studi fasies dan lingkungan pengendapan iii rev page

20
 1 STUDI FASIES DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN SATUAN BATUPASIR FORMASI HALANG BERDASARKAN ASOSIASI LITOFASIES DI DAERAH AJIBARANG, KECAMATAN AJIBARANG, KABUPATEN BANYUMAS, PROPINSI JAWA TENGAH B o bby P r i m a Si ta ngg ang  Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran , Jl. Raya Bandung- S umedang KM.21,  Jatinangor-45363  Email : [email protected]  A B ST R AK Penelitian ini dilakukan di sungai Tajum, Desa Ajibarang, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah. Pengambilan data dilapangan dilakukan dengan mengukur ketebalan perlapisan singkapan batuan. Daerah  penelitian didominasi oleh perlapisan batulempung dan batupasir disebelah selatan, namun didominasi oleh perlapisan  batupasir pada sebelah utara. Hal ini menimbulkan dugaan adanya perubahan fasies dari arah selatan menuju utara daerah penelitian. Hasil dari analisis penampang litologi, singkapan batuan menunjukkan karakteristik struktur sedimen  berupa massive sandstone, graded bedding, upper parallel lamination, lower parallel lamination, cross lamination, climbing-ripple cross lamination, dan convolute lamination yang diendapkan dengan media air. Sedangkan dari hasil analisis mikropaleontologi, batuan diendapkan pada lingkungan Batial Atas-Tengah. Litofasies yang teridentifikasi pada  penampang litologi adalah B, C, D dan F (berdasarkan endapan submarine fan Mutti & Ricci Lucchi, 1972) dan Classical Turbidite (C.T.), Massive Sandstone (M.S.) dan Debris Flow (D.F.), (berdasarkan fasies turbidit Walker, 1978). Analisis asosiasi fasies menunjukkan daerah penelitian berada pada sistem kipas bawahlaut (submarine fan) dengan fasies berupa Mid-fan Suprafan lobes dan Slope hingga Upper-fan yang merupakan hasil pengendapan laut dalam dengan sistem pengendapan arus turbidit dan aliran debris. Pada penampang litologi juga menunjukkan adanya  perubahan fasies yang dipengaruhi oleh naik - turunnya permukaan air laut, yaitu pada dua fase transgresi dan satu fase regresi. Analisis arah arus purba (paleocurrent) dilakukan dengan indikator struktur sedimen sekunder berupa flute cast  pada bidang perlapisan batulempung. Restorasi lineasi sumbu memanjang flute cast dengan menggunakan stereonet menghasilkan arah arus dengan azimuth N118oE, yang mengindikasikan arah arus pengendapan pada saat material sedimen diendapkan berasal dari arah Baratlaut menuju ke arah Tenggara. Secara keseluruhan, maka lingkungan  pengendapan pada daerah pe nelitian adalah laut dalam, khususny a pada sistem pengendapan kipas bawahlaut . Kata kunci : litofasies, fasies, asosia si fasies, lingkungan pengendapan, struktur sedimen, arah arus purba, kipas  bawahlaut, sungai Tajum  A B ST R A CT This research is conducted in river Taj um, Ajibarang village, district Ajibarang, Banyumas, Central Java province. Field data is done by measuring the thickness of bedding rock outcrops. The research area is dominated by mudstone and sandstone bedding in the south , but is dominated by sandstone bedding on the north. This has led to interpretation of facies environment change from south to north area of research. Results from cross-sectional analysis of lithology, rock outcrops shows the characteristic of sedimentary structures in the form of massive sandstone, graded bedding, parallel lamination upper, lower parallel lamination, cross- lamination, climbing- ripple cross lamination, and convolute lamination precipitated with aqueous media. While the results of the micropaleontology analysis, rocks deposited on the Middle - Upper Bathyal environment. Litofacies identified in the lithological cross section are B, C, D and F (based on submarine fan deposition, Mutti & Ricci Lucchi,1972) and the Classical Turbidite (CT), Massive Sandstone (MS) and

Upload: bobby-hazel-fransiskus-sitanggang

Post on 13-Oct-2015

87 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Hasil Pemetaan Lapangan Banyumas.

TRANSCRIPT

  • 1

    STUDI FASIES DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN

    SATUAN BATUPASIR FORMASI HALANG

    BERDASARKAN ASOSIASI LITOFASIES

    DI DAERAH AJIBARANG, KECAMATAN AJIBARANG,

    KABUPATEN BANYUMAS, PROPINSI JAWA TENGAH

    Bobby Prima Sitanggang

    Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung- Sumedang KM.21,

    Jatinangor-45363

    Email : [email protected]

    ABSTRAK

    Penelitian ini dilakukan di sungai Tajum, Desa Ajibarang, Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa

    Tengah. Pengambilan data dilapangan dilakukan dengan mengukur ketebalan perlapisan singkapan batuan. Daerah

    penelitian didominasi oleh perlapisan batulempung dan batupasir disebelah selatan, namun didominasi oleh perlapisan

    batupasir pada sebelah utara. Hal ini menimbulkan dugaan adanya perubahan fasies dari arah selatan menuju utara

    daerah penelitian. Hasil dari analisis penampang litologi, singkapan batuan menunjukkan karakteristik struktur sedimen

    berupa massive sandstone, graded bedding, upper parallel lamination, lower parallel lamination, cross lamination,

    climbing-ripple cross lamination, dan convolute lamination yang diendapkan dengan media air. Sedangkan dari hasil

    analisis mikropaleontologi, batuan diendapkan pada lingkungan Batial Atas-Tengah. Litofasies yang teridentifikasi pada

    penampang litologi adalah B, C, D dan F (berdasarkan endapan submarine fan Mutti & Ricci Lucchi, 1972) dan

    Classical Turbidite (C.T.), Massive Sandstone (M.S.) dan Debris Flow (D.F.), (berdasarkan fasies turbidit Walker,

    1978). Analisis asosiasi fasies menunjukkan daerah penelitian berada pada sistem kipas bawahlaut (submarine fan)

    dengan fasies berupa Mid-fan Suprafan lobes dan Slope hingga Upper-fan yang merupakan hasil pengendapan laut

    dalam dengan sistem pengendapan arus turbidit dan aliran debris. Pada penampang litologi juga menunjukkan adanya

    perubahan fasies yang dipengaruhi oleh naik- turunnya permukaan air laut, yaitu pada dua fase transgresi dan satu fase

    regresi. Analisis arah arus purba (paleocurrent) dilakukan dengan indikator struktur sedimen sekunder berupa flute cast

    pada bidang perlapisan batulempung. Restorasi lineasi sumbu memanjang flute cast dengan menggunakan stereonet

    menghasilkan arah arus dengan azimuth N118oE, yang mengindikasikan arah arus pengendapan pada saat material

    sedimen diendapkan berasal dari arah Baratlaut menuju ke arah Tenggara. Secara keseluruhan, maka lingkungan

    pengendapan pada daerah penelitian adalah laut dalam, khususnya pada sistem pengendapan kipas bawahlaut.

    Kata kunci : litofasies, fasies, asosiasi fasies, lingkungan pengendapan, struktur sedimen, arah arus purba, kipas

    bawahlaut, sungai Tajum

    ABSTRACT

    This research is conducted in river Tajum, Ajibarang village, district Ajibarang, Banyumas, Central Java province. Field

    data is done by measuring the thickness of bedding rock outcrops. The research area is dominated by mudstone and

    sandstone bedding in the south , but is dominated by sandstone bedding on the north. This has led to interpretation of

    facies environment change from south to north area of research. Results from cross-sectional analysis of lithology, rock

    outcrops shows the characteristic of sedimentary structures in the form of massive sandstone, graded bedding, parallel

    lamination upper, lower parallel lamination, cross- lamination, climbing- ripple cross lamination, and convolute

    lamination precipitated with aqueous media. While the results of the micropaleontology analysis, rocks deposited on the

    Middle - Upper Bathyal environment. Litofacies identified in the lithological cross section are B, C, D and F (based on

    submarine fan deposition, Mutti & Ricci Lucchi,1972) and the Classical Turbidite (CT), Massive Sandstone (MS) and

  • 2

    Debris Flow (DF), (based on turbidite facies Walker,1978). Facies association analysis shows the study area is located

    on the submarine fan system (submarine fan) with a Mid-fan Suprafan lobes facies and Slope to the Upper-fan that

    result in the deposition of marine turbidite deposition system flow and debris flow. In cross-section also shows the

    lithological facies changes are influenced by the rise and fall of sea level, which is the two phases of the transgression

    and regression phases. Analysis of ancient current direction (Paleocurrent) performed with the secondary indicators of

    sedimentary structures such as flute casts on bedding plane of claystone. Lineation restoration of longitudinal axis of the

    flute cast using stereonet analysis generate current direction with azimuth N118oE, which indicate the direction of flow

    during the deposition of sediments material deposited comes from the Northwest heading Southeast towards. Overall,

    the depositional environment in the study area is deep marine, especially in submarine fan depositional systems..

    Keywords : lithofacies, facies, facies associations, depositional environments, sedimentary structures, paleocurrent,

    submarine fan, river Tajum

    1. PENDAHULUAN

    Batupasir merupakan batuan yang banyak

    diperhatikan oleh ahli geologi karena

    setengah dari cadangan minyak dan gas

    dunia terjadi pada batuan ini. Demikian

    juga dengan shales, karena zat organik

    yang terkandung didalamnya dipercaya

    sebagai sumber dari material minyak dan

    gas (Boggs, 2006). Oleh karena itu penulis

    memilih untuk mengadakan penelitian

    tentang fasies dan lingkungan pengen-

    dapan pada daerah Ajibarang. Mengingat

    hasil dari pemetaan geologi lanjut yang

    telah dilakukan oleh penulis sebelumnya

    didaerah sekitar sungai Tajum didominasi

    oleh batupasir dan batulempung menyerpih

    (shale).

    Setiap lingkungan dengan keadaan tertentu

    dapat menghasilkan batuan yang berbeda

    pula, begitu juga sebaliknya himpunan

    batuan yang terbentuk akan menghasilkan

    ciri khas lingkungan pengendapannya.

    Pada kesempatan kali ini penulis ingin

    menerapkan teori-teori Geologi yang telah

    dipelajari selama duduk di bangku kuliah

    terutama untuk kajian khusus sedimen-

    tologi dan stratigrafi di lapangan.

    Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan

    dapat menjadi bahan referensi bagi para

    peneliti selanjutnya untuk dikembangkan

    dan bila memungkinkan dilakukan pene-

    litian lebih lanjut untuk mencari keter-

    dapatan sumber-sumber daya mineral dan

    energi disekitar tempat ini.

    Maksud dari penelitian Tugas Akhir ini

    adalah untuk mengetahui lingkungan

    pengendapan Satuan Batupasir Formasi

    Halang di daerah penelitian.

    Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah

    sebagai berikut :

    1. Mengungkap sistem atau mekanisme pengendapan didaerah penelitian

    berdasarkan struktur sedimen primer.

    2. Membagi litologi yang teridentifikasi menjadi beberapa litofasies pada

    penampang litologi perlapisan batuan

    dilapangan.

    3. Mengklasifikasikan litofasies menjadi beberapa asosiasi fasies untuk

    membentuk fasies pengendapan

    daerah penelitian.

    4. Menentukan atau menginterpretasikan lingkungan pengendapan berdasarkan

    analisis fosil dan analisis penampang

    litologi secara vertikal.

    5. Menentukan arah arus purba (paleo-current) dengan indikator struktur

    sedimen menggunakan stereonet

    untuk restorasi lineation sumbu arus

    pengendapan.

    Lokasi yang digunakan sebagai tempat

    penelitian kajian khusus dan pemetaan

  • 3

    geologi lanjut adalah daerah Ajibarang,

    Kec. Ajibarang, Kab. Banyumas, Propinsi

    Jawa Tengah.

    Secara geografis masuk kedalam koordinat

    garis bujur 109o 00' 13" - 109

    o 05' 39" BT

    dan garis lintang 07 o

    23' 35" - 07 o

    28' 59"

    LS pada lembar Peta Rupabumi Digital

    Indonesia (Bakosurtanal) Ajibarang No.

    1308-611 skala 1:25000.

    2. METODE PENELITIAN

    Penyusunan penampang stratigrafi terukur

    dilakukan setelah memperoleh data la-

    pangan yang akan digunakan untuk

    menganalisis lingkungan pengendapan ba-

    tuan sedimen pada penampang vertikal.

    Data-data yang akan disajikan pada pe-

    nampang vertikal merupakan data-data

    yang diambil dilapangan, data tersebut

    berupa ketebalan lapisan deskripsi litologi

    batuan secara lengkap, struktur sedimen

    primer dan sekunder, serta kontak antar

    perlapisan. Perhitungan ketebalan per-

    lapisan batuan dilapangan dilakukan

    berdasarkan pertimbangan kemiringan

    lereng, sudut kemiringan perlapisan batuan

    (dip) dan arah pengukuran.

    Secara garis besar, proses analisis ini

    dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu :

    1. Tahap deskripsi litologi pada penampang vertikal.

    2. Penafsiran awal lingkungan pengen-dapan, berdasarkan kenampakan lito-

    logi, mekanisme pengendapan yang

    terekam pada struktur sedimen, dan

    keberadaan fosil.

    3. Penarikan kesimpulan lingkungan pengendapan berdasarkan data-data

    yang telah dianalisis.

    Untuk lebih jelasnya, tahap-tahap diatas

    akan dijelaskan sebagai berikut :

    1. Data-data dari lapangan digambarkan didalam penampang vertikal. Data-

    data tersebut meliputi litologi, kete-

    balan sebenarnya (true thickness),

    ukuran butir, kandungan fosil, struktur

    sedimen primer dan sekunder, struktur

    sedimen biogenik, trend siklus dan

    deskripsi lengkap batuan.

    2. Menafsirkan lingkungan pengendapan dari data- data yang ada secara garis

    besar, kemudian lebih spesifik dengan

    memperhatikan asosiasi dari bukti-

    bukti geologi dilapangan. Hal ini

    dilakukan untuk mempersempit ke-

    mungkinan ruang lingkup lingkungan

    pengendapan yang akan dianalisis.

    3. Setelah diinterpretasikan lingkungan pengendapannya, maka perlu dila-

    kukan pembuktian melalui kesesuaian

    kenampakan singkapan dilapangan

    dengan literatur-literatur lingkungan

    pengendapan secara spesifik.

    4. Kemudian litologi pada penampang vertikal yang telah disusun, dibagi-

    bagi atau diklasifikasikan menjadi

    lebih detail berdasarkan model fasies

    yang sesuai dengan keadaan sing-

    kapan batuan dilapangan.

    5. Pada penelitian ini, penulis ingin membagi fasies berdasarkan kenam-

    pakan litologi secara fisik (litofasies).

    Setelah itu, litofasies tersebut dibagi

    lagi menjadi beberapa asosiasi lito-

    fasies dan terakhir menentukan ling-

    kungan pengendapan dari asosiasi

    litofasies tersebut.

    6. Analisis lainnya adalah analisis pengaruh naik turunnya permukaan air

    laut terhadap perubahan fasies dalam

    penampang vertikal.

    7. Jika memungkinkan dilakukan analisis arah arus purba (paleocurrent) saat

    material sedimen diendapkan dengan

    menggukan indikator arah arus sedi-

    mentasi berupa struktur sedimen.

    8. Pada tahap akhir dilakukan rekon-struksi data- data yang telah ada dan

    hasil dari analisis lingkungan pengen-

    dapan untuk menentukan sejarah

    pengendapan sesuai dengan hasil

    analisis yang telah dilakukan sebelum-

    nya.

  • 4

    3. HASIL DAN PEMBAHASAN

    3.1 Penampang Litologi

    Untuk memudahkan penulis dalam men-

    deskripsikan batuan sedimen yang ditemu-

    kan pada daerah penelitian, maka akan

    dilakukan pembagian penampang litologi.

    Penampang ini dibagi menjadi 8 penam-

    pang litologi (Gambar 1), disusun dalam

    bentuk strati-grafi penampang litologi,

    yaitu :

    3.1.1 Penampang Litologi 1 Secara umum terdapat tiga jenis litologi

    yang berkembang pada penampang ini.

    Litologi tersebut adalah batupasir, silty

    clay dan batulempung menyerpih (shale).

    Struktur sedimen yang terbentuk adalah

    graded bedding, cross lamination, lower

    parallel lamination dan convolute lamina-

    tion. (Gambar 2)

    Pada penampang litologi bagian bawah

    terdapat batupasir massive dengan ukuran

    butir halus hingga medium. Batupasir ini

    mengandung karbonat pada pada lapisan-

    nya serta nodul-nodul karbonatan yang ada

    dalam singkapan batupasir (Gambar 3). Ju-

    ga dapat dilihat permukaan batupasir

    memiliki banyak cavity yang kemungkinan

    adalah merupakan fosil jejak galian

    (burrowing).

    3.1.2 Penampang Litologi 2 Lokasi ini disusun oleh dua jenis litologi

    yaitu batupasir dan batulempung serpih

    (shale) dalam bentuk perselingan seperti

    yang ditunjukkan pada penampang lito-

    logi (Gambar 4). Singkapan memperli-

    hatkan batupasir dengan ukuran butir

    sangat halus hingga medium. Terdapat

    struktur sedimen graded bedding dan

    lower parallel lamination pada beberapa

    perlapisan batupasir.

    3.1.3 Penampang Litologi 3 Secara umum terdapat dua jenis litologi

    yang berkembang pada penampang ini.

    Litologi tersebut adalah batupasir dan

    batulempung menyerpih (shale) (Gambar

    5).Struktur sedimen yang berkembang pa-

    da batupasir adalah parallel lamination,

    flute cast dan climbing ripple-cross lami-

    nation.

    3.1.4 Penampang Litologi 4 Secara umum terdapat dua jenis litologi

    yang berkembang pada penampang ini.

    Litologi tersebut adalah batupasir dan

    breksi sedimen. Breksi sedimen ini

    didominasi oleh matriks (matrix support-

    ed) (Gambar 6).

    Pada bagian atas dari penampang ini

    terdapat batupasir. Struktur sedimen yang

    terbentuk pada batupasir ini adalah

    struktur massive (Gambar 7).

    3.1.5 Penampang Litologi 5 Pada penampang litologi ini, secara umum

    terdapat dua jenis litologi yang berkem-

    bang. Litologi tersebut adalah batupasir

    dan batulanau (siltstone). Penampang ini

    didominasi oleh perlapisan batupasir. Ba-

    tupasir ini juga mengandung urat mineral

    karbonat yang banyak dijumpai pada

    singkapan batuan di lapangan. Kenam-

    pakan urat itu berwarna putih, karbonatan

    dan memanjang mengisi rekahan-rekahan

    yang ada pada singkapan batupasir

    (Gambar 8).

    3.1.6 Penampang Litologi 6 Pada penampang litologi ini berkembang

    jenis litologi batupasir dan tuf (Gambar 9).

    Struktur sedimen yang berkembang pada

    singkapan batuan ini berupa struktur

    sedimen massif dan struktur sedimen

    biogenik berupa fosil jejak (trace fossils)

    Thalassinoides. Fosil jejak ini memiliki

    bentuk tubular panjang dan bercabang-

    cabang. Berwarna cokelat kemerahan dan

    tersebar di salah satu lapisan batupasir.

    3.1.7 Penampang Litologi 7 Penampang litologi ini tersusun atas dua

    jenis litologi yaitu batupasir dan batu-

    lempung lanauan (Gambar 10). Penam-

    pang ini didominasi oleh batupasir. Pada

    beberapa perlapisan batupasir terlihat

  • 5

    struktur sedimen berupa lower parallel

    lamination yang tipis.

    3.1.8 Penampang Litologi 8 Penampang litologi ini tersusun atas dua

    jenis litologi yaitu batupasir dan batulem-

    pung (Gambar 11). Sebagian perlapisan

    batupasir memperlihatkan struktur sedi-

    men berupa lower parallel lamination.

    3.2 Karakteristik Struktur Sedimen

    pada Litologi dan Mekanisme Sedimen-

    tasi

    Berdasarkan pengamatan di lapangan, pe-

    nulis membagi batuan menjadi litologi

    dengan beberapa struktur sedimen yang

    berbeda. Pembagian ini dilakukan berda-

    sarkan ciri-ciri dan karakter secara fisik te-

    rutama struktur sedimen primer dari li-

    tologi yang ada di daerah penelitian. Pe-

    nampakan fisik yang berbeda dari litologi

    ini menunjukkan mekanisme pengendapan

    yang berbeda dan lingkungan yang ber-

    beda pula.

    3.2.1 Litologi Batupasir Massif dengan

    Nodul Karbonatan

    Litologi ini terdapat pada penampang

    litologi 1. Litologi batupasir ini memiliki

    struktur sedimen massif dengan nodul-

    nodul karbonatan di dalamnya. Batupasir

    ini memiliki struktur sedimen massif

    (massive sandstone). Pada tubuh batupasir

    ini juga terlihat banyak cavity yang ke-

    mungkinan adalah merupakan fosil jejak

    galian (burrowing). Karakteristik sedimen

    batupasir massif ini menunjukkan proses

    pengendapan mekanisme arus traksi secara

    bed load. Litologi batupasir massif ini

    ditandai dengan adanya percampuran pada

    endapan secara berturut-turut (amal-

    gamation) dan membentuk lapisan ga-

    bungan (composite beds), Walker (1992).

    3.2.2 Litologi Batulempung Abu-Abu

    Menyerpih (Shale)

    Litologi ini mendominasi kenampakan

    batulempung pada penampang litologi 1, 2

    dan 3. Litologi ini memiliki ciri-ciri

    menyerpih dan kenampakan fissile di la-

    pangan. Karakteristik batulempung ini me-

    nunjukkan proses pengendapan partikel-

    partikel sedimen sangat halus yang

    mengalami suspensi di dalam air dan

    mengendap setelah partikel pasir yang

    memiliki berat jenis lebih besar selesai

    diendapkan. Serpih secara khas dien-

    dapkan pada air yang sangat tenang dan

    sering dijumpai pada endapan danau dan

    lagoonal, endapan delta sungai, pada

    floodplain dan offshore dari pantai yang

    tersusun atas pasir. Shale juga bisa ter-

    endapkan pada continental shelf, secara

    relatif dalam, serta air yang tenang. Setelah

    terendapkan, partikel lempung (clay)

    mengalami kompaksi sehingga clay men-

    jadi keras. Proses tersebut membentuk

    lempung yang telah mengalami kon-

    solidasi dengan kenampakan fisik menyer-

    pih dan fissile (Middleton,1980).

    3.2.3 Litologi Batupasir dengan

    Convolute Lamination

    Litologi ini cukup banyak terlihat pada

    penampang litologi 1. Struktur sedimen

    convolute lamination merupakan salah satu

    jenis soft-sediment deformation structures.

    Mekanisme terbentuknya adalah struktur

    terbentuk pada saat diendapkan atau sesaat

    setelah diendapkan, selama tahap awal dari

    konsolidasi sedimen. Hal ini dikarenakan

    sedimen yang terendapkan memerlukan

    wujud seperti cairan atau belum meng-

    alami konsolidasi (unsolidified) untuk

    membentuk suatu deformasi yang akan

    menghasilkan struktur sedimen berupa

    convolute lamination. Singkapan batuan

    yang memperlihatkan struktur sedimen ini

    juga disebut sebagai water-escape struc-

    tures oleh Lowe (1975).

    3.2.4 Litologi Batupasir dengan Lower

    Parallel Lamination (Sand Laminated)

    Litologi ini muncul di beberapa interval

    penampang litologi 1, 2 dan 3. Laminasi

    berkembang pada sedimen dengan ukuran

    butir yang sangat halus hingga halus.

    Partikel butiran halus turun mengendap,

    hal ini hanya terjadi pada air yang tenang

    (quiet water). Beberapa contoh lingkungan

  • 6

    pengendapan dimana struktur parallel

    lamination bisa terbentuk adalah lantai

    samudera laut dalam, lantai dasar danau

    (lacustrine), tempat dimana naik-turun

    muka air laut terjadi dan menciptakan

    perbedaan siklus dalam suplai sedimen

    (mudflats), Boggs (2006).

    3.2.5 Litologi Batulempung dengan Up-

    per Parallel Lamination (Silt and Mud

    Laminated)

    Litologi ini muncul di beberapa interval

    penampang litologi 1, 2 dan 3. Laminasi

    berkembang pada sedimen dengan ukuran

    butir yang sangat halus. Mekanisme pem-

    bentukannya sama dengan lower parallel

    lamination, yaitu melalui suspensi pada

    larutan (Boggs, 2006). Namun pembeda

    upper parallel lamination adalah tersusun

    atas lamina silt atau mud.

    3.2.6 Litologi Breksi Sedimen Litologi breksi sedimen ini terdapat pada

    penampang litologi 4. Breksi ini memiliki

    kontak dengan batupasir massif. Kontak

    antara breksi sedimen dengan batupasir

    tersebut memiliki kenampakan scour atau

    bergelombang di lapangan. Namun kom-

    ponen pada breksi sedimen ini tidak

    semuanya berbentuk butir menyudut, akan

    tetapi ada sebagian komponen batuan yang

    berbentuk butir membundar, serta breksi

    ini didominasi oleh matriks (matrix

    supported). Oleh karena itu penulis juga

    menginterpretasi breksi ini merupakan

    diacmitite, berdasarkan kenampakannya di

    lapangan. Diamictite paling sering berasal

    dari pengendapan aliran massa di bawah

    laut (submarine mass flows) seperti

    turbidite dan olistostromes dalam area

    tektonik aktif. Aliran ini juga dapat

    diproduksi dalam cakupan yang luas dari

    setiap kondisi formasi geologi. Salah satu

    kemungkinan diendapkannya diamictite ini

    adalah lingkungan pengendapan laut

    (marine), yaitu dalam bentuk aliran debris,

    turbiditic olistostromes dan percampuran

    sedimen dari longsoran bawah laut

    (submarine), Boggs (1992).

    3.2.7 Litologi Batupasir dengan Normal

    Graded Bedding

    Batupasir dengan struktur normal graded

    bedding ditunjukkan oleh penampang

    litologi 1 dan 2. Normal graded bedding

    dicirikan oleh perubahan sistematis ukuran

    butir dari bagian bawah hingga atas lapisan

    (bed), dimana bagian bawah dari bed me-

    miliki ukuran butir yang lebih kasar

    dibandingkan pada bagian atasnya, secara

    berangsur material sedimen berukuran

    butir kasar berubah menjadi material se-

    dimen berukuran butir lebih halus. Meka-

    nisme pengendapannya terjadi pada arus

    yang mengalami penurunan energi saat

    material sedimen diendapkan, namun

    memungkinkan juga terjadi selama peris-

    tiwa pengendapan yang cepat (Boggs,

    2006). Hal ini paling baik ditunjukkan oleh

    strata turbidit yang mengindikasikan ada-

    nya arus kuat terjadi tiba-tiba, mengen-

    dapkan material sedimen yang kasar dan

    berat terlebih dahulu kemudian diikuti oleh

    pengendapan material yang lebih halus

    selama arus melemah. Struktur sedimen ini

    banyak terjadi pada tempat yang memiliki

    kemiringan lereng dan bisa memicu

    pergerakan vertikal yang dipengaruhi oleh

    gaya gravitasi, misalnya pada continental

    shelf dan continental slope menuju ke laut

    dalam.

    3.2.8 Litologi Batupasir dengan Cross

    Lamination

    Litologi ini banyak ditemukan pada

    penampang litologi 1. Cross lamination

    merupakan satuan horizontal yang secara

    internal tersusun atas lapisan-lapisan yang

    memiliki kemiringan atau membentuk

    sudut terhadap sumbu horizontal (Boggs,

    2006). Arah pergerakan dari cross lamina-

    tion dapat menunjukkan arah aliran purba

    atau arah angin (paleocurrent). Material

    sedimen yang diendapkan biasanya mela-

    lui medium yang mengalir, yaitu air atau

    angin. Cross lamination terbentuk di ber-

    bagai lingkungan seperti sungai, tide-

    dominated coastal dan marine setting. Da-

    lam marine setting, cross lamination juga

    bisa terlihat dalam sikuen arus turbidit

  • 7

    Bouma yang termasuk salah satu penciri

    divisi Tc.

    3.2.9 Litologi Batupasir dengan

    Climbing-Ripple Cross Lamination

    Litologi ini banyak terdapat pada penam-

    pang litologi 3. Struktur sedimen ini secara

    mekanisme sama dengan pengendapan

    ripple yaitu mengindikasikan adanya per-

    golakan pada air atau angin baik melalui

    gelombang ataupun arus. Namun hasil

    pengendapan ini akan menghasilkan unsur

    pergerakan vertikal dan pergeseran hori-

    zontal dari puncak ripple (crest). Climbing

    ripple terbentuk saat adanya aliran yang

    mengalami perlambatan berasosiasi

    dengan river floods atau arus turbidit.

    3.2.10 Litologi Batulempung dengan

    Flute Cast

    Litologi ini terdapat di penampang litologi

    3 pada salah satu lapisan batulempung.

    Struktur ini merupakan salah satu bagian

    dari sole mark, ditemukan pada bagian

    bawah strata dengan memperlihatkan alur-

    alur dalam skala kecil. Flute cast meru-

    pakan hasil gerusan kedalam lapisan se-

    dimen yang halus dan lunak yang kemu-

    dian diisi oleh lapisan yang berada di

    atasnya. Sumbu dari struktur ini dapat juga

    dijadikan bahan untuk analisis arah arus

    purba yang terjadi pada saat pengendapan

    (paleocurrent). Flute cast biasanya terben-

    tuk pada mekanisme arus turbidit (Nichols,

    2009).

    3.3 Interpretasi Awal Lingkungan

    Pengendapan

    Selama berada didaerah penelitian, penulis

    tidak menemukan adanya kelimpahan

    fosil-fosil makro pada singkapan batuan.

    Hasil analisis paleontologi mikrofosil yang

    dilakukan dilaboratorium ditemukan fosil-

    fosil mikro berupa foraminifera planktonik

    dan bentonik. Untuk sementara, penulis

    menginterpretasi lingkungan pengendapan

    batuan adalah berupa lingkungan pengen-

    dapan laut (marine) berdasarkan analisis

    foraminifera planktonik dan bentonik.

    Berdasarkan karakteristik struktur sedimen

    primer yang terlihat di lapangan maka

    mekanisme pengendapan sangat bervariasi.

    Paralel laminasi baik laminated sand

    (lower parallel lamination) maupun lamin-

    ated silt and mud (upper parallel lamina-

    tion) mengindikasikan arus yang sangat

    tenang pada saat pengendapan (tranquil)

    atau mekanisme endapan secara suspensi.

    Normal graded bedding mengindikasikan

    mekanisme endapan partikel sedimen pada

    arus turbidit secara bed-load. Cross lami-

    nation mengindikasikan endapan partikel

    sedimen pada arus yang searah khususnya

    pada media pengendapan air dan angin.

    Convolute lamination mengindikasikan

    bentuk endapan yang seperti cairan

    (liquid-like), terjadi pada partikel sedimen

    pasir halus hingga lanauan (silty), memiliki

    kenampakan laminasi yang mengalami

    lipatan (fold) atau overturned, dan sedimen

    yang diendapkan dengan cepat akibat dari

    adanya gangguan. Dari keberadaan aso-

    siasi struktur-struktur sedimen primer yang

    ditemukan di lapangan, maka ditentukan

    mekanisme arus pengendapan yang terjadi

    adalah percampuran antara mekanisme

    arus turbidit dan suspensi pada material

    endapan. Untuk endapan laut (marine),

    lingkungan yang paling mendekati karak-

    teristik tersebut adalah delta dan laut da-

    lam (deep marine) yang berasosiasi

    dengan lereng (slope). Namun untuk me-

    nentukan suatu lingkungan pengendapan

    yang lebih spesifik dibutuhkan analisis

    lebih lanjut. Karena banyak kemungkinan

    suatu endapan bisa diendapkan diberbagai

    lingkungan yang berbeda dengan karak-

    teristik litologi yang hampir sama.

    Fosil-fosil makro berupa cangkang molus-

    ka dan struktur-struktur sedimen berupa

    akar tumbuhan (roots) serta akumulasi

    bahan organik (organic matter) sebagai

    salah satu ciri-ciri pengendapan di ling-

    kungan darat dan transisi tidak ditemukan

    selama melintasi lintasan penelitian. Sing-

    kapan batuan yang terdapat pada daerah

    penelitian juga didominasi oleh per-

    selingan antara batupasir dan batulempung

  • 8

    menyerpih pada bagian selatan dan per-

    lahan berubah menjadi singkapan batuan

    yang didominasi oleh batupasir kearah

    utara. Dari hal ini penulis menduga ada

    perubahan fasies dari arah selatan menuju

    arah utara darerah penelitian. Karakteristik

    fisik berupa struktur sedimen, litologi, dan

    biologi berupa analisis fosil mikro-

    paleontologi menunjukkan karakteristik

    endapan berada di lingkungan laut. Oleh

    karena tidak ditemukannya indikasi en-

    dapan pada lingkungan delta, maka secara

    garis besar lingkungan pengendapan dae-

    rah penelitian diinterpretasikan termasuk

    kedalam lingkungan pengendapan laut

    dalam (deep marine), khususnya pada

    endapan submarine fan dimana arus tur-

    bidit akan meninggalkan struktur sedimen

    seperti yang telah dijelaskan di atas.

    3.4 Pembagian Litofasies

    Kenampakan litologi dengan ciri khas

    struktur sedimen primer dan sekunder

    yang berkembang di lapangan serta per-

    selingan antara batupasir dan batulempung

    serpih memperlihatkan beberapa peru-

    langan perlapisan. Litofasies pada ancient

    submarine fan dapat dibagi menjadi tujuh

    bagian besar berdasarkan ukuran butir,

    kemas dan ketebalan lapisan, serta asosiasi

    dari struktur sedimen pada lapisan batuan

    (beds). Lingkungan yang mengindikasikan

    kipas bawah laut purba dapat direkon-

    struksi dari asosiasi litofasies secara lateral

    dan karakter dari siklus lapisan secara

    vertikal (Normark & Howell, 1982).

    Berdasarkan hasil analisis mikropaleon-

    tologi, fosil-fosil foraminifera yang dite-

    mukan pada sampel batuan di daerah pene-

    litian menunjukkan umur relatif batuan

    diendapkan pada kala Miosen Akhir

    hingga Pliosen Awal. Keseluruhan karak-

    teristik litologi, keberadaan struktur sedi-

    men dan fosil jejak yang ada di lapangan

    disebandingkan dengan karakteristik for-

    masi dari geologi lembar Purwokerto &

    Tegal (1309-3 & 1309-6) skala 1 : 100.000

    oleh Djuri dkk, 1996. Setelah disebanding-

    kan, maka daerah penelitian termasuk ke-

    dalam formasi Halang.

    3.4.1 Litofasies pada penampang litologi 1 (Interval 446,8 579,5 m) Penampang ini tersusun atas litologi

    batupasir dan serpih (shale). Litofasies pa-

    da penampang litologi 1 ini terdiri dari

    beberapa litofasies (ber-dasarkan model

    endapan submarine fan, Mutti & Ricci

    Lucchi, 1972), yaitu lito-fasies B, C dan D.

    Pada composite log tepatnya penampang

    litologi 1 yang berada pada interval 446,8579,5 m memiliki ketebalan kira-kira

    132,7 meter.

    3.4.2 Litofasies pada penampang litologi

    2 (Interval 370,5 394,8 m) Penampang ini tersusun atas litologi

    batupasir dan serpih (shale). Secara umum

    kenampakan lapisan batuan ini adalah

    perselingan antara batupasir dengan serpih

    (shale). Beberapa fasies yang teriden-

    tifikasi di penampang litologi pada interval

    ini adalah B, C, dan D.

    3.4.3 Litofasies pada penampang litologi

    3 (Interval 138,2 226,3 m) Penampang litologi ini disusun oleh per-

    lapisan batupasir dan serpih. Secara kese-

    luruhan kenampakan penampang litologi

    ini adalah perselingan batupasir dan batu-

    lempung serpih, dengan perlapisan batu-

    lempung serpih yang lebih tebal diban-

    dingkan perlapisan batupasir. Beberapa fa-

    sies yang teridentifikasi di penampang

    litologi adalah C dan D, dengan dominasi

    fasies D.

    3.4.4 Litofasies pada penampang litologi

    4 (Interval 0 56,2 m) Penampang litologi 4 ini tersusun oleh

    breksi sedimen dan juga batupasir massif.

    Penampang litologi ini dimasukkan ke-

    dalam fasies B dan F berdasarkan karak-

    teristik endapannya.

  • 9

    3.5 Asosiasi Litofasies

    Untuk menginterpretasi suatu fasies dari

    sebuah singkapan batuan maka analisis

    harus disertai oleh data yang mencer-

    minkan urutan-urutan fasies tersebut se-

    cara vertikal. Dalam urutan-urutan fasies

    pengendapan sering ditemukan kelompok

    fasies yang membentuk asosiasi fasies

    (facies association) yang mencerminkan

    lingkungan pengendapannya. Asosiasi fa-

    sies itu akan melingkupi gabungan dari

    beberapa fasies yang secara umum

    diendapkan dalam lingkungan pengen-

    dapan besar (broad) yang sama, dimana

    kemungkinan adanya perbedaan mekanis-

    me pengendapan dan fluktuasi muka air

    laut bisa terjadi.

    3.5.1 Asosiasi Litofasies Penampang

    Litologi 1 (Interval 446,8 579,5 m) Secara keseluruhan dimulai dari interval

    446,8 531,3 m, dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian besar berdasarkan

    asosiasi fasies turbidit yang dikembangkan

    oleh penelitian ancient submarine fan

    sebelumnya (Walker, 1978), yaitu ter-

    masuk kedalam Classical Turbidite (C.T.)

    dan Massive Sandstone (M.S.) (Gambar

    12). Sedangkan pada interval 531,3 579,5 m juga dibagi menjadi dua bagian

    besar asosiasi fasies turbidit (Walker,

    1978), yaitu Clasiccal Turbidite (C.T.) dan

    Massive Sandstone (M.S.) (Gambar 13).

    3.5.2 Asosiasi Litofasies Penampang Litologi 2 (Interval 370,5 394,8 m) Secara keseluruhan dimulai dari interval

    370,5 394,8 m, asosiasi litofasies dibagi menjadi dua bagian asosiasi fasies turbidit

    (Walker, 1978), yaitu Clasiccal Turbidite

    (C.T.) dan Massive Sandstone (M.S.).

    Penampang litologi 2 ini didominasi oleh

    asosiasi litofasies berupa Classical Tur-

    bidite (C.T.). Pada bagian atas penampang

    ini ditandai dengan perselingan batulem-

    pung serpih (shale) yang tebal dengan

    batupasir yang tipis (Gambar 14).

    3.5.3 Asosiasi Litofasies Penampang Litologi 2 (Interval 370,5 394,8 m) Kenampakan secara keseluruhan pada

    interval 138,2 226,3 m, dapat diklasifi-

    kasikan kedalam asosiasi fasies turbidit

    yang dikembangkan oleh Walker, 1978.

    Interval ini termasuk kedalam Classical

    Turbidite (C.T). Dimana Classical Tur-

    bidite disini memperlihatkan perselingan

    antara batupasir sangat halus hingga halus

    dengan serpih (shale). Kenampakan di

    lapangan menunjukkan ketebalan lapisan

    (beds) didominasi oleh serpih yang tebal

    (Gambar 15 dan Gambar 16).

    3.5.4 Asosiasi Litofasies Penampang

    Litologi 4 (Interval 0 56,2 m) Kenampakan secara keseluruhan pada in-

    terval 0 56,2 m, memperlihatkan asosiasi fasies turbidit berupa Debris Flow (D.F.)

    dan Massive Sandstone (M.S.) (Gambar

    17). Debris flow ini dicirikan oleh breksi

    sedimen yang memiliki pemilahan buruk.

    Kemu-dian massive sandstone dicirikan

    oleh keberadaan batupasir yang massif

    tidak menunjukkan adanya perselingan

    dengan serpih ataupun lempung. Kedua

    litologi ini dibatasi oleh batas scouring di

    lapangan (Gambar 7).

    3.5.5 Asosiasi Litofasies Penampang

    Litologi 5, 6, 7 dan 8

    Penampang litologi 5, 6, 7 dan 8 ini berada

    disebelah utara penampang litologi 1, 2, 3,

    dan 4, dimana pada penampang litologi 1,

    2, 3 didominasi oleh perselingan batupasir

    dengan batulempung menyerpih (shale),

    litologi 4 disusun atas breksi sedimen dan

    batupasir massif, sedangkan pada penam-

    pang litologi 5, 6, 7 dan 8 lebih didominasi

    oleh batupasir massif. Sulit untuk mem-

    bagi penampang litologi 5, 6, 7 dan 8

    menjadi asosiasi fasies karena lapisan

    litologi yang hampir seragam dan kebe-

    radaan struktur sedimen yang kurang

    melimpah. Namun jika dimasukkan keda-

    lam litofasies pengendapan laut maka pe-

  • 10

    nampang litologi 5, 7 dan 8 adalah

    Massive Sandstone (M.S).

    Namun pada penampang litologi 6 dite-

    mukan struktur sedimen biogenik insitu

    berupa fosil jejak Thalassinoides. Jejak ini

    sangat melimpah di salah satu lapisan

    batupasir ukuran butir medium berwarna

    cokelat pada singkapan dengan ciri-ciri

    bentuknya bercabang-cabang seperti ta-

    bung dengan diameter mencapai 4 cm.

    Dengan keberadaan fosil jejak

    Thalassinoides ini, maka penulis mengin-

    terpretasikan lingkungan saat diendap-

    kannya lapisan batuan yang mengandung

    fosil jejak ini dengan ichnofacies. Skema

    lingkungan bathimetri pengendapan laut

    berdasarkan skema ichnofasies (Gambar

    18) menunjukkan Thalassinoides terdapat

    pada bagian sublittoral zone.

    3.6 Fasies Lingkungan Pengendapan

    Fasies adalah tubuh batuan dengan karak-

    teristik yang khusus serta mencerminkan

    kondisi dimana endapan sedimen dari

    batuan tersebut terbentuk (Reading &

    Levell 1996). Untuk menggambarkan fa-

    sies dari tubuh sedimen harus meng-

    ikutsertakan karakteristik litologi, tekstur,

    struktur sedimen dan kandungan fosil yang

    bisa membantu untuk menentukan proses

    dari pembentukan formasi seperti yang

    telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan

    asosiasi litofasies yang telah dijelaskan di

    atas, maka penulis membagi fasies seperti

    yang dijelaskan sebagai berikut.

    3.6.1 Fasies Penampang Litologi 1

    (Interval 446,8 579,5 m) Jika diklasifikasikan lagi menurut hipotesa

    submarine fan sequence yang dikembang-

    kan oleh Walker (1978), maka sikuen ini

    diinterpretasikan kedalam fasies suprafan

    lobes on mid fan di dalam sub-bagian

    smooth portion of suprafan lobes, dengan

    ciri-ciri keberadaan asosiasi Massive

    Sandstone (M.S.) dan Classical Turbidite

    (C.T.) dengan trend sikuen ideal

    coarsening upward (C.U.). Oleh karena

    itu, pada interval ini diinterpretasikan

    fasies lingkungan pengendapannya adalah

    kipas bawah laut bagian tengah (mid

    submarine fan).

    Sedangkan berdasarkan asosiasi fasies

    turbidit dan lingkungan sedimentasi relatif

    (Mutti and Ricci Lucchi, 1972), maka

    interval ini termasuk kedalam bagian kipas

    atau cekungan proksimal bagian tengah

    (middle). Oleh karena itu, secara keselu-

    ruhan interval ini diinterpretasikan masih

    masuk kedalam fasies kipas bawah laut

    bagian tengah (mid submarine fan).

    3.6.2 Fasies Penampang Litologi 2

    (Interval 370,5 394,8 m) Interpretasi lingkungan pengendapan dari

    keberadaan asosiasi fasies ini adalah masih

    didalam suprafan lobes on mid fan di da-

    lam sub-bagian smooth portion of suprafan

    lobes (Walker, 1978). Sedangkan berdasar-

    kan asosiasi fasies turbidit dan lingkungan

    sedimentasi relatif (Mutti and Ricci

    Lucchi, 1972), maka interval ini termasuk

    kedalam bagian fasies kipas atau cekungan

    proksimal bagian tengah (middle). Oleh

    karena itu, secara keseluruhan interval ini

    diinterpretasikan masih masuk kedalam

    fasies kipas bawah laut bagian tengah (mid

    submarine fan).

    3.6.3 Fasies Penampang Litologi 3

    (Interval 138,2 226,3 m) Jika diklasifikasikan lagi berdasarkan

    hipotesa submarine fan sequence yang

    dikembangkan oleh Walker (1978), maka

    sikuen ini diinterpretasikan kedalam

    suprafan lobes on mid fan di dalam sub-

    bagian smooth portion of suprafan lobes,

    dengan ciri-ciri keberadaan Classical

    Turbidite (C.T.) yang didominasi oleh

    batulempung serpih diselingi oleh lapisan

    tipis batupasir dengan trend sikuen ideal

    coarsening upward (C.U.). Sedangkan ber-

    dasarkan asosiasi fasies turbidit dan

    lingkungan sedimentasi relatif (Mutti and

    Ricci Lucchi, 1972), maka interval ini

    termasuk kedalam bagian fasies kipas atau

    cekungan proksimal bagian tengah (mid).

    Namun fasies ini sangat didominasi oleh

  • 11

    perlapisan shale yang tebal. Oleh karena

    itu, secara keseluruhan pada interval ini

    diinterpretasikan lingkungan pengendapan-

    nya adalah fasies kipas bawah laut bagian

    tengah (mid submarine fan) namun dekat

    dengan kipas bagian luar (outer fan).

    3.6.4 Fasies Penampang Litologi 4

    (Interval 0 56,2 m) Berdasarkan sikuen kipas bawah laut

    (Walker, 1978), maka asosiasi fasies ini

    diinterpretasikan kedalam inner fan

    channel fill hingga bagian dari suprafan

    lobes on mid fan, lebih detailnya pada

    bagian channeled portion of suprafan

    lobes. Berdasarkan asosiasi fasies turbidit

    dan lingkungan sedimentasi relatif (Mutti

    and Ricci Lucchi, 1972), maka interval ini

    termasuk kedalam bagian lereng (slope).

    3.7 Lingkungan Pengendapan

    Berdasarkan analisis penampang stratigrafi

    terukur (measured section) yang telah

    dilakukan di lapangan, maka dihasilkan

    empat litofasies yaitu B, C, D dan F

    (berdasarkan model endapan submarine

    fan, Mutti & Ricci Lucchi, 1972). Dari

    keempat litofasies tersebut, dihasilkan tiga

    asosiasi litofasies yaitu Classical Turbidit,

    Massive Sandstone dan Debris Flow

    (Walker, 1978). Kemudian asosiasi lito-

    fasies tersebut dianalisis secara vertikal

    dan dihasilkan dua fasies berupa kipas

    bawah laut bagian dalam (Submarine-

    Inner Fan) atau isi dari saluran (Channel

    Fill) pada bagian bawah lereng bawah laut,

    serta kipas bawah laut bagian tengah

    (Submarine-Mid Fan), Walker, 1978. Oleh

    karena itu maka secara keseluruhan

    analisis, penulis menginterpretasikan ling-

    kungan pengendapan daerah penelitian

    adalah laut dalam (deep marine environ-

    ment), tepatnya diendapkan pada bagian

    kipas bawah laut (submarine fan).

    3.8 Analisis Arah Arus Purba (Palaeo-

    current)

    Analisis arus purba pada daerah penelitian

    dilakukan pada penampang litologi 3. Se-

    telah diukur dengan menggunakan kom-

    pas, maka didapatkan arah perlapisan per-

    selingan batulempung dan batupasir

    N86oE/61

    o. Pada salah lapisan batulem-

    pung (mud) terdapat kenampakan struktur

    sedimen sekunder berupa flute cast. Secara

    keseluruhan, sangat sulit untuk menen-

    tukan arah (azimuth) serta pangkal dan

    ujung dari sumbu flute cast tersebut,

    karena sudah banyak mengalami erosi.

    Namun disuatu tempat terlihat flute cast

    yang sumbu memanjangnya berada sekitar

    32o

    dari horizontal (rake) di atas per-

    mukaan lapisan batulempung. Karena

    keberadaan data yang kurang baik tersing-

    kap, maka penulis mengasumsikan rata-

    rata flute cast rake dari data yang terlihat

    adalah 32 o

    dari beberapa sumbu flute cast

    yang dihitung sudutnya terhadap garis

    horizontal. Untuk menentukan arah peng-

    endapan material pada saat diendapkan,

    harus dilakukan restorasi arah dari

    indikator-indikator struktur sedimen yang

    bisa menunjukkan arah pengendapan.

    Salah satunya adalah scour mark atau

    salah satu dari bagiannya adalah flute cast.

    Sumbu memanjang dari flute cast bisa

    memberikan informasi arah pengendapan

    pada masa terbentuknya lapisan yang ada

    di bawahnya.

    Namun dari hasil pengukuran stratigrafi

    terukur (measured section) yang dilakukan

    di lokasi penelitian menunjukkan dise-

    panjang sungai Tajum semakin ke utara

    semakin didominasi oleh batupasir dengan

    ukuran butir yang lebih kasar, sedangkan

    semakin ke selatan semakin didominasi

    oleh batulempung, meskipun masih dida-

    patkan perselingan batupasir yang tipis.

    Oleh karena itu berdasarkan data rekon-

    struksi arus purba yang terjadi saat flute

    cast diendapkan didukung oleh kenam-

    pakan dominasi batupasir disebelah utara

    dan dominasi batulempung disebelah

    selatan, maka penulis menginterpretasikan

    arah arus pengendapan dari arah Baratlaut

    (azimuth sekitar N118oE dari arah utara

    berdasarkan data rekonstruksi arah arus

    purba dengan indikator flute cast) dengan

  • 12

    asumsi perlapisan belum mengalami rotasi

    akibat adanya struktur geologi.

    3.9 Siklus Sedimentasi dan Sejarah

    Pengendapan Interpretatif

    Berdasarkan analisis yang telah dilakukan

    berupa analisis mikropaleontologi dan

    analisis fasies pada penampang litologi,

    maka pada saat pengendapan daerah

    penelitian merupakan sebuah laut. Lebih

    tepatnya lingkungan yang berasosiasi

    dengan lereng bawah laut dan laut bagian

    dalam (Gambar 19).

    Dari asosiasi litofasies yang teridentifikasi,

    ditentukan pada awalnya material sedimen

    berupa longsoran terjadi pada lereng

    (slope) yang disebabkan oleh adanya

    gangguan kemungkinan oleh tektonik atau

    ketidakstabilan beban pada lereng (slope

    failure). Longsoran yang terjadi berupa

    aliran debris dan rotational slide/slumping.

    Hal ini ditunjukkan oleh endapan breksi

    sedimen dan endapan perlapisan batupasir

    yang mengalami lipatan (folded) didalam

    breksi sedimen. Setelah itu, permukaan air

    laut naik atau mengalami transgresi.

    Material sedimen berupa massive sand-

    stone diendapkan dibagian bawah dari

    slope yaitu pada inner fan atau bisa

    diinterpretasikan juga sebagai pengisi dari

    saluran (channel fill) pada lingkungan

    lereng sebelah bawah menuju bagian

    dalam kipas bawah laut (inner fan).

    Setelah itu permukaan air laut mengalami

    transgresi lagi sehingga garis pantai sema-

    kin mundur kearah daratan. Pergerakan

    muka air laut ini mempengaruhi pengen-

    dapan material sedimen, sehingga batas

    fasies pengendapan ikut berubah dan

    mengalami retrogradasi. Selanjutnya ter-

    jadi pengendapan material sedimen seperti

    awal, namun diendapkan pada fasies yang

    berbeda yaitu bagian tengah kipas bawah

    laut (mid fan) menuju kearah bagian luar

    kipas bawah laut (outer fan), hal ini

    ditunjukkan oleh perselingan batulempung

    serpih (shale) dan batupasir. Dominasi

    oleh batulempung menyerpih dengan rasio

    ketebalan shale lebih tinggi daripada

    ketebalan batupasir. Setelah itu permukaan

    air laut mengalami penurunan atau regresi,

    sehingga batas fasies pengendapan pun

    mengalami progradasi. Hasilnya berupa

    endapan perselingan batulempung menyer-

    pih (shale) dengan batupasir. Rasio kete-

    balan batulempung menyerpih/batupasir

    masih tinggi, dengan kata lain masih

    didominasi oleh batulempung menyerpih

    (shale). Namun rasio ketebalan serpih/ba-

    tupasir lebih rendah dibandingkan dengan

    rasio serpih/batupasir perlapisan berfasies

    kipas bagian tengah (mid fan) yang ada di

    bawahnya (semakin tinggi rasio Shale/ sandstone maka fasiesnya diinterpreta-

    sikan semakin dekat kearah basin plain,

    dimana pada basin plain didominasi oleh

    material halus yang akan berubah menjadi

    perlapisan-perlapisan batulempung yang

    tebal).

    Berdasarkan analisis yang dilakukan maka,

    daerah penelitian memiliki tiga siklus

    pengendapan secara besar, yaitu awalnya

    diendapkan aliran debris pada lereng,

    kemudian permukaan air laut mengalami

    transgresi, setelah itu diendapkan batupasir

    massif pada bagian bawah lereng

    berasosiasi dengan slope bagian bawah

    atau dekat dengan inner fan, dilanjutkan

    lagi dengan transgresi, lalu diendapkan

    perselingan batupasir dan batulempung

    menyerpih pada bagian mid fan menuju ke

    outer fan. Pada akhirnya permukaan air

    laut mengalami regresi. Diendapkan

    perselingan batupasir dengan batulempung

    menyerpih, dengan rasio ketebalan shale/

    sandstone yang lebih rendah dibandingkan

    dengan rasio perlapisan shale/sandstone

    yang ada di bawahnya.

    4. KESIMPULAN DAN SARAN

    4.1 Kesimpulan

    1. Struktur-struktur sedimen yang terdapat

    di lapangan berupa massive sandstone,

    graded bedding, upper parallel lamina-

    tion, lower parallel lamination, cross

    lamination, climbing- ripple cross lami-

    nation, dan convolute lamination yang

  • 13

    menggambarkan media pengendapan

    berupa air.

    2. Litofasies yang teridentifikasi dari

    analisis penampang litologi terukur

    (measured section) adalah B, C, D, dan

    F (berdasarkan endapan submarine fan

    Mutti & Ricci Lucchi, 1972) dan

    Classical Turbidite (C.T.), Massive

    Sandstone (M.S.) dan Debris Flow

    (D.F.), (berdasarkan fasies turbidit

    Walker, 1978).

    3. Satuan litologi batupasir di daerah

    penelitian Ajibarang diendapkan pada

    sistem kipas bawahlaut (submarine fan)

    dengan fasies berupa Mid-fan Suprafan

    lobes dan Slope hingga Upper-fan yang

    merupakan hasil pengendapan laut

    dalam (deep marine) dengan sistem

    pengendapan arus turbidit dan aliran

    debris.

    4. Secara keseluruhan, berdasarkan ana-

    lisis struktur-struktur sedimen pada

    singkapan batuan, analisis mikrofosil,

    analisis litofasies dan asosiasi litofasies

    perlapisan batuan, maka penulis meng-

    interpretasikan lingkungan pengendap-

    an batupasir di daerah penelitian berupa

    laut dalam dengan sistem pengendapan

    kipas bawah laut.

    5. Arah pengendapan material sedimen

    berdasarkan analisis paleocurrent yaitu

    berupa restorasi arah sumbu struktur

    sedimen sekunder flute cast pada

    perlapisan batuan yang menunjukkan

    nilai azimuth sumbu memanjang yang

    bernilai N118oE dengan arah pengen-

    dapan dari Baratlaut menuju ke arah

    Tenggara.

    4.2 Saran

    1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut

    dengan mengambil data-data singkapan

    perlapisan batuan yang lebih lengkap,

    dan menjadikan penelitian ini sebagai

    bahan literatur untuk bisa mengem-

    bangkan dan melengkapi penelitian

    mengenai lingkungan pengendapan atau

    pokok kajian yang berhubungan dengan

    keadaan geologi di daerah penelitian.

    2. Karena ada kemungkinan untuk pene-

    litian selanjutnya, singkapan-singkapan

    yang ada bisa dihubungkan dengan

    petroleum system. Seperti batulempung

    atau shale yang tebal bisa menjadi

    batuan penudung (seal) yang baik.

    Singkapan-singkapan dengan sistem

    pengendapan berupa aliran debris yang

    ada pada daerah penelitian juga bisa

    diteliti lebih lanjut permeabilitasnya,

    sehingga penelitian bisa dikaitkan

    dengan kualitas breksi atau batupasir

    sebagai reservoir.

    3. Untuk kajian khusus lainnya yang

    berhubungan dengan arah arus purba,

    kemungkinan banyak struktur sedimen

    yang akan ditemukan, terutama struktur

    sedimen yang bisa digunakan sebagai

    indikator arah arus, sehingga bisa mem-

    bantu peneliti di dalam menganalisis

    arah arus purba (paleocurrent). Hal ini

    juga bisa dikaitkan dengan sejarah

    pengendapan material sedimen pada

    saat diendapkan dengan asumsi perla-

    pisan batuan belum mengalami rotasi

    akibat struktur geologi.

    4. Lokasi penelitian bisa digunakan seba-

    gai tempat untuk observasi bahan bela-

    jar sedimentologi terutama mengenai

    sistem pengendapan dan struktur sedi-

    men yang berkembang di lingkungan

    laut.

    5. DAFTAR PUSTAKA

    Arif, A. F., 2008. Petunjuk Penulisan

    Laporan Kerja Lapangan, Usulan

    Penelitian dan Skripsi. Universitas

    Padjadjaran Fakultas Teknik Geologi,

    Jatinangor.

    Barker, R.W., 1960. Taxonomic Notes,

    Spec. Publ. Soc. Econ. Paleont. Miner.,

    Tulsa.

  • 14

    Boggs, S., 2006. Principles of

    Sedimentology and Stratigraphy 4 th

    Ed., Pearson Education, Inc. US.

    Bolli Hans M.; Saunders, John B., 1985.

    Plankton Stratigraphy. Cambridge

    University Press.

    Bouma, A., 1962. Sedimentology of Some

    Flysch Deposits. Elsevier, Amsterdam,

    168pp.

    Coe, Angela L., 2010. Geological Field

    Techniques. Willey-Blackwell

    Publishing, Association with The Open

    University, Walton Hall, Milton

    Keynes, United Kingdom.

    Djuri, M., Samodra, H., Amin, T.C., dan

    Gafoer, S., 1996. Geological Map of

    The Purwokerto and Tegal

    Quadrangles, Java, scale 1 : 100.000.

    Geological Research and Development

    Center, Bandung.

    Ekdale, A.A., Bromley, R.G., Pemberton,

    S.G., 1984. ICHNOLOGY, The Use of

    Trace Fossils in Sedimentology and

    Stratigraphy. Society of Economic

    Paleontologists and Mineralogists

    Tulsa, Oklahoma.

    Howell, D. G., and Normark, W. R., 1982.

    Sedimentology of Submarine Fans, in

    Scholle, P. A., and Spearing, D. R.,

    eds., Sandstone depositional

    environments, 31 of AAPG Memoirs:

    Tulsa, OK, AAPG, p. 365-404.

    Kamtono dan Praptisih, 2011. Fasies

    Turbidit Formasi Halang di Daerah

    Ajibarang, Jawa Tengah, Jurnal

    Geologi Indonesia, Vol. 6 No. 1 Maret

    2011 : 13 - 27. Pusat Geoteknologi LIPI, Kompleks LIPI, Jln. Sangkuriang,

    Bandung.

    Koesoemadinata, R.P., 1982. Prinsip-

    prinsip Sedimentasi. ITB, Bandung.

    Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996.

    Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli

    Geologi Indonesia, 14 h.

    Krumbein, W.C. and Sloss, L.L., 1963.

    Stratigraphy and Sedimentation, 2nd,

    Ed, W.H. Freeman, San Fransisco.

    Mutti, E. and Davoli, G., 1992. Turbidite

    Sandstones, - AGIP, Istituto di

    geologia, Universit di Parma

    Mutti, E., and Ricci Lucchi, F., 1972.

    Turbidite of The Northern Apennines:

    Introduction to facies analysis (English

    translation by T. H. Nilsen, 1978):

    International Geology Review, v. 20,

    p.125-166.

    Nichols, G., 2009. Sedimentology and

    Stratigraphy 2th

    Ed., Willey-Blackwell

    Publishing, United Kingdom.

    Normark, W. R., 1978. Fan Valleys,

    Channels, and Depositional Lobes on

    Modern Submarine Fans: Characters

    for Recognition of Sandy Turbidite

    Environments: Am. Assoc. Petroleum

    Geologists Bull., v. 62, p. 912-931.

    Phleger, Fred; Parker L. Frances, 1951.

    Foraminifera Species, Part II, Scripps

    Institution of Oceanography, La Jolla,

    California.

    Plint, A.G., 1995. Sedimentary Facies

    Analysis, Special Publication Number

    22 of the International Association of

    Sedimentologist. Blackwell Science

    Ltd. London.

    Reading, H.G. and Levell, B.K., 1996.

    Facies and Sequence. In Reading, H.G.

    (editor), Sedimentary environments

    processes, facies and stratigraphy, Third

    Edition, Blackwell Sci.

    Reineck, H.E, & Singh, I.B., 1980.

    Depositional Sedimentary Environment.

    Springer- Verlag, Berlin, 549p.

  • 15

    Scholle, P.A. & Spearing, D. Sandstone

    Depositional Environment. AAPG

    Memoir 31. The American Association

    of Petroleum Geologists Tulsa,

    Oklahoma 74101, USA.

    Selley, R.C., 2000. Applied Sedimentology

    2nd

    Ed., Academic Press, San Diego,

    California, USA.

    Tucker, M., 1982. The Field Description

    of Sedimentary Rocks. John Wiley &

    Sons. 111pp.

    Walker, R.G. and E. Mutti, 1973.

    Turbidite Facies and Facies

    Associations in G. V. Middleton, and A.

    H. Bouma, eds., Turbidites and deep-

    water sedimentation: SEPM Pacific

    Sec, p. 119-157.

    Walker, R.G., & James, N.P., 1992. Facies

    Models, Response to Sea Level Change.

    Geological Association of Canada,

    409p.

    Walker, R.G., 1976. Facies Models

    Turbidites and Associated Coarse

    Clastic Deposits. Geoscience Canada,

    Volume 3, Number 1. Department of

    Geology McMaster University

    Hamilfon.

    Walker, R.G., 1978. Deep Water Sand

    Facies and Ancient Submarine Fans,

    Model For Exploration Stratigraphic

    Trap, AAPG.

  • 16

    LAMPIRAN GAMBAR

    Gambar 1. Lokasi pengamatan litologi se-

    kitar sungai Tajum

    Gambar 2. Sturktur-struktur sedimen yang

    berkembang pada lokasi penampang lito-

    logi 1

    Gambar 3. Singkapan batupasir massif

    dengan nodul-nodul karbonatan pada

    penampang litologi 1

    Gambar 4. Singkapan perselingan batu-

    pasir dengan batulempung menyerpih pada

    penampang litologi 2

    Gambar 5. Singkapan perselingan batu-

    pasir dengan batulempung menyerpih (di-

    dominasi oleh batulempung menyerpih)

    pada penampang litologi 3

    Gambar 6. Singkapan breksi sedimen

    dengan matrix supported pada penampang

    litologi 4

  • 17

    Gambar 7. Singkapan breksi sedimen

    dengan batupasir yang memperlihatkan

    kontak berupa scouring pada penampang

    litologi 4

    Gambar 8. Singkapan batupasir dengan

    batulanau pada penampang litologi 5

    Gambar 9. Singkapan batupasir dengan tuf

    pada penampang litologi 6

    Gambar 10. Singkapan batupasir dengan

    batulempung lanauan pada penampang

    litologi 7

    Gambar 11. Singkapan batupasir dengan

    batulempung pada penampang litologi 8

    Gambar 12. Asosiasi Litofasies Penam-

    pang Litologi 1 (Interval 446,8 579,5 m)

  • 18

    Gambar 13. Sambungan asosiasi Litofasies

    Penampang Litologi 1 (Interval 446,8

    579,5 m)

    Gambar 14. Asosiasi Litofasies Penam-

    pang Litologi 2 (Interval 370,5 394,8 m)

    Gambar 15. Asosiasi Litofasies Penam-

    pang Litologi 3 (Interval 138,2 226,3 m)

    Gambar 16. Sambungan asosiasi Litofasies

    Penampang Litologi 3 (Interval 138,2

    226,3 m)

  • 19

    Gambar 17. Asosiasi Litofasies Penam-

    pang Litologi 4 (Interval 0 56,2 m)

    Gambar 18. Skema yang memperlihatkan

    ichnofacies laut yang biasa ditemukan

    (Modified after Crimes, 1975, didalam bu-

    ku The Use of Trace Fossils in Sedimen-

    tology and Stratigraphy by Bromley, 1984

    halaman 187)

    Gambar 19. Model interpretatif sejarah

    pengendapan yang dipengaruhi oleh peru-

    bahan permukaan air laut