studi maslahah dalam perspektif al buthy

Upload: drandriferdian

Post on 19-Oct-2015

97 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Studi Maslahah dalam Perspektif

Studi Maslahah dalam PerspektifDr. Muhammad Sa'id Ramadlan al-ButhyOleh: Muhammad Mahrus Ali"Sesungguhnya maslahah dalam syariah Islam dari segala sisinya memiliki batas-batas nalar jelas yang tidak meninggalkan sedikitpun kesulitan dalam memahaminya. Tersusun secara rapi yang tidak memungkinkan terjadi kontradiksi di antara bagian-bagiannya, serta terbangun di atas dasar yang sangat kuat dan menancap dalam hati setiap mukmin yang sesungguhnya, yaitu sifat penghambaan diri kepada Allah, sebuah prinsip yang terbangun dari firman Allah: "Katakanlah, sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalak milik Allah tuhan semesta alam.""Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Buthy1. I.Pendahuluan Maslahah, apakah ia merupakan dalil mandiri ataukah bukan, sangatlah ramai diperbincangkan dalam diskursus-diskursus intelektual, baik di Indonesia ataupun di negara Islam lainnya. Sebagian kalangan menilai bahwa maslahah adalah dalil mandiri, bahkan menjadi prioritas dalam pencetusan sebuah hukum. Dalam arti, ketika terjadi pertentangan antara maslahah dengan bunyi harfiah teks maka maslahahlah yang harus dikedepankan. Pandangan semacam ini, meski juga dapat kita temukan dalam turats klasik pada saat ini ditengarai sebagai pengaruh agenda perang pemikiran yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam. Dalam upaya menghancurkan Islam, setelah mengalami kegagalan dengan cara perang fisik mereka merubah cara lama itu dengan cara baru, yaitu yang sekarang disebut denganGazwulFikri(invasi pemikiran). Dengan cara ini mereka berupaya memasukkan pemikiran-pemikiran'nyeleneh' khususnya kepada anak-anak muda Islam. Lalu dari anak-anak muda yang teracuni pemikiran itu dengan mudah meluncur pandangan-pandangan yang sangat kontroversial yang dinilai sangat berbahaya terhadap Islam.Terpanggil untuk meluruskan penyimpangan di atas, Dr. Muhammad Sa'id Ramadlan al-Buthy melalui bukunya,Dlowbith al-Maslahah f al-Syar'ah al-Islmiyyah(Batas-Batas Nalar Maslahah Dalam Syariat Islam)berupaya menyingkap posisi maslahah dan batas-batasnya dalam syari'at Islam. Sehingga maslahah yang keluar dari batas-batas tersebut dinilai bukanlah maslahah hakiki yang layak dijadikan pertimbangan penetapan hukum. Dalam pengantarnya, ia mengatakan, sesungguhnya maslahah dalam syariat Islam dari segala sisinya memiliki batas-batas nalar jelas yang tidak meninggalkan sedikitpun kesulitan dalam memahaminya, tersusun secara rapi yang tidak memungkinkan terjadi kontradiksi di antara bagian-bagiannya, serta terbangun di atas dasar yang sangat kuat dan menancap dalam hati setiap mukmin yang sesungguhnya yaitu sifat penghambaan diri kepada Allah, sebuah prinsip yang terbangun dari firman Allah: "Katakanlah, sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku adalak milik Allah tuhan semesta alam".Dengan demikian, tidak mungkin ada yang bisa mencoba bermain-main dalam masalah ini. Karena ia memiliki batas-batas jelas, baik dari aspek pondasi, masalah-masalah yang dicakupnya maupun urut-urutan secara sistematis antara bagian-bagiannya[1]. Untuk memahami secara untuh perspektif al-Buthy mengenai maslahah dan batas-batas nalar maslahah dalam syariat Islam, dalam makalah ini penulis akan berupaya untuk menterjemahkan pemikiran al-Buthy dalam kitab di atas tanpa sama sekali melakukan kritik. Hal ini, karena penulis melihat dalam diskusi-diskusi sebelumnya seringkali tidak menghasilkan kesimpulan sesuai harapan, karena sebagian diskusan masih berkutat dengan pertanyaan mengenai kejelasan pemikiran tokoh yang dikaji. Sehingga waktu diskusi malah habis dengan permasalahan yang sebenarnya kurang urgen. Karenanya, untuk memperoleh kesimpulan yang bernilai dan bisa dipertanggung jawabkan secara akademis penulis berharap pertanyaan-pertanyaan kritis dari rekan-rekan untuk didiskusikan bersama.

1. II.Biografi singkat al-Buthy Muhammad Said Ramadlan al-Buthy lahir pada tahun 1929 M di Buthan Turki. Saat usia empat tahun Ia hijrah bersama orang tuanya, Syekh Mulla Ramadlan, ke Damasykus Syiria. Pada tahun 1953 menyelesaikan pendidikan menengahnya diMa'had at-Tawjih al-Islamyyang diasuh oleh Syekh Hasan Habanakah al-Midany di perkampungan al-Midan, Damasykus Syiria. Kemudian melanjutkan ke Fakultas Syariah di Universitas al-Azhar Kairo dan mendapat gelar Lc pada tahun 1955 M. Lalu melanjutkan ke Fakultas Bahasa Arab di Universitas yang sama. Gelar Doktornya diperoleh pada tahun 1965 juga dari universitas al-Azhar dengan disertasi berjudulDhowabith al-Maslahah fi al-Syariah al-Islamiyyahdengan nilai Summa Cumlaude serta direkomendasikan untuk diterbitkan dengan biaya universitas dan diinstruksikan agar dipublikasikan di universitas lainnya(al-syaraf al-uwla ma'a al-washiyyah bi at-thob'I ala nafaqotil jami'ah wa at-tabadul ma'a al-jamiatil ukhra). Sepulang dari Kairo al-Buthy kemudian aktif dalam dunia pendidikan, menjadi pengajar di beberapa sekolah dan menjadi dosen di beberapa Universitas seperti Universitas al-Ladzikiyyah, universitas Damasykus Syiria dan lain-lain. Pada tahun 1977 Ia diangkat menjadi dekan Fakultas Syariah Universitas Damasykus dan mulai tahun 2002 sampai sekarang menjabat sebagai Kepala Departemen Akidah dan Agama (qism al-'aqaid wa al-adyan) di Fakultas tersebut. Selain itu, al-Buthy juga sering diundang untuk menjadi pembicara dalam berbagai seminar, mu'tamar, dan pertemuan-pertemuan ilmiah lainnya, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Al-Buthy adalah salah satu ulama yang sangat produktif di abad ini. Diantara karyanya yang terkenal dan memiliki pengaruh besar dalam dunia Islam adalahFiqh al-Sirah al-Nabawiyyah, Kubra al-Yaqqiniyyat al-Kawniyyat, al-Insan Musayyar am Mukhayyar, Allah am al-Insan: Ayyuhuma Aqdar 'ala Ri'ayah Huquq al-Insan, al-Insan wa 'AdalatuLlah fi al-Ardli, Min Rawai' al-Qur'an, Difa' 'An al-Islam wa al-Tarikh, al-La Madzhabiyyah Akhtaru Bid'atin Tuhaddidu al-Syari'ah al-Islamiyyah, al-Salafiyyah Marhalah Tarikiyyah Mubarakah Wa laysa Madzhaban Islamiyyan, al-Aqidah al-Islamiyyah wa al-Fikr al-Mu'ashir, Ila Kulli Fatatin Tu'minu bi Allah, al-Mar ah baina Thughyan an-Nidhom al-Gharb wa Lathoif al-Tasyri' al-Islamy, Qodlaya Fikhiyyah Mu'ashirah, al-'Aqidah al-Islamiyyah wa al-Fikr al-Mu'ashir, al-Jihad fi al-Islam, Min al-Fikri wa al-Qalb, 'Ala Thariq al-'Audah ila al-Islam, al-Hikam al-'Athaiyyah Syarhu wa Tahlil, al-Mar ah baina Thughyan al-Gharb wa Lathaif al-Tasyri' al-Islamy, Manhaj al-Hadlarah al-Insaniyyah fi al-Qur an, Hiwar Hawla Musykilatin Hadlariyyah, Bathin al-Itsmi: al-Khatar al-Akbar fi Hayati al-Muslimin, al-Islam wa Musykilati al-Syabab, Man al-Mas-ul 'an Takhalluf al-Muslimin, Naqdu Awham al-Maddiyyah al-Jadaliyyah:al-Diyaklitikiyyah, Muhadlarat fi al-Fiqh al-Muqaran, Mamuwzain: Qishshotu Hubbin Nabata fi al-Ardli wa Ayna'a fi al-Sama', dll. Selain dikenal sebagai cendekiawan dan intelektual Islam yang produktif, al-Buthy juga dikenal sebagai dai yang banyak memberikan ceramah-ceramah dan pengajian-pengajian yang menyejukkan kepada masyarakat. Pengajian-pengajian al-Buthy selalu dipenuhi jama'ah, baik dari kota Damasykus ataupun kota-kota terdekat disekitarnya, sehingga berkali-kali harus berpindah dari satu Masjid ke Masjid lain yang lebih luas. Ilmu yang dalam, wawasan yang luas, dipadu dengan hati yang ikhlas menempatkan al-Buthy sebagai ulama' yang sangat berpengaruh yang tidak hanya dihormati dan dicintai masyarakat tetapi juga disegani oleh penguasa. Ceramah-ceramahnya di hadapan beberapa penguasa diterbitkan dalam sebuah buku berjudul,Hadza Ma Qultuhu Amama Ba'dli ar-Ruasa' wa al-Muluk. Sebagai bukti pengakuan masyarakat terhadap keberhasilan dakwah al-Buthy, saat ini sudat diterbitkan disertasi doktoral karya Khalid Abdus Sami' Abdullah dengan judul,Manhaj al-Duktur Muhammad Sa'id Ramadlan al-Buthy fi al-Da'wah ila Allahdari Fakultas Ushuluddin bidang dakwah dan kebudayaan Islam (Qismu al-Da'wah as-Tsaqafah al-Islamiyyah) Universitas al-Azhar.

1. III.Memahami makna Maslahah Secara etimologi maslahah merupakan derivasi dari akar katashalahyang bermakna manfaat. Atau bisa juga merupakan bentuk tunggal dari kata pluralal-Masholih. Maka setiap sesuatu yang mengandung kemanfaatan, baik dengan cara menghasilkan ataupun menjauhi bisa disebut maslahah. Sedangkan secara terminologi para pakar usul fikih memiliki pengungkapan definisi yang berbeda-beda namun semuanya kembali kepada maksud yang sama. Menurut al-'Izz al-Din ibn Abd as-Salam(w. 660 H.), maslahah adalah kenikmatan dan kebahagiaan serta segala jalan menuju pada keduanya. Sedangkan mafsadah adalah rasa sakit dan kesusahan dan semua yang menghantarkan pada keduanya[2]. Menurut Al-Ghazaly(w. 505 H.), maslahah adalah menarik manfaat dan menolak mafsadah. Namun yang dimaksud dalam pendefinisian maslahah di sini adalah pelestarian terhadap tujuan-tujuan Syariah yaitu mencakup lima hal, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan[3]. Al-Buthy menyimpulkan bahwa maslahah dalam istilah ulama' syariah adalah manfaat yang ditujuSyari'(pemegang otoritas Syari'ah) untuk hamba-Nya, yaitu mencakup lima hal, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan.Sementara manfaat adalah kenikmatan dan yang menjadi jalannya dan menolak rasa sakit dan dan yang menjadi penghantarnya.Berdasarkan keterangan ini, maka dapat kita simpulkan bahwa maslahah yang dikehendaki oleh para pakar ushul fikih adalah maslahah yang kembali kepada maksudSyari'bukan kepada maksud manusia. Hal ini, karena manusia memiliki standar berbeda-beda dalam menilai suatu kemaslahatan dan manusia memiliki kecendrungan memenuhi kepentingan pribadinya tanpa mempertimbangkan kemaslahatan umum. Bahkan terkadang suatu yang dinilai masfsadah olehSyara'dinilai maslahah oleh sebagian manusia.

1. IV.Korelasi Syariah dan Maslahah1.Sebuah Pengantar Meski ada perbedaan pendapat mengenai statusillah as-syar'iyyah, apakah iamuatsir(yang berperan) ataukahmuarrif(penanda) dan meski ada perbedaan pendapat dalam ilmu kalam(teologi Islam) mengenai apakah pekerjaan Allah didorong oleh suatuillatataukah tidak, mayoritas Ulama' sepakat bahwa hukum-hukum Allah mengandung maslahah bagi manusia di dunia dan akhirat. Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa tujuan akhir syariah adalah mewujudkan kebahagiaan hakiki bagi manusia. Oleh karenanya, tidak aneh bila pembahasanmashlahahataumaqosid al-syariahtelah menghiasi karya ulama'-ulama' tempo dulu. DalamNadhoriyyat al-Maqoshid, Al-Raisuny menulis bahwa munculnya kajian maslahah ataumaqosid al-syariyyahdimulai sejak masa al-Hakim al-Tirmidzy. Al-Tirmidzy telah menggunakan istilahMaqoshidsebagai judul bukunyaal-Shalat wa maqoshiduhayang menguraikan maqoshid dan rahasia sholat. Ide ini kemudian dikembangkan oleh pakar-pakar berikutnya seperti Abu Manshur al-Maturidy (w. 333 H), Abu Bakar al-Qoffal al-Syasyy(w. 365 H), Abu Bakar al-Abhary (w. 375 H), al-Baqillany (w. 403 H).

Pada periode berikutnya Imam Haramain (w. 478 H) kemudian berupaya mensistematisasikan konsep ini dengan membaginya menjadi tiga stratamaqosid;dlaruriyat(primer),hajiyyat(skunder), dantahsiniyyat(tersier). Kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh muridnya, Abu Hamid al-Ghozaly (w. 505 H) dalam kitabnya,al-Mankhul min Ta'liq al-Ushul,Syifau al-Khalildanal-Musytashfa Min 'Ilmi al-Ushul.

Di masa selanjutnya untuk sekian waktu perbincangan mengenaimaqoshidmengalami gejala kelesuan bersamaan dengan kemandekan wacana keilmuan dalam dunia islam. Baru pada abad ke VIII muncullah sang maestro kajianmaqoshidyang bernama al-Syatiby (w. 790 H). Sejak priode itu konsepmaqoshidmenjadi hal yang tidak terpisahkan dalam pembahasan hukum-hukum syariah[4].

Dalam analisa al-Bhuthy, penggunaan maslahah (ishtihslah) sebagai salah satu metode penggalian hukum, sebenarnya bukanlah hal yang baru dilakukan oleh paraAimmahdan ulama' madzhab, akan tetapi ia sudah dilakukan sejak masa sahabat sampai pada masaAimmahdan seterusnya. Mereka melakukan analogi terhadapal-Nashush al-Syar'iyyahketika adaillat(ratio-legis)yang mempertemukan antara kasus baru yang belum ada kejelasan hukumnya dengan kasus lama yang sudah ada kejelasan hukumnya berdasarkan nash atau ijma'. Dan ketika tidak ada nash yang secara spesifik bisa dijadikan sebagai obyek analogi maka mereka menggunakan maslahah dalam menetapkan hukum baru, jika mashlahah tersebut masuk dalam lingkup tujuan-tujuan universal syariat Islam.

Namun, kendati pandangan bahwa hukum syariah hanyalah untuk kemaslahatan manusia dapat kita katakan sebagai konsensus, sangatlah penting bagi kita untuk membuktikan kebenaran pandangan tersebut dengan dalil. As-Syatiby dalamal-Muwfaqtdi awal pengantar babMaqshidmenulis bahwa klaim Syariat Islam hanyalah untuk kemaslahatan manusia, baik di dunia dan akhirat adalah klaim yang harus dibuktikan dengan dalil burhan.

Di samping itu, menurut al-Buthy, dalil-dalil itu nanti berfungsi sebagai counter terhadap kelompok-kelompok yang selalu berupaya menyerang Islam, seperti dengan mengatakan bahwa syari'at Islam terlalu tinggi untuk diukur dengan standar maslahah, hukum-hukum Allah hanya sebagai penghambaan saja dan upaya mengeluarkan hikmah dan manfaat-manfaat duniawi dari hukum-hukum Allah adalah usaha sia-sia dan berlebihan yang tidak sesuai dengan tujuan hukum-hukum syariat. Semua ini, menurut al-Buthiy adalah atas misi memutus urat nadi yang menghubungkan antara syariat Islam dengan kehidupan manusia di dunia, sehingga mereka akan beranggapan bahwa syariat Islam tidak bisa mengantarkan mereka pada keinginan-keinginan duniawi, yang akibatnya bisa saja mereka meninggalkan ajaran-ajaran Islam atau bahkan meninggalkan agama Islam itu sendiri.

1. 2.Dalil-dalil Perhatian Syariah terhadap Maslahah Ada banyak dalil al-Quran yang ditampilkan al-Buthy untuk membuktikan kebenaran bahwa hukum-hukum syariat adalah untuk kemaslahtan manusia. Salah satunya yang menurut penulis bisa mewakili ayat-ayat yang lain adalah ayat ke 170 dari surah al-Anbiya', yaitu ayat yang menjelaskan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad hanyalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Menurutnya, terutusnya seorang Rasul hanya akan menjadi rahmat jika syariat yang dibawanya memenuhi kemaslahatan dan menjamin kebahagiaan manusia, jika tidak, maka syariat itu justru menjadi petaka bagi manusia. Dengan demikian, melalui ayat itu seakan-akan Allah berkata kepada Nabi-Nya: "sesungguhnya syariat yang kamu bawa adalah penyebab kebahagiaan dunia dan akhirat dan sumber teraturnya kemaslahatan manusia. Siapa saja yang menerima rahmat dan mensyukuri nikmat maka ia akan bahagia di dunia dan akhirat dan siapa saja yang menolak dan mengingkarinya maka ia akan rugi di dunia dan akhirat".Ayat yang lain yang dijadikan dalil oleh al-Buthy adalah ayat ke 90 dari surat al-Nahl, ayat ke 24 dari surat al-Nisa', ayat ke 24 dari surat al-Anfal, ayat 204-205 dari surat al-Maidah, ayat ke 185 dari surat al-Baqorah, dll.

Dari as-Sunnah, al-Buthy menampilkan tiga hadits.Pertama, hadits yang menjelaskan bahwa iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang, yang paling tinggi adalah bersaksi tiada tuhan selain Allah, sedang yang paling rendah adalah membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan. Menurutnya, seluruh kemaslahatan dengan segala macamnya masuk dalam hadits tersebut dan berada di antara dua sisinnya.Kedua, adalah hadits yang menjelaskan seluruh makhluk adalah keluarga Allah dan yang paling dicintai-Nya adalah yang paling bermanfaat kepada keluarganya. Menurut al-Buthy, jika ukuran kedekatan manusia kepada Allah di dalam aktivitasnya dinilai dari seberapa besar ia memberikan manfaat kepada orang lain, maka hal ini tentu saja lebih layak menjadi hakim di dalam aturan syari'at Islam.Ketiga,hadits tentang larangan berbuat yang membahayakan orang lain dan berbuat saling mendatangkan sesuatu yang membahayakan. Hadits ini menurut al-Buthy adalah kaidah universal yang menutup semua jalan bahaya dan kerusakan bagi orang Muslim.

Selanjutnya, ada empat kaidah yang juga ditampilkan al-Buthy sebagai dalil pandangan di atas.Pertama, pembagian dosa besar dan kecil. Setelah mengutip statemen 'Izz ad-Din ibn Abdis as-Salam dalamQowid al-Ahkmia menyimpulkan bahwa besar kecilnya dosa kemaksiatan adalah sesuai besar kecilnya mafsadah yang ditimbulkan kemaksiatan tersebut. Demikian pula besar kecilnya pahala ketaatan adalah sesuai besar kecilnya kemaslahatan yang terkandung dalam ketaatan tersebut.Kedua,adanyaKhithb Wad'i, yaitu titah Allah yang berkaitan dengansabab,mani',syarat,shohih, danfasid. Hal ini, karena kriteria hamba yang terbebani hukum adalah baligh dan berakal, namun pelaksanan syarat ini secara kaku akan menyebabkan hilangnya unsur maslahah dalam sebagian permasalahan. Misalnya anak kecil merusak barang orang lain, dilihat dari sisiKhithb Taklfiia tidak berdosa karena tidakmukallaf, namun untuk menghilangkan timbulnya kerugian bagi pemilik barang maka walinya harus mengganti barang tersebut berdasarkanKhithb Wad'i. Dengan demikian,KhithbWad'iini merupakan solusi penyelesain masalah ketika tindakan merugikan orang lain dilakukan oleh orang yang tidakMukallaf, supaya tindakan tersebut tidak menimbulkan hilangnya maslahah bagi orang lain.Ketiga,perhatian syari'ah terhadap tradisi-tradisi masyarakat dengan syarat tidak mengandung mafsadah dan tidak menghilangkan maslahah.Keempat,pemilahan syarat, sifat, dan pengaruh kontrak akad dalam muamalat sesuai perbedaan cara mewujudkan kemaslahatan.

3.Mengurai Benang KusutSebuah pendapat akan bisa diterima sebagai sebuah kebenaran, disamping harus memiliki dasar yang kuat juga harus bersih dari problem-problem(isykaliyat) atausyubhah-syubhah(kekaburan-kekaburan)yang terkait dengan pendapat tersebut. Sebab, hal itu bisa menimbulkan keruwetan dan kontradiksi, bak benang kusut yang kadang sangat sulit untuk diurai.

Adalah sudah maklum bahwa Asya'irah dalam ilmu kalam(teologi Islam) berpandangan bahwa pekerjaan Allah tidak didorong oleh suatuillat. Hal ini, menurut, karena apabila pekerjaan Allah didorong oleh suatu tujuan maka Dia tersempurnakan dengan tercapainya tujuan itu. Bagi Asyairah, Seorang yang melakukan suatu pekerjaan karena suatu tujuan mesti mengambil manfaat dari tujuan itu, karena tercapainya tujuan tersebut mesti lebih baik daripada tidak tercapainya. Namun, argumen ini ditolak, karena kemestian mendapatkan manfaat dan tersempurnakan itu hanyalah jika manfaat itu kembali kepada pelaku, sementara apabila kembali kepada orang lain maka tidak mesti demikian. Kemudian penolakan ini diconter balik oleh ar-Razy(w. 606 H.), menurutnya jika tercapainya tujuan itu lebih unggul dan lebih baik bagi pelaku maka mengambil manfaat dari tujuan itu merupakan suatu kemestian, sementara jika tercapainya tujuan itu tidak lebih baik, maka ia tidak bisa disebut sebagai tujuan[5]. Pandangan 'Asyairah dalam teologi ini tentu saja terasa janggal jika kita bandingkan dengan pandangan mereka sendiri dalam pembahasan ilmu ushul fikih(teori hukum Islam) bahwa hukum Allah adalah untuk kemaslahatan manusia. Sebab, pernyataan yang terakhir ini secara lahir bisa membatalkan keberadaanillatdalam bab qiyas hanya sebagai tanda saja, yang berarti akan membatalkan pula terhadap pernyataan mereka sendiri bahwa pekerjaan Allah tidak didorong suatu'illat.

Untuk mengurai benang kusut ini, menurut al-Buthy, kita perlu memperhatikan posisi saat mereka menyampaikan statemen tersebut. Mereka berpendapat bahwa pekerjaan Allah tidak didorong oleh suatuillatadalah ketika dalam kapasitas mereka sebagai ahli ilmu kalam(teolog Islam).Illatyang mereka maksudkan dalam hal ini adalah 'illat 'aqliyyahyang dimaksud oleh para filosof, yakni suatuillatyang ia sendiri dapat menimbulkan akibat tetentu. Hal ini, karena pondasi ilmu kalam adalah filsafat akidah Islam dan counter atas kebatalan-kebatalan filsasat. Maka sudah tentu istilah yang mereka gunakan dalam pembahasan ilmu kalam adalah istilah filosof juga. Tujuan mereka dalam hal ini adalah menjauhkanta'lilfalsafiitu dari pekerjaan-pekerjaan Allah, supaya tidak merusak akidah orang-orang muslim. Dan argumen-argumen yang mereka kemukakan dalam pembahasan ini juga tentangillatdengan pengetian seperti itu, sebab, yang dapat menimbulkan Allah tersempurnakan dengan yang lain serta dianggap terpaksa dalam melakukan pekerjaan-Nya adalah jika pekerjaan Allah diillati denganillatfalsafitersebut. Karenaillat falsafitersebut akan membuat kebebasan tuhan terkungkung di bawah kekuasaan motivasi dan tujuan yang menggerakkan-Nya. Sementara statemen bahwa hukum Allah adalah untuk kemaslahatan manusia mereka sampaikan dalam disiplin ilmu ushul fikih(teori hukum Islam)yang berisi metode menggali dan menjabarkan hukum-hukum tuhan.Illatyang mereka maksudkan dalam hal ini adalahillatja'liyyah, yaituillatyang dijadikan oleh Allah sebagai tanda wujudnya hukum tertentu, dengan arti, Allah menggantungkan wujudnya hukum dengan wujudnyaillattersebut. Jika illat itu wujud maka itu pertanda hukum juga wujud dan jika illat itu tidak wujud maka itu pertanda hukum juga tidak wujud.

Selain al-Buthy ada beberapa ulama' yang juga melakukan singkronisasi antara dua statemen mengenai masalah ini. Diantaranya adalah Taqiyy ad-Din as-Subky(w. 756 H.), ia berpendapat tidak ada kontradiksi antara dua statmen itu, karena yang dimaksud Fuqoha',illatitu merupakan pendorong pekerjaanMukallaf bukan pendorong hukum syara'. Namun, singkronisasi semacam ini, kata ar-Raisuny, justru menjadi penguat pengingkaran terhadap pemberian illat terhadap hukum-hukum syarit(Ta'lilal-ahkam), bahkan sudah keluar dari konteks, karena konteksnya adalah memberiillatterhadap hukum-hukum Allah bukan memberiillatpada pekerjaan-pekerjaan manusia.

Ibnu Hummam al-Iskandary al-Hanafy(w.861 H) juga berupaya mendekatkan kedua pendapat di atas. Menurutnya perbedaan itu adalah perbedaan literal yang terbangun diatas perbedaan maknaghorod. Kalangan yang menginterpretasikan kataGhoroditu dengan manfaat yang kembali kepada Allah maka mereka mengatakan bahwa pekerjaan Allah tidak didorong suatuillat[6]. Sementara kalangan yang menginterpretasikannya dengan manfaat yang kembali kepada manusia maka mereka mengatakan bahwa pekerjaan Allah didorong suatuillat. Namun, singkronisasi semacam ini akan kehilangan nilainya ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa Asya'irah juga tidak menyetujui adanya tujuan dalam pekerjaan-pekerjaan Allah, meskighoroditu diartikan manfaat yang kembali kepada hamba-Nya.

Ibnu Asyur(w.1892 M.) hampir senada dengan upaya Ibn Hummam ini, ia berpendapat bahwa masalah ini terjadi perbedaan pendapat diantara para teolog Islam yang hampir bisa dibilang sebagai perbedaan literal. Sebab semua kaum muslimin sepakat bahwa pekerjaan Allah muncul dari kehendak dan pilihan Allah dan sesuai dengan ilmu-Nya. Mereka juga sepakat bahwa semua pekerjaan-Nya mengandung hikmah dan maslahah, hanya saja mereka berbeda pendapat apakah hikmah dan maslahah itu bisa disebut sebagai tujuan(gharad)danillatal-Ghaiyyah[7] atau tidak. Menurut segolongan ulama', hikmah tersebut bisa dianggap sebagai tujuan atauillat al-Ghaiyyah. Sementara kalangan Asya'irah berpandangan hikmah tersebut tidak bisa dianggap sebagaiillat al-Ghaiyyah.[8].

Selain problem kekaburan di atas, problem lain yang terkait dengan eksistensi korelasi syariah dengan maslahah ini adalah kaidahal-ajru 'al qodri al-ta'ab,pahala sebuah aktivitas adalah tergantung kadar kesulitannya.Kaidah ini dirumuskan berdasarkan hadits riwayat imam Muslim dari sayyidah Aisyah ra. bahwa Rasulullah bersabda kepadanya;"Pahalamu sesuai kadar kesulitanmu". Sanada dengan hadits ini, hadits riwayat Bukhori dan Muslim;"tidak terkena musibah seorang mukmin, baik berupa kesulitan, sakit, kesesuahan, hatta duri yang mencucuknya kecuali Allah menghapus kesalahan-kesalahannya sebab musibah tersebut".Berdasarkan kaidah ini sebagian kalangan menilai bahwa muara pahala ibadah adalah kesulitan yang terdapat di dalamnya. Namun jika ini benar maka secara lahir bisa membatalkan kesimpulan bahwa disyariatkannya hukum hanyalah untuk kemaslahatan manusia. Sebab kemaslahatan manusia itu akan belawanan dengan upaya menghasilkan kesulitan tersebut, terlebih apabila kesulitan itu sendiri dinilai sebagai muara pahala dalam hukum.

Menurut al-Buthy untuk menghilangkan problem kekaburan ini diperlukan untuk menjawab terlebih dahulu dua pertanyaan berikut, benarkah terjadi kontradiksi antara upaya mewujudkan kemaslahtan dengan keharusan menanggung kesulitan dalam upaya menggapai kemaslahatan tersebut? Dan benarkah bahwa kesulitan adalah muara pahala ibadah dan hukum?. Menurutnya, klaim terjadinya kontradiksi dalam masalah ini bisa dibenarkan jika terwujudnya kemaslahatan itu mengharuskan menanggung mafsadah yang sederajat atau malah lebih tinggi dari kemaslahatan yang hendak dicapai. Sementara jika mafsadah itu lebih rendah dari mafsadah yang timbul jika maslahah itu tidak bisa diraih maka tidak bisa dianggap sebagai kontradiksi. Akal normal justru memutuskan untuk menanggung sedikit kerugian untuk menggapai kemaslahatan yang jika tidak dapat diraih justru dapat menimbulkan mafsadah yang lebih besar.Masyaqqahatau kesulitan, dilihat dari sisi ia merupakan rasa sakit yang dirasakan manusia dinilai sebagai mafsadah, akan tetapi kesulitan itu hanya dijauhi jika mencapai tingkat yang dapat menghilangkan nilai maslahah. Sholat berdiri misalnya, ia diwajibkan olehSyari'(Allah atau Rasulnya) dalam sholat fardu karena mengandung maslahah, namun ketika berdiri itu menyebabkan rasa sakit yang dapat menghilangkan kekhusukanyang notabene merupakan tujuan utama ritual sholat maka dalam kondisi seperti iniSyari'mensyariatkan sholat duduk, miring, terlentang dan seterusnya. Dan kesulitan seperti inilah yang dimaksud dalam firman Allah;Dan Allah tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesulitan.Adapunmasyaqqahyang tidak sampai menghilangkan nilai maslahah, sepertimasyaqqahyang mesti dirasakan oleh manusia dalam aktivitas-aktivitas dan tugas-tugas kesehariannya maka ia tidak bisa dianggap kontradiksi dengan upaya mewujudkan maslahah.Masyaqqahseperti ini bukanlah kesulitan yang ditiadakan dalam firman Allah;Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan. DanMasyaqqahyang mesti ditanggung dalam melaksanakan hukum Allah tidak lebih dari masyaqqah seperti ini. Karenanya, ketika suatumasyaqqahmelebihi tingkatan iniSyari'memberikan dispensasi untuk lepas darimasyaqqahtersebut. Lalu dari sini timbul pertanyaan selanjutnya, apakahmasyaqqahyang mesti menyertai setiap pelaksanakan hukum Allah itu juga merupakan tujuan hukum-hukum Allah?

Menurut al-Buthy, setiap aktivitas yang diperintahkanSyari'pada dasarnya hanya disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan yang timbul dari aktivitas tersebut. Adapunmasyaqqahyang mesti ditanggung dalam pelaksanaan aktivitas tersebut mengandung hikmah karena manusia adalahMukallaf, makhluk yang dibebani hukum. Sementara pembebanan ini tidak akan terwujud secara nyata kecuali mereka diperintahkan melakukan sesuatu yang mengandung kesulitan meski ringan. Dengan demikian, dari aspek ini dapat kita katakan bahwamasyaqqahtersebut memang menjadi tujuanSyari'. Namun, perlu dicatat bahwamasyaqqahini hanya kesulitan kecil yang tidak sampai merusak kemaslahatan yang memang menjadi tujuan utama hukum-hukum syariat. Bahkanmasyaqqahtersebut tidak lebih dari sekedar menghindar dari penurutan kesenangan nafsu. Sebab--sebagiamana ditulis as-Syatibi di dalamal-Muwfaqt--berdasarkan penelitian, kemaslahatan agama dan dunia tidak akan terwujud jika manusia dibiarkan mengikuti kesenangan nafsunya, karena hal itu mesti menimbulkan permusuhan, persaingan tidak sehat bahkan saling membunuh yang semua ini berlawanan dengan kemaslahatan.

Selanjutnya, mengenai persepsi bahwamasyaqqahadalah muara pahala penerapan hukum, Menurut al-Buthy tidaklah benar. Tujuan pensyariatan hukum tak lain adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, sementara masyaqqah yang dirasakan ketika melaksanakan tuntutan syariah itu hanya sekedar sebagai wasilah untuk menggapai kemaslatan tersebut. Hal ini berdasarkan beberapa dalil.Pertama, jika pahala itu berdasarkanmasyaqqahbukan atas namawasilahmaka tidak benar bahwa Allah tidak menuntut hamba-Nya dengan sesuatu yang mengandung kesulitan, namun ini jelas batil karena berdasarkan Nash dan Ijma', Allah tidak pernah mensyariatkan untuk hambanya sesuatu yang mengandungmasyaqqahyang melebihi batas kebiasaan.Kedua, sudah ditetapkan berdasarkan dalil-dalilqot'ibahwa syariat bertujuan untuk kemaslahatan manusia.Ketiga, jikamasyaqqahmemang sebagai tujuan utama syari'at maka manusia bisa membuat-buat sendiri bentuk-bentuk ritual dengan hanya berdasarkan sudah terwujudnyamasyaqqahdalam ritual tersebut, namun ini juga batil karena banyak sekali dalil-dalilqoth'iyang melarang perbuatan-perbuatanbid'ah.Keempat,berdasarkan hadits shohih banyak sekali ketaatan yang ringan ternyata lebih besar pahalanya dari ketaatan yang mengandung kesulitan.

Sementara mengenai dalil-dalil yang digunakan oleh para pemilik persepsi di atas menurut al-Buthy juga tidak menunjukkan pada persepsi tersebut.

Pertama,hadits Aisyah tentang sabda nabi;pahalamu sesuai kadar kesulitanmu. Hadist ini, menurutnya bermakna bahwamasyaqqahyang mesti menyertai ritual ibadah, pahalanya berbeda-beda sesui berat ringannya masyaqqah tersebut namun tidak dari sisimasyaqqahitu sendiri akan tetapi dari sisimasyaqqahitu sebagaiwasilahterlaksananya ketaatan.

Kedua, hadits Bukhori dan Muslim tentang sabda Nabi; Tidak terkena musibah seorang mukmin berupa kesulitan, sakit, kesusahan,, hingga duri yang yang mencocoknya kecuali Allah melebur dosa-dosanya. Hadits ini, menurutnya hanya berbicara tentang peleburan dosa seorang muslim yang mengalami musibah dan tidak menyinggung sama sekali tentang pahala. Sementara dua hal tersebut jelas berbeda, peleburan dosa cukup digantungkan dengan hukuman yang notabene ia hanyalah reaksi yang secara otomatis terjadi pada manusia tanpa bisa berupaya menolaknya. Sedangkan hak mendapatkan pahala hanya digantungkan dengan pekerjaan yang muncul dari usaha manusia, karena usaha mendapat pahala adalah buahTaklifdan manusia bisa dianggap telah memenuhi hak-hakTaklif hanyalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang muncul dari pilihan dan usahanya. Diantara dalil yang menunjukkan bahwa hadits ini hanya terkait dengan peleburan dosa adalah riwayat tentang Abu bakar ketika turun ayat 123 dari surah al-Nisa' yang menjelaskan bahwa setiap kejelekan akan mendapat balasan. Ia bertanya;Bagaimana menghilangkannya, setelah turunnya ayat ini? Lalu Nabi bersabda;Allah mengmpunimu wahai Abu Bakar, bukankah kamu sakit? Bukankah kamu mengalami kesulitan? Bukankah kamu mengalami kesusahan? Bukan kamu pernah terkana cobaan?Abu Bakar berkata;ia. Nabi lalu bersabda;Itulah balasannya. Mengenai hadits yang terdapat dalam Shohih Muslim dari sayyidah Aisyah ra tentang sabda Nabi;Tidak satu pun dari orang muslim yang tercocok duri atau yang lebih berat dari itu kecuali ditulis untuknya suatu kebaikan dan dilebur darinya suatu kesalahan. Menurut al-Buthy hadits ini adalah hadits yang berbentukMuthlak. Mengenai masalah peleburan dosa bisa kita tetapkan pada kemutlakannya namun untuk masalah terangkatnya derajat (bertambahnya pahala) haruslah diberiqoyyid sabar dan ridlo. Karena secara logika musibah itu hanya sebatas reaksi yang secara otomatis muncul pada manusia, sementara pahala dan hukuman adalah buah dari perintah dan larangan yang keduanya hanya berkaitan dengan pekerjaan. Di samping itu banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan bahwa pahala hanya berkaitan dengan pekerjaan. Menurut al-Buthy satu ayat yang sama sekali tidak bisa ditolak bahwa hadits di atas harus dibatasi adalah ayat 155 surat al-Baqorah, Allah berfirman;Dan sung guh kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar. Menurutnya, yat ini dalam satu konteks dengan hadits di atas yaitu mengenai musibah, namun ternyata dalam ayat ini Allah mengkhususkan kabar gembira yang berupa pahala hanya kepada orang-orang yang sabar. Dan dipandang dari segala aspek, ayat ini adalahkhusussementara hadits di atas adalahmuthlak. Maka satu-satunya cara untuk melakukan singkronisasi antara keduanya adalah membatasi hadits tersebut dengan sesuatu yang secara eksplisit dijelaskan di dalam ayat yaitu disyaratkannya sabar dan ridlo jika ingin mendapat pahala ketika mengalami musibah.

Pandangan al-Buthy ini senada dengan pandangan Izzuddin ibn Abdissalam(w. 660 H.). Dalam kitab Qowa'id al-Ahkam, ia menegaskan bahwa manusia hanya diberi pahala dan diberi hukuman atas pekerjaan dan upayanya, baik secara langsung atau tidak lansung. Pandangan ini menurutnya, berdasarkan Firman Allah dalam surat al-Thur 16, al-Najm 39 dan al-An'am 163, dimana semua ayat ini menunjukkan bahwa manusia hanya akan diberi balasan dari pekerjaan-pekerjaannya. Disamping itu, karena maksudTaklifadalah mengagungkan Allah dengan melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Pengagungan ini tentu saja khusus pada pelakunya sendiri, sebab tidak mungkin orang yang menghormati larangan Allah akan dianggap melanggar karena pelanggaran orang lain dan tidak mungkin orang yang melanggar aturan Allah akan dianggap menghormati karena penghormatan orang lain[9].

Ketiga, adalah hadits yang menjelaskan tentang sifat ibadah Nabi, diantanya hadits yang diriwayatkan dari Mughirah bin Syu'bah bahwa Rasulullah pernah melaksanakan sholat sampai kedua telapak kakinya bengkak-bengkak. Lalu ketika dikatakan kepada beliau;Allah telah mengampuni dosa-dosamu, yang telah lalu dan yang akan datang.Maka beliau menjawab;tidakkah seharusnya aku menjadi hamba yang bersyukur?. Untuk menghilangkan problem kekaburan yang timbul dari hadits semacam ini menurut al-Buthy, terlebih dahulu kita perlu memahami dua hal.Pertama, bahwa yang dilarang dan dinilai kontradiksi dengan pemeliharaan terhadap mashlahah adalah jika seseorang melaksanakan ibadah yang mengandung kesulitan dengan tujuan untuk kesulitan itu sendiri, sehingga ibadah itu seakan hanya sebagai sarana untuk mencapai kesulitan tersebut.Kedua, tuntutan hukum dibatasi dengan kemampuan manusia adalah karena dua sebab yaitu supaya pengaruhmasyaqqahtidak sampai menimbulkan rasa bosan sehingga malah menyebabkan manusia meninggal tuntutan tersebut dan supaya tidak timbul cacat pada jiwa, fisik atau akal sehingga berakibat seperti sebelumnya. Jika demikian, maka dapat kita fahami bahwa kesulitan yang dialami Rasulullah SAW. dalam sebagian ibadahnya tidaklah beliau jadikan sebagai tujuan, Rasulullah SAW. hanya bertujuan untuk melaksanakan hak-hak Allah yang telah memberikan nikmat yang tak terhingga kepada beliau. Hal ini nampak sekali dalam jawaban Rasulullah SAW. ketika ada yang menyampaikan tentang jaminan pengampunan Allah terhadap beliau. Selain itu, dari dua sabab dibatasinya taklif dengan kemampuan manusia juga dapat kita fahami bahwa hukum pembatasan ini berdasarkan suatuillat(ratio-legis), sementara kita tahu hukum selalu beredar sesuaiillatnya.Illatini terkadang tidak ditemukan pada sebagian manusia seperti para Nabi.Masyaqqahbagi mereka telah lebur dalam rasa cinta dan rindu kepada Allah.

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa tidak ada satupun dalil-dalil yang menunjukkan bahwa muara pahala adalahMasyaqqah,sehingga dapat membatalkan atau mengkaburkan kesepakatan bahwa hukum-hukum Allah hanyalah untuk kemaslahat

1. I.Batas-Batas Nalar Maslahah dalam Syari'at Islam Maslahah, menurut al-Buthy bukanlah dalil mandiri sebagaimana al-Qur'an, al-Sunnah, al-Ijma' dan al-Qiyas. Maslahah adalah nilai-nilai universal yang diperoleh dari penelitian terhadap hukum-hukum partikular yang digali dari dalil-dalil syariah secara spesifik, artinya ketika kita melakukan penelitian terhadap hukum-hukum partikular maka kita menemukan bahwa di antara hukum-hukum tersebut terdapat satu titik temu yaitu tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Dengan demikian, tujuan mewujudkan kemaslahatan adalah nilai-nilai universal, sementara hukum-hukum partikular tersebut adalah bagian bagian partikularnya. Nilai-nilai universal tersebut tentu saja tidak bisa wujud secara tersendiri tanpa hukum-hukum partikular itu. Karenanya, maslahah yang dapat dinilai sebagai maslahah hakiki haruslah maslahah yang ditopang dengan dalil-dalil syar'i atau minimal tidak berlawanan dengan dalil syar'i. Berdasarkan ini maka maslahah tersebut haruslah memiliki batas-batas(dlowbith)yang dapat membatasi nilai-nilai universal itu dari satu sisi dan bisa menghubungkannya dengan dalil-dalil syar'i secara spesifik dari sisi yang lain, sehingga dengan ini terjadi kesingkronan antara nilai-nilai universal tersebut dengan hukum-hukum partikularnya.Korelasi antara pemahaman Mujtahid terhadap maslahah sebagai muara hukum secara universal dengan dalil-dalil Syar'i secara spesifik sebagai muara hukum secara partikular sangatlah mirip dengan korelasi antaraTakhrij al-ManathdenganTahqiq al-Manathyang biasa dijelaskan oleh ulama' ushul fikih di dalam pembahasanmaslik al-'illah.Penyingkapan Mujtahid bahwa muara hukum Syariah adalah kemaslahatan manusia adalahTakhrij al-Manth.Kemudian setelah itu, Mujtahid dituntut untuk melakukantahqiq al-manathatau aplikasi muara hukum tersebut di dalam permasalahan-permaslahan patrikular dengan menggunakan piranti dalil-dalil secara tafsil yang terdapat di dalam al-Quran, al-Sunnah dan al-Qiyas. Bagi al-Buthy, akal secara independen tidak mungkin bisa menangkap maslahah dalam masalah-masalah partikular. Hal ini, menurutnya karena beberapa hal: Apabila akal mampu menangkap maslahah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah hakim sebelum datangnya Syara'. Hal tidak mungkin menurut mayoritas Ulama'.

Apabila anggapan diatas sah-sah saja maka batallah keberdaan atsar/efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hokum, karena kesamaran subtansi maslahah bagi mayoritas akal manusia. Dan apabila itu benar maka batal pula dalil yang menunjukkan bahwa hukum syari'ah berlaku sesuai tuntutan maslahah. Karena dalil tersebut adalah penelitian yang diambil dari dalil-dalil tafsil tersebut.

Apabila akal secara independen mampu menangkap kemaslahahatan dan tingkatan-tingkatannya secara mendetail maka tidak mungkin para Filosof itu mengalami perbedaan di dalam menentukan kemaslahatan. Sementara sejak dulu sampai sekarang tidak pernah ada kesepakatan antara manusia dalam menentukan kemaslahatan.

Dengan demikian, bagi al-Buthy maslahah adalah buahtasyri'bukan akartasyri', dalam arti di mana ada hokum syariah maka di situ terdapat maslahah. Baginya, jika maslahah dinilai sebagai akartasyri'maka akan menimbulkan kesimpulan bahwa hukum-hukum Allah lebih akhir dari maslahah.

Jika kita runut kebelakang masalah ini sebenarnya adalah buntut dari perdebatan dalam ilmu kalam mengenaial-Tahsin wa al-Taqbihyakni apakah baik dan buruk itudzati(esensial) ataukah'aridli(aksidental)? Menurut mu'tazilah baik dan buruk itu adalah bagian dari entitas sesuatu(sifatDzati, esensial). Kemudian dari pemikiran ini, mereka berpendapat bahwa hokum-hukum Allah harus berpijak pada baik dan buruk yang secara esensial sudah wujud dalam pekerjaan tersebut. Karena jika tidak demikian, maka hokum-hukum Allah tersebut berlawanan dengan sifat kemahasempurnaan-Nya. Bagi mereka, jika Allah memerintahkan yang buruk, maka berarti Allah bukan tuhan yang baik, akan tetapi tuhan yang jelek, kejam dan sebagainya. Padahal sifat-sifat demikian merupakan bentuk kekurangan dalam diri manusia. Logikanya jika manusia mempunyai karakter yang buruk saja dinilai sebagai manusia yang tidak berperadapan dan penuh kekurangan, tentu saja Tuhan juga dapat dinilai demikian. Kemudian kelanjutan dari pandangan diatas, mereka juga berkeyakinan bahwa Akal mampu menangkap baik dan buruk dalam pekerjaan. Sehingga bagi mereka, meski tidak ada Rasul dan tidak turun wahyu manusia yang berakal dituntut mengikuti sesuatu yang secara esensial adalah baik dan menjauhi segala yang secara esensial adalah buruk. Menurut mereka, diutusnya seorang Rasul tidak lebih adalah untuk mengukuhkan apa yang oleh akal dinilai baik atau buruk, atau untuk menyingkap sesuatu yang tidak memiliki sifat baik atau buruk yang jelas yang bias ditangkap oleh akal. Dari sini dapat kita ketahui bahwa bagi mu'tazilah maslahah adalah pemicu timbulnya hokum, dimana ada maslahah maka disitu pasti ada hokum.

Sementara menurut Asya'irah, madzhab al-Buthy, baik dan buruk bukanlah bagian dari entitas sesuatu. Hal ini, karena segala sesuatu memandang kepada kondisi awalnya adalah sama dan tidak bias disebut baik atau buruk. Nilai baik kejujuran atau nilai jelek kebohongan misalnya, menurut mereka muncul dari pengaruhnya dalam kehidupan social. Lebih jelasnya, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk social, mereka tidak bias hidup sendiri tanpa sama sekali butuh kepada orang lain. Kebutuhan ini menuntut adanya saling tolong menolong diantara mereka. Tolong menolong ini tidak akan terwujud kecuali ada kepercayaan. Dan kepercayaan ini tidak akan tercipta kecuali dengan adanya kejujuran. Sementara semua ini terjadi dengan pengaturan dan penciptaan Allah. Dengan demikian, baiknya kejujuran dan jeleknya kebohongan muncul dari pengaturan Allah ini. Dan seandainya Allah menghendaki, bisa saja Allah membuat pengaturan hidup yang lain yang akan menyebabkan penilaian terhadap kejujuran dan kebohongan mengalami perubahan [1]. Dari sini, bagi Asya'irah Tuhan tidak harus berbuat sesuai dengan yang baik menurut penilaian akal. Menurut mereka, mu'tazilah terlalu gegabah dalam menilai Tuhan. Mereka memandang Tuhan dengan sudut pandang dan kaca mata manusia. Pada hal baik buruk adalah nilai yang diciptakan Allah menuju keteraturan hidup. Tuhan adalah Dzat yang berada diluar realiatas yang tentunya terlepas dari dari segala nilai kemakhlukan. Selain itu Tuhan adalah sebagai pencipta segala sesuatu maka Tuhan berhak melakukan segala yang dikehendakinya, tanpa ada yang boleh mencampurinya. Kelanjutan dari pandangan ini, bagi Asyairah maslahah adalah apa yang ditetapkan Tuhan sebagai maslahah. Begitu juga sebaliknya, mafsadah adalah apa yang ditetapkan oleh Tuhan sebagai mafsadah.

Berangkat dari pemikiran diatas, batas-batas maslahah yang nanti akan penulis uraikan, menurut al-Buthy berperan sebagai penyingkap hakikat maslahah bukan berposisi mengecualikan dan mempersempit maslahah. Dengan arti sesuatu yang tidak sesuai dengandlowbithtersebut sama sekali tidak bisa disebut maslahah hakiki meski sebagian kalangan mengasumsikannya sebagai maslahah. Al-Buthy mengajukan kesimpulan bahwa sebuah maslahah bisa dinilai sebagai maslahah hakiki adalah jika memenuhi limadlowbith, yang pertama berkaitan dengan penyingkapan makna universal maslahah tersebut, sementara empat yang lain membatasinya dengan cara menghubungkan dengan dalil-dalil syar'i yang spesifik.

1. Maslahah haruslah berkisar dalam lingkup tujuan syari'Maqasid Al Syariahberarti tujuan Allah SWT. atau Rasul-Nya dalam mensyariatkan hukum Islam. Tujuan-tujuan itu berkisar pada lima hal, yaitu memelihara tegaknya agama (hifzh al-dn), perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan terhadap akal (hifzh al-'aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan perlindungan atas harta kekayaan (hifzh al-ml).Segala sesuatu yang mengandung upaya pemeliharaan terhadap lima tujuan dasar ini dinyatakan sebagai maslahah. Sebaliknya, segala sesuatu yang mengabaikan semua atau sebagian dari lima tujuan dasar ini, maka dinyatakan sebagai mafsadah. Kemudian kelima tujuan ini merupakan batu loncatan untuk mewujudkan satu tujuan universal yaitu agar manusia menjadi hamba Allah secara total, yang dengan itu manusia akan mendapatkan kebahagian abadi didalam surga.

Cara pencapaian lima tujuan diatas masing-masing memiliki penekanan berdasarkan tiga strata kemaslahatan.Pertama,al-dlarriyyat, yakni hal-hal yang mesti ada dalam kehidupan manusia untuk mewujudkan lima tujuan diatas. Jika ini tidak ada, maka tata kehidupan di dunia akan timpang, kebahagiaan akhirat tak tercapai, bahkan siksalah yang bakal mengancam. Kewajiban Iman, membaca dua syahadat, membayar zakat, puasa ramadlan, haji, jihad, hukuman bagi orang murtad dll. disyariatkan untuk mewujudkan dan memelihara tegak dan lestarinya agama. Kehalalan makanan pokok, hukuman qisos dan hukuman membayar diyat disyariatkan untuk melindungi hak hidup dan keterjaminan keagamaan. Nikah, hokum-hukum yang berkaitan dengan nafaqoh dan perawatan anak, keharaman zina dan sangsi atas pelakunya disyariatkan dengan tujuan mewujudkan dan memelihara keturunan. Perintah menkonsumsi makanan dan minuman bergizi dan mecerdasarkan, keharaman minuman memabukkan dan hukuman atas peminumnya disyariatkan untuk memelihara akal manusia. transaksi-transaksi pokok, larangan mencuri dan hukuman atas pelakunya disyariatkan untuk menjamin hak milik atas suatu harta.Kedua, al-hjiyyat, yakni hal-hal yang sangat dibutuhkan sebagai sarana mempermudah dan menghindari kesulitan. Jika ini tidak terwujud, maka manusia akan mengalami kesulitan dan kesempitan tanpa sampai mengakibatkan tidak terwujudnya sama sekali lima tujuan diatas. Untuk mewudkan dan memelihara kemaslahatan dengan taraf semacam ini, maka untuk tujuan pemeliharaan agama,Syri(pemegang otoritas syara, Allah dan Rasul-Nya) mensyariatkan ritual-ritual ibadah dan dispensasi keringanan seperti bolehnya mengucapkan kata-kata kufur untuk melindungi jiwa, diperbolehkannya melakukanjamadanqasharshalat bagi musafir, perkenan tidak berpuasa Ramadlan bagi wanita hamil dan menyusui serta orang-orang sakit, tidak adanya kewajiban shalat ketika haid dannifas, diperbolehkannya mengusapkhuf(sepatu) ketika wudlu dan lain sebagainya. Untuk tujuan melindungi jiwaSyari'memperbolehkan hewan buruan dan makanan-makanan enak. Untuk tujuan memelihara harta kekayaansyari'menggariskan beragam ketentuan tata laksanamuamalahberupa jasa persewaan, bagi hasil, akad pesan dll. Dan untuk memelihara garis keturunansyari'mensyariatkan adanya mas kawin, perceraian dan terpenuhinya syarat saksi dalam hukuman zina.Ketiga,Al-tahsniyyat, yakni hal-hal yang ketiadaannya tidak sampai menyebabkan kesulitan, hanya saja perwujudannya sesuai dengan dasar melakukan yang pantas dan menjauhi yang tidak layak serta sesuai dengan budi pekerti luhur dan kebiasaan yang baik. Seperti pensyariatanthahrah(bersuci) sebelum shalat, hokum najasah, perintah menutup aurat dll. untuk hal-hal yang berkaitan dengan agama. Pensyariatan etika makan dan minum, pengharaman makanan-makanan yang tidak baik dan anjuran menjauhi terlalu berlebihan dan terlalu irit untuk hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan jiwa. Pelarangan menjual barang najis untuk hal yang berkaitan perlindungan terhadap harta benda. Dan pensyariatan hokumkafaah(sepadan) dan etika hubungan suami istri untuk tujuan melindungi nasab.

Sementara mengenai hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan syariah, menurut al-Buthy terbagi menjadi dua macam.Pertama, adalah sesuatu yang kandungannya bertentangan dengan tujuan-tujuan syariah. Seperti membunuh tanpa hak, mencuri dll. Tindakan-tindakan tersebut meski bias saja dianggap sebagai maslahah dilihat dari sisi keuntungan kepada pelaku. Namun maslahah tersebut diabaikan karena berlawanan dengan tujuan-tujuan syariah.Kedua, sesuatu yang melihat kandungannya tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan syariah, hanya saja karena niat yang buruk ia berubah menjadi instrumen yang dapat memadamkan dan merusak ruh tujuan-tujuan syariah tersebut. Dasar yang kedua ini, disamping karena lima tujuan diatas merupakan jalan bagi manusia untuk menjadi hamba Allah secara totalitas, adalah sabda Nabi bahwa sahnya amal adalah tergantung kepada niatnya dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai dengan yang mereka niati.

Salah satu contoh masalah kedua ini adalah hadist Abu Musa al-Asy'ary," seorang laki-laki badui bertanya kepada Nabi SAW., seorang lelaki berperang demi mendapatkan harta rampasan, seorang yang lain supaya disanjung, sedang seorang lagi karena ingin tinggi drajatnya. Siapakah yang termasuk pejuang dijalan Allah? Rasulullah menjawab, barang siapa berperang supaya agama Allah Berjaya berarti dia dijalan Allah".(HR. Bukhory dan Muslim). Hadits ini menunjukkan urgensitas niat dalam menentukan status seseorang di hadapan Allah. Secara lahir berperang adalah sama saja, akan tetapi niatlah yang membedakan antara seseorang yang berperang di jalan Allah dengan orang yang berperang untuk kepentingan duniawi.

Menurut al-Buthy, masalah yang kedua ini tidak ada kaitannya dengan hukum sah atau batal yang bermuara pada pekerjaan secaradlohir, karena banyak sekali pekerjaan dianggap sah secara hokumdhohirtetapi dinilai batal dalam hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Hukum sah atau tidak hanyalah berkaitan dengan terpenuhinya rukun dan syarat, sedangkan hubungan antara Allah dengan Makhluk-Nya disamping memandang hokumdhahirjuga memandang kepada ketulusan dan ketundukan penuh seorang hamba kepada Tuhannya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan maslahah yang berubah menjadi mafsadah disebabkan niat yang tidak tulus adalah melihat kepada hubungan antara manusia dengan Allah bukan melihat kepada hukumdhohir.1. 1.Tidak bertentangan dengan al-Quran Secara logisdlobitini mutlak adanya. Karena tujuan syari'at diatas bisa diketahui dari hasil penelusuran terhadap hukum-hukum syari'at yang bersandar pada dalil-dalilnya secara kasuistik. sedangkan dalil-dalil hukum syari'at semuanya bermuara pada al-Quran. jika maslahah yang diakui legalitasnya bertabrakan dengan al-Quran, maka terjadi pertentangan antaramadll(yang ditunjukan) dan dalil (petunjuk)nya. Ini jelas tidak mungkin karenamadlulselama-selamanya pasti sesuai dalil. Teks-teks syariah sendiri memberikan justifikasi bahwa kemaslahatan haruslah selaras dengan Al-Qur'an. Salah satu firman Allah menyatakan:Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.(QS: Al-Maidah 49) Demikian pula dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan dari Mu'adz bin Jabal tatkala diutus oleh Rasulullah sebagaiqdlke daerah Yaman. Rasulullah bertanya,Ketika dihadapkan suatu permasalahan, dengan cara bagaimana engkau memberikan putusan?Muadz menjawab,Saya akan memutusinya berdasarkan Kitab Allah.Rasulullah bertanya lagi,Bila engkau tidak menemuinya dalam Kitab Allah?Muadz menjawab,Saya akan memutusinya dengan sunnah Rasulullah.Beliau kembali bertanya,Bila dalam Sunnah Rasulullah pun tidak kau jumpai?Muadz menegaskan,Saya akan berijtihad berdasarkan pendapat saya dan saya akan berhati-hati dalam menerapkannya.Kemudian Rasulullah menepuk dada Muadz dan berkata,Segala puji bagi Allah yang memberikan petunjuk pada utusan Rasulullah dengan apa yang diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya."(HR. Abu Dawud dan Turmudzi).

Maslahah yang dinilai bertentangan dengan al-Quran adalah maslahah imajinatif yang bertentangan dengan teks, baik bertipenashataupundhohir. Hal ini karena teks bertipenashmaknanya adalahqoth'idan kemungkinanmajaz,naskh,takhshisdanidlmar sudah tertutup dengan kewafatan Nabi dan selesainya penelitian Ulama'. Sementara teks bertipedhohiryaitu teks yang menunjukkan makna namun masih mungkin menunjukkan makna lain, meski penunjukannya kepada maknanya tidakqoth'inamun kewajiban mengamalkan sesuai makna tersebut adalahqot'idan merupakan konsensus Ulama'.

Namun, ketika sebuah teks memiliki makna lebih dari satu tentu bisa saja sebagian Pakar hukum bisa mengunggulkan makna majaz berdasarkan indikasi ekternal. Dan jika indikasi menjadi pertimbangan dalam menentukan makna yang ditunjukkan teks bertipedohirmaka mungkin saja sebagian pihak berasumsi bahwa maslahah juga layak menjadi indikasi tersebut. Menurut al-Buthy, ijtihad dalam masalah-masalah yang sudah dijelaskan oleh al-Quran baik dengan teks bertipenashataupun teks bertipedhohirterbagi menjadi dua macam.Pertamaijtihad yang berakhir dengan kesimpulan yang bertentangan dengan al-Quran yaitu ijtihad yang keluar dari makna teks bertipeNashatau seluruh makna yang terdapat dalam teks bertipedhohir. Ijtihad semacam ini adalah batil dan tak ada satupun ulama' yang melegalkannya.Keduaijtihad yang yang terbatas dalam wilayahnashdandhohiryang mana wilayah kerja mujtahid dalam hal ini hanya untuk mengeluarkanillat, membatasi makna teks, hakikat ataukah majas, melakukan tarjih diantara kemungkinan-kemungkinan makna yang terdapat dalam teks, menyingkap apakah ia teks umum yang adamukhossisnya atau tidak, dan ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada penjelasan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah.

Mengenai batas-batas kemungkinan makna teks bertipedhohir, menurut al-Buthy, terangkum dalam sejumlah syarat-syarat melakukanta'wilyang diantaranya interpretasi tersebut tidak boleh berlawanan dengan makna bahasa, tradisi masyarakat Arab atau traridisi Syari' , dan sejumlah syarat menentukanillatyang diantaranyaillattersebut tidak boleh menyebabkan batalnya hukumAshal.

Ketentuan-ketentuan ini, menurut penulis sangat logis dan bisa diterima. Sebab, ijtihad didalam syariat Islam adalah upaya maksimal untuk mengetahui hukum-hukum yang dikehendaki Allah. Hal ini, meniscayakan bahasa arab yang notabene merupakan bahasa pilihan Allah, sebagai jalan untuk memahami hukum-hukum tersebut. Berdasarkan cara pandang seperti ini, ahli Ushul Fikih(teorisi hukum islam)merumuskan bahwa sebuah teks terlebih dahulu harus diarahkan pada tradisi autornya. Jika teks tersebut adalah teks syari' maka terlebih dahulu harus diarahkan pada makna syar'i, kemudian maknaurfdan jika tidak ada maknaurfmaka diarahkan pada maknanya secara bahasa.

1. 2.Tidak bertentangan dengan as-Sunnah Maksud dari as-Sunnah di sini adalah periwayatan secara berantai hingga Rasulullah, berupa ucapan, tindakan atau persetujuan (ketetapan) beliau, baik yang ditransmisikan secara massal (mutawtir) maupun perorangan[2](had).

Mengenai keharusan mashlahah tidak bertentangan dengan hadistmutawatir barangkali tidak perlu ditampilkan dalil karena iaqath'i al-wurud(definitive channel). Namun, untuk keharusan tidak bertentangan dengan hadistahad sangat penting untuk dibuktikan dengan dalil karena ia adalahdhonni al-wurud(speculative chennel), sehingga bisa saja ada sebagian pihak yang beranggapan tidak ada kewajiban mengamalkan kandungan hadits ahad karena ia hanya sebatas asumsi. Selain itu, terjadinya kontradiksi antara maslahah dengan hadits ahad tersebut bisa saja dipahami sebagai indikasi bahwa hadist tersebut tidak benar-benar dari Nabi, dengan dasar maslahah bersifat pasti sementara hadist ahad masih bersifatdhonni, serta bisa saja mereka mempertanyakan, bagaimana bisa ada sesuatu yang datangnya bersifatdhonninamun mengamalkannya bersifatqath'i?

Menurut al-Buthy, sama sekali tidak ada kontradiksi antara keberadaan datangnya hadits ahad bersifatdhanny(spekulative) dengan keharusan mengamalkannya bersifatqath'i(definitive), karena keduanya berada dalam tinjauan yang berbeda. Hadist ahad bersifatspekulatif dipandang dari sisi kesesuaian perkataan pembawa berita dengan fakta, sementara kewajiban mengamalkannya bersifat definitif adalah dipandang dari sisi hukum Allah. Tentu saja tidak kontradiksi apabila Allah mewajibkan seseorang untuk mengamalkan sesuatu berdasarkan tuntutandhon-nya. Menurut al-Buthy, ada dua dalil yang menunjukkan kewajiban mengamalkan hadist ahad dinilaiqath'i.Pertama, konsensus shahabat menerima hadist ahad dan mengamalkannya.Kedua,banyaknya riwayat yang semakna yang menunjukkan bahwa rasulullah SAW. mengirimkan delegasi ke berbagai negeri Islam dan mewajibkan para penduduknya untuk membenarkan keterangan mereka mengenai hokum-hukum syariah.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa syarat tidak adanya kontaradiksi dengan al-Quran dan as-Sunnah, baikdiriwayatkan secara massal ataupun perorangan merupakan barometer kebenaran suatu pendapat. Karenanya, maslahah yang hanya berdasarkan logika belaka, jika bertentangn dengan keduanya dinilai sebagai maslahah semu yang tidak bisa dijadikan pertimbangan dalam pencetusan sebuah hukum, baik pertentangan tersebut secara menyeluruh sehingga sama sekali tidak memungkinkan untuk dilakukan singkronisasi dengan caratakhshisatautaqyidatupun hanya dalam sebagian saja, sehingga masih memungkinkan dilakukantakshisal-Sunnahbial-MaslahahatauTaqyidal-Sunnahbial-Maslahah. Hal ini, karenaTakkshisdanTakyidhanya bisa dilakukan dengan dalil yang juga diakui olehsyari'sementara maslahah tidak memiliki otoritas demikian.

Sebagian kalangan menampilkan fatwa-fatwa sebagian sahabat dan sebagianAimmahsebagai justifikasi asumsi mereka bahwa maslahah bisa didahulukan dari al-Quran atau al-Sunnah, namun asumsi ini menurut al-Buthy sama sekali tidak benar. Sebab, sahabat danaimmahtersebut tidak mengeluarkan fatwa-fatwa tersebut berdasarkan pengutamaan maslahah dari al-Quran dan al-Sunnah akan tetapi berdasarkan wujudnyamukhoshshis, baik dari al-Qur an, al-sunnah, ataupun al-Qiyas., atau tindakan Nabi itu termasuk kebijakan beliau yang muncul atas nama imam, sehingga bisa berubah sesuai situasi dan kondisi, atau as-Sunnah tersebut menurut mereka tidak shohih, atau karena menurut mereka illat hokum tersebut tidak wujud.

Sementara mengenai asumsi bahwa imam Malik telah melakukantakhsis al-Sunnah bi al-maslahah al-mursalahmenurut al-Buthy juga tidak benar. Karena faktanya di dalam fikih imam Malik tidak pernah ditemukan istilah tersebut bahkan tidak mungkin terjadi ada istilahmaslahah mursalahberlawanan dengan al-Kitab atau al-Sunnah, sebab hal itu menjadikannya tidak bisa disebut sebagaimaslahah mursalahlagi, karena sudah keluar dari definisinya, yaitu sesuatu yang masuk dalam lingkup tujuan-tujuan syariah, namun tidak ditemukan dalil spesifik yang mengakui atau menolaknya. Menurut al-Buthy, Asumsi demikian terjadi karena mereka tidak memahami metode ijtihad imam Malik ketika menemukan nampak terjadi kontradiksi antara Nash dengan Nash yang lain atau antara Nash dengan al-Qiyas. Dalam hal ini ada tiga prinsip yang dipakai oleh imam Malik yaitu mendahulukan makna dlohir al-Quran daripada tuntutan makna hadist ahad kecuali jika dikuatkan oleh dalil lain, tidak memakai hadist ahad dan yang sesamanya jika bertentangan dengan dalil qot'I, baik al-Quran ataupun hadist mutawatir, dan mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadist ahad. Hal ini, karena bagi imam Malik, amal penduduk madinah hampir mencapai tingkat hadist mutawatir karena mereka tidak akan melakukan itu kecuali atas petunjuk Nabi.

Ada banyak contoh yang ditampilkan al-Buthy dalam masalah ini. Namun, disini penulis hanya akan menampilkan beberapa contoh saja, sekedar sebagai bukti ketidakbenaran asumsi bahwa sebagian sahabat dan aimmah mendahulukan maslahah daripada al-Quran atau as-Sunnah.

Pertama, kebijakan Umar menghentikan pendistribusian zakat kepada paraMu'allaf. Sebagian pihak berasumsi kebijakan ini didasarkan kepada pengutamaan maslahah daripada teks al-Quran, namun menurut al-Buthy asumsi ini tidak benar. Sebab, kebijakan ini tidak lebih dari aplikasi kaidah,al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman. Bagi Umarillatpemberian zakat kepadaMu'allafadalah untuk melunakkan hati mereka demi agama. Dalam ilmu Ushul Fikih(teori hukum islam)dijelaskan ketika sebuah hokum digantungkan pada kalimat yang berbentukisim musytaqmaka akar kata isim itu adalahillathokum tersebut[3]. Penggunaan kataMuallafahmenunjukkan bahwa factor melunakkan hati itu adalahillatpemberian zakat, sebagaimana factor kefakiran dan kemiskinan adalah penyebab seseorang berhak diberi harta zakat. Karenanya, bagi UmarMu'allafpada masanya sudah tidak berhak mendapakan zakat lagi karena Islam sudah mengalami kejayaan sehingga tidak perlu lagi merebut hati orang lain melalui zakat. Cara berpikir seperti ini sama sekali tidak keluar dari teks akan tetapi ini merupakan aplikasi muara hokum yang merupakan salah satu fase ijtihad yang didalam buku-buku Ushul Fikih disebutTahqiq al-Manath.Kedua,keputusan Umar tidak menghukum potong tangan terhadap pencuri di masa paceklik. Dalam hal ini, Umar dinilai telah berani memberikan putusan yang berlawanan dengan ketentuan teks al-Quran hanya demi kemaslahatan. Namun, menurut al-Buthy anggapan ini juga sama sekali tidak benar. Sebab, pada hakikatnya firman Allah,wa as-Sariqu wa as-Sariqatu faqtha'uw aydiyahumaadalah teks yang berbentuk umum yang mungkin untuk dipersempit cakupannya dengan cara dikaitkan dengan teks-teks yang lain. Ada banyak sekali dalil-dalil yang dapat mempersempit cakupan ayat ini. Diantaranya adalah hadits yang menjelaskan batas minimal nominal barang yang dicuri, hadits yang menjelaskan adanya perintah untuk menghindari hudud tatkala terdapatsyubhat, dll. Dalam pristiwa pencurian itu Umar menganggap kondisi kelaparan yang merajalela termasuk bagian darisyubhatyang dapat menggugurkan had. Kondisi demikian menyebabkan adasyubhat hakbagi para pencuri karena seseorang yang berada dalam kondisi darurat diperbolehkan untuk mengambil barang orang lain meskipun tanpa izin pemilik dengan syarat tidak melebihi kebutuhannya. Maka mungkin saja kondisi darurat itulah yang mendorong mereka untuk melakukan pencurian.

Ketiga, pendapat Hanafiyyah mengenai tidak adanya hukuman had pengasingan terhadap pelaku zina. Sebagian pihak menilai pendapat ini dibangun berdasarkan pengutamaan maslahah perlindungan agama terhadap ketentuan teks hadist ahad yang menjelaskan hukuman pelaku zina yang masih perawan adalah sanksi dera(jilid)seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Namun, asumsi ini menurut al-Buthy juga tidak benar. Ia menulis, dalil pendapat Hanafiyyah ini, sebagaiman ditulis as-Sarkhosy(w. 490 H.) adalah firman Allah yang artinya,maka jilidlah tiap-tiap dari mereka dengan delapan puluh jilidan(QS, an-Nur 24). Dalam ayat ini, menurut mereka Allah menjadikan sanksi dera sebagai totalHadzina. Jika disamping itu diwajibkan deportasi pelaku zina maka akan berarti sanksi dera adalah sebagianHadbukan totalHad. Hal ini termasuk penambahan terhadap teks al-Quran, sementara penambahan terhadap teks menurut mereka termasuknaskhdan hadist ahad tidak boleh menaskh ketentuan teks al-Quran atau hadist mutawatir karena ia adalahdlonni sementara al-Quran atau hadist mutawatir adalahqoth'i. Dari cara berpikir seperti, Hanafiyyah berpendapat deportasi(pengasingan)pelaku zina bukanlah termasuk had tetapi ta'zir yang ketentuannya diserahkan pada kebijakan imam.

Ketiga,pendapat imam Malik bahwa orang zindik harus dibunuh meski mengucapkan dua kalimah syahadah. Pendapat ini oleh sebagian kalangan dinilai sebagai hasil ijtihad imam Malik yang didasarkan pada pengutamaan maslahah terhadap teks as-Sunnah yang memerintahkan untuk tidak membunuh orang yang membaca dua syahadah meskipun ia orang munafik.Namun asumsi ini juga ditolak oleh al-Buthy. Menurutnya, makna kata "al-Nas" dalam hadist tersebut adalah orang-orang musyrik, kafir kitabi, orang-orang muslim dan orang-orang munafik. Sementara klompok zindik baru muncul setelah kewafatan Nabi ketika islam sudah semakin meluas. Bagi para pemilik pendapat ini, orang-orang zindik masuk dalam klompok orang yang jelas-jelas kafir. Mereka tidak bisa dimasukkan dalam katagori orang munafik dipandang dua hal.Pertama,orang munafik adalah orang yang menyembunyikan kekufurannya dengan menampakkan diri sebagai orang muslim, sementara oang zindik adalah orang yang tidak menganut agama apapun.Kedua,orang munafik tidak mudah diketahui hakikat kekufurannya kecuali berdasarkan dugaan-dugaan. Sementara orang zindik kekufurannya dapat dengan mudah diketahui sehingga ketika itu tersingkap mereka segera membaca dua syahadat.1. 3.Tidak bertentangan dengan al-Qiyas Dalam istilah hubungan kata, antara qiyas dengan akomodasi terhadap maslahah adalahal-'umum wa al-khusus al-muthlaq, artinya dua kata yang salah satunya umum sedangkan yang lain adalah khusus, keduanya terdapat dalam sesuatu, sementara yang umum terdapat dalam sesuatu yang lain secara tersendiri. Qiyas dan akomodasi maslahah terdapat dalam masalahfar(kasus baru yang sedang dicari hukumnya) yang dianalogikan denganashl(kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya baik darinashataupun ijma') karena terdapatillat(ratio-legis) yang menggabungkan keduanya. Sedangkan akomodasi maslahah secara mutlak wujud secara tersendiri tanpa qiyas dalam maslahah mursalah. Dengan demikian, setiap qiyas merupakan bentuk akomodasi terhadap maslahah, namun akomodasi terhadap maslahah belum tentu merupakan qiyas. Berdasarkan ini, qiyas memiliki kelebihan dari akomodasi terhadap maslahah dengan wujudnyaillat(kausa) yang menggabunggkan antara kasus lama dengan kasus baru. Karenanya, sangat tidak benar jika akomodasi maslahah diutamakan daripada qiyas.

Untuk membuktikan kebenarandhobitini maka kita perlu memahami hakikat qiyas. Secara singkat qiyas didefinisikan dengan menyamakan kasus baru yang belum ada kejelasan hukumnya dengan kasus lama yang sudah dijelaskan hukumnnya, baik oleh Nash ataupun Ijma'. Dengan demikian hakikat qiyas terdiri dari empat pilar yaituAshl, Far', hukum Ashl, dan Illat. Dari keempat pilar qiyas ini yang menjadikan pebedaan mendasar antara qiyas dengan akomodasi terhadap maslahah secara mutlak adalah pilar pertama yaituAshl. Sebab, akomodasi terhadap maslahah secara mutlak hanyalah memiliki dua pilar yaituFar'danillatyang dalam pandangan Mujtahid memiliki kesesuaian dengan maslahah yang diakui oleh Syara'.

Qiyas bisa menjadi dalil yang legal apabila keempat pilar tersebut sudah memenuhi syarat-syarat tertentu, yang mayoritasnya berkisar pada syarat-syaratillat, yiatu antara lain adalah:

Keberadaanillattersebut didalam hukumAshalharus diakui. Artinyaillattersebut ditunjukkan oleh nash atau ijma' atau berupa sifat yang pantas dan sesuai menjadi muara hukum.

Illat tersebut harus wujud di dalamfar'.

Pengakuan terhadapillattersebut tidak menyebabkan batalnya hukumashl. berupa sifat yang jelas dan bisa dibatasi dengan akal.

Menurut al-Buthy, syarat-syarat ini tidak lain adalah untuk mengetahui bahwa sebuahillat memang diakui oleh syara', sehingga ia bisa legal dijadikan sebagai muara penetapan hukum. Kemudian untuk memahami letak terjadinya kontradiksi antara maslahah dengan qiyas dan kontradiksi antara qiyas itu sendiri, serta mana yang yang harus diprioritaskan, maka kita perlu mengetahui stratifikasial-Washf al-Munasib dilihat dari sisi diakui atau tidaknya, sebagaimana berikut ini:

al-Munasib al-Mulghayaitu suatu sifat yang ditolak oleh Syari' untuk dijadikan sebagai muara hukum yaitu dengan cara memberlakukan hukum tidak sesuai dengan sifat tersebut. Contoh paling populer tentang hal ini adalah fatwa imam Yahya ibn Yahya al-Laitsy al-Maliky terhadap seorang raja ketika ia meminta fatwa terkait tindakannya, mennyetubuhi istrinya pada siang hari bulan Ramadan. Imam Yahya berfatwa ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Hal ini, karena menurutnyakaffaratdisyariatkan untuk tujuan menjerakan sementara yang efektif bagi seorang raja hanyalah puasa berturut-turut selama dua bulan. Namun ini ditolak oleh Syari' karena dalam hal ini--sebagaimana ditulis al-Syatibi didalamal-I'tishom--hanya ada dua alternatif yaitu mengikuti pendapat syafiiyah yang mengatakankaffaratini adalahkaffaratyang harus tertib atau mengikuti pendapat Malikiyyah yang mengatakankaffaratinikaffarat takhyir.[4]

al-Munasib al-Mursalyaitu suatu sifat yang yang mana tidak pernah ditemukan dalil-dalil syar'i yang spesifik baik yang mengakui ataupun menolaknya. Sifat ini terbagi menjadi dua macam.Pertama,al-Mursal al-Ghorib yaitu apabila antara jenis sifat tersebut dengan jenis hukum atau antara jenis salah satu dari keduanya dengan macam yang lain tidak ada korelasi yang diakui oleh Syari'. Sifat seperti ini sama dengan sifat yang jelas-jelas tidak diakui oleh Syari'.Kedua, Mulaim al-Mursal atau biasa disebut al-Maslahah Mursalah yaitu apabila antara jenis sifat dengan jenis hukum atau antara jenis salah satunya dengan macam yang lain ada korelasi yang diakui Syari'. Dalam analisis al-Buthy terhadap berbagai referensi mengenai masalah ini dapat disimpulkan bahwa secara global sifat semacam ini diterima oleh para ulama secara konsensus.

al-Munasib al-Mula'imyaitu suatu sifat yang yang tidak ditetapkan oleh Nash atau Ijma' sebagaiillatsuatu hukum tertentu namun ada hukum lain berdasarkan Nash atau Ijma' yang ditetapkan berdasarkan kesesuaian dengan sifat tersebut. Sifat ini, menurut al-Buthy tidak lepas dari dua hal.Pertama,pengakuan Syari' terhadap sifat tersebut terbatas pada hukum yang ditetapkan berdasarkan kesesuainnya dengan sifat itu. Hal ini, seperti tindak kejahatan yang dilakukan seseorang karena ingin lebih cepat memperoleh keinginannya. Sifat ini secara rasio layak untuk menjadi pencegah sampainya pelaku kejahatan untuk memperoleh keinginannya. Namun ketika dilakukan pengkajian ternyata hanya ditemukan satu hukum syar'i yang ditetapkan berdasarkan kesesuaian dengan sifat tersebut yaitu tercegahnya pembunuh untuk mendapatkan warisan dari orang yang terbunuh. Selain ini tidak ditemukan hukum lain yang ditetapkan berdasarkan sifat itu, baik dengan jalan menetapkan hokum sejenis berdasarkan kesesuaian dengan sifat sejenis , hukum itu sendiri bedasarkan sifat sejenis, ataupun hokum sejenis berdasarkan sifat itu sendiri. Jenis sifat dalam contoh ini adalah ketergesa-gesaan untuk memperoleh sesuatu sebelum waktunya, sedangkan jenis hukumnya adalah terhalang untuk memperoleh keinginan. Ketika dilakukan pengkajian tidak pernah ditemukan nash atau ijma' menetapkan jenis hukum ini berdasarkan jenis sifat tersebut. Oleh karenanya, ia merupakan sifat yang asing yang sehingga dinilai sebagai yang rendah dari macam-macam sifat yang layak dijadikan sebagai muara penetapan hukum oleh Syari'. Namun secara global ia masih layak untuk dijadikan pedoman dalam qiyas. Karenanya, suami yang menceraikan istrinya pada saat ia sakit yang biasa berakhir kematian bisa dianalogikan dengan orang yang membunuh dengan alasan keduanya sama-sama tindakan terlarang untuk tujuan yang jelek.Kedua, suatu sifat yang disamping ada hukum ditetapkan berdasarkan kesesuaian dengan sifat tersebut juga ada hal lain yang bisa dijadikan jalan untuk menjadikannya sebagaiillatyaitu adanya hukum lain yang sejenis ditetapkan berdasarkan sifat sejenisnya, hukum itu sendiri juga ditemukan ditetapkan berdasarkan sifat sejenis atau hukum yang sejenis diterapkan berdasarkan sifat itu sendiri.

al-Munasib al-Muatstsiryaitu suatu sifat yang mananashatauijma'menetapkannya sebagaiillathukum. Misalnya adalah sifatShighorterkait dengan kekuasaan wali terhadap anak kecil, mencuri terkait dengan hukum potong tangan dll.

Berdasarkan stratifikasi diatas al-Buthy kemudian memberikan contoh tentang hukum meminum Bir. Sebagian kalangan barangkali akan berpandangan bahwa dalam Bir terdapat sifat yang layak untuk dijadikan sebagaiillatkehalalan meminumnya yaitu adanya rasa enak ataupun faidah lain yang diasumsikan sebagaiillat, namun dalam Bir juga terdapat sifat lain yaitu termasuk jenis minuman yang memabukkan yang notabene ia adalahillatkeharamankhomr. Dalam hal ini berarti terjadi kontradiksi antara sesuatu yang diasumsikan sebagai maslahah dengan qiyas, maka qiyas harus didahulukan yaitu dengan menganalogikan Bir denganKhomr karena sama-sama memabukkan. Contoh lain adalah masalah potong tangan. Sebagian kalangan berasumsi bahwa dalam potong tangan terdapat sifatHadmaka adalah sangat layak ia diposisikan dalam posisidlolman. Dalam hal ini sudah ada hukumqishosyang ditetapkan berdasarkan kesesuaian dengan sifat tersebut yaitu diposisikanqishostersebut dalam posisidiyat. Dengan demikian, potong tangan bisa disamakan denganqishosdalam hal bisa menggugurkan kewajiban untuk mengganti barang yang telah dicuri sebagaima dilakukannyaqishosmenggugurkan kewajiban membayardiyat. Namun, qiyas ini tidak benar karena dalam pencurian terdapat sifat lain yaitu rusaknya harta ditangan orang jahat sementara sifat ini berdasarkanijma'berpengaruh terhadap kewajiban mengganti barang ghosoban. Dalam hal ini berarti terjadi kontradiksi antara qiyas yang berdasarkan sifatmulaimdengan qiyas yang berdasarkan sifatMuastsirmaka qiyas yang kedua ini harus didahulukan dari pada qiyas pertama.

Namun, sebagian kalangan barangkali mempertanyakan, jika maslahah tidak boleh bertentangan dengan qiyas maka bagaimana dengan kalangan Hanafiyah dll. yang memakaiIstihsansebagai salah satu metode penggalian hukum mereka?

Menurut al-Buthy,istihsansama sekali tidak berlawanan dengandhobithini. Sebab, jika kita kaji maknaistihsandan contoh-contoh hukum yang dihasilkan berdasarkanistihsandalam madzhab Hanafiyyah dan madzhab yang lain ternyata disampingistihsanitu tetap ditemukan dalil-dalil syar'i yang lain yang mereka pakai. Oleh karenanya,istihsanpada dasarnya bukanlah dalil mandiri,istihsanadalah pengecualian dari kaidah karena ada tuntutan dalil lain yang legal. Dari sini, tidak benar jika dikatakan bahwa dengan berdasarkanistihsanberarti Hanafiyyah telah mengunggulkan maslahah terhadap qiyas. Jika demikian, mengapa as-Syafii dll. Mengingkari Istihsan? Menurut al-Buthy, pengingkaran al-Syafii dll. terhadapistihsanadalah karena kalimat ini merupakan kalimat yang kurang layak digunakan dalam masalah metode penggalian hukum Syar'i karenaistihsanadakalanya muncul dari logika saja dan adakalanya muncul dari syara' . Dan yang pertama itulah yang dimaksud al-Syafii dalam statmennya yang terkenal,man istahsana fa qod syarra'a.1. 4.Tidak mengabaikan maslahah yang lebih urgen Telah dipaparkan dimuka bahwa tujuan hukum-hukum Syari'ah adalah untuk kemaslahatan manusia. Hal ini meniscayakan semua usaha untuk meraihnya sebanyak mungkin. Oleh karenanya, jika terdapat beberapa maslahah maka langkah awal yang perlu dilakukan adalah meraih maslahah tersebut secara keseluruhan. Namun, ketika beberapa bentuk maslahah tersebut dilematis, maka harus ada salah satu bentuk maslahah yang diprioritaskankan. Menurut al-Buthy ada tiga sudut tinjauan dalam menentukan skala prioritas ini.Pertamatinjauan berdasarkan nilai dan urgensi dari bentuk kemaslahatan tersebut.Keduatinjauan berdasarkan kadar cakupan kemaslahatan.Ketigatinjauan berdasarkan kemungkinan terjadi.

Dalam tinjauan pertama telah kita tetahui bahwa seluruh maslahah dipandang dari sisi nilainya tersusun secara sistematis dalam lima tingkatan, yaitu perlindungan terhadap agama, perlindungan tehadap jiwa, perlindungan terhadap akal, perlindungan terhadap keturunan dan perlindungan terhadap harta[5]. Maslahah yang mengandung perlindungan agama didahulukan daripada maslahah yang berkaitan dengan perlindungan jiwa, maslahah yang mengandung perlindungan jiwa didahulukan dari maslahah yang berkaitan dengan perlindungan akal, dan seterusnya. Kemudian cara meraih tiap tiap dari lima kemaslahatan ini dilihat dari tingkat urgensitasnya memiliki urutan secara sistematis dalam tiga strata yaitudloruriyyat , hajiyyat dan tahsiniyat.Dengan demikian, apabila terjadi kontradiksi antar strata maslahah, maka stratadlaruriyyatharus dikedepankan dari stratahajiyyatdantahsiniyyat, stratahajiyyatharus diprioritaskan dari stratatahsiniyyat.

Apabila dua bentuk kemaslahatan tersebut berstrata setara, sebagaimana apabila dua bentuk kemaslahatan tersebut sama-sama dalam stratadloruriyat, sama-sama dalam strataHajiyyatatau sama-sama dalam strataTahsiniyyat, maka kita perlu menenguk kepada tingkat nilai maslahah tersebut. Dalam hal ini, ada dua kemungkinan.

Pertama,kedua maslahah yang bertentangn berada dalam nilai yang berbeda maka dalam hal ini kita harus mendahulukan maslahah yang nilainya lebih tinggi daripada maslahah yang berada ditingkat bawahnya. Maslahah perlindungan agama didahulukan dari maslahah perlindungan jiwa, maslahah perlindungan jiwa didahulukan dari maslahah perlindungan akal, dan seterusnya.

Kedua, kedua maslahah yang bertentangan berada dalal tingkat nilai yang sama. Hal ini, seperti apabila kedua maslahah tersebut sama-sama terkait dengan perlindungan hak milik atau sama-sama terkait dengan maslahah perlindungan akal. Dalam kondisi demikian maka kita perlu menengok pada tinjauan kedua yaitu tinjauan kadar cakupan kemaslahatan tersebut pada umat.

Dalam tinjauan kedua ini, maslahah yang berdampak umum didahulukan daripada maslahah yang berdampak khusus. Oleh karenanya, hak masyarakat untuk menggunakan air dan rumput ditanah tak bertuan didahulukan daripada hak seseorang untuk memilikinya secara penuh, maslahah mempelajari ilmu agama lebih utama daripada melakukan ibadah sunnah, karena manfaat ilmu tidak hanya secara vertical tetapi juga secara horizontal, dan maslahah melindungi pemikiran masyarakat dari kontaminasi ajaran sesat didahulukan daripada hak asasi setiap orang untuk untuk menyampaikan pemikiran dan pendapatnya secara bebas tanpa memperhatian dampak negatifnya kepada masyarakat.

Selain menggunakan dua tinjauan diatas, dalam menakar skala prioritas maslahah diperlukan pula tinjauan bentuk ketiga, yaitu dengan mempertimbangkan kadar potensi terjadinya maslahah yang diakibatkan dari sebuah tindakan. Hal ini karena setiap tindakan bisa dinyatakan sebagai maslahah atau mafsadah juga berdasarkan akibat yang ditimbulkannya. Jika akibat tindakan itu maslahah maka ia juga dinilai maslahah dan jika akibat yang ditimbulkan adalah mafsadah maka ia juga dinilai mafsadah. Ulama' menjelaskan bahwa maslahah atau mafsadah yang ditimbulkan dari sebuah tindakan adakalanya memiliki potensi bertaraf pasti (mu'akkidah al-waq'i) seperti transaksi harta anak yatim yang dilakukan oleh walinya secara kontan untuk contoh maslahah dan membuat sumur didepan pintu rumah yang gelap untuk contoh mafsadah, sebatas asumsi kuat(madhnun al-waq'i) seperti transaksi harta anak yatim yang tidak dilakukan dengan kontan akan tetapi memakai jaminan untuk contoh maslahah dan menjual anggur pada pada pembuat minuman keras untuk contoh mafsadah, atau bahkan sekedar keragu-raguan atau imajinasi belaka (masykuk aw mauhum al-waq'i) seperti transaksi harta anak yatim tidak secara kontan serta tidak memakai jaminan,. Dalam kaitannya dengan skala prioritas terhadap dua bentukmaslahahini, tidak dibenarkan melakukan pengunggulan (tarjih)yang hanya berdasarkan akibat yang memiliki potensimaslahahdengan taraf keragu-raguan atau imajinasi.Tarjihhanya dibenarkan bila berdasarkan dua klasifikasi awal, yakni tindakan yang memiliki potensi maslahah dengan taraf pasti atau asumsi.

Dasar dlobit ini, menurut al-Buthy diantaranya adalah sabda Nabi;Iman memiliki lebih dari tiga puluh cabang, yang paling tinggi adalah bersaksi tiada tuhan selain Allah sedangkan yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu dari jalan(HR, an-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah).Sabda Nabi ini, menurutnya, menunjukkan bahwa maslahah yang diakui syara' memiliki perbedaan tingkat urgensi. Karenanya, jika maslahah yang paling tinggi berada pada persaksian keesaan Allah dan yang paling rendah adalah membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan maka tentu saja maslahah yang berada diantara keduanya juga memiliki tingkat urgensi yang berbeda sesuai dekat dan jauhnya dengan tiap-tiap dari dua maslahah tersebut.

Termasuk dalilnya juga adalah firman Allah dalam al-Quran;Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang, niscaya Kami hapus kesalahah-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia(Surga)(QS, an-Nisa' 31). Menurut al-Buthy, ayat ini menunjukkan bahwa kemaksiatan menimbulkan dosa yang berbeda-beda. Dan perbedaan dosa ini tidak bisa diakibatkan oleh perbedaan kekuatan tuntutan untuk meninggalkannya, karena tuntutan yang mantap(tholab jazim)dilihat dari subtansinya tidak berbeda. Akan tetapi, perbedaan itu diakibatkan oleh perbedaan mafsadah yang ditimbulkannya. Memandang mafsadah adalah lawan dari maslahah maka perbedaan mafsadah itu tentu saja merupakan cabang dari perbedaan urgensi maslahah.

Kemudian mengenai standar perbedaan nilai dan stratifikasi urgensi maslahah diatas menurut al-Buthy adalah berdasarkan penelitian(istiqra') terhadap hokum-hukum partikular. Pensyariatan jihad di jalan Allah meski harus mengorbankan jiwa menunjukkan perlindungan agama didahulukan dari perlindungan jiwa, Konsensus Ulama', diperbolehkan meminum minuman keras ketika dalam kondisi darurat menunjukkan perlindungan jiwa diutamakan daripada perlindungan akal, konsensus ulama' bahwa sanksi dera atas pelaku zina tidak boleh sampai mengakibatkan kematian atau rusaknya akal, menunjukkan perlindungan jiwa dan akal lebih diutamakan daripada perlindungan nasab, dan larangan menjadikan perbuata zina sebagai sarana mendapatkan uang menunjukkan perlindungan nasab lebih diutamakan daripada perlindungan hak milik.

Kewajiban untuk berjihad meski bersama pemimpin yang jahat menunjukkan bahwa mewujudkan kebutuhandlaruriyyat(primer)diutamakan dari kebutuhanhajiyyat(skunder)dalam perlindungan agama. Keharusan melaksanakan sholat berjama'ah meski dengan Imam yang jahat menunjukkan kebutuhanhajiyyahdidahulukan daripada kebutuhantahsiniyyat(tersier), demikian pula kewajiban sholat bagi orang yang tidak menemukan penutup aurat menunjukkan kebutuhanhajiyyatdidahulukan daritahsiniyyat.

1. II.Kaidah-kaidah yang Bisa Dinilai Kontaradiktif dengan Batas-batas Maslahah Sebagai penutup pembahasan batas-batas maslahah, al-Buthy menampilkan beberapa kaidah yang bisa saja dipahami secara kontaradiktif dengandhobith-dhobithdi atas yaitu kaidahal-masyaqqah tajlib al-taysir, taghoyyur al-ahkam bi taghoyyur al-azman, dan al-hiyal al-syar'iyyah.Namun menurutnya, kaidah-kaidah tersebut jika dikaji secara komprehensip dan tidak sepotong-potong sama sekali tidak ada kontradiksi dengandlbith-dhbithtersebut. Sebab, keringanan yang diberikan pada orangMukallaf karenamasyaqqahyang ia rasakan dalam melaksanakan hukum-hukum syariah adalah dispensasi yang tidak boleh berlawanan dengan dalil-dalil syariah.Masyaqqohperang bagi para tentara misalnya, tidak boleh sampai memperbolehkan mereka meninggalkan sholat atau mengakhirkan ke luar waktunya, kesulitan untuk menghindari praktek riba pada masa ini tidak boleh sampai memperbolehkan bertransaksi dengan cara riba tersebut, demikian pulamasyaqqah-masyaqqahyang lain tidak boleh melebihi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan syara'.

Perubahan hukum kerena perubahan zaman juga hanya berlaku dalam masalah-masalah yang penerapannya dikembalikan pada kebijakan pemerintah atau masalah-masalah yang oleh syara' tidak diberi ketentuan pasti dan dikembalikan kepadaUrf, maka sudah tentu ketika'Urf mengalami perubahan, hukum itu juga akan mengalami perubahan. Hal ini, seperti perbedaan istilah masyarakat dalam pengungkapan serah terima yang menjadi muara hokum dalam berbagai transaksi, bentuk-bentuk tindakan yang dapat menggugurkan harga diri seseorang yang merupakan muara hokum bisa diterima atau tidaknya persaksian seorang saksi, dan contoh-contoh yang lain yang tidak diberi batasan pasti oleh syara'. Dalam hal ini, berlaku kaidah,setiap sesuatu yang tidak memiliki batasan pasti didalam syara' dan bahasa maka ketentuannya dikembalikan kepada Urf. Demikian pula rekayasa untuk melegalkan sesuatu yang berdasarkan ketentaunnashmerupakan sesuatu yang terlarang dengan cara mengganti kata-kata atau cara-cara yang lain juga disyaratkan berdasarkan cara-cara yang sesuai dengan ketentuan Syara'. Oleh karenanya, banyak sekali praktekhilahyang disepakati keharamannya oleh para ulama, kendati secaradhohir praktekhilahtersebut menyampaikan pihak pelaku kepada tujuannya, karena tidak menggunakan cara-cara yang legal secara syar'i. Seperti praktekhilahyang dilakukan oleh seseorang yang hendak menghindar darikaffaratbersetubuh di siang hari puasa ramadon dengan cara makan terlebih dahulu sebelum melakukan persetubuhan, praktekhilahyang dilakukan seorang istri yang ingin berpisah dari suaminya dengan cara melakukan perbuatan yang dapat mengeluarkannya dari islam(murtad), atau praktekhilahyang dilakukan oleh pihak terdakwa terhadap saksi yang didatangkan oleh pihak pendakwa dengan menciptakan permusuhan dengan saksi tersebut, sehingga akibat itu persaksiannya tidak bisa diterima.

1. III.PenutupBerdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan, meski benar bahwa maslahah merupakan spirit teks-teks syariat, namun hal itu tidak berarti bahwa maslahah bisa dijadikan amunisi untuk menganulir ketentuan-ketentuan teks. Maslahah di dalam syariat Islam memiliki batas-batas nalar yang jelas, yang harus selalu dijadikan pedoman oleh para mujtahid dan pengkaji hukum Islam. Mengabaikan batas-batas nalar tersebut di dalam penggunaan maslahah sama halnya dengan mengginginkan buah dari sebuah pohon dengan mencabut akar-akarnya. Dalam hal ini, tentu tidak mungkin buah akan diperoleh. Oleh karenanya, pengetahuan mengenai batas-batas nalar maslahah tersebut tidak saja merupakan suatu yang urgen tetapi juga merupakan sesutau yang seharusnya diketahui terlebih oleh para mujtahid dan pengkaji hukum Islam.

1. VII.Bibliografi2. Al-Buthy, Muhammad Said Ramadlan al-Buthy.Dlowbith al-Maslahah f as-Syarah al-Islmiyyah. Cet.ke-7. Dr el-Muassasah.

3. As-Sullamy, Izz ad-Din Abd 'Aziz Ibn 'Abd as-Salam. 1999.Qaw'id al-Ahkm f Mashlih al-Anm. Cet.ke-1. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.

4. Al-Ghazly, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad. 2007.al-Mustashf Min 'Ilmi al-Ushl. Cet.ke-1. Muassasah ar-Risalah.

5. Ar-Raisuny, Ahmad. 1996.Nadhriyyah al-Maqshid 'Inda al-Imm asy-Sytiby. Cet.ke-2. al-Dr al-'Imiyyah li al-Kitab al-Islamy.

6. Asy-Syatiby, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Lakhmy al-Ghurnathy,al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari'ah, Beirut, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, cet. Ke-1, 2004 M.

7. Asy-Syatiby, Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa al-Lakhmy al-Ghurnathy,al-I'tisham, Dar al-Ma'rifah, Cet.0

8. Al-Baghdady, Abu al-Fath Ahmad ibn 'Aly ibn Burhan,al-Wushul ila al-Ushul, Riyad, Maktabah al-Ma'arif, Cet.-ke I, 1984 M.

9. Thohari Muslim dan Muhammad Kholid Afandi,Maqoshid as-Syari'ah dan Dhawabith al-Mashlahah; pergulatan seputar wacana, , Lirboyo Kediri 2005 M