studi kasus penangkaran

Upload: arif-wichaksono

Post on 06-Jul-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    1/69

    i

    STUDI KASUS PENANGKARAN

    PENYU HIJAU (Chelonia mydas), DI PANTAI PANGUMBAHAN,

    KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

    SKRIPSI

     ARY AJRAN AJIEMA RIANTO

    PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

    JURUSAN PERIKANANFAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

    UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR

    2012

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    2/69

    ii

    STUDI KASUS PENANGKARAN PENYU HIJAU (Chelonia mydas), DI PANTAI

    PANGUMBAHAN, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

    Oleh: 

     ARY AJRAN AJIEMA. RL211 08 260

    Skripsi

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjanapada

    Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

    PROGRAM STUDI MANAJ EMEN SUMBERDAYA PERAIRANJURUSAN PERIKANAN

    FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

    UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR

    2012

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    3/69

    iii

     ABSTRAK

     Ary Ajran Aj iema. R. L211 08 260. Studi Kasus Pengelo laan Penyu Hijau(Chelonia mydas), di Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.Dibawah bimbingan Syamsu Alam Ali selaku Pembimbing Utama dan Hadiratul

    Kudsiah selaku Pembimbing Anggota.

    Populasi Penyu Hijau (Chelonia mydas) dikelompokkan sebagai endangeredspecies dalam IUCN Red List yakni spesies yang dalam waktu dekat sangatberesiko mengalami kepunahan. Pada bulan Januari 1999 Pemerintah Indonesiatelah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 yang melindungi PenyuHijau.

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana model penangkaranPenyu Hijau (Chelonia mydas) yang ada di Pantai Pangumbahan, KabupatenSukabumi, Provinsi Jawa Barat.

    Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 februari sampai 31 maret 2012,

    di Pantai Pangumbahan, Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, KabupatenSukabumi, Provinsi Jawa Barat. Data primer diperoleh melalui wawancara,observasi dan dokumentasi. Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaituanalisis deskriptif kualitatif dengan bantuan table dan gambar.

    Hasil Penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua model penangkaran yangada di Pantai Pangumbahan, yaitu semi-alami meliputi penetasan yang dilakukandidalam ruangan dan blong, dan alami dilakukan di kandang buatan yang terdapatdi pesisir pantai. Persentase tertinggi rata-rata telur penyu/ekor terdapat pada Bulan April yaitu 88,20 %, sedangkan yang terendah pada bulan Februari yaitu 85,66 %.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    4/69

    iv

    HALAMAN PENGESAHAN

    Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

    Prof. Dr. Ir. H. Syamsu Alam Ali, MS Dr. Ir. Hadiratul Kudsiah, MPNip.1955011411983011001 Nip.196711062006042001

    Dekan Ketua Program Studi

    Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Manajemen Sumberdaya Perairan

    Prof.Dr.Ir. Hj.Andi Niartiningsih, M.P Prof.Dr.Ir.H Sharifuddin Bin Andy Omar,M.Sc

    Nip. 196112011987032002 Nip. 195902231988111001 

    Tanggal Pengesahan : Agustus 2012

    Judul : Studi Kasus Penangkaran Penyu Hijau (Chelonia mydas), di

    Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat

    Nama : Ary Ajran Ajiema. R

    Stambuk : L 211 08 260

    Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh :

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    5/69

    v

    RIWAYAT HIDUP 

    Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 19

    November 1990, merupakan anak tunggal dari Pasangan

    Rianto. K dan Rohani Lurang.

    Pada tahun 1994 memulai pendidikan di TK Islam

    Maradekaya, kemudian masuk sekolah dasar pada tahun

    1995 dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di

    SMPN 10 Makassar dan selesai pada tahun 2005. Pada Tahun 2005-2008, penulis

    berhasil menyelesaikan pendidikan menengah di SMA Negeri 1 Makassar, yang

     juga merupakan salah satu SMA favorit di Kota Makassar.

    Tahun 2008, penulis berhasil diterima di Universitas Hasanuddin Makassar,

    tepatnya di Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, Program Studi Manajemen

    Sumberdaya Perairan. Selama menjalani studi di UNHAS, penulis pernah menjadi

     Asisten Avertebreta Air, Ikhtiologi, Manajemen Sumberdaya Perairan, dan

    Rehabilitasi. Selain itu penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa Profesi

    Manajemen Sumberdaya Perairan, sebagai Koordinator Kesekretariatan pada

    periode 2009-2010.

    Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, penulis

    melaksanakan tugas akhir (penelitian) yang berjudul “Studi Kasus Penangkaran

    Penyu Hijau (Chelonia mydas), di Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi,

    Jawa Barat”.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    6/69

    vi

    KATA PENGANTAR

    BI SMI LLAHI RAHMANI RAHI M

     AlhamdulillahirabbilAlamin. Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT

    karena berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah sehingga skripsi ini dapat

    terselesaikan. Salam dan shalawat tak lupa dipanjatkan kepada junjungan kita Nabi

    Besar Muhammad SAW, yang merupakan teladan bagi seluruh umat manusia.

    Sejak penelitian hingga penyusunan skripsi, banyak kesulitan dan hambatan

    yang dihadapi, namun Alhamdulillah berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai

    pihak, sehingga tulisan ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu penulis

    mempersembahakan tulisan ini khusus kepada Bapak dan Ibu tercinta Rianto. K

    dan Rohani Lurang.

    Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang

    telah menbantu dalam proses penyusunan laporan ini, terutama untuk:

    1. Bapak Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam Ali, M.S selaku pembimbing utama dan Ibu

    Dr. Ir. Hadiratul Kudsiah, MP selaku pembimbing kedua , atas bimbingan

    dan arahannya sampai penulisan skripsi ini selesai.

    2. Bapak Ir.Abd. Rahim Hade, M.Si, Bapak Ir. Budiman Yunus, M.Si dan Bapak

    Dr. Ir. Lodewyk S. Tandipayuk, MS selaku penguji yang telah memberikan

    saran dan kritik yang membangun.

    3. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Sharifuddin Bin Andy Omar M,Sc selaku Ketua

    Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, yang telah mengajarkan

    banyak hal kepada penulis selama penulis menempuh perkuliahan, dan

    seluruh staf dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.

    4. Dinda Riski Aprianti yang telah banyak memberikan support selama

    penelitian hingga penulisan skripsi.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    7/69

    vii

    5. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi yang memberikan izin

    penelitian.

    6. Staf Kawasan Konservasi Penyu Hijau Pangumbahan

    7. Keluarga besar laboratorium konservasi, Arman Pariakan S.Pi, Ida Amalia

    S.Pi, Nur Hasanah S.Pi, Besse Faradiba S.Pi, Nur Maisyara S.Pi, dan

    Handrianto Timbayo atas kerjasamanya.

    8. Kawan-kawan Program Studi Manajemen SD Perairan #8

    9. Seluruh Keluarga Besar Lemang Dg. Lurang

    Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam skripsi

    ini, oleh karena itu apabila ada kritik dan saran yang sifatnya membangun mudah-

    mudahan dapat menjadi bahan perbaikan kedepannya. Semoga skripsi ini dapat

    memberikan manfaat bagi semua pihak.

    Makassar, Agustus 2012

     Ary Ajran Ajiema

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    8/69

    viii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ix

    DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x

    I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

     A. Latar Belakang .......... ......................................... .................................... 1B. Tujuan dan Kegunaan ........................................ .................................... 3

    II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 4

     A. Pengertian Umum Penyu ………………………………………………… .... 4B. Peraturan Tentang Penyu ………………………………………………… .... 6C. Siklus Hidup Penyu ……………………………….. .................................... 7

    D. Habitat Peneluran ………………………………………………………... ..... 8

    III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 11

     A. Waktu dan tempat ………………………………………………………… .... 11B. Alat dan Bahan …………………………………………………………….. ... 12C. Aspek Yang Diamati …………………………………………………… ........ 12D. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………………… 12E. Analisis Data ………………………………………………………………….. 13

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 14

     A. Kondisi Umum Lokasi ......................................... .................................... 14

    B. Sejarah Singkat Penetapan Daerah Pengelolaan Penyu Hijau diPantai Pangumbahan ................... ......................................... .................. 15

    C. Pengambilalihan Pengelolaan dan Penggantian Aset ............... .............. 15D. Penunjukan Dinas Kelautan dan Perikanan Sebagai Pengelola ............... 16E. Pencadangan Kawasan Penyu Pangumbahan Sebagai KKLD ................ 16F. Kegiatan Operasional Pelestarian Penyu Hijau di Pantai

    Pangumbahan .......... ......................................... .................................... 17

    VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 23

     A. Kesimpulan .............................. ......................................... ....................... 27B. Saran ....................................................................................................... 28 

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 29

    LAMPIRAN ...................................................................................................... 31

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    9/69

    ix

    DAFTAR GAMBAR

    No Halaman

    1. Penyu hijau ................................ ......................................... ...................... 5

    2. Peta lokasi penelitian ........................................ ...................................... 11

    3. Struktur organisasi pengelola kkp pantai pangumbahan ................... ...... 17

    4. Ruang penetasan (semi-alami) ................... ......................................... .. 21

    5. Blong penetasan (semi-alami) ...................... ......................................... .. 22

    6. Kandang penetasan (alami) .............................. ...................................... 22

    7. Pemeliharaan tukik dalam bak ..................... ......................................... .. 23

    8. Pelepasan tukik ............................... ............................... ......................... 24

    9. Kepiting hantu (Ocypoda sp.) .................................................................. 24

    10. Diagram persentase penetasan telur penyu hijau ................................ .. 25

    11. Rata-rata telur penyu/ekor ............................... ...................................... 26

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    10/69

    x

    DAFTAR LAMPIRAN

    No Halaman

    1. Jenis vegetasi di pantai pangumbahan .......... ......................................... 32

    2. Naskah kesepakatan bersama antara pemerintah daerahKabupaten sukabumi dengan CV. Daya bakti ......................................... 33

    3. Keputusan bupati sukabumi tentang penunjukan dinas kelautan danPerikanan kabupaten sukabumi sebagai pengelola kawasanKonservasi penyu pantai pangumbahan ............................... .................. 36

    4. Keputusan bupati sukabumi tentang pencadangan kawasan penyuPantai pangumbahan sebagai kawasan konservasi pesisir danPulau-pulau kecil (KKP3K) .......... ......................................... .................. 39

    5. Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 7 tahun 1999

    Tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa .................................... 43

    6. Data peneluran penyu bulan februari 2012................................ ............. 56

    7. Data peneluran penyu bulan maret 2012 ............................................... 57

    8. Rata-rata penetasan telur penyu bulan februari-mei 2012 ....................... 58

    9. Rata-rata telur penyu/ekor pada bulan februari-maret 2012 .................... 59

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    11/69

    I. PENDAHULUAN

     A. Latar Belakang

    Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang terdiri dari ribuan

    pulau yaitu kira-kira 17,508 pulau dengan keadaan geografis dan topografi yang

    berbeda. Dengan bentuk kepulauan dan perbedaan tersebut,sebenarnya

    memberikan keuntungan tersendiri bagi jenis-jenis penyu laut untuk memilih

    habitatnya disekitar pulau-pulau tertentu (Nuitja,1992). 

    Pantai Pangumbahan, merupakan salah satu pantai yang terletak di Desa

    Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi,Provinsi Jawa Barat,

    merupakan salah satu Pantai di Indonesia yang mempunyai tempat atau habitat

    yang baik bagi penyu untuk bertelur (Rahayu, 2008).

    Di Sukabumi, hampir sepanjang pantai yang masih alami mungkin saja

    dapat dijadikan sebagai tempat penyu mendarat untuk membuat sarang dan

    bertelur. Namun yang terbaik, terbesar dan terkenal hanya terdapat di Pantai

    Pangumbahan Desa Gunung Batu Kecamatan Ciracap. Bahkan Pantai

    Pangumbahan ini termasuk pantai pendaratan penyu terbaik se pulau jawa

    bahkan diakui secara internasional. Pantai Pangumbahan memiliki garis pantai

    sepanjang sekitar 3.000 meter (Rahayu, 2008)

    Penyu merupakan satwa liar sisa peninggalan jaman purba yang

    dilindungi baik secara nasional, regional maupun internasional. Namun, populasi

    dan kelangsungan hidupnya sangat terancam punah akibat berbagai

    permasalahan. Dan, tindakan manusialah yang paling sangat serius mengancam

    keberadaan penyu dibanding fenomena alam. Seperti diantaranya

    pengunduhan/pengambilan telur penyu secara langsung dari sarang alaminya,

    yang secara tidak disadari pengunduhan telur sama saja pembinsaan penyu itu

    sendiri. Perburuan penyu untuk diambil daging dan bagian-bagian lainnya,

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    12/69

    2

    kerusakan lokasi tempat pendaratan untuk bertelur di pesisir pantai, juga

    pengambilan ikan oleh nelayan dengan menggunakan jaring yang secara tidak

    sengaja mengambil penyu. Dan semuanya itu terjadi dan dialami penyu di pantai

    pendaratan dan peneluran Sukabumi (Rahayu, 2008)

    Penyu laut termasuk ke dalam kelompok reptilia yang mempunyai daerah

     jelajah yang sangat luas, yang mendiami laut tropis dan subtropis di seluruh

    dunia. Penyu laut diperkirakan telah menghuni bumi ini lebih dari 100 juta tahun.

    Oleh karena itu penyu laut dikenal sebagai fosil hidup. Penyu telah mengalami

    beberapa adaptasi untuk dapat hidup di laut, diantaranya yaitu dengan adanya

    tangan dan kaki yang berbentuk seperti sirip dan bentuk tubuh yang lebih

    ramping untuk memudahkan mereka berenang di air. Penyu laut juga memiliki

    kemampuan untuk mengeluarkan garam-garam air laut yang ikut tertelan

    bersama makanan yang mereka makan dan juga kemampuan untuk tinggal di

    dalam air dalam waktu yang lama selama kurang lebih 20-30 menit. Telinga

    penyu laut tidak dapat dilihat, tetapi mereka memiliki gendang telinga yang

    dilindungi oleh kulit. Penyu laut dapat mendengar suara-suara dengan frekuensi

    rendah dengan sangat baik dan daya penciuman mereka juga mengagumkan.

    Mereka juga dapat melihan dengan sangat baik di dalam air. Penyu laut memiliki

    cangkang yang melindungi tubuh mereka dari pemangsa (Nuitja, 1992).

     Ada tujuh spesies penyu di Dunia. Enam diantaranya ditemukan di

    perairan Indonesia. yaitu: Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Lekang

    (Lepidochelys olivacea), Penyu Tempayan (Caretta caretta), Penyu Hijau

    (Chelonia mydas), Penyu Pipih (Natator depressa), Penyu Belimbing

    (Dermochelys coriacea) (Nuitja, 1992).

    Penyu hijau (Chelonia mydas) adalah salah satu dari enam spesies

    penyu laut yang ada di perairan laut Indonesia. Sebagai spesies migran spesies

    penyu paling intensif dieksploitasi masyarakat Indonesia. Populasi penyu

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    13/69

    3

    hijau.dikelompokkan sebagai endangered species dalam IUCN Red List yakni

    spesies yang dalam waktu dekat sangat beresiko mengalami kepunahan. Pada

    bulan Januari 1999 Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan

    Pemerintah No. 7 tahun 1999 yang melindungi penyu hijau. Pemerintah

    Indonesia yang memiliki kewenangan mengelola spesies langka dan terancam

    kepunahan gagal menghentikan eksploitasi penyu hijau. Indikasi kegagalan

    Pemerintah ditunjukkan oleh penurunan populasi penyu hijau secara terus

    menerus hingga saat ini. Penelitian ini dilakukan terhadap pengelolaan penyu

    hijau yang dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal

    Perlindungan Hutan dan Koservasi Alam. Evaluasi pengelolaan penyu hijau

    dengan menggunakan metode Multidimensional Scaling dimana setiap UPT

    dibandingkan satu sama lain. Pemetaan permasalahan pengelolaan dan

    penilaian kinerja pengelolaan dapat dilakukan. Metode ini dapat menentukan

    UPT yang menempati posisi ideal dan UPT-UPT yang memerlukan penanganan

    segera sebagai tindakan antisipasi dari permasalahan yang ada di lapangan

    (Wibowo,2007)

    Sejauh ini, informasi tentang habitat dan penangkaran penyu laut,

    utamanya penyu Hijau di Pantai Pangumbahan, masih sangat terbatas, inilah

    yang menjadi latar belakang mengapa saya mengambil judul penelitian ini.

    B. Tujuan dan Kegunaan 

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana model penangkaran

    Penyu Hijau (Chelonia mydas) yang ada di Pantai Pangumbahan, Kabupaten

    Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

    Hasil penelitian ini kedepan, diharapkan dapat memberikan informasi

    yang akurat mengenai model penangkaran yang baik bagi Penyu Hijau dalam

    menjaga kelestarian Penyu tersebut.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    14/69

    4

    II. TINJAUAN PUSTAKA 

     A. Pengert ian Umum Penyu

    Penyu laut hidup di perairan tropis dan subtropis. Diantara tujuh jenis

    penyu yang dikenal didunia, lima jenis terdapat di Indonesia. Tiga diantaranya

    mempunyai arti penting sejak dahulu yakni Penyu Hijau (Chelonia mydas),

    Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) dan Penyu Belimbing (Dermochelys

    coriacea) jenis lainnya juga terdapat secara sporadic di Indonesia meskipun tak

    banyak dikenal, yakni Penyu Lekang (Lephidochelys olivacea), Penyu Pipih

    (Natator depressa) dan Penyu Tempayan (Caretta caretta) (Nontji, 1993).

    Penyu (turtle) atau biasa juga disebut kura kura laut, tuturuga, dan hen 

    adalah salah satu fauna atau hewan purba yang hidup di laut. Penyu adalah

    salah satu satwa peninggalan zaman purba yang sampai sekarang masih hidup.

    Penyu tergolong reptil yang hidup di laut pada perairan dangkal hingga laut

    dalam di perairan tropis dan subtropis. Penyu mempunyai nilai ekonomi yang

    tinggi. Karena itu penyu menjadi salah satu fauna laut yang paling banyak diburu

    (Rebel, 1974).

    Penyu meruapakan salah satu hewan yang populasinya terancam punah.

    Penyu mempunyai karapas atau tempurung yang keras pada bagian dorsalnya  

    Secara morfologi, penyu mempunyai keunikan tersendiri dibandikangkan

    hewan-hewan lainnya, tubuh penyu terbungkus oleh tempurung keras yang

    berbentuk pipih serta dilapisi oleh zat tanduk. Tempurung tersebut mempunyai

    fungsi yang sebagai pelindung alami dari predator. Sedangkan penutup pada

    bagian dada dan perut disebut dengan plastron ciri khas penyu secara

    morfologis terletak pada terdapatnya sisik infra marginal (sisik yang

    menghubungkan antara karapas, plastron dan terdapat alat gerak berupa flipper.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    15/69

    5

    Flipper pada bagian depan berfungsi sebagai alat dayung dan flipper pada

    bagian belakang befungsi sebagai alat gerak. (Nontji, 1993).

    Penyu adalah satwa yang tetap bertahan hidup semenjak 100 juta tahun

    yang lalu dan tetap lestari hingga sekarang. Namun dalam 50 tahun terakhir ini

    populasi penyu di alam terus menurun dengan drastis dan dikhawatirkan akan

    punah jika tidak ada upaya untuk melestarikannya (Nuitja, 1992). Adapun

    klasifikasi Penyu hijau (Chelonia Mydas), sebagai berikut:

    Kingdom : Animalia

    Phylum : Chordata 

    Sub-phylum : Vertebrata 

    Class : Reptilia

    Ordo : Testudinata

    Sub-Ordo : Cryptodira

    Family : Cheloniidae Gambar 1 : Penyu Hijau (Chelonia mydas)

    Genus : Chelonia Sumber: www.googleimages.com 

    Species : Chelonia mydas (Linnaeus,1758)

    Penyu laut termasuk ke dalam kelompok reptilia yang mempunyai daerah

     jelajah yang sangat luas, yang mendiami laut tropis dan subtropis di seluruh

    dunia., Penyu pada umumnya bermigrasi dengan jarak yang cukup jauh dengan

    waktu yang tidak terlalu lama. Jarak 3.000 kilometer dapat ditempuh 58-73 hari

    (Wibowo,2007).

    Jenis penyu di dunia ada 7 jenis dan 6 di antaranya berada di Indonesia.

    Sementara jenis yang biasa ditemukan di Kepulauan Derawan ada 2 jenis, yaitu

     jenis penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys

    imbricata).

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    16/69

    6

    B. Peraturan Tentang Penyu

    Pemanfaatan penyu di berbagai tempat di dunia telah lama dilakukan,

    baik untuk dimakan maupun untuk perhiasan, seperti gelang, cincin, tusuk

    konde, sisir dan lainnya. Di Negara China, selain untuk dimakan dan souvenir,

    bagian-bagian tubuh penyu, seperti daging biasa dimanfaatkan untuk bahan

    obat-obatan (Erkyansyah,1997).

    Sejak tahun 1950 hingga tahun 2000 pemanfaatan telur penyu diatur

    dengan peraturan daerah dan surat keputusan bupati dengan sistem lelang dan

    kewajiban untuk menyisakan telur penyu untuk pembibitan. Pada tahun 2001

    merupakan awal dari proteksi pulau penghasil telur penyu yang juga merupakan

    awal dari kegiatan kawasan konservasi laut pada tahun 2005 melalui Peraturan

    Bupati Berau (Yulanda,2007).

    Penetapan KKL bukan berarti menghentikan pemanfaatan penyu dan

    hasil laut lainnya. Pemanfaatan langsung segala bagian tubuh penyu sudah

    dilarang sebelumnya oleh aturan yang lebih tinggi (UU 5/90 dan PP 7/99).

    Keinginan pemerintah kabupaten Berau menetapkan kawasan perairan

    kepulauan Derawan sebagai KKL tentu bukan tanpa pertimbangan. Apalagi

    daerah ini merupakan daerah objek kunjungan wisata di Kalimantan Timur yang

    kaya akan keindahan bawah laut. Pemanfaatan secara lestari terutama manfaat

    tidak langsung menjadi pertimbangan utama, dan tentunya harus terus didukung

    oleh semua pihak sehingga keputusan membuat KKL menjadi titik tolak

    peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan, bukan

    malah menyengsarakan. Peningkatan kunjungan wisata, peningkatan hasil

    tangkapan nelayan dan persepsi positif dunia terhadap pengelolaan adalah

    tujuan jangka panjang. Beberapa yang perlu menjadi pertimbangan untuk

    pengelolaan KKL di Kabupaten Berau adalah sosialisasi kepastian status dan

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    17/69

    7

    peran masyarakat, pelibatan masyarakat, peningkatan kelembagaan dan SDM

    masyarakat, dukungan lembaga lain untuk sukses pengelolaan dan pengamanan

    kawasan, seperti BKSDA, TNI AL, Bea Cukai, NGO dan lainnya. Tertangkapnya

    beberapa kapal pembawa penyu menandakan bahwa kawasan ini belum aman,

    dan tentu (mungkin) tidak terjadi sekali dalam setahun. Keberhasilan program

    KKL bukan sekadar menangkap penyu mati di dalam kapal asing. Akan lebih

    baik jika tidak pernah ada kapal tertangkap membawa penyu. Namun tentu lebih

    baik dari pada tidak sama sekali (Wibowo,2007).

    Dalam rangka pengelolaan dan pelestarian penyu maka perlu dilakukan

    kegiatan perlindungan habitat, mengurangi atau menghentikan pengambilan telur

    serta mengurangi penangkapan penyu untuk kepentingan komersial, dimana

    kegiatan ini hanya dapat dilakukan melalui koordinasi dari semua pihak baik

    pemerintah, dunia usaha, lembaga masyarakat, perguruan tinggi serta

    masyarakat setempat agar sinergi satu dengan lainnya (Dahuri,2003).

    Penyu telah terdaftar dalam daftar Apendik I Konvensi Perdagangan

    Internasional Flora dan Fauna Spesies Terancam (Convention on International

    Trade of Endangered Species - CITES). Konvensi tersebut melarang semua

    perdagangan internasional atas semua produk/hasil yang berasal dari penyu,

    baik itu telur, daging, maupun cangkangnya (Wibowo,2007). 

    C. Siklus Hidup Penyu

    Penyu laut, terutama penyu hijau, adalah salah satu dari beberapa hewan

    yang memakan lamun. Seperti tumbuhan normal lainnya, lamun perlu untuk

    dipangkas pendek agar sehat dan membantunya untuk tumbuh lebih subur di

    dasar laut ketimbang bila daunnya panjang. Tindakan penyu laut yang

    memotong lamun membantu untuk mempertahankan kesuburan padang lamun.

    Setelah beberapa dekade, telah terjadi penurunan populasi padang lamun,

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    18/69

    8

    penurunan ini mungkin disebabkan karena populasi penyu laut yang ikut

    mengalami penurunan (Nuitja,1992).

    Laut yang dipilih oleh penyu hijau sebagai habitat pendewasaan,

    perkawinan dan mencari makanan adalah laut yang tidak terlalu dalam dimana

    masih ditemukan rumput laut dan ganggang laut di dasar perairannya yaitu pada

    landas benua (Nuitja, 1992). 

    Penyu adalah jenis satwa yang organ penciumannya berkembang baik,

    dan berdasarkan hasil penelitian beberapa ahli ada beberapa faktor abiotik yang

    dapat mempengaruhi pemilihan lokasi peneluran, antara lain kelembutan pasir,

    ketinggian pantai, geomorfologi dan dimensi pantai, bentuk batimetrik pantai,

    tekstur pasir pantai, dan cahaya lampu pada lokasi pantai (Nuitja, 1992).

    D. Habitat Peneluran

    Penyu hijau sangat selektif dalam memilih pantai peneluran. Pantai

    peneluran penyu mempunyai ciri khusus, pantai landai berpasir tebal dengan

    latar belakang hutan lebat dan jenis Pandanus tectorius memberikan naluri

    kepada penyu hijau untuk bertelur. Kondisi tersebut dapat ditemui di Pantai

    Blambangan Taman Nasional Alas Purwo dan Pantai Sukamade Taman

    Nasional Meru Betiri di Jawa Timur, Pantai Pangumbahan dan Pantai Citirem

    di Jawa Barat (Ahmad, 1983).

    Menurut Yusuf (2000), pasir pada pantai peneluran berpindah akibat

    gerakan arus air laut maupun terpaan ombak. Fenomena perpindahan pasir ini

    menyebabkan pantai bertambah tinggi dan luas, bila banyaknya pasir yang

    tertimbun lebih banyak. Sebaliknya pantai akan berkurang dan menyempit bila

    banyaknya pasir yang terkikis lebih banyak. Ukuran pasir yang halus akan

    sangat mudah berpindah. Bila pasir di pantai berkurang maka pantai berpasir

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    19/69

    9

    akan berubah menjadi pantai pecahan karang yang sama sekali tidak cocok

    untuk penetasan telur penyu.

    Sebagian besar populasi penyu di alam melakukan migrasi. Migrasi

    penyu terutama disebabkan oleh faktor gametik  dan alimental. Naluri untuk

    kawin dan bertelur menyebabkan penyu bermigrasi dari habitat pakannya

    menuju kawasan peneluran (pengaruh gametik), kemudian kembali ke habitat

    pakannya (pengaruh alimental) (Nuitja, 1992).

    Tingkat salinitas yang tinggi dapat membahayakan perkembangan embrio

    penyu dan cenderung dapat menunrunkan tingkat kesuksesan penetasan sebab

    menyebabkan keracunan pada anakan penyu (Ewart, 1979). Salinitas juga

    mempengaruhu aktifitas biologis yaitu pada proses osmoregulasi. Penyu

    merupakan hewan poikilotermal, suhu tubuh mengikuti suhu lingkungan sampai

    batas tertentu (Jackson, 1979).

    Menurut Wisnujhamidaharisakti (1999), Pertumbuhan embrio sangat

    dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu antara

    24–33 0C, dan akan mati apabila di luar kisaran suhu tersebut. Kondisi

    lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan embrio sampai penetasan,

    antara lain suhu pasir.

    Cuaca juga menjadi salah satu faktor bagi penyu untuk bertelur, dimana

    Cuaca dan laut memiliki interaksi yang erat karena perubahan cuaca dapat

    mempengaruhi kondisi laut. Angin sangat menentukan terjadinya gelombang dan

    arus di perrnukaan laut, sedangkan curah hujan dapat menentukan salinitas air

    laut. Sebaliknya proses fisis di laut seperti te rjadinya air naik (upwelling)bisa

    mempengaruhi keadaan cuaca setempat (Nontji, 1987).

    Tingkah laku bertelur penyu sangat berkaitan dengan faktor cuaca.

    Menurut Nuitja (1992), di Pangumbahan penyu hijau akan muncul tidak dari

    hempasan ombak jika angin bertiup kencang, terutama pada bulan pumama dan

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    20/69

    10

    bulan mati. Pada musim barat angin bertiup kencang dan kadang kala diserta

    dengan badai yang dahsyat. Angin yang kencang menyebabkan ombak menjadi

    besar dan menerbangkan butiran-butiran pasir dan benda-benda ringan lainnya

    di sepanjang pantai. Dalarn periode itu daerah peneluran akan lebih keras dan

    lebih sulit untuk digali akibat curah hujan yang tinggi. Kesulitan penggalian dan

    hujan yang jatuh terus-menerus memberikan pengalaman bagi penyu untuk

    menunda proses bertelumya.

    Penyu (turtle) juga sangat peka terhadap kenaikan paras muka air laut.

    Bukan apa-apa, kenaikan paras muka air laut dapat menggenangi hamparan

    pasir yang digunakan sebagai tempat bertelur dan menetaskan (nesting) telur-

    telur penyu. Jadi kenaikan paras muka air dapat mempersempit aktivitas

    reproduksi penyu (Subandono et al, 2009).

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    21/69

    11

    III. METODE PENELITIAN 

     A. Waktu dan Tempat

    Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 februari sampai 31 maret

    2012, di Pantai Pangumbahan, Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap,

    Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.

    Gambar 2. Peta lokasi Penelitian.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    22/69

    12

    B. Alat dan Bahan

     Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini adalah, kamera DSLR

    Nikon D3000 yang berfungsi untuk mendokumentasikan proses kegiatan

    penelitian, Pensil/pulpen untuk mencatat hasil-hasil penelitian yang diperoleh di

    lapangan, buku catatan sebagai tempat mencatat hasil-hasil penelitian yang

    diperoleh di lapangan, dan kuisioner berfungsi untuk memperoleh informasi dari

    masyarakat dilokasi penelitian.

    C. Aspek yang Diamati 

     Adapun aspek yang akan diamati pada penelitian ini yaitu kegiatan

    pelestarian atau proses penangkaran penyu hijau (Chelonia mydas) meliputi

    berbagai proses :

    1. Pengamanan Penyu yang naik untuk bertelur,

    2. Pengamanan telur,

    3. Penetasan telur,

    4. Pemeliharaan tukik,

    5. Pelepasan tukik.

    D. Teknik Pengumpulan Data

     Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini dalam pengumpulkan

    data adalah studi kasus melalui kegiatan :

    1. Observasi, melakukan kunjungan ke lokasi penelitian untuk mengamati

    kondisi alam dan sosial budaya masyarakat.

    2. Daftar pertanyaan, membuat selebaran yang berisikan beberapa

    pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian.

    3. Dokumentasi, merekam kondisi alam pantai dalam bentuk foto.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    23/69

    13

    4. Wawancara, melakukan tanya jawab langsung dengan masyarakat sekitar

    untuk melengkapi data primer dan data skunder.

    5. Metode Pengamatan yang digunakan dalam mengamati penyu yang naik

    bertelur dengan metode pengintaian/pemantauan langsung.

    a. Data primer meliputi promosi dan publikasi Pantai Pangumbahan, kondisi

    kegiatan penangkaran (penanganan telur, penetasan, pemeliharaan,

    pelepasan tukik) penyu hijau.

    b. Data skunder meliputi kondisi fisik oseanografi, morfologi pantai, kondisi

    dasar perairan (tersedianya makanan tukik berupa lamun).

    E. Analisis Data 

     Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif

    kualitatif dengan bantuan table dan gambar-gambar. 

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    24/69

    14

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 

     A. Kondis i Umum Lokasi

    Berdasarkan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten

    Sukabumi dengan CV. Daya Bakti Nomor: 660.1/Pj-13-Huk/2002 tanggal 29 Juli

    2002 tentang pengelolaan dan Pelestarian Penyu di Kawasan Pantai

    Pangumbahan Desa Gunungbatu Kecamatan Ciracap Kabupaten Sukabumi,

    kawasan persarangan dan peneluran penyu pantai Pangumbahan terletak di

    Desa Pangumbahan (salah satu desa hasil pemekaran desa Gunungbatu),

    Kecamatan Ciracap Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dengan panjang pantai

    2.300 m dan lebar 500 m dari pasang tertinggi. Areal tersebut dalam penguasan

    Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dengan batas-batas sebagai berikut :

    - Sebelah Utara : Perkebunan Wira Citespong / Sungai Cipanarikan

    - Sebelah Barat : Samudra Hindia

    - Sebelah Timur : Perkebunan Wira Citespong / Tambak Udang PT.BLA

    - Sebelah Selatan : Green Belt (Sungai Cibalandongan).

    Daerah Pangumbahan beriklim tropis dengan suhu berkisar antara

    27o –32oC dan mempunyai curah hujan berkisar antara 1836-4403 mm/tahun,

    dengan rata-rata 67-151 hari hujan. Bulan terbasah terjadi sekitar bulan

    Desember dan bulan terkering terjadi sekitar bulan Agustus.

    Pantai Pangumbahan mempunyai ketinggian 0-30 m dari permukaan laut,

    memiliki tekstur pasir yang sangat halus dan berwarna putih. Diameter efektif

    butiran pasir berkisar antara 0,2-0,5 mm.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    25/69

    15

    Jenis vegetasi (lampiran 1), yang tumbuh di pantai bagian depan adalah

     jenis pohon Katang-katang (Ipomea pascaprae), kemudian diikuti Pandan Laut

    (Pandanus tectorius), Ketapang (Terminalia catappa), Nyamplung (Callophyllum

    inophyllum), dan pohon Waru (Hibiscus tilaceus). 

    B. Sejarah Singkat Penetapan Daerah Pengelolaan Penyu Hijau di Pantai

    Pangumbahan

    Pengelolaan pelestarian penyu di 9 lokasi peneluran penyu di wilayah

    kabupaten Sukabumi telah dimulai sejak tahun 1973 oleh CV. Daya Bakti. Pada

    tahun 1981, delapan lokasi peneluran penyu diserahkan pengelolaannya kepada

    PHPA Departemen Kehutanan sebagai lokasi pelestarian penyu tanpa adanya

    pemenfaatan telur. Delapan lokasi tesebut adalah (1) Citirem (2) Cibulakan (3)

    Legok Matahiang (4) Ciujungan (5) Karang Dulang (6) Cebek (7) Batu Handap,

    dan (8) Cikepuh. Sedang satu lokasi lagi yaitu Pantai Pangumbahan

    pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah dengan adanya

    pemanfaatan sebagian telur untuk biaya pengelolaan.

    Pantai Pangumbahan berada di luar daerah Suaka Alam dengan HPL

    seluas 58,4367 Ha. Sampai dengan tahun 1979 jangka waktu pengelolaan setiap

    1 tahun sekali diperbaharui, namun sejak tahun 1980 dikelola dengan jangka

    waktu 10 tahunan hingga tahun 2002. kemudian di era otonomi daerah

    pengelolaan dilakukan selama 15 tahun (tahun 2002 – 2017).

    C. Pengambilalihan Pengelolaan dan Penggantian Aset

    Mulai bulan Agustus 2008 pengelolaan Kawasan Konservasi Penyu

    di Pantai Pangumbahan diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi

    berdasarkan Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah Daerah Kabupaten

    Sukabumi dengan CV Daya Bakti No: 660.1/PJ.3425-HUK/2008 – No: 29/DB-

    UPP/XII/2008 tanggal 18 Desember 2008 (lampiran 2).

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    26/69

    16

    Pengantian Aset milik CV Daya Bakti yang ada di dalam kawasan

    konservasi penyu Pantai Pangumbahan dilakukan oleh Pemerintah Daerah

    Kabupaten dengan mekanisme penilaian aset oleh Konsultan Jasa Penilai Publik

    yaitu Amin. Nirwan. Alfiantori & Rekan yang beralamat di Graha Sucofindo

    Gedung C, Jl. Raya Pasar Minggu Kav. 34 Jakarta 12780. Adapun pembayaran

    nilai penggantian aset dilakukan melalui APBD Kabupaten Sukabumi Tahun

     Anggaran 2009.

    Pada Tahun Anggaran 2010, aset-aset berupa bangunan yang diperoleh

    melalui Take Over dari CV Daya Bakti telah diajukan untuk dihapuskan dari

    daftar Aset Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi berdasarkan surat Kepala

    Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi Nomor: 028/537/PSDKP

    tanggal 20 Juli 2010 perihal Usulan Penghapusan Aset, karena kondisi

    bangunannya rusak berat dan membahayakan pengguna. Namun hingga saat

    ini, berita acara pengahapusan aset dimaksud belum terbit.

    D. Penunjukan Dinas Kelautan dan Perikanan Sebagai Pengelola

    Dalam rangka pengelolaan konservasi penyu dan habitatnya di Pantai

    Pangumbahan, Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi menunjuk Dinas

    Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi sebagai pengelola berdasarkan

    Surat Keputusan Bupati Sukabumi Nomor: 523/Kep.638/Dislutkan/2008 tentang

    Penunjukan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi sebagai

    pengelola kawasan penyu pantai Pangumbahan (lampiran 3).

    E. Pencadangan Kawasan Penyu Pangumbahan sebagai KKLD

    Dalam rangka pembentukan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)

    mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

    Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, maka Bupati Sukabumi menerbitkan

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    27/69

    17

    Surat Keputusan Nomor : 523/Kep.639-Dislutkan/2008 tentang Pecadangan

    Kawasan Penyu Pantai Pangumbahan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan

    Pulau-Pulau Kecil (KKP3K) Kabupaten Sukabumi dengan Status “Taman

    Pesisir” (lampiran 4).

    F. Kegiatan Operasional Pelestarian Penyu Hijau di Pantai Pangumbahan

    Terhitung sejak bulan Agustus 2008 pengelolaan Konservasi Penyu dan

    habitatnya di Pantai Pangumbahan dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan

    Kabupaten Sukabumi berdasarkan Surat Keputusan Bupati Sukabumi Nomor:

    523/Kep.638/Dislutkan/2008 tentang Penunjukan Dinas Kelautan dan Perikanan

    Kabupaten Sukabumi sebagai pengelola kawasan penyu pantai Pangumbahan.

    Secara operasional, pengelolaannya dibawah kendali Bidang PSDKP

    (Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan), sedangkan secara teknis

    di lapangan dilaksanakan oleh Koordinator Lapangan (1 orang), Pengawas

    Lapangan (4 orang), Karyawan Harian Lepas (12 orang) dan Pemandu Wisata (5

    orang). Secara struktur, organisasi ini disajikan dalam sebuah bagan struktur

    pada (Gambar 3).

    Gambar   3. Struktur organisasi pengelola kawasan konservasi penyu

    Taman Pesisir Pantai Pangumbahan.

    Kepala Dinas K.P*

    Kepala Bidang

    Koordinator

    Pengawas

    Pemandu WisataTenaga Harian Lepas

    KETERANGAN

    - KP : Kelautan dan Perikanan

    - SDKP : Sumber Daya Kelautan dan

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    28/69

    18

    Demi menjaga kelestarian Penyu Hijau (Chelonia mydas), ada beberapa

    tahapan pekerjaan/kegiatan dalam pengelolaan pelestarian penyu di Pantai

    Pangumbahan, diantaranya yaitu: Pengamanan penyu yang naik untuk bertelur,

    pengamanan telur, penetasan telur, Pemeliharaan anak penyu (Tukik)  sampai

    dengan pelepasan tukik ke laut.

    1. Pengamanan Penyu yang Naik Untuk Bertelur

    Kawasan peneluran penyu pantai Pangumbahan sepanjang 2.300 m

    terbagi menjadi enam pos penjagaan. Masing – masing pos dijaga oleh satu

    orang petugas. Setiap penyu yang naik ke darat diawasi oleh petugas mulai

    penyu tersebut muncul dari air hingga selesai bertelur. Tujuan dari pengawasan

    adalah untuk melindungi penyu dari gangguan binatang lain maupun manusia,

    sehingga penyu tersebut gagal bertelur. Tidak semua penyu yang naik ke pantai

    selalu bertelur, ada pula penyu yang gagal bertelur akibat adanya gangguan dari

    sekelilingnya baik berupa gangguan dari binatang lain, manusia maupun cahaya.

    Hal ini sesuai dengan pendapat Suwelo (2005), yang menyatakan bahwa jika

    ada sedikit ganguan seperti cahaya, suara bising, aktifitas manusia maupun

    kayu-kayu penghalang, maka penyu akan merasa terkejut dan terganggu

    sehingga tidak jadi bertelur.

    2. Pengamanan Telur

    Proses lamanya penyu bertelur mulai dari penyu mendarat hingga

    kembali lagi ke laut dapat mencapai 2-3 jam tergantung kondisi media pasir

    tempat bersarang. Menurut Nuitja (1992), apabila curah hujan yang sangat

    rendah maka akan meningkatkan suhu pasir sehingga dapat menyulitkan penyu

    untuk membuat sarang, hal ini sependapat dengan Rebel (1974), yang

    menyatakan bahwa banyaknya false crawl atau tidak bertelurnya penyu hijau di

    pulau Ascension Brazil karena sarang yang digali terus menerus ambruk karena

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    29/69

    19

    suhu yang tinggi. Kondisi yang sangat rawan dari gangguan adalah pada saat

    penyu naik ke darat hingga selesai membuat sarang. Setelah penyu mulai

    meletakkan telurnya di sarang, penyu tersebut tidak lagi menghiraukan

    gangguan dari manapun dan dalam bentuk apapun hingga bertelur selesai.

    Pengambilan telur dari lubang kecil sarang alami dilakukan pada saat penyu

    mengeluarkan telur dengan cara membuat atau memperbesar sisi lubang kecil

    di bawah salah satu kaki belakang penyu yang tidak dipergunakan untuk

    menahan tubuh saat penyu bertelur. Kegiatan ini di daerah Pangumbahan

    disebut Nande. Pekerjaan ini tidak memakan waktu lama, ketika penyu selesai

    bertelur dan akan menutup lubang kecil, maka selesai pula pekerjaan ini.

    Selanjutnya penyu dibiarkan menutup sarangnya dan kembali lagi ke laut. Cara

    ini, apabila dilakukan dengan teknik yang benar tidak akan mengganggu

    kebiasaan biologis penyu untuk menutup lubang sarang dan membuat sarang

    palsu. Telur-telur yang didapat dari sarang alami, dihitung dan disimpan dalam

    ember untuk dibawa ke gudang di tempat penetasan (lampiran 5). Biasanya

    telur-telur tersebut ditanam pada sarang-sarang buatan yang ada didalam blong

    (penetasan di dalam ruangan) maupun sarang-sarang buatan yang ada di pantai

    (penetasan di luar ruangan) pada pagi harinya selang 2-10 jam dari saat

    pengumpulan telur.

    3. Penetasan Telur

    Kegiatan penetasan telur merupakan salah satu tahapan pekerjaan yang

    sangat penting, karena penetasan telur merupakan awal terbentuknya individu.

     Ada dua sistem penetasan yaitu : semi alami dan Alami

      Semi alami

    Pada penetasan semi-alami ada dua cara yang dilakukan yaitu, dengan

    memindahkan telur ke sarang buatan yang sudah dibuatkan ruangan

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    30/69

    20

    (Gambar 4) dan blong penetasan (Gambar 5). Sarang peneluran semi-alami

    dalam ruangan memiliki kelebihan diantaranya yaitu, dapat terhindar dari

    predator, pencurian, dan juga, terhindar dari air pasang. Hal ini sesuai dengan

    pendapat (Agus,2007), yang menyatakan bahwa proses penetasan yang

    dilakukan di dalam ruangan akan mengamankan telur penyu dan tukik yang

    baru menetas dari ancaman predator atau pemangsa. Sedangkan pada blong

    penetasan kegiatatnnya diawali dari pengisian blong karton berbentuk silinder

    yang berdiameter 40 cm dan tinggi 60 cm, dengan pasir pantai pangumbahan

    yang memiliki kelembaban cukup kemudian dipadatkan selanjutnya digali

    dengan tangan untuk membuat lubang sarang buatan. Telur-telur dimasukkan

    ke dalam lubang sarang rata-rata 100 butir per lubang, kemudian lubang sarang

    ditutup kembali dengan pasir selanjutnya blong karton ditutup rapat dengan

    triplek. Masa inkubasi telur di dalam wadah hingga menetas rata-rata 55 sampai

    60 hari (menurut Bp. Ma’mun petugas penetasan) Tanda-tanda untuk

    mengetahui bahwa telur penyu sudah mulai menetas adalah timbulnya bunyi

    gerakan tukik yang ada di dalam wadah blong. Model penetasan seperti ini juga

    memiliki kelebihan yang sama dengan penetasan semi-alami di dalam ruangan

    akan tetapi dalam proses penetasan yang dilakukan pada blong juga memiliki

    kekurangan, diantaranya pada saat mimindahkan telur dari sarang asli ke blong

    penetasan harus dengan kehati-hatian karena pada saat di pindahkan posisi

    telur tidak boleh terbolak-balik agar telur tersebut tidak rusak sehingga gagal

    menetas.

      Alami

    Kegiatan penetasan secara alami di pantai (di luar ruangan), diawali dari

    pembuatan kandang pengaman telur (Gambar 6), yang ditetaskan dari

    gangguan predator berupa binatang maupun manusia. Bahan dan ukuran

    kandang bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan jumlah telur yang akan

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    31/69

    21

    ditetaskan. Di pantai Pangumbahan, kandang terbuat dari bambu dengan

    ukuran 6x6 m dan 6x10 m dengan ketinggian 3 meter. Posisi kandang

    diletakkan di atas pasir pantai yang memiliki kelembaban cukup dan agak jauh

    dari pepohonan. Di dalam kandang tersebut dibuat lubang-lubang sarang

    buatan dengan kedalaman 60 sampai 80 cm dan jarak antar lubang rata-rata 20

    sampai 25 cm. Kemudian telur-telur penyu diletakkan ke dalam lubang sarang

    rata-rata 100 butir persarang, dan selanjutnya lubang yang sudah diisi telur

    ditutup dengan pasir. Masa inkubasi telur hingga menetas kurang lebih 48

    sampai 55 hari (menurut Bp. Ma’mun petugas penetasan). Perbedaan waktu

    masa inkubasi diduga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban sarang. Ciri-ciri

    bahwa telur yang ada di dalam sarang sudah menetas ditandai dengan

    menurunnya permukaan pasir pada lubang sarang, hal ini sesuai dengan

    pendapat Agus (2007) bahwa salah satu tanda apabila telur telah menetas,

    yaitu pada saat pasir yang terdapat pada sarang penangkaran menurun. Namun

    berdasarkan hasil wawancara dengan petugas penetasan (Bp. Ma’mun),

    mengatakan bahwa model penengkaran seperti ini sudah hampir satu tahun

    ditinggalkan, kerena telur-telur yang ditetaskan di tempat tersebut banyak yang

    dirusak dan dimakan oleh predator.

    Gambar 4. Ruang Penetasan (Semi-alami)

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    32/69

    22

    Gambar 5. Blong penetasan (Semi-alami)

    Gambar 6. Kandang Penetasan (Alami)

    4. Pemeliharaan Tukik

    Masa pemeliharaan tukik sebelum dilepas ke laut diupayakan tidak

    terlalu lama yang dapat berakibat hilangnya sifat biologis tukik (Gambar 7). Masa

    pemeliharaan tukik di dalam bak pemeliharaan paling lama berkisar 2-3 hari.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    33/69

    23

     Apabila tukik-tukik tersebut dipelihara lebih lama akan menghilangkan sifat

    alamiah tukik (sifat liar dan berenang cepat ke laut), sehingga pada saat dilepas

    ke laut tukik akan mengalami kebingungan dan sulit mencari makan sendiri

    (jinak).

    Gambar 7. Pemeliharaan tukik di dalam bak

    5. Pelepasan Tukik (Gambar 8)

    Pelepasan tukik biasanya dilakukan pada pagi atau sore hari pada saat

    sinar matahari tidak terlalu terik. Ketika tukik-tukik dilepaskan di pantai, dia akan

    menuju ke laut dengan sendirinya sesuai dengan naluri alamiahnya yaitu

    merespon sinar matahari dan gravitasi bumi. Apabila pelepasan tukik dilakukan

    pada malam hari, tukik-tukik tersebut akan pasif dan tidak berjalan sendiri

    menuju ke laut, akan tetapi akan berjalan menuju suatu titik dimana terdapat

    sinar lampu/senter.

    Hal yang perlu diperhatikan pada saat penebaran tukik adalah adanya

    binatang predator yang sangat buas yaitu kepiting hantu atau Ocypoda,  di

    daerah Pangumbahan disebut Kayakas (Gambar 9). Kepiting hantu akan

    membunuh setiap tukik yang berjalan di atas pasir sebelum masuk ke dalam

    kolom air dengan cara mengeroyok dan menggigit dengan capitnya. Setelah

    tukik tersebut lumpuh ditinggalkannya, lalu kepiting mencari mangsa lainnya

    hingga seluruh tukik mamasuki kolom air.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    34/69

    24

    Untuk menjaga agar tukik yang dilepaskan ke laut terhindar dari

    gangguan predator, pelepasan tukik diupayakan sedekat mungkin dengan kolom

    air, menghalau gerombolan kepiting yang akan menyerang, hingga seluruh tukik

    masuk ke laut. Di dalam laut pun tukik tidak luput dari ancaman predator berupa

    ikan-ikan besar yang siap memangsanya.

    Gambar 8. Pelepasan tukik

    Gambar 9. Kepiting Hantu (Ocypoda sp.)

    G. Persentase dan Rata-Rata Penetasan Telur Penyu 

    Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan

    penetasan telur penyu hijau (Chelonia mydas) dari bulan Februari-Mei 2012 di

    Pantai Pangumbahan disajikan dalam tebel (Lampiran 6). Berikut diagram

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    35/69

    25

    batang persentase penetasan telur penyu hijau (Chelonia mydas) pada bulan

    Februari-Mei 2012 (Gambar 10).

    Gambar 10. Diagram persentase penetasan Telur Penyu Hijau

    Berdasarkan Gambar 10, terlihat bahwa persentase penetasan sejak

    bulan Februari-Mei 2012 pada sarang penetasan yang semi-alami (ruangan dan

    blong) tingkay penetasannya tidak jauh berbeda, hal ini dikarenakan

    penangkaran pada masing-masing sarang semi-alami mengalami perlakuan

    yang sama yaitu dilakukan di dalam ruangan dan jauh dari ganguan predator dan

    hal-hal yang manggangu telur dalam menetas. Hal ini dibenarkan oleh (Suwelo,

    2005), bahwa jika ada gangguan, baik itu dari aktifitas manusia maupun

    predator, maka telur penyu akan menjadi rusak dan gagal menetas.

     Adapun rata-rata jumlah telur yang dihasilkan seekor penyu yang naik

    untuk bertelur di Pantai Pangumbahan pada bulan Februari-Mei 2012 dapat

    dilihat pada tabel (Lampiran 8), dan disajikan pada gambar 11.

    0.00

    20.00

    40.00

    60.00

    80.00

    100.0099.78 99.87 99.99 99.96 100 100 99.93 99.96

      p  e  r  s  e  n   t  a  s  e  p  e  n  e   t  a  s  a  n   (   %   )

    Ruangan

    Blong

    FEBRUARI MARET APRIL MEI

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    36/69

    26

    Gambar 11. Rata-rata Telur Penyu/Ekor

    Dari gambar 11, dapat kita lihat rata-rata telur penyu/ekor yang paling

    tertinggi terdapat pada bulan April, ini dikarenakan pada bulan tersebut intensitas

    hujan rendah dan juga merupakan musim penyu bertelur. Hal ini sesuai dengan

    pendapat (Nuitja, 1992), yang mengatakan bahwa musim peneluran penyu

    terdapat pada bulan April – September. Sedangkan yeng terendah terdapat

    pada bulan Februari, hal ini tidak lepas dari sedikitnya penyu yang naik bertelur

    pada bulan itu dapat dilihat pada lampiran 6, hal yang membuat kurangnya

    penyu naik bertelur pada bulan itu dikarenakan faktor intensitas hujan yang

    sangat tinggi, ini sejalan dengan pendapat (Agus, 2007), yang menyatakan

    bahwa apabila intensitas dan curah hujan yang tinggi akan meningkatkan

    kepadatan pasir, sehingga penyu akan kesulitan dalam membuat sarang.

    0.00

    20.00

    40.00

    60.00

    80.00

    100.00

    FEBRUARI MARET APRIL MEI

    FEBRUARI = 85.66

    MARET = 87.30

    APRIL = 88.20

    MEI = 86.86

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    37/69

    27

    KESIMPULAN DAN SARAN

    Berdasarkan hasil penelitian tentang penangkaran penyu hijau (Chelonia

    mydas) di Pantai Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi dapat disimpulkanbahwa :

     A. Kes impulan  

    1. Terdapat dua model penangkaran yang ada di Pantai Pangumbahan, yaitu

    semi-alami dan alami. Semi-alami meliputi penetasan yang dilakukan didalam

    ruangan dan blong, dan alami dilakukan di kandang buatan yang terdapat di

    pesisir pantai.

    2. Penetasan yang dilakukan didalam ruangan dan didalam blong memiliki

    tingkat penetasan yang tidak jauh berbeda.

    3. Model penangkaran alami sudah ditinggalkan sejak tahun 2010 lalu, karena

    banyaknya telur yang gagal menetas, akibat gangguan dari predator.

    4. Persentase tertinggi rata-rata telur penyu/ekor terdapat pada Bulan April yaitu

    88,20 %, sedangkan yang terendah pada bulan Februari yaitu 85,66 %

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    38/69

    28

    B. Saran 

    1. Penambahan tenaga ahli dalam penangkaran penyu hijau, agar proses

    penangkaran bisa berjalan maksimal

    2. Sosialisasi tentang pelestarian penyu hijau perlu adanya agar masyarakat

    dapat sadar dan bisa ikut menjaga kelestarian Penyu tersebut.

    3. Perlu dilakukan lagi penelitian lebih lanjut mengenai penangkaran penyu

    hijau di Pantai Pangumbahan.

    4. Pengoptimalan penetasan telur semi alami (dalam ruangan).

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    39/69

    29

    DAFTAR PUSTAKA 

     Ahmad, MY. 1983. Penetasan Semi Alamiah dan Pertumbuhan Embrio PenyuDaging (Chelonia mydas) di Pantai Citirem, Sukabumi. Karya Ilmiah.

    Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.

     Agus. 2007. Penangkaran Penyu. Angkasa. Bandung.

    Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset PembangunanBerkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.

    Erkyansyah.1997. Penetasan Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas L.) Semi Alamipada Dua Pasir Yang Berbeda di Pantai Bandulu Kabupaten Anyer, JawaBarat. Skripsi. Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta.

    Ewart. M. A. 1979. The embryo and its eggs: Development and Natural History.H. 333 – 416. M. Harkss dan H. Morlock (Eds) Turtles, Perspective and

    Research. John wiley and Jons, Inc – New York.

    Jackson. C. G. 1979. Cardiovaskular System. In Turtle Perspective AndResearch. A Wiley-Interscience. Publication. New york.

    Kordi. K. M. Ghufran H & Tancung Andi Baso. 1991. Pengelolaan Kualitas airdalam budidaya perairan. Rineka Cipta. Jakarta.

    Nontji. A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

    Nuitja, I. N. S. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. IPB Press.

    Bogor.

    Nuitja. I. N. S & I. Uchida. 1983. Studies In The Sea Turtle-II: The Nesting Site Of

    Characteristics Of The Hawksbill And Green Turtle. Laboratorium Ilmu-

    Ilmu Kelautan, Universitas Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Ancol.

    Jakarta

    Rebel, P. T. 1974. Sea Turtle, Revised Edition. University of Miami Press.

    Florida.

    Subandono D. Budiman, Firdaus A. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim Di

    Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. PT. Sarana Komunikasi. Bogor

    Suwelo, I. S. 2005. Konservasi Penyu Dan Habitatnya (Perlindungan,

    Pengawetan dan Pemanfaatan Secara Lestari). Yayasan Kelestarian

    Penyu Indonesia. Bogor.

    Wibowo,E. T. 2007. Evaluasi Pengelolaan Penyu Hijau(Chelonia midas) di

    Indonesia. Berkala Ilmiah Biologi.

    Wibowo,E. T. 2007. Rancangan Pengelolaan Penyu Hijau(Chelonia midas),(kasus kepulauan derawan). Institut Pertanian Bogor.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    40/69

    30

    Wisnujhamidaharisakti. D. 1999. Penetasan Semi Alami Telur Penyu Sisik(Eretmochelys Imbricata) Di Pulau Segamat Besar Kabupaten LampungTengah. Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan InstitutPertanian Bogor. Bogor.

    Yulanda, D. A, Dkk. 2007. Studi Karakteristik Fisik dan Vegetasi PantaiPeneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) Pantai Panarikan-Tegal SerehTasikmalaya, Jawa Barat. Skripsi.  FPIK Universitas DiponegoroSemarang.

    Yusuf. A. 2000. Mengenal Penyu. Yayasan Alarn Lestari. Jakarta.

    .

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    41/69

    31

    Lampiran

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    42/69

    32

    Lampiran 1. Jenis Vegetasi di Pantai Pangumbahan

    Distribusi Bibit Pandan Laut ke pantai  Distribusi Bibit Ketapang dan Nyamplung 

    Kondisi Vegetasi di Pantai Pangumbahan

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    43/69

    33

    Lampiran 2. Naskah Kesepakatan Bersama   Antara Pemerintah Daerah

    Kabupaten Sukabumi dengan CV. Daya Bakti

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    44/69

    34

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    45/69

    35

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    46/69

    36

    Lampiran 3. Keputusan Bupati Sukabumi tentang Penunjukan Dinas Kelautan

    dan Perikanan Kabupaten Sukabumi Sebagai Pengelola Kawasan

    Konservasi Penyu Pantai Pangumbahan.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    47/69

    37

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    48/69

    38

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    49/69

    39

    Lampiran 4. Keputusan Bupati Sukabumi tentang Pencadangan Kawasan Penyu

    Pantai Pangumbahan sebagai Kawasan Konservasi Pesisir dan

    Pulau-Pulau Kecil (KKP3K).

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    50/69

    40

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    51/69

    41

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    52/69

    42

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    53/69

    43

    Lampiran 5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999

    Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

    PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 7 TAHUN 1999

    TENTANGPENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang :

    a. bahwa tumbuhan dan satwa adalah bagian dari sumber daya alam yang tidak

    ternilai harganya sehingga kelestariannya perlu dijaga melalui upaya

    pengawetan jenis;

    b. bahwa berdasarkan hal tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-

    undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

    dan Ekosistemnya, dipandang perlu untuk menetapkan peraturan tentang

    Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dengan Peraturan Pemerintah.

    Mengingat :

    1. Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

    2. Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

    Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran

    Negara Nomor 2823);

    3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara

    Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);

    4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

     Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49,

    Tambahan Lembaran Negara 3419);

    5. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman

    (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara

    Nomor 3478);

    6. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan

    Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran

    Negara Nomor 3482);

    7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi

    Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran

    Negara Tahun 1994 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3556);

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    54/69

    44

    8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

    Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran

    Negara Nomor 3699);

    9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru

    (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara

    Nomor 3544);

    10. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam

    dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132,

    Tambahan Lembaran Negara Nomor 3776).

    MEMUTUSKAN :

    Menetapkan :

    PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN

    DAN SATWA

    BAB I

    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

    1. Pengawetan adalah upaya untuk menjaga agar keanekaragaman jenis

    tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya baik di dalam maupun di luar

    habitatnya tidak punah.

    2. Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya adalah upaya

    menjaga keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa agar tidak punah.

    3. Lembaga Konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi

    tumbuhan dan atau satwa di luar habitatnya (ex situ), baik berupa lembaga

    pemerintah maupun lembaga non pemerintah.

    4. Identifikasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya untuk mengenal jenis,

    keadaan umum, status populasi dan tempat hidupnya yang dilakukan di dalam

    habitatnya.

    5. Inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa adalah upaya mengetahui kondisi dan

    status populasi secara lebih rinci serta daerah penyebarannya yang dilakukan

    di dalam dan di luar habitatnya maupun di lembaga konservasi.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    55/69

    45

    6. Jenis tumbuhan atau satwa adalah jenis yang secara ilmiah disebut species

    atau anak-anak jenis yang secara ilmiah disebut sub-species baik di dalam

    maupun di luar habitatnya.

    7. Populasi adalah kelompok individu dari jenis tertentu di tempat tertentu yang

    secara alami dan dalam jangka panjang mempunyai kecenderungan untuk

    mencapai keseimbangan populasi secara dinamis sesuai dengan kondisi

    habitat beserta lingkungannya.

    8. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kehutanan.

    Pasal 2

    Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk:

    a. menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan;

    b. menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;

    c. memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada;

    agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan.

    BAB II

    UPAYA PENGAWETAN

    Pasal 3

    Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui upaya:

    a. penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;

    b. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya;

    c. pemeliharaan dan pengembangbiakan.

    BAB III

    PENETAPAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

    Pasal 4

    (1) Jenis tumbuhan dan satwa ditetapkan atas dasar golongan:

    a. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;

    b. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.

    (2) Jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud

    dalam ayat (1) huruf a adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan

    Pemerintah ini.

    (3) Perubahan dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak

    dilindungi dan sebaliknya ditetapkan dengan Keputusan Menteri setelah

    mendapat pertimbangan Otoritas Keilmuan (Scientific Authority).

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    56/69

    46

    Pasal 5

    (1) Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang

    dilindungi apabila telah memenuhi kriteria:

    a. mempunyai populasi yang kecil;

    b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam;

    c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik).

    (2) Terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang memenuhi kriteria sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan upaya pengawetan.

    Pasal 6

    Suatu jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dapat diubah statusnya menjadi

    tidak dilindungi apabila populasinya telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu

    sehingga jenis yang bersangkutan tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan

    dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).

    BAB IV

    PENGELOLAAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA SERTA HABITATNYA

    Bagian Pertama

    Umum

    Pasal 7

    Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana diatur dalam ketentuan

    Peraturan Pemerintah ini tidak mengurangi arti ketentuan tentang pengelolaan

     jenis tumbuhan dan satwa pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

    alam sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai

    kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam.

    Pasal 8

    (1) Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan

    pengelolaan di dalam habitatnya (in situ).

    (2) Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

    kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan

    memulihkan populasi.

    (3) Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan

    dalam bentuk kegiatan:

    a. Identifikasi;

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    57/69

    47

    b. Inventarisasi;

    c. Pemantauan;

    d. Pembinaan habitat dan populasinya;

    e. Penyelamatan jenis;

    f. Pengkajian, penelitian dan pengembangannya.

    (4) Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ex situ) dilakukan

    dalam bentuk kegiatan:

    a. Pemeliharaan;

    b. Pengembangbiakan;

    c. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;

    d. Rehabilitasi satwa;

    e. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.

    Bagian Kedua

    Pengelolaan dalam Habitat (In Situ)

    Pasal 9

    (1) Pemerintah melaksanakan identifikasi di dalam habitat sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a untuk kepentingan penetapan

    golongan jenis tumbuhan dan satwa.

    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi sebagaimana dimaksud dalam

    ayat (1) diatur oleh Menteri.

    Pasal 10

    (1) Pemerintah melaksanakan inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    8 ayat (3) huruf b, untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan

    satwa.

    (2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi survei dan

    pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa.

    (3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan

    survei dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam

    ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    58/69

    48

    Pasal 11

    (1) Pemerintah melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    8 ayat (3) huruf c, untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi

     jenis tumbuhan dan satwa dari waktu ke waktu.

    (2) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui

    survei dan pengamatan terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa secara

    berkala.

    (3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat dalam pelaksanaan

    survei dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana dimaksud dalam

    ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

    Pasal 12

    (1) Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf d, untuk menjaga keberadaan

    populasi jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan seimbang dengan daya

    dukung habitatnya.

    (2) Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat

    (1) dilaksanakan melalui kegiatan:

    a. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;

    b. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa, pohon

    sumber makan satwa;

    c. Pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa;

    d. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;

    e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;

    f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa penggangggu.

    (3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan

    kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan

    dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diaturoleh Menteri.

    Pasal 13

    (1) Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf e, terhadap jenis

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    59/69

    49

    tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya kepunahan yang masih berada

    di habitatnya.

    (2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat

    (1) dilaksanakan melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan

    atau pemindahan dari habitatnya ke habitat di lokasi lain.

    (3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melakukan

    tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh

    Menteri.

    Pasal 14

    (1) Pemerintah melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis

    tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f,

    untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber

    daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.

    (2) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pengkajian

    terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk penelitian

    dasar, terapan dan ujicoba.

    (3) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat melaksanakan kegiatan

    pengkajian, penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam

    ayat (2).

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan

     jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2)

    dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

    Bagian Ketiga

    Pengelolaan di Luar Habitat (Ex Situ)

    Pasal 15

    (1) Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a dilaksanakan untuk menyelamatkan

    sumber daya genetik dan populasi jenis tumbuhan dan satwa.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    60/69

    50

    (2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi juga koleksi

     jenis tumbuhan dan satwa di lembaga konservasi.

    (3) Pemeliharaan jenis di luar habitat wajib memenuhi syarat:

    a. memenuhi standar kesehatan tumbuhan dan satwa;

    b. menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman;

    c. mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan

    pemeliharaan.

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar habitatnya

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh

    Menteri.

    Pasal 16

    (1) Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b dilaksanakan untuk

    pengembangan populasi di alam agar tidak punah.

    (2) Kegiatan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

    dilaksanakan dengan tetap menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman

    genetik.

    (3) Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat:

    a. menjaga kemurnian jenis;

    b. menjaga keanekaragaman genetik;

    c. melakukan penandaan dan sertifikasi;

    d. membuat buku daftar silsilah (studbook).

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangbiakan jenis tumbuhan dan

    satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan

    ayat (3) diatur oleh Menteri.

    Pasal 17

    (1) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa di luar

    habitatnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (4) huruf c dilakukan

    sebagai uapaya untuk menunjang tetap terjaganya keadaan genetik dan

    ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.

    (2) Kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan

    satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui

    pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam bentuk

    penelitian dasar, terapan dan ujicoba.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    61/69

    51

    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan

     jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam

    ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

    Pasal 18

    (1) Rehabilitasi satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8

    ayat (4) huruf d dilaksanakan untuk mengadaptasikan satwa yang karena

    suatu sebab berada di lingkungan manusia, untuk dikembalikan ke

    habitatnya.

    (2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui

    kegiatan-kegiatan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyakit, mengobati

    dan memilih satwa yang layak untuk dikembalikan ke habitatnya.

    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi satwa sebagaimana dimaksud

    dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

    Pasal 19

    (1) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan habitatnya

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf e dilaksanakan untuk

    mencegah kepunahan lokal jenis tumbuhan dan satwa akibat adanya

    bencana alam dan kegiatan manusia.

    (2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat

    (1) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan:

    a. memindahkan jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya yang lebih baik;

    b. mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin,

    menyerahkan atau menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak,

    cacat atau tidak memungkinkan hidup lebih baik memusnahkannya.

    Pasal 20

    (1) Pengelolaan di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya

    dapat dilakukan oleh Pemerintah.

    (2) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan

    kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

    Pasal 21(1) Jenis tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 dapat dilepaskan

    kembali ke habitatnya dengan syarat:

    a. habitat pelepasan merupakan bagian dari sebaran asli jenis yang dilepaskan;

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    62/69

    52

    b. tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki

    keragaman genetik yang tinggi;

    c. memperhatikan keberadaan penghuni habitat.

    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelepasan kembali jenis tumbuhan dan

    satwa ke habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh

    Menteri.

    BAB V

    LEMBAGA KONSERVASI

    Pasal 22

    (1) Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan

    atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan

    kemurnian jenisnya.

    (2) Disamping mempunyai fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

    Lembaga Konservasi juga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan

    dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.

    (3) Lembaga Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Musium Zoologi,

    Taman Satwa Khusus, Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani,

    Herbarium dan Taman Tumbuhan Khusus.

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Konservasi sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

    Pasal 23

    (1) Dalam rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat

    memperoleh tumbuhan dan atau satwa baik yang dilindungi maupun tidak

    dilindungi melalui:

    a. pengambilan atau penangkaran dari alam;

    b. hasil sitaan;

    c. tukar menukar;

    d. pembelian, untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.

    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa

    untuk Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur

    oleh Menteri.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    63/69

    53

    Pasal 24

    (1) Dalam rangka pengembangbiakan dan penyelamatan jenis tumbuhan dan

    satwa, Lembaga Konservasi dapat melakukan tukar menukar tumbuhan atau

    satwa yang dilindungi dengan lembaga sejenis di luar negeri.

    (2) Tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan

    dengan jenis-jenis yang nilai konservasinya dan jumlahnya seimbang.

    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar menukar sebagaimana dimaksud

    dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.

    BAB VI

    PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN DAN SATWA YANG

    DILINDUNGI

    Pasal 25

    (1) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang

    dilindungi dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia atau dari

    dan keluar wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin Menteri.

    (2) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud

    dalam ayat (1) harus:

    a. dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang

    berwenang;

    b. dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.

    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengiriman atau pengangkutan

     jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat

    (2) diatur oleh Menteri.

    BAB VII

    SATWA YANG MEMBAHAYAKAN KEHIDUPAN MANUSIA

    Pasal 26

    (1) Satwa yang karena suatu sebab keluar dari habitatnya dan membahayakan

    kehidupan manusia, harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup

    untuk dikembalikan ke habitatnya atau apabila tidak memungkinkan untuk

    dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa dimaksud dikirim ke Lembaga

    Konservasi untuk dipelihara.

    (2) Apabila cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat

    dilaksanakan, maka satwa yang mengancam jiwa manusia secara langsung

    dapat dibunuh.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    64/69

    54

    (3) Penangkapan atau pembunuhan satwa yang dilindungi sebagaimana

    dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh petugas yang

    berwenang.

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai petugas dan perlakuan terhadap satwa yang

    membahayakan kehidupan manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

    ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.

    BAB VIII

    PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

    Pasal 27

    (1) Dalam rangka pengawetan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui

    pengawasan dan pengendalian.

    (2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

    dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang berwenang sesuai peraturan

    perundang-undangan yang berlaku.

    (3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

    dilakukan melalui tindakan:

    a. preventif; dan

    b. represif.

    (4) Tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi:

    a. penyuluhan;

    b. pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum;

    c. penerbitan buku-buku manual identifikasi jenis tumbuhan dan satwa yang

    dilindungi dan yang tidak dilindungi.

    (5) Tindakan represif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b meliputi

    tindakan penegakan hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum

    terhadap usaha pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.

    BAB IX

    KETENTUAN PERALIHAN

    Pasal 28

    Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka segala peraturan

    pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

    pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang telah ada sebelum berlakunya

    Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan

    atau belum dicabut atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    65/69

    55

    BAB X

    KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 29

    Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap

    orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini

    dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

    Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Januari 1999

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

    ttd

    BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

    Diundangkan di Jakarta

    Pada tanggal 27 Januari 1999

    MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

    REPUBLIK INDONESIA

    ttd

     AKBAR TANDJUNG

    LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

    TAHUN 1999 NOMOR 14

    Salinan sesuai dengan aslinya

    SEKRETARIAT KABINET RI

    Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan I

    ttd

    Lambock V. Nahattands

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    66/69

    56

    Lampiran 6. Data peneluran Penyu Bulan Februari 2012.

    februari 2012

    Hari Tanggal

    penyu yang naik

    bertelur jumlah telur

     jumat10-Feb 0 0

    sabtu11-Feb 0 0

    minggu12-Feb 0 0

    senin13-Feb 0 0

    selasa14-Feb 0 0

    rabu15-Feb 0 0

    kamis16-Feb 0 0

     jumat17-Feb 0 0

    sabtu18-Feb 6 490

    minggu19-Feb 0 0

    senin20-Feb 0 0

    selasa21-Feb 0 0

    rabu22-Feb 6 470

    kamis23-Feb 6 480

     jumat24-Feb 6 600

    sabtu25-Feb 5 440

    minggu26-Feb 6 500

    senin27-Feb 6 580

    selasa28-Feb 6 500

    rabu29-Feb 6 480

    total53 4540

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    67/69

    57

    Lampiran 7. Data peneluran Penyu Bulan Maret 2012.

    Bulan Maret 2012

    Hari tanggalpenyu yang naik

    bertelur jumlah telur

    kamis 1-Mar 6 480 jumat 2-Mar 6 480

    sabtu 3-Mar 5 400

    minggu 4-Mar 6 480

    senin 5-Mar 6 600

    selasa 6-Mar 6 580

    rabu 7-Mar 6 580

    kamis 8-Mar 6 470

     jumat 9-Mar 6 480

    sabtu 10-Mar 6 470

    minggu 11-Mar 5 380senin 12-Mar 6 580

    selasa 13-Mar 6 490

    rabu 14-Mar 6 480

    kamis 15-Mar 6 480

     jumat 16-Mar 6 600

    sabtu 17-Mar 6 580

    minggu 18-Mar 6 580

    senin 19-Mar 6 580

    selasa 20-Mar 0 0

    rabu 21-Mar 6 600

    kamis 22-Mar 6 480

     jumat 23-Mar 6 480

    sabtu 24-Mar 6 580

    minggu 25-Mar 6 510

    senin 26-Mar 6 480

    selasa 27-Mar 6 470

    rabu 28-Mar 6 480

    kamis 29-Mar 6 510

     jumat 30-Mar 6 600

    sabtu 31-Mar 6 580

    total 178 15540

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    68/69

    58

    Lampiran 8. Rata-rata Penetasan Telur Penyu Bulan Februari-Mei 2012

    Keterangan: - P = Data Primer

    - S = Data Sekunder

    (Sumber : Kantor KKP Pangumbahan, Sukabumi).

    Bulan Tempat

    penetasan

    Jumlah

    Telur

    Telur

    yang

    Menetas

    Rata-rata

    Penetasan

    (%)

    Keterangan

    (total jumlah

    telur)

    Februari (P)Ruangan 2270 2265 99.78

    4540Blong 2270 2267 99.87

    Maret (P)

    ruangan 7720 7719 99.99

    15540blong 7720 7717 99.96

     Apri l (S)ruangan 8070 8070 100

    16140

    blong 8070 8070 100

    Mei (S)

    ruangan 7470 7465 99.9314940

    blong  7470  7467  99.96 

  • 8/17/2019 Studi Kasus Penangkaran

    69/69

    Lampiran 9. Rata-rata Telur Penyu/ekor Pada Bulan Februari-Maret 2012

    BulanJumlah penyu telur yang Rata-rata

    yang naik telur dihasilkan(butir) telur/ekor

    Februari (P) 53 4540 85.66

    Maret (P) 178 15540 87.30

     Apri l (S) 183 16140 88.20

    Mei (S) 172 14940 86.86