stroke hemoragik final

62
BAB I PENDAHULUAN Stroke perdarahan lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan stroke iskemik (15% versus 85% di dalam sebagian besar penelitian barat), tetapi berhubungan dengan prognosis yang secara signifikan lebih buruk di dalam populasi Asia, kemungkinan mencerminkan tingkat penyakit pembuluh kecil yang lebih tinggi, hipertensi, dan faktor genetik. Tingkat perdarahan PIS (perdarahan intraserebral) dalam 30 hari 35-52% dan separuh dari kematian tersebut terjadi dalam dua hari pertama (Broderick et al., 2007 cit Gofir, 2009). Teori perdarahan mikroaneurisma untuk stroke perdarahan telah mendapat sanggahan baru-baru ini, dan dipostulasikan bahwa nekrosis fibrinoid pada arteri kecil dan arteriola yang disebabkan karena hipertensi mungkin berakibat langsung pada perdarahan serebral (Anngiamurni, 2010). Perdarahan dapat terjadi di dalam otak dan ruang subarachnoid karena ruptur dari arteri atau ruptur dari aneurisma. Perdarahan intraserebral primer disebabkan oleh hipertensi kronik yang 1

Upload: enny-suryanti

Post on 04-Aug-2015

178 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Stroke Hemoragik Final

BAB I

PENDAHULUAN

Stroke perdarahan lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan stroke

iskemik (15% versus 85% di dalam sebagian besar penelitian barat), tetapi

berhubungan dengan prognosis yang secara signifikan lebih buruk di dalam

populasi Asia, kemungkinan mencerminkan tingkat penyakit pembuluh kecil

yang lebih tinggi, hipertensi, dan faktor genetik. Tingkat perdarahan PIS

(perdarahan intraserebral) dalam 30 hari 35-52% dan separuh dari kematian

tersebut terjadi dalam dua hari pertama (Broderick et al., 2007 cit Gofir,

2009).

Teori perdarahan mikroaneurisma untuk stroke perdarahan telah

mendapat sanggahan baru-baru ini, dan dipostulasikan bahwa nekrosis

fibrinoid pada arteri kecil dan arteriola yang disebabkan karena hipertensi

mungkin berakibat langsung pada perdarahan serebral (Anngiamurni, 2010).

Perdarahan dapat terjadi di dalam otak dan ruang subarachnoid karena

ruptur dari arteri atau ruptur dari aneurisma. Perdarahan intraserebral primer

disebabkan oleh hipertensi kronik yang menyebabkan vaskulopati cerebral

dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak. Perdarahan sekunder (bukan

hipertensi) terjadi antara lain akibat anomali vaskuler kongenital, koagulopati,

tumor otak, vaskulopati non hipertensi, vaskulitis pasca stroke iskemik, obat

anti koagulan. Diperkirakan hampir 50% penyebab perdarahan intraserebral

adalah hipertensi kronik, 25 % karena anomali kongenital dan sisanya

penyebab lain (Anngiamurni, 2010).

Hipertensi adalah faktor penentu yang paling penting pada perdarahan

intraserebral dan infark serebral di mana telah diketahui berakibat pada

aterosklerosis, dengan predileksi arteri preserebral dan serebral besar. Disisi

lain, arteri serebral, intraparenkim mengalami degenerasi hialin dan nekrosis

fibrinoid yang berhubungan dengan infark lakunar dan perdarahan, tetapi

1

Page 2: Stroke Hemoragik Final

bukti yang ada jauh lebih lemah untuk menjelaskan hal ini dibandingkan

hubungan antara hipertensi dan aterosklerosis (Leppalla et al., 1999 cit

Anngiamurni, 2010).

Perdarahan ada yang masif, moderate, kecil, petechie. Untuk yang

masif diameternya beberapa sentimeter, yang kecil diameternya 1-2 cm

dengan volume kurang dari 20 cc, petechie berasal dari hipertensi yang sudah

lama atau perdarahan karena traumatik kortek (Anngiamurni, 2010).

Perdarahan intraserebral dan edema bisa mengganggu dan menekan

jaringan otak sekitarnya, mengakibatkan gangguan neurologis. Absorpsi dapat

terjadi dalam waktu 3-4 minggu. Lokasi perdarahan stroke hemoragik yang

paling sering: putamen dan kapsula interna (± 50% dari semua kasus stroke

hemoragik), daerah lobus (lobus temporal, parietal, frontal), talamus, pons,

serebelum. Lokasi perdarahan bisa sebagai prediktor keluaran stroke

hemoragik (Anngiamurni, 2010).

Vaskularisasi otak dibagi dua yaitu 2/3 (dua pertiga) depan kedua

belahan otak dan subkortikal mendapat darah dari sepasang arteri karotis

interna, sedangkan 1/3 (sepertiga) belakang meliputi serebelum, kortek

oksipital bagian posterior dan batang otak mendapat darah dari arteri

vertebralis (arteri basilaris) (Anngiamurni, 2010).

Arteri karotis interna mempercabangkan arteri serebri media, arteri

serebri media mempercabangkan arteri lentikulostriata, arteri ini mensuplai

daerah nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus dan kapsula interna.

Daerah-daerah tersebut di atas merupakan lokasi tersering terjadinya

perdarahan intraserebral, area-area tersebut merupakan area motorik

kontralateral pada otak (Anngiamurni, 2010)

Stroke perdarahan dapat dibagi menjadi dua subtipe yaitu perdarahan

intraserebral (PIS) dan perdarahan subarachnoid (PSA). Secara luas,

perdarahan intraserebral dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1) Perdarahan

dalam (deep hemorrhage), yang biasa terkait dengan hipertensi; dan 2)

2

Page 3: Stroke Hemoragik Final

Perdarahan lobar (lobar hemorrhage), yang biasa terkait dengan angipati

amiloid serebral (CAA, Cerebral Amyloid Angiopathy) (Zhan et al., 2004).

Penentuan kategori perdarahan intraserebral sangat penting secara klinis

dalam menentukan prognosis serta terapi (Labovitz &Sacco. 2001 cit Gofir,

2009). Karena terkait adanya hubungan yang kuat antara defisit klinis dengan

lokasi perdarahan (Xavier et al., 2001 cit Gofir, 2009).

3

Page 4: Stroke Hemoragik Final

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Otak

1. Otak

Berdasarkan struktur dan fungsinya, sistem saraf secara garis besar

dapat dibagi dalam sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri dari otak dan

medula spinalis dan sistem saraf perifer (SSP). Didalam sistem saraf pusat

terjadi berbagai proses analisis informasi yang masuk serta proses sintesis

dan mengintegrasikannya

Otak merupakan bagian sistem saraf pusat dimana dalam

pembagiannya digolongkan menjadi korteks serebri, ganglia basalis,

thalamus dan hypothalamus, mesenchepalon, batang otak, dan serebelum.

Secara garis besar, otak terdiri dari empat bagian besar yaitu serebrum,

serebelum, brainstem, dan diensefalon (thalamus, subtalamus, epitalamus,

dan hipotalamus). Bagian ini dilindungi oleh tiga selaput pelindung

(meningens) yaitu duramater, arachnoidea, piamater dan dilindungi oleh

tulang tengkorak (Chusid, 1993).

4

Page 5: Stroke Hemoragik Final

Gambar 1 Anatomi Otak

2. Sirkulasi Darah Otak

Otak merupakan organ terpenting dalam tubuh, yang membutuhkan

suplai darah yang memadai untuk nutrisi dan pembuangan sisa-sisa

metabolisme. Otak juga membutuhkan banyak oksigen. Diperkirakan

bahwa metabolisme otak menggunakan kira-kira 18% oksigen dari total

konsumsi oksigen oleh tubuh (Chusid, 1993). Pengaliran darah ke otak

dilakukan oleh dua pembuluh arteri utama yaitu oleh sepasang arteri karotis

interna dan sepasang arteria vertebralis. Keempat arteria ini terletak

didalam ruang subarakhnoid dan cabang-cabangnya beranastomosis pada

permukaan inferior otak untuk membentuk circulus willisi. Arteri carotis

interna, arteri basilaris, arteri cerebri anterior, arteri communicans

anterior, arteri cerebri posterior dan arteri comminicans posterior dan

5

Page 6: Stroke Hemoragik Final

arteria basilaris ikut membentuk sirkulus ini (Snell, 2007). Vaskularisasi

susunan saraf pusat sangat berkaitan dengan tingkat kegiatam

metabolisme pada bagian tertentu dan ini berkaitan dengan banyak

sedikitnya dendrit dan sinaps di daerah tersebut (Sidharta, 1995).

Menurut Chusid (1993), pokok anastomose pembuluh darah arteri

yang penting didalam jaringan otak adalah circulus willisi. Darah

mencapai circulus willisi interna dan arteri vertebralis. Sebagian

anastomose terjadi diantara cabang-cabang arteriole di circulus willisi

pada substantia alba subscortex. Arteria carotis interna berakhir pada

arteri cerebri anterior dan arteri cerebri media. Di dekat akhir arteri carotis

interna dari pembuluh arteri comunicans posterior yang bersatu kearah

caudal dengan arteri cerebri posterior. Arteri cerebri anterior saling

berhubungan melalui arteri comunicans anterior. Arteri basilaris dibentuk

dari persambungan antara arteri-arteri vertebralis. Pemberian darah ke

certex terutama melalui cabang-cabang kortikal dari arteri cerebri anterior,

arteri cerebri media dan arteri cerebri posterior, yang mencapai cortex di

dalam piamater.

Faktor yang mempengaruhi aliran darah di otak, diantaranya adalah

(1) keadaan arteri, dapat menyempit karena tersumbat oleh thrombus dan

embolus, (2) keadaan darah, dapat mempengaruhi aliran darah dan suplai

oksigen, (3) keadaan jantung, bila ada kelainan dapat mengakibatkan

iskemia di otak (Chusid, 1993)

6

Page 7: Stroke Hemoragik Final

Gambar 2 Circulus Willisi (Chusid, 1993)

B. Stroke Hemoragik

1. Definisi Stroke Hemoragik

Definisi yang paling banyak diterima secara luas adalah bahwa

stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda

klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional

otak fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali

ada intervensi bedah atau mebawa kematian), yang tidak disebabkan oleh

sebab lain selain penyebab vascular. Definisi ini mencakup stroke akibat

infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) nontraumatik,

perdarahan intraventrikular dan beberapa kasus perdarahan subarachnoid

(PSA) (Warlow et al., 2007 cit Gofir, 2009).

Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang

tidak terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat menggenangi dan

7

Page 8: Stroke Hemoragik Final

membunuh sel-sel otak. Sekitar 20 % stroke adalah stroke hemoragik.

Stroke perdarahan dapat dibagi menjadi dua subtipe yaitu perdarahan

intraserebral (PIS) yaitu terjadinya perdarahan langsung ke jaringan otak

atau disebut juga sebagai perdarahan parenkim otak, dan perdarahan

subarachnoid (PSA) yang terjadi perdarahan di ruangan sub-arachnoid

(antara arachnoid dan piamater). Dua subtipe stroke perdarahan ini

mempunyai perbedaan etiologi, gambaran klinis, prognosis dan strategi

penanganan.

2. Etiologi Stroke Hemoragik

Stroke perdarahan intraserebral disebabkan oleh perdarahan

arterial langsung ke parenkim jaringan otak. Perdarahan intraserebral

dapat juga disebabkan oleh aneurisma, malformasi arteri-vena,

malformasi kavernosa, amiloid serebral, atau tumor.

Etiologi stroke perdarahan intraserebral adalah sebagai berikut:

a. Hipertensi Arterial

Hipertensi merupakan penyebab terbanyak perdarahan intra serebral

yaitu antara 70-90%. Pada arteri tampak degenerasi tunika media

dinding arteri yang diinduksi oleh hipertensi, nekrosis fibrinoid yang

mengakibatkan kelemahan progresif dan/atau terbentuknya

mikroaneurisma. Predileksi perubahan patologis tersebut di arteria

subkortikal dan perforating kecil, yang dapat menjelaskan lokasi

anatomik perdarahan intraserebral yang spesifik. Penyebab utama

perburukan pada penderita stroke perdarahan intraserebral adalah

terjadinya edema serebri dan nekrosis akibat iskemi global jaringan

otak dan terjadinya hidrosefalus.

b. Aneurisma Intrakranial

Perdarahan intraserebral akibat ruptur aneurisma biasanya menuju ke

ruang subarakhnoid; jarang ke ventrikel atau parenkim otak. Kurang

8

Page 9: Stroke Hemoragik Final

lebih 16-23% perdarahan intraserebral disebabkan karena aneurisma

pecah. Mekanisme pembentukan aneurisma dan terjadinya perdarahan

pada aneurisma masih kontroversial. Lesi ini diperkirakan akibat

kelemahan kongenital tunika muskularis arteri serebral yang

menyebabkan tunika intima membonjol dan akhirnya.merobek

membrane elastic.

c. Angiopati Amiloid Serebral

Penyebab tersering ketiga perdarahan intraserebral adalah angiopati

amiloid, yaitu sekitar 10% dari seluruh perdarahan intraserebral

spontan. Kelainan angiopati amiloid ini khas yaitu terbentuknya

deposit fibril amiloid pada tunika media dan tunika intima arteria kecil

dan sedang. Perdarahan terjadi akibat robeknya dinding pembuluh

yang lemah atau mikro-aneurisma.

d. Malformasi Arteri-venosa (MAV)

Menurut The Arteriovenous Malformation Study Group (1999),

malformasi pembuluh darah intrakranial berdasarkan jenis kelainan

patologisnya dibagi menjadi empat, yaitu; (1) Malformasi arteria-

venosa, (2) Telangiektasia kapiler, (3) Malformasi kavernosa, dan (4)

Malformasi venosa.merobek membrana elastik. Malformasi arteri-

venosa merupakan penyebab terbanyak (6-13%) perdarahan

intraserebral spontan. Kelainan ini merupakan suatu kelainan

kongenital yang terjadi pada minggu ke-4 hingga ke-8 kehidupan

embrional, menyebabkan hubungan persisten antara sistema arterial

dan vena.

3. Patofisiologi Stroke Hemoragik

Perdarahan intraserebral biasanya timbul pada ganglia basalis,

talamus, lobus serebri, batang otak dan serebelum. Kerusakan jaringan

primer dan distorsi terjadi saat pembentukan hematom pada waktu darah

menyebar diantara celah substansia alba. Perdarahan umumnya timbul

9

Page 10: Stroke Hemoragik Final

akibat rupturnya arteri kecil oleh efek degeneratif dan hipertensi kronik.

Vaskulopati pada hipertensi kronik mengenai arteri perforantes yang

berdiameter 100 – 400 µm, kemudian mengakibatkan terjadinya

lipohialinosis atau nekrosis fokal. Hal ini dapat menjelaskan distribusi

perdarahan hipertensif pada teritori yang mendapat suplai dari arteri

lentikulostriata (ganglia basalis), arteri talamo perforantes (talamus), rami

perforantes dari arteri basilaris (pons) dan arteri serebelaris anterior

inferior dan anterior superior (serebelum).

Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat

berlanjut sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak

struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik. Menurut Cushing

bahwa brain injury oleh karena perdarahan spontan intraserebri

diakibatkan oleh tekanan lokal yang menekan mikrosirkulasi dan

menyebabkan iskemia di sekeliling hematom.

Produk darah dan plasma merupakan mediator dari berbagai

proses sekunder yang terjadi setelah perdarahan spontan intraserebri.

Setelah perdarahan spontan intraserebri, mediator inflamasi dari darah

dapat menginduksi reaksi inflamasi pada hematom dan daerah sekitarnya,

dapat ditemukan neutrofil, makrofag, leukosit, dan mikroglia aktif.

Pelepasan enzim sitotoksik, radikal bebas, nitrid oksida dan produk

kaskade fosfolipid diduga berperan pada secondary neural injury dan

kematian sel. Disebutkan pula mengenai peranan nekrosis dan apoptosis

pada kematian neuron. Proses pembentukan edema perihematom berawal

segera setelah onset PIS, umumnya dalam 3 jam, dan meningkat secara

bertahap dalam sekurangnya 72 jam. Beberapa mekanisme dalam sekuens

yang berperan dalam pembentukan edema antara lain: fase pertama

ditandai dengan retraksi clot dan ekstrusi serum; fase kedua (dalam 2 hari

pertama) terjadi aktivasi kaskade koagulasi dan produksi trombin; serta

fase terakhir (3 hari setelah onset) terjadi suatu lisis sel darah merah dan

10

Page 11: Stroke Hemoragik Final

kerusakan neuron yang diinduksi oleh hemoglobin. Peran sentral trombin

dalam meningkatkan edema perihematom telah dilaporkan dalam

sejumlah penelitian baik dalam percobaan maupun pada PIS manusia, dan

didapat data adanya penurunan pembentukan edema setelah pemberian

trombin inhibitor. Efek merusak dari trombin pada jaringan perihematom

diperantarai oleh inflamasi, sitotoksisitas dan kerusakan sawar darah otak.

Petanda molekular yang berhubungan dengan peningkatan edema

perihematom meliputi peningkatan glutamat, tumor necrosis factor-α,

interleukin-1, dan intercellular adhesion molecule-1, tetapi hanya kadar

tumor necrosis factor-α yang tidak tergantung dengan volume edema

perihematom.

Kadar glutamat serum yang tinggi berhubungan dengan outcome

neurologis yang buruk setelah PIS. Pemecahan hematom meliputi invasi

makrofag, progresi edema sekitar, pembentukan microvessel pada tepi

klot dan kadangkala gliosis. Hasil akhir adalah jaringan parut yang

ditandai dengan hemosiderin atau kavitas yang mengandung darah lama

yang dikelilingi jaringan ikat.

Gejala neurologis yang timbul karena ekstravasasi darah ke

jaringan otak sehingga menyebabkan nekrosis. Pada saat awal mungkin

darah hanya akan mendesak jaringan otak tanpa merusaknya, karena saat

itu difusi darah ke jaringan belum terjadi. Perdarahan intraserebral dan

edema bisa mengganggu dan menekan jaringan otak sekitarnya,

mengakibatkan gangguan neurologis. Absorpsi dapat terjadi dalam waktu

3-4 minggu.

Proses kematian sel otak akibat iskemia melalui 2 proses yaitu

nekrosis dan apoptosis. Kematian akibat nekrosis ditandai dengan adanya

edema sitoplasma dan pembengkakan sel, kerusakan sitoskeleton dan

ruptur membran sel dan organela. Tanda-tanda inflamasi nyata didapatkan

pada nekrosis sel. Kematian sel pada proses apoptosis bersifat aktif dan

11

Page 12: Stroke Hemoragik Final

didapatkan ekspresi protein baru. Energi sel normal sampai tahap final

kematian sel, penurunan energi sel terjadi lambat akibat sekunder dari

apoptosis. Aktifasi endonuklease menyebabkan pemecahan ikatan ganda

DNA, terbentuk fragmentasi DNA, dan kondensasi kromatin. Sel menjadi

mengkerut dan terbentuk tonjolan-tonjolan membran. Tonjolan membran

bertambah besar dan terpisah dari sel membentuk apoptotic bodies, yang

kemudian mengalami lisis dan mengalami proses fagositosis. Proses

apoptosis ini terjadi dalam beberapa hari. Pada apoptosis tidak didapatkan

inflamasi atau hanya terdapat inflamasi ringan.

Mekanisme kematian neuron pada stroke dapat ditinjau dari

aspek biomolekuler. Pada stroke perdarahan, kematian neuron terjadi

karena tiga hal berikut:

a. Efek toksik darah. Eritrosit dapat menyebabkan kematian sel-sel

neuron

b. Peningatan TIK yang berakibat iskemia global karena penekanan

pembuluh drah di seluruh otak. Mekanismenya sama sepeti pada stroke

iskemia

c. Pelepasan agen vasokonstriktor seperti serotonin, prostaglandin, dan

darah yang mengakibatkan terjadinya iskemia fokal dan akhirnya

kematian neuron

4. Diagnosis Stroke Hemoragik

a. Diagnosis klinik

Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya

gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Manifestasi klinis stroke

akut dapat berupa (Gofir, A. 2009):

Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis)

yang timbul mendadak.

12

Page 13: Stroke Hemoragik Final

Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan

(gangguan hemiparesis)

Perubahan mendadak status mental (somnolen. delirium, letargi,

stupor, atau, koma).

Afasia (bicara tidak lancer, kurangnya ucapan, atau kesulitan

memahami ucapan)

Disartria (bicara pelo atau cedal)

Gangguan penglihatan (hemianopia atau monokuler) atau diplopia

Ataksia (trunkal atau anggota badan).

Vertigo, mual, muntah, atau nyeri kepala

Gambaran klasik stroke perdarahan intraserebral adalah

munculnya (onset) secara tiba-tiba defisit neurologik yang progresif dari

beberapa menit sampai beberapa jam yang disertai dengan nyeri kepala

yang hebat, mual, muntah, penurunan kesadaran dan peningkatan tekanan

darah. Kurang lebih 80% pasien perdarahan intraserebral mempunyai

faktor risiko hipertensi. Pemeriksaan CT Scan otak/kepala merupakan

gold standard untuk membedakan apakah stroke perdarahan intraserebral

atau stroke infark. Pada orang tua perdarahan sering terjadi akibat

angiopati amiloid. Stroke perdarahan intraserebral menyebabkan

kerusakan melalui dua cara yaitu; (1) Kerusakan otak yang terjadi pada

saat perdarahan, terutama pada kasus dengan perdarahan yang meluas ke

medial dan talamus serta ganglia basalis, dan (2) Hematoma yang

membelah korona radiata menyebabkan penekanan serta gangguan

fungsi neurologis yang mungkin reversibel.

1) Perdarahan intraserebral (PIS)

Perdarahan intraserebral terjadi di dalam substansi atau

parenkim otak (di dalam piamater) Penyebab utamanya adalah

hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol. Penyebab lain yaitu

malformasi arteriovenosa (AVM), angioma cavernosa, alkoholisme,

13

Page 14: Stroke Hemoragik Final

diskrasia darah, terapi anti-koagulan.. dan angiopati (Caplan, 2007 cit

Gofir, A. 2009).

Pada perdarahan jenis ini arteri yang berfungsi

memvaskularisasi otak ruptur, sehingga akan menyebabkan kebocoran

darah ke otak, dan kadang menyebabkan otak tertekan karena adanya

penambahan volume cairan. Pada organ dengan hipertensi kronis

terjadi proses degenaratif pada otot dan unsure elastic dari dinding

arteri. Perubahan degeneratif ini dan ditambah dengan beban tekanan

darah tinggi, dapat membentuk penggembungan-penggembungan kecil

setempat disebut aneurisma Cahrcot-bouchard. Aneurisma ini

merupakan suatu lokus minoris resisten (LMR). Pada lonjakan tekanan

darah sistemik, misalnya sewaktu marah, saat aktivitas yang

mengeluarkan tenaga banyak, mengejan, dapat menyebabkan

pecahnya LMR ini. Oleh karena itu, stroke hemoragik dikenal juga

sebagai “stress stroke” (Warlow et al., 2007).

Tabel 1 Evaluasi Diagnosis Stroke Berdasarkan Pemeriksaan

Klinis

14

Page 15: Stroke Hemoragik Final

Gejala Klinis Perdarahan

Intraserebral (PIS)

Perdarahan

Subarachnoid

(PSA)

Stroke

NonHemoragik

(SNH)

Gejala deficit

fokal

Awitan (onset)

Nyeri kepala

Muntah pada

awalnya

Hipertensi

Kaku kuduk

Kesadaran

Hemiparesis

Deviasi mata

Likuor

Berat

Menit/jam

Hebat

Sering

Hampir selalu

Jarang

Biasa hilang

Sering sejak awal

Bisa ada

Sering berdarah

Ringan

1-2 menit

Sangat hebat

Sering

Biasanya tidak

Biasa ada

Biasa hilang

sebentar

Awal tidak

ada

Jarang

Berdarah

Berat/Ringan

Pelan (jam/hari)

Ringan/tidak ada

Tidak, kecuali lesi

di batang otak

Sering

Tidak ada

Dapat hilang

Sering sejak awal

Mungkin ada

Jernih

(Gofir, 2009)

2) Perdarahan subarachnoid (PSA)

Penyebab tersering dari perdarahan ini adalah rupturnya

aneurisma arterial yang terletak di dasar otak dan perdarahan dari

malformasi vascular yang terletak dekat dengan permukaan piamater.

Penyebab yang lain dapat berupa perdarahan diatesis, trauma,

angiopati amiloid, dan penggunaan obat. Pecahnya aneurisma ini

menyebabkan perdarahan yang akan langsung berhubungan dengan

LCS, sehingga secara cepat dapat menyebabkan peningkatan TIK. Jika

perdarahan berlanjut dapat mengarah ke koma yang dalam maupun

kematian. Perdarahan subarachnoid yang bukan karena aneurisma

15

Page 16: Stroke Hemoragik Final

sering berkembang dalam waktu yang lama (Caplan, 2007 cit Gofir,

2009)

Aneurisma yang menjadi sumber PSA dan PIS mempunyai

perbedaan letak dan ukuran. Pada PIS aneurisma sering muncul pada

arteri-arteri di dalam parenkim otak dan dan aneurisma ini kecil.

Sedangkan aneurisma pada perdarahan subarachnoid muncul dari

arteri-arteri di luar parenkim dan aneurisma ini mempunyai ukuran

lebih besar (Warlow et al.,2007. cit Gofir, 2009 ).

Tabel 2 Derajat Perdarahan Subarachnoid

Derajat Perdarahan Subarachnoid menurut Hunt-Hess

Derajat Manifesatasi Klinis

1 Asimtomatik atau nyeri kepala dan

kaku kuduk yang ringan

2 Nyeri kepala yang sedang sampai

berat, kaku kuduk dan tidak ada

defisit neurologis kecuali pada saraf

cranial

3 Bingung, penurunan kesadaran, defisit

fokal ringan

4 Stupor, hemiparesis ringan sampai

dengan berat, deserebrasi,gangguan

fungsi vegetative

5 Koma dalam, deserebrasi, moribound

appearance

(Gofir, A. 2009)

Berdasarkan presentasi klinis pasien, The World Federation of

Neurological Surgeons (WFNS) (Suarez et al., 2006). Telah menyusun

sistem klasifikasi PSA karena aneurisma. Sistem yang membagi

pasien PSA berdasarkan derajat kegawatannya ini mempunyai

16

Page 17: Stroke Hemoragik Final

implikasi terhadap prognosis pasien. Sistem klasifikasi PSA WFNS ini

adalah sebagai berikut (derajat 1 prognosisnya paling baik, derajat 5

terjelek; GCS= Glasgow Coma Score); defisit didefinisikan disini

sebagai hemiparesis atau afasia.

Derajat 1 GCS = 15, tidak ada defisit lokal

Derajat 2 GCS= 13-14, tidak ada defisit lokal

Derajat 3 GCS= 13-14, ada defisit lokal

Derajat 4 GCS= 7-12, dengan atau tanpa defisit

Derajat 5 GCS = <7, dengan atau tanpa defisit

Klasifikasi ini lebih baik dari skala perdarahan subarachnoid

dari Hunt dan Hess karena didasarkan pada skor GCS, yang

merupakan cara yang dipakai secara universal untuk mengevaluasi

tingkat kesadaran, dan adanya tanda-tanda defisit neurologik fokal.

Selain itu adanya darah yang terlihat di CT scan dapat dijadikan

sebagai dasar klasifikasi dan penentuan prognosis (Suarez et al., 2006

cit Gofir, 2009).

Tabel 3 Derajat Perdarahan Subarachnoid menurut Klinis dan

Radiologis

17

Page 18: Stroke Hemoragik Final

Derajat PSA menurut Klinis dan RadiologisDerajat Klinis menurut WFNS* Derajat menurut CT Scan Kepala

Derajat GCS** Klinis Derajat SAH*** IVH****1 15 Defisit motorik (-) 0 (-) (-)

2 13-14 Defisit motorik (-) 1 Minimal (-) pada kedua ventrikel lateral

3 13-14 Defisit motorik (+) 2 Minimal (+) pada kedua

ventrikel lateral

4 7-12 Defisit motorik (+/-) 3 Tebal/banyak (-) pada kedua

ventrikel lateral

5 3-6 Defisit motorik (+/-) 4 Tebal/banyak (+) pada kedua

ventrikel lateral

*WFNS : World Federationof Neurosurgical Surgeons

**GCS : Glasgow Coma Scale

***SAH : Dinilai dari pengisian darah pada 1 atau lebih sisterna atau fissura

****IVH : Intraventricular Hemorrhage

(Suarez et al., 2006 cit Gofir, A. 2009)

b. Jenis patologi stroke

Stroke didiagnosis berdasarkan hasil anamnesis dan

pemeriksaan fisik-neurologis. Lamsuddin (2007) telah membuat suatu

algoritma Gadjah Mada yang dapat dipakai untuk membedakan stroke

perdarahan intraserebral dengan stroke infark. Sensitivitas algoritma

tersebut sebesar 95 %.

Diagnosis baku emas (gold standar) adalah dengan

menggunakan CT Scan atau MRI yang jumlahnya masih sangat

terbatas di Indonesia. CT Scan merupakan pemeriksaan baku emas

untuk membedakan infark dengan perdarahan. Resonansi magnetic

(MRI) lebih sensitif dari CT Scan dengan mendeteksi infark cerebri

dini dan infark batang otak.

18

Page 19: Stroke Hemoragik Final

(Lamsudin,1997 cit Gofir, 2007)

Gambar 3 Algoritma Stroke Gadjah mada

c. Deteksi faktor-faktor risiko

Pada saat awal serangan stroke, selain menegakkan diagnosis

untuk menentukan terapi stroke, pelacakan faktor-faktor risiko juga

penting untuk prevensi primer sebagai pencegahan perburukan stroke

maupun prevensi sekunder untuk mencegah stroke ulangan.

Deteksi dini pelacakan etiologi dan faktor risiko stroke

perdarahan dengan melakukan tindakan berikut ini (Bhattahiri et.al.,

2003).

1) Darah lengkap Completed Blood Count (CBC) with platelet

2) Prothrombin Time (PT) / Activated Partial Thromboplastin Time

(aPTT) untuk mengidentifikasi adanya koagulopatiElektrolit dan

osmolaritas

3) Skrining toksikologi dan alkohol serum

19

Page 20: Stroke Hemoragik Final

4) Skrining hematologis, infeksi, dan etiologi vaskulitis

5) CT Scan

6) MRI

7) Vessel imaging

a. CT angiography : AVMs, Vasculitis, dan arteriopati

lainnya

b. Magnetic Resonance angiography (MRA)

Peran CT Scan sebagai Gold Standar Diagnostik Stroke

Hemoragik

Computed Tomography Scan (CT-Scan) merupakan

pemeriksaan radiologi yang mutakhir, tidak berbahaya, dapat cepat

dikerjakan, non invasif dan banyak memberikan informasi yang dapat

diandalkan (Mardjono dan Sidharta, 1997). Computed Tomographic

Scan (CT-Scan) bukan merupakan foto langsung dari jaringan otak,

akan tetapi merupakan rekonstruksi matematis dari jaringan otak. CT

scan adalah pemeriksaan imaging terhadap otak, potongan aksial dari

basis cranii sampai vertex.

CT scan merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan

untuk mengevaluasi stroke, terutama pada fase akut di ruang UGD. CT

scan dapat menunjukkan; jaringan lunak, tulang, otak dan pembuluh

darah. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan area otak yang abnormal,

dan dapat menentukan penyebab stroke, apakah karena insufisiensi

aliran darah (stroke iskemik), ruptur pembuluh darah (hemoragik) atau

penyebab lainnya. CT scan juga dapat memperlihatkan ukuran dan

lokasi otak yang abnormal akibat tumor, kelainan pembuluh darah,

pembekuan darah, dan masalah lainnya.

CT–Scan sangat handal untuk mendeteksi perdarahan

intrakranium, tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik

20

Page 21: Stroke Hemoragik Final

ringan, terutama pada tahap paling awal (Sunardi, 2007). CT-Scan

dilaksanakan dalam dua fase yaitu pengumpulan data (sinar-X

ditangkap kembali oleh suatu detektor radiasi) dan pengolahan data

dari pembacaan detektor tadi sehingga akhirnya akan diperoleh nilai-

nilai absorbsi sinar-X bagi masing-masing elemen jaringan, kemudian

dijabarkan pada masing-masing picture element (Pusparini, 2009).

Dalam pelaksanaan CT scan kepala ada beberapa garis

penting yang harus diketahui, yaitu (Malueka, 2008):

a. Orbitomeatal line (radiographic base line)

Ini garis yang menghubungkan bagian terluar canthus mata

(exocanthion) ke meatus acusticus externus

b. Infraorbitomeatal line (Reid’s base line atau Francfurt line)

Garis infraorbital ini juga dikenal sebagai “anthropological

base line” garis yang menghubungkan margo infraorbital ke

batas paling atas meatus acusticus externus.

Densitas lesi dapat dibagi atas (pada window level normal):

a. High density (hiperdens). Bila densitas lesi lebih tinggi

daripada jaringan normal sekitar

b. Isodensity (isodens). Bila densitas lesi sama dengan jaringan

sekitar.

c. Low density (hipodens) memperlihatkan gambaran CT scan

dengan nilai absorbsi yang rendah seperti pada infark.

Pada stroke hemoragik, tampak daerah hiperdens karena

terjadinya konsolidasi di ruang interstisial, yang kadang disertai

tekanan ke daerah sekitarnya ke arah kontralateral (Malueka, 2008) .

a. Hematom intrakranial: hiperdens, setelah satu minggu

densitasnya semakin meningkat.

21

Page 22: Stroke Hemoragik Final

b. Hematom subdural: hiperdens atau isodens, lalu densitasnya

turun. Jika kronis aka nada subtabule dan mendesak serebrum

(mass effect).

c. Hematom epidural: hiperdens kemudian densitasnya menurun,

bentuk konveks, subtabule, dan ada mass effect.

Pada gambaran stroke akut akan tampak pengaburan daerah

kapsula interna, hilangnya batas-batas dari insular ribbon cortex,

hilangnya batas antara substansia alba dan substansia grisea,

hilangnya daerah sulci dan hyperdens artery sign (Malueka, 2008).

CT scan memiliki keterbatasan. Perdarahan intraserebri yang

akan disalahartikan sebagai stroke iskemik jika CT scan tidak

dilakukan dalam 10-14 hari setelah stroke. Namun demikian, CT

scan diketahui sebagai pendeteksi imaging yang paling mudah, cepat

dan relatif murah untuk kasus stroke. Bila ada tanda-tanda stroke

hemoragik maka pemeriksaan selesai sampai tahap ini (CT scan).

Tetapi jika CT scan normal atau tidak ada tanda-tanda akut infark

maka pemeriksaan dilanjutkan dengan MRI (Sunardi, 2007).

22

Page 23: Stroke Hemoragik Final

23

Page 24: Stroke Hemoragik Final

Gambar 4 CT Scan memperlihatkan Struktur Otak Normal

24

Page 25: Stroke Hemoragik Final

Axial noncontrast computed tomography scan of the brain in a 60-year-old male

with history of acute onset of left-sided weakness demonstrates 2 areas of

intracerebral hemorrhage in the right lentiform nucleus with surrounding edema

and effacement of the adjacent cortical sulci and right sylvian fissure. Mass effect is

present upon the frontal horn of the right lateral ventricle with intraventricular

extension of the hemorrhage.

Gambar 5 CT Scan Stroke Hemoragik Intraserebral (PIS)

25

Page 26: Stroke Hemoragik Final

Gambar 6 CT Scan Stroke Perdarahan Subarachnoid

Foto CT Scan kepala tanpa kontras menunjukkan adanya

hemoragik subarachnoid akut ekstensif. Perhatikan gambaran darah

(hiperdens) yang tebal pada fissura interhemisferik anterior, fissura

sylvian bilateral, basal cisterns, ventrikel dan sulcus kortikal dan

intraventrikular ekstensif haemoragik. Seharusnya gambaran CSF

(Cerebro Spinal Fluid) berwarna hitam, tetapi pada kasus ini seluruh

ruang pada CSF berwarna putih (hiperdens), dikarenakan adanya

perdarahan.

5. Penatalaksanaan Stroke Hemoragik

Pendekatan manajemen stroke perdarahan intraserebral masih

kontroversial antara non pembedahan dengan pembedahan. Dibutuhkan

penelitian yang lebih baik sebagai dasar penyusunan guideline terkini.

Terdapat beberapa pendekatan terapi yang bersifat emergensi.

a. Penanganan Awal di Ruang Gawat Darurat

26

Page 27: Stroke Hemoragik Final

Berupa tindakan basic life support yang meliputi tindakan air-

way, breathing, dan circulation, serta mengidentifikasi adanya defisit

neurologik fokal. Pemeriksaan lengkap harus dilakukan terutama

pada pasien dengan penurunan kesadaran yang diduga akibat stroke

perdarahan intraserebral.

Airway dan oksigenasi : Walaupun tidak selalu perlu intubasi,

persiapan airway dan ventilasi yang adekuat sangat penting. Pada

pasien stroke perdarahan intraserebral dengan kesadaran menurun

atau tanda-tanda disfungsi batang otak harus segera dilakukan

tindakan airway. Intubasi harus dilakukan secara hati-hati dan

mengikuti prosedur yang berlaku jika didapatkan insufisiensi

respirasi/ventilasi yang menyebabkan hipoksi (pO2 < 60 mmHg atau

pCO2 >50 mmHg) atau secara nyata didapatkan risiko aspirasi

dengan atau tanpa gangguan oksigenasi arterial.

Jika tingkat kesadaran mengalami penurunan (skor GCS <9),

intubasi diperlukan. Pengaturan ventilator harus disesuaikan untuk

mempertahankan normoapnia (PaCO2 35 hingga 45 mmHg) kecuali

ada kecurigaan peeningkatan tekanan intrakranial (TIK). Jika

peningkatan TIK dicurigai atau pasien menunjukkan tanda-tanda

herniasi (koma, dilatasi pupil unilateral, third nerve palsy),

hperventilasi (paCo2 sekitar 30 mmHg) harus dipastikan hingga terapi

defintif dapat dilakukan. Sebagai tambahan untuk hiperventilasi,

pasien dengan dugaan herniasi harus mendapatkan terapi dengan

manitol (1 g/kg IV bolus). Manfaat yang cepat dari manitol dapat

diperkuat dengan furosemid (10 hingga 120 mg IV) (Johnson et al.,

2002 cit Gofir, A. 2009.).

Sebelum intubasi dilakukan preoksigenasi maksimal dan

pemberian obat-obatan misalnya atropin, thiopental, midazolam,

propofol, dan suksinilkholin untuk menghindari terjadinya refleks

27

Page 28: Stroke Hemoragik Final

aritmia dan/atau ketidakstabilan tekanan darah. Tingkat kesadaran

dimonitor dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Pencegahan aspirasi

harus selalu dilakukan dengan tuba endotrakheal, tuba nasogastrik

atau orogastrik dan dipantau dengan manset tekanan (cuff pressure)

setiap 6 jam. Tuba endotrakheal dengan manset lunak umumnya

dipakai kurang dari 2 minggu. Jika setelah 2 minggu penurunan

kesadaran masih berlanjut atau terjadi komplikasi pulmonal, maka

harus dilakukan trakheostomi elektif. Oksigen harus diberikan pada

semua pasien perdarahan intraserebral dengan penurunan kesadaran.

b. Penanganan Medikamentosa

Ada beberapa penelitian pemberian medikamentosa pada stroke

perdarahan intraserebral, seperti penggunaan steroid vs. plasebo,

hemodilusi vs. terapi medis standar , dan gliserol vs. plasebo. Tidak

satupun yang hasilnya bermakna secara statistik. Bahkan pasien yang

mendapatkan terapi steroid lebih banyak mengalami komplikasi

infeksi dibandingkan pasien dengan placebo.

1) Manajemen hipertensi

Tekanan darah optimal pada pasien stroke perdarahan

intraserebral bersifat individual dan berhubungan dengan apakah

pasien sebelumnya menderita hipertensi kronik, tekanan

intrakranial, umur, etiologi perdarahan, dan jendela terapi.

Secara umum direkomendasikan agar tekanan darah yang

meningkat diturunkan secara lebih progresif dengan terapi

antihipertensi yang berefek cepat dibandingkan dengan pada

stroke iskemik.

Secara teoritis tekanan darah yang lebih rendah

menurunkan risiko ruptur arteri kecil dan arteriola. Suatu

penelitian observasional prospektif tentang bertambahnya

volume perdarahan intraserebral memperlihatkan tidak ada

28

Page 29: Stroke Hemoragik Final

hubungan antara tekanan darah sebelum serangan stroke dengan

bertambahnya volume darah setelah serangan, tetapi

berhubungan dengan saat pemberian antihipertensi.

Sebaliknya pemberian antihipertensi yang sangat cepat

menurunkan tekanan darah dapat menurunkan perfusi serebral

dan secara teoritis akan memperparah cedera otak, terutama

dalam keadaan tekanan intrakranial tinggi.

Untuk menengahi kedua teori tersebut, Broderick et al.,

(1999) merekomendasikan bahwa tekanan darah harus

diturunkan jika mean arterial blood pressure (MAP) >130

mmHg, walaupun bukti klinik yang mendukungnya sangat lemah

(level of evidence V grade C recommendation). Pada pasien

dengan peningkatan tekanan intrakranial yang terpantau dengan

monitor tekanan intrakranial, tekanan perfusi serebral (MAP–

ICP) harus dipertahankan sebesar >70 mmHg (LoE V, grade C).

(Setyopranoto, 2008)

Tabel 4. Obat intravena yang dapat dipertimbangkan untuk

mengendalikan tekanan darah pada pasien dengan

perdarahan intraserebral spontan

Obat Dosis bolus intravena

Kecepatan infus kontinyu

Labetolol 5-20 mg setiap 15 menit

2 mg/ menit (maksimum 300 mg/hari)

Nicardipine 5-15 mg/jamEsmolol 250 µg/kg IVP

loading dose25-300 µg kg -1 menit-

1

Enalapril 1,25-5 mg IVP setiap 6 jam *

Hydralazine 5-20 mg IVP setiap 30 menit

1,5-5 µg kg -1 menit -1

Nipridine 0,1-10 µg kg-1 menit-1

Nitroglycerin 20-400 µg/menitIVP= intravenous push

29

Page 30: Stroke Hemoragik Final

*karena risiko penurunan tekanan darah yang mendadak, dosis uji

enalapril pertama kali seharusnya 0,625 mg.

Nitroprusid secara umum sering digunakan untuk

hipertensi maligna, obat tersebut merupakan vasodilator; teoritis

dapat meningkatkan aliran darah otak sehingga dapat

meningkatkan tekanan intrakranial. Hal tersebut mungkin tidak

menguntungkan tetapi belum ada laporan penelitian yang

mendukung teori tersebut.

Algoritma pemberian antihipertensi pada pasien dengan

stroke perdarahan intraserebral yang sudah dimodifikasi (LoE V,

grade C)

1. Jika tekanan darah sistolik >230 mmHg atau diastolik

>140 mmHg dalam dua kali pemeriksaan selama selang

waktu 5 menit maka diberi terapi nitroprusid.

2. Jika tekanan darah sistolik antara 180-230 mmHg dan

diastolik antara 105-140 mmHg, atau MAP >130 mmHg

dalam dua kali pemeriksaan selama selang waktu 20

menit, maka diberi terapi labetalol intravena, esmolol,

enalapril, atau diltiazem intravena, lisinopril, atau

verapamil.

3. Jika tekanan darah sistolik <180 mmHg dan diastolik <105

mmHg, pemberian obat antihipertensi harus ditunda.

Pilihan obat antihipertensi tergantung kondisi pasien,

misalnya hindari pemberian labetalol pada pasien asma

bronkial.

4. Jika monitor tekanan intrakranial tersedia, maka tekanan

perfusi serebral harus dipertahankan pada >70 mmHg.

Penurunan Tekanan Darah :

30

Page 31: Stroke Hemoragik Final

Pendekatan pertama pada pasien dengan penurunan tekanan

darah adalah penambahan cairan, yaitu cairan salin isotonik atau

koloid; dilakukan monitoring tekanan vena sentral atau tekanan

arteri pulmonal. Jika setelah koreksi penambahan cairan, tekanan

darah tetap tidak berubah, pemberian infus kontinu harus

dilakukan terutama jika tekanan darah sistolik <90 mmHg

dengan penambahan fenileprin, dopamine, atau norepinefrin

b) Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial

Peningkatan tekanan intrakranial merupakan penyebab

utama tingginya mortalitas pada stroke perdarahan intraserebral,

sehingga pemantauan dan penanganan yang tepat terhadap

peningkatan tekanan intrakranial dapat menurunkan mortalitas,

berupa osmoterapi, hiperventilasi, dan pemberian barbiturat.

Peningkatan tekanan intrakranial terjadi jika tekanan intrakranial

> 20 mmHg selama > 5 menit. Tekanan intrakranial hendaknya

dipertahankan < 20 mmHg dan tekanan perfusi serebral >70

mmHg. Pasien yang diduga mengalami peningkatan tekanan

intrakranial dan penurunan kesadaran harus diawasi dengan alat

monitor (invasive ICP monitoring); dilakukan jika nilai GCS < 9

(LoE V, grade C). Monitoring nilai GCS juga harus dilakukan

(Setyopranoto, 2008).

Pemeriksaan CT Scan kepala juga harus dilakukan

untuk melihat adanya efek massa dan hidrosefalus akibat

perdarahan.Efek massa karena penambahan volume intrakranial

akibat perdarahan dan terjadinya hidrosefalus sekunder

merupakan penyebab utama peningkatan tekanan intrakranial.

Drainase ventrikel harus dilakukan pada pasien yang mempunyai

risiko hidrosefalus. Drainase ventrikel ini diberikan dan

dihentikan tergantung gambaran klinik dan nilai tekanan

31

Page 32: Stroke Hemoragik Final

intrakranial; karena risiko infeksi tinggi maka pengawasan harus

terus menerus dan tidak boleh melebihi 7 hari (LoE V, grade C).

Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial dapat

diuraikan sebagai berikut (Setyopranoto, 2008).:

1) Osmoterapi

Yang pertama kali harus diberikan; walaupun

tindakan profilaksis tidak dianjurkan. Manitol 20% (0.25-

0.5 g/kg tiap 4 jam) harus diberikan jika didapatkan

peningkatan tekanan intrakranial yang progresif dan terjadi

penurunan kesadaran akibat efek massa (LoE V, grade C).

Untuk mencegah rebound phenomenon, pemberian manitol

direkomendasikan tidak boleh lebih dari 5 hari. Untuk

menurunkan tekanan osmotik dapat diberikan furosemid

(10 mg injeksi selama 2–8 jam), dapat bersama-sama

dengan manitol. Osmolalitas darah harus diperiksa dua kali

setiap hari dengan target < 310 mOsm/L

Manitol adalah suatu obat osmotik intravascular

yang dapat menarik cairan dari jaringan otak yang

mengalami edema dan yang non-edema. Selain itu, manitol

meningkatkan pre-load jantung, dengan demikian

menurunkan ICP melalui mekanisme autoregulasi serebral.

(Broderick et al., 2007). Manitol efektif dalam mengurangi

tekanan intrakranial, menyebabkan peningkatan CPP.

Manitol memilki mekanisme kerja yang kompleks.

Penurunan pembentukan CSF, penurunan viskositas darah

dan berkurangnya volume jaringan otak semuanya

memberikan kontribusi terhadap penurunan tekanan

intrakranial. Manitol adalah scavenger radikal bebas yang

bermanfaat dalam otak iskemik. Seharusnya diberikan

32

Page 33: Stroke Hemoragik Final

sebagai bolus intermiten 0,25 g/kg sebagai dosis yang

minimal untuk mengendalikan kenaikan tekanan

intrakranial. Selama pemberian manitol, penting untuk

mengawasi balans cairan dan elektrolit karena risiko

hiperosmolaritas dan pergeseran cairan yang cepat.

2) Jangan diberi Steroid

Pemberian kortikosteroid pada stroke perdarahan

intraserebral harus dihindari, karena dapat menyebabkan

berbagai efek samping yang tidak menguntungkan (LoE II,

grade B).

3) Hiperventilasi

Hipokarbia akan menyebabkan vasokonstriksi

serebral. Penurunan aliran darah otak dapat terjadi secara

cepat; puncak penurunan tekanan intrakranial mungkin

terjadi kurang dari 30 menit setelah perubahan pCO2.

Kondisi pasien membaik jika penurunan pCO2

sampai 25–30 mmHg, tidal volume 12–14 mL/kg, tekanan

intrakranial turun 25-30% (LoE III through V, grade C).

Pasien dengan peningkatan tekanan intracranial

mempunyai prognosis buruk jika manajemen hiperventilasi

gagal.

4) Relaksasi Otot

Pemberian obat-obat berefek paralisis neuromuskular

dikombinasikan dengan sedasi yang adekuat dapat

mengurangi peningkatan tekanan intrakranial karena dapat

mencegah peningkatan tekanan intratorakal dan tekanan

vena akibat batuk, ketegangan, penyedotan (suctioning)

pada ventilator (LoE III through V, grade C). Obat-obat

nondepolarisasi misalnya venkuronium atau pankuronium,

33

Page 34: Stroke Hemoragik Final

pembebas histamin dan obat yang berefek blokade

ganglion lebih baik diberikan pada situasi peningkatan

tekanan intrakranial (LoE III through V, grade C).

Pasien dengan kegawatan akibat peningkatan tekanan

intrakranial harus diberi premedikasi dengan bolus obat-

obat relaksasi otot sebelum airway suctioning; dalam

kondisi emergensi pemberian lidokain perlu

dipertimbangkan.

c) Pencegahan kejang

Kejang merupakan akibat cedera neuronal dan penurunan

stabilitas pada pasien yang memburuk karena kondisi sistemik.

Kejadian kejang non konvulsif < 10% pada pasien koma yang

dirawat di ruang neurointensif. Pada pasien stroke perdarahan

intraserebral, profilaksis antiepilepsi misalnya fenitoin dengan

dosis titrasi 14-23 mg/mL dapat diberikan selama 1 bulan, jika

tidak ada kejang diturunkan kemudian dihentikan. ( LoE V,

grade C).

d) Manajemen demam

Suhu tubuh harus dipertahankan normal, parasetamol 650

mg atau kompres dingin harus diberikan jika suhu >38.5° C.

Pada pasien demam atau infeksi, dapat dilakukan kultur darah,

trakhea, dan urin, selanjutnya dapat diberikan antibiotik yang

sesuai. Pada pasien dengan kateter intraventrikuler, harus

dilakukan analisis cairan serebrospinal untuk deteksi dini infeksi

intrakranial.

Antiperdarahan

Pembesaran hematom terjadi pada 38% pasien perdarahan

intraserebral dalam 24 jam pertama sejak onset stroke. Hal ini

34

Page 35: Stroke Hemoragik Final

dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan outcome yang

buruk. Oleh karena itu mencegah perdarahan yang meluas adalah

tujuan pokok dalam terapi PIS. Sejak lama berbagai obat dicoba

untuk menghentikan perluasan hematom. Salah satunya adalah

recombinant activated factor VII (rFVIIa). Semula obat ini

digunakan untuk terapi perdarahan atau pencegahan perdarahan

selama tindakan invasif pada pasien-pasien hemofilia kongenital

dengan inhibitor terhadap faktor koagulasi VII dan IX dan untuk

gejala perdarahan pasien karier hemofilia dan defisiensi

congenital factor VII. Penggunaannya pada pasien stroke

perdarahan dengan sistem koagulasi normal masih terbilang

baru. Walaupun gagal memperlihatkan manfaat secara klinis

pada penelitian awal, rFVIIa ternyata mempunyai kemampuan

membatasi pembesaran hematom dengan hanya meningkatkan

secara ringan risiko trombosis arterial (Tuhrim, 2008).

c. Pembedahan

Tujuan utama tindakan pembedahan pada perdarahan

intraserebral adalah mengambil bekuan darah. Jika mungkin juga

untuk mengidentifikasi penyebab perdarahan, misalnya malformasi

arteri-vena. Selain itu juga untuk mencegah komplikasi, misalnya

hidrosefalus dan efek massa akibat bertambahnya volume intracranial

(Setyopranoto, 2008)..

Tindakan tanpa pembedahan (Setyopranoto, 2008).

1. Pasien dengan perdarahan kecil (< 10 cm3) atau defisit

neurologik yang minimal (LoE II through V, grade B).

2. Pasien dengan skor GCS < 4 (LoE II through V, grade B). Pada

perdarahan serebelum dengan penekanan pada batang otak,

35

Page 36: Stroke Hemoragik Final

pembedahan merupakan tindakan lifesaving karena

kegawatannya.

Tindakan Pembedahan (Setyopranoto, 2008).

1. Pada pasien stroke perdarahan serebelum > 3 cm dengan

deteriorasi neurologik karena kompresi batang otak dan

hidrosefalus karena obstruksi ventrikel harus dilakukan tindakan

pembersihan bekuan darah dengan segera (LoE III through V,

grade C).

2. Pada perdarahan intraserebral karena lesi struktural misalnya

aneurisma, malformasi arterivena, atau angioma kavernosa,

pembedahan mungkin dapat dilakukan jika mempunyai

kemungkinan outcome yang baik dan lesi struktural vaskuler

tersebut dapat dijangkau dengan tindakan pembedahan (LoE III

through V, grade C).

3. Pada pasien usia muda dengan perdarahan sedang atau

perdarahan luas di daerah lobus yang secara klinik mengalami

perburukan (LoE II through V, grade B). Kraniotomi merupakan

pendekatan standar, terutama untuk pengambilan bekuan darah.

Tindakan tersebut dapat menurunkan tekanan intrakranial dan

tekanan lokal akibat efek massa di sekitarnya. Efek samping

yang merugikan adalah kerusakan jaringan otak di sekitarnya

terutama jika letak bekuan darah terlalu dalam.

5. Pencegahan Stroke Hemoragik

Karena stroke perdarahan intraserebral mempunyai morbiditas dan

mortalitas yang tinggi dan belum ada jaminan perbaikan dengan

pendekatan terapi apapun, pencegahan merupakan tindakan utama.

Rekomendasi pencegahan stroke perdarahan intraserebral (Setyopranoto,

2008).

36

Page 37: Stroke Hemoragik Final

1. Secara teratur mengkonsumsi obat antihipertensi adalah rekomendasi

utama, yang secara efektif akan menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas stroke perdarahan intraserebral (LoE I through II, grade

A).

2. Monitoring ketat pemberian obat-obat antikoagulan, misalnya,

warfarin (LoE I, grade A).

3. Pemberian secara selektif obat-obat trombolitik untuk infark miokard

dan stroke iskhemik akut (LoE I, grade A).

4. Peningkatan konsumsi buah dan sayuran serta menghindari alcohol

dan penggunaan obat-obat simpatomimetik akan menurunkan risiko

stroke perdarahan intraserebral (LoE III through V, grade C).

6. Prognosis stroke hemoragik

Prediktor terpenting untuk menilai outcome perdarahan intra

serebri (PIS) adalah volume PIS >50 ml, tingkat kesadaran penderita

(menggunakan skor Glasgow Coma Scale (GCS)), dan adanya darah

intraventrikel. Volume PIS dan skor GCS dapat digunakan untuk

memprediksi tingkat kematian dalam 30 hari dengan sensitivitas sebesar

96% dan spesifitas 98%. Suatu PIS dengan volume >60 mL dan skor GCS

≤ 8 memiliki tingkat mortalitas sebesar 91% dalam 30 hari, dibanding

dengan tingkat kematian 19% pada PIS dengan volume <30 mL dan GCS

skor ≥ 9. Perluasan PIS ke intraventrikel meningkatkan mortalitas secara

umum menjadi 45% hingga 75%, tanpa memperhatikan lokasi PIS,

sebagai bagian dari adanya hidrosefalus obstruktif akibat gangguan

sirkulasi liquor cerebrospinal (LCS). Pengukuran volume hematom dapat

dilakukan secara akurat dengan CT scan. Secara klinis, edema berperan

dalam efek massa dari hematom, meningkatkan tekanan intrakranial dan

pergeseran otak intrakranial. Secara paradoks, volume relatif edema yang

tinggi berhubungan dengan outcome fungsional yang lebih baik, yang

37

Page 38: Stroke Hemoragik Final

menimbulkan suatu kerancuan apakah edema harus dijadikan target terapi

atau hanya merupakan variabel prognostic (Anngiamurni, 2010).

Salah satu masalah yang timbul sebelum melakukan

penatalaksanaan adalah sangat sedikitnya pengetahuan para klinisi

terhadap mekanisme dan perjalanan penyakit saat pasien datang, apakah

sudah mulai terjadi perburukan atau timbul komplikasi yang tidak

terkendali. Masalah lain adalah tindakan yang harus pertama kali

diberikan kepada pasien stroke perdarahan intraserebral (Setyopranoto,

2008).

38

Page 39: Stroke Hemoragik Final

BAB III

KESIMPULAN

1. Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak

terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat menggenangi dan membunuh

sel-sel otak. Sekitar 20 % stroke adalah stroke hemoragik

2. Stroke perdarahan dapat dibagi menjadi dua subtipe yaitu perdarahan

intraserebral (PIS) dan perdarahan subarachnoid (PSA).

3. Pada PIS terutama disebabkan hipertensi oleh karena rupturnya arteri yang

memvaskularisasi otak. Sedangkan, penyebab tersering dari PSA adalah

rupturnya aneurisma arterial yang terletak di dasar otak dan perdarahan dari

malformasi vascular yang terletak dekat dengan permukaan piamater.

4. Pemeriksaan CT Scan otak/kepala merupakan gold standard untuk

membedakan apakah stroke perdarahan intraserebral atau stroke infark.

5. Pada stroke hemoragik, tampak daerah hiperdens karena terjadinya

konsolidasi di ruang interstisial, yang kadang disertai tekanan ke daerah

sekitarnya ke arah kontralateral.

6. Karena stroke perdarahan intraserebral mempunyai morbiditas dan mortalitas

yang tinggi dan belum ada jaminan perbaikan dengan pendekatan terapi

apapun, pencegahan merupakan tindakan utama.

39

Page 40: Stroke Hemoragik Final

DAFTAR PUSTAKA

Anngiamurni.2010. Hubungan Volume dan Letak Lesi Hematom dengan

Kecepatan Pemulihan Fungsi Motorik Penderita Stroke Hemoragik

berdasarkan Kategori Skala Orgogozo. Tesis. Semarang: Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro.

http:// eprints.undip.ac.id/24028/1/Lulu_Anggiamurni.pdf

Chusid, JG 1993. Neuroanatomi Korelatif Dan Neurologi Fungsional,

cetakan ke empat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Duus, Peter .1996; Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda,

Gejala, cetakan pertama, EGC, Jakarta.

Gofir, A. 2009. Manajemen Stroke. Evidence Base Medicine. Yogyakarta:

Pustaka Cendikia Pres.

Gofir, A.2007. Diagnosis Dini dan Penanganan Pertama Stroke. Bagian Ilmu

Penyakit Saraf dalam Seminar Nasional 2007 Clinical Updates, 8

September 2007. FK UGM.

Malueka, R.G. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendikia Press

Yogyakarta.

Pusparini,2009. Hubungan antara Hipertensi dan Stroke Hemoragik pada

Pemeriksaan CT-Scan Kepala di Instalasi Radiologi RSUD

DR.Moewardi Surakarta.Skripsi UNS.

Setyopranoto,I 2008. Pendekatan Evidence-Based Medicine pada Manajemen

Stroke Perdarahan Intraserebral. CDK 165/vol.35 no.6.

http://clinicalupdates2010.files.wordpress.com/.../microsoft-word-

materi-dr-ismail.pdf

Sidharta, Priguna, 1999.Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi, cetakan

ketiga, Dian Rakyat, Jakarta.

Snell, Richard, 2007. Neuroanatomi Klinik, edisi kedua., EGC, Jakarta.

40

Page 41: Stroke Hemoragik Final

Sunardi, 2007. Computed Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic

Resonance Imaging (MRI) Pada Sistem Neurologis

41