studi analisis pemikiran muhammad abdul...
TRANSCRIPT
STUDI ANALISIS PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUL
MANNAN TENTANG KONSEP UANG DAN PERANANNYA
DALAM SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh:
SLAMET WALUYO NIM: 2102218
JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARI’AH
IAIN WALISONGO SEMARANG
2008
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 5 (lima) eksemplar Kepada Yth. Hal : Naskah Skripsi Dekan Fakultas Syari'ah a.n. Sdr. Slamet Waluyo IAIN Walisongo
Di Semarang
Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama ini
saya kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama : Slamet Waluyo
Nomor Induk : 2102218
Jurusan : MU
Judul Skripsi : STUDI ANALISIS PEMIKIRAN
MUHAMMAD ABDUL MANNAN
TENTANG KONSEP UANG DAN
PERANANNYA DALAM SISTEM
PEREKONOMIAN ISLAM
Selanjutnya saya mohon agar skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqasyahkan
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Semarang, Juli 2007
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. H. A. Ghozali Rahman el-Yunusi, SE, MM
NIP. 150 261 992 NIP. 150 301 637
iii
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS SYARI’AH SEMARANG
Jl. Raya Ngaliyan Boja Km. 02 Semarang Telp/Fax. (024) 601291
PENGESAHAN
Skripsi saudara : Slamet Waluyo
NIM : 2102218
Fakultas : Syari’ah
Jurusan : MU
Judul : STUDI ANALISIS PEMIKIRAN MUHAMMAD
ABDUL MANNAN TENTANG KONSEP UANG DAN
PERANANNYA DALAM SISTEM
PEREKONOMIAN ISLAM
Telah dimunaqasahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang dan dinyatakan lulus, pada tanggal:
18 September 2007
Dan dapat diterima sebagai syarat guna memperoleh gelar sarjana Strata1
tahun akademik 2006/2007
Semarang, Januari 2008
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang, Drs. H.Muhyiddin M.Ag Rahman el-Yunusi, SE, MM NIP. 150 216 809 NIP. 150 301 637 Penguji I, Penguji II, Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag. Moh. Arifin. S.Ag., M.Hum NIP. 150 231 628 NIP. 150 279 720
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. H. A. Ghozali, M.Ag Rahman el-Yunusi, SE, MM NIP. 150 261 992 NIP. 150 301 637
iv
M O T T O
يا أيها الذين آمنوا ال تأآلوا أموالكم بينكم بالباطل إال أن تكون تجارة عن تراض منكم وال تقتلوا أنفسكم إن الله آان
ومن يفعل ذلك عدوانا وظلما فسوف} 29{بكم رحيما )29-30:النساء( نصليه نارا وآان ذلك على الله يسيرا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Q.S. An-Nisa’: 29-30)∗
.
∗Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an , al-Qur'an dan Terjemahnya,
DEPAG RI, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 122.
v
PERSEMBAHAN
Dalam perjuangan mengarungi samudra Ilahi tanpa batas, dengan keringat
dan air mata kupersembahkan karya tulis skripsi ini teruntuk orang-orang yang
selalu hadir dan berharap keindahan-Nya. Kupersembahkan bagi mereka yang
tetap setia berada di ruang dan waktu kehidupan ku khususnya buat:
o Bapak dan Ibuku tercinta (Bpk Muhyidin dan Ibu Zumrotun). Yang selalu
mendo'akanku dan do'a beliau yang selalu mengiringi langkahku
o Adik-adikku tersayang (Tia, Ida dan Saifudin) serta seluruh keluarga ku
tercinta, semoga kalian temukan istana kebahagiaan di dunia serta akhirat,
semoga semuanya selalu berada dalam pelukan kasih sayang Allah SWT.
o Teman-temanku (Toha, Lukman, Hanif, Joni, Farid dan Ulil) dan semuanya
yang tak dapat kusebutkan satu persatu yang selalu bersama dalam canda dan
tawa dalam menjalani study
Penulis
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung
jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang telah
pernah ditulis oleh orang lain atau
diterbitkan. Demikian juga skripsi ini
tidak berisi satupun pemikiran-
pemikiran orang lain, kecuali informasi
yang terdapat dalam referensi yang
dijadikan bahan rujukan.
Semarang, uli 2007 Deklarator,
Slamet Waluyo NIM: 2102218
vii
ABSTRAK
Yang menjadi perumusan yaitu bagaimana pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya? Bagaimana aktualisasinya pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya dalam sistem perekonomian Islam? Untuk menyusun skripsi ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa teknik library research yaitu dengan meneliti sejumlah kepustakaan. peneliti menggunakan analisis data kualitatif. yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung. Sebagai pendekatannya, digunakan metode deskriptif analisis yaitu cara penulisan dengan mengutamakan pengamatan terhadap gejala. peristiwa dan kondisi aktual dimasa sekarang. Hasil dari pembahasan bahwa Menurut Abdul Mannan, dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan Liang ini secara meluas dengan maksud melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam ekonomi tukar-menukar, Karena ketidakadilan dalam ekonomi tukar menukar (barter), digolongkan sebagai riba al fazal, yang dilarang dalam agama, sedangkan peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan. Karena itu dalam Islam uang sendiri tidak menghasilkan suatu apa pun. Dengan demikian bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang. Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensial. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah uang, uang bukan capital. Sebaliknya, konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi konvensional tidak jelas. Sering kali istilah uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan secara bolak-balik (interchangeability), yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital.
Aktualisasinya konsep uang menurut Abdul Mannan dalam perekonomian national maka akan sangat menguntungkan bangsa Indonesia. Karena dalam kenyataannya bahwa lahirnya bank syari'ah telah menunjukkan perkembangan yang baik. Sebagai buktinya adalah bank syari'ah dapat bertahan dari krisis moneter, dan dibandingkan dengan bank konvensional maka bank syari'ah telah diakui keunggulannya karena ia mampu bertahan pada saat-saat maraknya bank konvensional yang gulung tikar. Hal ini dikarenakan antara lain karena bank syari'ah merupakan bank bebas bunga. Dari sini tampak bahwa bank syari'ah merupakan aktualisasi dari konsep uang bukan sebagai komoditi.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Skripsi yang berjudul: “STUDI ANALISIS PEMIKIRAN MUHAMMAD
ABDUL MANNAN TENTANG KONSEP UANG DAN PERANANNYA
DALAM SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM” ini disusun untuk memenuhi
salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas
Syari’ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Drs. H. Muhyiddin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo Semarang.
2. Bapak Drs. H. A. Ghozali selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Rahman
el-Yunusi, SE, MM Drs. Wahab Zaenuri MM selaku Dosen Pembimbing
II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak H. Tolkah, M.A selaku Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah
memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Para Dosen Pengajar dan staff di lingkungan Fakultas Syari’ah IAIN
Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis
mampu menyelesaikan penulisan skripsi.
5. Berbagai pihak yang secara tidak langsung telah membantu baik moral
maupun materi dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan akan mendapat
balasan yang setimpal dari Allah SWT.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. v
HALAMAN DEKLARASI........................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 8
D. Telaah Pustaka ....................................................................... 8
E. Metode Penelitian................................................................... 14
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 15
BAB II: UANG DAN SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM
A. Uang .......................................................... 17
1. Pengertian Uang …………… ......................................... 17
2. Fungsi Uang ..................................................................... 21
3. Teori tentang Uang .......................................................... 32
B. Sistem Perekonomian Islam................................................... 39
1. Pengertian Ekonomi Islam............................................... 39
2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam........................................ 43
3. Sistem Perekonomian Islam............................................. 48
BAB III : PENDAPAT MUHAMMAD ABDUL MANNAN TENTANG
KONSEP UANG DAN PERANANNYA
x
A. Biografi Muhammad Abdul Mannan ................................... 51
1. Latar Belakang Keluarga .............................................. 51
2. Karya-Karya Muhammad Abdul Mannan ......................... 56
B. Karakteristik Pemikiran Muhammad Abdul Mannan ............ 57
C. Pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang Konsep Uang
dan Peranannya ..................................... 60
1. Tentang uang ..................................... 60
2. Uang berkaitan dengan Bank, Bunga dan Riba ................. 64
3. Uang dan Teori tentang Zakat ..................................... 70
BAB IV : ANALISIS PENDAPAT MUHAMMAD ABDUL MANNAN
TENTANG KONSEP UANG DAN PERANANNYA
A. Analisis Pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang
Konsep Uang dan Peranannya ............................................... 72
1. Tentang uang ..................................... 72
2. Uang berkaitan dengan Bank, Bunga dan Riba ................. 78
3. Uang dan Teori tentang Zakat............................................ 86
B. Aktualisasinya Pendapat Muhammad Abdul Manan tentang
Konsep Uang dan Peranannya dalam Perekonomian
Nasional ............................................................................... 91
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 97
B. Saran-saran ............................................................................. 98
C. Penutup................................................................................... 99
DAFATAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semenjak berabad-abad yang lalu masyarakat telah menyadari bahwa
uang sangat penting peranannya dalam melancarkan kegiatan perdagangan.
Tanpa uang kegiatan perdagangan menjadi sangat terbatas dan tidak dapat
berkembang. Keadaan seperti ini akan membatasi perkembangan ekonomi
yang dapat dicapai. Peranan uang yang sangat penting ini dapat dengan nyata
dilihat dari memperhatikan masalah-masalah yang akan dihadapi apabila
perdagangan dijalankan secara barter.1
Pada tingkatan peradaban yang terendah, dapat dibayangkan adanya
perekonomian yang tidak membutuhkan uang, maka tentunya pada saat itu
terjadi kesulitan dalam proses tukar menukar barang.2 Dari kesulitan-kesulitan
yang akan timbul sebagai akibat dari ketiadaan uang seperti yang baru
diterangkan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa uang diciptakan dalam
perekonomian dengan tujuan untuk melancarkan kegiatan tukar menukar dan
perdagangan. Maka uang selalu didefinisikan sebagai: benda-benda yang
disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantaraan untuk mengadakan tukar
menukar/perdagangan. Yang dimaksudkan dengan kata "disetujui" dalam
1Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Edisi Kedua, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1992, hlm. 190. 2Winardi, Pengantar Ilmu Ekonomi, Bandung: Tarsito, 1995, hlm. 225.
2
definisi ini adalah terdapat kata sepakat di antara anggota-anggota
masyarakat.3
Pada zaman dahulu, pertukaran hanya ada dalam bentuk barter, dalam
hal ini barang ditukar untuk mendapatkan barang. Bahkan dewasa ini banyak
rakyat dari negara berkembang di daerah-daerah pedalaman memperoleh
kebutuhan mereka melalui barter. Akan tetapi karena peradaban dan
kebudayaan mereka semakin berkembang, sistem pertukaran mereka juga
meningkat.4
Sekarang ini semua kelompok-kelompok masyarakat menggunakan
pertukaran melalui uang. Hal ini disebabkan karena nilai semua barang dan
jasa dapat dengan mudah terlihat dan dengan segera ditetapkan dengan
menggunakan uang.5 Namun demikian, dalam perspektif Islam uang bukan
segalanya, dan bukan yang paling terpenting. Dalam Islam justru yang
terpenting adalah waktu.6
Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad saw., di Madinah, dinar
dan dirham diimpor; dinar dari Roma dan dirham dari Persia. Besarnya
volume impor dinar dan dirham serta barang-barang komoditas bergantung
kepada volume komoditas yang diekspor ke dua negara tersebut dan ke
wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaannya.7
3Ibid, hlm. 192. 4Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, terj. Soerojo, Nastangin, Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002, hlm. 71-72 5Ibid 6Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, Jakarta: Tim III T Indonesia, 2002, hlm. 37 7Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Tim III T Indonesia,
2002, hlm. 127-128
3
Dengan menggunakan uang akan mempermudah dalam
mengembangkan perdagangan dan dalam hubungan antara manusia yang satu
dengan lainnya. Tak dapat disangkal lagi, uang merupakan sesuatu yang
sangat penting dalam kehidupan perekonomian dan sangat dominan dalam
analisis ekonomi makro. Uang adalah alat untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Sejak peradaban kuno, mata uang logam sudah menjadi alat
pembayaran biasa walaupun belum sesempurna sekarang. Kebutuhan
menghendaki adanya alat pembayaran yang memudahkan pertukaran barang
agar pekerjaan dapat lebih mudah. Perbedaan sistem ekonomi yang berlaku,
akan memiliki pandangan yang berbeda tentang uang. Sistem ekonomi
konvensional memiliki pandangan yang berbeda tentang uang dibandingkan
dengan sistem ekonomi Islam.8
Di dalam ekonomi Islam uang bukanlah modal. Sementara ini kadang
orang salah kaprah menempatkan uang. Uang disama artikan dengan modal.
Uang adalah barang khalayak (masyarakat luas). Uang bukan barang
monopoli seseorang. Jadi semua orang berhak memiliki uang yang berlaku di
suatu negara. Sementara modal adalah barang pribadi atau orang-perorangan.
Secara definisi uang adalah benda yang dijadikan sebagai ukuran dan
penyimpan nilai semua barang.9
Dalam Hukum Islam fungsi uang sebagai alat tukar-menukar diterima
secara meluas. Penerimaan fungsi ini disebabkan karena fungsi uang ini
8Eko Suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005, hlm. 187. 9Muhamad, Bank Syari’ah, Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman,
Yogyakarta; Ekonisia, 2003, hlm. 33.
4
dirasakan dapat menghindarkan kecenderungan ketidakadilan dalam sistem
perdagangan barter. Sebagai alat tukar, uang dapat dipecah dalam satuan-
satuan terkecil. Hal serupa tidak dapat dilakukan terhadap sejumlah barang
tertentu kecuali mengakibatkan rusak atau nilai barang tersebut menjadi
berkurang, Oleh karena itu perdagangan barter berpotensi riba, yakni riba
fadhal.10
Dalam masyarakat industri dan perdagangan seperti yang sedang
berkembang sekarang ini fungsi uang tidak hanya diakui sebagai alat tukar,
tetapi juga diakui berfungsi sebagai komoditas (hajat hidup yang bersifat
terbatas) dan sebagai modal. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang
dipandang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang dapat dijadikan
sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba). Sedang dalam
fungsinya sebagai modal (kapital) uang dapat menghasilkan sesuatu (bersifat
produktif) baik menghasilkan barang maupun menghasilkan jasa. Lembaga
keuangan seperti pasar modal, bursa efek, dan perbankan konvensional yang
berkembang sekarang ini merupakan suatu kenyataan bahwa fungsi uang telah
berkembang sebagai komoditas dan modal, tidak terbatas pada fungsinya
sebagai alat tukar.
Berbeda dengan fungsinya sebagai alat tukar-menukar yang diterima
secara bulat, fungsi uang sebagai komoditas dan modal masih diperselisihkan.
Sebagian ekonom Islam menentang keras fungsi uang sebagai komoditas dan
sebagai modal. Abdul Mannan, misalnya seorang ekonom muslim asal
10Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2002, hlm. 14-16
5
Pakistan mengatakan bahwa dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar,
bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara meluas dengan
maksud melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam
ekonomi tukar-menukar. Karena ketidakadilan dalam ekonomi tukar menukar
(barter), digolongkan sebagai Riba al Fazal, yang dilarang dalam agama,
sedangkan peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan. Karena itu dalam
Islam uang sendiri tidak menghasilkan suatu apapun. Dengan demikian bunga
(riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang. Sekali peranan
uang sebagai alat tukar diakui, uang dapat memainkan peranannya sebagai
suatu unit alat hitung dan sebagai suatu kumpulan nilai dalam suatu ekonomi
Islami. la dapat digunakan sebagai ukuran opportunity cost (yaitu pendapatan
yang hilang), dengan baik sekali.11
Dalam hubungannya dengan sistem ekonomi Islam, bahwa sistem
ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan
nilai-nilai Islam. Sumber dari keseluruhan nilai tersebut sudah tentu Al-
Qur'an, As-Sunnah, ijma dan qiyas. Nilai-nilai sistem ekonomi Islam ini
merupakan bagian integral dari keseluruhan ajaran Islam yang komprehensif
dan telah dinyatakan Allah SWT sebagai ajaran yang sempurna (QS. al-
Ma'idah ayat 3).
ينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت اليوم أآملت لكم دلكم اإلسالم دينا فمن اضطر في مخمصة غير متجانف
)3: المائدة (لإثم فإن الله غفور رحيم
11Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Intermasa, 1992, hlm. 162.
6
Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Maidah: 3).
Karena didasarkan pada nilai-nilai Ilahiah, sistem ekonomi Islam tentu
saja akan berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang didasarkan pada
ajaran kapitalisme, dan juga berbeda dengan sistem ekonomi sosialis yang
didasarkan pada ajaran sosialisme. Memang, dalam beberapa hal, sistem
ekonomi Islam merupakan kompromi antara kedua sistem tersebut, namun
dalam banyak hal sistem ekonomi Islam berbeda sama sekali dengan kedua
sistem tersebut. Sistem ekonomi Islam memiliki sifat-sifat baik dari
kapitalisme dan sosialisme, namun terlepas dari sifat buruknya.
Dalam hubungannya dengan uang, bahwa pada dasarnya Islam
memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan
(komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk
memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk
spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam
pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu
bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai' al muqayadah), di mana
barang saling dipertukarkan.12 Menurut Afzalur Rahman:
Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan sistem pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau
12Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta : Alvabeta, 2003, hlm.
16
7
menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata bin Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri. 13 Ternyata Rasulullah SAW tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan
sistem barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang. Tampaknya
beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada unsur riba di
dalamnya.
Berdasarkan uraian di atas, tema ini sangat penting diteliti, karena
masalah uang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Adapun
alasannya memilih tokoh dan pandangan Muhammad Abdul Mannan adalah
karena ia merupakan salah seorang pakar ekonomi yang telah dapat
mengetengahkan implikasi dari berbagai perintah Islam dalam kaitannya
dengan beberapa masalah mendesak yang dihadapi dunia Islam. Ia sangat
besar perhatiannya dengan pertumbuhan dan perkembangan lazu
perekonomian umat Islam.
Berpijak pada pentingnya masalah di atas, maka penulis hendak
mengangkat tema ini dengan judul: "Studi Analisis Pemikiran Muhammad
Abdul Mannan tentang Konsep Uang dan Peranannya dalam Sistem
Perekonomian Islam"
13Afzalur Rahman, op. cit, hlm. 73
8
B. Perumusan Masalah
Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat
pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.14 Bertitik
tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:
1. Bagaimana pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang?
2. Bagaimana pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep sistem
perekonomian Islam?
3. Bagaimana peranan uang dalam sistem perekonomian Islam?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep
uang
2. Untuk mengetahui pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep
sistem perekonomian Islam
3. Untuk mengetahui peranan uang dalam sistem perekonomian Islam
D. Telaah Pustaka
Penelitian ini sangat berbeda dengan penelitian sebelumnya, terutama
tokoh yang dijadikan kajian. Beberapa penelitian sebelumnya ada yang telah
mengungkapkan peranan bank sentral dan masalah riba, tapi tidak
memfokuskan masalah uang perspektif abdul Mannan . Misalnya, skripsi yang
berjudul Studi Analisis Pemikiran Umer Chapra Tentang Riba disusun oleh
Siti Saifiyatun Nasikhah (NIM.2100166). Pada intinya, penyusun skripsi ini
14Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312.
9
mengungkapkan bahwa konsep riba Umer Chapra ini lebih ditekankan pada
apa yang sesungguhnya dituntut dibalik pelarangan riba, yaitu untuk
menegakkan sebuah sistem ekonomi di mana semua bentuk eksploitasi dan
ketidak adilan dihapuskan. Dengan kata lain, eksploitasi dan ketidak adilan
merupakan esensi utama riba.
Skripsi yang berjudul Peranan Bank Sentral Dalam Sistem Moneter
Islam Menurut Muhamamd Umer Chapra, disusun oleh Nur Zaini (NIM.
2196111). Penulis skripsi tersebut dalam temuannya mengungkapkan bahwa
karena bank sentral Islam akan menjadi kemudi dari sebuah sistem yang
secara keseluruhan beda dan menantang, ia tidak dapat menjadi penonton pasif
atau pengikut jinak teknik konvensional. la harus memberikan peran
keteladanan dan aktif dalam keseluruhan proses islamisasi dan evolusi yang
berkelanjutan sistem perbankan, paling tidak sampai sistem itu menjadi baik
dan kuat. Persis seorang ibu, ia harus memahami, menyiapkan kelahiran,
menyuapi, mendidik, dan membantu sistem perbankan Islam berkembang.
Dari keterangan di atas menunjukkan bahwa penelitian terdahulu titik
berat pembahasannya tentang peranan bank sentral, dan riba’ Sedangkan
penelitian saat ini titik berat pembahasannya tentang uang.
Adapun beberapa buku yang telah diterbitkan dan berhubungan dengan
judul di atas dapat diketengahkan sebagai berikut:
Pertama, Teori Moneter, disusun oleh Boediono. Buku kecil ini berisi
sketsa perkembangan teori moneter mulai dari Fisher dan Marshall sampai
saat ini. Karena berupa sketsa, maka teori-teori disajikan secara garis besar,
10
skematis dan dalam banyak hal tidak mendalam. Ini adalah sesuai dengan
tujuan utama dari buku ini, yaitu untuk memberikan gambaran arah umum
perkembangan teori moneter.
Kedua, Ekonomi Moneter, hasil karya M.Manullang. dalam buku ini
diungkapkan tentang fungsi, jenis dan peranan uang. Dalam bab selanjutnya
dipaparkan pula tentang politik moneter, cara-cara mengatasi inflasi dan
berbagai teori tentang moneter. Secara global buku ini tampaknya menyeluruh
ketika menganalisis tentang peranan moneter dalam perekonomian baik secara
mikro maupun makro.
Ketiga, Islam dan Pembangunan Ekonomi, karya Umer Chapra. Dalam
buku itu dikemukakan ada lima tindakan kebijakan yang diajukan bagi
pembangunan yang disertai dengan keadilan dan stabilitas. Lima kebijakan
tersebut adalah: (1) memberikan kenyamanan kepada faktor manusia, (2)
mereduksi konsentrasi kekayaan, (3) melakukan restrukturisasi ekonomi, (4)
melakukan restrukturisasi keuangan, dan (5) rencana kebijakan strategis.
Di antara tindakan-tindakan kebijakan ini mungkin sudah sangat akrab
bagi mereka yang sudah bergelut dalam literatur pembangunan. Akan tetapi,
apa yang lebih penting adalah injeksi dimensi moral ke dalam parameter
pembangunan material. Tanpa sebuah integrasi moral dan material seperti itu,
barangkali tidak mungkin dapat diwujudkan adanya efisiensi atau
pemerataan.15
15Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin Basri, Jakarta:
Gema Insani Press, 2000, hlm. 85.
11
Keempat, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah
Pengenalan), yang disusun oleh Djazuli dan Yadi Yanwari. Di dalam buku itu
disebutkan bahwa dewasa ini ada dua sistem ekonomi yang dianut oleh umat
manusia di dunia, yakni sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi
Sosialis. Sistem ekonomi Kapitalis banyak dianut oleh negara-negara yang
berada di belahan Benua Amerika, Eropa Barat, dan beberapa negara di Benua
Asia. Sedangkan sistem ekonomi Sosialis banyak dianut oleh negara-negara
yang berada di belahan Eropa Timur dan beberapa negara Asia. Menurut
sebagian pengamat ekonomi, khususnya ekonom muslim, saat ini masyarakat
dunia telah mengalami kejenuhan dengan kedua sistem ekonomi tersebut.
Selain itu, dengan mengembangkan kedua sistem ekonomi itu dunia semakin
hari semakin tidak teratur, yang pada gilirannya melahirkan negara-negara
yang semakin hari semakin kaya di satu sisi dan melahirkan negara-negara
yang semakin miskin di sisi lain. Dengan kata lain, dengan menjalankan kedua
sistem ekonomi tersebut melahirkan ketidakseimbangan dalam perkembangan
ekonomi. Dengan melihat kenyataan tersebut, maka kemudian muncul
pemikiran baru yang menawarkan ajaran Islam tentang ekonomi sebagai
sebuah sistem ekonomi alternatif.16 Namun persoalannya sekarang, apakah
ajaran Islam tentang ekonomi bisa dikatakan sebagai sistem ekonomi Islam?
Uraian di bawah ini akan mencoba melukis-jelaskan tentang sistem ekonomi
Islam. Berkenaan dengan pertanyaan, apakah ajaran Islam tentang ekonomi
16"Seorang ekonom berkebangsaan Perancis, Jacquen Austry, menyatakan bahwa jalan
untuk menumbuhkan ekonomi tidak hanya terbatas pada dua sistem-Kapitalisme dan Sosialisme, melainkan ada sistem ekonomi lain yang lebih kuat, yakni sistem ekonomi Islam., Sedangkan Raymond Charles, seorang orientalis berkebangsaan Perancis, menyatakan bahwa Islam telah menggariskan jalan kemajuan tersendiri”.
12
bisa dikatakan sebagai sistem ekonomi Islam? telah muncul beberapa
pendapat, yang bila dirangkum terbagi kepada dua pendapat. Pendapat yang
pertama mengatakan bahwa ajaran Islam tentang ekonomi bisa dinyatakan
sebagai sebuah sistem ekonomi, sedangkan pendapat lain menyatakan bukan
sistem ekonomi tetapi hanya berupa norma ekonomi. Menurut M. A. Mannan,
dikotomi itu lebih pada, apakah ekonomi Islam itu sebuah "sistem" atau
sebuah "ilmu".17 Sebelum memahami lebih jauh tentang sistem ekonomi Islam
akan lebih baik bila mendeskripsikan terlebih dahulu tentang makna sistem
ekonomi itu sendiri. Sistem berarti suatu keseluruhan yang kompleks: suatu
susunan hal atau bagian yang saling berhubungan.18 Dengan kata lain, sistem
berarti sebuah totalitas terpadu yang terdiri dari unsur-unsur yang saling
berhubungan, .saling terkait, saling mempengaruhi, dan saling tergantung
menuju tujuan bersama tertentu. Dengan pengertian sistem ini, maka dapat
dipahami bahwa yang dimaksud dengan sistem ekonomi adalah susunan
organisasi ekonomi yang mantap dan teratur.19 Dari beberapa pengertian
tersebut, maka dapat dipahami bahwa ajaran Islam tentang ekonomi dapat
dikatakan pula sebagai sebuah sistem ekonomi. Hal ini disebabkan karena
ajaran Islam tentang ekonomi adalah ajaran yang bersifat integral, yang tidak
terpisahkan baik dengan ajaran Islam secara keseluruhan maupun dengan
realitas kehidupan. Selain itu, unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah
sistem ekonomi telah terpenuhi dalam ajaran Islam. Unsur-unsur yang harus
17M. A. Mannan, op.cit., hlm. 15. 18Ibid. 19Anonimous. Ekonomi Pancasila untuk Mendukung Tinggal Landas dan Pembangunan
Jangka Panjang Tahap II. Jakarta: Lemhannas, 1989, hlm. 8.
13
terpenuhi dalam sistem ekonomi Islam itu adalah: (1) sumber-sumber ekonomi
atau faktor-faktor produksi yang terdapat dalam perekonomian tersebut; (2)
motivasi dan perilaku pengambil keputusan atau pemain dalam sistem itu; (3)
proses pengambilan keputusan; dan (4) lembaga-lembaga yang terdapat di
dalamnya.20
Kelima, Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya,
yang dikarang oleh Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul
Karim. Dalam temuannya, penulis buku tersebut menjelaskan, tak seorang
pun menyangkal tentang pentingnya studi ekonomi saat kini. Pertarungan
yang terjadi di antara kedua blok Timur dan Barat, sebabnya kembali sebagian
besar kepada sebab-sebab ekonomis. Problema pokok yang merepotkan kini,
adalah apa yang diistilahkan dengan dunia ketiga, yang terdiri dari negara-
negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yakni problema kemunduran
ekonomi dan perlunya menumbuhkan ekonomi. Kalau ekonomi Islam belum
berperan sampai kini, tidak berarti kurang pentingnya ekonomi Islam. Sebab
sebagaimana diketahui bahwa jauhnya ekonomi Islam dari arena, tidak lain
karena terpecahnya dunia Islam dan jatuhnya sebagian besar dunia Islam ke
bawah kekejaman penjajahan, yang berusaha sekuat tenaga menjauhkan
syariat Islam, termasuk di dalamnya ekonomi Islam, dari penerapannya di
negeri-negeri Islam yang mereka duduki.21
20Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah
Pengenalan), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 24-26. 21Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam
Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, Terj. Abu Ahmadi dan Anshori Umar Sitanggal, Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1980, hlm. 30.
14
E. Metode Penelitian
Metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :22
1. Jenis Penelitian
Untuk mendapatkan data-data yang sebaik-baiknya, kemudian
ditempuhlah teknik-teknik tertentu di antaranya yang paling utama ialah
research yakni mengumpulkan bahan dengan membaca buku-buku jurnal
dan bentuk-bentuk bahan lain atau yang lazim disebut dengan
penyelidikan kepustakaan (library research) adalah salah satu jenis
penelitian melalui perpustakaan.23
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data berupa teknik dokumentasi24 yaitu
dengan meneliti sejumlah kepustakaan (library research), kemudian
memilah-milahnya dengan memprioritaskan keunggulan pengarang.
3. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data,25 peneliti menggunakan analisis data
kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka
secara langsung.26 Sebagai pendekatannya, digunakan metode deskriptif
22Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian adalah ilmu yang memperbincangkan
tentang metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran pengetahuan. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 5, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991, hlm. 24.
23Sutrisno Hadi, Metode Penelitian Research, Yogyakarta : Andi Offset, 1990, hlm. 42 24Menurut Suharsimi Arikunto, metode dokumentasi. yaitu mencari data mengenai hal-
hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm. 206.
25Menurut Moh. Nazir, Analisa adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi serta menyingkatkan data sehingga mudah untuk dibaca. Moh. Nazir. Metode Penelitian, Cet. 4, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, hlm, 419.
26 Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 134. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Cet. 14, Bandung: PT
15
analisis, yaitu cara penulisan dengan mengutamakan pengamatan terhadap
gejala, peristiwa dan kondisi aktual dimasa sekarang.27
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, agar dapat mengarah pada tujuan
yang telah ditetapkan, maka skripsi ini disusun sedemikian rupa secara
sistematis yang terdiri dari lima bab yang masing-masing menampakkan
karakteristik yang berbeda namun dalam satu kesatuan tak terpisah.
Bab pertama berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum secara
ijmali namun holistik dengan memuat: latar belakang masalah, pokok
masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, metode
penelitian, sistematika penulisan.
Bab kedua berisi uang dan sistem perekonomian yang meliputi uang
(pengertian uang, fungsi uang, teori tentang uang), sistem perekonomian Islam
(pengertian ekonomi Islam, prinsip-prinsip ekonomi Islam, sistem
perekonomian Islam).
Bab ketiga berisi pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep
uang dan peranannya yang meliputi biografi Muhammad Abdul Mannan (latar
belakang keluarga, perjuangan, karya-karya muhammad Abdul Mannan),
karakteristik pemikiran Muhammad Abdul Mannan, pendapat Muhammad
Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya.
Remaja Rosda Karya, 2001, hlm. 2. Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. 14, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970, hlm. 269.
27Wasty Soemanto, Pedoman Teknik Penulisan Skripsi, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, hlm. 15., Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Cet. 30, Yogyakarta: Andi, 2001, h1m. 3. M. Subana, Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, Bandung: CV. Pustaka. Setia, 2001, hlm. 89.
16
Bab keempat berisi analisis pendapat Muhammad Abdul Mannan
tentang konsep uang dan peranannya yang meliputi analisis pendapat
Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya,
aktualisasinya pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang konsep uang dan
peranannya dalam perekonomian nasional.
Bab kelima berisi penutup, kesimpulan dan saran-saran
17
BAB II
UANG DAN SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM
A. Uang
1. Pengertian Uang
Uang merupakan kebutuhan masyarakat yang paling utama. Juga
merupakan kebutuhan pemerintah, kebutuhan produsen, kebutuhan
distributor dan kebutuhan konsumen.1Uang merupakan inovasi besar
dalam peradaban perekonomian dunia. Posisi uang sangat strategis dalam
satu sistem ekonomi, dan sulit digantikan variabel lainnya. Bisa dikatakan
uang merupakan bagian yang terintegrasi dalam satu sistem ekonomi.
Sepanjang sejarah keberadaannya, uang memainkan peran penting dalam
perjalanan kehidupan modern. Uang berhasil memudahkan dan
mempersingkat waktu transaksi pertukaran barang dan jasa. Uang dalam
sistem ekonomi memungkinkan perdagangan berjalan secara efisien.
Pada peradaban awal, manusia memenuhi kebutuhannya secara
mandiri. Mereka memperoleh makanan dari berburu atau memakan
berbagai buah-buahan. Karena jenis kebutuhannya masih sederhana,
mereka belum membutuhkan orang lain. Masing-masing individu
memenuhi kebutuhan makannya secara mandiri. Dalam periode yang
1Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, Jakarta: Bina Aksara, 1989, hlm. 3.
18
dikenal sebagai periode prabarter ini, manusia belum mengenal transaksi
perdagangan atau kegiatan jual beli.2
Pada tingkat peradaban yang terendah, dapatlah dibayangkan
adanya perekonomian yang tidak membutuhkan uang. Akan tetapi ketika
jumlah manusia semakin bertambah dan peradabannya semakin maju,
kegiatan dan interaksi antarsesama manusia pun meningkat tajam. Jumlah
dan jenis kebutuhan manusia, juga semakin beragam. Ketika itulah,
masing-masing individu mulai tidak mampu memenuhi kebutuhannya
sendiri. Bisa dipahami karena ketika seseorang menghabiskan waktunya
seharian bercocok tanam, pada saat bersamaan tentu ia tidak akan bisa
memperoleh garam atau ikan, menenun pakaian sendiri, atau kebutuhan
lain.
Satu sama lain mulai saling membutuhkan, karena tidak ada
individu yang secara sempurna mampu memenuhi kebutuhannya sendiri.
Sejak saat itulah, manusia mulai menggunakan berbagai cara dan alat
untuk melangsungkan pertukaran barang dalam rangka memenuhi
kebutuhan mereka. Pada tahapan peradaban manusia yang masih sangat
sederhana mereka dapat menyelenggarakan tukar-menukar kebutuhan
dengan cara barter. Maka periode itu disebut zaman barter.3
Pertukaran barter ini mensyaratkan adanya keinginan yang sama
pada waktu yang bersamaan (double coincidence of wants) dari pihak-
pihak yang melakukan pertukaran ini. Namun semakin beragam dan
2Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: kencana, 2006, hlm. 240.
3Winardi, Pengantar Ilmu Ekonomi, Buku I, edisi-VII, Bandung: Tarsito, 1995, hlm. 225.
19
kompleks kebutuhan manusia, semakin sulit menciptakan situasi double
coincidence of wants ini. Misalnya, pada satu ketika seseorang yang
memiliki beras membutuhkan garam. Namun saat yang bersamaan,
pemilik garam sedang tidak membutuhkan beras melainkan membutuhkan
daging, sehingga syarat terjadinya barter antara beras dengan garam tidak
terpenuhi. Keadaan demikian tentu akan mempersulit muamalah antar
manusia. Itulah sebabnya diperlukan suatu alat tukar yang dapat diterima
oleh semua pihak. Alat tukar demikian kemudian disebut uang. Pertama
kali, uang dikenal dalam peradaban Sumeria dan Babylonia.
Uang kemudian berkembang dan berevolusi mengikuti perjalanan
sejarah. Dari perkembangan inilah, uang kemudian bisa dikategorikan
dalam tiga jenis, yaitu uang barang, uang kertas dan uang giral atau uang
kredit.4
Dewasa ini, ekonomi moneter menjadi suatu cabang yang penting
dalam ilmu ekonomi. Salah satu sebabnya ialah, karena uang memegang
peranan penting dalam lapangan hidup manusia. Juga karena uang
memegang peranan dalam hubungannya dengan perdagangan
internasional. Harga uang sesuatu negeri dalam hubungannya dengan
harga uang negeri lainnya, menjadi indikator bagaimana kedudukan
perdagangan negara yang bersangkutan dalam dunia pada umumnya.
Persoalan uang itu bukan saja penting dalam hubungannya dengan
perekonomian nasional, tetapi juga penting dalam hubungannya dengan
4Mustafa Edwin Nasution, op.cit., hlm. 240.
20
perekonomian dunia. Sangat penting bagi suatu negara, untuk menjamin
kestabilan harga uangnya dan kalau mungkin menaikkan harga uang
tersebut dalam hubungannya dengan harga uang asing di luar negeri.
Salah satu usaha untuk mencapai maksud itu adalah dengan politik
keuangan, yang menjadi lingkungan ekonomi moneter.5
Dalam konteks sejarah ekonomi Islam, bahwa berbicara tentang
uang maka erat kaitannya dengan lembaga keuangan di zaman Rasulullah.
Sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasul, dalam masyarakat Jahiliyah
sudah terdapat sebuah lembaga politik semacam dewan perwakilan rakyat
untuk ukuran masa itu yang disebut darun nadwah. Di dalamnya para
tokoh Mekkah berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan suatu
keputusan. Ketika dilantik sebagai Rasul, mengadakan semacam lembaga
tandingan untuk itu, yaitu Darul Arqam. Perkembangan lembaga ini
terkendala karena banyaknya tantangan dan rintangan, sampai akhirnya
Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Ketika beliau hijrah ke
Madinah, maka yang pertama kali didirikan Rasulullah adalah masjid
(masjid Quba), yang bukan saja merupakan tempat beribadah, tetapi juga
sentral kegiatan kaum muslimin. Kemudian beliau masuk ke Madinah dan
membentuk "lembaga" persatuan di antara para sahabatnya, yaitu
persaudaraan antara para Muhajirin dan kaum Anshar. Hal ini diikuti
5M.Manullang, Ekonomi Moneter, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980, hlm. 11-12.
21
dengan pembangunan masjid lain yang lebih besar (masjid Nabawi), yang
kemudian menjadi sentral pemerintah untuk selanjutnya.6
Pendirian "lembaga" dilanjutkan dengan penertiban pasar.
Rasulullah diriwayatkan menolak membentuk pasar yang baru yang
khusus untuk kaum muslimin, karena pasar merupakan sesuatu yang
alamiah dan harus berjalan dengan sunnatullah. Demikian halnya dalam
penentuan harga. Akan halnya mata uang tidak ada satupun bukti sejarah
yang menunjukkan bahwa Nabi menciptakan mata uang sendiri.7
2. Fungsi Uang
Sejak ratusan tahun yang lalu, masyarakat telah menyadari bahwa
uang sangat penting peranannya dalam melancarkan kegiatan
perdagangan. Tanpa uang kegiatan perdagangan menjadi sangat terbatas
dan pengkhususan tidak dapat berkembang. Keadaan seperti ini akan
membatasi perkembangan ekonomi yang dapat dicapai. Peranan uang
yang sangat penting ini dapat dengan nyata dilihat dengan memperhatikan
masalah-masalah yang dihadapi pada saat perdagangan dijalankan secara
barter.8
Dari kesulitan-kesulitan yang timbul sebagai akibat dari barter
maka uang diciptakan dalam perekonomian dengan tujuan untuk
melancarkan kegiatan tukar menukar dan perdagangan. Oleh karena itu
6Muhammad, Dasar-dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, hlm. 4-5. 7Ibid., hlm. 5. 8Sadono Sukirno, Pengatar Teori Makroekonomi, Edisi Kedua, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1992, hlm. 190
22
uang selalu didefinisikan sebagai: benda-benda yang disetujui oleh
masyarakat sebagai alat perantaraan untuk mengadakan tukar
menukar/perdagangan. Yang dimaksudkan dengan kata "disetujui" dalam
definisi ini adalah terdapat kata sepakat di antara anggota-anggota
masyarakat.9
Pertukaran berarti penyerahan suatu komoditi sebagai alat penukar
komoditi lain. Bisa juga berarti pertukaran dari satu komoditi dengan
komoditi lainnya, atau satu komoditi ditukar dengan uang, ada juga
perdagangan secara komersial yang mencakup penyerahan satu barang
untuk memperoleh barang lain, yang disebut saling tukar menukar. Jadi
terjadi tawar menawar dua barang dimana yang satu diberikan sebagai
bahan penukar untuk barang lain
Menurut ahli Fiqih Islam, pertukaran diartikan sebagai
pemindahan barang seseorang dengan menukar barang-barang tersebut
dengan barang lain berdasarkan keikhlasan/kerelaan. Pada zaman dahulu,
pertukaran hanya ada dalam bentuk barter, dalam hal ini barang ditukar
untuk mendapatkan barang. Bahkan dewasa ini banyak rakyat dari negara
berkembang di daerah-daerah pedalaman memperoleh kebutuhan mereka
melalui barter. Akan tetapi karena peradaban dan kebudayaan mereka
semakin berkembang, sistem pertukaran mereka juga meningkat.
Sekarang ini semua kelompok-kelompok masyarakat menggunakan
pertukaran melalui uang. Hal ini disebabkan karena nilai semua barang
9Ibid, hlm. 192.
23
dan jasa dapat dengan mudah terlihat dan dengan segera ditetapkan
dengan menggunakan uang.10
Agar masyarakat menyetujui penggunaan sesuatu benda sebagai
uang, haruslah benda itu memenuhi syarat. Dengan kata lain syarat-syarat
suatu benda berfungsi sebagai uang: pertama, nilainya tidak mengalami
perubahan dari waktu ke waktu; kedua, mudah dibawa-bawa; ketiga
mudah disimpan tanpa mengurangi nilainya; keempat, tahan lama; kelima,
jumlahnya terbatas (tidak berlebihan); keenam, bendanya mempunyai
mutu yang sama.11
Berdasarkan keterangan di atas, maka fungsi uang menurut
Muchdarsah Sinungan adalah
Sebagai alat tukar menukar (medium of exchange), sebagai satuan hitung (unit of account), sebagai penimbun kekayaan, dan sebagai standar pencicilan uang.12 Keterangan yang sama dikemukakan oleh Winardi bahwa fungsi uang adalah pertama, sebagai standar nilai; kedua, sebagai alat tukar; ketiga, sebagai alat penghimpun kekayaan; dan keempat, sebagai alat pembayaran yang ditangguhkan.13
Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar,
bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif
permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi
(money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat
menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah
menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu
10Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, terj. Soerojo, Nastangin, Yogyakarta:
PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002, hlm. 71-72 11Sadono Sukirno, op. cit, hlm. 192 12Muchdarsyah Sinungan, op.ci., hlm. 6 – 9 13Winardi, Pengantar ilmu Ekonomi, Buku 1, Bandung: Tarsito, 1995, hlm. 225-226.
24
yaitu barter (bai' al muqayadah), di mana barang saling dipertukarkan.14
Menurut Afzalur Rahman:
Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan sistem pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata bin Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri. 15
Ternyata Rasulullah SAW tidak menyetujui transaksi-transaksi
dengan sistem barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang.
Tampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada
unsur riba di dalamnya.
Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation,
karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan dari sistem konvensional
yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta sebagai
obyek zakat. Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di
bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti
mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam pandangan
Islam, uang adalah flow concept, sehingga harus selalu berputar dalam
perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka
akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik
perekonomian.
14Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta : Alvabeta, 2003, hlm.
16 15Afzalur Rahman, op. cit, hlm. 73
25
Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam
menganjurkan untuk melakukan investasi dengan prinsip Musyarakah atau
Mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi-hasil. Bila ia tidak ingin mengambil
resiko karena bermusyarakah atau bermudharabah, maka Islam sangat
menganjurkan untuk melakukan qard, yaitu meminjamkannya tanpa
imbalan apa pun, karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan
adalah riba.
Secara mikro, qard16 tidak memberikan manfaat langsung bagi
orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qard akan memberikan
manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini
disebabkan karena pemberian qard membuat velocity of money
(percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti
bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan
nasional (national income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan
nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya.
Demikian pula, pengeluaran shadaqah juga akan memberikan manfaat
yang lebih kurang sama dengan pemberian qard.
Islam juga tidak mengenal konsep time value of money, namun
Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang
bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga
tangguh bayar lebih tinggi daripada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal
Abidin bin Hussein bin Alt bin Abi Thalib, cicit dasar-dasar manajemen
16Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Dalam literatur fiqih qard dikategorikan sebagai aqad tathawwu, yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. Zainul Arifin, op. cit, hlm. 27.
26
bank syari'ah Rasulullah SAW, adalah orang yang pertama kali
menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (deferred
payment) lebih tinggi daripada harga tunai.17
Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga
tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of
money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang.
Dapat dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp
500, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam
satu hari itu keuntungannya adalah Rp 1.000. Sedangkan bila dijual
tangguh-bayar, maka hak si penjual menjadi tertahan, sehingga dia tidak
dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari itu, hak dari
keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tertahan
oleh pembeli. Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang
telah memenuhi kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam
membolehkan penetapan harga tangguh lebih tinggi daripada harga
tunai.18
Dalam Islam fungsi uang sebagai alat tukar-menukar diterima
secara meluas. Penerimaan fungsi ini disebabkan karena fungsi uang ini
dirasakan dapat menghindarkan kecenderungan ketidakadilan dalam
sistem perdagangan barter. Sebagai alat tukar, uang dapat dipecah dalam
satuan-satuan terkecil. Hal serupa tidak dapat dilakukan terhadap sejumlah
barang tertentu kecuali mengakibatkan rusak atau nilai barang tersebut
17Ibid, hlm.24 18Ibid, hlm, 17-18.
27
menjadi berkurang, Oleh karena itu perdagangan barter berpotensi riba,
yakni riba fadhal. 19
Dalam masyarakat industri dan perdagangan seperti yang sedang
berkembang sekarang ini fungsi uang tidak hanya diakui sebagai alat
tukar, tetapi juga diakui berfungsi sebagai komoditas (hajat hidup yang
bersifat terbatas) dan sebagai modal. Dalam fungsinya sebagai komoditas,
uang dipandang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang dapat
dijadikan sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba).
Sedang dalam fungsinya sebagai modal (kapital) uang dapat menghasilkan
sesuatu (bersifat produktif) baik menghasilkan barang maupun
menghasilkan jasa. Lembaga keuangan seperti pasar modal, bursa efek,
dan perbankan konvensional yang berkembang sekarang ini merupakan
suatu kenyataan bahwa fungsi uang telah berkembang sebagai komoditas
dan modal, tidak terbatas pada fungsinya sebagai alat tukar. Berbeda
dengan fungsinya sebagai alat tukar-menukar yang diterima secara bulat,
fungsi uang sebagai komoditas dan modal masih diperselisihkan. Sebagian
ekonom Islam menentang keras fungsi uang sebagai komoditas dan
sebagai modal.20
Penolakan fungsi uang sebagai komoditas dan sebagai modal
mengandung implikasi yang sangat besar dalam rancang bangun sistem
ekonomi Islam. Kedua fungsi tersebut oleh kelompok yang
menyangkalnya dipandang sebagai prinsip yang membedakan antara
19Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 14.
20Ibid, hlm. 15
28
sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi non-Islam (konvensional). Atas
dasar prinsip ini mereka menjatuhkan keharaman setiap perputaran
(transaksi) uang yang disertai keuntungan (laba atau bunga) sebagai
praktek riba.
Dalam masalah muamalah, khususnya di bidang ekonomi, syari'ah
Islam tidak kurang dalam memberikan prinsip-prinsip dan etika yang
seharusnya bisa dijadikan acuan dan referensi, serta merupakan kerangka
bekerja dalam ekonomi Islam. Prinsip ekonomi Islam telah mengatur
bahwa:
1. Kekayaan merupakan amanah dari Allah dan tidak dapat dimiliki
secara mutlak;
2. Manusia diberi kebebasan untuk bermuamalah selama tidak
melanggar ketentuan syari'ah;
3. Manusia merupakan khalifah dan pemakmur di muka bumi
وإذ قال ربك للمالئكة إني جاعل في األرض خليفة قالوا أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك ونقدس لك قال إني أعلم ما ال تعلمون
)30:البقرة(Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? "Tuhan berfirman: "Sesungguh-nya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah:30)21
21Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Depag RI, 1986, hlm. 13
29
4. Di dalam harta seseorang terdapat bagian bagi orang miskin, yang
meminta-minta atau tidak meminta-minta
والمحروم للسائل* معلوم حق أموالهم في والذين ) 25-24:المعارج(
Artinya: dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta) (Q.S. Al-Ma’arij: 24-25)22
5. Dilarang makan harta sesama secara batil, kecuali dengan perniagaan
secara suka sama suka
يا أيها الذين آمنوا ال تأآلوا أموالكم بينكم بالباطل إال أن تكون تجارة عن تراض منكم وال تقتلوا أنفسكم إن
ومن يفعل ذلك عدوانا } 29{الله آان بكم رحيما نصليه نارا وآان ذلك على الله يسيراوظلما فسوف
)29-30:النساء(Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Q.S. An-Nisa’: 29-30)23
Dalam tafsir al-Maraghi ayat di atas dijelaskan, bahwa kata al-
batil berasal dari al-batlu dan al-butlan berarti kesia-siaan dan kerugian.
Menurut syara adalah mengambil harta tanpa pengganti hakiki yang biasa,
dan tanpa keridaan dari pemilik harta yang diambil itu; atau menafkahkan
22Ibid, hlm 974 23Ibid, hlm. 122
30
harta bukan pada jalan hakiki yang bermanfaat, maka termasuk ke dalam
hal ini adalah lotre, penipuan di dalam jual beli, dan menafkahkan harta
pada jalan-jalan yang diharamkan, serta pemborosan dengan
mengeluarkan harta untuk hal-hal yang tidak dibenarkan oleh akal. Kata
bainakum menunjukkan bahwa harta yang haram biasanya menjadi
pangkal persengketaan di dalam transaksi antara orang yang memakan
dengan orang yang hartanya dimakan. Masing-masing ingin menarik harta
itu menjadi miliknya. 24
6. Penghapusan praktik riba
الذين يأآلون الربا ال يقومون إال آما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذلك بأنهم قالوا إنما البيع
ربا وأحل الله البيع وحرم الربا فمن جاءه مثل الموعظة من ربه فانتهى فله ما سلف وأمره إلى الله ومن عاد فأولـئك أصحاب النار هم فيها خالدون
)275:البقرة(
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual bell dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
24Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi al-Halabi, 1394
H/1974 M, hlm. 25.
31
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah: 275)25
Prinsip inilah yang pada ujung-ujungnya menjadi dasar
pembentukan lembaga keuangan bebas bunga dengan dua produk
unggulan, yakni mudharabah26 dan bai' al-murabahah27
Persoalan uang sebetulnya sangat berkaitan dengan masalah riba.
Sebagai perbandingan dengan teori ekonomi konvensional – kapitalisme -
Islam membicarakan uang sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai,
tetapi uang bukanlah barang dagangan. Mengapa uang berfungsi? Uang
menjadi berguna hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika
digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijual atau
dibeli secara kredit. Orang perlu memahami kebijakan Rasulullah SAW.,
bahwa tidak hanya mengumumkan bunga atas pinjaman sebagai sesuatu
yang tidak sah tetapi juga melarang pertukaran uang dan beberapa benda
bernilai lainnya untuk pertukaran yang tidak sama jumlahnya, serta
menunda pembayaran jika barang dagangan atau mata uangnya adalah
25Ibid, hlm. 69 26Mudharabah secara bahasa berasal dari kata dharb artinya "memukul" atau
melangkahkan kaki dalam melakukan suatu usaha di muka bumi. Secara terminologis mudharabah berarti suatu akad kerja-sama antara dua pihak, pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal dan pihak lain (mudharib) sebagai pengelola modal, di mana keuntungan dibagi bersama sesuai prosentasi yang disepakati, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Baca Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Wacana Ulama dan Intelektual, Jakarta: Tazkiah Institut, 1999, hlm.171.
27Bai' al-murabahah adalah akad jual-beli barang dengan harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati, Dalam bai' al-murabahah pihak penjual harus memberitahu secara transparan harga barang dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahan harga. Ibid, hlm. 121.
32
sama. Efeknya adalah mencegah bunga uang yang masuk ke sistem
ekonomi melalui cara yang tidak diketahui.28
3. Teori tentang Uang
Di dalam ekonomi Islam uang bukanlah modal. Sementara ini
orang kadang salah kaprah menempatkan uang. Uang disamaartikan
dengan modal (capital). Uang adalah barang khalayak/public goods
masyarakat luas. Uang bukan barang monopoli seseorang. Jadi semua
orang berhak memiliki uang yang berlaku di suatu negara. Sementara
modal adalah barang pribadi atau orang per orang. Jika uang sebagai flow
concept sementara modal adalah stock concept.
a. Money as Flow Concept
Uang adalah sesuatu yang mengalir. Sehingga uang diibaratkan
seperti air. Jika air di sungai itu mengalir, maka air tersebut akan
bersih dan sehat. Jika air berhenti (tidak mengalir secara wajar) maka
air tersebut menjadi busuk dan bau, demikian juga dengan uang. Uang
berputar untuk produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan
kesehatan ekonomi masyarakat. Sementara, jika uang ditahan maka
dapat menyebabkan macetnya roda perekonomian. Dalam ajaran
Islam, uang harus diputar terus sehingga dapat mendatangkan
keuntungan yang lebih besar. Untuk itu uang perlu digunakan untuk
investasi di sektor riil. Jika uang disimpan tidak diinvestasikan kepada
sektor riil, maka tidak akan mendatangkan apa-apa (Q.S Al-Lahab).
28Muhammad, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Peluang, dan Ancaman, Yogyakarta:
Econisia, 2003, hlm. 33
33
Penyimpanan uang yang telah mencapai haulnya, menurut ajaran
Islam, akan dikenai zakat.
b. Money as Public Goods
Uang adalah barang untuk masyarakat banyak. Bukan
monopoli perorangan. Sebagai barang umum, maka masyarakat dapat
menggunakannya tanpa ada hambatan dari orang lain. Oleh karena itu,
dalam tradisi Islam menumpuk uang sangat dilarang, sebab kegiatan
menumpuk uang akan mengganggu orang lain menggunakannya.29
Umat Islam telah akrab dengan mata uang yang terbuat dari emas,
disebut Dinar dan mata uang yang terbuat dari perak disebut Dirham.
Mata uang ini telah digunakan secara praktis sejak kelahiran Islam hingga
runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki pasca perang Dunia I. Oleh
karena itu, kebanyakan negara Islam dijajah oleh Barat dengan sistem
kapitalisnya, maka seluruh aspek ekonomi dan kehidupan juga mengikuti
pola-pola kapitalis, termasuk masalah mata uang. Dinar dan dirham yang
digunakan orang Arab waktu itu tidak didasarkan pada nilai nominalnya,
melainkan menurut beratnya. Sebab dinar dan dirham tersebut dianggap
sebagai mata uang yang dicetak, mengingat bentuk timbangan dirham
yang tidak sama dan karena kemungkinan terjadinya penyusutan berat
akibat peredarannya. Datangnya Rasulullah SAW, sebagai tanda
kedatangan Islam, maka beliau mengakui berbagai muamalah yang
menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia. Beliau juga mengakui
29Ibid, hlm. 34-35
34
standar timbangan yang berlaku di kalangan kaum Quraisy untuk
menimbang berat dinar dan dirham. Sehubungan dengan hal ini,
Rasulullah bersabda" "Timbangan berat (wazan) adalah timbangan
penduduk Makkah, dan takaran (mikyal) adalah takaran penduduk
Madinah" (HR. Abu Daud dan An Nasa'i) Kaum Muslimin terus
menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia dalam bentuk cap, dan
gambar aslinya sepanjang hidup Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh
masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq pada awal kekhalifahan Umar
bin Khaththab.30
Pada masa pemerintahannya, khalifah Umar Bin Khaththab, pada
tahun 20 Hijriah, yaitu tahun kedelapan kekhalifahan Umar bin
Khaththab, beliau mencetak uang dirham baru berdasarkan pola dirham
Persia. Berat, gambar, maupun tulisan Bahlawinya (huruf Persianya) tetap
ada, hanya ditambah dengan lafaz yang ditulis dengan huruf Arab gaya
Kufi, seperti lafaz Bismillah (Dengan nama Allah) dan Bismillahi Rabbi
(Dengan nama Allah Tuhanku) yang terletak pada tepi lingkaran.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 75 hijriah (695
Masehi), mencetak dirham khusus bercorak Islam, dengan lafaz-lafaz
Islam yang ditulis dengan huruf Arab gaya Kufi. Dengan demikian,
dirham Persia tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian, (tepatnya tahun
77 Hijriah/697 Masehi). Abdul Malik bin Marwan mencetak dinar khusus
yang bercorak Islam setelah meninggalkan pola dinar Romawi. Gambar-
30Eko Suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005, hlm. 198-199
35
gambar dinar lama diubah dengan tulisan atau lafaz-lafaz Islam, seperti
Allahu Ahad (Allah itu Tunggal), Allah Baqa' (Allah itu Abadi). Sejak
saat itulah orang Islam memiliki dinar dan dirham Islam yang secara resmi
digunakan sebagai mata uangnya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sebenarnya di zaman
Khalifah Umar bin Kaththab dan Usman bin Affan, mata uang telah
dicetak dengan mengikuti gaya dirham Persia dengan perubahan pada
tulisan yang tercantum pada mata uang tersebut. Pada awal pemerintahan
Umar pernah terbetik pikiran untuk mencetak uang dari kulit, namun
dibatalkan karena tidak disetujui oleh para sahabat yang lain. Mata uang
khalifah Islam yang mempunyai kecirian khusus baru dicetak oleh
pemerintah Imam Ali r.a. Namun sayang peredarannya sangat terbatas
karena keadaan politik saat itu.31
Mata uang dengan gaya Persia dicetak pula di zaman Muawiyah
dengan mencantumkan gambar dan pedang Gubernurnya di Irak. Ziyad
juga mengeluarkan dirham dengan mencantumkan nama khalifah. Cara
yang dilakukan Muawiyah dan Ziyad mencantumkan gambar dan nama
kepala pemerintah pada mata uang-masih dipertahankan sampai saat ini,
juga termasuk di Indonesia.
Mata uang yang beredar pada waktu itu belum terbentuk bulat
seperti uang logam sekarang ini. Baru pada zaman Ibnu Zubair dicetak
untuk pertama kalinya mata uang dengan bentuk bulat, namun
31Ibid, 199-200
36
peredarannya berbatas di Hijaz. Sedangkan Mus'ab, gubernur di Kufah
mencetak uang dengan gaya Persia dan Romawi. Pada tahun 72-74
Hijriah, Bisr bin Marwan mencetak mata uang yang disebut dengan dinar
Athawiya. Sampai dengan zaman ini mata uang khalifah beredar bersama
dengan dinar Romawi, dirham Persia dan sedikit Himiyarite Yaman.
Barulah pada zaman Abdul Malik (76 H) pemerintah mendirikan tempat
percetakan uang di Daar Idjard, Suq ahwaj, Sus, Jay, Manadar, Maisan,
Rai, Abarkubadh, dan mata uang khalifah dicetak secara terorganisir
dengan kontrol pemerintah. Nilai mata uang ditentukan oleh beratnya.
Mata uang dinar mengandung emas 22 karat, dan terdiri dari pecahan
setengah dinar dan sepertiga dinar. Pecahan yang lebih kecil didapat
dengan memotong uang Imam Ali, misalnya, pernah membeli daging
dengan memotong dua karat dari dinar. (H R Abu Dawud). Dirham terdiri
dari beberapa pecahan nash (20 dirham), nawat (5 dirham), Sha ira (1/60
driham).32
Nilai tukar dinar-dirham relatif stabil pada jangka waktu yang
panjang dengan kurs dinar-dirham 1:10 pada saat itu perbandingan emas
perak 1:7, sehingga satu dinar 20 karat setara dengan 20 dinar 44 karat.
Reformasi moneter pernah dilakukan oleh Abdul Malik yaitu dirham
diubah menjadi 15 karat, dan pada saat yang sama dinar dikurangi berat
emasnya dari 4,25 gram. Di zaman Ibnu Faqih (289 H) nilai dinar
menguat menjadi 1:17, namun kemudian stabil pada kurs 1:15. Ulama
32Muslimin H.Kara, Bank Syariah di Indonesia Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia
terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 62.
37
Islam Ibnu Taimiyah yang hidup di zaman pemerintahan raja mamluk,
telah mengalami situasi di mana beredar banyak jenis mata uang dengan
nilai kandungan logam mulia yang berlainan satu sama lain. Ketika itu
beredar tiga jenis mata uang dinar (emas), dirham (perak), dan fullus
(tembaga). Peredaran dinar sangat terbatas, peredaran dirham berfluktuasi
kadang-kadang malah menghilang, sedangkan yang beredar luas adalah
fullus. Fenomena inilah yang dirumuskan oleh Ibnu Taimiyah bahwa uang
dengan kualitas rendah (fullus) akan menendang uang kualitas baik (dinar-
dirham). Pemerintah Mamluk ditandai dengan stabilnya sistem moneter
karena banyaknya fullus yang beredar dan karena meningkatnya jumlah
tembaga dalam mata uang dirham, maka, tidaklah aneh bila sistem
moneter modern dengan "paper money"-nya terutama setelah standar
emas dihapuskan, berulang kali mengalami krisis.33
Diperkenalkannya fullus sebagai mata uang memberi inspirasi
kepada beberapa kepala pemerintahan Bani Mamluk untuk menambah
jenis uang. Berbeda dengan dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan
perak, maka pencetakan fullus relatif lebih mudah dilakukan, karena
tembaga lebih mudah didapat. Pemerintah mulai terlena dengan
kemudahan pencetakan uang baru. Keadaan memburuk ketika Kirbugha
dan zahir Barkuk mulai mencetak fullus dalam jumlah yang sangat besar
dan nilai nominasi yang lebih besar dari nilai kandungan tembaga. Fullus
banyak dicetak namun masyarakat banyak menolak kehadiran fullus
33Eko Suprayitno, op. cit, hlm. 200-2001
38
tersebut. Menyadari kekeliruannya, kemudian Sultan Kirbugha
menyatakan fullus ditentukan nilainya dari beratnya dan bukan dari
nominasinya. Dengan adanya batasan tersebut, maka untuk menambah
jumlah fullus Sultan Barkuk mulai mengimpor tembaga dari negara-
negara Eropa.34
Secara khusus Ibnu Taimiyah juga mengomentari praktik
mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa sebagai bagian dari bisnis
uang. Secara garis besar Ibnu Taimiyah menyampaikan lima poin penting.
Pertama, perdagangan uang akan memicu inflasi. Kedua, hilangnya
kepercayaan orang akan stabilitas nilai uang akan mencegah orang
melakukan kontrak jangka panjang dan menzalimi golongan masyarakat
yang berpenghasilan tetap sebagai pegawai. Ketiga perdagangan domestik
akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang. Keempat,
perdagangan internasional akan menurun. Kelima, logam berharga akan
mengalir keluar dari negara.35
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth
of Nations, seorang ulama Islam bernama Abu Hamid Al-Ghazali telah
membahas uang dalam perekonomian.36 Beliau menjelaskan ada kalanya
seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya, dan
membutuhkan sesuatu yang tidak dipunyainya. Dalam ekonomi Barter
transaksi hanya terjadi bila kedua pihak mempunyai dua kebetulan
34Ibid, hlm. 201-202 35Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba
Empat, 2002, hlm. 54, 36Ibid
39
sekaligus, yaitu pihak pertama membutuhkan barang dan pihak kedua
sebaliknya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa dalam ekonomi barter sekalipun,
uang dibutuhkan sebagai nilai suatu barang. Misalnya unta senilai 100
dinar, dan kain senilai satu dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran
nilai barang, maka uang akan berfungsi pula sebagai media pertukaran.
Namun uang tidak dibutuhkan untuk nilai yang tidak wajar dari pertukaran
tersebut. Menurut Al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak
mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna. Uang tidak
mempunyai harga namun merefleksikan harga semua barang. Atau dalam
istilah ekonomi klasik dikatakan bahwa uang tidak memberi kegunaan
langsung (direct utility function), hanya bila uang itu digunakan untuk
membeli barang, maka barang itu akan memberi kegunaan. Dalam teori
ekonomi neo-klasik dikatakan kegunaan uang timbul dari daya belinya.
Jadi uang memberi kegunaan tidak langsung (indirect utility function).
Apa pun debat para ekonom konvensional, kesimpulan tetap sama dengan
Al-Ghazali, yaitu uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.37
B. Sistem Perekonomian Islam
1. Pengertian Ekonomi Islam
Beberapa ahli mendefinisikan ekonomi Islam sebagai suatu ilmu
yang mempelajari perilaku manusia dalam usaha untuk memenuhi
kebutuhan dengan alat pemenuhan kebutuhan yang terbatas di dalam
37Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam, Prinsip-Prinsip dan Tujuannya, terj Abu Ahmadi dan Anshori Sitanggal, an-Nizam al-Iqtisadi Fi al Islam Mabadi Uhu Wahdafuhu, Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1980, hlm. 33
40
kerangka Syariah. Ilmu yang rnempelajari perilaku seorang muslim dalam
suatu masyarakat Islam yang dibingkai dengan syariah. Definisi tersebut
mengandung kelemahan karena menghasilkan konsep yang tidak
kompetibel dan tidak universal. Karena dari definisi tersebut mendorong
seseorang terperangkap dalam keputusan yang apriori (apriory
judgement), benar atau salah tetap harus diterima.38
Definisi yang lebih lengkap musti mengakomodasikan sejumlah
prasyarat yaitu karakteristik dari pandangan hidup Islam. Syarat utama
adalah memasukkan nilai-nilai syariah dalam ilmu ekonomi. Ilmu
ekonomi Islam adalah ilmu sosial yang tentu saja tidak bebas dari nilai-
nilai moral. Nilai-nilai moral merupakan aspek normatif yang harus
dimasukkan dalam analisis fenomena ekonomi serta dalam pengambilan
keputusan yang dibingkai syariah.
Imamudin Yuliadi menginventarisir enam definisi ekonomi Islam
sebagai berikut:
1. Ekonomi Islam adalah ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan syariah
yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh dan menggunakan
sumberdaya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar
dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat.
2. Ekonomi Islam adalah: "Ilmu sosial yang mempelajari masalah-
masalah ekonomi masyarakat dalam perspektif nilai-nilai Islam.
38Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam, Yogyakarta: LPPI, 2006, hlm. 6
41
3. Ekonomi Islam adalah: "Suatu upaya sistematik untuk memahami
masalah ekonomi dan perilaku manusia yang berkaitan dengan
masalah itu dari perspektif Islam
4. Ekonomi Islam adalah: "Tanggapan pemikir-pemikir muslim terhadap
tantangan ekonomi pada zamannya. Di mana dalam upaya ini mereka
dibantu oleh Al-Qur'an dan Sunnah disertai dengan argumentasi dan
pengalaman empirik
5. Ekonomi Islam adalah "Suatu upaya memusatkan perhatian pada studi
tentang kesejahteraan manusia yang dicapai dengan
mengorganisasikan sumberdaya di bumi atas dasar kerjasama dan
partisipasi
6. Ekonomi Islam adalah "Cabang ilmu yang membantu merealisasikan
kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya
yang langka yang sejalan dengan syariah Islam tanpa membatasi
kreativitas individu ataupun menciptakan suatu ketidakseimbangan
ekonomi makro atau ekologis.39
Dari beberapa definisi ekonomi Islam di atas yang relatif dapat
secara lengkap menjelaskan dan mencakup kriteria dari definisi yang
komprehensif adalah yang dirumuskan oleh Hasanuzzaman yaitu "Suatu
pengetahuan dan aplikasi dari perintah dan peraturan dalam syariah yaitu
untuk menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian
sumberdaya material agar memberikan kepuasan manusia, sehingga
39Ibid, hlm. 7
42
memungkinkan manusia melaksanakan tanggung jawabnya terhadap
Tuhan dan masyarakat (Islamic economics is the knowledge and
application of injunctions and rules of the shari'ah that prevent injustice
in the acquition and disposal of material resources in order to provide
satisfaction to human beings and enable them to perform their obligations
to Allah and the society).40
Hal penting dari definisi tersebut adalah istilah "perolehan" dan
"pembagian" di mana aktivitas ekonomi ini harus dilaksanakan dengan
menghindari ketidakadilan dalam perolehan dan pembagian sumber-
sumber ekonomi. Prinsip-prinsip dasar yang digunakan untuk menghindari
ketidakadilan tersebut adalah syariah yang di dalamnya terkandung
perintah (injunctions) dan peraturan (rules) tentang boleh tidaknya suatu
kegiatan. Pengertian "memberikan kepuasan terhadap manusia"
merupakan suatu sasaran ekonomi yang ingin dicapai. Sedangkan
pengertian "memungkinkan manusia melaksanakan tanggung jawabnya
terhadap Tuhan dan masyarakat" diartikan bahwa tanggungjawab tidak
hanya terbatas pada aspek sosial ekonomi saja tapi juga menyangkut peran
pemerintah dalam mengatur dan mengelola semua aktivitas ekonomi
termasuk zakat dan pajak.
Namun perlu ditegaskan di sini perbedaan pengertian antara ilmu
ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Islam. Ilmu ekonomi Islam
merupakan suatu kajian yang senantiasa memperhatikan rambu-rambu
40Ibid, hlm. 8
43
metodologi ilmiah. Sehingga dalam proses perkembangannya senantiasa
mengakomodasikan berbagai aspek dan variabel dalam analisis ekonomi.
Ilmu ekonomi Islam dalam batas- batas metodologi ilmiah tidak berbeda
dengan ilmu ekonomi pada umumnya yang mengenal pendekatan
kuantitatif dan kualitatif. Namun berbeda halnya dengan sistem ekonomi
Islam yang merupakan bagian dari kehidupan seorang muslim. Sistem
ekonomi Islam merupakan suatu keharusan dalam kehidupan seorang
muslim dalam upaya untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam
aktivitas ekonomi. Sistem ekonomi Islam merupakan salah satu aspek
dalam sistem nilai Islam yang integral dan komprehensif.
Suatu pertanyaan akan muncul yaitu bagaimana kaitan antara
ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional? Sebagai suatu cabang ilmu
sosial yang mempelajari perilaku ekonomi yang memuat pernyataan
positif, ekonomi konvensional tidak secara eksplisit memuat peranan nilai
(value) dalam analisa ekonomi. Bagi seorang muslim persoalan ekonomi
bukanlah persoalan sosial yang bebas nilai (value free). Dalam perspektif
Islam semua persoalan kehidupan manusia tidak terlepas dari koridor
syariah yang diturunkan dari dua sumber utama yaitu Al-Qur'an dan
Sunnah.41
2. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Para pemikir ekonomi Islam berbeda pendapat dalam memberikan
kategorisasi terhadap prinsip-prinsip ekonomi Islam. Khurshid Ahmad
41Ibid, hlm. 8-10
44
mengkategorisasi prinsip-prinsip ekonomi Islam pada: Prinsip tauhid, rub-
biyyah, khilafah, dan tazkiyah.42 Mahmud Muhammad Bablily
menetapkan lima prinsip yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dalam
Islam, yaitu: al-ukhuwwa (persaudaraan), al-ihsan (berbuat baik), al-
nasihah (memberi nasihat), al-istiqamah (teguh pendirian), dan al-taqwa
(bersikap takwa).43 Sedangkan menurut M. Raihan Sharif dalam Islamic
Social Framework, struktur sistem ekonomi Islam didasarkan pada empat
kaidah struktural, yaitu: (1) trusteeship of man (perwalian manusia); (2)
co-operation (kerja sama); (3) limite private property (pemilikan pribadi
yang terbatas); dan (4) state enterprise (perusahaan negara).45
Prinsip ekonomi Islam juga dikemukakan Masudul Alam
Choudhury, dalam bukunya, Constributions to Islamic Economic Theory.
Ekonomi Islam menurutnya didasarkan pada tiga prinsip, yaitu:
(1) the principle of tawheed and brotherhood (prinsip tauhid dan persaudaraan), (2) the principle of work and productivity (prinsip kerja dan produktifitas), dan (3) the principle of distributional equity (prinsip pemerataan dalam distribusi).44
Menurut Adiwarman Karim, bangunan ekonomi Islam didasarkan
atas lima nilai universal, yakni tauhid, keadilan, kenabian, khilafah, dan
Ma'ad (hasil).45 Menurut Metwally yang dikutip Zainul Arifin,46 prinsip-
42Muslimin H. Kara, Bank Syariah Di Indonesia Analisis Terhadap Pemerintah Indonesia
Terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm 37-38 43Mahmud Muhammad Bablily, Etika Bisnis: Studi Kajian Konsep Perekonomian
Menurut al-Qur'an dan as-Sunnah, terj. Rosihin A. Ghani, Solo: Ramadhani, 1990, hlm. 15 44Muslim H.Kara, op. cit, hlm. 38 45Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: III T Indonesia, 2002, hlm. 17 46Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari'ah, Jakarta: Alvabet, 2003, hlm.
13.
45
prinsip ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai
berikut:
(1) Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai
pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus
memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi
guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri
sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpentirig adalah bahwa
kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkan di akhirat nanti.
(2) Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu,
termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama,
kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan
kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak
sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
(3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Seorang
Muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat
keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah
SWT dalam Al Qur'an:
باطل اال ان يآايهاالذين امنوا ال تأآلو اموالكم بينكم بال )29: النساء... (تكون تجارة عن تراض منكم
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kalian...' (QS 4:29).47
47Yayasan Penyelenggara/Penterjemah, op. cit, hlm. 122
46
(4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif
yang, akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Al Qur'an mengungkapkan bahwa "Apa
yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari
penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam
perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-
orang kaya saja di antara kalian..," (QS:57:7). Oleh karena itu, sistem
ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai
oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan sistem
ekonomi kapitalis, di mana kepemilikan industri didominasi oleh
monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan
kepentingan umum.
(5) Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya
direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari
Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, "Masyarakat punya hak
yang sama atas air, padang rumput dan api." Sunnah Rasulullah
tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada
hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan
makanan, harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam
bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh
dikuasai oleh individu.
47
(6) Seorang Muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti
diuraikan dalam Al Qur'an:
واتقوا يوما ترجعون فيه الى اهللا ثم توفى آل نفس ما )281: البقرة. (آسبت وهم ال يظلمون
Artinya: Dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi padas hari yang padsa waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian maing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidask dianiaya (dirugikan).(QS 2:281).48
Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan,
perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua
bentuk diskriminasi dan penindasan.
(7) Seorang Muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab)
diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian
kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut),
yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan.
Menurut pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah
persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (idle assets),
termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan
permata, pendapatan bersih dari transaksi (net earning from
transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih
investasi
(8) Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk
pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan
48Yayasan Penterjemah/pentafsir, op. cit, hlm 70.
48
perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur'an secara
bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga.
Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran
bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa
pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan
bunga dilarang pada zaman Yunani kuno Aristoteles adalah orang yang
amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk
praktek bunga.49 Dalam Perjanjian Lama, larangan riba tercantum dalam
Leviticus 25:27, Deutronomi 23:19, Exodus 25:25 dan dalam Perjanjian
Baru dapat dijumpai dalam Lukas 6:35.
3. Sistem Perekonomian Islam
Pada dasarnya sistem ekonomi Islam berbeda dari sistem-sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis; dan dalam beberapa hal merupakan
pertentangan antara keduanya dan berada di antara kedua ekstrim tersebut.
Sistem ekonomi Islam memiliki kebaikan-kebaikan yang ada pada sistem
ekonomi kapitalis dan sosialis, tetapi bebas daripada kelemahan yang
terdapat pada kedua sistem tersebut. Hubungan antara individu dalam
sistem ekonomi Islam cukup tersusun sehingga saling membantu dan
kerjasama diutamakan dari persaingan dan permusuhan sesama mereka.
Untuk tujuan tersebut, sistem ekonomi Islam bukan saja menyediakan
individu kemudahan dalam bidang ekonomi dan sosial bahkan juga
49Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005, hlm. 2-3.
49
memberikan mereka juga pendidikan moral dan latihan tertentu yang
membuat mereka merasa bertanggungjawab untuk membantu rekan-rekan
sekerja dalam mencapai keinginan mereka atau sekurang-kurangnya tidak
menghalangi mereka dalam usahanya untuk hidup.50
Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang
kapitalis yang memberikan kebebasan serta hak pemilikan kepada
individu dan menggalakkan usaha secara perseorangan. Tidak pula dari
sudut pandang komunis, yang " ingin menghapuskan semua hak individu
dan menjadikan mereka seperti budak ekonomi yang dikendalikan oleh
negara. Tetapi Islam membenarkan sikap mementingkan diri sendiri tanpa
membiarkannya merusak masyarakat. Pemilihan sikap yang terlalu
mementingkan diri sendiri di kalangan anggota masyarakat dapat
dilakukan dengan melalui pengadaan moral dan undang-undang. Di satu
sisi pemahaman konsep ekonomi di kalangan masyarakat berubah dan
diperbaiki melalui pendidikan moral serta di sisi yang lain, beberapa
langkah tertentu yang legal diambil untuk memastikan sifat mementingkan
diri golongan kapitalis tidak sampai ke tahap yang menjadikan mereka
tamak serta serakah; dan bagi si miskin, tidak merasa iri hati, mendendam
dan kehilangan sikap toleransi. Bagian yang terpenting dari prinsip-prinsip
tersebut yang perlu bagi organisasi ekonomi dalam masyarakat untuk
mencapai tujuan yang telah dinyatakan tadi ialah hak pemilikan individu,
50Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terj. Soerojo dan Nastangin, Jilid Ī
Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 10
50
yang perlu untuk kemajuan manusia bukan saja senantiasa dijaga dan
terpelihara tetapi terus didukung dan diperkuat. 51
51Ibid, hlm. 11
51
BAB III
PENDAPAT MUHAMMAD ABDUL MANNAN TENTANG KONSEP
UANG DAN PERANANNYA
A. Biografi Muhammad Abdul Mannan
1. Latar Belakang Keluarga
Muhammad Abdul Mannan adalah seorang guru besar di Islamic
Research and Training Institute, Islamic Development Bank, Jeddah. Lahir
di Bangladesh 17 November 1939. Gelar M.A diperoleh di Bangladesh,
M.A in Economics dan Ph.D di Michigan, USA. Ia termasuk salah satu
pemikir ekonomi Islam kontemporer yang cukup menonjol. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya karya tulis yang telah dihasilkan salah satu karya
tulisnya adalah Islamic Economics: Theory and Practice yang terbit tahun
1970 dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Sebagai seorang ilmuwan, ia mengembangkan ekonomi Islam
berdasarkan pada beberapa sumber hukum yaitu:
- Al-Qur'an
- Sunnah Nabi
- Ijma'
- Ijtihad atau Qiyas
- Prinsip hukum lainnya.1
1Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, Yogyakarta: LPPI, 2001, hlm. 53.
52
Dari sumber-sumber hukum Islam di atas ia merumuskan langkah-
langkah operasional untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam yaitu:
1. Menentukan basic economic functions yang secara umum ada dalam
semua sistem tanpa memperhatikan ideologi yang digunakan, seperti
fungsi konsumsi, produksi dan distribusi.
2. Menetapkan beberapa prinsip dasar yang mengatur basic economic
functions yang berdasarkan pada syariah dan tanpa batas waktu
(timeless), misal sikap moderation dalam berkonsumsi.
3. Mengidentifikasi metode operasional berupa penyusunan konsep atau
formulasi, karena pada tahap ini pengembangan teori dan disiplin
ekonomi Islam mulai dibangun. Pada tahap ini mulai mendeskripsikan
tentang apa (what), fungsi, perilaku, variabel dan lain sebagainya.
4. Menentukan (prescribe) jumlah yang pasti akan kebutuhan barang dan
jasa untuk mencapai tujuan (yaitu: moderation) pada tingkat
individual atau aggregate.
5. Mengimplementasikan kebijakan yang telah ditetapkan pada langkah
keempat. Langkah ini dilakukan baik dengan pertukaran melalui
mekanisme harga atau transfer payments. 2
6. Melakukan evaluasi atas tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya atau
atas target bagaimana memaksimalkan kesejahteraan dalam seluruh
kerangka yang ditetapkan pada langkah kedua maupun dalam dua
pengertian pengembalian (return), yaitu pengembalian ekonomi dan
2Biografi Muhammad Abdul Mannan dalam Introduction of Dr..M. Abdul Mannan,
http://www .geogle. com/M.Abdul Mannan/biografi.htm.
53
non-ekonomi, membuat pertimbangan-pertimbangan positif dan
normatif menjadi relatif tidak berbeda atau tidak penting.
7. Membandingkan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan pada
langkah dengan pencapaian yang diperoleh (perceived achievement).
Pada tahap ini perlu melakukan review atas prinsip yang ditetapkan
pada langkah kedua dan merekonstruksi konsep-konsep yang
dilakukan pada tahap ketiga, keempat dan kelima.
Tahapan-tahapan yang ditawarkan oleh Mannan cukup konkrit dan
realistik. Hal ini berangkat dari pemahamannya bahwa dalam melihat
ekonomi Islam tidak ada dikhotomi antara aspek normatif dengan aspek
positif. Secara jelas Mannan mengatakan :
"... ilmu ekonomi positif mempelajari masalah-masalah ekonomi sebagaimana adanya (as it is). Ilmu ekonomi normatif peduli dengan apa seharusnya (ought to be) ...penelitian ilmiah ekonomi modern (Barat) biasanya membatasi diri pada masalah positif daripada normatif... Beberapa ekonom Muslim juga mencoba untuk mempertahankan
perbedaan antara ilmu positif dengan normatif, sehingga dengan cara
demikian mereka membangun analisa ilmu ekonomi Islam dalam
kerangka pemikiran barat. Sedangkan ekonom yang lain mengatakan
secara sederhana bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu normatif. Dalam
ilmu ekonomi Islam, aspek-aspek positif dan normatif dari ilmu ekonomi
Islam saling terkait dan memisahkan kedua aspek ini akan menyesatkan
54
dan menjadi counter productive.3
Dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, maka langkah
pertama adalah menentukan basic economic functions yang secara
sederhana meliputi tiga fungsi yaitu konsumsi, produksi dan distribusi.
Lima prinsip dasar yang berakar pada syari'ah untuk basic economic
functions berupa fungsi konsumsi yakni prinsip righteousness, cleanliness,
moderation, beneficence dan morality. Perilaku konsumsi seseorang
dipengaruhi oleh kebutuhannya sendiri yang secara umum kebutuhan
manusia terdiri dari necessities, comforts dan luxuries.
Pada setiap aktivitas ekonomi aspek konsumsi selalu berkaitan erat
dengan aspek produksi Dalam kaitannya dengan aspek produksi, Mannan
menyatakan bahwa sistem produksi dalam negara (Islam) harus berpijak
pada kriteria obyektif dan subyektif. Kriteria obyektif dapat diukur dalam
bentuk kesejahteraan materi, sedangkan kriteria subyektif terkait erat
dengan bagaimana kesejahteraan ekonomi dapat dicapai berdasarkan
syari'ah Islam. Jadi dalam sistem ekonomi kesejahteraan tidak semata-
mata ditentukan berdasarkan materi saja, tetapi juga hams berorientasi
pada etika Islam.
Aspek lain selain konsumsi dan produksi yang tidak kalah
pentingnya adalah aspek distribusi pendapatan dan kekayaan. Mannan
mengajukan rumusan beberapa kebijakan untuk mencegah konsentrasi
kekayaan pada sekelompok masyarakat saja melalui implementasi
3Biografi Muhammad Abdul Mannan dalam Introduction of Dr..M. Abdul Mannan,
http://www .geogle. com/M.Abdul Mannan/biografi.htm.
55
kewajiban yang dijustifikasi secara Islam dan distribusi yang dilakukan
secara sukarela. Rumusan kebijakan tersebut adalah:
1. Pembayaran zakat dan 'ushr (pengambilan dana pada tanah 'ushriyah
yaitu tanah jazirah Arab dan negeri yang penduduknya memeluk Islam
tanpa paksaan).
2. Pelarangan riba baik untuk konsumsi maupun produksi.
3. Pemberian hak untuk sewa ekonomi murni (pendapatan yang
diperoleh usaha khusus yang dilakukan oleh seseorang) bagi semua
anggota masyarakat.
4. Implementasi hukum waris untuk meyakinkan adanya transfer
kekayaan antargenerasi.
5. Mendorong pemberian pinjaman lunak.
6. Mencegah penggunaan sumberdaya yang dapat merugikan generasi
mendatang.
7. Mendorong pemberian infaq dan shadaqah untuk fakir miskin.
8. Mendorong organisasi koperasi asuransi.
9. Mendorong berdirinya lembaga sosial yang memberikan santunan
kepada masyarakat menengah ke bawah.
10. Mendorong pemberian pinjaman aktifa produktif kepada yang
membutuhkan.
11. Tindakan-tindakan hukum untuk menjamin dipenuhinya tingkat hidup
minimal (basic need)
56
Menetapkan kebijakan pajak selain zakat dan 'ushr untuk
meyakinkan terciptanya keadilan sosial.
2. Karya-Karya Muhammad Abdul Mannan
Adapun karya-karya Muhammad Abdul Mannan sebagai berikut4:
1. Islamic Economics; Theory and Practice, 386 halaman, diterbitkan
oleh: Sh. Mohammad Ashraf, Lahore, Pakistan, 1970, (Memperoleh
best-book Academic Award dari Pakistan Writers' Guild, 1970) cetak
ulang 1975 dan 1980 di Pakistan. Cetak ulang di India, 1980.
2. The Making of Islamic Economics Society: Islamic Dimensions in
Economic Analysis; diterbitkan oleh International Association of
Islamic Banks, Cairo dan International Institute of Islamic Banking
and Economics, Kibris (Cyprus Turki) 1984.
3. The Frontiers of Islamic Economics, diterbitkan oleh Idarath
Ada'biyah, Delhi, India, 1984.
4. Economic Development in Islamic Framework (Diedit/akan terbit).
5. Key Issues and Questions in Islamic Economics, Finance, and
Development (akan terbit).
6. Abstracts of Researches in Islamic Economics (diedit, KAAU, 1984).
7. Islam arid Trends in Modern Banking - Theory and Practice of
Interest-free Banking". Asli dimuat dalam Islamic Review and Arab
Affairs, jilid 56, Nov/Des., 1968, jilid 5-10, dan jilid 57, January 1
4Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dna Bakti Prima Yasa,
1997, hlm. 406-411.
57
London, 1969, halaman 28-33, UK diterjemahkan ke dalam bahasa
Turki oleh M.T. Guran Ayyildiz Matahassi, Ankara (1969).
B. Karakteristik Pemikiran Muhammad Abdul Mannan
Karakteristik pemikiran ekonomi Islam Muhammad Abdul Mannan
merefleksikan keunikannya, dan dari keunikannya itu sekaligus sebagai
kelebihannya dibandingkan dengan ekonom lainnya.5 Kelebihannya dapat
dikemukakan dalam beberapa hal. Pertama, pandangan dan pemikirannya
komprehensif dan integratif mengenai teori dan praktek ekonomi Islam dan
perbankan Islam, menghadirkan gambaran keseluruhan dan bukan hanya
potongan-potongannya. Ia melihat sistem ekonomi Islam dan perbankan Islam
dalam perspektifnya yang tepat. Dalam hal ini, ia memenuhi kebutuhan besar
dan berfungsi sebagai antibodi terhadap sebagian penyakit rasa puas yang
menimpa kalangan-kalangan Islam. la tidak saja mengulang pernyataan posisi
Islam terhadap perbankan, dan finansial dalam suatu cara yang otentik
komprehensif dan tepat, melainkan juga mengidentifikasi kesenjangan dalam
beberapa pendekatan yang berlaku. la juga merupakan suatu peringatan yang
tepat waktu terhadap pendekatan-pendekatan yang parsial. Penekanan
Muhammad Abdul Mannan pada perubahan struktural, pada perlunya
membersihkan kehidupan ekonomi dari segala bentuk eksploitasi dan
ketidakadilan serta terhadap saling ketergantungan dari berbagai unsur dalam
lingkup kehidupan Islam, tidak saja merupakan pengingat yang tepat,
5Imamudin Yuliadi, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, Yogyakarta: LPPI, 2001, hlm.
53.
58
melainkan juga berfungsi sebagai agenda kuat untuk reformasi dan
rekonstruksi masa depan umat Islam dalam menata sistem perbankan
Karakteristik kedua dari pemikirannya adalah terintegrasinya teori
dengan praktik ekonomi Islam. Muhammad Abdul Mannan dengan sangat
baik mengembangkan argumen yang jitu dalam menggulirkan konsep
ekonomi Islam inklusif masalah peranan uang dan perbankan Islam.6 Dari sini
tampaknya ia telah berhasil menunjukkan dengan ketelitian akademik tidak
saja kebaikan, melainkan juga keunggulan sistem ekonomi Islam. la tidak saja
melihat ulang secara kritis ekonomi Islam, uang dan perbankan Islam yang
berlaku, melainkan juga mengajukan saran-saran orisinal untuk
meningkatkannya dan memungkinkannya mencapai tujuan-tujuan Islam
secara lebih efektif.
Ketiga, karakteristik gagasan dan pemikirannya ini telah meningkatkan
tingkat perdebatan mengenai ekonomi Islam, keuangan dan perbankan Islam
oleh analisis yang teliti dari sebagian konsekuensi pokok, oleh evaluasi kritis
dari sebagian gagasan baru yang berkembang selama dekade baru, dengan
menghadirkan pandangan-pandangan baru dan saran kebijakan yang relevan.7
Evaluasinya tentang sebagian usulan dari laporan Dewan Ideologi Islam
Bangladesh telah memperkaya perdebatan. Pandangannya tentang konsep
uang, perbankan Islam, kerangka mikro dan makro ekonomi, kebijakan fiskal
dan Anggaran Belanja dalam Islam di dasarkan atas pemahaman yang luas
dan akurat.
6Ibid, hlm. 53. 7Ibid, hlm. 54.
59
Meskipun pemikirannya mencakup nilai yang luas dalam bidang ilmu
ekonomi Islam dan perbankan, namun pembahasan tentang hubungan
perbankan dan moneter internasional dan bagaimana membersihkan dari riba
dan bentuk-bentuk eksploitasi lain perlu dikembangkan, diperkokoh, dan
diperluas dalam beberapa hal. Berpijak dari itu semua, tampaknya para
ekonom muslim lain akan terus menghadapi tantangan yang datang dari sistem
perbankan dan moneter dunia. Untuk itu perlu dikembangkan visi yang lebih
tegas tentang peran uang dan sistem perbankan di dunia internasional yang
bebas dari unsur eksploitasi dan mengarah kepada munculnya sebuah tata
ekonomi dunia yang adil.
Adapun kekurangannya, bahwa Muhammad Abdul Mannan dalam
menguraikan peran uang dan ekonomi Islam terlalu singkat padahal materi
dan cakupan dari sistem keuangan dan perbankan demikian luas, sehingga
solusi yang ditawarkan masih terlalu umum dan bersifat global. Dengan
demikian masih perlu rincian lebih spesifik. Jika pendapatnya diaplikasikan
maka akan terasa bahwa konsepnya masih terlalu murni, artinya konsep yang
ditawarkan sulit diaplikasikan dan lebih tepat dijadikan wacana, namun
demikian, terlepas dari kekurangannya, bila melihat pemikirannya tampak
sangat menarik. Ia adalah seorang ekonom kenamaan dan seorang sarjana
Islam yang mempunyai komitmen. Pada dirinya, seseorang akan melihat
gabungan model baru kesarjanaan Islam, di mana arus pengetahuan tradisional
dan modern saling memenuhi satu sama lain. Ia memiliki sumber pengetahuan
terbaik dari pusat pendidikan ekonomi modem. Dia bekerja keras, sangat
60
berhasil menguasai bahasa Arab dan kajian Islam dari sumber-sumber yang
asli. Dia telah melakukan pengajaran penting dan riset.
C. Pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang Konsep Uang dan
Peranannya
1. Tentang Uang
Menurut Mannan, dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar,
bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara meluas dengan
maksud melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam
ekonomi tukar-menukar, Karena ketidakadilan dalam ekonomi tukar
menukar (barter), digolongkan sebagai riba al fazal, yang dilarang dalam
agama, sedangkan peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan.
Karena itu dalam Islam uang sendiri tidak menghasilkan suatu apa pun.
Dengan demikian bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan
dilarang.8
Sekali peranan uang sebagai alat tukar diakui, uang dapat
memainkan peranannya sebagai suatu "unit akun" (kesatuan hitung) dan
sebagai suatu kumpulan nilai dalam suatu ekonomi Islami. la dapat
digunakan sebagai ukuran opportunity cost (yaitu pendapatan yang
hilang), dengan baik sekali.9
8Abdul Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Intermasa, 1992, hlm.
162. 9Ibid
61
Pada suatu tingkat teoritis, penghapusan bunga dan dikenakannya
2,5 persen zakat pertahun pada uang yang tidak digunakan, sangat
memungkinkan berkurangnya nafsu motif spekulatif untuk memiliki uang
tunai, Dengan demikian turut membantu stabilitas nilai uang. Ini bukan
karena ingin mengatakan bahwa stabilitas uang hanya tergantung pada
penghapusan bunga dan dikenakannya zakat. Hal ini tergantung pada
faktor yang tumbuh dari dalam seperti tingkat kegiatan usaha, tingkat laba
yang diharapkan, kemampuan bank komersial menanggapi insentif
ekonomi maupun faktor luar seperti pengawasan bank sentral. Namun
demikian, tidak adanya bunga dan adanya zakat menempatkan suatu
ekonomi Islam dalam kedudukan yang lebih baik untuk menangani
masalah spekulasi yang tidak jujur dan penimbunan uang, dengan
demikian memungkinkan uang melaksanakan fungsi perolehan lainnya
dengan cara yang relatif lebih mudah. Ini tidak berarti bahwa suatu
ekonomi Islam tidak memerlukan kebijakan moneter yang sehat, karena
masih terdapat kontroversi mengenai apakah dalam suatu ekonomi Islam
hanya bank sentral yang memiliki wewenang tunggal menciptakan uang,
ataukah bank dagang seharusnya juga diperkenankan menciptakan uang
melalui kredit.10
Menurut Mannan, dalam ekonomi Islam uang memainkan peranan
sosial dan religius yang khusus, karena ia merupakan ukuran terbaik untuk
menyalurkan daya beli dalam bentuk pembayaran transfer kepada si
10Ibid., hlm. 163.
62
miskin. Pembayaran transfer mempunyai arti khusus dalam suatu ekonomi
Islam, karena dalam Islam pembayaran ini tidak hanya merupakan
kewajiban sukarela di pihak kaum Islam, tapi juga suatu kewajiban yang
dipaksakan, terutama dalam hal pembayaran zakat oleh si kaya kepada si
miskin. Arti religius peranan uang terletak pada kenyataan bahwa ia
memungkinkan kita menghitung nisab dan menilai suku zakat dengan
tepat. Dalam suatu ekonomi uang, adalah mudah untuk menilai
sumbangan seseorang dalam hal kewajiban intra keluarga dan masyarakat
dengan tepat, terutama dalam hal tidak terdapatnya produk akhir untuk
melakukan barter. Persoalannya ialah, suatu skala cara penyaluran
pembayaran transfer yang dibenarkan secara Islami dapat ditetapkan lebih
efektif dalam suatu ekonomi uang. Uanglah yang memungkinkan setiap
orang atau kelompok masyarakat menetapkan suatu skala pilihan,
sehingga mereka yang paling berjasa berada dekat puncak skala.
Uang juga melaksanakan fungsi sosial lain dengan menahan atau
mencegah eksploitasi terbuka yang terkandung dalam suatu keadaan
tawar-menawar tanpa akhir. Tanpa uang kita harus memperlihatkan semua
nilai relatif barang dan jasa yang terdapat pada skala.11
Dewasa ini bukan saja ratusan tetapi ribuan komoditi yang harus
dipilih dalam suatu toko swalayan modern. Penggunaan yang
menyederhanakan prosedur penyelesaian syarat, mengurangi peluang
eksploitasi dalam menyelesaikan syarat penukaran yang menguntungkan si
11Ibid
63
kuat dan si kaya, dan juga melenyapkan timbulnya masalah kebutuhan
rangkap secara bersamaan.
Jadi, bila dilihat uang melaksanakan fungsi sosial dan religiusnya,
maka pada hakikatnya ia berfungsi sebagai alat bukan-tukar.12
Tetapi mungkin ada pertanyaan apakah segi Islami dari fungsi
bukan-tukar ini, karena dalam tiap masyarakat, uang dapat melaksanakan
fungsi ini. Walaupun gejala bukan-tukar ini sebagai suatu kenyataan
ataupun sebagai suatu kemungkinan, memang terdapat di masyarakat
kapitalis maupun tradisional, namun kekhususan gejala bukan-tukar Islami
terletak pada kenyataan bahwa ia dianggap sebagai bagian dari kewajiban
religius. la tidak disekularisasi maupun disosialisasi, karena di kebanyakan
masyarakat Barat gejala bukan-tukar ini dianggap suatu upaya untuk
meloloskan diri dari pajak sekular. Kebanyakan organisasi filantropis dan
amal di Barat memperoleh manfaat pembebasan pajak dalam tingkat yang
bermacam-macam. Karena itu sedikit banyaknya alat bukan-tukar
disekularisasi. Penukaran hadiah dalam masyarakat tradisional seperti
masyarakat Melanesia di Pasifik Selatan, dianggap sebagai suatu upaya
untuk memperkukuh ikatan sosial di kalangan kelompok keluarga atau
suku dan berakar dalam prinsip tindakan timbal balik sosial. Jadi pada
hakikatnya gejala bukan-tukar ini adalah peristiwa sosial. Maka jelaslah
bahwa fungsi sosial dan religius yang dilaksanakan uang dalam ekonomi
Islam mempunyai peranan yang berbeda.
12Ibid., hlm. 163.
64
2. Uang Berkaitan dengan Bank, Bunga dan Riba
Menurut Mannan, dalam Islam uang itu sendiri tidak menghasilkan
bunga atau laba dan tidak dipandang sebagai komoditi. Telah diketahui
bahwa riba (yaitu bunga) dilarang. Kedudukan bank Islam dalam
hubungan dengan para kliennya adalah sebagai mitra investor dan
pedagang, sedangkan dalam hal bank di Barat, hubungannya adalah
sebagai kreditur atau debitur.
Dalam menjalankan pekerjaan yang sesungguhnya, bank Islam
menggunakan berbagai teknik dan metode investasi seperti kontrak
mudarabah, yaitu seorang pemilik modal memberikan modal dan
mudarab (mitra tenaga kerja) memberikan kecakapan teknik dan
ketrampilan, sedangkan laba dibagi antara keduanya, menurut persentase
yang disetujui. Bank Islam juga terlibat dalam kontrak murabaha
(berdasarkan perhitungan biaya ditambah sesuatu atau cost plus}, yaitu
bank membeli suatu komoditi tertentu menurut rincian kliennya dan
mengirimkannya berdasarkan pembagian rasio laba yang disetujui, Bank
Islam juga berurusan dengan pasar devisa dan melaksanakan jasa
perbankan lainnya seperti surat kredit, dan surat jaminan. Mungkin bank
juga memberikan jasa bukan perbankan seperti trust business, real estate,
dan jasa konsultan.13
Menurut Mannan, al-Qur'an dan Sunnah dua sumber pokok Hukum
Islam melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (Q. S, Al
13Ibid., hlm. 164.
65
Muzzammil dan Q.S, Al-Baqarah). Tetapi beberapa orang Islam terpelajar
yang silau oleh pesona lahiriah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang
dilarang Islam adalah Riba bukan bunga. Mereka berpendapat bahwa
bunga yang dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi
tidak bertentangan dengan hukum Al Qur'an karena hukum ini hanya
mengacu pada riba yaitu pinjaman yang bukan untuk produksi di masa pra
Islam. Pada masa itu orang tidak mengenal pinjaman produksi dan
pengaruhnya pada perkembangan ekonomi. Dalam hal ini mereka yang
mengajukan teori bunga tampaknya mengabaikan Al-Qur'an, yang
merupakan firman Allah terakhir sebagai pedoman manusia. Al Qur'an
adalah undang-undang segala zaman, dan ma'rifat Tuhan yang terwujud
padanya tidak dapat digantikan oleh praktek ekonomi bunga pada
pinjaman produksi yang diketahui zaman ini, atau zaman lainnya.
Sesungguhnya, perbedaan antara pinjaman produktif dan tidak produktif
adalah perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis. Menyebut Riba dengan
nama bunga tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu
tambahan modal yang dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa
maupun peraturan hukum Islam.14
The Concise Oxford Dictionary menyatakan riba sebagai berikut,
"Praktek meminjamkan uang dengan bunga yang luar biasa tingginya,
terutama dengan bunga yang lebih tinggi daripada yang diperkenankan
oleh undang-undang." Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh
14Ibid., hlm. 164.
66
Chamber's Dictionary. Tetapi apakah suatu bunga yang luar biasa itu?
Suku bunga yang layak dewasa ini akan merupakan suku bunga luar biasa
di waktu yang akan datang. Kemudian, apa yang layak bagi suatu negara
mungkin tidak layak bagi negara lainnya. Di tahun sembilan belas dua
puluhan banyak masyarakat kooperatif yang mengenakan bunga dua belas
sampai lima belas persen, dan pada waktu itu hal ini dianggap wajar.
Tetapi dewasa ini hal itu dianggap terlalu berlebihan dan luar
biasa. Delapan setengah persen suku bunga yang dianggap wajar oleh
suatu badan ahli seperti Komisi Keuangan Liga Bangsa-bangsa pun, sudah
tidak relevan lagi, dewasa ini. Lagi pula, kini terdapat contoh bahwa di
beberapa negara suku bunga resmi pada sebuah lembaga terkemuka, luar
biasa tingginya dibandingkan dengan suku bunga resmi suatu lembaga lain
di daerah yang sama untuk jenis pinjaman serupa. Di Amerika Serikat
umpamanya, pada tahun sembilan belas lima puluhan dan enam puluhan,
bank tidak dapat mengenakan bunga lebih dari delapan persen, sedangkan
suatu perusahaan pemberian kredit dapat mengenakan tiga puluh sampai
tiga puluh enam persen suku bunga pertahun untuk pinjaman yang serupa.
Demikian pula untuk pinjaman pribadi si pemberi pinjaman mengenakan
bunga dua puluh empat sampai seratus persen tiap tahun, dan ini masih
dianggap tidak bertentangan dengan hukum.
Sebetulnya menurut Mannan, tidak ada perbedaan antara bunga
dan Riba. Islam dengan tegas melarang semua bentuk bunga betapapun
hebat, dan meyakinkannya nama yang diberikan padanya. Tetapi dalam
67
ekonomi kapitalis bunga adalah pusat berputarnya sistem perbankan.
Dikemukakan bahwa tanpa bunga, sistem perbankan menjadi tanpa nyawa,
dan seluruh ekonomi akan lumpuh. Sedangkan Islam adalah kekuatan
dinamis dan progresif, dan jelas dapat dibuktikan bahwa konsep Islam
tentang suatu sistem perbankan bebas bunga lebih unggul dari perbankan
modern. Pada taraf ini dapat ditetapkan bahwa suku bunga sama sekali
tidak ada hubungan dengan pengaruh volume menabung. Dalam hubungan
ini baiklah dicatat pandangan klasik dan Keynesian tentang bunga.15
Perbankan Islam didasarkan atas prinsip shirakah (mitra usaha)
yang telah diakui di seluruh dunia. Artinya, seluruh sistem perbankan di
mana pemegang saham, depositor, investor dan peminjam akan berperan
serta atas dasar mitra usaha. Pasti ini akan berjalan dengan menerapkan
prinsip lestari mudarabah, yaitu tenaga kerja dan pemilik modal
bergabung bersama-sama sebagai mitra usaha untuk kerja. Ini bukan
semata-mata mitra usaha dalam arti modern. Ia mempunyai kelebihan
karena Islam telah memberikan kode etik ekonomi yang menggabungkan
nilai material dan spiritual untuk jalan sistem ekonominya. Kode etik
ekonomi ini harus dicerminkan bila prinsip mudarabah dilaksanakan
dalam praktek. Sistem perbankan Islam dapat membantu pembentukan
lembaga tertentu atas dasar mudarabah dan dengan demikian
menyelesaikan pertentangan yang berabad-abad lamanya antara tenaga
kerja dan majikan. Perusahaan industri, niaga dan pertanian dapat
15Ibid., hlm. 165.
68
direncanakan atas prinsip mudarabah yang menggabungkan berbagai
satuan produksi. Pendapatan yang dihasilkan oleh perusahaan demikian
dapat dibagi proposional di kalangan berbagai satuan produksi sesudah
mengurangi semua pembiayaan yang sah dari perusahaan tersebut
sepanjang tahun.
Sungguh menyenangkan melihat bank Islam turut mengurus
kontrak mudarabah, yaitu bank memberikan modal, para nasabah
memberikan keahlian mereka, sedangkan keuntungan dibagi menurut rasio
yang disetujui. Telah dikemukakan bahwa prinsip mudarabah dapat
dimintakan dalam hal transaksi jangka pendek yang dapat membiayai
dirinya sendiri (self liquidating), dan akibatnya permintaan untuk
pinjaman jangka pendek dapat banyak dikurangi, karena dalam ekonomi
Islam pinjaman jangka pendek dengan bunga seperti yang diberikan bank
dagang tradisional atau lembaga diskonto tidak akan tersedia.
Dengan operasi murabaha, para klien bank membeli suatu
komoditi menurut rincian tertentu dan menghendaki agar bank
mengirimkannya kepada mereka berdasarkan imbuhan harga tertentu
menurut persetujuan mula antara kedua pihak.
Dengan musharaka, baik bank maupun klien menjadi mitra usaha
dengan menyumbang modal dalam berbagai tingkat dan mencapai kata
sepakat atas suatu rasio laba di muka untuk suatu waktu tertentu.16
16Ibid., hlm. 167.
69
Mekanisme perbankan Islami, yang berdasarkan prinsip mitra
usaha, adalah bebas bunga. Karena itu, soal membayarkan bunga kepada
para depositor atau pembebanan suatu bunga dari para klien tidak timbul.
Dalam rencana perbankan Islami, mungkin terdapat dua jenis depositor.
Jenis yang pertama adalah depositor yang dapat mendeposit dana
surplusnya, ia diperkenankan menarik dananya setiap waktu tanpa
pemberitahuan. Jenis deposito ini hanya untuk penyimpanan keamanan
(safe depositing), bukan untuk investasi dalam suatu kegiatan produksi
yang mengandung resiko. Dalam hal deposito demikian, bank dapat
memperoleh zakat dan biaya jasa dari para depositor Islam dan yang
bukan Islam. Pajak atas dana yang tak digunakan ini dibenarkan, karena ia
mencegah kecenderungan untuk menimbun uang tunai dalam bentuk tak
digunakan dan memberikan dorongan untuk menginvestasi dalam kegiatan
produksi.
Jenis depositor kedua tidak boleh menarik dana mereka tanpa
pemberitahuan. Dana surplus mereka mungkin diinvestasikan dalam
urusan produksi atas dasar jangka pendek. Bank tidak akan meminta apa
pun dari para depositor ini, bahkan, mereka diperkenankan berbagi laba
atau kerugian bank secara sebanding pada akhir tahun anggaran dalam
suatu bentuk yang menyerupai dividen. Tetapi bila diperlukan, bank Islam
dapat mengumpulkan dana, dengan menawarkan pemberian investasi
untuk suatu masa, dari satu, lima tahun, atau lebih.
70
Di negara Barat, beberapa bank mengeluarkan sertifikat investasi
atau obligasi investasi dengan suku bunga yang ditetapkan. Tapi dalam
suatu negara Islam para pemegang sertifikat investasi ini akan
mendapatkan bagian laba sebanding dari bank, dalam bentuk dividen yang
dapat dikeluarkan pada akhir tahun anggaran. Jelaslah bahwa bank Islam
tidak dapat mengeluarkan surat utang untuk mengumpulkan dana, karena
hal ini memerlukan suatu suku bunga yang ditetapkan.
3. Uang dan Teori tentang Zakat
Menurut Mannan, zakat merupakan pukulan hebat bagi
kapitalisme. Sayangnya, terjadi kesalahpahaman mengenai zakat.
Beberapa dari mereka menganggapnya sebagai suatu amal pribadi, padahal
Zakat adalah pajak wajib atas tabungan dan harta benda berdasarkan suku
yang berbeda-beda, mulai dari dua sampai dua puluh persen. Para Fukaha
(ahli hukum Islam) menyepakati dilakukannya tindakan tegas pada mereka
yang lalai membayar zakat yang diwajibkan. Sejarah Islam mencatat
banyak kejadian di mana negara mengambil langkah tegas untuk
melaksanakan pembayaran zakat seperti yang diketahui di masa Khalifah
Abu Bakar al Siddiq, khalifah Islam pertama.
Zakat adalah musuh yang tak kenal kompromi bagi pekerjaan
menimbun. la mencegah kecenderungan untuk menimbun sumber daya,
dan uang tunai yang tidak digunakan, ia juga memberikan dorongan kuat
untuk menginvestasi persediaan yang tak terpakai ini. Dorongan ini
71
memperoleh kekuatan dari kenyataan bahwa Islam memperkenankan laba
dan mitra usaha diam, dengan berbagi laba maupun kerugian.
72
BAB IV
ANALISIS PENDAPAT MUHAMMAD ABDUL MANNAN TENTANG
KONSEP UANG DAN PERANANNYA
A. Analisis Pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang Konsep Uang dan
Peranannya
1. Tentang Uang
Menurut Mannan,
Dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara meluas dengan maksud melenyapkan sistem riba, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam ekonomi tukar-menukar, Karena ketidakadilan dalam ekonomi tukar menukar (barter), digolongkan sebagai riba al fazal, yang dilarang dalam agama, sedangkan peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan. Karena itu dalam Islam uang sendiri tidak menghasilkan suatu apa pun. Dengan demikian bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan dilarang.1
Menurut penulis bahwa apa yang diungkapkan Mannan sangat
tepat bahwa dalam perspektif Islam, uang tidak boleh dianggap sebagai
barang perdagangan. Apabila uang dianggap sebagai barang dagangan dan
ini misalnya dibenarkan umat Islam maka konsekuensinya harus
membenarkan sistem bunga dan riba.
Jika uang dijadikan barang dagangan dan dianggap sebagai hal
yang biasa dalam bisnis maka berarti umat Islam harus menerima bunga
dan riba sekaligus menyimpang dengan ketentuan al-Qur'an yang
melarang bunga dan riba. Dari sini penulis hendak memperkuat
1Abdul Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek, Jakarta: PT Intermasa, 1992, hlm.
162.
73
argumentasi dengan mencantumkan pendapat Adiwarman Karim yang
menyatakan:
Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensial. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah uang, uang bukan capital. Sebaliknya, konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi konvensional tidak jelas. Sering kali istilah uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan secara bolak-balik (interchangeability), yaitu uang sebagai uang dan uang sebagai capital.2
Pernyataan Adiwarman Karim sejalan pula dengan pendapat
Muhamad yang menegaskan:
Persoalan riba sebetulnya sangat berkaitan dengan masalah uang. Sebagai perbandingan dengan teori ekonomi konvensional (kapitalisme), Islam membicarakan uang sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, tetapi uang bukanlah barang dagangan. Mengapa uang berfungsi? Uang menjadi berguna hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijual atau dibeli secara kredit. Orang perlu memahami kebijakan Rasulullah SAW., bahwa tidak hanya mengumumkan bunga atas pinjaman sebagai sesuatu yang tidak sah tetapi juga melarang pertukaran uang dan beberapa benda bernilai lainnya untuk pertukaran yang tidak sama jumlahnya, serta menunda pembayaran jika barang dagangan atau mata uangnya adalah sama. Efeknya adalah mencegah bunga uang yang masuk ke sistem ekonomi melalui cara yang tidak diketahui.3
Pendapat ahli tersebut tidak berbeda dengan pendapat Zainul
Arifin yang menyatakan:
Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai' al muqayadah), di mana barang saling dipertukarkan.4
2Adiwarman Karim, Ekonomi Makro Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm.
77. 3Muhammad, Dasar-Dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2004, hlm. 69. 4Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta: Alvabeta, 2003, hlm. 16
74
Dalam sistem perekonomian mana pun, fungsi utama uang adalah
sebagai alat tukar (medium of exchange). Ini adalah fungsi utama uang.
Dari fungsi utama ini, diturunkan fungsi-fungsi yang lain seperti uang
sebagai standard of value (pembakuan nilai), store of value (penyimpan
kekayaan), unit of account (satuan penghitungan) dan standard of
defferred payment (pembakuan pembayaran tangguh). Mata uang
manapun niscaya akan berfungsi seperti ini.
Manakala diamati, ada satu hal yang sangat berbeda dalam
memandang uang, antara sistem kapitalis dengan sistem Islam. Dalam
sistem perekonomian kapitalis, uang tidak hanya sebagai alat tukar yang
sah (legal tender) melainkan juga sebagai komoditas. Menurut sistem
kapitalis, uang juga dapat diperjualbelikan dengan kelebihan baik on the
spot maupun secara tangguh. Lebih jauh, dengan cara pandang demikian,
maka uang juga dapat disewakan (leasing).
Dalam Islam, apa pun yang berfungsi sebagai uang, maka
fungsinya hanyalah sebagai medium of exchange. la bukan suatu
komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan kelebihan baik secara on the
spot maupun bukan. Satu fenomena penting dari karakteristik uang adalah
bahwa ia tidak diperlukan untuk dikonsumsi, ia tidak diperlukan untuk
dirinya sendiri, melainkan diperlukan untuk membeli barang yang lain
sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Inilah yang dijelaskan oleh
Imam Ghazali bahwa emas dan perak hanyalah logam yang di dalam
substansinya (zatnya itu sendiri) tidak ada manfaatnya atau tujuan-
75
tujuannya. Menurut beliau, "kedua-duanya tidak memiliki apa-apa tetapi
keduanya berarti segala-galanya". Keduanya ibarat cermin, ia tidak
memiliki warna namun ia bisa mencerminkan semua warna. Penjelasan
Imam Ghazali dalam bukunya yang terkenal, Ihya Ulumiddin, tentang
hakikat dan fungsi uang dalam perekonomian, sesungguhnya sangatlah
luar biasa cemerlangnya, dan sangat mendahului zamannya.
Ketika uang diperlakukan sebagai komoditas oleh sistem kapitalis,
berkembanglah apa yang disebut pasar uang. Terbentuknya pasar uang ini
menghasilkan dinamika yang khas dalam perekonomian konvensional,
terutama pada sektor moneternya. Pasar uang ini kemudian berkembang
dengan munculnya pasar derivatif, yang merupakan turunan dari pasar
uang. Pasar derivatif ini menggunakan instrumen bunga sebagai harga dari
produk-produknya. Transaksi di pasar uang dan pasar derivatifnya ini
tidak berlandaskan motif transaksi yang riil sepenuhnya, bahkan sebagian
besar di antaranya mengandung motif spekulasi. Maka tak heran jika
perkembangan di pasar moneter konvensional begitu spektakuler.
Penelitian Mustafa Edwin Nasution, et al, menyatakan:
Menurut data dari sebuah NGO asal Amerika Serikat, volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation dan derivative market) dunia berjumlah US $ 1,5 triliun hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi yang terjadi dalam perdagangan dunia di sektor riil US $ 6 triliun setiap tahun. Dengan empat hari transaksi di pasar uang, nilainya sudah menyamai transaksi di sektor riil selama setahun. Inilah yang kemudian menciptakan satu kondisi perekonomian gelembung (bubble economic}, suatu kondisi yang melibatkan transaksi keuangan yang besar sekali,
76
namun sesungguhnya tidak ada isinya karena tidak dilandasi transaksi riil yang setara.5
Dalam perjalanan sejarah, berkembang pemikiran bahwa uang
tidak hanya bisa dibuat dari emas atau perak. Dalam pikiran para sahabat
Rasulullah pun telah berkembang kemungkinan untuk membuat uang dari
bahan lain. Misalnya Umar bin Khattab pernah mengatakan: "Aku ingin
(suatu saat) menjadikan kulit unta sebagai alat tukar". Pernyataan ini
keluar dari bibir seorang yang amat paham tentang hakikat uang dan
fungsinya dalam ekonomi. Menurut Umar, sesungguhnya uang sebagai
alat tukar tidak harus terbatas pada dua logam mulia saja seperti emas dan
perak. Kedua logam mulia ini akan mengalami ketidakstabilan manakala
terjadi ketidakstabilan pada sisi permintaan maupun penawarannya.
Karena itu, apa pun, sesungguhnya dapat berfungsi menjadi uang
termasuk kulit unta. Dalam pandangannya suatu barang yang telah
berubah fungsinya menjadi alat tukar (uang) maka fungsi moneternya
akan meniadakan fungsinya atau paling tidak akan mendominasi
fungsinya sebagai komoditas biasa.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa uang
sebagai alat tukar bahannya bisa diambil dari apa saja yang disepakati
oleh adat yang berlaku ('urf) dan istilah yang dibuat oleh manusia. La
tidak harus terbatas dari emas dan perak. Misalnya, istilah dinar dan
dirham itu sendiri tidak memiliki batas alami atau syar'i. dinar dan dirham
5Mustafa Edwin Nasution, et al, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Jakarta: Media
Pratama Group, 2007, hlm. 249.
77
tidak diperlukan untuk dirinya sendiri melainkan sebagai wasilah (medium
of exchange). Fungsi medium of exchange ini tidak berhubungan dengan
tujuan apa pun, tidak berhubungan dengan materi yang menyusunnya juga
tidak berhubungan dengan gambar cetakannya, namun dengan fungsi ini
tujuan dari keperluan manusia dapat dipenuhi.
Pada umumnya para ulama dan ilmuwan sosial Islam menyepakati
fungsi uang sebagai alat tukar saja. Deretan ulama ternama seperti Imam
Ghazali, Ibnu Taymiyyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Ar-Raghib al-
Ashbahani, Ibnu Khaldun, Al-Maqrizi, dan Ibnu Abidin dengan jelas
menandaskan fungsi pokok uang sebagai alat tukar. Bahkan Ibnul Qayyim
mengecam sistem ekonomi yang menjadikan fulus (mata uang logam dari
kuningan atau tembaga) sebagai komoditas biasa yang bisa
diperjualbelikan dengan kelebihan untuk mendapatkan keuntungan.
Seharusnya mata uang itu bersifat tetap, nilainya tidak naik dan turun.
Munculnya mata uang dari tembaga (fulus) ini, karena pemerintahan
Muslim di zaman Bani Mamluk mengalami ketidakseimbangan fiskal.
Mereka mengalami defisit karena korupsi aparat pemerintahan, gaya
hidup yang mewah dan peperangan yang terus berkobar di antara mereka
maupun dengan musuh mereka.
Sekalipun jumhur ulama sepakat untuk tidak membolehkan uang
sebagai komoditas, ada juga pendapat minor yang memandang mata uang
sebagai komoditas. Mereka ini tidak mewakili pandangan yang paling
kuat dari mazhabnya masing-masing. Misalnya, dalam fikih Hambali
78
dikatakan bahwa tidak ada riba pada fulus yang diperjualbelikan satu per
satu meskipun hal itu digunakan secara luas karena telah keluar dari illat-
nya yaitu takaran dan timbangan. Demikian pula Syekh Hasyim Al-Ghouti
al-Madani dari mazhab Syafi'i, Syekh Ilisy al-Maliki dari mazhab Maliki
dan Syekh Syamsuddin Sarakhsi dalam kitabnya al-Mabsut. Semuanya
menyatakan tidak berlaku riba pada fulus meskipun secara luas dipakai
sebagai alat tukar. Namun pandangan-pandangan minor tadi tidaklah
mempengaruhi jumhur ulama. Perbedaan pandangan demikian adalah
biasa dalam kebebasan berpikir, dan tidak perlu dirisaukan. Yang jelas
pandangan miring ini tidak mewakili pandangan main stream dari masing-
masing mazhab. Dengan demikian semua mazhab telah sepakat bahwa
memperjualbelikan uang dengan kelebihan termasuk perbuatan riba.
Dari penjelasan tadi jelaslah bahwa pendapat yang menyatakan
bahwa uang sebagai medium of exchange — yaitu tidak diperlukan untuk
dirinya sendiri, melainkan untuk menjadi perantara dalam memenuhi
kebutuhan manusia yang lain — adalah pendapat yang mencerminkan
kebenaran. Inilah yang kemudian menjadi acuan jumhur ulama hingga
sekarang.
2. Uang Berkaitan dengan Bank, Bunga dan Riba
Menurut Mannan,
Dalam Islam uang itu sendiri tidak menghasilkan bunga atau laba dan tidak dipandang sebagai komoditi. Telah diketahui bahwa riba (yaitu bunga) dilarang. Kedudukan bank Islam dalam hubungan dengan para kliennya adalah sebagai mitra investor dan pedagang, sedangkan dalam hal bank di Barat, hubungannya adalah sebagai kreditur atau debitur. Al-
79
Qur'an dan Sunnah dua sumber pokok Hukum Islam melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (Q. S, Al Muzzammil dan Q.S, Al-Baqarah). Tetapi beberapa orang Islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah Riba bukan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga yang dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi tidak bertentangan dengan hukum Al Qur'an karena hukum ini hanya mengacu pada riba yaitu pinjaman yang bukan untuk produksi di masa pra Islam. Sesungguhnya, perbedaan antara pinjaman produktif dan tidak produktif adalah perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis. Menyebut Riba dengan nama bunga tidak akan mengubah sifatnya .6
Menurut Mannan,
Islam adalah kekuatan dinamis dan progresif, dan jelas dapat dibuktikan bahwa konsep Islam tentang suatu sistem perbankan bebas bunga lebih unggul dari perbankan modern. Pada taraf ini dapat ditetapkan bahwa suku bunga sama sekali tidak ada hubungan dengan pengaruh volume menabung.7
Pendapat Mannan di atas pada intinya ia menganggap bahwa
bunga itu sama saja dengan riba, kecil atau besar bunganya tetap saja
sebagai riba.
Dalam masalah ini maka penulis setuju dengan pendapatnya karena
bagaimana pun juga bunga itu adalah identik dengan riba. Untuk
memperkuat pendapat ini maka penulis lebih dahulu mencantumkan
pendapat yang berbeda dengan Mannan di antaranya:
Menurut A. Hassan, bunga dan riba pada hakekatnya sama yaitu
tambahan pinjaman atas uang, yang dikenal dengan riba nasiah, dan
tambahan atas barang yang disebut riba fadl. Yang membedakan keduanya
yaitu sifat bunganya yang berlipat ganda, tanpa batas. Oleh karena itu,
menurut A. Hassan tidak semua riba itu dilarang, jika riba itu diartikan
6Abdul Mannan, op.cit., hlm. 164. 7Ibid., hlm. 165.
80
sebagai tambahan atas hutang, lebih dari yang pokok yang tidak
mengandung unsur perlipat ganda maka ia dibolehkan. Namun bila
tambahan itu mengandung unsur eksploitasi atau berlipat ganda, ia
kategorikan dalam perbuatan riba yang dilarang oleh agama.8
Pendapat A. Hassan tidak berbeda dengan pendapat Syafruddin
Prawiranegara. la berpendapat bahwa riba atau yang ia sebut dengan
woeker9 berbeda dengan bunga bank. Bunga bank adalah rente, yaitu
tingkat bunga yang wajar, yang hanya boleh dipungut berdasarkan
undang-undang, tidak dipungut secara liar tanpa adanya aturan yang
mengatur keberadaannya. Sedangkan riba menurutnya adalah tiap-tiap
laba yang abnormal yang diperoleh dalam jual beli bebas, tetapi di mana
satu pihak terpaksa menerima kontrak jual beli itu karena kedudukannya
lemah.10
Bunga bank yang dilakukan dengan tidak berdasarkan pada prinsip
ekspolitasi bukan merupakan riba. Menurutnya, baik laba maupun bunga,
apakah tetap atau naik turun, jika didasarkan pada persetujuan yang bersih
dan ikhlas adalah sah dalam pandangan Allah Swt. Sebaliknya laba yang
berlebihan, termasuk bunga yang berasal dari perdagangan barang atau
uang yang diperoleh secara tidak jujur misalnya hasil menipu, adalah riba,
dan ini tidak hanya berlaku atau ditujukan hanya pada bank. Dengan kata
8Muslim H. Kara, Bank Syari'ah di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 83.
Dapat dilihat juga dalam Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002, hlm. 610 – 611.
9Istilah dari bahasa Belanda yang berarti bunga yang terlalu tinggi 10Syafruddin Prawiranegara, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan
Karangan terpilih, Jilid II, Jakarta: Masaagung, 1988, hlm. 290
81
lain lembaga atau institusi apapun namanya jika memperoleh keuntungan
atau bunga sebagai hasil dari penipuan atau kebohongan maka itu pun
namanya riba,. Sebab perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap
ketentuan Allah Swt., manusia harus berbuat baik dan tidak menipu serta
menekan hambanya.11
Hanya saja ia menegaskan bahwa bunga yang dimaksudkan itu,
tingginya dalam batas-batas yang masih normal, yaitu sesuai dengan yang
lazim berlaku di pasar bebas, tidak melampaui batas.12 Walaupun
Syafruddin sendiri mengakui bahwa tidak mudah mengukur batas yang
jelas antara yang wajar dan yang melampaui batas, tetapi sebagai
ukurannya adalah merugikan orang lain atau tidak.
Pandangan Syafruddin didasarkan pada asumsinya bahwa sifat
keuntungan yang diperoleh dari pinjaman uang maupun barang adalah
sama. la menolak anggapan sebagian besar pandangan ulama yang
menganggap riba adalah setiap tambahan, atau rente atau apa pun
namanya yang timbul dari pinjaman uang. Sedangkan keuntungan yang
timbul dari penjualan barang, betapa pun tingginya, dan meskipun
keuntungannya itu diperoleh atas penjualan dengan kredit, dipandang
sebagai halal karena dasarnya jual beli dan bukan hasil penipuan.13
Adapun pendapat yang sama dengan Mannan di antaranya: A.M.
Saefuddin. Bagi A.M. Saefuddin, bunga identik dengan riba, olehnya itu
11Ibid., hlm. 347 12Ibid., hlm. 332 13Ibid., hlm. 284
82
perbuatan membungakan uang adalah haram hukumnya, baik sedikit
maupun banyak tingkat bunganya. Menurutnya:
"Bunga pinjaman uang, modal dan barang dengan segala bentuk dan macamnya, baik untuk tujuan produktif atau konsumtif, dengan tingkat bunga yang tinggi atau rendah, dan dalam jangka waktu yang panjang maupun pendek adalah termasuk riba".
Pandangannya tentang bunga uang, sebagaimana ulama lainnya,
didasarkan pada ayat tentang keharaman riba yang ada dalam Al-Qur'an
seperti surat al-Baqarah (2): 275-280, Ali 'Imran (3): 130; 30: 39, dan tentu
saja diperkuat lagi dengan hadis Nabi. Secara aqli menurut A.M.
Saefuddin, hakekat pelarangan riba (bunga bank) dalam Islam adalah
fenomena penolakan terhadap resiko finansial tambahan yang ditetapkan
dalam transaksi uang atau modal maupun jual-beli yang dibebankan
kepada salah satu pihak (debitur) saja sedangkan pada pihak yang lain
(kreditur) dijamin keuntungannnya. Tampaknya aspek keadilan tidak
mendapat perhatian dan pertimbangan dalam transaksi semacam ini.14
Menurut A.M. Saefuddin, Islam mengharamkan seorang
pengusaha mengambil sejumlah modal dari pihak lain, bank atau non
bank, lalu membayar bunganya dengan kadar yang ditentukan, baik ia rugi
atau untung.
Menurut A.M. Saefuddin, Islam melarang seorang pedagang yang
menjual barangnya melalui transaksi utang piutang yaitu yang dibayar
kemudian dengan tambahan tertentu berupa bunga
14Ahmad M. Saefuddin, Ekonomi Masyarakat dalam Perspektif Islam, Jakarta: Rajawali
Press, 1987, hlm. 63.
83
Menurut A.M. Saefuddin, bunga atau riba itu ialah uang yang lahir
dari uang. Keuntungan semacam ini termasuk di antara bermacam
keuntungan yang bertentangan dengan naluri
Menurut A.M. Saefuddin, para ekonom sekarang justru telah
menyadari bahwa riba mengandung kemudharatan, karena mengambil
keuntungan tanpa memikul resiko sehingga berakibat bahwa si peminjam
tidak memperoleh keuntungan yang seimbang dengan tingkat bunga yang
harus dibayar, sehingga terjadi krisis.15 Dalam konteks ini pendapat A.M.
Syaefuddin sejalan dengan Dawam Rahardjo yang menilai kalau bunga
bank itu diartikan sebagai tambahan maka tetap dikategorikan sebagai
riba.16
Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni:
Sebagian orang yang lemah iman dewasa ini berpendapat, bahwa riba yang diharamkan itu ialah riba yang keji yang bunganya sangat tinggi dan bertujuan mencekik leher manusia. Adapun riba yang sedikit yang tidak lebih dari 2 atau 3%, tidaklah haram. Alasannya ialah firman Allah "Jangan kamu makan riba dengan berlipat ganda". Dengan anggapannya yang batil itu, mereka mengatakan: Hanya riba yang demikian itulah yang diharamkan. Larangan di atas adalah bersyarat dan terikat, yaitu "lipat ganda". Jadi kalau tidak berlipat ganda, yakni rentennya itu hanya dalam jumlah yang kecil, maka tidak ada jalan untuk diharamkannya.17
Pendapat ini sekaligus dijawab Muhammad Ali Ash-Shabuni
sebagai berikut:
(a). Kata "lipat ganda" (ad'âfan mudâ'afat-an) itu tidak dapat dikatakan
sebagai syarat atau pengikat. Itu dikatakan hanya sebagai "waqi'atul
15Ibid, hlm. 75. 16Untuk meneliti lebih luas pandangan Dawam Rahardjo dapat dilihat dalam karyanya
Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002, hlm. 594 – 617.
17Ibid., hlm. 278
84
'ain" suatu penjelasan atas peristiwa yang pernah terjadi di zaman
jahiliah, sebagai dijelaskan dalam asbab al-nuzul; dan sekedar
menunjukkan betapa kejahatan yang mereka lakukan itu, yaitu
mereka mengambil riba itu sampai berlipat ganda.
(b). Seluruh kaum muslimin telah sepakat untuk mengharamkan riba,
baik sedikit ataupun banyak. Oleh karena itu pendapat yang
mengatakan riba sedikit tidak haram itu adalah keluar dari ijma',
yang berarti menunjukkan atas kebodohannya terhadap pokok-
pokok syari'ah. Sebab sedikit riba bisa menarik riba yang banyak.18
M.Umer Chapra mengemukakan pendapat:
Bunga harus dinyatakan sebagai suatu yang ilegal dengan memungkinkan adanya masa toleransi yang menganggap bunga sebagai kejahatan, namun setelah masa toleransi habis maka bunga harus dihapuskan dari transaksi domestik. Amandemen (pasal-pasal dalam hukum yang memungkinkan adanya perubahan) harus dibuat pada hukum-hukum mengenai institusi-institusi keuangan dan perusahaan. Dengan demikian diharapkan akan muncul kesadaran pada larangan-larangan akan bunga, dan akan lebih dapat memahami perbedaan kebutuhan dalam ekonomi Islam. Peraturan-peraturan yang berkenaan dengan mudharabah dan syirkah sebagai bentuk organisasi bisnis harus segera diciptakan. Demikian pula harus ada perubahan peraturan mengenai auditing untuk mengurangi kesalahan manajemen dan berbuat adil pada para penanam modal.19
Dengan memperhatikan pendapat di atas, maka menurut analisis
penulis bahwa bunga uang atau bunga bank termasuk riba. Bunga uang
dapat mencekik kalangan ekonomi atau pengusaha kecil, mereka ambil
kredit dengan harapan usahanya dapat tumbuh dan berkembang. Namun
karena bunga yang tiap bulan harus dibayar maka usahanya bukan saja
18Ibid., hlm. 279. 19M.Umer Chapra, Towards A Just Monetary System, Terj. Lukman Hakim, "Al-Qur'an
Menuju Sistem Moneter Yang Adil", Yogayakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, hlm. 204-205
85
tidak bisa berkembang bahkan akhirnya gulung tikar. Itulah sebabnya
sebagian ulama mengharamkan sistem bunga dan dinyatakan sebagai riba.
Menurut analisis penulis bahwa pendapat Mannan seperti telah
dijelaskan lebih dahulu sesuai dengan al-Qur'an dan hadis yang
mengharamkan riba. Persoalan tentang riba yang dilarang bukan saja
dibicarakan dalam agama Islam tetapi juga dalam agama-agama samawi
lainnya. Bahkan sejak zaman kejayaan Athene, Solon telah membuat
undang-undang yang melarang bunga. Ahli-ahli filsafat seperti Plato dan
Aristoteles pun tidak membenarkan riba. Mereka menganggap bunga uang
bukan keuntungan yang wajar karena pemilik uang tersebut tidak turut
serta menanggung resiko
Orang-orang yang mengambil riba samalah pendiriannya dan
tingkah lakunya dengan orang yang dibinasakan setan, karena ia sangat
tamak, kejam dan tidak menaruh rasa iba kepada fakir miskin. Karena itu
menurut Riba harus dikikis habis sebab menjadi pangkal dari kejahatan,
dan hanya mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain.
Islam beserta semua syari'at samawi melarang riba karena
menimbulkan bahaya sosial dan ekonomi. Dari segi ekonomi, riba
merupakan cara usaha yang tidak sehat. Keuntungan yang diperoleh bukan
berasal dari pekerjaan yang produktif yang dapat menambah kekayaan
bangsa. Namun, keuntungan itu hanya untuk dirinya sendiri tanpa imbalan
ekonomis apapun. Keuntungan ini hanya diperoleh dari sejumlah harta
yang diambil dari harta si peminjam, yang sebenarnya tidak menambah
86
harta orang yang melakukan riba. Dari segi sosial, masyarakat tidak dapat
mengambil keuntungan sedikit pun dari praktek-praktek riba. Bahkan
praktek-praktek riba ini membawa bencana sosial yang besar sebab
menambah beban bagi orang yang tidak berkecukupan, dan menyebabkan
perusakan nilai-nilai luhur yang dibawa oleh Islam yang menganjurkan
persaudaraan, tolong menolong dan bergotong royong di antara sesama
manusia
3. Uang dan Teori tentang Zakat
Menurut Mannan,
Zakat merupakan pukulan hebat bagi kapitalisme. Sayangnya, terjadi kesalahpahaman mengenai zakat. Beberapa dari mereka menganggapnya sebagai suatu amal pribadi, padahal Zakat adalah pajak wajib atas tabungan dan harta benda. Zakat adalah musuh yang tak kenal kompromi bagi pekerjaan menimbun.20
Pada tahap ini Mannan menghimbau agar diberdayakan masalah
zakat. Pendapat Mannan yang menganggap pentingnya zakat dalam
mengentaskan kemiskinan adalah sangat tepat. Baik dalam Al-Qur’an
maupun dalam hadis-hadis banyak dijumpai keterangan-keterangan yang
mewajibkan mengeluarkan zakat. Zakat adalah salah satu di antara rukun
Islam yang lima, setingkat kedudukannya dengan salat, puasa dan haji.
Tidak kurang pada 82 tempat dalam Al-Qur’an perintah menunaikan zakat
itu dirangkaikan dengan perintah menegakkan salat,21 seperti ayat-ayat:
20Ibid., hlm. 167. 21M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup, jilid 3, Solo: Ramadhani, 1980, hlm. 161.
87
)43: البقرة (وأقيموا الصالة وآتوا الزآاة
Artinya: dirikanlah shalat dan bayarkanlah zakat (Q.S. al-Baqarah: 43)
)11: التوبة (وأقاموا الصالة وآتوا الزآاة
Artinya: dan tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat (Q.S. at-Taubah: 11)
Hal senada dikemukakan bahwa untuk menggambarkan betapa
pentingnya kedudukan zakat, Al-Qur’an menyebut sampai 72 kali di mana
kata “îtâ’u al-zakâh” bergandengan dengan kata “îqâma al-salâh”, seperti
pada ayat 43 surah al-Baqarah, ayat 55 surah al-Ma’idah, ayat 4 surah al-
Mu’minin dan lain sebagainya.22
Zakat adalah ibadah dalam bidang harta yang mengandung hikmah
dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan
orang yang berzakat (muzakki), penerimanya (mustahiq), harta yang
dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan.23 Di antara
hikmahnya antara lain:
Pertama, sebagai manifestasi mensyukuri nikmat yang diberikan
Allah SWT, menumbuhkan akhlak mulia dengan: rasa kemanusiaan yang
tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan
ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta
yang dimiliki. Dengan bersyukur, harta dan nikmat yang dimiliki akan
22Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga
Ukhuwah, Bandung : Mizan, 1994, hlm. 231. 23Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1998, hlm. 143.
88
semakin bertambah dan berkembang. Firman Allah dalam surah Ibrahim:
7,
ولئن آفرتم إن وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم ألزيدنكم )7: ابراهم. (عذابي لشديد
Artinya:"Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih". (Q.S. Ibrahim: 7).
Kedua, dapat menolong, membantu dan membina fakir miskin, ke
arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah
kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus
menghilangkan sifat: iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari
kalangan mereka, ketika mereka melihat orang kaya yang memiliki harta
cukup banyak. Zakat sesungguhnya bukanlah sekedar memenuhi
kebutuhan para mustahiq, terutama fakir miskin, yang bersifat konsumtif
dalam waktu sesaat, akan tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan
kepada mereka, dengan cara menghilangkan ataupun memperkecil
penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita.24
Kebakhilan dan ketidakmauan berzakat, di samping akan
menimbulkan sifat hasad dan dengki dari orang-orang yang miskin dan
menderita, juga akan mengundang azab Allah SWT. Firman-Nya dalam
surah an-Nisaa': 37,
24Yusuf Qardawi, Al-Ibadah Fi Al-Islam, Beirut: Muassasah Risalah, 1993, hlm. 564.
89
ويكتمون ما الذين يبخلون ويأمرون الناس بالبخل. عذابا مهينا آتاهم الله من فضله وأعتدنا للكافرين
)37: النسأ(
Artinya: "(Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyempurnakan karunia-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan." ( Q.S. an-Nisaa' : 37).
Ketiga, membantu para mujahid yang seluruh waktunya digunakan
untuk berjihad di jalan Allah, yang karena kesibukannya tersebut, ia tidak
memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan berikhtiar bagi
kepentingan nafkah diri dan keluarganya. Allah SWT berfirman dalam al-
Baqarah: 273,
يستطيعون للفقراء الذين أحصروا في سبيل الله الالتعفف ضربا في األرض يحسبهم الجاهل أغنياء منتنفقوا من تعرفهم بسيماهم ال يسألون الناس إلحافا وما
)273: البقره. (عليمخير فإن الله به Artinya: " (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat- sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui."
Di samping sebagai pilar amal bersama, zakat juga merupakan
salah satu bentuk konkret dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh
ajaran Islam. Melalui syariat zakat, kehidupan orang-orang fakir, miskin,
dan orang-orang menderita lainnya, akan terperhatikan dengan baik. Zakat
90
merupakan salah satu bentuk pengejawantahan perintah Allah SWT untuk
senantiasa melakukan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa,
sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Ma'idah: 2,
)2: المائدة...(وتعاونوا على البر والتقوى... Artinya:"...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebaikan dan taqwa..."
Keempat, membantu sarana dan prasarana yang diperlukan umat
Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial maupun
ekonomi, sekaligus sarana pengembangan kualitas sumberdaya manusia
muslim. Hampir semua ulama sepakat bahwa orang yang menuntut ilmu
berhak menerima zakat atas nama golongan fakir dan miskin maupun
sabilillah.25
Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab
zakat itu bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi
mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari harta kita yang kita
usahakan dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan Allah SWT
yang terdapat dalam surah al-Baqarah: 267
Firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah: 276-277,
يحب آل ي الصدقات والله اليمحق الله الربا ويربوأقاموا إن الذين آمنوا وعملوا الصالحات.آفار أثيم
25Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz I, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, hlm. 146.
91
وال خوف الصالة وآتوا الزآاة لهم أجرهم عند ربهم )277:البقره. (عليهم وال هم يحزنون
Artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala disisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."
B. Aktualisasinya Pendapat Muhammad Abdul Mannan tentang Konsep
Uang dan Peranannya dalam Perekonomian Nasional
Di dalam ekonomi Islam, uang bukanlah modal. Sementara ini kadang
seseorang salah kaprah menempatkan uang. Uang, biasanya disama artikan
dengan modal (capital). Uang adalah barang publik (public goods). Uang
bukan barang monopoli seseorang. Jadi semua orang berhak memiliki uang
yang berlaku di suatu negara. Sementara modal adalah barang pribadi atau
orang per-orang. Jika uang sebagai flow concept (sesuatu yang mengalir)
sementara modal adalah stock concept (suatu persediaan).
Secara definisi uang adalah benda yang dijadikan sebagai ukuran dan
penyimpan nilai semua barang. Dengan adanya uang maka dapat dilakukan
proses jual beli hasil produksi. Dengan uang, hasil penjualannya itu ia dapat
membeli barang-barang keperluannya. Jika dengan sengaja orang menumpuk
uangnya atau tidak dibelanjakan berarti uang tersebut tidak beredar. Hal ini
92
sama artinya dengan menghalangi proses atau kelancaran jual beli. Produk-
produk di pasaran. Jadi proses jual beli tidak dapat dipisahkan dengan uang.26
Menurut Ibn Taimiyah,27 uang dalam Islam adalah sebagai alat tukar
dan alat ukur nilai. Melalui uang nilai suatu barang akan diketahui, dan
mereka tidak menggunakannya untuk diri sendiri atau dikonsumsi. Hal serupa
dikemukakan oleh muridnya (Ibn Qayyim), uang atau keping uang tidak
dimaksudkan untuk benda itu sendiri, tetapi dimaksudkan untuk memperoleh
barang-barang.
Dari sisi lain, kaitannya dengan masalah uang al-Ghazali mengatakan,
bahwa: Uang bagaikan kaca, kaca tidak memiliki warna, tetapi ia dapat
merefleksikan semua warna. Uang tidak memiliki harga, tetapi uang dapat
merefleksikan semua harga. Melihat fungsi uang tersebut, menunjukkan
bahwa dalam Islam adanya uang dapat memberikan fungsi
kegunaan/kepuasan kepada pemakainya. Oleh karena itu, uang bukanlah suatu
komoditas. Uang itu sendiri tidak memberikan kegunaan. Akan tetapi fungsi
uanglah yang memberikan kegunaan.28
Dengan demikian, secara definitif dapat diajukan, bahwa fungsi uang
adalah sebagai (1) Media pertukaran (untuk transaksi); (2) Jaga-jaga/investasi;
(3) Satuan hitung untuk pembayaran (ba'i muajjal). Uang merupakan sesuatu
yang mengalir (flow concept) dan ia sebagai barang publik (public goods).
a. Money as Flow Concept
26Muhamad, op.cit., hlm. 70. 27Adi Warman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani,
2001,hlm. 60 – 61. 28Ibid., hlm. 53.
93
Di bagian depan telah disinggung, bahwa uang adalah sesuatu
yang mengalir. Oleh karena itu, uang diibaratkan seperti air. Jika air di
sungai itu mengalir, maka air tersebut akan bersih dan sehat. Jika air
berhenti (tidak mengalir secara wajar) maka air tersebut menjadi busuk
dan berbau. Demikian halnya dengan uang. Uang yang berputar untuk
produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi
masyarakat. Sementara, jika uang ditahan maka dapat menyebabkan
macetnya roda perekonomian, sehingga dapat menyebabkan krisis atau
penyakit-penyakit ekonomi lainnya. Dalam ajaran Islam, uang harus
diputar terus sehingga dapat mendatangkan keuntungan yang lebih besar.
Untuk itu uang perlu digunakan untuk investasi di sektor riil. Jika uang
disimpan tidak diinvestasikan kepada sektor riil, maka tidak akan
mendatangkan apa-apa.29 Penyimpanan uang yang telah mencapai nishab
dan haul-nya, menurut ajaran Islam, akan dikenai zakat.
b. Money as Public Goods
Uang adalah barang untuk masyarakat banyak. Bukan monopoli
perorangan. Sebagai barang publik, maka masyarakat dapat
menggunakannya tanpa ada hambatan dari orang lain. Oleh karena itu,
dalam tradisi Islam menumpuk uang sangat dilarang, sebab kegiatan
menumpuk uang akan mengganggu orang lain menggunakannya.
Dari gambaran uang sebagai air yang mengalir dan uang sebagai
barang publik, akhirnya dapat disimpulkan, bahwa ada perbedaan antara
29At-Takatsur: 1-5
94
modal dengan uang. Kaitan antara uang dengan modal ini dapat dikiaskan
antara kendaraan dengan jalan. Kendaraan adalah barang/milik pribadi.
Jalan adalah barang/milik umum. Jadi, modal adalah milik pribadi dan
uang adalah milik umum. Dengan demikian, kenyamanan berkendaraan
akan didapatkan jika kendaraan tersebut berjalan di atas jalan raya.
Dengan kata lain, hanya dengan modal yang diinvestasikan ke sektor riil-
lah yang akan mendatangkan pendapatan (berupa) uang.30
Dalam Islam fungsi uang sebagai alat tukar-menukar diterima secara
meluas. Penerimaan fungsi ini disebabkan karena fungsi uang ini dirasakan
dapat menghindarkan kecenderungan ketidakadilan dalam sistem perdagangan
barter. Sebagai alat tukar, uang dapat dipecah dalam satuan-satuan terkecil.
Hal serupa tidak dapat dilakukan terhadap sejumlah barang tertentu kecuali
mengakibatkan rusak atau nilai barang tersebut menjadi berkurang, Oleh
karena itu perdagangan barter berpotensi riba, yakni riba fadhal.
Dalam masyarakat industri dan perdagangan seperti yang sedang
berkembang sekarang ini fungsi uang tidak hanya diakui sebagai alat tukar,
tetapi juga diakui berfungsi sebagai komoditas (hajat hidup yang bersifat
terbatas) dan sebagai modal. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang
dipandang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang dapat dijadikan
sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba). Sedang dalam
fungsinya sebagai modal (kapital) uang dapat menghasilkan sesuatu (bersifat
produktif) baik menghasilkan barang maupun menghasilkan jasa. Lembaga
30Muhamad, op.cit., hlm. 71.
95
keuangan seperti pasar modal, bursa efek, dan perbankan konvensional yang
berkembang sekarang ini merupakan suatu kenyataan bahwa fungsi uang telah
berkembang sebagai komoditas dan modal, tidak terbatas pada fungsinya
sebagai alat tukar.
Berbeda dengan fungsinya sebagai alat tukar-menukar yang diterima
secara bulat, fungsi uang sebagai komoditas dan modal masih diperselisihkan.
Sebagian ekonom Islam menentang keras fungsi uang sebagai komoditas dan
sebagai modal.
Penolakan fungsi uang sebagai komoditas dan sebagai modal
mengandung implikasi yang sangat besar dalam rancang bangun sistem
ekonomi Islam. Kedua fungsi tersebut oleh kelompok yang menyangkalnya
dipandang sebagai prinsip yang membedakan antara sistem ekonomi Islam
dan sistem ekonomi non-Islam (konvensional).
Atas dasar prinsip ini mereka menjatuhkan keharaman setiap
perputaran (transaksi) uang yang disertai keuntungan (laba atau bunga)
sebagai praktek riba. Prinsip inilah yang pada ujung-ujungnya menjadi dasar
pembentukan lembaga keuangan bebas bunga dengan dua produk unggulan,
yakni mudharabah31 dan bai' al-murabahah32
31Mudharabah secara bahasa berasal dari kata dharb artinya "memukul" atau
melangkahkan kaki dalam melakukan suatu usaha di muka bumi. Secara terminologis mudharabah berarti suatu akad kerja-sama antara dua pihak, pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal dan pihak lain (mudharib) sebagai pengelola modal, di mana keuntungan dibagi bersama sesuai prosentasi yang disepakati, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Baca Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Wacana Vlama dan Intelektual, Tazkiah Institut: Jakarta, 1999, hlm.171.
32Bai' al-murabahah adalah akad jual-beli barang dengan harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati, Dalam bai' al-murabahah pihak penjual harus memberitahu secara transparan harga barang dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahan harga. Ibid, hlm. 121.
96
Dengan demikian aktualisasinya konsep uang menurut Abdul Mannan
dalam perekonomian nasional maka akan sangat menguntungkan bangsa
Indonesia. Karena dalam kenyataannya bahwa lahirnya bank syari'ah telah
menunjukkan perkembangan yang baik. Sebagai buktinya adalah bank syari'ah
dapat bertahan dari krisis moneter, dan dibandingkan dengan bank
konvensional maka bank syari'ah telah diakui keunggulannya karena ia
mampu bertahan pada saat-saat maraknya bank konvensional yang gulung
tikar. Hal ini dikarenakan antara lain karena bank syari'ah merupakan bank
bebas bunga. Dari sini tampak bahwa bank syari'ah merupakan aktualisasi dari
konsep uang bukan sebagai komoditi.
97
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN.
Dengan memperhatikan dan mengkaji uraian sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Abdul Mannan, dalam Islam uang dipandang sebagai alat tukar,
bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara meluas dengan
maksud melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan pengisapan dalam
ekonomi tukar-menukar, Karena ketidakadilan dalam ekonomi tukar
menukar (barter), digolongkan sebagai riba al fazal, yang dilarang dalam
agama, sedangkan peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan.
Karena itu dalam Islam uang sendiri tidak menghasilkan suatu apa pun.
Dengan demikian bunga (riba) pada uang yang dipinjam dan dipinjamkan
dilarang. Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang
dalam ekonomi konvensial. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat
jelas dan tegas bahwa uang adalah uang, uang bukan capital. Sebaliknya,
konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi konvensional tidak jelas.
Sering kali istilah uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan
secara bolak-balik (interchangeability), yaitu uang sebagai uang dan uang
sebagai capital
98
2. Aktualisasinya konsep uang menurut Abdul Mannan dalam perekonomian
nasional maka akan sangat menguntungkan bangsa Indonesia. Karena
dalam kenyataannya bahwa lahirnya bank syari'ah telah menunjukkan
perkembangan yang baik. Sebagai buktinya adalah bank syari'ah dapat
bertahan dari krisis moneter, dan dibandingkan dengan bank konvensional
maka bank syari'ah telah diakui keunggulannya karena ia mampu bertahan
pada saat-saat maraknya bank konvensional yang gulung tikar. Hal ini
dikarenakan antara lain karena bank syari'ah merupakan bank bebas bunga.
Dari sini tampak bahwa bank syari'ah merupakan aktualisasi dari konsep
uang bukan sebagai komoditi.
B. SARAN-SARAN
1. Untuk Pemerintah
Perlu dukungan yang lebih jelas dan menyeluruh terhadap gagasan
dan pemikiran Abdul Mannan tentang konsep uang dan peranannya yang
bukan sebagai komoditi.
2. Untuk Ulama
Perlu disosialisasi tentang konsep uang dan peranannya dalam
perspektif Abdul Mannan.
3. Untuk Perguruan Tinggi
Tidak berlebihan bila Penelitian terhadap gagasan dan pemikiran
Abdul Mannan lebih diperdalam lagi dan tidak hanya sebatas pada peran
dan fungsi uang namun lebih jauh dari itu yaitu teori dan praktek ekonomi
Islam.
99
C. PENUTUP
Meskipun tulisan ini telah diupayakan secermat mungkin namun mungkin
saja ada kekurangan dan kekeliruan yang tidak prinsipil. Menyadari akan hal
itu, bukan suatu sikap kepura-puraan bila penulis mengharap secercah kritik
dan saran menuju kesempurnaan tulisan ini, semoga Allah SWT meridhai.
.
DAFTAR PUSTAKA
Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Cet. 3. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Anonimous. Ekonomi Pancasila untuk Mendukung Tinggal Landas dan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II. Jakarta: Lemhannas, 1989.
Antonio, Muhammad Syafi'i, Bank Syari'ah Wacana Ulama dan Intelektual, Jakarta: Tazkiah Institut, 1999.
Arifin, Zainul, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta : Alvabeta, 2003.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Cet. 12, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
Assal, Ahmad Muhammad, dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya, Terj. Abu Ahmadi dan Anshori Umar Sitanggal, Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 1980.
Bablily, Mahmud Muhammad, Etika Bisnis: Studi Kajian Konsep Perekonomian Menurut al-Qur'an dan as-Sunnah, terj. Rosihin A. Ghani, Solo: Ramadhani, 1990.
Chapra, M.Umer, Towards A Just Monetary System, Terj. Lukman Hakim, "Al-Qur'an Menuju Sistem Moneter Yang Adil", Yogayakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.
-------, Islam dan Pembangunan Ekonomi, terj. Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Hadi, Sutrisno, Metode Penelitian Research, Yogyakarta : Andi Offset, 1990.
http://www .geogle. com/M.Abdul Mannan/biografi.htm.
Kara, Muslim H., Bank Syariah Di Indonesia Analisis Terhadap Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2005.
Karim, Adiwarman, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani, 2001.
-------, Ekonomi Makro Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
-------, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: III T Indonesia, 2002.
-------, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Tim III T Indonesia, 2002.
Koencaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. 14, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1970.
M. Subana, Sudrajat, Dasar-Dasar Penelitian Ilmiah, Bandung: CV. Pustaka. Setia, 2001.
Mannan, Abdul, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dna Bakti Prima Yasa, 1997.
Manullang, M., Ekonomi Moneter, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980.
Maragi, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi al-Halabi, 1394 H/1974 M.
Mas’adi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.
Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Cet. 14, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2001.
Muhamad, Bank Syari’ah, Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman, Yogyakarta; Ekonisia, 2003.
Muhammad, Dasar-dasar Keuangan Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2004.
-------, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2002.
Nasution, M. Yunan, Pegangan Hidup, jilid 3, Solo: Ramadhani, 1980.
Nasution, Mustafa Edwin, et al, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: kencana, 2006.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Cet. 5, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Cet. 4, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999.
Prawiranegara, Syafruddin, Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam Kumpulan Karangan terpilih, Jilid II, Jakarta: Masaagung, 1988.
Qadir, Abdurrahman, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998.
Qardawi, Yusuf, Al-Ibadah Fi Al-Islam, Beirut: Muassasah Risalah, 1993.
Raharjo, Dawam, Ensiklopedi Al-Qur'an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 2002.
Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, terj. Soerojo, Nastangin, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz I, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, t.th.
Saefuddin, Ahmad M., Ekonomi Masyarakat dalam Perspektif Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Sinungan, Muchdarsyah, Uang dan Bank, Jakarta: Bina Aksara, 1989.
Soemanto, Wasty, Pedoman Teknik Penulisan Skripsi, Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Sukirno, Sadono, Pengatar Teori Makroekonomi, Edisi Kedua, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992.
Suprayitno, Eko, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. 7, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.
Winardi, Pengantar Ilmu Ekonomi, Buku I, edisi-VII, Bandung: Tarsito, 1995.
Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi Hingga Ukhuwah, Bandung : Mizan, 1994.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI, 1986.
Yuliadi, Imamudin, Ekonomi Islam Sebuah Pengantar, Yogyakarta: LPPI, 2001.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Slamet Waluyo
Tempat/Tanggal Lahir : Demak, 08 September 1984
Alamat Asal : Bungo, RT 03 RW.07 Wedung Demak
Pendidikan : - SD Bungo 03 Demak lulus tahun 1996
- MTs Salafiyah Kajen Pati lulus tahun 1999
- MA Futuhiyyah Mranggen lulus tahun 2002
- Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Angkatan 2002
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk
dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
SLAMET WALUYO