studi mekanisme upwelling menggunakan … · 7 pola arah dan kecepatan arus di kedalaman 50 m 14...
TRANSCRIPT
STUDI MEKANISME UPWELLING MENGGUNAKAN
PEMODELAN NUMERIK DI PERAIRAN SELATAN
SULAWESI
PRISKA WIDYASTUTI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Studi Mekanisme
Upwelling Menggunakan Pemodelan Numerik di Perairan Selatan Sulawesi
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Priska Widyastuti
NIM C54100072
ABSTRAK
PRISKA WIDYASTUTI. Studi Mekanisme Upwelling Menggunakan Pemodelan
Numerik di Perairan Selatan Sulawesi. Dibimbing oleh AGUS SALEH
ATMADIPOERA.
Perairan Sulawesi bagian Selatan merupakan perairan yang dikenal penting
dalam bidang perikanan karena memiliki kesuburan dan kelimpahan sumber daya
laut yang tinggi. Intensitas angin meningkat pada bulan Juni dan suhu permukaan
laut menurun setelah angin monsun tenggara melewati semenanjung selatan Pulau
Sulawesi yang mengindikasikan adanya upwelling. Penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan penyebab dan penggerak dari mekanisme upwelling yang terjadi
berdasarkan hipotesis dan mendeskripsikan pengaruh interaksi topografi dan arus
terhadap intensitas upwelling, sebaran upwelling serta siklus tahunan parameter
atmosferik dan oseanik di perairan Sulawesi bagian Selatan. Konfigurasi model
dibangun menggunakan versi ROMS AGRIF dalam tiga skenario dan divalidasi
dengan suhu permukaan laut hasil pencitraan NOAA AVHRR. Terdapat angin
monsun tenggara ke arah barat laut pada Musim Timur. Peningkatan intensitas
angin mengakibatkan peningkatan difusi vertikal dan menambah aktivitas
pencampuran vertikal yang membangkitkan upwelling. Resirkulasi ARLINDO
meningkatkan intensitas upwelling dan adanya Selat Selayar berperan sebagai
penghalang arus yang keluar dari perairan Selatan Sulawesi menuju ke Laut
Banda.
Kata kunci: ARLINDO, monsun, ROMS, Sulawesi, upwelling.
ABSTRACT
PRISKA WIDYASTUTI. A Study of Upwelling Mechanism Using a Numerical
Model at Southern Sulawesi Sea. Supervised by AGUS SALEH
ATMADIPOERA.
Southern Sulawesi Sea is well-known for having high abundance of marine
and fisheries source in the field of fisheries. The southeasterly winds begin to
intensify in June and sea surface temperature decrease after southeast monsoon
passing the corner of the Sulawesi peninsula, indicates the upwelling phenomenon.
This research aims to describe the dynamics of upwelling mechanism based on
hypothesis and to describe the effect of topographic interaction and sea currents
on upwelling intensity, distribution of upwelling and annual cycle of atmospheric
and oceanic parameter at Southern Sulawesi Sea. The configuration of model was
built using ROMS AGRIF version in three scenarios and validated with NOAA
AVHRR imagery of sea surface temperature. The winds directs northwestward
begin to intensify during southeast monsoon, causes the increase of vertical
diffusivity and vertical mixing that generates upwelling. ITF’s resirculation
increase the intensity and Selayar Strait have a role as a barrier for Southern
Sulawesi Sea outflow current to Banda Sea.
Keywords: ITF, monsoon, ROMS, Sulawesi, upwelling
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
STUDI MEKANISME UPWELLING MENGGUNAKAN
PEMODELAN NUMERIK DI PERAIRAN SELATAN
SULAWESI
PRISKA WIDYASTUTI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Studi Mekanisme Upwelling Menggunakan Pemodelan Numerik di
Perairan Selatan Sulawesi
Nama : Priska Widyastuti
NIM : C54100072
Disetujui oleh
Dr Ir Agus Saleh Atmadipoera, DESS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: Agustus 2014
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April 2014
ini ialah pemodelan oseanografi, dengan judul Studi Mekanisme Upwelling
Menggunakan Pemodelan Numerik di Perairan Selatan Sulawesi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Saleh Atmadipoera,
DESS selaku pembimbing dan kepada Prof Dr Mulia Purba sebagai penguji tamu.
Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir I Wayan
Nurjaya, MSc selaku ketua departemen, Bapak Dr Ir Henry M Manik, ST selaku
ketua komisi pendidikan dan seluruh staf Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga usulan skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Priska Widyastuti
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
METODE 3
Lokasi dan Waktu Penelitian 3
Prosedur Analisis Data 4
Model Numerik 4
Validasi Data 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Pola Arus di Perairan Selatan Sulawesi 12
Interaksi Topografi terhadap Suhu dan Arus Permukaan Laut 16
Keterkaitan Variabel Atmosferik dan Oseanik terhadap Intensitas Upwelling 19
Analisis Diagnostik 23
Mekanisme Upwelling 24
SIMPULAN DAN SARAN 25
Simpulan 25
Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 26
RIWAYAT HIDUP 29
DAFTAR TABEL
1 Parameter umum konfigurasi model 7
DAFTAR GAMBAR
1 Simpangan baku suhu permukaan laut dan klorofil-A di Perairan
Selatan Sulawesi 1 2 Domain model dan batimetri perairan Selatan Sulawesi 4 3 Diagram alir proses pembuatan model 9
4 Hasil validasi suhu permukaan laut model ROMS dengan citra NOAA
AVHRR tahun 2007-2012 10 5 Hasil validasi arus meridional model ROMS 11
6 Pola arah dan kecepatan arus di kedalaman 10 m 13 7 Pola arah dan kecepatan arus di kedalaman 50 m 14 8 Pola arah dan kecepatan arus di kedalaman 100 m 15
9 Pola arah dan kecepatan arus musiman 16
10 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 1 17 11 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 2 18
12 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 3 19 13 Diagram hovmüller variabel atmosferik pada transek A-B 21
14 Diagram hovmüller variabel oseanik pada transek A-B 21 15 Penampang vertikal variabel oseanik transek A-B pada bulan Februari
dan bulan Agustus 22
16 Komponen forcing pada Musim Barat dan Musim Timur di perairan
Selatan Sulawesi 24
17 Mekanisme upwelling di perairan Selatan Sulawesi 25
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perairan Sulawesi bagian Selatan merupakan perairan yang dikenal penting
dalam bidang perikanan karena memiliki kesuburan dan kelimpahan sumber daya
laut yang tinggi. Perairan ini mencakup perairan Selat Makassar, Laut Jawa dan
Laut Flores. Setiawan et al. (2010) menyatakan bahwa suhu permukaan laut di
wilayah ini berkisar antara 29-30oC pada bulan Mei dengan konsentrasi klorofil
yang rendah sekitar 0.3 mg/m3, sedangkan pada bulan Juni konsentrasi klorofil
meningkat hingga mencapai maksimum (1.3 mg/m3) dengan suhu permukaan laut
rendah dan memiliki puncak penurunan (~3oC) pada bulan Agustus. Suhu di
perairan Selatan Sulawesi kembali meningkat pada bulan September. Suhu
tertinggi dan salinitas terendah di perairan Selatan Sulawesi terjadi pada bulan
Desember-Maret, sedangkan suhu terendah dan salinitas tertinggi terjadi pada
bulan Juni-November (Susanto et al. 2012).
Kondisi arus perairan Selatan Sulawesi juga dipengaruhi oleh Arus Lintas
Indonesia (ARLINDO) yang melintasi Selat Makassar sebagai jalur utama
ARLINDO di Indonesia. Nilai transpor massa air di wilayah ini pada bulan
Januari 2004 hingga bulan November 2006 adalah sebesar 11.6±3.3 Sv (Sv = 106
m3/s) dengan nilai maksimum terjadi pada bulan April-Juni dan minimum pada
bulan Oktober-Desember (Gordon et al. 2008). Selama monsun tenggara
berlangsung, angin permukaan bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan yang
meningkat pada bulan Mei hingga Agustus dan bergerak secara pararel ke arah
pantai. Intensitas angin meningkat pada bulan Juni dan suhu permukaan laut
menurun setelah angin monsun tenggara melewati semenanjung selatan Pulau
Sulawesi (Habibi et al. 2010). Kondisi di sekitar perairan ini mengindikasikan
adanya fenomena upwelling yang diduga sebagai penyebab tingginya kelimpahan
sumber daya perikanan dan kelautan di wilayah tersebut (Setiawan et al.2010,
Habibi et al. 2010). Hal ini terlihat dari anomali suhu permukaan laut dan klorofil-
a (Gambar 1).
Gambar 1 Simpangan baku suhu permukaan laut (kiri) dan klorofil-A (kanan) di
Perairan Selatan Sulawesi (Syahdan et al. 2014)
Upwelling dapat digerakkan oleh beberapa mekanisme. Salah satu
penggerak utama upwelling yaitu angin. Upwelling yang dibangkitkan oleh angin
lebih mudah dilihat pada wilayah di dekat pantai. Kondisi topografi dasar laut
2
juga dapat membangkitkan upwelling, seperti adanya arus yang melintasi paparan
yang memiliki isobaths yang divergen dan adanya ngarai (tebing) bawah laut
(Sarhan et al. 2000). Adanya indikasi upwelling dan kelimpahan sumber daya laut
di wilayah perairan Selatan Sulawesi melalui analisis citra satelit telah banyak
diteliti (e.g. Setiawan et al. 2010, Habibi et al. 2010), namun penelitian mengenai
mekanisme upwelling dan penggeraknya masih sedikit dilakukan. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian untuk menjelaskan mekanisme upwelling yang terjadi
di wilayah ini.
Pendekatan pemodelan dapat dilakukan untuk membuktikan hipotesis
mengenai mekanisme upwelling di perairan Selatan Sulawesi. Kemajuan
pemodelan numerik pada bidang oseanografi dan teknologi komputasi dengan
biaya terjangkau telah meningkatkan kemampuan prediksi untuk bidang kelautan
pantai dan regional. Salah satu model yang telah dikembangkan adalah model
ROMS (Regional Ocean Modeling System) dan kemampuan membuat nesting
pada versi ROMS AGRIF. ROMS merupakan model hidrodinamika yang
menggunakan persamaan primitif (primitive equation) yang dapat dikonfigurasi
untuk aplikasi dalam skala regional (Marta-Almeida et al. 2010). Salah satu hasil
dari model ROMS AGRIF adalah simulasi sirkulasi arus laut. ROMS AGRIF
telah banyak diaplikasikan untuk mempelajari fenomena-fenomena yang terjadi di
bidang kelautan, seperti deteksi reduksi meso-scale eddy pada EBUS (Eastern
Boundary Upwelling Systems) (Gruber et al. 2011), batasan upwelling oleh arus
geostrofik di tepi pantai (Marchesiello et al. 2011), simulasi dinamika ekosistem
fitoplankton pada sistem upwelling California (Gruber et al. 2006), kajian
blooming klorofil di wilayah Pasifik Barat pada peristiwa El-Nino tahun 1997-
1998 (Messie et al. 2006) dan pemodelan erosi dan transpor partikel sedimen
dengan resolusi tinggi di wilayah paparan Afrika (Karakas et al. 2006).
Perumusan Masalah
Fenomena upwelling yang terjadi di perairan Selatan Sulawesi berdasarkan
beberapa penelitian sebelumnya hanya dikaji melalui pendekatan analisis citra,
sehingga diperlukan penelitian melalui pemodelan numerik untuk mengetahui
secara jelas mekanisme pembentukan upwelling. Penelitian ini dilakukan untuk
menjawab beberapa pertanyaan, antara lain:
1. Bagaimana fluktuasi tahunan suhu permukaan laut dan arus di perairan
Selatan Sulawesi?
2. Bagaimana sebaran upwelling terkait dengan interaksi topografi dan arus di
perairan Selatan Sulawesi?
3. Apa penyebab upwelling di perairan Selatan Sulawesi berdasarkan
parameter atmosferik dan oseanik?
4. Bagaimana hasil analisis diagnostik terkait dengan mekanisme upwelling di
perairan Selatan Sulawesi?
Pertanyaan tersebut selanjutnya dijawab melalui pendekatan pemodelan
ROMS dengan tiga skenario, antara lain Selat Selayar terbuka, Selat Selayar
tertutup dan slipperiness = +1, Selat Selayar tertutup dan slipperiness = -1.
Kemudian hasil dari simulasi model dianalisis dengan mendeskripsikan
mekanisme upwelling dan penggeraknya.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penyebab dan penggerak dari
mekanisme upwelling yang terjadi berdasarkan hipotesis, antara lain divergensi
arus di sekitar Makassar, resirkulasi dari ARLINDO sebagian pada permukaan
yang dipengaruhi oleh angin musim dan adanya dorongan arus dari selat di antara
Pulau Sulawesi bagian Selatan dan Pulau Selayar (Selat Selayar) atau kombinasi
ketiga kondisi tersebut dapat dapat menjadi penyebab terjadinya upwelling. Selain
itu, penelitian ini juga bertujuan mendeskripsikan pengaruh interaksi topografi
dan arus terhadap intensitas upwelling serta sebaran upwelling serta siklus tahunan
parameter atmosferik dan oseanik di perairan Sulawesi bagian Selatan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan informasi prediksi sirkulasi laut dan
sebaran upwelling di wilayah perairan Sulawesi Selatan, serta memberikan
penjelasan mengenai mekanisme upwelling yang terjadi secara fisik. Hasil
penelitian merupakan aplikasi model yang didapat secara cepat dan akurat
menggunakan model numerik ROMS AGRIF. Model yang digunakan dapat
diaplikasikan secara luas di perairan Indonesia sehingga mendapatkan data yang
mencakup keseluruhan perairan Indonesia baik jangka pendek dan jangka panjang.
Informasi prediksi dapat digunakan sebagai pengkajian pola siklus tahunan dari
arus, suhu dan salinitas yang memberikan informasi mengenai fenomena yang
terjadi di perairan laut.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-April 2014 dengan domain
model berada di sekitar perairan Selatan Sulawesi dengan koordinat 2-8oLS dan
116-122oBT (Gambar 2). Domain model dipilih berdasarkan daerah yang
mencakup wilayah upwelling di perairan Selatan Sulawesi. Pemrosesan data
dilaksanakan di Laboratorium Oseanografi Fisika, Departemen Ilmu dan
Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
4
Gambar 2 Domain model dan batimetri perairan Selatan Sulawesi
Prosedur Analisis Data
Model Numerik
Konfigurasi model dibangun menggunakan versi ROMS AGRIF yang
memiliki kelebihan dalam kemampuan nesting menggunakan AGRIF (Adaptative
Grid Refinement in Fortran). ROMS memiliki karakteristik khusus, antara lain
penyelesaian persamaan primitif (persamaan Boussinesq dan keseimbangan
momentum hidrostatik vertikal), free surface (time step singkat untuk dinamika
barotropik dan time step besar untuk dinamika baroklinik), peningkatan
perhitungan gradien tekanan horizontal, modul sedimen dan lain-lain. Simulasi
ROMS membutuhkan data grid horizontal (posisi titik grid, ukuran sel grid),
topografi dasar laut, land mask, gaya-gaya permukaan (wind stress, fluks bahang
permukaan, fluks air tawar), kondisi inisial (suhu, salinitas, arus, tinggi muka laut)
dan kondisi batas lateral (suhu, salinitas, arus, tinggi muka laut).
Persamaan konservasi momentum dalam koordinat kartesius ditunjukkan
pada Pers.1 (koordinat-x) dan Pers.2 (koordinat-y):
𝜕𝑢
𝜕𝑡+ 𝑢 ⃗⃗ ⃗ . ∇𝑢 − 𝑓𝑣 = −
1
𝜌0 𝜕𝑃
𝜕𝑥+ ∇ℎ (𝐾𝑀ℎ. ∇ℎ𝑢) +
𝜕
𝜕𝑧(𝐾𝑀𝑣
𝜕𝑢
𝜕𝑧) (1)
𝜕𝑣
𝜕𝑡+ 𝑢 ⃗⃗ ⃗ . ∇𝑣 − 𝑓𝑢 = −
1
𝜌0 𝜕𝑃
𝜕𝑦+ ∇ℎ (𝐾𝑀ℎ. ∇ℎ𝑣) +
𝜕
𝜕𝑧(𝐾𝑀𝑣
𝜕𝑣
𝜕𝑧) (2)
dimana 𝑢 dan 𝑣 adalah komponen kecepatan 2-D, 𝑢 ⃗⃗ ⃗ . ∇𝑢 dan 𝑢 ⃗⃗ ⃗ . ∇𝑣 adalah
komponen adveksi, 𝑓 adalah parameter Coriolis, 𝜌 adalah densitas air permukaan,
𝑃 adalah tekanan, ℎ adalah kedalaman lapisan tercampur, 𝐾𝑀ℎ koefisien
5
percampuran horizontal dan 𝐾𝑀𝑣 adalah koefisien percampuran vertikal.
Persamaan primitif (konservasi momentum) diselesaikan dengan menggunakan
skema split-explicit time-stepping yang membutuhkan kekhususan pada mode
barotropik dan baroklinik. Persamaan primitif pada bagian vertikal didiskretisasi
pada variabel topografi menggunakan koordinat regangan berbasis darat dan
persamaan primitif pada bagian horizontal dievaluasi menggunakan koordinat
batas kurvilinier ortogonal pada grid-C Arakawa.
Persamaan kesetimbangan ditunjukkan oleh:
𝜌 = 𝜌(𝑆, 𝑇, 𝑃) (3)
dimana S adalah salinitas dan T adalah suhu. Variasi densitas pada persamaan
Boussinesq diabaikan dalam persamaan momentum, kecuali terhadap gaya
keseimbangan di dalam persamaan momentum vertikal. Persamaan hidrostatik
selanjutnya mengasumsikan bahwa gradien tekanan vertikal adalah sama dengan
gaya keseimbangan (buoyancy):
0 = −𝜕𝑃
𝜕𝑧− 𝜕𝑔 (4)
0 = 𝜕𝑢
𝜕𝑥+
𝜕𝑣
𝜕𝑦+
𝜕𝑤
𝜕𝑧 (5)
sehingga persamaan akhir yang menunjukkan persamaan kontinuitas untuk fluida
inkompresibel ditunjukkan oleh Pers.5.
Selanjutnya dilakukan analisis diagnostik online dengan menggunakan
persamaan konservasi tracer suhu (Pers.6) dan salinitas (Pers.7):
𝜕𝑇
𝜕𝑡+ �⃗� . ∇𝑇 = ∇ℎ(𝐾𝑇ℎ. ∇ℎ𝑇) +
𝜕
𝜕𝑧 (𝐾𝑇𝑣
𝜕𝑇
𝜕𝑧) (6)
𝜕𝑆
𝜕𝑡+ �⃗� . ∇S = ∇ℎ(𝐾𝑆ℎ. ∇ℎ𝑆) +
𝜕
𝜕𝑧 (𝐾𝑆𝑣
𝜕𝑆
𝜕𝑧) (7)
dimana 𝜕𝑇
𝜕𝑡 dan
𝜕𝑆
𝜕𝑡 menunjukkan laju perubahan suhu dan salinitas terhadap waktu,
�⃗� . ∇𝑇 dan �⃗� . ∇S merupakan komponen adveksi, 𝐾𝑇ℎ merupakan koefisien
pencampuran horizontal dan 𝐾𝑇𝑣 merupakan koefisien pencampuran vertikal.
Analisis pada kondisi batas terbagi menjadi dua, yaitu pada kondisi batas
permukaan (z=η) dan kondisi batas dasar (z=-H). Persamaan yang digunakan pada
kondisi batas permukaan antara lain persamaan kinematik (Pers.8), persamaan
wind stress pada arah x (Pers.9) dan y (Pers.10), fluks bahang (Pers.11) dan fluks
salinitas (Pers.12) sebagai berikut:
𝜕𝜂
𝜕𝑡= 𝑤 (8)
𝐾𝑀𝑣 𝜕𝑢
𝜕𝑧=
𝜏𝑥
𝜌0 (9)
𝐾𝑀𝑣 𝜕𝑣
𝜕𝑧=
𝜏𝑦
𝜌0 (10)
𝐾𝑇𝑣𝜕𝑇
𝜕𝑧=
𝑄
𝜌0𝐶𝑝 (11)
𝐾𝑆𝑣𝜕𝑆
𝜕𝑧=
𝑆 (𝐸−𝑃)
𝜌0 (12)
6
dimana 𝜏𝑥 dan 𝜏𝑦 adalah regangan angin yang melewati pantai pada arah x dan y,
𝑢, 𝑣, 𝑤 adalah komponen kecepatan 3-D, 𝜌0dan 𝐶𝑝 adalah densitas rata-rata dan
kapasitas bahang pada air laut (𝜌 = 103 kg m-3 dan 𝐶𝑝 = 4.1855 x 103 PSI), T
adalah suhu pada kedalaman lapisan tercampur dan 𝐾𝑣 adalah koefisien difusi
vertikal (diestimasi menggunakan skema ROMS KPP). Sedangkan pada kondisi
batas dasar digunakan persamaan kinematik (Pers.13), persamaan gesekan dasar
pada arah x (Pers.14) dan y (Pers.15) serta persamaan fluks dasar untuk suhu
(Pers.16) dan salinitas (Pers.17):
�⃗� . ∇(−𝐻) = 𝑤 (13)
𝐾𝑀𝑣𝜕𝑢
𝜕𝑧=
−𝐶𝑑|�⃗⃗� |𝑢
𝜌0 (14)
𝐾𝑀𝑣𝜕𝑣
𝜕𝑧=
−𝐶𝑑|�⃗⃗� |𝑣
𝜌0 (15)
𝐾𝑇𝑣 𝜕𝑇
𝜕𝑧= 0 (16)
𝐾𝑆𝑣 𝜕𝑆
𝜕𝑧= 0 (17)
Selanjutnya persamaan Navier-Stokes (Pers.18) digunakan dalam analisis
diagnostik. Analisis diagnostik dilakukan untuk mengetahui nilai dari setiap suku
komponen gaya-gaya pada permukaan.
𝜕𝑢
𝜕𝑡+ 𝑢
𝜕𝑢
𝜕𝑥+ 𝑣
𝜕𝑢
𝜕𝑦+ 𝑤
𝜕𝑢
𝜕𝑧− 𝑓𝑣 = −
1
𝜌0 𝜕𝑃
𝜕𝑥+ 𝐷𝑖𝑓𝑓(𝑢) (18)
Model dibuat dalam tiga skenario, antara lain Skenario 1 (Selat Selayar on,
ARLINDO on), Skenario 2 (Selat Selayar off, ARLINDO on, slipperiness = +1)
dan Skenario 3 (Selat Selayar off, ARLINDO on, slipperiness = -1). Kondisi Selat
Selayar on menunjukkan kondisi normal pada wilayah perairan Selatan Sulawesi,
yaitu adanya Selat Selayar yang memisahkan ujung selatan Pulau Sulawesi
dengan Pulau Selayar, sedangkan kondisi Selat Selayar off merupakan kondisi
ditutupnya Selat Selayar dengan mendefinisikan Selat Selayar sebagai daratan.
Proses ini dilakukan dengan mendigitasi mask pada proses pembuatan grid. Nilai
slipperiness menunjukkan kondisi pada tepi batas laut dan darat. Nilai
slipperiness +1 menunjukkan kondisi free slip, yaitu tidak ada aliran tegak lurus
bidang batas sehingga terdapat friksi (peredaman aliran) yang menimbulkan aliran
seragam. Sedangkan nilai slipperiness -1 menunjukkan kondisi no slip, yaitu tidak
ada aliran sejajar bidang batas sehingga terdapat adveksi (non-linier) yang
menimbulkan aliran tidak stabil (turbulen).
Data masukan model diperoleh dari badan penelitian dan basis data dunia
(Penven et al. 2007) antara lain fluks atmosfer (fluks bahang, parameter udara-laut,
fluks air tawar) dari COADS05, batimetri perairan dari citra satelit Etopo-01, suhu
permukaan laut global bulanan resolusi tinggi (9.28 km) dari AVHRR-Pathfinder
Observations tahun 1985-1997, klimatologi bulanan wind stress dari QuickSCAT,
properti air laut dari World Ocean Database (2006) dan kondisi batas lateral dari
hasil simulasi Drakkar INDO-ORCA05 klimatologi (1970-2003). Model tidak
menggunakan penggerak pasang surut karena simulasi dibuat dengan variasi
musiman. Pembangunan model terbagi ke dalam dua tahap (Gambar 3), yaitu
penyusunan konfigurasi model dan visualisasi model.
7
Penyusunan konfigurasi model terdiri dari beberapa langkah, antara lain:
1. Pra-pemrosesan data
Kegiatan ini merupakan tahap pemasukan data berupa data global
dan membuat konfigurasi baru di dalam romstools pada sesi MATLAB,
dan selanjutnya dilakukan penyesuaian beberapa parameter umum
konfigurasi model (Tabel 1) yang dilakukan pada dokumen penyesuaian
parameter romstools_param.m. Domain model dibatasi pada koordinat 2-
8o LS dan 116-122o BT dengan resolusi tinggi 1/12o. Data batimetri yang
digunakan berasal dari citra satelit Etopo-01 dan plot garis pantai yang
digunakan dalam resolusi tinggi. Setelah menyesuaikan parameter yang
digunakan, kemudian dilakukan pembuatan grid dengan menggunakan
perintah make_grid. Nilai LLm (grid pada arah sumbu x) dan MMm (grid
pada arah sumbu y) yang dihasilkan disimpan untuk menyesuaikan
parameter masukan model.
Tabel 1 Parameter umum konfigurasi model
Simbol Keterangan Nilai
LLm Grid pada arah sumbu X 83
Mmm Grid pada arah sumbu Y 72
N Jumlah level vertikal 32
θs Parameter peregangan vertikal permukaan 6
θb Parameter peregangan vertikal dasar 0
Hc Kedalaman transisi 10
Hmin Kedalaman minimum 50
Hmax_coast Kedalaman maksimum pada batas pantai 200
Hmax Kedalaman maksimum 5000
DT Time step model (detik) 360
NTSavg Mulai time step untuk akumulasi data rataan
waktu
1
Navg Rataan time step 240
Rhoθ Densitas rata-rata persamaan Boussinesq (kg
m-3)
1025
rdrg Koefisien drag linier dasar (m si-1) 3x10-4
Cdb_min Koefisien drag dasar minimum 1x10-4
Cdb_max Koefisien drag dasar maksimum 1x10-1
Langkah selanjutnya adalah memproses variabel-variabel gaya
(forcing) sebagai masukan model dengan perintah make_forcing. Nilai
suhu permukaan laut (SST) dengan resolusi yang lebih tinggi (9.28 km)
dapat digunakan dengan menjalankan perintah pathfinder_sst. Rumus bulk
untuk membangkitkan fluks permukaan dari variabel atmosferik (wind
stress, fluks bahang laten, fluks bahang sensibel, fluks bahang gelombang
panjang) untuk gaya-gaya permukaan dapat digunakan dengan perintah
make_bulk. Langkah terakhir dalam pra-pemrosesan data adalah
membangkitkan informasi kondisi batas terbuka inisial dan lateral.
Kondisi tersebut perlu didefinisikan terlebih dahulu pada bagian
romstools_param.m jika terdapat bagian dari batasan model yang memiliki
batas tertutup. Setelah menyesuaikan parameter, kemudian perintah
8
make_bry dijalankan pada sesi MATLAB untuk mendefinisikan gaya pada
kondisi batas.
2. Persiapan dan kompilasi model
Kegiatan ini merupakan tahap persiapan ROMS untuk dilakukan
kompilasi. Setelah data masukan netCDF dipersiapkan (roms_grd.nc,
roms_frc.nc, roms_ini.nc, roms_clm.nc), selanjutnya dilakukan
penyesuaian konfigurasi pada script param.h. Parameter yang perlu
disesuaikan adalah nama konfigurasi BONE_HR dan nilai LLm (83)
MMm (72) yang didapatkan dari hasil make_grid. Nilai tersebut adalah
nilai dari ukuran grid model, LLm merupakan titik pada arah X, dan
MMm merupakan titik pada arah Y. Penyesuaian parameter selanjutnya
dilakukan pada script cppdefs.h. Tahap ini bertujuan memilih bagian C-
preprocessor yang akan digunakan pada saat kompilasi ROMS.
Selanjutnya dilakukan penyesuaian compiler pada script jobcomp,
compiler yang digunakan adalah ifort. Kemudian script jobcomp
dijalankan pada terminal.
3. Menjalankan model
Kegiatan ini merupakan tahap akhir dalam pemrosesan ROMS
yaitu dengan menjalankan run_roms.csh dengan file masukan
roms_inter.in untuk membuat simulasi jangka panjang. Simulasi jangka
panjang digunakan untuk mencapai keseimbangan (kestabilan) statistik.
Panjang simulasi model adalah 10 tahun dan data yang diambil merupakan
data rataan harian dan berada pada tahun ke-10. File masukan telah
disesuaikan dengan beberapa parameter, yaitu waktu simulasi yang
digunakan antara lain NTimes = 1200, dt [sec] = 1200, NDTFAST = 60
dan NINFO = 240 serta menentukan nilai slipperiness yang digunakan (+1
untuk free slip dan -1 untuk no slip). Nilai slipperiness bertujuan
mendefinisikan kondisi batas pada domain model. Kondisi no slip
menunjukkan bahwa pada batas yang solid, fluida memiliki kecepatan = 0
relatif terhadap batas. Sedangkan kondisi free slip menunjukkan bahwa
tidak ada friksi antara batas dan fluida. Kemudian model dapat dijalankan
pada terminal. Penelitian ini menjalankan model sebanyak tiga kali untuk
tiga skenario. Eksperimen klimatologi juga dilakukan dengan
menyesuaikan parameter input pada roms_inter.in dan kemudian
dijalankan pada terminal.
Setelah model dijalankan maka dikeluarkan hasil (output) model berupa
nilai rataan beberapa variabel, antara lain komponen arus zonal dan meridional,
suhu perairan, salinitas, densitas, energi kinetik, kecepatan arus dan beberapa
variabel diagnostik (adveksi vertikal, adveksi horizontal, pencampuran vertikal
dan gradient tekanan). Apabila proses menjalankan model berhasil mengeluarkan
data yang sesuai dengan data hasil validasi dan tidak terjadi blow-up (ditunjukkan
dengan perintah Ya pada diagram alir), maka dilanjutkan dengan kegiatan
visualisasi output. Jika terjadi kegagalan seperti blow-up atau hasil yang tidak
sesuai dengan hasil validasi (ditunjukkan dengan perintah Tidak pada diagram
alir), maka proses dikembalikan ke dalam pemrosesan dan kompilasi data input
model. Kegiatan visualisasi output model dilakukan menggunakan MATLAB
graphic user interface (MATLAB GUI) dengan perintah roms_gui pada sesi
MATLAB. Hasil divisualisasikan menggunakan plot gambar, diagram hovmüller,
9
dan time series dari variabel-variabel output ROMS. Analisis simulasi jangka
panjang dapat dilakukan dengan Diagnostic_tools pada direktori ROMS. Script
tersebut dijalankan pada sesi MATLAB dan dapat divisualisasi menggunakan
roms_gui. GUI menampilkan variabel-variabel ROMS untuk setiap level
horizontal dan melakukan komputasi terhadap variabel turunan dalam time series,
profil vertikal dan diagram hovmüller. Time series dan statistik dikomputasi untuk
simulasi jangka panjang.
Data keluaran (output) model yang dihasilkan merupakan data rataan harian
hasil pemodelan pada tahun ke-10. Terdapat beberapa titik yang menjadi lokasi
sampling data, yaitu titik A dan B. Titik ini dipilih karena dianggap dapat
mewakili wilayah yang memiliki sebaran upwelling yang intensif. Hasil analisis
diagnostik dilakukan untuk menganalisis secara statistik komponen gaya seperti
gaya Coriolis, gradien tekanan dan pencampuran vertikal. Hasil yang dipilih
mewakili Musim Barat dan Musim Timur, yaitu bulan Februari dan bulan Agustus.
Gambar 3 Diagram alir proses pembuatan model
S1=Skenario 1, S2=Skenario 2, S3=Skenario 3
Selesai
Visualisasi
S3 S2 S1
Menjalankan
model
Pemrosesan dan kompilasi
netCDF data
Pembangkitan kondisi
batas
Pembangkitan fluks
permukaan
Pembangkitan nilai SPL
Pemrosesan variabel
gaya
Pembuatan grid
Penyesuaian parameter
Mulai
Ya
Tidak
PR
A-P
EM
RO
SE
SA
N
10
Validasi Data
Model numerik divalidasi dengan membandingkan nilai suhu permukaan
laut hasil keluaran ROMS dengan suhu permukaan laut NOAA AVHRR tahun
2007-2012 (Gambar 4). Kegiatan validasi data dilakukan dengan menggunakan
software Ferret dengan mode klimatologi. Nilai suhu permukaan laut dirata-
ratakan pada wilayah yang mewakili fluktuasi suhu tinggi sepanjang tahun.
Wilayah tersebut dibatasi pada koordinat 5-6oLS dan 118-119oBT. Nilai koefisien
korelasi dihitung untuk mengetahui besarnya keterkaitan antara nilai suhu
permukaan laut hasil keluaran model dengan suhu permukaan laut NOAA
AVHRR.
Gambar 4 Hasil validasi suhu permukaan laut model ROMS dengan citra NOAA
AVHRR. Suhu permukaan laut model ROMS dirata-ratakan selama
satu tahun pada tahun ke-10. Sedangkan suhu permukaan laut hasil
analisis citra NOAA AVHRR merupakan rata-rata bulanan pada
periode tahun 2007-2012
Nilai suhu permukaan laut pada citra NOAA AVHRR menunjukkan adanya
fluktuasi yang kontras pada Musim Barat dan Musim Timur. Hal yang sama
ditunjukkan oleh nilai suhu permukaan laut hasil keluaran model, amplitudo pada
grafik memperlihatkan bahwa suhu permukaan laut pada Musim Barat cenderung
tinggi dan kemudian mengalami penurunan yang besar pada Musim Timur.
Korelasi yang tinggi ditunjukkan oleh pola kedua grafik dan memiliki nilai
koefisien korelasi sebesar 0.9, atau dengan kata lain model dugaan dapat mewakili
sebesar 81% model observasi. Hal ini dapat diartikan bahwa model dapat
merepresentasikan keadaan sebenarnya dan dapat diaplikasikan untuk pemodelan
wilayah perairan Selatan Sulawesi. Suhu permukaan laut hasil keluaran model
memperlihatkan plot yang lebih halus (smooth) dibandingkan suhu permukaan
laut dari citra NOAA AVHRR. Hal ini dikarenakan suhu permukaan laut model
merupakan data rataan harian, sedangkan suhu permukaan laut dari citra NOAA
Suhu (
oC
)
Waktu (Bulan)
11
AVHRR merupakan data yang telah dirata-ratakan melalui mode klimatologi.
Mode klimatologi yang digunakan merupakan rataan bulanan selama tahun 2007-
2012.
Arus hasil pemodelan juga divalidasi dengan membandingkan arus
meridional hasil model dengan arus meridional hasil pengukuran sebelumnya
menggunakan ADCP (Susanto et al. 2012) (Gambar 5). Arus meridional hasil
model merupakan nilai hasil rata-rata selama satu tahun pada tahun ke-10,
sedangkan arus hasil pengukuran merupakan rataan 3 bulanan untuk periode
Januari-Maret (JFM), April-Juni (AMJ), Juli-September (JAS), Oktober-
Desember (OND). Penampang vertikal arus hasil pemodelan menunjukkan adanya
intensifikasi yang sangat jelas di lapisan termoklin pada kedalaman di atas 200m,
dengan maksimum kecepatan arus terjadi pada kedalaman sekitar 120 m, dan
kecepatan minimum terjadi pada kedalaman di atas 800 m. Pola ini sesuai dengan
hasil pengukuran terdahulu (Susanto et al. 2012, Gordon et al. 2008) dengan
kecepatan maksimum yang terjadi pada puncak monsun tenggara (Juli-September)
pada kedalaman sekitar 200 m dan kecepatan minimum yang terjadi pada monsun
transisi (Oktober-Desember) pada kedalaman sekitar 800 m. Namun kecepatan
arus pada lapisan permukaan menunjukkan pola yang berbeda, yaitu arus pada
monsun barat laut (Januari-Maret) lebih kuat dibandingkan pada monsun tenggara
(Juli-September).
Gambar 5 Hasil validasi arus meridional model ROMS. Penampang vertikal arus
meridional model (kiri) divalidasi dengan membandingkan penampang
vertikal arus meridional hasil pengukuran menggunakan ADCP oleh
Susanto et al. (2012) (kanan) pada periode Januari 2004 hingga Mei
2009. Arus meridional model merupakan hasil perata-rataan selama
satu tahun pada tahun ke-10, sedangkan arus meridional hasil
pengukuran merupakan hasil perata-rataan 3 bulanan.
Kecepatan (m s-1) Kecepatan (m s-1)
Ked
alam
an (
m)
12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Arus di Perairan Selatan Sulawesi
Pemodelan pola arus perairan Selatan Sulawesi dilakukan dalam simulasi
tahunan dan musiman pada beberapa kedalaman, yaitu 10 m, 50 m dan 100 m.
Kecepatan ARLINDO di Selat Makassar semakin kuat pada monsun tenggara
berlangsung (bulan Juni-Agustus pada Gambar 6) dan terlihat adanya resirkulasi
yang kuat di perairan Selatan Sulawesi. Arus yang kuat berasal dari Laut Jawa
menuju Laut Banda pada Musim Barat, sedangkan pada Musim Timur arus yang
kuat berasal dari lintasan ARLINDO yang masuk melalui Selat Makassar. Arus di
perairan Selatan Sulawesi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain angin
monsun dan ARLINDO di wilayah Selat Makassar. Selama monsun tenggara
berlangsung, kecepatan angin meningkat pada bulan Mei hingga Agustus dan
angin bergerak secara paralel ke arah garis pantai.
Angin monsun tenggara mulai intensif pada bulan Juni hingga awal Juli,
kemudian kecepatan angin menurun, memperlihatkan relaksasi dari angin monsun.
Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Habibi et al. 2010 bahwa
angin yang sangat kuat muncul pada bulan Juli dengan kecepatan sekitar 7 m/s,
yang merupakan puncak dari angin monsun tenggara. Angin monsun tenggara
menggeser massa air dari Selat Makassar, sehingga transpor di Selat Makassar
meningkat dan mengurangi arus Laut Cina Selatan yang melintas di Selat
Karimata (Fang et al. 2010). Kecepatan arus maksimum terjadi pada bulan Juli-
September, sekitar 1 bulan setelah monsun tenggara berlangsung, dengan
kecepatan sebesar 0.8 m/s (Susanto et al. 2012). Selama monsun barat laut (bulan
Februari-April pada Gambar 6), arus yang kuat mengalir dari Laut Jawa yang
menuju ke Laut Banda, arus ini membawa massa air bersalinitas rendah ke
perairan Selatan Sulawesi.
Resirkulasi menyebabkan arus di perairan Selatan Sulawesi terbawa ke
dalam lintasan ARLINDO dan membuat adanya divergensi arus di sepanjang
pantai yang mengikuti arah lintasan ARLINDO yang terlihat pada bulan Juni-
Agustus pada Gambar 6. Arus di perairan Selatan Sulawesi juga berkaitan erat
dengan ARLINDO yang melintasi Selat Makassar. Kecepatan arus di sekitar Selat
Makassar adalah sekitar -0.6 m/s pada bulan Oktober-Desember. ARLINDO
dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara laut dan gaya-gaya atmosferik baik
dari Samudera Pasifik maupun Samudera Hindia, seperti pasang surut, Madden-
Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin dan Rossby, monsun Asia-Australia,
El-Niño Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) (England
et al. 2005). Transpor ARLINDO pada Selat Makassar yang melewati perairan
Selatan Sulawesi bervariasi secara musiman dan tahunan. Transpor maksimum
terjadi di lapisan permukaan dan termoklin (0-230 m) selama monsun tengara
(Juni-Agustus). Sebaliknya, pada lapisan termoklin bawah dan lapisan yang lebih
dalam, transpor maksimum terjadi pada monsun barat laut (Januari-Maret).
Transpor minimum untuk keseluruhan kolom air terjadi pada monsun transisi di
bulan Oktober-Desember. Rataan transpor musiman berkisar antara 15.5 Sv
(monsun barat laut), 13.7 Sv (monsun transisi I), 14.2 Sv (monsun tenggara) dan
9.6 Sv (monsun transisi II).
13
Kecepatan ARLINDO lebih tinggi pada kedalaman 50 m (Gambar 7) namun
terdapat pelemahan kekuatan arus pada Musim Barat (bulan Oktober Gambar 7).
Kecepatan arus semakin tinggi pada kedalaman 100 m (Gambar 8) di sepanjang
Selat Makassar menuju Laut Flores. Gordon et al. (2008) menyatakan bahwa
kecepatan ARLINDO mencapai maksimum pada kedalaman 110-140 m.
Kecepatan arus menunjukkan intensifikasi termoklin dengan kecepatan
maksimum pada kedalaman sekitar 120 m pada puncak monsun tenggara (Juli-
September). Kecepatan maksimum bervariasi terhadap kedalaman dengan
penambahan kecepatan. Kecepatan lebih kuat selama monsun barat laut di
kedalaman kurang dari 200 m dibandingkan dengan monsun tenggara. Kecepatan
minimum pada kedalaman di atas 800 m terjadi pada bulan Oktober-Desember,
menunjukkan transisi fase dari monsun tenggara ke monsun barat laut.
Gambar 6 Pola arus di kedalaman 10 m. Nilai arus merupakan arus bulanan yang
dirata-ratakan selama satu tahun. Rataan arus diperoleh melalui hasil
resultan dari penjumlahan rata-rata komponen zonal dan meridional.
Kontur warna menunjukkan kecepatan dan panah hitam menunjukkan
arah arus. Arah arus dominan ditunjukkan oleh panah putih.
Berbeda dengan kecepatan, arah arus tidak menunjukkan adanya perbedaan
di ketiga level kedalaman. Arus di perairan Selatan Sulawesi pada Musim Barat
berasal dari Laut Jawa menuju Laut Banda dan kembali ke Laut Jawa pada Musim
Timur. Namun arus di kedalaman 100 m pada Musim Timur cenderung mengarah
melewati celah Selat Selayar menuju Laut Flores, sedangkan pada kedalaman di
atasnya (10 m dan 50 m) arus terdefleksi sebagian keluar Selat Selayar dan
14
sebagian besar cenderung mengarah kembali ke lintasan ARLINDO dan
menimbulkan adanya resirkulasi. Kartadikaria et al. (2011) menyatakan bahwa
kompleksitas topografi dan garis pantai di Selat Makassar membangkitkan
lintasan tipe eddy. Adanya basin yang curam dan dalam (kedalaman >500 m)
antara Laut Jawa dan Flores menunjukkan area munculnya eddy di sebelah utara
Pulau Lombok. Resirkulasi semakin berkurang dengan penambahan kedalaman,
hal ini dikarenakan arus yang semakin kuat yang keluar melalui Selat Selayar.
Gambar 7 Pola arus di kedalaman 50 m. Nilai arus merupakan arus bulanan yang
dirata-ratakan selama satu tahun. Rataan arus diperoleh melalui hasil
resultan dari penjumlahan rata-rata komponen zonal dan meridional.
Kontur warna menunjukkan kecepatan dan panah hitam menunjukkan
arah arus. Arah arus dominan ditunjukkan oleh panah putih.
Kecepatan dan arah arus menunjukkan adanya variasi musiman di perairan
Selatan Sulawesi, kecepatan semakin besar selama monsun tenggara (JAS pada
Gambar 9). Kedalaman maksimum bagi kecepatan ARLINDO bertambah dalam
saat monsun barat laut dan semakin dangkal pada monsun tenggara. Semakin
kuatnya ARLINDO pada perairan yang lebih dalam menyebabkan massa air di
perairan dalam mampu terdorong ke arah Laut Flores dan tidak mengalami
resirkulasi ke arah lintasan ARLINDO. Sedangkan massa air di permukaan
memiliki kecepatan arus yang lebih lemah, menyebabkan arus cenderung
mengalami resirkulasi karena adanya Pulau Selayar dan mengikuti arah lintasan
ARLINDO yang memiliki kecepatan yang lebih besar (Gambar 9).
15
Resirkulasi di lintasan ARLINDO berasosiasi dengan angin monsun
tenggara yang melewati perairan Selatan Sulawesi pada Musim Timur.
Resirkulasi cenderung membentuk eddy di sebelah utara Pulau Lombok dengan
arah anti-siklonik (AMJ dan JAS pada Gambar 9). Divergensi yang tinggi dan
transpor Ekman positif (Kartadikaria et al. 2012) membuat adanya akumulasi
massa air di basin Lombok yang ditunjukkan oleh panah putih (Gambar 9) pada
bulan Juli-September (JAS) di sebelah barat Pulau Selayar. Proses ini
mengakibatkan kekosongan di permukaan pada wilayah pantai perairan Selatan
Sulawesi, sehingga air pada lapisan yang lebih dalam akan ditranspor ke
permukaan. Wilayah upwelling di sebelah timur eddy menunjukkan asal muasal
dari transpor massa air dari konvergensi Ekman yang membangkitkan upwelling
pada wilayah Lombok Eddy (JAS pada gambar 9). Akumulasi massa air ini
menunjukkan pola anti-siklonik yang menenggelamkan lapisan tercampur dan
termoklin (Kartadikaria et al.2012).
Gambar 8 Pola arus di kedalaman 100 m. Nilai arus merupakan arus bulanan
yang dirata-ratakan selama satu tahun. Rataan arus diperoleh melalui
hasil resultan dari penjumlahan rata-rata komponen zonal dan
meridional. Kontur warna menunjukkan kecepatan dan panah hitam
menunjukkan arah arus. Arah arus dominan ditunjukkan oleh panah
putih.
16
Gambar 9 Pola arah dan kecepatan arus musiman. Arah dan kecepatan arus
merupakan rata-rata setiap tiga bulan selama satu tahun di kedalaman
10 m untuk periode Januari-Maret (JFM), April-Juni (AMJ), Juli-
September (JAS), Oktober-Desember (OND)
Interaksi Topografi terhadap Suhu dan Arus Permukaan Laut
Pemodelan suhu permukaan laut dilakukan dengan merata-ratakan suhu
harian menjadi rataan bulanan selama satu tahun. Tiga skenario diterapkan pada
model untuk mengetahui faktor utama penyebab upwelling di perairan Selatan
Sulawesi, skenario tersebut dimaksudkan untuk melihat peran Selat Selayar
terhadap sirkulasi arus di perairan Selat Selayar. Kondisi normal (Skenario 1)
menunjukkan bahwa perairan Selatan Sulawesi memiliki suhu yang lebih rendah
dibandingkan daerah di sekitarnya sepanjang tahun, namun intensitas terbesar
terjadi pada Musim Timur. Suhu permukaan laut mencapai minimum pada bulan
Agustus, yaitu <28.5oC (Gambar 10).
Penurunan suhu mulai terjadi pada bulan Mei dan meningkat kembali pada
bulan September. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Setiawan et al.
17
(2010) bahwa daerah perairan selatan Sulawesi memiliki suhu permukaan laut
yang rendah pada bulan Juni dan terus mengalami peningkatan penurunan hingga
bulan Agustus, suhu kembali meningkat (hangat) pada bulan September. Suhu
yang rendah dapat disebabkan oleh adanya resirkulasi sebagian dari ARLINDO
dan peran dari angin monsun tenggara. ARLINDO yang kuat pada Musim Timur
menyebabkan adanya dorongan massa air yang besar menuju perairan Selatan
Sulawesi dan mengalir menuju ke Laut Flores. Gordon et al. (2008) menyatakan
bahwa ARLINDO di Selat Makassar menunjukkan adanya variasi musiman.
Transpor ARLINDO mencapai maksimum pada akhir monsun tenggara dan
minimum pada monsun transisi.
Gambar 10 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 1. Suhu
permukaan laut dirata-ratakan selama satu tahun pada kedalaman 10
m. Puncak penurunan suhu perairan terlihat pada bulan Agustus
Penurunan suhu permukaan laut selama monsun tenggara berlangsung
memperlihatkan adanya fenomena upwelling di perairan Selatan Sulawesi (bulan
Agustus pada Gambar 11). Upwelling mulai muncul pada akhir monsun transisi I
(bulan Mei) dan berkurang saat memasuki monsun transisi II (awal September).
Kejadian ini menunjukkan adanya peran angin monsun sebagai pembangkit
upwelling di wilayah perairan Selatan Sulawesi. Angin monsun tenggara yang
melewati perairan Selatan Sulawesi bertiup dengan kecepatan tinggi secara paralel
menuju ke arah pantai yang berpotensi untuk mengembangkan wind-driven
upwelling. Pergerakkan arus permukaan laut dibangkitkan oleh angin, efek
Coriolis dan spiral Ekman. Angin monsun yang bertiup dari arah tenggara
18
melewati perairan Selatan Sulawesi bergerak ke arah barat laut. Keseimbangan
antara gesekan angin dan gaya Coriolis mengakibatkan arus bergerak 45o
menjauhi pantai dan transpor massa air sebesar 90o menjauhi pantai.
Hasil model menunjukkan adanya peningkatan luasan daerah upwelling
akibat penutupan Selat Selayar. Adanya Pulau Selayar pada Selatan Sulawesi
menjadi penghalang arus yang mengarah ke Laut Flores, sehingga arus akan
berputar ke arah timur dan ter-resirkulasi sebagian mengikuti ARLINDO.
Penutupan Selat Selayar (Gambar 11,12) menunjukkan bahwa eksistensi daratan
menjadi feed up bagi upwelling di perairan Selatan Sulawesi sehingga terjadi
peningkatan intensitas upwelling. Hal ini dikarenakan tidak ada celah (Selat
Selayar) yang menjadi pintu keluar arus menuju Laut Flores. Resirkulasi yang
terjadi menimbulkan adanya konvergensi arus menuju kembali ke lintasan
ARLINDO, sehingga terjadi divergensi arus di sepanjang pantai. Divergensi arus
di permukaan pantai menuju laut lepas menimbulkan kekosongan di permukaan
laut, sehingga kekosongan tersebut diisi oleh massa air dibawahnya yang lebih
dingin dengan salinitas tinggi.
Gambar 11 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 2. Suhu
permukaan laut dirata-ratakan selama satu tahun pada kedalaman
10 m. Penutupan Selat Selayar dilakukan dengan mendigitasi selat
dan mendefinisikan sebagai daratan
19
Gambar 12 Evolusi suhu permukaan laut dan arus pada Skenario 3. Suhu
permukaan laut dirata-ratakan selama satu tahun pada kedalaman
10 m. Kondisi no slip mengakibatkan suhu perairan lebih tinggi
dibandingkan kondisi free slip
Keterkaitan Variabel Atmosferik dan Oseanik terhadap intensitas Upwelling
Data masukan model berupa nilai beberapa variabel atmosferik
divisualisasikan dalam bentuk diagram hovmüller serta penampang vertikal.
Komponen fluks bahang dan wind stress dapat langsung dibaca melalui dokumen
forcing. Komponen fluks bahang merupakan komputasi dari total fluks bahang
laten, sensibel, solar dan gelombang panjang. Penurunan suhu permukaan laut
terjadi pada awal bulan Mei? dengan puncak terendah terjadi pada bulan Agustus
dan terjadi peningkatan suhu kembali pada akhir bulan Oktober dengan puncak
suhu tertinggi pada bulan April. Variabel atmosferik (Gambar 13) menunjukkan
variasi khusus yang terjadi pada Musim Timur. Variasi yang sama dengan suhu
permukaan laut ditunjukkan oleh variabel wind stress (meridional) yang memiliki
puncak intensitas maksimum pada bulan Agustus, sedangkan zonal wind stress
memiliki puncak intensitas minimum pada bulan Agustus. Wilayah yang memiliki
suhu minimum terletak pada wilayah sekitar pantai (sekitar titik A) dan terjadi
peningkatan suhu ke arah lepas pantai (sekitar titik B), pola ini juga ditunjukkan
oleh variabel wind stress (zonal dan meridional), serta radiasi gelombang pendek.
Pola pada waktu upwelling menunjukkan bahwa wind stress (meridional)
memiliki peran utama dalam perubahan suhu permukaan laut dibandingkan fluks
20
bahang permukaan dan radiasi short wave. Wind stress yang kuat dipicu oleh
adanya angin monsun tenggara yang bertiup ke wilayah Indonesia pada Musim
Timur. Angin membangkitkan tegangan angin di permukaan laut. Besar tegangan
tergantung kepada besarnya kecepatan angin, kekasaran permukaan laut dan
densitas air laut. Selama angin monsun barat laut berlangsung (Januari-Maret),
massa air bersalinitas rendah yang berasal dari Laut Jawa bergerak ke perairan
Selatan Sulawesi oleh angin zonal barat. Sedangkan selama angin monsun
tenggara (Juli-September) angin bergerak ke arah barat, membuat lapisan
permukaan pada perairan Selatan Sulawesi memiliki salinitas yang lebih tinggi
yang dikarenakan massa air bersalinitas rendah tergantikan dan terjadi transpor
massa air bersalinitas tinggi dari laut dalam yang berasal dari Laut Flores dan Laut
Banda (Gordon et al. 2003).
Komponen fluks bahang menunjukkan bahwa Qrlw dan Qsen memiliki
peran dalam melepas bahang lebih besar dibandingkan komponen lainnya.
Transfer bahang antara permukaan laut dengan atmosfer terjadi akibat konduksi
dan konveksi, efek evaporasi dan tegangan permukaan. Transfer bahang sensibel
terjadi melalui proses konduksi. Konduksi merupakan peristiwa hilangnya panas
dari permukaan laut ke udara, karena suhu permukaan laut lebih hangat dari
permukaan di atasnya. Kondisi ini menyebabkan penurunan suhu permukaan laut,
sehingga terjadi peningkatan densitas dan penenggelaman massa air.
Peningkatan fluks bahang dapat dipengaruhi oleh peningkatan intensitas
wind stress (Sterl et al. 2003). Renault et al. (2012) menyatakan bahwa
intensifikasi angin dapat meningkatkan pelepasan bahang melalui fluks bahang.
Penurunan suhu oleh fluks bahang permukaan meningkatkan densitas permukaan
air, kemudian upwelling dan angkutan massa air dingin baru yang berasal dari
lepas pantai muncul ke permukaan menimbulkan kondisi konveksi yang tidak
stabil dan bergabung dengan pengadukan oleh angin menghasilkan pencampuran
secara vertikal yang kuat. Proses pencampuran vertikal ini merupakan proses
estafet yang membawa massa air ke permukaan yang telah terangkat melalui
proses upwelling. Stratifikasi densitas air laut akibat penambahan kedalaman yang
berintegrasi dengan angin monsun tenggara pada Musim Timur mengakibatkan
suhu perairan menurun dan peningkatan densitas, sehingga terdapat energi untuk
menggerakkan massa air dari laut dalam ke permukaan secara vertikal.
Variabel oseanik pada transek A-B (Gambar 14) menunjukkan bahwa suhu
permukaan laut memiliki variasi yang sama dengan suhu potensial, salinitas,
elevasi permukaan laut dan koefisien difusivitas vertikal pada Musim Timur
(Juni-Oktober). Suhu yang rendah pada Musim Timur diikuti dengan peningkatan
difusivitas vertikal. Peningkatan difusi vertikal akibat peningkatan intensitas
angin menyebabkan pencampuran vertikal yang kuat dan menimbulkan upwelling.
Upwelling yang terjadi mengakibatkan peningkatan salinitas dan penurunan
elevasi muka laut di sekitar perairan Selatan Sulawesi. Penurunan elevasi muka
laut pada waktu upwelling disebabkan oleh transpor Ekman di lepas pantai
(Pickart et al. 2013). Upwelling cenderung meningkatkan penyesuaian kondisi
dengan membuat lapisan permukaan menjadi lebih dangkal dan cenderung untuk
menurunkan suhu permukaan laut dengan membawa massa air yang lebih dingin
dengan salinitas tinggi ke permukaan, karena pencampuran di lapisan permukaan
dapat terjadi lebih mudah dibandingkan di lapisan dalam.
21
Gambar 13 Diagram hovmüller variabel atmosferik pada transek A-B. Garis
putus-putus menunjukkan batas Musim Timur dan Musim Barat
Gambar 14 Diagram hovmüller variabel oseanik pada transek A-B. Garis putus-
putus menunjukkan batas Musim Timur dan Musim Barat
22
Gambar 15 Penampang vertikal variabel oseanik transek A-B pada bulan Februari
(kiri) dan bulan Agustus (kanan)
Penampang vertikal variabel oseanik (Gambar 15) juga dikomputasi pada
bulan yang mewakili Musim Barat (bulan Februari) dan Musim Timur (bulan
Agustus). Pola penurunan suhu dan peningkatan salinitas serta densitas potensial
pada Musim Timur menunjukkan adanya fenomena upwelling yang mengikuti
pola arus zonal dan meridional, energi kinetik dan kecepatan arus. Kecepatan arus
zonal dan meridional menurun, memiliki pola arah ke barat di sekitar
semenanjung Selatan Sulawesi dan menjauhi wilayah pantai dengan dominansi
23
dari arus zonal. Energi kinetik dan kecepatan arus meningkat sangat tinggi di
permukaan laut pada Musim Timur. Energi kinetik permukaan yang intens
memiliki kontribusi terhadap aktivitas mesoscale yang kuat (jets dan eddies) yang
merupakan karakter dari fenomena upwelling (Lathuiliére et al. 2010).
Analisis Diagnostik
Analisis diagnostik dilakukan untuk mengetahui nilai dari setiap suku
komponen gaya-gaya pada permukaan. Nilai rataan untuk setiap komponen
persamaan momentum dapat dihitung dengan mendefinisikan variabel diagnostik.
Gaya adveksi secara garis besar pada Musim Timur memiliki nilai lebih tinggi
dibandingkan pada Musim Barat (Gambar 16). Adveksi merupakan proses
transpor properti air laut (bahang, salinitas dan properti lainnya) melalui
gelombang air laut (Kӓmpf 2009). Nilai pada komponen meridional dan
komponen zonal pada Musim Timur menunjukkan arus yang bergerak ke arah
selatan di sepanjang lintasan ARLINDO. Hal ini dikarenakan intensitas
ARLINDO yang masuk melalui Selat Selayar pada Musim Timur. Adveksi
vertikal yang tinggi pada bulan Agustus mengakibatkan perubahan bahang dan
lapisan kedalaman tercampur. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh angin monsun
tenggara yang bergerak melewati perairan Sulawesi bagian Selatan di Musim
Timur. Adveksi vertikal mengakibatkan penurunan suhu dan penenggelaman
lapisan tercampur yang dapat meningkatkan aktivitas pencampuran vertikal.
Sama halnya dengan gaya adveksi, komponen gradien tekanan dan
pencampuran vertikal memiliki nilai lebih tinggi pada Musim Timur
dibandingkan pada Musim Barat. Gradien tekanan yang tinggi di Musim Timur
menunjukkan perbedaan densitas yang tinggi di Perairan Selatan Sulawesi. Hal ini
terlihat pada Musim Timur di ujung selatan Pulau Sulawesi yang memiliki
gradien tekanan yang tinggi, menunjukkan bahwa terdapat peningkatan densitas
yang dapat memicu aktivitas upwelling. Variabel percampuran vertikal meridional
memiliki intensitas tinggi pada Musim Timur, hal ini dikarenakan monsun
tenggara yang berlangsung selama Musim Timur.
Proses pencampuran vertikal di perairan menyebabkan difusi vertikal dan
adveksi vertikal air. Seretan angin membangkitkan adveksi horizontal dan
pencampuran vertikal, kedua mekanisme ini dapat merubah densitas permukaan
air. Foltz et al. (2006) menyatakan bahwa adveksi horizontal memiliki efek yang
paling signifikan dengan variabilitas yang paling kuat. Adanya tekanan yang
tinggi pada musim Timur di bulan Agustus mengakibatkan arus bergerak ke arah
tekanan rendah, terjadi perbedaan deensitas baik secara vertikal maupun secara
horizontal. Oleh gaya Coriolis, arus dibelokkan ke kiri 90o dengan tekanan yang
konstan sehingga terjadi divergensi arus yang menimbulkan upwelling.
24
Gambar 16 Komponen forcing pada Musim Barat dan Musim Timur di perairan
Selatan Sulawesi
Mekanisme Upwelling
Dugaan mekanisme upwelling yang terjadi di perairan Selatan Sulawesi
yaitu dibangkitkan oleh angin monsun tenggara yang melewati perairan Selatan
Sulawesi pada Musim Timur (Gambar 17). Komponen zonal dan meridional wind
stress menunjukkan bahwa terdapat angin yang kuat yang bertiup ke arah barat
laut pada Musim Timur. Angin tersebut berpotensi membuat wind-driven
upwelling di perairan Selatan Sulawesi yang berasosiasi dengan Ekman pumping.
Hal ini sesuai dengan Gordon et al. (2005) yang menyatakan bahwa Ekman
pumping di wilayah Selat Makassar terkuat terjadi pada Juli hingga September
dengan pengaruh kuat dari seretan angin (wind stress) yang membangkitkan
Ekman upwelling, dan efek dari transpor Ekman tersebut mengakibatkan
penurunan suhu permukaan laut serta produktivitas primer yang tinggi di wilayah
Selat Makassar.
Peningkatan intensitas angin mengakibatkan peningkatan difusi vertikal dan
mempengaruhi fluks bahang menuju ke arah positif (melepas panas). Pelepasan
panas oleh fluks bahang menyebabkan densitas air laut meningkat sehingga massa
25
air tenggelam dan meningkatkan aktivitas pencampuran vertikal, yang
dipengaruhi juga oleh gabungan peningkatan komponen difusi vertikal dan
kecepatan vertikal. Kondisi ini menyebabkan terjadinya upwelling di perairan
Selatan Sulawesi. Angin monsun tenggara juga menyebabkan perubahan pada
komponen penggerak arus yaitu adveksi (horizontal dan vertikal), gradien tekanan
dan pencampuran vertikal yang berpengaruh terhadap densitas perairan.
Resirkulasi sebagian oleh ARLINDO dan eksistensi Pulau Selayar menjadi
feed up bagi upwelling di Musim Timur. Adanya Pulau Selayar sebagai
penghalang arus ke arah Laut Flores dan topografi yang kompleks di wilayah ini
menyebabkan arus kembali ke lintasan ARLINDO dan membentuk Lombok Eddy
yang berasosiasi dengan angin monsun tenggara. Kondisi tersebut menyebabkan
peningkatan intensitas upwelling yang dibangkitkan oleh angin monsun tenggara.
Upwelling menyebabkan penurunan suhu permukaan laut, penurunan elevasi
permukaan dan peningkatan salinitas.
Gambar 17 Mekanisme upwelling di perairan Selatan Sulawesi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Penyebab fenomena upwelling yang terjadi pada Musim Timur berdasarkan
penurunan suhu permukaan laut di perairan Selatan Sulawesi melatarbelakangi
beberapa hipotesis mengenai mekanisme upwelling di daerah ini. Hasil pemodelan
numerik terhadap mekanisme ini menemukan bahwa proses upwelling berasosiasi
dengan angin monsun tenggara yang melewati Selatan Sulawesi di Musim Timur.
Selama monsun tenggara berlangsung, angin dengan intensitas tinggi melewati
wilayah selatan Pulau Sulawesi dan memicu peningkatan difusivitas vertikal.
Peningkatan salinitas, penurunan suhu permukaan laut dan elevasi muka laut
Transpor massa air ke permukaan
(Upwelling)
Pencampuran vertikal Kecepatan vertikal
Peningkatan densitas Difusi vertikal
Fluks bahang
(Qsw + Qlw + Qsen + Qlat)
Angin monsun
tenggara
Adveksi, Gradien
Tekanan
Resirkulasi
ARLINDO sebagian
Pulau Selayar
26
Intensitas angin yang tinggi juga menambah pelepasan bahang oleh fluks bahang.
Kondisi ini mengakibatkan pencampuran vertikal yang kuat
ARLINDO yang melintasi Selat Makassar memiliki peran yang kuat dalam
mempengaruhi mekanisme upwelling. ARLINDO menyebabkan resirkulasi yang
kuat dengan pembentukan eddy yang menyebabkan konvergensi di lintasan
ARLINDO dan terjadi divergensi di sepanjang pantai. Selat Selayar di selatan
Pulau Sulawesi menjadi celah keluar arus dari resirkulasi ARLINDO dan
terdefleksi sebagian ke arah Laut Flores. Hal ini menunjukkan bahwa Selat
Selayar berperan dalam mengurangi intensitas upwelling dan eksistensi daratan
(Pulau Selayar) serta kompleksitas topografi menjadi pemicu resirkulasi
ARLINDO. Sehingga upwelling di wilayah perairan Selatan Sulawesi terjadi atas
kombinasi ketiga hipotesis yang bervariasi terhadap angin monsun tenggara.
Saran
ARLINDO dapat menjadi faktor pemicu upwelling di perairan Selatan
Sulawesi, untuk itu penelitian lanjutan dibutuhkan dengan menggunakan tahun
yang nyata dengan memperhitungkan kondisi alam sebenarnya sebagai
perbandingan penelitian ini. Selain itu, perlu dilakukan analisis diagnostik pada
kedalaman lapisan batas dasar (bottom boundary layer) dan kedalaman lapisan
tercampur (mixed layer depth) untuk mengetahui komponen forcing yang bekerja
pada lapisan tersebut. Selanjutnya perlu dilakukan eksperimen dengan perlakuan
terhadap komponen angin (wind stress) berdasarkan arah yang berbeda secara
seragam. Eksperimen lanjut dengan mengubah batimetri perairan (kedalaman
menjadi seragam/datar) diperlukan untuk mengetahui besarnya keterkaitan
batimetri terhadap pola pembentukan eddy.
DAFTAR PUSTAKA
England M, Huang F. 2005. On the interannual variability of the Indonesian
throughflow and its linkage with ENSO. J Clim. 18:1435–1444. doi:10.1175/J
CLI3322.1.
Fang G, Susanto RD, Wirasantosa S, Qiao F, Supangat A, Fan B, Wei Z, Sulistiyo
B, Li S. 2010. Volume, heat, and freshwater transports from the South China
Sea to Indonesian seas in the boreal winter of 2007–2008. J Geophys Res. 115.
C12020. doi:10.1029/2010JC006225.
Foltz GR, McPhaden MJ. 2006. The role of oceanic heat advection in the
evolution of tropical North and South Atlantic SST anomalies. J Clim.
19:6122-6138.
Gordon AL, Susanto RD, Vranes K. 2003. Cool Indonesian throughflow as a
consequence of restricted surface layer flow. Nature. 425: 824-828.
Gordon AL. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their throughflow.
Oceanography. 18(4):14-27.
27
Gordon AL, Susanto RD, Ffield A, Huber BA, Pranowo W, Wirasantosa S. 2008.
Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006. Geo Res Let. 35. L24605.
doi:10.1029/2008GL036372.
Gruber N, Z Lachkar, H Frenzel, P Marchesiello, M Munnich, JC McWilliams, T
Nagai, GK Plattner. 2011. Mesoscale eddy-induced reduction in eastern
boundary upwelling systems. Nat Geo. 4: 787–792.
Gruber N, H Frenzel, SC Doney, P Marchesiello, JC McWilliams, JR Moisan, J
Oram, GK Plattner, KD Stolzenbach. 2006. Simulation of phytoplankton
ecosystem dynamics in the California Current System. Deep-Sea Res PT I. 53:
1483-1516.
Habibi A, Setiawan RY, Zuhdy AY. 2010. Wind-driven coastal upwelling along
South of Sulawesi Island. Ilmu Kelautan. 15(2): 115-118.
Kӓmpf J. 2009. Ocean Modelling for Beginners. Springer: London.
Karakas G, N Nowald, M Blaas, P Marchesiello, S Frickenhaus, R Schlitzer. 2006.
High-resolution modeling of sediment erosion and particle transport across the
northwest African shelf. J Geophys Res. 111. C06025. doi:10.1029/2005JC
003296.
Kartadikaria AR, Miyazawa Y, Nadaoka K, Watanabe A. 2012. Existence of
eddies at crossroad of the Indonesian seas. Oce Dyn. 62:31-44. doi:
10.1007/s10236-011-0489-1.
Lathuiliére C, Echevin V, Lévy M, Madec G. 2010. On the role of the mesoscale
circulation on an idealized coastal upwelling ecosystem. J Geophys Res. 115.
C09018. doi:10.1029/2009JC005827.
Marchesiello P, P Estrade. 2010. Upwelling limitation by geostrophic onshore
flow. J Mar Res. 68: 37-62.
Marta-Almeida M, Ruiz-Villarreal M, Otero P, Cobas M, Peliz A, Nolasco R,
Cirano M, Pereira J. 2010. OOFƐ: A Python engine for automating regional and
coastal ocean forecasts. Environ Modell Softw. 26: 680-682.
doi:10.1016/j.envsoft.2010.11.015.
Messie M, M Radenac, J Lefevre, P Marchesiello. 2006. Chlorophyll bloom in the
western Pacific at the end of the 1997-98 El Nino: the role of Kiribati Islands.
Geo Res Let. 33(14): L14601. doi: 10.1029/2006GL026 033.
Penven P, Marchesiello P, Debreu L, Lefevre J. 2007. Software tools for pre- and
post-processing of oceanic regional simulations. Environ Modell Softw. 20:1-3.
doi:10.1016/j.envsoft.2007.07.004
Renault L, Dewite B, Marchesiello P, Illig S, Echevin V, Cambon G, RamosM,
Astudillo O, Minnis P, Ayers JK. 2012. Upwelling response to atmospheric
coastal jets off central Chile: A modeling study of the October 2000 event. J
Geophys Res. 117. C02030. doi:10.1029/2011JC007446.
Sarhan T, Lafuente JG, Vargas M, Vargas JM, Plaza M. Upwelling mechanisms
in the northwestern Alboran Sea. J Mar Sys. 23: 317-331.
Setiawan RY, Kawamura H. 2010. Summertime phytoplankton bloom in the
South Sulawesi Sea. IEEE J Sel Topics Appl Earth Observ. 1939-1404. doi:
10.1109/JSTARS.2010. 2094604.
Syahdan M, Susilo SB, Gaol JL, Atmadipoera AS. 2014. Karakteristik dan
variabilitas suhu permukaan laut Selat Makassar-Laut Jawa. JSTB.
Forthcoming.
28
Sterl A, Hazeleger W. 2003. Coupled variability and air-sea interaction in the
South Atlantic Ocean. Clim Dyn. 21: 550-571.
Susanto RD, Ffield A, Gordon AL, Adi TR. 2012. Variability of Indonesian
throughflow within Makassar Strait, 2004–2009. J Geophys Res. 117. C09013.
doi:10.1029/2012JC008096.
29
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Pinang Kepulauan Riau pada
tanggal 14 Juni 1992 sebagai putri kedua dari pasangan Pudjadi, SH
dan Sri Erlinawati,S Ap. Penulis merupakan lulusan dari Sekolah
Menengah Atas Negeri Bekasi pada tahun 2010. Pendidikan Sarjana
ditempuh di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada tahun
2010-2014.
Semasa kuliah penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan,
yaitu sebagai Bendahara Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Catur tahun 2011-
2012. Penulis juga aktif sebagai Asisten mata kuliah Metode Statistika pada tahun
2012-2013.