subkhan rojuli

231
1 SUBKHAN ROJULI STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS Diterbitkan oleh Mer-C Publishing

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SUBKHAN ROJULI

1

SUBKHAN ROJULI

STRATEGI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS

Diterbitkan oleh

Mer-C Publishing

Page 2: SUBKHAN ROJULI

2

Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS

Penulis: Subkhan Rojuli

Email : [email protected] Editor: Johanes Che Parikesit

Tata Letak: Tim Kreatif Mer-C Publishing

Sampul: Heru

Diterbitkan Oleh:

Mer-C Publishing

Alamat

PT Adhi Sarana Nusantara

Jl. Ulujami Raya no 2 Perdatam Jakarta Selatan

0852-1225-3539

E-mail: [email protected]

www.mer-c-publishing.com

Cetakan I

Jakarta, Mer-C Publishing, November 2016

106; 14 x 20 cm

ISBN : 978-602-60510-0-4

Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)

Hak Cipta dilindungi Undang-undang All right reserved

Page 3: SUBKHAN ROJULI

3

“Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para widyaiswara LAN dan para dosen UPI Bandung yang

telah memberi bekal pengetahuan untuk mendukung penulisan buku ini. Penulis sangat menyadari bahwa bahan ajar ini jauh dari sempurna. Penulis sangat mengharapkan masukan kritik dan saran untuk bahan perbaikan, semoga

buku ini dapat bermanfaat”.

Page 4: SUBKHAN ROJULI

4

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH ........................ 3

DAFTAR ISI ................................................ 4

BAB I. KONSEP PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN IPS .......................... 8

A. Pengertian Pembelajaran, IPS dan

Pendidikan IPS ............................ 8

B. Hakikat, Perspektif dan Tujuan

Pembelajaran Pendidikan IPS .... 10

C. Dimensi Pendidikan IPS ............. 15

D. Hubungan Pendidikan IPS dengan

Ilmu-ilmu Sosial .......................... 19

BAB II. MASALAH PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN IPS ........................... 20

A. Pengertian Masalah ..................... 20

B. Jenis-Jenis Masalah Pembelajaran

Pendidikan IPS ............................ 20

BAB III. KONSEP STRATEGI

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS 34

Page 5: SUBKHAN ROJULI

5

A. Konsep Strategi Pembelajaran

Pendidikan IPS………… ............ 34

B. Unsur Strategi Pembelajaran… ... 40

C. Dasar Pemilihan Strategi……… . 41

D. Variabel Strategi Pembelajaran… 43

BAB IV. KLASIFIKASI STRATEGI

PEMBELAJARAN PIPS ............... 46

A. Strategi Pembelajaran PIPS…… 46

B. Model-Model Pembelajaran…….. 51

C. Pendekatan Pembelajaran ........... 58

D. Metode Pembelajaran .................. 59

E. Teknik Pembelajaran................... 65

BAB V. PENENTUAN STRATEGI

PEMBELAJARAN PIPS ............... 66

A. Perbedaan Individu dan Keragaman 66

B. Menangani Siswa di Kelas Yang

Beragam…… .............................. 77

C. Penentuan Pembelajaran PIPS Dalam

Lingkungan Yang Beragam…… 83

BAB VI. INOVASI PEMBELAJARAN PIPS 112

Page 6: SUBKHAN ROJULI

6

A. Pengertian Inovasi Pembelajaran

PIPS…… ..................................... 112

B. Peluang Inovasi Pembelajaran PIPS 113

C. Tantangan Inovasi Pembelajaran PIPS114

D. Kendala Inovasi Pembelajaran PIPS 120

E. Arah Inovasi Pembelajaran PIPS 123

BAB VII. TEORI-TEORI YANG MELANDASI

PEMBELAJARAN PIPS ............... 140

A. Daftar Teori Pembelajaran dan

Penemunya…… .......................... 140

B. Contoh Aplikasi Teori Dalam

Pembelajaran PIPS…….. ............ 143

1. Teori Kontruktivisme ............ 143

2. Teori Experential Learning ... 155

3. Contextual Teaching & Learning 169

4. Work Based Learning............ 174

BAB VIII. CONTOH PENELITIAN INOVASI

PEMBELAJARAN PIPS ..................... 182

A. Pendahuluan ............................... 182

B. Landasan Teori ........................... 191

C. Desain Penelitian ........................ 211

Page 7: SUBKHAN ROJULI

7

DAFTAR PUSTAKA .................................. 219

BIODATA PENULIS ................................... 229

Page 8: SUBKHAN ROJULI

8

BAB I

KONSEP PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS

A. Pengertian Pembelajaran, IPS dan Pendidikan IPS

Pembelajaran (learning) dapat didefinisikan

sebagai pengaruh permanen atas perilaku,

pengetahuan dan keterampilan berfikir, yang

diperoleh melalui pengalaman (Santrock, 2011:266).

Merujuk pada kurikulum 2013 IPS untuk

SMP/MTs bahwa IPS merupakan mata pelajaran yang

mengkaji tentang isu-isu social dengan unsur

kajiannya dalam konteks peristiwa, fakta, konsep dan

generalisasi (Supardan, 2015 : 17). Sedangkan

pengertian IPS di SD adalah suatu bahan kajian yang

terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi,

seleksi dan modifikasi yang diorganisasikan dari

konsep-konsep dan keterampilan Sejarah, Geografi,

Sosiologi, Antropologi dan Ekonomi (Gunawan, 2013

: 48).

Menurut Somantri (2001 : 92) bahwa

pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi

Page 9: SUBKHAN ROJULI

9

dari disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora serta

kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan

disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan

pendidikan.

Konsep IPS pada dasarnya merupakan satu

konsep keterpaduan sebab IPS hakikatnya merupakan

kajian yang diambil dari berbagai disiplin ilmu yang

bertujuan agar siswa dapat menjadi warga Negara

yang baik dan memilki tanggung jawab dan dapat

memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan

bagi dirinya (Agus Mulyana dalam Somantri, dkk;

2010 : 112).

Pendidikan IPS bukan merupakan pendidikan

disiplin ilmu tetapi adalah suatu kajian tentang

masalah-masalah social yang dikemas sedemikian

rupa dengan mempertimbangkan factor psikologis

perkembangan peserta didik dan beban waktu

kurikuler untuk program pendidikan, sedangkan Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS) adalah sebuah program

pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu tersendiri,

sehingga tidak akan ditemukan baik dalam

Page 10: SUBKHAN ROJULI

10

nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial,

maupun ilmu pendidikan (Gunawan, 2013 : 113).

B. Hakikat, Perspektif dan Tujuan Pembelajaran

Pendidikan IPS

Hakikat IPS adalah telaah tentang manusia

sebagai makhluk social yang selalu hidup bersama

dan dunianya (Gunawan, 2013 : 17).

Menurut Ridwan Effendi dalam Somantri, dkk

(2010 : 32) alasan mempelajari pendidikan IPS adalah

membantu kita untuk memahami bagaimanan hidup

bersama dengan yang lain (seperti bertetangga dan

berinteraksi dengan lingkungannya, meningkatkan

kepedulian dengan masalah sekitar sehingga untuk

memupuk nilai-nilai hidup bersama di atas diperlukan

sarana, yaitu pelajaran IPS.

Roberta Woolover dan Kathryn P. Scoot

(1987) dalam Somantri, dkk (2010 : 39-53)

merumuskan ada lima perspektif dalam mengajarkan

IPS, yaitu :

Page 11: SUBKHAN ROJULI

11

1) IPS diajarkan sebagai pewarisan nilai

kewarganegaraan, tujuan utamanya adalah

mempersiapkan anak didik menjadi warga Negara

yang baik.

2) IPS diajarkan sebagai pendidikan ilmu-ilmu social,

tujuan utamanya adalah mendidik anak untuk

memahami ilmu-ilmu social.

3) IPS diajarkan sebagai reflektif inquiry dengan

penekanan terpenting yaitu bagaimana guru

memberikan motivasi agar siswa dapat berpikir.

4) IPS diajarkan sebagai pengembangan pribadi

siswa, tujuan utamanya ialah mengembangkan

seluruh potensi siswa baik pengetahuan, fisik,

social dan emosinya.

5) IPS diajarkan sebagai proses pengambilan

keputusan dan tindakan social yang rasional,

tujuan utamanya ialah bagaimana siswa diajari

untuk dapat membuat keputusan dan tindakan yang

rasional.

Page 12: SUBKHAN ROJULI

12

Pada kurikulum 2013 tujuan pembelajaran IPS

dinyatakan sebagai berikut (Widarwati dan Wijayati,

E; 2016 : 9) :

1) IPS dikembangkan sebagai mata pelajaran

integrative social studies, bukan sebagai

pendidikan disiplin ilmu, sebagai pendidikan

berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan

berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan

pengembangan sikap peduli dan bertanggung

jawab terhadap lingkungan social dan alam.

Disamping itu, tujuan pendidikan IPS menekankan

pada pengetahuan tentang bangsanya, semangat

kebangsaan, patriotisme, serta aktivitas masyarakat

di bidang ekonomi dalam ruang atau space wilayah

NKRI.

2) Muatan pembelajaran di Sekolah Menengah

Pertama/Madrasah Tsanawiyah yang berbasis pada

konsep-konsep terpadu dari berbagai disiplin ilmu

untuk tujuan pendidikan adalah mata pelajaran

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Page 13: SUBKHAN ROJULI

13

3) Pada hakikatnya IPS dikembangkan sebagai mata

pelajaran dalam bentukintegrated social studies.

Muatan IPS berasal dari sejarah, ekonomi,

geografi, dan sosiologi. Mata pelajaran ini

merupakan program pendidikan yang berorientasi

aplikatif, pengembangan kemampuan berpikir,

kemampuan belajar, rasa ingin tahu,dan

pengembangan sikap peduli dan bertanggung

jawab terhadap lingkungan sosial dan alam.

4) Tujuan pendidikan IPS menekankan pada

pemahaman tentang bangsa, semangat

kebangsaan,patriotisme,dan aktivitas masyarakat

dibidang ekonomi dalam ruang atau space wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

5) Pendidikan IPS menggunakan pendekatan trans-

disciplinarity di mana batasbatas disiplin ilmu

tidak lagi tampak secara tegas dan jelas,karena

konsepkonsep disiplin ilmu berbaur dan/atau

terkait dengan permasalahanpermasalahan yang

dijumpai di sekitarnya. Kondisi tersebut

Page 14: SUBKHAN ROJULI

14

memudahkan pembelajaran IPS menjadi

pembelajaran yang kontekstual.

6) Pembelajaran IPS diintegrasikan melalui konsep

ruang, koneksi antar ruang, dan waktu.

Tujuan pembelajaran pendidikan IPS menurut

Suwarma Al-Muchtar (2014, 15-16) adalah

mempersiapkan para pelajar menjadi warga Negara

yang baik dan mengembangkan kemampuan

menggunakan penalaran dalam pengambilan

keputusan setiap persoalan yang dihadapi.

Jack R. Fraenkel (1980) dalam Somantri

(2010 : 99-100) membagi tujuan IPS dalam empat

kategori, yaitu :

1) Pengetahuan, yaitu kemahiran dan pemahaman

terhadap sejumlah informasi dan ide-ide.

2) Keterampilan, yaitu pengembangan kemampuan-

kemampuan tertentu sehingga digunakan

pengetahuan yang diperolehnya

3) Sikap, yaitu kemahiran, mengembangkan dan

menerima keyakinan-keyakinan, interes,

Page 15: SUBKHAN ROJULI

15

pandangan-pandangan dan kecenderungan

tertentu.

4) Nilai, yaitu kemahiran memegang sejumlah

komitmen yang mendalam, mendukung ketika

sesuatu dianggap penting dengan tindakan yang

tepat.

C. Dimensi Pendidikan IPS

Program pendidikan IPS yang komprehensif

adalah program yang mencakup empat dimensi

(Sapriya, 2014 : 48) yang meliputi :

1) Dimensi pengetahuan (knowledge)

Secara konseptual pengetahuan mencakup :

fakta, konsep dan generalisasi yang dipahami oleh

siswa. Fakta adalah data yang spesifik tentang

peristiwa, objek, orang, dan hal-hal yang terjadi

(peristiwa). Konsep merupakan kata-kata atau

frase yang mengelompok, berkategori dan

memberi arti terhadap kelompok fakta yang

berkaitan. Generalisasi merupakan suatu

Page 16: SUBKHAN ROJULI

16

ungkapan/pernyataan dari dua atau lebih konsep

yang saling terkait.

2) Dimensi keterampilan (skills)

Keterampilan yang diperlukan dan menjadi

unsur dalam pendidikan IPS adalah keterampilan

meneliti, keterampilan berpikir, keterampilan

partisipasi social dan keterampilan berkomunikasi.

Keterampilan meneliti mencakup aktivitas :

mengidentifikasi dan mengungkapkan masalah

atau isu, mengumpulkan dan mengolah data,

menafsirkan data, menganalisis data, menilai

bukti-bukti yang ditemukan, menyimpulkan,

menerapkan hasil temuan dalam konteks yang

berbeda dan membuat pertimbangan nilai.

Beberapa keterampilan berpikir yang perlu

dikembangkan oleh guru di kelas untuk para siswa

meliputi : mengkaji dan menilai data secara kritis,

merencanakan, merumuskan factor sebab dan

akibat, memprediksi hasil daru sesuatu kegiatan

atau peristiwa, menyarankan apa yang akan

ditimbulkan dari suatu peristiwa atau perbuatan,

Page 17: SUBKHAN ROJULI

17

curah pendapat (brainstorming), berspekulasi

tentang masa depan, menyarankan berbagai solusi

alternative dan mengajukan pendapat dari

perspektif yang berbeda.

Beberapa keterampilan partisipasi social

yang perlu dibelajarkan oleh guru meliputi :

mengidentifikasi akibat dari perbuatan dan

pengaruh ucapan terhadap orang lain,

menunjukkan rasa hormat dan perhatian kepada

orang lain, berbagi tugas dan pekerjaan dengan

orang lain, berbuat efektif sebagai anggota

kelompok, mengambil berbagai peran kelompok,

menerima kritik dan saran serta menyesuaikan

kemampuan dengan tugas yang harus diselesaikan.

Keterampilan berkomunikasi hendaknya

tidak hanya diungkapkan dengan bahasa tulis dan

lisan, tetapi siswa diarahkan juga untuk

mengungkapkan gagasannya dalam bentuk lain,

seperti dalam film, drama, seni, pertunjukan, foto

bahkan dalam bentuk peta.

3) Dimensi nilai dan sikap (values dan attitudes)

Page 18: SUBKHAN ROJULI

18

Nilai adalah seperangkat keyakinan atau

prinsip perilaku yang telah mempribadi dalam diri

seseorang atau kelompok masyarakat tertentu yang

terungkap ketika berpikir atau bertindak. Nilai

dibedakan atas nilai substantive dan nilai

procedural. Nilai substantive adalah keyakinan

yang telah dipegang oleh seseorang dan umumnya

hasil belajar, bukan sekedar menanamkan atau

menyampaikan informasi semata. Nilai-nilai

procedural yang perlu dilatih atau dibelajarkan

antara lain nilai kemerdekaan, toleransi, kejujuran,

menghormati kebenaran dan menghargai pendapat

orang lain.

4) Dimensi tindakan (action)

Dimensi tindakan social untuk

pembelajaran IPS meliputi tindakan aktivitas, yaitu

: percontohan kegiatan dalam memecahkan

masalah di kelas seperti cara bernegosiasi dan

bekerja sama, berkomunikasi dengan anggota

masyarakat dan pengambilan keputusan.

Page 19: SUBKHAN ROJULI

19

D. Hubungan Pendidikan IPS dengan Ilmu-ilmu

Sosial

Kedudukan ilmu-ilmu sosial dalam kaitannya

dengan pendidikan IPS, menempatkan ilmu-ilmu

sosial sebagai sumber ilmu keilmuan dan materi

bahan sajian pendidikan IPS sehingga hubungan

keduanya bersifat materiil (Suwarma, 2014 : 17).

Implikasinya jika lemah penguasaan dari konsep-

konsep disiplin ilmu-ilmu social, maka akan lemah

pula potensi/ kemampuan pengembangan pendidikan

IPS. Jadi penguasaan ilmu-ilmu tersebut untuk tujuan

pendidikan lebih aplikatif dibandingkan dengan

mereka yang bergerak dalam ilmu social murni.

Page 20: SUBKHAN ROJULI

20

BAB II

MASALAH PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS

A. Pengertian Masalah

Menurut kerlinger (2006) mendefinisikan

masalah sebagai berikut:

1. Masalah adalah kesenjangan antara kenyataan

yang ada dengan yang seharusnya ada

2. Kesenjangan (gap) antara yang seharusnya

dengan apa yang terjadi tentang sesuatu hal

3. Kesenjangan antara harapan dan kenyataan

B. Jenis-Jenis Masalah Pembelajaran Pendidikan

IPS

1. Masalah Peran dan Kemampuan Guru

Pendidikan IPS

Menurut Al-Muchtar (2014, 147-149)

rendahnya kadar kualitas pembelajaran IPS dilihat

dari dimensi peran dan kemampuan guru antara

lain sebagai berikut :

Page 21: SUBKHAN ROJULI

21

a) Lebih banyak bertindak dan berperan sebagai

pelaksana kurikulum daripada pengembang

kurikulum pendidikan IPS.

b) Memiliki orientasi yang lebih kuat pada

tercapainya target kurikulum, implikasinya lebih

menguasai materi pelajaran yang terdapat dalam

buku daripada pemahaman terhadap

karakteristik peserta didik.

c) Memiliki kemampuan dan keterampilan tentang

berbagai pendekatan dan metode pembelajaran,

namun kurang memiliki motivasi yang kuat

untuk berani menggunakan metode yang

bervariasi dalam pembelajaran pendidikan IPS.

d) Kurang menguasai teori belajar dan model-

model belajar, sehingga kurang memiliki

kekuatan untuk melakukan inovasi

pembelajaran dalam pendidikan IPS.

e) Tidak berperan sebagai sumber-sumber

informasi penelitian, sehingga pengalaman

mengajar belum secara efektif dijadikan bahan

Page 22: SUBKHAN ROJULI

22

masukan, bagi perbaikan dan rekonstruksi

program pengembangan kurikulum

f) Belum dapat bertindak sebagai peneliti dalam

pendidikan bidang pembelajaran, implikasinya

terdapat kelangkaan teori-teori dan model

pembelajaran.

g) Cenderung lebih disebut aspek administratif

bersifat formalistik daripada pemikiran dalam

memperkuat proses pembelajaran.

h) Kreativitas dalam proses pembelajaran

pendidikan IPS terstruktur oleh terbatasnya

dukungan sumber daya pendidikan.

i) Budaya pembelajaran pendidikan IPS lebih

dipengaruhi oleh rutinitas dan formalistik,

daripada akademik dan inovasi pembelajaran.

j) Hasil pendidikan tambahan penataran tidak

dapat sepenuhnya dikembangkan dalam praktek

pembelajaran pendidikan IPS, karena rutinitas

lebih mempengaruhi budaya belajar.

Page 23: SUBKHAN ROJULI

23

2. Masalah Proses Pembelajaran Pendidikan IPS

Menurut Gunawan (2013 : 88, 113) bahwa

yang menyebabkan kegagalan pembelajaran IPS di

sekolah-sekolah di Indonesia adalah pendidikan

IPS di sekolah belum berupaya melaksanakan dan

membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan

demokratis, social, kemasyarakatan dengan

melibatkan siswa dan komunitas sekolah dalam

berbagai aktivitas kelas; pembelajaran lebih

menekankan aspek pengetahuan, fakta dan konsep-

konsep yang bersifat hafalan belaka; menjemukkan

dan membosankan; tidak praktis; begitu syarat

materi; hanya menyajikan berbagai informasi

sementara siswa tidak satu pun memahaminya;

kurang membelajarkan keterampilan berfikir;

cenderung untuk indoktrinasi nilai-nilai dari guru

sendiri daripada “hidden curriculum” yang ada

pada diri siswa yang juga sebenarnya sarat nilai;

dan kurang diarahkan pada pembelajaran yang

bermakna dan berfungsi bagi kehidupannya

sehingga perlu adanya inovasi pembelajaran.

Page 24: SUBKHAN ROJULI

24

Masalah yang selalu dianggap menarik

dalam pembelajaran IPS selama ini, adalah, adalah

temuan dari beberapa penelitian (Hasan, 2007

dalam Somantri, dkk; 2010 : 8-9 ) mengisyaratkan

bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu

disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang

kering, guru hanya mengejar target pencapaian

materi kurikulum, tidak mementingkan proses,

karena itu pembelajaran IPS selalu menjenuhkan

dan membosankan, dan oleh peserta didik

dianggap sebagai pelajaran hanya untuk mereka

yang kurang cerdas.

Jika pembelajaran IPS selama ini tetap

diteruskan, (terutama hanya menekankan pada

informasi, fakta dan hafalan lebih mementingkan

isi daripada proses, kurang diarahkan pada proses

berfikir (tingkat tinggi), dan kurang diarahkan pada

pembelajaran yang bermakna dan berfungsi bagi

kehidupannya), maka pembelajaran IPS tidak akan

mampu membantu peserta didiknya untuk dapat

hidup secara efektif dan produktif dalam

Page 25: SUBKHAN ROJULI

25

kehidupan masa datang. Oleh karena itu sudah

semestinyalah pembelajaran IPS masa kini dan

masa depan mengikuti berbagai perkembangan

yang terjadi di dunia secara global (Gunawan, R.,

2013:88-89).

Pembelajaran lebih banyak disajikan

dengan menggunakan metode ceramah bervariasi

yang lebih banyak ceramahnya daripada

variasinya. Analisis rumusan KBM dalam satuan

pelajaran dan model program yang dikembangkan

para guru ternyata menunjukkan hal yang sama.

Kondisi ini menunjukkan kelemahan dan

kerawanan IPS yang berdampak kurang dapat

membangkitkan motivasi belajar bagi peserta

didik, dan berdampak melemahnya kualitas IPS

dari proses maupun belajarnya, lebih jauh peserta

didik kurang merasakan manfaat belajar IPS (Al-

Muchtar, 2014 : 88).

Proses pembelajaran IPS dianggap

membosankan karena peserta didik terpaku ketat di

mejanya masing-masing dengan mencatat,

Page 26: SUBKHAN ROJULI

26

mendengar, menjawab pertanyaan guru atau pun

berdiskusi dan kurang diarahkan pada

pengumpulan informasi, pemahaman informasi,

pengembangan skills/values dan pemantapan

skills/values (Hamind Hasan dalam Somantri, dkk;

2010 : 20, 22).

Menurut Al-Muchtar (2014 : 100-101; 142-

144) kelemahan proses pembelajaran pendidikan

IPS adalah sebagai berikut :

a) Kebiasan guru pendidikan IPS lebih banyak

menggunakan pendekatan ekspository daripada

inquiry. Dengan menonjolnya metode ceramah

ternyata tidak memberikan peluang bagi

pengembangan berpikir tingkat tinggi dan

pengkajian nilai dari setiap materi pelajaran

pendidikan IPS.

b) Proses pembelajaran pendidikan IPS kurang

ditunjang dengan pengembangan dan

penggunaan media dan alat pembelajaran

Page 27: SUBKHAN ROJULI

27

c) Proses pembelajaran pendidikan IPS lebih

menekankan pada pengembangan aspek

kognitif daripada afektif dan psikomotor

d) Proses pembelajaran pendidikan IPS kurang

menyentuh aspek nilai social dan keterampilan

social

e) Proses pembelajaran pendidikan IPS lebih

menekankan pada pencurahan isi buku dari

pada proses penalaran isi buku

f) Proses pembelajaran pendidikan IPS lebih

menempatkan siswa sebagai penerima

informasi dalam soal belajar satu arah,

daripada melibatkan siswa dalam proses

berpikir

g) Proses pembelajaran pendidikan IPS lebih

menempatkan guru sebagai sumber informasi

yang dominan, disamping terbatasnya

penggunaan sumber daya belajar lainnya

h) Proses pembelajaran pendidikan IPS lebih

menempatkan guru sebagai sumber informasi,

seperti terdapat dalam buku, daripada

Page 28: SUBKHAN ROJULI

28

kemampuan memecahkan masalah dalam

kehidupan nyata

i) Proses pembelajaran pendidikan IPS belum

banyak mengakses pada penguatan system nilai

keimanan dan ketakwaan

j) Proses pembelajaran pendidikan IPS belum

secara tegas mengakses pada penguasaan

IPTEK

Hasil penelitian Al-Muchtar juga

menyimpulkan bahwa lemahnya kualitas proses

pendidikan IPS disebabkan terbatasnya sumber

daya belajar pada buku teks, dan keengganan guru

untuk menggunakan sumber lain, disebabkan oleh

factor social budaya yang cenderung kurang

memberikan penghargaan terhadap pendidikan

IPS, baik dikalangan guru, peserta didik, dan orang

tua sebagai dampak negative dari pandangan dan

penghargaan yang lebih baik pada aspek science

dan technology secara tidak professional (Al-

Muchtar, 2014 : 97).

Page 29: SUBKHAN ROJULI

29

3. Masalah Evaluasi Dalam Pembelajaran

Pendidikan IPS

Kelemahan pendidikan IPS dilihat dari segi

evaluasinya, yaitu lebih banyak menekankan

kepada kognitif tingkat rendah. Dampaknya

kemampuan berpikir tidak berkembang ke tingkat

yang lebih tinggi, dan kondisi ini memungkinkan

semakin berkembangnya cara belajar menghapal

dan menghambat bagi perkembangan cara belajar

siswa aktif. Sedangkan aspek nilai kurang banyak

disentuh, hal ini disebabkan mengkonstruksi alat

evaluasinya dirasakan oleh para guru lebih sulit

daripada aspek lainnya. Jenis tes obyektif lebih

banyak digunakan, namun konstruksi tesnya masih

lemah, sehingga memberikan peluang bagi peserta

didik untuk berspekulasi dan tidak hanya menuntut

berpikir kritis. (Al-Muchtar, 2014 : 88; 98).

Berdasarkan hasil penelitian Al-Muchtar

(2000) dalam menjelaskan bahwa aspek yang

dievaluasi terbatas pada apa yang disajikan yang

bersumber pada buku teks, tidak dikaitkan dengan

Page 30: SUBKHAN ROJULI

30

masalah social budaya yang actual, sehingga aspek

nilai social budaya tidak disajikan aspek yang

dievaluasi dalam IPS. Hal ini menyebabkan

rendahnya mutu proses dan hasil belajar IPS,

sehingga dampaknya memperkuat kondisi bahwa

IPS merupakan pelajaran hapalan (Al-Muchtar ;

2014: 98-99).

Menurut Al-Muchtar (2014 : 100-101)

masalah pengembangan evaluasi pembelajaran

pendidikan IPS, diantaranya :

a) Evaluasi dilakukan dengan lebih menekankan

pada aspek tujuan daripada proses belajar,

sehingga pengembangan kemampuan berpikir

tingkat tinggi dan nilai/moral secara sadar tidak

dijadikan sasaran evaluasi. Hal ini menjadi

kelemahan yang menyebabkan rendahnya

kualitas proses dan hasil belajar.

b) Hasil evaluasi tidak dijadikan masukan bagi

pengembangan program pelajaran selanjutnya.

Hal ini memperlihatkan factor manusia lebih

Page 31: SUBKHAN ROJULI

31

menonjol sebagai titik kritis dari pada factor

kurikulumnya.

4. Masalah Budaya Belajar Dalam Pembelajaran

Pendidikan IPS

Unsur budaya feodalistik dan paternalistic

memberikan dampak negative bagi rendahnya

keberanian untuk mengeluarkan pendapat,

mengajukan pertanyaan, kritik dan penilaian.

Kondisi ini cenderung semakin tumbuh dan

berkembang, antara lain disebabkan tidak ada

kemauan dan keberanian dari guru untuk

melakukan improvisasi dan memanfaatkan unsur

budaya itu sebagai potensi dan kekuatan budaya

yang dapat dijadikan salah satu aspek pendukung

bukan menjadikannya penghambat.

Anggapan iklim belajar yang baik adalah

yang tertib dan tidak gaduh sebagai menyebabkan

interaksi tatap muka di kelas didominasi oleh guru

masih berkembang sejalan tumbuh dan

berkembangnya budaya “budaya menghapal dalam

Page 32: SUBKHAN ROJULI

32

IPS”. Selain itu, anggapan bahwa memenuhi hasil

belajar lebih penting daripada proses menyebabkan

“belajar” dirasakan sebagai “beban” bukan suatu

“kebutuhan” sehingga tidak tumbuh budaya belajar

yang menyenangkan. Dampak dari dominasi guru

menyebabkan suasana belajar lebih tampak otoriter

daripada demokratis, motivasi dan semangat

belajar lemah, persaingan sehat dalam prestasi

belajar tidak tumbuh. Semangat pengabdian

terhadap keberanian dan ilmu pengetahuan serta

cara berpikir ilmuwan social tidak tampak

terimplementasi dalam budaya belajar IPS.

Keberanian bertanya, mengeluarkan pendapat,

melakukan penelitian dan mengemukakan kritik

serta menghargai pendapat orang lain belum

tampak berkembang sebagai budaya belajar (Al-

Muchtar, 2014 : 108-109; 118-119).

Page 33: SUBKHAN ROJULI

33

5. Masalah Sumber Belajar Dalam Pembelajaran

Pendidikan IPS

Sumber belajar diartikan sebagai

berbagai aspek yang mendukung bagi

terselenggaranya proses belajar mengajar, baik

berupa perangkat keras maupun perangkat

lunak. Penelitian Al-Muchtar mengungkapkan

bahwa penggunaan sumber daya belajar dalam

IPS masih terbatas. Buku teks merupakan

sumber belajar yang paling banyak digunakan

baik oleh guru maupun peserta didik. Sumber

belajar yang ada dilingkungan sekolah seperti

perpustakaan sekolah, majalah dinding, alat

peraga belum digunakan secara optimal.

Sumber belajar yang ada di lingkungan

masyarakat peserta didik seperti media massa,

cetak, dan elektronik belum terintegrasi

sebagai sebagai sumber belajar IPS (Al-

Muchtar, 2014 : 92).

Page 34: SUBKHAN ROJULI

34

BAB III

KONSEP STRATEGI PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN IPS

A. Konsep Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS

Ilmu Pengetahuan Sosial adalah program

pembelajaran yang bertujuan untuk membantu dan

melatih anak didik, agar mampu memiliki kemampuan

untuk mengenal dan menganalisis suatu persoalan dari

berbagai sudut pandang yang komprehensif (Supardan,

D; 2015 : 17).

Berdasarkan tujuan kurikulum IPS 2013 untuk

SMP/MTs menyebutkan bahwa IPS merupakan mata

pelajaran yang mempelajari masalah-masalah social

dengan obyek kajiannya berupa peristiwa, fakta,

konsep dan generalisasi. Topik yang dipelajari adalah

fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat baik

masa lalu, masa sekarang, dan kecenderungannya di

masa datang. Selain itu, IPS dikembangkan sebagai

mata pelajaran integrative social studies, bukan

sebagai pendidikan disiplin ilmu, sebagai pendidikan

Page 35: SUBKHAN ROJULI

35

berorientasi aplikatif, pengembangan kemampuan

berpikir, kemampuan belajar, rasa ingin tahu, dan

pengembangan sikap peduli dan bertanggung jawab

terhadap lingkungan social dan alam (Widarwati dan

Wijayati, E; 2016 : 9).Oleh karena itu, diperlukan

strategi pembelajaran yang mengarahkan pada tujuan

pembelajaran di atas.

Menurut Gredler (2011 : 425) belajar

didefinisikan sebagai akuisisi representasi simbolis

dalam bentuk kode verbal atau visual yang bertindak

sebagai pedoman untuk perilaku di masa depan.

Belajar pada hakikatnya adalah proses interaksi

terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu

(Rusman, 2014 : 379).

Istilah pembelajaran (instruction) bermakna

sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau

kelompok orang melalui berbagai upaya dan berbagai

strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian

tujuan yang telah direncanakan, sedangkan strategi

yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran disebut

strategi pembelajaran (Majid, A; 2014 : 4-6)

Page 36: SUBKHAN ROJULI

36

Menurut Wina Sanjaya (2013 : 126) strategi

pembelajaran merupakan rencana tindakan (rangkaian

kegiatan) termasuk penggunaan metode dan

pemanfaatan berbagai sumber daya/ kekuatan dalam

pembelajaran. Strategi berbeda dengan metode,

strategi menunjukkan kepada sebuah perencanaan

untuk mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah

cara atau alat yang dapat digunakan untuk

melaksanakan strategi dan mencapai tujuan

pembelajaran (Rusman, 2014 : 132; Hamzah B. Uno,

2014 : 32).

Strategi pembelajaran merupakan cara-cara

yang akan dipilih dan digunakan oleh seseorang

pengajar untuk menyampaikan materi pembelajaran

sehingga akan memudahkan peserta didik menerima

dan memahami materi pembelajaran, yang pada

akhirnya tujuan pembelajaran dapat dikuasainya

diakhir kegiatan belajar (Hamzah B. Uno, 2014 : 2).

Strategi pembelajaran berada pada lingkup terluar dari

konsep yang meliputi model, pendekatan, metode dan

teknik pembelajaran.

Page 37: SUBKHAN ROJULI

37

Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak

atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran

dan menurut Roy Killen (1998) dalam Sanjaya (2013 :

127) terdapat dua macam pendekatan, yaitu

pendekatan yang berpusat pada guru (teacher centered

approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa

(student centered approaches).

Metode pembelajaran lebih bersifat procedural,

sedangkan teknik bersifat implementatif yang berisi

tahapan tertentu sebagai cara yang digunakan

seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu

metode berdasarkan gaya masing-masing orang

(Sanjaya, 2013 : 127; Hamzah B. Uno, 2014 : 2).

Metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan

gaya pembelajaran.

Berdasarkan penjabaran di atas, teknik

pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang

dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan

suatu metode secara spesifik (Majid, A; 2014 : 24).

Teknik adalah berbagai cara yang secara

langsung diterapkan guru untuk menyampaikan materi

Page 38: SUBKHAN ROJULI

38

kepada siswanya selama proses pembelajaran terjadi di

kelas (Yunus Abidin, 2016 : 112). Cara ini berkenaan

langsung dengan implementasi kegiatan belajar

mengajar yang mencakup aktivitas kelas, tugas dan

pengujian dalam kelas yang dilakukan guru.

Gaya seseorang dalam melaksanakan suatu

teknik atau metode tersebut disebut taktik. Taktik

pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam

melaksanakan metode atau teknik pembelajaran

tertentu yang sifatnya individual (Majid, A; 2014 : 24).

Misalnya : terdapat dua orang yang sama-sama

menggunakan metode ceramah, dalam penyajiannya

yang satu diselingi humor sedangkan yang satunya lagi

lebih banyak menggunakan alat bantu elektronik.

Keterhubungan antara strategi, model,

pendekatan, metode dan teknik pembelajaran dapat

digambarkan dalam bagan di bawah ini :

Page 39: SUBKHAN ROJULI

39

Gambar Keterhubungan Dimensi-dimensi

Pembelajaran

(Sumber : Yunus Abidin, 2016 : 121)

Berdasarkan gambar di atas teknik

pembelajaran berada pada lingkup terdalam yang

terlahir dari metode dan pendekatan pembelajaran

yang relevan. Sedangkan model pembelajaran

dirancang berdasarkan strategi yang tepat. Model

pembelajaran dibangun atas pendekatan yang

berfungsi sebagai orientasi model, metode

Page 40: SUBKHAN ROJULI

40

pembelajaran yang berfungsi sebagai sintak, dan

teknik yang berfungsi sebagai gambaran implementasi

model.

B. Unsur-unsur Strategi Pembelajaran

Newman dan Logan (2003) dalam Sanjaya

(2013) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap

usaha, yaitu:

a. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan

kualifikasi hasil (output) da sasaran (target) yang

harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi

dan selera masyarkat yang memerlukannya.

b. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan

utama (basic way) yang paling efektif untuk

mencapai sasaran.

c. Mempertombangkan dan menetapkan langkah-

langkah (steps) yang akan ditempuh sejak titik

awal sampai sasaran.

d. Mempertimbangkan dan menetapkan tolak ukur

(criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk

Page 41: SUBKHAN ROJULI

41

mengukur dan meniai taraf keberhasilan

(achievement) usaha.

Jika kita terapkan dalam konteks

pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:

a. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan

pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan

pribadi peserta didik.

b. Mempertimbangkan dan memilih system

pendekatan pembelajaran yang dipandang paling

efektif.

c. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-

lankah atau prosedur, metode dan teknik

pembelajaran.

d. Menetapkan norma-norma dan batas minimum

ukuran keberhasilan atu kriteria dan ukuran baku

keberhasilan.

C. Dasar Pemilihan Strategi Pembelajaran

Titik tolak penentuan strategi pembelajaran

tersebut adalah perumusan tujuan pengajaran secara

jelas. Agar siswa dapat melaksanakan kegiatan belajar

Page 42: SUBKHAN ROJULI

42

mengajar secara optimal, selanjutnya guru harus

memikirkan pertanyaan berikut: “Strategi manakah

yang paling efektif dan efisien untuk membantu tiap

siswa dalam pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.

Langkah yang harus ditempuh antara lain

menentukan tujuan dalam arti merumuskan tujuan

dengan jelas sehingga dapat diketahui apa yang

diharapkan dapat dilakukan siswa, dalam kondisi yang

bagaimana, serta seberapa tingkat keberhasilan yang

diharapkan. Pertanyaan inipun tidak mudah dijawab,

sebab selain setiap siswa berbeda, juga tiap guru pun

mempunyai kemampuan dan kualifikasi yang berbeda

pula. Di samping itu, tujuan yang bersifat afektif seperti

sikap dan perasaan., lebih sukar untuk diuraikan

(dijabarkan) dan diukur. Tujuan yang bersifat kognitif

biasanya lebih mudah, strategi yang dipilih guru untuk

aspek ini didasarkan pada perhitungan bahwa strategi

tersebut akan dapat membentuk sebagian besar siswa

untuk mencapai hasil yang optimal.

Page 43: SUBKHAN ROJULI

43

D. Variabel Strategi Pembelajaran

Faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan

strategi pembalajaran ialah; tujuan, bahan pelajaran,

alat dan sumber, siswa, dan guru. Gagne

mengklasifikasikan hasil-hasil belajar yang membawa

implikasi terhadap penggunaan strategi pembelajaran,

sebagai berikut :

1) Keterampilan intelektual dengan tahapan-

tahapannya:

a) Diskriminasi (mengenal benda konkret).

b) Konsep konkret (mengenal sifat-sifat

benda/objek konkret)

c) Konsep terdefinisi (kemampuan memahami

konsep terdefinisi)

d) Aturan (kemampuan menggunakan aturan,

rumus, hukum/dalil, prinsip)

e) Masalah/aturan tingkat tinggi (kemampuan

memecahkan masalah dengan menggunakan

berbagai aturan)

Page 44: SUBKHAN ROJULI

44

2) Strategi kognitif (kemampuan memilih dan

mengubah cara-cara memberikan perhatian,

belajar, mengingat,dan berpikir)

3) Informasi verbal (kemampuan menyimpan

nama/label, fakta pengetahuan di dalam ingatan).

4) Keterampilan motorik (kemampuan melakukan

kegiatan-kegiatan fisik)

5) Sikap (kemampuan menampilkan perilaku yang

bermuatan nilai-nilai)

Yang perlu dipertimbangkan dari faktor siswa

di dalam menggunakan strategi belajar mengajar,

antara lain:

1) Siswa sebagai pribadi memiliki perbedaan dengan

siswa lain.

2) Jumlah siswa yang mengikuti pelajaran.

Dari faktor alat dan sumber yang perlu

dipertimbangkan ialah:

1) Jumlah dan karakteristik alat pelajaran dan peraga.

2) Jumlah dan karakteristik sumber pelajaran (bahan

cetakan dan lingkungan sekitar).

Page 45: SUBKHAN ROJULI

45

Dari faktor guru yang akan memengaruhi

penggunaan strategi pembelajaran ialah kemampuan

menguasai bahan pelajaran dan kemampuan

mengajarkannya kepada siswa.

Page 46: SUBKHAN ROJULI

46

BAB IV

KLASIFIKASI STRATEGI PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN IPS

A. Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS

Menurut Supardan (2015 : 201-205) strategi

pembelajaran IPS yang mendorong kreativitas ada

empat macam :

1) Strategi pembelajaran sosiodrama

Strategi pembelajaran sosiodrama adalah

strategi dengan memainkan peran tokoh-tokoh

tertentu yang mempunyai nilai-nilai karakteristik

kejuangan sehingga ada transfer of learning pada

diri pemainnya. Komponen-komponen yang

terdapat dalam strategi tersebut adalah : (a)

menentukan tujuan pembelajaran, (b) menentukan

topik kajian, (c) menentukan/memilih peran, (d)

pemeranan adegan, (e) diskusi/evaluasi pemeranan.

2) Strategi pembelajaran sinektik

Merupakan strategi yang menggunakan

pikiran yang kreatif dalam menganalogikan dan

Page 47: SUBKHAN ROJULI

47

menerjemahkan suatu masalah melalui analisis dari

berbagai sudut pandang. Terdapat tiga jenis analaogi

dalam mencari pemecahan masalah menggunakan

strategi pembelajaran sinektetik, yaitu : (a) analogi

fantasi, (b) analogi langsung dan (c) analogi pribadi.

3) Strategi pembelajaran studi ekskursi perjalanan

Merupakan pembelajaran kontekstual yang

memberikan pengalaman langsung dengan

pengamatan tentang fenomena dan kumpulan data di

tempat yang dikunjungi. Tujuan pembelajaran ini

adalah mempelajari suatu objek sejarah secara

konkret, menggunakan pengalaman sensori dan

melatih siswa dalam menerapkan metodologi riset.

4) Strategi pembelajaran inkuiri sosial

Merupakan suatu strategi pengembangan

kemampuan siswa untuk penyelidikan dan

merefleksikan sifat kehidupan social terutama

sebagai latihan hidup langsung di masyarakat.

Pendekatan strategi ini bertolak dari suatu keyakinan

bahwa dalam rangka pengembangan kemampuan

siswa secara independen, penyelidikan masalah-

Page 48: SUBKHAN ROJULI

48

masalah social sangat diperlukan sebagai partisipasi

aktif warga negara/warga masyarakat

Menurut Trianto (2015 : 184-187)

mengungkapkan strategi pembelajaran IPS meliputi :

1) Strategi urutan penyampaian suksesif, yaitu strategi

pembelajaran dimana guru menyampaikan materi

pembelajaran secara berurutan dan mendalam.

2) Strategi penyampaian fakta, yaitu strategi

pembelajaran dimana guru menyampaikan materi

dengan menyajikan fakta secara lisan, tulisan atau

gambar.

3) Strategi penyampaian konsep, yaitu strategi

pembelajaran yang bertujuan mempelajari konsep

dengan kegiatan menunjukkan ciri-ciri, unsur,

membedakan, membandingkan, menggeneralisasi,

dsb.

4) Strategi penyampaian materi pembelajaran prinsip,

yaitu strategi pembelajaran dimana guru

menyampaikan materi berupa dalil, rumus, hokum,

postulat, dan teori.

Page 49: SUBKHAN ROJULI

49

5) Strategi penyampaian prosedur, yaitu strategi

pembelajaran yang bertujuan agar siswa dapat

melakukan atau mempraktekan prosedur.

6) Strategi penyampaian materi aspek sikap, yaitu

strategi pembelajaran yang meliputi kegiatan

pemberian respons, penerimaan suatu nilai,

internalisasi, dan penilaian.

Menurut Costa, et. Al. (1985) dalam Supardan

(2015 : 194-198) strategi pembelajaran dikelompokkan

kedalam empat macam, yaitu :

1) Strategi pembelajaran direktif/strategi langsung

Strategi langsung merupakan strategi yang

secara langsung berorientasi pada penguasaan materi

pembelajaran yang biasanya digunakan guru agar

siswa lebih cepat memahami materi pembelajaran,

misalnya strategi drill, peta konsep dan strategi

menyingkat (Yunus Abidin, 2016 : 120).

2) Strategi pembelajaran mediatif

Strategi mediatif adalah strategi yang

mentransformasikan informasi, keterampilan, dan

konsep ke dalam arti baru dan praktek serta

Page 50: SUBKHAN ROJULI

50

memahami proses rasional pemecahan masalah,

pengambilan keputusan dan berpikir kritis secara

induktif, misalnya strategi inkuiri social, diskusi,

concept attainment, concept formation dan moral

reasoning.

3) Strategi pembelajaran generative

Strategi generative adalah strategi yang

mendorong siswa untuk belajar kreatif dengan

mengujakan gagasan-gagasan yang orisinal,

fleksibel, lancer dan elaborative sehingga

menghasilkan kombinasi-kombinasi baru yang lebih

berguna, logis dan elegan, misalnya strategi problem

solving, brainstorming dan sinektetik.

4) Strategi pembelajaran kolaboratif

Strategi kolaboratif merupakan strategi yang

menyediakan cara untuk belajar dengan membentuk

struktur kelompok siswa untuk membantu berpikir

dan memecahkan masalah bersama-sama agar

berhasil menyelesaikan tugas, baik akademik dan

non akademik, mengerjakan dan menggunakan

keterampilan sosial yang dipunyai untuk mencapai

Page 51: SUBKHAN ROJULI

51

keberhasilan; misalnya strategi belajar kooperatif,

role playing, sosiodrama dan simulasi

Menurut Dick dan Carey (1978) dalam

Hamzah Uno (2014 : 3) menyebutkan bahwa

terdapat lima komponen strategi pembelajaran,

yaitu (1) kegiatan pembelajaran pendahuluan; (2)

penyampaian informasi; (3) partisipasi peserta

didik; (4) tes; dan (5) kegiatan lanjutan.

B. Model-Model Pembelajaran

Pendidikan IPS di SMP merupakan mata

pelajaran terpadu yang terdiri dari ekonomi, geografi,

sejarah dan sosiologi sehingga dalam penyenggaraan

pembelajarannya pun harus menggunakan pendekatan

yang berprinsip keterpaduan. Menurut Trianto (2015 :

196-198) mengemukakan model pembelajaran IPS

terpadu, meliputi :

1) Model integrasi berdasarkan topik, yaitu

pembelajaran yang mengambil satu topik yang

terkait dengan satu disipilin ilmu, kemudian

Page 52: SUBKHAN ROJULI

52

mengaitkannya dengan dikembangkan dengan

meninjau dari berbagai disiplin ilmu.

2) Model integrasi berdasarkan potensi umum, yaitu

pembelajaran dengan mengembangkan keterpaduan

IPS berdasarkan pada potensi utama yang ada di

wilayah setempat.

3) Model integrasi berdasarkan permasalahan, yaitu

pembelajaran yang berdasarkan permasalahan yang

ada kemudian dilanjutkan dengan sudut pandang

yang ditinjau dari beberapa factor yang

memengaruhinya.

Menurut Joyce, B., Weil, M. & Calhoun, E.

(2011) dalam bukunya yang berjudul “Models Of

Teaching” model-model pembelajaran dibagi kedalam

empat kelompok, yaitu :

1) Model pembelajaran pemrosesan informasi

Model pemrosesan informasi adalah model

yang berfokus pada kapsitas intelektual yang

didasarkan pada kemampuan siswa untuk

mengobservasi, mengolah data, memahami

informasi, membentuk konsep-konsep, menerapkan

Page 53: SUBKHAN ROJULI

53

symbol-simbol verbal dan non verbal, dan

memecahkan masalah dengan tujuan utamanya

penguasaan metode-metode inkuiri; penguasaan

konsep-konsep dan fakta-fakta akademik serta

pengembangan skill-skill intelektual umum;

misalnya : (1) model berpikir induktif; (2) model

pencapaian konsep; (3) model induktif kata

bergambar; (4) model penelitian/inkuiri ilmiah; (5)

model latihan penelitian; (6) model menghafal; (7)

model sinektetik; dan (8) model advance organizer

(Miftahul Huda, 2014 : 76-77).

Model ini didasarkan pada teori belajar

kognitif Piaget yang berorientasi pada kemampuan

siswa memproses informasi yang dapat memperbaiki

kemampuan/kecakapan manusia yang terdiri dari :

(1) informasi verbal; (2) kecakapan intelektual; (3)

strategi kognitif; (4) sikap; dan (5) kecakapan

motorik (Rusman, 2014 : 139).

2) Model pembelajaran social atau interaksi sosial

Model interaksi social adalah model yang

menekankan relasi individu dengan masyarakat dan

Page 54: SUBKHAN ROJULI

54

orang lain dengan sasaran utamanya adalah

membantu siswa belajar bekerja sama,

mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah, baik

sifatnya akademik maupun social dengan tujuan

utamanya antara lain : (1) membantu siswa bekerja

sama untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan

masalah; (2) mengembangkan skill hubungan

masyarakat; (3) meningkatkan kesadaran akan nilai-

nilai personal dan social (Miftahul Huda, 2014 : 109-

110).

Model ini didasari teori belajar Gestalt yang

berpandangan bahwa obyek atau peristiwa tertentu

akan dipandang sebagai suatu keseluruhan yang

terorganisasikan sehingga pembelajaran akan lebih

bermakna bila materi diberikan secara utuh, bukan

bagian-bagian.

Model-model yang termasuk dalam kategori

ini; misalnya : model kooperatif, pertemuan kelas,

pemecahan masalah, model bermain peran, model

penelitian yuridis, inkuiri social, penentuan

kelompok, jurisprudensial dan simulasi social.

Page 55: SUBKHAN ROJULI

55

3) Model pembelajaran perilaku

Model pembelajaran perilaku adalah model

yang lebih menekankan pada aspek-aspek perubahan

perilaku psikologis dan perilaku yang tidak dapat

diamati dengan tujuan mengembangkan system yang

efisien untuk mengurutkan tugas-tugas belajar dan

membentuk tingkah laku dengan cara memanipulasi

penguatan (reinforcement) (Rusman, 2014 : 143-

144). Contoh rumpun model modifikasi tingkah laku

adalah manajemen kontingensi, control diri,

relaksasi, pengurangan ketegangan, latihan asertif

desensitasi dan latihan langsung.

4) Model pembelajaran personal

Model pembelajaran personal adalah model

yang berorientasi terhadap pengembangan diri

individu dengan perhatian utamanya pada emosional

siswa untuk mengembangkan hubungan yang

produktif dengan lingkungannya sehingga

menjadikan pribadi siswa yang mampu membentuk

hubungan yang harmonis serta mampu memproses

informasi secara efektif (Rusman, 2014 : 142).

Page 56: SUBKHAN ROJULI

56

Contoh rumpun model personal, antara lain :

pengajaran non direktif, latihan kesadaran, sinektik,

system-sistem konseptual dan pertemuan kelas.

Menurut Yunus Abidin (2016 : 117-118) model

pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu konsep yang

membantu menjelaskan proses pembelajaran, baik

menjelaskan pola pikir maupun pola tindakan

pembelajaran tersebut dan secara umum memiliki ciri-

ciri sebagai berikut :

1) Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari

para ahli tertentu, contohnya model sinektik yang

termasuk kedalam kelompok model pemrosesan

informasi mendasarkan teori kreativitas Gordon.

2) Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu,

misalnya model berpikir induktif yang termasuk

kedalam kelompok model pemrosesan informasi

dirancang untuk mengembangkan proses berpikir

induktif.

3) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan

belajar mengajar di kelas, misalnya model inkuiri

ilmiah yang termasuk kedalam kelompok model

Page 57: SUBKHAN ROJULI

57

pemrosesan informasi untuk meningkatkan

pemahaman social.

4) Memiliki bagian-bagian model dalam

pelaksanaannya, yaitu : (1) urutan langkah-langkah

pembelajaran (sintak); (2) adanya prinsip-prinsip

reaksi; (3) system social; dan (4) system pendukung.

5) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model

pembelajaran. Dampak tersebut meliputi : (1)

dampak pembelajaran, yaitu hasil belajar yang dapat

diukur dan (2) dampak pengiring, yaitu hasil belajar

jangka panjang.

Menurut Rusman (2014 : 133), Wina Sanjaya

(2013 : 130) dan Hamzah Uno (2014 : 9) dasar

pertimbangan pemilihan strategi dan model

pembelajaran adalah :

1) Tujuan yang hendak dicapai (disesuaikan dengan

strategi/model)

2) Bahan ( alat/media) atau materi pembelajaran

3) Peserta didik atau siswa, antara lain : tingkat

kematangan, minat, bakat, kondisi dan gaya belajar

peserta didik

Page 58: SUBKHAN ROJULI

58

4) Pertimbangan nonteknis, misalnya efektivitas atau

efisiensi model

C. Pendekatan Pembelajaran

Menurut Roy Killen (1998) dalam Rusman

(2014, 381-382) mengemukakan bahwa ada dua

pendekatan pendekatan dalam pembelajaran, yaitu

pembelajaran berorientasi pada guru (teacher centered

approaches) dan pembelajaran berorientasi pada siswa

(student centered approaches).

1) Pendekatan pembelajaran berpusat pada guru

Pendekatan pembelajaran berorientasi pada

guru, yaitu pembelajaran yang menempatkan siswa

sebagai obyek dalam belajar dan kegiatan belajar

bersifat klasik, sedangkan guru menempatkan diri

sebagai orang yang serba tahu dan sebagai satu-

satunya sumber belajar. Pendekatan ini menurunkan

metode pembelajaran langsung, pembelajaran

deduktif atau pembelajaran ekspositori.

2) Pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa

Page 59: SUBKHAN ROJULI

59

Pendekatan pembelajaran berorientasi pada

siswa, yaitu pendekatan pembelajaran yang

menempatkan siswa sebagai subyek belajar dan

kegiatan belajar bersifat modern sehingga siswa

mempunyai kesempatan terbuka untuk melakukan

kreativitas dan mengembangkan potensinya melalui

aktivitas secara langsung sesuai dengan minat dan

keinginannya. Pendekatan ini menurunkan metode

discovery, inkuiri dan induktif.

Penerapan pembelajaran yang mengaktifkan

siswa dapat dilakukan melalui pengembangan

berbagai keterampilan belajar esensial secara

eklektif yang antara lain sebagai berikut : (1)

berkomunikasi lisan dan tertulis secara efektif; (2)

berpikir logis, kritis, dan kreatif; (3) rasa ingin tahu;

(4) penguasaan teknologi dan informasi; (5)

pengembangan personal dan social; (6) belajar

mandiri (Rusman, 2014 : 388).

D. Metode Pembelajaran

1) Syarat-syarat metode pembelajaran

Page 60: SUBKHAN ROJULI

60

Menurut Zuhairini (Nasution, 2001:40),

dalam memilih metode mengajar seorang guru

harus memperhatikan beberapa hal, yaitu:

a. Kesesuaian metode mengajar yang digunakan

dengan kemampuan siswa.

b. Kompetensi pengajar dalam menggunakan

metode tersebut.

c. Kesesuaian metode mengajar yang digunakan

dalam kemampuan tersedia.

d. Kesesuaian metode mengajar yang digunakan

dengan lingkungan pendidikan.

2) Kedudukan metode dalam kegiatan pembelajaran

a. Metode sebagai alat motivasi ektrinsik,

karena tidak ada satupun kegiatan belajar

mengajar yang tidak menggunakan metode.

b. Metode sebagai strategi pengajaran.

c. Metode sebagai alat sebagai mencapai tujuan.

Tujuan belajar mengajar tidak akan pernah

tercapai selama komponen lainnya tidak

diperlukan, salah satunya adalah komponen

metode menurut Djamarah (2002:120).

Page 61: SUBKHAN ROJULI

61

3) Variable metode pembelajaran

Pembelajaran merupakan suatu sistem

lingkungan belajar yang terdiri dari unsur :

tujuan, bahan pelajaran, strategi, alat, siswa, dan

guru. Semua unsur atau komponen tersebut

saling berkaitan, saling mempengaruhi: dan

semuanya berfungsi dengan berorientasi kepada

tujuan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

pengunaan metode pembelajaran ialah: tujuan,

bahan pelajaran, alat dan sumber, siswa dan

guru. Gagne mengklasifikasikan hasil-hasil

belajar yang membawa implikasi terhadap

penggunaan metode pembelajaran, sebagai

berikut:

a. Keterampilan intelektual denga tahap-

tahapannya:

1. Diskriminasi (mengenal benda konkret).

Page 62: SUBKHAN ROJULI

62

2. Konsep konkret (mengenal sifat-sifat

benda/obyek konkret)

3. Konsep terdefinisi (kemampuan

memahami konsep terdefinisi )

4. Aturan (kemampuan menggunakan

aturan, rumus, hukum/dalil prinsip).

5. Masalah/aturan tingkat tinggi

(kemampuan memecahkan masalah

dengan menggunakan berbagai aturan).

b. Strategi kognitif (kemampuan memilih dan

mengubah cara-cara memberikan perhatian,

belajar, menginat, dan berfikir).

c. Informasi verbal (kemampuan menyimpan

nama/label, fakta, pengetahuan didalam

ingatan).

d. Keterampilan motorik (kemampuan

melakukan kegiatan fisik).

e. Sikap (kemampuan menampilkan perilaku

yang bermuatan nilai-nilai).

4) Dasar pertimbangan penggunaan metode

pembelajaran

Page 63: SUBKHAN ROJULI

63

Yang menjadi dasar pertimbangan

menggunakan metode pembelajaran antara lain

sebagai berikut.

a. Faktor siswa

1. Siswa sebagai pribadi tersendiri memiliki

perbedaan-perbedaan dari siswa lain.

2. Jumlah siswa yang mengikuti

pembelajaran.

b. Faktor dan alat sumber

1. Jumlah dan karakteristik alat pembelajaran

dan alat peraga.

2. Jumlah dan karakteristik sumber pelajaran

(bahan cetakan dan lingkungan sekitar).

c. Faktor guru

1. Kemampuan menguasai bahan pelajaran

2. Kemampuan membelajarkan siswa.

5) Macam-Macam Metode Pembelajaran

Heriawan, A., dkk (2013)

mengemukakan macam-macam metode

pembelajaran al : ceramah, diskusi,

demonstrasi, resitasi, eksperimen, karya wisata,

Page 64: SUBKHAN ROJULI

64

latihan keterampilan, pemecahan masalah,

perancangan assignment, penemuan, inkuiri,

audiolingual, komunikatif, produktif, langsung,

partisipori, membaca, tematik, kuantum, kerja

kelompok kecil, ekspositorik, cooperative

learning, mengulang, elaborasi, peta konsep,

lesson study, examples non examples, picture

and picture, numbered heads together,

cooperative script, explicit instruction,

lingkaran kecil–besar, integrated reading dan

composition, student, facilitator and

explaining, talking stick, bertukar pasangan,

snowball throwing, artikulasi, mind mapping,

STAD, scramble, word square, kata arisan,

concept stence, mencari pasangan, take and

give, tebak kata, jigsaw, debat, role playing,

TGT, seminar, kerja kecil, kerja lapangan,

sumbang saran, unit teaching, sosiodrama,

kasus, microteaching, simula, dialog, tanya

jawab, prileksi, penyajian system regu,

musyawarah, infiltrasi, brainstorming, estafet

Page 65: SUBKHAN ROJULI

65

writing, cerita, permainan, dikte, reciprocal

learning praktik, problem terbuka, bernyanyi,

think pair and shair, keliling kelompok, panel,

musyawarah kerja dan review.

E. Teknik Pembelajaran

Heriawan, A., dkk (2013) mengemukakan

macam-macam teknik pembelajaran antara lain :

teknik indoktrinasi, teknik moralsioning, teknik

meramalkan konsekuensi, teknik klarifikasi, teknik

internalisasi, teknik menjelaskan, teknik bertanya,

teknik neuro language programe of metaphor,

teknik neuro language programe of reframing,

teknik neuro language programe of questioning,

teknik neuro language programe of anchor, teknik

neuro language programe of representational

system, teknik think-pair-share, teknik

collaborative learning groups, teknik student-led

review session, teknik student debate, teknik exam

questioning writing, teknik class research

symposium dan teknik analyze case studies.

Page 66: SUBKHAN ROJULI

66

BAB V

PENENTUAN STRATEGI PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN IPS

A. Perbedaan Individu dan Keragaman (Religious,

Bahasa. Gender dan Kelas Social)

1) Perbedaan kemampuan dan intelegensi belajar

Kemampuan belajar siswa berbeda-beda

(misalnya kemampuan bahasa dan matematis).

Sedangkan intelegensi menurut Stenberg ada tiga

tipe, yaitu (1) intelegensi analitis yang melibatkan

proses kognitif individu; (2) intelegensi kreatif

adalah insights individu untuk menghadapi

berbagai pengalaman; (3) intelegensia praktis

adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dan

membentuk ulang lingkungannya (Richard I.

Arends, 2008 : 49).

2) Perbedaan dalam gaya kognitif, gaya belajar dan

preferensi belajar

i) Gaya kognitif

Page 67: SUBKHAN ROJULI

67

Gaya kognitif ialah cara konsisten yang

dilakukan oleh seseorang murid dalam

menangkap stimulus atau informasi, cara

mengingat, berpikir dan memecahkan soal

(Nasution, 2011 : 94). Sedangkan menurut

Richard I. Arends (2008 : 50), perbedaan gaya

kognitif adalah perbedaan orang dalam

mempersepsi dan memproses informasi.

ii) Gaya belajar

Gaya belajar ialah cara seseorang

bereaksi dan menggunakan perangsang-

perangsang yang diterimanya dalam proses

belajar (Nasution, 2011 : 93). Sedangkan

perbedaan gaya belajar adalah belajar dalam

konteks (in-context) dan belajar di luar konteks

(out of context). Belajar dalam konteks artinya

anak-anak memperoleh keterampilan dan

pengetahuan itu dibutuhkan dalam situasi

kehidupan nyata, sedangkan belajar di luar

konteks berarti bahwa pembelajaran itu tidak

Page 68: SUBKHAN ROJULI

68

berhubungan dengan kehidupan riil dan segera

(Richard I. Arends, 2008 : 50-51).

Konsep gaya belajar menurut Jacobsen,

D.A., Eggen, P. & Kauchak, D. (2009 : 281)

memiliki tiga implikasi penting pada guru,

yaitu:

a) Konsep tersebut mengingatkan pada kita

tentang keharusan untuk mendiversifikasi

karena tidak adanya pendekatan pengajaran

yang akan disukai oleh semua siswa.

b) Kesadaran akan gaya-gaya belajar dapat

meningkatkan sensivitas kita terhadap

perbedaan-perbedaan yang ada dalam siswa-

siswa kita, membuatnya lebih tampak bahwa

kita akan merespons siswa-siswa kita sebagai

individu-individu.

c) Konsep ini menyarankan bahwa guru harus

mendorong siswa untuk berpikir tentang pola

belajarnya sendiri, yang nantinya dapat

mengembangkan metakognisi mereka.

Page 69: SUBKHAN ROJULI

69

Menurut Bobbi DePorter dan Mike

Hernacki (2011 : 116-120) ada tiga macam gaya

belajar, yaitu :

a) Gaya belajar visual, yaitu belajar dengan cara

melihat. Orang yang mempunyai gaya belajar

visual mempunyai ciri-ciri : rapi dan teratur;

berbicara dengan cepat; perencana dan

pengatur jangka panjang yang baik; teliti

terhadap detail; mementingkan penampilan,

baik dalam hal pakaian maupun presentasi;

pengeja yang baik dan dapat melihat kata-

kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka;

mengingat apa yang dilihat, daripada apa

yang didengar; mengingat dengan asosiasi

visual; biasanya tidak terganggu oleh

keributan; mempunyai masalah untuk

mengingat instruksi verbal kecuali jika

ditulis, dan sering kali minta bantuan orang

untuk mengulanginya; pembaca cepat dan

tekun; lebih suka membaca daripada

dibacakan; membutuhkan pandangan dan

Page 70: SUBKHAN ROJULI

70

tujuan yang menyeluruh dan bersikap

waspada sebelum secara mental merasa pasti

tentang suatu masalah atau proyek; mencoret-

coret tanpa arti selama berbicara ditelepon

dan rapat; lupa menyampaikan pesan verbal

kepada orang lain; sering menjawab

pertanyaan dengan jawaban singkat ya atau

tidak; lebih suka melakukan demonstrasi

daripada berpidato; lebih suka seni daripada

music; sering kali mengetahui apa yang harus

dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-

kata; dan kadang-kadang kehilangan

konsentrasi ketika mereka ingin

memperhatikan.

b) Gaya belajar auditorial, yaitu belajar dengan

cara mendengar. Orang yang mempunyai

gaya belajar auditorial mempunyai ciri-ciri :

berbicara kepada diri sendiri saat bekerja;

mudah terganggu oleh keributan;

menggerakkan bibir mereka dan

mengucapkan tulisan di buku ketika

Page 71: SUBKHAN ROJULI

71

membaca; senang membaca dengan keras

dan mendengarkan; dapat mengulangi

kembali dan menirukan nada, birama dan

warna suara; merasa kesulitan untuk menulis,

tetapi hebat dalam bercerita; berbicara dalam

irama yang terpola; biasanya pembicara yang

fasih; lebih suka music daripada seni; belajar

dengan mendengarkan dan mengingat apa

yang didiskusikan daripada apa yang dilihat;

suka berbicara, suka berdiskusi, dan

menjelaskan sesuatu panjang lebar,

mempunyai masalah dengan pekerjaan-

pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti

memotong bagian-bagian hingga sesuai satu

sama lain, lebih pandai mengeja dengan keras

daripada menuliskannya; dan lebih suka

gurauan lisan daripada membaca komik.

c) Gaya belajar kinestetik, yaitu belajar dengan

cara bergerak, bekerja dan menyentuh. Orang

yang mempunyai gaya belajar kinestetik

mempunyai ciri-ciri : berbicara dengan

Page 72: SUBKHAN ROJULI

72

perlahan; menanggapi perhatian fisik;

menyentuh orang untuk mendapatkan

perhatian mereka; berdiri dekat ketika

berbicara dengan orang; selalu berorientasi

pada fisik dan banyak bergerak; mempunyai

perkembangan awal otot-otot yang besar;

belajar melalui manipulasi dan praktek;

menghafal dengan cara berjalan dan melihat;

menggunakan jari sebagai penunjuk ketika

membaca; banyak menggunakan isyarat

tubuh; tidak dapat duduk diam untuk waktu

yang lama; tidak dapat mengingat geografi,

kecuali jika mereka memang telah pernah

berada di tempat itu; menggunakan kata-kata

yang mengandung aksi; menyukai buku-buku

yang berorientasi pada plot-mereka

mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh

saat membaca; kemungkinan tulisannya

jelek; ingin melakukan segala sesuatu; dan

menyukai permainan yang menyibukkan.

iii) Preferensi belajar

Page 73: SUBKHAN ROJULI

73

Preferensi belajar adalah modalitas

belajar yang dipunyai siswa, yang meliputi

perbedaan preferensi terhadap lingkungan

belajar (suara, cahaya, pola pengaturan tempat

duduk), banyaknya dukungan emosional yang

dibutuhkan, dan derajat struktur dan interaksi

sebaya (Richard I. Arends, 2008 : 51).

3) Siswa dengan disabilitas

Ada dua persepektif tentang pendekatan

yang terbaik untuk diterapkan pada siswa

disabilitas :

a) Turnbull (2009) dan Tomlison (1999) dalam

Richard I. Arends, (2008 : 55) mengemukakan

pendekatan pengajaran yang agak terstruktur

dan langsung, menawarkan beberapa

rekomendasi di bawah ini :

Gunakan materi yang sangat terstruktur,

beritahukan apa tepatnya yang diharapkan

dari siswa, hindari distraksi.

Page 74: SUBKHAN ROJULI

74

Berikan alternative untuk penggunaan bahasa

tertulis, seperti tape recorders atau tes-tes

lisan.

Harapkan peningkatan dalam jangka panjang

Perkuat perilaku yang baik.

Berikan umpan balik segera dan kesempatan

cukup banyak untuk latihan

b) Curtis & Shaver (1980), Haberman (1991), dan

Slavin (1996) dalam Richard I. Arends, (2008 :

55) mengemukakan bahwa pengajaran untuk

siswa disabilitas seharusnya didasarkan pada

kepentingan mereka dan strategi yang

digunakan seharusnya tidak menekankan pada

informasi dasar, tetapi meningkatkan

kemampuan siswa untuk mengatasi masalah dan

untuk berpikir kritis. Mereka

merekomendasikan strategi-strategi yang mirip

dengan yang direkomendasikan bagi anak-anak

berbakat (gifted), seperti investigasi kelompok,

problem solving, dan cooperative learning.

Page 75: SUBKHAN ROJULI

75

4) Siswa gifted (cerdas) dan talented (bertalenta)

Kecerdasan didefinisikan sebagai bakat

umum untuk belajar atau kemampuan untuk

mempelajari dan menggunakan pengetahuan atau

keterampilan (Slavin, 2011 : 159). Guru yang ingin

membantu siswa mengembangkan aspek-aspek

kecerdasan yang berbeda ini harus melakukan hal-

hal berikut ini :

a) Menciptakan ruang kelas yang

multidimensional dimana siswa dapat sukses

dalam cara-cara yang berbeda

b) Memberikan tugas-tugas pembelajaran yang

membuka dimensi pembelajaran yang berbeda

c) Mendorong siswa untuk mengekspresikan

dirinya dalam cara-cara yang berbeda

d) Membebaskan siswa dalam memperagakan

konsep atau keterampilan yang telah mereka

kuasai (Gardner & Moran, 2006; Kaornharber

& Gardner, 2006 dalam Jacobsen, D.A., Eggen,

P. & Kauchak, D., 2009 : 281).

Page 76: SUBKHAN ROJULI

76

5) Perbedaan budaya, etnis dan ras

Berikut penjelasan mengeni budaya, etnis

dan ras menurut Richard I. Arends (2008 : 51) :

a) Budaya adalah bagaimana suatu anggota

kelompok berpikir dan cara yang mereka

lakukan untuk mengatasi masalah dalam

kehidupan kolektif.

b) Etnis mengacu kepada kelompok yang

memiliki bahasa dan identitas yang sama,

misalnya orang-orang yang memiliki

kebangsaan yang sama.

c) Ras adalah istilah yang diberikan kepada

kelompok-kelompok yang memiliki cirri-ciri

biologis yang sama

6) Keanekaragaman religius

7) Keanekargaman bahasa

8) Perbedaan gender

9) Perbedaan kelas sosial

Page 77: SUBKHAN ROJULI

77

B. Menangani Siswa di Kelas Yang Beragam

Menurut Richard I. Arends (2008 : 64-69)

dalam bukunya yang berjudul “Learning To Teach”

cara menangani siswa di kelas dengan ragam ras dan

budaya adalah sebagai berikut :

1) Mengembangkan pemahaman cultural dan

kesadaran diri

Guru berusaha mengembangkan

pemahaman cultural yang lebih luas dan

menanamkan kesadaran yang lebih tinggi kepada

siswa dengan meningkatkan pengetahuan dan

sikap mereka sendiri terhadap orang-orang yang

berbeda dengan dirinya dengan mengambil

prakarsa untuk belajar tentang berbagai budaya

yang direpresentasikan di masyarakat.

2) Menciptakan kurikulum yang relevan secara

cultural dan bersifat multikultur.

Menurut James Banks (2001) dalam

Richard I. Arends (2008 : 66-67) menciptakan

kurikulum tersebut dengan pendekatan -

pendekatan :

Page 78: SUBKHAN ROJULI

78

a) Pendekatan kontribusi, yaitu menggunakan

pelajaran untuk membahas pahlawan-pahlawan

yang memiliki berbagai budaya, merayakan

hari raya yang memiliki berbagai budaya, dan

memberikan penghargaan kepada seni, music,

sastra, masakan khas, dan bahasa berbagai

budaya.

b) Pendekatan aditif, yaitu guru menyusun

pelajaran atau unit-unit sampingan tentang

kelompok atau budaya tertentu atau membawa

literature atau buku yang menunjukkan

berbagai perspektig budaya yang berbeda.

Berbagai isi, konsep, tema dan perspektif

ditambahkan ke kurikulum tanpa mengubah

strukturnya.

c) Pendekatan transformasi, yaitu guru

mentransformasikan kurikulumnya dengan

memasukkan serangkaian konsep yang

berhubungan dengan pluralism cultural ke

dalam pelajaran-pelajaran yang sedang

berlangsung. Pendekatan ini mengidentifikasi

Page 79: SUBKHAN ROJULI

79

berbagai konsep penting (misalnya pluralism,

interdependensi atau komunikasi) yang sesuai

dengan subyek atau tingkat kelas tertentu dan

kemudian menggunakan konsep ini sebagai

dasar pelajaran untuk meningkatkan

pemahaman tentang keanekaragaman budaya.

Struktur kurikulumnya diubah untuk

memungkinkan siswa melihat berbagai konsep,

isu, kejadian, dan tema dari perspektif

kelompok etnik dan budaya yang beragam.

d) Pendekatan tindakan social, yaitu pendekatan

yang mendorong siswa bukan hanya menelaah

berbagai masalah yang terkait dengan

keanekaragaman, tetapi juga untuk merancang

proyek-proyek potensial untuk mengambil

tindakan dan mempromosikan keadilan social.

Siswa mengambil tindakan tentang berbagai

isu social dan mengambil tindakan untuk

membantu mengatasinya.

3) Menggunakan pedagogi yang relevan secara

kultural

Page 80: SUBKHAN ROJULI

80

Kunci penanganan keanekaragaman

cultural adalah kemampuan guru untuk mengaitkan

antara dunia siswa dan budayanya dengan dunia

sekolah dan kelas.

4) Mengaitkan dengan pengetahuan sebelumnya

Guru membantu siswa untuk melihat

persamaan dan perbedaan diantara berbagai

budaya dan membantu siswa mengembangkan

kesadaran multicultural dengan mendasarkan diri

pada pengetahuan siswa sebelumnya dan

membantu mereka mengaitkan antara apa yang

sudah mereka ketahui dan apa yang akan mereka

pelajari.

5) Menggunakan pengelompokkan yang fleksibel

Guru mengelompokkan siswa secara

heterogen dimana masing-masing kelompok terdiri

dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi,

sedang dan rendah dan berusaha mencapai

keseimbangan rasial dan etnik.

6) Memberi perhatian pada gaya belajar

Page 81: SUBKHAN ROJULI

81

Guru merancang kegiatan yang sesuai

dengan berbagai gaya belajar dengan memasukkan

modalitas visual, auditorik, taktil dan kinestetik ke

dalam pelajaran.

7) Assigning competence

Assigning competence yaitu sebuah

pertimbangan dalam perencanaan dan penyajian

pelajaran dengan mengapitalisasikan kemampuan

yang sudah dimiliki masing-masing siswa melalui

berbagai pengerjaan tugas.

8) Menerapkan pengajaran strategi

Guru membantu siswa mendapatkan

strategi-strategi yang mereka butuhkan untuk

belajar secara efektif, misalnya bagaimana strategi

belajar untuk membaca dan menulis, untuk

menyelesaikan masalah yang melibatkan angka,

dan untuk belajar dengan sukses.

9) Memberi perhatian dengan motivasi

Guru membantu siswa meraih kesuksesan

dengan mendiskusikan, mempertanyakan dan

Page 82: SUBKHAN ROJULI

82

menyelesaikan berbagai masalah diri siswa dengan

pembicaraan yang berorientasi ke masa depan.

10) Community problem solving

Community problem solving adalah strategi

yang mendorong siswa untuk mengidentifikasi

keprihatinan mereka tentang masyarakat atau

lingkungan tempat tinggalanya dan membantu

mereka merencanakan dan melaksanakan berbagai

proyek independen.

Dalam lingkungan yang beragam menerapkan

strategi pembelajaran langsung seperti strategi dan

metode ceramah sudah tidak lagi relevan sehingga

harus mengintegrasikan pendidikan multicultural ke

dalam pembelajaran IPS. Menurut Jacobsen, D.A.,

Eggen, P. & Kauchak, D. (2009 : 262) dalam bukunya

yang berjudul “Methods For Teaching”

mengemukakan bahwa komponen-komponen

pengajaran harus responsive secara cultural yang

mencakup :

a) Menciptakan lingkungan kelas yang positif dimana

seluruh siswa dihargai dan dihormati.

Page 83: SUBKHAN ROJULI

83

b) Mengomunikasikan harapan-harapan yang positif

untuk pembelajaran bagi seluruh siswa.

c) Mengakui keragaman cultural dalam diri siswa dan

mengintegrasikan keragaman ini ke dalam

kurikulum.

d) Menggunakan strategi-strategi pembelajaran yang

memberdayakan latar belakang dan kekuatan

siswa, misalnya strategi pembelajaran berbasis

pendidikan nilai, strategi pembelajaran berbasis

pendidikan multikultural dan cooperative learning.

C. Penentuan Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS

Dalam Lingkungan Yang Beragam

1) Strategi pembelajaran berbasis pendidikan nilai

Pendidikan nilai mencakup kawasan budi

pekerti, nilai, norma dan moral. Berikut pengertian

masing-masing cakupan tersebut (BP-7, 1993

dalam Hakam; 2007 : 57-58) :

a) Budi pekerti adalah buah dari budi nurani. Budi

nurani bersumber pada moral. Moral bersumber

Page 84: SUBKHAN ROJULI

84

pada kesadaran hidup yang berpusat pada alam

pikiran.

b) Nilai adalah suatu pengertian atau pensifatan

yang digunakan untuk memberikan penghargaan

terhadap barang atau benda.

c) Norma adalah kaidah, ketentuan, aturan, criteria

atau syarat yang mengandung nilai tertentu yang

harus dipatuhi oleh warga masyarakat di dalam

berbuat, bertingkah laku agar masyarakat tertib,

teratur, dan aman.

d) Moral berarti akhlak atau kesusilaan yang

mengandung makna tata tertib batin atau tata

tertib hati nurani yang menjadi pembimbing

tingkah laku batin dalam hidup.

Menurut Al-Muchtar (2014 : 339)

pendidikan nilai adalah program dan proses

pendidikan yang lebih menekankan kepada

pengembangan aspek afektif, dimana lingkup

pendidikan ini menyangkut pembinaan system

nilai dari peserta didik.

Page 85: SUBKHAN ROJULI

85

Esensi pendidikan nilai (budi pekerti

ataupu moral) bertujuan untuk membentuk pribadi

agar anak menjadi manusia yang secara cerdas

spiritual, cerdas secara emosional dab social,

cerdas secara intelektual, cerdas secara kinestetis,

baik dan bermoral, menjadi warga negara dan

warga masyarakat yang baik dan bertanggung

jawab (Sutarjo Adisusilo, 2012 : 132).

Langkah-langkah utama dalam proses

belajar mengajar pendidikan nilai adalah (Aryani,

2006 : 18-19) :

i) Hadapkan siswa pada suatu dilemma nilai.

Guru menyajikan suatu cerita yang

mengandung suatu dilemma. Siswa diminta

mengulangi dalam keadaan yang bagaimana

peristiwa itu terjadi. Siswa harus sepenuhnya

memahami seluk beluk cerita itu. Istilah atau

kata-kata sulit dijelaskan. Khususnya siswa

harus benar dalam mana tokoh cerita itu

berada.

Page 86: SUBKHAN ROJULI

86

ii) Suruh murid menentukan pendiriannya. Guru

memberi kesempatan kepada tiap siswa untuk

menentukan posisi atau pendirian masing-

masing. Pendirian ini masih tentative, bersifat

sementara. Untuk menentukan posisinya, siswa

diberi waktu yang cukup. Ada baiknya mereka

diminta untuk menuliskannya, juga alasan-

alasan memilih pendirian itu. Guru juga

berusaha untuk mengetahui pendirian kelas

secara keseluruhan dengan misalnya menyuruh

mereka mengangkat tangan atau dengan cara

pemungutan suara. Karena yang dihadapi

situasi yang mengandung konflik, mudah

diketahui apakah mereka setuju atau tidak

setuju akan tindakan tertentu.

iii) Selidiki alasan-alasan dibelakang siswa. Ini

dilakukan melalui diskusi kelas. Guru

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

merangsang siswa berfikir tentang alasannya.

Diskusi juga dapat dilakukan dalam kelompok

kecil. Cara ini efektif sekali karena tiap siswa

Page 87: SUBKHAN ROJULI

87

mendapat kesempatan mengatakan

pendapatnya. Diskusi kelompok kecil

dilanjutkan diskusi kelas secara keseluruhan.

Diskusi ini dibimbing oleh guru..

iv) Memikirkan kembali pendirian masing-masing.

Sebagai tahap terakhir dalam pembicaraan ini

guru meminta tiap murid untuk memikirkan

kembali pendiriannya semula. Sebelumnya

guru dapat menyuruh murid untuk

merangkumkan berbagai alasan yang

dikemukakan dalam kelas. Guru dapat pula

memberi kesempatan kepada siswa yang

mengubah pendiriannya serta alasannya. Perlu

diperhatikan bahwa tujuan pelajaran ini

bukanlah agar mencapai pendirian yang sama.

Guru sendiri tidak menyatakan pendiriannya

dan tidak berusaha untuk mempengaruhi

pendapat siswa. Diskusi ini tetap terbuka dan

guru meminta siswa untuk terus

memikirkannya dan menganjurkan untuk

Page 88: SUBKHAN ROJULI

88

membicarakannya lebih lanjut dengan orang

lain, dengan teman, orang tua dan lain-lain.

Menurut Zakiyah dan Rusdiana (2014 :

168-169) pembelajaran nilai di sekolah dapat

diaktualisasikan melalui metode berikut:

a) Metode dogmatic; yaitu metode untuk

mengajarkan nilai kepada peserta didik dengan

jalan menyajikan keseluruhan nilai yang harus

diterima oleh peserta didik apa adanya, tanpa

mempersoalkan hakikatnya.

b) Metode deduktif; adalah proses berpikir dari

yang umum ke yang khusus. Dengan kata lain,

nilai diajarkan dan diuraikan berawal dari

seperangkat kode etik nilai untuk dipahami

oleh peserta didik.

c) Metode induktif; adalah proses berpikir dari

yang khusus ke yang umum. Artinya, nilai

diajarkan kepada siswa bermula dari sejumlah

kasus yang terjadi di masyarakat, kemudian

ditarik dan diambil kesimpulannya.

Page 89: SUBKHAN ROJULI

89

Teknik pembelajaran pendidikan nilai di

sekolah yang efektif dapat dilakukan para pendidik

dengan langkah-langkah sebagai berikut (Zakiyah

dan Rusdiana, 2014 : 168-169) :

a) Penataan fisik sekolah dan kelas yang kondusif

untuk keberlangsungan belajar mengajar.

b) Pembinaan keagamaan bagi guru yang terpola

dan terprogram, ada pelatihan bagi guru

tentang metode memasukkan nilai melalui

bidang studi.

c) Penataan dan peningkatan kualitas kegiatan

ekstrakurikuler keagamaan di sekolah

d) Peningkatan rasa tanggung jawab, disiplin,

kebersamaan, persatuan dan kerja sama dalam

menjalankan aktivitas persekolahan, serta

menjalin hubungan harmonis dengan sekolah

atau lembaga lain.

e) Guru tampil sebagai sosok yang cerdas secara

intelektual, emosional dan spiritual

f) Diantara guru lahirnya kebiasaan untuk

berdiskusi, peningkatan wawasan, informasi

Page 90: SUBKHAN ROJULI

90

tentang ilmu umum dan agama di lingkungan

tempat guru bekerja.

g) Istiqomah untuk beramal saleh dan

memberikan keteladanan kepada para siswa.

h) Budaya ucapan salam di lingkungan sekolah

i) Adanya program BP/BK yang berbasis nili-

nilai keimanan dan ketakwaan.

2) Strategi pembelajaran berbasis pendidikan

multicultural

Berdasarkan tulisan Bunyamin Maftuh

dalam buku “Inovasi Pembelajaran IPS”

(Soemantri, dkk; 2010 : 148) pendidikan

multicultural merupakan sebuah upaya

menanamkan kesadaran bahwa siswa di sekolah

dapat bersifat multicultural yakni beranekaragam

dalam hal etnis, budaya, agama, tingkatan social

ekonomi, dan sebagainya.

Menurut Gunawan (2013 : 121) pendidikan

multicultural adalah proses penanaman cara hidup

menghormati, tulus dan toleran terhadap

Page 91: SUBKHAN ROJULI

91

keanekaragaman budaya yang hidup di tengah

masyarakat yang plural.

Menurut Manning dan Baruth (1996) dalam

Soemantri (2010 : 142) mengemukakan beberapa

prinsip pendidikan multicultural sebagai berikut :

a) Siswa yang berbeda secara budaya

memerlukan materi kurikulum yang sesuai.

Materi ini mesti meningkatkan konsep diri,

memelihara minat belajar di kelas, dan

menyediakan contoh, kosa kata, dan model

yang berkaitan dengan siswa yang berbeda

secara budaya.

b) Focus kurikulum yang utama meliputi

keterampilan dalam berfikir analitis dan kritis.

c) Materi, aktivitas dan pengalaman mesti

membantu siswa memahami perbedaan etnis

dan keragaman budaya dengan bersifat asli dan

multidimensi dan mesti mencakup baik

keterampilan kognitif maupun afektif.

Page 92: SUBKHAN ROJULI

92

Banks (1999) dalam Slavin (2011 : 153)

mengemukakan lima dimensi utama pendidikan

multikultur, antara lain :

a) Integrasi isi pelajaran adalah penggunaan

contoh, data dan informasi dari berbagai

budaya dari guru.

b) Konstruksi (pembentukan) pengetahuan

merujuk pada guru yang membantu siswa

memahami bagaimana pengetahuan diciptakan

dan bagaimana hal itu dipengaruhi oleh

kedudukan ras, etnis, dan kelas social individu

dan kelompok

c) Pengurangan prasangka merupakan sasaran

penting pendidikan multikultur.

d) Pedagogi kesetaraan merujuk pada penggunaan

teknik pengajaran yang mempermudah

keberhasilan akademis siswa dari kelompok

etnis dan kelas social yang berbeda

e) Budaya sekolah yang memberdayakan adalah

budaya yang membuat organisasi dan praktik

Page 93: SUBKHAN ROJULI

93

sekolah bersifat kondusif bagi pertumbuhan

akademis dan emosi semua siswa.

Cara mengintegrasikan pendidikan

multikultur menurut Bunyamin Maftuh dalam

Somantri, dkk (2010 : 149-156) selain penerapan

dalam proses belajar mengajar juga dengan cara

sebagai berikut :

a) Melalui pengembangan buku IPS

Pendidikan multikultur yang diterapkan

melalui buku teks dapat berupa penjelasan

penjelasan konsep ataupun cerita-cerita untuk

meningkatkan pemahaman dan penghargaan

siswa akan keanekaragaman.

b) Diintegrasikan ke dalam kegiatan

ekstrakurikuler

Kegiatan ekstrakurikuler yang dapat

mendukung bagi penerapan gagasan

pendidikan multikultur di sekolah, antara lain

OSIS, organisasi yang didasarkan pada bakat

dan minat (OR, seni dan budaya) dengan

mengadakan kegiatan-kegiatan sekolah seperti

Page 94: SUBKHAN ROJULI

94

pementasan budaya, peringatan hari besar

agama, hari besar nasional, peringatan hari

Kartini, dan sebagainya.

c) Kebijakan sekolah yang mendukung, misalnya:

(i) Pihak sekolah memperlakukan secara adil

kepada siswa, guru, dan staf tata usaha dari

berbagai keragaman etnis, budaya, agama,

jenis kelamin, lapisan social dan

sebagainya tanpa adanya diskriminasi.

(ii) Guru dan tata usaha bukan hanya diambil

dari satu kelompok etnis, budaya tertentu,

tetapi juga dapat dari kelompok etnis atau

budaya lain yang ada di masyarakat.

(iii)Peristiwa –peristiwa budaya yang

diselenggarakan di sekolah dapat mewakili

berbagai keanekaragaman budaya yang ada

di sekolah itu.

d) Penataan lingkungan kelas dan sekolah

Penataan lingkungan fisik kelas dan

sekolah dapat juga mendukung bagi penerapan

gagasan pendidikan multikultur, misalnya di

Page 95: SUBKHAN ROJULI

95

dinding kelas atau sekolah dapat ditempel

berbagai pajangan gambar atau poster dari

berbagai etnis, budaya, agama, lapisan social

yang ada di Indonesia, khususnya mewakili

keanekaragaman siswa yang ada di kelas atau

sekolah itu serta dapat juga di temple tulisan

atau moto yang berisi pesan-pesan nilai,

misalnya saling menghormati perbedaan

budaya, etnis dan agama yang mendukung

pada persatuan bangsa.

Kompetensi pendidik multikultur yang

efektif menurut Bunyamin Maftuh dalam

Somantri, dkk (2010 : 156-157) terdiri atas tiga

kategori :

a) Pengetahuan, mencakup pemahaman budaya

yang dimiliki siswa.

b) Keterampilan, mencakup pengakuan dan

respon secara tepat terhadap kekuatan dan

kelemahan siswa, respon terhadap hubungan

antara gaya belajar dan budaya, dan

memberikan pengalaman sekolah didasarkan

Page 96: SUBKHAN ROJULI

96

pada orientasi siswa terhadap sekolah dan

keberhasilan akademis, menggunakan metode

mengajar yang telah terbukti sesuai dengan

anak-anak yang beragam budaya.

c) Sikap, mencakup pengembangan sikap dan

nilai positif, menciptakan lingkungan belajar

yang sesuai secara budaya, dan menjadi contoh

atau model bagi siswa untuk belajar

menghormati dan peduli pada semua orang.

Perilaku guru yang esensial dalam kelas

multicultural menurut Manning & Baruth (1996)

dalam Somantri, dkk (2010 : 157-158) antara lain

sebagai berikut :

a) Guru mesti memberikan pengalaman belajar

yang mencerminkan bagaimana budaya siswa

mempengaruhi persepsi kompetensi,

kesejahteraan kelompok, berbagi, motivasi dan

keberhasilan.

b) Guru mesti memberikan pengalaman belajar

yang mencerminkan perbedaan gender. Contoh

penentangan bias gender dalam materi

Page 97: SUBKHAN ROJULI

97

kurikulum adalah mendorong integrasi gender

melalui tutor sebaya dan kelompok belajar

lainnya, serta melalui dialog dan kerjasama

terbuka.

c) Guru mesti memberikan pengalaman mengajar

yang mencerminkan keragaman secara budaya

pada gaya belajar siswa.

d) Guru mesti mendorong dan mendukung

pengembangan program bilingual (dwibahasa).

e) Guru mesti melibatkan siswa dalam berbagai

kegiatan berbahasa lisan yang bermakna,

relevan, dan fungsional dalam masyarakat yang

pluralistic.

f) Guru mesti memperlakukan semua siswa

dengan adil dan memiliki keterampilan atau

kemampuan untuk membangun kelas

demokratis dimana semua siswa menerima

perlakuan yang sama.

g) Guru mesti mengharapkan semua siswa secara

akademik berhasil ketimbang secara otomatis

Page 98: SUBKHAN ROJULI

98

mengharapkan siswa dari kelompok budaya

minoritas berprestasi kurang baik.

h) Guru mesti menggunakan kelompok yang

heterogen untuk meningkatkan rasa harga diri

dan mendorong interaksi etnis.

i) Guru mesti menunjukkan keperluan akan nilai

dan sikap demokratis, filosofi pendidikan

multicultural, dan kemampuan memandang

peristiwa dan situasi dari perspektif dan sudut

pandang etnis yang beragam.

j) Guru mesti mendorong persahabatan dan

interaksi lintas budaya, kerjasama, dan

sosialisasi antara anak laki-laki dan perempuan

dari semua budaya di sekolah, di tempat

bermain dan di masyarakat.

k) Guru mesti menangani masalah-masalah

khusus yang dihadapi para orang tua dan

keluarga yang beragam budaya seperti

kesulitan bahasa dan salah paham terhadap

system sekolah dan harapannya.

Page 99: SUBKHAN ROJULI

99

l) Guru mesti mempunyai pengetahuan factual

tentang perbedaan siswa seperti budaya, ras,

etnis, kelas social, dan gender dan memiliki

komitmen professional untuk membuat

pengalaman pendidikan yang mencerminkan

perbedaan tersebut.

m) Guru mesti mendorong dan merancang ruang

kelas yang mencerminkan keragaman budaya

melalui majalah dinding, pajangan karya siswa

di dinding kelas, dan karya budaya yang

beragama.

n) Guru mesti mendorong siswa bekerja dalam

kelompok kerja sama dan penataan lintas

budaya lainnya untuk memungkinkan

terjadinya interaksi social, percakapan, dan

dialog yang bermakna.

3) Strategi pembelajaran inklusi

Menurut Jacobsen, D.A., Eggen, P. &

Kauchak, D. (2009 : 271) inklusi merupakan suatu

pendekatan komprehensif untuk mendidik siswa-

Page 100: SUBKHAN ROJULI

100

siswi yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri

seraya menganjurkan adanya jejaring layanan yang

menyeluruh, sistematis dan terkoordinir dengan

tiga syarat komponen, yaitu :

a) Menempatkan siswa-siswi yang memiliki

kebutuhan khusus di lingkungan sekolah

regular

b) Menciptakan dukungan dan layanan yang

memadai untuk menjamin penyesuaian yang

layak

c) Mengkoordinasi layanan-layanan pendidikan

khusus dan umum

Selain memberikan pelayanan seperti di

atas, guru juga harus menciptakan suatu

lingkungan pembelajaran yang suportif dengan

cara :

a) Berkomunikasi secara regular dengan para

siswa agar penyesuaian dapat dibuat jika ada

modifikasi-modifikasi pengajaran

Page 101: SUBKHAN ROJULI

101

b) Menetapkan rutinitas-rutinitas agar siswa

mengetahui prosedur-prosedur dan harapan-

harapan ruang kelas

c) Memberikan dorongan dan dukungan melalui

strategi-strategi penguatan (reinforcement)

tambahan.

d) Berkomunikasi sesering mungkin dengan para

guru pendukung pendidikan khusus untuk

memastikan bahwa tim sudah berjalan dengan

efektif

e) Membantu siswa-siswa yang memiliki

keunikan-keunikan tertentu membentuk

hubungan-hubungan positif dengan siswa-

siswa yang lain (Hardman et.al., 2008; Heward,

2006 dalam Jacobsen, D.A., Eggen, P. &

Kauchak, D. 2009 : 275)

4) Strategi pembelajaran kooperatif/ cooperative

learning

Cooperative learning merupakan

sekumpulan strategi yang khusus dirancang untuk

Page 102: SUBKHAN ROJULI

102

memberi dorongan untuk bekerjasama selama

proses pembelajaran dengan tujuan agar peserta

didik dapat belajar secara berkelompok bersama-

sama temannya dengan cara saling menghargai

pendapat dan memberikan kesempatan kepada

orang lain untuk mengemukakan gagasannya

dengan menyampaikan pendapat mereka secara

berkelompok (Al-Muchtar, 2014 : 248; 250).

Menurut Sanjaya, W (2013 : 243) strategi

pembelajaran ini bisa digunakan manakala :

Guru menekankan pentingnya usaha kolektif

disamping usaha individual dalam belajar

Jika guru menghendaki seluruh siswa (bukan

hanya siswa yang pintar saja) untuk

memperoleh keberhasilan dalam belajar

Jika guru ingin menanamkan, bahwa siswa

dapat belajar dari teman lainnya, dan belajar

dari bantuan orang lain

Jika guru menghendaki untuk mengembangkan

kemampuan komunikasi siswa sebagai bagian

dari isi kurikulum

Page 103: SUBKHAN ROJULI

103

Jika guru menghendaki meningkatnya motivasi

siswa dan menambah tingkat partisipasi

mereka

Jika guru menghendaki berkembangnya

kemampuan siswa dalam memecahkan masalah

dan menemukan berbagai solusi pemecahan

Prosedur pembelajaran kooperatif pada

prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu

(Sanjaya, W; 2013 : 248-249) :

a) Penjelasan materi, pada tahap ini guru

memberikan gambaran umum tentang materi

pelajaran yang harus dikuasai yang

selanjutnya siswa akan memperdalam materi

dalam pembelajaran kelompok.

b) Belajar dalam kelompok, pada tahap ini tim

siswa didorong untuk melakukan tukar-

menukar informasi dan pendapat,

mendiskusikan permasalahan secara bersama,

membandingkan jawaban mereka, dan

mengoreksi hal-hal yang kurang tepat.

Page 104: SUBKHAN ROJULI

104

c) Penilaian, pada tahap ini siswa dinilai baik

secara individual maupun secara kelompok.

d) Pengakuan tim, pada tahap ini tim yang

dianggap paling menonjol atau paling

berprestasi diberikan penghargaan atau

hadiah.

5) Problem Based Learning

Strategi ini memungkinkan siswa untuk

memberikan kontribusi sesuai kekuatan masing-

masing, menggunakan talenta khususnya masing-

masing, dan mengidentifikasi berbagai masalah

yang dipilihnya sendiri, dan merancang proyek-

proyek yang berusaha menjawab masalah-masalah

itu secara autentik dan menantang (Arends, R.I,

2008 : 127).

Strategi pembelajaran dengan pemecahan

masalah (problem based learning) dapat

diterapkan (Sanjaya, W ; 2013 : 215) :

Manakala guru menginginkan agar siswa tidak

hanya sekedar dapat mengingat materi

Page 105: SUBKHAN ROJULI

105

pelajaran, akan tetapi menguasai dan

memahaminya secara penuh.

Apabila guru bermaksud untuk mengembangkan

keterampilan menerapkan keterampilan berpikir

rasional.

Manakala guru menginginkan kemampuan

siswa untuk memecahkan masalah serta

membuat tantangan intelektual siswa.

Jika guru ingin mendorong siswa untuk lebih

bertanggung jawab dalam belajarnya.

Jika guru ingin agar siswa memahami hubungan

antara apa yang dipelajari dengan kenyataan

dalam kehidupannya.

Menurut Sanjaya, W (2013 : 218-220)

secara umum langkah-langkah strategi problem

based learning adalah :

a) Menyadari masalah, yaitu langkah siswa

menemukan adanya masalah

b) Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa

menentukan masalah yang akan dipecahkan

Page 106: SUBKHAN ROJULI

106

c) Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa

merumuskan berbagai kemungkinan

pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang

dimilikinya

d) Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa

mencari dan menggambarkan informasi yang

diperlukan untuk pemecahan masalah

e) Menguji hipotesis, yaitu langkah siswa

mengambil atau merumuskan kesimpulan

sesuai dengan penerimaan dan penolakan

hipotesis yang diajukan

f) Menentukan pilihan penyelesaian, yaitu

langkah siswa memilih alternative

penyelesaian yang memungkinkan

6) Strategi pembelajaran inkuiri sosial

Inkuiri social adalah strategi

pembelajaran dari kelompok social yang

berorientasi kepada pengalaman siswa dengan

mengembangkan kemampuan siswa untuk

menemukan dan merefleksikan sifat-sifat

Page 107: SUBKHAN ROJULI

107

kehidupan social, terutama untuk melatih siswa

agar hidup mandiri dalam masyarakatnya melalui

kajian masalah-masalah social atau masalah

kehidupan masyarakat. (Joyce & Weil, 1980

dalam Sanjaya, W; 2013 : 205-206).

Ada tiga karakteristik pengembangan

strategi inkuiri social, yaitu (a) adanya aspek

(masalah) social dalam kelas yang dianggap

penting dan dapat mendorong terciptanya diskusi

kelas; (b) adanya rumusan hipotesis sebagai focus

untuk inkuiri; (c) penggunaan fakta sebagai

pengujian hipotesis (Sanjaya, W; 2013 : 206).

Secara umum proses pembelajaran inkuiri

mengikuti langkah-langkah sebagai berikut

(Sanjaya, W; 2013 : 206) :

a) Orientasi, pada tahap ini langkah untuk

membina suasana iklim pembelajaran yang

responsive dengan menjelaskan topik; tujuan;

hasil belajar; pokok-pokok kegiatan;

pentingnya topik dan kegiatan

Page 108: SUBKHAN ROJULI

108

b) Merumuskan masalah, pada tahap ini siswa

dibawa pada persoalan yang mengandung

teka-teki yang mengandung konsep yang jelas.

c) Merumuskan hipotesis, pada tahap ini

jawaban sementara dari suatu permasalahan

dikaji dengan mendorong siswa untuk dapat

merumuskan jawaban.

d) Mengumpulkan data, pada tahap ini aktivitas

menjaring informasi yang dibutuhkan untuk

menguji hipotesis yang diajukan dengan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

dapat mendorong siswa untuk mencari

informasi yang dibutuhkan.

e) Menguji hipotesis, pada tahap ini kebenaran

jawaban diuji dengan data atau informasi yang

diperoleh berdasarkan pengumpulan data.

f) Merumuskan kesimpulan, pada tahap ini

proses mendeskripsikan temuan yang

diperoleh berdasarkan hasil pengujian

hipotesis.

Page 109: SUBKHAN ROJULI

109

7) Sosiodrama (Bermain peran)

Melalui strategi ini, siswa dapat

memecahkan masalah dan meningkatkan

internalisasi nilai-nilai social melalui peran tokoh

yang dimainkannya. Menurut Hamzah B. Uno

(2014 :26-28) prosedur bermain peran terdiri atas

sembilan langkah, yaitu :

a) Pemanasan, pada tahap ini guru berupaya

memperkenalkan siswa pada permasalahan

yang mereka sadari sebagai suatu hal yang bagi

semua orang perlu memelajaridan

menguasainya.

b) Memilih peran (partisipan), pada tahap ini

siswa dan guru membahas karakter dari setiap

pemain dan menentukan siapa yang akan

memainkannya.

c) Menata panggung, pada tahap ini guru

mendiskusikan dengan siswa dimana dan

bagaimana peran itu akan dimainkan.

d) Guru menunjuk beberapa siswa sebagai

pengamat

Page 110: SUBKHAN ROJULI

110

e) Permainan peran dimulai

f) Guru bersama siswa mendiskusikan permainan

tadi dan melakukan evaluasi terhadap peran-

peran yang dilakukan

g) Permainan peran ulang, pada tahap ini siswa

dapat memainkan perannya lebih sesuai dengan

scenario

h) Pembahasan diskusi dan evaluasi lebih

diarahkan pada realitas

i) Siswa diajak untuk berbagi pengalaman

tentang tema permainan peran yang telah

dilakukan dan dilanjutkan dengan membuat

kesimpulan.

8) Simulasi Sosial

Permainan simulasi dapat merangsang

berbagai bentuk belajar, seperti belajar tentang

persaingan, kerja sama, empati, system social,

konsep keterampilan, kemampuan berpikir kritis,

pengambilan keputusan, dll. Ada tiga tahap dalam

Page 111: SUBKHAN ROJULI

111

permainan simulasi social, yaitu (Hamzah Uno;

2014 : 30) :

a) Tahap pertama, pembelajaran simulasi adalah

menyiapkan siswa yang menjadi pemeran

dalam simulasi

b) Tahap kedua, guru menyusun scenario dengan

memperkenalkan siswa terhadap aturan, peran,

prosedur, pemberi skor, tujuan permainan, dll.

c) Tahap ketiga adalah pelaksanaan dari simulasi

itu sendiri.

Page 112: SUBKHAN ROJULI

112

BAB VI

INOVASI PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS

A. Pengertian Inovasi Pembelajaran Pendidikan

IPS

Inovasi adalah upaya strategis dan keharusan

untuk dilakukan dalam menjawab tantangan

pendidikan, dalam membina kualitas Indonesia yang

memiliki kemampuan kompetitif dalam percaturan

global (Al-Muchtar, 2014 : 130).

Sedangkan pembelajaran (learning) dapat

didefinisikan sebagai pengaruh permanen atas

perilaku, pengetahuan dan keterampilan berfikir, yang

diperoleh melalui pengalaman (Santrock, 2011:266).

Inovasi pembelajaran IPS pada hakekatnya

adalah upaya untuk memenuhi peningkatan mutu

proses pendidikan IPS yang dilakukan terus menerus

untuk memenuhi perkembangan tuntutan masyarakat

terhadap pendidikan (Al-Muchtar, 2014 : 140).

Fenomena merosotnya nilai-nilai moral menjadi

tantangan bagi dunia pendidikan dan perlu dijadikan

Page 113: SUBKHAN ROJULI

113

dasar pemikiran bagi perlunya inovasi dalam

pembelajaran.

B. Peluang Inovasi Pembelajaran Pendidikan IPS

Berikut factor peluang dan kekuatan pelaksanaan

inovasi proses pembelajaran yang dapat dimanfaatkan

oleh guru (Al-Muchtar, 2014, 153-154) :

1) Lembaga pendidikan dan pelatihan untuk

melakukan “service training” keguruan

pendidikan, sudah melembaga dan dapat

ditingkatkan peranannya dalam pelatihan model

pembelajaran.

2) Kebijakan, system manajemen pendidikan, dan

kemampuan birokrasi pendidikan memungkinkan

memperkuat daya dukung pembelajaran

3) Daya dukung masyarakat dapat ditransformasikan

menjadi daya dukung pembelajaran, sejalan

dengan makin menguatnya aspirasi dan apresiasi

masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas

4) Peran guru dapat ditransformasikan kea arah

sebagai pengembang kurikulum dengan

Page 114: SUBKHAN ROJULI

114

memberikan pendidikan tambahan dan pelatihan

untuk dapat bertindak sebagai peneliti,

pengembang dan pelaku inovasi pembelajaran.

C. Tantangan Inovasi Pembelajaran Pendidikan IPS

Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik

diarahkan, dibimbing dan dibantu untuk menjadi

warga Negara Indonesia dan warga dunia yang baik.

Menjadi warga Negara dan warga dunia yang baik

merupakan tantangan yang berat karena masyarakat

global selalu mengalami perubahan yang besar setiap

saat, untuk itulah IPS harus dirancang untuk

membangun dan merefleksikan kemampuan peserta

didik dalam kehidupan masyarakat yang selalu

berubah dan berkembang secara terus menerus, tetapi

masalahnya sebagian guru IPS belum terampil

menggunakan beberapa model mengajar dengan

menggunakan pendekatan perspektif global

(Gunawan, 2013 : 92). Selain itu, dalam hal

implementasi atau proses pelaksanaan kurikulum guru

yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran

Page 115: SUBKHAN ROJULI

115

atau diklat sangat terbatas sekali sehingga mereka

masih belum memahami hakikat kurikulum dalam

mengantisipasi fenomena global.

Menurut Al-Muchtar (2014 : 135-136) terdapat

dua tarikan yang mempengaruhi tuntutan dan

tantangan pendidikan, yaitu :

1) Pendidikan IPS dihadapkan pada tantangan untuk

berperan memperkuat system nilai dalam

mempertinggi kualitas keimanan dan ketakwaan.

2) Pendidikan IPS dihadapkan pada penguasaan ilmu-

ilmu social budaya dan teknologi

Era global menuntut sumber daya manusia

yang memiliki daya saing, adaptif, mampu belajar,

terampil, mudah beradaptasi dengan teknologi baru

dengan profil tenaga kerja yang tidak hanya

mempunyai aspek hard skills tetapi juga aspek soft

skill sebagai bagian dimensi pendidikan IPS. Hasil

survei Widarto, dkk (2012) menemukan bahwa aspek

sikap/watak merupakan aspek yang memiliki

kontribusi terbesar untuk menghasilkan produk yang

Page 116: SUBKHAN ROJULI

116

berkualitas, selanjutnya secara berturut-turut adalah

kondisi fisik, pengetahuan dan keterampilan.

Perubahan global dunia merupakan tantangan

yang menuntut inovasi pembelajaran IPS yang sesuai

dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu,

diperlukan materi pendidikan IPS yang berwawasan

global. Menurut Gunawan (2013 : 93) materi tersebut

diantaranya :

1) Tentang kesadaran diri, sebagai makhluk Tuhan,

eksistensi, potensi dan jati diri sebagai warga dari

sebuah bangsa yang berbudaya dan bermartabat

sederajat dengan bangsa lain di dunia (tidak lebih

rendah dari bangsa lain).

2) Tentang kecakapan berfikir seperti kecakapan;

berfikir kritis, menggali informasi, mengolah

informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan

masalah.

3) Tentang kecakapan akademik tentang ilmu-ilmu

social, seperti kemampuan memahami fakta,

konsep dan generalisasi tentang system social

budaya, lingkungan hidup, perilaku ekonomi dan

Page 117: SUBKHAN ROJULI

117

kesejahteraan, serta tentang waktu dan

keberlanjutan perubahan yang terjadi di dunia.

4) Mengembangkan social skills, dengan maksud

supaya pada masa dating kita tidak hanya menjadi

obyek penguasaan globalisasi belaka.

Perkembangan IPTEK harus diimbangi dengan

inovasi pembelajaran agar tidak ada kesenjangan

antara kualitas pendidikan IPS dalam kenyataan

empiric dengan tuntutan ideal, kurikulum, kehidupan

praktis dan perkembangan masyarakat.

Pembangunan sebagai bagian dari perubahan

dan transformasi social budaya, ternyata melahirkan

pula ekses-ekses melemahnya nilai-nilai lama yang

telah memperkuat struktur masyarakat, sehingga

menimbulkan kesenjangan dengan nilai-nilai yang

baru muncul. Disinilah peran strategis strategis

pembaruan pembelajaran dalam memenuhi tantangan

pendidikan untuk meluruskan arah tersebut.

Sebagian besar masyarakat Indonesia belum

siap untuk mengadaptasi atau mengadopsi budaya dan

peradaban asing yang mulai merambah secara global,

Page 118: SUBKHAN ROJULI

118

karena berbenturan dengan nilai-nilai tradisi ataupun

agama sehingga proses belajar mengajar IPS

dilakukan dalam bentuk konvensional saja dengan

perolehan hasil belajar secara konsep dan tidak

mengarah kegiatan pembelajaran yang bermakna dan

kontekstual pada kondisi masyarakat. Contoh :

penggunaan teknologi pertanian disuatu masyarakat

tertentu dianggap merusak tatanan system nilai,

seperti gotong-royong.

Menurut tulisan Hamid Hasan (2007) dalam

Somantri, dkk (2010 : 8-9) bahwa keluhan mengenai

pendidikan IPS terekam dengan baik melalui berbagai

penelitian, antara lain pelajaran IPS membosankan,

tidak menantang berpikir, menambah beban belajar,

tidak ada manfaatnya, hanya untuk mereka yang

kurang cerdas, hanya untuk mereka yang kuat dalam

menghafal, dan materi pelajaran tidak dapat

digunakan atau berkenaan dengan kehidupan sehari-

hari. Keluhan lain mengenai IPS adalah materi

pelajaran yang dianggap merupakan pengulangan dari

materi pelajaran di SD/SMP, buku teks yang penuh

Page 119: SUBKHAN ROJULI

119

dengan fakta dan terlalu kering, dan proses

pembelajaran yang monoton dimana peserta didik

lebih banyak mendengar daripada mencatat.

Kenyataan tersebut telah berjalan panjang dan

menjadi tantangan perbaikan dalam berbagian

komponen pendidikan IPS

Adanya tantangan bahwa kecenderungan

terhadap muatan local sebagai bahan pembelajaran

IPS dianggap di luar kurikulum. Oleh karena itu,

muatan local belum mempunyai acuan atau model

pengembangan, di samping itu buku-buku penunjang

belum ada sehingga menuntut keterampilan pengajar

untuk mengembangkan program sesuai kondisi

lingkungannya. Peluang untuk memperkuat

keterpaduan antara program materi mata pelajaran ini

dengan kondisi lingkungan social masih lemah, dan

belum menjamin peserta didik mengaktualisasikan

pengetahuan (Suwarma, 2014 : 59-60).

Page 120: SUBKHAN ROJULI

120

D. Kendala Inovasi Pembelajaran Pendidikan IPS

1. Kendala Peran dan Kemampuan Guru

Menurut Al-Muchtar (2014, 156-157)

factor diperkirakan akan muncul sebagai kendala

inovator pembelajaran, untuk disajikan bahan

diskusi :

1) Kebiasaan factor yang sangat kuat dalam

memunculkan budaya rutinitas, yang dapat

menghambat munculnya dorongan bagi inovasi

pembelajaran pendidikan IPS

2) Orientasi yang terlalu kuat dalam

memunculkan pencapaian partisipasi

pendidikan yang menghambat munculnya

dorongan bagi inovator pembelajaran.

3) Kondisi guru lebih kuat sebagai pelaksana

kurikulum daripada sebagai pengembang

kurikulum yang diperkuat dengan pendekatan

birokrasi

4) Langkanya penelitian pendidikan dalam bidang

pembelajaran, yang diperkuat belum

Page 121: SUBKHAN ROJULI

121

berperannya pendidikan sebagai sumber

informasi dan penelitian pendidikan.

5) Kebijakan nasional dalam pendidikan belum

secara langsung banyak menyentuh secara

langsung bidang pembelajaran, diperkuat

dengan kurangnya memberikan dukungan

otonomi bagi guru dan sekolah dapat

mengakibatkan hambatan bagi inovasi

pembelajaran pendidikan IPS

6) Kesenjangan antara proses pembelajaran

dengan tuntutan perubahan dalam masyarakat

yang sangat lebar, ditambah dengan

terbatasnya sumber daya pendidikan, dapat

menjadi hambatan dan kendala bagi inovasi

pembelajaran pendidikan IPS

7) Orientasi yang kuat terhadap penguasaan

materi pendidikan secara dikotomik

mengabaikan penguasaan terhadap

karakteristik peserta didik, dapat menjadi

hambatan dalam inovasi pembelajaran

Page 122: SUBKHAN ROJULI

122

8) Etos kerja dan tingkat kesejahteraan pendidik,

dapat muncul sebagai hambatan eksternal

dalam upaya inovasi pembelajaran.

2. Kendala Sumber Dana

Sumber dana pendidikan yang terbatas

menjadi kendala dalam inovasi pembelajaran

karena tidak memenuhi tuntutan dan kebutuhan

akan pendidikan. Pendekatan demokrasi

pendidikan dalam konsep pendidikan masal

“education for all” dalam Negara berkembang

terkesan berorientasi pada kuantitas partisipasi

pendidikan lebih menonjol daripada proses dan

mutu pendidikan sehingga inovasi dalam

pembelajaran berkurang karena menonjolnya

masalah administrasi pelayanan pendidikan (Al-

Muchtar, 2014 : 131-132).

Page 123: SUBKHAN ROJULI

123

E. Arah Inovasi Pembelajaran Pendidikan IPS

1. Pengembangan Evaluasi Pembelajaran

Pendidikan IPS

Inovasi pembelajaran pendidikan IPS harus

diarahkan pada peningkatan mutu pembelajaran.

Faktor penentu mutu evaluasi pembelajaran

pendidikan IPS meliputi penilaian terhadap

tujuan, materi, dukungan fasilitas, kondisi siswa

dan guru. Mutu pembelajaran IPS dapat

ditingkatkan dengan evaluasi terhadap

pengembangan strategi pembelajaran dan

pengembangan program.

Dalam meningkatkan mutu pembelajaran

IPS, hendaknya analisis hasil belajar lebih

ditekankan pada indicator kemampuan belajar

peserta didik dari pada orientasi pemenuhan pasar

lapangan kerja, mengingat sebagai bagian utama

dari strategi pembelajaran IPS lebih berfungsi

dalam memberikan pemetaan keadilan dalam

pendidikan (Suwarma, 2008 : 50).

Page 124: SUBKHAN ROJULI

124

2. Strategi Pengembangan Pendidikan IPS Dalam

Mengantisipasi Masa Depan

Masyarakat maju dewasa ini dan masa

mendatang pasti mengangkat berbagai isu dan

kebutuhan, seperti sekarang ini masalah integrase

Masyarakat Ekonomi ASEAN, kejahatan,

minuman keras, seks, masalah-masalah HAM dan

patologi social lainnya. Berdasarkan berbagai

masalah tersebut, menurut Somantri (2001 : 202)

perlu strategi pengembangan pendidikan IPS yang

meliputi :

a) Untuk jangka panjang perlu kajian dan evaluasi

akademik tentang struktur kurikulum

pendidikan IPS

b) Pendidikan IPS harus diperkaya dengan

pengetahuan fungsional yang tumbuh dan oleh

masyarakat serta mengikuti perkembangan

IPTEK

c) Perlunya bantuan disiplin pendidikan ilmu lain

dalam mengembangkan pendidikan IPS

Page 125: SUBKHAN ROJULI

125

d) Perlunya mata kuliah yang bermuatan metode

mengajar pada setiap diklat atau pelatihan

tentang pendidikan IPS

e) Pengembangan strategi pembelajaran dari

ekspositori menuju inkuiri untuk mendorong

terjadinya belajar aktif

f) Penelitian, skripsi, tesis dan disertasi

hendaknya diarahkan pada pengembangan

strategi pembelajaran pendidikan IPS

3. Pengembangan Materi Pembelajaran

Pendidikan IPS

Pengembangan materi pembelajaran IPS

dapat dilakukan dengan mengintegrasikan bahan-

bahan yang langsung bersifat actual di masyarakat.

Tidak menempatkan target kurikulum sebagai

harga mati, tetapi menempatkan guru sebagai

pelaksana dan pengembang kurikulum dengan

menyajikan materi yang diperkaya dengan muatan

local sehingga bersifat kontekstual dengan

Page 126: SUBKHAN ROJULI

126

perubahan social budaya melibatkan peran aktif

peserta didik.

Perlunya pengembangan konstruksi materi

pembelajaran pendidikan IPS yang dirumuskan

dalam bentuk butir-butir yang berhubungan satu

sama lain (Somantri; 2001 : 207) :

a) Adanya hubungan interdisipliner dan atau

trans-disipliner antara disiplin ilmu-ilmu

pendidikan, ilmu-ilmu social dan humaniora

bahkan dengan ilmu, teknologi, seni dan agama

b) Hubungan antara disiplin itu disebabkan

adanya kebutuhan dan kegunaan yaitu

kepentingan pendidikan sebagai “advance

knowledge”

c) Proses pendekatan antar-disipliner merupakan

seleksi dari sisiplin ilmu-ilmu social dan

humaniora untuk tujuan pendidikan

d) Bahan pendidikan diorganisasikan secara

ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan

Page 127: SUBKHAN ROJULI

127

4. Rekonstruksi Kurikulum Ilmu Social Sebagai

Media Ketertiban

Dinamika masyarakat Indonesia dalam

segala bidang antara lain izin pengelolaan hutan

atau sumber daya alam lainnya dan pelaksanaaan

otonomi daerah berpotensi untuk menimbulkan

ketidaktertiban. Keadaan ini menimbulkan

kompleksnya hubungan social sehingga

memerlukan hubungan inter-disipliner dalam

menyusun kurikulum ilmu-ilmu social. Hal ini

dimaksudkan untuk mencapai tujuan bangsa agar

pembangunan nasional tidak terganggu oelh

masalah ketidaktertiban masyarakat yang

berkepanjangan sekarang ini, dan untuk

mengantisipasi masalah-masalah social yang akan

timbul di masa depan. Hal yang bisa direkonstruksi

atau lebih tepat disebut refleksi dan penyesuaian

adalah dengan kebudayaan dan tujuan bangsa

Indonesia, pendekatan penyusunan materi ilmu

social dan materi penyampaiannya, hambatan-

Page 128: SUBKHAN ROJULI

128

hambatan konsep kurikulum ilmu-ilmu social

termasuk pendidikan IPS (Somantri, 2001 : 145).

Konsep kurikulum yang memberikan

harapan bagi terjadinya rekonstruksi ialah struktur

kurikulum yang berurutan (consecutive) dengan

memadukan pengetahuan fungsional dan

pengetahuan teoritik. Proses pendidikan yang

dikembangkan pun hendaknya mengarah pada

proses mengambil keputusan untuk menghasilkan

kualitas berpikir terbaik bagi setiap pemecahan

masalah (Somantri, 2001 : 148).

5. Pengembangan Bahan Ajar Pendidikan IPS

Pengembangan bahan ajar pendidikan IPS

di sekolah meliputi ((Somantri, 2001 : 264) :

a) Bahan ajar lebih banyak memperhatikan

kebutuhan dan minat pelajar

b) Bahan ajar lebih banyak memperhatikan

masalah-masalah social

c) Bahan ajar lebih banyak memberikan perhatian

pada keterampilan berpikir

Page 129: SUBKHAN ROJULI

129

d) Bahan ajar lebih banyak memberikan perhatian

terhadap pemeliharaan dan pemanfaatan

lingkungan alam sekitar

e) Kegiatan-kegiatan dasar manusia tercermin

dalam bahan ajar

f) Organisasi kurikulum dalam bahan ajar

bervariasi, mulai dari pengorganisasian yang

“integrated, correlated dan separated”

g) Susunan bahan ajar bervariasi mulai dari

pendekatan, fungsional, humanistic dan

structural

h) Unsur-unsur sosiologis, antropologis dan

pengetahuan social lainnya memperkaya bahan

ajar, demikian pula unsur-unsur sains,

teknologi, matematika dan agama ikut

memperkaya bahan ajar

6. Inovasi Proses Pembelajaran IPS

Upaya yang harus dilakukan dalam

pelaksanaan inovasi proses pembelajaran IPS,

antara lain (Suwarma, 2014 : 180-186) :

Page 130: SUBKHAN ROJULI

130

a) Lembaga pembelajaran pendidikan IPS dan

pelatihan untuk melakukan “inservice

training” kependidikan dan pelatihan

ditingkatkan peranannya dalam pelatihan

model pembelajaran pendidikan IPS

b) Kebijakan, system manajemen pendidikan, dan

kemampuan birokrasi pembelajaran pendidikan

IPS diperkuat daya dukungnya dalam

pembelajaran

c) Daya dukung masyarakat ditransformasikan

menjadi daya dukung pembelajaran, sejalan

dengan menguatnya aspirasi dan apresiasi

masyarakat terhadap pembelajaran pendidikan

IPS yang berkualitas

d) Peran pendidik ditransformasikan ke arah

sebagai pengembang kurikulum dengan

memberikan pembelajaran pendidikan

pendidikan IPS tambahan dan pelatihan untuk

dapat bertindak sebagai peneliti, pengembang

dan pelaku inovasi pembelajaran pendidikan

IPS

Page 131: SUBKHAN ROJULI

131

e) Memunculkan budaya pengembangan inovasi

oleh pendidik untuk memperbanyak penelitian

dalam bidang pembelajaran pendidikan IPS

f) Kebijakan nasional dalam bidang pembelajaran

pendidikan IPS secara langsung harus

menyentuh bidang pembelajaran, diperkuat

dengan kurangnya memberikan dukungan

otonomi bagi pendidik dan sekolah

g) Meminimalisir kesenjangan antara proses

pembelajaran dengan tuntutan perubahan

dalam masyarakat yang sangat lebar

h) Menguatkan orientasi pembelajaran kea rah

penguasaan terhadapa karakteristik peserta

didik bukan ke arah penguasaan materi

pendidikan semata

i) Adanya upaya strategis yang dilakukan

pemerintah yang tergambar pada kerangka atau

pola inovasi pembelajaran bagi peningkatan

mutu pendidikan

Page 132: SUBKHAN ROJULI

132

j) Adanya tindak lanjut hasil evaluasi

pembelajaran untuk rujukan pembelajaran yang

efektif

k) Perlunya peran masyarakat dalam memperkuat

solidaritas social dan peningkatan sikap social

l) Inovasi pembelajaran didasarkan pada dimensi

sosiologis dan psikologis untuk meningkatkan

kualitas pembelajaran

m) Analisis mengenai kelemahan proses

pembelajaran harus ditindaklanjuti

n) Perlu dipelajari secara teoritik dan empiric

tentang masalah yang mengedepankan

pemecahan dalam proses pembelajaran

pendidikan IPS

o) Meningkatkan kadar kualitas pembelajaran

dengan menindaklanjuti hasi studi

7. Pengembangan Tujuan Pendidikan IPS

Pengembangan tujuan pendidikan IPS

meliputi usaha-usaha sebagai berikut (Suwarma Al

Muchtar; 2014 : 138) :

Page 133: SUBKHAN ROJULI

133

a) Tujuan pembelajaran pendidikan IPS harus

dirumuskan ke arah mengembangkan

kemampuan berpikir tingkat tinggi, apabila

wawasan pengembangan kurikulumnya tidak

dipersempitkan pada latar formulistik

persekolahan

b) Kemampuan berpikir dan nilai dijadikan titik

orientasi pengembangan, maka pendidikan IPS

akan lebih berperan dalam mempersiapkan

sumber daya manusia produktif dalam

perkembangan ilmu dan teknologi dalam era

informasi modern dan globalisasi

c) Tujuan pendidikan IPS perlu menyentuh

pengembangan kemampuan berpikir dan

apresiasi nilai melalui pendidikan IPS akan

afektif jika dilakukan dalam wawasan lebih luas

dan kokoh bagi terwujudnya sosok utuh

substansi keilmuan dari ilmu-ilmu social, yang

kongruen dengan kondisi lingkungan dan nilai

social budaya serta tuntunan psikologis peserta

didik pada setiap jenjang sekolah

Page 134: SUBKHAN ROJULI

134

d) Perumusan tujuan pendidikan IPS tidak terbatas

pada orientasi nilai belajar dalam pendidikan

IPS yang amat kuat untuk dapat melanjutkan ke

PTN, memungkinkan guru sebagai pengembang

kurikulum “terekayasa” ke arah pemikiran dan

sikap ketergantungan sehingga terperangkap

pada posisi “kemandirian” dalam melakukan

improvisasi profesionalnya untuk

membudayakan berpikir dan internalisasi nilai

social budaya dalam pendidikan IPS

8. Pengembangan Penelitian Pendidikan IPS

Upaya pengembangan penelittian

pendidikan IPS antara lain (Suwarma Al Muchtar,

2014 : 151-152) :

a) Penelitian pendidikan IPS perlu menghindari

menggunakan pendekatan, metode, dan model

penelitian standar baik dalam ilmu-ilmu social

dan ilmu pendidikan serta bidang ilmu lainnya

perlu ditransformasikan kepada pengembangan

metode penelitian spesifik sesuai dengan jati

Page 135: SUBKHAN ROJULI

135

diri pendidikan IPS sebagi ilmu pengetahuan

dan sebagai disiplin ilmu

b) Perlu dikaji secara kritis untuk tidak

mengintervensi pengembangan metode

penelitian dan logika internal yang akan

ditumbuhkan dalam dalam pendidikan IPS

c) Penelitian kelas dan penelitian tindakan kelas

yang sekarang tengah dikembangkan kiranya

dapat dijadikan unggulan dalam penelitian

pendidikan IPS

d) Model penelitian pendidikan IPS perlu

dikonseptulkan untuk memberdayakan guru

agar mampu melakukan diagnosis dan terapetik

sebagai dasar bagi pengembangan

profesionalisme yang kreatif dan inovatif

dalam meningkatkan mutu pendidikan IPS

9. Pengembangan Definisi Pendidikan IPS

Urgensi pengembangan definisi pendidikan

IPS meliputi (Suwarma Al Muchtar, 2014 : 136-

137) :

Page 136: SUBKHAN ROJULI

136

a) Pendidikan IPS masih perlu dipertegas dan

dibatasi hanya sebagai program pendidikan

untuk tingkat persekolahan

b) Pendidikan IPS perlu diartikan dalam rumusan

definisi yang terbuka dan beragam sesuai

dengan tujuan dan strata pendidikan di sekolah

dan perguruan tinggi

c) Pendidikan IPS perlu dipertegas bahwa

pendidikan IPS tidak “bebas nilai” akan tetapi

justru sarat dengan nilai. Hal ini merupakan

keunggulan konseptual untuk lebih menjelaskan

bahwa ilmu-ilmu social yang menjadi sumber

keilmuan dalam paradigma ilmu soial yang

value based.

d) Perlu keunggulan konseptual lain dengan

pengintegrasian sumber bahannya yang tidak

terbatas pada ilmu-ilmu social akan tetapi

menyangkut agama dan humaniora yang

menjadi keunikan yang membentuk jatidiri

pendidikan IPS

Page 137: SUBKHAN ROJULI

137

e) Semangat menyamakan pendidikan IPS dengan

ilmu-ilmu social perlu diluruskan melalui kajian

epistemology

f) Perlu ditegaskan secara konseptual bahwa

pendidikan IPS adalah bukan ilmu-ilmu social

dan ilmu-ilmu social bukan pendidikan IPS

g) Mengenai hubungan pendidikan IPS dengan

Ilmu-Ilmu Sosial, perlu dikembangkan secara

tegas akan perbedaan misi dan tujuan serta

landasan dasar epistemology yang memperkuat

paradigm pendidikan IPS sebagai disiplin

keilmuan yang memiliki perbedaan dengan

ilmu-ilmu social dan ilmu pendidikan

h) Pendidikan IPS perlu memperjelas logika

internal keilmuan dari kedua bidang kajian

pendidikan IPS dan Ilmu-Ilmu Sosial sangat

dibutuhkan bagi upaya kerjasama akademik

dalam memperkuat pendidikan IPS sebagai

kajian pendidikan disiplin keilmuan

i) Pengembangan konseptual pendidikan IPS perlu

diperkuat dengan rekonstruksi paradigm

Page 138: SUBKHAN ROJULI

138

pendekatan dan metodologi penelitian sekaligus

untuk memperkuat pendidikan IPS dengan

dukungan hasil penelitian, mengembangkan dan

memproduksi teori-teori yang menopang

pengembangan epistemologinya.

10. Strategi Pengembangan Kemampuan Berpikir

dan Nilai Dalam Pendidikan IPS

Pendidikan IPS sebagai salah satu program

pendidikan dihadapkan kepada tantangan untuk

mempersiapkan manusia Indonesia yang mampu

berkiprah dalam kehidupan masyarakat modern.

Namun dewasa ini dihadapkan kepada masalah

peningkatan kualitas yang amat serius, bahkan

diduga dapat mengancam eksistensinya dalam

kurikulum persekolahan. Seiring dengan kondisi

tersbut, peningkatan kualitas pendidikan IPS perlu

ditingkatkan. Diantara alternatifnya adalah dengan

memfungsionalkan pendidikan nilai sebagai

media pengembangan naturalistic inquiry

(Suwarma Al Muchtar, 2014 : 57-58).

Page 139: SUBKHAN ROJULI

139

Pengembangan kemampuan berpikir, terkait

dengan asumsi bahwa berpikir merupakan potensi

manusia yang perlu secara sengaja dikembangkan

untuk mencapai kapasitas optimal. Proses

pendidikan dalam konteks ini merupakan sarana

untuk mengembangkannya. Kemampuan berpikir

dianggap sebagai sumber daya yang amat vital

bagi suatu bangsa, karena itu dibutuhkan dari

kaum pendidik untuk menyelenggarakan

pendidikan berpikir (Costa Arthur L, 1985 dalam

Al Muchtar, dkk; 2014 : 20).

Page 140: SUBKHAN ROJULI

140

BAB VII

TEORI-TEORI YANG MELANDASI INOVASI

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS

A. Daftar Teori Pembelajaran dan

Penemunya

ACT-R (John Anderson)

Adult Learning Theory (P. Cross)

Algo-Heuristic Theory (L. Landa)

Andragogy (Malcolm Knowles)

Anchored Instruction (John Bransford)

Aptitude-Treatment Interaction (L. Cronbach & R.

Snow)

Attribution Theory (B. Weiner)

Cognitive Dissonance Theory (L. Festinger)

Cognitive Flexibility Theory (R. Spiro)

Cognitive Load Theory (J. Sweller)

Component Display Theory (M. David Merrill)

Conditions of Learning (Robert Gagne)

Connectionism (Edward Thorndike)

Constructivist Theory (Jerome Bruner)

Page 141: SUBKHAN ROJULI

141

Contiguity Theory (Edwin Guthrie)

Conversation Theory (Gordon Pask)

Criterion Referenced Instruction (Robert Mager)

Double Loop Learning (C. Argyris)

Drive Reduction Theory (C. Hull)

Dual Coding Theory (A. Paivio)

Elaboration Theory (C. Reigeluth)

Experiential Learning (C. Rogers)

Functional Context Theory (Tom Sticht)

Genetic Epistemology (J. Piaget)

Gestalt Theory (M. Wertheimer)

GOMS (Card, Moran & Newell)

General Problem Solver (A. Newell & H. Simon)

Information Pickup Theory (J.J. Gibson)

Information Processing Theory (G.A. Miller)

Lateral Thinking (E. DeBono)

Levels of Processing (Craik & Lockhart)

Minimalism (J. M. Carroll)

Model Centered Instruction and Design

Layering(Andrew Gibbons)

Page 142: SUBKHAN ROJULI

142

Modes of Learning (D. Rumelhart & D. Norman)

Multiple Intelligences (Howard Gardner)

Operant Conditioning (B.F. Skinner)

Originality (I. Maltzman)

Phenomenonography (F. Marton & N. Entwistle)

Repair Theory (K. VanLehn)

Script Theory (Roger Schank)

Sign Theory (E. Tolman)

Situated Learning (J. Lave)

Soar (A. Newell et al.)

Social Development (L. Vygotsky)

Social Learning Theory (A. Bandura)

Stimulus Sampling Theory (W. Estes)

Structural Learning Theory (J. Scandura)

Structure of Intellect (J. Guilford)

Subsumption Theory (D. Ausubel)

Symbol Systems (G. Salomon)

Triarchic Theory (R. Sternberg)

Transformational Theory (J. Mezirow)

Page 143: SUBKHAN ROJULI

143

B. Contoh Aplikasi Teori Belajar Dalam Pembelajaran Sosial

1. Teori Kontruktivisme Vygotsky

Teori Konstruktivisme Vygotsky atau

Pendekatan Kontruktivis Sosial adalah pendekatan

yang menekankan pada konteks social dari

pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun

dan dikonstruksi secara bersama (mutual). Menurut

Vygotsky, bahwa pengetahuan yang diperoleh

individu dari interaksi social di pengaruhi oleh

kultur; misalnya, kultur bisa menentukan keahlian

apa yang penting (seperti keahlian computer,

ketrampilan sosial dan soft skills) (Santrock, 2013,

hlm. 406).

Teori pembelajaran konstruktivis adalah

teori yang menyatakan bahwa masing-masing

pembelajar harus menemukan dan mengubah

informasi yang rumit, dengan memeriksa informasi

yang baru terhadap aturan lama dan merevisi

aturan apabila hal itu tidak berguna (Slavin, 2011,

hlm. 4). Pandangan ini mempunyai implikasi yang

sangat besar bagi pengajaran, karena itu

Page 144: SUBKHAN ROJULI

144

menyarankan hal yang lebih jauh lebih aktif bagi

siswa dalam pembelajaran.

Vygotsky menyatakan bahwa lingkungan

social sangat penting bagi pembelajaran dan

berpikir bahwa interaksi-interaksi social mengubah

dan mentransformasi pengalaman-pengalaman

belajar (misalnya program magang, kolaborasi)

akan menstimulasi proses-proses perkembangan

dan mendorong pertumbuhan kognitif (Schunk,

2012, hlm. 339). Magang atau yang sekarang

disebut Praktek Kerja Industri merupakan

implementasi pembelajaran kontruktivisme sebagai

wadah bagi peserta magang untuk

mentransformasikan pengalaman-pengalama

mereka berdasarkan pengetahuan dan karakteristik

pengetahuan mereka, dan mereka mengorganisasi

ulang elemen kognitif mereka lewat interaksi

social.

Perkembangan kognitif tergantung pada

pengembangan kapabilitas dalam menggunakan

stimuli artificial atau isyarat untuk menguasai

Page 145: SUBKHAN ROJULI

145

pemikiran yang dipunyai oleh setiap individu.

Factor-faktor individual atau keturunan

mempengaruhi perkembangan. Tahapan dalam

proses panjang ini adalah tahap alamiah, psikologi

naïf, penggunaan lambang atau isyarat eksternal

mengonstruksi stimuli verbal internal (penggunaan

internal). Anak kecil, misalnya, tidak bias

menggunakan gambar sebagai petunjuk untuk

mengingat seperangkat kata. Akan tetapi orang

dewassa mengonstruksi relasi verbal yang

kompleks sebagai bantuan ingatan (Gredler, 2011,

hlm. 392).

Vygotsky mengidentifikasi dua hukum

yang berkaitan dengan penggunaan lambang.

Hukum pertama menyatakan arti penting transmisi

dari bentuk perilaku langsung atau alamiah ke

penggunaan lambang dalam tugas kognitif. Hukum

lainnya menekankan restrukturisasi pemikiran yang

terjadi dalam transisi dari pengandalan lambing

eksternal (stimuli bantuan) ke pemikiran verbal

internal. Lambang-lambang adalah stimuli artificial

Page 146: SUBKHAN ROJULI

146

yang diperkenalkan ke dalam tugas psikologis yang

mengubah hakikat dari aktivitas mental (Gredler,

2011, hlm. 384-385).

Vygotsky berpendapat bahwa, tidak seperti

hewan yang hanya bereaksi terhadap lingkungan,

manusia memiliki kapasitas untuk mengubah

lingkungan sesuai dengan keperluan mereka.

Kapasitas adaptif ini membedakan manusia dari

bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah

darinya. Vygotsky berupaya menjelaskan pikiran

manusia dengan cara-cara baru. Ia menolak

instropeksi dan memunculkan banyak lagi

keberatan yang sama dengan keberatan para

behavioris. Ia tidak ingin menjelaskan tentang

kondisi-kondisi pikiran sadar dengan mengacu

pada konsep kesadaran. Ia juga menolak

penjelasan-penjelasan para behavioris tentang

tindakan dalam kaitannyadengan tindakan-tindakan

sebelumnya. Ia mencari jalan tengah yang

memperhitungkan pengaruh lingkungan melalui

Page 147: SUBKHAN ROJULI

147

efeknya terhadap kesadaran (Schunk, 2011, hlm.

338-339).

Menurut Vygotsky, dalam menguasai

proses-proses eksternal dari transmisi

perkembangan cultural dan berpikir yang paling

berpengaruh adalah proses bahasa (komunikasi)

disamping alat-alat psikologis yang lain seperti

tanda-tanda dan symbol-simbol. Setelah proses

bahasa, langkah selanjutnya adalah menggunakan

symbol-simbol tersebut untuk mempengaruhi dan

mengatur sendiri pikiran-pikiran dan tindakan-

tindakan. Jadi lingkungan social mempengaruhi

kognisi melalui “alat-alat”nya – yaitu, obyek-

obyek kulturalnya (misalnya; mobil, mesin) serta

bahasa dan institusi-institusi sosialnya (misalnya;

sekolah, gereja). Interaksi social-interaksi social

membantu mengoordinasikan tiga pengaruh

tersebut terhadap perkembangan (Schunk, 2011,

hlm. 340).

Vygotsky menekankan pentingnya

masyarakat dan budaya dalam mendorong

Page 148: SUBKHAN ROJULI

148

pertumbuhan kognitif sehingga teorinya terkadang

sering disebut sebagai perspektif sosiokultural

(sociocultural perspective). Vygotsky

mengemukakan tentang konstruksi makna secara

social, yaitu bahwa orang dewasa membantu anak

melekatkan makna ke berbagai objek dan peristiwa

di sekeliling mereka. Interaksi semacam ini disebut

pengalaman belajar yang dimediasi (mediated

learning experience). Pengalaman-pengalaman

anak umumnya terjadi di bagian-bagian aktivitas

yang kurang penting; dan keterlibatan mereka

seringkali dimediasi (dipandu), dibimbing secara

bertahap dan disupervisi melalui partisipasi

terbimbing (guided participation). Pemagangan

atau yang sekarang disebut Praktek Kerja Industri

adalah sebuah bentuk partisipasi terbimbing yang

sangat intensif, yakni seorang pemula atau “anak

bawang” bekerja bersama seorang pakar dalam

rangka mempelajari cara-cara melakukan berbagai

tugas yang kompleks dalam suatu ranah tertentu

(Slavin, 2011, hlm. 61; 65-66).

Page 149: SUBKHAN ROJULI

149

Teori sosiokultural Vygotsky menjelaskan

tentang pembelajaran manusia sebagai proses

sosial dan asal mula kecerdasan manusia dalam

masyarakat atau budaya. Tema utama teori

Vygotsky dalam kerangka kerja adalah bahwa

interaksi sosial memainkan peran mendasar dalam

pengembangan kognisi. Menurut Vygotsky bahwa

pengetahuan atau keterampilan dapat dipelajari

pada dua tingkat. Pertama, melalui interaksi

dengan orang lain, dan kemudian diintegrasikan ke

dalam struktur mental individu. Setiap fungsi

dalam perkembangan budaya anak muncul dua

kali: pertama, pada tingkat sosial, dan kemudian,

pada tingkat individu; pertama, antara orang

(interpsikologis) lalu di dalam anak

(Intrapsikologis). Hal ini berlaku juga untuk

perhatian, memori logis, dan pembentukan konsep

berasal dari hubungan aktual antar individu

(Vygotsky, 1978, hlm.57). Aspek kedua teori

Vygotsky adalah gagasan bahwa potensi

perkembangan kognitif terbatas pada sebuah "Zone

Page 150: SUBKHAN ROJULI

150

Proximal Development" (ZPD). "Zona" ini adalah

area eksplorasi dimana siswa tersebut berada dan

disiapkan secara kognitif, namun membutuhkan

pertolongan dan interaksi sosial untuk berkembang

sepenuhnya. Seorang guru atau rekan yang lebih

berpengalaman mampu memberi pembelajaran

yang mendukung perkembangan siswa tentang

pemahaman tentang domain pengetahuan atau

pengembangan keterampilan yang kompleks.

Pembelajaran kolaboratif, wacana, pemodelan, dan

intervensi adalah strategi untuk mendukung

pengetahuan dan keterampilan intelektual. Berikut

gambar mengenai zona pengembangan proximal

menurut Vygotsky.

Page 151: SUBKHAN ROJULI

151

Sumber : Vygotsky (1978, hlm.57)

Gambar : Zone Proximal Development

Inti teori pembelajaran konstruktivis adalah

bahwa siswa harus membangun pengetahuan

dalam pikiran mereka sendiri dengan menemukan

atau menerapkan sendiri dan .yang ada dalam

dirinya melalui interaksi social dengan

memperhatikan alat-alat psikologis yang tersedia

(tanda-tanda, symbol-simbol dan lambing-

lambang) untuk memperoleh pengetahuan atau

Page 152: SUBKHAN ROJULI

152

keterampilan yang diinginkan (Slavin, 2011;

Santrock, 2013; Schunk, 2011; Gredler, 2011).

Konsep bahwa pelajar membangun

pengetahuan mereka sendiri dari pengalaman

disebut dengan teori konstruktivistik. (Fosnot,

1996; Martin, 2009, hlm. 196). Pembentukan

pengetahuan menurut konstruktivistik memandang

subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif

dalam interaksinya dengan lingkungan.

Konstruktivistik adalah suatu teori belajar yang

mempunyai akar dalam psikologi dan filsafat. Inti

dari konstruktivistik yang penting adalah pelajar

dengan aktif membangun pemikiran dan

pengetahuan mereka sendiri dari pengalaman

mereka. (Fosnot, 1996; Steffe & Gale, 1995).

Suatu pendekatan konstruktivistik dalam

ilmu pendidikan lebih difokuskan pada bagaimana

peserta didik berpikir dan berinteraksi dengan

lingkungan fisik dan lingkungan alami. (Chaile dan

Britain, 2003, hlm. 15). Konstruktivistik percaya

bahwa masing-masing pelajar harus membangun

Page 153: SUBKHAN ROJULI

153

pengetahuan mereka sendiri dan hanya belajar

yang berlangsung dengan lingkungan dapat

dikaitkan pada perolehan pengetahuan individu,

pengalaman, atau pengetahuan konseptual. Apa

yang anak-anak pelajari bukanlah suatu salinan

dari apa yang mereka amati dalam lingkungan,

melainkan hasil dari berpikir dan proses belajar

mereka sendiri. (Martin, 2009, hlm. 199).

Konstruktivistik berarti bahwa pengalaman

yang baru diinternalisasikan dengan

menghubungkannya dengan pengalaman masa lalu

dan bagian-bagian dari pengetahuan. (Rockmore,

2005, hlm. 30). Konstruktivistik mengakui adanya

peran aktif pelajar di dalam penciptaan

pengetahuan pribadi, pentingnya pengalaman

(individu dan sosial) di dalam proses penciptaan

pengetahuan tersebut, dan perwujudan bahwa

pengetahuan yang diciptakan akan bervariasi

dalam derajat kebenaran sebagai gambaran dari

suatu kenyataan yang akurat. (Doolittle dan Camp,

1999).

Page 154: SUBKHAN ROJULI

154

Desain lingkungan belajar yang efektif

terus memberikan arti penting dengan

ketidakpuasan yang tumbuh pada sistem

pendidikan di tingkat sekolah dasar dan menengah.

Telah terjadi fluktuasi dalam strategi pada kedua

tingkatan tersebut, tetapi selama dua dekade

terakhir dapat dibantah dengan pendekatan yang

dominan dalam merancang pembelajaran yaitu

kerangka konseptual yang disebut

"konstruktivistik." (Tobias dan Duffy, 2009, hlm.

3). Glasersfeld (1995, hlm. 5) percaya bahwa

pendekatan konstruktivistik sosial dalam

pengembangan konseptual dapat membantu

memperbaiki hubungan antara guru dengan siswa

dan antar siswa, penciptaan materi sangat

diutamakan melalui tugas dimana guru dapat

memiliki banyak pengalaman daripada teori.

Pada praktik kerja industri, konstruktivistik

sosial menyiratkan suatu format pembelajaran di

mana para siswa secara penuh dilibatkan,

menemukan proses yang menyenangkan, dan

Page 155: SUBKHAN ROJULI

155

menghubungkan gagasan mereka dengan dunia

nyata sebagai suatu yang pantas untuk

dipertimbangkan. Hanya dengan cara ini mereka

dapat berpartisipasi dalam membangun

pengetahuan mereka dan memperoleh kebiasaan

yang membuat mereka belajar sepanjang hayat.

(Beck dan Kosnik, 2006, hlm. 2).

2. Teori Experiential Learning

Experiential learning diartikan sebagai

proses di mana pengetahuan diciptakan melalui

perubahan bentuk pengalaman dengan pengetahuan

sebagai hasil dari kombinasi menyerap dan

menjelmakan pengalaman. Experiential Learning

Theory (ELT) menyediakan suatu model yang

holistic menyangkut proses belajar dan suatu

model multilinear dari pengembangan orang

dewasa, kedua-duanya konsisten dengan apa yang

kita fahami tentang bagaimana orang-orang belajar,

tumbuh, dan berkembang. Teori ini disebut

"Experiential Learning" yang menekankan peran

Page 156: SUBKHAN ROJULI

156

sentral pengalaman dalam proses belajar, suatu

penekanan yang menciri ELT dari teori belajar

lainnya. Istilah "experiential" digunakan untuk

membedakan ELT dengan teori belajar kognitif,

yang cenderung menekankan dampak kognisi dan

teori belajar behavior yang menyangkal peran

pengalaman subjektif dalam proses belajar.

Experiential Learning Theory

menggambarkan belajar sebagai proses dimana

pengetahuan diciptakan melalui perubahan bentuk

pengalaman. Pengetahuan diakibatkan oleh

kombinasi menyerap dan mengaplikasikan

pengalaman (Kolb, 1984: 21; Kolb dan Boyatzis,

1999, hlm. 2). ELT model melukiskan dua gaya

yang terkait dalam menyerap pengalaman yaitu

Pengalaman Nyata (CE) dan Conceptualisasi

abstrak (AC) dan dua gaya yang terkait dalam

mengaplikasikan pengalaman yaitu Pengamatan

Reflektif (RO) dan Percobaan Aktif (AE).

Pembelajaran Experiential adalah suatu proses

Page 157: SUBKHAN ROJULI

157

dalam membangun pengetahuan yang melibatkan

suatu tegangan kreatif di antara empat gaya belajar.

Proses ini diaktualisasikan pada praktik

kerja industri di mana siswa langsung mengalami;

mencoba, merefleksikan, berpikir, dan bertindak

sebagai suatu proses berulang dalam merespon

situasi pembelajaran dan apa yang sedang

dipelajari pada dunia nyata. Pengalaman nyata

menjadi basis untuk refleksi dan pengamatan.

Refleksi dan pengamatan ini berasimilasi dan

disaring ke dalam konsep abstrak dari implikasi

baru untuk tindakan yang dapat ditarik. Implikasi

ini dapat dengan aktip diuji dan bertindak sebagai

pemandu di dalam menciptakan pengalaman baru.

ELT sebagai model belajar menyatakan

bahwa belajar memerlukan kemampuan yang

berlawanan, dan bahwa pelajar harus secara terus

menerus memilih kemampuan belajar yang

digunakannya di dalam suatu situasi belajar yang

spesifik. Di dalam menyerap pengalaman, sebagian

dari kita merasa informasi baru diperoleh melalui

Page 158: SUBKHAN ROJULI

158

pengalaman konkrit, terukur, merasakan kualitas

dunia, berdasarkan pada pikiran sehat dan diri kita

tenggelam di dalam realitas yang nyata.

Proses pembelajaran dengan pendekatan

experiential learning dapat dilihat dari langkah-

langkah pembelajaran yang tertuang dalam model

yang digunakan. Terdapat beberapa model

experiential learning, diantaranya yang

disampaikan oleh David Kolb (1984, hlm. 21)

terdapat tiga model pembelajaran dengan

pendekatan experiential learning.

2.1. Model dari Lewin

Model yang dikembangkan oleh Lewin

dikenal dengan nama “Action Research and

Laboratory Training”. Model ini mengungkapkan

bahwa belajar, perubahan dan pertumbuhan

merupakan proses yang terintegrasi, proses ini

dimulai dari menghayati pengalaman sekarang dan

“disini” (here and now experience), kemudian

dilanjutkan dengan pengumpulan data dan

Page 159: SUBKHAN ROJULI

159

observasi terhadap pengalaman tersebut serta

analisis data. Kesimpulan yang dihasilkan

kemudian menjadi dasar untuk memodifikasi

perilaku dan memilih pengalaman baru.

Menurut Lewin model tersebut merupakan

sebuah siklus yang terdiri dari empat langkah

sebagai berikut :

Sumber: David Kolb (1984

Gambar : Belajar Melalui Pengalaman Menurut

Lewin

Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa

pengalaman konkrit melandasi bagi kegiatan

observasi dan refleksi. Berdasarkan observasi dan

Page 160: SUBKHAN ROJULI

160

refleksi tersebut akan terbentuk konsep-konsep

abstrak dan generalisasi. Hasil dari observasi dan

refleksi berasimilasi dengan teori sehingga dapat

diterapkan dalam situasi yang berbeda. Implikasi

dari penerapan konsep tersebut akan menjadi

panduan dalam terbentuknya pengalaman baru

melalui pengalaman konkrit berikutnya.

Ada dua hal yang penting dalam model ini,

yang pertama penekanan pada pengalaman konkrit

sekarang dan disini dan kaji tindak, yang kedua

penekanan pada kaji tindak dan latihan

laboratorium (action reserach and laboratory

training) yang didasarkan pada proses balikan.

2.2. Model dari Dewey

Model pembelajaran yang disampaikan oleh

Dewey juga menekankan pada balikan (feed back).

Istilah balikan ini digunakan untuk menjelaskan

bagaimana belajar mengubah getaran-getaran

(impulses), perasaan, keinginan dan pengalaman

konkrit ke dalam tindakan yang memiliki tujuan

Page 161: SUBKHAN ROJULI

161

yang lebih tinggi. Model ini dapat digambarkan

sebagai berikut :

Sumber: David Kolb (1984)

Gambar : Belajar Melalui Pengalaman Menurut Dewey

Menurut model pembelajaran dengan

pendekatan yang disampaikan oleh Dewey belajar

adalah proses dialekis yang mengintegrasikan

pengalaman dengan konsep, observasi dan

tindakan. Getaran-getaran pengalaman

memberikan ide dan ide-ide tersebut memberikan

arah terhadap getaran selanjutnya. Akhirnya dari

proses belajar tersebut terjadi perumusan tujuan.

Page 162: SUBKHAN ROJULI

162

Perumusan tujuan tersebut mencakup tiga hal

yaitu:

1) Observasi keadaan sekeliling

2) Pengetahuan tentang apa yang terjadi pada

kondisi yang sama di saat yang lalu.

3) Pertimbangan yang menggabungkan apa

yang diobservasi dengan apa yang diingat

untuk menentukan pengetahuan yang

signifikan.

2.3 Model dari Piaget

Piaget mengemukakan unsur pokok

belajar terletak pada interaksi yang saling

menguntungkan antara proses akomodasi konsep

atau skemata terhadap pengalaman nyata dengan

proses asimilasi peristiwa dan pengalaman

terhadap konsep dan skemata yang dimiliki.

Dalam hal ini Piaget menggunakan istilah belajar

sebagai “adaptasi inteligensi”.

Belajar menurut Piaget adalah hasil

keseimbangan antara proses akomodasi dan

Page 163: SUBKHAN ROJULI

163

asimilasi tersebut. Ketika proses akomodasi

mendominasi asimilasi, terjadi proses imitasi yaitu

peniruan terhadap segala sesuatu yang ada

dilingkungan. Ketika asimilasi mendominasi

akomodasi terjadi penekanan pada konsep atau

kesan tanpa memperhatikan kenyataan

lingkungan. Proses pertumbuhan kognitif dari hal-

hal yang konkrit menuju hal-hal yang abstrak dan

dari tindakan menuju refleksi didasarkan pada

transaksi yang berkesinambungan antara

asimilasi dan akomodasi. Proses ini terjadi

dimana tahap sebelumnya sudah dikuasai sebelum

berlanjut pada tahap yang lebih tinggi dari fungsi

kognitif.

Ada beberapa perkembangan kognitif yang

perlu diketahui dalam proses belajar menurut

Piaget diantaranya :

1) Tahap sensorimotor

Berlangsung mulai dari lahir sampai

usia 2 tahun. Gaya belajar anak lebih konkrit

dan aktif. Belajar didominasi aktivitas melalui

Page 164: SUBKHAN ROJULI

164

perasaan, sentuhan dan penanganan.

2) Tahap preoperasional

Berlangsung mulai dari usia 2 tahun

hingga 6 tahun. Anak masih berorientasi pada

hal-hal konkrit tetapi sudah mulai mengubah

hal-hal konkrit tersebut menjadi gambaran

atau imajinasi (abstrak).

3) Tahap Operasi Konkret

Berlangsung pada usia 7 tahun sampai

11 tahun. Perkembangannya sudah mulai

bersifat simbolis-abstrak. Belajar pada tahap ini

diarahkan pada logika pengelompokan dan

hubungan. Pada tahap ini anak menggunakan

konsep dan teori untuk memilih dan

membentuk pengalaman.

4) Tahap operasi formal

Berlangsung pada usia 12 tahun

sampai 15 tahun. Kemampuan kognitif anak

bergerak dari proses simbolik yang didasarkan

pada operasi konkrit menuju proses simbolik

yang didasarkan pada logika. Anak sudah dapat

Page 165: SUBKHAN ROJULI

165

mengkaji suatu masalah dari berbagai segi

sehingga mereka mampu mengajukan ide atau

alternatif jawaban untuk suatu masalah.

Dari perkembangan kognitif anak di atas, jika

dipadukan dengan proses belajar maka dihasilkan model

belajar sebagai berikut :

Page 166: SUBKHAN ROJULI

166

Sumber: David Kolb (1984)

Gambar : Model Belajar dan Perkembangan

Kognitif dari Piaget

2.4. Model Kolb

Kolb's (1984) menggambarkan belajar

sebagai proses menciptakan pengetahuan.

Disamping model Lewin, Dewey, dan Piaget, Kolb

mengusulkan suatu model siklus untuk experiential

Learning dengan empat langkah. Yang

digarisbawahi dalam model ini adalah dua dimensi

komplementer: menyerap informasi dan kemudian

menjelmakan informasi itu.

Page 167: SUBKHAN ROJULI

167

Sumber : David Kolb (1984)

Gambar : Model Experiential Learning David Kolb

Kolb menyatakan bahwa proses belajar

dapat mulai dari tahap manapun. Akan tetapi pada

model experiential learning, "Concrete

Experience" bertindak sebagai titik awal. Pada

langkah ini, pelajar mempunyai interaksi langsung

dengan peristiwa yang sedang dipelajari. Selama

langkah ini, pelajar menyerap informasi

menggunakan pikiran sehat dengan melihat,

Page 168: SUBKHAN ROJULI

168

mendengar, membaui, merasakan, atau mencicipi

suatu peristiwa. Langkah yang berikutnya adalah

"reflection observation," di mana pelajar

merefleksikan apa yang mereka alami. Selama

langkah ini, informasi diubah melalui intension.

Kolb menguraikan intension sebagai proses

kognitif di mana pelajar secara mental

menguraikan bagian-bagian pengalaman dan

internalisasi informasi. Pada tahap "Abstract

Conceptualization", pelajar menyerap informasi

melalui proses comprehension dengan membentuk

aturan-aturan, generalisasi, atau hipotesis tentang

peristiwa yang sedang dipelajari. Sebagaimana

langkah yang sebelumnya, langkah ini proses

kognitif dilibatkan secara alami dan dapat terjadi di

dalam ketidakhadiran phisik menyangkut peristiwa

itu. Langkah yang terakhir adalah "Active

Experimentation," yang mana ditandai oleh pelajar

menguji aturan-aturan, generalisasi, atau hipotesis

yang telah dibentuk pada langkah yang

sebelumnya. Kolb menyatakan bahwa selama

Page 169: SUBKHAN ROJULI

169

informasi langkah ini ditransformasikan secara

luas, lagi-lagi melibatkan interaksi langsung

dengan suatu peristiwa.

3. Contextual Teaching and Learning (CTL)

Prestasi belajar siswa sering diukur dengan

Tes standar di bidang akademik seperti membaca,

matematika, dan sains. Pada saat yang bersamaan,

ekonomi dan pasar global yang kompetitif

menuntut perubahan dan penyesuaian kurikulum

yang selaras dengan perkembangan. Kemajuan

teknologi harus direspon dengan peningkatan

pengetahuan siswa yang up to date. Oleh karena

itu, perlu pengajaran yang efektif yang sesuai

dengan dunia nyata. Pembelajaran kontekstual

membantu mempersiapkan siswa untuk

menghadapi ekonomi baru. Model pembelajaran

harus bisa membangun dan mengembangkan

pengetahuan siswa serta memfasilitasi integrasi

pengetahuan sebelumnya dan pengalaman,

kemudian menerapkan gagasan ini pada situasi

Page 170: SUBKHAN ROJULI

170

baru. Pendekatan pembelajaran yang digunakan

hendaknya mencakup instruksi yang langsung

dengan menawarkan keterampilan yang

dibutuhkan.

Contextual Teaching and Learning (CTL)

adalah pengajaran dan pembelajaran yang

membantu guru menghubungkan konten dengan

topik ke situasi dunia nyata dan memotivasi siswa

menghubungkan antara pengetahuan dan

penerapannya ke kehidupan mereka sebagai

anggota keluarga, warga negara, dan pekerja dan

terlibat dalam kerja keras yang dibutuhkan

pembelajaran (Berns dan Ericson, 2001, hlm. 2).

Pembelajaran ini dipraktikkan dengan

mendekatkan pada pekerjaan yang sedang berjalan

dan melibatkan diri pada proses tersebut. Dengan

demikian, CTL membantu siswa menghubungkan

konten yang mereka pelajari ke teks konteks

kehidupan di mana konten itu bisa digunakan.

Siswa kemudian menemukan makna dalam proses

belajar. Ketika mereka berusaha mencapai tujuan

Page 171: SUBKHAN ROJULI

171

belajar, mereka memanfaatkan pengetahuan aktual

mereka dan membangun pengetahuan yang ada.

Dengan mempelajari mata pelajaran secara terpadu

dan multidisiplin, dan dalam konteks yang sesuai,

mereka dapat menggunakan pengetahuan dan

keterampilan yang sesuai dengan konteks.

Pembelajaran Kontekstual (CTL) dapat

didefinisikan sebagai cara mengenalkan

pengetahuan atau keterampilan dengan

menggunakan berbagai teknik pembelajaran aktif

yang dirancang untuk membantu siswa terhubung

dengan konteks nyata (Wishler, 2007, hlm. 54).

Apa yang mereka sudah tahu, apa yang mereka

harapkan dalam belajar, dan untuk membangun

pengetahuan baru dari analisis dan sintesis proses

dalam pembelajaran ini dapat diterapkan. Aktivitas

otak selama proses belajar menggambarkan

perubahan fisiologis dan koneksi yang terjadi

selama kegiatan pembelajaran. Belajar dalam CTL

adalah konsepsi pengajaran dan pembelajaran itu

membantu guru menghubungkan konten materi

Page 172: SUBKHAN ROJULI

172

dengan dunia nyata dan memotivasi siswa untuk

membuat koneksi antara pengetahuan dan

aplikasinya terhadap kehidupan. Dengan belajar

mata pelajaran secara terpadu, multidisiplin dan

masuk konteks yang tepat, mereka dapat

menggunakan pengetahuan dan keterampilan

dalam konteks yang nyata. Prinsip pengajaran

kontekstual membantu siswa memperoleh ilmu

dari pembelajaran yang autentik dan meningkatkan

keberhasilan siswa dengan memberikan

kesempatan mereka membuat koneksi saat mereka

mengkonstruksi pengetahuan. CTL sebagai sebuah

cara untuk mengenalkan konten menggunakan

berbagai teknik belajar aktif yang dirancang untuk

membantu siswa menghubungkan apa yang telah

mereka ketahui dengan apa yang mereka harapkan

untuk dipelajari, dan untuk membangun

pengetahuan baru dari analisis dan sintesis proses

belajar ini.

Contoh teori dan tema yang berkaitan

dengan CTL mengikuti: konstruktivisme berbasis

Page 173: SUBKHAN ROJULI

173

pengetahuan. Instruksi langsung dan aktivitas

konstruktivis dapat menjadi kompatibel dan efektif

dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Teori ini

berbasis kecerdasan dengan menentang gagasan

bahwa kemampuan seseorang tidak dapat diubah.

Dalam praktik kerja industri terjadi pembelajaran

yang kontekstual sesuai dengan dunia nyata. Akan

tetapi perolehan keterampilan tergantung

perjuangan dan motivasi masing-masing individu

untuk berkomitmen terlibat dalam aktivitas. Dalam

CTL praktik kerja industri, siswa dapat

mempelajari standar, nilai, dan pengetahuan

masyarakat industri dengan menerima tantangan

kerja untuk menemukan solusi yang tidak mudah

dipahami, bersamaan dengan konsep yang

membutuhkan telaah serius. Memang, belajar

adalah proses yang sangat penting, yang

membutuhkan intervensi sosial dan budaya untuk

dipertimbangkan selama pembelajaran. Pendekatan

kontekstual mengenali bahwa pembelajaran adalah

proses yang kompleks dan beragam yang

Page 174: SUBKHAN ROJULI

174

memerlukan strategi pembelajaran yang tepat.

Atribut CTL ini mencakup pendekatan

interdisipliner dan kontekstualnya, pendekatan

yang dapat digunakan untuk menerapkannya,

faktor-faktor yang menjawab kebutuhan individual

siswa, dan kemampuan guru. Tujuannya juga agar

tingkat pembelajaran meningkat sehingga siswa

dapat lebih memahami situasi di tempat kerja

(misalnya, orang-orang yang hadir di tempat kerja),

mengidentifikasi dan mengatasi masalah secara

efektif, membuat Keputusan dengan tepat, dan

berpikir kreatif.

4. Work Based Learning (WBL) atau Pembelajaran

Berbasis Kerja

Work Based Learning (WBL) atau

Pembelajaran Berbasis Kerja adalah pembelajaran

yang terjadi di lingkungan kerja, melalui partisipasi

dalam praktik dan proses kerja, dan merupakan

bagian integral dari pendidikan kejuruan dan

pelatihan (NCVER, 2016, hlm. 3). Pembelajaran

Page 175: SUBKHAN ROJULI

175

ini terdiri dari serangkaian program dan kegiatan di

mana teori pembelajaran sengaja diintegrasikan

dengan praktik kerja melalui kurikulum, praktik

pedagogik dan keterlibatan siswa yang dirancang

khusus. Pembelajaran berbasis kerja memerlukan

keterlibatan pengusaha dan industri. Kunci

keberhasilan dalam pembelajaran ini mencakup

informasi yang jelas, komunikasi yang

berkelanjutan, fleksibilitas dengan pendekatan,

guru yang berkomitmen dan terampil yang

mendukung siswa, melibatkan siswa, keterlibatan

organisasi perantara untuk mengatur dan

memfasilitasi kegiatan, dan komitmen para

pemimpin bisnis dan pendidikan.

Pembelajaran berbasis pekerjaan dalam

pendidikan kejuruan dan pelatihan adalah

pembelajaran yang terjadi di lingkungan kerja

nyata melalui partisipasi dalam kegiatan dan

interaksi kerja yang menekankan pembelajaran

melalui latihan di tempat kerja. Pembelajaran

berbasis kerja memberi siswa kesempatan untuk

Page 176: SUBKHAN ROJULI

176

mengembangkan konsep praktis dan konseptual.

Keterampilan yang terkait dapat dipraktikkan di

tempat kerja. Pembelajaran berbasis kerja

tercantum dalam kurikulum dan secara formal

merupakan tujuan didirikannya SMK yang dicapai

melalui pengalaman praktik magang. WBL

memfasilitasi siswa untuk belajar dengan tugas-

tugas baru dalam lingkungan kerja (Schuh, 2015,

hlm. 87)

Pembelajaran berbasis kerja membantu

siswa mengenalkan berbagai kegiatan kerja dan

membantu siswa tersebut memahami pekerjaan,

karier, dan keterampilan yang penting dalam

lingkungan kerja saat ini. Pembelajaran berbasis

kerja dapat dilaksanakan di tempat kerja, di

sekolah, atau di masyarakat. Pembelajaran berbasis

pekerjaan menjadi tiga kategori (Change The

Equation, 2015, hlm. 3) :

a) Kesadaran karir, kegiatan ini dirancang untuk

membantu siswa mengembangkan kesadaran

dasar akan pekerjaan dan karir dengan

Page 177: SUBKHAN ROJULI

177

berinteraksi dengan profesional kerja,

membantu siswa memahami persyaratan

pendidikan dan keterampilan untuk sukses di

berbagai bidang. Contoh kegiatan ini meliputi

pameran karir dan kunjungan kelas kepada

para profesional yang bekerja.

b) Eksplorasi karir, kegiatan ini memberi siswa

kesempatan yang lebih mendalam untuk

belajar tentang pekerjaan dan karir di bidang

tertentu. Siswa berinteraksi dengan profesional

yang bekerja di lingkungan kerja. Dalam

beberapa kasus, siswa benar-benar bisa

mengalami aktivitas kerja dan persyaratan dari

tempat kerja modern. Contoh kegiatan

eksplorasi karir meliputi interview kerja,

wawancara informasi, dan tur perusahaan.

c) Persiapan karir, kegiatan ini memberi siswa

kesempatan untuk mendapatkan pengalaman

kerja aktual yang mendukung pengembangan

keterampilan kerja utama. Contoh kegiatan

Page 178: SUBKHAN ROJULI

178

persiapan karir meliputi magang kerja, dan

pekerjaan part time.

Penempatan kerja melalui work based

learning terbukti sangat berguna memberikan

kontribusi pada pengalaman belajar siswa baik dari

segi pengetahuan dan keterampilan khusus, dan

mengembangkan keterampilan interpersonal,

intrapersonal dan antarbudaya mereka (Moise et al,

2013, hlm. 1045). Sebagian besar kerangka kerja

kurikulum yang mencakup pembelajaran berbasis

kerja difokuskan pada berbagai keterampilan, di

antaranya keterampilan pribadi dan sosial,

komunikasi, pemecahan masalah, kreativitas dan

keterampilan organisasi. Spesialis lainnya juga

telah membuktikan efek positif dari penempatan

kerja, karena berkontribusi pada peningkatan dan

pengembangan keterampilan dan pengetahuan

siswa yang diperoleh selama program akademik

mereka. Pengalaman ini dianggap telah melengkapi

siswa dengan kompetensi inti yang dibutuhkan

untuk kesuksesan profesional, keterampilan inter

Page 179: SUBKHAN ROJULI

179

dan intrapersonal, serta kemampuan komunikasi,

ditambah dengan kerja sama tim dan kesadaran

akan budaya tempat kerja.

Penempatan kerja merupakan indikator

positif dari kemampuan kerja, karena para siswa

diberi wewenang untuk membangun pengetahuan

dan keterampilan subjek akademik, sementara

mereka menemukan diri mereka dalam lingkungan

yang ideal dimana mereka dapat mengembangkan

keterampilan yang lembut dan dapat

dipindahtangankan, seperti kemampuan

interpersonal, komunikasi dan kemampuan

manajemen diri, yang sangat dibutuhkan oleh

pengusaha saat ini. Manfaat nyata lainnya adalah

kenyataan bahwa siswa menjadi sadar akan proses

belajar mereka sendiri, dan lebih mampu

mengelola kinerja akademis dan profesional

mereka. Mereka menjadi lebih terbiasa dengan

tujuan dan hasil pembelajaran, sambil

mendapatkan wawasan berharga tentang dunia

kerja, yang membuat mereka lebih mandiri,

Page 180: SUBKHAN ROJULI

180

bertanggung jawab, mandiri, dan lebih mudah

menyesuaikan diri dengan persyaratan dunia

profesional yang semakin meningkat saat ini .

Sumber : Schuh (2015, hlm. 84)

Gambar : Target Work Based Learning

Manfaat WBL bisa dikelompokkan menjadi

beberapa aspek (Moise et al, 2013, hlm. 1049) :

Page 181: SUBKHAN ROJULI

181

a) Berkontribusi untuk mengembangkan otonomi

belajar siswa dan keterampilan kewirausahaan

b) Memberdayakan siswa untuk merefleksikan

pengalaman belajar mereka sendiri dan

memanfaatkannya sebaik-baiknya

c) Mengembangkan kreativitas dan pemikiran

analitis siswa, membuat mereka lebih peka

terhadap kebutuhan konsumen dan lebih sadar

akan dunia kerja yang sebenarnya

d) Membantu siswa mendapatkan wawasan lebih

lanjut tentang komunikasi manusia, dan

mengembangkan hubungan antar mereka

e) Mengembangkan keterampilan interpersonal,

membangun rasa percaya diri dan kemampuan

membuat keputusan.

Page 182: SUBKHAN ROJULI

182

BAB VIII

CONTOH PENELITIAN INOVASI

PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS

Judul : Pengembangan Pembelajaran Direktif

Berbasis Observasional Untuk Meningkatkan

Keterampilan Sosial Oleh Subkhan Rojuli

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah

Dalam rangka mewujudkan cita-cita mencerdaskan

kehidupan bangsa, visi pendidikan dan kebudayaan tahun

2025 adalah menghasilkan insan Indonesia yang cerdas

dan kompetitif (insan kamil/paripurna) yaitu insan yang

cerdas secara spiritual, cerdas secara emosional, cerdas

secara sosial, cerdas intelektual dan cerdas secara

kinestetik (Kemendiknas, 2010:30). Profil ideal manusia

Indonesia tersebut juga ditegaskan dalam pasal 3 UU No.

20/2003 :

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

Page 183: SUBKHAN ROJULI

183

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Sekolah Menengah Kejuruan merupakan sekolah

yang menghasilkan siswa yang siap memasuki dunia kerja

dan siap mengisi kebutuhan dunia usaha industri serta

menghasilkan tamatan berjiwa wirausaha. Hal tersebut

telah dituangkan dalam tujuan pembelajaran di Sekolah

Menengah Kejuruan oleh Depdiknas (2004:9), yaitu :

“Untuk membentuk peserta didik sebagai individu

agar memiliki dasar pengetahuan yang luas dan kuat untuk

menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan

yang terjadi di lingkungan sosial, lingkungan kerja, serta

mampu mengembangkan diri sesuai dengan

perkembangan ilmu, pengetahuan, teknologi dan seni.

Dalam upaya untuk menyiapkan peserta didik yang

terampil dan kompetitif yang dapat bersaing di pasar

global, dikembangkan suatu kurikulum berbasis

kompetensi yang terpadu yang mencakup aspek kognitif,

Page 184: SUBKHAN ROJULI

184

psikomotor dan afektif untuk mencapai standar

kompetensi yang diinginkan. Lulusan dari Sekolah

Menengah Kejuruan umumnya belum menguasai

kompetensi pada aspek keterampilan sosial, melainkan

masih terfokus pada aspek pengetahuan dengan budaya

menghafal dan bukan berpikir kritis.

Como dan Snow (dalam Syafruddin, 2001:3)

menilai bahwa model pembelajaran yang

diimplementasikan saat ini masih bersifat konvensional

sehingga siswa sulit memperoleh pelayanan secara

optimal. Selain itu, guru lebih menekankan pada aspek

kebutuhan formal dibanding kebutuhan riil siswa sehingga

proses pembelajaran terkesan sebagai pekerjaan

administratif dan belum mengembangkan potensi anak

secara optimal.

Keterampilan sosial tidak hanya menjadi

kewajiban guru IPS, melainkan menjadi tugas dan

kewajiban setiap guru, karena betapa pentingnya peranan

pembelajaran dalam mengembangkan pengetahuan, nilai,

sikap, dan keterampilan sosial agar para siswa menjadi

warga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang

Page 185: SUBKHAN ROJULI

185

baik. Nilai-nilai sosial sangat penting bagi anak didik,

karena berfungsi sebagai acuan bertingkah laku terhadap

sesamanya, sehingga dapat diterima di masyarakat. Nilai-

nilai itu antara lain, seperti kasih sayang, tanggung jawab,

dan keserasian hidup. Adapun keterampilan sosial

mempunyai fungsi sebagai sarana untuk memperoleh

hubungan yang baik dalam berinteraksi dengan orang lain,

misalnya: melakukan penyelamatan lingkungan,

membantu orang lain, kerja sama, mengambil keputusan,

berkomunikasi, wirausaha, dan partisipasi.

Namun di pihak lain masih banyak ditemukan

kelemahan dalam pembelajaran, baik dalam rancangan

maupun proses pembelajaran. Kita telah sangat memahami

bahwa pembelajaran merupakan sistem dan proses.

Sebagai sistem, pembelajaran terdiri dari subsistem-

subsistem yang berupa komponen-komponen

pembelajaran. Sedangkan sebagai proses, pembelajaran

terdiri atas beberapa langkah langkah kegiatan secara

simultan berkelanjutan, mulai dari kegiatan penyusun

rencana pembelajaran, melaksanakan kegiatan

pembelajaran sampai melakukan kegiatan evaluasi.

Page 186: SUBKHAN ROJULI

186

Pembelajaran baik sebagai sistem maupun proses, guru

memegangperanan penting bagi tercapainya pembelajaran

yang efisien dan efektif.

Oleh karena itu, perlu model pembelajaran yang

cepat dan tepat untuk menyerap dan menguasai materi

pelajaran. Dalam hal ini, penulis akan mengembangkan

dan menerapkan “Model Pembelajaran Direktif Berbasis

Observasional”. Model pembelajaran direktif menurut

Joyce dan Weil (2011:421) adalah suatu model pengajaran

dimana guru merancang dan merencanakan pengajaran

dengan memperhatikan modeling, penguatan

(reinforcement), respon balik (feedback), dan perkiraan

suksesif (approroximation). Sedangkan model

pembelajaran observasional menurut Bandura dalam

Hergenhahn dan Olson (2009:366) adalah belajar dengan

mengamati orang lain atau model secara langsung maupun

tidak langsung dengan melibatkan atensi (perhatian),

retensi (pengingatan/penyimpanan), kemampuan

behavioral, dan proses motivasional tanpa harus disertai

penguatan.

Page 187: SUBKHAN ROJULI

187

Dua tujuan utama dari instruksi langsung adalah

memaksimalkan waktu belajar siswa dan mengembangkan

kemandirian dalam mencapai dan mewujudkan tujuan

pendidikan sesuai rencana dan rancangan pengajaran yang

dibuat dengan penguatan. Dengan pembelajaran direktif

berbasis observasional, siswa diarahkan belajar dengan

mengamati model yang telah dibingkai dalam rancangan

instruksional yang berorientasi akademik dan juga

terstruktur serta mengharuskan siswa untuk terlibat aktif

(dalam tugas) saat pelaksanaan instruksi langsung tanpa

adanya penguatan. Dalam teori Bandura, model apa saja

yang menyampaikan informasi, seperti orang, film,

televisi, pameran, gambar, atau instruksi. Guru dapat

menjadi model yang efektif karena mempunyai

kompetensi.

Siswa dapat menguasai ketrampilan sosial secara

lebih efektif dengan memadukan dua pendekatan

pembelajaran di atas. Kedua model pembelajaran tersebut

dipadukan dengan menyederhanakan langkah instruksi

langsung dengan meniadakan praktik dibawah bimbingan

guru, karena pada dasarnya siswa dapat belajar langsung

Page 188: SUBKHAN ROJULI

188

lewat pengamatan melalui model yang akan

dikembangkan oleh penulis baik itu berupa media audio

atau pun visual tanpa harus ada penguatan.

Menurut Ormrod (2009:432), penguatan adalah

tindakan mengikuti sebuah respon tertentu dengan sebuah

penguat. Penguat (reinforcer) adalah setiap konsekuensi-

konsekuensi yang meningkatkan frekuensi perilaku

tertentu, terlepas dari apakah orang-orang itu menganggap

konsekuensi itu menyenangkan atau tidak, misalnya

pujian, teguran, hukuman, uang, trofi atau hak-hak

istimewa. Sekolah Menengah Kejuruan adalah sekolah

yang tujuan utamanya menyiapkan siswa untuk bekerja

dengan penguasaan ketrampilan sosial. Dari awal masuk

sekolah, siswa sudah mempunyai motivasi intrinsik untuk

menguasai suatu ketrampilan tertentu sehingga tidak perlu

adanya penguatan.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas,

maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

Page 189: SUBKHAN ROJULI

189

1. Bagaimanakah kondisi faktual pembelajaran direktif

berbasis observasional dalam upaya peningkatan

ketrampilan sosial?

2. Bagaimanakah pengembangan model pembelajaran

direktif berbasis observasional untuk meningkatkan

ketrampilan sosial?

3. Bagaimanakah efektifitas hasil dan proses

implementasi model pembelajaran direktif berbasis

observasional dalam meningkatkan ketrampilan

sosial?

3. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan kondisi faktual pembelajaran

direktif berbasis observasional dalam upaya

peningkatan ketrampilan sosial?

2. Mendeskripsikan pengembangan model konseptual

pembelajaran direktif berbasis observasional untuk

meningkatkan ketrampilan sosial?

3. Mendeskripsikan efektifitas hasil dan proses

implementasi model pembelajaran direktif berbasis

Page 190: SUBKHAN ROJULI

190

observasional untuk meningkatkan ketrampilan

sosial?

4. Manfaat

4.1. Manfaat Teoritis

Dari hasil pengembangan penelitian ini diharapkan

dapat memberikan masukan tentang konsep teoritis yang

berdasarkan model pembelajaran direktif berbasis

observasional, khususnya untuk siswa Sekolah Menengah

Kejuruan.

4.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini

adalah:

1) Bagi pihak sekolah, hasil penelitian berupa

pengembangan konsep dan produk bahan ajar

pembelajaran, berguna untuk peningkatan

ketrampilan sosial.

2) Guru, penggunaan model pembelajaran direktif

berbasis observasional dapat memperbaiki kualitas

proses dan hasil pembelajaran sehingga

meningkatkan kinerja dan profesionalisme guru

Page 191: SUBKHAN ROJULI

191

yang pada akhirnya akan membantu mereka dalam

mengembangkan pembelajaran yang lebih tepat serta

menyenangkan.

3) Siswa, diterapkannya model pembelajaran direktif

berbasis observasional diharapkan dapat membantu

siswa memahami dan menguasai materi sehingga

dapat meningkatkan ketrampilan sosial.

B. Landasan Teori

1. Teori Belajar yang Melandasi Pembelajaran

Direktif Berbasis Observasional

Pembelajaran (learning) dapat didefinisikan

sebagai pengaruh permanen atas perilaku, pengetahuan

dan keterampilan berfikir, yang diperoleh melalui

pengalaman (Santrock, 2011:266). Penelitian ini

menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan

behavioral/behaviorisme dan pendekatan kognitif sosial .

1.1. Teori Behaviorisme

Behaviorisme adalah pandangan yang menyatakan

bahwa perilaku harus dijelaskan melalui pengalaman yang

dapat diamati, bukan dengan proses mental. Menurut

Page 192: SUBKHAN ROJULI

192

kaum behaviorisme, perilaku adalah segala sesuatu yang

kita lakukan dan bisa dilihat secara langsung : murid

mengetik, guru tersenyum kepada anak, dan sebagainya.

Proses mental didefinisikan oleh psikolog sebagai pikiran,

perasaan, dan motif yang kita alami namun tidak bisa

dilihat oleh orang lain. Meskipun kita tidak bisa melihat

pikiran, perasaan dan motif secara langsung, semua itu

adalah sesuatu yang riil. Proses mental antara lain

pemikiran murid tentang cara mengetik, perasaan guru

senang terhadap muridnya, dan motivasi anak mengontrol

untuk perilakunya (Santrock, 2011:266).

Ketrampilan sosial adalah sasaran perilaku yang

dapat diamati. Sasaran ini dapat dianalisis menggunakan

tiga alat umum di sekolah sesuai dengan perencanaan dan

instruksi yang telah dibuat yaitu sasaran behavioral,

analisis tugas guru dan klasifikasi instruksional. Menurut

Robert Mager (1962), sasaran behavioral harus spesifik

dan mengandung tiga bagian (Santrock, 2011:467) :

• Perilaku murid. Fokus pada apa yang dipelajari atau

dilakukan murid.

Page 193: SUBKHAN ROJULI

193

• Kondisi dimana perilaku terjadi. Menyatakan

bagaimana perilaku akan dievaluasi atau dites

• Kriteria kinerja. Menentukan level kinerja yang

diterima

Menurut behaviorisme, pemikiran, perasaan dan

motif ini bukan subjek yang tepat untuk ilmu perilaku

sebab semuanya itu tidak bisa diobservasi secara langsung.

Untuk memahami dan menjelaskan tiga hal tersebut

menggunakan dua pendekatan behavioral yaitu

pengkondisian klasik dan operan.

Pengkondisian klasik adalah tipe pembelajaran

dimana suatu organisme belajar untuk mengaitkan atau

mengasosiasikan stimuli. Pengkondisian klasik

dikembangkan oleh Ivan Pavlov dimana stimulus netral

diasosiasikan dengan stimulus yang bermakna dan

menimbulkan kemampuan untuk mengeluarkan respons

yang serupa. Pengkondisian klasik dapat berupa

pengalaman negatif dan positif dalam diri anak di kelas.

Pengalaman positif, misalnya lagu favorit yang

menimbulkan perasaan bahwa kelas adalah tempat yang

aman dan menyenangkan. Contoh pengalaman negatif,

Page 194: SUBKHAN ROJULI

194

misalnya anak-anak merasa takut di kelas jika mereka

mengasosiasikan kelas dengan teguran dan karenanya

teguran menyebabkan rasa takut. Dengan demikian,

kondisioning klasik (clasical conditioning) dapat diartikan

bentuk pembelajaran dimana resopon yang baru dan tidak

disengaja ditampilkan sebagai hasil dari hadirnya dua

stimulus yang bersamaan. Kondisioning klasik seringkali

membantu kita memahami perasaan siswa tentang

berbagai aktivitas sekolah (Omrod, 2009:426; Santrock,

2011:268-269).

Pengkondisian operan (juga dinamakan

pengkondisian instrumental) adalah sebentuk

pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari

perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas

perilaku itu akan diulangi. Arsitek utama dari

pengkondisian operan adalah B. F. Skinner, yang

pandangannya didasarkan pada pandangan E. L.

Thorndike. Thorndike menyatakan bahwa perilaku yang

diikuti dengan hasil positif akan diperkuat dan bahwa

perilaku yang diikuti hasil negatif akan diperlemah, hal ini

dinamakan hukum efek (efek law). Sedangkan Skinner

Page 195: SUBKHAN ROJULI

195

menyatakan penguatan dan hukuman menyebabkan

perubahan yang sifatnya sementara (kontingen).

Penguatan (imbalan/reinforcement) adalah konsekuensi

yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku

akan terjadi. Sebaliknya, hukuman (punishment) adalah

konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya

suatu perilaku (Santrock, 2011:272).

1.2. Teori Kognitif Sosial Bandura

Teori kognitif sosial (social cognitive theory)

menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif, dan juga

faktor perilaku, memainkan peran penting dalam

pembelajaran. Faktor kognitif mungkin berupa ekpektasi

murid untuk meraih keberhasilan; faktor sosial mungkin

mencakup pengamatan murid terhadap perilaku orang

tuanya (Santrock, 2011:285).

Teori kognitif sosial menonjolkan sebagian besar

pembelajaran manusia terjadi dalam sebuah lingkungan

sosial. Dengan mengamati orang lain, manusia

memperoleh pengetahuan, aturan-aturan, keterampilan-

keterampilan, strategi-strategi, keyakinan-keyakinan, dan

Page 196: SUBKHAN ROJULI

196

sikap-sikap. Individu-individu juga melihat model-model

atau contoh-contoh untuk mempelajari kegunaan dan

kesesuaian perilaku-perilaku dan akibat-akibat dari

perilaku-perilaku yang dimodelkan, kemudian mereka

bertindak sesuai dengan keyakinan-keyakinan tentang

kemampuan-kemampuan mereka dan hasil-hasil yang

diharapkan dari tindakan-tindakan mereka (Schunk,

2012:161).

Bandura mengembangkan model determinisme

resiprokal dalam sebuah kerangka timbal balik tiga-sisi,

atau interaksi-interaksi timbal-balik antara perilaku-

perilaku, variabel-variabel lingkungan, dan faktor-faktor

personal (kognisi).Ketiga faktor tersebut saling

berinteraksi untuk memengaruhi pembelajaran : faktor

lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku

memengaruhi lingkungan, faktor person (orang/kognitif)

memengaruhi perilaku, dan sebagainya. Faktor person

Bandura yang tak punya kecenderungan kognitif terutama

adalah pembawaan personalitas dan temperamen. Faktor

kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi,

pemikiran dan kecerdasan.

Page 197: SUBKHAN ROJULI

197

2. Kajian Pembelajaran Direktif Berbasis

Observasional

Pembelajaran direktif atau instruksi langsung

(direct instruction) adalah pendekatan teacher-centered

yang terstruktur yang dicirikan oleh arahan dan kontrol

guru, ekspektasi guru yang tinggi atas kemajuan murid,

maksimalisasi waktu yang dihabiskan murid untuk tugas-

tugas akademik, dan usaha guru untuk meminimalkan

pengaruh negatif terhadap murid (Joyce & Weil,

2009:422).

Belajar observasional atau observational learning

pertama kali diteliti oleh Edward L. Thorndike pada tahun

1898 dengan melakukan eksperimen terhadap seekor

tikus, kemudian direplikasi oleh J. B. Watson pada tahun

1908 dengan melakukan eksperimen terhadap monyet dan

keduanya tidak menemukan bukti adanya belajar

observasional. Mereka sama-sama menyimpulkan bahwa

belajar hanya berasal dari direct experience (pengalaman

langsung) dan bukan dari vicarious experience

(pengalaman tak langsung atau pengganti) atau dengan

Page 198: SUBKHAN ROJULI

198

kata lain, mereka menganggap belajar terjadi sebagai hasil

dari interaksi seseorang dengan lingkungan dan bukan dari

hasil pengamatan terhadap interaksi lain (Hergehahn dan

Olson, 2009:357).

Berbeda dengan Thorndike dan Watson, Miller dan

Dollard dalam buku Social Learning and Imitation (1941)

menjelaskan bahwa tidak menyangkal bahwa organisme

bisa belajar dengan mengamati aktivitas organisme lain.

Mereka menganggap bahwa proses belajar semacam itu

agak merata dan dapat dijelaskan secara objektif dalam

kerangka teori Hullian, yakni jika imitative behavior

(perilaku imitatif) diperkuat, ia akan diperkuat seperti jenis

perilaku lain. Menurut mereka, belajar imitatif adalah hasil

dari observasi, respon nyata dan penguatan (Hergehahn

dan Olson, 2009:357-358).

Menurut Bandura, belajar observasional mungkin

menggunakan imitasi atau mungkin juga tidak. Sebuah

studi yang dilakukan oleh Bandura pada tahun1965

terhadap anak yang diperlihatkan sebuah film yang

menampilkan seseorang sebagai model diperoleh

kesimpulan bahwa penguatan adalah variabel performa

Page 199: SUBKHAN ROJULI

199

bukan variabel belajar. Hal ini berbeda dengan teori

Hullian yang menyebutkan bahwa penguatan adalah

variabel belajar. Bandura (1977:18) percaya bahwa

pengamat harus menyadari kontingensi penguatan

sebelum penguatan itu memberi efeknya : “Karena belajar

melalui konsekuensi respons sebagian besar adalah proses

kognitif, konsekuensi pada umumnya tidak banyak

menghasilkan perubahan dalam perilaku yang kompleks

jika tidak ada kesadaran akan apa-apa yang diperkuat itu”.

Ringkasnya, Bandura berpendapat bahwa tidak ada semua

unsur penting untuk analisis operasional terhadap belajar

observasional, yakni sering kali tidak ada stimulus

diskriminatif, tidak ada respon nyata, dan tidak ada

penguatan.

Temuan paling penting dari Albert Bandura adalah

bahwa orang dapat mempelajari tindakan-tindakan baru

hanya dengan mengamati orang lain melakukannya. Si

pengamat tidak harus melakukan tindakan-tindakan

tersebut pada saat ia mempelajarinya. Penguatan tidak

diperlukan supaya pembelajaran dapat terjadi (Schunk,

2012:161).

Page 200: SUBKHAN ROJULI

200

Bandura merumuskan sebuah teori pembelajaran

observasional yang ia kembangkan untuk mencakup

penguasaan dan praktik dari bermacam-macam

keterampilan, strategi dan perilaku. Prinsip-prinsip

kognitif sosial telah diaplikasikan dalam pembelajaran

keterampilan-keterampilan kognitif, motorik, sosial, dan

pengaturan-diri, dan juga topik-topik kekerasan (secara

langsung melalui film), perkembangan moral, pendidikan,

kesehatan, dan nilai-nilai sosial (Schunk, 2012:162).

Asumsi-asumsi dalam model ini berdasarkan teori

behavioral dan kognitif sosial bandura. Bagaimana teori

behavioral ini mencerminkan sebuah analisis fungsional

perilaku dan implikasi-implikasinya bagi prediksi dan

kendali terhadap perilaku tanpa adanya penguatan.

Sedangkan teori kognitif sosial membuat beberapa asumsi

tentang pembelajaran dan praktik perilaku-perilaku.

Asumsi-asumsi ini berkenaan dengan interaksi-interaksi

timbal balik antara manusia, perilaku dan lingkungan;

pembelajaran melalui praktik dan melalui pengamatan;

perbedaan antara pembelajaran dan praktik, dan peran

pengaturan diri (Zimmerman & Schunk, 2003).

Page 201: SUBKHAN ROJULI

201

Istilah “ direct instruction atau instruksi langsung”

telah digunakan oleh beberapa ahli untuk merujuk pada

suatu model pengajaran yang terdiri dari penjelasan dan

kontrol guru mengenai konsep atau ketrampilan baru

terhadap siswa. Fokus tujuan dalam penyusunan model ini

adalah untuk meningkatkan ketrampilan sosial siswa.

Penjelasan mengenai arahan dan kontrol guru diberikan

saat memilih dan mengarahkan tugas pembelajaran yang

dimulai dengan menyajikan konsep atau ketrampilan baru

dengan model tertentu, menegaskan peran inti selama

memberi instruksi dalam praktik yang terstruktur tanpa

adanya penguatan sebagai bagian dari konsep

pembelajaran observasional, dan meminimalisir jumlah

percakapan siswa yang tidak berorientasi akademik (Joyce

& Weil, 2009; Santrock, 2011; Schunk, 2012).

2.1. Struktur Pengajaran

Tahapan model pembelajaran direktif (model

instruksi langsung) menurut Joice dan Weil (2011:431)

adalah sebagai berikut :

Tahap Pertama : Orientasi

Page 202: SUBKHAN ROJULI

202

1) Guru menentukan materi pelajarannya

2) Guru meninjau pelajaraannya sebelumnya

3) Guru menentukan tujuan pelajaran

4) Guru menentukan prosedur pengajaran

Tahap Kedua : Presentasi

1) Guru menjelaskan konsep atau ketrampilan baru

2) Guru menyajikan representasi visual atas tugas yang

diberikan

3) Guru memastikan pemahaman

Tahap Ketiga : Praktek yang Terstruktur

1) Guru menuntun kelompok siswa dengan contoh

praktek dalam beberapa langkah

2) Siswa merespon pertanyaan

3) Guru memberikan koreksi terhadap kesalahan dan

memperkuat praktek yang telah benar

Tahap Keempat : Praktek di Bawah Bimbingan Guru

1) Siswa berpraktik secara semi-independen

2) Guru menggilir siswa untuk melakukan praktek dan

mengamati praktek

3) Guru memberikan tanggapan balik berupa pujian,

bisikan maupun petunjuk

Page 203: SUBKHAN ROJULI

203

Tahap Kelima : Praktik Mandiri

1) Siswa melakukan praktek secara mandiri di rumah

atau di kelas

2) Guru menunda respons balik dan memberikannya di

akhir rangkaian praktek

3) Praktek mandiri dilakukan beberapa kali dalam

periode waktu yang lama

Menurut Bandura dalam Schunk (2012:174)

proses-proses pembelajaran observasional terdiri dari

empat proses, dapat dilihat dalam tabel berikut :

Proses Pertama : Perhatian (attention)

Aktivitas : Perhatian siswa diarahkan oleh

karakteristik-karakteristik tugas yang relevan yang secara

fisik ditonjolkan, pembagian aktivitas kompleks menjadi

beberapa bagian, penggunaan model-model yang

kompeten, dan pendemonstrasian kegunaan perilaku-

perilaku model.

Proses Kedua : Pemertahanan (retention)

Aktivitas : Pemertahanan dapat ditingkatkan

dengan cara mengulang informasi yang akan dipelajari,

menyampaikannya dalam bentuk visual dan simbolis, dan

Page 204: SUBKHAN ROJULI

204

menghubungkan dengan materi baru dengan informasi

yang sebelumnya telah disimpan dalam memori.

Proses Ketiga : Produksi (production)

Aktivitas : Perilaku-perilaku yang dihasilkan

dibandingkan dengan representasi konseptual (mental)

seseorang. Umpan balik dapat membantu memperbaiki

kekurangan-kekurangan.

Proses Keempat : Motivasi (motivation)

Aktivitas : Akibat-akibat dari perilaku model

memberikan informasi pada pengamat tentang nilai fungsi

dan kesesuaian. Akibat memberikan motivasi dengan

menciptakan harapan-harapan terhadap hasil akhir dan

meningkatkan efikasi diri.

Pembelajaran observasional melalui permodelan

terjadi ketika pengamat menunjukkan pola-pola perilaku

baru yang ketika belum dihadapkan pada perilaku-perilaku

model probabilitas kejadiannya nol, bahkan ketika

motivasinya tinggi, sedangkan mekanisme pokok dari

pembelajaran ini adalah informasi tentang cara-cara

menghasilkan perilaku yang baru disampaikan oleh model

Page 205: SUBKHAN ROJULI

205

kepada pengamat (Bandura, Rosenthal dan Zimmerman

dalam Schunk, 2012:174).

Mengamati model tidak menjamin terjadinya

pembelajaran atau menjamin bahwa perilaku-perilaku

yang dipelajari akan dipraktikan dilain kesempatan.

Beberapa faktor yang mempengaruhi pembelajaran

melalui pengamatan dan mempengaruhi praktik dari

perilaku-perilaku yang dipelajari antara lain : status

perkembangan, keunggulan status, dan kompetensi model,

pengaruh-pengaruh yang dirasakan dari mengamati model,

harapan-harapan atas hasil, penentuan tujuan dan efikasi

diri (Schunk, 2012 : 183).

2.2. Sistem Sosial

Sistem sosial dalam model ini benar-benar

terstruktur.

2.3. Peran atau Tugas Guru

Peran guru dalam model ini adalah menyediakan

pengetahuan mengenai hasil-hasil, membantu siswa

mengandalkan diri mereka sendiri. Sistem dukungan

Page 206: SUBKHAN ROJULI

206

mencakup rangkaian tugas pembelajaran, yang terkadang

sama rumitnya dengan seperangkat materi yang

dikembangkan oleh tim instruksi yang diberikan secara

individual

2.4. Sistem Pendukung

Dalam pembelajaran membutuhkan sarana media

audio dan visual sebagai penunjang presentasi model.

3. Penerapan Model Pembelajaran Direktif Berbasis

Observasional

Berdasarkan teori belajar Model Pembelajaran

Direktif bersumber dari kelompok model perilaku atau

behavioral (Joyce & Weil, 2009), sedangkan Model

Pembelajaran Observasional merupakan perpaduan dua

pendekatan teori belajar yaitu behavioral dan kognitif

sosial (Santrock, 2011).

Page 207: SUBKHAN ROJULI

207

Langkah-langkah pembelajaran direktif berbasis

observasional yang telah di padukan dari kedua model

tersebut (Dari Social Function of Thought & Action, h. 52,

oleh A. Bandura © 1986) dalam Hergenhahn dan Olson

(2009:366); Santrock (2011:478); Joyce & Weil

(2011:431)

Page 208: SUBKHAN ROJULI

208

4. Dampak-Dampak Instruksional dan Pengiring

Dampak-dampak instruksional yang dilakukan oleh

model memberikan informasi kepada pengamat tentang

tipe-tipe tindakan yang cenderung efektif. Dengan

mengamati model-model yang kompeten melakukan

tindakan-tindakan yang mengarah kepada keberhasilan

menguasai materi dan ketrampilan sosial dengan cepat.

Dengan mengamati perilaku-perilaku model beserta

akibat-akibatnya, orang membentuk keyakinan-keyakinan

mengenai perilaku-perilaku yang mana yang akan

memperoleh imbalan dan yang mana yang memperoleh

hukuman. Rancangan instruksionak yang menarik dapat

meningkatkan dan memelihara motivasi melalui aktivitas

mengandalakan diri sendiri dengan atau tanpa penguatan.

Melalui kesuksesan dan respons balik positif, model ini

dapat meningkatkan efikasi diri.

5. Kajian Tentang Ketrampilan Sosial

Pada hakikatnya, manusia adalah mahluk sosial

yang mengalami tumbuh kembang dan dapat

melangsungkan kehidupannya secara berkelanjutan dalam

Page 209: SUBKHAN ROJULI

209

lingkungan masyarakat. Seperti dikemukakan

Sumaatmadja (1986 : 29), selaras dengan fitrah manusia

sebagai makhluk sosial yang sangat dipengaruhi oleh

masyarakatnya, baik kepribadian individualnya, termasuk

daya rasionalnya, reaksi emosionalnya, aktivitas dan

kreativitasnya, dan lain sebagainya dipengaruhi oleh

kelompok tempat hidupnya.

Dalam kehidupan masyarakat terdapat seperangkat

nilai sosial budaya yang menjadi acuan bagi seluruh warga

pendukungnya sehingga kehidupan bermasyarakat dapat

lestari. Nilai sosial budaya diwariskan melalui proses

belajar yang dikenal dengan istilah sosialisasi dan

enkulturasi hingga terbentuk kepribadian melalui

internalisasi pada setiap individu dalam masyarakat.

Kepribadian, selain menunjukkan jati diri individual juga

mencerminkan karakter masyarakat di mana individu

tersebut mengalami proses belajar nilai sosial budaya.

Namun demikian, berbagai gejala sosial muncul seiring

dengan tuntutan hidup, sehingga menimbulkan perubahan

sosial. Perubahan sosial menjadi indikator bagi dinamika

sosial.

Page 210: SUBKHAN ROJULI

210

Sejak berlakunya kurikulum pendidikan nasional

tahun 1974, dikenal istilah kurikulum terintegrasi

(integrated curriculum) dan kurikulum terpisah (sparated

curriculum), khususnya untuk rumpun mata pelajaran ilmu

pengetahuan sosial. Salah satu Keterampilan sosial yang

perlu dimiliki siswa, menurut John Jarolimek (1993: 9),

mencakup:

a. Living and working together; taking turns; respecting

the rights of others; being socially

sensitive;

b. Learning self-control and self-direction; and

c. Sharing ideas and experience with others.

Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa keterampilan sosial itu memuat aspek-aspek

keterampilan untuk hidup dan bekerjasama; keterampilan

untuk mengontrol diri dan orang lain; keterampilan untuk

saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya; saling

bertukar pikiran dan pengalaman sehingga tercipta suasana

yang menyenangkan bagi setiap anggota dari kelompok

tersebut. Dengan demikian, dimilikinya keterampilan

sosial oleh setiap individu dan/siswa akan menjadikan

Page 211: SUBKHAN ROJULI

211

mereka sebagai mahluk sosial yang mampu berinteraksi

dan berpartisipasi sosial dengan berlandaskan pada sikap

kepedulian sosial.

6. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1) Implementasi model pembelajaran direktif berbasis

observasional dapat meningkatkan pemahaman siswa

terhadap ketrampilan sosial.

2) Implementasi model pembelajaran direktif berbasis

observasional dapat meningkatkan keterampilan sosial.

3) Implementasi model pembelajaran direktif berbasis

observasional lebih efektif dalam meningkatkan

pemahaman siswa terhadap ketrampilan sosial

dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

C. Desain Penelitian

1. Metode Penelitian

Studi ini dilaksanakan menggunakan pendekatan

research and development (penelitian dan pengembangan)

Page 212: SUBKHAN ROJULI

212

(Borg and Gall, 1989: 781). Pelaksanaannya menggunakan

siklus seperti dalam penelitian tindakan (Mc Niff, 1994:

31) sampai menghasilkan model pembelajaran direktif

berbasis observasional yang sesuai dengan pembelajaran

di sekolah sebagai produk penelitian. Dalam

pelaksanaannya mengacu pada sistem aplikasi penelitian

tindakan yang dilakukan beberapa siklus sehingga

dihasilkan suatu produk, yaitu model pembelajaran

direktif berbasis observasional yang menjadi fokus

penelitian.

Model penelitan dan pengembangan ini diawali

dengan studi pendahuluan dan kajian teoritis, kemudian

berdasarkan hasil studi pendahuluan dan kajian teoritis

diformulasikan model dan uji validasinya dalam konteks

pembelajaran secara berkesinambungan, sehingga

dihasilkan model pembelajaran yang sesuai dan

merupakan produk penelitian. Hal ini sesuai pendapat

Borg dan Gall (1989: 782) yang menyatakan bahwa

“educational research and development is a process used

to develop and validate educational products”.

Page 213: SUBKHAN ROJULI

213

Menurut Syaodih (2002: 1), penelitian dan

pengembangan dapat menjembatani kesenjangan antara

penelitian dengan praktek pendidikan. Temuan-temuan

dalam penelitian pendidikan (penelitian dasar dan

aplikatif) diujicobakan dan divalidasikan melalui

penelitian dan pengembangan agar melahirkan produk-

produk yang teruji. Penelitian dan pengembangan

bukanlah bagian dari penelitian dasar dan aplikasi,

ketiganya diperlukan dalam pengembangan pendidikan.

Penelitian dan pengembangan mengembangkan

temuan-temuan penelitian dasar dan aplikatif tentang

praktek pendidikan dan menerjemahkannya ke dalam

produk-produk pendidikan yang terpakai. Ada tiga metode

penelitian yang digunakan dalam penelitian dan

pengembangan, yaitu survei, evaluatif dan eksperimen

(Borg and Gall: 1989). Survei digunakan dalam penelitian

pendahuluan untuk mengetahui kondisi pendukung dan

praktek yang terkait dengan produk yang dikembangkan.

Penelitian evaluatif, baik formatif maupun sumatif

digunakan dalam uji coba pengembangan produk, sedang

Page 214: SUBKHAN ROJULI

214

eksperimen digunakan untuk menguji keampuhan produk

yang dikembangkan.

2. Tempat Penelitian

Tempat penelitian ini dilakukan di Sekolah

Menengah Kejuruan Negeri se-Kota Serang, Provinsi

Banten.

3. Populasi dan Sampel/Sumber Data

Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 5

SMK Negeri yang terdiri 446 siswa kelas XI Administrasi

Perkantoran. Sedangkan Penarikan sampel dilakukan

dengan teknik purposive sampling, yakni memilih sampel

30% yang berjumlah 134 siswa.

4. Teknik Pengumpulan Data

Bertolak dari fokus penelitian dan jenis data yang

dibutuhkan dalam penelitian ini, maka instrumen yang

digunakan untuk menjaring data dalam penelitian ini

terdiri dari: (1) lembar observasi kelas, (2) angket, (3)

Page 215: SUBKHAN ROJULI

215

perangkat pembelajarantes hasil belajar siswa, dan (4) tes

keterampilan.

5. Teknik Analisis Data

Analisis dan pengolahan data penelitian dan

pengembangan ini dilakukan menggunakan teknik analisis

kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan tahapan proses

penelitian yang dilaksanakan, analisis data dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Hasil Prasurvei, data penelitian yang diperoleh pada

saat prasurvei yang meliputi: (1) desain dan

implementasi pembelajaran yang dikembangkan

guru; (2) Perumusan tujuan pembelajaran, materi

pembelajaran, pemilihan metode pembelajaran, dan

evaluasi pembelajaran; (3) pemanfaatan sumber

pembelajaran; (4) kompetensi dan performance

guru; serta (5) aktivitas siswa selama

berlangsungnya pembelajaran dianalisis secara

deskriptif analitik. Hasil analisis tersebut berupa

gambaran utuh pembelajaran yang saat ini

dilaksanakan di sekolah.

Page 216: SUBKHAN ROJULI

216

2) Hasil pengembangan dan pengujian model, data

hasil observasi kelas dianalisis secara kualitatif. Data

tentang pemahaman materi dan pengembangan

keterampilan berpikir siswa yang diperoleh

berdasarkan pre-test dan post-test dianalisis dengan

menggunakan teknik analisis statistik inferensial

dengan melakukan uji statistik yaitu Uji-t. Teknik

analisis statistik ini dipergunakan untuk mengetahui

peningkatan pemahaman materi dan keterampilan

siswa dari setiap siklus tindakan yang dilakukan

selama berlangsungnya uji coba model. Hasil

analisis dan refleksi data dalam setiap siklus

dijadikan sebagai bahan revisi untuk pelaksanaan

siklus berikutnya, sampai ditemukan model akhir

yang diuji efektivitasnya.

3) Tahap Eksperimen dan Validasi Model, data yang

berhubungan dengan aspek: (1) perencanaan

pembelajaran dan implementasinya, (2) aktivitas

belajar siswa, (3) kinerja guru, serta (4) proses dan

hasil pembelajaran dianalisis secara kualitatif untuk

mengetahui peningkatan yang terjadi antara sebelum

Page 217: SUBKHAN ROJULI

217

dan sesudah dilakukan pengembangan model. Data

hasil pre-test dan post-test siswa dianalisis secara

kuantitatif melalui Uji-t untuk mengetahui

peningkatan pemahaman materi dan keterampilan

berpikir siswa, baik untuk kelompok eksperimen

maupun untuk kelompok kontrol. Disamping itu,

dilakukan analisis statistik untuk melihat perbedaan

antar kelompok, yakni perbedaan antara sekolah

kelompok eksperimen yang terdiri atas stratifikasi

kelompok favorit, dan biasa, dengan kelompok

kontrol dengan stratifikasi yang sama.

Sebelum dilakukan uji statistik untuk mengetahui

efektivitas model pembelajaran terlebih dahulu dilakukan

uji pesyaratan analisis. Sesuai dengan teknik analisis data

yang akan digunakan, dalam penelitian ini diterapkan dua

uji persyaratan analisis yaitu: (1) Uji normalitas data

karena pengujian hipotesis mensyaratkan bahwa data

bersumber dari populasi yang berdistribusi normal; dan (2)

Uji homogenitas varians, karena analisis komparatif

mensyaratkan antar kelompok skor yang independen harus

memiliki varians homogen. Pengujian normalitas

Page 218: SUBKHAN ROJULI

218

dilakukan terhadap data gain skor dari setiap kelompok

sampel.

Uji normalitas yang digunakan adalah uji Liliefors.

Kriteria pengujian ditetapkan berdasarkan nilai statistik

Lhitung dan Ltabel sesuai ketentuan berikut:

(1) Data skor hasil tes dinyatakan berdistribusi normal

jika Lhitung < Ltabel artinya persyaratan analisis

terpenuhi;

(2) Data skor hasil tes dinyatakan tidak berdistribusi

normal jika Lhitung > Ltabel artinya persyaratan

analisis tidak terpenuhi.

Page 219: SUBKHAN ROJULI

219

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Y. (2016). Desain Sistem Pembelajaran. Bandung : PT. Refika Aditama

Al Muchtar, S. (2014). Inovasi dan Transformasi

Pembelajaran Pendidikan. Bandung : Gelar Pustaka Mandiri

Al Muchtar, S. (2014). Epistomologi Pendidikan IPS.

Bandung : Wahana Jaya Abadi Arends, R. I. (2008). Learning To Teach Buku Satu.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar Arends, R.I. (2008). Learning To Teach Buku Dua.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar Aryani, I.K. (2006). Pendidikan Nilai dan Moral. Subang :

Karya Swadaya Mandiri Bachtiar, Rofiatul. (2010). Pengembangan Model

Pembelajaran Non Direktif Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemandirian Belajar Mahasiswa. S3 thesis, Universitas Pendidikan Indonesia

Bandura, A. (1963). The Role of Imitation in Personality.

The Journal of Nursery Education, 18(3).

Page 220: SUBKHAN ROJULI

220

Bandura, A. (1965). Influence of Models’ Reinforcement Contingencies on The Acquisition of Imitative Responses. Journal of Personality and Social Psychology, 1, 589-595.

Bandura, A. (1969). Social-Learning Theory of

Identificatory Processes. In D., A., Goslin (Ed.), Handbook of Socialization Theory and Research (pp. 213-262). Chicago : Rand McNally.

Bandura, A. (1977). Social learning theory. Englewood

Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Bandura, A. (1986). Social Foundations of Thought and

Action : A Social Cognitive Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Bandura, A. (1997). Self-Efficacy and Health Behaviour.

In A. Baum, S. Newman, J. Wienman, R. West & C. McManus (Eds.), Cambridge Handbook of Psychology, Health and Medicine (pp. 160-162). Cambridge: Cambridge University Press.

Bank, J.A. (1990). Teaching Strategies for the Social

Studies: Inquiry, Valuing, and Decision Making. New York: Longman.

Beck, C and Kosnik, C. (2006). Innovation in Teacher

Education: A Social Constructivist Approach. United States of America: State University of New York Press, Albany.

Page 221: SUBKHAN ROJULI

221

Berns & Ericson. (2001). Contextual Teaching and Learning: Preparing Students for the New Economy. The Highlight Zone. Research@Work, 5, hlm.1-8. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.453.3887&rep=rep1&type=pdf

Chaille, C dan Britain, L. (2003). The Young Childrenis

Scientist: A Constructivist Approach to Early Childhood Science Education. Boston: allyn and bacon.

Change The Equation. (2015). Work Based Learning.

[Online]. Diakses dari http://changetheequation.org/sites/default/files/Guide%20to%20Work-based%20Learning.pdf

DePorter, B & Hernacki, M. (2011). Quantum Learning.

Bandung : PT. Mizan Pustaka Depdiknas. (2004). Pedoman Akademik. Bandung :

Universitas Pendidikan Indonesia. Doolittle, P. E., & Camp, W. G. (1999). Constructivism:

The career and technical education perspective. Journal of Vocational and Technical Education.Electronic Journal, 16 (1).

Eggen, P & Kauchak, D. (2012). Strategi dan Model

Pembelajaran. Jakarta : Indeks

Page 222: SUBKHAN ROJULI

222

Ely, D.P. 1980. Teaching and Media: A systematic Approach. New Jersey. Prentice Hall, Inc.

Fosnot, C. T. (1999). Constructivism: Theory, Perspective,

and Practice. New York: Teachers College Press. Glasersfeld, E. (1995). A constructivist approach to

teaching. In L. P. Steffe & J. Gale. Constructivism in education (pp. 3-16). Hillsdale, NJ: Erlbaum. http://planipolis.iiep.unesco.org/upload/Indonesia/Indonesia_Education_Strategic_ plan_2010-2014.pdf.

Gredler, M. E. (2011). Learning and Instruction. Jakarta :

Kencana Gunawan, R. (2013). Pendidikan IPS. Bandung : Alfabeta Goleman, D. 1999. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai

Puncak Prestasi, Terjemahan. Jakarta. Gramedia. Hergenhahn, B.R., dan Olson, M.R. (2009). Theories of

Learning. Jakarta : Kencana Hakam, K.A. (2007). Bunga Rampai Pendidikan Nilai.

Bandung : UPI Hamdayama, J. (2014). Model dan Metode Pembelajaran

Kreatif dan Berkarakter. Bogor : Ghalia Indonesia Heriawan, A., Darmaji, Senjaya, A. (2012). Metodologi

Pembelajaran. Serang : LP3G

Page 223: SUBKHAN ROJULI

223

Huda, M. (2014). Model-Model Pengajaran dan

Pembelajaran. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Jacobsen, D.A., Eggen, P. & Kauchak, D. (2009). Methods

For Teaching. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Joyce, B., Weil, M. & Calhoun, E. (2011). Models Of

Teaching. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Jarolimek, J. (1993). Social Studies in Elementary

Education. New York : Mc.Millan Publishing. Kemendiknas. 2010. Rencana Straregis Kementrian

Pendidikan Nasional 2010-2014. diakses di.http://planipolis.iiep.unesco.org/upload/Indonesia/Indonesia_Education_Strategic_ plan_2010-2014.pdf. tanggal 20 April 2015.

Kerlinger. (2006). Asas-Asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Kolb, A. D. (1984). Experiential Learning:

Experience as The Source of Learning and Development. Prentice-Hall. Inc. Englewood Cliffs. New Jersay.

Kolb, A. D and Boyatzis, E. R. (1999). Experiential

Learning Theory: Previous Research and New Directions. Charalampos Mainemelis Department of Organizational Behavior Weatherhead School of Management Case Western Reserve University.The revised paper appears in: R. J.

Page 224: SUBKHAN ROJULI

224

Sternberg and L. F. Zhang (Eds.), Perspectives on cognitive, learning, and thinking styles. NJ: Lawrence Erlbaum, 2000.

LAN. (2011). Metode Pembelajaran. Jakarta Majid, A. (2014). Strategi Pembelajaran. Bandung :

Rosda Martin, J. D. (2009). Elementary science method: a

constructivist approach fifth edition. Belmont: Wadsworth Cengage Learning.

McConnell, T.R. (1952). General Education : An

Analysis, dalam Henry, N.B. The Fifty-Fiths Yearbook of the National Society for the Study of Education : Part I General Education. Chicago : The University of Chicago Press.

Moise, Popescu, Kadar, Muntean. (2013). Developing

students’ educational experiences through work-based learning programmes. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 93, hlm. 1045 – 1049

Nasution. (2011). Berbagai Pendekatan Dalam Proses

Belajar & Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara National Centre For Vocational Education

Research/NCVER. (2016). Work-based learning and work-integrated learning: fostering engagement with employers. Australia : NCVER. [Online]. Diakses dari

Page 225: SUBKHAN ROJULI

225

https://www.ncver.edu.au/__data/assets/pdf_file/0017/60281/Work-based-learning.pdf

Ormrod, J., E. (2009). Psikologi Pendidikan Jilid 1.

Jakarta : Erlangga Ormrod, J., E. (2012). Psikologi Pendidikan Jilid 2.

Jakarta : Erlangga Rusman. (2014). Model-Model Pembelajaran. Jakarta :

PT. Raja Grafindo Persada Raven, J. (1977). Education, Values, and Society : The

Objectives of Education and the Nature and Development of Competence. London : HK Lewis & Co. Ltd.

Rockmore, T. (2005). On Constructivist

Epistemology.United States of America: Rowman & Littlefield Publishers, Inc.

Sumaatmadja, N. (1986). Metodologi Pengajaran IPS.

Bandung : Alumni.Dahar. Santrock, J., W. (2011). Psikologi Pendidikan. Jakarta :

Kencana Schunk, D., H. (2012). Learning Theories. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar

Page 226: SUBKHAN ROJULI

226

Sanjaya, W. (2013). Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana

Santrock, J.W. (2013). Psikologi Pendidikan. Jakarta :

Kencana Sapriya. (2014). Pendidikan IPS. Bandung : Rosda Schuh, Gartzen, Roden, Hauzer, Marks, (2015). Promoting

work based learning through industry. Procedia CIRP, 32, hlm. 82-87.

Slavin, R.E. (2011). Psikologi Pendidikan Jilid I. Jakarta :

Indeks Somantri, M.N. (2001). Menggagas Pembaharuan

Pendidikan IPS. Bandung : Rosda Somantri, M. N., dkk. (2010). Inovasi Pembelajaran IPS.

Bandung : Rizqi Press Supardan, D. (2015). Pembelajaran IPS. Bandung : Bumi

Aksara Sutarjo, A. (2012). Pembelajaran Nilai-Karakter. Jakarta :

PT. Raja Grafindo Persada Steffe, L. P., & Gale, J. (1995). Constructivism in

Education. Hillsdale, NJ: Erlbaum.

Page 227: SUBKHAN ROJULI

227

Tobias, S. and Duffi, M. T. (2009). Constructivist Instruction: Sources or Failure? New York and London: Routledge Taylor and Prancis Geoup.

Trianto. (2015). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta :

Bumi Aksara Uno, H.B. (2014). Model Pembelajaran. Jakarta : Bumi

Aksara Undang-Undang No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional Vygotsky, L. (1978). Interaction betweem learning and

development. From : Mind and Society (p.57). Cambridge, MA : Harvard University Press.

Widarwati dan Wijayati, E. (2016). Modul Pelatihan Guru

Mata Pelajaran IPS SMP. Batu : P4TK PKn IPS Dirjend GTK Kemendikbud

Widarto, Pardjono dan Widodo, N. (2012). Pengembangan

Model Pembelajaran Soft Skills dan Hard Skills Untuk Siswa SMK. Cakrawala Pendidikan, 31(3), hlm. 409-423

Zakiyah, Q.Y & Rusdiana. (2014). Pendidikan Nilai.

Bandung : Pustaka Setia Zimmerman, B.J., & Schunk, D.H., (2003). Albert

Bandura : The Scholar and His Contribution to

Page 228: SUBKHAN ROJULI

228

Educational psychology. Dalam B.J. Zimmermann& D.H., Schunk (Ed), Educational Psychology : A Century of Contributions (hlm. 431-457). Mahwah, N.J:Erlbaum

Page 229: SUBKHAN ROJULI

229

BIODATA PENULIS

Subkhan Rojuli lahir di

Kebumen, 30 April 1980.

Anak pertama dari lima

bersaudara dari pasangan MC.

Tojibin dan Jusmarni. Tahun

2006 menikah dengan Sulaeni,

M.Pd dan dikarunia tiga orang

anak yang lucu yaitu Janeta Zalfa Quds (2009), Ghazy

Nibras Hibrizi (2010) dan Quthbie Zayan El Hazima

(2016). Sekarang hidup dan tinggal bersama dengan

bahagia di Perum. Persada Banten, Blok G4, No. 17,

Teritih, Walantaka, Kota Serang, Banten. Menyelesaikan

sekolah dari SD s/d SMA di Kebumen (1987 s/d 1999).

Pernah belajar di STIE Muhamdiyah Tangerang dari tahun

2000 s/d 2002 kemudian menyelesaikan S-1 Ekonomi

Manajemen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang

berijasah tahun 2005. S-2 Pendidikan IPS Universitas

Indraprasta PGRI Jakarta lulus tahun 2013. Sekarang

sedang menyelesaikan disertasi S-3 Pendidikan IPS

Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.

Page 230: SUBKHAN ROJULI

230

Pengalaman mengajar atau bekerja mulai

Desember 2006 s/d Maret 2009 sebagai Staf Gudang PT.

SRKI Tangerang. Juni 2009 s/d Juni 2010 sebagai Asisten

Dosen Ekonomi Manajemen STIE IMNI. April 2009 s/d

Februari 2010 sebagai Kepala TU di SMAI Al-Azhar 6

Serang. Januari 2010 s/d sekarang sebagai Pengajar Tetap

di SMKN 5 Kota Serang.

Selain itu, pernah sebagai dosen paruh waktu di

YBB ISEC Serang, Universitas Mathlaul Anwar dan

Universitas Terbuka UBJJ Serang (2013 s/d 2015).

Sekarang sedang proses alih fungsi dari guru ke

widyaiswara di P4TK PKn dan IPS.

Page 231: SUBKHAN ROJULI

231