilan (skills)
Keterampilan yang diperlukan dan menjadi
unsur dalam pendidikan IPS adalah keterampilan
meneliti, keterampilan berpikir, keterampilan
partisipasi social dan keterampilan berkomunikasi.
Keterampilan meneliti mencakup aktivitas :
mengidentifikasi dan mengungkapkan masalah
atau isu, mengumpulkan dan mengolah data,
menafsirkan data, menganalisis data, menilai
bukti-bukti yang ditemukan, menyimpulkan,
menerapkan hasil temuan dalam konteks yang
berbeda dan membuat pertimbangan nilai.
Beberapa keterampilan berpikir yang perlu
dikembangkan oleh guru di kelas untuk para siswa
meliputi : mengkaji dan menilai data secara kritis,
merencanakan, merumuskan factor sebab dan
akibat, memprediksi hasil daru sesuatu kegiatan
atau peristiwa, menyarankan apa yang akan
ditimbulkan dari suatu peristiwa atau perbuatan,
17
curah pendapat (brainstorming), berspekulasi
tentang masa depan, menyarankan berbagai solusi
alternative dan mengajukan pendapat dari
perspektif yang berbeda.
Beberapa keterampilan partisipasi social
yang perlu dibelajarkan oleh guru meliputi :
mengidentifikasi akibat dari perbuatan dan
pengaruh ucapan terhadap orang lain,
menunjukkan rasa hormat dan perhatian kepada
orang lain, berbagi tugas dan pekerjaan dengan
orang lain, berbuat efektif sebagai anggota
kelompok, mengambil berbagai peran kelompok,
menerima kritik dan saran serta menyesuaikan
kemampuan dengan tugas yang harus diselesaikan.
Keterampilan berkomunikasi hendaknya
tidak hanya diungkapkan dengan bahasa tulis dan
lisan, tetapi siswa diarahkan juga untuk
mengungkapkan gagasannya dalam bentuk lain,
seperti dalam film, drama, seni, pertunjukan, foto
bahkan dalam bentuk peta.
3) Dimensi nilai dan sikap (values dan attitudes)
18
Nilai adalah seperangkat keyakinan atau
prinsip perilaku yang telah mempribadi dalam diri
seseorang atau kelompok masyarakat tertentu yang
terungkap ketika berpikir atau bertindak. Nilai
dibedakan atas nilai substantive dan nilai
procedural. Nilai substantive adalah keyakinan
yang telah dipegang oleh seseorang dan umumnya
hasil belajar, bukan sekedar menanamkan atau
menyampaikan informasi semata. Nilai-nilai
procedural yang perlu dilatih atau dibelajarkan
antara lain nilai kemerdekaan, toleransi, kejujuran,
menghormati kebenaran dan menghargai pendapat
orang lain.
4) Dimensi tindakan (action)
Dimensi tindakan social untuk
pembelajaran IPS meliputi tindakan aktivitas, yaitu
: percontohan kegiatan dalam memecahkan
masalah di kelas seperti cara bernegosiasi dan
bekerja sama, berkomunikasi dengan anggota
masyarakat dan pengambilan keputusan.
19
D. Hubungan Pendidikan IPS dengan Ilmu-ilmu
Sosial
Kedudukan ilmu-ilmu sosial dalam kaitannya
dengan pendidikan IPS, menempatkan ilmu-ilmu
sosial sebagai sumber ilmu keilmuan dan materi
bahan sajian pendidikan IPS sehingga hubungan
keduanya bersifat materiil (Suwarma, 2014 : 17).
Implikasinya jika lemah penguasaan dari konsep-
konsep disiplin ilmu-ilmu social, maka akan lemah
pula potensi/ kemampuan pengembangan pendidikan
IPS. Jadi penguasaan ilmu-ilmu tersebut untuk tujuan
pendidikan lebih aplikatif dibandingkan dengan
mereka yang bergerak dalam ilmu social murni.
20
BAB II
MASALAH PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS
A. Pengertian Masalah
Menurut kerlinger (2006) mendefinisikan
masalah sebagai berikut:
1. Masalah adalah kesenjangan antara kenyataan
yang ada dengan yang seharusnya ada
2. Kesenjangan (gap) antara yang seharusnya
dengan apa yang terjadi tentang sesuatu hal
3. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan
B. Jenis-Jenis Masalah Pembelajaran Pendidikan
IPS
1. Masalah Peran dan Kemampuan Guru
Pendidikan IPS
Menurut Al-Muchtar (2014, 147-149)
rendahnya kadar kualitas pembelajaran IPS dilihat
dari dimensi peran dan kemampuan guru antara
lain sebagai berikut :
21
a) Lebih banyak bertindak dan berperan sebagai
pelaksana kurikulum daripada pengembang
kurikulum pendidikan IPS.
b) Memiliki orientasi yang lebih kuat pada
tercapainya target kurikulum, implikasinya lebih
menguasai materi pelajaran yang terdapat dalam
buku daripada pemahaman terhadap
karakteristik peserta didik.
c) Memiliki kemampuan dan keterampilan tentang
berbagai pendekatan dan metode pembelajaran,
namun kurang memiliki motivasi yang kuat
untuk berani menggunakan metode yang
bervariasi dalam pembelajaran pendidikan IPS.
d) Kurang menguasai teori belajar dan model-
model belajar, sehingga kurang memiliki
kekuatan untuk melakukan inovasi
pembelajaran dalam pendidikan IPS.
e) Tidak berperan sebagai sumber-sumber
informasi penelitian, sehingga pengalaman
mengajar belum secara efektif dijadikan bahan
22
masukan, bagi perbaikan dan rekonstruksi
program pengembangan kurikulum
f) Belum dapat bertindak sebagai peneliti dalam
pendidikan bidang pembelajaran, implikasinya
terdapat kelangkaan teori-teori dan model
pembelajaran.
g) Cenderung lebih disebut aspek administratif
bersifat formalistik daripada pemikiran dalam
memperkuat proses pembelajaran.
h) Kreativitas dalam proses pembelajaran
pendidikan IPS terstruktur oleh terbatasnya
dukungan sumber daya pendidikan.
i) Budaya pembelajaran pendidikan IPS lebih
dipengaruhi oleh rutinitas dan formalistik,
daripada akademik dan inovasi pembelajaran.
j) Hasil pendidikan tambahan penataran tidak
dapat sepenuhnya dikembangkan dalam praktek
pembelajaran pendidikan IPS, karena rutinitas
lebih mempengaruhi budaya belajar.
23
2. Masalah Proses Pembelajaran Pendidikan IPS
Menurut Gunawan (2013 : 88, 113) bahwa
yang menyebabkan kegagalan pembelajaran IPS di
sekolah-sekolah di Indonesia adalah pendidikan
IPS di sekolah belum berupaya melaksanakan dan
membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan
demokratis, social, kemasyarakatan dengan
melibatkan siswa dan komunitas sekolah dalam
berbagai aktivitas kelas; pembelajaran lebih
menekankan aspek pengetahuan, fakta dan konsep-
konsep yang bersifat hafalan belaka; menjemukkan
dan membosankan; tidak praktis; begitu syarat
materi; hanya menyajikan berbagai informasi
sementara siswa tidak satu pun memahaminya;
kurang membelajarkan keterampilan berfikir;
cenderung untuk indoktrinasi nilai-nilai dari guru
sendiri daripada “hidden curriculum” yang ada
pada diri siswa yang juga sebenarnya sarat nilai;
dan kurang diarahkan pada pembelajaran yang
bermakna dan berfungsi bagi kehidupannya
sehingga perlu adanya inovasi pembelajaran.
24
Masalah yang selalu dianggap menarik
dalam pembelajaran IPS selama ini, adalah, adalah
temuan dari beberapa penelitian (Hasan, 2007
dalam Somantri, dkk; 2010 : 8-9 ) mengisyaratkan
bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu
disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang
kering, guru hanya mengejar target pencapaian
materi kurikulum, tidak mementingkan proses,
karena itu pembelajaran IPS selalu menjenuhkan
dan membosankan, dan oleh peserta didik
dianggap sebagai pelajaran hanya untuk mereka
yang kurang cerdas.
Jika pembelajaran IPS selama ini tetap
diteruskan, (terutama hanya menekankan pada
informasi, fakta dan hafalan lebih mementingkan
isi daripada proses, kurang diarahkan pada proses
berfikir (tingkat tinggi), dan kurang diarahkan pada
pembelajaran yang bermakna dan berfungsi bagi
kehidupannya), maka pembelajaran IPS tidak akan
mampu membantu peserta didiknya untuk dapat
hidup secara efektif dan produktif dalam
25
kehidupan masa datang. Oleh karena itu sudah
semestinyalah pembelajaran IPS masa kini dan
masa depan mengikuti berbagai perkembangan
yang terjadi di dunia secara global (Gunawan, R.,
2013:88-89).
Pembelajaran lebih banyak disajikan
dengan menggunakan metode ceramah bervariasi
yang lebih banyak ceramahnya daripada
variasinya. Analisis rumusan KBM dalam satuan
pelajaran dan model program yang dikembangkan
para guru ternyata menunjukkan hal yang sama.
Kondisi ini menunjukkan kelemahan dan
kerawanan IPS yang berdampak kurang dapat
membangkitkan motivasi belajar bagi peserta
didik, dan berdampak melemahnya kualitas IPS
dari proses maupun belajarnya, lebih jauh peserta
didik kurang merasakan manfaat belajar IPS (Al-
Muchtar, 2014 : 88).
Proses pembelajaran IPS dianggap
membosankan karena peserta didik terpaku ketat di
mejanya masing-masing dengan mencatat,
26
mendengar, menjawab pertanyaan guru atau pun
berdiskusi dan kurang diarahkan pada
pengumpulan informasi, pemahaman informasi,
pengembangan skills/values dan pemantapan
skills/values (Hamind Hasan dalam Somantri, dkk;
2010 : 20, 22).
Menurut Al-Muchtar (2014 : 100-101; 142-
144) kelemahan proses pembelajaran pendidikan
IPS adalah sebagai berikut :
a) Kebiasan guru pendidikan IPS lebih banyak
menggunakan pendekatan ekspository daripada
inquiry. Dengan menonjolnya metode ceramah
ternyata tidak memberikan peluang bagi
pengembangan berpikir tingkat tinggi dan
pengkajian nilai dari setiap materi pelajaran
pendidikan IPS.
b) Proses pembelajaran pendidikan IPS kurang
ditunjang dengan pengembangan dan
penggunaan media dan alat pembelajaran
27
c) Proses pembelajaran pendidikan IPS lebih
menekankan pada pengembangan aspek
kognitif daripada afektif dan psikomotor
d) Proses pembelajaran pendidikan IPS kurang
menyentuh aspek nilai social dan keterampilan
social
e) Proses pembelajaran pendidikan IPS lebih
menekankan pada pencurahan isi buku dari
pada proses penalaran isi buku
f) Proses pembelajaran pendidikan IPS lebih
menempatkan siswa sebagai penerima
informasi dalam soal belajar satu arah,
daripada melibatkan siswa dalam proses
berpikir
g) Proses pembelajaran pendidikan IPS lebih
menempatkan guru sebagai sumber informasi
yang dominan, disamping terbatasnya
penggunaan sumber daya belajar lainnya
h) Proses pembelajaran pendidikan IPS lebih
menempatkan guru sebagai sumber informasi,
seperti terdapat dalam buku, daripada
28
kemampuan memecahkan masalah dalam
kehidupan nyata
i) Proses pembelajaran pendidikan IPS belum
banyak mengakses pada penguatan system nilai
keimanan dan ketakwaan
j) Proses pembelajaran pendidikan IPS belum
secara tegas mengakses pada penguasaan
IPTEK
Hasil penelitian Al-Muchtar juga
menyimpulkan bahwa lemahnya kualitas proses
pendidikan IPS disebabkan terbatasnya sumber
daya belajar pada buku teks, dan keengganan guru
untuk menggunakan sumber lain, disebabkan oleh
factor social budaya yang cenderung kurang
memberikan penghargaan terhadap pendidikan
IPS, baik dikalangan guru, peserta didik, dan orang
tua sebagai dampak negative dari pandangan dan
penghargaan yang lebih baik pada aspek science
dan technology secara tidak professional (Al-
Muchtar, 2014 : 97).
29
3. Masalah Evaluasi Dalam Pembelajaran
Pendidikan IPS
Kelemahan pendidikan IPS dilihat dari segi
evaluasinya, yaitu lebih banyak menekankan
kepada kognitif tingkat rendah. Dampaknya
kemampuan berpikir tidak berkembang ke tingkat
yang lebih tinggi, dan kondisi ini memungkinkan
semakin berkembangnya cara belajar menghapal
dan menghambat bagi perkembangan cara belajar
siswa aktif. Sedangkan aspek nilai kurang banyak
disentuh, hal ini disebabkan mengkonstruksi alat
evaluasinya dirasakan oleh para guru lebih sulit
daripada aspek lainnya. Jenis tes obyektif lebih
banyak digunakan, namun konstruksi tesnya masih
lemah, sehingga memberikan peluang bagi peserta
didik untuk berspekulasi dan tidak hanya menuntut
berpikir kritis. (Al-Muchtar, 2014 : 88; 98).
Berdasarkan hasil penelitian Al-Muchtar
(2000) dalam menjelaskan bahwa aspek yang
dievaluasi terbatas pada apa yang disajikan yang
bersumber pada buku teks, tidak dikaitkan dengan
30
masalah social budaya yang actual, sehingga aspek
nilai social budaya tidak disajikan aspek yang
dievaluasi dalam IPS. Hal ini menyebabkan
rendahnya mutu proses dan hasil belajar IPS,
sehingga dampaknya memperkuat kondisi bahwa
IPS merupakan pelajaran hapalan (Al-Muchtar ;
2014: 98-99).
Menurut Al-Muchtar (2014 : 100-101)
masalah pengembangan evaluasi pembelajaran
pendidikan IPS, diantaranya :
a) Evaluasi dilakukan dengan lebih menekankan
pada aspek tujuan daripada proses belajar,
sehingga pengembangan kemampuan berpikir
tingkat tinggi dan nilai/moral secara sadar tidak
dijadikan sasaran evaluasi. Hal ini menjadi
kelemahan yang menyebabkan rendahnya
kualitas proses dan hasil belajar.
b) Hasil evaluasi tidak dijadikan masukan bagi
pengembangan program pelajaran selanjutnya.
Hal ini memperlihatkan factor manusia lebih
31
menonjol sebagai titik kritis dari pada factor
kurikulumnya.
4. Masalah Budaya Belajar Dalam Pembelajaran
Pendidikan IPS
Unsur budaya feodalistik dan paternalistic
memberikan dampak negative bagi rendahnya
keberanian untuk mengeluarkan pendapat,
mengajukan pertanyaan, kritik dan penilaian.
Kondisi ini cenderung semakin tumbuh dan
berkembang, antara lain disebabkan tidak ada
kemauan dan keberanian dari guru untuk
melakukan improvisasi dan memanfaatkan unsur
budaya itu sebagai potensi dan kekuatan budaya
yang dapat dijadikan salah satu aspek pendukung
bukan menjadikannya penghambat.
Anggapan iklim belajar yang baik adalah
yang tertib dan tidak gaduh sebagai menyebabkan
interaksi tatap muka di kelas didominasi oleh guru
masih berkembang sejalan tumbuh dan
berkembangnya budaya “budaya menghapal dalam
32
IPS”. Selain itu, anggapan bahwa memenuhi hasil
belajar lebih penting daripada proses menyebabkan
“belajar” dirasakan sebagai “beban” bukan suatu
“kebutuhan” sehingga tidak tumbuh budaya belajar
yang menyenangkan. Dampak dari dominasi guru
menyebabkan suasana belajar lebih tampak otoriter
daripada demokratis, motivasi dan semangat
belajar lemah, persaingan sehat dalam prestasi
belajar tidak tumbuh. Semangat pengabdian
terhadap keberanian dan ilmu pengetahuan serta
cara berpikir ilmuwan social tidak tampak
terimplementasi dalam budaya belajar IPS.
Keberanian bertanya, mengeluarkan pendapat,
melakukan penelitian dan mengemukakan kritik
serta menghargai pendapat orang lain belum
tampak berkembang sebagai budaya belajar (Al-
Muchtar, 2014 : 108-109; 118-119).
33
5. Masalah Sumber Belajar Dalam Pembelajaran
Pendidikan IPS
Sumber belajar diartikan sebagai
berbagai aspek yang mendukung bagi
terselenggaranya proses belajar mengajar, baik
berupa perangkat keras maupun perangkat
lunak. Penelitian Al-Muchtar mengungkapkan
bahwa penggunaan sumber daya belajar dalam
IPS masih terbatas. Buku teks merupakan
sumber belajar yang paling banyak digunakan
baik oleh guru maupun peserta didik. Sumber
belajar yang ada dilingkungan sekolah seperti
perpustakaan sekolah, majalah dinding, alat
peraga belum digunakan secara optimal.
Sumber belajar yang ada di lingkungan
masyarakat peserta didik seperti media massa,
cetak, dan elektronik belum terintegrasi
sebagai sebagai sumber belajar IPS (Al-
Muchtar, 2014 : 92).
34
BAB III
KONSEP STRATEGI PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN IPS
A. Konsep Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS
Ilmu Pengetahuan Sosial adalah program
pembelajaran yang bertujuan untuk membantu dan
melatih anak didik, agar mampu memiliki kemampuan
untuk mengenal dan menganalisis suatu persoalan dari
berbagai sudut pandang yang komprehensif (Supardan,
D; 2015 : 17).
Berdasarkan tujuan kurikulum IPS 2013 untuk
SMP/MTs menyebutkan bahwa IPS merupakan mata
pelajaran yang mempelajari masalah-masalah social
dengan obyek kajiannya berupa peristiwa, fakta,
konsep dan generalisasi. Topik yang dipelajari adalah
fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat baik
masa lalu, masa sekarang, dan kecenderungannya di
masa datang. Selain itu, IPS dikembangkan sebagai
mata pelajaran integrative social studies, bukan
sebagai pendidikan disiplin ilmu, sebagai pendidikan
35
berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan
berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan
pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab
terhadap lingkungan social dan alam (Widarwati dan
Wijayati, E; 2016 : 9).Oleh karena itu, diperlukan
strategi pembelajaran yang mengarahkan pada tujuan
pembelajaran di atas.
Menurut Gredler (2011 : 425) belajar
didefinisikan sebagai akuisisi representasi simbolis
dalam bentuk kode verbal atau visual yang bertindak
sebagai pedoman untuk perilaku di masa depan.
Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi
terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu
(Rusman, 2014 : 379).
Istilah pembelajaran (instruction) bermakna
sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau
kelompok orang melalui berbagai upaya dan berbagai
strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian
tujuan yang telah direncanakan, sedangkan strategi
yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran disebut
strategi pembelajaran (Majid, A; 2014 : 4-6)
36
Menurut Wina Sanjaya (2013 : 126) strategi
pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian
kegiatan) termasuk penggunaan metode dan
pemanfaatan berbagai sumber daya/ kekuatan dalam
pembelajaran. Strategi berbeda dengan metode,
strategi menunjukkan kepada sebuah perencanaan
untuk mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah
cara atau alat yang dapat digunakan untuk
melaksanakan strategi dan mencapai tujuan
pembelajaran (Rusman, 2014 : 132; Hamzah B. Uno,
2014 : 32).
Strategi pembelajaran merupakan cara-cara
yang akan dipilih dan digunakan oleh seseorang
pengajar untuk menyampaikan materi pembelajaran
sehingga akan memudahkan peserta didik menerima
dan memahami materi pembelajaran, yang pada
akhirnya tujuan pembelajaran dapat dikuasainya
diakhir kegiatan belajar (Hamzah B. Uno, 2014 : 2).
Strategi pembelajaran berada pada lingkup terluar dari
konsep yang meliputi model, pendekatan, metode dan
teknik pembelajaran.
37
Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak
atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran
dan menurut Roy Killen (1998) dalam Sanjaya (2013 :
127) terdapat dua macam pendekatan, yaitu
pendekatan yang berpusat pada guru (teacher centered
approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa
(student centered approaches).
Metode pembelajaran lebih bersifat procedural,
sedangkan teknik bersifat implementatif yang berisi
tahapan tertentu sebagai cara yang digunakan
seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu
metode berdasarkan gaya masing-masing orang
(Sanjaya, 2013 : 127; Hamzah B. Uno, 2014 : 2).
Metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan
gaya pembelajaran.
Berdasarkan penjabaran di atas, teknik
pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang
dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan
suatu metode secara spesifik (Majid, A; 2014 : 24).
Teknik adalah berbagai cara yang secara
langsung diterapkan guru untuk menyampaikan materi
38
kepada siswanya selama proses pembelajaran terjadi di
kelas (Yunus Abidin, 2016 : 112). Cara ini berkenaan
langsung dengan implementasi kegiatan belajar
mengajar yang mencakup aktivitas kelas, tugas dan
pengujian dalam kelas yang dilakukan guru.
Gaya seseorang dalam melaksanakan suatu
teknik atau metode tersebut disebut taktik. Taktik
pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam
melaksanakan metode atau teknik pembelajaran
tertentu yang sifatnya individual (Majid, A; 2014 : 24).
Misalnya : terdapat dua orang yang sama-sama
menggunakan metode ceramah, dalam penyajiannya
yang satu diselingi humor sedangkan yang satunya lagi
lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik.
Keterhubungan antara strategi, model,
pendekatan, metode dan teknik pembelajaran dapat
digambarkan dalam bagan di bawah ini :
39
Gambar Keterhubungan Dimensi-dimensi
Pembelajaran
(Sumber : Yunus Abidin, 2016 : 121)
Berdasarkan gambar di atas teknik
pembelajaran berada pada lingkup terdalam yang
terlahir dari metode dan pendekatan pembelajaran
yang relevan. Sedangkan model pembelajaran
dirancang berdasarkan strategi yang tepat. Model
pembelajaran dibangun atas pendekatan yang
berfungsi sebagai orientasi model, metode
40
pembelajaran yang berfungsi sebagai sintak, dan
teknik yang berfungsi sebagai gambaran implementasi
model.
B. Unsur-unsur Strategi Pembelajaran
Newman dan Logan (2003) dalam Sanjaya
(2013) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap
usaha, yaitu:
a. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan
kualifikasi hasil (output) da sasaran (target) yang
harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi
dan selera masyarkat yang memerlukannya.
b. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan
utama (basic way) yang paling efektif untuk
mencapai sasaran.
c. Mempertombangkan dan menetapkan langkah-
langkah (steps) yang akan ditempuh sejak titik
awal sampai sasaran.
d. Mempertimbangkan dan menetapkan tolak ukur
(criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk
41
mengukur dan meniai taraf keberhasilan
(achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks
pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
a. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan
pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan
pribadi peserta didik.
b. Mempertimbangkan dan memilih system
pendekatan pembelajaran yang dipandang paling
efektif.
c. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-
lankah atau prosedur, metode dan teknik
pembelajaran.
d. Menetapkan norma-norma dan batas minimum
ukuran keberhasilan atu kriteria dan ukuran baku
keberhasilan.
C. Dasar Pemilihan Strategi Pembelajaran
Titik tolak penentuan strategi pembelajaran
tersebut adalah perumusan tujuan pengajaran secara
jelas. Agar siswa dapat melaksanakan kegiatan belajar
42
mengajar secara optimal, selanjutnya guru harus
memikirkan pertanyaan berikut: “Strategi manakah
yang paling efektif dan efisien untuk membantu tiap
siswa dalam pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
Langkah yang harus ditempuh antara lain
menentukan tujuan dalam arti merumuskan tujuan
dengan jelas sehingga dapat diketahui apa yang
diharapkan dapat dilakukan siswa, dalam kondisi yang
bagaimana, serta seberapa tingkat keberhasilan yang
diharapkan. Pertanyaan inipun tidak mudah dijawab,
sebab selain setiap siswa berbeda, juga tiap guru pun
mempunyai kemampuan dan kualifikasi yang berbeda
pula. Di samping itu, tujuan yang bersifat afektif seperti
sikap dan perasaan., lebih sukar untuk diuraikan
(dijabarkan) dan diukur. Tujuan yang bersifat kognitif
biasanya lebih mudah, strategi yang dipilih guru untuk
aspek ini didasarkan pada perhitungan bahwa strategi
tersebut akan dapat membentuk sebagian besar siswa
untuk mencapai hasil yang optimal.
43
D. Variabel Strategi Pembelajaran
Faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan
strategi pembalajaran ialah; tujuan, bahan pelajaran,
alat dan sumber, siswa, dan guru. Gagne
mengklasifikasikan hasil-hasil belajar yang membawa
implikasi terhadap penggunaan strategi pembelajaran,
sebagai berikut :
1) Keterampilan intelektual dengan tahapan-
tahapannya:
a) Diskriminasi (mengenal benda konkret).
b) Konsep konkret (mengenal sifat-sifat
benda/objek konkret)
c) Konsep terdefinisi (kemampuan memahami
konsep terdefinisi)
d) Aturan (kemampuan menggunakan aturan,
rumus, hukum/dalil, prinsip)
e) Masalah/aturan tingkat tinggi (kemampuan
memecahkan masalah dengan menggunakan
berbagai aturan)
44
2) Strategi kognitif (kemampuan memilih dan
mengubah cara-cara memberikan perhatian,
belajar, mengingat,dan berpikir)
3) Informasi verbal (kemampuan menyimpan
nama/label, fakta pengetahuan di dalam ingatan).
4) Keterampilan motorik (kemampuan melakukan
kegiatan-kegiatan fisik)
5) Sikap (kemampuan menampilkan perilaku yang
bermuatan nilai-nilai)
Yang perlu dipertimbangkan dari faktor siswa
di dalam menggunakan strategi belajar mengajar,
antara lain:
1) Siswa sebagai pribadi memiliki perbedaan dengan
siswa lain.
2) Jumlah siswa yang mengikuti pelajaran.
Dari faktor alat dan sumber yang perlu
dipertimbangkan ialah:
1) Jumlah dan karakteristik alat pelajaran dan peraga.
2) Jumlah dan karakteristik sumber pelajaran (bahan
cetakan dan lingkungan sekitar).
45
Dari faktor guru yang akan memengaruhi
penggunaan strategi pembelajaran ialah kemampuan
menguasai bahan pelajaran dan kemampuan
mengajarkannya kepada siswa.
46
BAB IV
KLASIFIKASI STRATEGI PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN IPS
A. Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS
Menurut Supardan (2015 : 201-205) strategi
pembelajaran IPS yang mendorong kreativitas ada
empat macam :
1) Strategi pembelajaran sosiodrama
Strategi pembelajaran sosiodrama adalah
strategi dengan memainkan peran tokoh-tokoh
tertentu yang mempunyai nilai-nilai karakteristik
kejuangan sehingga ada transfer of learning pada
diri pemainnya. Komponen-komponen yang
terdapat dalam strategi tersebut adalah : (a)
menentukan tujuan pembelajaran, (b) menentukan
topik kajian, (c) menentukan/memilih peran, (d)
pemeranan adegan, (e) diskusi/evaluasi pemeranan.
2) Strategi pembelajaran sinektik
Merupakan strategi yang menggunakan
pikiran yang kreatif dalam menganalogikan dan
47
menerjemahkan suatu masalah melalui analisis dari
berbagai sudut pandang. Terdapat tiga jenis analaogi
dalam mencari pemecahan masalah menggunakan
strategi pembelajaran sinektetik, yaitu : (a) analogi
fantasi, (b) analogi langsung dan (c) analogi pribadi.
3) Strategi pembelajaran studi ekskursi perjalanan
Merupakan pembelajaran kontekstual yang
memberikan pengalaman langsung dengan
pengamatan tentang fenomena dan kumpulan data di
tempat yang dikunjungi. Tujuan pembelajaran ini
adalah mempelajari suatu objek sejarah secara
konkret, menggunakan pengalaman sensori dan
melatih siswa dalam menerapkan metodologi riset.
4) Strategi pembelajaran inkuiri sosial
Merupakan suatu strategi pengembangan
kemampuan siswa untuk penyelidikan dan
merefleksikan sifat kehidupan social terutama
sebagai latihan hidup langsung di masyarakat.
Pendekatan strategi ini bertolak dari suatu keyakinan
bahwa dalam rangka pengembangan kemampuan
siswa secara independen, penyelidikan masalah-
48
masalah social sangat diperlukan sebagai partisipasi
aktif warga negara/warga masyarakat
Menurut Trianto (2015 : 184-187)
mengungkapkan strategi pembelajaran IPS meliputi :
1) Strategi urutan penyampaian suksesif, yaitu strategi
pembelajaran dimana guru menyampaikan materi
pembelajaran secara berurutan dan mendalam.
2) Strategi penyampaian fakta, yaitu strategi
pembelajaran dimana guru menyampaikan materi
dengan menyajikan fakta secara lisan, tulisan atau
gambar.
3) Strategi penyampaian konsep, yaitu strategi
pembelajaran yang bertujuan mempelajari konsep
dengan kegiatan menunjukkan ciri-ciri, unsur,
membedakan, membandingkan, menggeneralisasi,
dsb.
4) Strategi penyampaian materi pembelajaran prinsip,
yaitu strategi pembelajaran dimana guru
menyampaikan materi berupa dalil, rumus, hokum,
postulat, dan teori.
49
5) Strategi penyampaian prosedur, yaitu strategi
pembelajaran yang bertujuan agar siswa dapat
melakukan atau mempraktekan prosedur.
6) Strategi penyampaian materi aspek sikap, yaitu
strategi pembelajaran yang meliputi kegiatan
pemberian respons, penerimaan suatu nilai,
internalisasi, dan penilaian.
Menurut Costa, et. Al. (1985) dalam Supardan
(2015 : 194-198) strategi pembelajaran dikelompokkan
kedalam empat macam, yaitu :
1) Strategi pembelajaran direktif/strategi langsung
Strategi langsung merupakan strategi yang
secara langsung berorientasi pada penguasaan materi
pembelajaran yang biasanya digunakan guru agar
siswa lebih cepat memahami materi pembelajaran,
misalnya strategi drill, peta konsep dan strategi
menyingkat (Yunus Abidin, 2016 : 120).
2) Strategi pembelajaran mediatif
Strategi mediatif adalah strategi yang
mentransformasikan informasi, keterampilan, dan
konsep ke dalam arti baru dan praktek serta
50
memahami proses rasional pemecahan masalah,
pengambilan keputusan dan berpikir kritis secara
induktif, misalnya strategi inkuiri social, diskusi,
concept attainment, concept formation dan moral
reasoning.
3) Strategi pembelajaran generative
Strategi generative adalah strategi yang
mendorong siswa untuk belajar kreatif dengan
mengujakan gagasan-gagasan yang orisinal,
fleksibel, lancer dan elaborative sehingga
menghasilkan kombinasi-kombinasi baru yang lebih
berguna, logis dan elegan, misalnya strategi problem
solving, brainstorming dan sinektetik.
4) Strategi pembelajaran kolaboratif
Strategi kolaboratif merupakan strategi yang
menyediakan cara untuk belajar dengan membentuk
struktur kelompok siswa untuk membantu berpikir
dan memecahkan masalah bersama-sama agar
berhasil menyelesaikan tugas, baik akademik dan
non akademik, mengerjakan dan menggunakan
keterampilan sosial yang dipunyai untuk mencapai
51
keberhasilan; misalnya strategi belajar kooperatif,
role playing, sosiodrama dan simulasi
Menurut Dick dan Carey (1978) dalam
Hamzah Uno (2014 : 3) menyebutkan bahwa
terdapat lima komponen strategi pembelajaran,
yaitu (1) kegiatan pembelajaran pendahuluan; (2)
penyampaian informasi; (3) partisipasi peserta
didik; (4) tes; dan (5) kegiatan lanjutan.
B. Model-Model Pembelajaran
Pendidikan IPS di SMP merupakan mata
pelajaran terpadu yang terdiri dari ekonomi, geografi,
sejarah dan sosiologi sehingga dalam penyenggaraan
pembelajarannya pun harus menggunakan pendekatan
yang berprinsip keterpaduan. Menurut Trianto (2015 :
196-198) mengemukakan model pembelajaran IPS
terpadu, meliputi :
1) Model integrasi berdasarkan topik, yaitu
pembelajaran yang mengambil satu topik yang
terkait dengan satu disipilin ilmu, kemudian
52
mengaitkannya dengan dikembangkan dengan
meninjau dari berbagai disiplin ilmu.
2) Model integrasi berdasarkan potensi umum, yaitu
pembelajaran dengan mengembangkan keterpaduan
IPS berdasarkan pada potensi utama yang ada di
wilayah setempat.
3) Model integrasi berdasarkan permasalahan, yaitu
pembelajaran yang berdasarkan permasalahan yang
ada kemudian dilanjutkan dengan sudut pandang
yang ditinjau dari beberapa factor yang
memengaruhinya.
Menurut Joyce, B., Weil, M. & Calhoun, E.
(2011) dalam bukunya yang berjudul “Models Of
Teaching” model-model pembelajaran dibagi kedalam
empat kelompok, yaitu :
1) Model pembelajaran pemrosesan informasi
Model pemrosesan informasi adalah model
yang berfokus pada kapsitas intelektual yang
didasarkan pada kemampuan siswa untuk
mengobservasi, mengolah data, memahami
informasi, membentuk konsep-konsep, menerapkan
53
symbol-simbol verbal dan non verbal, dan
memecahkan masalah dengan tujuan utamanya
penguasaan metode-metode inkuiri; penguasaan
konsep-konsep dan fakta-fakta akademik serta
pengembangan skill-skill intelektual umum;
misalnya : (1) model berpikir induktif; (2) model
pencapaian konsep; (3) model induktif kata
bergambar; (4) model penelitian/inkuiri ilmiah; (5)
model latihan penelitian; (6) model menghafal; (7)
model sinektetik; dan (8) model advance organizer
(Miftahul Huda, 2014 : 76-77).
Model ini didasarkan pada teori belajar
kognitif Piaget yang berorientasi pada kemampuan
siswa memproses informasi yang dapat memperbaiki
kemampuan/kecakapan manusia yang terdiri dari :
(1) informasi verbal; (2) kecakapan intelektual; (3)
strategi kognitif; (4) sikap; dan (5) kecakapan
motorik (Rusman, 2014 : 139).
2) Model pembelajaran social atau interaksi sosial
Model interaksi social adalah model yang
menekankan relasi individu dengan masyarakat dan
54
orang lain dengan sasaran utamanya adalah
membantu siswa belajar bekerja sama,
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah, baik
sifatnya akademik maupun social dengan tujuan
utamanya antara lain : (1) membantu siswa bekerja
sama untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah; (2) mengembangkan skill hubungan
masyarakat; (3) meningkatkan kesadaran akan nilai-
nilai personal dan social (Miftahul Huda, 2014 : 109-
110).
Model ini didasari teori belajar Gestalt yang
berpandangan bahwa obyek atau peristiwa tertentu
akan dipandang sebagai suatu keseluruhan yang
terorganisasikan sehingga pembelajaran akan lebih
bermakna bila materi diberikan secara utuh, bukan
bagian-bagian.
Model-model yang termasuk dalam kategori
ini; misalnya : model kooperatif, pertemuan kelas,
pemecahan masalah, model bermain peran, model
penelitian yuridis, inkuiri social, penentuan
kelompok, jurisprudensial dan simulasi social.
55
3) Model pembelajaran perilaku
Model pembelajaran perilaku adalah model
yang lebih menekankan pada aspek-aspek perubahan
perilaku psikologis dan perilaku yang tidak dapat
diamati dengan tujuan mengembangkan system yang
efisien untuk mengurutkan tugas-tugas belajar dan
membentuk tingkah laku dengan cara memanipulasi
penguatan (reinforcement) (Rusman, 2014 : 143-
144). Contoh rumpun model modifikasi tingkah laku
adalah manajemen kontingensi, control diri,
relaksasi, pengurangan ketegangan, latihan asertif
desensitasi dan latihan langsung.
4) Model pembelajaran personal
Model pembelajaran personal adalah model
yang berorientasi terhadap pengembangan diri
individu dengan perhatian utamanya pada emosional
siswa untuk mengembangkan hubungan yang
produktif dengan lingkungannya sehingga
menjadikan pribadi siswa yang mampu membentuk
hubungan yang harmonis serta mampu memproses
informasi secara efektif (Rusman, 2014 : 142).
56
Contoh rumpun model personal, antara lain :
pengajaran non direktif, latihan kesadaran, sinektik,
system-sistem konseptual dan pertemuan kelas.
Menurut Yunus Abidin (2016 : 117-118) model
pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu konsep yang
membantu menjelaskan proses pembelajaran, baik
menjelaskan pola pikir maupun pola tindakan
pembelajaran tersebut dan secara umum memiliki ciri-
ciri sebagai berikut :
1) Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari
para ahli tertentu, contohnya model sinektik yang
termasuk kedalam kelompok model pemrosesan
informasi mendasarkan teori kreativitas Gordon.
2) Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu,
misalnya model berpikir induktif yang termasuk
kedalam kelompok model pemrosesan informasi
dirancang untuk mengembangkan proses berpikir
induktif.
3) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan
belajar mengajar di kelas, misalnya model inkuiri
ilmiah yang termasuk kedalam kelompok model
57
pemrosesan informasi untuk meningkatkan
pemahaman social.
4) Memiliki bagian-bagian model dalam
pelaksanaannya, yaitu : (1) urutan langkah-langkah
pembelajaran (sintak); (2) adanya prinsip-prinsip
reaksi; (3) system social; dan (4) system pendukung.
5) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model
pembelajaran. Dampak tersebut meliputi : (1)
dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat
diukur dan (2) dampak pengiring, yaitu hasil belajar
jangka panjang.
Menurut Rusman (2014 : 133), Wina Sanjaya
(2013 : 130) dan Hamzah Uno (2014 : 9) dasar
pertimbangan pemilihan strategi dan model
pembelajaran adalah :
1) Tujuan yang hendak dicapai (disesuaikan dengan
strategi/model)
2) Bahan ( alat/media) atau materi pembelajaran
3) Peserta didik atau siswa, antara lain : tingkat
kematangan, minat, bakat, kondisi dan gaya belajar
peserta didik
58
4) Pertimbangan nonteknis, misalnya efektivitas atau
efisiensi model
C. Pendekatan Pembelajaran
Menurut Roy Killen (1998) dalam Rusman
(2014, 381-382) mengemukakan bahwa ada dua
pendekatan pendekatan dalam pembelajaran, yaitu
pembelajaran berorientasi pada guru (teacher centered
approaches) dan pembelajaran berorientasi pada siswa
(student centered approaches).
1) Pendekatan pembelajaran berpusat pada guru
Pendekatan pembelajaran berorientasi pada
guru, yaitu pembelajaran yang menempatkan siswa
sebagai obyek dalam belajar dan kegiatan belajar
bersifat klasik, sedangkan guru menempatkan diri
sebagai orang yang serba tahu dan sebagai satu-
satunya sumber belajar. Pendekatan ini menurunkan
metode pembelajaran langsung, pembelajaran
deduktif atau pembelajaran ekspositori.
2) Pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa
59
Pendekatan pembelajaran berorientasi pada
siswa, yaitu pendekatan pembelajaran yang
menempatkan siswa sebagai subyek belajar dan
kegiatan belajar bersifat modern sehingga siswa
mempunyai kesempatan terbuka untuk melakukan
kreativitas dan mengembangkan potensinya melalui
aktivitas secara langsung sesuai dengan minat dan
keinginannya. Pendekatan ini menurunkan metode
discovery, inkuiri dan induktif.
Penerapan pembelajaran yang mengaktifkan
siswa dapat dilakukan melalui pengembangan
berbagai keterampilan belajar esensial secara
eklektif yang antara lain sebagai berikut : (1)
berkomunikasi lisan dan tertulis secara efektif; (2)
berpikir logis, kritis, dan kreatif; (3) rasa ingin tahu;
(4) penguasaan teknologi dan informasi; (5)
pengembangan personal dan social; (6) belajar
mandiri (Rusman, 2014 : 388).
D. Metode Pembelajaran
1) Syarat-syarat metode pembelajaran
60
Menurut Zuhairini (Nasution, 2001:40),
dalam memilih metode mengajar seorang guru
harus memperhatikan beberapa hal, yaitu:
a. Kesesuaian metode mengajar yang digunakan
dengan kemampuan siswa.
b. Kompetensi pengajar dalam menggunakan
metode tersebut.
c. Kesesuaian metode mengajar yang digunakan
dalam kemampuan tersedia.
d. Kesesuaian metode mengajar yang digunakan
dengan lingkungan pendidikan.
2) Kedudukan metode dalam kegiatan pembelajaran
a. Metode sebagai alat motivasi ektrinsik,
karena tidak ada satupun kegiatan belajar
mengajar yang tidak menggunakan metode.
b. Metode sebagai strategi pengajaran.
c. Metode sebagai alat sebagai mencapai tujuan.
Tujuan belajar mengajar tidak akan pernah
tercapai selama komponen lainnya tidak
diperlukan, salah satunya adalah komponen
metode menurut Djamarah (2002:120).
61
3) Variable metode pembelajaran
Pembelajaran merupakan suatu sistem
lingkungan belajar yang terdiri dari unsur :
tujuan, bahan pelajaran, strategi, alat, siswa, dan
guru. Semua unsur atau komponen tersebut
saling berkaitan, saling mempengaruhi: dan
semuanya berfungsi dengan berorientasi kepada
tujuan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
pengunaan metode pembelajaran ialah: tujuan,
bahan pelajaran, alat dan sumber, siswa dan
guru. Gagne mengklasifikasikan hasil-hasil
belajar yang membawa implikasi terhadap
penggunaan metode pembelajaran, sebagai
berikut:
a. Keterampilan intelektual denga tahap-
tahapannya:
1. Diskriminasi (mengenal benda konkret).
62
2. Konsep konkret (mengenal sifat-sifat
benda/obyek konkret)
3. Konsep terdefinisi (kemampuan
memahami konsep terdefinisi )
4. Aturan (kemampuan menggunakan
aturan, rumus, hukum/dalil prinsip).
5. Masalah/aturan tingkat tinggi
(kemampuan memecahkan masalah
dengan menggunakan berbagai aturan).
b. Strategi kognitif (kemampuan memilih dan
mengubah cara-cara memberikan perhatian,
belajar, menginat, dan berfikir).
c. Informasi verbal (kemampuan menyimpan
nama/label, fakta, pengetahuan didalam
ingatan).
d. Keterampilan motorik (kemampuan
melakukan kegiatan fisik).
e. Sikap (kemampuan menampilkan perilaku
yang bermuatan nilai-nilai).
4) Dasar pertimbangan penggunaan metode
pembelajaran
63
Yang menjadi dasar pertimbangan
menggunakan metode pembelajaran antara lain
sebagai berikut.
a. Faktor siswa
1. Siswa sebagai pribadi tersendiri memiliki
perbedaan-perbedaan dari siswa lain.
2. Jumlah siswa yang mengikuti
pembelajaran.
b. Faktor dan alat sumber
1. Jumlah dan karakteristik alat pembelajaran
dan alat peraga.
2. Jumlah dan karakteristik sumber pelajaran
(bahan cetakan dan lingkungan sekitar).
c. Faktor guru
1. Kemampuan menguasai bahan pelajaran
2. Kemampuan membelajarkan siswa.
5) Macam-Macam Metode Pembelajaran
Heriawan, A., dkk (2013)
mengemukakan macam-macam metode
pembelajaran al : ceramah, diskusi,
demonstrasi, resitasi, eksperimen, karya wisata,
64
latihan keterampilan, pemecahan masalah,
perancangan assignment, penemuan, inkuiri,
audiolingual, komunikatif, produktif, langsung,
partisipori, membaca, tematik, kuantum, kerja
kelompok kecil, ekspositorik, cooperative
learning, mengulang, elaborasi, peta konsep,
lesson study, examples non examples, picture
and picture, numbered heads together,
cooperative script, explicit instruction,
lingkaran kecil–besar, integrated reading dan
composition, student, facilitator and
explaining, talking stick, bertukar pasangan,
snowball throwing, artikulasi, mind mapping,
STAD, scramble, word square, kata arisan,
concept stence, mencari pasangan, take and
give, tebak kata, jigsaw, debat, role playing,
TGT, seminar, kerja kecil, kerja lapangan,
sumbang saran, unit teaching, sosiodrama,
kasus, microteaching, simula, dialog, tanya
jawab, prileksi, penyajian system regu,
musyawarah, infiltrasi, brainstorming, estafet
65
writing, cerita, permainan, dikte, reciprocal
learning praktik, problem terbuka, bernyanyi,
think pair and shair, keliling kelompok, panel,
musyawarah kerja dan review.
E. Teknik Pembelajaran
Heriawan, A., dkk (2013) mengemukakan
macam-macam teknik pembelajaran antara lain :
teknik indoktrinasi, teknik moralsioning, teknik
meramalkan konsekuensi, teknik klarifikasi, teknik
internalisasi, teknik menjelaskan, teknik bertanya,
teknik neuro language programe of metaphor,
teknik neuro language programe of reframing,
teknik neuro language programe of questioning,
teknik neuro language programe of anchor, teknik
neuro language programe of representational
system, teknik think-pair-share, teknik
collaborative learning groups, teknik student-led
review session, teknik student debate, teknik exam
questioning writing, teknik class research
symposium dan teknik analyze case studies.
66
BAB V
PENENTUAN STRATEGI PEMBELAJARAN
PENDIDIKAN IPS
A. Perbedaan Individu dan Keragaman (Religious,
Bahasa. Gender dan Kelas Social)
1) Perbedaan kemampuan dan intelegensi belajar
Kemampuan belajar siswa berbeda-beda
(misalnya kemampuan bahasa dan matematis).
Sedangkan intelegensi menurut Stenberg ada tiga
tipe, yaitu (1) intelegensi analitis yang melibatkan
proses kognitif individu; (2) intelegensi kreatif
adalah insights individu untuk menghadapi
berbagai pengalaman; (3) intelegensia praktis
adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dan
membentuk ulang lingkungannya (Richard I.
Arends, 2008 : 49).
2) Perbedaan dalam gaya kognitif, gaya belajar dan
preferensi belajar
i) Gaya kognitif
67
Gaya kognitif ialah cara konsisten yang
dilakukan oleh seseorang murid dalam
menangkap stimulus atau informasi, cara
mengingat, berpikir dan memecahkan soal
(Nasution, 2011 : 94). Sedangkan menurut
Richard I. Arends (2008 : 50), perbedaan gaya
kognitif adalah perbedaan orang dalam
mempersepsi dan memproses informasi.
ii) Gaya belajar
Gaya belajar ialah cara seseorang
bereaksi dan menggunakan perangsang-
perangsang yang diterimanya dalam proses
belajar (Nasution, 2011 : 93). Sedangkan
perbedaan gaya belajar adalah belajar dalam
konteks (in-context) dan belajar di luar konteks
(out of context). Belajar dalam konteks artinya
anak-anak memperoleh keterampilan dan
pengetahuan itu dibutuhkan dalam situasi
kehidupan nyata, sedangkan belajar di luar
konteks berarti bahwa pembelajaran itu tidak
68
berhubungan dengan kehidupan riil dan segera
(Richard I. Arends, 2008 : 50-51).
Konsep gaya belajar menurut Jacobsen,
D.A., Eggen, P. & Kauchak, D. (2009 : 281)
memiliki tiga implikasi penting pada guru,
yaitu:
a) Konsep tersebut mengingatkan pada kita
tentang keharusan untuk mendiversifikasi
karena tidak adanya pendekatan pengajaran
yang akan disukai oleh semua siswa.
b) Kesadaran akan gaya-gaya belajar dapat
meningkatkan sensivitas kita terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada dalam siswa-
siswa kita, membuatnya lebih tampak bahwa
kita akan merespons siswa-siswa kita sebagai
individu-individu.
c) Konsep ini menyarankan bahwa guru harus
mendorong siswa untuk berpikir tentang pola
belajarnya sendiri, yang nantinya dapat
mengembangkan metakognisi mereka.
69
Menurut Bobbi DePorter dan Mike
Hernacki (2011 : 116-120) ada tiga macam gaya
belajar, yaitu :
a) Gaya belajar visual, yaitu belajar dengan cara
melihat. Orang yang mempunyai gaya belajar
visual mempunyai ciri-ciri : rapi dan teratur;
berbicara dengan cepat; perencana dan
pengatur jangka panjang yang baik; teliti
terhadap detail; mementingkan penampilan,
baik dalam hal pakaian maupun presentasi;
pengeja yang baik dan dapat melihat kata-
kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka;
mengingat apa yang dilihat, daripada apa
yang didengar; mengingat dengan asosiasi
visual; biasanya tidak terganggu oleh
keributan; mempunyai masalah untuk
mengingat instruksi verbal kecuali jika
ditulis, dan sering kali minta bantuan orang
untuk mengulanginya; pembaca cepat dan
tekun; lebih suka membaca daripada
dibacakan; membutuhkan pandangan dan
70
tujuan yang menyeluruh dan bersikap
waspada sebelum secara mental merasa pasti
tentang suatu masalah atau proyek; mencoret-
coret tanpa arti selama berbicara ditelepon
dan rapat; lupa menyampaikan pesan verbal
kepada orang lain; sering menjawab
pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau
tidak; lebih suka melakukan demonstrasi
daripada berpidato; lebih suka seni daripada
music; sering kali mengetahui apa yang harus
dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-
kata; dan kadang-kadang kehilangan
konsentrasi ketika mereka ingin
memperhatikan.
b) Gaya belajar auditorial, yaitu belajar dengan
cara mendengar. Orang yang mempunyai
gaya belajar auditorial mempunyai ciri-ciri :
berbicara kepada diri sendiri saat bekerja;
mudah terganggu oleh keributan;
menggerakkan bibir mereka dan
mengucapkan tulisan di buku ketika
71
membaca; senang membaca dengan keras
dan mendengarkan; dapat mengulangi
kembali dan menirukan nada, birama dan
warna suara; merasa kesulitan untuk menulis,
tetapi hebat dalam bercerita; berbicara dalam
irama yang terpola; biasanya pembicara yang
fasih; lebih suka music daripada seni; belajar
dengan mendengarkan dan mengingat apa
yang didiskusikan daripada apa yang dilihat;
suka berbicara, suka berdiskusi, dan
menjelaskan sesuatu panjang lebar,
mempunyai masalah dengan pekerjaan-
pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti
memotong bagian-bagian hingga sesuai satu
sama lain, lebih pandai mengeja dengan keras
daripada menuliskannya; dan lebih suka
gurauan lisan daripada membaca komik.
c) Gaya belajar kinestetik, yaitu belajar dengan
cara bergerak, bekerja dan menyentuh. Orang
yang mempunyai gaya belajar kinestetik
mempunyai ciri-ciri : berbicara dengan
72
perlahan; menanggapi perhatian fisik;
menyentuh orang untuk mendapatkan
perhatian mereka; berdiri dekat ketika
berbicara dengan orang; selalu berorientasi
pada fisik dan banyak bergerak; mempunyai
perkembangan awal otot-otot yang besar;
belajar melalui manipulasi dan praktek;
menghafal dengan cara berjalan dan melihat;
menggunakan jari sebagai penunjuk ketika
membaca; banyak menggunakan isyarat
tubuh; tidak dapat duduk diam untuk waktu
yang lama; tidak dapat mengingat geografi,
kecuali jika mereka memang telah pernah
berada di tempat itu; menggunakan kata-kata
yang mengandung aksi; menyukai buku-buku
yang berorientasi pada plot-mereka
mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh
saat membaca; kemungkinan tulisannya
jelek; ingin melakukan segala sesuatu; dan
menyukai permainan yang menyibukkan.
iii) Preferensi belajar
73
Preferensi belajar adalah modalitas
belajar yang dipunyai siswa, yang meliputi
perbedaan preferensi terhadap lingkungan
belajar (suara, cahaya, pola pengaturan tempat
duduk), banyaknya dukungan emosional yang
dibutuhkan, dan derajat struktur dan interaksi
sebaya (Richard I. Arends, 2008 : 51).
3) Siswa dengan disabilitas
Ada dua persepektif tentang pendekatan
yang terbaik untuk diterapkan pada siswa
disabilitas :
a) Turnbull (2009) dan Tomlison (1999) dalam
Richard I. Arends, (2008 : 55) mengemukakan
pendekatan pengajaran yang agak terstruktur
dan langsung, menawarkan beberapa
rekomendasi di bawah ini :
Gunakan materi yang sangat terstruktur,
beritahukan apa tepatnya yang diharapkan
dari siswa, hindari distraksi.
74
Berikan alternative untuk penggunaan bahasa
tertulis, seperti tape recorders atau tes-tes
lisan.
Harapkan peningkatan dalam jangka panjang
Perkuat perilaku yang baik.
Berikan umpan balik segera dan kesempatan
cukup banyak untuk latihan
b) Curtis & Shaver (1980), Haberman (1991), dan
Slavin (1996) dalam Richard I. Arends, (2008 :
55) mengemukakan bahwa pengajaran untuk
siswa disabilitas seharusnya didasarkan pada
kepentingan mereka dan strategi yang
digunakan seharusnya tidak menekankan pada
informasi dasar, tetapi meningkatkan
kemampuan siswa untuk mengatasi masalah dan
untuk berpikir kritis. Mereka
merekomendasikan strategi-strategi yang mirip
dengan yang direkomendasikan bagi anak-anak
berbakat (gifted), seperti investigasi kelompok,
problem solving, dan cooperative learning.
75
4) Siswa gifted (cerdas) dan talented (bertalenta)
Kecerdasan didefinisikan sebagai bakat
umum untuk belajar atau kemampuan untuk
mempelajari dan menggunakan pengetahuan atau
keterampilan (Slavin, 2011 : 159). Guru yang ingin
membantu siswa mengembangkan aspek-aspek
kecerdasan yang berbeda ini harus melakukan hal-
hal berikut ini :
a) Menciptakan ruang kelas yang
multidimensional dimana siswa dapat sukses
dalam cara-cara yang berbeda
b) Memberikan tugas-tugas pembelajaran yang
membuka dimensi pembelajaran yang berbeda
c) Mendorong siswa untuk mengekspresikan
dirinya dalam cara-cara yang berbeda
d) Membebaskan siswa dalam memperagakan
konsep atau keterampilan yang telah mereka
kuasai (Gardner & Moran, 2006; Kaornharber
& Gardner, 2006 dalam Jacobsen, D.A., Eggen,
P. & Kauchak, D., 2009 : 281).
76
5) Perbedaan budaya, etnis dan ras
Berikut penjelasan mengeni budaya, etnis
dan ras menurut Richard I. Arends (2008 : 51) :
a) Budaya adalah bagaimana suatu anggota
kelompok berpikir dan cara yang mereka
lakukan untuk mengatasi masalah dalam
kehidupan kolektif.
b) Etnis mengacu kepada kelompok yang
memiliki bahasa dan identitas yang sama,
misalnya orang-orang yang memiliki
kebangsaan yang sama.
c) Ras adalah istilah yang diberikan kepada
kelompok-kelompok yang memiliki cirri-ciri
biologis yang sama
6) Keanekaragaman religius
7) Keanekargaman bahasa
8) Perbedaan gender
9) Perbedaan kelas sosial
77
B. Menangani Siswa di Kelas Yang Beragam
Menurut Richard I. Arends (2008 : 64-69)
dalam bukunya yang berjudul “Learning To Teach”
cara menangani siswa di kelas dengan ragam ras dan
budaya adalah sebagai berikut :
1) Mengembangkan pemahaman cultural dan
kesadaran diri
Guru berusaha mengembangkan
pemahaman cultural yang lebih luas dan
menanamkan kesadaran yang lebih tinggi kepada
siswa dengan meningkatkan pengetahuan dan
sikap mereka sendiri terhadap orang-orang yang
berbeda dengan dirinya dengan mengambil
prakarsa untuk belajar tentang berbagai budaya
yang direpresentasikan di masyarakat.
2) Menciptakan kurikulum yang relevan secara
cultural dan bersifat multikultur.
Menurut James Banks (2001) dalam
Richard I. Arends (2008 : 66-67) menciptakan
kurikulum tersebut dengan pendekatan -
pendekatan :
78
a) Pendekatan kontribusi, yaitu menggunakan
pelajaran untuk membahas pahlawan-pahlawan
yang memiliki berbagai budaya, merayakan
hari raya yang memiliki berbagai budaya, dan
memberikan penghargaan kepada seni, music,
sastra, masakan khas, dan bahasa berbagai
budaya.
b) Pendekatan aditif, yaitu guru menyusun
pelajaran atau unit-unit sampingan tentang
kelompok atau budaya tertentu atau membawa
literature atau buku yang menunjukkan
berbagai perspektig budaya yang berbeda.
Berbagai isi, konsep, tema dan perspektif
ditambahkan ke kurikulum tanpa mengubah
strukturnya.
c) Pendekatan transformasi, yaitu guru
mentransformasikan kurikulumnya dengan
memasukkan serangkaian konsep yang
berhubungan dengan pluralism cultural ke
dalam pelajaran-pelajaran yang sedang
berlangsung. Pendekatan ini mengidentifikasi
79
berbagai konsep penting (misalnya pluralism,
interdependensi atau komunikasi) yang sesuai
dengan subyek atau tingkat kelas tertentu dan
kemudian menggunakan konsep ini sebagai
dasar pelajaran untuk meningkatkan
pemahaman tentang keanekaragaman budaya.
Struktur kurikulumnya diubah untuk
memungkinkan siswa melihat berbagai konsep,
isu, kejadian, dan tema dari perspektif
kelompok etnik dan budaya yang beragam.
d) Pendekatan tindakan social, yaitu pendekatan
yang mendorong siswa bukan hanya menelaah
berbagai masalah yang terkait dengan
keanekaragaman, tetapi juga untuk merancang
proyek-proyek potensial untuk mengambil
tindakan dan mempromosikan keadilan social.
Siswa mengambil tindakan tentang berbagai
isu social dan mengambil tindakan untuk
membantu mengatasinya.
3) Menggunakan pedagogi yang relevan secara
kultural
80
Kunci penanganan keanekaragaman
cultural adalah kemampuan guru untuk mengaitkan
antara dunia siswa dan budayanya dengan dunia
sekolah dan kelas.
4) Mengaitkan dengan pengetahuan sebelumnya
Guru membantu siswa untuk melihat
persamaan dan perbedaan diantara berbagai
budaya dan membantu siswa mengembangkan
kesadaran multicultural dengan mendasarkan diri
pada pengetahuan siswa sebelumnya dan
membantu mereka mengaitkan antara apa yang
sudah mereka ketahui dan apa yang akan mereka
pelajari.
5) Menggunakan pengelompokkan yang fleksibel
Guru mengelompokkan siswa secara
heterogen dimana masing-masing kelompok terdiri
dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi,
sedang dan rendah dan berusaha mencapai
keseimbangan rasial dan etnik.
6) Memberi perhatian pada gaya belajar
81
Guru merancang kegiatan yang sesuai
dengan berbagai gaya belajar dengan memasukkan
modalitas visual, auditorik, taktil dan kinestetik ke
dalam pelajaran.
7) Assigning competence
Assigning competence yaitu sebuah
pertimbangan dalam perencanaan dan penyajian
pelajaran dengan mengapitalisasikan kemampuan
yang sudah dimiliki masing-masing siswa melalui
berbagai pengerjaan tugas.
8) Menerapkan pengajaran strategi
Guru membantu siswa mendapatkan
strategi-strategi yang mereka butuhkan untuk
belajar secara efektif, misalnya bagaimana strategi
belajar untuk membaca dan menulis, untuk
menyelesaikan masalah yang melibatkan angka,
dan untuk belajar dengan sukses.
9) Memberi perhatian dengan motivasi
Guru membantu siswa meraih kesuksesan
dengan mendiskusikan, mempertanyakan dan
82
menyelesaikan berbagai masalah diri siswa dengan
pembicaraan yang berorientasi ke masa depan.
10) Community problem solving
Community problem solving adalah strategi
yang mendorong siswa untuk mengidentifikasi
keprihatinan mereka tentang masyarakat atau
lingkungan tempat tinggalanya dan membantu
mereka merencanakan dan melaksanakan berbagai
proyek independen.
Dalam lingkungan yang beragam menerapkan
strategi pembelajaran langsung seperti strategi dan
metode ceramah sudah tidak lagi relevan sehingga
harus mengintegrasikan pendidikan multicultural ke
dalam pembelajaran IPS. Menurut Jacobsen, D.A.,
Eggen, P. & Kauchak, D. (2009 : 262) dalam bukunya
yang berjudul “Methods For Teaching”
mengemukakan bahwa komponen-komponen
pengajaran harus responsive secara cultural yang
mencakup :
a) Menciptakan lingkungan kelas yang positif dimana
seluruh siswa dihargai dan dihormati.
83
b) Mengomunikasikan harapan-harapan yang positif
untuk pembelajaran bagi seluruh siswa.
c) Mengakui keragaman cultural dalam diri siswa dan
mengintegrasikan keragaman ini ke dalam
kurikulum.
d) Menggunakan strategi-strategi pembelajaran yang
memberdayakan latar belakang dan kekuatan
siswa, misalnya strategi pembelajaran berbasis
pendidikan nilai, strategi pembelajaran berbasis
pendidikan multikultural dan cooperative learning.
C. Penentuan Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS
Dalam Lingkungan Yang Beragam
1) Strategi pembelajaran berbasis pendidikan nilai
Pendidikan nilai mencakup kawasan budi
pekerti, nilai, norma dan moral. Berikut pengertian
masing-masing cakupan tersebut (BP-7, 1993
dalam Hakam; 2007 : 57-58) :
a) Budi pekerti adalah buah dari budi nurani. Budi
nurani bersumber pada moral. Moral bersumber
84
pada kesadaran hidup yang berpusat pada alam
pikiran.
b) Nilai adalah suatu pengertian atau pensifatan
yang digunakan untuk memberikan penghargaan
terhadap barang atau benda.
c) Norma adalah kaidah, ketentuan, aturan, criteria
atau syarat yang mengandung nilai tertentu yang
harus dipatuhi oleh warga masyarakat di dalam
berbuat, bertingkah laku agar masyarakat tertib,
teratur, dan aman.
d) Moral berarti akhlak atau kesusilaan yang
mengandung makna tata tertib batin atau tata
tertib hati nurani yang menjadi pembimbing
tingkah laku batin dalam hidup.
Menurut Al-Muchtar (2014 : 339)
pendidikan nilai adalah program dan proses
pendidikan yang lebih menekankan kepada
pengembangan aspek afektif, dimana lingkup
pendidikan ini menyangkut pembinaan system
nilai dari peserta didik.
85
Esensi pendidikan nilai (budi pekerti
ataupu moral) bertujuan untuk membentuk pribadi
agar anak menjadi manusia yang secara cerdas
spiritual, cerdas secara emosional dab social,
cerdas secara intelektual, cerdas secara kinestetis,
baik dan bermoral, menjadi warga negara dan
warga masyarakat yang baik dan bertanggung
jawab (Sutarjo Adisusilo, 2012 : 132).
Langkah-langkah utama dalam proses
belajar mengajar pendidikan nilai adalah (Aryani,
2006 : 18-19) :
i) Hadapkan siswa pada suatu dilemma nilai.
Guru menyajikan suatu cerita yang
mengandung suatu dilemma. Siswa diminta
mengulangi dalam keadaan yang bagaimana
peristiwa itu terjadi. Siswa harus sepenuhnya
memahami seluk beluk cerita itu. Istilah atau
kata-kata sulit dijelaskan. Khususnya siswa
harus benar dalam mana tokoh cerita itu
berada.
86
ii) Suruh murid menentukan pendiriannya. Guru
memberi kesempatan kepada tiap siswa untuk
menentukan posisi atau pendirian masing-
masing. Pendirian ini masih tentative, bersifat
sementara. Untuk menentukan posisinya, siswa
diberi waktu yang cukup. Ada baiknya mereka
diminta untuk menuliskannya, juga alasan-
alasan memilih pendirian itu. Guru juga
berusaha untuk mengetahui pendirian kelas
secara keseluruhan dengan misalnya menyuruh
mereka mengangkat tangan atau dengan cara
pemungutan suara. Karena yang dihadapi
situasi yang mengandung konflik, mudah
diketahui apakah mereka setuju atau tidak
setuju akan tindakan tertentu.
iii) Selidiki alasan-alasan dibelakang siswa. Ini
dilakukan melalui diskusi kelas. Guru
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
merangsang siswa berfikir tentang alasannya.
Diskusi juga dapat dilakukan dalam kelompok
kecil. Cara ini efektif sekali karena tiap siswa
87
mendapat kesempatan mengatakan
pendapatnya. Diskusi kelompok kecil
dilanjutkan diskusi kelas secara keseluruhan.
Diskusi ini dibimbing oleh guru..
iv) Memikirkan kembali pendirian masing-masing.
Sebagai tahap terakhir dalam pembicaraan ini
guru meminta tiap murid untuk memikirkan
kembali pendiriannya semula. Sebelumnya
guru dapat menyuruh murid untuk
merangkumkan berbagai alasan yang
dikemukakan dalam kelas. Guru dapat pula
memberi kesempatan kepada siswa yang
mengubah pendiriannya serta alasannya. Perlu
diperhatikan bahwa tujuan pelajaran ini
bukanlah agar mencapai pendirian yang sama.
Guru sendiri tidak menyatakan pendiriannya
dan tidak berusaha untuk mempengaruhi
pendapat siswa. Diskusi ini tetap terbuka dan
guru meminta siswa untuk terus
memikirkannya dan menganjurkan untuk
88
membicarakannya lebih lanjut dengan orang
lain, dengan teman, orang tua dan lain-lain.
Menurut Zakiyah dan Rusdiana (2014 :
168-169) pembelajaran nilai di sekolah dapat
diaktualisasikan melalui metode berikut:
a) Metode dogmatic; yaitu metode untuk
mengajarkan nilai kepada peserta didik dengan
jalan menyajikan keseluruhan nilai yang harus
diterima oleh peserta didik apa adanya, tanpa
mempersoalkan hakikatnya.
b) Metode deduktif; adalah proses berpikir dari
yang umum ke yang khusus. Dengan kata lain,
nilai diajarkan dan diuraikan berawal dari
seperangkat kode etik nilai untuk dipahami
oleh peserta didik.
c) Metode induktif; adalah proses berpikir dari
yang khusus ke yang umum. Artinya, nilai
diajarkan kepada siswa bermula dari sejumlah
kasus yang terjadi di masyarakat, kemudian
ditarik dan diambil kesimpulannya.
89
Teknik pembelajaran pendidikan nilai di
sekolah yang efektif dapat dilakukan para pendidik
dengan langkah-langkah sebagai berikut (Zakiyah
dan Rusdiana, 2014 : 168-169) :
a) Penataan fisik sekolah dan kelas yang kondusif
untuk keberlangsungan belajar mengajar.
b) Pembinaan keagamaan bagi guru yang terpola
dan terprogram, ada pelatihan bagi guru
tentang metode memasukkan nilai melalui
bidang studi.
c) Penataan dan peningkatan kualitas kegiatan
ekstrakurikuler keagamaan di sekolah
d) Peningkatan rasa tanggung jawab, disiplin,
kebersamaan, persatuan dan kerja sama dalam
menjalankan aktivitas persekolahan, serta
menjalin hubungan harmonis dengan sekolah
atau lembaga lain.
e) Guru tampil sebagai sosok yang cerdas secara
intelektual, emosional dan spiritual
f) Diantara guru lahirnya kebiasaan untuk
berdiskusi, peningkatan wawasan, informasi
90
tentang ilmu umum dan agama di lingkungan
tempat guru bekerja.
g) Istiqomah untuk beramal saleh dan
memberikan keteladanan kepada para siswa.
h) Budaya ucapan salam di lingkungan sekolah
i) Adanya program BP/BK yang berbasis nili-
nilai keimanan dan ketakwaan.
2) Strategi pembelajaran berbasis pendidikan
multicultural
Berdasarkan tulisan Bunyamin Maftuh
dalam buku “Inovasi Pembelajaran IPS”
(Soemantri, dkk; 2010 : 148) pendidikan
multicultural merupakan sebuah upaya
menanamkan kesadaran bahwa siswa di sekolah
dapat bersifat multicultural yakni beranekaragam
dalam hal etnis, budaya, agama, tingkatan social
ekonomi, dan sebagainya.
Menurut Gunawan (2013 : 121) pendidikan
multicultural adalah proses penanaman cara hidup
menghormati, tulus dan toleran terhadap
91
keanekaragaman budaya yang hidup di tengah
masyarakat yang plural.
Menurut Manning dan Baruth (1996) dalam
Soemantri (2010 : 142) mengemukakan beberapa
prinsip pendidikan multicultural sebagai berikut :
a) Siswa yang berbeda secara budaya
memerlukan materi kurikulum yang sesuai.
Materi ini mesti meningkatkan konsep diri,
memelihara minat belajar di kelas, dan
menyediakan contoh, kosa kata, dan model
yang berkaitan dengan siswa yang berbeda
secara budaya.
b) Focus kurikulum yang utama meliputi
keterampilan dalam berfikir analitis dan kritis.
c) Materi, aktivitas dan pengalaman mesti
membantu siswa memahami perbedaan etnis
dan keragaman budaya dengan bersifat asli dan
multidimensi dan mesti mencakup baik
keterampilan kognitif maupun afektif.
92
Banks (1999) dalam Slavin (2011 : 153)
mengemukakan lima dimensi utama pendidikan
multikultur, antara lain :
a) Integrasi isi pelajaran adalah penggunaan
contoh, data dan informasi dari berbagai
budaya dari guru.
b) Konstruksi (pembentukan) pengetahuan
merujuk pada guru yang membantu siswa
memahami bagaimana pengetahuan diciptakan
dan bagaimana hal itu dipengaruhi oleh
kedudukan ras, etnis, dan kelas social individu
dan kelompok
c) Pengurangan prasangka merupakan sasaran
penting pendidikan multikultur.
d) Pedagogi kesetaraan merujuk pada penggunaan
teknik pengajaran yang mempermudah
keberhasilan akademis siswa dari kelompok
etnis dan kelas social yang berbeda
e) Budaya sekolah yang memberdayakan adalah
budaya yang membuat organisasi dan praktik
93
sekolah bersifat kondusif bagi pertumbuhan
akademis dan emosi semua siswa.
Cara mengintegrasikan pendidikan
multikultur menurut Bunyamin Maftuh dalam
Somantri, dkk (2010 : 149-156) selain penerapan
dalam proses belajar mengajar juga dengan cara
sebagai berikut :
a) Melalui pengembangan buku IPS
Pendidikan multikultur yang diterapkan
melalui buku teks dapat berupa penjelasan
penjelasan konsep ataupun cerita-cerita untuk
meningkatkan pemahaman dan penghargaan
siswa akan keanekaragaman.
b) Diintegrasikan ke dalam kegiatan
ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler yang dapat
mendukung bagi penerapan gagasan
pendidikan multikultur di sekolah, antara lain
OSIS, organisasi yang didasarkan pada bakat
dan minat (OR, seni dan budaya) dengan
mengadakan kegiatan-kegiatan sekolah seperti
94
pementasan budaya, peringatan hari besar
agama, hari besar nasional, peringatan hari
Kartini, dan sebagainya.
c) Kebijakan sekolah yang mendukung, misalnya:
(i) Pihak sekolah memperlakukan secara adil
kepada siswa, guru, dan staf tata usaha dari
berbagai keragaman etnis, budaya, agama,
jenis kelamin, lapisan social dan
sebagainya tanpa adanya diskriminasi.
(ii) Guru dan tata usaha bukan hanya diambil
dari satu kelompok etnis, budaya tertentu,
tetapi juga dapat dari kelompok etnis atau
budaya lain yang ada di masyarakat.
(iii)Peristiwa –peristiwa budaya yang
diselenggarakan di sekolah dapat mewakili
berbagai keanekaragaman budaya yang ada
di sekolah itu.
d) Penataan lingkungan kelas dan sekolah
Penataan lingkungan fisik kelas dan
sekolah dapat juga mendukung bagi penerapan
gagasan pendidikan multikultur, misalnya di
95
dinding kelas atau sekolah dapat ditempel
berbagai pajangan gambar atau poster dari
berbagai etnis, budaya, agama, lapisan social
yang ada di Indonesia, khususnya mewakili
keanekaragaman siswa yang ada di kelas atau
sekolah itu serta dapat juga di temple tulisan
atau moto yang berisi pesan-pesan nilai,
misalnya saling menghormati perbedaan
budaya, etnis dan agama yang mendukung
pada persatuan bangsa.
Kompetensi pendidik multikultur yang
efektif menurut Bunyamin Maftuh dalam
Somantri, dkk (2010 : 156-157) terdiri atas tiga
kategori :
a) Pengetahuan, mencakup pemahaman budaya
yang dimiliki siswa.
b) Keterampilan, mencakup pengakuan dan
respon secara tepat terhadap kekuatan dan
kelemahan siswa, respon terhadap hubungan
antara gaya belajar dan budaya, dan
memberikan pengalaman sekolah didasarkan
96
pada orientasi siswa terhadap sekolah dan
keberhasilan akademis, menggunakan metode
mengajar yang telah terbukti sesuai dengan
anak-anak yang beragam budaya.
c) Sikap, mencakup pengembangan sikap dan
nilai positif, menciptakan lingkungan belajar
yang sesuai secara budaya, dan menjadi contoh
atau model bagi siswa untuk belajar
menghormati dan peduli pada semua orang.
Perilaku guru yang esensial dalam kelas
multicultural menurut Manning & Baruth (1996)
dalam Somantri, dkk (2010 : 157-158) antara lain
sebagai berikut :
a) Guru mesti memberikan pengalaman belajar
yang mencerminkan bagaimana budaya siswa
mempengaruhi persepsi kompetensi,
kesejahteraan kelompok, berbagi, motivasi dan
keberhasilan.
b) Guru mesti memberikan pengalaman belajar
yang mencerminkan perbedaan gender. Contoh
penentangan bias gender dalam materi
97
kurikulum adalah mendorong integrasi gender
melalui tutor sebaya dan kelompok belajar
lainnya, serta melalui dialog dan kerjasama
terbuka.
c) Guru mesti memberikan pengalaman mengajar
yang mencerminkan keragaman secara budaya
pada gaya belajar siswa.
d) Guru mesti mendorong dan mendukung
pengembangan program bilingual (dwibahasa).
e) Guru mesti melibatkan siswa dalam berbagai
kegiatan berbahasa lisan yang bermakna,
relevan, dan fungsional dalam masyarakat yang
pluralistic.
f) Guru mesti memperlakukan semua siswa
dengan adil dan memiliki keterampilan atau
kemampuan untuk membangun kelas
demokratis dimana semua siswa menerima
perlakuan yang sama.
g) Guru mesti mengharapkan semua siswa secara
akademik berhasil ketimbang secara otomatis
98
mengharapkan siswa dari kelompok budaya
minoritas berprestasi kurang baik.
h) Guru mesti menggunakan kelompok yang
heterogen untuk meningkatkan rasa harga diri
dan mendorong interaksi etnis.
i) Guru mesti menunjukkan keperluan akan nilai
dan sikap demokratis, filosofi pendidikan
multicultural, dan kemampuan memandang
peristiwa dan situasi dari perspektif dan sudut
pandang etnis yang beragam.
j) Guru mesti mendorong persahabatan dan
interaksi lintas budaya, kerjasama, dan
sosialisasi antara anak laki-laki dan perempuan
dari semua budaya di sekolah, di tempat
bermain dan di masyarakat.
k) Guru mesti menangani masalah-masalah
khusus yang dihadapi para orang tua dan
keluarga yang beragam budaya seperti
kesulitan bahasa dan salah paham terhadap
system sekolah dan harapannya.
99
l) Guru mesti mempunyai pengetahuan factual
tentang perbedaan siswa seperti budaya, ras,
etnis, kelas social, dan gender dan memiliki
komitmen professional untuk membuat
pengalaman pendidikan yang mencerminkan
perbedaan tersebut.
m) Guru mesti mendorong dan merancang ruang
kelas yang mencerminkan keragaman budaya
melalui majalah dinding, pajangan karya siswa
di dinding kelas, dan karya budaya yang
beragama.
n) Guru mesti mendorong siswa bekerja dalam
kelompok kerja sama dan penataan lintas
budaya lainnya untuk memungkinkan
terjadinya interaksi social, percakapan, dan
dialog yang bermakna.
3) Strategi pembelajaran inklusi
Menurut Jacobsen, D.A., Eggen, P. &
Kauchak, D. (2009 : 271) inklusi merupakan suatu
pendekatan komprehensif untuk mendidik siswa-
100
siswi yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri
seraya menganjurkan adanya jejaring layanan yang
menyeluruh, sistematis dan terkoordinir dengan
tiga syarat komponen, yaitu :
a) Menempatkan siswa-siswi yang memiliki
kebutuhan khusus di lingkungan sekolah
regular
b) Menciptakan dukungan dan layanan yang
memadai untuk menjamin penyesuaian yang
layak
c) Mengkoordinasi layanan-layanan pendidikan
khusus dan umum
Selain memberikan pelayanan seperti di
atas, guru juga harus menciptakan suatu
lingkungan pembelajaran yang suportif dengan
cara :
a) Berkomunikasi secara regular dengan para
siswa agar penyesuaian dapat dibuat jika ada
modifikasi-modifikasi pengajaran
101
b) Menetapkan rutinitas-rutinitas agar siswa
mengetahui prosedur-prosedur dan harapan-
harapan ruang kelas
c) Memberikan dorongan dan dukungan melalui
strategi-strategi penguatan (reinforcement)
tambahan.
d) Berkomunikasi sesering mungkin dengan para
guru pendukung pendidikan khusus untuk
memastikan bahwa tim sudah berjalan dengan
efektif
e) Membantu siswa-siswa yang memiliki
keunikan-keunikan tertentu membentuk
hubungan-hubungan positif dengan siswa-
siswa yang lain (Hardman et.al., 2008; Heward,
2006 dalam Jacobsen, D.A., Eggen, P. &
Kauchak, D. 2009 : 275)
4) Strategi pembelajaran kooperatif/ cooperative
learning
Cooperative learning merupakan
sekumpulan strategi yang khusus dirancang untuk
102
memberi dorongan untuk bekerjasama selama
proses pembelajaran dengan tujuan agar peserta
didik dapat belajar secara berkelompok bersama-
sama temannya dengan cara saling menghargai
pendapat dan memberikan kesempatan kepada
orang lain untuk mengemukakan gagasannya
dengan menyampaikan pendapat mereka secara
berkelompok (Al-Muchtar, 2014 : 248; 250).
Menurut Sanjaya, W (2013 : 243) strategi
pembelajaran ini bisa digunakan manakala :
Guru menekankan pentingnya usaha kolektif
disamping usaha individual dalam belajar
Jika guru menghendaki seluruh siswa (bukan
hanya siswa yang pintar saja) untuk
memperoleh keberhasilan dalam belajar
Jika guru ingin menanamkan, bahwa siswa
dapat belajar dari teman lainnya, dan belajar
dari bantuan orang lain
Jika guru menghendaki untuk mengembangkan
kemampuan komunikasi siswa sebagai bagian
dari isi kurikulum
103
Jika guru menghendaki meningkatnya motivasi
siswa dan menambah tingkat partisipasi
mereka
Jika guru menghendaki berkembangnya
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
dan menemukan berbagai solusi pemecahan
Prosedur pembelajaran kooperatif pada
prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu
(Sanjaya, W; 2013 : 248-249) :
a) Penjelasan materi, pada tahap ini guru
memberikan gambaran umum tentang materi
pelajaran yang harus dikuasai yang
selanjutnya siswa akan memperdalam materi
dalam pembelajaran kelompok.
b) Belajar dalam kelompok, pada tahap ini tim
siswa didorong untuk melakukan tukar-
menukar informasi dan pendapat,
mendiskusikan permasalahan secara bersama,
membandingkan jawaban mereka, dan
mengoreksi hal-hal yang kurang tepat.
104
c) Penilaian, pada tahap ini siswa dinilai baik
secara individual maupun secara kelompok.
d) Pengakuan tim, pada tahap ini tim yang
dianggap paling menonjol atau paling
berprestasi diberikan penghargaan atau
hadiah.
5) Problem Based Learning
Strategi ini memungkinkan siswa untuk
memberikan kontribusi sesuai kekuatan masing-
masing, menggunakan talenta khususnya masing-
masing, dan mengidentifikasi berbagai masalah
yang dipilihnya sendiri, dan merancang proyek-
proyek yang berusaha menjawab masalah-masalah
itu secara autentik dan menantang (Arends, R.I,
2008 : 127).
Strategi pembelajaran dengan pemecahan
masalah (problem based learning) dapat
diterapkan (Sanjaya, W ; 2013 : 215) :
Manakala guru menginginkan agar siswa tidak
hanya sekedar dapat mengingat materi
105
pelajaran, akan tetapi menguasai dan
memahaminya secara penuh.
Apabila guru bermaksud untuk mengembangkan
keterampilan menerapkan keterampilan berpikir
rasional.
Manakala guru menginginkan kemampuan
siswa untuk memecahkan masalah serta
membuat tantangan intelektual siswa.
Jika guru ingin mendorong siswa untuk lebih
bertanggung jawab dalam belajarnya.
Jika guru ingin agar siswa memahami hubungan
antara apa yang dipelajari dengan kenyataan
dalam kehidupannya.
Menurut Sanjaya, W (2013 : 218-220)
secara umum langkah-langkah strategi problem
based learning adalah :
a) Menyadari masalah, yaitu langkah siswa
menemukan adanya masalah
b) Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa
menentukan masalah yang akan dipecahkan
106
c) Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa
merumuskan berbagai kemungkinan
pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya
d) Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa
mencari dan menggambarkan informasi yang
diperlukan untuk pemecahan masalah
e) Menguji hipotesis, yaitu langkah siswa
mengambil atau merumuskan kesimpulan
sesuai dengan penerimaan dan penolakan
hipotesis yang diajukan
f) Menentukan pilihan penyelesaian, yaitu
langkah siswa memilih alternative
penyelesaian yang memungkinkan
6) Strategi pembelajaran inkuiri sosial
Inkuiri social adalah strategi
pembelajaran dari kelompok social yang
berorientasi kepada pengalaman siswa dengan
mengembangkan kemampuan siswa untuk
menemukan dan merefleksikan sifat-sifat
107
kehidupan social, terutama untuk melatih siswa
agar hidup mandiri dalam masyarakatnya melalui
kajian masalah-masalah social atau masalah
kehidupan masyarakat. (Joyce & Weil, 1980
dalam Sanjaya, W; 2013 : 205-206).
Ada tiga karakteristik pengembangan
strategi inkuiri social, yaitu (a) adanya aspek
(masalah) social dalam kelas yang dianggap
penting dan dapat mendorong terciptanya diskusi
kelas; (b) adanya rumusan hipotesis sebagai focus
untuk inkuiri; (c) penggunaan fakta sebagai
pengujian hipotesis (Sanjaya, W; 2013 : 206).
Secara umum proses pembelajaran inkuiri
mengikuti langkah-langkah sebagai berikut
(Sanjaya, W; 2013 : 206) :
a) Orientasi, pada tahap ini langkah untuk
membina suasana iklim pembelajaran yang
responsive dengan menjelaskan topik; tujuan;
hasil belajar; pokok-pokok kegiatan;
pentingnya topik dan kegiatan
108
b) Merumuskan masalah, pada tahap ini siswa
dibawa pada persoalan yang mengandung
teka-teki yang mengandung konsep yang jelas.
c) Merumuskan hipotesis, pada tahap ini
jawaban sementara dari suatu permasalahan
dikaji dengan mendorong siswa untuk dapat
merumuskan jawaban.
d) Mengumpulkan data, pada tahap ini aktivitas
menjaring informasi yang dibutuhkan untuk
menguji hipotesis yang diajukan dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
dapat mendorong siswa untuk mencari
informasi yang dibutuhkan.
e) Menguji hipotesis, pada tahap ini kebenaran
jawaban diuji dengan data atau informasi yang
diperoleh berdasarkan pengumpulan data.
f) Merumuskan kesimpulan, pada tahap ini
proses mendeskripsikan temuan yang
diperoleh berdasarkan hasil pengujian
hipotesis.
109
7) Sosiodrama (Bermain peran)
Melalui strategi ini, siswa dapat
memecahkan masalah dan meningkatkan
internalisasi nilai-nilai social melalui peran tokoh
yang dimainkannya. Menurut Hamzah B. Uno
(2014 :26-28) prosedur bermain peran terdiri atas
sembilan langkah, yaitu :
a) Pemanasan, pada tahap ini guru berupaya
memperkenalkan siswa pada permasalahan
yang mereka sadari sebagai suatu hal yang bagi
semua orang perlu memelajaridan
menguasainya.
b) Memilih peran (partisipan), pada tahap ini
siswa dan guru membahas karakter dari setiap
pemain dan menentukan siapa yang akan
memainkannya.
c) Menata panggung, pada tahap ini guru
mendiskusikan dengan siswa dimana dan
bagaimana peran itu akan dimainkan.
d) Guru menunjuk beberapa siswa sebagai
pengamat
110
e) Permainan peran dimulai
f) Guru bersama siswa mendiskusikan permainan
tadi dan melakukan evaluasi terhadap peran-
peran yang dilakukan
g) Permainan peran ulang, pada tahap ini siswa
dapat memainkan perannya lebih sesuai dengan
scenario
h) Pembahasan diskusi dan evaluasi lebih
diarahkan pada realitas
i) Siswa diajak untuk berbagi pengalaman
tentang tema permainan peran yang telah
dilakukan dan dilanjutkan dengan membuat
kesimpulan.
8) Simulasi Sosial
Permainan simulasi dapat merangsang
berbagai bentuk belajar, seperti belajar tentang
persaingan, kerja sama, empati, system social,
konsep keterampilan, kemampuan berpikir kritis,
pengambilan keputusan, dll. Ada tiga tahap dalam
111
permainan simulasi social, yaitu (Hamzah Uno;
2014 : 30) :
a) Tahap pertama, pembelajaran simulasi adalah
menyiapkan siswa yang menjadi pemeran
dalam simulasi
b) Tahap kedua, guru menyusun scenario dengan
memperkenalkan siswa terhadap aturan, peran,
prosedur, pemberi skor, tujuan permainan, dll.
c) Tahap ketiga adalah pelaksanaan dari simulasi
itu sendiri.
112
BAB VI
INOVASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS
A. Pengertian Inovasi Pembelajaran Pendidikan
IPS
Inovasi adalah upaya strategis dan keharusan
untuk dilakukan dalam menjawab tantangan
pendidikan, dalam membina kualitas Indonesia yang
memiliki kemampuan kompetitif dalam percaturan
global (Al-Muchtar, 2014 : 130).
Sedangkan pembelajaran (learning) dapat
didefinisikan sebagai pengaruh permanen atas
perilaku, pengetahuan dan keterampilan berfikir, yang
diperoleh melalui pengalaman (Santrock, 2011:266).
Inovasi pembelajaran IPS pada hakekatnya
adalah upaya untuk memenuhi peningkatan mutu
proses pendidikan IPS yang dilakukan terus menerus
untuk memenuhi perkembangan tuntutan masyarakat
terhadap pendidikan (Al-Muchtar, 2014 : 140).
Fenomena merosotnya nilai-nilai moral menjadi
tantangan bagi dunia pendidikan dan perlu dijadikan
113
dasar pemikiran bagi perlunya inovasi dalam
pembelajaran.
B. Peluang Inovasi Pembelajaran Pendidikan IPS
Berikut factor peluang dan kekuatan pelaksanaan
inovasi proses pembelajaran yang dapat dimanfaatkan
oleh guru (Al-Muchtar, 2014, 153-154) :
1) Lembaga pendidikan dan pelatihan untuk
melakukan “service training” keguruan
pendidikan, sudah melembaga dan dapat
ditingkatkan peranannya dalam pelatihan model
pembelajaran.
2) Kebijakan, system manajemen pendidikan, dan
kemampuan birokrasi pendidikan memungkinkan
memperkuat daya dukung pembelajaran
3) Daya dukung masyarakat dapat ditransformasikan
menjadi daya dukung pembelajaran, sejalan
dengan makin menguatnya aspirasi dan apresiasi
masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas
4) Peran guru dapat ditransformasikan kea arah
sebagai pengembang kurikulum dengan
114
memberikan pendidikan tambahan dan pelatihan
untuk dapat bertindak sebagai peneliti,
pengembang dan pelaku inovasi pembelajaran.
C. Tantangan Inovasi Pembelajaran Pendidikan IPS
Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik
diarahkan, dibimbing dan dibantu untuk menjadi
warga Negara Indonesia dan warga dunia yang baik.
Menjadi warga Negara dan warga dunia yang baik
merupakan tantangan yang berat karena masyarakat
global selalu mengalami perubahan yang besar setiap
saat, untuk itulah IPS harus dirancang untuk
membangun dan merefleksikan kemampuan peserta
didik dalam kehidupan masyarakat yang selalu
berubah dan berkembang secara terus menerus, tetapi
masalahnya sebagian guru IPS belum terampil
menggunakan beberapa model mengajar dengan
menggunakan pendekatan perspektif global
(Gunawan, 2013 : 92). Selain itu, dalam hal
implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum guru
yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran
115
atau diklat sangat terbatas sekali sehingga mereka
masih belum memahami hakikat kurikulum dalam
mengantisipasi fenomena global.
Menurut Al-Muchtar (2014 : 135-136) terdapat
dua tarikan yang mempengaruhi tuntutan dan
tantangan pendidikan, yaitu :
1) Pendidikan IPS dihadapkan pada tantangan untuk
berperan memperkuat system nilai dalam
mempertinggi kualitas keimanan dan ketakwaan.
2) Pendidikan IPS dihadapkan pada penguasaan ilmu-
ilmu social budaya dan teknologi
Era global menuntut sumber daya manusia
yang memiliki daya saing, adaptif, mampu belajar,
terampil, mudah beradaptasi dengan teknologi baru
dengan profil tenaga kerja yang tidak hanya
mempunyai aspek hard skills tetapi juga aspek soft
skill sebagai bagian dimensi pendidikan IPS. Hasil
survei Widarto, dkk (2012) menemukan bahwa aspek
sikap/watak merupakan aspek yang memiliki
kontribusi terbesar untuk menghasilkan produk yang
116
berkualitas, selanjutnya secara berturut-turut adalah
kondisi fisik, pengetahuan dan keterampilan.
Perubahan global dunia merupakan tantangan
yang menuntut inovasi pembelajaran IPS yang sesuai
dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu,
diperlukan materi pendidikan IPS yang berwawasan
global. Menurut Gunawan (2013 : 93) materi tersebut
diantaranya :
1) Tentang kesadaran diri, sebagai makhluk Tuhan,
eksistensi, potensi dan jati diri sebagai warga dari
sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat
sederajat dengan bangsa lain di dunia (tidak lebih
rendah dari bangsa lain).
2) Tentang kecakapan berfikir seperti kecakapan;
berfikir kritis, menggali informasi, mengolah
informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan
masalah.
3) Tentang kecakapan akademik tentang ilmu-ilmu
social, seperti kemampuan memahami fakta,
konsep dan generalisasi tentang system social
budaya, lingkungan hidup, perilaku ekonomi dan
117
kesejahteraan, serta tentang waktu dan
keberlanjutan perubahan yang terjadi di dunia.
4) Mengembangkan social skills, dengan maksud
supaya pada masa dating kita tidak hanya menjadi
obyek penguasaan globalisasi belaka.
Perkembangan IPTEK harus diimbangi dengan
inovasi pembelajaran agar tidak ada kesenjangan
antara kualitas pendidikan IPS dalam kenyataan
empiric dengan tuntutan ideal, kurikulum, kehidupan
praktis dan perkembangan masyarakat.
Pembangunan sebagai bagian dari perubahan
dan transformasi social budaya, ternyata melahirkan
pula ekses-ekses melemahnya nilai-nilai lama yang
telah memperkuat struktur masyarakat, sehingga
menimbulkan kesenjangan dengan nilai-nilai yang
baru muncul. Disinilah peran strategis strategis
pembaruan pembelajaran dalam memenuhi tantangan
pendidikan untuk meluruskan arah tersebut.
Sebagian besar masyarakat Indonesia belum
siap untuk mengadaptasi atau mengadopsi budaya dan
peradaban asing yang mulai merambah secara global,
118
karena berbenturan dengan nilai-nilai tradisi ataupun
agama sehingga proses belajar mengajar IPS
dilakukan dalam bentuk konvensional saja dengan
perolehan hasil belajar secara konsep dan tidak
mengarah kegiatan pembelajaran yang bermakna dan
kontekstual pada kondisi masyarakat. Contoh :
penggunaan teknologi pertanian disuatu masyarakat
tertentu dianggap merusak tatanan system nilai,
seperti gotong-royong.
Menurut tulisan Hamid Hasan (2007) dalam
Somantri, dkk (2010 : 8-9) bahwa keluhan mengenai
pendidikan IPS terekam dengan baik melalui berbagai
penelitian, antara lain pelajaran IPS membosankan,
tidak menantang berpikir, menambah beban belajar,
tidak ada manfaatnya, hanya untuk mereka yang
kurang cerdas, hanya untuk mereka yang kuat dalam
menghafal, dan materi pelajaran tidak dapat
digunakan atau berkenaan dengan kehidupan sehari-
hari. Keluhan lain mengenai IPS adalah materi
pelajaran yang dianggap merupakan pengulangan dari
materi pelajaran di SD/SMP, buku teks yang penuh
119
dengan fakta dan terlalu kering, dan proses
pembelajaran yang monoton dimana peserta didik
lebih banyak mendengar daripada mencatat.
Kenyataan tersebut telah berjalan panjang dan
menjadi tantangan perbaikan dalam berbagian
komponen pendidikan IPS
Adanya tantangan bahwa kecenderungan
terhadap muatan local sebagai bahan pembelajaran
IPS dianggap di luar kurikulum. Oleh karena itu,
muatan local belum mempunyai acuan atau model
pengembangan, di samping itu buku-buku penunjang
belum ada sehingga menuntut keterampilan pengajar
untuk mengembangkan program sesuai kondisi
lingkungannya. Peluang untuk memperkuat
keterpaduan antara program materi mata pelajaran ini
dengan kondisi lingkungan social masih lemah, dan
belum menjamin peserta didik mengaktualisasikan
pengetahuan (Suwarma, 2014 : 59-60).
120
D. Kendala Inovasi Pembelajaran Pendidikan IPS
1. Kendala Peran dan Kemampuan Guru
Menurut Al-Muchtar (2014, 156-157)
factor diperkirakan akan muncul sebagai kendala
inovator pembelajaran, untuk disajikan bahan
diskusi :
1) Kebiasaan factor yang sangat kuat dalam
memunculkan budaya rutinitas, yang dapat
menghambat munculnya dorongan bagi inovasi
pembelajaran pendidikan IPS
2) Orientasi yang terlalu kuat dalam
memunculkan pencapaian partisipasi
pendidikan yang menghambat munculnya
dorongan bagi inovator pembelajaran.
3) Kondisi guru lebih kuat sebagai pelaksana
kurikulum daripada sebagai pengembang
kurikulum yang diperkuat dengan pendekatan
birokrasi
4) Langkanya penelitian pendidikan dalam bidang
pembelajaran, yang diperkuat belum
121
berperannya pendidikan sebagai sumber
informasi dan penelitian pendidikan.
5) Kebijakan nasional dalam pendidikan belum
secara langsung banyak menyentuh secara
langsung bidang pembelajaran, diperkuat
dengan kurangnya memberikan dukungan
otonomi bagi guru dan sekolah dapat
mengakibatkan hambatan bagi inovasi
pembelajaran pendidikan IPS
6) Kesenjangan antara proses pembelajaran
dengan tuntutan perubahan dalam masyarakat
yang sangat lebar, ditambah dengan
terbatasnya sumber daya pendidikan, dapat
menjadi hambatan dan kendala bagi inovasi
pembelajaran pendidikan IPS
7) Orientasi yang kuat terhadap penguasaan
materi pendidikan secara dikotomik
mengabaikan penguasaan terhadap
karakteristik peserta didik, dapat menjadi
hambatan dalam inovasi pembelajaran
122
8) Etos kerja dan tingkat kesejahteraan pendidik,
dapat muncul sebagai hambatan eksternal
dalam upaya inovasi pembelajaran.
2. Kendala Sumber Dana
Sumber dana pendidikan yang terbatas
menjadi kendala dalam inovasi pembelajaran
karena tidak memenuhi tuntutan dan kebutuhan
akan pendidikan. Pendekatan demokrasi
pendidikan dalam konsep pendidikan masal
“education for all” dalam Negara berkembang
terkesan berorientasi pada kuantitas partisipasi
pendidikan lebih menonjol daripada proses dan
mutu pendidikan sehingga inovasi dalam
pembelajaran berkurang karena menonjolnya
masalah administrasi pelayanan pendidikan (Al-
Muchtar, 2014 : 131-132).
123
E. Arah Inovasi Pembelajaran Pendidikan IPS
1. Pengembangan Evaluasi Pembelajaran
Pendidikan IPS
Inovasi pembelajaran pendidikan IPS harus
diarahkan pada peningkatan mutu pembelajaran.
Faktor penentu mutu evaluasi pembelajaran
pendidikan IPS meliputi penilaian terhadap
tujuan, materi, dukungan fasilitas, kondisi siswa
dan guru. Mutu pembelajaran IPS dapat
ditingkatkan dengan evaluasi terhadap
pengembangan strategi pembelajaran dan
pengembangan program.
Dalam meningkatkan mutu pembelajaran
IPS, hendaknya analisis hasil belajar lebih
ditekankan pada indicator kemampuan belajar
peserta didik dari pada orientasi pemenuhan pasar
lapangan kerja, mengingat sebagai bagian utama
dari strategi pembelajaran IPS lebih berfungsi
dalam memberikan pemetaan keadilan dalam
pendidikan (Suwarma, 2008 : 50).
124
2. Strategi Pengembangan Pendidikan IPS Dalam
Mengantisipasi Masa Depan
Masyarakat maju dewasa ini dan masa
mendatang pasti mengangkat berbagai isu dan
kebutuhan, seperti sekarang ini masalah integrase
Masyarakat Ekonomi ASEAN, kejahatan,
minuman keras, seks, masalah-masalah HAM dan
patologi social lainnya. Berdasarkan berbagai
masalah tersebut, menurut Somantri (2001 : 202)
perlu strategi pengembangan pendidikan IPS yang
meliputi :
a) Untuk jangka panjang perlu kajian dan evaluasi
akademik tentang struktur kurikulum
pendidikan IPS
b) Pendidikan IPS harus diperkaya dengan
pengetahuan fungsional yang tumbuh dan oleh
masyarakat serta mengikuti perkembangan
IPTEK
c) Perlunya bantuan disiplin pendidikan ilmu lain
dalam mengembangkan pendidikan IPS
125
d) Perlunya mata kuliah yang bermuatan metode
mengajar pada setiap diklat atau pelatihan
tentang pendidikan IPS
e) Pengembangan strategi pembelajaran dari
ekspositori menuju inkuiri untuk mendorong
terjadinya belajar aktif
f) Penelitian, skripsi, tesis dan disertasi
hendaknya diarahkan pada pengembangan
strategi pembelajaran pendidikan IPS
3. Pengembangan Materi Pembelajaran
Pendidikan IPS
Pengembangan materi pembelajaran IPS
dapat dilakukan dengan mengintegrasikan bahan-
bahan yang langsung bersifat actual di masyarakat.
Tidak menempatkan target kurikulum sebagai
harga mati, tetapi menempatkan guru sebagai
pelaksana dan pengembang kurikulum dengan
menyajikan materi yang diperkaya dengan muatan
local sehingga bersifat kontekstual dengan
126
perubahan social budaya melibatkan peran aktif
peserta didik.
Perlunya pengembangan konstruksi materi
pembelajaran pendidikan IPS yang dirumuskan
dalam bentuk butir-butir yang berhubungan satu
sama lain (Somantri; 2001 : 207) :
a) Adanya hubungan interdisipliner dan atau
trans-disipliner antara disiplin ilmu-ilmu
pendidikan, ilmu-ilmu social dan humaniora
bahkan dengan ilmu, teknologi, seni dan agama
b) Hubungan antara disiplin itu disebabkan
adanya kebutuhan dan kegunaan yaitu
kepentingan pendidikan sebagai “advance
knowledge”
c) Proses pendekatan antar-disipliner merupakan
seleksi dari sisiplin ilmu-ilmu social dan
humaniora untuk tujuan pendidikan
d) Bahan pendidikan diorganisasikan secara
ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan
127
4. Rekonstruksi Kurikulum Ilmu Social Sebagai
Media Ketertiban
Dinamika masyarakat Indonesia dalam
segala bidang antara lain izin pengelolaan hutan
atau sumber daya alam lainnya dan pelaksanaaan
otonomi daerah berpotensi untuk menimbulkan
ketidaktertiban. Keadaan ini menimbulkan
kompleksnya hubungan social sehingga
memerlukan hubungan inter-disipliner dalam
menyusun kurikulum ilmu-ilmu social. Hal ini
dimaksudkan untuk mencapai tujuan bangsa agar
pembangunan nasional tidak terganggu oelh
masalah ketidaktertiban masyarakat yang
berkepanjangan sekarang ini, dan untuk
mengantisipasi masalah-masalah social yang akan
timbul di masa depan. Hal yang bisa direkonstruksi
atau lebih tepat disebut refleksi dan penyesuaian
adalah dengan kebudayaan dan tujuan bangsa
Indonesia, pendekatan penyusunan materi ilmu
social dan materi penyampaiannya, hambatan-
128
hambatan konsep kurikulum ilmu-ilmu social
termasuk pendidikan IPS (Somantri, 2001 : 145).
Konsep kurikulum yang memberikan
harapan bagi terjadinya rekonstruksi ialah struktur
kurikulum yang berurutan (consecutive) dengan
memadukan pengetahuan fungsional dan
pengetahuan teoritik. Proses pendidikan yang
dikembangkan pun hendaknya mengarah pada
proses mengambil keputusan untuk menghasilkan
kualitas berpikir terbaik bagi setiap pemecahan
masalah (Somantri, 2001 : 148).
5. Pengembangan Bahan Ajar Pendidikan IPS
Pengembangan bahan ajar pendidikan IPS
di sekolah meliputi ((Somantri, 2001 : 264) :
a) Bahan ajar lebih banyak memperhatikan
kebutuhan dan minat pelajar
b) Bahan ajar lebih banyak memperhatikan
masalah-masalah social
c) Bahan ajar lebih banyak memberikan perhatian
pada keterampilan berpikir
129
d) Bahan ajar lebih banyak memberikan perhatian
terhadap pemeliharaan dan pemanfaatan
lingkungan alam sekitar
e) Kegiatan-kegiatan dasar manusia tercermin
dalam bahan ajar
f) Organisasi kurikulum dalam bahan ajar
bervariasi, mulai dari pengorganisasian yang
“integrated, correlated dan separated”
g) Susunan bahan ajar bervariasi mulai dari
pendekatan, fungsional, humanistic dan
structural
h) Unsur-unsur sosiologis, antropologis dan
pengetahuan social lainnya memperkaya bahan
ajar, demikian pula unsur-unsur sains,
teknologi, matematika dan agama ikut
memperkaya bahan ajar
6. Inovasi Proses Pembelajaran IPS
Upaya yang harus dilakukan dalam
pelaksanaan inovasi proses pembelajaran IPS,
antara lain (Suwarma, 2014 : 180-186) :
130
a) Lembaga pembelajaran pendidikan IPS dan
pelatihan untuk melakukan “inservice
training” kependidikan dan pelatihan
ditingkatkan peranannya dalam pelatihan
model pembelajaran pendidikan IPS
b) Kebijakan, system manajemen pendidikan, dan
kemampuan birokrasi pembelajaran pendidikan
IPS diperkuat daya dukungnya dalam
pembelajaran
c) Daya dukung masyarakat ditransformasikan
menjadi daya dukung pembelajaran, sejalan
dengan menguatnya aspirasi dan apresiasi
masyarakat terhadap pembelajaran pendidikan
IPS yang berkualitas
d) Peran pendidik ditransformasikan ke arah
sebagai pengembang kurikulum dengan
memberikan pembelajaran pendidikan
pendidikan IPS tambahan dan pelatihan untuk
dapat bertindak sebagai peneliti, pengembang
dan pelaku inovasi pembelajaran pendidikan
IPS
131
e) Memunculkan budaya pengembangan inovasi
oleh pendidik untuk memperbanyak penelitian
dalam bidang pembelajaran pendidikan IPS
f) Kebijakan nasional dalam bidang pembelajaran
pendidikan IPS secara langsung harus
menyentuh bidang pembelajaran, diperkuat
dengan kurangnya memberikan dukungan
otonomi bagi pendidik dan sekolah
g) Meminimalisir kesenjangan antara proses
pembelajaran dengan tuntutan perubahan
dalam masyarakat yang sangat lebar
h) Menguatkan orientasi pembelajaran kea rah
penguasaan terhadapa karakteristik peserta
didik bukan ke arah penguasaan materi
pendidikan semata
i) Adanya upaya strategis yang dilakukan
pemerintah yang tergambar pada kerangka atau
pola inovasi pembelajaran bagi peningkatan
mutu pendidikan
132
j) Adanya tindak lanjut hasil evaluasi
pembelajaran untuk rujukan pembelajaran yang
efektif
k) Perlunya peran masyarakat dalam memperkuat
solidaritas social dan peningkatan sikap social
l) Inovasi pembelajaran didasarkan pada dimensi
sosiologis dan psikologis untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran
m) Analisis mengenai kelemahan proses
pembelajaran harus ditindaklanjuti
n) Perlu dipelajari secara teoritik dan empiric
tentang masalah yang mengedepankan
pemecahan dalam proses pembelajaran
pendidikan IPS
o) Meningkatkan kadar kualitas pembelajaran
dengan menindaklanjuti hasi studi
7. Pengembangan Tujuan Pendidikan IPS
Pengembangan tujuan pendidikan IPS
meliputi usaha-usaha sebagai berikut (Suwarma Al
Muchtar; 2014 : 138) :
133
a) Tujuan pembelajaran pendidikan IPS harus
dirumuskan ke arah mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi, apabila
wawasan pengembangan kurikulumnya tidak
dipersempitkan pada latar formulistik
persekolahan
b) Kemampuan berpikir dan nilai dijadikan titik
orientasi pengembangan, maka pendidikan IPS
akan lebih berperan dalam mempersiapkan
sumber daya manusia produktif dalam
perkembangan ilmu dan teknologi dalam era
informasi modern dan globalisasi
c) Tujuan pendidikan IPS perlu menyentuh
pengembangan kemampuan berpikir dan
apresiasi nilai melalui pendidikan IPS akan
afektif jika dilakukan dalam wawasan lebih luas
dan kokoh bagi terwujudnya sosok utuh
substansi keilmuan dari ilmu-ilmu social, yang
kongruen dengan kondisi lingkungan dan nilai
social budaya serta tuntunan psikologis peserta
didik pada setiap jenjang sekolah
134
d) Perumusan tujuan pendidikan IPS tidak terbatas
pada orientasi nilai belajar dalam pendidikan
IPS yang amat kuat untuk dapat melanjutkan ke
PTN, memungkinkan guru sebagai pengembang
kurikulum “terekayasa” ke arah pemikiran dan
sikap ketergantungan sehingga terperangkap
pada posisi “kemandirian” dalam melakukan
improvisasi profesionalnya untuk
membudayakan berpikir dan internalisasi nilai
social budaya dalam pendidikan IPS
8. Pengembangan Penelitian Pendidikan IPS
Upaya pengembangan penelittian
pendidikan IPS antara lain (Suwarma Al Muchtar,
2014 : 151-152) :
a) Penelitian pendidikan IPS perlu menghindari
menggunakan pendekatan, metode, dan model
penelitian standar baik dalam ilmu-ilmu social
dan ilmu pendidikan serta bidang ilmu lainnya
perlu ditransformasikan kepada pengembangan
metode penelitian spesifik sesuai dengan jati
135
diri pendidikan IPS sebagi ilmu pengetahuan
dan sebagai disiplin ilmu
b) Perlu dikaji secara kritis untuk tidak
mengintervensi pengembangan metode
penelitian dan logika internal yang akan
ditumbuhkan dalam dalam pendidikan IPS
c) Penelitian kelas dan penelitian tindakan kelas
yang sekarang tengah dikembangkan kiranya
dapat dijadikan unggulan dalam penelitian
pendidikan IPS
d) Model penelitian pendidikan IPS perlu
dikonseptulkan untuk memberdayakan guru
agar mampu melakukan diagnosis dan terapetik
sebagai dasar bagi pengembangan
profesionalisme yang kreatif dan inovatif
dalam meningkatkan mutu pendidikan IPS
9. Pengembangan Definisi Pendidikan IPS
Urgensi pengembangan definisi pendidikan
IPS meliputi (Suwarma Al Muchtar, 2014 : 136-
137) :
136
a) Pendidikan IPS masih perlu dipertegas dan
dibatasi hanya sebagai program pendidikan
untuk tingkat persekolahan
b) Pendidikan IPS perlu diartikan dalam rumusan
definisi yang terbuka dan beragam sesuai
dengan tujuan dan strata pendidikan di sekolah
dan perguruan tinggi
c) Pendidikan IPS perlu dipertegas bahwa
pendidikan IPS tidak “bebas nilai” akan tetapi
justru sarat dengan nilai. Hal ini merupakan
keunggulan konseptual untuk lebih menjelaskan
bahwa ilmu-ilmu social yang menjadi sumber
keilmuan dalam paradigma ilmu soial yang
value based.
d) Perlu keunggulan konseptual lain dengan
pengintegrasian sumber bahannya yang tidak
terbatas pada ilmu-ilmu social akan tetapi
menyangkut agama dan humaniora yang
menjadi keunikan yang membentuk jatidiri
pendidikan IPS
137
e) Semangat menyamakan pendidikan IPS dengan
ilmu-ilmu social perlu diluruskan melalui kajian
epistemology
f) Perlu ditegaskan secara konseptual bahwa
pendidikan IPS adalah bukan ilmu-ilmu social
dan ilmu-ilmu social bukan pendidikan IPS
g) Mengenai hubungan pendidikan IPS dengan
Ilmu-Ilmu Sosial, perlu dikembangkan secara
tegas akan perbedaan misi dan tujuan serta
landasan dasar epistemology yang memperkuat
paradigm pendidikan IPS sebagai disiplin
keilmuan yang memiliki perbedaan dengan
ilmu-ilmu social dan ilmu pendidikan
h) Pendidikan IPS perlu memperjelas logika
internal keilmuan dari kedua bidang kajian
pendidikan IPS dan Ilmu-Ilmu Sosial sangat
dibutuhkan bagi upaya kerjasama akademik
dalam memperkuat pendidikan IPS sebagai
kajian pendidikan disiplin keilmuan
i) Pengembangan konseptual pendidikan IPS perlu
diperkuat dengan rekonstruksi paradigm
138
pendekatan dan metodologi penelitian sekaligus
untuk memperkuat pendidikan IPS dengan
dukungan hasil penelitian, mengembangkan dan
memproduksi teori-teori yang menopang
pengembangan epistemologinya.
10. Strategi Pengembangan Kemampuan Berpikir
dan Nilai Dalam Pendidikan IPS
Pendidikan IPS sebagai salah satu program
pendidikan dihadapkan kepada tantangan untuk
mempersiapkan manusia Indonesia yang mampu
berkiprah dalam kehidupan masyarakat modern.
Namun dewasa ini dihadapkan kepada masalah
peningkatan kualitas yang amat serius, bahkan
diduga dapat mengancam eksistensinya dalam
kurikulum persekolahan. Seiring dengan kondisi
tersbut, peningkatan kualitas pendidikan IPS perlu
ditingkatkan. Diantara alternatifnya adalah dengan
memfungsionalkan pendidikan nilai sebagai
media pengembangan naturalistic inquiry
(Suwarma Al Muchtar, 2014 : 57-58).
139
Pengembangan kemampuan berpikir, terkait
dengan asumsi bahwa berpikir merupakan potensi
manusia yang perlu secara sengaja dikembangkan
untuk mencapai kapasitas optimal. Proses
pendidikan dalam konteks ini merupakan sarana
untuk mengembangkannya. Kemampuan berpikir
dianggap sebagai sumber daya yang amat vital
bagi suatu bangsa, karena itu dibutuhkan dari
kaum pendidik untuk menyelenggarakan
pendidikan berpikir (Costa Arthur L, 1985 dalam
Al Muchtar, dkk; 2014 : 20).
140
BAB VII
TEORI-TEORI YANG MELANDASI INOVASI
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS
A. Daftar Teori Pembelajaran dan
Penemunya
ACT-R (John Anderson)
Adult Learning Theory (P. Cross)
Algo-Heuristic Theory (L. Landa)
Andragogy (Malcolm Knowles)
Anchored Instruction (John Bransford)
Aptitude-Treatment Interaction (L. Cronbach & R.
Snow)
Attribution Theory (B. Weiner)
Cognitive Dissonance Theory (L. Festinger)
Cognitive Flexibility Theory (R. Spiro)
Cognitive Load Theory (J. Sweller)
Component Display Theory (M. David Merrill)
Conditions of Learning (Robert Gagne)
Connectionism (Edward Thorndike)
Constructivist Theory (Jerome Bruner)
141
Contiguity Theory (Edwin Guthrie)
Conversation Theory (Gordon Pask)
Criterion Referenced Instruction (Robert Mager)
Double Loop Learning (C. Argyris)
Drive Reduction Theory (C. Hull)
Dual Coding Theory (A. Paivio)
Elaboration Theory (C. Reigeluth)
Experiential Learning (C. Rogers)
Functional Context Theory (Tom Sticht)
Genetic Epistemology (J. Piaget)
Gestalt Theory (M. Wertheimer)
GOMS (Card, Moran & Newell)
General Problem Solver (A. Newell & H. Simon)
Information Pickup Theory (J.J. Gibson)
Information Processing Theory (G.A. Miller)
Lateral Thinking (E. DeBono)
Levels of Processing (Craik & Lockhart)
Minimalism (J. M. Carroll)
Model Centered Instruction and Design
Layering(Andrew Gibbons)
142
Modes of Learning (D. Rumelhart & D. Norman)
Multiple Intelligences (Howard Gardner)
Operant Conditioning (B.F. Skinner)
Originality (I. Maltzman)
Phenomenonography (F. Marton & N. Entwistle)
Repair Theory (K. VanLehn)
Script Theory (Roger Schank)
Sign Theory (E. Tolman)
Situated Learning (J. Lave)
Soar (A. Newell et al.)
Social Development (L. Vygotsky)
Social Learning Theory (A. Bandura)
Stimulus Sampling Theory (W. Estes)
Structural Learning Theory (J. Scandura)
Structure of Intellect (J. Guilford)
Subsumption Theory (D. Ausubel)
Symbol Systems (G. Salomon)
Triarchic Theory (R. Sternberg)
Transformational Theory (J. Mezirow)
143
B. Contoh Aplikasi Teori Belajar Dalam Pembelajaran Sosial
1. Teori Kontruktivisme Vygotsky
Teori Konstruktivisme Vygotsky atau
Pendekatan Kontruktivis Sosial adalah pendekatan
yang menekankan pada konteks social dari
pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun
dan dikonstruksi secara bersama (mutual). Menurut
Vygotsky, bahwa pengetahuan yang diperoleh
individu dari interaksi social di pengaruhi oleh
kultur; misalnya, kultur bisa menentukan keahlian
apa yang penting (seperti keahlian computer,
ketrampilan sosial dan soft skills) (Santrock, 2013,
hlm. 406).
Teori pembelajaran konstruktivis adalah
teori yang menyatakan bahwa masing-masing
pembelajar harus menemukan dan mengubah
informasi yang rumit, dengan memeriksa informasi
yang baru terhadap aturan lama dan merevisi
aturan apabila hal itu tidak berguna (Slavin, 2011,
hlm. 4). Pandangan ini mempunyai implikasi yang
sangat besar bagi pengajaran, karena itu
144
menyarankan hal yang lebih jauh lebih aktif bagi
siswa dalam pembelajaran.
Vygotsky menyatakan bahwa lingkungan
social sangat penting bagi pembelajaran dan
berpikir bahwa interaksi-interaksi social mengubah
dan mentransformasi pengalaman-pengalaman
belajar (misalnya program magang, kolaborasi)
akan menstimulasi proses-proses perkembangan
dan mendorong pertumbuhan kognitif (Schunk,
2012, hlm. 339). Magang atau yang sekarang
disebut Praktek Kerja Industri merupakan
implementasi pembelajaran kontruktivisme sebagai
wadah bagi peserta magang untuk
mentransformasikan pengalaman-pengalama
mereka berdasarkan pengetahuan dan karakteristik
pengetahuan mereka, dan mereka mengorganisasi
ulang elemen kognitif mereka lewat interaksi
social.
Perkembangan kognitif tergantung pada
pengembangan kapabilitas dalam menggunakan
stimuli artificial atau isyarat untuk menguasai
145
pemikiran yang dipunyai oleh setiap individu.
Factor-faktor individual atau keturunan
mempengaruhi perkembangan. Tahapan dalam
proses panjang ini adalah tahap alamiah, psikologi
naïf, penggunaan lambang atau isyarat eksternal
mengonstruksi stimuli verbal internal (penggunaan
internal). Anak kecil, misalnya, tidak bias
menggunakan gambar sebagai petunjuk untuk
mengingat seperangkat kata. Akan tetapi orang
dewassa mengonstruksi relasi verbal yang
kompleks sebagai bantuan ingatan (Gredler, 2011,
hlm. 392).
Vygotsky mengidentifikasi dua hukum
yang berkaitan dengan penggunaan lambang.
Hukum pertama menyatakan arti penting transmisi
dari bentuk perilaku langsung atau alamiah ke
penggunaan lambang dalam tugas kognitif. Hukum
lainnya menekankan restrukturisasi pemikiran yang
terjadi dalam transisi dari pengandalan lambing
eksternal (stimuli bantuan) ke pemikiran verbal
internal. Lambang-lambang adalah stimuli artificial
146
yang diperkenalkan ke dalam tugas psikologis yang
mengubah hakikat dari aktivitas mental (Gredler,
2011, hlm. 384-385).
Vygotsky berpendapat bahwa, tidak seperti
hewan yang hanya bereaksi terhadap lingkungan,
manusia memiliki kapasitas untuk mengubah
lingkungan sesuai dengan keperluan mereka.
Kapasitas adaptif ini membedakan manusia dari
bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah
darinya. Vygotsky berupaya menjelaskan pikiran
manusia dengan cara-cara baru. Ia menolak
instropeksi dan memunculkan banyak lagi
keberatan yang sama dengan keberatan para
behavioris. Ia tidak ingin menjelaskan tentang
kondisi-kondisi pikiran sadar dengan mengacu
pada konsep kesadaran. Ia juga menolak
penjelasan-penjelasan para behavioris tentang
tindakan dalam kaitannyadengan tindakan-tindakan
sebelumnya. Ia mencari jalan tengah yang
memperhitungkan pengaruh lingkungan melalui
147
efeknya terhadap kesadaran (Schunk, 2011, hlm.
338-339).
Menurut Vygotsky, dalam menguasai
proses-proses eksternal dari transmisi
perkembangan cultural dan berpikir yang paling
berpengaruh adalah proses bahasa (komunikasi)
disamping alat-alat psikologis yang lain seperti
tanda-tanda dan symbol-simbol. Setelah proses
bahasa, langkah selanjutnya adalah menggunakan
symbol-simbol tersebut untuk mempengaruhi dan
mengatur sendiri pikiran-pikiran dan tindakan-
tindakan. Jadi lingkungan social mempengaruhi
kognisi melalui “alat-alat”nya – yaitu, obyek-
obyek kulturalnya (misalnya; mobil, mesin) serta
bahasa dan institusi-institusi sosialnya (misalnya;
sekolah, gereja). Interaksi social-interaksi social
membantu mengoordinasikan tiga pengaruh
tersebut terhadap perkembangan (Schunk, 2011,
hlm. 340).
Vygotsky menekankan pentingnya
masyarakat dan budaya dalam mendorong
148
pertumbuhan kognitif sehingga teorinya terkadang
sering disebut sebagai perspektif sosiokultural
(sociocultural perspective). Vygotsky
mengemukakan tentang konstruksi makna secara
social, yaitu bahwa orang dewasa membantu anak
melekatkan makna ke berbagai objek dan peristiwa
di sekeliling mereka. Interaksi semacam ini disebut
pengalaman belajar yang dimediasi (mediated
learning experience). Pengalaman-pengalaman
anak umumnya terjadi di bagian-bagian aktivitas
yang kurang penting; dan keterlibatan mereka
seringkali dimediasi (dipandu), dibimbing secara
bertahap dan disupervisi melalui partisipasi
terbimbing (guided participation). Pemagangan
atau yang sekarang disebut Praktek Kerja Industri
adalah sebuah bentuk partisipasi terbimbing yang
sangat intensif, yakni seorang pemula atau “anak
bawang” bekerja bersama seorang pakar dalam
rangka mempelajari cara-cara melakukan berbagai
tugas yang kompleks dalam suatu ranah tertentu
(Slavin, 2011, hlm. 61; 65-66).
149
Teori sosiokultural Vygotsky menjelaskan
tentang pembelajaran manusia sebagai proses
sosial dan asal mula kecerdasan manusia dalam
masyarakat atau budaya. Tema utama teori
Vygotsky dalam kerangka kerja adalah bahwa
interaksi sosial memainkan peran mendasar dalam
pengembangan kognisi. Menurut Vygotsky bahwa
pengetahuan atau keterampilan dapat dipelajari
pada dua tingkat. Pertama, melalui interaksi
dengan orang lain, dan kemudian diintegrasikan ke
dalam struktur mental individu. Setiap fungsi
dalam perkembangan budaya anak muncul dua
kali: pertama, pada tingkat sosial, dan kemudian,
pada tingkat individu; pertama, antara orang
(interpsikologis) lalu di dalam anak
(Intrapsikologis). Hal ini berlaku juga untuk
perhatian, memori logis, dan pembentukan konsep
berasal dari hubungan aktual antar individu
(Vygotsky, 1978, hlm.57). Aspek kedua teori
Vygotsky adalah gagasan bahwa potensi
perkembangan kognitif terbatas pada sebuah "Zone
150
Proximal Development" (ZPD). "Zona" ini adalah
area eksplorasi dimana siswa tersebut berada dan
disiapkan secara kognitif, namun membutuhkan
pertolongan dan interaksi sosial untuk berkembang
sepenuhnya. Seorang guru atau rekan yang lebih
berpengalaman mampu memberi pembelajaran
yang mendukung perkembangan siswa tentang
pemahaman tentang domain pengetahuan atau
pengembangan keterampilan yang kompleks.
Pembelajaran kolaboratif, wacana, pemodelan, dan
intervensi adalah strategi untuk mendukung
pengetahuan dan keterampilan intelektual. Berikut
gambar mengenai zona pengembangan proximal
menurut Vygotsky.
151
Sumber : Vygotsky (1978, hlm.57)
Gambar : Zone Proximal Development
Inti teori pembelajaran konstruktivis adalah
bahwa siswa harus membangun pengetahuan
dalam pikiran mereka sendiri dengan menemukan
atau menerapkan sendiri dan .yang ada dalam
dirinya melalui interaksi social dengan
memperhatikan alat-alat psikologis yang tersedia
(tanda-tanda, symbol-simbol dan lambing-
lambang) untuk memperoleh pengetahuan atau
152
keterampilan yang diinginkan (Slavin, 2011;
Santrock, 2013; Schunk, 2011; Gredler, 2011).
Konsep bahwa pelajar membangun
pengetahuan mereka sendiri dari pengalaman
disebut dengan teori konstruktivistik. (Fosnot,
1996; Martin, 2009, hlm. 196). Pembentukan
pengetahuan menurut konstruktivistik memandang
subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif
dalam interaksinya dengan lingkungan.
Konstruktivistik adalah suatu teori belajar yang
mempunyai akar dalam psikologi dan filsafat. Inti
dari konstruktivistik yang penting adalah pelajar
dengan aktif membangun pemikiran dan
pengetahuan mereka sendiri dari pengalaman
mereka. (Fosnot, 1996; Steffe & Gale, 1995).
Suatu pendekatan konstruktivistik dalam
ilmu pendidikan lebih difokuskan pada bagaimana
peserta didik berpikir dan berinteraksi dengan
lingkungan fisik dan lingkungan alami. (Chaile dan
Britain, 2003, hlm. 15). Konstruktivistik percaya
bahwa masing-masing pelajar harus membangun
153
pengetahuan mereka sendiri dan hanya belajar
yang berlangsung dengan lingkungan dapat
dikaitkan pada perolehan pengetahuan individu,
pengalaman, atau pengetahuan konseptual. Apa
yang anak-anak pelajari bukanlah suatu salinan
dari apa yang mereka amati dalam lingkungan,
melainkan hasil dari berpikir dan proses belajar
mereka sendiri. (Martin, 2009, hlm. 199).
Konstruktivistik berarti bahwa pengalaman
yang baru diinternalisasikan dengan
menghubungkannya dengan pengalaman masa lalu
dan bagian-bagian dari pengetahuan. (Rockmore,
2005, hlm. 30). Konstruktivistik mengakui adanya
peran aktif pelajar di dalam penciptaan
pengetahuan pribadi, pentingnya pengalaman
(individu dan sosial) di dalam proses penciptaan
pengetahuan tersebut, dan perwujudan bahwa
pengetahuan yang diciptakan akan bervariasi
dalam derajat kebenaran sebagai gambaran dari
suatu kenyataan yang akurat. (Doolittle dan Camp,
1999).
154
Desain lingkungan belajar yang efektif
terus memberikan arti penting dengan
ketidakpuasan yang tumbuh pada sistem
pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menengah.
Telah terjadi fluktuasi dalam strategi pada kedua
tingkatan tersebut, tetapi selama dua dekade
terakhir dapat dibantah dengan pendekatan yang
dominan dalam merancang pembelajaran yaitu
kerangka konseptual yang disebut
"konstruktivistik." (Tobias dan Duffy, 2009, hlm.
3). Glasersfeld (1995, hlm. 5) percaya bahwa
pendekatan konstruktivistik sosial dalam
pengembangan konseptual dapat membantu
memperbaiki hubungan antara guru dengan siswa
dan antar siswa, penciptaan materi sangat
diutamakan melalui tugas dimana guru dapat
memiliki banyak pengalaman daripada teori.
Pada praktik kerja industri, konstruktivistik
sosial menyiratkan suatu format pembelajaran di
mana para siswa secara penuh dilibatkan,
menemukan proses yang menyenangkan, dan
155
menghubungkan gagasan mereka dengan dunia
nyata sebagai suatu yang pantas untuk
dipertimbangkan. Hanya dengan cara ini mereka
dapat berpartisipasi dalam membangun
pengetahuan mereka dan memperoleh kebiasaan
yang membuat mereka belajar sepanjang hayat.
(Beck dan Kosnik, 2006, hlm. 2).
2. Teori Experiential Learning
Experiential learning diartikan sebagai
proses di mana pengetahuan diciptakan melalui
perubahan bentuk pengalaman dengan pengetahuan
sebagai hasil dari kombinasi menyerap dan
menjelmakan pengalaman. Experiential Learning
Theory (ELT) menyediakan suatu model yang
holistic menyangkut proses belajar dan suatu
model multilinear dari pengembangan orang
dewasa, kedua-duanya konsisten dengan apa yang
kita fahami tentang bagaimana orang-orang belajar,
tumbuh, dan berkembang. Teori ini disebut
"Experiential Learning" yang menekankan peran
156
sentral pengalaman dalam proses belajar, suatu
penekanan yang menciri ELT dari teori belajar
lainnya. Istilah "experiential" digunakan untuk
membedakan ELT dengan teori belajar kognitif,
yang cenderung menekankan dampak kognisi dan
teori belajar behavior yang menyangkal peran
pengalaman subjektif dalam proses belajar.
Experiential Learning Theory
menggambarkan belajar sebagai proses dimana
pengetahuan diciptakan melalui perubahan bentuk
pengalaman. Pengetahuan diakibatkan oleh
kombinasi menyerap dan mengaplikasikan
pengalaman (Kolb, 1984: 21; Kolb dan Boyatzis,
1999, hlm. 2). ELT model melukiskan dua gaya
yang terkait dalam menyerap pengalaman yaitu
Pengalaman Nyata (CE) dan Conceptualisasi
abstrak (AC) dan dua gaya yang terkait dalam
mengaplikasikan pengalaman yaitu Pengamatan
Reflektif (RO) dan Percobaan Aktif (AE).
Pembelajaran Experiential adalah suatu proses
157
dalam membangun pengetahuan yang melibatkan
suatu tegangan kreatif di antara empat gaya belajar.
Proses ini diaktualisasikan pada praktik
kerja industri di mana siswa langsung mengalami;
mencoba, merefleksikan, berpikir, dan bertindak
sebagai suatu proses berulang dalam merespon
situasi pembelajaran dan apa yang sedang
dipelajari pada dunia nyata. Pengalaman nyata
menjadi basis untuk refleksi dan pengamatan.
Refleksi dan pengamatan ini berasimilasi dan
disaring ke dalam konsep abstrak dari implikasi
baru untuk tindakan yang dapat ditarik. Implikasi
ini dapat dengan aktip diuji dan bertindak sebagai
pemandu di dalam menciptakan pengalaman baru.
ELT sebagai model belajar menyatakan
bahwa belajar memerlukan kemampuan yang
berlawanan, dan bahwa pelajar harus secara terus
menerus memilih kemampuan belajar yang
digunakannya di dalam suatu situasi belajar yang
spesifik. Di dalam menyerap pengalaman, sebagian
dari kita merasa informasi baru diperoleh melalui
158
pengalaman konkrit, terukur, merasakan kualitas
dunia, berdasarkan pada pikiran sehat dan diri kita
tenggelam di dalam realitas yang nyata.
Proses pembelajaran dengan pendekatan
experiential learning dapat dilihat dari langkah-
langkah pembelajaran yang tertuang dalam model
yang digunakan. Terdapat beberapa model
experiential learning, diantaranya yang
disampaikan oleh David Kolb (1984, hlm. 21)
terdapat tiga model pembelajaran dengan
pendekatan experiential learning.
2.1. Model dari Lewin
Model yang dikembangkan oleh Lewin
dikenal dengan nama “Action Research and
Laboratory Training”. Model ini mengungkapkan
bahwa belajar, perubahan dan pertumbuhan
merupakan proses yang terintegrasi, proses ini
dimulai dari menghayati pengalaman sekarang dan
“disini” (here and now experience), kemudian
dilanjutkan dengan pengumpulan data dan
159
observasi terhadap pengalaman tersebut serta
analisis data. Kesimpulan yang dihasilkan
kemudian menjadi dasar untuk memodifikasi
perilaku dan memilih pengalaman baru.
Menurut Lewin model tersebut merupakan
sebuah siklus yang terdiri dari empat langkah
sebagai berikut :
Sumber: David Kolb (1984
Gambar : Belajar Melalui Pengalaman Menurut
Lewin
Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa
pengalaman konkrit melandasi bagi kegiatan
observasi dan refleksi. Berdasarkan observasi dan
160
refleksi tersebut akan terbentuk konsep-konsep
abstrak dan generalisasi. Hasil dari observasi dan
refleksi berasimilasi dengan teori sehingga dapat
diterapkan dalam situasi yang berbeda. Implikasi
dari penerapan konsep tersebut akan menjadi
panduan dalam terbentuknya pengalaman baru
melalui pengalaman konkrit berikutnya.
Ada dua hal yang penting dalam model ini,
yang pertama penekanan pada pengalaman konkrit
sekarang dan disini dan kaji tindak, yang kedua
penekanan pada kaji tindak dan latihan
laboratorium (action reserach and laboratory
training) yang didasarkan pada proses balikan.
2.2. Model dari Dewey
Model pembelajaran yang disampaikan oleh
Dewey juga menekankan pada balikan (feed back).
Istilah balikan ini digunakan untuk menjelaskan
bagaimana belajar mengubah getaran-getaran
(impulses), perasaan, keinginan dan pengalaman
konkrit ke dalam tindakan yang memiliki tujuan
161
yang lebih tinggi. Model ini dapat digambarkan
sebagai berikut :
Sumber: David Kolb (1984)
Gambar : Belajar Melalui Pengalaman Menurut Dewey
Menurut model pembelajaran dengan
pendekatan yang disampaikan oleh Dewey belajar
adalah proses dialekis yang mengintegrasikan
pengalaman dengan konsep, observasi dan
tindakan. Getaran-getaran pengalaman
memberikan ide dan ide-ide tersebut memberikan
arah terhadap getaran selanjutnya. Akhirnya dari
proses belajar tersebut terjadi perumusan tujuan.
162
Perumusan tujuan tersebut mencakup tiga hal
yaitu:
1) Observasi keadaan sekeliling
2) Pengetahuan tentang apa yang terjadi pada
kondisi yang sama di saat yang lalu.
3) Pertimbangan yang menggabungkan apa
yang diobservasi dengan apa yang diingat
untuk menentukan pengetahuan yang
signifikan.
2.3 Model dari Piaget
Piaget mengemukakan unsur pokok
belajar terletak pada interaksi yang saling
menguntungkan antara proses akomodasi konsep
atau skemata terhadap pengalaman nyata dengan
proses asimilasi peristiwa dan pengalaman
terhadap konsep dan skemata yang dimiliki.
Dalam hal ini Piaget menggunakan istilah belajar
sebagai “adaptasi inteligensi”.
Belajar menurut Piaget adalah hasil
keseimbangan antara proses akomodasi dan
163
asimilasi tersebut. Ketika proses akomodasi
mendominasi asimilasi, terjadi proses imitasi yaitu
peniruan terhadap segala sesuatu yang ada
dilingkungan. Ketika asimilasi mendominasi
akomodasi terjadi penekanan pada konsep atau
kesan tanpa memperhatikan kenyataan
lingkungan. Proses pertumbuhan kognitif dari hal-
hal yang konkrit menuju hal-hal yang abstrak dan
dari tindakan menuju refleksi didasarkan pada
transaksi yang berkesinambungan antara
asimilasi dan akomodasi. Proses ini terjadi
dimana tahap sebelumnya sudah dikuasai sebelum
berlanjut pada tahap yang lebih tinggi dari fungsi
kognitif.
Ada beberapa perkembangan kognitif yang
perlu diketahui dalam proses belajar menurut
Piaget diantaranya :
1) Tahap sensorimotor
Berlangsung mulai dari lahir sampai
usia 2 tahun. Gaya belajar anak lebih konkrit
dan aktif. Belajar didominasi aktivitas melalui
164
perasaan, sentuhan dan penanganan.
2) Tahap preoperasional
Berlangsung mulai dari usia 2 tahun
hingga 6 tahun. Anak masih berorientasi pada
hal-hal konkrit tetapi sudah mulai mengubah
hal-hal konkrit tersebut menjadi gambaran
atau imajinasi (abstrak).
3) Tahap Operasi Konkret
Berlangsung pada usia 7 tahun sampai
11 tahun. Perkembangannya sudah mulai
bersifat simbolis-abstrak. Belajar pada tahap ini
diarahkan pada logika pengelompokan dan
hubungan. Pada tahap ini anak menggunakan
konsep dan teori untuk memilih dan
membentuk pengalaman.
4) Tahap operasi formal
Berlangsung pada usia 12 tahun
sampai 15 tahun. Kemampuan kognitif anak
bergerak dari proses simbolik yang didasarkan
pada operasi konkrit menuju proses simbolik
yang didasarkan pada logika. Anak sudah dapat
165
mengkaji suatu masalah dari berbagai segi
sehingga mereka mampu mengajukan ide atau
alternatif jawaban untuk suatu masalah.
Dari perkembangan kognitif anak di atas, jika
dipadukan dengan proses belajar maka dihasilkan model
belajar sebagai berikut :
166
Sumber: David Kolb (1984)
Gambar : Model Belajar dan Perkembangan
Kognitif dari Piaget
2.4. Model Kolb
Kolb's (1984) menggambarkan belajar
sebagai proses menciptakan pengetahuan.
Disamping model Lewin, Dewey, dan Piaget, Kolb
mengusulkan suatu model siklus untuk experiential
Learning dengan empat langkah. Yang
digarisbawahi dalam model ini adalah dua dimensi
komplementer: menyerap informasi dan kemudian
menjelmakan informasi itu.
167
Sumber : David Kolb (1984)
Gambar : Model Experiential Learning David Kolb
Kolb menyatakan bahwa proses belajar
dapat mulai dari tahap manapun. Akan tetapi pada
model experiential learning, "Concrete
Experience" bertindak sebagai titik awal. Pada
langkah ini, pelajar mempunyai interaksi langsung
dengan peristiwa yang sedang dipelajari. Selama
langkah ini, pelajar menyerap informasi
menggunakan pikiran sehat dengan melihat,
168
mendengar, membaui, merasakan, atau mencicipi
suatu peristiwa. Langkah yang berikutnya adalah
"reflection observation," di mana pelajar
merefleksikan apa yang mereka alami. Selama
langkah ini, informasi diubah melalui intension.
Kolb menguraikan intension sebagai proses
kognitif di mana pelajar secara mental
menguraikan bagian-bagian pengalaman dan
internalisasi informasi. Pada tahap "Abstract
Conceptualization", pelajar menyerap informasi
melalui proses comprehension dengan membentuk
aturan-aturan, generalisasi, atau hipotesis tentang
peristiwa yang sedang dipelajari. Sebagaimana
langkah yang sebelumnya, langkah ini proses
kognitif dilibatkan secara alami dan dapat terjadi di
dalam ketidakhadiran phisik menyangkut peristiwa
itu. Langkah yang terakhir adalah "Active
Experimentation," yang mana ditandai oleh pelajar
menguji aturan-aturan, generalisasi, atau hipotesis
yang telah dibentuk pada langkah yang
sebelumnya. Kolb menyatakan bahwa selama
169
informasi langkah ini ditransformasikan secara
luas, lagi-lagi melibatkan interaksi langsung
dengan suatu peristiwa.
3. Contextual Teaching and Learning (CTL)
Prestasi belajar siswa sering diukur dengan
Tes standar di bidang akademik seperti membaca,
matematika, dan sains. Pada saat yang bersamaan,
ekonomi dan pasar global yang kompetitif
menuntut perubahan dan penyesuaian kurikulum
yang selaras dengan perkembangan. Kemajuan
teknologi harus direspon dengan peningkatan
pengetahuan siswa yang up to date. Oleh karena
itu, perlu pengajaran yang efektif yang sesuai
dengan dunia nyata. Pembelajaran kontekstual
membantu mempersiapkan siswa untuk
menghadapi ekonomi baru. Model pembelajaran
harus bisa membangun dan mengembangkan
pengetahuan siswa serta memfasilitasi integrasi
pengetahuan sebelumnya dan pengalaman,
kemudian menerapkan gagasan ini pada situasi
170
baru. Pendekatan pembelajaran yang digunakan
hendaknya mencakup instruksi yang langsung
dengan menawarkan keterampilan yang
dibutuhkan.
Contextual Teaching and Learning (CTL)
adalah pengajaran dan pembelajaran yang
membantu guru menghubungkan konten dengan
topik ke situasi dunia nyata dan memotivasi siswa
menghubungkan antara pengetahuan dan
penerapannya ke kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga, warga negara, dan pekerja dan
terlibat dalam kerja keras yang dibutuhkan
pembelajaran (Berns dan Ericson, 2001, hlm. 2).
Pembelajaran ini dipraktikkan dengan
mendekatkan pada pekerjaan yang sedang berjalan
dan melibatkan diri pada proses tersebut. Dengan
demikian, CTL membantu siswa menghubungkan
konten yang mereka pelajari ke teks konteks
kehidupan di mana konten itu bisa digunakan.
Siswa kemudian menemukan makna dalam proses
belajar. Ketika mereka berusaha mencapai tujuan
171
belajar, mereka memanfaatkan pengetahuan aktual
mereka dan membangun pengetahuan yang ada.
Dengan mempelajari mata pelajaran secara terpadu
dan multidisiplin, dan dalam konteks yang sesuai,
mereka dapat menggunakan pengetahuan dan
keterampilan yang sesuai dengan konteks.
Pembelajaran Kontekstual (CTL) dapat
didefinisikan sebagai cara mengenalkan
pengetahuan atau keterampilan dengan
menggunakan berbagai teknik pembelajaran aktif
yang dirancang untuk membantu siswa terhubung
dengan konteks nyata (Wishler, 2007, hlm. 54).
Apa yang mereka sudah tahu, apa yang mereka
harapkan dalam belajar, dan untuk membangun
pengetahuan baru dari analisis dan sintesis proses
dalam pembelajaran ini dapat diterapkan. Aktivitas
otak selama proses belajar menggambarkan
perubahan fisiologis dan koneksi yang terjadi
selama kegiatan pembelajaran. Belajar dalam CTL
adalah konsepsi pengajaran dan pembelajaran itu
membantu guru menghubungkan konten materi
172
dengan dunia nyata dan memotivasi siswa untuk
membuat koneksi antara pengetahuan dan
aplikasinya terhadap kehidupan. Dengan belajar
mata pelajaran secara terpadu, multidisiplin dan
masuk konteks yang tepat, mereka dapat
menggunakan pengetahuan dan keterampilan
dalam konteks yang nyata. Prinsip pengajaran
kontekstual membantu siswa memperoleh ilmu
dari pembelajaran yang autentik dan meningkatkan
keberhasilan siswa dengan memberikan
kesempatan mereka membuat koneksi saat mereka
mengkonstruksi pengetahuan. CTL sebagai sebuah
cara untuk mengenalkan konten menggunakan
berbagai teknik belajar aktif yang dirancang untuk
membantu siswa menghubungkan apa yang telah
mereka ketahui dengan apa yang mereka harapkan
untuk dipelajari, dan untuk membangun
pengetahuan baru dari analisis dan sintesis proses
belajar ini.
Contoh teori dan tema yang berkaitan
dengan CTL mengikuti: konstruktivisme berbasis
173
pengetahuan. Instruksi langsung dan aktivitas
konstruktivis dapat menjadi kompatibel dan efektif
dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Teori ini
berbasis kecerdasan dengan menentang gagasan
bahwa kemampuan seseorang tidak dapat diubah.
Dalam praktik kerja industri terjadi pembelajaran
yang kontekstual sesuai dengan dunia nyata. Akan
tetapi perolehan keterampilan tergantung
perjuangan dan motivasi masing-masing individu
untuk berkomitmen terlibat dalam aktivitas. Dalam
CTL praktik kerja industri, siswa dapat
mempelajari standar, nilai, dan pengetahuan
masyarakat industri dengan menerima tantangan
kerja untuk menemukan solusi yang tidak mudah
dipahami, bersamaan dengan konsep yang
membutuhkan telaah serius. Memang, belajar
adalah proses yang sangat penting, yang
membutuhkan intervensi sosial dan budaya untuk
dipertimbangkan selama pembelajaran. Pendekatan
kontekstual mengenali bahwa pembelajaran adalah
proses yang kompleks dan beragam yang
174
memerlukan strategi pembelajaran yang tepat.
Atribut CTL ini mencakup pendekatan
interdisipliner dan kontekstualnya, pendekatan
yang dapat digunakan untuk menerapkannya,
faktor-faktor yang menjawab kebutuhan individual
siswa, dan kemampuan guru. Tujuannya juga agar
tingkat pembelajaran meningkat sehingga siswa
dapat lebih memahami situasi di tempat kerja
(misalnya, orang-orang yang hadir di tempat kerja),
mengidentifikasi dan mengatasi masalah secara
efektif, membuat Keputusan dengan tepat, dan
berpikir kreatif.
4. Work Based Learning (WBL) atau Pembelajaran
Berbasis Kerja
Work Based Learning (WBL) atau
Pembelajaran Berbasis Kerja adalah pembelajaran
yang terjadi di lingkungan kerja, melalui partisipasi
dalam praktik dan proses kerja, dan merupakan
bagian integral dari pendidikan kejuruan dan
pelatihan (NCVER, 2016, hlm. 3). Pembelajaran
175
ini terdiri dari serangkaian program dan kegiatan di
mana teori pembelajaran sengaja diintegrasikan
dengan praktik kerja melalui kurikulum, praktik
pedagogik dan keterlibatan siswa yang dirancang
khusus. Pembelajaran berbasis kerja memerlukan
keterlibatan pengusaha dan industri. Kunci
keberhasilan dalam pembelajaran ini mencakup
informasi yang jelas, komunikasi yang
berkelanjutan, fleksibilitas dengan pendekatan,
guru yang berkomitmen dan terampil yang
mendukung siswa, melibatkan siswa, keterlibatan
organisasi perantara untuk mengatur dan
memfasilitasi kegiatan, dan komitmen para
pemimpin bisnis dan pendidikan.
Pembelajaran berbasis pekerjaan dalam
pendidikan kejuruan dan pelatihan adalah
pembelajaran yang terjadi di lingkungan kerja
nyata melalui partisipasi dalam kegiatan dan
interaksi kerja yang menekankan pembelajaran
melalui latihan di tempat kerja. Pembelajaran
berbasis kerja memberi siswa kesempatan untuk
176
mengembangkan konsep praktis dan konseptual.
Keterampilan yang terkait dapat dipraktikkan di
tempat kerja. Pembelajaran berbasis kerja
tercantum dalam kurikulum dan secara formal
merupakan tujuan didirikannya SMK yang dicapai
melalui pengalaman praktik magang. WBL
memfasilitasi siswa untuk belajar dengan tugas-
tugas baru dalam lingkungan kerja (Schuh, 2015,
hlm. 87)
Pembelajaran berbasis kerja membantu
siswa mengenalkan berbagai kegiatan kerja dan
membantu siswa tersebut memahami pekerjaan,
karier, dan keterampilan yang penting dalam
lingkungan kerja saat ini. Pembelajaran berbasis
kerja dapat dilaksanakan di tempat kerja, di
sekolah, atau di masyarakat. Pembelajaran berbasis
pekerjaan menjadi tiga kategori (Change The
Equation, 2015, hlm. 3) :
a) Kesadaran karir, kegiatan ini dirancang untuk
membantu siswa mengembangkan kesadaran
dasar akan pekerjaan dan karir dengan
177
berinteraksi dengan profesional kerja,
membantu siswa memahami persyaratan
pendidikan dan keterampilan untuk sukses di
berbagai bidang. Contoh kegiatan ini meliputi
pameran karir dan kunjungan kelas kepada
para profesional yang bekerja.
b) Eksplorasi karir, kegiatan ini memberi siswa
kesempatan yang lebih mendalam untuk
belajar tentang pekerjaan dan karir di bidang
tertentu. Siswa berinteraksi dengan profesional
yang bekerja di lingkungan kerja. Dalam
beberapa kasus, siswa benar-benar bisa
mengalami aktivitas kerja dan persyaratan dari
tempat kerja modern. Contoh kegiatan
eksplorasi karir meliputi interview kerja,
wawancara informasi, dan tur perusahaan.
c) Persiapan karir, kegiatan ini memberi siswa
kesempatan untuk mendapatkan pengalaman
kerja aktual yang mendukung pengembangan
keterampilan kerja utama. Contoh kegiatan
178
persiapan karir meliputi magang kerja, dan
pekerjaan part time.
Penempatan kerja melalui work based
learning terbukti sangat berguna memberikan
kontribusi pada pengalaman belajar siswa baik dari
segi pengetahuan dan keterampilan khusus, dan
mengembangkan keterampilan interpersonal,
intrapersonal dan antarbudaya mereka (Moise et al,
2013, hlm. 1045). Sebagian besar kerangka kerja
kurikulum yang mencakup pembelajaran berbasis
kerja difokuskan pada berbagai keterampilan, di
antaranya keterampilan pribadi dan sosial,
komunikasi, pemecahan masalah, kreativitas dan
keterampilan organisasi. Spesialis lainnya juga
telah membuktikan efek positif dari penempatan
kerja, karena berkontribusi pada peningkatan dan
pengembangan keterampilan dan pengetahuan
siswa yang diperoleh selama program akademik
mereka. Pengalaman ini dianggap telah melengkapi
siswa dengan kompetensi inti yang dibutuhkan
untuk kesuksesan profesional, keterampilan inter
179
dan intrapersonal, serta kemampuan komunikasi,
ditambah dengan kerja sama tim dan kesadaran
akan budaya tempat kerja.
Penempatan kerja merupakan indikator
positif dari kemampuan kerja, karena para siswa
diberi wewenang untuk membangun pengetahuan
dan keterampilan subjek akademik, sementara
mereka menemukan diri mereka dalam lingkungan
yang ideal dimana mereka dapat mengembangkan
keterampilan yang lembut dan dapat
dipindahtangankan, seperti kemampuan
interpersonal, komunikasi dan kemampuan
manajemen diri, yang sangat dibutuhkan oleh
pengusaha saat ini. Manfaat nyata lainnya adalah
kenyataan bahwa siswa menjadi sadar akan proses
belajar mereka sendiri, dan lebih mampu
mengelola kinerja akademis dan profesional
mereka. Mereka menjadi lebih terbiasa dengan
tujuan dan hasil pembelajaran, sambil
mendapatkan wawasan berharga tentang dunia
kerja, yang membuat mereka lebih mandiri,
180
bertanggung jawab, mandiri, dan lebih mudah
menyesuaikan diri dengan persyaratan dunia
profesional yang semakin meningkat saat ini .
Sumber : Schuh (2015, hlm. 84)
Gambar : Target Work Based Learning
Manfaat WBL bisa dikelompokkan menjadi
beberapa aspek (Moise et al, 2013, hlm. 1049) :
181
a) Berkontribusi untuk mengembangkan otonomi
belajar siswa dan keterampilan kewirausahaan
b) Memberdayakan siswa untuk merefleksikan
pengalaman belajar mereka sendiri dan
memanfaatkannya sebaik-baiknya
c) Mengembangkan kreativitas dan pemikiran
analitis siswa, membuat mereka lebih peka
terhadap kebutuhan konsumen dan lebih sadar
akan dunia kerja yang sebenarnya
d) Membantu siswa mendapatkan wawasan lebih
lanjut tentang komunikasi manusia, dan
mengembangkan hubungan antar mereka
e) Mengembangkan keterampilan interpersonal,
membangun rasa percaya diri dan kemampuan
membuat keputusan.
182
BAB VIII
CONTOH PENELITIAN INOVASI
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS
Judul : Pengembangan Pembelajaran Direktif
Berbasis Observasional Untuk Meningkatkan
Keterampilan Sosial Oleh Subkhan Rojuli
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka mewujudkan cita-cita mencerdaskan
kehidupan bangsa, visi pendidikan dan kebudayaan tahun
2025 adalah menghasilkan insan Indonesia yang cerdas
dan kompetitif (insan kamil/paripurna) yaitu insan yang
cerdas secara spiritual, cerdas secara emosional, cerdas
secara sosial, cerdas intelektual dan cerdas secara
kinestetik (Kemendiknas, 2010:30). Profil ideal manusia
Indonesia tersebut juga ditegaskan dalam pasal 3 UU No.
20/2003 :
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
183
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Sekolah Menengah Kejuruan merupakan sekolah
yang menghasilkan siswa yang siap memasuki dunia kerja
dan siap mengisi kebutuhan dunia usaha industri serta
menghasilkan tamatan berjiwa wirausaha. Hal tersebut
telah dituangkan dalam tujuan pembelajaran di Sekolah
Menengah Kejuruan oleh Depdiknas (2004:9), yaitu :
“Untuk membentuk peserta didik sebagai individu
agar memiliki dasar pengetahuan yang luas dan kuat untuk
menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan
yang terjadi di lingkungan sosial, lingkungan kerja, serta
mampu mengembangkan diri sesuai dengan
perkembangan ilmu, pengetahuan, teknologi dan seni.
Dalam upaya untuk menyiapkan peserta didik yang
terampil dan kompetitif yang dapat bersaing di pasar
global, dikembangkan suatu kurikulum berbasis
kompetensi yang terpadu yang mencakup aspek kognitif,
184
psikomotor dan afektif untuk mencapai standar
kompetensi yang diinginkan. Lulusan dari Sekolah
Menengah Kejuruan umumnya belum menguasai
kompetensi pada aspek keterampilan sosial, melainkan
masih terfokus pada aspek pengetahuan dengan budaya
menghafal dan bukan berpikir kritis.
Como dan Snow (dalam Syafruddin, 2001:3)
menilai bahwa model pembelajaran yang
diimplementasikan saat ini masih bersifat konvensional
sehingga siswa sulit memperoleh pelayanan secara
optimal. Selain itu, guru lebih menekankan pada aspek
kebutuhan formal dibanding kebutuhan riil siswa sehingga
proses pembelajaran terkesan sebagai pekerjaan
administratif dan belum mengembangkan potensi anak
secara optimal.
Keterampilan sosial tidak hanya menjadi
kewajiban guru IPS, melainkan menjadi tugas dan
kewajiban setiap guru, karena betapa pentingnya peranan
pembelajaran dalam mengembangkan pengetahuan, nilai,
sikap, dan keterampilan sosial agar para siswa menjadi
warga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang
185
baik. Nilai-nilai sosial sangat penting bagi anak didik,
karena berfungsi sebagai acuan bertingkah laku terhadap
sesamanya, sehingga dapat diterima di masyarakat. Nilai-
nilai itu antara lain, seperti kasih sayang, tanggung jawab,
dan keserasian hidup. Adapun keterampilan sosial
mempunyai fungsi sebagai sarana untuk memperoleh
hubungan yang baik dalam berinteraksi dengan orang lain,
misalnya: melakukan penyelamatan lingkungan,
membantu orang lain, kerja sama, mengambil keputusan,
berkomunikasi, wirausaha, dan partisipasi.
Namun di pihak lain masih banyak ditemukan
kelemahan dalam pembelajaran, baik dalam rancangan
maupun proses pembelajaran. Kita telah sangat memahami
bahwa pembelajaran merupakan sistem dan proses.
Sebagai sistem, pembelajaran terdiri dari subsistem-
subsistem yang berupa komponen-komponen
pembelajaran. Sedangkan sebagai proses, pembelajaran
terdiri atas beberapa langkah langkah kegiatan secara
simultan berkelanjutan, mulai dari kegiatan penyusun
rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan
pembelajaran sampai melakukan kegiatan evaluasi.
186
Pembelajaran baik sebagai sistem maupun proses, guru
memegangperanan penting bagi tercapainya pembelajaran
yang efisien dan efektif.
Oleh karena itu, perlu model pembelajaran yang
cepat dan tepat untuk menyerap dan menguasai materi
pelajaran. Dalam hal ini, penulis akan mengembangkan
dan menerapkan “Model Pembelajaran Direktif Berbasis
Observasional”. Model pembelajaran direktif menurut
Joyce dan Weil (2011:421) adalah suatu model pengajaran
dimana guru merancang dan merencanakan pengajaran
dengan memperhatikan modeling, penguatan
(reinforcement), respon balik (feedback), dan perkiraan
suksesif (approroximation). Sedangkan model
pembelajaran observasional menurut Bandura dalam
Hergenhahn dan Olson (2009:366) adalah belajar dengan
mengamati orang lain atau model secara langsung maupun
tidak langsung dengan melibatkan atensi (perhatian),
retensi (pengingatan/penyimpanan), kemampuan
behavioral, dan proses motivasional tanpa harus disertai
penguatan.
187
Dua tujuan utama dari instruksi langsung adalah
memaksimalkan waktu belajar siswa dan mengembangkan
kemandirian dalam mencapai dan mewujudkan tujuan
pendidikan sesuai rencana dan rancangan pengajaran yang
dibuat dengan penguatan. Dengan pembelajaran direktif
berbasis observasional, siswa diarahkan belajar dengan
mengamati model yang telah dibingkai dalam rancangan
instruksional yang berorientasi akademik dan juga
terstruktur serta mengharuskan siswa untuk terlibat aktif
(dalam tugas) saat pelaksanaan instruksi langsung tanpa
adanya penguatan. Dalam teori Bandura, model apa saja
yang menyampaikan informasi, seperti orang, film,
televisi, pameran, gambar, atau instruksi. Guru dapat
menjadi model yang efektif karena mempunyai
kompetensi.
Siswa dapat menguasai ketrampilan sosial secara
lebih efektif dengan memadukan dua pendekatan
pembelajaran di atas. Kedua model pembelajaran tersebut
dipadukan dengan menyederhanakan langkah instruksi
langsung dengan meniadakan praktik dibawah bimbingan
guru, karena pada dasarnya siswa dapat belajar langsung
188
lewat pengamatan melalui model yang akan
dikembangkan oleh penulis baik itu berupa media audio
atau pun visual tanpa harus ada penguatan.
Menurut Ormrod (2009:432), penguatan adalah
tindakan mengikuti sebuah respon tertentu dengan sebuah
penguat. Penguat (reinforcer) adalah setiap konsekuensi-
konsekuensi yang meningkatkan frekuensi perilaku
tertentu, terlepas dari apakah orang-orang itu menganggap
konsekuensi itu menyenangkan atau tidak, misalnya
pujian, teguran, hukuman, uang, trofi atau hak-hak
istimewa. Sekolah Menengah Kejuruan adalah sekolah
yang tujuan utamanya menyiapkan siswa untuk bekerja
dengan penguasaan ketrampilan sosial. Dari awal masuk
sekolah, siswa sudah mempunyai motivasi intrinsik untuk
menguasai suatu ketrampilan tertentu sehingga tidak perlu
adanya penguatan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas,
maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
189
1. Bagaimanakah kondisi faktual pembelajaran direktif
berbasis observasional dalam upaya peningkatan
ketrampilan sosial?
2. Bagaimanakah pengembangan model pembelajaran
direktif berbasis observasional untuk meningkatkan
ketrampilan sosial?
3. Bagaimanakah efektifitas hasil dan proses
implementasi model pembelajaran direktif berbasis
observasional dalam meningkatkan ketrampilan
sosial?
3. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan kondisi faktual pembelajaran
direktif berbasis observasional dalam upaya
peningkatan ketrampilan sosial?
2. Mendeskripsikan pengembangan model konseptual
pembelajaran direktif berbasis observasional untuk
meningkatkan ketrampilan sosial?
3. Mendeskripsikan efektifitas hasil dan proses
implementasi model pembelajaran direktif berbasis
190
observasional untuk meningkatkan ketrampilan
sosial?
4. Manfaat
4.1. Manfaat Teoritis
Dari hasil pengembangan penelitian ini diharapkan
dapat memberikan masukan tentang konsep teoritis yang
berdasarkan model pembelajaran direktif berbasis
observasional, khususnya untuk siswa Sekolah Menengah
Kejuruan.
4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini
adalah:
1) Bagi pihak sekolah, hasil penelitian berupa
pengembangan konsep dan produk bahan ajar
pembelajaran, berguna untuk peningkatan
ketrampilan sosial.
2) Guru, penggunaan model pembelajaran direktif
berbasis observasional dapat memperbaiki kualitas
proses dan hasil pembelajaran sehingga
meningkatkan kinerja dan profesionalisme guru
191
yang pada akhirnya akan membantu mereka dalam
mengembangkan pembelajaran yang lebih tepat serta
menyenangkan.
3) Siswa, diterapkannya model pembelajaran direktif
berbasis observasional diharapkan dapat membantu
siswa memahami dan menguasai materi sehingga
dapat meningkatkan ketrampilan sosial.
B. Landasan Teori
1. Teori Belajar yang Melandasi Pembelajaran
Direktif Berbasis Observasional
Pembelajaran (learning) dapat didefinisikan
sebagai pengaruh permanen atas perilaku, pengetahuan
dan keterampilan berfikir, yang diperoleh melalui
pengalaman (Santrock, 2011:266). Penelitian ini
menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan
behavioral/behaviorisme dan pendekatan kognitif sosial .
1.1. Teori Behaviorisme
Behaviorisme adalah pandangan yang menyatakan
bahwa perilaku harus dijelaskan melalui pengalaman yang
dapat diamati, bukan dengan proses mental. Menurut
192
kaum behaviorisme, perilaku adalah segala sesuatu yang
kita lakukan dan bisa dilihat secara langsung : murid
mengetik, guru tersenyum kepada anak, dan sebagainya.
Proses mental didefinisikan oleh psikolog sebagai pikiran,
perasaan, dan motif yang kita alami namun tidak bisa
dilihat oleh orang lain. Meskipun kita tidak bisa melihat
pikiran, perasaan dan motif secara langsung, semua itu
adalah sesuatu yang riil. Proses mental antara lain
pemikiran murid tentang cara mengetik, perasaan guru
senang terhadap muridnya, dan motivasi anak mengontrol
untuk perilakunya (Santrock, 2011:266).
Ketrampilan sosial adalah sasaran perilaku yang
dapat diamati. Sasaran ini dapat dianalisis menggunakan
tiga alat umum di sekolah sesuai dengan perencanaan dan
instruksi yang telah dibuat yaitu sasaran behavioral,
analisis tugas guru dan klasifikasi instruksional. Menurut
Robert Mager (1962), sasaran behavioral harus spesifik
dan mengandung tiga bagian (Santrock, 2011:467) :
• Perilaku murid. Fokus pada apa yang dipelajari atau
dilakukan murid.
193
• Kondisi dimana perilaku terjadi. Menyatakan
bagaimana perilaku akan dievaluasi atau dites
• Kriteria kinerja. Menentukan level kinerja yang
diterima
Menurut behaviorisme, pemikiran, perasaan dan
motif ini bukan subjek yang tepat untuk ilmu perilaku
sebab semuanya itu tidak bisa diobservasi secara langsung.
Untuk memahami dan menjelaskan tiga hal tersebut
menggunakan dua pendekatan behavioral yaitu
pengkondisian klasik dan operan.
Pengkondisian klasik adalah tipe pembelajaran
dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan atau
mengasosiasikan stimuli. Pengkondisian klasik
dikembangkan oleh Ivan Pavlov dimana stimulus netral
diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna dan
menimbulkan kemampuan untuk mengeluarkan respons
yang serupa. Pengkondisian klasik dapat berupa
pengalaman negatif dan positif dalam diri anak di kelas.
Pengalaman positif, misalnya lagu favorit yang
menimbulkan perasaan bahwa kelas adalah tempat yang
aman dan menyenangkan. Contoh pengalaman negatif,
194
misalnya anak-anak merasa takut di kelas jika mereka
mengasosiasikan kelas dengan teguran dan karenanya
teguran menyebabkan rasa takut. Dengan demikian,
kondisioning klasik (clasical conditioning) dapat diartikan
bentuk pembelajaran dimana resopon yang baru dan tidak
disengaja ditampilkan sebagai hasil dari hadirnya dua
stimulus yang bersamaan. Kondisioning klasik seringkali
membantu kita memahami perasaan siswa tentang
berbagai aktivitas sekolah (Omrod, 2009:426; Santrock,
2011:268-269).
Pengkondisian operan (juga dinamakan
pengkondisian instrumental) adalah sebentuk
pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari
perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas
perilaku itu akan diulangi. Arsitek utama dari
pengkondisian operan adalah B. F. Skinner, yang
pandangannya didasarkan pada pandangan E. L.
Thorndike. Thorndike menyatakan bahwa perilaku yang
diikuti dengan hasil positif akan diperkuat dan bahwa
perilaku yang diikuti hasil negatif akan diperlemah, hal ini
dinamakan hukum efek (efek law). Sedangkan Skinner
195
menyatakan penguatan dan hukuman menyebabkan
perubahan yang sifatnya sementara (kontingen).
Penguatan (imbalan/reinforcement) adalah konsekuensi
yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku
akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah
konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya
suatu perilaku (Santrock, 2011:272).
1.2. Teori Kognitif Sosial Bandura
Teori kognitif sosial (social cognitive theory)
menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif, dan juga
faktor perilaku, memainkan peran penting dalam
pembelajaran. Faktor kognitif mungkin berupa ekpektasi
murid untuk meraih keberhasilan; faktor sosial mungkin
mencakup pengamatan murid terhadap perilaku orang
tuanya (Santrock, 2011:285).
Teori kognitif sosial menonjolkan sebagian besar
pembelajaran manusia terjadi dalam sebuah lingkungan
sosial. Dengan mengamati orang lain, manusia
memperoleh pengetahuan, aturan-aturan, keterampilan-
keterampilan, strategi-strategi, keyakinan-keyakinan, dan
196
sikap-sikap. Individu-individu juga melihat model-model
atau contoh-contoh untuk mempelajari kegunaan dan
kesesuaian perilaku-perilaku dan akibat-akibat dari
perilaku-perilaku yang dimodelkan, kemudian mereka
bertindak sesuai dengan keyakinan-keyakinan tentang
kemampuan-kemampuan mereka dan hasil-hasil yang
diharapkan dari tindakan-tindakan mereka (Schunk,
2012:161).
Bandura mengembangkan model determinisme
resiprokal dalam sebuah kerangka timbal balik tiga-sisi,
atau interaksi-interaksi timbal-balik antara perilaku-
perilaku, variabel-variabel lingkungan, dan faktor-faktor
personal (kognisi).Ketiga faktor tersebut saling
berinteraksi untuk memengaruhi pembelajaran : faktor
lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku
memengaruhi lingkungan, faktor person (orang/kognitif)
memengaruhi perilaku, dan sebagainya. Faktor person
Bandura yang tak punya kecenderungan kognitif terutama
adalah pembawaan personalitas dan temperamen. Faktor
kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi,
pemikiran dan kecerdasan.
197
2. Kajian Pembelajaran Direktif Berbasis
Observasional
Pembelajaran direktif atau instruksi langsung
(direct instruction) adalah pendekatan teacher-centered
yang terstruktur yang dicirikan oleh arahan dan kontrol
guru, ekspektasi guru yang tinggi atas kemajuan murid,
maksimalisasi waktu yang dihabiskan murid untuk tugas-
tugas akademik, dan usaha guru untuk meminimalkan
pengaruh negatif terhadap murid (Joyce & Weil,
2009:422).
Belajar observasional atau observational learning
pertama kali diteliti oleh Edward L. Thorndike pada tahun
1898 dengan melakukan eksperimen terhadap seekor
tikus, kemudian direplikasi oleh J. B. Watson pada tahun
1908 dengan melakukan eksperimen terhadap monyet dan
keduanya tidak menemukan bukti adanya belajar
observasional. Mereka sama-sama menyimpulkan bahwa
belajar hanya berasal dari direct experience (pengalaman
langsung) dan bukan dari vicarious experience
(pengalaman tak langsung atau pengganti) atau dengan
198
kata lain, mereka menganggap belajar terjadi sebagai hasil
dari interaksi seseorang dengan lingkungan dan bukan dari
hasil pengamatan terhadap interaksi lain (Hergehahn dan
Olson, 2009:357).
Berbeda dengan Thorndike dan Watson, Miller dan
Dollard dalam buku Social Learning and Imitation (1941)
menjelaskan bahwa tidak menyangkal bahwa organisme
bisa belajar dengan mengamati aktivitas organisme lain.
Mereka menganggap bahwa proses belajar semacam itu
agak merata dan dapat dijelaskan secara objektif dalam
kerangka teori Hullian, yakni jika imitative behavior
(perilaku imitatif) diperkuat, ia akan diperkuat seperti jenis
perilaku lain. Menurut mereka, belajar imitatif adalah hasil
dari observasi, respon nyata dan penguatan (Hergehahn
dan Olson, 2009:357-358).
Menurut Bandura, belajar observasional mungkin
menggunakan imitasi atau mungkin juga tidak. Sebuah
studi yang dilakukan oleh Bandura pada tahun1965
terhadap anak yang diperlihatkan sebuah film yang
menampilkan seseorang sebagai model diperoleh
kesimpulan bahwa penguatan adalah variabel performa
199
bukan variabel belajar. Hal ini berbeda dengan teori
Hullian yang menyebutkan bahwa penguatan adalah
variabel belajar. Bandura (1977:18) percaya bahwa
pengamat harus menyadari kontingensi penguatan
sebelum penguatan itu memberi efeknya : “Karena belajar
melalui konsekuensi respons sebagian besar adalah proses
kognitif, konsekuensi pada umumnya tidak banyak
menghasilkan perubahan dalam perilaku yang kompleks
jika tidak ada kesadaran akan apa-apa yang diperkuat itu”.
Ringkasnya, Bandura berpendapat bahwa tidak ada semua
unsur penting untuk analisis operasional terhadap belajar
observasional, yakni sering kali tidak ada stimulus
diskriminatif, tidak ada respon nyata, dan tidak ada
penguatan.
Temuan paling penting dari Albert Bandura adalah
bahwa orang dapat mempelajari tindakan-tindakan baru
hanya dengan mengamati orang lain melakukannya. Si
pengamat tidak harus melakukan tindakan-tindakan
tersebut pada saat ia mempelajarinya. Penguatan tidak
diperlukan supaya pembelajaran dapat terjadi (Schunk,
2012:161).
200
Bandura merumuskan sebuah teori pembelajaran
observasional yang ia kembangkan untuk mencakup
penguasaan dan praktik dari bermacam-macam
keterampilan, strategi dan perilaku. Prinsip-prinsip
kognitif sosial telah diaplikasikan dalam pembelajaran
keterampilan-keterampilan kognitif, motorik, sosial, dan
pengaturan-diri, dan juga topik-topik kekerasan (secara
langsung melalui film), perkembangan moral, pendidikan,
kesehatan, dan nilai-nilai sosial (Schunk, 2012:162).
Asumsi-asumsi dalam model ini berdasarkan teori
behavioral dan kognitif sosial bandura. Bagaimana teori
behavioral ini mencerminkan sebuah analisis fungsional
perilaku dan implikasi-implikasinya bagi prediksi dan
kendali terhadap perilaku tanpa adanya penguatan.
Sedangkan teori kognitif sosial membuat beberapa asumsi
tentang pembelajaran dan praktik perilaku-perilaku.
Asumsi-asumsi ini berkenaan dengan interaksi-interaksi
timbal balik antara manusia, perilaku dan lingkungan;
pembelajaran melalui praktik dan melalui pengamatan;
perbedaan antara pembelajaran dan praktik, dan peran
pengaturan diri (Zimmerman & Schunk, 2003).
201
Istilah “ direct instruction atau instruksi langsung”
telah digunakan oleh beberapa ahli untuk merujuk pada
suatu model pengajaran yang terdiri dari penjelasan dan
kontrol guru mengenai konsep atau ketrampilan baru
terhadap siswa. Fokus tujuan dalam penyusunan model ini
adalah untuk meningkatkan ketrampilan sosial siswa.
Penjelasan mengenai arahan dan kontrol guru diberikan
saat memilih dan mengarahkan tugas pembelajaran yang
dimulai dengan menyajikan konsep atau ketrampilan baru
dengan model tertentu, menegaskan peran inti selama
memberi instruksi dalam praktik yang terstruktur tanpa
adanya penguatan sebagai bagian dari konsep
pembelajaran observasional, dan meminimalisir jumlah
percakapan siswa yang tidak berorientasi akademik (Joyce
& Weil, 2009; Santrock, 2011; Schunk, 2012).
2.1. Struktur Pengajaran
Tahapan model pembelajaran direktif (model
instruksi langsung) menurut Joice dan Weil (2011:431)
adalah sebagai berikut :
Tahap Pertama : Orientasi
202
1) Guru menentukan materi pelajarannya
2) Guru meninjau pelajaraannya sebelumnya
3) Guru menentukan tujuan pelajaran
4) Guru menentukan prosedur pengajaran
Tahap Kedua : Presentasi
1) Guru menjelaskan konsep atau ketrampilan baru
2) Guru menyajikan representasi visual atas tugas yang
diberikan
3) Guru memastikan pemahaman
Tahap Ketiga : Praktek yang Terstruktur
1) Guru menuntun kelompok siswa dengan contoh
praktek dalam beberapa langkah
2) Siswa merespon pertanyaan
3) Guru memberikan koreksi terhadap kesalahan dan
memperkuat praktek yang telah benar
Tahap Keempat : Praktek di Bawah Bimbingan Guru
1) Siswa berpraktik secara semi-independen
2) Guru menggilir siswa untuk melakukan praktek dan
mengamati praktek
3) Guru memberikan tanggapan balik berupa pujian,
bisikan maupun petunjuk
203
Tahap Kelima : Praktik Mandiri
1) Siswa melakukan praktek secara mandiri di rumah
atau di kelas
2) Guru menunda respons balik dan memberikannya di
akhir rangkaian praktek
3) Praktek mandiri dilakukan beberapa kali dalam
periode waktu yang lama
Menurut Bandura dalam Schunk (2012:174)
proses-proses pembelajaran observasional terdiri dari
empat proses, dapat dilihat dalam tabel berikut :
Proses Pertama : Perhatian (attention)
Aktivitas : Perhatian siswa diarahkan oleh
karakteristik-karakteristik tugas yang relevan yang secara
fisik ditonjolkan, pembagian aktivitas kompleks menjadi
beberapa bagian, penggunaan model-model yang
kompeten, dan pendemonstrasian kegunaan perilaku-
perilaku model.
Proses Kedua : Pemertahanan (retention)
Aktivitas : Pemertahanan dapat ditingkatkan
dengan cara mengulang informasi yang akan dipelajari,
menyampaikannya dalam bentuk visual dan simbolis, dan
204
menghubungkan dengan materi baru dengan informasi
yang sebelumnya telah disimpan dalam memori.
Proses Ketiga : Produksi (production)
Aktivitas : Perilaku-perilaku yang dihasilkan
dibandingkan dengan representasi konseptual (mental)
seseorang. Umpan balik dapat membantu memperbaiki
kekurangan-kekurangan.
Proses Keempat : Motivasi (motivation)
Aktivitas : Akibat-akibat dari perilaku model
memberikan informasi pada pengamat tentang nilai fungsi
dan kesesuaian. Akibat memberikan motivasi dengan
menciptakan harapan-harapan terhadap hasil akhir dan
meningkatkan efikasi diri.
Pembelajaran observasional melalui permodelan
terjadi ketika pengamat menunjukkan pola-pola perilaku
baru yang ketika belum dihadapkan pada perilaku-perilaku
model probabilitas kejadiannya nol, bahkan ketika
motivasinya tinggi, sedangkan mekanisme pokok dari
pembelajaran ini adalah informasi tentang cara-cara
menghasilkan perilaku yang baru disampaikan oleh model
205
kepada pengamat (Bandura, Rosenthal dan Zimmerman
dalam Schunk, 2012:174).
Mengamati model tidak menjamin terjadinya
pembelajaran atau menjamin bahwa perilaku-perilaku
yang dipelajari akan dipraktikan dilain kesempatan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pembelajaran
melalui pengamatan dan mempengaruhi praktik dari
perilaku-perilaku yang dipelajari antara lain : status
perkembangan, keunggulan status, dan kompetensi model,
pengaruh-pengaruh yang dirasakan dari mengamati model,
harapan-harapan atas hasil, penentuan tujuan dan efikasi
diri (Schunk, 2012 : 183).
2.2. Sistem Sosial
Sistem sosial dalam model ini benar-benar
terstruktur.
2.3. Peran atau Tugas Guru
Peran guru dalam model ini adalah menyediakan
pengetahuan mengenai hasil-hasil, membantu siswa
mengandalkan diri mereka sendiri. Sistem dukungan
206
mencakup rangkaian tugas pembelajaran, yang terkadang
sama rumitnya dengan seperangkat materi yang
dikembangkan oleh tim instruksi yang diberikan secara
individual
2.4. Sistem Pendukung
Dalam pembelajaran membutuhkan sarana media
audio dan visual sebagai penunjang presentasi model.
3. Penerapan Model Pembelajaran Direktif Berbasis
Observasional
Berdasarkan teori belajar Model Pembelajaran
Direktif bersumber dari kelompok model perilaku atau
behavioral (Joyce & Weil, 2009), sedangkan Model
Pembelajaran Observasional merupakan perpaduan dua
pendekatan teori belajar yaitu behavioral dan kognitif
sosial (Santrock, 2011).
207
Langkah-langkah pembelajaran direktif berbasis
observasional yang telah di padukan dari kedua model
tersebut (Dari Social Function of Thought & Action, h. 52,
oleh A. Bandura © 1986) dalam Hergenhahn dan Olson
(2009:366); Santrock (2011:478); Joyce & Weil
(2011:431)
208
4. Dampak-Dampak Instruksional dan Pengiring
Dampak-dampak instruksional yang dilakukan oleh
model memberikan informasi kepada pengamat tentang
tipe-tipe tindakan yang cenderung efektif. Dengan
mengamati model-model yang kompeten melakukan
tindakan-tindakan yang mengarah kepada keberhasilan
menguasai materi dan ketrampilan sosial dengan cepat.
Dengan mengamati perilaku-perilaku model beserta
akibat-akibatnya, orang membentuk keyakinan-keyakinan
mengenai perilaku-perilaku yang mana yang akan
memperoleh imbalan dan yang mana yang memperoleh
hukuman. Rancangan instruksionak yang menarik dapat
meningkatkan dan memelihara motivasi melalui aktivitas
mengandalakan diri sendiri dengan atau tanpa penguatan.
Melalui kesuksesan dan respons balik positif, model ini
dapat meningkatkan efikasi diri.
5. Kajian Tentang Ketrampilan Sosial
Pada hakikatnya, manusia adalah mahluk sosial
yang mengalami tumbuh kembang dan dapat
melangsungkan kehidupannya secara berkelanjutan dalam
209
lingkungan masyarakat. Seperti dikemukakan
Sumaatmadja (1986 : 29), selaras dengan fitrah manusia
sebagai makhluk sosial yang sangat dipengaruhi oleh
masyarakatnya, baik kepribadian individualnya, termasuk
daya rasionalnya, reaksi emosionalnya, aktivitas dan
kreativitasnya, dan lain sebagainya dipengaruhi oleh
kelompok tempat hidupnya.
Dalam kehidupan masyarakat terdapat seperangkat
nilai sosial budaya yang menjadi acuan bagi seluruh warga
pendukungnya sehingga kehidupan bermasyarakat dapat
lestari. Nilai sosial budaya diwariskan melalui proses
belajar yang dikenal dengan istilah sosialisasi dan
enkulturasi hingga terbentuk kepribadian melalui
internalisasi pada setiap individu dalam masyarakat.
Kepribadian, selain menunjukkan jati diri individual juga
mencerminkan karakter masyarakat di mana individu
tersebut mengalami proses belajar nilai sosial budaya.
Namun demikian, berbagai gejala sosial muncul seiring
dengan tuntutan hidup, sehingga menimbulkan perubahan
sosial. Perubahan sosial menjadi indikator bagi dinamika
sosial.
210
Sejak berlakunya kurikulum pendidikan nasional
tahun 1974, dikenal istilah kurikulum terintegrasi
(integrated curriculum) dan kurikulum terpisah (sparated
curriculum), khususnya untuk rumpun mata pelajaran ilmu
pengetahuan sosial. Salah satu Keterampilan sosial yang
perlu dimiliki siswa, menurut John Jarolimek (1993: 9),
mencakup:
a. Living and working together; taking turns; respecting
the rights of others; being socially
sensitive;
b. Learning self-control and self-direction; and
c. Sharing ideas and experience with others.
Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa keterampilan sosial itu memuat aspek-aspek
keterampilan untuk hidup dan bekerjasama; keterampilan
untuk mengontrol diri dan orang lain; keterampilan untuk
saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya; saling
bertukar pikiran dan pengalaman sehingga tercipta suasana
yang menyenangkan bagi setiap anggota dari kelompok
tersebut. Dengan demikian, dimilikinya keterampilan
sosial oleh setiap individu dan/siswa akan menjadikan
211
mereka sebagai mahluk sosial yang mampu berinteraksi
dan berpartisipasi sosial dengan berlandaskan pada sikap
kepedulian sosial.
6. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1) Implementasi model pembelajaran direktif berbasis
observasional dapat meningkatkan pemahaman siswa
terhadap ketrampilan sosial.
2) Implementasi model pembelajaran direktif berbasis
observasional dapat meningkatkan keterampilan sosial.
3) Implementasi model pembelajaran direktif berbasis
observasional lebih efektif dalam meningkatkan
pemahaman siswa terhadap ketrampilan sosial
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.
C. Desain Penelitian
1. Metode Penelitian
Studi ini dilaksanakan menggunakan pendekatan
research and development (penelitian dan pengembangan)
212
(Borg and Gall, 1989: 781). Pelaksanaannya menggunakan
siklus seperti dalam penelitian tindakan (Mc Niff, 1994:
31) sampai menghasilkan model pembelajaran direktif
berbasis observasional yang sesuai dengan pembelajaran
di sekolah sebagai produk penelitian. Dalam
pelaksanaannya mengacu pada sistem aplikasi penelitian
tindakan yang dilakukan beberapa siklus sehingga
dihasilkan suatu produk, yaitu model pembelajaran
direktif berbasis observasional yang menjadi fokus
penelitian.
Model penelitan dan pengembangan ini diawali
dengan studi pendahuluan dan kajian teoritis, kemudian
berdasarkan hasil studi pendahuluan dan kajian teoritis
diformulasikan model dan uji validasinya dalam konteks
pembelajaran secara berkesinambungan, sehingga
dihasilkan model pembelajaran yang sesuai dan
merupakan produk penelitian. Hal ini sesuai pendapat
Borg dan Gall (1989: 782) yang menyatakan bahwa
“educational research and development is a process used
to develop and validate educational products”.
213
Menurut Syaodih (2002: 1), penelitian dan
pengembangan dapat menjembatani kesenjangan antara
penelitian dengan praktek pendidikan. Temuan-temuan
dalam penelitian pendidikan (penelitian dasar dan
aplikatif) diujicobakan dan divalidasikan melalui
penelitian dan pengembangan agar melahirkan produk-
produk yang teruji. Penelitian dan pengembangan
bukanlah bagian dari penelitian dasar dan aplikasi,
ketiganya diperlukan dalam pengembangan pendidikan.
Penelitian dan pengembangan mengembangkan
temuan-temuan penelitian dasar dan aplikatif tentang
praktek pendidikan dan menerjemahkannya ke dalam
produk-produk pendidikan yang terpakai. Ada tiga metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian dan
pengembangan, yaitu survei, evaluatif dan eksperimen
(Borg and Gall: 1989). Survei digunakan dalam penelitian
pendahuluan untuk mengetahui kondisi pendukung dan
praktek yang terkait dengan produk yang dikembangkan.
Penelitian evaluatif, baik formatif maupun sumatif
digunakan dalam uji coba pengembangan produk, sedang
214
eksperimen digunakan untuk menguji keampuhan produk
yang dikembangkan.
2. Tempat Penelitian
Tempat penelitian ini dilakukan di Sekolah
Menengah Kejuruan Negeri se-Kota Serang, Provinsi
Banten.
3. Populasi dan Sampel/Sumber Data
Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 5
SMK Negeri yang terdiri 446 siswa kelas XI Administrasi
Perkantoran. Sedangkan Penarikan sampel dilakukan
dengan teknik purposive sampling, yakni memilih sampel
30% yang berjumlah 134 siswa.
4. Teknik Pengumpulan Data
Bertolak dari fokus penelitian dan jenis data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini, maka instrumen yang
digunakan untuk menjaring data dalam penelitian ini
terdiri dari: (1) lembar observasi kelas, (2) angket, (3)
215
perangkat pembelajarantes hasil belajar siswa, dan (4) tes
keterampilan.
5. Teknik Analisis Data
Analisis dan pengolahan data penelitian dan
pengembangan ini dilakukan menggunakan teknik analisis
kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan tahapan proses
penelitian yang dilaksanakan, analisis data dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Hasil Prasurvei, data penelitian yang diperoleh pada
saat prasurvei yang meliputi: (1) desain dan
implementasi pembelajaran yang dikembangkan
guru; (2) Perumusan tujuan pembelajaran, materi
pembelajaran, pemilihan metode pembelajaran, dan
evaluasi pembelajaran; (3) pemanfaatan sumber
pembelajaran; (4) kompetensi dan performance
guru; serta (5) aktivitas siswa selama
berlangsungnya pembelajaran dianalisis secara
deskriptif analitik. Hasil analisis tersebut berupa
gambaran utuh pembelajaran yang saat ini
dilaksanakan di sekolah.
216
2) Hasil pengembangan dan pengujian model, data
hasil observasi kelas dianalisis secara kualitatif. Data
tentang pemahaman materi dan pengembangan
keterampilan berpikir siswa yang diperoleh
berdasarkan pre-test dan post-test dianalisis dengan
menggunakan teknik analisis statistik inferensial
dengan melakukan uji statistik yaitu Uji-t. Teknik
analisis statistik ini dipergunakan untuk mengetahui
peningkatan pemahaman materi dan keterampilan
siswa dari setiap siklus tindakan yang dilakukan
selama berlangsungnya uji coba model. Hasil
analisis dan refleksi data dalam setiap siklus
dijadikan sebagai bahan revisi untuk pelaksanaan
siklus berikutnya, sampai ditemukan model akhir
yang diuji efektivitasnya.
3) Tahap Eksperimen dan Validasi Model, data yang
berhubungan dengan aspek: (1) perencanaan
pembelajaran dan implementasinya, (2) aktivitas
belajar siswa, (3) kinerja guru, serta (4) proses dan
hasil pembelajaran dianalisis secara kualitatif untuk
mengetahui peningkatan yang terjadi antara sebelum
217
dan sesudah dilakukan pengembangan model. Data
hasil pre-test dan post-test siswa dianalisis secara
kuantitatif melalui Uji-t untuk mengetahui
peningkatan pemahaman materi dan keterampilan
berpikir siswa, baik untuk kelompok eksperimen
maupun untuk kelompok kontrol. Disamping itu,
dilakukan analisis statistik untuk melihat perbedaan
antar kelompok, yakni perbedaan antara sekolah
kelompok eksperimen yang terdiri atas stratifikasi
kelompok favorit, dan biasa, dengan kelompok
kontrol dengan stratifikasi yang sama.
Sebelum dilakukan uji statistik untuk mengetahui
efektivitas model pembelajaran terlebih dahulu dilakukan
uji pesyaratan analisis. Sesuai dengan teknik analisis data
yang akan digunakan, dalam penelitian ini diterapkan dua
uji persyaratan analisis yaitu: (1) Uji normalitas data
karena pengujian hipotesis mensyaratkan bahwa data
bersumber dari populasi yang berdistribusi normal; dan (2)
Uji homogenitas varians, karena analisis komparatif
mensyaratkan antar kelompok skor yang independen harus
memiliki varians homogen. Pengujian normalitas
218
dilakukan terhadap data gain skor dari setiap kelompok
sampel.
Uji normalitas yang digunakan adalah uji Liliefors.
Kriteria pengujian ditetapkan berdasarkan nilai statistik
Lhitung dan Ltabel sesuai ketentuan berikut:
(1) Data skor hasil tes dinyatakan berdistribusi normal
jika Lhitung < Ltabel artinya persyaratan analisis
terpenuhi;
(2) Data skor hasil tes dinyatakan tidak berdistribusi
normal jika Lhitung > Ltabel artinya persyaratan
analisis tidak terpenuhi.
219
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y. (2016). Desain Sistem Pembelajaran. Bandung : PT. Refika Aditama
Al Muchtar, S. (2014). Inovasi dan Transformasi
Pembelajaran Pendidikan. Bandung : Gelar Pustaka Mandiri
Al Muchtar, S. (2014). Epistomologi Pendidikan IPS.
Bandung : Wahana Jaya Abadi Arends, R. I. (2008). Learning To Teach Buku Satu.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar Arends, R.I. (2008). Learning To Teach Buku Dua.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar Aryani, I.K. (2006). Pendidikan Nilai dan Moral. Subang :
Karya Swadaya Mandiri Bachtiar, Rofiatul. (2010). Pengembangan Model
Pembelajaran Non Direktif Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemandirian Belajar Mahasiswa. S3 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia
Bandura, A. (1963). The Role of Imitation in Personality.
The Journal of Nursery Education, 18(3).
220
Bandura, A. (1965). Influence of Models’ Reinforcement Contingencies on The Acquisition of Imitative Responses. Journal of Personality and Social Psychology, 1, 589-595.
Bandura, A. (1969). Social-Learning Theory of
Identificatory Processes. In D., A., Goslin (Ed.), Handbook of Socialization Theory and Research (pp. 213-262). Chicago : Rand McNally.
Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Bandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and
Action : A Social Cognitive Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Bandura, A. (1997). Self-Efficacy and Health Behaviour.
In A. Baum, S. Newman, J. Wienman, R. West & C. McManus (Eds.), Cambridge Handbook of Psychology, Health and Medicine (pp. 160-162). Cambridge: Cambridge University Press.
Bank, J.A. (1990). Teaching Strategies for the Social
Studies: Inquiry, Valuing, and Decision Making. New York: Longman.
Beck, C and Kosnik, C. (2006). Innovation in Teacher
Education: A Social Constructivist Approach. United States of America: State University of New York Press, Albany.
221
Berns & Ericson. (2001). Contextual Teaching and Learning: Preparing Students for the New Economy. The Highlight Zone. Research@Work, 5, hlm.1-8. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.453.3887&rep=rep1&type=pdf
Chaille, C dan Britain, L. (2003). The Young Childrenis
Scientist: A Constructivist Approach to Early Childhood Science Education. Boston: allyn and bacon.
Change The Equation. (2015). Work Based Learning.
[Online]. Diakses dari http://changetheequation.org/sites/default/files/Guide%20to%20Work-based%20Learning.pdf
DePorter, B & Hernacki, M. (2011). Quantum Learning.
Bandung : PT. Mizan Pustaka Depdiknas. (2004). Pedoman Akademik. Bandung :
Universitas Pendidikan Indonesia. Doolittle, P. E., & Camp, W. G. (1999). Constructivism:
The career and technical education perspective. Journal of Vocational and Technical Education.Electronic Journal, 16 (1).
Eggen, P & Kauchak, D. (2012). Strategi dan Model
Pembelajaran. Jakarta : Indeks
222
Ely, D.P. 1980. Teaching and Media: A systematic Approach. New Jersey. Prentice Hall, Inc.
Fosnot, C. T. (1999). Constructivism: Theory, Perspective,
and Practice. New York: Teachers College Press. Glasersfeld, E. (1995). A constructivist approach to
teaching. In L. P. Steffe & J. Gale. Constructivism in education (pp. 3-16). Hillsdale, NJ: Erlbaum. http://planipolis.iiep.unesco.org/upload/Indonesia/Indonesia_Education_Strategic_ plan_2010-2014.pdf.
Gredler, M. E. (2011). Learning and Instruction. Jakarta :
Kencana Gunawan, R. (2013). Pendidikan IPS. Bandung : Alfabeta Goleman, D. 1999. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai
Puncak Prestasi, Terjemahan. Jakarta. Gramedia. Hergenhahn, B.R., dan Olson, M.R. (2009). Theories of
Learning. Jakarta : Kencana Hakam, K.A. (2007). Bunga Rampai Pendidikan Nilai.
Bandung : UPI Hamdayama, J. (2014). Model dan Metode Pembelajaran
Kreatif dan Berkarakter. Bogor : Ghalia Indonesia Heriawan, A., Darmaji, Senjaya, A. (2012). Metodologi
Pembelajaran. Serang : LP3G
223
Huda, M. (2014). Model-Model Pengajaran dan
Pembelajaran. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Jacobsen, D.A., Eggen, P. & Kauchak, D. (2009). Methods
For Teaching. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Joyce, B., Weil, M. & Calhoun, E. (2011). Models Of
Teaching. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Jarolimek, J. (1993). Social Studies in Elementary
Education. New York : Mc.Millan Publishing. Kemendiknas. 2010. Rencana Straregis Kementrian
Pendidikan Nasional 2010-2014. diakses di.http://planipolis.iiep.unesco.org/upload/Indonesia/Indonesia_Education_Strategic_ plan_2010-2014.pdf. tanggal 20 April 2015.
Kerlinger. (2006). Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Kolb, A. D. (1984). Experiential Learning:
Experience as The Source of Learning and Development. Prentice-Hall. Inc. Englewood Cliffs. New Jersay.
Kolb, A. D and Boyatzis, E. R. (1999). Experiential
Learning Theory: Previous Research and New Directions. Charalampos Mainemelis Department of Organizational Behavior Weatherhead School of Management Case Western Reserve University.The revised paper appears in: R. J.
224
Sternberg and L. F. Zhang (Eds.), Perspectives on cognitive, learning, and thinking styles. NJ: Lawrence Erlbaum, 2000.
LAN. (2011). Metode Pembelajaran. Jakarta Majid, A. (2014). Strategi Pembelajaran. Bandung :
Rosda Martin, J. D. (2009). Elementary science method: a
constructivist approach fifth edition. Belmont: Wadsworth Cengage Learning.
McConnell, T.R. (1952). General Education : An
Analysis, dalam Henry, N.B. The Fifty-Fiths Yearbook of the National Society for the Study of Education : Part I General Education. Chicago : The University of Chicago Press.
Moise, Popescu, Kadar, Muntean. (2013). Developing
students’ educational experiences through work-based learning programmes. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 93, hlm. 1045 – 1049
Nasution. (2011). Berbagai Pendekatan Dalam Proses
Belajar & Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara National Centre For Vocational Education
Research/NCVER. (2016). Work-based learning and work-integrated learning: fostering engagement with employers. Australia : NCVER. [Online]. Diakses dari
225
https://www.ncver.edu.au/__data/assets/pdf_file/0017/60281/Work-based-learning.pdf
Ormrod, J., E. (2009). Psikologi Pendidikan Jilid 1.
Jakarta : Erlangga Ormrod, J., E. (2012). Psikologi Pendidikan Jilid 2.
Jakarta : Erlangga Rusman. (2014). Model-Model Pembelajaran. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada Raven, J. (1977). Education, Values, and Society : The
Objectives of Education and the Nature and Development of Competence. London : HK Lewis & Co. Ltd.
Rockmore, T. (2005). On Constructivist
Epistemology.United States of America: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Sumaatmadja, N. (1986). Metodologi Pengajaran IPS.
Bandung : Alumni.Dahar. Santrock, J., W. (2011). Psikologi Pendidikan. Jakarta :
Kencana Schunk, D., H. (2012). Learning Theories. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
226
Sanjaya, W. (2013). Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana
Santrock, J.W. (2013). Psikologi Pendidikan. Jakarta :
Kencana Sapriya. (2014). Pendidikan IPS. Bandung : Rosda Schuh, Gartzen, Roden, Hauzer, Marks, (2015). Promoting
work based learning through industry. Procedia CIRP, 32, hlm. 82-87.
Slavin, R.E. (2011). Psikologi Pendidikan Jilid I. Jakarta :
Indeks Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan
Pendidikan IPS. Bandung : Rosda Somantri, M. N., dkk. (2010). Inovasi Pembelajaran IPS.
Bandung : Rizqi Press Supardan, D. (2015). Pembelajaran IPS. Bandung : Bumi
Aksara Sutarjo, A. (2012). Pembelajaran Nilai-Karakter. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada Steffe, L. P., & Gale, J. (1995). Constructivism in
Education. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
227
Tobias, S. and Duffi, M. T. (2009). Constructivist Instruction: Sources or Failure? New York and London: Routledge Taylor and Prancis Geoup.
Trianto. (2015). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta :
Bumi Aksara Uno, H.B. (2014). Model Pembelajaran. Jakarta : Bumi
Aksara Undang-Undang No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Vygotsky, L. (1978). Interaction betweem learning and
development. From : Mind and Society (p.57). Cambridge, MA : Harvard University Press.
Widarwati dan Wijayati, E. (2016). Modul Pelatihan Guru
Mata Pelajaran IPS SMP. Batu : P4TK PKn IPS Dirjend GTK Kemendikbud
Widarto, Pardjono dan Widodo, N. (2012). Pengembangan
Model Pembelajaran Soft Skills dan Hard Skills Untuk Siswa SMK. Cakrawala Pendidikan, 31(3), hlm. 409-423
Zakiyah, Q.Y & Rusdiana. (2014). Pendidikan Nilai.
Bandung : Pustaka Setia Zimmerman, B.J., & Schunk, D.H., (2003). Albert
Bandura : The Scholar and His Contribution to
228
Educational psychology. Dalam B.J. Zimmermann& D.H., Schunk (Ed), Educational Psychology : A Century of Contributions (hlm. 431-457). Mahwah, N.J:Erlbaum
229
BIODATA PENULIS
Subkhan Rojuli lahir di
Kebumen, 30 April 1980.
Anak pertama dari lima
bersaudara dari pasangan MC.
Tojibin dan Jusmarni. Tahun
2006 menikah dengan Sulaeni,
M.Pd dan dikarunia tiga orang
anak yang lucu yaitu Janeta Zalfa Quds (2009), Ghazy
Nibras Hibrizi (2010) dan Quthbie Zayan El Hazima
(2016). Sekarang hidup dan tinggal bersama dengan
bahagia di Perum. Persada Banten, Blok G4, No. 17,
Teritih, Walantaka, Kota Serang, Banten. Menyelesaikan
sekolah dari SD s/d SMA di Kebumen (1987 s/d 1999).
Pernah belajar di STIE Muhamdiyah Tangerang dari tahun
2000 s/d 2002 kemudian menyelesaikan S-1 Ekonomi
Manajemen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang
berijasah tahun 2005. S-2 Pendidikan IPS Universitas
Indraprasta PGRI Jakarta lulus tahun 2013. Sekarang
sedang menyelesaikan disertasi S-3 Pendidikan IPS
Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
230
Pengalaman mengajar atau bekerja mulai
Desember 2006 s/d Maret 2009 sebagai Staf Gudang PT.
SRKI Tangerang. Juni 2009 s/d Juni 2010 sebagai Asisten
Dosen Ekonomi Manajemen STIE IMNI. April 2009 s/d
Februari 2010 sebagai Kepala TU di SMAI Al-Azhar 6
Serang. Januari 2010 s/d sekarang sebagai Pengajar Tetap
di SMKN 5 Kota Serang.
Selain itu, pernah sebagai dosen paruh waktu di
YBB ISEC Serang, Universitas Mathlaul Anwar dan
Universitas Terbuka UBJJ Serang (2013 s/d 2015).
Sekarang sedang proses alih fungsi dari guru ke
widyaiswara di P4TK PKn dan IPS.
231