stroke non hemorrhagic

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. DEFINISI Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan dapat menimbulkan cacat atau kematian. Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular Disease (CVD) dan kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPDI) mengistilahkan stroke sebagai penyakit akibat gangguan peredaran darah otak (GPDO) (Bustan, 2000). Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut juga sebagai serangan otak (brain attack), merupakan penyebab cacat (disabilitas, invaliditas) (Lumbantobing, 2003). Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak tertentu (Hacke, 2003). Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia salah satu daerah pendarahan otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan subarakhnoid (Bruno et al., 2000). II. EPIDEMIOLOGI Stroke merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat dan meskipun rata-rata kejadian stroke menurun, tetapi jumlah penderita stroke

Upload: aryanda-widya-tazkagani-salsabila

Post on 07-Dec-2015

34 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Tipus

TRANSCRIPT

Page 1: Stroke Non Hemorrhagic

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang

disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara

mendadak dan dapat menimbulkan cacat atau kematian. Secara umum,

stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular Disease (CVD) dan

kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPDI) mengistilahkan

stroke sebagai penyakit akibat gangguan peredaran darah otak (GPDO)

(Bustan, 2000). Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut juga

sebagai serangan otak (brain attack), merupakan penyebab cacat

(disabilitas, invaliditas) (Lumbantobing, 2003).

Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh

iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh

darah otak yang menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak

tertentu (Hacke, 2003). Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau tromboembolus,

menyebabkan hipoksia sampai anoksia salah satu daerah pendarahan otak tersebut.

Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan subarakhnoid

(Bruno et al., 2000).

II. EPIDEMIOLOGI

Stroke merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat

dan meskipun rata-rata kejadian stroke menurun, tetapi jumlah penderita stroke tetap

meningkat yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah populasi tua/meningkatnya

harapan hidup. Terdapat beberapa variasi terhadap insidensi dan outcome stroke di

berbagai negara. Sampai dengan tahun 2005 dijumpai prevalensi stroke pada laki-laki

2,7% dan 2,5% pada perempuan dengan usia ≥18 tahun. Diantara orang kulit hitam,

prevalensi stroke adalah 3,7% dan 2,2% pada orang kulit putih serta 2,6 % pada orang

Asia. (Ali et al., 2009; Carnethon et al., 2009)

Dari Survey ASNA di 28 RS seluruh Indoneisia, diperoleh gambaran bahwa

penderita laki-laki lebih banyak dari pada perempuan dan profil usia 45 tahun yaitu

11,8%, usia 45-64 tahun berjumlah 54,2% dan diatas usia 65 tahun 33,5%. Data-data lain

Page 2: Stroke Non Hemorrhagic

dari ASNA Stroke Collaborative Study diperoleh angka kematian sebesar 24,5%

(Misbach dkk, 2007).

III. FAKTOR RISIKO

Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk pengobatan

dan perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya kualitas hidup (Currie et

al., 1997). Kerugian ini akan berkurang jika pengendalian faktor risiko dilaksanakan

dengan ketat (Cohen, 2000).

Tabel 1. Faktor Risiko Stroke (Setyopranoto, 2011)

Beberapa faktor diketahui meningkatkan penyakit stroke, dan telah dilakukan

banyak studi berskala luas. Faktor risiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan

berdasarkan kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable,

atau potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less well

documented) (Goldstein et al., 2006).

1. Non modifiable risk factors :

a. Usia

b. Jenis kelamin

c. Berat badan lahir rendah

d. Ras/etnis

e. Genetik

2. Modifiable risk factors

a. Well-documented and modifiable risk factors

1) Hipertensi

Page 3: Stroke Non Hemorrhagic

2) Paparan asap rokok

3) Diabetes

4) Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu

5) Dislipidemia

6) Stenosis arteri karotis

7) Sickle cell disease

8) Terapi hormonal pasca menopause

9) Diet yang buruk

10) Inaktivitas fisik

11) Obesitas

b. Less well-documented and modifiable risk factors

1) Sindroma metabolik

2) Penyalahgunaan alkohol

3) Penggunaan kontrasepsi oral

4) Sleep-disordered breathing

5) Nyeri kepala migren

6) Hiperhomosisteinemia

7) Peningkatan lipoprotein (a)

8) Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase

9) Hypercoagulability

10) Inflamasi

11) Infeksi

IV. KLASIFIKASI

Klasifikasi stroke non hemoragik menurut Trial Of Org 10172 In Acute Stroke

Treatment (Adams et al., 1993):

a. Aterosklerosis arteri besar

Pasien-pasien ini akan memiliki gejala klinis dan pencitraan otak berupa

stenosis atau oklusi yang signifikan (> 50%) pada arteri otak besar atau cabang arteri

kortikal yang memungkinkan adanya aterosklerosis. Gejala klinisnya terdapat

gangguan kortikal (afasia, kelalaian, atau keterbatasan fungsi motorik) atau disfungsi

pada batang otak dan cerebellum. Riwayat serangan TIA pada vaskular yang sama,

adanya bruit di carotis atau denyutan carotis yang berkurang membantu penegakan

diagnosis. Lesi kortikal atau cerebellum dan infark batang otak atau hemisfer

Page 4: Stroke Non Hemorrhagic

subkortikal dengan gambaran CT Scan atau MRI diameter lebih besar dari 1,5 cm

dianggap berpotensi aterosklerosis pada arteri besar. Gambaran studi duplek atau

arteriografi yang menunjukkan adanya stenosis >50% pada arteri intrakranial atau

ekstrakranial diperlukan. Studi diagnostik harus mengecualikan potensi sumber

emboli kardiogenik. Diagnosis stroke sekunder untuk aterosklerosis arteri besar tidak

dapat ditegakkan jika studi duplex atau arteriografi menunjukkan hasil yang normal

atau hanya kelainan yang minimal.

b. Kardioembolisme

Kategori ini meliputi pasien dengan oklusi arteri yang mungkin disebabkan

oleh kardioemboli. Sumber emboli jantung dibagi menjadi kelompok risiko tinggi dan

risiko menengah. Sedikitnya satu sumber jantung untuk emboli harus diidentifikasi

untuk diagnosis kemungkinan terjadinya stroke kardioemboli. Gambarannya hampir

sama dengan aterosklerosis arteri besar. Riwayat TIA, stroke pada lebih dari satu

wilayah pembuluh darah atau emboli sistemik sebelumnya mendukung diagnosis

klinis stroke kardioemboli. Kemungkinan diagnosis aterosklerosis arteri besar yang

disebabkan trombosis atau emboli harus dihilangkan. Pasien dengan risiko emboli

menengah dan tidak ada penyebab lain dari stroke dapat diklasifikasikan sebagai

pasien yang mungkin mengalami kardioemboli. Berikut adalah poin-poin untuk

klasifikasi derajat resiko kardioemboli menurut TOAST:

Tabel 2. TOAST Classification of High- and Medium-Risk Sources of

Cardioembolim

c. Oklusi arteri kecil (lacunar)

Page 5: Stroke Non Hemorrhagic

Pasien ini biasanya memiliki gejala klinis sindroma lakuner dan tidak didapatkan

disfungsi kortikal. Riwayat Diabetes mellitus dan hipertensi menyokong penegakan

diagnosis. Gambaran ST Scan atau MRI harus normal dan adanya disfungsi daerah

otak yang relevan ataupun pada subkorteks pada hemisfer lesi dengan diameter <1,5

cm.

d. Stroke akut dengan etiologi lainnya

Pasien ini termasuk pasien dengan etiologi yang relatif jarang, misalnya

nonarterosklerosis vaskulopati, hiperkoagulasi, dan kelainan hematologi. Gambaran

stroke iskemik akut pada CT Scan atau MRI pada ukuran atau lokasi yang sesuai.

Kemungkinan adanya aterosklerosis dan kardioemboli harus disingkirkan.

e. Stroke dengan penyebab lainnya

Beberapa pasien memiliki gejala klinis dan etiologi yang tidak sesuai diatas atau

pasien dengan lebih dari satu kemungkinan penyebab sehingga klinisi masih ragu

dengan diagnosis finalnya maka akan masuk dalam kategori ini. Misalnya pasien

dengan atrial fibrilasi yang juga memiliki stenosis arteri carotis ipsilateral. Berikut

adalah tabel subtipe stroke iskemik menurut TOAST:

Tabel 3. Subtipe stroke iskemik TOAST (Adam et al., 1993)

V. PATOFISIOLOGI

Stroke iskemik akut hasil dari oklusi vaskuler sekunder akibat penyakit

tromboemboli. Iskemia menyebabkan hipoksia sel dan menipisnya adenosin trifosfat

selular (ATP). Tanpa ATP, tidak ada lagi energi untuk mempertahankan gradien ionik

melintasi membran sel dan depolarisasi sel. Masuknya ion natrium dan kalsium dan

Page 6: Stroke Non Hemorrhagic

aliran pasif air ke dalam sel memimpin timbulnya edema sitotoksik. Stroke iskemik

dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis serebri, emboli serebri dan

pengurangan perfusi sitemik umum. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah

yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal. Emboli serebri

adalah pembentukan material dari tempat lain dalam sistem vaskuler dan tersangkut

dalam pembuluh darah tertentu sehingga memblokade aliran darah. Pengurangan perfusi

sistemik dapat mengakibatkan kondisi iskemik karena kegagalan pompa jantung atau

proses perdarahan atau hipovolemik (Jauch, 2015).

VI. GAMBARAN CT SCAN

a. Infark hiperakut

Pada kasus stroke iskemik hiperakut (0-6 jam setelah onset), CT scan biasanya

tidak sensitif mengidentifikasi infark serebri karena terlihat normal pada >50%

pasien; tetapi cukup sensitif untuk mengidentifikasi perdarahan intrakranial akut

dan/atau lesi lain yang merupakan kriteria eksklusi terapi trombolitik. Gambaran CT

scan yang khas untuk iskemia serebri hiperakut adalah sebagai berikut (Warren

2010; Choksi et al., 2005; Tomandl et al., 2003):

Gambar 1. Infark luas pada area arteri serebri media kanan dengan gambaran edema

difus hemisfer serebri kanan yang bermanifestasi sebagai pendangkalan sulcus

serebri dan obliterasi fissura Sylvii kanan

Gambaran pendangkalan sulcus serebri (sulcal effacement). Gambaran ini tampak

akibat adanya edema difus di hemisfer serebri. Infark serebral akut menyebabkan

hipoperfusi dan edema sitotoksik. Berkurangnya kadar oksigen dan glukosa seluler

dengan cepat menyebabkan kegagalan pompa natrium-kalium, yang menyebabkan

berpindahnya cairan dari ekstraseluler ke intraseluler dan edema sitotoksik yang

lebih lanjut. Edema serebri dapat dideteksi dalam 1-2 jam setelah gejala muncul.

Page 7: Stroke Non Hemorrhagic

Pada CT scan terdeteksi sebagai pembengkakan girus dan pendangkalan sulcus

serebri (Warren, 2010).

Menghilangnya batas substansia alba dan substansia grisea serebri. Substansia

grisea merupakan area yang lebih mudah mengalami iskemia dibandingkan

substansia alba, karena metabolismenya lebih aktif. Karena itu, menghilangnya

diferensiasi substansia alba dan substansia grisea merupakan gambaran CT scan

yang paling awal didapatkan. Gambaran ini disebabkan oleh influks edema pada

substansia grisea. Gambaran ini bisa didapatkan dalam 6 jam setelah gejala muncul

pada 82% pasien dengan iskemia area arteri serebri media (Tomand et al., 2003).

Tanda insular ribbon, yaitu gambaran hipodensitas insula serebri cepat tampak

pada oklusi arteri serebri media karena posisinya pada daerah perbatasan yang jauh

dari suplai kolateral arteri serebri anterior maupun posterior (Tomand et al., 2003).

Gambar 2. Hipodensitas insula serebri kiri pada infark arteriserebri media kiri

(panah putih)

Hipodensitas nukleus lentiformis Hipodensitas nukleus lentiformis akibat edema

sitotoksik dapat terlihat dalam 2 jam setelah onset. Nukleus lentiformis cenderung

mudah mengalami kerusakan ireversibel yang cepat pada oklusi bagian proksimal

arteri serebri media karena cabang lentikulo striata arteri serebri media yang

memvaskularisasi nukleus lentiformis merupakan end vessel (Tomand et al. 2003)

Tanda hiperdensitas arteri serebri media Gambaran ekstraparenkimal dapat

ditemukan paling cepat 90 menit setelah gejala timbul, yaitu gambaran hiperdensitas

pada pembuluh darah besar, yang biasanya terlihat pada cabang proksimal (segmen

M1) arteri serebri media, walaupun sebenarnya bisa didapatkan pada semua arteri.

Arteri serebri media merupakan pembuluh darah yang paling banyak mensuplai

darah ke otak. Karena itu, oklusi arteri serebri media merupakan penyebab terbanyak

Page 8: Stroke Non Hemorrhagic

stroke yang berat. Peningkatan densitas ini diduga akibat melambatnya aliran

pembuluh darah lokal karena adanya trombus intravaskular atau menggambarkan

secara langsung trombus yang menyumbat itu sendiri. Gambaran ini disebut sebagai

tanda hiperdensitas arteri serebri media (Gambar 4).

Gambar 3. Hipodensitas nukleus lentiformis (panah putih panjang), hipodensitas

kaput nukleus kaudatus (kepala panah putih), hipodensitas insula serebri (panah

putih pendek), dan pendangkalan sulkus serebri region

temporoparietal (panah hitam)

Gambar 4.Tanda hiperdensitas arteri serebri media,hiperdensitas

linear pada segmen proksimal arteri serebri media (tanda panah)

Tanda Sylvian dot menggambarkan adanya oklusi distal arteri serebri media

(cabang M2 atau M3) yang tampak sebagai titik hiperdens pada fisura Sylvii:

Page 9: Stroke Non Hemorrhagic

Gambar 5. Tanda Sylvian dot, tampak titik hiperdens

pada fisura Sylvii (tanda panah)

b. Infark akut

Pada periode akut (6-24 jam), perubahan gambaran CT scan non-kontras akibat

iskemia makin jelas. Hilangnya batas substansia alba dan substansia grisea serebri,

pendangkalan sulkus serebri, hipodensitas ganglia basalis, dan hipodensitas insula

serebri makin jelas. Distribusi pembuluh darah yang tersumbat makin jelas pada fase

ini (Xavier et al., 2003).

c. Infark subakut dan kronik

Selama periode subakut (1-7 hari), edema meluas dan didapatkan efek massa

yang menyebabkan pergeseran jaringan infark ke lateral dan vertikal. Hal ini terjadi

pada infark yang melibatkan pembuluh darah besar. Edema dan efek massa

memuncak pada hari ke-1 sampai ke-2, kemudian berkurang.

Infark kronis ditandai dengan gambaran hipodensitas dan berkurangnya efek

massa. Densitas daerah infark sama dengan cairan serebrospinal (Gambar 6).

Page 10: Stroke Non Hemorrhagic

Gambar 6. Gambaran hipodensitas masing-masing lesi. Densitasnya sama dengan

cairan serebrospinal dan bentuknya sesuai distribusi vaskular arteri serebri media

(untuk infark di sulkus sentralis) dan arteri serebri posterior (untuk infark oksipital)

VII. TATALAKSANA

Penatalaksanaan stroke iskemik trombotik berdasarkan waktunya meliputi fase

prehospital, fase akut, fase perawatan dan fase pemulihan/rehabilitasi. Pada fase

prehospital diperlukan pendekatan diagnosis secara klinis serta mengatasi kegawatan

(primary survey), selain itu diperlukan sistem transportasi dan rujukan yang baik untuk

mengantarkan penderita ke pusat kesehatan secepat mungkin. Berdasarkan guideline

PERDOSSI tahun 2011 penatalaksanaan stroke fase akut antara lain:

1. Evaluasi cepat dan diagnosis: berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

neurologis, skala stroke dengan NIHSS.

2. Terapi umum/suportif:

a. Stabilitas jalan nafas dan pernafasan: dianjurkan memantau terus status

neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen dalam 72 jam

pada pasien dengan defisiti neurologis yang nyata. Pemberian oksigenasi

dianjurkan pada keadaan saturasi <95% (bila pasien stroke trombotik non

hipoksia tidak perlu tambahan oksigen). Intubasi ETT diperlukan pada pasien

hipoksia (pO2 < 60 mmHg atau pCO2 > 50 mmHg), syok, atau pada pasien yang

berisiko aspirasi. Bila perlu dilakukan trakeostomi bila pemakaian ETT lebih

dari 2 minggu.

b. Stabilisasi hemodinamik: infus kristaloid/koloid, pemasangan central venous

catheter dan dijaga tekanannya 5-12 mmHg, pemantauan tekanan darah optimal

140-220 mmHg untuk stroke trombotik fase akut, monitoring jantung pada 24

jam pertama, bila ada penyakit jantung kongestif segera mengatasinya, hipotensi

arterial, hipovolumia.

c. Pemeriksaan awal fisik umum: tekanan darah, pemeriksaan jantung,

pemeriksaan neurologis umum awal (derajat kesadaran, pupil dan okulomotor,

keparahan hemiparesis)

d. Pengendalian tekanan intra kranial (TIK): pemantauan ketat terhadap edema

serebral terutama 24 jam pertama pasca stroke dengan melihat perburukan

neurologis, terutama penderita dengan GCS <9 dipasang monitor TIK dengan

sasaran terapi <20 mmHg dan CPP> 70 mmHg. Pada penderita dengan kenaikan

Page 11: Stroke Non Hemorrhagic

TIK, posisi kepala 20-30o, hindari penekanan vena jugularis, hindari hipotermi,

jaga norovolumi, osmoterapi dengan mannitol 0,25-0,5 g/kgBB selama 20 menit

diulang tiap 4-6 jam.

e. Pengendalian suhu tubuh: pemberian asetaminofe 650 mg bila suhu > 38,5oC,

pemeriksaan hapusan dan kultur bila dicurigai ada infeksi.

f. Pemeriksaan penunjang: EKG, kimia darah, fungsi ginjal, hemtologi, faal

hemostasis, glukosa darah, analisis urine, analisis gas darah, serum elektrolit,

foto rontgen dada, CT Scan tanpa kontras.

Agen trombolitik menunjukkan peran yang utama dalam penatalaksaaan stroke.

Agen trombolitik digunakan untuk memicu tingkat reknalisasi endogen sehingga terjadi

reperfusi jaringan. Berdasarkan guideline stroke PERDOSSI syarat pemberian tPA

adalah hanya diberikan pada 3 jam pertama sejak serangan, tidak ada serangan stroke

maupun trauma pada 3 bulan terakhir dan tekanan darah sistolik < 185 mmHg sedangkan

menurut The European Cooperative Acute Stroke Study, penggunaan trombolitik dalam

4,5 jam masih bermanfaat dan aman.

Risiko perdarahan meningkat pada penggunaan tPA di atas 6 jam sejak serangan,

diduga karena terbentuknya porous pada blood brain barier. Risiko perdarahan diduga

meningkat berhubungan dengan peningkatan usia, perubahan iskemi awal pada CT scan,

peningkatan tekanan darah dan gula darah.

Penurunan tekanan darah pada stroke akut akan memperkecil kemungkinan

terjadinya edema serebral, transformasi perdarahan, mencegah kerusakan vaskular lebih

lanjut dan terjadinya serangan stroke ulang (early recurrent stroke). Akan tetapi, disisi

lain, penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat mengakibatkan penurunan perfusi

serebral sehingga kerusakan daerah iskemik di otak akan menjadi semakin luas. Terlebih

pada hipertensi kronik dengan kurva perfusi (tekanan darah – aliran darah ke otak)

bergeser ke kanan, Penurunan tekanan darah pada kondisi seperti ini akan semakin

mengakibatkan penurunan perfusi serebral. Atas dasar itu, dalam batas-batas tertentu,

penurunan tekanan darah pada pasien stroke fase akut dengan kondisi darurat emergensi

sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena dapat memperburuk kondisi pasien,

menimbulkan kecacatan dan kematian. Sementara itu, pada banyak pasien stroke akut,

tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan

serangan stroke.

Penatalaksanaan Hipertensi pada Stroke akut berdasarkan Guideline Stroke tahun

2011 perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. Penurunan tekanan darah yang tinggi

Page 12: Stroke Non Hemorrhagic

pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak di anjurkan, karena kemungkinan dapat

memperburuk keluaran neurologik. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun

dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Guideline

stroke tahun 2011 merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke

akut agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi dibawah ini

:

1. Pada pasien stroke iskemia akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik

maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah

sistolik > 220 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg. Pada pasien stroke

iskemik akut yang diberi terapi trombolitik (rTPA), tekanan darah sistolik

diturunkan hingga < 185 mmHg dan tekanan darah diastolik < 110 mmHg. Obat

antihipertensi yang digunakan adalah Labetolol, Nitropruside, Nikardipin atau

Diltiazem intravena.

2. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut, apabila tekanan darah sistolik >

200 mmHg atau mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg, tekanan darah

diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinyu

dengan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.

3. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan

gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan pemantauan tekanan

intrakranial, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi

intravena secara kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan perfusi

serebral > 60 mmHg.

4. Apabila tekanan darah sistole > 180 mmHg atau MAP > 130 mmHg tanpa disertai

gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, tekanan darah diturunkan secara

hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten

dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau

tekanan darah 160/90 mmHg. Pada Studi INTERACT 2010, penurunan tekanan

darah sistole hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.

5. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan

dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko

terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang. Untuk mencegah

terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan

subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga tekanan darah sistole 140 – 160

mmHg. Sedangkan tekanan darah sistole 160 – 180 mmHg sering digunakan sebagai

Page 13: Stroke Non Hemorrhagic

target tekanan darah sistole dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun

hal ini bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya

kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskuler.

6. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih

rendah dari target diatas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya,

misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan

ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15 – 25% pada jam

pertama dan tekanan darah sistolik 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama.

Pada stroke iskemik akut, hipertensi yang tidak di kelola dengan baik dapat

berakibat meluasnya area infark (reinfark), edema serebral serta transformasi perdarahan,

sedangkan pada stroke perdarahan, hipertensi dapat mengakibatkan perdarahan ulang dan

semakin luasnya hematoma (perdarahan).

Penurunan tekanan darah pada stroke fase akut harus dilakukan dengan hati-hati.

Penurunan tekanan darah yang terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kerusakan

semakin parah dan memperburuk keadaan klinik neurologik pasien. Oleh karena itu,

pemilihan obat anti hipertensi parenteral yang ideal adalah yang dapat dititrasi dengan

mudah dengan efek vasodilator serebral yang minimal. Pedoman penurunan tekanan

darah pada stroke akut adalah sebagai berikut :

1. Gunakan obat antihipertensi yang memiliki masa kerja singkat (short acting agent)

2. Pemberian obat antihipertensi dimulai dengan dosis rendah

3. Hindari pemakaian obat anti hipertensi yang diketahui dengan jelas dapat

mengakibatkan penurunan aliran darah otak

4. Hindari pemakaian diuretika (kecuali pada keadaan dengan gagal jantung)

5. Patuhi konsensus yang telah disepakati sebagai target tekanan darah yang akan

dicapai.

Penatalaksanaan fase perawatan menurut Guideline PERDOSSI antara lain:

1. Cairan

a. Infus cairan isotonis, dijaga euvolemi dengan CV 5-12 mmHg

b. Rata-rata kebutuhan cairan 20 cc/kgBB/hari.

c. Balance cairan

d. Mengkoreksi kelainan elektrolit dan asam basa darah

e. Cairan hipotonis yang mengandung glukosa dihindri kecuali dalam keadaan

hipoglikemia.

2. Nutrisi

Page 14: Stroke Non Hemorrhagic

a. Nutrisi parenteral sebaiknya diberikan dalam 48 jam, oral nutrisi diberikan bila

fungsi menelan sudah baik.

b. Nutrisi yang diberikan pada masa akut adalah sebesar 25-30mg/kgBB/hari.

c. Apabila diperkirakan pemasangan nasogastrik tube melebihi 6 minggu

sebaiknya dilakukan gastrostomi.

3. Pencegahan dan komplikasi

Komplikasi sub akut yang sering terjadi antara lain aspirasi, malnutrisi,

pneumonia, deep vein thrombosis, emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedik, dan

kontraktur. Untuk itu perlu dilakukan mobilisasi terbatas, penggunaan antibiotik

sesuai kultur, bila perlu menggunakan kasur anti dekubitus. Pasien dengan risiko

DVT perlu diberi heparin subkutan atau LMWH atau heparinoid. Pada pasien

dengan risiko DVT yang tidak dapat menggunakan obat anti koagulan, sebaiknya

menggunakan stocking eksternal atau aspirin.

4. Penatalaksanaan medik lain

Penatalaksanaan medik lain antara lain menjaga kadar glukosa darah tetap

normal, analgesik dan antiemetik digunakan sesuai indikasi, perdarahan lambung

dapat diberikan antihistamin 2.

Untuk menghindari serangan ulang, pada penderita dengan stroke minor/TIA

memerlukan prevesi sekunder dengan obat antiplatelet, obat antihipertensi, statin,

antikoagulan, serta carotid enderectomy untuk pasien tertentu. Obat antiplatelet, Aspirin,

harus diberikan dalam waktu 7 hari sejak terapi awal. Selain itu modifikasi gaya hidup

bebas alkohol, berhenti merokok, olahraga, diet juga berperan untuk mengurangi risiko

stroke.

Penanganan stroke iskemi pada sistem saraf bertujuan untuk mencegah injury karena

iskemia awal dan menghindari reperfusi injury. Reperfusi dapat menyebabkan iskemi

sekunder karena masuknya sel darah putih pada area yang sebelumnya hipoperfusi

sehingga menyebabkan perbuntuan arteriol, selain itu sel darah putih juga memicu

terbentuknya radikal bebas. Citicholine merupakan obat yang mampu mengurangi

iskemia jaringan dengan menstabilkan membran dan mencegah pembentukkan radikal

bebas. Citicholine dapat diberikan 24 jam pertama semenjak serangan sebanyak 500 mg.

Rehabilitasi program juga harus diperhatikan dalam penatalaksanaan stroke

multidisipliner pada penyakit stroke, terutama karena penurunan angka morbiditas, maka

Page 15: Stroke Non Hemorrhagic

kecacatan akibat stroke menjadi meningkat. Kecacatan itu antara lain gangguan bicara,

berbahasa dan fungsi lainnya.

VIII. PROGNOSIS

Penelitian Framingham dan Rochester tentang stroke, secara umum tingkat

mortalitas pada 30 hari setelah serangan stroke adalah 28%. Pada stroke ischemic tingkat

mortalitas pada 30 hari setelah serangan adalah 19% dan 77% dapat bertahan sampai 1

tahun. Namun, secara umum prognosis pada stroke tergantung dari beberapa faktor,

yaitu:

a. Keparahan stroke

b. Kondisi premorbid pasien

c. Usia pasien

d. Kecepatan pemberian terapi awal

e. Fungsi tubuh yang terpengaruh akibat stroke

f. Komplikasi post stroke (Campellone, 2015; Jauch, 2015)

IX. KOMPLIKASI

Otak mengontrol banyak hal yang berlangsung di tubuh kita. Kerusakan otak dapat

mempengaruhi pergerakan, perasaan, perilaku, kemampuan berbicara/berbahasa dan

kemampuan berpikir seseorang. Stroke dapat mengakibatkan gangguan beberapa bagian

dari otak, sedangkan bagian otak lainnya bekerja dengan normal. Pengaruh stroke

terhadap seseorang tergantung pada:

1. Bagian otak yang terkena stroke

2. Seberapa serius stroke yang terjadi

3. Usia, kondisi kesehatan dan kepribadian penderitanya (Heart and Stroke Foundation,

2003).

Beberapa akibat stroke yang sering dijumpai adalah (Heart and Stroke Foundation,

2003):

1. Kelumpuhan satu sisi tubuh.

Page 16: Stroke Non Hemorrhagic

Ini merupakan salah satu akibat stroke yang paling sering terjadi. Kelumpuhan

biasanya terjadi di sisi yang berlawanan dari letak lesi di otak, karena adanya

pengaturan representasi silang oleh otak. Pemulihannya bervariasi untuk masing-

masing individu;

2. Gangguan penglihatan.

Penderita stroke sering mengalami gangguan penglihatan berupa defisit

lapangan pandang yang dapat mengenai satu atau kedua mata. Hal ini menyebabkan

penderita hanya dapat melihat sesuatu pada satu sisi saja, sehingga misalnya ia

hanya memakan makanan di sisi yang dapat dilihatnya atau hanya mampu membaca

tulisan pada satu sisi buku saja;

3. Afasia.

Afasia adalah kesulitan berbicara ataupun memahami pembicaraan. Stroke dapat

mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berbicara/berbahasa, membaca dan

menulis atau untuk memahami pembicaraan orang lain. Gangguan lain dapat berupa

disatria, yaitu gangguan artikulasi kata-kata saat berbicara;

4. Gangguan persepsi.

Stroke dapat mengganggu persepsi seseorang. Penderita stroke dapat tidak

mengenali obyek-obyek yang ada di sekitarnya atau tidak mampu menggunakan

benda tersebut;

5. Lelah

Penderita stroke sering mengalami kelelahan. Mereka membutuhkan tenaga

ekstra untuk melakukan hal-hal yang biasa dikerjakan sebelumnya. Kelelahan juga

dapat terjadi akibat penderita kurang beraktivitas, kurang makan atau mengalami

depresi;

6. Depresi

Depresi dapat terjadi pada penderita stroke. Masih merupakan perdebatan

apakah depresi yang terjadi merupakan akibat langsung dari kerusakan otak akibat

stroke atau merupakan reaksi psikologis terhadap dampak stroke yang dialaminya.

Dukungan keluarga akan sangat membantu penderita.

7. Emosi yang labil

Stroke dapat mengakibatkan penderitanya mengalami ketidakstabilan emosi

sehingga menunjukkan respons emosi yang berlebihan atau tidak sesuai.

Keluarga/pengasuh harus memahami hal ini dan membantu meyakinkan penderita

Page 17: Stroke Non Hemorrhagic

bahwa hal ini adalah hal yang lazim terjadi akibat stroke dan bukan berarti

mengalami gangguan jiwa.

8. Gangguan memori

Penderita stroke dapat mengalami gangguan memori dan kesulitan mempelajari

dan mengingat hal baru.

9. Perubahan kepribadian

Kerusakan otak dapat menimbulkan gangguan kontrol emosi positif maupun

negatif. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku penderita dan caranya berinteraksi

dengan lingkungannya. Perubahan perilaku ini dapat menimbulkan kemarahan

keluarga/pengasuhnya. Untungnya perubahan perilaku ini akan mengalami

perbaikan seiring dengan pemulihan strokenya. Memahami efek yang dapat terjadi

pada seseorang yang mengalami stroke akan sangat membantu keluarga penderita

memahamai perubahan yang terjadi pada penderita. Pengetahuan yang memadai

tentang hal tersebut dan membantu penderita melalui masa-masa sulit ini akan

sangat bermanfaat bagi upaya pemulihan penderita.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, Bendixen, Kapelle, Biller, Love. 1993. Classification of acute ischemic stroke, Definition for use in multicentre clinical trial. Journal of American Heart Association; vol. 24 (1): 35-41.

Ali M, Atula S, Bath PMW, Grotta J, Hacke W, Lyden P, Marler JR, Sacco RL, Lees KR. 2009. Stroke Outcome in Clinical Trial Patients Deriving from Different Countries. Stroke. hal. 40:35-40

Bruno A, Kaelin DL, Yilmaz EY. 2000. The subacute stroke patient: hours 6 to 72 after stroke onset. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. McGraw-Hill. hal. 53-87.

Bustan M N, 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Campellone J. 2015. Stroke. Diakses dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000726.htm pada 15 September 2015.

Page 18: Stroke Non Hemorrhagic

Carnethon, Simone GD, Ferguson TB, Flegal K, Ford E. 2009. Heart Disease and Stroke Statistics Update: A Report from the American Heart Assocoation Statistics Committee and Stroke Statistics Subcomittee. Circulation. 119:e21-e181

Cohen SN. 2000. The subacute stroke patient: Preventing recurrent stroke. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. Mc Graw Hill. hal. 89-109. 3.

Choksi V, Quint DJ, Maly-Sundgren P, Hoeffner E. 2005. Imaging of Acute Stroke. Applied Radiology. 34(2): 10-19. Diakses di http://www.medscape.com/viewarticle/500443_print pada 15 September 2015.

Currie CJ, Morgan CL, Gill L, Stott NCH, Peters A. 1997. Epidemiology and costs of acute hospital care for cerebrovascular disease in diabetic and non diabetic populations. 28: 1142-6.

Goldstein LB, Adams R, Albert MJ, Appel LJ, Brass LM. 2006. Primary Prevention of Ischemic Stroke: A Guideline from the American Heart Association/American Stroke Association Stroke Council. 37:1583-1633

Hacke W, Kaste M, Bogousslavsky J, Brainin M, Chamorro A, Lees K. 2003. Ischemic Stroke Prophylaxis and Treatment - European Stroke Initiative Recommendations.

Heart and Stroke Foundation. 2003. Let’s Talk About Stroke: An Information Guide for Survivors and Their Families. Ottawa.

Jauch, EC. 2015. Ischemic Stroke. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1916852-overview#aw2aab6b2b7 pada 15 September 2015.

Lumbantobing SM. 2003. Neurogeriatri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Misbach J, Achmad A, Soertidewi L, Jannis J, Harris S, Lumempauw S, Rasyid A, Mulyatsih E. 2007. Unit Stroke Manajemen Stroke secara Komprehensif. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.

PERDOSSI. 2011. Guideline Stroke 2011. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.

Setyopranoto I. 2011. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 2011; 38 (4).

Tomandl BF, Klotz E, Handschu R, Stemper B, Reinhardt F, Huk WJ, Eberhardt KE, Fateh-Moghadam S. 2003. Comprehensive Imaging of Ischemic Stroke with Multisection CT. 23:565–592. Diakses di http://radiographics.rsna.com/content/23/3/565.full.pdf+html pada 15 September 2015.

Warren DJ, Musson R, Connoly DJA, Griffiths PD, Hoggard N. 2010. Imaging in Acute Ischaemic Stroke: Essential For Modern Stroke Care. Postgrad Med J. 86:409-18.

Xavier AR, Qureshi AI, Kirmani JF, Yahia AM, Bakshi R. 2003. Neuroimaging of Stroke: A Review. South Med J.96(4). Diakses di http://www.medscape.com/viewarticle/452843 pada 15 September 2015.