studi analisis terhadap ketentuan khi pasal 153...
TRANSCRIPT
STUDI ANALISIS TERHADAP KETENTUAN KHI
PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI
PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA
MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI
Skripsi
Disusun untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Syari‟ah
Oleh :
ABDUL GHOFUR
072111008
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
3
4
Deklarasi
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau
diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain,
kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang,
Deklarator,
Abdul Ghofur
5
Abstrak
Iddah adalah suatu masa yang mengharuskan perempuan yang telah
diceraikan suaminya, baik cerai mati atau cerai hidup, untuk menunggu sehingga
dapat diyakinkan bahwa dalam rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan.
Itulah sebabnya ia diharuskan menunggu dalam masa yang ditentukan. iddah
telah dijelaskan secara eksplisit oleh nash al-Qur‟an maupun Sunnah. Akan tetapi
ketika iddah tersebut dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti
seorang perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena
menyusui, maka iddah tersebut menjadi sebuah masalah yang membutuhkan
pengkajian secara cermat.
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1).Bagaimana
perhitungan iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah
karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam dan 2).Apa dasar hukum iddah
perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui
dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dalam menyelesaikan permasalahan ini, penulis melakukan penelitian
secara kualitatif dengan mengumpulkan data-data kepustakaan atau disebut
dengan istilah library research. Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan
analisis yang bersifat “diskriptif” yang berusaha menggambarkan mengenai
masalah tersebut. Metode ini digunakan untuk memahami ketentuan iddah bagi
perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui
dalam KHI pasal 153 ayat (5) dan dasar hukumnya.
Hasil dari penelitian yang penulis lakukan adalah: pertama, Perempuan
yang sedang menyusui, kaitannya dengan masalah iddah, ia dianalogikan sebagai
wanita yang berpenyakit. Bukan berarti susu itu adalah penyakit. Akan tetapi,
menyusui yang mengakibatkan berhentinya haid itulah yang menjadikan wanita
ini disamakan dengan wanita yang memiliki penyakit (illat). Kedua, Dalam KHI
Pasal 153 ayat (5) mengandung ketentuan bahwa jika wanita yang haidnya
berhenti karena menyusui atau sebab penyakit itu telah mencapai usia menopause,
maka beriddah tiga bulan. Meski hal ini tidak dijelaskan langsung secara
eksplisit. Ketentuan iddah yang tertuang dalam KHI Pasal 153 ayat (5) berdasar
pada pendapat ulama yang bermazhab Syafi‟i yaitu Syaikh Sulaiman.
6
MOTO
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru”.1
1 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,
Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008, hlm. 36
7
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati skripsi ini penulis persembahkan kepada :
Bapak dan Ibu tercinta, kakak-kakaku dan keponakan-keponakanku atas kasih
sayang serta do‟anya dan atas segala dukungan yang diberikan, baik secara moril
maupun materil dengan tulus ikhlas demi kesuksesan saya ini.
Keluarga besar PP Al-Ma‟rufiyyah khususnya Abah Yai Abbas Masrukhin dan
keluarga, para ustadz khusunya Bpk Nadzir yang tanpa pamrih selalu memberikan
ilmu-ilmu dan nasehat sirrinya, kawan-kawan senasib seperjuangan; (kang Huda
yamg slalu memberikan suport serta bimbinganya), kang zudin, kang yusro, kang
qomar, kang hikam, kang yanto, kang Kharis dan semuanya yang tak mungkin
disebutkan satu per satu.
Para Bapak dan Ibu dosen IAIN Walisongo yang membimbing penulis hingga
menjadi mahasiswa yang berkarakter.
8
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur atas segala kasih sayang-Nya yang
telah melimpahkan karunia yang sangat besar, sehingga penulis bisa menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam penulis sanjungkan kepada beliau Baginda Nabi
Muhammad SAW, semoga diakui sebagai umatnya yang setia hingga hari akhir nanti.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis mendapat bantuan, petunjuk dan
bimbingan dari berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag, selaku Rektor IAIN Walisongo Semarang.
2. Bapak Dr. H. Imam Yahya, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN
Walisongo Semarang yang telah memberi izin penulis untuk membahas dan
mengkaji permasalahan ini.
3. Bapak Drs. Taufik, M.H. dan Bapak Muhammad Shoim, S.Ag., M.H. selaku
pembimbing I dan II yang telah banyak membantu, dengan meluangkan waktu
dan tenaganya yang sangat berharga semata-mata demi mengarahkan dan
membimbing penulis selama penyusunan skripsi ini.
4. Ketua Jurusan, Sekjur Hukum Perdata Islam serta Stafnya kami sampaikan terima
kasih.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari‟ah khusunya Ibu
Dra. Hj. Siti Amanah, M.Ag. selaku dosen wali dan karyawan dan karyawati di
lingkungan Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang yang telah mengajarkan
9
ilmunya dengan ikhlas kepada penulis selama belajar di Fakultas Syari‟ah IAIN
Walisongo Semarang.
6. Bapak Sugiyanto dan Ibu Supriyati yang dengan tulus dan sabar memberikan
dukungan dan do‟a restu, hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas
Syari‟ah IAIN Walisongo Semarang.
7. Pengasuh PP Al-Ma‟rufiyyah, KH. Abbas Masrukhin beserta keluarga dan
segenap dewan Asatidz PP Al-Ma‟rufiyyah.
8. Dan semua pihak yang tak bisa penulis sebut satu-persatu yang telah membantu
terselesaikannya skripsi ini sesuai dengan kemampuan mereka.
Atas semua kebaikan yang telah diberikan, penulis tiada dapat membalas jasa
kalian, hanya mampu berharap dengan do‟a, semoga Allah SWT menerima sebagai
amal kebaikan dan membalasnya dengan balasan yang lebih baik.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri semoga skripsi ini
dapat menambah khazanah keilmuan dan semoga dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis dan pembaca pada umumnya.
Semarang,
Penulis,
Abdul Ghofur
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iii
HALAMAN DEKLARASI ....................................................................................... iv
HALAMAN ABSTRAK ........................................................................................... v
HALAMAN MOTTO .............................................................................................. vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. viii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 7
E. Telaah Pustaka ................................................................................ 8
F. Metode Penelitian ............................................................................ 9
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH
A. Iddah ............................................................................................... 14
1. Pengertian Iddah ........................................................................ 14
2. Dasar Hukum Iddah .................................................................. 16
3. Macam-macam Iddah ................................................................ 19
4. Hak dan kewajiban Wanita Ketika Beriddah ............................ 21
5. Hikmah dan Tujuan Iddah ......................................................... 27
6. Perhitungan Iddah Menurut Para Ulama ................................... 27
11
B. Perhitungan Iddah Bagi Istri Yang Pernah Haid Sedang Pada
Waktu Menjalani Iddah Tidak Haid Karena Menyusui ................... 33
BAB III : STUDI ANALISIS TERHADAP KETENTUAN KHI PASAL 153
AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG
BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH
KARENA MENYUSUI
A. Sekilas Pandangan Tentang Kompilasi Hukum Islam ..................... 36
1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam ........................................ 37
2. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam .......................... 39
3. Landasan dan Sistematika Kompilasi Hukum Islam ............... 52
B. Perhitungan Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika
Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi
Hukum Islam ................................................................................... 57
C. Dasar Hukum iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika
Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi
Hukum Islam ................................................................................... 60
BAB IV : STUDI ANALISIS TERHADAP KETENTUAN KHI PASAL 153
AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG
BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH
KARENA MENYUSUI
A. Analisis Perhitungan Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika
Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi
Hukum Islam .................................................................................... 61
B. Analisis Dasar Hukum Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid
Ketika Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi
Hukum Islam .................................................................................... 64
12
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 69
B. Saran-saran ...................................................................................... 70
C. Penutup ............................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT PENDIDIKAN PENULIS
LAMPIRAN
13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja
merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga
dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu
perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan
menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang
lainnya.2
Pernikahan merupakan suatu ikatan perkawinan yang menghalalkan
antara suami istri untuk melakukan hubungan suami istri. Di dalam pernikahan
dituntut untuk selalu dapat menjaga dan mempertahankan keharmonisan dan
keutuhan rumah tangga, sehingga tercipta keluarga yang sakinah mawaddah wa
rohmah. Namun, terkadang di dalam rumah tangga sering terjadi konflik
keluarga. Hal inilah yang dapat menyebabkan suatu keluarga tersebut terjadi
perceraian. Di dalam agama Islam perceraian merupakan perbuatan yang halal
namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Untuk itu agama Islam menetapkan suatu
aturan hukum yang mengatur pernikahan, perceraian hingga kembali bersatu
menjadi keluarga yang utuh. Pernikahan yang merupakan perkara yang mulia di
2Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet.37, 2004, hlm.374
14
dalam Islam tidak lagi mereka perhatikan. Dengan mudahnya mereka bercerai
dan menikah tanpa memperhatikan ketentuan-ketentuannya. Sebagaimana
menikah ada ketentuannya, ketika terjadinya perceraian atau perpisahan juga ada
ketentuan yang harus dipenuhi, diantaranya ialah iddah.
Maka sebelum melakukan rujuk kepada mantan istri, ada suatu
permasalahan yang harus dibahas yaitu iddah. Iddah ini dibahas guna untuk
memberikan pemahaman kepada setiap muslim bahwa setelah perceraian
dilakukan ada waktu tenggang kepada suami istri untuk memikirkannya.3
Sebenarnya masalah iddah secara umum adalah sesuatu yang sudah
disepakati oleh para ulama selain juga telah dijelaskan secara eksplisit oleh nash
al-Qur‟an maupun Sunnah. Akan tetapi ketika iddah tersebut dihadapkan pada
suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang perempuan yang berhenti haid
ketika menjalani masa iddah karena menyusui, maka iddah tersebut menjadi
sebuah masalah yang membutuhkan pengkajian secara cermat.
Iddah memang merupakan suatu persoalan yang sangat krusial di
kalangan pemikir-pemikir zaman sekarang maupun dahulu. Selain dinilai sebagai
bias gender sehingga banyak mengundang para cendekiawan mengkaji esensi dari
iddah ini, para ulama‟ terutama ulama‟ fiqh juga masih memperdebatkan masalah
3 http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-8-iddah.html. didownload pada tanggal 27 Juni
2011 Pkl 22:21. WIB
15
iddah karena adanya perkembangan permasalahan fiqh. Hal ini tak luput dari
adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.4
Iddah adalah suatu masa yang mengharuskan perempuan-perempuan
yang telah diceraikan suaminya, baik cerai mati atau cerai hidup, untuk menunggu
sehingga sehingga dapat diyakinkan bahwa dalam rahimnya telah berisi atau
kososng darri kandungan. Bila rahim perempuan itu telah berisi sel yang akan
menjadi anak, dalam beriddah itu akan kelihatan tandanya. Itulah sebabnya ia
diharuskan menunggu dalam masa yang ditentukan.5
Telah kita pahami bahwa iddah merupakan masa tunggu bagi mantan istri
dalam waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh syara‟. Atau secara istilah, iddah
bisa diartikan sebagai masa tunggu yang ditetapkan oleh syara‟ bagi wanita untuk
tidak melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain dalam masa tersebut,
sebagai akibat ditinggal mati oleh suaminya atau perceraian dengan suaminya itu,
dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungannya dengan
suaminya itu.
Hitungan iddah itu telah ditentukan sehingga wajib bagi setiap muslim
untuk mengikuti ketentuan itu. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 228 :
4 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam, 2001, hlm. 71 5 Ibnu Mas‟ud, Zainal Abidin S, Fiqih Madzab Syafi‟i, buku 2 (Muamalat, Munakahat,
Jinayat), Cet. II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007, hlm. 372
16
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru”.6
Apabila si istri tidak mengalami haid karen usianya masih kecil misalnya
atau si istri telah menopause maka masa iddahnya selama tiga bulan berdasarkan
firman Allah :
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu
(pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. Ath-Thalaq : 4)7
Kata Asy Syaikh Ibnu „Utsaimin8: “Apakah wanita tersebut masih
mengalami haid namun karena penyakit atau sedang menyusui hingga haidnya
berhenti maka iddahnya seperti wanita yg mengalami haid yang normal walaupun
masanya panjang untuk datangnya haid itu hingga ia mulai beriddah dengannya.
Apabila sebab terhentinya haid telah hilang misalnya telah sembuh dari sakit
namun haidnya belum juga datang maka ia beriddah selama satu tahun penuh
sejak hilangnya sebab tersebut. Iddah setahun tersebut dengan perincian sembilan
bulan darinya dalam rangka berjaga-jaga dari kemungkinan hamil dan tiga bulan
darinya untuk iddah. Adapun bila talak dijatuhkan setelah akad sebelum berduaan
dan bersetubuh maka tidak ada iddah bagi wanita tersebut.
6 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,
Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008, hlm. 36 7 Ibid, hlm. 558.
8 http://rokhman.page.tl/Hukum-dan-masail-haid.htm. didownload pada tanggal 28 Juni
2011 Pkl 02:28. WIB
17
Berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: “Wahai orang-orang yg beriman apabila kalian menikahi wanita-
wanita Mukminah kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian
sentuh maka tidak ada kewajiban atas mereka iddah bagi kalian
yang kalian minta menyempurnakannya. (QS.Al Ahzab : 49)”9
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada Bagian kedua pasal 153
ayat (5) waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani
iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci. Dan di
jelaskan dalam ayat (6) dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui,
maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun
tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.10
Dimuka telah dikatakan, andaikata seorang wanita telah dewasa tetapi dia
belum pernah mengalami haid sama sekali dan dicerai oleh suami maka iddahnya
tiga bulan kesepakatan para ulama‟ madzab, dan apabila dia mengalami haid, dan
berhenti karena menyusui atau karena penyakit maka para ulama‟ berbeda
pendapat
Ulama‟ Hambali dan Ulama‟ Maliki berpendapat bahwa iddahnya wanita
yang berhenti karena menyusui atau karena penyakit maka iddahnya satu tahun
penuh.
9 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, op cit, hlm. 424.
10 Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan dilengkapi Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Surabaya: Arkola, hlm. 228-229
18
Ulama‟ Syafi‟i dan Ulama‟ Hanafi berpendapat dalam qaul jadid diantara
dua pendapatnya mengatakan bahwa, wanita tersebut selamanya berada dalam
iddah hingga ia mengalami haid atau memasuki usia menopause, sesudah itu
beriddah selama tiga bulan, sedangkan Ulama‟ Imamiyah berpendapat iddahnya
tiga bulan.11
Jika menurut KHI pasal 153 ayat (5) waktu tunggu bagi istri yang pernah
haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka
iddahnya tiga kali waktu suci, akan tetapi dikalangan para ulama‟ berbeda
pendapat dalam menentukan waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang
pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui. Dari sinilah penulis
berkeinginan untuk mengkaji lebih dalam bagaimana perhitungan iddah dan dasar
hukumnya. Oleh karena itu, penulis mendiskripsikannya dalam sebuah skripsi
yang berjudul “STUDI ANALISIS TERHADAP KETENTUAN KHI PASAL
153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI
HAID KETIKA MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI”
B. Rumusan Masalah
11
Muhammad Jawad Mugniyah, Al-fiq „ala al- madzahib al-khamsah, penerjemah Masykur
A.B., Aif Muhammad, Idrus Al-Kaff. “Fiqh Lima Madzab”, Cet. 2. Jakarta: PT.Lentera Basritam,
1996. hlm 468.
19
Dari uraian di atas, maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana perhitungan iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani
masa iddah karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam ?
2. Apa dasar hukum iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa
iddah karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang ada, tujuan yang ingin dicapai oleh
penulis dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perhitungan iddah perempuan yang berhenti haid ketika
menjalani masa iddah karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam ?
2. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan oleh KHI tentang
perhitungan iddah bagi perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa
iddah karena menyusui.
D. Manfaat Penelitian
Dalam skripsi ini, penulis berharap agar karya ini dapat memberikan
manfaat untuk :
1. Secara teoritis, menambah wawasan keilmuan dan keagamaan dalam masalah
yang berhubungan dengan perhitungan iddah.
20
2. Secara praktis, memberikan kontribusi pemikiran sebagai bahan pelengkap dan
penyempurna bagi studi selanjutnya, khususnya mengenai perhitungan iddah
bagi wanita yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui.
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini dilakukan dengan mengkaji atau menelaah hasil
pemikiran seseorang yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas
pada skripsi ini. Penulis juga akan menelaah beberapa buku-buku, kitab dan
keterangan lain untuk di gunakan untuk referensi, sumber, acuan, dan
perbandingan dalam penulisan skripsi, sehingga akan terlihat letak perbedaan
antara skripsi ini dengan penelitian atau karya tulis yang ada. Dan berikut ini
adalah beberapa hasil pemikiran yang berhubungan dengan skripsi yang penulis
bahas :
Skripsi yang di tulis oleh Ulya Mukhiqqotun Ni‟mah, berjudul Analisis
Pendapat Imam Malik Tentang Iddah Bagi Wanita Yang Istihadhah. Di sana
disebutkan bahwa menurut Imam Malik iddah bagi wanita yang istihadhah adalah
satu tahun. Berbeda dengan pendapatnya Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i
yang menjelaskan bahwa perhitungan iddah bagi wanita yang istihadhah tetap
menggunakan hitungan quru‟ bagi yang masih haid dan tiga bulan bagi yang tidak
haid.
Skripsi yang ditulis oleh Zainal Abidin, berjudul Studi Analisis Terhadap
Pendapat Ibn Taimiyah Tentang Jumlah Masa Iddah Bagi Wanita Yang Khuluk.
21
Di mana jumlah hitungannya adalah satu kali haid. Hal ini dikarenakan Ibn
Taimiyah menukil dari haditsnya Utsman yang sanadnya dinilai sahih. Berbeda
dengan jumhur ulama‟ yang berpendapat bahwa iddah bagi wanita yang khuluk
sama seperti iddah wanita yang ditalak.
Muhamad Isna Wahyudi, menulis skripsi yang berjudul Iddah Perempuan
Hamil Karena Zina: Studi Pasal 53 KHI. Dalam skripsi tersebut disimpulkan
bahwa menurut KHI tidak ada kewajiban „iddah bagi perempuan hamil karena
zina dan dapat dikawinkan langsung dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa
harus menunggu terlebih dahulu kelahiran anak yang ada dalam kandungan.
Dari beberapa tinjauan pustaka di atas, jelas bahwa penelitian yang
dilakukan tidak sama dengan skripsi yang dibahas oleh penulis. Sebab, obyek
yang penulis bahas adalah iddah bagi perempuan yang berhenti haid ketika
menjalani masa iddah karena menyusui. Untuk itu, penulis mencoba untuk
mengkaji permasalahan ini dalam sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi.
F. Metode Penelitian
Skripsi ini merupakan suatu penelitian kualitatif. Di mana kata “kualitas”
menunjuk pada segi alamiah.12
Sehingga bisa diartikan sebagai penelitian yang
mengungkap keadaan yang bersifat alamiah. Atau dalam pengertian lain,
penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-
12
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
cet. XVII, 2002, hlm. 2
22
penemuan yang tidak dapat dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-
prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran).13
Dan dilihat dari segi tempatnya, penelitian ini termasuk jenis penelitian
kepustakaan (library research), di mana data-data yang dipakai adalah data
kepustakaan dan bukan diperoleh dari lapangan. Dan berikut adalah data-data dan
metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini :
1. Sumber Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek
dari mana data dapat diperoleh.14
Karena penelitian ini merupakan studi
terhadap hasil dari suatu pemikiran, maka data-data yang dipergunakan adalah
data pustaka. Dan data ini terdiri atas dua macam, yaitu data primer dan data
sekunder.
a. Data Primer
Penulis menggunakan data primer yang berasal dari Kompilasi
Huukum Islam pasal 153 ayat (5) waktu tunggu bagi istri yang pernah haid
sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka
iddahnya tiga kali waktu suci.
b. Data Sekunder
13
Anselm Strauss, Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1997, hlm. 11 14
Ny Suharsini Arikunlo, Proeidur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, tth,
hlm. 102
23
Yaitu data yang diperoleh dengan cara mengambil beberapa sumber
bacaan yang berkaitan dengan data primer. Sumber data sekunder biasanya
telah tersusun dalam bentuk dokumen atau artikel. Data sekunder ini menjadi
pelengkap untuk membantu penulisan skripsi. Jadi, data ini bukan berasal
dari KHI akan tetapi berasal dari berbagai dokumen untuk memberikan
penjelasan-penjelasan terkait dengan pokok permasalahan yang penulis
angkat.
Sumber data sekunder berguna sebagai pendukung yang akan
penulis gunakan dalam membandingkan maupun melengkapi sumber data
primer, dan hal ini buku-buku bacaan dan literatur-literatur lain yang
membahas permasalahan ini biasa digunakan penulis untuk membandingkan
atau melengkapi sumber data primer.
2. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan.15
Dalam penulisan skripsi ini, penulis
melakukan pengumpulan data lewat studi dan penelitian kepustakaan. Yang
mana data ini berasal dari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan
yang sedang penulis kaji.
3. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian yang bersifat
“deskriptif” yang berusaha menggambarkan mengenai masalah tersebut.
15
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, cet. III, 1988, hal. 211
24
Metode ini digunakan untuk memahami pendapat dan dasar hukum yang
dipakai oleh Kompilasi hukum Islam tentang perhitungan iddah bagi wanita
yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena menyusui serta
relevansinya dalam konteks hukum Islam.
Sedangkan langkah-langkah yang digunakan oleh penulis adalah
dengan mendeskripsikan, menganalisa dan menilai data yang terkait dengan
masalah di atas baik yang berkaitan dengan pendapat maupun dasar hukum
yang dipakai.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pembahasan dan pemahaman dalam skripsi ini,
maka penulis membuat sistematika sebagai berikut :
BAB I: PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH
Membahas mengenai gambaran umum tentang iddah, yakni terdiri
atas pengertian iddah, dasar hukum iddah, macam-macam iddah, hak
wanita ketika beriddah, hikmah dan tujuan iddah, dan konsep
perhitungan iddah menurut hukum positif dan pendapat para Ulama‟
yang pro dan kontra terhadap KHI pasal 153 ayat (5).
25
BABIII: KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH
BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA
MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI
Pada bab ini memaparkan sekilas tentang ketentuan iddah dalam KHI
pasal 153 ayat (5) tentang iddah bagi perempuan yang berhenti haid
karena menyususi dalam KHI dan Dasar hukum ketentuan KHI pasal
153 ayat (5) tentang iddah bagi perempuan yang berhenti haid karena
menyusui
BABIV:ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG
IDDAH BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA
MENJALANI MASA IDDAH KARENA MENYUSUI
Berisi tentang analisis terhadap ketentuan KHI pasal 153 ayat (5)
tentang iddah bagi perempuan yang berhenti haid karena menyusui
dan analisi dasar hukum ketentuan KHI pasal 153 ayat (5) tentang
iddah bagi perempuan yang berhenti haid Karena Menyusui dan
Relevansinya dengan hukum islam
BAB V: PENUTUP
Bab ini merupakan bab akhir yang menyajikan kesimpulan dari
pembahasan pada bab-bab sebelumnya, saran-saran, dan diakhiri
dengan penutup.
26
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH
A. IDDAH
1. Pengertian Iddah
Istilah iddah ini sudah dikenal oleh orang-orang pada masa jahiliyah
dulu. Bahkan mereka hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan iddah ini.
Lalu ketika Islam datang, kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus karena ada
beberapa kebaikan atau hikmah di dalamnya. Sekarang para ulama sepakat
bahwa iddah itu wajib hukumnya.16
Sebelum kita membahas iddah secara jauh, perlu dipahami apa makna
iddah itu sendiri sehingga pemahaman mengenai istilah iddah ini sesuai
dengan apa yang dimaksudkan. Secara bahasa, kata iddah merupakan bentuk
mashdar dari kata يعد -عد yang artinya “menghitung”, jadi kata iddah berarti
hitungan, perhitungan, atau sesuatu yang harus diperhitungkan.17
Dalam buku
Fikih Sunnah 4 dijelaskan bahwa iddah berarti hari-hari dari masa haid yang
dihitung oleh perempuan.18
Iddah ini dikhususkan bagi wanita walaupun di sana ada kondisi
tertentu seorang laki-laki juga memiliki masa tunggu, tidak halal menikah
16
Slamet Abidin, Aminuddin, Fiqih Munakahat II, Bandung: CV Pustaka Setia, cet. I, 1999,
hal. 121. 17
Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana
Perguruan Tinggi Agama, cet. II, 1985, hal. 274. 18
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 4, Abdurrahim, Masrukhin (penerj), Jakarta: Cakrawala
Publishing, cet. I, 2009, hal. 118.
27
kecuali habis masa iddah wanita yang dicerai.19
Sedangkan pengertian
menurut istilah, banyak para cendekiawan fikih memberikan penjabaran yang
rinci mengenai arti dari iddah tersebut. Ash-Shon‟ani memberikan definisi
iddah sebagai berikut20
:
ل ا تان ا إي ن فراق ا خ فاج ز يح تعد انرس رأج ع ا ان ج ذررتض ت د إسى ن أ اأقرا دج أو
اأشر
“Iddah merupakan suatu nama bagi masa tunggu yang wajib
dilakukan oleh wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah kematian
suaminya atau perceraian dengan suaminya itu, baik dengan melahirkan
anaknya, atau beberapa kali suci / haid, atau beberapa bulan tertentu.”
Sedangkan Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi iddah
sebagai berikut :
أثار انكاذ أ يا تقي ي قؼا فظى عرا خم ػرب ل ل ذ ه أ خم انر ، فإذا زظهد انفرقح تي
ج ل ذرس رأج ع انفرقح تم ذررتض ان ق د در ت خ كم ان خيح ي ج انس د ي ذهك ان ر غير زر ذ
ا انشارع. ر انر قد21
“Suatu masa yang ditetapkan untuk mengakhiri pengaruh-pengaruh
perkawinan. Jika terjadi perceraian antara seorang lelaki dengan isterinya,
tidaklah terputus secara tuntas ikatan suami isteri itu dari segala seginya
dengan semata-mata terjadi perceraian, melainkan isteri wajib menunggu,
tidak boleh kawin dengan laki-laki lain, sampai habisnya masa tertentu yang
telah ditentukan oleh syara‟.”
Dalam kitab fathul qorib, Muhammad ibnu Qosim Al-Ghozi
memberikan definisi iddah sebagai berikut :
ا تأقرا ج رز ا ترا رأج يدج يعرف في شرعا ذرتض ان إعرد ي نغح السى ي أشر أ أ
م. ػع ز 22
19
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat, Abdul
Majid Khon, (penerj), Jakarta: Amzah, cet. I, 2009, hal. 318. 20
Departemen Agama, loc. cit. 21
Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal as-Syakhshiyyah, Darul Fikr Al-Arabi, 1957, hal. 435.
28
“Iddah secara bahasa adalah suatu nama (istilah) bagi orang yang
menunggu, sedangkan menurut syara‟ berarti penantian seorang wanita
dalam suatu masa sehingga diketahui bersihnya rahim dengan hitungan
quru‟, bulan, atau sampai melahirkan.”
2. Dasar Hukum Iddah
a) Al-Qur‟an
Kewajiban beriddah bagi wanita, telah ditegaskan dalam
beberapa ayat Al-Qur‟an, di antaranya sebagai berikut :
(1) Surat Al-Baqarah ayat 228.
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟”. (Al-Baqarah : 228).23
(2) Surat Al-Baqarah ayat 234.
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh
hari”. (Al-Baqarah : 234).24
(3) Surat Al-Ahzab ayat 49.
22
Muhammad ibnu Qosim Al-Ghozi, Kitab Fathul Qorib, Semarang: Pustaka Alawiyyah, hal.
50. 23
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Bandung:
CV Penerbit Diponegoro, 2008, hlm. 36.
24
Ibid., hal. 38.
29
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka
sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang
kamu minta menyempurnakannya”. (Al-Ahzab : 49)25
b) Hadits
ئي نى يس انل انسيغ ع ئي قعد انل ، ل يسؼ أ ا يسؼ نى ذعه د : إ قال يدا ؼ
ثلثح أشر. را انثخار فعدذ26
Artinya : “Mujahid berkata : Jika kalian tidak tahu apakah wanita-wanita
itu masih aktif haidh atau tidak haidh dan wanita-wanita yang
telah selesai haidh dan wanita-wanita yang belum haidh maka
idahnya tiga bulan”. (H.R. Bukhori).
ح أو سه ا سثيعح ع أسهى ، يقال ن ايرأج ي ج انثي ص و أ ا ز في ع ا ذ خ كاد ذسد ز
هللا يا يظهر أ كس ، فقال : ذ تعكك ، فأتد أ ا أت انساتم ت ي زثه فخطث ، كسي ذ
عشر ن كثد قريثا ي ف سهى زر ذعرد آخر اأخهي ان خ انثي طه هللا عهي يال ثى خا
كس ،، را انثخار فقال ,, ا27
Artinya : “Dari Ummu Salamah isteri Nabi SAW bahwasannya ada
seorang wanita dari Aslam bernama Subai‟ah di mana ia
berada dalam kekuasaan suaminya yang telah wafat, dia
sendiri sedang mengandung. Kemudian dia dipinang oleh Abus
Sanaabil ibn Ba‟kak, lalu ia tidak mau menikah dengannya.
Lalu ia berkata : Demi Allah, engkau tidak dapat menikah
dengannya sehingga engkau beriddah dengan iddah terakhir
dari dua iddah. Maka wanita itu diam menunggu melewati
kira-kira sepuluh malam, dia pun bernifas. Sesudah berakhir
25
Ibid., hal. 424. 26
Bukhori, Shohih Bukhori, Juz V, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyyah, cet. I 1992, hal. 520.
27
Ibid.
30
masa nifas dia datang menemui Nabi dan beliau berkata :
“menikahlah engkau”. (H.R. Bukhori).
يسأل سثيعح الرقى أ كرة إن ات أ أتي عثد هللا أخثر ع عثيد هللا ت يح كي أ السه
ا انثي ص و ، فقاند : أفراي إذا ػعد أفرا كر. را انثخار أ أ28
Artinya : “Sesungguhnya Ubaidillah bin Abdullah dari ayahnya bahwa ia
menulis surat kepada ibn Arqam menanyakan kepada Subai‟ah
Al Aslamiyyah bagaimana Nabi SAW memberi fatwa
kepadanya, lalu Subai‟ah berkata : Nabi memberikan fatwa
kepadaku bila saya sudah melahirkan supaya saya kawin”.
(H.R. Bukhori).
سهى ، ف هللا عهي ل هللا طه د رس ي زائوع ف ع ؽهق ايرأذ ر أ ع ات ع سأل
سكا زر ذ ا، ثى ني ذنك ، فقال ,, ير فهيراخع ع ل هللا طه هللا عهي ر رس طر ، ثى ع
ج س ، فرهك انعد ي ؽهق قثم أ شا إ أيسك تعد ، شا ر ، ثى إ انر أير هللا ذسيغ ، ثى ذط
،، يرفق عهي ا انسا أ ذطهق ن29
Artinya : "Dari Ibnu Umar bahwa ia telah mentalak isterinya dan ia
dalam keadaan haid pada zaman Rasulullah lalu Umar
bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal itu. Lalu Nabi
SAW bersabda : Perintahkanlah ia untuk merujuk isterinya,
kemudian menahanya sehingga suci, haid dan suci lagi, maka
jika ia ingin tahanlah sesudah itu dan jika sudah ceraikanlah
sebelum ia menyentuhnya. Demikianlah idah yang
diperintahkan oleh Allah, yaitu perempuan harus dicerai pada
idahnya". (Muttafaq Alaih).
3. Macam-Macam Iddah
Jumlah hitungan iddah bagi wanita sangat bervariasi, hal ini
dipengaruhi oleh keadaan atau kondisi ketika wanita tersebut berpisah dengan
suaminya, baik karena perceraian maupun karena kematian suami.
28
Ibid. 29
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram, Semarang: Pustaka Alawiyah, hal. 223.
31
Berdasarkan kondisi wanita tersebut, secara garis besar iddah dibedakan
menjadi empat macam :
a) Sebelum berhubungan badan
Perempuan yang putus perkawinannya karena talak atau fasakh
dan belum melakukan hubungan dengan suaminya (qabla ad-dukhul)
tidak memiliki kewajiban untuk menjalankan iddah.30
b) Dalam kondisi masih haid atau sudah tidak haid
Perempuan yang putus perkawinannya karena talak atau fasakh
dan dia masih mengalami haid diwajibkan untuk beriddah selama tiga
quru‟. Sedangkan perempuan yang belum haid maupun yang sudah tidak
haid karena menopause masa iddahnya tiga bulan.31
c) Kondisi hamil
Perempuan yang mengalami perceraian dengan suaminya,
sedangkan ia dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya adalah sampai
melahirkan. Begitu juga, jika dalam keadaan hamil perempuan itu
ditinggal mati suami, menurut jumhur fuqaha‟ dan semua fuqaha
berpendapat bahwa iddahnya sampai melahirkan. Namun, menurut
riwayat Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Abbas iddahnya adalah masa yang
30
Muhammad Isna Wahyudi, Fikih „Idah Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, cet. I, 2009, hal. 89. 31
Ibid., hal. 92.
32
paling akhir dari dua iddah. Maksudnya ia beriddah dengan iddah yang
paling lama.32
d) Sebab ditinggal mati suami
Masa iddah bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suami telah
ditetapkan dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 234 yaitu 4 bulan 10
hari.
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Dan Allah mengetahui apa yang
kamu perbuat”.33
4. Hak Dan Kewajiban Wanita Ketika Beriddah
a) Hak wanita yang beriddah talak raj‟i
Wanita yang beridah talak raj‟i (setelah talak boleh rujuk
kembali), para fuqaha‟ tidak berbeda pendapat bahwa isteri berhak
mendapatkan tempat tinggal dan nafkah dari suaminya. Sedangkan isteri
32
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Analisa Fikih Para Mujtahid, Jilid II, Jakarta : Pustaka
Amani, cet. III, 2007, hal. 619. 33
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, op. cit, hal. 38.
33
wajib tinggal bersama suami.34
Sebagaimana firman Allah dalam surat
Ath-Thalaq ayat pertama dan kedua.
Artinya : “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.35
Artinya : “Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu
Karena Allah”.36
b) Hak wanita yang beridah talak ba‟in
Para fuqaha‟ berselisih pendapat tentang nafkah dan tempat tinggal
bagi wanita yang ditalak ba‟in, tetapi tidak dalam keadaan hamil. Para
34
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op. cit., hal. 333 35
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, op. cit., hal. 558. 36
Ibid.
34
ulama Kufah berpendapat bahwa wanita tersebut tetap mendapatkan
tempat tinggal dan nafkah.37
Imam Abu Hanifah berpendapat sama dengan ulama Kufah.
Wanita itu mempunyai hak nafkah dan tempat tinggal seperti yang ditalak
raj‟i karena dia wajib menghabiskan masa idah itu di rumah suaminya.
Nafkahnya ini dianggap sebagai hutang yang resmi sejak jatuhnya talak
tanpa bergantung pada adanya kesepakatan atau tidak adanya putusan
pengadilan. Hutang ini tidak dapat dihapuskan kecuali sudah dibayar lunas
atau dibebaskan.38
Ulama Hanabilah, Zhahiriyah, Ishaq, dan Abu Tsaur berpendapat
bahwa ia tidak berhak nafkah dan tempat tinggal sekalipun hamil. Alasan
mereka, nafkah dan tempat tinggal diwajibkan sebagai imbalan hak rujuk
bagi suami, sedangkan dalam talak ba‟in suami tidak punya hak rujuk.
Oleh karena itu, tidak ada nafkah dan tempat tinggal bagi wanita tersebut,
sebagaimana Hadits yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais yang telah
ditalak suaminya untuk yang ketiga kalinya, bahwa Nabi SAW tidak
menjadikan nafkah dan tempat tinggal baginya.39
د قيس ح ت فاؽ ل فقح. ع ل هللا ص و سك خي ثلثا فهى يدعم ني رس قاند ؽهقي ز
ا يسهى ر40
.
37
Slamet Abidin, Aminuddin, op. cit., hal. 142 38
Ibid. 39
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op. cit., hal. 334. 40
Imam Muslim, Shohih Muslim, Juz I, Semarang: Toha Putra, hal. 642.
35
Artinya : Dari Fatimah binti Qois, ia berkata : “suamiku menceraikan
aku tiga kali kemudian, lalu Nabi SAW tidak menetapkan tempat
tinggal dan nafkah untukku”.
c) Hak wanita yang beridah karena suaminya meninggal
Seorang janda yang suaminya meninggal, apabila ternyata
suaminya tidak mempunyai rumah sendiri dan tidak mempunyai bekal
yang dapat dijadikan biaya hidup oleh isterinya, maka ia boleh kembali ke
orang tuanya. Namun, jika pada saat dia menerima berita duka berada di
rumah salah seorang dari kaum muslimin, ia diperbolehkan tinggal di
rumah tersebut jika pemilik rumah tidak keberatan untuk menerima dan
menanggung kehidupannya sampai selesai masa iddah.41
d) Kewajiban wanita ketika beriddah
Selain memperoleh hak atas mantan suami selama beriddah seperti
nafkah dan tempat tinggal, wanita tersebut juga memiliki beberapa
kewajiban. Pertama, larangan menerima pinangan (khitbah). Laki-laki
asing tidak diperbolehkan meminang perempuan yang sedang dalam masa
iddah secara terang-terangan, baik kepada perempuan yang ditalak
ataupun ditinggal mati oleh suaminya. Namun, dia tetap diperbolehkan
untuk meminang secara sindiran kepada perempuan yang sedang iddah
karena kematian suami.42
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
41
Muhammad Thalib, Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro U, cet. II, 2008, hal.
348. 42
Muhammad Isna Wahyudi, op. cit., hal. 103.
36
Artinya : “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu
dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) perkataan yang ma'ruf”.43
Kedua, larangan menikah dengan laki-laki lain. Apabila wanita
tersebut menikah dalam masa iddah maka perkawinan tersebut bathil.
Sebab, wanita itu tidak boleh menikah untuk menjaga hak suami yang
pertama. Ketiga, larangan keluar dari rumah,44
tetapi masih ada
perdebatan dari para ulama mengenai larangan ini dan akan dijelaskan
pada item selanjutnya.
Keempat, bagi wanita yang ditinggal mati suami diwajibkan untuk
menjalankan ihdad,45
baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa.
Ihdad ini dilakukan dengan menjauhi hal-hal berikut :
1) Memakai perhiasan cincin atau perak. Larangan ini diakui oleh para
ahli fikih pada umumnya, kecuali sebagian ulama Syafi‟iyyah seperti
Ibnu Jarir.
43
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, op. cit., 38. 44
Muhammad Isna Wahyudi, op. cit., hal. 104. 45
Ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati suaminya selama 4
bulan 10 hari dengan larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah
kecuali dalam keadaan terpaksa, lihat Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, cet. III, 2008, hal. 302.
37
2) Memakai pakaian yang terbuat dari sutera berwarna putih. Akan tetapi,
ulama Hanabilah membolehkan memakai sutera berwarna putih karena
menurut mereka hal itu sudah menjadi sesuatu yang biasa.
3) Memakai pakaian yang berbau wangi.
4) Memakai pakaian yang dicelup dengan warna mencolok.
5) Memakai wangi-wangian pada tubuhnya, kecuali untuk
menghilangkan bau tak sedap pada kemaluannya sehabis haid.
6) Memakai minyak rambut, baik yang mengandung wangi-wangian
maupun tidak.
7) Memakai celak. Namun menurut para ahli fikih, memakai celak
dengan tujuan pengobatan boleh dilakukan pada waktu malam hari.
8) Mewarnai kuku dengan pohon inai (pohon pacar) dan semia yang
berkaitan dengan pewarnaan.46
e) Wanita yang keluar rumah saat menjalani masa iddah
Ulama fikih berbeda pendapat berkaitan dengan hukum wanita
yang keluar rumah selama dalam masa iddah. Menurut mazhab Hanafi,
wanita yang ditalak raj‟i dan ba‟in tidak boleh keluar dari rumahnya, baik
di siang hari maupun malam hari. Sedangkan perempuan yang ditinggal
mati oleh suaminya, dia boleh keluar rumah pada waktu siang hari dan
46
Ibid., 110-111.
38
pada awal malam. Tapi tidak diperbolehkan menginap di rumah orang lain
selain di rumahnya sendiri.47
Menurut mazhab Hanafi, perbedaan antara dua permasalahan
tersebut adalah perempuan yang ditalak masih dalam tanggungan nafkah
suaminya. Oleh sebab itu, dia tidak boleh keluar rumah. Berbeda dengan
perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, maka dia sudah tidak
mendapatkan nafkah lagi. Oleh sebab itu, dia harus keluar pada waktu
siang hari untuk memenuhi kebutuhannya.48
Mazhab Hambali membolehkan keluar rumah pada waktu siang
hari, baik ketika sedang menjalani iddah karena ditalak atau karena
suaminya meninggal. Ibnu Qudamah, salah satu pengikut Hambali
berkata, “Perempuan yang menjalani masa iddah diperbolehkan keluar
untuk mencari sesuatu demi kebutuhannya, baik masa iddah yang
disebabkan talak atau karena suaminya meninggal dunia”.49
47
Sayyid Sabiq, op. cit., hal. 134. 48
Ibid. 49
Ibid., hal. 135
39
5. Hikmah Dan Tujuan Idah
Pensyari‟atan iddah bagi perempuan ini tentu mempunyai beberapa
hikmah dan kemaslahatan baik bagi pihak perempuan maupun pihak laki-laki,
diantaranya :50
a) Untuk mengetahui secara pasti kondisi rahim perempuan, sehingga tidak
terjadi percampuran nasab janin yang ada di dalam rahimnya.
b) Memberi kesempatan kepada suami isteri yang bercerai untuk kembali
membina rumah tangga selama hal itu baik dalam pandangan mereka.
c) Menjunjung tinggi nilai pernikahan. Hal itu tidak mungkin terjadi kecuali
dengan melibatkan banyak orang dan tidak akan hancur kecuali dengan
menunggu pada masa yang cukup lama.
d) Jika terjadi sesuatu yang mengharuskan untuk bercerai, tetap harus ada
upaya untuk menjaga ikatan pernikahan dan mesti diberi waktu untuk
berfikir kembali dan mempertimbangkan kerugian yang akan dialaminya
jika terjadi perceraian.
Selain beberapa hikmah di atas, Ibnu Qayyim berpendapat bahwa
iddah adalah salah satu perkara yang bersifat ibadah (ta‟abbudi) yang tidak
diketahui hikmahnya selain Allah SWT.51
Sehingga, kewajiban
disyari‟atkannya iddah itu bukan semata-mata karena hikmah yang ada di
50
Ibid., hal. 119. 51
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, op. cit., hal. 320.
40
dalamnya, akan tetapi menjadi salah satu pengabdian seorang hamba kepada
Allah.
6. Perhitungan Iddah Menurut Para Ulama
Berkaitan dengan iddah, ada beberapa permasalahan iddah yang
menjadi perdebatan di kalangan para ulama.
a) Iddah wanita yang khalwat
Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan: apabila telah berkhalwat
dengannya, tetapi tidak sampai mencampurinya, lalu isterinya tersebut
ditalak, maka si isteri harus menjalani iddah persis seperti isteri yang telah
dicampuri. Sedangkan menurut Imamiyah dan Syafi‟i, khalwat tidak
membawa akibat apapun.52
b) Arti quru‟
Di dalam Al-Qur‟an telah diterangkan secara jelas bahwasanya
wanita yang ditalak suaminya sedangkan ia masih terbiasa haid, maka
waktu tunggu baginya adalah tiga kali quru‟. Akan tetapi, para ulama
berbeda pandangan dalam memahami arti quru‟ ini. Menurut Maliki dan
Syafi‟i quru‟ adalah masa suci. Sedangkan menurut pendapat Hanafi,
quru‟ adalah haid. 53
52
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Jakarta : Bisrie Press, cet. I 1994, hal.
191. 53
Syaikh al-„Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, Fiqih Empat Mazhab,
Bandung : Hasyimi Press, cet. XIII, 2010, hal. 403.
41
Hukum positif di Indonesia sendiri menetapkan quru‟ sebagai
masa suci karena bermazhabkan Syafi‟iyyah. Sehingga, iddah itu mulai
dihitung ketika wanita tersebut mengalami suci.
c) Tidak haid selama menjalani iddah kematian
Imam Malik berpendapat bahwa di antara syarat sempurnanya
iddah ialah agar isteri tersebut haid satu kali dalam masa tersebut. Jika ia
tidak mengalami haid, Malik menganggapnya sebagai orang yang
diragukan hamil. Oleh karena itu, ia menjalani iddah hamil.54
Diriwayatkan pula pendapat lain dari Malik bahwa isteri tersebut
bisa jadi tidak haid dan bisa jadi pula sedang hamil, yakni jika kebiasaan
masa haidnya itu lebih banyak dari masa iddah dan boleh jadi tidak ada,
yakni orang perempuan yang menurut kebiasaan haidnya lebih banyak
dari empat bulan.
Menurut Ibnu Qosim, apabila iddah kematian telah berlaku,
sedang wanita itu tidak terdapat tanda-tanda kehamilan, maka ia boleh
kawin. Pendapat ini dipegangi oleh jumhur fuqaha‟ Amshar, yaitu Abu
Hanifah, Syafi‟i, dan Tsauri.55
d) Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil
Para ulama sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suami
adalah 4 bulan 10 hari baik yang pernah haid maupun yang tidak haid
54
Ibnu Rusyd, op. cit., hal. 618 55
Ibid, hal. 618-619.
42
sebagaimana ketetapan dalam Al-Qur‟an. Namun, ada ikhtilaf di kalangan
para ulama apabila wanita yang ditinggal mati suami itu dalam keadaan
hamil.
Mayoritas ulama mazhab yakni Imam Maliki, Imam Syafi‟i, Imam
Hanafi, dan Imam Hambali berpendapat bahwa dia harus menunggu
sampai dia melahirkan anaknya, sekalipun hanya beberapa saat sesudah
dia ditinggal mati oleh suaminya itu. Bahkan, andai jasad suaminya belum
dikuburkan sekalipun.56
Ini berdasarkan firman Allah SWT :
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.57
Sedangkan Imamiyah, mengatakan, iddah wanita hamil yang
ditinggal mati suaminya adalah iddah paling panjang di antara waktu
melahirkan dan empat bulan sepuluh hari. Kalau dia telah melewati waktu
empat bulan sepuluh hari, tapi belum melahirkan, maka iddahnya hingga
dia melahirkan. Akan tetapi bila dia melahirkan sebelum empat bulan
sepuluh hari, maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.58
e) Iddah bagi wanita yang suaminya hilang (mafqud)
56
Muhammad Jawad Mughniyah, op. cit., hal. 197. 57
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, op. cit., hal. 558. 58
Muhammad Jawad Mughniyah, loc. cit.
43
Menurut pendapat Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i dalam qaul
jadid-nya, serta pendapat Imam Hambali dalam salah satu riwayatnya
menyebutkan, isteri tersebut tidak boleh menikah lagi hingga berlalu masa
(menurut adat) bahwa suaminya tidak hidup lagi sesudah berlalu masa
tersebut.
Hanafi memberi batasan untuk masa penantian itu adalah 120
tahun. Sedangkan Syafi‟i dan Hambali memberi batasan waktu 90 tahun.
Namun, menurut pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi‟i dalam qaul
qadim-nya dan yang dipilih oleh kebanyakan para ulama pengikutnya
serta yang diamalkan oleh Umar r.a. tanpa ada seorangpun di antara para
sahabat lainnya yang mengingkari perbuatannya, dan juga menurut
pendapat Imam Hambali dalam riwayat lainnya: isteri hendaknya menanti
selama 4 tahun, yaitu ukuran maksimal masa mengandung di tambah 4
bulan 10 hari, yakni sebagai masa iddah atas kematian suami. Setelah itu,
ia boleh menikah lagi.59
f) Iddah wanita yang istihadah
Wanita yang mengalami istihadah, yakni mengeluarkan darah dari
kemaluannya tetapi bukan darah haid, menurut Imam Malik wanita
tersebut memiliki perhitungan iddah tersendiri yang berbeda dengan iddah
wanita biasa.
59
Syaikh al-„Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, op. cit., hal. 404.
44
Jika wanita tersebut tidak dapat membedakan antara darah haid
dan darah istihadah maka iddah baginya adalah selama satu tahun.
Namun, apabila ia dapat membedakan antara kedua darah itu, maka ada
dua riwayat dari Imam Malik. Riwayat pertama mengatakan bahwa
idahnya adalah satu tahun. Dan riwayat kedua mengatakan, ia disuruh
mengadakan pembedaan lalu beridah berdasarkan haid.60
Abu Hanifah berpendapat bahwa iddahnya adalah bilangan haid,
jika darah haid itu sudah jelas maka ia beriddah selama tiga bulan.
Sedangkan menurut Imam Syafi‟i, iddah wanita itu berdasarkan
pembedaan Antara kedua darah tersebut lalu beriddah dengan bilangan
hari haidnya pada hari-hari sehatnya.61
g) Iddah wanita hamil karena zina
Perdebatan mengenai ketentuan iddah hamil karena zina ini telah
diteliti oleh Muhammad Isna Wahyudi yang ditulis dalam bukunya yang
berjudul Fiqh „Iddah Klasik dan Kontemporer.
Menurut ulama Syafi‟iyyah dan Hanafiyyah, perempuan tersebut
tidak diwajibkan untuk beriddah. Sebab, iddah bertujuan untuk menjaga
nasab, sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan
hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan hamil. Menurut
ulama Malikiyyah, wanita tersebut sama kedudukannya dengan
60
Ibnu Rusyd, op. cit., hal. 609. 61
Ibid.
45
perempuan yang dicampuri secara syubhat sehingga dia harus beriddah
untuk mengetahui kebersihan rahim. Tapi, jika ia dikenakan hukum hadd
maka ia cukup menunggu satu kali haid saja. Sedangkan ulama Hanabilah
mewajibkan perempuan itu untuk menjalankan iddah seperti perempuan
yang ditalak.62
h) Wanita yang menikah pada waktu menjalani masa iddah
Menurut Syafi‟i, jika wanita menikah dalam masa iddahnya maka
wanita itu harus beriddah dengan dua iddah secara bersamaan.63
Misalnya, seorang wanita ditalak oleh suaminya yang pertama. Sebelum
iddah wanita tersebut habis, ia menikah lagi dengan laki-laki lain. Maka
perkawinan dengan laki-laki kedua itu harus dibatalkan, dan wanita
tersebut menjalani sisa iddah dari suami yang pertama kemudian beriddah
lagi dari suami yang kedua.
B. PERHITUNGAN IDDAH BAGI ISTRI YANG PERNAH HAID SEDANG
PADA WAKTU MENJALANI IDDAH TIDAK HAID KARENA
MENYUSUI
Kalangan para ulama‟ berbeda berpendapat mengenai iddah bagi istri
yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena
menyusui. Ulama‟ Hambali dan Ulama‟ Maliki berpendapat bahwa iddahnya
62
Muhammad Isna Wahyudi, op. cit., hal. 82-83. 63
Imam Syafi‟i, Al-Umm, Jilid VIII, Prof. TK. Ismail Yakub SH. MA. (penerj), Jakarta: CV
Faizan, cet. I, 1984, hal. 395.
46
wanita yang berhenti karena menyusui atau karena penyakit maka iddahnya satu
tahun penuh.
Ulama‟ Syafi‟i berpendapat dalam qaul jadid di antara dua pendapatnya
mengatakan bahwa, wanita tersebut selamanya berada dalam iddah hingga ia
mengalami haid atau memasuki usia menopause, sesudah itu beriddah selama tiga
bulan.64
Menurut Ulama Hanafi, apabila seorang wanita mengalami satu kali haid,
lalu karena sakit atau menyusui haidnya terputus sama sekali, dan dia tidak lagi
pernah mengalami haid, maka wanita tersebut dinyatakan tidak keluar dari
iddahnya sampai kelak dia memasuki masa menopause. Dengan memasuki masa
menopause ini sajalah dia bisa menyelesaikan iddahnya. Dengan demikian,
menurut Hanafi dan Syafi‟i masa iddahnya dapat berlanjut selama 40 tahun.65
Imamiyah berpendapat bahwa apabila karena sesuatu sebab wanita
tersebut mengalami keterputusan shaid, lalu dia ditalak, maka iddahnya adalah
tiga bulan sebagaimana yang ada pada wanita yang tidak pernah mengalami haid
sama sekali. Kalau ternyata ia mengalami haid lagi setelah ditalak, maka
iddahnya adalah salah satu di antara dua jenis iddah berikut ini yang terlebih
dahulu dia selesaikan. Yaitu tiga bulan penuh atau tiga quru‟. Artinya, kalau dia
terlebih dahulu bisa menyelesaikan tiga quru‟ sebelum tiga bulan penuh, maka
64
Muhammad Jawad Mugniyah, Al-fiq „ala al- madzahib al-khamsah, penerjemah Masykur
A.B., Aif Muhammad, Idrus Al-Kaff. “Fiqh Lima Madzab”, Cet. 2. Jakarta: PT.Lentera Basritam,
1996. hlm 468. 65
Ibid.
47
iddahnya dinyatakan selesai. Demikian pula halnya, bila dia telah melewati masa
tiga bulan penuh tapi belum menyelesaikan tiga quru‟, maka iddahnya pun
dianggap telah selesai pula.66
Kemudian, apabila ia mengalami haid sebelum dia menyelesaikan waktu
tiga bulan penuh, walau tinggal sekejap, maka dia harus bersabar
denganmenyelesaikan iddah selama sembilan bulan. Dalam hal ini, tidak ada
gunanya lagi bagi dia masa tiga bulan tanpa haid yang terjadi sesudah itu.
Sesudah berakirnya masa sembilan bulan itu, maka apabila ia melahirkan anak
sebelum satu tahun, ia berarti keluar dari haid. Demikian hanya pula halnya bila
dia mengalami haid dan memasuki masa suci secara penuh. Apabila dia tidak
melahirkan, dan tidak pula bisa menyelesaikan tiga quru‟ sebelum satu tahun,
maka dia harus menjalani iddah tiga bulan lagi, sebagai tambahan atas sembilan
bulan sebelumnya. Dengan demikian, jumlahnya setahun penuh. Inilah iddah
maksimal yang ada di kalangan Imamiyah.67
Iddah istri yang sedang menjalani masa haid, lalu berhenti karena sebab
yang diketahui maupun yang tidak. Jika berhentinya darah haid itu diketahui oleh
adanya penyebab tertentu, seperti karena proses penyusuan atau sakit, maka ia
harus menunggu kembalinya masa haid tersebut dan menjalani masa iddahnya
sesuai dengan haidnya meskipun memerlukan waktu yang lebih lama. Sebaliknya,
jika disebabkan oleh suatu yang tidak diketahui, maka ia harus menjalani
66
Ibid. 67
Ibid.
48
iddahnya selama satu tahun. Yaitu, sembilan bulan untuk menjalani masa
hamilnya dan tiga bulan untuk menjalani masa iddahnya.68
68
Syaikh Hasan Ayub, Fiqh Al Usroh Al Muslimah, penerjemah Abdul Ghofar. “Fikih
Keluarga”, Cet. 1. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001. hlm 411.
49
BAB III
KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH BAGI
PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI MASA
IDDAH KARENA MENYUSUI
A. Sekilas Pandangan Tentang Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai salah satu diantara sekian
banyak karya besar umat Islam Indonesia dalam rangka memberi arti yang lebih
positif bagi kehidupan beragamannya dalam rangka kebangkitan umat islam
Indonesia. Secara tidak langsung ia juga merefleksi tingkat keberhasilan tersebut.
Sehingga dengan membaca karya tersebut orang akan dapat memberikan penilaian
tingkat kemampuan umat Islam dalam proses pembentukan hukum. Akan tetapi,
karena Kompilasi Hukum Islam harus dilihat bukan sebagai sebuah final, maka
kita juga dapat melihatnya sebagai salah satu jenjang dalam usaha tersebut dan
sekaligus juga menjadi batu loncatan untuk meraih keberhasilan yang lebih dimasa
mendatang.69
Bagi umat Islam Indonesia betapapun kondisinya Kompilasi Hukum
Islam yang kita perbincangkan ini harus diterima sebagai hasil yang optimal.
Karya ini perlu lebih dimasyarakatkan sitengah-tengah umat sehingga mereka
dapat mengetahui, memahami dan melaksanakan dalam praktek kehidupan sehari-
hari. Dalam rangka inilah pertama-tama naskah ditulis, sehingga apa yang kita
69
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Presindo, tth, hlm. 6.
50
sebut sebagai Kompilasi Hukum Islam dapat menjadi lebih tersebar luas
dikenalkan oleh masyarakat.70
1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Secara estimologis,”Kompilasi” berarti suatu kumpulan atau
himpunan,71
atau kumpulan yang tersusun secara teratur.72
“Kompilasi” diambil
dari kata “compilare” (bahasa latin)73
yang mempunyai arti mengumpulkan
bersama-sama. Kata yang berasal dari bahasa latin kemudian dalam bahasa
Inggris menjadi compalation yang berarti karangan yang tersusun dari kutipan-
kutipan buku lain.74
Dan dalam bahasa Belanda menjadi compilate yang
mengandung arti kumpulan dari lain-lain karangan.75
Ditinjau dari sudut bahasa kompilasi adalah kegiatan pengumpulan
dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku atau tulisan
mengenai suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber
yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku
tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat
dikemukakan dengan mudah.76
70
Ibid. 71
Jhon. M, Eclosh dan Hasan Shadaly, Kamus Inggris Indonesia (An English-Indonesian
Dictionary), cet. XVII. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1990, hlm. 132. 72
Dekdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hlm. 456. 73
C. Kruyskampen F. De Tollanaere, Van Dale‟s Xileuw Groart Waardenbook Der
Nederlandse Taal, Gravenhage: Martimus Nijhoff, 1950, hlm. 345. 74
S. Wojowasito dan W. J. S. Poerdarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia-Indonesia
Inggris, Jakarta: Hasta, 1982, hlm. 88. 75
S. Wojowasito, Kamus umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1981,
hlm. 213. 76
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2000,
hlm. 76.
51
Kompilasi menurut hukum adalah tidak lain dari sebuah buku hukum
atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu,
pendapat hukum atau juga aturan hukum.77
Hukum islam dalam fiqh adalah hukum yang bersumber dan
disalurkan dari hukum syari‟at islam yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan
Sunnah Nabi Muhamad SAW. Kemudian diembangkan melalui jihad oleh para
Ulama‟ ahli fiqh yang memenuhi syarat untuk berjihad dengan cara-cara yang
telah ditetapkan.78
Adapun Kompilasi Hukum Islam Indonesia yang telah
ditetapkan dengan Inpres No. 1 1991 tidak menyebutkan secara tegas
bagaimana pengertian Kompilasi Hukum Islam.79
Akan tetapi di lihat dari rencana kegiatan yang bersangkutan yaitu
untuk menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai pedoman
dalam bidang hukum material sebagia para hakim dilingkungan peradilan
agama. Bahan-bahan yang dimaksud siangkat dari berbagai kitab yang biasa
digunakan sebagai sumber pengambilan dalam penetapan hukum yang
digunakan oleh para hakim dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan
itu. Maka dapat dikemukakan bahwa yang diartikan dengan kompilasi dalam
pengertian Kompilasi Hukum Islam ini adalah merupaka rangkuman dari
berbagai pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh
77
Abdurrahman, op.cit, hlm. 12 78
Mohammad Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1990, hlm. 190 79
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqih Madzab Negara Kritik Atas Politik Hukum Negara Islam
di Indonesia. cet,1, Yogyakarta: LKIS, 2001, hlm. 144.
52
para Ulama‟ fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referansi pada Pengadilan
Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun kedalam satu
himpunan. Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi.80
2. Proses Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Bila mana kita menganggap usaha penyusunan Kompilasi Hukum
Islam adalah merupakan bagian dari upaya kita dalam rangka mencari pola fiqh
yang bersifat kontekstual maka proses ini telah berlangsung lama sekali sejalan
dengan kemunculan ide-ide pembaharuan dalam pemikiran Hukum Islam
Indonesi, yang antara lain dipelopori oleh Prof. Hazairin, Prof. Hasbi Asy
Shiddiqy dan sebagainya. Akan tetapi, kalau kita lihat secara lebih sempit lagi
ini merupakan suatu rangkaian proses yang berlangsung sejak tahun 1985.81
Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
untuk pertama kali diumumkan oleh Metri Agama RI. Munawir Sadzali, MA
pada bulan Februari 1985 dalam ceramahnya didepan mahasiswa IAIN Sunan
Ampel Surabaya, semenjak itu ide ini menggelinding dan mendapat sambutan
hangat dari berbagai pihak.82
Menurut Abdul Chalim Mohammad gagasan untuk melakukan
Kompilasi Hukum Islam ini pada awal mulanya setelah 2,5 tahun lebih
Mahkamah Agung terlibat dalam kegiatan pembnaan badan-badan Peradilan
Agama dan dalam penataran-penataran keterampilan teknis justisial para hakim
80
Abdurrahman, op.cit, hlm. 14. 81
Ibid, hlm. 31. 82
Ibid.
53
agama baik ditingkat nasional maupun regional. Selanjutnya ia mengutip pidato
sambutan Bustanul Arifin pada upacara pembukaan pelaksanaan wawancara
dengan para alim Ulama‟ se Jawa Timur tanggal 16 Oktober 1985 yang
menyatakan bahwa dalam rapat gabungan antara Mahkamah Agung dan
Departemen Agama telah diperoleh kesempurnaan pembinaan badan-badan
Peradilan Agama beserta aparatnya hanya dapat dicapai antara lain:
a. Memberikan dasar-dasar formal: kepastian hukum dibidang hukum acara
dan dalam susunan kekuasaan Peradilan Agama dan kepastian hukum (legal
security) dibidang hukum materi‟il.
b. Demi mencapainya legal security bagi para hakim, bagi para justiabelen
(orang awam pencari keadilan) maupun bagi masyarakat Islam sendiri perlu
aturan-aturan hukum islam yang tersebar itu dihimpun atau dikompilasi
dalam buku-buku hukum tentang perkawinan (munakahat), mawaris
(faraid), dan wakaf.83
Dalam tulisanya yang lain Bustanul Arifin mengemukakan lebih jelas
lagi mengenai hal tersebut. Dikatakan bahwa ide Kompilasi Hukum Islam
timbul setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung (MA) membina
bidang teknis yustisial Peradilan Agama. Tugas pembinaan ini berdasar pada
Undang-undang No. 14 tahun 1970 yang menentukan bahwa peraturan
personal, keuangan dan organisasi Pengadilan-pengadilan yang ada diserahkan
kepada departemen masing-masing. Sedangkan pengaturan teknis yudistial
83
Ibid, hlm. 32.
54
ditangani oleh Mahkamah Agung. Meskipun Undang-undang tersebut telah
ditetapkan tahun 1970, akan tetapi pelaksanaan dilingkungan Peradilan Agama
baru bisa dilakukan pada tahun 1982 setelah ditandatangani Surat keputusan
Bersama (SKB) oleh Ketua Mahkamah Agung dan Mentri Agama. SKB itu
merupakan jalan pintas tanpa menunggu lahirnya Undang-undang pelaksanaan
Undang-undang No. 14 tahun 1970 diatas untuk Peradilan Agama.84
Melalui Keputusan Bersama ketua Mahkamah Agung dan Mentri
Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985
tentang penunjukan pelaksanaan proyek pembanngunan Hukum Islam melalui
Yurisprudensi dimulailah kegiatan proyek dimaksud yang berlangsung untuk
jangka waktu 2 tahun. Pelaksanaan proyek ini kemudian didukung oleh
keputusan Presiden No. 191/1985 tanggal 10 Desember 1985.85
Menurut Surat Keputusan Bersama tersebut ditetapkan bahwa
pimpinan Umum dari proyek adalah Prof. Bustanul Arifin, SH. Ketua Muda
Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung dengan dibantu dua
orang Wakil Pimpinan Umum masing-masing HR. Djoko Soegianto, SH ketua
muda urusan lingkungan peradilan umum bidang Hukum Perdata tidak tertulis
Mahkamah Agung dan H. Zaeni Dahlan, MA direktur Jendral Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama.86
84
Ibid, hlm. 33. 85
Ibid, hlm. 34. 86
Ibid.
55
Sebagai pelaksana pimpinan proyek adalah H. Masrani Basran, SH
Hakim Agung Mahkamah Agung dengan wakil pimpinan plaksana H. Mucthar
Zarkasih, SH ketua muda urusan lingkungan Peradilan Agama Islam
Departemen Agama. Sebagai sekertaris adalah Ny. Lies Sugondo, SH, direktur
direktorat hukum dan Peradilan Mahkamah Agung dengan wakil sekertaris Drs.
Marfuddin Kosasih, SH. Bendahara adalah Alex Marbun dari Mahkamah
Agung dan Drs. Kadi dari Departemen Agama. Disaming itu ada pula
pelaksana bidang yang meliputi:
a. Pelaksana bidang kitab atau yurisprudensi:
1. Prof. H. Ibrahim Husain LML (dari Majlis Ulama‟)
2. Prof. H. MD. Kholid, SH (hakim agung Mahkamah Agung)
3. Wasit Aulawi MA (pejabat Departemen Agama)
b. Pelaksana bidang wawancara:
1. M. Yahya Harahap, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung);
2. Abdul Ghoni Abdullah (Pejabat Departemen Agama).
c. Pelaksana bidang pengumpulan dan pengelolaan data:
1. H. Amiroedin Noer, SH (Hakim Agung Mahkamah Agung);
2. Drs. Muhaimin Nur, SH (Pejabat Departemen Agama).87
Selanjutnya dengan surat keputusan pimpinan pelaksana proyek
tanggal 24 April 1985 No. 01/MA/PPHI/85 telah disusun tim pelaksana yang
87
Ibid. Hlm.35.
56
bersifat lebih administrativ lagi dalam menunjang pelaksanaan proyek yang
bersangkutan.88
Munurut lampiran surat keputusan bersama 21 Maret 1985 tersebut di
atas ditentukan bahwa tugas pokok proyek tersebut adalah untuk melaksanakan
usaha pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi dengan jalan
kompilasi hukum. Sasaran mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan landasan
putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat
Indonesia untuk menuju hukum nasional. Untuk menyelenggarakan tugas
pokok tersebut, maka proyek pembangunan Hukum Islam melalui
yurisprudensi dilakukan dengan cara:
a. Pengkajian kitab fiqh;
b. Wawancara dengan para Ulama‟;
c. Yurisprudensi Pengadilan Agama;
d. Studi banding hukum dengan negara lain;
e. Lokakarya atau seminar materi hukum untuk Pengadilan Agama.89
Bidang yang digarap dengan usaha ini adalah bidang Hukum
Perkawinan, Hukum Kewarisan, Wakaf, Hibah, Shodaqoh, Baitul Mal dan lain-
lain menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Sejalan dengan apa yang
dilakukan diatas, maka pelaksanaan penyusunan kompilasi ini dilakukan
melalui beberapa tahap, yaitu:
88
Ibid. 89
Ibid. Hlm.36
57
a. Tahap I : Tahap persiapan
b. Tahab II : Tahap pengumpulan data, melalui:
1) Jalur Ulama‟
2) Jalur kitab-kitab fiqh
3) Jalur yurisprudensi Peradilan Agama
4) Jalur studi perbandingan di Negara-negara lain khususnya di Negara-
negara timur tengah.
c. Tahap III : Tahap penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Islam dari
data-data tersebut
d. Tahap IV : Tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-
masukan akhir dari para ulama‟ atau cendikiawan muslim seluruh indonesia
yang ditunjuk melalui lokakarya.90
a. Jalur Kitab.
Menurut M. Yahya Harahap, pengumpulan data melaui jalur kitab,
operasionalnya secara singkat adalah sebagai berikut:
a) Penentuan kitab fiqh yang dijadikan bahan pengkajian (antara lain I‟anatut
Tholibin, Targhibul Mukhtar, Al Fiqhu „Ala Madzhibil Arba‟ah, Fiqhul
Qodir, dan lain sebagainya).
b) Pelaksanaan dipercayakan kepada beberapa Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) ayang pnandatanganan kerjasmanya dilakukan tanggal 19 Maret
1986 antara Menteri Agama dengan Rektor IAIN yang ditunjuk.
90
Ibid, hlm. 37
58
c) Dari kitab-kitab fiqh tadi, akan dirumuskan kesimpulan singkat pendapat
hukum sesuai rincian masalah yang disusun panitia.91
b. Jalur Ulama‟
Keterlibatan lain dalam proses penyusunan kompilasi Hukum Islam,
pihak Ulama‟ dijadikan sebagai responden92
dan diundang sebagai peserta
lokakarya pembangunan Hukum Islam malalui Yurisprudensi. Menurut cacatan
pelaksanaan proyek, wawancara terhadap para ulam‟ dilakukan di 10 lokasi
wilayah PTA, dengan melibatkan 185 Ulama‟ dengan rincian sebagai berikut:
1. Wilayah Banda Aceh : 20 Ulama‟
2. Wilayah Medan : 19 Ulama‟
3. Wilayah Padang : 20 Ulama‟
4. Wilayah Palembang : 20 Ulama‟
5. Wilayah Bandung : 16 Ulama‟
6. Wilayah Surakarta : 18 Ulama‟
7. Wilayah Surabaya : 18 Ulama‟
8. Wilayah Banjarmasin : 15 Ulama‟
9. Wilayah Ujung Pandang : 19 Ulama‟
10. Wilayah Mataram : 20 Ulama‟
91
Ibid, hlm. 38-39 92
Kualifakasi Ulama‟ yang masuk dalam daftar responden adalah Ulama‟-ulama‟ pilihan yang
bener-benar diperkkirakan berpengetahuan cukup dan berwibawa. Selain itu, ipertimbangkan juga
kelengkapan geografis dari jangkauan wibawa.
59
Wawancara dilakukan oleh tim PTA pelaksana proyek ditambah dengan
wakil dari PTA wilayah responden. Wawancara dengan para Alim Ulama‟ ini
panitia pusat telah sepakat untuk memakai dua cara: pertama, dengan
mempertemukan mereka untuk diwawancarai bersama-sama, kedua,
mewancarai secara terpisah jika cara pertama tidak mungkin dilaksanakan. Dari
wawancara ini juga diharapkan akan diperoleh saran-saran tetang pemakaian
kitab dan madzab rujukan.93
c. Jalur Yurisprudensi
Berkenan mengenai pengharapan melalui jalur yurisprudensi,94
tidak
banyak keterangan yang diberikan oleh para penulis mengenai kompilasi.
Dalam hal uraian mengenai sejarah Kompilasi Hukum Islam yang termuat
dalam Kompilasi Hukum Agama bahwa penelitian yurisprudensi dilaksanakan
oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Terhadap Putusan
Pengadilan Agama yang telah dihimpun dalam 16 buku, yaitu:
1) Himpunan putusan PA/PTA 3 buku, yaitu terbitan Tahun 1976/1977,
1977/1978, 1978/1979, dan 1980/1981.
2) Himpunan fatwa 3 buku, yaitu terbitan tahun 1978/1979, 1979/1980, dan
1980/1981.
93
Abdurrahman, op.cit. hlm. 41 94
Yurispridensi yang dimaksud adalah Jurisprudentie (Belanda), yakni putusan-putusan
pengadilan yang dianggap sebagai satu hukum. Karena bila sudah ada suatu Jurisprudentie yang tetap,
maka hal ini akan selalu diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam soal serupa.
Lihat di, J.C.T. Simongkir, dkk, Kamus Hukum, hlm. 78: Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, hlm.
927-928.
60
3) Yurisprudensi PA 5 buku, yaitu:yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979,
1981/1982, 1982/1983, dan 1983/1984.
4) Law Raport 4 buku, yaitu terbitan tahun 1977/1978, 1978/1979, 1981/1982,
dan 1983/1984.95
d. Jalur Studi Banding
Kemudian melalui pelaksanaan jalur keempat sebagaimana
dikemukakan dalam uraian dimuka adalah dengan melakukan studi banding ke
beberapa Negara. Melalui studi banding ini menurut Bustanul Arifin kita
pelajari bagaimana Negara-negara yang memberlakukan hukum Islam, yakni
bidang-bidang yang akan dikompilasi di Indonesia. Jalur ini dilaksanakan
dengan mengunjungi beberapa Negara Islam antara lain, Pakistan, Mesir dan
Turki. Kemungkinan besar karena keterbatasan dana, pelaksanaanya bisa
dipercayakan kepada mahassiswa yang berada disana.96
Dalam uraian mengenai sejarah Kompilasi Hukum Islam di Indosesia
yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia terbitan Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama dikemukakan bahwa studi perbandingan
dilaksanakan ke Timur Tengah.97
Studi banding yang dilaksanakan oleh H. Masrani Basran SH, Hakim
Agung Mahkamah Agung RI dan H. Muctar Zarkasi SH Direktur Pembinaan
Badan Peradilan Agama RI. Informasi bahan masukan yang diperoleh adalah:
95
Ibid, hlm. 43-44 96
Ibid, hlm. 44 97
Marzuki Wahid, op.cit. hlm. 158
61
1) Sistem Peradilan
2) Masuknya Syari‟ah Law dan dalam tata arus Tata Hukum Nasional
3) Sumber-sumber hukum dan materiil yang menjadi pegangan/terapan hukum
di bidang Ahwalussakhsiyah yang menyangkut kepentingan muslim.98
e. Seminar dan Lokakarya
Jalur ini tidak saja diadakan oleh panitia resmi proyek penyusunan
Kompilasi, tetapi sebelum pada akhirnya disepakati Kompilasi, beberapa
Organisasi Islam mengadakan seminar. Diantaranya Majelis Tarjih
Muhammadiyah tanggal 8-9 April 1986 di kampus Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY), dihadiri Mentri Agama dan ketua MUI, Hasan Basri.
Sedangkan Nahdatul Ulama (NU) Jawa Timur mengadakan Bahsul Masail tiga
kali di pondok pesantren Tambak Beras, Lumajang dan Sidoarjo.99
Lokakarya ini memperlihatkan puncak perkembangan pemikiran fiqh
Indonesia. Pada kesempatan itu hadir tokoh Ulama‟ fiqh dari Organisasi-
organisasi Islam, Ulama fiqh dari perguruan tinggi, dari masyarakat umum dan
diperkirakan dari semua lapisan Ulama‟ fiqh ikut dalam pembahasan hukum
sehingga patut dinilai sebagai Ijma‟ Ulama‟ Indonesia. 100
Pelaksanaan lokakarya diikuti oleh 124 orang peserta dari seluruh
Indonesia. Yang terdiri dari ketua umum Majlis Ulama‟ Propinsi, para ketua
Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia, beberapa orang Rektor IAIN,
98
Ibid, hlm. 159 99
Ahmad Rofiq, op.cit. hlm. 93 100
Abdurrahman, op.cit. hlm. 46
62
beberapa Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN, sejumlah wakil Organisasi Islam,
sejumlah Ulama‟ dan sejumlah cendekiawan muslim, baik di daerah maupun di
pusat, tidak ketinggalan pula wakil organisasi wanita.101
Lokakarya disebut berlangsung lima hari, mulai (tanggal 2-6 Februari
1988) bertempat di Hotel Chanda Jakarta, dibuka oleh ketua H. Mahkamah
Agung Ali Said SH. Juga memberi kata sambutan Mentri Agama RI H.
Munawir Sadali MA. Setelah pembukaan pimpinan proyek Prof. Bustanul
Arifin. SH memberikan beberapa penjelasan berkenaan dengan materi
lokakarya, dan peserta lokakarya dibagi menjadi tiga komisi, antara lain:
a) Komisi I bidang Hukum Perkawinan di ketuai oleh H. Yahaya Harahap DH,
sekertaris Drs. H. Marfuddin Kosasih SH. Narasumber KH. Halim
Muhammad SH dengan anggota sebanyak 42 orang.
b) Komisi II bidang Hukum Mawaris diketuai oleh H. A Wasit Aulawi MA
dengan sekertaris H. Zainal Abidin Abu Bakar SH, Narasumber KH. A
Azhar Basyir MA dengan anggota sebanyak 42 orang.
c) Komisi III Bidang Hukum Perwakafan diketuai oleh H. Masrani Basran SH
sekertaris DR. H.A Gani Abdullah SH, Narasumber Prof. Dr. Rahmat
Jatnika, dengan anggota sebanyak 29 orang.102
Perumusan materi dilakukan di masing-masing komisi, dan dibentuk tim
perumusannya, yaitu:
101
Ibid, hlm. 47 102
Ibid .
63
1. Tim Perumusan Komisi A tentang Hukum Perkawinan:
a. H.M. Yahya Harahap, SH;
b. Drs. Marfuddin Kosasih, SH;
c. KH. Halim Muchammad, SH;
d. H. Muchtar zarkasi, SH;
e. KH. Ali Yafie;
f. KH. Najih Ahyad.
2. Tim Perumusan Komisi B tentang Hukum Kewarisan:
a. H.A. Wasit Aulawi, MA;
b. H. Zaenal Abidin Abubakar,SH;
c. KH. Azhar Basyir;
d. Prof. KH. Md. Kholid, SH;
e. Drs. Ersyaad, SH.
3. Tim Perumusan Komiai C tentang Hukum Perwakafan:
a. H. Masrani Basran, SH;
b. DR. A. Gani Abdullah, SH;
c. Prof. DR. H. Rahmat Jatnika;
d. Prof. KH. Ibrahim Husain, LML;
e. KH. Azis Masyuri103
Dalam lokakakrya Nasional terssebut disepakati perlunya dirmuskan
hukum Islam yang bercorak di Indonesia. Di antara peserta lokakarya
103
Ibid, hlm. 48
64
mengiginkan Kompilasi dapat diundang melalui Undang-undang. Namun di sisi
lain, ada kekhawatiran jika Kompillasi dikeluarkan dalam bentuk Undang-
undang, sudah barang tentu, jika melalui DPR, diperkirakan menemui kesulitan
dan akan memakan waktu yang sangat lama jika tidak malah berlarut-larut.
Sebagian lain agar di tuangkan dalam peraturan pemerintah dan keputusan
Presiden. Agaknya tarik menarik antara kompilasi diwujudkan dalam bentuk
undang-undang, paling tidak peraturan pemerintah cukup kuat. Hal ini didasari
pandangan bahwa Kompilasi Hukum Islam diharapkan mejadi Hukum Materiil
dan ketentuan yang terdapat dalam pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989.104
Pada tanggal 29 Desember 1989 pemerintah mengundangkan
berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 (LN 1989 N0.49) tentang
Peradilan Agama. Berlakunya Undang-undang ini mempunyai pengaruh yang
sangat besar terhadap proses penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Undang-
undang No. 7 Tahun 1989 adalah mengatur tentang Hukum Formal yang akan
akan dipakai dilingkungan Peradilan Agama. Hukum Formal secara teori
adalah adalah unntuk “mengabdi” kepada hukum mateial. Akan tetapi sebagai
mana telah dikemukakan dalam uraian terdahulu sampai saat ini hukum
material mana yang di pergunnakan bagi Peradilan Agama masih belum jelas
dan untuk keperluan itulah Kompilsai Hukum Islam disusun. Dengan demikian,
maka dengan berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 menjadi dorongan
104
Ahmad Rofiq, op.cit. hlm. 94
65
yang lebih kuat untuk memacu lahirnya hukum materiilnya yaitu Kompilasi
Hukum Islam.105
Pada akhirnya setelah melalui perdebatan yang sangat panjang, pada
tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangi Intruksi Presiden Republik
Indonesia No. 1 Tahun 1990. Sejak saat itu secara formal berlakulah Kompilasi
Hukum Islam diseluruh Indonesia sebagai hukum materil yang dipergunakan
dilingkungan Peradilan Agama. Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 22 Juli
1991 Menteri Agama telah mengeluarkan keputusan No. 154 tahun 1991
tentang pelaksanaan Intruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni
1991. Selanjutnya Kompilasi ini disebarluaskan kepada semua ketua
Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama melalui Surat Edaran
Direktur Pembina Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25Juli 1991 No.
3694/EV/HK.003/AZ/91.106
3. Landasan dan Sistematika Kompilasi Hukum Islam
a. Landasan Kompilasi Hukum Islam
1) Landasan Yuridis
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan
kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-undang No. 4 Tahun 2004
Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi: “Hakim waib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
105
Ibid. 106
Ibid, hlm. 51
66
masyarakat”. Dan di dalam fiqh ada kaidah yang mengatakan bahwa:
Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan
keadaan.107
2) Landasan Fungsional
Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia karena ia disusun
dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia.
Ia bukan merupakan madzab baru tetapi ia mempersatukan berbagai fiqh
dalam menjawab persoalan fiqh. Dan mengarah pada Unifikasi Madzab
dalam hukum Islam. Oleh karena itu, didalam sistem hukum Indonesia ini
merupakan bentuk terdekat kodifikasi hukum yang menjadi arah
pembangunan hukum nasional di Indonesia.108
b. Sistematika Kompilasi Hukum Islam
Sebagaimana yang telah disinggung di muka bahwa Kompilasi
Hukum Islam ini hanya memuat tiga ketentuan hukum materiil Islam, yakni
ketentuan-ketentuan hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum
perwakafan. Ketiga pengelompokan bidang hukum tersebut ditulis didalam
Kompilasi Hukum Islam secara terpisah, masing-masing dalam buku
tersendiri. Dalam setiap buku, ketentuan spesifikasi bidang hukum terbagi
kedalam bab-bab, dan masing-masing lagi dirinci dalam bagian pasal-pasal.
Teknik penomoran bab-bab dan bagian-bagian diurutkan sesuai dengan
107
Zainudin Ali, Hukum Islam Pengantar Hukum Islam Di Indonesia, cet. II. Jakarta: Sinar
Grafika, hlm. 99 108
Ibid, hlm. 100.
67
pengelompokan buku. Sedangkakn penomoran diurutkan secara keseluruhan
dari buku pertama hingga buku ketiga.109
Dengan demikian sistematika Kompilasi Hukum Islam terdiri dari:
I. Tiga Buku, dan 229 Pasal, yaitu:
1. Buku I: Hukum Perkawinan, yang terbagi dalam:
a) XIX (sembilan belas bab)
b) 170 Pasal (dari Pasal 1-170)
2. Buku II: Hukum Waris, yang terbagi dalam:
a) IV (enam) bab
b) 44 Pasal (dari Pasal 171-214)
3. Buku III: hukum perwakafan, yang terbagi dalam:
a) V (lima) bab
b) 15 Pasal (dari Pasal 215-229)
II. Penjelasan atas Buku-buku Kompilasi Hukum Islam
1. Penjelasan Umum
2. Penjelasan Pasal-pasal110
Masalah iddah dalam KHI diatur pada Bab XVII tentang Akibat
Putusnya Perkawinan bagian kedua yaitu waktu tunggu pasal 153, 154, dan
155. Akan tetapi iddah yang dijelaskan dalam pasal-pasal tersebut hanyalah
iddah yang telah disepakati oleh para ulama‟.
109
Abdurrrahman, op. cit., hal. 49. 110
Marzuki Wahid. op.cit. hlm. 162.
68
Dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah iddah atau waktu tunggu
dijelaskan dalam pasal 153, 154 dan 155. Pasal 153 ayat (1) KHI menyatakan
: “ bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau
iddah, kecuali qabla ad-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena
kematian suami.”
Adapun macam – macam iddah dalam KHI dijelaskan sebagai berikut
:
1. Putus perkawinan karena ditinggal mati suami
Pasal 153 ayat (2) huruf a KHI menjelaskan : “ apabila perkawinan
putus karena kematian, walaupun qabla ad-dukhul, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari”. Ini berdasarkan Surat al-Baqarah
(2) : 234.
Ketentuan di atas berlaku bagi isteri yang ditinggal mati
suaminya dalam keadaan tidak hamil. Sedangkan apabila isteri tersebut
dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah sampai ia
melahirkan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 153 ayat (2) huruf d KHI.
Hal ini didasarkan pada Surat at-Talaq (65) : 4.
2. Putus perkawinan karena perceraian
Isteri yang dicerai suaminya dapat berlaku beberapa kemungkinan
waktu tunggu sesuai dengan keadaannya :
a. Dalam keadaan hamil.
69
Apabila isteri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka
iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya seperti dijelaskan dalam
pasal 153 ayat (2) huruf c KHI.
b. Apabila dicerai suaminya setelah terjadi hubungan kelamin (dukhul):
1) Bagi yang masih datang bulan, waktu tunggunya adalah tiga kali suci
dengan sekurang-kurangnya 90 hari (pasal 153 ayat (2) huruf b
KHI).
2) Bagi yang tidak atau belum datang bulan masa iddahnya tiga bulan
atau 90 (sembilan puluh) hari(pasal 153 ayat (2) huruf b KHI).
3) Bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah
tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci
(pasal 153 ayat (5) KHI).
4) Dalam keadaan pada ayat (5) tersebut bukan karena menyusui maka
iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun
tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci
(pasal 153 ayat (6) KHI).
3. Putus perkawinan karena faskh, khulu‟ dan li‟an
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khulu‟
(cerai gugat atas dasar tebusan atau „iwad dari isteri), fasakh, atau li‟an,
maka waktu tunggu berlaku seperti iddah talak (pasal 155 KHI).
4. Isteri ditalak raj‟i kemudian ditinggal mati suami dalam masa iddah
70
Apabila isteri tertalak raj‟i kemudian dalam waktu iddah
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6)
pasal 153 KHI ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah
menjadi empat bulan sepuluh hari (130 hari) terhitung saat matinya bekas
suami (pasal 154 KHI).
Selanjutnya dalam pasal 153 ayat (4) KHI menjelaskan bahwa bagi
perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung
sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian,
tenggang waktu dihitung sejak kematian suami.111
B. Perhitungan Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa
Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam
Masa iddah dalam pasal 153 KHI mempunyai beberapa macam yang
dapat diklarifikasi sebagai berikut pasal KHI bagi seorang istri yang putus
pekawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dhukul dan
Perkawinannya putus bukan karena kematian suami. waktu tunggu bagi seorang
janda ditentukan sebagai berikut: apabila perkawian putus karena kematian,
walaupun qabla al-dhukul, waktu tunggu ditetapkan 130 hari apabila perkawinan
putus atas perceraian waktu tunggu yang masih haid ditetapkan 2 kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari apabila
111
Ahmad Rofiq, op.cit. hlm.314.
71
perkawinan putus karena percerian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil
maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam
keadaan hamil maka waktu tunggu ditetapkan sampai anak itu lahir. tidak ada
waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda
tersebut dengan bekas suaminya qabla al–dhukhul. bagi perkawinan yang putus
karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan
pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi
perkawinan peyang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
kematian suami. waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu
menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya 3 kali waktu suci.
Dalam keadaan seperti pada ayat 5 bukan karena menyusui, maka iddahnya selama
1 tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali maka
iddahnya menjadi 3 kali suci.
Hukum Islam dan peraturan yang dibuat oleh suatu negara terkadang
tidak berjalan secara beriringan, artinya keduanya tidak bisa bertemu satu sama
lainnya. Kadang aturan pemerintah membolehkan tetapi dilarang menurut hukum
Islam, begitu juga sebaliknya. Inilah yang menjadi salah satu problema masyarakat
muslim yang tinggal di negara non Islam, artinya negara yang tanpa aturan syariat
Islam termasuk Indonesia.
72
Salah satu permasalahan tersebut adalah mengenai perhitungan iddah.
Indonesia telah sedemikian rupa mengatur masalah iddah ini dalam beberapa
peraturan yang mengikat bagi setiap warga negara.
Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani
iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. Dalam hal
keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun,
akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya
menjadi tiga kali waktu suci.
Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu dihitung
sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu
dihitung sejak kematian suami. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang
pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali
waktu haid. dalam hal keadaan ayat 5 bukan karena menyusui, maka iddahnya
selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid
kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci.
Dalam Perhitungan iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani
masa Iddah karena menyusui dalam KHI Pasal 153 ayat (5) KHI dijelaskan
bahwa, “Bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak
haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci”.
73
Dalam hal ini, terdapat sebuah istilah yang dikenal dengan wanita al-
Murtaabah. Wanita murtabah adalah wanita yang siklus haidnya tidak teratur.
Wanita dalam kondisi ini ada dua keadaan:
Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya
berubah karena sebab yang diketahui, seperti menyusui, cacat atau sakit yang
masih ada harapan untuk sembuh. Dalam kondisi ini, wanita diwajibkan untuk
bersabar sampai siklus haidnya kembali normal, meskipun waktunya panjang.
Setelah siklus haid kembali normal maka dia menjalani masa iddahnya dengan
hitungan quru‟ (menjalani 3 kali haid). Ini adalah pendapat Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu „anhum.
Sebelumnya memiliki siklus haid yang teratur kemudian siklus haidnya
berubah namun sebabnya tidak diketahui.
C. Dasar Hukum Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa
Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam
Ketentuan yang tertuang dalam KHI Pasal 153 ayat (5) tersebut
berdasarkan pada pendapat ulama yang bermazhab Syafi‟i yaitu Syaikh Sulaiman,
dalam karyanya yang bernama kitab Al-Bujraimi.
حيط فتعتد بالقراء أو حت ى تبلغ سن اليأس من انقطع حيعها لعارض كرظاع أونفاس أومرض , تصبر حت ى ت
فتعتد بال شهر
Artinya: “Barang siapa (perempuan) berhenti haid karena illat seperti menyusui,
nifas, atau sakit, maka ia beriddah dengan beberapa suci atau sampai
usia menopause, lalu ia beriddah dengan beberapa bulan”
74
Dari keterangan kitab tersebut, kita pahami bahwa seorang perempuan pada
saat menjalani masa iddah tetapi dalam masa tersebut haidnya berhenti, ia tetap
beriddah menggunakan quru‟, yakni tiga quru‟. Jika ia tetap tidak mengalami haid
lagi, maka setelah ia mencapai usia menopause ia cukup beriddah dengan bulan,
yakni tiga bulan. Setelah itu ia sudah dinyatakan selesai menjalani masa iddah.
Semuanya itu, apabila berhentinya haid wanita tersebut dikarenakan adanya suatu
illat (penyakit), seperti sedang menyusui, nifas, atau sakit.
75
BAB IV
ANALISIS KETENTUAN KHI PASAL 153 AYAT (5) TENTANG IDDAH
BAGI PEREMPUAN YANG BERHENTI HAID KETIKA MENJALANI
MASA IDDAH KARENA MENYUSUI
A. Analisis Perhitungan Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika
Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam
Sebelum penulis menganalisis lebih lanjut tentang perhitungan masa
iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah karena
menyusui, yang mana dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan pada bagian
kedua pasal 153 ayat (5) “waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada
waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu
suci”, terlebih dahulu kita pahami beberapa pendapat para ulama mengenai
perhitungan iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa iddah
karena menyusui atau karena penyakit.
Kalangan para ulama‟ berpendapat mengenai iddah bagi istri yang pernah
haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui. Ulama‟
Hambali dan Ulama‟ Maliki berpendapat bahwa iddahnya wanita yang berhenti
karena menyusui atau karena penyakit maka iddahnya satu tahun penuh. Ulama‟
Syafi‟i berpendapat dalam qaul jadid di antara dua pendapatnya mengatakan
76
bahwa, wanita tersebut selamanya berada dalam iddah hingga ia mengalami haid
atau memasuki usia menopause, sesudah itu beriddah selama tiga bulan.
Menurut Hanafi, apabila seorang wanita mengalami satu kali haid, lalu
karena sakit atau menyusui haidnya terputus sama sekali, dan dia tidak lagi
pernah mengalami haid, maka wanita tersebut dinyatakan tidak keluar dari
iddahnya sampai kelak dia memasuki masa menopause. Dengan memasuki masa
menopause ini sajalah dia bisa menyelesaikan iddahnya. Dengan demikian,
menurut Hanafi dan Syafi‟i masa iddahnya dapat berlanjut selama 40 tahun.112
Imamiyah berpendapat bahwa apabila karena sesuatu sebab wanita
tersebut mengalami keterputusan shaid, lalu dia ditalak, maka iddahnya adalah
tiga bulan sebagaimana yang ada pada wanita yang tidak pernah mengalami haid
sama sekali. Kalau ternyata ia mengalami haid lagi setelah ditalak, maka
iddahnya adalah salah satu di antara dua jenis iddah berikut ini yang terlebih
dahulu dia selesaikan. Yaitu tiga bulan penuh atau tiga quru‟. Artinya, kalau dia
terlebih dahulu bisa menyelesaikan tiga quru‟ sebelum tiga bulan penuh, maka
iddahnya dinyatakan selesai. Demikian pula halnya, bila dia telah melewati masa
tiga bulan penuh tapi belum menyelesaikan tiga quru‟, maka iddahnya pun
dianggap telah selesai pula.113
Untuk menganalisa KHI Pasal 153 ayat (5), kita perhatikan lagi bunyi
pasal tersebut, “Bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah
112
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Khamsah, Penerj. Masykur,
dkk, Terj. “Fiqih Lima Mazhab”, Jakarta: PT Lentera Basritama, cet. II, 1996, hlm. 468. 113
Ibid.
77
tidak haid karena menyusui maka iddahnya tiga kali waktu suci”. Pasal ini
menerangkan bahwa si wanita tersebut harus menunggu sampai mengalami haid,
lalu ia menghitung tiga kali waktu suci dari haid tersebut. Wanita yang menyusui
di sini diibaratkan sebagai wanita yang sedang berpenyakit, seperti halnya nifas
atau sedang memiliki penyakit yang mengakibatkan ia tidak mengeluarkan haid.
Sehingga, jika ketika wanita itu dalam kondisi seperti ini dan selamanya tidak
mengeluarkan haid lagi, maka selamanya ia juga berada dalam masa iddah.
Setelah mencapai usia menopause, ia mengunakan iddah bulan yakni tiga
bulan. Meski hal ini tidak dijelaskan secara eksplisit dalam KHI Pasal 153 ayat
(5), karena ketentuan ini merujuk pada pendapat ulama Syafi‟iyyah.
Dari beberapa keterangan di atas, penulis mengambil beberapa hasil
analisa sebagai berikut:
1. Perempuan yang sedang menyusui, kaitannya dengan masalah iddah, ia
dianalogikan sebagai wanita yang berpenyakit. Bukan berarti susu itu adalah
penyakit. Akan tetapi, menyusui yang mengakibatkan berhentinya haid itulah
yang menjadikan wanita ini disamakan dengan wanita yang memiliki penyakit
(illat).
2. Dalam KHI Pasal 153 ayat (5) mengandung ketentuan bahwa jika wanita yang
haidnya berhenti karena menyusui atau sebab penyakit itu telah mencapai usia
menopause, maka beriddah tiga bulan. Meski hal ini tidak dijelaskan langsung
secara eksplisit.
78
B. Analisis Dasar Hukum Iddah Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika
Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui Dalam Kompilasi Hukum Islam
Dalam bab 3 telah dijelaskan bahwa ketentuan iddah yang tertuang dalam
KHI Pasal 153 ayat (5) berdasar pada pendapat ulama yang bermazhab Syafi‟i
yaitu Syaikh Sulaiman, dalam karyanya yang bernama kitab Al-Bujraimi.
حت ى تبلغ سن اليأس من انقطع حيعها لعارض كرظاع أونفاس أومرض , تصبر حت ى تحيط فتعتد بالقراء أو
فتعتد بال شهر 114
Artinya: “Barang siapa (perempuan) berhenti haid karena adanya illat (penyakit)
seperti menyusui, nifas, atau sakit, maka ia beriddah dengan beberapa
suci atau sampai usia menopause, lalu ia beriddah dengan beberapa
bulan”
Kata عارض yang diartikan sebagai penyakit merupakan sesuatu yang
dapat menyebabkan haid seorang wanita berhenti. Jadi, jika terdapat penyakit
namun tidak menyebabkan berhentinya haid seseorang atau wanita yang
menyusui namun masih mengalami haid biasa, maka ia tidak termasuk dalam
kategori ini.
Kata سن اليأس yang dimaksud dalam kitab tersebut diartikan terputusnya
haid, yakni masa di mana seorang wanita sudah tidak lagi mengalami haid
(menopause).
Dari keterangan kitab tersebut, kita pahami bahwa seorang perempuan
pada saat menjalani masa iddah tetapi dalam masa tersebut haidnya berhenti, ia
114
Syaikh Sulaiman, Bujraimai, Beirut: Darul Fikr, 2007, hlm. 50.
79
tetap beriddah menggunakan quru‟, yakni tiga quru‟. Dalam KHI sendiri,
mengartikan istilah quru‟ adalah suci, sehingga iddahnya tiga kali waktu suci.
Jika ia tetap tidak mengalami haid lagi, maka setelah ia mencapai usia
menopause ia cukup beriddah dengan bulan, yakni tiga bulan. Setelah itu ia sudah
dinyatakan selesai menjalani masa iddah. Semuanya itu, apabila berhentinya haid
wanita tersebut dikarenakan adanya suatu illat (penyakit), seperti sedang
menyusui, nifas, atau sakit.
Perbedaan pendapat tentang iddah bagi wanita yang berhenti haid karena
menyusui dikarenakan perbedaan para ulama dalam memahami firman Allah
surat al-Thalaq , ayat 4:
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka
masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang
bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam
urusannya.”
Imam Malik mengartikan kata ya-is adalah wanita yang tidak dapat
dipastikan telah putus haid. Beliau menjadikan firman Allah (jika kamu
80
ragu-ragu) berkaitan dengan hukum bukan dengan haid (yaitu jika kamu ragu-ragu
tentang istri yang telah putus haid). Sedangkan bagi wanita yang selama 9 bulan
tidak mengalami haid sedang usianya masih memungkinkan terjadinya haid, Imam
Malik berpendapat bahwa ia Beriddah selama 3 bulan (9 bulan untuk mengetahui
kehamilannya, 3 bulan untuk iddahnya).
Imam Syafi‟i dan Hanafi mengartikan kata ya-is adalah wanita yang
sudah putus haid. Bagi wanita yang berhenti haidnya sedang ia masih mungkin
mengalami haid maka ia harus menunggu sampai ia memasuki usia tersebut (usia
putus haid).
Dalam permasalahan ini penulis beranggapan bahwa pendapat Imam
Malik, Iman Syafi‟i dan Imam Hanafi tentang iddah bagi wanita yang berhenti
haid karena menyusui terlalu memberatkan karena salah satu tujuan dari iddah
adalah untuk mengetahui kehamilan seseorang, al-Qur‟an memberikan petunjuk
yang sangat jelas bahwa iddah terlama adalah empat bulan sepuluh hari (bagi
wanita yang dicerai mati), tiga bulan bagi wanita yang sudah putus haid atau
belum pernah haid dan tiga quru‟ bagi wanita yang masih haid. Sedangkan bagi
wanita yang dithalak suaminya (pernah haid sekali atau dua kali) kemudian pada
masa iddahnya ia tidak haid menurut penulis iddahnya adalah tiga bulan. Apabila
tiga bulan tersebut diketahui ia hamil maka wanita tersebut harus Beriddah sampai
ia melahirkan. Akan tetapi apabila waktu tiga bulan tersebut ia tidak hamil maka
habislah masa iddahnya.
81
Jadi menurut penulis iddah bagi wanita yang berhenti haid karena
menyusui dikembalikan kepada hukum asal. Apabila wanita tersebut masih haid
maka ia Beriddah selama 3 quru‟, apabila ia sudah putus haid maka ia Beriddah
dengan hitungan bulan (tiga bulan).
Dalam menentukan hukum pertama-tama mencarinya didalam al-Qur‟an.
karena al-Qur‟an merupakan sumber hukum Syari‟at Islam yang pertama, dengan
al-Qur‟an pula kita akan mengetahui hukum Allah SWT. Di dalam al-Qur‟an
syari‟at secara keseluruhan diterangkan. Oleh karena itu al-Qur‟an mempunyai
daya tahan sepanjang zaman dan dapat sesuai dengan kondisi setiap masyarakat.
Selain itu hukum di dalam al-Qur‟an juga bersifat mujmal yang perinciannya
diserahkan kepada ahli ijtihad.115
Di dalam memahami ayat-ayat al-Qur‟an terkadang kita
memerlukan penjelasan atau takwil dengan cara mempelajari hadits. Hadits sangat
diperlukan karena bukan saja sebagai sumber yang kedua bagi Syari‟at Islam akan
tetapi juga karena sebagai penafsir al-Qur‟an, pensyarah, menafsirkan yang mujmal
dan mentaqyid kan yang mutlaq.116
Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‟an kita memerlukan pentakwilan,
apabila dalil syar‟i menghendaki adanya pentakwilan, maka yang
dijadikan pegangan adalah arti takwil tersebut. Apabila terdapat pertentangan
115
Teungku Muhammad Hasby Ash- Shiedieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang: PustakaRizki
Putra, 1997, hlm. 176. 116
Teungku Muhammad Hasby Ash- Shiedieqy, Pokok Pokok Pegangan Imam Madzha , Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 186.
82
antara dhohir Al-Qur‟an dengan makna yang terkandung dalam dhohir dalam
sunnah sekalipun jelas maka yang didahulukan adalah dhohir al-Qur‟an tetapi
apabila makna yang terkandung oleh sunnah tersebut dikuatkan dengan ijma‟ ahli
Madinah, maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam
dhohir sunnah dari pada dhohir al-Qur‟an (sunnah mutawatiroh atau sunnah
mashuroh).
Praktek keagamaan menurut para sahabat Imam Malik, tidak lain adalah
praktek yang diwarisi para masa Rasulullah saw, kemudian praktek tersebut
diwariskan kepada generasi berikutnya sampai kepada Imam Malik. Dengan
demikian perilaku sehari-hari penduduk Madinah (ijma ahli Madinah) yang
berasal dari qur‟an, hasil mencontoh Rasulullah saw bukan berasal dari ijtihad ahli
Madinah. Sehingga amal ahli Madinah ini dijadikan sebagai sumber hukum dalam
islam dan kedudukannya sebagai hadits mutawatir.
Selanjutnya jika hukum tersebut tidak ditemukan dalam sumber-sumber
tersebut, maka merujuk kepada fatwa sahabat. Fatwa sahabat yang dimaksud
adalah berwujud hadits-hadits yang bersumber dari para sahabat besar yang
mempunyai pengetahuan terhadap suatu masalah sehingga hadits tersebut wajib
diamalkan.
Fatwa sahabat yang bisa dijadikan sebagai hujjah tidak boleh
bertentangan dengan hadits marfu‟. Selain itu fatwa sahabat yang merupakan hasil
ijtihad mereka.
83
Setelah berbagai metode yang ditempuh diatas belum juga menemukan
suatu ketetapan hukum, kemudian menggunakan qiyas. Qiyas menurut ulama‟
ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada
kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash
karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.117
Dalam pembahasan ini penulis menganalisis permasalahan tentang iddah
wanita yang berhenti haid karena menyusui diqiyaskan dengan iddah bagi wanita
yang tidak haid sedang ia masih dalam usia haid. Penerapan ini membuktikan
bahwa pasal-pasal dalam Kompilasi Hukum Islam berpegang pada dhahir al-
Qur‟an surat ath-Thalak ayat 4.
117
Prof. Dr. Abdul wahhab khallaf, Kaidah- Kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
cet. VIII, 2002, hlm. 74.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari seluruh uraian skripsi yang telah penulis paparkan, penulis
mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Perhitungan iddah bagi perempuan yang berhenti haid ketika menjalani
masa iddah karena menyusui yaitu tiga kali waktu suci, sebagai mana
dijelaskan dalam KHI Pasal 153 ayat (5), “Bagi isteri yang pernah haid
sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui maka
iddahnya tiga kali waktu suci”.
2. Dasar hukum iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa
iddah karena menyusui yang tertuang dalam KHI tersebut tertuang dalam
kitab al-Bujraimi, sebagai berikut:
حت ى تبلغ سن اليأس من انقطع حيعها لعارض كرظاع أونفاس أومرض , تصبر حت ى تحيط فتعتد بالقراء أو
فتعتد بال شهر
Artinya: “Barang siapa (perempuan) berhenti haid karena adanya illat
(penyakit) seperti menyusui, nifas, atau sakit, maka ia beriddah
dengan beberapa suci atau sampai usia menopause, lalu ia
beriddah dengan beberapa bulan”
B. Saran-saran
85
Dalam skripsi ini, ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan,
antara lain:
1. Iddah merupakan kewajiban yang harus dijalankan bagi umat Islam
(perempuan) baik yang dicerai, atau ditinggal mati oleh suaminya, hal ini
dikarenakan ada beberapa kebaikan atau hikmah di dalamnya. Untuk itu
perempuan tersebut harus mau menjalani masa tunggu atau iddah
2. Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai salah satu diantara sekian
banyak karya umat Islam Indonesia dalam rangka memberi arti yang lebih
positif bagi kehidupan beragama dalam rangka kebangkitan umat Islam
Indonesia. Namun dominasi Syafi‟iyyah terhadap pasal-pasal membuat
KHI seakan-akan tidak moderat. Untuk itu menyamaratakan berbagai
pendapat madzab selain Syafi‟i sangat diperlukan.
C. Penutup
Alhamduliilahi rabbil alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke
hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik dalam
penulisan maupun dalam memahami materi skripsi ini. Untuk itu, kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan.
86
Akhirnya, penulis sampaikan banyak terima kasih kepada para dosen
sebagai guru serta pembimbing yang tak henti-hentinya memberikaopn
arahan, kepada teman-teman yang selalu memberikan support, dan segenap
pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Mudah-
mudahan skripsi ini dapat memberikan manfaat baik bagi penulis sendiri
maupun orang lain. Amin.
87
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, jakarta: Akademika Presindo, tth.
Abidin, Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat II, Bandung: CV Pustaka Setia, cet.
I, 1999.
Ad-Damasyqi, Syaikh al-„Allamah Muhammad bin Abdurrahman, Fiqih Empat
Mazhab, Bandung : Hasyimi Press, cet. XIII, 2010.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Bulugh al-Maram, Semarang: Pustaka Alawiyah.
Al-Ghozi, Muhammad ibnu Qosim, Kitab Fathul Qorib, Semarang: Pustaka
Alawiyyah.
Ali, Mohammad Daud, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Ali, Zainudin, Hukum Islam Pengantar Hukum Islam Di Indonesia, cet. II. Jakarta:
Sinar Grafika.
Arikunto, Suharsini, Prosidur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, tth,
Ayub, Syaikh Hasan, Fiqh Al Usroh Al Muslimah, penerjemah Abdul Ghofar. “Fikih
Keluarga”, Cet. 1. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2001.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Munakahat, Abdul Majid Khon, (penerj), Jakarta: Amzah, cet. I, 2009.
Bukhori, Shohih Bukhori, Juz V, Beirut: Darul Kutub Al Ilmiyyah, cet. I 1992.
Dekdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jilid II, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan
Sarana Perguruan Tinggi Agama, cet. II, 1985.
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001.
Eclosh, Jhon. M. dan Hasan Shadaly, Kamus Inggris Indonesia (An English-
Indonesian Dictionary), cet. XVII. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1990.
Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
cet. III, 2008.
88
Mas‟ud, Ibnu dan Zainal Abidin S, Fiqih Madzab Syafi‟i, buku 2 (Muamalat,
Munakahat, Jinayat), Cet. II, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, cet. XVII, 2002.
Mugniyah, Muhammad Jawad, Al-fiq „ala al- madzahib al-khamsah, penerjemah
Masykur A.B., Aif Muhammad, Idrus Al-Kaff. “Fiqh Lima Madzab”, Cet. 2.
Jakarta: PT.Lentera Basritam, 1996.
Muslim, Imam, Shohih Muslim, Juz I, Semarang: Toha Putra.
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, cet. III, 1988.
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet.37, 2004.
Rofiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media,
2000.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Analisa Fikih Para Mujtahid, Jilid II, Jakarta :
Pustaka Amani, cet. III, 2007.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah 4, Abdurrahim, Masrukhin (penerj), Jakarta: Cakrawala
Publishing, cet. I, 2009.
Simongkir, J.C.T., dkk, Kamus Hukum, hlm. 78: Yan Pramadya Puspa, Kamus
Hukum, hlm. 927-928.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1997.
Sulaiman, Syaikh, Bujraimai, Beirut: Darul Fikr, 2007.
Syafi‟i, Imam, Al-Umm, Jilid VIII, Prof. TK. Ismail Yakub SH. MA. (penerj),
Jakarta: CV Faizan, cet. I, 1984.
Thalib, Muhammad, Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro U, cet. II, 2008.
Tollanaere, C. Kruyskampen F. De, Van Dale‟s Xileuw Groart Waardenbook Der
Nederlandse Taal, Gravenhage: Martimus Nijhoff, 1950, hlm. 345.
Undang-undang perkawinan di Indonesia dan dilengkapi Kompilasi hukum islam di
Indonesia. Surabaya: Arkola. Tth.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqih Madzab Negara Kritik Atas Politik Hukum
Negara Islam di Indonesia. cet,1, Yogyakarta: LKIS, 2001.
89
Wahyudi, Muhammad Isna, Fikih „Idah Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, cet. I, 2009.
Wojowasito, S. dan W. J. S. Poerdarminta, Kamus Lengkap Inggris Indonesia-
Indonesia Inggris, Jakarta: Hasta, 1982.
Wojowasito, S., Kamus umum Belanda Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van
Hoeve, 1981.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Terjemahannya,
Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2008.
Zahrah, Muhammad Abu, Al-Ahwal as-Syakhshiyyah, Darul Fikr Al-Arabi, 1957.
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-8-iddah.html.
http://rokhman.page.tl/Hukum-dan-masail-haid.htm.
90