studi variasi pemanfaatan pengolahan dan pengelolaan aren

25
1 STUDI VARIASI, PEMANFAATAN, PENGOLAHAN DAN PENGELOLAAN AREN DI DESA RANCAKALONG, KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT *) Oleh : Budi Irawan, Eka Rahmayani dan Johan Iskandar Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran ABSTRAK Penelitian mengenai variasi, pemanfaatan, pengolahan dan pengelolaan aren di Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat telah dilakukan antara bulan Februari-Agustus 2007. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif bersifat deskriptif analisis dengan pendekatan etnobotani. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara baik secara terstruktur maupun semi-struktur, observasi partisipatif, pencatatan individu, koleksi, identifikasi tanaman aren dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara emik di Desa Rancakalong terdapat 4 variasi aren, yaitu ‘kawung ageung’, ‘kawung saeran’, ‘kawung kembang’ dan ‘kawung monyet’ . Secara umum masyarakat Rancakalong memanfaatkan dan mengolah aren secara tradisional dengan menggunakan peralatan yang sederhana pula. Pengetahuan masyarakat lokal Desa Rancakalong mengenai pemanfaatan dan pengolahan aren pada umumnya diperoleh secara turun-temurun. Berdasarkan penelitian, tanaman aren ini dimanfaatkan oleh masyarakat Rancakalong untuk berbagai keperluan, baik untuk sumber makanan seperti gula kawung”,” cangkaleng”, dan “aci kawung”, maupun untuk tujuan lain seperti ornamen upacara adat, kerajinan tangan, obat tradisional dan pakan ternak. Kata kunci : Aren, Etnobotani, Pemanfaatan, Pengolahan dan Pengelolaan Aren, Masyarakat Rancakalong ABSTRACT A research on variation, usage, processing and management of sugar palm in Rancakalong village, Rancakalong Subregency, Sumedang Regency, West Java, was conducted between February and August 2007. Qualitative method with descriptive analysis based on ethnobotanic approach. Structured and semi-structured interviews, participant observation, total census of sugar palm individu were used in this study identification of palms and literature study were applied for collecting data. The result of study shows that based on an emic approach in Rancakalong village it has been found that four variations of sugar palm, which are called ‘kawung ageung’, ‘kawung saeran’, ‘kawung kembang’ and ‘kawung monyet’ . Generally, the usage and processing of sugar palm by local community in Rancakalong village are usually the traditional method with using simple tools. The knowledge of local community of Rancakalong village regarding usage and processing of sugar palm in generally is obtained by inheriting from generation to generation. Based on study, the sugar palms have been commonly used by local community in Rancakalong village for various purposes, namely for food such as “gula kawung”, “cangkaleng”, “aci kawung”, and other purposes including ceremonial ornament, handicraft, traditional medicine and cattle food. Keywords : Sugar Palm, Ethnobotany, Usage, Processing and Sugar Palm Management, Rancakalong Community *) Disampaikan pada Seminar Nasional Etnobotani IV, Cibinong 18 Mei 2009

Upload: kalape-junior

Post on 13-Dec-2015

23 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

pengolahan aren

TRANSCRIPT

1

STUDI VARIASI, PEMANFAATAN, PENGOLAHAN DAN PENGELOLAAN AREN DI DESA RANCAKALONG,

KECAMATAN RANCAKALONG, KABUPATEN SUMEDANG, JAWA BARAT *)

Oleh : Budi Irawan, Eka Rahmayani dan Johan Iskandar

Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Padjadjaran

ABSTRAK Penelitian mengenai variasi, pemanfaatan, pengolahan dan pengelolaan aren di Desa Rancakalong, Kecamatan Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat telah dilakukan antara bulan Februari-Agustus 2007. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif bersifat deskriptif analisis dengan pendekatan etnobotani. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara baik secara terstruktur maupun semi-struktur, observasi partisipatif, pencatatan individu, koleksi, identifikasi tanaman aren dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara emik di Desa Rancakalong terdapat 4 variasi aren, yaitu ‘kawung ageung’, ‘kawung saeran’, ‘kawung kembang’ dan ‘kawung monyet’. Secara umum masyarakat Rancakalong memanfaatkan dan mengolah aren secara tradisional dengan menggunakan peralatan yang sederhana pula. Pengetahuan masyarakat lokal Desa Rancakalong mengenai pemanfaatan dan pengolahan aren pada umumnya diperoleh secara turun-temurun. Berdasarkan penelitian, tanaman aren ini dimanfaatkan oleh masyarakat Rancakalong untuk berbagai keperluan, baik untuk sumber makanan seperti “gula kawung”,” cangkaleng”, dan “aci kawung”, maupun untuk tujuan lain seperti ornamen upacara adat, kerajinan tangan, obat tradisional dan pakan ternak. Kata kunci : Aren, Etnobotani, Pemanfaatan, Pengolahan dan Pengelolaan Aren,

Masyarakat Rancakalong

ABSTRACT A research on variation, usage, processing and management of sugar palm in Rancakalong village, Rancakalong Subregency, Sumedang Regency, West Java, was conducted between February and August 2007. Qualitative method with descriptive analysis based on ethnobotanic approach. Structured and semi-structured interviews, participant observation, total census of sugar palm individu were used in this study identification of palms and literature study were applied for collecting data. The result of study shows that based on an emic approach in Rancakalong village it has been found that four variations of sugar palm, which are called ‘kawung ageung’, ‘kawung saeran’, ‘kawung kembang’ and ‘kawung monyet’. Generally, the usage and processing of sugar palm by local community in Rancakalong village are usually the traditional method with using simple tools. The knowledge of local community of Rancakalong village regarding usage and processing of sugar palm in generally is obtained by inheriting from generation to generation. Based on study, the sugar palms have been commonly used by local community in Rancakalong village for various purposes, namely for food such as “gula kawung”, “cangkaleng”, “aci kawung”, and other purposes including ceremonial ornament, handicraft, traditional medicine and cattle food. Keywords : Sugar Palm, Ethnobotany, Usage, Processing and Sugar Palm Management,

Rancakalong Community *) Disampaikan pada Seminar Nasional Etnobotani IV, Cibinong 18 Mei 2009

2

PENDAHULUAN

Hubungan antara masyarakat dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan

hidup berlangsung sepanjang masa, sedangkan sifat dan intensitasnya mengalami

perubahan sejalan dengan perkembangan kependudukkan dan kebudayaannya. Kehidupan

masyarakat desa sangat bergantung pada sumber daya alam yang tersedia disekitarnya,

fungsi tata guna lahan (pertanian dan hutan) sebagai sumber daya alam memberikan

manfaat pengetahuan dan juga pengalaman masyarakat lokal tentang pemanfaatan berbagai

tumbuhan dalam kehidupan sehari-harinya.

Aren [Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.] merupakan salah satu sumber daya alam di

daerah tropis, distribusinya tersebar luas, sangat diperlukan dan mudah didapatkan untuk

keperluan sehari-hari oleh masyarakat setempat sebagai sumber daya yang

berkesinambungan. Di Indonesia pohon aren sebagian besar secara nyata digunakan untuk

bahan bangunan, keranjang, kerajinan tangan, atap rumah, gula, manisan buah dan lain

sebagainya (Sumarni, dkk., 2003). Aren merupakan tumbuhan serbaguna, dimana setiap

bagian pohon aren tersebut dapat diambil manfaatnya, mulai dari akar untuk obat tradisional,

batang untuk berbagai macam peralatan dan bangunan, daun muda/janur untuk pembungkus

kertas rokok. Hasil produksinya juga dapat dimanfaatkan, misalnya buah aren muda diolah

menjadi kolang-kaling, air nira untuk bahan pembuatan gula merah/cuka dan pati/tepung

dalam batang untuk bahan pembuatan berbagai macam makanan. Ramlan (1995) dalam

Juanda (2005) melakukan penelitian etnobotani mengenai potensi aren di Jawa Barat. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Barat memanfaatkan aren sebagai

bahan makanan, obat, juga berguna untuk meningkatkan pendapatan penduduk desa

tertinggal dengan menjadikannya sebagai sumber usaha, diantaranya adalah dari produksi

gula aren, bahan rokok, bahan cindera mata dan bahan sapu.

Menurut Soma, Komunikasi Pribadi (2006) masyarakat lokal di Desa Rancakalong

sudah lama mengetahui cara pemanfaatan dan pengolahan berbagai jenis tumbuhan secara

tradisional. Dimana pengetahuan lokal dari masyarakat setempat ini diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari. Aren merupakan salah satu tumbuhan yang banyak dimanfaatkan

oleh masyarakat Desa Rancakalong, bahkan mata pencaharian sebagai petani aren ini

merupakan mata pencaharian sekunder yang banyak dilakukan oleh masyarakat Desa

Rancakalong.

Saat ini populasi aren di alam semakin berkurang. Hal ini disebabkan banyaknya

pohon yang sudah tua, sehingga tidak produktif lagi sedangkan upaya peremajaan populasi

3

aren belum dilakukan secara maksimal (Mujahidin, dkk., 2003). Banyaknya masyarakat yang

memanfaatkan aren untuk kegiatan industri rumah tangga, tanpa adanya upaya peremajaan

dikhawatirkan akan menyebabkan populasi aren tersebut semakin terancam (Lutony, 1993).

Menurut Rukmana, Komunikasi Pribadi (2006) dalam penyebaran aren, masyarakat Desa

Rancakalong sangat mengandalkan jasa dari alam (regenerasi alam) yaitu melalui peranan

musang (Paradoxurus hermaphroditus). Dimana musang memakan buah aren yang sudah

matang. Buah aren yang dimakan oleh musang bijinya tidak hancur, tetapi terbawa keluar

bersama kotorannya. Biji inilah yang sering mudah berkecambah dan tumbuh secara liar

menjadi aren.

Di Kecamatan Rancakalong-Sumedang pada akhir 1983 terdapat 4 (empat)

penggilingan pati aren, yang masing-masing setiap harinya menumbangkan 3 batang pohon

aren. Ini berarti 4320 pohon aren harus ditebang tiap tahunnya. Hal ini merupakan suatu

jumlah yang patut dirisaukan dan diperlukan upaya untuk melestarikannya (Soeseno, 2000).

Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat pula mengakibatkan erosi pengetahuan masyarakat

mengenai potensi dan pemanfaatan aren secara tradisional seiring dengan perkembangan

jaman yang semakin modern, sehingga akan menimbulkan krisis pengetahuan, yaitu dengan

hilangnya pengetahuan masyarakat akan pemanfaatan dan pengolahan aren secara

tradisional yang sifatnya turun temurun. Oleh karena itu studi pemanfaatan dan pengolahan

aren perlu dilakukan di Desa Rancakalong ini, sehingga diharapkan masyarakat menyadari

akan keberadaan pohon aren yang semakin jarang dan dapat segera mengambil tindakan

untuk upaya pelestariannya.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif bersifat

deskriptif analisis dengan pendekatan etnobotani. Teknik pengumpulan data lapangan

dilakukan dengan cara teknik observasi langsung di lapangan, wawancara (terstruktur dan

semi-struktur), pengamatan morfologi, pengamatan anatomi, analisis vegetasi, koleksi,

identifikasi dan studi pustaka. Wawancara dilakukan secara terstruktur terhadap beberapa

responden dan semi-struktur dengan beberapa informan kunci (Martin 1995; Waluyo 2004).

Pada observasi partisipatif dilakukan juga pengumpulan sampel tumbuhan setiap variasi aren

yang terdapat di Desa Rancakalong. Setiap variasi diamati ciri morfologinya (Vogel 1987),

yaitu karakteristik pada batang, daun, bunga, buah, dan biji. Lalu diamati ciri anatominya,

yaitu bagian epidermis daun bagian bawah (abaksial) yang terdiri atas sel epidermis dan

4

stomata. Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui populasi pohon aren yang terdapat di

Desa Rancakalong dengan metode total sensus pada kebun milik petani aren.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Petani Aren di Desa Rancakalong

Petani aren adalah orang yang memanfaatkan pohon aren untuk diambil nira, buah,

ijuk, serta patinya. Petani aren di Desa Rancakalong terdiri dari penyadap nira, pengolah

kolang-kaling (cangkaleng), pengumpul ijuk, dan pembuat tepung aren (aci kawung) tetapi

umumnya petani aren di Desa Rancakalong ini dikenal andal dalam memproduksi gula aren

(gula kawung). Mata pencaharian sebagai petani aren ini hanya bersifat sampingan,

umumnya mata pencaharian pokok masyarakat Desa Rancakalong adalah bertani.

Menurut Data Potensi Kecamatan Rancakalong (2005), masyarakat Desa

Rancakalong terdiri dari 1079 Kepala Keluarga (KK) dengan total jumlah penduduk sebanyak

4124 orang. Berdasarkan hasil wawancara, dari jumlah keseluruhan tersebut hanya terdapat

100 orang yang memiliki mata pencaharian sampingan sebagai petani aren dan hanya 49

orang saja yang dipilih untuk dijadikan responden dalam penelitian ini, yang terdiri dari 25

orang penyadap nira, 11 orang pembuat gula kawung, 5 orang pengolah kolang-kaling, 5

orang pembuat rokok kawung (kolobot) dan 3 orang merupakan pengrajin sapu lidi. Jumlah

responden pengolah kolang-kaling, rokok kawung, dan pengrajin sapu lidi lebih sedikit

dibandingkan dengan penyadap nira dan pembuat gula kawung, dikarenakan bahan-bahan

utama untuk membuatnya sudah sulit diperoleh.

Pembuat kolobot10%

Pengrajin Sapu lidi

6%

Pengolah kolang-kaling10%

Pembuat Gula

kaw ung22%

Penyadap52%

Gambar 1.Persentase Petani Aren di Desa Rancakalong

Kegiatan menyadap nira aren hanya dilakukan oleh kaum lelaki, karena untuk

melalukan kegiatan nyadap ini diperlukan keahlian dan keberanian. Yang dimaksud keahlian

disini adalah keahlian untuk memanjat pohon aren dengan menggunakan sigai dan

5

keberanian untuk bertahan cukup lama di atas pohon aren yang tinggi. Sedangkan yang

sangat berperan dalam proses pembuatan gula kawung adalah kaum perempuan. Untuk

pembuatan kolang-kaling, sapu ijuk, dan rokok daun kawung, umumnya dilakukan baik oleh

kaum lelaki maupun perempuan.

Menurut hasil wawancara dengan responden diketahui bahwa umumnya petani

aren di Desa Rancakalong sebanyak 43% adalah berumur antara 51-60 tahun, 61-70 tahun

(27%), 41-50 (20%), 71-80 tahun (6%), dan 31-40 (4%). Berdasarkan data tersebut diketahui

bahwa sebagian besar petani aren ini sudah berusia cukup tua. Hal ini disebabkan oleh

kuatnya tradisi dalam proses penyadapan aren yang sifatnya turun temurun, sehingga tidak

semua orang dapat melakukan pekerjaan sebagai petani aren karena diperlukan

pengetahuan dan pengalaman yang matang.

Para petani aren di Desa Rancakalong memiliki cara tersendiri untuk mengolah

setiap hasil panennya menjadi produk yang siap dipasarkan. Proses pengolahannya

dilakukan secara tradisional dengan teknik dan peralatan yang sederhana. Cara-cara yang

mereka miliki itu merupakan peninggalan nenek moyang yang diwariskan turun-temurun dan

terus dipertahankan hingga sekarang. Sebagian besar pemanfaatan aren, seperti produksi

gula kawung, cangkaleng, dan ijuk ini masih dikelola masyarakat sebagai usaha keluarga.

Sebagian besar pohon aren yang dimiliki para petani aren di Desa Rancakalong

tumbuh secara liar di kebun, oleh karena itu pertumbuhannya menjadi tidak merata. Pohon

aren yang dikelola oleh setiap petani berkisar antara 1-7 pohon dalam keadaan sedang

disadap. Dalam pengelolaannya, umumnya dilakukan oleh pemilik pohon aren itu sendiri

tetapi ada juga petani aren yang mempekerjakannya pada orang lain dengan sistem bagi

hasil.

Variasi dan Karakteristik Aren Di Desa Rancakalong Berdasarkan Pengetahuan Masyarakat Lokal (Emic Character) Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan informan kunci diketahui

bahwa di Desa Rancakalong terdapat 4 (empat) variasi aren, yaitu kawung ageung, kawung

saeran, kawung kembang, dan kawung monyet. Keempat variasi aren tersebut diperoleh

masyarakat Rancakalong berdasarkan pengetahuan turun temurun baik dari orang tua

maupun dari para sesepuh di Desa Rancakalong. Masyarakat Rancakalong pada umumnya

membedakan keempat variasi aren dengan melihat ciri morfologi dari pohon aren tersebut,

seperti tinggi pohon, diameter batang, banyak/sedikitnya tandan caruluk (bunga betina),

bisa/tidaknya untuk disadap dan habitatnya (Tabel1).

6

Tabel 1 Macam-macam Variasi Aren yang Terdapat di Desa Rancakalong

Penggolongan

No. Variasi Aren Berdasarkan

Tinggi Pohon

Berdasarkan Diameter Batang

Berdasarkan Jumlah Caruluk

Berdasarkan Bisa/Tidak Disadap

Berdasarkan Habitat

Nama Ilmiah

1 Kawung ageung Tinggi Besar Banyak Bisa Tempat

Terbuka Arenga pinnata

2 Kawung kembang Tinggi Besar Sedikit Kadang bisa;

kadang tidak Tempat

ternaungi Arenga pinnata

3 Kawung saeran Pendek Kecil Sedang Bisa Tempat

ternaungi Arenga pinnata

4 Kawung monyet Pendek Kecil Sedikit Tidak Tempat

ternaungi Caryota mitis

Dilihat dari jumlah bunga betinanya (caruluk), ternyata variasi aren yang

mempunyai banyak tandan caruluk (± 4-5 tandan) adalah kawung ageung. Banyak atau

sedikitnya tandan caruluk, menurut hasil wawancara tergantung pada subur atau tidaknya

pohon aren tersebut, begitupun dengan bisa atau tidaknya pohon aren tersebut untuk

disadap. Pohon aren yang memiliki sedikit (1-3 tandan) caruluk dan tidak bisa disadap

dikategorikan sebagai pohon aren yang kurang subur. Variasi aren yang tidak dapat

menghasilkan nira untuk disadap, yaitu kawung kembang dan kawung monyet. Jumlah

tandan caruluk pada variasi kawung kembang dan kawung monyet biasanya hanya

berjumlah 1-2 tandan saja.

Berdasarkan hasil penelitian, pengelompokkan variasi aren tersebut didasarkan

pada karakter morfologinya. Dimana dari ke-4 (empat) variasi aren menurut masyarakat

lokal, ternyata secara etik dapat dibedakan menjadi 2 jenis/spesies yang berbeda, yaitu

Arenga pinnata dan Caryota mitis. Setelah diidentifikasi, variasi aren seperti kawung ageung,

kawung saeran dan kawung kembang merupakan jenis Arenga pinnata, sedangkan kawung

monyet merupakan jenis Caryota mitis. Meskipun keempat variasi aren tersebut terbagi

menjadi 2 jenis tetapi keduanya termasuk dalam famili Arecaceae.

Identifikasi Variasi Aren Berdasarkan Pengetahuan Ilmu Botani (Etic Character)

Identifikasi variasi aren secara etik atau pembuktian persepsi dan konsepsi

masyarakat yang didasarkan pada kaidah ilmu pengetahuan sesuai dengan bidang ilmu

peneliti, dilakukan melalui pengamatan morfologi dan anatomi pada variasi aren tersebut.

Ciri/karakter morfologi yang diamati pada semua variasi aren yang terdapat di Desa

Rancakalong yaitu karakter batang, daun, bunga, buah dan biji. Pengamatan karakter

anatomi hanya dilakukan pada variasi kawung ageung, kawung saeran, dan kawung

kembang, sedangkan pada variasi kawung monyet tidak dilakukan pengamatan anatominya

7

karena variasi kawung monyet ini sudah dapat diidentifikasi sebagai sarai (Caryota mitis L.).

Variasi kawung ageung, kawung saeran, dan kawung kembang secara morfologi daunnya

tidak menunjukkan adanya perbedaan, oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan anatomi

pada ketiga variasi aren tersebut. Ciri/karakter anatomi yang diamati yaitu karakter epidermis

bagian bawah (abaksial) dan stomata. Berdasarkan pengamatan, variasi kawung ageung

memiliki bentuk sel epidermis menyegi empat, sedangkan variasi kawung saeran dan

kawung kembang bentuk sel epidermisnya memanjang. Berdasarkan hasil pengamatan,

ketiga variasi aren (kawung ageung, kawung saeran, dan kawung kembang) memiliki tipe

stomata dimana sel penjaganya dikelilingi oleh 4-6 sel tetangga. Hasil tersebut selaras

dengan pernyataan Stebbins & Kush (1961) dalam Fahn (1995), bahwa pada banyak spesies

Palmae memiliki tipe stomata yang sel penjaganya dikelilingi oleh 4-6 sel tetangga, 2

diantaranya berbentuk bulat dengan ukuran yang lebih kecil dan terletak di ujung sel penjaga.

Tabel 2 Perbandingan Emik Karakter dan Etik Karakter Aren

No. Karakter Emik Etik Variasi Nama Ilmiah

1 Batang

- tinggi, diameter batang besar, berijuk (pohon yang berusia > 5thn) - pendek, diameter batang kecil, berijuk (pohon yang berusia > 5thn) - pendek, diameter batang kecil, tidak berijuk

- tingginya antara 20-25 m, diameter 50-68 cm - tingginya 14-18 m, diameter 42-47 cm - tingginya 6-7 m, diameter 15-17 cm

- kawung ageung; kawung kembang - kawung saeran - kawung monyet

- Arenga pinnata - Arenga pinnata - Caryota mitis

2 Daun

- daun majemuk - ciri/karakter khas daun pada ke-3 variasi aren (kawung ageung; kawung saeran; kawung kembang) tidak dapat dibedakan

- daun majemuk menyirip gasal - panjang helaian daun 5,93-9,5 m, panjang & lebar anak daun 162-174,5 x 6,5-7 cm - panjang helaian daun 5,13-7,35 m, panjang & lebar anak daun 144-149 x 7-8,5 cm - panjang helaian daun 5,29-9,21 m, panjang & lebar anak daun 143-164,3 x 6,5-7 cm - panjang helaian daun 52-60 cm, panjang & lebar anak daun 20,7-23 x 2,5-6,3 cm

- kawung ageung - kawung saeran - kawung kembang

- kawung monyet

- Arenga pinnata - Arenga pinnata - Arenga pinnata - Caryota mitis

3 Bunga - bentuk bulat panjang dan mahkota bunga berwarna bungur (ungu)

- bentuk bulat telur memanjang/lonjong, mahkota bunga

- kawung ageung; kawung

- Arenga pinnata

8

- bentuk bulat panjang, mahkota bunga berwarna hijau muda

berwarna ungu (Greyed-Purple Group 183 A) - bentuk bulat telur memanjang/lonjong, mahkota bunga berwarna hijau muda (Yellow-Green Group 249 D)

saeran; kawung kembang - kawung monyet

- Caryota mitis

4 Buah

- bentuk buah seperti bunga betina pada kelapa dan berwarna hijau - bentuk buah bulat seperti bola dan memiliki beberapa warna yaitu hijau tua, merah, dan oranye

- bentuk buah bulat seperti peluru (ellipsoid) - kulit buah berwarna hijau (Green Group 143 A 143 B) - bentuk bulat seperti bola (globose) - kulit buah berwarna hijau (Yellow-Green Group N144 C), merah (Red Group 45 A), dan oranye (Orange Group 25 A)

- kawung ageung; kawung saeran; kawung kembang - kawung monyet

- Arenga pinnata - Caryota mitis

5 Biji

- bentuk biji lonjong dan berwarna hitam - bentuk biji bulat, berwarna hitam dan berselaput

- bentuk biji bulat memanjang (ellipsoid), berwarna hitam (Black Group 202 A) - panjang biji berkisar antara 2,5-3 cm - bentuk biji bulat (globose), berwarna hitam (Black Group 202 A), dan berselaput - panjang biji 1-1,2 cm

- kawung ageung; kawung saeran; kawung kembang - kawung monyet

- Arenga pinnata - Caryota mitis

Populasi Aren di Desa Rancakalong

Populasi Aren di Desa Rancakalong menurut keterangan informan kunci,

keberadaannya di alam saat ini semakin berkurang. Hal ini sangat dirasakan oleh para petani

aren, dimana mereka kesulitan mencari bahan baku untuk membuat gula kawung dan

kolang-kaling. Dibandingkan dengan kondisi 20 tahun yang lalu sebelum adanya kegiatan

penebangan pohon aren untuk bahan baku aci kawung, keberadaan pohon aren ini sangat

melimpah walaupun tumbuh secara alami dengan bantuan careuh. Hal tersebut selaras

dengan yang dikemukakan oleh Soeseno (2000), yang menyatakan bahwa pada akhir 1983

di Kecamatan Rancakalong, Sumedang terdapat 4 pabrik aci kawung yang setiap harinya

masing-masing pabrik memerlukan 3 batang pohon aren.

Hasil observasi lapangan pada 49 kebun responden dengan luas kebun yang

berbeda-beda mulai dari kebun dengan luas 30 bata (420 m2) sampai dengan kebun yang

luasnya mencapai 700 bata (1 ha), diperoleh data total sensus populasi aren di Desa

Rancakalong sebanyak 751 pohon aren, yang terbagi atas 218 (29%) seedling dengan usia

9

tumbuhan kurang dari 2 tahun, 390 (52%) pohon muda yang berusia antara 4-8 tahun, dan

143 (19%) pohon dewasa yang produktif berusia lebih dari 8 tahun.

Pohon Muda52%

Seedling29%

Pohon Dew asa

19%

Gambar 2 Persentase Total Sensus Pohon Aren di Desa Rancakalong

Menurut beberapa responden, jumlah tersebut dikatakan sudah sangat

mengkhawatirkan, dimana sangat berdampak terhadap para penyadap nira aren yang

biasanya dapat memasang 6-15 lodong, saat ini rata-rata paling banyak hanya memasang 2-

3 lodong saja. Begitupun dengan para pembuat cangkaleng, kolobot, dan pengumpul ijuk,

mereka kesulitan memperoleh bahan baku sehingga harus mencari dan membeli pohon aren

dari petani aren lainnya. Faktor utama yang menyebabkan penurunan populasi adalah

kematian pohon aren baik yang disebabkan oleh kegiatan penebangan pohon aren untuk

produksi aci kawung maupun secara alami, juga disebabkan karena upaya pembudidayaan

aren belum dilakukan secara maksimal. Menurut keterangan informan kunci, sekitar tahun

1990-an di Desa Rancakalong ini pernah dilakukan upaya pembudidayaan Aren dengan

memberikan benih berupa biji dari pemerintah, tetapi masyarakat sekitar kurang antusias

mengikutinya. Dari keseluruhan responden yang diwawancarai 32,65 % menyatakan pernah

melakukan upaya pembudidayaan aren dengan menanam bijinya di pekarangan kemudian

memindahkan anakannya ke kebun dan 67,35% belum pernah melakukan upaya

pembudidayaan, dengan alasan sudah banyak pohon aren yang tumbuh alami, barabe : sulit

(setiap benih yang ditanam tidak pernah tumbuh) dan proses tumbuh pohon aren yang

sangat lama membuat para petani aren malas untuk menanamnya.

Pengetahuan Masyarakat dalam Memanfaatkan Aren

Berdasarkan hasil wawancara kepada responden, diketahui bahwa pengetahuan

masyarakat Desa Rancakalong mengenai pemanfaatan aren untuk berbagai keperluan pada

umumnya diperoleh secara turun temurun yaitu sebanyak 79, 59% seperti yang telihat pada

Gambar 3.

10

79.59%

4.08% 6.12% 10.20%

0%

20%

40%

60%

80%

Persentase Jumlah

(%)

Turun Temurun Bertanya

Turun temurun & Bertanya Belajar sendiri & Bertanya

Gambar 3. Cara Masyarakat Desa Rancakalong dalam Memperoleh Pengetahuan

Pemanfaatan Aren.

Selain diperoleh secara turun temurun, sebanyak 10,2% responden memperoleh

pengetahuan pemanfaatan aren dengan cara mempelajari sendiri dan bertanya. Menurut

salah seorang responden, kelebihan dari bertanya dan mempelajari sendiri mengenai

pemanfaatan aren maka dengan sendirinya akan diperoleh pengalaman yang dapat menjadi

guru bagi diri sendiri. Sedangkan beberapa dari responden lainnya menyatakan bahwa

mereka memperoleh pengetahuan tersebut baik secara turun temurun maupun dari bertanya.

Pemanfaatan Aren

Aren merupakan tumbuhan dari suku Palmae yang memiliki banyak manfaat dan

mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena semua bagian aren mulai dari daun

sampai akar dapat bermanfaat bagi manusia (Gambar 4). Menurut Anonim (2005) aren

ternyata dapat menghasilkan 60 jenis produk bernilai ekonomi dan berpotensi ekspor,

diantaranya yaitu aren sebagai sumber gula, pensuplai energi dan berfungsi dalam

pelestarian lingkungan hidup.

Asal Pengetahuan

11

77.55%

18.37%12.24%

20.41%28.57%

2.04%4.08%

53.06%

8.16%

0%

10%20%

30%40%

50%60%

70%80%

Persentase Jumlah

(%)

nira--gula buah--kolang-kalingijuk--sapu ijuk tulang daun--sapu lidianak daun muda--kolobot abu tangkai daun--sarerangkaw ungbatang--tepung kayu bakarlain-lain

Gambar 4. Macam-macam Pemanfaatan Aren oleh Masyarakat Desa Rancakalong. (Sumber : Data Tabulasi Primer, 2007)

Berdasarkan pernyataan tersebut, pemanfaatan aren dapat dikelompokkan menjadi

: Sumber Pangan, Alat Kerajinan Tangan, dan Pemanfaatan Lain. Hasil yang utama aren

adalah nira sebagai bahan baku dalam pembuatan gula kawung (77,55%), batangnya untuk

kayu bakar (53,6%) dan aci kawung (4,08%), anak daun mudanya untuk kolobot (28,57%),

buah mudanya dapat dijadikan cangkaleng (18,37%), tulang daunnya untuk bahan baku sapu

nyere (20,41%), ijuknya untuk bahan baku sapu injuk (12,24%), kemudian abu tangkai

daunnya dapat digunakan sebagai obat untuk menghilangkan noda bekas jerawat dan cacar

air yang dikenal dengan sarerangkawung atau bedak hideung (2,04%), serta 8,16%

digunakan untuk pakan ternak, talang air dan bahan bangunan.

Sumber Pangan

Aren dapat dimanfaatkan manusia sebagai sumber pangan, seperti gula kawung

yang berasal dari nira aren dapat digunakan untuk membuat berbagai macam jenis makanan

dan minuman tradisional. Contohnya kolak, sampeu wedang, angleng, wajit, bandrek, bajigur

dan lain-lain. Begitu juga dengan buah muda aren dapat dijadikan cangkaleng sebagai bahan

campuran es buah, manisan kolang-kaling dan sebagainya. Kemudian dari batang aren

dihasilkan aci kawung yang merupakan bahan baku untuk membuat bihun, cendol, hunkwe

dan masih banyak lagi.

Alat Kerajinan Tangan

Selain sebagai sumber pangan, aren juga dapat dimanfaatkan menjadi kerajinan

tangan. Umumnya bagian aren yang dapat dijadikan kerajinan tangan berasal dari tulang

daun, ijuk dan akarnya. Dari tulang daun dan ijuk dapat dibuat kerajinan tangan rumah

Pemanfaatan Aren

12

tangga, seperti sapu lidi dan sapu ijuk. Sedangkan dari akar dapat digunakan sebagai bahan

baku pembuatan pecut.

Pemanfaatan Lain

Obat Tradisional

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan informan kunci diketahui

bahwa ada beberapa bagian aren yang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Salah

satu jenis obat tradisional yang banyak diketahui oleh masyarakat Desa Rancakalong, yaitu

sarerang kawung. Obat tradisional tersebut berasal dari hasil pembakaran tangkai daun aren.

Sarerang kawung ini dikenal sebagai bahan kosmetik tradisional untuk menghilangkan luka

bekas jerawat, cacar dan luka bakar juga dipercaya dapat menghaluskan kulit. Sedangkan

dari hasil studi literatur, diketahui bahwa akar aren yang masih muda dapat dimanfaatkan

untuk obat batu ginjal dan akar tuanya untuk obat sakit gigi (Mujahidin,dkk., 2003).

Pakan Ternak

Selain untuk konsumsi manusia, pemanfaatan lain dari aren adalah untuk pakan

ternak. Limbah dari pemarutan batang aren yang disebut dengan cipo (serat yang halus)

dapat dimanfaatkan sebagai pakan bebek dan itik dengan cara dicampur dengan dedak

limbah penggilingan gabah atau bekatul. Kemudian batang dari langari juga dapat digunakan

untuk pakan kambing dengan cara diberikan langsung pada ternak.

Ornamen Upacara Adat

Menurut beberapa responden dan informan kunci, aren juga sangat diperlukan

dalam kegiatan upacara adat yang diadakan oleh masyarakat Desa Rancakalong. Bagian

aren yang banyak digunakan yaitu bagian daun, langari dan caruluk sebagai ornamen dalam

upacara adat seperti, ngalaksa dan nyalin. Dalam upacara adat ngalaksa, daun aren

digunakan untuk menghias bale-bale, tempat meuseul pare, dan lain-lain. Sedangkan dalam

upacara nyalin, daun aren tersebut digunakan untuk membuat sawen (janur) dimana pada

bagian ujung daun aren diikatkan buah langari dan daun handarusa, serta digunakan untuk

menghias sanggar.

Cara Pengolahan Aren Oleh Masyarakat Desa Rancakalong

Penyadapan Nira

Sebelum dilakukan penyadapan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti

persiapan peralatan yang akan digunakan, kesiapan pohon yang akan disadap dan

pengetahuan mengenai cara penyadapan.yang dapat mempengaruhi mutu nira yang akan

13

dihasilkan. Alat-alat yang digunakan masyarakat Desa Rancakalong untuk menyadap nira

sebagian besar merupakan hasil buatan sendiri yang bahan bakunya berasal dari kebun atau

pekarangan, kecuali untuk bedog dan peso sadap yang diperoleh dengan cara membeli ke

pasar atau pandai besi (Tabel 3) Tabel 3. Peralatan untuk Menyadap Berikut Asal Bahan, Kegunaan dan Cara Memperolehnya

Alat dan Bahan Asal Bahan Kegunaan Cara

Memperoleh

Paninggur Batang/akar kayu nangka (Artocarpus integra Merr.)

Alat untuk memukul-mukul langari dengan tujuan untuk memperlancar keluarnya nira

Buat sendiri

Bedog Besi Untuk membuka salumpit (pelepah) Beli dari pandai besi

Lodong Awi gombong (Dendrocalamus giganteus Munro.)

Untuk menampung nira Buat sendiri

Sigai

Awi tali (Gigantochloa apus)/awi surat (G. pseudoarudinaceae)

Tangga untuk menaiki pohon aren Buat sendiri

Peso sadap Besi Untuk memotong ujung langari Beli dari pandai besi

Tali ijuk Ijuk (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.)

Untuk mengikat lodong pada pelepah daun Buat sendiri

Tali Pengaman

Tali ijuk (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.)/tali rafia

Untuk sabuk pengaman penyadap Beli

Jeuntas

Awi tali (Gigantochloa apus)/awi surat (G. pseudoarudinaceae)

Untuk pijakan penyadap saat menyimpan, menyadap, dan mengambil lodong

Buat sendiri

Penyadapan dapat dilakukan pada pohon aren yang sudah berumur 10-12 tahun

dan setelah bunga jantan mekar (tua). Berdasarkan hasil wawancara, ciri-ciri bunga jantan

yang sudah tua dan siap untuk disadap dapat dilihat dari beberapa tahapan sebagai berikut :

• Barenghor, yaitu langari terlihat sudah beukah atau mekar dan bagian dalam bunga

(benang sari) berwarna kuning.

• Humangit, yaitu tercium bau langari yang sangat tajam apabila kita berada di bawah

pohon aren tetapi apabila berada di atas pohon aren, bau langari ini tidak tercium

sama sekali.

• Jeugang, yaitu disekitar tandan langari keluar getah yang sangat lengket.

• Lumejar, yaitu langari sudah berwarna hijau tua, hitam atau ungu kehitaman.

Persiapan penyadapan dimulai dengan membersihkan batang pohon aren dari ijuk

dan membuka salumpitnya (pelepah), kemudian disigaian (memasang sigai) dan memasang

14

jeuntas. Selanjutnya dilakukan proses ninggur, ngayun, dipagas dan dipoko. Lebih jelasnya

kedua proses tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

Proses Ninggur dan Ngayun

Ninggur dan ngayun ini merupakan salah satu upaya yang banyak dilakukan oleh

para penyadap pada umumnya sebelum penyadapan nira dimulai. Ninggur adalah proses

pemukulan tandan bunga jantan dengan cara memukulkan sebatang kayu yang disebut

dengan paninggur pada tangkai bunga jantan dengan arah memutar mulai dari ujung ke arah

pangkal, kemudian sebaliknya sebanyak 3-6 kali putaran yang dilakukan secara perlahan

dan hati-hati. Proses ninggur ini dapat dilakukan pagi, siang ataupun sore hari sebanyak 1-2

kali dalam seminggu selama 1 bulan. Pemukulan tandan bunga jantan ini dilakukan lebih

keras daripada sebelumnya pada saat proses ninggur hampir berakhir, yaitu sekitar minggu

ke-3 dan ke-4. Pada proses ninggur ini disertai juga dengan proses ngayun, yaitu

menggoyang-goyangkan tandan bunga jantan pada saat sebelum dan sesudah ditinggur.

Ngayun setiap kalinya dilakukan sebanyak 20-30 kali ayunan. Kedua proses ini dilakukan

dengan tujuan untuk memperbesar pori-pori dan melunakkan tandan bunga jantan, sehingga

nira mudah keluar.

Dipagas dan Dipoko

Setelah proses ninggur dan ngayun selesai, selanjutnya dilakukan proses

magas/dipagas dan poko/dipoko. Dipagas, yaitu memotong ujung tandan bunga jantan

dengan menggunakan pisau sadap, kemudian dibiarkan 1-2 hari sampai niranya keluar.

Apabila dari tandan bunga jantan tersebut keluar buih/busa, maka buih yang keluar harus

dibersihkan dengan cara tandan bunga jantan disayat tipis menggunakan pisau sadap

kemudian digosok dengan ijuk. Buih atau yang disebut kekejoan ini dapat menyebabkan nira

menjadi asam.

Selanjutnya, setelah tandan bunga jantan bersih dari buih, tandan bunga jantan

tersebut dibungkus dengan daun waluh gedè/labu (Cucurbita pepo) dan didiamkan kembali

selama 1-3 hari. Pembungkusan ini dikenal dengan istilah dipoko. Menurut responden,

proses pembungkusan ini ditujukan untuk menarik nira agar keluar lebih banyak. Hal tersebut

disebabkan karena daun waluh gedè tersebut mengandung asam yang dapat menarik nira

(Muchtadi & Sugiono, 1992).

Jika setelah dipoko banyak nira yang keluar, maka tandan bunga jantan tersebut

sudah bisa untuk disadap. Sebelum memulai proses penyadapan, umumnya para penyadap

di Desa Rancakalong ini mengadakan ritual penyadapan terlebih dahulu.

15

Teknik Penyadapan

Berdasarkan hasil wawancara kepada informan kunci, teknik penyadapan yang

dilakukan oleh para penyadap di Desa Rancakalong, meliputi :

- Penyadapan dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pukul 05.30 sampai 06.30

pagi dan pukul 16.00 sampai 17.00 pada sore hari. Penyadapan yang dilakukan pagi

hari diambil sore harinya sambil memasang lodong baru untuk diambil keesokan

harinya.

- Apabila bunga jantan terlihat mekar, tandan bunga jantannya dipotong (dipagas)

tepat pada ruas paling ujung.

- Jika pada tandan bunga jantan yang telah dipagas, niranya terus menetes sampai

keesokan harinya, berarti nira sudah siap untuk disadap.

- Selanjutnya tandan bunga jantan dibersihkan dari buih dan disayat 1-2 mm setiap

hari untuk memperlancar keluarnya nira.

- Kemudian ujung tandan bekas pemotongan dibungkus dengan daun waluh gedè

(Cucurbita pepo) atau ijuk (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr.), jika nira yang keluar

keesokan harinya semakin banyak, maka pembungkusnya sudah bisa dilepas dan

diganti dengan lodong yang diikatkan pada tandan daun.

- Sebelum mengganti dengan lodong, buih-buih yang terdapat disekitar tandan yang

telah dipotong dibersihkan kembali.

- Agar diperoleh nira yang baik, lodong yang akan dipakai sebaiknya dicuci terlebih

dahulu dengan air yang mengalir, kemudian diasapi dengan menggunakan bara api

dari suluh sampai lodong terasa panas dan kering. Proses tersebut dikenal dengan

istilah digorok.

- Selanjutnya dimasukkan raru, biasanya berasal dari daun-daunan, seperti daun togog

(famili Moraceae), daun jambu air (Syzigium aquea Burn.f.), daun manggis (Garcinia

mangostana L.) dan pucuk awi tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H. Schultes) Kurz.).

Adapun raru yang berasal dari bahan sintetis juga, seperti sabun batangan. Raru

diartikan sebagai obat atau bahan pengawet untuk mencegah agar nira tidak menjadi

asam.

- Untuk mencegah masuknya kotoran seperti debu dan semut, biasanya celah di

antara tangkai bunga aren dan mulut lodong disumbat dengan ijuk. Untuk mencegah

masuknya air hujan, di atas mulut lodong diberi atap dari kakaban ijuk atau karung.

16

Namun bila air hujan masih dapat masuk ke dalam lodong dapat diatasi dengan cara

membuang airnya, karena air hujan tidak bercampur dengan nira.

Setiap tandan bunga jantan dapat disadap niranya setiap hari, selama kira-kira 5-7

bulan berturut-turut, tergantung panjang tandan, jumlah ruas pada tandan dan kesuburan

pohonnya.

Pengolahan Gula Kawung

Peralatan yang diperlukan dalam pembuatan gula kawung, yaitu tungku/hawu, ijuk

untuk penyaring, wajan besar, pengaduk kayu, pangaclèk, cetakan gula (ganduan), tampah

(èbèg). Ganduan terbuat dari potongan bambu jenis awi tali sepanjang 3-4 cm dengan

diameter 5-8 cm. Bahan-bahan yang digunakan adalah nira aren, minyak tanah, kayu

bakar/suluh, raru, tali bambu dan daun kelapa kering (baralak) untuk pembungkus gula aren.

Raru biasanya dari daun togog, daun jambu, daun manggis, atau pucuk awi tali.

Ngagolakkeun lahang

Nira (lahang) yang diambil pada pagi hari langsung digolakkeun/digodog dalam

wajan untuk dijadikan gula. Nira yang diambil pada sore hari, biasanya hanya digodog

setengah matang/tidak sampai mengental yaitu hanya sampai mendidih kemudian dimasak

keesokan harinya dicampur dengan nira yang diambil pada pagi hari. Nira yang terdapat

dalam lodong dituang sambil disaring dengan ijuk yang halus, kemudian ditampung dalam

wajan di atas hawu. Penggodogan dilakukan selama kurang lebih 3-4 jam, tergantung

banyaknya nira. Saat nira mulai mendidih, di permukaannya akan terdapat buih. Buih ini

sebaiknya dibuang dengan menggunakan alat penciduk agar diperoleh gula yang tidak

berwarna gelap (hitam), kering dan tahan lama.

Ngaduga

Pada saat cairan gula mulai mengental, dilakukan proses ngaduga, yaitu cara

memeriksa ketepatan kekentalan gula, dengan cara meneteskan cairan gula ke dalam air

dingin, bila cairan gula sudah tidak terasa lengket maka cairan gula tersebut telah mengental.

Setelah cairan gula mengental, wajan diturunkan dari hawu supaya gula tidak hangus,

kemudian diguis atau diaduk terus menerus sampai cairan gula benar-benar kental atau

kolot. Apabila cairan gula saat diangkat masih berupa serat-serat (ramatan) berarti cairan

gula tersebut belum matang.

Dititis

Selanjutnya cairan gula yang sudah matang dititis/dituang ke dalam cetakan gula

dengan menggunakan pangaclèk. Sebelum digunakan, cetakan gula dicelupkan ke dalam air

17

dingin terlebih dahulu, untuk membantu pendinginan dan memudahkan saat mengeluarkan

gula dari cetakan. Biasanya cairan gula yang matang dapat mengeras menjadi gula selama

kurang lebih 10-15 menit.

Dibungkus

Setelah cairan gula mengeras menjadi gula, lalu gula dibungkus dengan

menggunakan 2 lembar daun kelapa kering dan diikat dengan tali bambu (. Setiap bungkus

berisi 10 buah/gandu gula aren. Dalam sehari para petani dapat membuat 8-14 bungkus gula

aren.

Pengawetan Nira

Kerusakan nira yang menyebabkan nira menjadi asam, berbuih putih dan berlendir

akan menghasilkan gula berwarna cokelat kehitaman, lembek atau lunak sampai tidak dapat

dicetak. Kerusakan nira dapat disebabkan akibat pisau sadap dan wadah/lodong yang

kurang bersih. Untuk mengatasinya menurut Tjiptadi (1984) dalam Kusumah (1992), pisau

sadap dan lodong harus dijaga kebersihannya. Menurut Dachlan (1984) dalam Kusumah

(1992) pisau sadap sebaiknya dibersihkan dengan air bersih dan dibilas dengan air panas,

kemudian dikeringkan baru disimpan. Petani aren di Desa Rancakalong biasanya mengasapi

lodong yang sudah digunakan untuk menyadap dengan memasukkan sebatang kayu/suluh

yang sudah dibakar ke dalam lodong. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Sardjono

(1984) dalam Kusumah (1992), bahwa lodong harus dibilas beberapa kali dengan air dingin

dan air panas lalu diasapi untuk mempercepat proses pengeringan.

Untuk mencegah kerusakan nira, petani aren di Desa Rancakalong menambahkan

bahan pengawet alami ke dalam lodong sebelum digunakan. Bahan pengawet ini disebut

dengan raru yang artinya obat. Raru/bahan pengawet yang umum digunakan oleh petani

aren di Desa Rancakalong adalah pucuk/daun muda togog (Lea sp.), manggis (Garcinia

mangostana L.), jambu air (Syzigium aquea Burm.f.), awi tali (Gigantochloa apus (J.A & J.H.

Schultes) Kurz.). Raru yang berasal dari tumbuhan digunakan dengan cara menggelang atau

meremas-remas 2-3 lembar daunnya dengan tangan, kemudian dimasukkan ke dalam

lodong. Sedangkan raru yang berasal dari sabun batangan, digunakan dengan cara

memasukkan sedikit bubuk sabun batangan ke dalam lodong. Bahan pengawet alami atau

raru yang digunakan oleh petani aren di Desa Rancakalong diduga mengandung komponen

tannin yang aktif sebagai bahan antimikrobial. Menurut Maynard (1970) dalam Kusumah

(1992), sifat-sifat tannin yang penting sebagai bahan pengawet adalah bersifat fungisida dan

menghambat adsorpsi permukaan oleh khamir.

18

Pengolahan Kolang-Kaling (Cangkaleng)

Pengolahan cangkaleng ini merupakan pemanfaatan aren yang berasal dari buah

muda tandan bunga betina (caruluk). Dalam proses pengolahan cangkaleng ini dimulai

dengan pemetikkan caruluk terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan cara

pengolahannya. Tabel 4. Alat dan Bahan yang Digunakan untuk Pemetikkan Caruluk Dilengkapi dengan Asal Bahan, Kegunaan serta Cara Memperolehnya.

Alat dan Bahan Asal bahan Kegunaan Cara

Memperoleh Caruluk/buah aren muda - Bahan baku cangkaleng Dari pohon

aren

Golok tebas Besi Untuk memotong tandan caruluk Beli dari pandai besi

Sigai Awi tali/awi surat Tangga untuk naik ke pohon aren Buat sendiri

Tali tambang Tambang Untuk mengikat caruluk yang telah dipotong agar mudah diturunkan dari pohon

Beli

Tali pengaman Tali ijuk/rafia Sabuk pengaman untuk pemetik aren

Buat sendiri/beli

Berdasarkan pengetahuan responden, caruluk atau buah aren yang dapat dipetik

untuk dijadikan cangkaleng (kolang-kaling) yaitu buah aren yang muda. Biasanya buah aren

yang berusia sekitar 1–1,5 tahun atau buah aren yang langari-nya sudah disadap sebanyak

5-7 kali. Pemetikan buah aren ini adalah dengan cara memotong tandan caruluk dengan

golok tebas yang tandannya diikat terkebih dahulu dengan tali tambang kemudian diulur ke

bawah. Hal ini ditujukan agar pemetik tidak terkena getah dari buah aren yang akan

menimbulkan rasa gatal.

Peralatan yang diperlukan dalam pembuatan kolang-kaling adalah tungku, kayu bakar, serbuk gergaji, drum besar, penutup drum yang dibalut dengan karung, peso raut, carangka, ayakan gede, baskom, gegendil dan batu talenan. Pengolahan buah aren dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara dibakar atau direbus. Buah-buah aren yang dibakar dapat sekaligus dengan tandannya atau dilepas satu per satu dari tandannya terlebih dahulu. Hasil pembakaran bisasanya tidak merata bahkan terdapat buah-buah yang hangus. Kelemahan ini dapat diatasi dengan perebusan. Pembuatan Rokok Kawung (Kolobot)

Pohon kawung yang baik untuk diambil pucuk daunnya adalah pohon yang berumur

3-8 tahun. Pohon kawung yang sudah disadap, pucuknya kurang baik untuk dijadikan

kolobot. Proses pengambilan pucuk daun kawung ini cukup dengan memanjat pohon

kemudian dipilih tandan daun yang daunnya muda lalu potong tandannya dengan golok.

19

Pengrajin kolobot ini kadang membeli pucuk daun kawung dari pohon orang lain seharga Rp.

1.000,-/pohon. Kolobot adalah pembungkus rokok yang terbuat dari daun kawung, dikenal

dengan istilah rokok daun kawung. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan kolobot

adalah peso paud, dan gantar (tongkat bambu).

Setelah tandan daun dipotong dari tandannya, tiap helai pucuk daun kawung

dilepaskan satu per satu dari tandannya dengan menggunakan golok. Tiap helai daun

dibuang tulang daunnya, proses ini disebut dengan disebet. Kemudian dipaud, yaitu

melepaskan lapisan kutikula daun (kulumud) yang terdapat pada daun dengan peso paud.

Selanjutnya digulung/digolongan, kemudian dijemur dibawah sinar matahari dengan cara

digantung pada sebatang bambu yang disebut gantar.

Pengolahan Aci Kawung

Pohon kawung yang memiliki produksi nira yang tinggi biasanya memiliki produksi

aci kawung yang tinggi pula. Pohon kawung yang memiliki produksi aci kawung yang tinggi

ditandai dengan pertumbuhan pohon yang subur dengan daun-daun yang rimbun dan

panjang. Waktu yang tepat untuk memanen aci kawung adalah pada saat muncul tandan

bunga yang pertama, karena pada saat itu kandungan pati yang terkandung sangat banyak.

Batang kawung yang akan diambil acinya ditebang dengan menggunakan patik dan golok

tebas, kemudian dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Tiap potongnya biasanya

berukuran panjang antara 1,5 – 2 m untuk memudahkan pengangkutan. Potongan batang

kawung ini kemudian diangkut ke pabrik untuk proses pengolahan dengan menggunakan

truk. Penebangan dan pengangkutan ini dilakukan setiap 4 hari sekali sebanyak 1 truk

batang kawung yang berisi sekitar ± 5-8 pohon kawung.

Setelah tiba di pabrik pengolahan, tiap potong batang kawung tersebut dibelah

kembali secara membujur menjadi 4-6 bagian yang sama besar. Belahan batang kemudian

dibersihkan dari bagian kulit luar dan kulit dalamnya, sehingga yang tersisa hanya bagian

tengah batang saja yang biasa disebut dengan empulur. Bagian empulur inilah yang

dimasukkan ke dalam mesin pemarut sehingga menghasilkan serat-serat yang terbagi

menjadi 2 bagian, yaitu serat kasar yang disebut jajaba dan serat lembut yang disebut cipo.

Kemudian serat-serat tersebut dimasukkan ke dalam bak pemerasan yang telah berisi air.

Proses pemerasan ini dapat dilakukan dengan cara diaduk dengan menggunakan tongkat

kayu atau dapat juga dengan cara diinjak-injak. Dari bak pemerasan serat-serat ini langsung

ditampung dalam bak penyaringan. Hasil dari penyaringan tersebut kemudian ditampung

dalam bak penampungan dan dibiarkan selama ± 4 – 5 jam. Setelah dibiarkan selama

20

beberapa jam, maka akan terbentuk endapan aci pada lapisan bawah dan air lapisan bawah

dibuang. Proses pembuangan air ini dikenal dengan istilah dibedahkeun. Hasil endapan

pertama disaring kembali dengan menggunakan kain saring untuk menghasilkan endapan aci

kawung yang lebih putih. Setelah terbentuk endapan putih, kemudian dimasukkan ke dalam

karung lalu digantung selama 1 hari untuk proses pengeringan. Setelah terbentuk bongkahan

putih, lalu dihancurkan sampai terbentuk serbuk dan dijemur selama 3-5 hari. Selanjutnya aci

kawung dimasukkan ke dalam karung dan siap untuk dipasarkan.

Pembuatan Sapu Lidi

Tulang daun dilepaskan dari daun-daunnya dengan cara diraut dengan peso raut

sehingga menjadi lidi. Lidi tersebut kemudian dijemur selama ± 1 hari. Setelah itu lalu diikat

dengan membuat simpul dari tali terlebih dahulu yang disebut simpai. Untuk simpai ini dapat

dibuat dari tali plastik atau dari lidi itu sendiri. 1 ikat sapu lidi terdiri dari 150 batang lidi,

dimana dari 1 tandan daun kawung dapat dihasilkan 2 buah sapu lidi.

Pengumpulan Ijuk

Ijuk yang baik biasanya berasal dari pohon kawung yang umurnya ± 5-8 tahun

sampai belum berbunga. Bila pohon sudah berbunga maka jumlah dan kualitas ijuk yang

dihasilkan akan menurun. Cara pengambilannya yaitu ijuk yang menempel pada batang

pohon kawung diambil dengan menggunakan bedog bentelu dan menggunakan sigai

sebagai tangga. Pelepah daun yang menutupi anyaman ijuk dibuang terlebih dahulu.

Anyaman ijuk kemudian dilepas dengan bedog bentelu kemudian dikumpulkan lalu digulung

dan diikat untuk dibawa ke tempat penyisiran. Di tempat penyisiran ini ijuk yang sudah

terkumpul direndam dalam bak perendaman selama 1 hari yang ditujukan agar ijuk menjadi

empuk. Kemudian dijemur ± selama 3 hari sampai kering. Selanjutnya ijuk disisir dengan

menggunakan alat penyisir dari kawat sehingga menjadi serat ijuk. Serat ijuk ini terbagi

menjadi 6 tingkatan yang biasa disebut dengan kualitas ijuk no.1, no.2, no.3, dan seterusnya

sampai no. 6. Ijuk no. 1 sampai no.3 merupakan ijuk dengan kualitas yang terbaik dan

biasanya diekspor ke luar negeri. Sedangkan ijuk no.4 s.d no.6 merupakan ijuk kualitas lokal,

yang biasa digunakan untuk sapu ijuk, kursi mebel, sikat, dan lain-lain. Urutan nomor ijuk ini

didasarkan pada panjang pendeknya serat ijuk. Ijuk dengan serat yang panjang merupakan

ijuk kualitas no.1 (satu) dengan panjang ± 2 m. Selain itu, setelah proses penyisiran diperoleh

pula awul-awul atau ijuk yang paling hancur tetapi masih dapat dimanfaatkan. Awul-awul ini

biasanya dimanfaatkan untuk membuat tali tambang. Harupat, ijuk yang keras hampir

menyerupai lidi dapat dimanfaatkan untuk kayu bakar.

21

Distribusi Pemasaran Hasil Panen Aren

Di Desa Rancakalong terdapat 3 (tiga) saluran pemasaran hasil panen aren dari

para pengrajin, yaitu ke pedagang pengumpul/bandar, warung di sekitar tempat tinggal

pengrajin dan dijual langsung ke konsumen (Gambar 7.). Sebagian besar pengrajin hasil

aren di Desa Rancakalong menginginkan langsung menjualnya ke pedagang

pengumpul/bandar karena dianggap lebih efisien, walaupun dijual dengan harga yang lebih

rendah daripada dijual langsung ke konsumen. Misalnya untuk penjualan gula kawung, pada

pedagang pengumpul/bandar gula kawung dijual dengan harga Rp. 2.500,-/bungkus,

sedangkan pada konsumen dijual dengan harga Rp. 300,-/gandu atau Rp.3.000,-/bungkus.

Pengelolaan Aren

Pengelolaan aren yang dilakukan para petani aren di Desa Rancakalong belum

menuju pada arah pembudidayaan, karena umumnya mereka masih bergantung pada

peranan musang/careuh (Paradoxurus hermaphroditus) sebagai hewan yang sangat

berperan dalam penyebaran aren, padahal mereka mengetahui bahwa populasi aren saat ini

sudah semakin berkurang.

Petani aren di Desa Rancakalong kurang memperhatikan mengenai upaya

pengelolaan aren, dikarenakan kurangnya pengetahuan mereka mengenai upaya

pengelolaan aren itu sendiri. Aren yang tumbuh secara alami dibiarkan tumbuh begitu saja.

Dalam hal ini sebaiknya diperlukan adanya upaya pengelolaan aren agar dapat tumbuh

subur. Biasanya upaya pengelolaan ini meliputi penyiangan, pemupukan serta pengendalian

hama dan penyakit (Mujahidin, dkk., 2003).

Pengelolaan dan pembudidayaan aren perlu dilakukan mengingat tumbuhan

tersebut mempunyai prospek yang baik karena mempunyai kegunaan bagi kehidupan

manusia, juga merupakan tumbuhan yang dapat berperan dalam mencegah erosi tanah

terutama pada daerah-daerah yang terjal karena akar aren dapat mencapai kurang lebih 6

meter pada kedalaman tanah.

Pengelolaan aren yang dilakukan oleh petani aren di Desa Rancakalong hanya

terbatas pada upaya pengendalian hama dan ritual penyadapan (ritual jeunah) saja. Upaya

pengendalian hama pada aren hanya dilakukan oleh sebagian kecil petani aren saja,

sedangkan untuk ritual jeunah umumnya dilakukan oleh semua petani aren di Desa

Rancakalong.

Pengendalian Hama dan Penyakit

22

Hama dan penyakit yang menyerang aren sampai saat ini belum banyak diketahui.

Hal ini disebabkan belum dibudidayakannya aren secara intensif oleh masyarakat khususnya

para petani aren (Anonim, 2005). Berdasarkan hasil wawancara dengan informan kunci,

hama yang biasa menyerang aren mereka adalah bangbung, yaitu sejenis serangga

bersayap yang menyerang pucuk aren, daun muda dan daun tua. Apabila dibiarkan begitu

saja maka dapat menyebabkan kematian pada pohon aren tersebut. Biasanya mereka

mengendalikannya dengan cara mengencingi bagian daun yang terkena hama tersebut.

Menurut Mujahidin, dkk (2003) dan Anonim (2005) hama yang sering menyerang

daun aren seperti pucuk, daun muda maupun daun tua adalah sejenis kumbang kelapa

(Oryctes rhinoceros) dan Rinchoporus sp.. Kumbang ini menyerang pucuk pada pohon aren

sampai masuk ke dalam batang atas dan menembus pangkal pelepah daun muda.

Pengendaliannya dapat dilakukan dengan membersihkan sampah di sekitar pohon yang

dapat menjadi sarang larvanya. Pengendalian secara kimia dilakukan dengan penggunaan

insektisida sistemik atau menaburkan insektisida butiran ke dalam pelepah daun.

Ritual Penyadapan

Ritual penyadapan di Desa Rancakalong dikenal dengan istilah jeunah. Ritual jeunah

ini hanya dilakukan 1 kali untuk setiap pohon aren, yaitu hanya dilakukan pada saat pohon

akan disadap untuk pertama kalinya. Nama jeunah sendiri diartikan dari tandan langari yang

pertama kali muncul dan disadap dari masing-masing pohon aren, sedangkan tandan yang

ke-2 disebut adi jeunah, yang ke-3 disebut bengkel dan yang ke-4 sampai seterusnya disebut

kelesed. Menurut hasil wawancara dari beberapa informan kunci, tidak ada yang mengetahui

asal-usul penamaan setiap tandan langari tersebut. Pengetahuan itu diperoleh para

penyadap dari cerita yang sifatnya turun temurun.

Ritual jeunah ini dilakukan oleh pemilik aren sehari sebelum proses nyadap dimulai.

Dalam ritual ini biasanya pemilik aren membuat sesaji untuk upacara. Sesaji yang disajikan

yaitu berupa bubur beureum, bubur bodas, puncak manik, kupat, dupi, leupeut, congcot

ketan,serta rurujakan seperti rujak asem, rujak cau, rujak kalapa, dan rujak seureuh.

Kemudian dilakukan prosesi ngukus, dengan membakar kemenyan diatas sabut kelapa yang

dilengkapi dengan seuseupeun, yaitu berupa rokok dan cerutu. Untuk ngukus ini ada

beberapa responden yang memintanya langsung kepada sesepuh Desa Rancakalong.

Selanjutnya sesaji tersebut disimpan dalam tampan/nyiru dan dibawa ke kebun, kemudian

disimpan dibawah pohon aren yang akan disadap. Sambil membakar kemenyan, pemilik

aren yang melaksanakan ritual tersebut mengucapkan jampe-jampe/amitan khusus yang

23

sifatnya turun temurun juga. Adapun beberapa jampe/amitan yang diucapkan para penyadap

saat ritual jeunah ini antara lain:

• ”Ka Semar, Ka Togog, ulah ngaganggu Tah baktian ku nira sasorok. Cing salamet nu nyadapna, Cing salamet nu disadapna” Artinya : Ke semar dan togog, jangan mengganggu Ini diganti dengan selodong nira Semoga selamat penyadapnya dan yang disadapnya

• ”Ka Enéng Rumanangai, rek nyuhunkeun karidhoanana, sing juuh banyuna, sing beuneur gulana,

Ka Aki Antai-antai jeung Nini Antai-antai, Ka Aki Panetep jeung Nini Panetep, Rek nyuhunkeun karidhoanana ka bumi jeung ka langit.” Artinya :

Ke Enéng Rumanangai, meminta keridhoannya Saya meminta airnya keluar, gulanya bagus Kepada Aki dan Nini Antai-antai, kepada Aki dan Nini Panetep Meminta keridhoannya dari bumi dan langit

• ”Nyuhunkeun karidhoanana bade dipotong Nyanggakeun sasondonganana Rujak cau kanggo kersaning Ibu Rujak kalapa kanggo kersaning Rama Rujak asem kanggo kersaning ka Nyai anu Geulis (pare) Bade diteukteuk leunjeuranana, ditilas adeganana.” Artinya : Memohon keridhoannya untuk dipotong tandannya Memberikan sesajiannya Rujak pisang untuk Sang Ibu Rujak kelapa untuk Sang Bapak Rujan asam untuk Nyai yang cantik (padi) Untuk dipotong tandannya, ditebang pohonnya

Walaupun setiap penyadap memiliki jampe yang berbeda-beda tetapi secara

keseluruhan ritual ini dilakukan sebagai suatu etika untuk meminta izin kepada para leluhur

dan dewa/dewi yang melindungi pohon tersebut serta memohon semoga diberikan rizki dan

keselamatan selama melakukan proses nyadap.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1. Secara emik variasi aren di Desa Rancakalong terdiri dari 4 variasi, yaitu kawung

ageung, kawung saeran, kawung kembang, dan kawung monyet. Sedangkan secara

24

etik dari ke-4 variasi aren tersebut ternyata dibedakan menjadikan 2 jenis, yaitu Arenga

pinnata (Wurmb.) Merr. (kawung ageung, kawung saeran, kawung kembang) dan

Caryota mitis L. (kawung monyet).

2. Pengetahuan masyarakat Desa Rancakalong mengenai aren seperti karakteristik khas,

pemanfaatan serta pengolahannya sangat mendalam, dimana mereka dapat

mengetahui berbagai pemanfaatan dan pengolahan aren dengan baik meskipun

dengan menggunakan peralatan yang tradisional dan sederhana serta tetap

mempertahankan pengetahuan lokal yang sifatnya turun temurun.

3. Upaya pengelolaan aren di Desa Rancakalong belum dilakukan secara maksimal

begitupun dengan upaya pembudidayaannya. Hal ini disebabkan masyarakat Desa

Rancakalong menganggap bahwa upaya budidaya aren belum perlu dilakukan,

mengingat masih saja terdapat pohon aren yang tumbuh secara alami dengan bantuan

musang (Paradoxurus hermaphroditus) meskipun dalam jumlah sedikit.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Aren. www.biosvr01.biotrop.org. Diakses tanggal 12 Agustus 2007. Backer, C. A. and R. C. Bakhuizen Van Den Brink Jr. 1968. Flora of Java (Spermatophytes

Only). Vol I. Netherland: Wolters-Noordhoff N. V. -Groningen.

Burkill, I. H. 1935. A Dictionary of The Economic Products of The Malay Peninsula. Vol. I (A-Cod). London : Crown Agents For The Colonies.

Fahn, A. 1995. Anatomi Tumbuhan. Edisi ketiga. Penerjemah : Ahmad Soediarto, dkk. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia 1. Jakarta : Badan Litbang Departemen Kehutanan.

Juanda, J. 2005. Studi Etnobotani Kayu Angin (Usnea spp.) di Kabupaten Garut – Jawa Barat. Skripsi. Jatinangor : Jurusan Biologi FMIPA Unpad.

Kusumah, R.D. 1992. Mempelajari Pengaruh Penambahan Pengawet pada Nira Aren (Arenga pinnata Merr.) Terhadap Mutu Gula Merah, Gula Semut, Sirup Nira dan Gula Putih yang Dihasilkan. Skripsi. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Lutony, T. L. 1993. Tanaman Sumber Pemanis. Jakarta : Penebar Swadaya. Martin, G. J. 1995. Ethnobotany: a Methods Manual. London : Chapman & Hall. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor : Departemen

Pendidikan dan Kebudyaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas Pangan dan gizi IPB.

Mujahidin,. Sutrisno,. Dian, L,. Tri, H. dan Izu, A. F. 2003. Aren Budidaya dan Prospeknya. Bogor : Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI.

Rukmana. 2006. Sesepuh Desa Rancakalong. Komunikasi Pribadi pada tanggal 19

September 2006.

25

Sastrapradja, S,. Johanis, P. M,. Harini, M. dan Johar, J. M. 1980. Palem Indonesia. Jakarta : Lembaga Biologi Nasional – LIPI. Balai Pustaka..

Soeseno, S. 2000. Bertanam Aren. Jakarta : Penebar Swadaya. Soma. 2006. Juru Adat di Desa RancaKalong. Komunikasi Pribadi pada tanggal 19

September 2006. Uhl, N.W and John. D. 1987. Genera Palmarum : A Classification of Palms Based on the

Work of Harold E. Moore, Jr. Kansas : Allen Press Lawrence. Vogel, E. F. D. 1987. Manual of Herbarium Taxonomy Theory and Practice. Netherland :

Rijksherbarium Leiden. Walujo, E. B. 2004. Pengumpulan Data Etnobotani dalam Rugayah, E. A. Widjaja, dan

Praptiwi (ed). Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Bogor, Indonesia : Pusat Penelitian Biologi-LIPI. pp: 77-90.

Wibowo, S. dan Sentot A. S. 2005. Kajian Pengolahan dan Sistem Pemasaran Gula Merah Aren di Desa Kuta Raja, Tiga Binanga Tanah Karo, Sumatera Utara. Info Hasil Hutan Vol. II April 2005. Hal. 41-49. Jakarta : Puslitbang Teknologi Hasil Hutan.

.