strategi kontrol dan pencegahan

15
Strategi Kontrol dan Pencegahan  dalam Menghadapi Resistensi Antibiotika Pada Infeksi Gonokokus Made Swastika Adiguna Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar Latar belakang Diantara agen etiologi infeksi menular seksual Neisseria gonorrhoeae dipertim!angkan se!agai agen etiologi terpenting karena meningkatnya kem!ali strain yang resisten terhadap anti!iotik" seperti sulfonamide penisilin dan tetrasiklin serta fluorokuinolon" Diantara agen antimikro!a yang tersedia hanya #ephalosporin generasi ket iga yang direkomendasikan aman se!agai terapi lini pertama infeksi gonore se#ara glo!al" $kan tetapi resistensi terhadap #ephalosporin generasi ketiga ini %uga dilaporkan resistensinya di !e!erapa negara" Sehingga perlu dipertim!angkan stra tegi untuk mengur angi resisten sinya dan penggunaan anti!iotik yang salah untuk men#egah  penye!aran kasus resistensi" Strategi pen#egahan dan kontrol gonore merupakan intervensi kesehatan masyarakat yang penting karena !esarnya masalah dan efek yang dapat ditim! ulkan" Dalam menyediakan terapi yang efektif dan tepat kita mem!utuhkan informasi yang terkini men gena i pol a sensti fit as karena pada gono re ter dapat kai tan erat ant ara has il pengo!a tan dengan sensitivitas anti!ioti k se#ara in vit ro" Monito rin g sensitivitas dapat !er guna untuk menentukan prevalensi resistensi dan mendeteksi peru!ahan pola sedini mungkin" Saat ini masih sedikit data mengenai sensitivitas gonore terhadap antimikro!a sehingga di!utuhkan monitoring  !erkelan%utan se!agai !agian dari pen#egahan penggunaan anti!iotik yang tidak efektif dalam  pengo!atan gonore" &idak han ya !ertu%uan untuk memonitor resistensi o!at dan mengoptimalkan regimen terapi akan tetapi hal yang tidak kalah penting adalah untuk mengetahui mekanisme gonokokus men%adi resisten terhadap !e!erapa antimikro!a" Pengetahuan mengenai mekanisme res ist ens i terse!ut %uga akan menolong kit a unt uk men#egah res istensi !akteri gonokokus ter hadap ant i!i otik ya ng ada dan anti!ioti k !aru nantinya" Be!erapa organisasi dunia tel ah mem!ent uk strategi dal am upa ya unt uk men#egah res ist ens i ant imi kro!a" Ras ion ali sasi  penggunaan anti!iotika merupakan salah satu #ara yang dapat dilakukan untuk men#egah meluasnya resistensi anti!iotika" Saat ini di!utuhkan data mengenai insiden dan prevalensi yang tepat untuk mengetahui lingk up perma salaha n yang sesung guhny a memonitor ke!erhasilan 1

Upload: she-jocelyn

Post on 17-Oct-2015

13 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Strategi Kontrol dan Pencegahan

dalam Menghadapi Resistensi Antibiotika Pada Infeksi GonokokusMade Swastika Adiguna

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar

Latar belakang

Diantara agen etiologi infeksi menular seksual, Neisseria gonorrhoeae dipertimbangkan sebagai agen etiologi terpenting karena meningkatnya kembali strain yang resisten terhadap antibiotik. seperti sulfonamide, penisilin dan tetrasiklin serta fluorokuinolon. Diantara agen antimikroba yang tersedia, hanya cephalosporin generasi ketiga yang direkomendasikan aman sebagai terapi lini pertama infeksi gonore secara global. Akan tetapi, resistensi terhadap cephalosporin generasi ketiga ini juga dilaporkan resistensinya di beberapa negara. Sehingga, perlu dipertimbangkan strategi untuk mengurangi resistensinya dan penggunaan antibiotik yang salah untuk mencegah penyebaran kasus resistensi. Strategi pencegahan dan kontrol gonore merupakan intervensi kesehatan masyarakat yang penting karena besarnya masalah dan efek yang dapat ditimbulkan. Dalam menyediakan terapi yang efektif dan tepat kita membutuhkan informasi yang terkini mengenai pola senstifitas karena pada gonore, terdapat kaitan erat antara hasil pengobatan dengan sensitivitas antibiotik secara in vitro. Monitoring sensitivitas dapat berguna untuk menentukan prevalensi resistensi dan mendeteksi perubahan pola sedini mungkin. Saat ini, masih sedikit data mengenai sensitivitas gonore terhadap antimikroba sehingga dibutuhkan monitoring berkelanjutan sebagai bagian dari pencegahan penggunaan antibiotik yang tidak efektif dalam pengobatan gonore. Tidak hanya bertujuan untuk memonitor resistensi obat dan mengoptimalkan regimen terapi, akan tetapi hal yang tidak kalah penting adalah untuk mengetahui mekanisme gonokokus menjadi resisten terhadap beberapa antimikroba. Pengetahuan mengenai mekanisme resistensi tersebut juga akan menolong kita untuk mencegah resistensi bakteri gonokokus terhadap antibiotik yang ada dan antibiotik baru nantinya. Beberapa organisasi dunia telah membentuk strategi dalam upaya untuk mencegah resistensi antimikroba. Rasionalisasi penggunaan antibiotika merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah meluasnya resistensi antibiotika. Saat ini dibutuhkan data mengenai insiden dan prevalensi yang tepat untuk mengetahui lingkup permasalahan yang sesungguhnya, memonitor keberhasilan intervensi dan menyediakan data dasar kasus tersebut. Dalam memperoleh data tersebut, dibutuhkan peran dan pengawasan dari badan internasional, pelayanan kesehatan nasional dan komunitas riset. Pendidikan berkelanjutan untuk dokter, perawat, farmasi dan petugas kesehatan lain merupakan kesempatan yang baik untuk mengintruksikan kepada professional tersebut mengenai penggunaan antibiotik dan resistensinya.

Gonore dan permasalahannya

Gonore merupakan tantangan kesehatan umum yang dijumpai saat ini.1 Gonore merupakan infeksi menular seksual yang dikenal secara global, infeksi ini dapat meningkatkan transmisi Human Immunodeficiency Virus (HIV).3 N.gonorrhoeae memiliki kemampuan untuk menginvasi pertahanan host. Sifat antigeniknya yang heterogen dan imunogenitas yang rendah menimbulkan kesulitan untuk mengembangkan vaksin yang efektif. 4Beberapa faktor risiko gonore diantaranya; riwayat terpapar infeksi gonore sebelumnya, infeksi menular seksual lainnya, pasangan seksual baru atau multiple, tidak konsisten dalam penggunaan kondom, pekerja seks komersial dan penggunaan obat. Faktor risiko untuk wanita hamil adalah sama dengan wanita yang tidak hamil. Prevalensinya bervariasi luas diantara komunitas dan populasi pasien.5

Gonore sering asimptomatik pada wanita, sehingga sulit untuk terdeteksi, penatalaksanaan menjadi tertunda dan akan meningkatkan kemungkinan perkembangan komplikasi dan transmisi ke pasangan seksual. Pada wanita, gonore yang tidak diobati dapat menyebabkan penyakit radang panggul dan komplikasinya jangka panjang, seperti nyeri pelvis yang kronis, kehamilan ektopik, dan infertilitas.7

Deteksi dini infeksi menular seksual dapat didasarkan pada tes diagnostik pada individu dengan gejala klinis atau skrining temuan kasus. Akan tetapi, pemeriksaan diagnostik yang tidak mudah membatasi penggunaannya untuk deteksi dini infeksi pada negara dengan sumber daya yang rendah. Pada keadaan dengan tes diagnostik yang tidak dapat dilakukan, pendekatan secara sindrom dapat menuntun terapi.10Strategi pencegahan dan kontrol gonore merupakan intervensi kesehatan masyarakat yang penting karena besarnya masalah dan efek yang dapat ditimbulkan, termasuk diantaranya; tingginya kasus infeksi gonokokal yang baru setiap tahunnya diperkirakan sebesar 106 juta kasus secara global, membutuhkan biaya yang tinggi dalam pelaksanaannya, komplikasi jangka panjang dari infeksi gonore termasuk diantaranya uretritis, servisitis, proktitis, dan penyebaran infeksi yang dapat menyebabkan penyakit radang panging, infertilitas, aborsi trimester awal, kehamilan ektopik dan kematian ibu, konsekuensi kesehatan yang dapat terjadi pada neonates, selain itu infeksi gonore seperti banyak infeksi menular seksual lainnya, secara signifikan akan meningkatkan risiko transmisi infeksi HIV.1Terdapat banyak pendekatan yang dapat dilakukan untuk mencegah gonore. Intervensi yang terbukti dapat mempengaruhi tingkat infeksi adalah terapi yang efektif dengan antibiotik yang tepat dan penemuan kasus yang efisien melalui perbaikan sarana diagnosis.4 Penatalaksanaan yang efektif dari gonore membutuhkan pendekatan yang komprehensif, begitu juga terhadap infeksi menular seksual lain yang dapat disembuhkan. Terapi yang adekuat mempengaruhi transmisi organisme yang infeksius dan durasi infeksi. Intervensi perilaku seperti penggunaan barier pelindung fisik, perubahan gaya hidup dan perilaku seks yang aman mempengaruhi transmisi infeksi gonokokus. Durasi infeksi dapat dikurangi dengan perbaikan fasilitas atau sarana diagnostik sehingga dapat mendeteksi pasien yang asimptomatik melalui penemuan kasus. Pendekatan ini dapat digunakan untuk mengontrol infeksi menular seksual. Durasi infeksi dan transmisi organism dapat dikurangi melalui pemberian terapi antibiotik yang bersifat kuratif. Pada gonore, pasien dapat diasumsikan tidak lagi infeksius setelah pemberian terapi antibiotik yang tepat, hal ini telah menuntun kepada pertimbangan pemberian terapi antibiotik pada kelompok tertentu yang memiliki kemungkinan infeksi tinggi. Pada beberapa kasus, terjadi kegagalan untuk melanjutkan pengobatan dan menyebabkan keterbatasan keberhasilan program. Hal yang merugikan dapat terjadi melalui pendekatan ini, yaitu potensi penggunaan antibiotik yang berlebihan dan timbulnya resistensi. Walaupun hal ini memiliki keuntungan diantaranya pencegahan terjadinya komplikasi dan gejala sisa (sekuel) gonore. Kemampuan untuk menemukan kasus, mendiagnosis dan mengobati individu terinfeksi yang asimptomatik akan mempengaruhi durasi infeksi. Penurunan angka infeksi gonore pada negara berkembang disebabkan oleh menurunnya transmisi yang dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup serta diagnosis dan terapi yang lebih dini.4 Gonore tidak akan pernah bisa dikontrol tanpa pemberian terapi antibiotik yang efektif. Adanya penyebaran N.gonorrhoeae yang resisten terhadap antibiotik membutuhkan pengobatan yang efektif. Program untuk mengontrol gonore harus diintegrasikan dengan rencana pengontrolan terhadap infeksi menular seksual lainnya termasuk HIV. Hal ini membutuhkan keputusan kebijaksanaan kesehatan yang komprehensif dan intervensi untuk mengontrol penyakit. Gonore berbeda dengan kebanyakan infeksi menular seksual lainnya yang dapat disembuhkan karena meluasnya kasus resistensi antibiotik yang membatasi kemampuan kita untuk menyediakan terapi yang efektif yang dapat mengontrol penyakit. Sebaliknya, untuk infeksi menular seksual lain yang dapat disembuhkan, seperti sifilis dan infeksi klamidia, output terapi dapat diprediksikan dan terapi alternatif pilihan lainnya masih efektif.4Resistensi Antimikroba dan Konsekuensinya

Upaya kesehatan masyarakat telah menurunkan insiden gonore pada beberapa dekade ini, akan tetapi kemajuan ini terancam dengan munculnya resistensi bakteria terhadap beberapa antibiotika yang merupakan pilihan terapi terhadap infeksi tersebut.5 Terapi gonore di negara ASEAN berdasarkan WHO secara substansial adalah berdasarkan pemberian regimen terapi dosis tunggal agen cephalosporin generasi ketiga, antara lain penggunaan injeksi ceftriaxone, dengan berbagai variasi luas regimen dosis yang digunakan. Cephalosporin generasi ketiga oral yang banyak digunakan adalah cefixime dan regimen dosis yang digunakannya pun beragam. Antibiotik lain seperti spektinomycin dan azythromycin direkomendasikan penggunaannya dan digunakan di beberapa negara, walaupun availabilitas obat dan harga membatasi penggunaannya secara luas.6

10 tahun sejak dikenalkannya sulfonamide, N.gonnorhoe menjadi resisten terhadap kelas antibiotik tersebut dan penggunaannya tidak direkomendasikan lagi. Penicillin, menjadi terapi pilihan untuk uretritis gonokokal pada tahun 1943 hingga pertengahan tahun 1970. Tetracycline, Fluoroquinolon seperti ciprofloxacin menjadi pilihan terapi dalam mengobati infeksi gonokokal sejak pertengahan tahun 1980, kegagalannya telah dilaporkan pada awal tahun 1990. Resistensi terhadap fluoroquinolon telah meluas secara global, sehingga antibiotik ini tidak lagi direkomendasikan penggunaannya sebagai terapi lini pertama untuk infeksi gonokokal.1 Perhatian yang utama adalah menurunnya sensitivitas lini terakhir cephalosporin generasi ketiga yang secara klinis bermanifestasi sebagai kegagalan terapi, terutama preparat oral, cefixime. Laporan mengenai kegagalan terapi dengan cefixim telah diverifikasi dan dilaporkan oleh beberapa negara, Jepang, Norwegia, Inggris dan Irlandia utara. Pada tahun 2011, kasus pertama yang terdeteksi memiliki resistensi tinggi terhadap pemberian ceftriaxone injeksi yang juga mengarah kepada kegagalan terapi klinis.1Awalnya, resistensi terhadap ciprofloxacin bersifat sporadik. Akan tetapi, di beberapa negara, penggunaan ciprofloxacin sebagai terapi gonokokal tidak lagi sebagai pilihan yang tepat karena tingginya angka resistensi. Resistensi terhadap ciprofloxacin pada umumnya mengindikasikan adanya resistensi terhadap semua obat golongan fluoroquinolon.9Resistensi terhadap fluorouinolon terjadi pada dekade terakhir ini dan membuat Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada tahun 2007 menghentikan rekomendasi penggunaan kelas antibiotik tersebut sebagai pilihan terapi gonore. Melihat cepatnya perkembangan resistensi fluorokuinolon terhadap gonore, CDC melihat bahwa perkembangan resistensi terhadap cephalosporin tidak dapat dihindari, yang merupakan agen terapi utama untuk gonore.5 WHO merekomendasikan penggunaan antibiotik tertentu sebagai terapi rutin harus tidak digunakan lagi sebagai terapi standar ketika angka kegagalan terapi mencapai 5%.6Resistensi terhadap penicillin, antibiotik cephalosporin dan quinolon generasi pertama di kelompok WPR ASIAN dan negara SEAR telah meluas.6 Hal tersebut menjadi alasan, dibalik rekomendasi terbaru dalam mengobati semua kasus gonore dengan menggunakan cephalosporin dan azitromicin dengan atau tanpa koinfeksi dengan Chlamydia trachomatis.5 Makrolid (termasuk azithromycin) tampaknya merupakan suatu jawaban, akan tetapi hanya dalam waktu singkat, karena resistensi tampaknya telah terjadi. Hanya cephalosporin generasi ketiga yang masih tetap menjadi terapi yang efektif untukpatogen yang resisten terhadap multidrug.1Dalam menyediakan terapi yang efektif dan tepat, kita membutuhkan informasi yang terkini mengenai pola senstifitas. Resistensi antimikroba pada infeksi N.gonorrhoeae sudah menjadi halangan utama dalam pengobatannya, baik pada kasus yang ditegakkan berdasarkan pendekatan sindrom atau diagnosis etiologi. Adanya kasus resistensi yang terus bermunculan merupakan ancaman lebih jauh terhadap penataklaksanaan komplikasi.4 Belum ada studi sistematik untuk mengetahui status resistensi dan penggunaan agen antimikrobial yang telah dilakukan di kawasan asia tenggara.8 Pada gonore, terdapat kaitan erat antara hasil pengobatan dengan sensitivitas antibiotik secara in vitro. Monitoring sensitivitas untuk menentukan prevalensi resistensi dan mendeteksi perubahan pola sedini mungkin, akan memungkinkan kita untuk menyusun penggunaan regimen terapi standar di negara berkembang. Saat ini, masih sedikit data mengenai sensitivitas gonore terhadap antimikroba sehingga dibutuhkan monitoring berkelanjutan sebagai bagian dari pencegahan penggunaan antibiotik yang tidak efektif dalam pengobatan gonore. Data yang diperoleh dari epidemiologi resistensi antimikroba dapat digunakan untuk terapi infeksi dengan menggunakan regimen terapi yang tepat dan modifikasi terapinya bila diperlukan. Monitoring sensitivitas sangat dibutuhkan, negara berkembang tampaknya harus awas terhadap ancaman resistensi antimikroba sehingga dibutuhkan kolaborasi dan mendukung program internasional. 4 Konsekuensi resistensi adalah berat. Infeksi yang disebabkan oleh mikroba yang resisten gagal berespon terhadap terapi standard dan menyebabkan perpanjangan masa sakit dan risiko tinggi morbiditas. Penatalaksanaan terhadap strain yang resisten mungkin membutuhkan terapi lini kedua yang lebih mahal. Kegagalan terapi juga menyebabkan jumlah orang yang terinfeksi meningkat dan mengancam keselamatan pasien karena cepatnya peningkatan pandemic resistensi antimikroba.8 Dibutuhkan data insiden dan prevalensi yang tepat dibutuhkan untuk mengetahui lingkup permasalahan yang sesungguhnya, memonitor keberhasilan intervensi dan menyediakan data dasar kasus tersebut. Dalam memperoleh data tersebut, dibutuhkan peran dan pengawasan dari badan internasional, pelayanan kesehatan nasional dan komunitas riset.4Beberapa faktor dapat berperan dalam penyebaran resistensi :41. Penggunaan antibiotik yang salah

Resistensi N.gonorrhoeae terhadap antibiotik banyak dijumpai di daerah dengan sektor kesehatan yang meresepkan penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol. Resistensi terhadap penicillin tersebar di asia tenggara. Para pekerja seksual di Asia mengkonsumsi quinolon oral sebagai profilaksis dan hal ini dapat menjadi faktor kontribusi resistensi antimikroba.

2. Peranan wisatawanPeranan meningkatnya jumlah wisatawan dan penyebaran infeksi menular seksual telah diamati. Wisatawan tersebut dapat memperantarai penyebaran strain yang resisten dari satu negara ke negara lain selama masa inkubasi infeksi. Laporan kasus di Swedia menunjukkan tingginya angka resistensi penicillin lebih banyak dijumpai pada warganya yang sering keluar negeri. Selain itu terdapat kelompok yang berpotensi mentransmisikan infeksi menular seksual diantaranya; sopir truk jarak jauh, pekerja imigran dan pelaut. Imigran gelap bertanggung jawab terhadap resistensi penicillin dan quinolon di Sydney Australia. Kelompok sex tourist juga bertanggung jawab terhadap penyebaran infeksi yang memang mereka berlibur dengan tujuan kesenangan seksual. Mulhall merekomendasikan pendekatan program kesehatan seksual pada kelompok wisatawan.Strategi Kontrol dan Pencegahan Resistensi

Dengan semakin banyaknya temuan kasus resistensi gonore terhadap berbagai antibiotik membuat beberapa organisasi dunia membentuk strategi dalam upaya untuk mencegah resistensi antimikroba, beberapa diantaranya :11. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS)//WHO : Sexually Transmitted disease : yang menguraikan kebijakan dan prinsip pencegahan dan pengobatan infeksi menular seksual, yang memberikan panduan kepada kementrian kesehatan/ pejabat yang bertanggung jawab untuk mengembangkan dan melaksanakan intervensi untuk mengontrol infeksi menular seksual

2. WHO : Strategi global untuk pencegahan dan pengendalian infeksi menular : 2006 2015 yang diuraikan melalui metode untuk mempromosikan perilaku seksual yang sehat dan untuk meningkatkan pemantauan dan evaluasi program pengontrolan infeksi menular seksual

3. WHO : Strategi global untuk penahanan resistensi antimikroba yang menyediakan kerangka kerja intervensi untuk memperlambat munculnya dan mengurangi penyebaran resistensi mikroorganisme terhadap antimikroba

4. WHO : strategi dan metode laboratorium untuk memperkuat pengawasan infeksi menular seksual yang berisi lampiran yang relevan dan pengawasan metode gonokokal.

Secara garis besar, beberapa strategi pendekatan digunakan untuk membatasi penyebaran infeksi dan resistensi gonore, diantaranya : 11. Meningkatkan deteksi dini infeksi gonore

Deteksi dini dan pengobatan N. gonorrhoeae dan infeksi menular seksual lainnya, idealnya dilakukan pada titik kontak pertama pasien dengan pelayanan kesehatan, merupakan persyaratan penting untuk mengontrol infeksi. Akan tetapi, di kebanyakan negara berkembang, fasilitas untuk membuat diagnosis laboratorium yang sesuai di tingkat kesehatan primer tidak tersedia. Bahkan ketika tersedia fasilitas laboratorium, penundaan pelaporan hasil akan menghambat waktu pengobatan. Akan tetapi adanya pendekatan sindrom WHO diharapkan dapat menjadi panduan pengelolaan duh tubuh berdasarkan penyebab sindrom. Temuan kasus yang menunjukkan kegagalan terapi antibiotik terhadap gonore adalah sangat penting dan hal ini membutuhkan kerjasama antara pelaku kesehatan, staf laboratorium dan pusat pelayanan kesehatan. Dua pendekatan kombinasi yaitu observasi klinis dan isolasi laboratorium serta identifikasi patogen dibutuhkan untuk mendeteksi resistensi N.gonorrhoeae.1 Identifikasi faktor yang berperan dalam penyebaran resistensi N.gonorrhoeae terhadap antimikroba juga perlu dilakukan.42. Terapi yang efektif dan tepat untuk pasien dan pasangan seksualnya

Terapi untuk infeksi menular seksual berperan penting dalam penatalaksanaan dan kontrol IMS. Pertimbangan penting perlu diperhatikan dalam memilih obat, diantaranya : obat memiliki efikasi yang tinggi (setidaknya 95% angka kesembuhan), harga yang murah, toksisitas yang dapat ditolerir, tidak mudah untuk mengalami resistensi antimikroba, pemberian dosis tunggal, pemberian secara oral, keamanan penggunaannya pada wanita dengan kehamilan dan laktasi. Terapi dosis tunggal adalah pengobatan yang direkomendasikan untuk infeksi gonokokal. Pengobatan terhadap mitra seksual dianjurkan untuk mencegah reinfeksi dan pasien terkadang dapat dipanggil untuk memberikan obat terhadap pasangan seksual mereka. Jika pilihan pengobatan gagal, dibutuhkan panduan yang jelas terhadap pilihan terapi alternatif atau rujukan ke tingkat yang lebih tinggi. Penting untuk mencatat semua informasi mengenai kegegalan pengobatan yang digunakan.

3. Meningkatkan kepatuhan yang baik

Pengetahuan yang memadai dari penyedia pelayanan kesehatan akan meningkatkan kepatuhan penderita terhadap regimen pengobatan dan mendidik pasien betapa pentingnya mengikuti pengobatan yang diresepkan.

4. Edukasi terhadap pasien

Pasien memerlukan informasi yang jelas untuk mencegah reinfeksi dan konseling mengenai risiko terinfeksi, cara pencegahan agar tidak terinfeksi, dan kepatuhan berobat dan perhatian terhadap pengobatan pasangan seksual. Hal ini dapat dicapai dengan mengedukasi mengenai infeksi menular seksual, komplikasi yang dapat timbul dan perawatan yang tepat. Individu / pasien akan mencari pelayanan kesehatan jika; mereka dapat menilai risiko mereka sendiri, mengetahui efek yang dapat terjadi jika suatu infeksi menular seksual tidak diobati terhadap diri mereka, pasangan seksual mereka dan anggota keluarga, pengetahuan yang dapat merubah perilaku mereka akan menguntungkan.

5. Memperkuat pengawasan

Untuk mengetahui dan menyelidiki antimikroba yang resisten terhadap N.gonorrhoeae pada waktu yang tepat diperlukan pengawasan yang kuat. Hal ini dilakukan secara sistematis dan teratur sehingga akan mengaktifkan deteksi dini dan meningkatkan pemantauan. Pengawasan juga bergantung pada laboratorium yang secara akurat akan mengidentifikasi patogen yang resisten.

6. Penguatan kapasitas laboratorium

Membangun jaringan laboratorium di tingkat nasional, regional dan internasional akan mendukung pelaksanaan pengawasan resistensi patogen terhadap antimikroba. Beberapa pendekatan dapat dilakukan diantaranya; membangun kesadaran dokter tentang munculnya gonore yang resisten terhadap cephalosporin yang dapat berpotensi menyebabkan terjadinya kegagalan pengobatan, melaporkan kegagalan terapi, memperkuat kemampuan penyedia layanan kesehatan dalam pengambilan sampel klinis yang tepat, melatih teknisi laboratorium, meningkatkan pelayanan untuk kultur dan tes resistensi antimikroba. Terdapat kebutuhan akan diagnostik yang murah, akurat dan mudah untuk mendiagnosis pasien yang bergejala dan untuk skrining (temuan kasus). Pemeriksaan amplifikasi asam nukleat atau nucleic acid based amplification (NAA) berpotensi untuk memperbaiki diagnosis dan dapat digunakan untuk studi epidemiologi, akan tetapi saat ini, pemeriksaan tersebut mahal dan membutuhkan perlengkapan yang mutakhir. Tes ini harus digunakan secara selektif di negara berkembang untuk diagnosis dan sebagai marker pada pasien yang berisiko. Di negara berkembang, tes NAA dapat digunakan untuk memperkirakan prevalensi gonore pada populasi sampel (misalnya pada wanita dengan duh tubuh) dan memperbaki penatalaksanaan berdasarkan sindrom. Teknologi diagnosis yang baru berdasarkan NAA memfailitasi identifikasi pada pasien yang asimptomatik, walaupun belum terdapat analisis cost benefit untuk meneliti lebih lanjut metode penemuan kasus berdasarkan pemerksiaan NAA. Akan tetapi, penurunan infeksi dapat terjadi ketika terdapat perbaikan fasilitas diagnostik.1,47. Peraturan mekanisme (regulatory mechanisms)

Pemerintah harus memastikan terdapatnya akses ke perawatan efektif yang direkomendasikan. Diperlukan sistem yang efisien untuk mengelola pengadaan obat dan distribusi yang tepat.

8. Advokasi dan komunikasi

Dalam rangka melaksanakan pengawasan resistensi antimikroba, perlu ada strategi komunikasi dan pesan yang mencapai populasi target. Salah satu komponen yang dapat menjadi penghalang dalam pencegahan, pengobatan dan perawatan infeksi menular seksual adalah stigma dan persepsi buruk mengenai infeksi menular seksual. Stigmatiasi ini akan menghambat diskusi publik dan keterlibatan masyarakat di sekitar masalah pencegahan dan perawatan.

Fakta bahwa penggunaan antibiotik yang meningkat, tidaklah menggambarkan indikasi penggunaan yang sebenarnya, akan tetapi pola peresepan menunjukkan bahwa antibiotik sering digunakan secara tidak tepat. Beberapa studi menunjukkan bahwa antibiotik sering diresepkan secara tidak rasional dan tidak tepat, beberapa obat diresepkan dengan dosis yang tidak adekuat, frekuensi dan durasi yang tidak tepat atau diberikan bersama antibiotik lain yang memiliki efek samping potensial jika digunakan secara bersama. Peresepan dan penggunaannya yang berlebihan sering ditemui baik di rumah sakit swasta ataupun pemerintah, klinik dan farmasi. Penggunaan antibiotik yang berlebihan ini tidak mudah diketahui alasannya, beberapa faktor mungkin berpengaruh, diantaranya kurangnya fasilitas mikrobioogi atau adanya pasien yang tidak mau menjalani tes laboratorium, praktek dokter yang meresepkan antibiotik kepada pasien dengan demam yang dianggap sebagai tanda infeksi bakteria, dan dokter meragukan kepatuhan penderita untuk kontrol, harapan pasien yang berlebihan dengan membeli antibiotik dari beberapa apotek atau mendapatkan resep dari beberapa dokter yang dikunjunginya yang berlebihan, pabrik obat atau farmasi yang bertujuan memperoleh keuntungan dari penjualan antibiotik dan kurangnya pengetahuan mengenai penggunaan antibiotik yang tidak tepat.2 Rasionalisasi Penggunaan Antibiotika

Rasionalisasi penggunaan antibiotika merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah meluasnya resistensi antibiotika. Beberapa pendekatan dapat dilakukan untuk untuk rasionalisasi penggunaan antibiotik, diantaranya :21. Pengawasan resistensi dan penggunaan antibiotik

Dua bentuk pengawasan yang saling mengimbangi dan direkomendasikan adalah pengawasan terhadap resistensi antibiotika dan pengawasan terhadap penggunaan antibiotik. Pengawasan tersebut tampaknya merupakan tulang punggung keberhasilan program untuk mengawasi permasalahan resistensi antibiotik. Pengawasan terhadap resistensi antibiotik dan infeksi bakteri pada umumnya rendah pada beberapa negara.

2. Panduan/pedoman penggunaan terapi standard, memperbaiki penyediaan antibiotik dan kualitasMengubah perilaku peresepan yang tidak rasional antibiotik pada komunitas / masyarakat.8

3. Meningkatkan prosedur tes diagnostik

Terdapat beberapa kendala dalam rekomendasi meningkatkan penggunaan tes diagnostik, pertama beberapa rumah sakit tidak memiliki fasilitas untuk melakukan tes diagnostik, kedua sumber daya di laboratorium yang ada mungkin terbatas, ketiga, dokter tidak menggunakan sumber daya laboratorium yang ada.2 4. Intervensi untuk mengontrol infeksi

Rumah sakit menciptakan ekologinya dalam hubungan antara manusia dan bakteri. Penggunaan antibiotik lebih banyak diberikan di rumah sakit dibandingkan penggunaannya pada masyarakat dan resistensi bakteri lebih sering ditemukan dan tersebar di lingkungan ini. Sebagai respon, intervensi kontrol infeksi lebih sering dilakukan di rumah sakit termasuk perilaku membersihkan tangan, penggunaan ruangan isolasi, membatasi penggunaan kateter dan penggunaan sarung tangan dan pakaian pelindung. Hal ini membutuhkan peranan infrastruktur yang tampak kurang ditemukan di beberapa rumah sakit. Laboratorium mikrobiologi dan staf yang terlatih mungkin tidak tersedia. Tantangan terberat adalah pengontrolan terhadap infeksi dan membuat staf atau tenaga rumah sakit awas terhadap aktivitas pelayanan kesehatan.

5. Pendekatan pendidikan / pengetahuan

Memberikan pendidikan berkelanjutan untuk dokter, perawat, farmasi merupakan kesempatan yang baik untuk mengintruksikan kepada professional tersebut mengenai penggunaan antibiotik dan resistensinya. Workshop mengenai antibiotik dapat merupakan bagian dari pendidikan ini.

Perkembangan Vaksin Gonore

Vaksin dapat mencegah penyakit, morbiditas dan mortalitas. Imunisasi dapat memberikan keuntungan dengan meningkatkan taraf kesehatan.2 Penelitian jangka panjang mengenai efektifitas vaksin gonokokal belum membuahkan hasil. Sejumlah komponen permukaan gonokokal yang berbeda telah diteliti sebagai kandidat vaksin. Heterogenitas antigen dengan ekspresi yang beraneka ragam serta dipengaruhi oleh proses pada fase infeksi menyebabkan pendekatan ini menjadi sulit. Berbagai upaya terus dilakukan untuk memproduksi vaksin berdasarkan komponen membran luar protein 1 (Por1) yang bebas dari kontaminasi Rmp (protein III). Terdapat bukti epidemiologi dari beberapa studi pada kelompok wanita penjaja seksual di Nairobi, yang menunjukkan bahwa timbulnya imunitas bersifat spesifik terhadap strain tertentu, hal ini dapat menunjukkan adanya keragaman strain. Data terakhir menunjukkan bahwa, selain menghindari pertahanan tubuh host, gonokokus gagal untuk mencetuskan respon antibodi yang kuat atau menginduksi respon memori, untuk alasan ini, pendekata seperti imunisasi mukosa, altenatif adjuvant atau vaksin berbasis DNA telah diusulkan. Pertimbangan biaya dapat membatasi penggunaannya secara luas pada daerah dengan insiden gonore tertinggi. Jika kekebalan parsial benar benar terjadi pada individu yang mengalami infeksi rekuren, maka imunisasi akan dibutuhkan untuk kelompok populasi yang lebih besar agar memiliki efektifitas maksimal. Secara teori, pemberian vaksin dapat menurunkan transmisi, seperti yang terlihat pada penggunaan antibiotik, bakan vaksin dengan efektifitas kurang dari 100% akan bermanfaat jika terjadi penurunan inokulasi atau jika bakterianya dilemahkan sehingga disimpulkan bahwa inokulum yang efektif diperlukan untuk meningkatkan transmisi. Perkembangan vaksin yang efektif telah menjadi strategi untuk mengontrol gonore, hingga saat ini, terdapat kebutuhan akan penelitian yang berdasarkan biologi gonokokus dan interaksinya dengan host.4

Pemilihan antibiotik yang tepat merupakan faktor utama yang penting pada evolusi resistensi obat terhadap bakteria. Walaupun resistensi obat pada dasarnya merupakan permasalahan medis, beberapa faktor mempengaruhi penyebaran resistensi diantaranya adalah ekologi, epidemiologi, kultural sosial dan ekonomi. Pasien, dokter, fasilitas pelayanan medis dan industri farmasi harus memiliki perhatian terhadap konsekuensi penggunanaan antibiotik yang tidak tepat, terutama untuk generasi masa depan.2RingkasanGonore merupakan tantangan kesehatan umum yang dijumpai saat ini. Upaya kesehatan masyarakat telah menurunkan insiden gonore pada beberapa dekade ini, akan tetapi kemajuan ini terancam dengan munculnya resistensi bakteria terhadap beberapa antibiotika yang merupakan pilihan terapi terhadap infeksi tersebut. Beberapa organisasi dunia membentuk strategi dalam upaya untuk mencegah resistensi antimikroba. Beberapa strategi pendekatanpun digunakan untuk membatasi penyebaran infeksi dan resistensi gonore. Secara garis besar, penatalaksanaan yang efektif dari gonore membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Monitoring sensitivitas sangat dibutuhkan, negara berkembang tampaknya harus berhati - hati terhadap ancaman resistensi antimikroba sehingga dibutuhkan kolaborasi dan mendukung program internasional.

Daftar Pustaka

1. WHO-Global action plan to control the spread and impact of antimicrobial resistance in Neisseria gonorrhoeae. World Health Organization. 2012

2. Bala M. Antimicrobial resistance in Neisseria gonorrhoeae in South East Asia. Regional Health Forum. 2011.vol 15(1).p:63-73

3. Tapsall J. Antimicrobial resistance in Neisseria gonorrhoeae. World Health Organization. Sydney. 2001. P : 42 8

4. Oucalt DC. CDC update on gonorrhea : Expand treatment to limit resistance. The Journal of Family practice.60(12). 2011.p: 736 40

5. Roy K, Wang SA, Meltzer MI. Optimizing Treatment of Antimicrobial resistant Neisseria gonorrhoeae. Emerging Infectious Diseases. 2005.11(8).p: 1265 73

6. Holmes K, Johnson DW, Kvale PA, Halverson CW, Keys TF, Martin DH. Impact of a Gonorrhoea Control program, Including Selective Mass Treatment, in Female Sex Workers. The Journal of Infectious Diseases. 1996;174(2).p:s230-9

7. Lahra M. Surveillance of Antibiotic resistance in Neisseria Gonorrhoeae in the WHO western Pasific and south east asian regions,2010. CDI. 2012. 36(1).p:95 100

8. Martin IMC, Ison CA, Aanensen DM, Fenton KA, Spratt BG. Changing Epidemiologic Profile of Quinolone Resistant Neisseria gonorrhoeae in London. The Journal of Infectious Diseases. 2005;192:1191-5

9. World Health Organization. Regional Strategy on prevention and containment of antimicrobial resistance 2010 2015. World Health Organization Regional Office for South East Asia. 2010. p: 1-28

10. Ganguly NK, Arora NK, Chandy SJ, Fairoze MN, Gill JPS, Gupta U, et al. Global Antibiotic Resistance Partnership (GARP). Rationalizing antibiotic use to limit antibiotic resistance in India. Indian J Med Res 134. 2011.p : 281 94

1