studi kasus kusta ali

40
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA LAPORAN KASUS STUDI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KUSTA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANGGUL Oleh: dr. Ali Sibra Mulluzi Pendamping: dr. Diyan Pusposari

Upload: sholihah-lituhayu

Post on 21-Jan-2016

401 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Studi Kasus Kusta Ali

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

LAPORAN KASUS

STUDI EPIDEMIOLOGI PENYAKIT KUSTA DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS TANGGUL

Oleh:

dr. Ali Sibra Mulluzi

Pendamping:

dr. Diyan Pusposari

PUSKESMAS TANGGUL

DINAS KESEHATAN KABUPATEN JEMBER

2013

Page 2: Studi Kasus Kusta Ali

KATA PENGANTAR

Puji Syukur ke hadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul Studi

Epidemiologi Penyakit Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanggul.

Penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh

karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. dr. Bambang Witarno selaku kepala Puskesmas Tanggul.

2. dr. Diyan Pusposari yang telah memberikan tugas, petunjuk, kepada kami

sehingga kami termotivasi dan menyelesaikan tugas ini.

3. Mas Heri selaku pemegang program kusta di Puskesmas Tanggul.

4. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam

penyusunan laporan ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis berupaya menyusun laporan ini dengan sebaik-baiknya. Semoga

laporan ini bermanfaat bagi pembaca.

Jember, September 2013

Penulis

ii

Page 3: Studi Kasus Kusta Ali

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i

KATA PENGANTAR....................................................................................... ii

DAFTAR ISI...................................................................................................... iii

BAB 1. PENDAHULUAN............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang............................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................... 2

1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 2

1.4 Manfaat Penelitian......................................................................... 2

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3

2.1 Konsep Dasar Penyakit Kusta .................................................... 3

2.1.1 Definisi Penyakit Kusta..................................................... 3

2.1.2 Etiologi............................................................................... 3

2.1.3 Sumber Penularan.............................................................. 4

2.1.4 Cara Penularan................................................................... 4

2.1.5 Patogenesis......................................................................... 4

2.1.6 Manifestasi Klinis.............................................................. 5

2.1.7 Klasifikasi Penyakit........................................................... 5

2.1.8 Pemeriksaan Klinis............................................................ 6

2.1.9 Penatalaksanaan................................................................. 7

2.1.10 Komplikasi......................................................................... 10

2.2 Upaya Pencegahan Penyakit Kusta.............................................. 10

2.3 Penanggulangan Penyakit Kusta.................................................. 11

2.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Kusta 11

BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 15

3.1 Prevalensi Terjadinya Kasus Kusta ........................................... 15

3.2 Distribusi Pasien Kusta dari Wilayah Tanggul dan Luar.......... 16

3.3 Gambaran Karakteristik Pasien Kusta....................................... 17

3.3.1 Umur Responden................................................................ 17

iii

Page 4: Studi Kasus Kusta Ali

3.3.2 Jenis Kelamin Responden.................................................. 18

3.3.3 Tipe Kusta.......................................................................... 18

3.4 Pemeriksaan Kontak Penderita Kusta......................................... 19

BAB 4. KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 20

4.1 Kesimpulan..................................................................................... 20

4.2 Saran................................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 21

iv

Page 5: Studi Kasus Kusta Ali

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang sifatnya

kronis dapat menimbulkan berbagai masalah yang kompleks. Penderita kusta

bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan

masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf tepi yang ireversibel

diwajah dan anggota gerak, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan

yang berulang-ulang pada daerah mati rasa disertai kelumpuhan dan mengecilnya

otot (Djuanda, 2008).

Berdasarkan data WHO pada akhir tahun 2007 jumlah penderita kusta

berjumlah 224.717 kasus, sementara pada tahun 2006 berjumlah 259.017 kasus di

dunia. Selama kurang dari lima tahun terakhir, jumlah kasus yang terdeteksi

diseluruh dunia terus mengalami penurunan tapi tidak untuk Indonesia. Pada

tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ketiga penyumbang penderita kusta di

dunia dengan jumlah 17.723 orang, sementara peringkat satu yakni India

sebanyak 137.685 orang dan diikuti Brazil sebagai peringkat kedua dengan

jumlah 39.125 orang (Anonim, 2009).

Secara nasional, Indonesia telah mencapai angka eliminasi kusta pada

tahun 2000 yang lalu, namun masih ada 12 provinsi yang memiliki angka

morbiditasnya diatas 1 per 10.000 penduduk. Dari 12 provinsi tersebut terdapat

beberapa daerah yang memiliki angka prevalensi yang cukup tinggi yaitu

Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Jawa Timur,

Jawa Barat, Jawa Tengah, NAD, Jakarta, Nusa Tenggara Timur dan Riau (Depkes

RI, 2005).

Berdasarkan data Dinkes Provinsi Jatim akhir desember 2012, 30%

penderita kusta di Indonesia berada di Jawa Timur dengan angka prevalensi 1,76

per 10000 penduduk dimana masih jauh dari target nasional yaitu <1 per 10000

penduduk. Proporsi anak 9% dan angka kecacatan tingkat 2 12%, masih terlalu

tinggi. Kabupaten Jember menempati urutan ke empat se Jawa Timur dari jumlah

kasus terbanyak, dimana peringkat pertama adalah kabupaten Sampang. Tetapi

1

Page 6: Studi Kasus Kusta Ali

dari angka prevalensi rate Jember menempati peringkat 9 dengan prevalensi 1,57

per 10000 penduduk. (Dinkes Jatim, 2013) Kecamatan Tanggul sendiri

merupakan penyumbang cukup tinggi di Jember yaitu dengan prevalensi 1,27 per

10000 penduduk pada tahun 2012. Dimana terjadi peningkatan sejak tahun 2010

yang awalnya 0,88 per 10000 penduduk. Pada tahun 2013 hingga Triwulan 2

tercatat 14 orang sedang pengobatan, dan 7 orang merupakan temuan kasus baru

(Data Puskesmas Tanggul, 2013)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka disusun rumusan masalah

sebagai berikut: bagaimana gambaran karakteristik penderita kusta di wilayah

kerja puskesmas Tanggul dan faktor-faktor yang mempengaruhi adanya

peningkatan target pada tiap tahun kasus kusta di puskesmas Tanggul.

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran karakteristik penderita kusta di wilayah

kerja puskesmas Tanggul dan faktor-faktor yang mempengaruhi adanya

peningkatan prevalensi pada tiap tahun kasus kusta di puskesmas Tanggul.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan informasi dan masukan yang dapat dipergunakan bagi

pihak Puskesmas Tanggul dalam menyusun perencanaan program

pemberantasan penyakit kusta selanjutnya dan meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan khususnya bagi pasien kusta.

2. Bagi dokter internship memperluas wawasan tentang penyakit kusta dan

mengetahui gambaran karakteristik penderita kusta di wilayah kerja

puskesmas Tanggul serta faktor yang mempengaruhi adanya peningkatan

prevalensi pada tiap tahun kasus kusta di Puskesmas Tanggul.

3. Bagi Masyarakat dapat memberikan informasi kepada masyarakat dan

keluarga pasien khususnya untuk meningkatkan pengawasan dan

pengobatan pada pasien kusta.

2

Page 7: Studi Kasus Kusta Ali

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit Kusta

2.1.1 Definisi Penyakit Kusta

Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yg disebabkan oleh

mycobacterium leprae, yang pertama kali menyerang saraf tepi, setelah itu

menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain kecuali susunan saraf pusat (Sain,

2009)

Penyakit Kusta yang juga dikenal sebagai lepra atau Morbus Hansen

merupakan penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta

(Mycobacterium lepra) yang terutama menyerang saraf tepi dan organ tubuh

kecuali susunan saraf pusat (Soedarjatmi, 2008).

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah

Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai

afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,

kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Kosasih dkk, 2009).

2.1.2 Etiologi

Penyebab utama penyakit kusta yaitu kuman Mycobacterium leprae, yang

pertama kali ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1873. kuman ini

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 8 mic, lebar 0,2 – 0,5 mic, biasanya

berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu, hidup dalam sel serta bersifat

tahan asam. Waktu pembelahan sangat lama yaitu 2 – 3 minggu. Di luar tubuh

manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari

(Soedarjatmi, 2008)

M. leprae merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraselular,

menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas

bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah

diri M. leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari – 40 tahun (Sain,

2009).

3

Page 8: Studi Kasus Kusta Ali

2.1.3 Sumber Penularan

Sampai saat ini hanya manusia yang dianggap sebagai sumber penularan

walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armandillo, Simpanse dan pada telapak

kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar Thymus. Kulit dan mukosa hidung

telah lama diketahui sebagai sumber dari kuman. Telah terbukti bahwa saluran

nafas bagian atas dari penderita lepramatous (tipe MB, yang jumlah bakterinya

banyak) merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan

(Soedarjatmi, 2008).

2.1.4 Cara Penularan

Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian besar

ahli melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang lama

dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar

keringat, dan diduga juga melalui air susu ibu. Tempat implantasi tidak selalu

menjadi tempat lesi pertama. Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak

mudah sehingga tidak perlu ditakuti.

Kuman kusta utuh (solid) yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi

Basiler) yang belum diobati atau tidak teratur berobat, akan mudah tertular. Bila

seseorang terinfeksi M. leprae, sebagian besar (95%) akan sembuh sendiri dan 5%

akan menjadi menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30% bermanifestasi

klinis menjadi determinate dan 70% sembuh. Insidens tinggi pada daerah tropis

dan subtropis yang panas dan lembab. Kusta dapat menyerang semua umur, anak-

anak lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok

dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur 10-12

tahun.

2.1.5 Patogenesis

Setelah M leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta

bergantung pada kerentanan seseorang. Respons tubuh setelah masa tunas

dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated

immune) pasien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang ke

4

Page 9: Studi Kasus Kusta Ali

arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M leprae

berpredileksi di daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan

vaskularisasi yang sedikit. Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat

infeksi karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih

sebanding dengan tingkatreaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu

penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.

2.1.6 Manifestasi Klinik

Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopis, dan

histopatologis. Menurut WHO (1995). diagnosis kusta ditegakkan bila terdapat

satu dari tanda kardinal berikut:

a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.

Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi

tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi

dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul.

Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas.

Kerusakan saraf terutama saraf tepi,bermanifestasi sebagai kehilangan

sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf tepi saja tanpa

disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan otot juga

merupakan tanda kusta.

b. BTA positif.

Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan

kulit. Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan

diperiksa ulang setiap 3 bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau

penyakit lain.

2.1.7 Klasifikasi Penyakit

Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan Ridley dan Jopling adalah :

a. Tipe TT (tuberkuloid)

b. BT (borderline tuberculoid)

c. BB (mid borderline)

5

Page 10: Studi Kasus Kusta Ali

d. BL (borderline lepromatous)

e. LL (lepromatosa)

Departemen Kesehatan Ditjen P2MPLP ( 1999) dan WHO ( 1995) membagi

penyakit kusta menjadi 2 tipe yaitu :

a. Tipe Pause Basiler (PB)

b. Multi Basiler (MB).

Tabel 1 Gambaran Klinis Menurut WHO

Gambaran Klinis Tipe PB Tipe MB

Lesi Kulit (macula datar,

Papul yang meninggi,

Nodul)

1-5 lesi, hipopigmentasi/

eritema, distribusi tidak

simetris, hilanya sensasi

yang jelas.

Lesi >5, distribusi lebih

simetris, hilanya sensasi.

Kerusakan cabang saraf

(menyebabkan saraf

kehilangan

sensasi/kelemahan otot

yang dipersarafi oleh

sraf yang terkena)

Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

(Sumber : WHO, 1995)

Untuk kepentingan program pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi

perubahan. Yang dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada

pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT dan BT menurut klasifikasi

Ridley & Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan

dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita

kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun (Arif mansjoer, 2000).

2.1.8 Pemeriksaan Klinis

a. Inspeksi

6

Page 11: Studi Kasus Kusta Ali

Pasien diminta memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan

tertawa untuk mengetahui fungsi saraf wajah. Semua kelainan kulit di

seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya makula, nodul, jaringan

parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh

(alopesia dan madarosis).

b. Pemeriksaan sensibilitas pada lesi kulit dengan menggunakan

kapas(rasa raba), jarum pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri), serta

air panas dan dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu).

c. Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n.

auricularis magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus,

dan n.tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat

adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan.

Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak saat

saraf diraba.

d. Pemeriksaan fungsi saraf otonom, yaitu memeriksa ada

tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya kelenjar

keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji Gunawan).

2.1.9 Penatalaksanaan

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan

pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata

rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada

orang lain untuk menurunkan insidens penyakit.

a. MDT (Multi Drug Therapy )

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,

klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan

untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat,

mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan

mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi

WHO (1995) sebagai berikut:

7

Page 12: Studi Kasus Kusta Ali

1) Tipe PB

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa

a) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.

b) DDS tablet 100 mg/hari di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan. dan setelah

selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment

= berhenti minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya

masih aktif. Menurut WHO (1995) tidak lagi dinyatakan RFT

tetapi menggunakan istilah Completion of Treatment Cure dan

pasien tidak lagi dalam pengawasan.

2) Tipe MB

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:

a) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas.

b) Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas

dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah.

c) DDS 100 mg/hari diminum dirumah

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal

36 bulan. Sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT

meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan

bakteri positif Menurut WHO ( 1998) pengobatan MB diberikan

untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien

langsung dinyatakan RFT.

Jenis obat dan Dosis untuk anak :

a) Klofazimin

Umur di bawah 10 tahun: bulanan 100 mg/bulan harian 50

mg/2 kali/minggu. Umur 11-14 tahun:  bulanan 100

mg/bulan harian 50 mg/3 kali/minggu

b) DDS: 1-2 mg/kg berat badan

c) Rifampisin: 10-15 mg/kg berat badan

b. Pengobatan MDT terbaru

8

Page 13: Studi Kasus Kusta Ali

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO

( 1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 (satu) cukup

diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, olloksasin 400 mg, dan

minosiklin I 00 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan

untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk

tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan

sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.

c. Putus Obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4

dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien

kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari

yang seharusnya.

d. Evaluasi Pengobatan

Depkes ( 1999) adalah sebagai berikut:

1) Pasien PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam

waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan menjalani

pemeriksaan laboratorium.

2) Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 24 dosis

dalam waktu 24-36 bulan dinyatakan RFT tanpa diharuskan

menjalani pemeriksaan laboratorium.

3) RFT dapat dilaksanakan setelah dosis dipenuhi tanpadiperlukan

pemeriksaan laboratorium. Dikeluarkan dari register pasien dan

dimasukkan dalam register pengamatan (surveillance) dan dapat

dilakukan oleh petugas kusta.

4) Masa Pengamatan.

Pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif:

a) Tipe PB selama 2 tahun.

b) Tipe MB selama 5 tahun tanpa diperlukan

pemeriksaan laboratorium.

5) Hilang/Out of Control (OOC).

9

Page 14: Studi Kasus Kusta Ali

Pasien PB maupun MB dinyatakan hilang bilamana dalam

1 tahun tidak mengambil obat dan dikeluarkan dari register pasien.

6) Relaps (kambuh)

Terjadi bila lesi aktif kembali setelah pernah dinyatakan sembuh

atau RFT.

2.1.10 Komplikasi

Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik

akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi

kusta. Proses terjadinya cacat kusta dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

2.2 Upaya Pencegahan Penyakit Kusta

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil

penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar

kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi

faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga

penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan

kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara

teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara

pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup

24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan

cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman

kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah

dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.

Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita

tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada

obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan

demikian penting sekali agar petugas kusta memberikan penyuluhan kusta kepada

setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan

berisikan pengajaran bahwa :

a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta

10

Page 15: Studi Kasus Kusta Ali

b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena

kusta

c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain

d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6

bulan secara teratur (Depkes RI, 2005).

2.3 Penanggulangan Penyakit Kusta

Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana

dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna,

mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari

metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial,

rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari

rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada

kelompok tersendiri. Ketiga metode tersebut merupakan suatu sistem yang saling

berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Di Indonesia, tujuan program

pemberantasan penyakit kuista adalah menurunkan angka prevalensi penyakit

kusta menjadi 0,3 per 1000 penduduk pada tahun 2000. Upaya yang dilakukan

untuk pemberantasan penyakit kusta melalui :

a) Penemuan penderita secara dini.

b) Pengobatan penderita.

c) Penyuluhan kesehatan di bidang kusta.

d) Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta.

e) Rehabilitasi penderita kusta.

2.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Kusta

Penyebaran penyakit menular bergantung pada keberhasilan interaksi

antara agent infeksius (perantara infeksi), host (tuan rumah) dan

environment(lingkungan). Ketidak seimbangan antara agent, host dan lingkungan

sering terjadi, yang kadang-kadang tidak disengaja dan dapat menimbulkan

gangguan. Faktor agents sangat berpengaruh dalam terjadinya serta berat

ringannya penyakit. Faktor host manusia atau hewan dapat dimasuki agent

11

Page 16: Studi Kasus Kusta Ali

infeksius. Faktor lingkungan berhubungan dengan keseluruhan eksternal host

manusia . Faktor lingkungan ini memudahkan keadaan transmisi agent infeksius

dari suatu host yang terinfeksi kepada host yang lain (Sumijatun, 2005).

Menurut Cocrane dalam Zulkifli (2003), terlalu sedikit orang yang tertular

penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut

Ress dalam Zulkifli (2003) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan

perkembangan panyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau

keganasan Mycobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita, disamping itu

faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini yaitu:

1 Umur

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut

umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada

saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit

sering terkait pada umur pada saat diketemukan dari pada saat timbulnya

penyakit. Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai

umur tua ( 3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Frekuensi tertinggi pada

kelompok dewasa ialah umur 25-35 tahun, sedangkan pada kelompok anak umur

10-12 tahun.

2 Jenis kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan,

sebagian besar Negara di dunia, kecuali di beberapa Negara di Afrika

menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dari pada perempuan.

Rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor

lingkungan atau faktor biologi. Seperti penyakit menular lainnya laki-laki lebih

banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.

3 Sosial Ekonomi

Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, penyakit

kusta banyak menyerang golongan masyarakat dengan sosial ekonomi rendah, hal

ini juga terbukti pada negara-negara di Eropa, seperti Negara Inggris, Jerman,

Italia, Perancis, Spanyol, Belanda, Norwegia dan Skotlandia, dengan adanya

peningkatan sosial ekonomi di Negara-negara tersebut, maka kejadian kusta

12

Page 17: Studi Kasus Kusta Ali

sangat cepat menurun bahkan hilang, penderita kusta impor pada Negara tersebut

ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonominya tinggi.

4 Lingkungan

Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di

daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak

memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk.

Daerah yang panas dengan kelembaban tinggi merupakan faktor

mempermudah penularan penyakit. Hal ini terbukti karena Mycobacterium Leprae

hidup optimal pada suhu 30-33 Celcius dan kelembaban tinggi. M.Leprae mampu

hidup beberapa minggu(2-4 minggu) di lingkungan khususnya pada keadaan

lembab. Penelitian di Norwegia juga membuktikan penurunan angka kejadian

kusta, seiring dengan perbaikan lingkungan hidup. Penelitian lain di Filipina

menunjukkan ada hubungan luas lantai perorang dengan prevalensi kusta, hal ini

menunjukkan banyaknya kusta pada daerah-daerah dengan perumahan yang

padat, hygiene dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.

5 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang

mengindera terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan dapat terjadi melalui

indera penglihatan, pendengaran, penciuman rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang terhadap obyek diperoleh melalui indra

penglihatan. Pengetahuan mempunyai enam tingkatan :

a) Tahu (know) diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya.

b) Memahami (comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, yang dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

13

Page 18: Studi Kasus Kusta Ali

c) Aplikasi (aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi real (sebenarnya).

d) Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur

organisasi tersebut atau masih ada kaitannya satu sama lain.

e) Sintesis (synthesis) menunjuk kepada sesuatu kemampuan untuk meletakan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam bentuk keseluruhan yang baru dari

formulasi-formulasi yang ada.

f) Evaluasi (evaluation), ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

penilaian suatu materi atau obyek (Notoatmojo, 1989).

14

Page 19: Studi Kasus Kusta Ali

BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Prevalensi Terjadinya Kasus Kusta

Dari data yang ada, didapatkan hasil jumlah kasus kusta pada tahun 2013

hingga bulan Agustus tercatat terdapat 15 orang, akan tetapi 7 orang merupakan

pasien luar tanggul. Sehingga pasien wilayah tanggul sendiri berjumlah 8 orang

dimana prevalensi ratenya adalah 1,4 dari 10.000 penduduk terjadi peningkatan

dari tahun-tahun sebelumnya yang bias dilihat di grafik.

2009 2010 2011 2012 20130

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

targetprev

Grafik 1. Prevalensi Terjadinya Kasus Kusta di Wilayah Puskesmas Tanggul

Akan tetapi angka ini bisa saja terus bertambah, hal ini di karenakan

berdasarkan data yang ada menunjukkan semua penderita kusta di wilayah

Tanggul tahun 2013 merupakan penemuan secara pasif.

Penemuan secara pasif adalah penemuan penderita yang dilakukan terhadap

orang yang belum pernah berobat kusta datang sendiri atau saran orang lain

ketempat pelayanan kesehatan terutama pada puskesmas maupun dokter praktek

umum dan sarana pengobatan lainnya. Kemungkinan terdapat pasien kusta lain

yang tidak memeriksakan diri dikarenakan beberapa factor: (Depkes, 2001)

15

Page 20: Studi Kasus Kusta Ali

a. Tidak mengerti tanda dini kusta.

b. Malu datang kePuskesmas.

c. Adanya Puskesmas yang belum siap

d. Tidak tahu bahwa ada obat tersedia Cuma-Cuma di Puskesmas.

e. Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh

Sehingga diperlukan kegiatan penemuan secara aktif untuk menjaring lebih

banyak pasien kusta sebagai upaya eliminasi pasien kusta yang dicanangkan oleh

pemerintah seperti: (Depkes, 2001)

1. Pemeriksaan kontak serumah

2. Pemeriksaan anak sekolah SD/Taman Kanak-kanak atau sederajat disebut

survei sekolah

3. “Chase Survey”

4. Survai Khusus

3.2 Distribusi Pasien Kusta dari Wilayah Tanggul dan Luar Tanggul

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Wilayah Tanggul dan luar Tanggul

No. Wilayah Jumlah Persentase (%)

1 Tanggul 8 53,33

2 Luar Tanggul 7 46,67

Total 15 100

Berdasarkan tabel tersebut yang lebih banyak terdistribusi adalah

responden yang ada di wilayah Tanggul yaitu sebanyak 8 responden (53,33%),

sedangkan yang ada di luar wilayah Tanggul sebanyak 7 responden (46,67%).

Cukup banyaknya penderita dari luar wilayah tanggul perlu diwaspadai

karena tingkat mobilitas penduduk yang cukup tinggi baik yang menggunakan

kendaraan darat maupun kendaraan laut sangat mempengaruhi penyebaran

penyakit terutama penyakit yang berasal dari luar daerah. (Miswar, 2009)

16

Page 21: Studi Kasus Kusta Ali

3.3 Gambaran Karakteristik Pasien Kusta

3.3.1 Berdasarkan Umur

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Umur Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanggul

No. Umur (tahun) Jumlah Persentase (%)

1 < 15 0 0

2 16-45 11 73,33

3 >45 4 26,67

Total 15 100

Berdasarkan tabel tersebut yang lebih banyak terdistribusi adalah

responden yang berusia 16-45 tahun sebanyak 11 responden (73,33%), lalu usia >

45 tahun sebanyak 4 orang (26,67%). Sedangkan pasien anak <15 tahun tidak ada.

Hiswani (2004) menyatakan bahwa usia merupakan variabel yang selalu

diperhatikan di dalam penelitian epidemiologi. Pola kesakitan atau kematian akan

lebih mudah membacanya bila dikelompokkan berdasarkan golongan usia.

Beberapa alasan yang dapat menerangkan hubungan suatu keadaan kesehatan

seseorang dengan usia antara lain : perkembangan fisiologis dan imunitas tubuh.

Notoatmodjo (2003) juga mengatakan bahwa usia memiliki hubungan dengan

tingkat keterpaparan, besarnya risiko serta sifat resistensi terhadap penyakit.

Persebaran usia responden di tempat penelitian menunjukkan bahwa

mayoritas penderita kusta adalah kelompok usia produktif. Hal ini ditunjukkan

dengan jumlah penderita kusta di usia 16-45 tahun adalah 73,33%. Hasil

penelitian ini juga diperkuat dengan pendapat Hiswani (2004) yang menyatakan

bahwa penyakit kusta umumnya terjadi pada kelompok usia produktif. Faktor

utama terjadinya penyakit ini adalah keberadaan kuman di dalam tubuh seseorang.

Seseorang yang terkena penyakit kusta ini biasanya sudah terinfeksi lama sebelum

ia merasakan keluhan bercak di kulit.

17

Page 22: Studi Kasus Kusta Ali

3.3.2 Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanggul

No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

1 Laki-Laki 10 66,67

2 Perempuan 5 33,33

Total 15 100

Berdasarkan tabel tersebut menunjukan bahwa presentase penderita yang

banyak terdistribusi pada jenis kelamin laki–laki yaitu 10 responden (66,67%)

dan yang paling sedikit terdistribusi pada jenis kelamin perempuan yaitu 5

responden (33,33%).

Hasil penelitian Supriyatno (2002) menyatakan tidak ada perbedaan

tentang kejadian kusta berdasarkan jenis kelamin, dimana dibuktikan dengan hasil

biakan kuman Mycobacterium leprae positif yang sama pada laki-laki dan

perempuan sebesar 1:1. Kaum perempuan memiliki kesempatan yang sama

terinfeksi penyakit kusta.

3.3.3 Berdasarkan Tipe Kusta

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tipe Kusta Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanggul

No. Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

1 PB 2 15,38

2 MB 13 84,62

Total 15 100

Berdasarkan tabel tersebut yang lebih banyak terdistribusi adalah

responden yang menderita kusta tipe MB yaitu sebanyak 13 responden (84,62%),

sedangkan yang tipe PB hanya sebanyak 2 responden (15,38%).

Tipe kusta dipengaruhi oleh variasi dalam kesempurnaan sistem respon

imun seluler. Pada kusta tipe PB dengan respon imun seluler cukup tinggi lebih

sering mendapat reaksi kusta tipe I yang kadang gambaran klinisnya lebih hebat.

18

Page 23: Studi Kasus Kusta Ali

Hal ini terjadi karena kuman yang mati akan dihabiskan sistem fagosit tubuh,

tetapi pada sebagian penderita akan terjadi reaksi imun sebagai bentuk perlawanan

(hipersensitivitas akut).Sedangkan pada tipe MB dengan respon imun rendah,

reaksi kusta ini tidak seberat pada tipe PB. Pagolori (2002), menyimpulkan kusta

tipe MB mempunyai resiko mengalami reaksi 2,45 kali lebih besar dibandingkan

tipe PB. (Prawoto, 2008)

Tipe MB juga lebih mudah menular dibandingkan tipe PB. Penyakit kusta

dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiler (MB) kepada orang lain

dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui,

tetapi sebagian besar para ahli berpandapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan

melalui saluran pernafasan dan kulit. (Depkes, 2001)

3.4 Pemeriksaan Kontak Penderita Kusta

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pemeriksaan Kontak Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanggul

No. Pemeriksaan Kontak

Jumlah Persentase (%)

1 Sudah 1 6,67

2 Belum 14 93,33

Total 15 100

Berdasarkan tabel tersebut menunjukan bahwa presentase penderita yang

sudah dilakukan pemeriksaan kontak yaitu 1 responden (6,67%) dan yang belum

hampir seluruh responden yaitu 14 responden (93,33%). Pemeriksaan kontak

merupakan salah satu kegiatan dalam penemuan penderita secara aktif dengan

memeriksa semua anggota keluarga yang tinggal serumah. Pemeriksaan ini

bertujuan untuk: (Depkes, 2001)

1). Mencari penderita baru yang mungkin sudah lama ada dan belum berobat

(index case).

2). Mencari penderita baru yang mungkin ada.

19

Page 24: Studi Kasus Kusta Ali

BAB.4

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

a. Terjadi peningkatan prevalensi kasus kusta di wilayah Tanggul setiap

tahunnya sejak tahun 2010 hingga tahun 2013.

b. Distribusi kasus kusta terbanyak ada di wilayah Tanggul sendiri tetapi dari

wilayah luar tanggul juga cukup banyak menunjukkan mobilitas yang

tinggi di wilayah Tanggul.

c. Secara keseluruhan, pasien kusta di wilayah Tanggul merepukan

penemuan penderita secara pasif.

d. Kasus kusta terbanyak adalah responden yang berusia produktif 16-45

tahun sebanyak 11 orang (73,33%)

e. Presentase pasien kusta terbanyak pada jenis kelamin laki–laki yaitu 10

orang (66,67%).

f. Presentase pasien kusta terbanyak adalah tipe MB yaitu sebanyak 13

responden (84,62%),

4.2 Saran

Saran dari hasil penelitian ini adalah:

a. Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai faktor-faktor lain yang

mempengaruhi prevalensi kusta

b. Perlu dilakukan upaya tindak lanjut untuk menurunkan prevalensi kusta

c. Perlu ditingkatkan dalam hal kegiatan penemuan penderita secara aktif

sesuai dengan program pemerintah

20

Page 25: Studi Kasus Kusta Ali

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous (2004), http://www.dinkes-dki.go.id/penyakit.html, diakses Februari 2011

Dian dkk. 2011. Hubungan Tingkat Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Kusta Terhadap Tingginya Prevalensi Kusta Di Desa Mojomulyo Kecamatan Puger Jember. FK Unej: Jember

Dinkes Jatim. 2013. Daftar Isi Jatim Dalam Angka Terkini Tahun 2012 - 2013 Triwulan 1.

Dinkes Jatim. 2013. PPID_Dinkes_ProvJatim_Kusta

Djuanda Adhi (dkk) 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKUI

Depkes RI. 2001. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman

Hiswani. 2001. Kusta Salah Satu Penyakit Menular Yang Masih Dijumpai Di Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Miswar, Muhammad. 2009. Skrining Dan Studi EpidemiologiPenyakit Kusta Di Puskesmas KulisusuKabupaten Buton Utara Sulawesi Tenggara. Universitas Haluoleo: Kendari

Notoadmodjo. 2003. Pengetahuan Manusia. Jakarta: Inter Aksara

Prawoto. 2008. Faktor - Faktor Risiko Yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Reaksi Kusta (Studi di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Brebes) Program Pascasarjana Universitas Diponegoro: Semarang

Puskesmas Tanggul. 2013. Profil Puskesmas Tanggul. Jember

Puskesmas Tanggul. 2013 Laporan Penyakit Kusta Puskesmas Tanggul. Jember

21