stroke hemoragik final
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke perdarahan lebih jarang terjadi jika dibandingkan dengan stroke
iskemik (15% versus 85% di dalam sebagian besar penelitian barat), tetapi
berhubungan dengan prognosis yang secara signifikan lebih buruk di dalam
populasi Asia, kemungkinan mencerminkan tingkat penyakit pembuluh kecil
yang lebih tinggi, hipertensi, dan faktor genetik. Tingkat perdarahan PIS
(perdarahan intraserebral) dalam 30 hari 35-52% dan separuh dari kematian
tersebut terjadi dalam dua hari pertama (Broderick et al., 2007 cit Gofir,
2009).
Teori perdarahan mikroaneurisma untuk stroke perdarahan telah
mendapat sanggahan baru-baru ini, dan dipostulasikan bahwa nekrosis
fibrinoid pada arteri kecil dan arteriola yang disebabkan karena hipertensi
mungkin berakibat langsung pada perdarahan serebral (Anngiamurni, 2010).
Perdarahan dapat terjadi di dalam otak dan ruang subarachnoid karena
ruptur dari arteri atau ruptur dari aneurisma. Perdarahan intraserebral primer
disebabkan oleh hipertensi kronik yang menyebabkan vaskulopati cerebral
dengan akibat pecahnya pembuluh darah otak. Perdarahan sekunder (bukan
hipertensi) terjadi antara lain akibat anomali vaskuler kongenital, koagulopati,
tumor otak, vaskulopati non hipertensi, vaskulitis pasca stroke iskemik, obat
anti koagulan. Diperkirakan hampir 50% penyebab perdarahan intraserebral
adalah hipertensi kronik, 25 % karena anomali kongenital dan sisanya
penyebab lain (Anngiamurni, 2010).
Hipertensi adalah faktor penentu yang paling penting pada perdarahan
intraserebral dan infark serebral di mana telah diketahui berakibat pada
aterosklerosis, dengan predileksi arteri preserebral dan serebral besar. Disisi
lain, arteri serebral, intraparenkim mengalami degenerasi hialin dan nekrosis
fibrinoid yang berhubungan dengan infark lakunar dan perdarahan, tetapi
1
bukti yang ada jauh lebih lemah untuk menjelaskan hal ini dibandingkan
hubungan antara hipertensi dan aterosklerosis (Leppalla et al., 1999 cit
Anngiamurni, 2010).
Perdarahan ada yang masif, moderate, kecil, petechie. Untuk yang
masif diameternya beberapa sentimeter, yang kecil diameternya 1-2 cm
dengan volume kurang dari 20 cc, petechie berasal dari hipertensi yang sudah
lama atau perdarahan karena traumatik kortek (Anngiamurni, 2010).
Perdarahan intraserebral dan edema bisa mengganggu dan menekan
jaringan otak sekitarnya, mengakibatkan gangguan neurologis. Absorpsi dapat
terjadi dalam waktu 3-4 minggu. Lokasi perdarahan stroke hemoragik yang
paling sering: putamen dan kapsula interna (± 50% dari semua kasus stroke
hemoragik), daerah lobus (lobus temporal, parietal, frontal), talamus, pons,
serebelum. Lokasi perdarahan bisa sebagai prediktor keluaran stroke
hemoragik (Anngiamurni, 2010).
Vaskularisasi otak dibagi dua yaitu 2/3 (dua pertiga) depan kedua
belahan otak dan subkortikal mendapat darah dari sepasang arteri karotis
interna, sedangkan 1/3 (sepertiga) belakang meliputi serebelum, kortek
oksipital bagian posterior dan batang otak mendapat darah dari arteri
vertebralis (arteri basilaris) (Anngiamurni, 2010).
Arteri karotis interna mempercabangkan arteri serebri media, arteri
serebri media mempercabangkan arteri lentikulostriata, arteri ini mensuplai
daerah nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus dan kapsula interna.
Daerah-daerah tersebut di atas merupakan lokasi tersering terjadinya
perdarahan intraserebral, area-area tersebut merupakan area motorik
kontralateral pada otak (Anngiamurni, 2010)
Stroke perdarahan dapat dibagi menjadi dua subtipe yaitu perdarahan
intraserebral (PIS) dan perdarahan subarachnoid (PSA). Secara luas,
perdarahan intraserebral dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1) Perdarahan
dalam (deep hemorrhage), yang biasa terkait dengan hipertensi; dan 2)
2
Perdarahan lobar (lobar hemorrhage), yang biasa terkait dengan angipati
amiloid serebral (CAA, Cerebral Amyloid Angiopathy) (Zhan et al., 2004).
Penentuan kategori perdarahan intraserebral sangat penting secara klinis
dalam menentukan prognosis serta terapi (Labovitz &Sacco. 2001 cit Gofir,
2009). Karena terkait adanya hubungan yang kuat antara defisit klinis dengan
lokasi perdarahan (Xavier et al., 2001 cit Gofir, 2009).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Otak
1. Otak
Berdasarkan struktur dan fungsinya, sistem saraf secara garis besar
dapat dibagi dalam sistem saraf pusat (SSP) yang terdiri dari otak dan
medula spinalis dan sistem saraf perifer (SSP). Didalam sistem saraf pusat
terjadi berbagai proses analisis informasi yang masuk serta proses sintesis
dan mengintegrasikannya
Otak merupakan bagian sistem saraf pusat dimana dalam
pembagiannya digolongkan menjadi korteks serebri, ganglia basalis,
thalamus dan hypothalamus, mesenchepalon, batang otak, dan serebelum.
Secara garis besar, otak terdiri dari empat bagian besar yaitu serebrum,
serebelum, brainstem, dan diensefalon (thalamus, subtalamus, epitalamus,
dan hipotalamus). Bagian ini dilindungi oleh tiga selaput pelindung
(meningens) yaitu duramater, arachnoidea, piamater dan dilindungi oleh
tulang tengkorak (Chusid, 1993).
4
Gambar 1 Anatomi Otak
2. Sirkulasi Darah Otak
Otak merupakan organ terpenting dalam tubuh, yang membutuhkan
suplai darah yang memadai untuk nutrisi dan pembuangan sisa-sisa
metabolisme. Otak juga membutuhkan banyak oksigen. Diperkirakan
bahwa metabolisme otak menggunakan kira-kira 18% oksigen dari total
konsumsi oksigen oleh tubuh (Chusid, 1993). Pengaliran darah ke otak
dilakukan oleh dua pembuluh arteri utama yaitu oleh sepasang arteri karotis
interna dan sepasang arteria vertebralis. Keempat arteria ini terletak
didalam ruang subarakhnoid dan cabang-cabangnya beranastomosis pada
permukaan inferior otak untuk membentuk circulus willisi. Arteri carotis
interna, arteri basilaris, arteri cerebri anterior, arteri communicans
anterior, arteri cerebri posterior dan arteri comminicans posterior dan
5
arteria basilaris ikut membentuk sirkulus ini (Snell, 2007). Vaskularisasi
susunan saraf pusat sangat berkaitan dengan tingkat kegiatam
metabolisme pada bagian tertentu dan ini berkaitan dengan banyak
sedikitnya dendrit dan sinaps di daerah tersebut (Sidharta, 1995).
Menurut Chusid (1993), pokok anastomose pembuluh darah arteri
yang penting didalam jaringan otak adalah circulus willisi. Darah
mencapai circulus willisi interna dan arteri vertebralis. Sebagian
anastomose terjadi diantara cabang-cabang arteriole di circulus willisi
pada substantia alba subscortex. Arteria carotis interna berakhir pada
arteri cerebri anterior dan arteri cerebri media. Di dekat akhir arteri carotis
interna dari pembuluh arteri comunicans posterior yang bersatu kearah
caudal dengan arteri cerebri posterior. Arteri cerebri anterior saling
berhubungan melalui arteri comunicans anterior. Arteri basilaris dibentuk
dari persambungan antara arteri-arteri vertebralis. Pemberian darah ke
certex terutama melalui cabang-cabang kortikal dari arteri cerebri anterior,
arteri cerebri media dan arteri cerebri posterior, yang mencapai cortex di
dalam piamater.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah di otak, diantaranya adalah
(1) keadaan arteri, dapat menyempit karena tersumbat oleh thrombus dan
embolus, (2) keadaan darah, dapat mempengaruhi aliran darah dan suplai
oksigen, (3) keadaan jantung, bila ada kelainan dapat mengakibatkan
iskemia di otak (Chusid, 1993)
6
Gambar 2 Circulus Willisi (Chusid, 1993)
B. Stroke Hemoragik
1. Definisi Stroke Hemoragik
Definisi yang paling banyak diterima secara luas adalah bahwa
stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda
klinis yang berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional
otak fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali
ada intervensi bedah atau mebawa kematian), yang tidak disebabkan oleh
sebab lain selain penyebab vascular. Definisi ini mencakup stroke akibat
infark otak (stroke iskemik), perdarahan intraserebral (PIS) nontraumatik,
perdarahan intraventrikular dan beberapa kasus perdarahan subarachnoid
(PSA) (Warlow et al., 2007 cit Gofir, 2009).
Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang
tidak terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat menggenangi dan
7
membunuh sel-sel otak. Sekitar 20 % stroke adalah stroke hemoragik.
Stroke perdarahan dapat dibagi menjadi dua subtipe yaitu perdarahan
intraserebral (PIS) yaitu terjadinya perdarahan langsung ke jaringan otak
atau disebut juga sebagai perdarahan parenkim otak, dan perdarahan
subarachnoid (PSA) yang terjadi perdarahan di ruangan sub-arachnoid
(antara arachnoid dan piamater). Dua subtipe stroke perdarahan ini
mempunyai perbedaan etiologi, gambaran klinis, prognosis dan strategi
penanganan.
2. Etiologi Stroke Hemoragik
Stroke perdarahan intraserebral disebabkan oleh perdarahan
arterial langsung ke parenkim jaringan otak. Perdarahan intraserebral
dapat juga disebabkan oleh aneurisma, malformasi arteri-vena,
malformasi kavernosa, amiloid serebral, atau tumor.
Etiologi stroke perdarahan intraserebral adalah sebagai berikut:
a. Hipertensi Arterial
Hipertensi merupakan penyebab terbanyak perdarahan intra serebral
yaitu antara 70-90%. Pada arteri tampak degenerasi tunika media
dinding arteri yang diinduksi oleh hipertensi, nekrosis fibrinoid yang
mengakibatkan kelemahan progresif dan/atau terbentuknya
mikroaneurisma. Predileksi perubahan patologis tersebut di arteria
subkortikal dan perforating kecil, yang dapat menjelaskan lokasi
anatomik perdarahan intraserebral yang spesifik. Penyebab utama
perburukan pada penderita stroke perdarahan intraserebral adalah
terjadinya edema serebri dan nekrosis akibat iskemi global jaringan
otak dan terjadinya hidrosefalus.
b. Aneurisma Intrakranial
Perdarahan intraserebral akibat ruptur aneurisma biasanya menuju ke
ruang subarakhnoid; jarang ke ventrikel atau parenkim otak. Kurang
8
lebih 16-23% perdarahan intraserebral disebabkan karena aneurisma
pecah. Mekanisme pembentukan aneurisma dan terjadinya perdarahan
pada aneurisma masih kontroversial. Lesi ini diperkirakan akibat
kelemahan kongenital tunika muskularis arteri serebral yang
menyebabkan tunika intima membonjol dan akhirnya.merobek
membrane elastic.
c. Angiopati Amiloid Serebral
Penyebab tersering ketiga perdarahan intraserebral adalah angiopati
amiloid, yaitu sekitar 10% dari seluruh perdarahan intraserebral
spontan. Kelainan angiopati amiloid ini khas yaitu terbentuknya
deposit fibril amiloid pada tunika media dan tunika intima arteria kecil
dan sedang. Perdarahan terjadi akibat robeknya dinding pembuluh
yang lemah atau mikro-aneurisma.
d. Malformasi Arteri-venosa (MAV)
Menurut The Arteriovenous Malformation Study Group (1999),
malformasi pembuluh darah intrakranial berdasarkan jenis kelainan
patologisnya dibagi menjadi empat, yaitu; (1) Malformasi arteria-
venosa, (2) Telangiektasia kapiler, (3) Malformasi kavernosa, dan (4)
Malformasi venosa.merobek membrana elastik. Malformasi arteri-
venosa merupakan penyebab terbanyak (6-13%) perdarahan
intraserebral spontan. Kelainan ini merupakan suatu kelainan
kongenital yang terjadi pada minggu ke-4 hingga ke-8 kehidupan
embrional, menyebabkan hubungan persisten antara sistema arterial
dan vena.
3. Patofisiologi Stroke Hemoragik
Perdarahan intraserebral biasanya timbul pada ganglia basalis,
talamus, lobus serebri, batang otak dan serebelum. Kerusakan jaringan
primer dan distorsi terjadi saat pembentukan hematom pada waktu darah
menyebar diantara celah substansia alba. Perdarahan umumnya timbul
9
akibat rupturnya arteri kecil oleh efek degeneratif dan hipertensi kronik.
Vaskulopati pada hipertensi kronik mengenai arteri perforantes yang
berdiameter 100 – 400 µm, kemudian mengakibatkan terjadinya
lipohialinosis atau nekrosis fokal. Hal ini dapat menjelaskan distribusi
perdarahan hipertensif pada teritori yang mendapat suplai dari arteri
lentikulostriata (ganglia basalis), arteri talamo perforantes (talamus), rami
perforantes dari arteri basilaris (pons) dan arteri serebelaris anterior
inferior dan anterior superior (serebelum).
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat
berlanjut sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besar akan merusak
struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik. Menurut Cushing
bahwa brain injury oleh karena perdarahan spontan intraserebri
diakibatkan oleh tekanan lokal yang menekan mikrosirkulasi dan
menyebabkan iskemia di sekeliling hematom.
Produk darah dan plasma merupakan mediator dari berbagai
proses sekunder yang terjadi setelah perdarahan spontan intraserebri.
Setelah perdarahan spontan intraserebri, mediator inflamasi dari darah
dapat menginduksi reaksi inflamasi pada hematom dan daerah sekitarnya,
dapat ditemukan neutrofil, makrofag, leukosit, dan mikroglia aktif.
Pelepasan enzim sitotoksik, radikal bebas, nitrid oksida dan produk
kaskade fosfolipid diduga berperan pada secondary neural injury dan
kematian sel. Disebutkan pula mengenai peranan nekrosis dan apoptosis
pada kematian neuron. Proses pembentukan edema perihematom berawal
segera setelah onset PIS, umumnya dalam 3 jam, dan meningkat secara
bertahap dalam sekurangnya 72 jam. Beberapa mekanisme dalam sekuens
yang berperan dalam pembentukan edema antara lain: fase pertama
ditandai dengan retraksi clot dan ekstrusi serum; fase kedua (dalam 2 hari
pertama) terjadi aktivasi kaskade koagulasi dan produksi trombin; serta
fase terakhir (3 hari setelah onset) terjadi suatu lisis sel darah merah dan
10
kerusakan neuron yang diinduksi oleh hemoglobin. Peran sentral trombin
dalam meningkatkan edema perihematom telah dilaporkan dalam
sejumlah penelitian baik dalam percobaan maupun pada PIS manusia, dan
didapat data adanya penurunan pembentukan edema setelah pemberian
trombin inhibitor. Efek merusak dari trombin pada jaringan perihematom
diperantarai oleh inflamasi, sitotoksisitas dan kerusakan sawar darah otak.
Petanda molekular yang berhubungan dengan peningkatan edema
perihematom meliputi peningkatan glutamat, tumor necrosis factor-α,
interleukin-1, dan intercellular adhesion molecule-1, tetapi hanya kadar
tumor necrosis factor-α yang tidak tergantung dengan volume edema
perihematom.
Kadar glutamat serum yang tinggi berhubungan dengan outcome
neurologis yang buruk setelah PIS. Pemecahan hematom meliputi invasi
makrofag, progresi edema sekitar, pembentukan microvessel pada tepi
klot dan kadangkala gliosis. Hasil akhir adalah jaringan parut yang
ditandai dengan hemosiderin atau kavitas yang mengandung darah lama
yang dikelilingi jaringan ikat.
Gejala neurologis yang timbul karena ekstravasasi darah ke
jaringan otak sehingga menyebabkan nekrosis. Pada saat awal mungkin
darah hanya akan mendesak jaringan otak tanpa merusaknya, karena saat
itu difusi darah ke jaringan belum terjadi. Perdarahan intraserebral dan
edema bisa mengganggu dan menekan jaringan otak sekitarnya,
mengakibatkan gangguan neurologis. Absorpsi dapat terjadi dalam waktu
3-4 minggu.
Proses kematian sel otak akibat iskemia melalui 2 proses yaitu
nekrosis dan apoptosis. Kematian akibat nekrosis ditandai dengan adanya
edema sitoplasma dan pembengkakan sel, kerusakan sitoskeleton dan
ruptur membran sel dan organela. Tanda-tanda inflamasi nyata didapatkan
pada nekrosis sel. Kematian sel pada proses apoptosis bersifat aktif dan
11
didapatkan ekspresi protein baru. Energi sel normal sampai tahap final
kematian sel, penurunan energi sel terjadi lambat akibat sekunder dari
apoptosis. Aktifasi endonuklease menyebabkan pemecahan ikatan ganda
DNA, terbentuk fragmentasi DNA, dan kondensasi kromatin. Sel menjadi
mengkerut dan terbentuk tonjolan-tonjolan membran. Tonjolan membran
bertambah besar dan terpisah dari sel membentuk apoptotic bodies, yang
kemudian mengalami lisis dan mengalami proses fagositosis. Proses
apoptosis ini terjadi dalam beberapa hari. Pada apoptosis tidak didapatkan
inflamasi atau hanya terdapat inflamasi ringan.
Mekanisme kematian neuron pada stroke dapat ditinjau dari
aspek biomolekuler. Pada stroke perdarahan, kematian neuron terjadi
karena tiga hal berikut:
a. Efek toksik darah. Eritrosit dapat menyebabkan kematian sel-sel
neuron
b. Peningatan TIK yang berakibat iskemia global karena penekanan
pembuluh drah di seluruh otak. Mekanismenya sama sepeti pada stroke
iskemia
c. Pelepasan agen vasokonstriktor seperti serotonin, prostaglandin, dan
darah yang mengakibatkan terjadinya iskemia fokal dan akhirnya
kematian neuron
4. Diagnosis Stroke Hemoragik
a. Diagnosis klinik
Gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya
gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Manifestasi klinis stroke
akut dapat berupa (Gofir, A. 2009):
Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis)
yang timbul mendadak.
12
Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan
(gangguan hemiparesis)
Perubahan mendadak status mental (somnolen. delirium, letargi,
stupor, atau, koma).
Afasia (bicara tidak lancer, kurangnya ucapan, atau kesulitan
memahami ucapan)
Disartria (bicara pelo atau cedal)
Gangguan penglihatan (hemianopia atau monokuler) atau diplopia
Ataksia (trunkal atau anggota badan).
Vertigo, mual, muntah, atau nyeri kepala
Gambaran klasik stroke perdarahan intraserebral adalah
munculnya (onset) secara tiba-tiba defisit neurologik yang progresif dari
beberapa menit sampai beberapa jam yang disertai dengan nyeri kepala
yang hebat, mual, muntah, penurunan kesadaran dan peningkatan tekanan
darah. Kurang lebih 80% pasien perdarahan intraserebral mempunyai
faktor risiko hipertensi. Pemeriksaan CT Scan otak/kepala merupakan
gold standard untuk membedakan apakah stroke perdarahan intraserebral
atau stroke infark. Pada orang tua perdarahan sering terjadi akibat
angiopati amiloid. Stroke perdarahan intraserebral menyebabkan
kerusakan melalui dua cara yaitu; (1) Kerusakan otak yang terjadi pada
saat perdarahan, terutama pada kasus dengan perdarahan yang meluas ke
medial dan talamus serta ganglia basalis, dan (2) Hematoma yang
membelah korona radiata menyebabkan penekanan serta gangguan
fungsi neurologis yang mungkin reversibel.
1) Perdarahan intraserebral (PIS)
Perdarahan intraserebral terjadi di dalam substansi atau
parenkim otak (di dalam piamater) Penyebab utamanya adalah
hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol. Penyebab lain yaitu
malformasi arteriovenosa (AVM), angioma cavernosa, alkoholisme,
13
diskrasia darah, terapi anti-koagulan.. dan angiopati (Caplan, 2007 cit
Gofir, A. 2009).
Pada perdarahan jenis ini arteri yang berfungsi
memvaskularisasi otak ruptur, sehingga akan menyebabkan kebocoran
darah ke otak, dan kadang menyebabkan otak tertekan karena adanya
penambahan volume cairan. Pada organ dengan hipertensi kronis
terjadi proses degenaratif pada otot dan unsure elastic dari dinding
arteri. Perubahan degeneratif ini dan ditambah dengan beban tekanan
darah tinggi, dapat membentuk penggembungan-penggembungan kecil
setempat disebut aneurisma Cahrcot-bouchard. Aneurisma ini
merupakan suatu lokus minoris resisten (LMR). Pada lonjakan tekanan
darah sistemik, misalnya sewaktu marah, saat aktivitas yang
mengeluarkan tenaga banyak, mengejan, dapat menyebabkan
pecahnya LMR ini. Oleh karena itu, stroke hemoragik dikenal juga
sebagai “stress stroke” (Warlow et al., 2007).
Tabel 1 Evaluasi Diagnosis Stroke Berdasarkan Pemeriksaan
Klinis
14
Gejala Klinis Perdarahan
Intraserebral (PIS)
Perdarahan
Subarachnoid
(PSA)
Stroke
NonHemoragik
(SNH)
Gejala deficit
fokal
Awitan (onset)
Nyeri kepala
Muntah pada
awalnya
Hipertensi
Kaku kuduk
Kesadaran
Hemiparesis
Deviasi mata
Likuor
Berat
Menit/jam
Hebat
Sering
Hampir selalu
Jarang
Biasa hilang
Sering sejak awal
Bisa ada
Sering berdarah
Ringan
1-2 menit
Sangat hebat
Sering
Biasanya tidak
Biasa ada
Biasa hilang
sebentar
Awal tidak
ada
Jarang
Berdarah
Berat/Ringan
Pelan (jam/hari)
Ringan/tidak ada
Tidak, kecuali lesi
di batang otak
Sering
Tidak ada
Dapat hilang
Sering sejak awal
Mungkin ada
Jernih
(Gofir, 2009)
2) Perdarahan subarachnoid (PSA)
Penyebab tersering dari perdarahan ini adalah rupturnya
aneurisma arterial yang terletak di dasar otak dan perdarahan dari
malformasi vascular yang terletak dekat dengan permukaan piamater.
Penyebab yang lain dapat berupa perdarahan diatesis, trauma,
angiopati amiloid, dan penggunaan obat. Pecahnya aneurisma ini
menyebabkan perdarahan yang akan langsung berhubungan dengan
LCS, sehingga secara cepat dapat menyebabkan peningkatan TIK. Jika
perdarahan berlanjut dapat mengarah ke koma yang dalam maupun
kematian. Perdarahan subarachnoid yang bukan karena aneurisma
15
sering berkembang dalam waktu yang lama (Caplan, 2007 cit Gofir,
2009)
Aneurisma yang menjadi sumber PSA dan PIS mempunyai
perbedaan letak dan ukuran. Pada PIS aneurisma sering muncul pada
arteri-arteri di dalam parenkim otak dan dan aneurisma ini kecil.
Sedangkan aneurisma pada perdarahan subarachnoid muncul dari
arteri-arteri di luar parenkim dan aneurisma ini mempunyai ukuran
lebih besar (Warlow et al.,2007. cit Gofir, 2009 ).
Tabel 2 Derajat Perdarahan Subarachnoid
Derajat Perdarahan Subarachnoid menurut Hunt-Hess
Derajat Manifesatasi Klinis
1 Asimtomatik atau nyeri kepala dan
kaku kuduk yang ringan
2 Nyeri kepala yang sedang sampai
berat, kaku kuduk dan tidak ada
defisit neurologis kecuali pada saraf
cranial
3 Bingung, penurunan kesadaran, defisit
fokal ringan
4 Stupor, hemiparesis ringan sampai
dengan berat, deserebrasi,gangguan
fungsi vegetative
5 Koma dalam, deserebrasi, moribound
appearance
(Gofir, A. 2009)
Berdasarkan presentasi klinis pasien, The World Federation of
Neurological Surgeons (WFNS) (Suarez et al., 2006). Telah menyusun
sistem klasifikasi PSA karena aneurisma. Sistem yang membagi
pasien PSA berdasarkan derajat kegawatannya ini mempunyai
16
implikasi terhadap prognosis pasien. Sistem klasifikasi PSA WFNS ini
adalah sebagai berikut (derajat 1 prognosisnya paling baik, derajat 5
terjelek; GCS= Glasgow Coma Score); defisit didefinisikan disini
sebagai hemiparesis atau afasia.
Derajat 1 GCS = 15, tidak ada defisit lokal
Derajat 2 GCS= 13-14, tidak ada defisit lokal
Derajat 3 GCS= 13-14, ada defisit lokal
Derajat 4 GCS= 7-12, dengan atau tanpa defisit
Derajat 5 GCS = <7, dengan atau tanpa defisit
Klasifikasi ini lebih baik dari skala perdarahan subarachnoid
dari Hunt dan Hess karena didasarkan pada skor GCS, yang
merupakan cara yang dipakai secara universal untuk mengevaluasi
tingkat kesadaran, dan adanya tanda-tanda defisit neurologik fokal.
Selain itu adanya darah yang terlihat di CT scan dapat dijadikan
sebagai dasar klasifikasi dan penentuan prognosis (Suarez et al., 2006
cit Gofir, 2009).
Tabel 3 Derajat Perdarahan Subarachnoid menurut Klinis dan
Radiologis
17
Derajat PSA menurut Klinis dan RadiologisDerajat Klinis menurut WFNS* Derajat menurut CT Scan Kepala
Derajat GCS** Klinis Derajat SAH*** IVH****1 15 Defisit motorik (-) 0 (-) (-)
2 13-14 Defisit motorik (-) 1 Minimal (-) pada kedua ventrikel lateral
3 13-14 Defisit motorik (+) 2 Minimal (+) pada kedua
ventrikel lateral
4 7-12 Defisit motorik (+/-) 3 Tebal/banyak (-) pada kedua
ventrikel lateral
5 3-6 Defisit motorik (+/-) 4 Tebal/banyak (+) pada kedua
ventrikel lateral
*WFNS : World Federationof Neurosurgical Surgeons
**GCS : Glasgow Coma Scale
***SAH : Dinilai dari pengisian darah pada 1 atau lebih sisterna atau fissura
****IVH : Intraventricular Hemorrhage
(Suarez et al., 2006 cit Gofir, A. 2009)
b. Jenis patologi stroke
Stroke didiagnosis berdasarkan hasil anamnesis dan
pemeriksaan fisik-neurologis. Lamsuddin (2007) telah membuat suatu
algoritma Gadjah Mada yang dapat dipakai untuk membedakan stroke
perdarahan intraserebral dengan stroke infark. Sensitivitas algoritma
tersebut sebesar 95 %.
Diagnosis baku emas (gold standar) adalah dengan
menggunakan CT Scan atau MRI yang jumlahnya masih sangat
terbatas di Indonesia. CT Scan merupakan pemeriksaan baku emas
untuk membedakan infark dengan perdarahan. Resonansi magnetic
(MRI) lebih sensitif dari CT Scan dengan mendeteksi infark cerebri
dini dan infark batang otak.
18
(Lamsudin,1997 cit Gofir, 2007)
Gambar 3 Algoritma Stroke Gadjah mada
c. Deteksi faktor-faktor risiko
Pada saat awal serangan stroke, selain menegakkan diagnosis
untuk menentukan terapi stroke, pelacakan faktor-faktor risiko juga
penting untuk prevensi primer sebagai pencegahan perburukan stroke
maupun prevensi sekunder untuk mencegah stroke ulangan.
Deteksi dini pelacakan etiologi dan faktor risiko stroke
perdarahan dengan melakukan tindakan berikut ini (Bhattahiri et.al.,
2003).
1) Darah lengkap Completed Blood Count (CBC) with platelet
2) Prothrombin Time (PT) / Activated Partial Thromboplastin Time
(aPTT) untuk mengidentifikasi adanya koagulopatiElektrolit dan
osmolaritas
3) Skrining toksikologi dan alkohol serum
19
4) Skrining hematologis, infeksi, dan etiologi vaskulitis
5) CT Scan
6) MRI
7) Vessel imaging
a. CT angiography : AVMs, Vasculitis, dan arteriopati
lainnya
b. Magnetic Resonance angiography (MRA)
Peran CT Scan sebagai Gold Standar Diagnostik Stroke
Hemoragik
Computed Tomography Scan (CT-Scan) merupakan
pemeriksaan radiologi yang mutakhir, tidak berbahaya, dapat cepat
dikerjakan, non invasif dan banyak memberikan informasi yang dapat
diandalkan (Mardjono dan Sidharta, 1997). Computed Tomographic
Scan (CT-Scan) bukan merupakan foto langsung dari jaringan otak,
akan tetapi merupakan rekonstruksi matematis dari jaringan otak. CT
scan adalah pemeriksaan imaging terhadap otak, potongan aksial dari
basis cranii sampai vertex.
CT scan merupakan pemeriksaan pertama yang dilakukan
untuk mengevaluasi stroke, terutama pada fase akut di ruang UGD. CT
scan dapat menunjukkan; jaringan lunak, tulang, otak dan pembuluh
darah. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan area otak yang abnormal,
dan dapat menentukan penyebab stroke, apakah karena insufisiensi
aliran darah (stroke iskemik), ruptur pembuluh darah (hemoragik) atau
penyebab lainnya. CT scan juga dapat memperlihatkan ukuran dan
lokasi otak yang abnormal akibat tumor, kelainan pembuluh darah,
pembekuan darah, dan masalah lainnya.
CT–Scan sangat handal untuk mendeteksi perdarahan
intrakranium, tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik
20
ringan, terutama pada tahap paling awal (Sunardi, 2007). CT-Scan
dilaksanakan dalam dua fase yaitu pengumpulan data (sinar-X
ditangkap kembali oleh suatu detektor radiasi) dan pengolahan data
dari pembacaan detektor tadi sehingga akhirnya akan diperoleh nilai-
nilai absorbsi sinar-X bagi masing-masing elemen jaringan, kemudian
dijabarkan pada masing-masing picture element (Pusparini, 2009).
Dalam pelaksanaan CT scan kepala ada beberapa garis
penting yang harus diketahui, yaitu (Malueka, 2008):
a. Orbitomeatal line (radiographic base line)
Ini garis yang menghubungkan bagian terluar canthus mata
(exocanthion) ke meatus acusticus externus
b. Infraorbitomeatal line (Reid’s base line atau Francfurt line)
Garis infraorbital ini juga dikenal sebagai “anthropological
base line” garis yang menghubungkan margo infraorbital ke
batas paling atas meatus acusticus externus.
Densitas lesi dapat dibagi atas (pada window level normal):
a. High density (hiperdens). Bila densitas lesi lebih tinggi
daripada jaringan normal sekitar
b. Isodensity (isodens). Bila densitas lesi sama dengan jaringan
sekitar.
c. Low density (hipodens) memperlihatkan gambaran CT scan
dengan nilai absorbsi yang rendah seperti pada infark.
Pada stroke hemoragik, tampak daerah hiperdens karena
terjadinya konsolidasi di ruang interstisial, yang kadang disertai
tekanan ke daerah sekitarnya ke arah kontralateral (Malueka, 2008) .
a. Hematom intrakranial: hiperdens, setelah satu minggu
densitasnya semakin meningkat.
21
b. Hematom subdural: hiperdens atau isodens, lalu densitasnya
turun. Jika kronis aka nada subtabule dan mendesak serebrum
(mass effect).
c. Hematom epidural: hiperdens kemudian densitasnya menurun,
bentuk konveks, subtabule, dan ada mass effect.
Pada gambaran stroke akut akan tampak pengaburan daerah
kapsula interna, hilangnya batas-batas dari insular ribbon cortex,
hilangnya batas antara substansia alba dan substansia grisea,
hilangnya daerah sulci dan hyperdens artery sign (Malueka, 2008).
CT scan memiliki keterbatasan. Perdarahan intraserebri yang
akan disalahartikan sebagai stroke iskemik jika CT scan tidak
dilakukan dalam 10-14 hari setelah stroke. Namun demikian, CT
scan diketahui sebagai pendeteksi imaging yang paling mudah, cepat
dan relatif murah untuk kasus stroke. Bila ada tanda-tanda stroke
hemoragik maka pemeriksaan selesai sampai tahap ini (CT scan).
Tetapi jika CT scan normal atau tidak ada tanda-tanda akut infark
maka pemeriksaan dilanjutkan dengan MRI (Sunardi, 2007).
22
23
Gambar 4 CT Scan memperlihatkan Struktur Otak Normal
24
Axial noncontrast computed tomography scan of the brain in a 60-year-old male
with history of acute onset of left-sided weakness demonstrates 2 areas of
intracerebral hemorrhage in the right lentiform nucleus with surrounding edema
and effacement of the adjacent cortical sulci and right sylvian fissure. Mass effect is
present upon the frontal horn of the right lateral ventricle with intraventricular
extension of the hemorrhage.
Gambar 5 CT Scan Stroke Hemoragik Intraserebral (PIS)
25
Gambar 6 CT Scan Stroke Perdarahan Subarachnoid
Foto CT Scan kepala tanpa kontras menunjukkan adanya
hemoragik subarachnoid akut ekstensif. Perhatikan gambaran darah
(hiperdens) yang tebal pada fissura interhemisferik anterior, fissura
sylvian bilateral, basal cisterns, ventrikel dan sulcus kortikal dan
intraventrikular ekstensif haemoragik. Seharusnya gambaran CSF
(Cerebro Spinal Fluid) berwarna hitam, tetapi pada kasus ini seluruh
ruang pada CSF berwarna putih (hiperdens), dikarenakan adanya
perdarahan.
5. Penatalaksanaan Stroke Hemoragik
Pendekatan manajemen stroke perdarahan intraserebral masih
kontroversial antara non pembedahan dengan pembedahan. Dibutuhkan
penelitian yang lebih baik sebagai dasar penyusunan guideline terkini.
Terdapat beberapa pendekatan terapi yang bersifat emergensi.
a. Penanganan Awal di Ruang Gawat Darurat
26
Berupa tindakan basic life support yang meliputi tindakan air-
way, breathing, dan circulation, serta mengidentifikasi adanya defisit
neurologik fokal. Pemeriksaan lengkap harus dilakukan terutama
pada pasien dengan penurunan kesadaran yang diduga akibat stroke
perdarahan intraserebral.
Airway dan oksigenasi : Walaupun tidak selalu perlu intubasi,
persiapan airway dan ventilasi yang adekuat sangat penting. Pada
pasien stroke perdarahan intraserebral dengan kesadaran menurun
atau tanda-tanda disfungsi batang otak harus segera dilakukan
tindakan airway. Intubasi harus dilakukan secara hati-hati dan
mengikuti prosedur yang berlaku jika didapatkan insufisiensi
respirasi/ventilasi yang menyebabkan hipoksi (pO2 < 60 mmHg atau
pCO2 >50 mmHg) atau secara nyata didapatkan risiko aspirasi
dengan atau tanpa gangguan oksigenasi arterial.
Jika tingkat kesadaran mengalami penurunan (skor GCS <9),
intubasi diperlukan. Pengaturan ventilator harus disesuaikan untuk
mempertahankan normoapnia (PaCO2 35 hingga 45 mmHg) kecuali
ada kecurigaan peeningkatan tekanan intrakranial (TIK). Jika
peningkatan TIK dicurigai atau pasien menunjukkan tanda-tanda
herniasi (koma, dilatasi pupil unilateral, third nerve palsy),
hperventilasi (paCo2 sekitar 30 mmHg) harus dipastikan hingga terapi
defintif dapat dilakukan. Sebagai tambahan untuk hiperventilasi,
pasien dengan dugaan herniasi harus mendapatkan terapi dengan
manitol (1 g/kg IV bolus). Manfaat yang cepat dari manitol dapat
diperkuat dengan furosemid (10 hingga 120 mg IV) (Johnson et al.,
2002 cit Gofir, A. 2009.).
Sebelum intubasi dilakukan preoksigenasi maksimal dan
pemberian obat-obatan misalnya atropin, thiopental, midazolam,
propofol, dan suksinilkholin untuk menghindari terjadinya refleks
27
aritmia dan/atau ketidakstabilan tekanan darah. Tingkat kesadaran
dimonitor dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Pencegahan aspirasi
harus selalu dilakukan dengan tuba endotrakheal, tuba nasogastrik
atau orogastrik dan dipantau dengan manset tekanan (cuff pressure)
setiap 6 jam. Tuba endotrakheal dengan manset lunak umumnya
dipakai kurang dari 2 minggu. Jika setelah 2 minggu penurunan
kesadaran masih berlanjut atau terjadi komplikasi pulmonal, maka
harus dilakukan trakheostomi elektif. Oksigen harus diberikan pada
semua pasien perdarahan intraserebral dengan penurunan kesadaran.
b. Penanganan Medikamentosa
Ada beberapa penelitian pemberian medikamentosa pada stroke
perdarahan intraserebral, seperti penggunaan steroid vs. plasebo,
hemodilusi vs. terapi medis standar , dan gliserol vs. plasebo. Tidak
satupun yang hasilnya bermakna secara statistik. Bahkan pasien yang
mendapatkan terapi steroid lebih banyak mengalami komplikasi
infeksi dibandingkan pasien dengan placebo.
1) Manajemen hipertensi
Tekanan darah optimal pada pasien stroke perdarahan
intraserebral bersifat individual dan berhubungan dengan apakah
pasien sebelumnya menderita hipertensi kronik, tekanan
intrakranial, umur, etiologi perdarahan, dan jendela terapi.
Secara umum direkomendasikan agar tekanan darah yang
meningkat diturunkan secara lebih progresif dengan terapi
antihipertensi yang berefek cepat dibandingkan dengan pada
stroke iskemik.
Secara teoritis tekanan darah yang lebih rendah
menurunkan risiko ruptur arteri kecil dan arteriola. Suatu
penelitian observasional prospektif tentang bertambahnya
volume perdarahan intraserebral memperlihatkan tidak ada
28
hubungan antara tekanan darah sebelum serangan stroke dengan
bertambahnya volume darah setelah serangan, tetapi
berhubungan dengan saat pemberian antihipertensi.
Sebaliknya pemberian antihipertensi yang sangat cepat
menurunkan tekanan darah dapat menurunkan perfusi serebral
dan secara teoritis akan memperparah cedera otak, terutama
dalam keadaan tekanan intrakranial tinggi.
Untuk menengahi kedua teori tersebut, Broderick et al.,
(1999) merekomendasikan bahwa tekanan darah harus
diturunkan jika mean arterial blood pressure (MAP) >130
mmHg, walaupun bukti klinik yang mendukungnya sangat lemah
(level of evidence V grade C recommendation). Pada pasien
dengan peningkatan tekanan intrakranial yang terpantau dengan
monitor tekanan intrakranial, tekanan perfusi serebral (MAP–
ICP) harus dipertahankan sebesar >70 mmHg (LoE V, grade C).
(Setyopranoto, 2008)
Tabel 4. Obat intravena yang dapat dipertimbangkan untuk
mengendalikan tekanan darah pada pasien dengan
perdarahan intraserebral spontan
Obat Dosis bolus intravena
Kecepatan infus kontinyu
Labetolol 5-20 mg setiap 15 menit
2 mg/ menit (maksimum 300 mg/hari)
Nicardipine 5-15 mg/jamEsmolol 250 µg/kg IVP
loading dose25-300 µg kg -1 menit-
1
Enalapril 1,25-5 mg IVP setiap 6 jam *
Hydralazine 5-20 mg IVP setiap 30 menit
1,5-5 µg kg -1 menit -1
Nipridine 0,1-10 µg kg-1 menit-1
Nitroglycerin 20-400 µg/menitIVP= intravenous push
29
*karena risiko penurunan tekanan darah yang mendadak, dosis uji
enalapril pertama kali seharusnya 0,625 mg.
Nitroprusid secara umum sering digunakan untuk
hipertensi maligna, obat tersebut merupakan vasodilator; teoritis
dapat meningkatkan aliran darah otak sehingga dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Hal tersebut mungkin tidak
menguntungkan tetapi belum ada laporan penelitian yang
mendukung teori tersebut.
Algoritma pemberian antihipertensi pada pasien dengan
stroke perdarahan intraserebral yang sudah dimodifikasi (LoE V,
grade C)
1. Jika tekanan darah sistolik >230 mmHg atau diastolik
>140 mmHg dalam dua kali pemeriksaan selama selang
waktu 5 menit maka diberi terapi nitroprusid.
2. Jika tekanan darah sistolik antara 180-230 mmHg dan
diastolik antara 105-140 mmHg, atau MAP >130 mmHg
dalam dua kali pemeriksaan selama selang waktu 20
menit, maka diberi terapi labetalol intravena, esmolol,
enalapril, atau diltiazem intravena, lisinopril, atau
verapamil.
3. Jika tekanan darah sistolik <180 mmHg dan diastolik <105
mmHg, pemberian obat antihipertensi harus ditunda.
Pilihan obat antihipertensi tergantung kondisi pasien,
misalnya hindari pemberian labetalol pada pasien asma
bronkial.
4. Jika monitor tekanan intrakranial tersedia, maka tekanan
perfusi serebral harus dipertahankan pada >70 mmHg.
Penurunan Tekanan Darah :
30
Pendekatan pertama pada pasien dengan penurunan tekanan
darah adalah penambahan cairan, yaitu cairan salin isotonik atau
koloid; dilakukan monitoring tekanan vena sentral atau tekanan
arteri pulmonal. Jika setelah koreksi penambahan cairan, tekanan
darah tetap tidak berubah, pemberian infus kontinu harus
dilakukan terutama jika tekanan darah sistolik <90 mmHg
dengan penambahan fenileprin, dopamine, atau norepinefrin
b) Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial
Peningkatan tekanan intrakranial merupakan penyebab
utama tingginya mortalitas pada stroke perdarahan intraserebral,
sehingga pemantauan dan penanganan yang tepat terhadap
peningkatan tekanan intrakranial dapat menurunkan mortalitas,
berupa osmoterapi, hiperventilasi, dan pemberian barbiturat.
Peningkatan tekanan intrakranial terjadi jika tekanan intrakranial
> 20 mmHg selama > 5 menit. Tekanan intrakranial hendaknya
dipertahankan < 20 mmHg dan tekanan perfusi serebral >70
mmHg. Pasien yang diduga mengalami peningkatan tekanan
intrakranial dan penurunan kesadaran harus diawasi dengan alat
monitor (invasive ICP monitoring); dilakukan jika nilai GCS < 9
(LoE V, grade C). Monitoring nilai GCS juga harus dilakukan
(Setyopranoto, 2008).
Pemeriksaan CT Scan kepala juga harus dilakukan
untuk melihat adanya efek massa dan hidrosefalus akibat
perdarahan.Efek massa karena penambahan volume intrakranial
akibat perdarahan dan terjadinya hidrosefalus sekunder
merupakan penyebab utama peningkatan tekanan intrakranial.
Drainase ventrikel harus dilakukan pada pasien yang mempunyai
risiko hidrosefalus. Drainase ventrikel ini diberikan dan
dihentikan tergantung gambaran klinik dan nilai tekanan
31
intrakranial; karena risiko infeksi tinggi maka pengawasan harus
terus menerus dan tidak boleh melebihi 7 hari (LoE V, grade C).
Manajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial dapat
diuraikan sebagai berikut (Setyopranoto, 2008).:
1) Osmoterapi
Yang pertama kali harus diberikan; walaupun
tindakan profilaksis tidak dianjurkan. Manitol 20% (0.25-
0.5 g/kg tiap 4 jam) harus diberikan jika didapatkan
peningkatan tekanan intrakranial yang progresif dan terjadi
penurunan kesadaran akibat efek massa (LoE V, grade C).
Untuk mencegah rebound phenomenon, pemberian manitol
direkomendasikan tidak boleh lebih dari 5 hari. Untuk
menurunkan tekanan osmotik dapat diberikan furosemid
(10 mg injeksi selama 2–8 jam), dapat bersama-sama
dengan manitol. Osmolalitas darah harus diperiksa dua kali
setiap hari dengan target < 310 mOsm/L
Manitol adalah suatu obat osmotik intravascular
yang dapat menarik cairan dari jaringan otak yang
mengalami edema dan yang non-edema. Selain itu, manitol
meningkatkan pre-load jantung, dengan demikian
menurunkan ICP melalui mekanisme autoregulasi serebral.
(Broderick et al., 2007). Manitol efektif dalam mengurangi
tekanan intrakranial, menyebabkan peningkatan CPP.
Manitol memilki mekanisme kerja yang kompleks.
Penurunan pembentukan CSF, penurunan viskositas darah
dan berkurangnya volume jaringan otak semuanya
memberikan kontribusi terhadap penurunan tekanan
intrakranial. Manitol adalah scavenger radikal bebas yang
bermanfaat dalam otak iskemik. Seharusnya diberikan
32
sebagai bolus intermiten 0,25 g/kg sebagai dosis yang
minimal untuk mengendalikan kenaikan tekanan
intrakranial. Selama pemberian manitol, penting untuk
mengawasi balans cairan dan elektrolit karena risiko
hiperosmolaritas dan pergeseran cairan yang cepat.
2) Jangan diberi Steroid
Pemberian kortikosteroid pada stroke perdarahan
intraserebral harus dihindari, karena dapat menyebabkan
berbagai efek samping yang tidak menguntungkan (LoE II,
grade B).
3) Hiperventilasi
Hipokarbia akan menyebabkan vasokonstriksi
serebral. Penurunan aliran darah otak dapat terjadi secara
cepat; puncak penurunan tekanan intrakranial mungkin
terjadi kurang dari 30 menit setelah perubahan pCO2.
Kondisi pasien membaik jika penurunan pCO2
sampai 25–30 mmHg, tidal volume 12–14 mL/kg, tekanan
intrakranial turun 25-30% (LoE III through V, grade C).
Pasien dengan peningkatan tekanan intracranial
mempunyai prognosis buruk jika manajemen hiperventilasi
gagal.
4) Relaksasi Otot
Pemberian obat-obat berefek paralisis neuromuskular
dikombinasikan dengan sedasi yang adekuat dapat
mengurangi peningkatan tekanan intrakranial karena dapat
mencegah peningkatan tekanan intratorakal dan tekanan
vena akibat batuk, ketegangan, penyedotan (suctioning)
pada ventilator (LoE III through V, grade C). Obat-obat
nondepolarisasi misalnya venkuronium atau pankuronium,
33
pembebas histamin dan obat yang berefek blokade
ganglion lebih baik diberikan pada situasi peningkatan
tekanan intrakranial (LoE III through V, grade C).
Pasien dengan kegawatan akibat peningkatan tekanan
intrakranial harus diberi premedikasi dengan bolus obat-
obat relaksasi otot sebelum airway suctioning; dalam
kondisi emergensi pemberian lidokain perlu
dipertimbangkan.
c) Pencegahan kejang
Kejang merupakan akibat cedera neuronal dan penurunan
stabilitas pada pasien yang memburuk karena kondisi sistemik.
Kejadian kejang non konvulsif < 10% pada pasien koma yang
dirawat di ruang neurointensif. Pada pasien stroke perdarahan
intraserebral, profilaksis antiepilepsi misalnya fenitoin dengan
dosis titrasi 14-23 mg/mL dapat diberikan selama 1 bulan, jika
tidak ada kejang diturunkan kemudian dihentikan. ( LoE V,
grade C).
d) Manajemen demam
Suhu tubuh harus dipertahankan normal, parasetamol 650
mg atau kompres dingin harus diberikan jika suhu >38.5° C.
Pada pasien demam atau infeksi, dapat dilakukan kultur darah,
trakhea, dan urin, selanjutnya dapat diberikan antibiotik yang
sesuai. Pada pasien dengan kateter intraventrikuler, harus
dilakukan analisis cairan serebrospinal untuk deteksi dini infeksi
intrakranial.
Antiperdarahan
Pembesaran hematom terjadi pada 38% pasien perdarahan
intraserebral dalam 24 jam pertama sejak onset stroke. Hal ini
34
dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan outcome yang
buruk. Oleh karena itu mencegah perdarahan yang meluas adalah
tujuan pokok dalam terapi PIS. Sejak lama berbagai obat dicoba
untuk menghentikan perluasan hematom. Salah satunya adalah
recombinant activated factor VII (rFVIIa). Semula obat ini
digunakan untuk terapi perdarahan atau pencegahan perdarahan
selama tindakan invasif pada pasien-pasien hemofilia kongenital
dengan inhibitor terhadap faktor koagulasi VII dan IX dan untuk
gejala perdarahan pasien karier hemofilia dan defisiensi
congenital factor VII. Penggunaannya pada pasien stroke
perdarahan dengan sistem koagulasi normal masih terbilang
baru. Walaupun gagal memperlihatkan manfaat secara klinis
pada penelitian awal, rFVIIa ternyata mempunyai kemampuan
membatasi pembesaran hematom dengan hanya meningkatkan
secara ringan risiko trombosis arterial (Tuhrim, 2008).
c. Pembedahan
Tujuan utama tindakan pembedahan pada perdarahan
intraserebral adalah mengambil bekuan darah. Jika mungkin juga
untuk mengidentifikasi penyebab perdarahan, misalnya malformasi
arteri-vena. Selain itu juga untuk mencegah komplikasi, misalnya
hidrosefalus dan efek massa akibat bertambahnya volume intracranial
(Setyopranoto, 2008)..
Tindakan tanpa pembedahan (Setyopranoto, 2008).
1. Pasien dengan perdarahan kecil (< 10 cm3) atau defisit
neurologik yang minimal (LoE II through V, grade B).
2. Pasien dengan skor GCS < 4 (LoE II through V, grade B). Pada
perdarahan serebelum dengan penekanan pada batang otak,
35
pembedahan merupakan tindakan lifesaving karena
kegawatannya.
Tindakan Pembedahan (Setyopranoto, 2008).
1. Pada pasien stroke perdarahan serebelum > 3 cm dengan
deteriorasi neurologik karena kompresi batang otak dan
hidrosefalus karena obstruksi ventrikel harus dilakukan tindakan
pembersihan bekuan darah dengan segera (LoE III through V,
grade C).
2. Pada perdarahan intraserebral karena lesi struktural misalnya
aneurisma, malformasi arterivena, atau angioma kavernosa,
pembedahan mungkin dapat dilakukan jika mempunyai
kemungkinan outcome yang baik dan lesi struktural vaskuler
tersebut dapat dijangkau dengan tindakan pembedahan (LoE III
through V, grade C).
3. Pada pasien usia muda dengan perdarahan sedang atau
perdarahan luas di daerah lobus yang secara klinik mengalami
perburukan (LoE II through V, grade B). Kraniotomi merupakan
pendekatan standar, terutama untuk pengambilan bekuan darah.
Tindakan tersebut dapat menurunkan tekanan intrakranial dan
tekanan lokal akibat efek massa di sekitarnya. Efek samping
yang merugikan adalah kerusakan jaringan otak di sekitarnya
terutama jika letak bekuan darah terlalu dalam.
5. Pencegahan Stroke Hemoragik
Karena stroke perdarahan intraserebral mempunyai morbiditas dan
mortalitas yang tinggi dan belum ada jaminan perbaikan dengan
pendekatan terapi apapun, pencegahan merupakan tindakan utama.
Rekomendasi pencegahan stroke perdarahan intraserebral (Setyopranoto,
2008).
36
1. Secara teratur mengkonsumsi obat antihipertensi adalah rekomendasi
utama, yang secara efektif akan menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas stroke perdarahan intraserebral (LoE I through II, grade
A).
2. Monitoring ketat pemberian obat-obat antikoagulan, misalnya,
warfarin (LoE I, grade A).
3. Pemberian secara selektif obat-obat trombolitik untuk infark miokard
dan stroke iskhemik akut (LoE I, grade A).
4. Peningkatan konsumsi buah dan sayuran serta menghindari alcohol
dan penggunaan obat-obat simpatomimetik akan menurunkan risiko
stroke perdarahan intraserebral (LoE III through V, grade C).
6. Prognosis stroke hemoragik
Prediktor terpenting untuk menilai outcome perdarahan intra
serebri (PIS) adalah volume PIS >50 ml, tingkat kesadaran penderita
(menggunakan skor Glasgow Coma Scale (GCS)), dan adanya darah
intraventrikel. Volume PIS dan skor GCS dapat digunakan untuk
memprediksi tingkat kematian dalam 30 hari dengan sensitivitas sebesar
96% dan spesifitas 98%. Suatu PIS dengan volume >60 mL dan skor GCS
≤ 8 memiliki tingkat mortalitas sebesar 91% dalam 30 hari, dibanding
dengan tingkat kematian 19% pada PIS dengan volume <30 mL dan GCS
skor ≥ 9. Perluasan PIS ke intraventrikel meningkatkan mortalitas secara
umum menjadi 45% hingga 75%, tanpa memperhatikan lokasi PIS,
sebagai bagian dari adanya hidrosefalus obstruktif akibat gangguan
sirkulasi liquor cerebrospinal (LCS). Pengukuran volume hematom dapat
dilakukan secara akurat dengan CT scan. Secara klinis, edema berperan
dalam efek massa dari hematom, meningkatkan tekanan intrakranial dan
pergeseran otak intrakranial. Secara paradoks, volume relatif edema yang
tinggi berhubungan dengan outcome fungsional yang lebih baik, yang
37
menimbulkan suatu kerancuan apakah edema harus dijadikan target terapi
atau hanya merupakan variabel prognostic (Anngiamurni, 2010).
Salah satu masalah yang timbul sebelum melakukan
penatalaksanaan adalah sangat sedikitnya pengetahuan para klinisi
terhadap mekanisme dan perjalanan penyakit saat pasien datang, apakah
sudah mulai terjadi perburukan atau timbul komplikasi yang tidak
terkendali. Masalah lain adalah tindakan yang harus pertama kali
diberikan kepada pasien stroke perdarahan intraserebral (Setyopranoto,
2008).
38
BAB III
KESIMPULAN
1. Stroke perdarahan atau stroke hemoragik adalah perdarahan yang tidak
terkontrol di otak. Perdarahan tersebut dapat menggenangi dan membunuh
sel-sel otak. Sekitar 20 % stroke adalah stroke hemoragik
2. Stroke perdarahan dapat dibagi menjadi dua subtipe yaitu perdarahan
intraserebral (PIS) dan perdarahan subarachnoid (PSA).
3. Pada PIS terutama disebabkan hipertensi oleh karena rupturnya arteri yang
memvaskularisasi otak. Sedangkan, penyebab tersering dari PSA adalah
rupturnya aneurisma arterial yang terletak di dasar otak dan perdarahan dari
malformasi vascular yang terletak dekat dengan permukaan piamater.
4. Pemeriksaan CT Scan otak/kepala merupakan gold standard untuk
membedakan apakah stroke perdarahan intraserebral atau stroke infark.
5. Pada stroke hemoragik, tampak daerah hiperdens karena terjadinya
konsolidasi di ruang interstisial, yang kadang disertai tekanan ke daerah
sekitarnya ke arah kontralateral.
6. Karena stroke perdarahan intraserebral mempunyai morbiditas dan mortalitas
yang tinggi dan belum ada jaminan perbaikan dengan pendekatan terapi
apapun, pencegahan merupakan tindakan utama.
39
DAFTAR PUSTAKA
Anngiamurni.2010. Hubungan Volume dan Letak Lesi Hematom dengan
Kecepatan Pemulihan Fungsi Motorik Penderita Stroke Hemoragik
berdasarkan Kategori Skala Orgogozo. Tesis. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
http:// eprints.undip.ac.id/24028/1/Lulu_Anggiamurni.pdf
Chusid, JG 1993. Neuroanatomi Korelatif Dan Neurologi Fungsional,
cetakan ke empat, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Duus, Peter .1996; Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda,
Gejala, cetakan pertama, EGC, Jakarta.
Gofir, A. 2009. Manajemen Stroke. Evidence Base Medicine. Yogyakarta:
Pustaka Cendikia Pres.
Gofir, A.2007. Diagnosis Dini dan Penanganan Pertama Stroke. Bagian Ilmu
Penyakit Saraf dalam Seminar Nasional 2007 Clinical Updates, 8
September 2007. FK UGM.
Malueka, R.G. 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendikia Press
Yogyakarta.
Pusparini,2009. Hubungan antara Hipertensi dan Stroke Hemoragik pada
Pemeriksaan CT-Scan Kepala di Instalasi Radiologi RSUD
DR.Moewardi Surakarta.Skripsi UNS.
Setyopranoto,I 2008. Pendekatan Evidence-Based Medicine pada Manajemen
Stroke Perdarahan Intraserebral. CDK 165/vol.35 no.6.
http://clinicalupdates2010.files.wordpress.com/.../microsoft-word-
materi-dr-ismail.pdf
Sidharta, Priguna, 1999.Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi, cetakan
ketiga, Dian Rakyat, Jakarta.
Snell, Richard, 2007. Neuroanatomi Klinik, edisi kedua., EGC, Jakarta.
40
Sunardi, 2007. Computed Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) Pada Sistem Neurologis
41