strategi badan narkotika nasional provinsi …repository.fisip-untirta.ac.id/987/1/strategi badan...
TRANSCRIPT
STRATEGI BADAN NARKOTIKA NASIONAL
PROVINSI BANTEN DALAM UPAYA
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
PENYALAHGUNAAN NARKOBA
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Administrasi Publik pada Konsentrasi Manajemen Publik
Program Studi Administrasi Publik
Oleh
Diah Utami Ningsih
NIM 6661132581
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG, 2018
DREAM IT
WISH IT
DO IT.
“Skripsi ini ku persembahkan untuk
kedua Orangtuaku, Keluargaku
serta teman-teman seperjuangan yang tidak
henti memberikan doa dan dukungannya”
ABSTRAK
Diah Utami Ningsih. NIM. 6661132581. Skripsi. 2018. Strategi Badan Narkotika
Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba. Program Studi Administrasi Publik. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen Pembimbing
I: Drs. Hasuri Waseh, M.Si, Dosen Pembimbing II: Riswanda, Ph.D
Penyalahgunaan narkoba dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang
semakin meningkat, bahkan penyalahgunaan narkoba di dunia tidak pernah kunjung
berkurang dan terbukti telah merusak masa depan bangsa termasuk di Indonesia.
Provinsi Banten masuk ke dalam 14 daerah rawan penyalahgunaan dan penyebaran
narkoba, sarana dan prasarana untuk pelaksanaan rehabilitasi belum tersedia lengkap,
serta diseminasi informasi bahaya narkoba yang belum optimal. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis strategi yang tepat dilakukan oleh
Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Teori yang digunakan yaitu The Four Pillar
Drug Strategy yang diadapsi dari NEW Mental Health Connection (2014). Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, studi pustaka, wawancara dan
dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah model Miles & Huberman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi
Banten dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba masih
belum optimal dan strategi yang tepat untuk diterapkan adalah memperkuat
kerjasama dengan seluruh pihak untuk bersama-sama melaksanakan advokasi dan
diseminasi informasi, penguatan skill komunikasi, peningkatan kemampuan layanan
rehabilitasi medis dan sosial, melakukan upaya pengurangan dampak buruk sebagai
upaya untuk mengurangi dampak penggunaan maupun peredaran gelap narkoba dan
melaksanakan upaya penegakan hukum sesuai Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
Kata Kunci : Narkoba, Penyalahgunaan, Strategi
ABSTRACT
Diah Utami Ningsih. NIM 6661132581. Essay. 2018. Strategy of National
Narcotics Agency of Banten Province in Efforts to Prevent and Eradicate Drug
Abuse. Program Study of Public Administration. Faculty of Social and Political
Science. University of Sultan Ageng Tirtayasa. Advisor I: Drs.Hasuri Waseh, M.Si,
Advisor II: Riswanda, Ph.D
Drug abuse from year to year shows an increasing trend, even drug abuse in the
world has never diminished and proven to have undermined the nation's future
including in Indonesia. Banten Province is included in 14 areas prone to abuse and
distribution of drugs, facilities and infrastructure for the implementation of
rehabilitation is not yet complete, as well as dissemination of information about the
dangers of drugs that have not been optimal. This study aims to determine and
analyze the appropriate strategies carried out by the National Narcotics Agency of
Banten Province in efforts to prevent and eradicate drug abuse. The theory used is
The Four Pillar Drug Strategy which adapted from NEW Mental Health Connection
(2014). This research uses qualitative approach with descriptive method. Data
collection techniques used were observation, literature study, interview and
documentation. Data analysis technique used is Miles & Huberman model. The
results showed that the strategy of the National Narcotics Agency of Banten Province
in the effort of prevention and eradication of drug abuse is still not optimal and the
right strategy to be implemented is strengthening cooperation with all parties to
jointly carry out advocacy and dissemination of information, strengthening
communication skills, improving the ability of medical and social rehabilitation
services, undertaking harm reduction efforts in an effort to reduce the impact of
illegal drug use and trafficking and enforce law enforcement pursuant to Law
Constitution Number 35 Year 2009 about Narcotics.
Keywords: Drugs, Abuse, Strategy
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala berkat, rahmat dan hidayah-Nya yang selalu diberikan kepada kita semua,
termasuk pada nikmat Iman, Islam dan sehat wal’afiat. Atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya pula, maka peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan
dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba”.
Penyusunan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak banyak pihak yang selalu membimbing serta
mendukung peneliti secara moril dan materil. Maka pada kesempatan yang luar
biasa ini, peneliti ingin menyampaikan ungkapan terima kasih yang tak
terhingga kepada :
1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd sebagai Rektor Universitas Sultan
Ageng Tirayasa.
2. Dr. Agus Sjafari, M.Si sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
3. Ibu Rahmawati, S.Sos, M.Si, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
ii
4. Bapak Iman Mukhroman, S.Sos, M.Si, Wakil Dekan II Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S.Sos, M.Si., Wakil Dekan III Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Ibu Listyaningsih, M.Si, Ketua Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan juga
sebagai Ketua Penguji pada sidang skripsi yang memberikan masukan-
masukan positif dalam penelitian ini.
7. Ibu Arenawati, M.Si, Sekretaris Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
8. Bapak Drs. Hasuri Waseh, M.Si selaku dosen pembimbing I yang telah
senantiasa memberikan arahan dan bimbingan bagi peneliti dalam
menyusun skripsi ini.
9. Bapak Riswanda, Ph.D sebagai Dosen Pembimbing II yang sudah banyak
memberikan bimbingan, arahan, ilmu serta sarannya yang sangat
membantu peneliti sejak awal hingga selesainya skripsi ini.
10. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Admnistrasi Publik yang tidak dapat
peneliti sebutkan satu persatu, yang telah dan pernah memberikan bekal
ilmiah kepada peneliti selama proses belajar mengajar.
11. Mamah dan Papah yang selalu memberikan dukungan secara moril dan
materil serta doa yang tidak pernah henti untuk kesuksesan anak-anaknya
di masa depan. Untuk kakakku, Lukman Hakim dan Muhammad Fauzan
iii
yang selalu memberikan dukungan dan doa untuk kelancaran penyusunan
skripsi ini.
12. Ridwan Sugandi Oktaviani yang selalu meluangkan waktunya dalam
memberikan bantuan dan motivasi kepada peneliti serta mendengarkan
keluh kesah peneliti selama penelitian.
13. Sahabat seperjuangan Ari Suciati, Desi Ariyani, Astri Nurwahyuni, Veni
Oktaviani, Gina Trilestari, Linda Rahmawati, Hanny Minati, Faizah,
Annisa Junita yang selalu memberikan dukungan, semangat dan doa
kepada penulis.
14. Teman-teman khusunya kelas D Program Studi Ilmu Administrasi Publik
2013, serta kelas A, B dan C, lainnya yang tidak bisa peneliti sebutkan satu
persatu dan saat ini sedang bersama-sama berjuang untuk meraih gelar
sarjana. Dan secara umum, peneliti juga mengucapkan terimakasih kepada
seluruh teman-teman peneliti di angkatan 2013 Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
15. Staf Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Staf Perpustakaan Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah banyak membantu
peneliti dalam mengurus segala perijinan, surat-menyurat dan urusan
akademik lainnya.
16. Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten yang telah mengijinkan saya
untuk meneliti dan memberikan data serta informasi yang dibutuhkan
dalam proses penelitian ini.
iv
17. Serta tidak lupa peneliti mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh
informan penelitian yang telah berkontribusi banyak dalam penyusunan
skripsi ini serta pihak-pihak lainnya yang juga terlibat dalam penyusunan
skripsi ini.
18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya peneliti mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga dengan
selesainya penyusunan skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan
skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan maka, kritik dan saran yang
membangun sangat peneliti harapkan demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.
Peneliti berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat, khususnya bagi
peneliti sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya.
Serang, Januari 2018
Diah Utami Ningsih
NIM. 6661132581
v
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 21
1.3 Batasan Masalah 22
vi
1.4 Rumusan Masalah 22
1.5 Tujuan Penelitian 22
1.6 Manfaat Penulisan 23
1.7 Sistematika Penulisan 23
BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR DAN ASUMSI
DASAR PENELITIAN
2.1 Landasan Teori 29
2.1.1. Definisi Manajemen 29
2.1.2. Definisi Strategi 31
2.1.3. Definisi Manajemen Strategi 33
2.1.4. Aspek Penting Manajemen Strategi 40
2.1.5. Proses Manajemen Strategi 41
2.1.6. Konsep Analisis SWOT 49
2.1.7. Pengertian Narkotika 52
2.1.8. Penggolongan Narkotika 54
2.1.9. Dampak Penyalahgunaan Narkoba 56
2.1.10. The Four Pillar Drug Strategy 63
2.1.11. Konsep P4GN 68
vii
2.2 Penelitian Terdahulu 70
2.3 Kerangka Berfikir 73
2.4 Asumsi Dasar Penelitian 76
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian 77
3.2 Ruang Lingkup/Fokus Penelitian 78
3.3 Lokasi Penelitian 78
3.4 Variabel Penelitian 79
3.4.1 Definisi Konsep 79
3.4.2 Definisi Operasional 80
3.5 Instrumen Penelitian 80
3.6 Informan Penelitian 81
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data 83
3.7.1 Teknik Pengolahan Data 83
3.7.2 Teknik Analisis Data 89
3.7.3 Uji Validitas dan Reabilitas Data 92
3.8 Jadwal Penelitian 95
viii
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Deksripsi Objek Penelitian 96
4.1.1 Deskripsi Wilayah Provinsi Banten 96
4.1.2 Deskripsi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten 103
4.2 Deskripsi Data 113
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian 113
4.2.2 Data Informan 115
4.3 Temuan Lapangan 118
4.3.1 Prevention (Pencegahan) 122
4.3.2 Treatment (Pengobatan) 145
4.3.3 Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk) 188
4.3.4 Law Enforcement (Penegakan Hukum) 197
4.4 Pembahasan 213
4.4.1 Prevention (Pencegahan) 215
4.4.2 Treatment (Pengobatan) 217
4.4.3 Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk) 221
ix
4.4.4 Law Enforcement (Penegakan Hukum) 222
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan 233
5.2 Saran 236
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Data Prevalensi Nasional Penyalahguna Narkoba 12
Tabel 1.2 Prevalensi Penyalahguna Narkoba Berdasarkan Ranking Tahun 2008,
2011, 2014 14
Tabel 1.3 Trend Penyalahguna Narkoba (10-59 Tahun) di Provinsi Banten 17
Tabel 3.1 Informan Penelitian 82
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara 86
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian 95
Tabel 4.1 Luas Wilayah Provinsi Banten berdasarkan Kabupaten/Kota 98
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Provinsi Banten 100
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur 101
Tabel 4.4 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin menurut Kabupaten/Kota
di Provinsi Banten 102
Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Provinsi Banten Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tertinggi yang Ditamatkan 102
Tabel 4.6 Informan Penelitian 117
Tabel 4.7 Rekapitulasi Pembahasan 225
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Model Manajemen Strategi sebagai Sistem Menurut Nawawi 38
Gambar 2.2 Model Proses Manajemen Strategi 41
Gambar 2.3 Model Manajemen Strategis 48
Gambar 2.4 Matriks SWOT 51
Gambar 2.5 The Four Pillar Drug Strategy 67
Gambar 2.6 Kerangka Berfikir 75
Gambar 3.1 Analisis Data Miles & Huberman 90
Gambar 4.1 Struktur Organisasi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten
112
Gambar 4.3 Website BNN Provinsi Banten 138
Gambar 4.3 Pelaksanaan Konseling 148
Gambar 4.4 Klinik Pratama BNN Provinsi Banten 152
Gambar 4.5 Tempat Pelaksanaan Asesmen 165
xii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I Surat Ijin Penelitian
LAMPIRAN II Pedoman Wawancara
LAMPIRAN III Member Check
LAMPIRAN IV Matriks Kategorisasi Data
LAMPIRAN V Instruksi Presiden RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba
LAMPIRAN VI Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan
Penyalahgunaan Narkoba
LAMPIRAN VII Dokumentasi Penelitian
LAMPIRAN VIII Curriculum Vitae
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai
cita-cita tersebut dan menjaga kelangsungan pembangunan nasional Indonesia dalam
suasana aman, tentram, tertib dan dinamis baik alam lingkungan nasional maupun
internasional, perlu ditingkatkan pengendalian terhadap hal-hal yang dapat
mengganggu kestabilan nasional antara lain penyalahgunaan narkoba.
Penyalahgunaan narkotika telah menjadi isu global. Sekitar 17 tahun yang
lalu, dalam sidang umum International Criminal Police Organization (ICPO) yang
ke-66 pada tahun 1997 di India yag diikuti seluruh anggota yang berjumlah 177
negara dari benua Amerika, Asia, Eropa, Afrika dan Australia. Indonesia masuk
dalam daftar tertinggi negara-negara yang menjadi sasaran peredaran obat terlarang
narkotika yang disejajarkan dengan Jepang, Thailand, Filipina, Malaysia dan
Hongkong. Pada sidang tersebut diungkapkan juga bahwa narkotika khususnya jenis
2
ekstasi yang semula hanya populer di Eropa terutama di negeri Belanda, sekarang
telah meluas ke seluruh dunia termasuk Indonesia.
Penyalahgunaan narkoba dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan
yang semakin meningkat, bahkan sampai saat ini penyalahgunaan narkoba di dunia
tidak pernah kunjung berkurang. Ditinjau dari aspek penyalahgunaan narkoba,
ketergantungan narkoba yang dikategorikan sebagai masalah kesehatan oleh United
Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), menempati ranking ke-20 dunia
dalam daftar faktor penyebab terganggunya kesehatan. Bahkan di kelompok negara
berkembang penyalahgunaan narkoba tersebut menempati posisi ke-10. Laporan
Tahunan UNODC (2013) menunjukkan bahwa pada tahun 2011 diperkirakan 167-
315 juta orang atau sekitar 3,6% s.d. 6,9% dari penduduk berusia 15-64 tahun
menggunakan narkoba minimal sekali dalam setahun. Penyalahguna narkoba tersebut
sangat rentan terkena HIV, Hepatitis, dan TBC yang tergolong penyakit mudah
menular. UNODC melansir data bahwa pada tahun 2011 diestimasi terdapat 14 juta
orang berusia antara 15-64 tahun sebagai pengguna narkoba suntik dan 1,6 juta
diantaranya terinfeksi virus HIV. Angka kematian over dosis dunia tahun 2011
dilaporkan sebesar 211 ribu orang. Narkotika jenis opiate ditengarai sebagai
penyebabnya. Dilaporkan pula bahwa penyalahgunaan Amphetamine Type Stimulant
(ATS) juga menunjukkan kecenderungan semakin meningkat. Selain itu,
ditemukannya zat psikoaktif jenis baru New Psychoactive Substances (NPS) menjadi
potensi ancaman serius penyalahgunaan narkoba lainnya bagi masyarakat dunia
3
karena belum tertuang dalam kontrol internasional Single Convention on Narcotic
Drugs 1961 dan Convention on Psychotropic Substances 1971.
United Nation Office on Drugs and Crime (UNODC), yaitu organisasi PBB
yang menangani masalah narkotika dan kriminalitas dalam Book of Abstracks
“Scientific Consultation on Prevention of Drug Use and Treatment of Drug Use
Disorders” mengungkapkan bahwa :
“It is estimated that almost a quarter of a billion people between the ages of
15 and 64 years used an illicit drug in 2013. This corresponds to a global
prevalence of 5.2 per cent (range: 3.4-7.0 per cent), suggesting that drug use
has remained stable in the past three years, although the estimated number of
drug users has actually risen by 6 million to 246 million (range: 162 million-
329 million) owing to the increase in the global population.”
“Diperkirakan bahwa pada tahun 2013 hampir seperempat miliar orang antara
usia 15 - 64 tahun menggunakan narkoba. Hal ini terkait dengan prevalensi
global 5,2% (kisaran:3,4-7,0 %), menunjukkan bahwa penggunaan narkoba
tetap stabil dalam tiga tahun terakhir, meskipun diperkirakan jumlah
pengguna narkoba sebenarnya telah meningkat sebesar 6juta untuk 246 juta
(kisaran: 162 juta -329 juta) karena peningkatan populasi global.”
Menurut UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menyebutkan bahwa
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang
bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Namun, di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat
4
merugikan apabila diperergunakan tanpa adanya pengawasan yang ketat dan
seksama.
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba terbukti telah merusak masa
depan bangsa di negara manapun, merusak karakter manusia, merusak fisik, dan
kesehatan masyarakat, serta dalam jangka panjang berpotensi besar mengganggu
daya saing dan kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu besarnya dampak kerusakan
yang ditimbulkan dari peredaran gelap Narkoba digolongkan dalam kejahatan luar
biasa (extraordinary crime) dan serius (serious crime). Terlebih, peredaran gelap
Narkoba bersifat lintas negara (transnational) dan terorganisir (organized) sehingga
menjadi ancaman nyata yang membutuhkan penanganan serius dan mendesak.
Menyadari bahwa peredaran dan penyalahgunaan narkoba harus
ditanggulangi, hampir seluruh negara di dunia mempunyai strategi dalam usaha
meminimalisasi permasalahan narkoba di wilayahnya masing-masing. Kebijakan
mengenai narkoba disetiap negara pasti berkaitan dengan kepentingan ekonomi,
politik dan sosial.
Australia pada tahun 2007 mulai berhati-hati dalam mengedarkan obat-obatan
yang berpotensi untuk disalahgunakan. Untuk itu pemerintah melarang beberapa jenis
obat-obatan yang banyak mengandung pseudeopherin, setiap apotik mengharuskan
perizinan dari dokter sebelum obat itu terjual. Australia juga fokus pada merebaknya
clandestine laboratories yaitu laboratorium gelap yang melakukan kegiatan ilegal
5
dengan mempergunakan sejumlah alat-alat dan bahan kimia untuk memproduksi
narkoba. (U.S Department of State, 2008)
Berbeda dengan di Australia, Pemerintah Belanda membuat kebijakan yang
kontroversial terkait drugs. Pemerintah Belanda memperbolehkan beberapa jenis
narkoba untuk dikonsumsi warganya. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar peredaran
narkoba lebih mudah dikontrol dan menekan angka krimininalisasi. (Blumstein dan
Larson, 1969). Selain Belanda, Amerika Serikat juga menjalankan kebijakan
legalisasi terhadap drugs. Terbukti dengan legalisasi, angka penyalahgunaan dan
peredaran narkoba di Amerika menurun. Selain menjadi lebih terkontrol dan menekan
angka kriminalisasi, legalisasi di Amerika juga berdampak pada menurunnya street
crime seperti pencurian, perampokan dan penodongan. Hal ini bisa terjadi karena
hampir semua kekerasan dan street crime yang terjadi berkaitan dengan perdagangan
drugs. Legalisasi juga berdampak pada bangkrutnya bisnis dari organized crime
karena harga drugs menjadi menurun. (Meiczkowski, 1991).
Pemerintah Inggris mengeluarkan dana sekitar 2,2 miliar dolar Amerika setiap
tahunnya untuk upaya pemberantasan narkoba. 62% diantaranya digunakan untuk
kegiatan pemberantasan, 13% untuk kegiatan rehabilitasi, 12% untuk kegiatan
pencegahan dan 13% sisanya untuk upaya pengurangan supply dari luar negeri.
(Micheal Farell dan John Strang, 1998)
6
Letak Indonesia sangat strategis yaitu berada di antara daerah segitiga emas
(Laos, Thailand, dan Myanmar) dan daerah bulan sabit (Iran, Afganistan, dan
Pakistan) yang merupakan daerah penghasil opium terbesar di dunia. Hal tersebut
menjadi salah satu penyebab Indonesia tidak lagi menjadi negara transit tetapi sudah
menjadi pasar narkoba yang besar bahkan telah menjadi produsen narkoba. Terbukti
dengan terungkapnya pabrik shabu-shabu di Bogor pada Tahun 2004, kemudian pada
Tahun 2005 penggerebekan sebuah pabrik ekstasi di Kampung Tegal Sari, Desa
Cemplang, Kecamatan Jawilan, Kabupaten Serang, Banten yang merupakan pabrik
shabu terbesar ketiga di dunia setelah yang di temukan di Fiji dan Cina dan tahun
2007 di Surabaya, bahkan pada Tahun 2013 telah ditemukan adanya pabrik narkotika
di dalam Lembaga Permasyarakatan
Cipinang.(Sumber:http://news.liputan6.com/read/112327/pabrik-ekstasi-terbesar-di-
indonesia-digerebek diunggah pada 11 Nov 2005 pukul 23:59 WIB dan
http://nasional.kompas.com/read/2013/08/17/0402245/Inilah.Kronologi.Pengungkapa
n.Pabrik.Sabu.di.LP.Cipinang diunggah 17 Agustus 2013 pukul 04:02 WIB)
Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan transaksi narkoba yang ada di
Indonesia menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan negara-negara yang
tergabung dalam organisasi ASEAN lainnya. "Berdasarkan pertemuan BNN dengan
badan atau menteri yang mengurusi narkotika se Asia Tenggara ternyata dari 100
persen transaksi narkotika di wilayah ASEAN, 40 persennya berada di Indonesia,"
7
(Sumber:http://www.antaranews.com/berita/474528/bnn-transaksi-narkoba-
indonesia-tertinggi-se-asean, diunggah pada Jumat, 16 Januari 2015 16:57 WIB)
Hal lain terkait permasalahan narkoba di Indonesia adalah permasalahan yang
dialami langsung oleh penyalahguna narkoba yaitu ketika seorang penyalahguna
selesai dan keluar dari tempat rehabilitasi, maka ia harus menghadapi respon dari
lingkungannya yang justru seringkali membuat dirinya merasa rendah diri karena
berbagai stigma masyarakat yang ditujukan. Mereka dicap buruk dan dianggap
sebagai kriminal yang lebih pantas dipenjarakan dan tidak diterima di tengah-tengah
masyarakat di lingkungannya. Stigma negatif masyarakat ini menimbulkan dampak
sosial seperti gangguan mental dan sikap anti-sosial, mereka cenderung tidak
berinteraksi dengan lingkungannya dan lebih memilih menyendiri atau hanya
menjalin hubungan dengan sebagian orang yang tidak mendiskriminasi dirinya dan
memungkinkan membuat timbulnya keinginan untuk kembali pada lingkungan
pengguna dan pengedar narkoba lainnya sehingga tercipta pasar gelap yang sulit
diputus mata rantai peredarannya.
Sejarah penanggulangan bahaya narkoba dan kelembagaannya di Indonesia
dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia
(Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional
(BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol,
yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan narkoba,
penanggulangan penyelundupan, penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan
8
subversi dan pengawasan orang asing. Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN
membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah
menanggulangi bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi
kecil yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen
Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di
bawah komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak
mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari
ABPN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN. Pada masa itu,
permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan
Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan
narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa
yang ber-Pancasila dan agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan
seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba, sehingga pada
saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada
pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk
menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak tahun
1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkoba. Menghadapi
permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus meningkat, Pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut,
Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika
9
Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN
adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan 25
Instansi Pemerintah terkait. BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai
personel dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan
dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga
tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal. BKNN sebagai
badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya
narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan
Narkotika Nasional (BNN) dengan struktur vertikal ke Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Sebagai sebuah lembaga forum BNN bertugas mengoordinasikan 25 instansi
pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas
dan fungsi: 1. mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan
pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan 2. mengoordinasikan
pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba. Namun karena tanpa
struktur kelembagaan yang memiliki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat
koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja
optimal dan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat dan
makin serius. Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan
Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK) yang
10
memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN terkait dalam
satuan tugas, yang mana BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung
jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing
(BNP dan BNKab/kota tidak mempunyai hubungan struktural– vertical dengan BNN.
(BNN, 2010)
Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang
Badan Narkotika Nasional, Presiden Republik Indonesia juga mengeluarkan Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanggulangan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat
Adiktif lainnya dimana Presiden menginstruksikan kepada setiap lembaga tinggi baik
di tingkat pusat maupun daerah untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan
dalam rangka penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,
psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya di lingkungan masing-masing dan
dalam pelaksanaannya selalu berkoordinasi dengan BNN.
Merespon permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius,
maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) tahun 2002
merekomendasikan kepada DPR RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu,
Pemerintah dan DPR RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor
11
35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun
1997. Berdasarkan UU tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.
Dalam rangka mewujudkan “Indonesia Negeri Bebas Narkoba” maka BNN
melakukan upaya dengan merumuskan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN).
Untuk memfokuskan pencapaian pelaksanaan Jakstranas P4GN, dikeluarkan Instruksi
Presiden RI Nomor 12 Tahun 2011 yang mengistruksikan kepada setiap lembaga
tinggi baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing dalam rangka
pelaksanaan Jakstranas P4GN yang meliputi bidang pencegahan, pemberdayaan
masyarakat, rehabilitasi dan pemberantasan dan dalam pelaksanaannya selalu
berkoordinasi dengan BNN. Sebagai tindak lanjut atas Inpres RI Nomor 12 Tahun
2011 maka dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21
tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika di setiap daerah
yang menerangkan bahwa Gubernur dan Bupati/Walikota melakukan fasilitasi
dengan melaksanakan penyusunan peraturan daerah mengenai narkotika sebagai
dukungan pemerintah daerah terhadap upaya pencegahan dan penyalahgunaan
narkoba.
Salah satu kegiatan sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam upaya
P4GN diantara pemerintah dengan masyarakat adalah meningkatkan koordinasi,
12
monitoring dan evaluasi program P4GN baik di tingkat pusat maupun daerah, melalui
penyelenggaraan Rapat Koordinasi (Rakor) BNN, BNNP dan BNKab/Kota.
Tabel 1.1
Data Prevalensi Nasional Penyalahguna Narkoba Usia 10-59 Tahun
Hasil Penelitian BNN – Puslitkes UI
JENIS
KELOMPOK
TAHUN 2008 TAHUN 2011 TAHUN 2014 TAHUN 2015
JUMLAH (%) JUMLAH (%) JUMLAH (%) JUMLAH (%)
COBA PAKAI 872.928 26 1.159.649 27 1.524.026 39 1.599.836 39
TERATUR PAKAI 894.492 27 1.910.295 45 1.455.232 37 1.511.035 37
PECANDU NON
SUNTIK
1.358.935 40 1.134.358 27 875.248 23 918.256 22
PECANDU SUNTIK 236.172 7 70.031 1 67.722 1 68.902 2
TOTAL 3.362.527 4.247.333 4.022.228 4.098.029
ANGKA
PREVALENSI
NASIONAL
BERDASARKAN
PENELITIAN
1,99%
2,23%
2,18%
2,20%
Sumber : Badan Narkotika Nasional RI, 2016
Berdasarkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja sama
dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (Puslitkes UI) tahun 2015,
situasi penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba di Indonesia saat ini sudah
berada pada level Darurat. Angka prevalensi penyalahguna Narkoba secara nasional
adalah 2,20% dari jumlah penduduk Indonesia berusia 10 – 59 tahun atau sekitar 4
juta jiwa. Dengan data jumlah teratur pakai ±1,51 juta orang (37%), pecandu non
suntik ±918,2 ribu orang (22%) dan pecandu suntik ±68,90 ribu orang (2%) yang
seluruhnya memerlukan layanan perawatan rehabilitasi. Sementara lembaga layanan
perawatan rehabilitasi yang tersedia baru sejumlah 340 lembaga pemerintah dan 132
lembaga rehabilitasi komponen masyarakat dan rumah sakit/ klinik swasta dengan
13
total kapasitas layanan hanya 18.000 penyalahguna dan pecandu per tahunnya.
Apabila ditinjau dari aspek penyalahgunaan narkoba, laju peningkatan angka
prevalensi penyalahguna narkoba tersebut terutama dipengaruhi oleh bertambahnya
jumlah pengguna narkoba coba pakai. Tahun 2008 terdapat ±870.000 orang (26%
dari total penyalah guna), di tahun 2011 menjadi±1,15 juta (27% dari total penyalah
guna), di tahun 2014 menjadi ±1,52 juta (39% dari total penyalah guna), dan di tahun
2015 menjadi ±1,59 juta (39% dari total penyalah guna). Hal tersebut
mengindikasikan masih lemahnya daya tangkal masyarakat terhadap bahaya
penyalahgunaan narkoba.
14
Tabel 1.2
Prevalensi Penyalahguna Narkoba berdasarkan Ranking Tahun 2008, 2011,
2014
Rangking
2008 2011 2014
Provinsi % Provinsi % Provinsi %
1 DKI Jakarta 4,10 DKI Jakarta 7,01 DKI Jakarta 4,74
2 DI Yogyakarta 2,72 Kepri 4,26 Kalimantan Timur 3,07
3 Maluku 2,61 Kalimantan Timur 3,10 Sumatera Utara 3,06
4 Maluku Utara 2,27 Sumut 3,01 Kepri 2,94
5 Gorontalo 2,15 DI Yogyakarta 2,84 DI Yogyakarta 2,37
6 Jambi 2,12 Jawa Barat 2,47 Jawa Barat 2,34
7 Sulawesi Tengah 2,10 Sulawesi Utara 2,11 Maluku 2,32
8 Sulawesi Utara 2,06 Riau 2,08 Bali 2,22
9 Lampung 2,03 Banten 2,06 Sulawesi Utara 2,19
10 Papua Barat 2,02 Aceh 2,03 Sulawesi Tengah 2,11
11 Kepri 2,01 Jawa Timur 1,97 Sulawesi Barat 2,09
12 Jawa Barat 2,00 Sulawesi Selatan 1,95 Aceh 2,08
13 Sumatera Utara 1,99 Jawa Tengah 1,89 Sulawesi Selatan 2,08
14 Bengkulu 1,97 Maluku 1,85 Banten 2,02
15 Jawa Timur 1,97 Sulawesi Tengah 1,85 Jawa Timur 2,01
16 Banten 1,97 Sulawesi Barat 1,81 Kalimantan Barat 2,01
17 Kalimantan Timur 1,95 Bali 1,78 Kalimantan Selatan 2,01
18 Sulawesi Utara 1,93 Kalimantan Tengah 1,77 Riau 1,99
19 Jawa Tengah 1,84 Kalimantan Barat 1,74 Kalimantan Tengah 1,95
20 Riau 1,83 Maluku Utara 1,65 Jambi 1,89
21 Sulawesi Selatan 1,80 Kalimantan Selatan 1,65 Bengkulu 1,88
22 Bali 1,73 Bangka Belitung 1,65 Jawa Tengah 1,88
23 NTT 1,70 Sumatera Selatan 1,55 Bangka Belitung 1,85
24 Sumatera Barat 1,68 Jambi 1,54 Maluku Utara 1,85
25 Sumatera Selatan 1,66 Sumatera Barat 1,45 Sumatera Barat 1,80
26 Aceh 1,61 Papua Barat 1,42 Sumatera Selatan 1,69
27 Kalimantan Selatan 1,59 Bengkulu 1,39 Gorontalo 1,68
28 Papua 1,56 Gorontalo 1,36 Sulawesi Utara 1,59
29 Sulawesi Barat 1,43 NTT 1,22 Papua Barat 1,57
30 Kalimantan Barat 1,40 NTB 1,22 Kalimantan Utara 1,54
31 Bangka Belitung 1,39 Sulawesi Utara 1,17 Lampung 1,52
32 NTB 1,39 Lampung 0,91 NTB 1,50
33 Kalimantan Tengah 1,32 Papua 0,81 NTT 1,49
34 Kalimantan Utara - Kalimantan Utara - Papua 1,23
Sumber : Badan Narkotika Nasional RI, 2015
15
Berdasarkan tabel di atas, Provinsi Banten merupakan salah satu provinsi
dengan angka prevalensi penyalahguna narkoba yang cukup tinggi dan dengan
jumlah yang tidak stabil. Pada tahun 2008 angka prevalensi penyalahguna narkoba di
Provinsi Banten adalah 1,97%, kemudian pada tahun 2011 meningkat hingga
mencapai 2,06%, dan pada tahun 2014 berada pada angka 2,02%. Hasil penelitian
tersebut diperoleh berdasarkan perhitungan perbandingan jumlah penduduk dengan
jumlah penyalahguna narkoba di setiap wilayah.
Provinsi Banten adalah salah satu provinsi dari 33 provinsi yang ada di
Indonesia, terdiri dari empat Kabupaten dan empat wilayah Kota. Untuk mendukung
operasionalisasi BNN, maka pada tahun 2012 didirikan dan diresmikan Badan
Narkotika Nasional Provinsi Banten sebagai penunjang sarana dan prasarana
dalam melaksanakan kegiatan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di Provinsi Banten untuk serta dapat menjadi tolak
ukur keberhasilan upaya-upaya penanggulangan permasalahan narkoba di Provinsi
Banten.
Provinsi Banten ditengarai rentan terhadap penyalahgunaan dan peredaraan
narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan bahkan telah terjadi
perubahan peredaran narkoba di Provinsi Banten, dari yang semula sebagai tempat
transit, kini telah menjadi wilayah peredaran barang haram tersebut. Karena hal
tersebut, maka Provinsi Banten masuk ke dalam 14 daerah rawan nasional
penyebaran barang-barang narkotika. Narkoba yang beredar di Banten didatangkan
16
melalui Bandara Soekarno Hatta di Tangerang dan Pelabuhan Merak di Kota Cilegon.
Zona rawan peredaran narkoba terbanyak berada di Kabupaten Tangerang,
Kabupaten Serang, dan Kota Cilegon. Sedangkan narkoba yang paling banyak
digunakan oleh pecandu adalah ganja. (Sumber: http://indonews.id/berita/banten-dari-
daerah-transit-jadi-tujuan-penyebaran-narkoba/ diakses 2 November 2016)
Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja sama dengan Pusat
Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (Puslitkes UI) tahun 2008, tahun 2011,
tahun 2014 dan tahun 2015 menunjukan peningkatan jumlah pengguna narkoba di
Provinsi Banten sebagai berikut:
17
Tabel 1.3
Trend Penyalahguna Narkoba (10-59 Tahun) di Provinsi Banten
JENIS
PENYALAHGUNA
2008 2011 2014
JUMLAH % POPULASI
USIA (10-
59)
JUMLAH % POPULASI
USIA (10-
59)
JUMLAH % POPULASI
USIA (10-
59)
COBA PAKAI 36.812
7.538.100
42.738
8.514.495
103.217
8.770.800
TERATUR PAKAI 29.723 79.163 45.344
PECANDU NON
SUNTIK
69.646 50.834 25.608
PECANDU
SUNTIK
12.077 2.386 2.940
TOTAL 148.258 175.121 177.109
PREVALENSI 1,97 2,06 2,02
(Sumber: Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten, 2015)
JENIS PENYALAHGUNA
2015
JUMLAH % POPULASI USIA (10-59)
COBA PAKAI 86.660
8.945.200
TERATUR PAKAI 43.248
PECANDU NON SUNTIK 2.715
PECANDU SUNTIK 23.070
TOTAL 155.693
PREVALENSI 1,74
Catatan : Survei tahun 2015 hanya dilakukan pada kelompok Rumah Tangga Umum dan
Rumah Tangga Khusus
(Sumber: Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten, 2015)
Berdasarkan tabel di atas, jumlah penyalahguna narkoba di Provinsi Banten
pada tahun 2008, 2011, dan 2014 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008
jumlah penyalahguna narkoba di Provinsi Banten adalah 148.258 jiwa atau 1,97%
dari jumlah penduduk 7.538.100 jiwa, pada tahun 2011 berjumlah 175.121 jiwa atau
2,06% dari jumlah penduduk 8.514.495 jiwa, dan pada tahun 2014 berjumlah 177.109
jiwa atau 2,02% dari jumlah penduduk 8.770.800 jiwa dan tahun 2015 berdasarkan
18
hasil survei yang dilakukan pada kelompok Rumah Tangga Umum dan Rumah
Tangga Khusus diperoleh hasil 155.693 jiwa atau 1,74% dari jumlah penduduk
8.945.200 jiwa.
Setelah peneliti melakukan observasi awal pada lokasi penelitian, terdapat
beberapa permasalahan yang terjadi di Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten
dalam hal upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba di
Provinsi Banten, diantaranya :
Pertama, terjadinya peningkatan jumlah penyalahgunaan narkoba di Provinsi
Banten berdasarkan data Survei Nasional Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba Tahun
Anggaran 2014 dengan melakukan uji sampel pada pelajar, pekerja, dan rumah
tangga oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerja sama dengan Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia (Puslitkes UI) yaitu Pada tahun 2008 jumlah
penyalahguna narkoba di Provinsi Banten adalah 148.258 jiwa atau 1,97% dari
jumlah penduduk 7.538.100 jiwa, pada tahun 2011 berjumlah 175.121 jiwa atau
2,06% dari jumlah penduduk 8.514.495 jiwa, dan pada tahun 2014 berjumlah 177.109
jiwa atau 2,02% dari jumlah penduduk 8.770.800, sedangkan pada tahun 2015
dilakukan survei penyalahgunaan narkoba dengan uji sampel hanya pada rumah
tangga umum dan rumah tangga khusus dan diperoleh hasil sebanyak 155.693 dengan
prevalensi 1,74%. Meningkatnya jumlah tersebut mengindikasikan bahwa kinerja
BNN Provinsi Banten dalam upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan
Narkoba masih belum optimal dan membutuhkan strategi yang tepat baik untuk
19
program dan kegiatan di bidang pencegahan, pemberdayaan ataupun rehabilitasi.
(Sumber: Hasil observasi peneliti di Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten,
Januari - Februari 2017)
Kedua, belum optimalnya diseminasi informasi mengenai bahaya narkoba.
Pihak BNN Provinsi Banten khusunya bidang Pencegahan dan Pemberdayaan
Masyarakat (P2M) belum secara optimal menginformasikan bahaya narkoba kepada
seluruh lapisan masyarakat. Pelaksanaan kegiatan sosialisasi, penyuluhan,
penerangan dan pendidikan mengenai bahaya narkoba yang merupakan salah satu
program Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba
(P4GN) yang dilakukan BNN Provinsi Banten hingga saat ini masih terbatas pada
sebagian kalangan saja dimana kegiatan tersebut hanya dilakukan jika ada permintaan
langsung baik dari perusahaan, instansi pemerintah ataupun sekolah. Selain itu,
pengelolaan website milik BNN Provinsi Banten belum dilakukan secara optimal
karena terlihat kurang aktif baik dalam penyampaian informasi mengenai kegiatan
yang dilakukan BNN Provinsi Banten maupun informasi data terkait kinerja BNN
Provinsi Banten. Sarana lain baik media cetak, media elektronik, maupun media
sosial juga kurang dimanfaatkan dengan baik sehingga bagi masyarakat umum
informasi mengenai P4GN sulit diperoleh. (Sumber: Hasil observasi peneliti di Badan
Narkotika Nasional Provinsi Banten, Januari - Februari 2017)
Ketiga, belum adanya alat yang dapat menunjukkan derajat toksinasi
penggunaan narkoba. Saat ini alat ukur yang digunakan BNN Provinsi Banten hanya
20
dapat menunjukkan positif atau negatifnya seseorang dalam penggunaan narkoba
yaitu melalui tes urine. Hal tersebut berpengaruh terhadap proses rehabilitasi yang
harus dijalani. Dengan tidak diketahuinya derajat toksinasi dari zat yang dikonsumsi,
maka sulit dibedakan pelayanan atau program rehabilitasi yang harus diberikan.
(Sumber: Hasil observasi peneliti di Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten,
Januari - Februari 2017)
Keempat, belum tersedianya sarana dan prasarana untuk pelaksanaan
rehabilitasi rawat inap. Berdasarkan observasi peneliti, hingga saat ini pelayanan
rehabilitasi yang dapat dilakukan oleh BNN Provinsi Banten hanya rehabilitasi rawat
jalan untuk penyalahguna narkoba kategori ringan. Hal tersebut dikarenakan belum
memadainya sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Padahal rehabilitasi adalah salah
satu tugas pokok BNN Provinsi Banten yaitu menyediakan lembaga rehabilitasi untuk
pecandu narkoba. (Sumber: Hasil observasi peneliti di Badan Narkotika Nasional
Provinsi Banten, Januari - Februari 2017)
Kelima, kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) di Badan Narkotika
Nasional Provinsi Banten. Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan dengan Tri
Nurtopo, MT selaku Kepala Bagian Umum dan Kepegawaian BNN Provinsi Banten
pada tanggal 16 Januari 2017 pukul 10.30 WIB beliau menjelaskan bahwa hingga
saat ini Sumber Daya Manusia (SDM) di Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten
jumlahnya belum sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yaitu 68 orang
yang terbagi dalam bagian umum yang membawahi urusan administrasi, sarana dan
21
prasarana, dan perencanaan, serta tiga bidang yaitu bidang pencegahan dan
pemberdayaan masyarakat, bidang pemberantasan, dan bidang rehabilitasi termasuk
tenaga medis di Klinik Pratama, sedangkan jumlah seharusnya sesuai Standar
Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku adalah 280 orang. (Sumber: Wawancara
peneliti dengan Tri Nurtopo, MT selaku Kepala Bagian Umum dan Kepegawaian
BNN Provinsi Banten tanggal 16 Januari 2017 pukul 10.30 WIB)
Dengan permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, maka
hal tersebutlah yang melatarbelakangi peneliti tertarik untuk mengaplikasikan dalam
penelitian yang berjudul “Strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten
dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba”.
1.2. Identifikasi Masalah
1. Terjadinya peningkatan jumlah penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten
berdasarkan data Survei Nasional Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba Tahun
Anggaran 2014.
2. Belum optimalnya diseminasi informasi mengenai bahaya narkoba di bidang
Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat (P2M).
3. Belum adanya alat yang dapat menunjukkan derajat toksinasi penggunaan
narkoba.
4. Belum tersedianya sarana dan prasarana untuk pelaksanaan rehabilitasi rawat
inap.
22
5. Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) di Badan Narkotika Nasional
Provinsi Banten.
1.3. Batasan Masalah
Peneliti membatasi ruang lingkup penelitian yang diteliti yaitu pada
Strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan
dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di sampaikan di atas, maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah Bagaimana Strategi Badan Narkotika
Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba?
1.5. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan mendapat gambaran jelas mengenai Strategi Badan Narkotika
Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba.
1.6. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
23
1) Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini sangat bermanfaat karena dapat digunakan sebagai bahan
untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang teori-teori dan
konsep-konsep yang diperoleh selama perkuliahan dibandingkan dengan
penerapannya secara nyata.
b. Untuk menambah bahan referensi dan bahan masukan untuk penelitian
selanjutnya.
2) Manfaat Praktis
a. Bagi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten, dan di Provinsi,
Kabupaten/Kota lainnya dapat sebagai masukan dalam mengembangkan
upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
b. Bagi masyarakat dapat menjadi masukan yang positif bagi masyarakat
tetang bahaya penyalahgunaan narkoba.
c. Bagi penulis sebagai tambahan pengetahuan dalam bidang Administrasi
Publik khusunya manajemen strategi terkait dengan Strategi Badan
Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba.
1.7. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan garis besar penyusunan penelitian ini yang
berujuan untuk memudahkan dalam memahami secara keseluruhan isi dari
penyusunan penelitian ini. Adapun sistematika penulisan penelitian mengenai
24
Strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Latar belakang masalah menerangkan atau menjelaskan ruang lingkup dan
kedudukan masalah yang akan diteliti. Bentuk penerapan dan penjelasan
diuraikan secara deduktif, artinya dimulai dari penjelasan yang berbentuk
umum hingga memiliki masalah spesifik dan relevan.
1.2 Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah mendeteksi aspek permasalahan yang muncul berkaitan
dari tema/topik/judul penelitian atau dengan masalah.
1.3 Batasan Masalah
Pembatasan masalah memfokuskan pada masalah spesifik yang akan diajukan
dalam rumusan masalah.
1.4 Rumusan Masalah
Rumusan masalah bertujuan untuk memiliki dan menetapkan masalah yang
paling penting yang berkaitan dengan judul penelitian.
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian mengungkapkan tentang sasaran yang ingin dicapai dengan
dilaksanakannya penelitian terhadap permasalahan yang telah dirumuskan
sebelumnya.
25
1.6 Manfaat Penelitian
Menjelaskan manfaat teoritis dan praktis dalam temuan penelitian. Manfaat
teoritis berguna memberikan kontribusi tertentu terhadap perkembangan teori
dan ilmu pengetahuan serta dunia akademis. Manfaat praktis memberikan
kontribusi tertentu terhadap objek penelitian, baik individual, kelompok
maupun organisasi.
1.7 Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang sistematis serta dapat dengan mudah
dipahami maka tugas Skripsi ini disusun berdasarkan ketentuan yang biasa
digunakan sesuai petunjuk dari perguruan tinggi dimana penulis belajar.
BAB II Tinjauan Pustaka, Kerangka Pemikiran dan Asumsi Dasar Penelitian
2.1 Deskripsi Teori
Deskripsi teori memuat hasil kajian terhadap sejumlah teori yang relevan
dengan permasalahan yang variabel penelitian sehingga akan memperoleh
konsep penelitian yang jelas
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjelaskan tentang referensi penelitian yang sudah ada
sebelumnya.
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penelitian menggambarkan alur pikiran peneliti sebagai
kelanjutan dari teori untuk memberikan penjelasan kepada pembaca dapat
26
dilengkapi dengan sebuah bagan yang menunjukkan alur pikiran peneliti
serta kaitan antara teori yang diteliti.
2.4 Asumsi Dasar Penelitian
Asumsi dasar penelitian menjelaskan tentang pikiran awal peneliti terhadap
suatu masalah atau kajian yang diteliti.
BAB III Metodologi Penelitian
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian
Bagian ini menguraikan tentang pendekatan penelitian kualitatif deskriptif.
3.2 Fokus Penelitian
Bagian ini membatasi dan menjelaskan substansi materi kajian penelitian
yang akan dilakukan.
3.3 Lokasi Penelitian
Menjelaskan tempat (locus) penelitian dilaksanakan dan alasan memilihnya.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian menjelaskan tentang instrumen penelitian yang dipakai
oleh peneliti dalam melakukan penelitian.
3.5 Informan Penelitian
Menjelaskan tentang teknik yang digunakan dalam menentukan informan
penelitian.
27
3.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Menjelaskan tentang teknik analisis dan rasionalisasinya yang sesuai dengan
sifat data yang diteliti. Pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui
pengamatan berperan serta, wawancara, dokumen dan bahan-bahan visual.
Analisis data dilakukan melalui pengkodean dan pengkodingan data
(berdasarkan kategorisasi data) sampai penyimpulan akhir.
3.7 Jadwal Penelitian
Menjelaskan tentang waktu penelitian dari waktu pelaksanaan penelitian
sampai penelitian itu berakhir.
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
Menjelaskan mengenai objek penelitian yang meliputi lokasi penelitian
secara jelas, struktur organisasi dan populasi atau sampel (dalam penelitian
ini menggunakan informan).
4.2 Deskripsi Data
Menjelaskan hasil penelitian yang diolah dari data mentah dengan
mempergunakan teknik analisa data yang relevan.
4.3 Temuan Lapangan
Menjelaskan hasil penelitian yang telah diolah dari data mentah dengan
menggunakan teknik analisa data kualitatif.
28
4.4 Pembahasan
Merupakan pembahasan lebih lanjut dan lebih rinci terhadap hasil penelitian.
Bab V Penutup
5.1 Kesimpulan
Menyimpulkan hasil penelitian yang diungkapkan secara jelas, singkat dan
juga mudah dipahami.
5.2 Saran
Memiliki isi berupa tindak lanjut dari sumbangan penelitian terhadap bidang
yang diteliti secara teoritis maupun praktis.
29
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI
DASAR PENELITIAN
2.1. Landasan Teori
Tinjauan pustaka dalam penelitian merupakan rangkaian atau uraian beberapa
teori yang berhubungan dengan masalah penelitian. Penelitian mengenai Strategi
Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba akan dikaji dengan beberapa teori dalam
ruang lingkup Administrasi Publik untuk mendukung masalah penelitian diantaranya
yaitu: Definisi Manajemen, Definisi Strategi, Definisi Manajemen Strategi,
Pendekatan dalam Manajemen Strategi, Proses Manajemen Strategi, Konsep Analisis
SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, Treathts), Pengertian Narkotika,
Penggolongan Narkotika, Dampak Penyalahgunaan Narkoba, The Four Pillar Drug
Strategy dan Konsep P4GN
2.1.1. Definisi Manajemen
Secara etimologi, management (di Indonesia diterjemahkan sebagai
“manajemen” berasal dari kata manus (tangan) dan agree (melakukan), yang
kemudian digabung menjadi kata manage (bahasa Inggris) berarti mengurus atau
managiere (bahasa latin) yang berarti melatih.
30
Manajemen menurut R.Terry dalam Sedarmayanti (2014:1)
“Management is a distinct process consisting of planning, organizing,
actuating and controlling performed to determine and accomplish stated
objective by the use of human being and other resources.”
Maksudnya, manajemen adalah suatu proses khusus yang terdiri dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan yang dilakukan
untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui
pemanfaatan sumber daya manusia dan lainnya.
Selanjutnya pengertian manajemen menurut Harold dan O`Donnel dalam
Sedarmayanti (2014:1) adalah sebagai berikut :
“Management is getting things done trought people. In bringing about this
coordinating of group activity, the manager, as a manager plants, organizes,
staffs, direct and control the activities other people.”
“Manajemen adalah usaha mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan
orang lain. Dengan demikian manajer mengadakan koordinasi atas sejumlah
aktivitas orang lain yang meliputi perencanaan, pengorganisasian,
penempatan, pengarahan dan pengendalian.”
Menurut Stoner dalam Handoko (2003:8)
“Manajemen adalah proses perencananan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber
daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang
telah ditetapkan,”
Sedangkan menurut Hasibuan dalam bukunya Manajemen (2006:9)
Manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia
dan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk suatu tujuan tertentu.
31
Berdasarkan definisi yang diungkapkan para ahli, manajemen adalah proses
yang terdiri dari rangkaian kegiatan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan
pengendalian/pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan
yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya
lainnya.
2.1.2. Definisi Strategi
Strategi tidak saja dilakukan oleh organisasi yang berorientasi pada
keuntungan saja, namun juga dibutuhkan dan dilakukan oleh organisasi yang
bergerak di bidang sosial kemasyarakatan. Istilah strategi berasal dari bahasa Yunani
strategeia (stratos : militer, dan ag : pemimpin) yang artinya seni atau ilmu untuk
menjadi seorang jenderal, dimana jenderal tersebut dibutuhkan untuk memimpin
suatu angkatan perang agar dapat selalu memenangkan perang. Strategi merupakan
cara terbaik yang dijalankan untuk mencapai tujuan tertentu. (Husein, 2008:31)
Strategi secara umum adalah proses penentuan rencana pemimpin puncak
berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan cara/upaya
bagaimana agar tujuan dapat dicapai. Sedangkan strategi secara khusus adalah
tindakan yang bersifat terus-menerus, mengalami peningkatan dan dilakukan sesuai
sudut pandang tentang apa yang diinginkan serta diharapkan oleh konsumen di masa
depan. Dengan strategi ini maka ada yang hampir dimulai dari apa yang selalu untuk
bisa terjadi dan bukan yang dimulai dari apa yang terjadi. Terjadinya kecepatan
32
inovasi pasar yang baru dan perubahan pola konsumen memerlukan kompetensi inti.
Perusahaan perlu mencari kompetensi inti di dalam bisnis yang dilakukan.
(Sedarmayanti, 2014:2)
Menurut Chandler dalam Freddy Rangkuti (2003:1)
“Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam kaitannya dengan
tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumber
daya, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumber daya yang penting
untuk mencapai tujuan tersebut. Pamahaman yang baik mengenai konsep
strategi dan konsep-konsep lain yangberkaitan, sangat menentukan suksesnya
strategi yang disusun.”
Strategi yang berhasil menurut Robert M. Grant (1999:26) memiliki empat
unsur utama, yaitu :
1) Strategi tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan yang jelas dan dalam
rangka waku yang panjang
2) Strategi didasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap lingkungan
eksternal
3) Stretegi didasarkan pada pemahaman yang mendalam mengenai kemampuan
internal organisasi maupun indivdu
4) Strategi dilakanakan dengan resolusi, koordinasi, serta pemanfaatan yang
efektif terhadap kemampuan dan komitmen dari semua anggota organisasi.
33
Berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh para ahli, dapat disimpulkan
bahwa strategi merupakan suatu rencana permanen atau cara terbaik dan langkah-
langkah yang harus ditempuh untuk sebuah kegiatan yang didalamnya termasuk
formulasi tujuan dan kumpulan rencana kegiatan untuk memperoleh suatu
keberhasilan. Hal ini mengidentifikasikan adanya upaya memperkuat daya saing
pekerjaan kegiatan dalam mengelola organisasi dan mencegah adanya pengaruh luar.
2.1.3. Definisi Manajemen Strategi
Strategi memiliki kegiatan yang erat dengan konsep perencanaan dan
pengambilan keputusan, sehingga strategi berkembang menjadi manajemen strategi.
Menurut Hunger dan Wheelen (2003:4) dalam bukunya yang berjudul “Manajemen
Strategis”, manajemen strategis adalah serangkaian keputusan dan tindakan
manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Manajemen
strategis meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi (perencanaan strategis
atau perencanaan jangka panjang), implementasi strategi dan evaluasi serta
pengendalian. Manajemen strategis menekankan pada pengamatan dan evaluasi
peluang dan ancaman lingkungan dengan melihat kekuatan dan kelemahan
perusahaan. Manajemen strategis juga dikatakan sebagai suatu bidang ilmu yang
menggabungkan kebijakan bisnis dengan lingkungan dan tekanan strategis. Oleh
karena itu, istilah manajemen strategi biasanya menggantikan istilah kebijakan bisnis
sebagai suatu bidang ilmu.
34
Manajemen strategis juga dapat dikatakan sebagai respons atas meningkatnya
pergolakan lingkungan. Pengelolaan perusahaan diperhatikan dan dilihat secara
menyeluruh dan berusaha menjelaskan mengapa beberapa perusahaan berkembang
dan maju dengan pesat, sedangkan yang lainnya tidak maju dan akhirnya bangkrut.
(Hunger dan Wheelen 2003:4). Sedangkan manajemen strategis menurut Fred
(2004:5) dalam bukunya yang berjudul “Manajemen Strategis” didenifisikan sebagai
seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi
keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai obyektifnya.
Dua ahli lain, Pearce dan Robinson (2011:5) dalam bukunya “Manajemen
Strategis : formulasi, implementasi dan pengendalian” mendefinisikan Manajemen
Strategi sebagai satu set keputusan dan tindakan yang menghasilkan perumusan
(formulasi) dan pelaksanaan (implementasi) rencana yang dirancang untuk meraih
tujuan suatu perusahaan.
Diorgantoro (2001:9) juga memberikan beberapa definisi tentang manajemen
strategis , yaitu sebagai berikut:
1. Suatu proses berkesinambungan yang membuat organisasi secara keseluruhan
dapat match dengan lingkungannya, atau dengan kata lain, organisasi secara
keseluruhan dapat selalu responsif terhadap perubahan-perubahan di dalam
lingkungannya, baik bersifat internal maupun eksternal.
35
2. Kombinasi ilmu dan seni untuk memformulasikan, mengimplementasikan,
dan mengevaluasi keputusan yang bersifat cross-fungsional yang
memungkinkan organisasi mencapai tujuannya.
3. Usaha untuk mengembangkan kekuatan yang ada di perusahaan untuk
menggunakan atau menangkap peluang bisnis yang muncul guna mencapai
tujuan perusahaan yang telah ditetapkan sesuai misi yang telah ditentukan.
Menurut Nawawi (2005:148-149) pengertian Manajemen Strategi ada 4
(empat). Pertama diartikan sebagai proses atau rangkaian kegiatan pengambilan
keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai penetapan cara
melaksanakannya, yang dibuat oleh manajemen puncak dan diimplementasikan oleh
seluruh jajaran di dalam suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Dari pengertian
tersebut terdapat beberapa aspek penting, antara lain :
a. Manajemen strategik merupakan proses pengambilan keputusan.
b. Keputusan yang ditetapkan bersifat mendasar dan menyeluruh yang
berarti berkenaan dengan aspek-aspek yang penting dalam kehidupan
sebuah organisasi, terutama tujuan dan cara melaksanakannya.
c. Pembuatan keputusan tersebut harus dilakukan sekurang-kurangnya
melibatkan pemimpin puncak sebagai penanggungjawab utama pada
keberhasilan atau kegagalan organisasinya.
36
d. Pengimplementasian keputusan tersebut sebagai strategi organisasi
untuk mencapai tujuan strategiknya dilakukan oleh seluruh jajaran
organisasi.
e. Keputusan yang ditetapkan manajemen puncak harus
diimplementasikan oleh seluruh jajaran organisasi dalam bentuk
kegiatan/pelaksanaan pekerjaan yang terarah pada tujuan strategik
organisasi.
Pengertian manajemen strategik yang kedua adalah usaha manajerial
menumbuhkembangkan kekuatan organisasi untuk mengeksploitasi peluang yang
muncul guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang telah
ditentukan. Dari pengertian tersebut, terdapat konsep yang secara relatif lebih lua dari
pengertian yang pertama yang menekankan bahwa “manajemen strategik merupakan
usaha manajerial menumbuhkembangkan kekuatan organisasi”.
Pengertian yang ketiga, Manajemen Strategik adalah arus keputusan dan
tindakan yang mengarah pada pengembangan strategi yang efektif untuk membantu
mencapai tujuan organisasi. Pengertian ini menekankan bahwa arus keputusan dari
pimpinan organisasi dan tindakan berupa pelaksanaan keputusan, harus menghasilkan
satu atau lebih strategi, sehingga dapat memilih yang paling efektif atau yang paling
handal dalam usaha mencapai tujuan organisasi.
37
Pengertian yang keempat, Manajemen Strategik adalah perencanaan berskala
besar (disebut Perencanaan Strategik) yang berorientasi pada jangkauan masa depan
yang jauh (disebut VISI), dan ditetapkan sebagai keputusan manajemen puncak
(keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar memungkinkan organisasi
berinteraksi secara efektif (disebut MISI), dalam usaha menghasilkan sesuatu
(Perencanaan Operasional) yang berkualitas, dengan diarahkan pada optimalisasi
pencapaian tujuan (disebut Tujuan Strategik) dan berbagai sasaran (Tujuan
Operasional) organisasi.” Pengertian yang cukup luas ini menunjukkan bahwa
Manajemen Strategik merupakan suatu sistem yang sebagai satu kesatuan memiliki
berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan
bergerak secara serentak ke arah yang sama pula. Komponen pertama adalah
Perencanaan Strategik dengan unsur – unsurnya yang terdiri dari Visi, Misi, Tujuan
Strategik organisasi. Sedang komponen kedua adalah Perencanaan Operasional
dengan unsur – unsurnya adalah Sasaran atau Tujuan Operasional, Pelaksanaan
Fungsi – fungsi manajemen berupa fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan
fungsi penganggaran, kebijaksanaan situasional, jaringan kerja Internal dan eksternal,
fungsi kontrol dan evaluasi serta umpan balik. Manajemen strategik sebagai suatu
sistem dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut :
38
Gambar 2.1
Model Manajemen Strategi sebagai Sistem Menurut Nawawi
(Sumber : Nawawi, 2005:151)
Di samping itu dari pengertian Manajemen Strategik yang terakhir, dapat
disimpulkan beberapa karakteristiknya sebagai berikut (Nawawi, 2005:151) :
1. Manajemen Strategik diwujudkan dalam bentuk perencanaan berskala besar
dalam arti mencakup seluruh komponen di lingkungan sebuah organisasi yang
dituangkan dalam bentuk Rencana Strategik (RENSTRA) yang dijabarkan
39
menjadi Perencanaan Operasional (RENOP), yang kemudian dijabarkan pula
dalam bentuk program – program kerja.
2. Rencana Strategik berorientasi pada jangkauan masa depan (5 tahun). Sedang
Rencana Operasionalnya ditetapkan untuk setiap tahun atau setiap lima tahun.
3. VISI, MISI, pemilihan strategik yang menghasilkan Strategi Utama (Induk)
dan Tujuan Strategik Organisasi untuk jangka panjang, merupakan acuan
dalam merumuskan RENSTRA, namun dalam teknik penempatannya sebagai
keputusan Manajemen Puncak secara tertulis semua acuan tersebut terdapat di
dalamnya.
4. RENSTRA dijabarkan menjadi RENOP yang antara lain berisi program –
program operasional.
5. Penetapan RENSTRA dan RENOP harus melibatkan Manajemen Puncak
(Pimpinan) karena sifatnya sangat mendasar dalam pelaksanaan seluruh misi
organisasi.
6. Pengimplementasian Strategi dalam program – program untuk mencapai
sasarannya masing – masing dilakukan melalui fungsi – fungsi manajemen
yang mencakup pengorganisasian, pelaksanaan, penganggaran dan kontrol.
40
2.1.4. Aspek Penting Manajemen Strategi
Makna konsep manajemen strategi dalam (Sedarmayanti, 2014:11) adalah:
1) Menghubungkan fungsi perencanaan dengan sistem administrasi dan struktur
organisasi.
2) Strategi dan implementasi merupakan satu kesatuan yang menggambarkan
tugas manajerial di semua tingkat dan lini organisasi.
3) Tiga isu penting dalam konsep manajemen strategi:
a. Pentingnya integrasi sistem administrasi dan struktur organisasi.
b. Pentingnya integrasi antara strategi dan implementasi.
c. Pentingnya infrastruktur manajerial dan budaya organisasi.
Keuntungan manajemen strategi dalam (Sedarmayanti, 2014:11) adalah:
1) Memungkinkan identifikasi, pemrioritasan, dan pemanfaatan peluang.
2) Menciptakan kerangka kerja bagi komunikasi internal antarpersonel.
3) Merepresentasikan kerangka kerja untuk aktivitas koordinasi dan 40ontrol
lebih baik.
4) Memungkinkan keputusan besar yang mampu mendukung tujuan yang telah
ditetapkan secara lebih baik.
5) Mendorong hadirnya pemikiran ke depan.
Sasaran utama manajemen strategi dalam (Sedarmayanti, 2014:11) adalah: :
41
1) Tumbuhnya perubahan di berbagai bidang secara terus menerus
2) Menekan pada pencapaian hasil dan dampaknya
3) Meningkatnya kemampuan mengukur kinerja.
2.1.5. Proses Manajemen Strategi
Pada dasarnya dalam suatu perusahaan untuk dapat mencapai suatu tujuan
tertentu dan keberhasilan diperlukan suatu proses manajemen yang baik. Wheelen
dan Hunger (2003:9) menjelaskan proses manajemen strategi meliputi empat elemen
dasar: (1) pengamatan lingkungan, (2) perumusan strategi, (3) implementasi
strategi, dan (4) evaluasi dan pengendalian.
Gambar 2.2
Model Proses Manajemen Strategis
Sumber : Wheleen dan Hunger, 2003:11
Gambar 2.2 menunjukkan interaksi keempat elemen tersebut. Pada level
korporasi, proses manajemen strategi meliputi aktivitas-aktivitas mulai dari
pengamatan lingkungan sampai evaluasi kinerja. Manajemen mengamati
lingkungan eksternal untuk melihat kesempatan dan ancaman dan mengamati
Feed Back
Pengamatan
Lingkungan
Perumusan
Strategi
Evaluasi dan
Pengendalian
Implementasi
Strategi
42
lingkungan internal untuk melihat kekuatan dan kelemahan. Faktor-faktor yang
paling penting untuk masa depan perusahaan disebut faktor-faktor strategis dan
diringkas dengan singkatan S.W.O.T yang berarti Strength (kekuatan), Weakness
(kelemahan), Opportunities (peluang), dan Threats (ancaman). Setelah
mengidentifikasi faktor-faktor strategis, manajemen mengevaluasi interaksinya
dan menentukan misi perusahaan yang sesuai. Langkah pertama dalam
merumuskan strategi adalah pernyataan misi, yang berperan penting dalam
menentukan tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Perusahaan
mengimplementasi strategi dan kebijakan tersebut melalui program, anggaran,
dan prosedur, akhirnya evaluasi kinerja dan umpan balik untuk memastikan
tepatnya pengendalian aktivitas perusahaan.
1. Pengamatan Lingkungan
a. Analisis Eksternal
Lingkungan eksternal terdiri dari variabel-variabel (kesempatan dan
ancaman) yang berada di luar organisasi dan tidak khusus ada dalam
mengendalikan jangka pendek dari manajemen puncak. Variabel-variabel
tersebut membentuk keadaan dalam organisasi dimana organisasi ini hidup.
Lingkungan eksternal memiliki dua bagian yaitu lingkungan kerja dan
lingkungan sosial. Lingkungan kerja terdiri dari elemen-elemen atau
kelompok yang secara langsung berpengaruh atau di pengaruhi oleh operasi-
operasi utama organisasi. Beberapa elemen tersebut adalah pemegang saham,
43
pemerintah, pemasok, komunitas lokal, pesaing, pelanggan, kreditur, serikat
buruh, kelompok kepentingan khusus, dan asosiasi perdagangan. Lingkungan
kerja perusahaan sering disebut industri. Lingkungan sosial terdiri dari
kekuatan umum, kekuatan itu tidak berhungan langsung dengan aktivitas-
aktivitass jangka pendek organisasi tetapi dapat dan sering mempengaruhi
keputusan-keputusan jangka panjang.
b. Analisis Internal
Lingkungan internal terdiri dari variabel-variabel (kekuatan dan
kelemahan) yang ada didalam organisasi tetapi biasanya tidak dalam
pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak. Variabel-variabel
tersebut membentuk suasana dimana pekerjaan dilakukan. Variabel- variabel
itu meliputi struktur, budaya, dan sumber daya organisasi:
1. Struktur adalah cara bagaimana perusahaan diorganisasikan yang
berkenaan dengan komunikasi, wewenang, dan arus kerja.
2. Budaya adalah pola keyakinan, pengharapan dan nilai-nilai yang
diberikan oleh anggota organisasi.
3. Sumber daya adalah yang merupakan bahan baku bagi produksi barang
dan jasa organisasi, yang meliputi keahlian orang, kemampuan dan
bakat manajerial .
44
2. Perumusan Strategi
Perumusan strategi adalah pengembangan rencana jangka panjang untuk
manajemen efektif dari kesempatan dan ancaman lingkungan, dilihat dari kekuatan
dan kelemahan perusahaan. Perumusan strategi meliputi menentukan misi
perusahaan, menentukan tujuan-tujuan yang dicapai, pengembangan strategi dan
penetapan pedoman kebijakan.
a. Misi
Misi organisasi adalah tujuan atau alasan mengapa organisasi hidup.
Pernyataan misi yang disusun dengan baik mendefinisikan tujuan mendasar
dan unik yang membedakan suatu perusahaan dengan perusahaan lain. Misi
dapat ditetapkan secara sempit atau secara luas. Tipe pernyataan visi
sempit menegaskan secara jelas bisnis utama organisasi, misi ini juga
secara jelas membatasi jangkauan aktivitas perusahaan yang berhubungan
dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Sedangkan misi luas melebarkan
jangkauan aktivitas organisasi untuk memasukan banyak tipe produk atau
jasa, pasar dan teknologi.
b. Tujuan
Tujuan adalah hasil akhir aktivitas perencanaan. Tujuan merumuskan
apa yang akan diselesaikan dan kapan akan diselesaikan, dan sebaliknya
diukur jika memungkinkan. Istilah sasaran (goal) sering rancu dengan
istilah tujuan (objective). Sasaran adalah pernyataan terbuka yang berisi
45
suatu harapan yang akan diselesaikan tanpa perhitungan apa yang akan
dicapai dan tidak ada penjelasan waktu penyelesaian.
c. Strategi
Strategi perusahaan merupakan rumusan perencanaan komprehensif
tentang bagaimana perusahaan akan mencapai misi dan tujuan. Strategi
akan memaksimalkan keunggulan kompetitif dan meminimalkan
keterbatasan bersaing.
d. Kebijakan
Aliran dari strategi, kebijakan menyediakan pedoman luas untuk
pengambilan keputusan organisasi secara keseluruhan. Kebijakan juga
merupakan pedoman luas yang menghubungkan perumusan strategi dan
implementasi.
3. Implementasi Strategi
Implementasi strategi adalah proses dimana manajemen mewujudkan
strategi dan kebijakan dalam tindakan melalui pengembangan program, anggaran
dan prosedur. Proses tersebut mungkin meliputi perubahan budaya secara
menyeluruh, struktur dan atau sistem manajemen dari organisasi secara
keseluruhan. Kecuali ketika diperlukan perubahan secara drastis pada perusahaan,
manajer level menengah dan bawah akan mengimplementasi strateginya secara
khusus dengan pertimbangan dari manajemen puncak. Kadang-kadang dirujuk
46
sebagai perencanaan operasional, implementasi strategi sering melibatkan
keputusan sehari-hari dalam alokasi sumber daya.
a. Program
Program adalah pernyataan aktivitas-aktivitas atau langkah-langkah
yang diperlukan untuk menyelsaikan perencanaan sekali pakai. Program
melibatkan restrukturisasi perusahaan, perubahan budaya internal
perusahaan, atau awal dari suatu usaha penelitian baru.
b. Anggaran
Anggaran merupakan program yang dinyatakan dalam bentuk satuan
uang. Setiap program akan dinyatakan dengan rinci dalam biaya, yang
dapat digunakan dalam manajemen untuk merencanakan dan
mengendalikan.
c. Prosedur
Prosedur kadang-kadang disebut Standard Operating Procedures (SOP).
Prosedur adalah sistem langkah-langkah atau teknik-teknik yang berurutan
yang menggambarkan secara rinci bagaimana suatu tugas atau pekerjaan
diselesaikan. Secara khusus merinci bagaimana aktivitas yang harus
dikerjakan untuk menyelesaikan program-program perusahaan.
4. Evaluasi dan Pengendalian
Evaluasi dan pengendalian adalah proses yang melaluinya aktivitas-
aktivitas perusahaan dan hasil kinerja dimonitor dan kinerja sesungguhnya
47
dibandingkan dengan kinerja yang diinginkan. Para manajer di semua level
menggunakan informasi hasil kinerja untuk melakukan tindakan perbaikan dan
memecahkan masalah. Walaupun evaluasi dan pengendalian merupakan elemen
akhir yang utama dari manajemen strategis, elemen itu juga dapat menunjukan
secara cepat kelemahan-kelemahan dalam implementasi strategi sebelumnya dan
mendorong proses keseluruhan untuk dimulai kembali. (Hunger dan Wheleen,
2003:19)
Agar evaluasi dalam pengendalian efektif, manajer harus mendapatkan
umpan balik yang jelas, tepat, dan tidak bias dari orang-orang bawahannya yang
ada dalam hiererki perusahaan. Evaluasi kinerja dan pengendalian mengakhiri
model manajemen strategi. Berdasarkan hasil kinerja, manajemen mungkin akan
melakukan penyesuaian terhadap perumusan strategi atau implementasi, atau
keduanya, seperti gambar 2.3 di bawah ini :
48
Gambar 2.3
Model Manajemen Strategis
Sumber : Wheleen dan Hunger (2003:1)
Evaluasi dan pengendalian dapat menunjukkan secara cepat kelemahan-
kelemahan dalam implementasi strategi sebelumnya dan mendorong proses baru.
Evaluasi dan pengendalian merupakan langkah akhir yang utama dari rangkaian
proses model manajemen strategis. Sasaran dari evaluasi dan pengendalian yaitu
munculnya umpan balik. Umpan balik dapat dijadikan masukan bagi organisasi untuk
mengidentifikasikan kesalahan atau kekurangan dari implementasi strategi.
Berdasarkan proses-proses yang ada di dalam suatu manajemen strategi, dapat
dikatakan bahwa manajemen strategi merupakan suatu usaha yang saling berkaitan di
49
dalam organisasi, mulai dari perumusan strategi sampai evaluasi strategi. Dengan
melaksanakan manajemen strategi, suatu organisasi dapat menciptakan suatu
perubahan dalam jangka waktu yang panjang.
2.1.6. Konsep Analisis SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities,
Treathts)
Yang dimaksud dengan analisis SWOT adalah suatu cara menganalisis faktor-
faktor internal dan eksternal menjadi langkah-langkah strategi dalam pengoptimalan
usaha yang lebih menguntungkan. Dalam analisis faktor-faktor internal dan eksternal
akan ditentukan aspek-aspek yang menjadi kekuatan (Strengths), kelemahan
(Weakness), kesempatan (Opportunities), dan yang menjadi ancaman (Treaths)
sebuah organisasi. Dengan begitu akan dapat ditentukan berbagai kemungkinan
alternatif strategi yang dapat dijalankan (Rangkuti, 2006:19).
Dalam pengelolaan dan pengembangan suatu aktifitas memerlukan suatu
perencanaan strategis, yaitu suatu pola atau struktur sasaran yang saling mendukung
dan melengkapi menuju ke arah tujuan yang menyeluruh. Sebagai persiapan
perencanaan, agar dapat memilih dan menetapkan strategi dan sasaran sehingga
tersusun program-program dan proyek-proyek yang efektif dan efisien maka
diperlukan suatu analisis yang tajam dari para pegiat organisasi. Salah satu analisis
yang cukup populer di kalangan pelaku organisasi adalah Analisis SWOT.
50
Analisa ini terbagi atas empat komponen dasar yaitu :
1. S = Strength, adalah situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari
organisasi atau program pada saat ini.
2. W = Weakness, adalah situasi atau kondisi yang merupakan kelemahan dari
organisasi atau program pada saat ini.
3. O = Opportunity, adalah situasi atau kondisi yang merupakan peluang di
luar organisasi dan memberikan peluang berkembang bagi organisasi di masa
depan.
4. T = Threat, adalah situasi yang merupakan ancaman bagi organisasi yang
datang dari luar organisasi dan dapat mengancam eksistensi organisasi di
masa depan.
Menurut Rangkuti (2006), Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas
bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat
disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat
menghasilkan empat set kemungkinan altenatif strategis.
51
Gambar 2.4
Matriks SWOT
Berikut ini adalah keterangan dari matriks SWOT diatas :
1. Strategi SO (Strength and Oppurtunity). Strategi ini dibuat berdasarkan
jalan pikiran perusahaan, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan
untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar – besarnya. Strategi SO
menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk memanfaatkan peluang
eksternal.
2. Strategi ST (Strength and Threats). Strategi dalam menggunakan kekuatan
yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman. Strategi ST
menggunkaan kekuatan internal perusahaan untuk menghindari atau
mengurangi dampak ancaman eksternal.
3. Strategi WO (Weakness and Oppurtunity). Strategi ini diterapkan
berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan
52
kelemahan yang ada. Strategi WO bertujuan untuk memperbaiki
kelemahan internal dengan memanfaatkan peluang eksternal.
4. Strategi WT (Weakness and Threats). Strategi ini berdasarkan kegiatan
yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada
serta menghindari ancaman. Strategi WT bertujuan untuk mengurangi
kelemahan internal dengan menghindari ancaman eksternal.
2.1.7. Pengertian Narkotika
Kata Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “narke” atau narkam yang
berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa (Mardani, 2008:78). Sifat dari zat
tersebut terutama berpengaruh terhadap otak sehingga menimbulkan perilaku,
perasaan, pikiran, persepsi, perasaan, kesadaran, dan halusinasi disamping dapat
digunakan dalam pembiusan.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 menyebutkan dengan jelas pengertian
narkotika, yaitu : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan
dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. (UU No
35 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 1)
53
Menurut Badan Narkotika Nasional (2007:7), narkotika adalah obat, bahan
atau zat dan bukan tergolong makanan jika diminum, dihisap, dihirup, ditelan, atau
disuntikan, berpengaruh terutama pada kerja otak (susunan syaraf pusat) dan sering
menyebabkan ketergantungan.
Menurut Smith Kline dan Franceh Clinical Staff yang dikutip Hari Sasangka
(2003:33) mengemukakan :
Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran
atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf
sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis candu dan turunan candu
(morphine, codein, heroin) dan candu sintesis (meperidine dan metadone).
Pengertian lain juga dikemukakan oleh Riswanda 2016, „War on drugs:
polemic on policy formation and policy implementation‟_Penyuluhan Bahaya
Narkoba, KNPI, Serang-Banten, Indonesia ;
“A drug is any chemical substance that affects the physiological state of the
body, such as how the central nervous system works. Drugs can be
categorized according to whether they are legal or illegal, or by the type of
effect they have on the body. ”
“Narkoba adalah zat kimia yang mempengaruhi keadaan fisiologis tubuh,
seperti bagaimana sistem saraf pusat bekerja. Narkoba dapat dikategorikan
menurut apakah mereka legal atau ilegal, atau dengan jenis efek yang mereka
miliki dalam tubuh.”
Dari beberapa definisi tentang narkoba di atas, dapat di tarik kesimpulan
bahwa narkotika adalah zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran, atau
54
pembiusan dikarenakan zat tersebut bekerja mempengaruhi fungsi susunan syaraf dan
dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakainya.
2.1.8. Penggolongan Narkotika
Narkotika digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu Narkotika Golongan I,
Narkotika Golongan II, Narkotika Golongan III (UU No 35 Tahun 2009 Pasal 6).
a. Narkotika Golongan I tidak boleh untuk layanan kesehatan, hanya
diperbolehkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan
untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan (UU No 35 Tahun 2009 pasal 7 dan 8). Terdapat 65 Narkotika
Golongan I, yang dapat dilihat pada lampiran 1, dari sekian banyak jenis
narkotika yang sering disalahgunakan antara lain adalah :
1) Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk
buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan
sekadar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar
morfinnya.
55
3) Opium masak terdiri dari :
a) Candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan
pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian
denganatau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud
mengubahnya menjadi suatu ekstrak yangcocok untuk pemadatan.
b) Jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan
apakah candu itu dicampur dengandaun atau bahan lain.
c) Jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4) Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
5) Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk
serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui
perubahan kimia.
6) Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang
dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7) Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
8) Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian
dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau
bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
9) MDMA: (±)-N, α -dimetil-3,4- (metilendioksi) fenetilamina.
10) AMFETAMINA : (±)- α –metilfenetilamina
56
11) METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina.
b. Narkotika Golongan II dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat 1huruf b
yaitu ”Narkotika Golongan II” adalah Narkotika berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dandapat digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembanganilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
tinggi mengakibatkanketergantungan”.Narkotika Golongan II ada 86 macam
yang dapatdibaca pada lampiran 1.
c. Narkotika Golongan III dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf c
yaitu “Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat untuk pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan”. Narkotika Golongan III ada 14 macam yang dapat dibaca
pada lampiran 1.
2.1.9. Dampak Penyalahgunaan Narkoba
Narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif / psikotropika dapat
menyebabkan efek dan dampak negatif bagi pemakainya. Dampak yang negatif itu
sudah pasti merugikan dan sangat buruk efeknya bagi kesehatan mental dan fisik.
Meskipun demikian terkadang beberapa jenis obat masih dipakai dalam dunia
kedokteran, namun hanya diberikan bagi pasien-pasien tertentu, bukan untuk
dikonsumsi secara umum dan bebas oleh masyarakat. Oleh karena itu obat dan
57
narkotika yang disalahgunakan dapat menimbulkan berbagai akibat yang beraneka
ragam.
1. Dampak Fisik (Jasmani/Tubuh Manusia)
1) Gangguan pada jantung
2) Gangguan pada hemoprosik
3) Gangguan pada traktur urinarius
4) Gangguan pada otak
5) Gangguan pada tulang
6) Gangguan pada pembuluh darah
7) Gangguan pada endorin
8) Gangguan pada kulit
9) Gangguan pada sistem syaraf
10) Gangguan pada paru-paru
11) Gangguan pada sistem pencernaan
12) Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS,
Hepatitis, Herpes, TBC, dll.
13) Dan banyak dampak lainnya yang merugikan badan manusia.
Adaptasi biologis tubuh terhadap penggunaan narkoba untuk jangka waktu
yang lama bisa dibilang cukup ekstensif, terutama dengan obat-obatan yang tergolong
dalam kelompok downers. Tubuh kita bahkan dapat berubah begitu banyak hingga
58
sel-sel dan organ-organ tubuh kita menjadi tergantung pada obat itu hanya untuk bisa
berfungsi normal.
Salah satu contoh adaptasi biologis dapat dilihat dengan alkohol. Alkohol
mengganggu pelepasan dari beberapa transmisi syaraf di otak. Alkohol juga
meningkatkan cytocell dan mitokondria yang ada di dalam liver untuk menetralisir
zat-zat yang masuk. Sel-sel tubuh ini menjadi tergantung pada alcohol untuk menjaga
keseimbangan baru ini. Tetapi, bila penggunaan narkoba dihentikan, ini akan
mengubah semua susunan dan keseimbangan kimia tubuh. Mungkin akan ada
kelebihan suatu jenis enzym dan kurangnya transmisi syaraf tertentu. Tiba-tiba saja,
tubuh mencoba untuk mengembalikan keseimbangan didalamnya. Biasanya, hal-hal
yang ditekan/tidak dapat dilakukan tubuh saat menggunakan narkoba, akan dilakukan
secara berlebihan pada masa Gejala Putus Obat (GPO) ini. Misalnya, bayangkan
efek-efek yang menyenangkan dari suatu narkoba dengan cepat berubah menjadi
GPO yang sangat tidak mengenakkan saat seorang pengguna berhenti menggunakan
narkoba seperti heroin/putaw. Contoh: Saat menggunakan seseorang akan mengalami
konstipasi, tetapi GPO yang dialaminya adalah diare, dll.
GPO ini juga merupakan „momok‟ tersendiri bagi para pengguna narkoba.
Bagi para pecandu, terutama, ketakutan terhadap sakit yang akan dirasakan saat
mengalami GPO merupakan salah satu alasan mengapa mereka sulit untuk berhenti
menggunakan narkoba, terutama jenis putaw/heroin. Mereka tidak mau meraskan
59
pegal, linu, sakit-sakit pada sekujur tubuh dan persendian, kram otot, insomnia, mual,
muntah, dll yang merupakan selalu muncul bila pasokan narkoba kedalam tubuh
dihentikan.
Selain ketergantungan sel-sel tubuh, organ-organ vital dalam tubuh seperti
liver, jantung, paru-paru, ginjal,dan otak juga mengalami kerusakan akibat
penggunaan jangka panjang narkoba. Banyak sekali pecandu narkoba yang
berakhiran dengan katup jantung yang bocor, paru-paru yang bolong, gagal ginjal,
serta liver yang rusak. Belum lagi kerusakan fisik yang muncul akibat infeksi virus
{Hepatitis C dan HIV/AIDS} yang sangat umum terjadi di kalangan pengguna jarum
suntik.
2. Dampak Kejiwaan/Mental Manusia
1) Menyebabkan depresi mental.
2) Menyebabkan gangguan jiwa berat/psikotik.
3) Menyebabkan bunuh diri
4) Menyebabkan melakukan tindak kejehatan, kekerasan dan pengrusakan.
Efek depresi bisa ditimbulkan akibat kecaman keluarga, teman dan
masyarakat atau kegagalan dalam mencoba berhenti memakai narkoba. Namun orang
normal yang depresi dapat menjadi pemakai narkoba karena mereka berpikir bahwa
narkoba dapat mengatasi dan melupakan masalah dirinya, akan tetapi semua itu tidak
benar. Adapun upaya-upaya yang lebih kongkret yang dapat kita lakukan adalah
60
melakukan kerja sama dengan pihak yang berwenang untuk melakukan penyuluhan
tentang bahaya narkoba, atau mungkin mengadakan razia mendadak secara rutin.
Yang tak kalah penting adalah, pendidikan moral dan keagamaan harus lebih
ditekankan kepada siswa.
Ketergantungan mental ini lebih susah untuk dipulihkan daripada
ketergantungan fisik. Ketergantungan yang dialami secara fisik akan lewat setelah
GPO diatasi, tetapi setelah itu akan muncul ketergantungan mental, dalam bentuk
yang dikenal dengan istilah „sugesti‟. Orang seringkali menganggap bahwa sakaw
dan sugesti adalah hal yang sama, ini adalah anggapan yang salah. Sakaw bersifat
fisik, dan merupakan istilah lain untuk Gejala Putus Obat, sedangkan sugesti adalah
ketergantungan mental, berupa munculnya keinginan untuk kembali menggunakan
narkoba. Sugesti ini tidak akan hilang saat tubuh sudah kembali berfungsi secara
normal.
Sugesti ini bisa digambarkan sebagai suara-suara yang menggema di dalam
kepala seorang pecandu yang menyuruhnya untuk menggunakan narkoba. Sugesti
seringkali menyebabkan terjadinya 'perang' dalam diri seorang pecandu, karena di
satu sisi ada bagian dirinya yang sangat ingin menggunakan narkoba, sementara ada
bagian lain dalam dirinya yang mencegahnya. Suara-suara ini seringkali begitu
kencang sehingga ia tidak lagi menggunakan akal sehat karena pikirannya sudah
terobsesi dengan narkoba dan nikmatnya efek dari menggunakan narkoba. Sugesti
61
inilah yang seringkali menyebabkan pecandu relapse. Sugesti ini tidak bisa hilang dan
tidak bisa disembuhkan, karena inilah yang membedakan seorang pecandu dengan
orang-orang yang bukan pecandu. Orang-orang yang bukan pecandu dapat
menghentikan penggunaannya kapan saja, tanpa ada sugesti, tetapi para pecandu akan
tetap memiliki sugesti bahkan saat hidupnya sudah bisa dibilang normal kembali.
Sugesti memang tidak bisa disembuhkan, tetapi kita dapat merubah cara kita bereaksi
atau merespon terhadap sugesti itu.
Dampak mental yang lain adalah pikiran dan perilaku obsesif kompulsif, serta
tindakan impulsive. Pikiran seorang pecandu menjadi terobsesi pada narkoba dan
penggunaan narkoba. Narkoba adalah satu-satunya hal yang ada didalam pikirannya.
Ia akan menggunakan semua daya pikirannya untuk memikirkan cara yang tercepat
untuk mendapatkan uang untuk membeli narkoba. Tetapi ia tidak pernah memikirkan
dampak dari tindakan yang dilakukannya, seperti mencuri, berbohong, atau sharing
needle karena perilakunya selalu impulsive, tanpa pernah dipikirkan terlebih dahulu.
Ia juga selalu berpikir dan berperilaku kompulsif, dalam artian ia selalu mengulangi
kesalahan-kesalahan yang sama. Misalnya, seorang pecandu yang sudah keluar dari
sebuah tempat pemulihan sudah mengetahui bahwa ia tidak bisa mengendalikan
penggunaan narkobanya, tetapi saat sugestinya muncul, ia akan berpikir bahwa
mungkin sekarang ia sudah bisa mengendalikan penggunaannya, dan akhirnya
kembali menggunakan narkoba hanya untuk menemukan bahwa ia memang tidak
bisa mengendalikan penggunaannya. Bisa dikatakan bahwa dampak mental dari
62
narkoba adalah mematikan akal sehat para penggunanya, terutama yang sudah dalam
tahap kecanduan. Ini semua membuktikan bahwa penyakit adiksi adalah penyakit
yang licik, dan sangat berbahaya.
Narkoba adalah zat-zat yang mengubah mood seseorang (mood altering
substance). Saat menggunakan narkoba, mood, perasaan, serta emosi seseorang ikut
terpengaruh. Salah satu efek yang diciptakan oleh narkoba adalah perubahan mood.
Narkoba dapat mengakibatkan ekstrimnya perasaan, mood atau emosi penggunanya.
Jenis-jenis narkoba tertentu, terutama alkohol dan jenis-jenis narkoba yang termasuk
dalam kelompok uppers seperti Shabu-shabu, dapat memunculkan perilaku agresif
yang berlebihan dari si pengguna, dan seringkali mengakibatkannya melakukan
perilaku atau tindakan kekerasan. Terutama bila orang tersebut pada dasarnya
memang orang yang emosional dan bertemperamen panas. Ini mengakibatkan
tingginya domestic violence dan perilaku abusive dalam keluarga seorang alkoholik
atau pengguna Shabu-shabu.
Adiksi terhadap narkoba membuat seseorang kehilangan kendali terhadap
emosinya. Seorang pecandu acapkali bertindak secara impuls, mengikuti dorongan
emosi apapun yang muncul dalam dirinya. Dan perubahan yang muncul ini bukan
perubahan ringan, karena pecandu adalah orang-orang yang memiliki perasaan dan
emosi yang sangat mendalam. Para pecandu seringkali diselimuti oleh perasaan
bersalah, perasaan tidak berguna, dan depresi mendalam yang seringkali membuatnya
63
berpikir untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perasaan-perasaan ini pulalah yang
membuatnya ingin terus menggunakan, karena salah satu efek narkoba adalah
mematikan perasaan dan emosi kita. Di bawah pengaruh narkoba, ia dapat merasa
senang dan nyaman, tanpa harus merasakan perasaan-perasaan yang tidak
mengenakkan.
(Sumber:http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2014/03/20/957/dampak-
langsung-dan-tidak-langsung-penyalahgunaan-narkoba) di akses pada 25 Februari
2017.
2.1.10. The Four Pillar Drug Strategy
The four pillars approach, which is based upon the following four principles:
1. Prevention
This pillar includes strategies and interventions that help prevent harmful use
of alcohol, tobacco, illegal and prescription drugs. They may focus on:
a) Reduce individual, family, neighborhood and community harm from
substance use, abuse and addiction
b) Delay onset of first use
c) Reduce incident (rate of new cases over a period of time) and prevalence
(# of current cases at one time in a population) of problematic substance
use and substance dependence
64
d) Improve public health, safety and order
Prevention can include public education, employment training and jobs,
supportive and transitional housing and easily accessible healthcare. Prevention
goals should include delaying the onset of substance use among youth and address
the underlying causes of drug use. Prevention may also consider that factors such as
abuse, poverty, or a history of addiction in the family may influence choices but that
use can occur in individuals outside of the factors. This pillar requires the greatest
amount of commitment and collaboration across all sectors of the community over a
sustained period of time to show significant results. In the long-term, prevention will
have the greatest impact.
Identified Stakeholders:
1) Schools
2) Health Care Systems
3) Parents
4) Spirituality Groups
5) Employers/Businesses
6) Human Services
7) Non-profits
8) Media
9) Police
10) Civil Infrastructure/Connections
2. Treatment
The treatment pillar includes a range of interviews and support programs that
encourage people with addiction problems to make healthier decisions about their
65
lives. Treatment improves health by decreasing preventable deaths, illnesses and
injuries while improving social integration.
Early intervention is a crucial aspect of any treatment system. Treatment
seeks to create a continuum of care by recognizing that different drug use patters
must guide treatment strategies. Treatment services may include:
a) Core services at community health centers
b) Withdrawal management
c) Residential and non-residential services
d) Ongoing sober living
Identified Stakeholders:
1) Health Care Systems
2) Insurance Companies
3) Therapists/Treatment
Programs
4) Spirituality Groups
5) Non-profits
6) Human Services
7) Parents
8) Civil
Infrastructure/Connections
66
3. Harm Reduction
The goal of Harm reduction is to reduce harm to individuals and communities
from the sale and use of both legal and illegal substances. The principles require that
we do no harm to those suffering from substance addiction, and that we focus on the
harm caused by problematic use rather than the substance per se.
Harm reduction involves establishing achievable goals, which when taken
step by step, can lead to a healthier life for drug users and a healthier community. It
accepts that abstinence may not be a realistic goal for some drug users, particularly
short term. Harm reduction involves and achievable, pragmatic approach to drug
issues. Harm reduction interventions have proven successful in decreasing the open
drug scene, the spread of HIV/AIDS and hepatitis, overdoses and overdose deaths.
Identified Stakeholders:
1) Healthier Care Systems
2) Non-profits
3) Civic Infrastructure
4) Judicial Systems (e.g. Drug
Court)
5) Employers/Businesses
6) Media
67
4. Law Enforcement
The strategy for this pillar should recognize the need for peace, public order,
and safety. Policing alone is not a solution to the drug problem and that an
integrated approach including prevention, treatment, harm reduction, and policing
has proven effective. We cannot arrest our way out of this problem.
Identified Stakeholders:
1) Law Enforcement
2) Judicial System
3) Incarceration Facilities
4) Community Corrections
(Sumber : http://newmentalhealthconnection.org/page/fox-valley-substance-abuse-
coalition-0 diakses pada 7 Maret 2017 pukul 17.00 WIB)
Gambar 2.5
The Four Pillar Drug Strategy
68
Berdasarkan empat pilar strategi penanggulangan narkoba yang telah
dikemukakan diatas, maka strategi yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan empat pendekatan yang meliputi pencegahan (prevention), pengobatan
(treatment), pengurangan dampak buruk (harm Reduction) dan penegakan hukum
(law enforcement).
Pencegahan bertujuan menunda timbulnya penggunaan narkoba dan
mengatasi penyebab yang mendasari penggunaan narkoba. Hal tersebut dilakukan
diantaranya melalui pendidikan mengenai bahaya narkoba dan pelatihan kerja.
Pengobatan (treatment) dilakukan untuk mendorong seseorang dengan masalah
kecanduan narkoba untuk tidak kembali menggunakan narkoba dan membuat
keputusan yang sehat tentang kehidupan mereka dengan cara wawancara ataupun
program pengobatan lainnya. Pengurangan dampak buruk (harm Reduction)
memfokuskan pada bahaya narkoba terhadap individu dan masyarakat dari penjualan
dan penggunaan narkoba. Seluruh kegiatan dilakukan agar dapat membuat kehidupan
yang lebih sehat untuk pengguna narkoba dan masyarakat umum, dan yang terakhir
adalah penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan oleh pihak kepolisian
dan aparat hukum untuk ketertiban umum dan keamanan masyarakat. Strategi ini
harus dilakukan dengan terintegrasi juga pada kegiatan pencegahan, rehabilitasi, dan
pengurangan dampak buruk agar dapat berjalan efektif.
2.1.11. Konsep P4GN
Dalam rangka mewujudkan “Indonesia Negeri Bebas Narkoba” maka
dilakukan upaya dengan merumuskan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan
69
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN).
Dalam pelaksanaannya perlu dilakukan berbagai upaya yang terkoordinasi,
terintegrasi, menyeluruh dan terpadu baik di tingkat pusat maupun daerah, atas dasar
hal tersebut maka pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri dikeluarkan
Instruksi Presiden RI No. 3 Tahun 2002 tentang Penanggulangan Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropiksa, Prekursor, dan Zat Adiktif lainnya,
kemudian sebagai tindak lanjut maka pada tahun 2011 dikeluarkan Instruksi Presiden
RI No. 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional
Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba
(P4GN), pemerintah menginstruksikan kepada setiap lembaga tinggi baik di tingkat
pusat maupun daerah untuk melakukan upaya P4GN dan dalam pelaksanaannya
berkoordinasi dengan BNN.
Salah satu kegiatan sebagai bentuk tanggung jawab bersama dalam upaya
P4GN diantara pemerintah dengan masyarakat adalah meningkatkan koordinasi,
monitoring dan evaluasi program P4GN baik di tingkat pusat maupun daerah, melalui
penyelenggaraan Rapat Koordinasi (Rakor) BNN, BNNP, BNKab/Kota dan instansi
lain yang tergabung dalam upaya P4GN diantaranya Dirjen Pemasyarakatan,
Depkumham, Sekjen Depkominfo dan Bareskrim Polri. P4GN mempunyai lima pilar
kebijakan sasaran pelaksanaan kegiatan diantaranya :
1. Pencegahan, tindakan ini meliputi advokasi, diseminasi informasi, dan
intensifikasi dalam penyuluhanbagi masyarakat. Dalam pilar ini dibagi
70
kedalam dua golongan yaitu golongan pecandu narkoba dan golongan
masyarakat yang rentan narkoba.
2. Pemberdayaan Mayarakat, kegiatan ini dilakukan agar masyarakat
mengetahui dan mau untuk berpartisipasi aktif melalui kegiatan penguatan
masyarakat sehingga meminimalisir angka pemakaian narkoba.
3. Pemberantasan, tindakan yang bentuknya memotong jaringan antara pemasok
dan pemakai serta melaksanakan tugas yang meliputi penyidikan, penindakan
dengan cara upaya paksa (razia) dan upaya deteksi dini (test urine) dan
pengejaran dalam rangka pemutusan jaringan kejahatan terorganisir
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
4. Rehabilitasi. Demi tercapainya Indonesia Bebas Narkoba, maka Badan
Narkotika Nasional mengeluarkan kebijakan berupa penyelamatan para
pecandu narkoba yang ada di Indonesia dengan melakukan rehabilitasi.
5. Bidang Hukum dan Kerjasama Internasional. Hal ini dibutuhkan karena
peredaran narkoba bukan hanya kejahatan biasa melainkan merupakan
sindikat yang mencakup kejahatan terorganisir, kejahatan lintas Negara, dan
kejahatan luar biasa.
2.2. Penelitian Terdahulu
1. Prabowo Cahyandaru (2013), dalam penelitiannya yang berjudul : Upaya
Badan Narkotika Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (BNNP
DIY) dalam Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran
Gelap Narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Hasil
71
penelitiannya mendeskripsikan bahwa upaya BNNP DIY dalam Pencegahan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika dilakukan
melalui (1) kebijakan pemidanaan (penal policy) yang diterapkan melalui
upaya pemberantasan. Pelaksanaannya dilakukan BNNP DIY bekerja sama
dengan Direktorat Reserse Narkotika Polda DIY dan jajarannya baik di
tingkat Polda maupun Polres, serta juga bekerja sama dengan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil dari instansi terkait. dan (2) kebijakan bukan
pemidanaan (non penal policy) diterapkan melalui upaya pencegahan dan
rehabilitasi. Pendekatan non penal dilakukan BNNP DIY bekerjasama dengan
instansi terkait di DIY, para akademisi, juga Lembaga Swadaya Masyarakat
dan Organisasi Massa yang peduli terhadap bahaya penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika.
2. Yakobus Jaka Wijayanto (2014), dalam penelitiannya yang berjudul Strategi
Badan Narkotika Nasional Kota Samarinda dalam Mencegah dan
Memberantas Peredaran Narkoba di Kota Samarinda. Hasil penelitiannya
mendeskripsikan bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat dikatakan
efektif karena mempu memberikan dampak positif bagi masyarakat
khususnya di kota Samarinda. Beberapa strategi yang dapat dikatakan efektif
dalam upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba ialah program kegiatan cerdas cermat pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran narkoba (P4GN), diseminasi
informasi pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
72
narkoba (P4GN) di lingkungan sekolah maupun di lingkungan kerja,
Advokasi bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran narkoba (P4GN) baik di lingkungan kerja pemerintahan maupun
swasta, Pembentukan kader anti narkoba, maupun mengumpulkan informasi
dan memetakan wilayah yang rawan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba.
3. Dwi Aprodita Putri (2016), dalam penelitiannya yang berjudul Strategi
Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumatera Barat Dalam
Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika Dikalangan Remaja, menjelaskan
bahwa strategi yang dilakukan yaitu : Pelaksanaan kegiatan pencegahan
melalui media tatap muka dengan memberikan sosialisasi dan penyuluhan
bahaya narkoba/narkotika di lingkungan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan
pencegahan melalui media tatap muka dengan mengadakan Seminar,
workshop, diskusi, forum komunikasi pertemuan dan gathtering di lingkungan
pendidikan. Pelaksanaan kegiatan pencegahan melalui media luar ruang dalam
bentuk pemasangan umbul-umbul, standing banner, pembuatan poster dan
spanduk di lingkungan sekolah dan kampus. Pelaksanaan kegiatan
pencegahan melalui media penyiaran/elektronik dalam bentuk dialog
interaktif, kuis dan iklan P4GN di stasiun televisi lokal dan radio lokal.
Pelaksanaan kegiatan pencegahan memalui media cetak kelembagaan dalam
bentuk penulisan artikel, pariwara dan berita mengenai P4GN di media cetak
lokal yang ada di Sumatera Barat. Pelaksanaan kegiatan pencegahan memalui
73
media On-line/ sosial media seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan lain-
lain.
2.3. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir atau kerangka teoritis (teoritical framework) atau kerangka
konseptual (conceptual framework) yaitu kerangka berpikir dari peneliti yang bersifat
teoritis mengenai masalah yang akan diteliti, yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diteliti. Kerangka berpikir tersebut
dilandasi oleh teori-teori yang sudah di rujuk sebelumnya.
Bertitik tolak dari landasan teori yang diacu dalam pengkajian permasalahan,
maka dapat dimuat suatu kerangka berpikir atas dasar acuan teori-teori yang telah
diuraikan tersebut di atas, bahwa strategi merupakan suatu rencana permanen atau
cara terbaik dan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk sebuah kegiatan yang
didalamnya termasuk formulasi tujuan dan kumpulan rencana kegiatan untuk
memperoleh suatu keberhasilan. Bagi suatu organisasi, manajemen strategi sangatlah
dibutuhkan sebagai serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan
kinerja perusahaan dalam jangka panjang.
Penelitian ini dilatarbelakangi kondisi penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba yang dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan yang semakin
meningkat baik nasional maupun di Provinsi Banten. Selain itu, upaya Badan
Narkotika Provinsi Banten dalam mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba pun dirasakan belum optimal. Dari latar belakang tersebut
dapat diidentifikasikan permasalahannya yaitu : (1) Terjadinya peningkatan jumlah
74
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten berdasarkan data Survei Nasional
Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba Tahun Anggaran 2014. (2) Belum optimalnya
diseminasi informasi mengenai bahaya narkoba di bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Masyarakat (P2M). (3) Belum adanya alat yang dapat menunjukkan
derajat toksinasi penggunaan narkoba. (4) Belum tersedianya sarana dan prasarana
untuk pelaksanaan rehabilitasi rawat inap. (5) Kurangnya Sumber Daya Manusia
(SDM) di Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten.
Untuk mengetahui strategi apa yang dilakukan dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten maka peneliti
menggunakan teori “The Four Pillar Drug Strategy” yaitu empat pilar perspektif
strategis dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba yang
diadapsi dari N.E.W. Mental Health Connection. Adapun indikator dari teori tersebut
adalah : (1) Prevention, (2) Treatment, (3) Harm Reduction, dan (4) Law
Enforcement.
Mengacu pada deskripsi teori di atas, langkah berikutnya komponen-
komponen tersebut akan dianalisis sesuai dengan fokus penelitian sehingga
menghasilkan output atau keluaran berupa gambaran mengenai strategi yang
dilakukan BNN Provinsi Banten dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba. Dari uraian tersebut, untuk memahami lebih jelas kerangka
berfikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut:
75
Gambar 2.6
Kerangka Berfikir Penelitian
Sumber : Peneliti, 2017
The Four Pillar Drug Strategy
Perspektif Strategis dalam
Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba
Diadapsi dari N.E.W. Mental Health
Connection, 2014
Belum tersedianya sarana dan
prasarana untuk pelaksanaan
rehabilitasi rawat inap.
Belum optimalnya diseminasi
informasi mengenai bahaya
narkoba di bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Masyarakat (P2M)
Kurangnya Sumber Daya
Manusia (SDM) di Badan
Narkotika Nasional Provinsi
Banten.
Belum adanya alat yang dapat
menunjukkan derajat
toksinasi penggunaan narkoba.
Strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten
dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba
Terjadinya peningkatan jumlah penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten berdasarkan data
Survei Nasional Prevalensi Penyalahgunaan
Narkoba Tahun Anggaran 2014
76
2.4. Asumsi Dasar Penelitian
Asumsi dasar penelitian merupakan hasil dari refleksi penelitian
berdasarkan kajian pustaka dan kajian teori yang digunakan sebagai dasar
argumentasi. Berdasarkan pada kerangka penelitian yang telah dipaparkan di atas,
peneliti telah melakukan observasi awal terhadap objek penelitian. Maka peneliti
berasumsi bahwa Strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba masih belum
optimal, hal ini berdasarkan dengan masih adanya permasalahan-permasalahan
yang timbul dalam upaya pencegahan pemberantasan penyalahgunaan narkoba
baik dari faktor internal maupun faktor eksternal.
77
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian, metode digunakan untuk memecahkan masalah yang
akan dan sedang diteliti. Menurut Natsir (1998 : 51) metode penelitian adalah cara
utama yang digunakan peneliti untuk mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas
masalah yang diajukan. Penelitian mengenai Strategi Badan Narkotika Nasional
Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan
Narkoba ini, merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Menurut Nazir (2009:42), Metode deskriptif adalah suatu metode dalam
meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran
atau sesuatu pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk
membuat deskriptif akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar
fenomena yang terjadi.
Istilah penelitian kualitatif dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor dalam
Moleong (2007:3). Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang
dan perilaku yang diamati.
78
Berdasarkan pendapat di atas, keberhasilan suatu penelitian salah satunya
ditunjang oleh metode penelitian yang tepat dengan tujuan penelitian yang telah
ditetapkan sebelumnya. Dengan kata lain, metode penelitian sangat dibutuhkan dalam
suatu penelitian, karena di dalam metodologi penelitian ditemukan cara-cara
bagaimana objek penelitian hendak diketahui dan diamati sehingga menghasilkan
data-data yang tepat sesuai dengan tujuan penelitian.
Dengan demikian melalui penelitian deskriptif kualitatif ini peneliti berusaha
untuk menggambarkan dan menjelaskan situasi dan kondisi yang terjadi setalah
peneliti melakukan observasi dan wawancara yang berkaitan dengan Strategi Badan
Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba.
3.2. Ruang Lingkup/Fokus Penelitian
Ruang Lingkup/Fokus Penelitian ini adalah Strategi Badan Narkotika
Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba dilihat dari empat pilar perspektif strategis penanggulangan
narkoba yaitu Prevention, Treatment , Harm Reduction and Law Enforcement.
3.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten yang
beralamat di Jalan Syekh Nawawi Al-Bantani no.7 Banjar Agung, Cipocok Jaya,
Serang-Banten. Penentuan lokasi penelitian ini dengan alasan bahwa Badan
79
Narkotika Nasional Provinsi Banten merupakan instansi pemerintah yang bertugas
menangani permasalahan narkoba di tingkat provinsi baik dalam hal pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
3.4. Variabel Penelitian
3.4.1. Definisi Konsep
Definisi konseptual berfungsi untuk memberikan penjelasan tentang
konsep dari variabel yang akan diteliti menurut peneliti berdasarkan kerangka
teori yang akan digunakan. Adapun definisi konsep dari judul “Strategi Badan
Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba” yaitu :
1. Manajemen Strategi
Strategi adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang
menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Manajemen
strategis meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi
(perencanaan strategis atau perencanaan jangka panjang), implementasi
strategis, dan evaluasi serta pengendalian.
2. Narkotika
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
80
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan dalam 3 (tiga) golongan.
3.4.1. Definisi Operasional
Dalam penjelasan definisi operasional ini akan dikemukakan
fenomena-fenomena penelitian yang berkaitan dengan konsep yang
digunakan, dalam penelitian ini menggunakan teori “The Four Pillar
Drug Strategy” yaitu empat pilar perspektif strategis dalam pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba yang diadapsi dari N.E.W.
Mental Health Connection. Adapun dimensi dari teori tersebut adalah :
1. Prevention
2. Treatment
3. Harm Reduction
4. Law Enforcement
3.5. Instrumen Penelitian
Pada penelitian dengan judul Strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi
Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba,
bahwa yang menjadi instrumen adalah peneliti itu sendiri.
Dalam penelitian kualitatif menurut Sugiyono, (2012:59) yang menjadi
instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti
81
sebagai instrument juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap
melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan.
Menurut Moleong (2007:168) menyatakan bahwa yang dilakukan peneliti
dalam penelitian kualitatif merupakan perencanaan, pelaksanaan, pengumpulan data,
dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya.
Berdasarkan pernyataan dari para ahli di atas, peneliti menarik garis besar
bahwa instrument dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Dalam penelitian ini,
peneliti sebagai instrument utama yang memiliki kewajiban mencari data dan
informasi dalam penelitian guna mendapatkan data yang akurat dan relevan dari
berbagai sumber yang sedang diteliti.
3.6. Informan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti merupakan instrumen kunci yang sesuai dengan
karakteristik penelitian kualitatif. Untuk itu peneliti secara individu akan turun
langsung ke dalam objek penelitan guna memperoleh data dari informan.
Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Moleong , 2007 : 97).
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik purposive yaitu orang-orang yang
menurut peneliti memiliki informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Walaupun
demikian dalam penelitian nanti, tidak menutup kemungkinan peneliti juga akan
menggunakan teknik Snowball disesuaikan dengan kondisi atau situasi yang ada di
82
lapangan. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.1
Informan Penelitian
No Kategori Informan
Keterangan
I Instansi Pemerintah :
a. Kepala Bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi
Banten
Key Informan
b. Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi
Banten
Key Informan
c. Kepala Bidang Rehabilitasi BNN Provinsi
Banten
Key Informan
d. Dokter Seksi Penguat Lembaga Rehabilitasi
Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
Key Informan
e. Kepala Sub Bagian Pembinaan dan
Operasional (Binopsnal) Direktorat Reserse
Narkoba Polda Banten
Secondary
Informan
f. Pelaksana Bagian Pembinaan dan
Operasional (Binopsnal) Direktorat Reserse
Narkoba Polda Banten
Secondary
Informan
g. Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial,
NAPZA dan Korban Perdagangan Orang
(KPO) Dinas Sosial Provinsi Banten
Secondary
Informan
h. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi
Secondary
Informan
83
Banten
i. Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Lainnya
Kejaksaan Tinggi Banten
Secondary
Informan
j. Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan
Lembaga Pemasyarakatan Serang
Secondary
Informan
II Stakeholder :
a. Mitra Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan
Masyarakat (P2M) BNN Provinsi Banten
Key Informan
b. Klien Rehabilitasi BNN Provinsi Banten Secondary
Informan
c. Warga Binaan Pemasyarakatan LAPAS
Serang
Secondary
Informan
(Sumber : Peneliti, 2017)
3.7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara pengumpulan data serta jenis dan
sumber data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian yang dilakukan. Dalam
penelitian ini ada beberapa teknik pengumpulan data yang dilakukan, yaitu:
1. Observasi
Menurut Moleong (2013:175) observasi (pengamatan) adalah kegiatan untuk
mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian,
perilaku tidak sadar, kebiasaan dan sebagainya. Metode observasi yang digunakan
dalam penelitian mengenai Strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam
84
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba yaitu menggunakan
metode observasi non-participant. Dalam hal ini peneliti datang ke lokasi penelitian,
namun tidak ikut terlibat dalam kegiatan yang dilakukan dari subyek penelitian.
Artinya peneliti hanya melakukan pengamatan terkait bagaimana Strategi Badan
Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba
Tujuan penggunaan metode observasi dalam penelitian ini yakni peneliti dapat
mencatat hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, mendokumentasikan, dan
merefleksikannya secara sistematis terhadap kegiatan dan interaksi dari subyek
penelitian. Dengan demikian, maka data-data yang dikumpulkan berdasarkan hasil
teknik pengumpulan data lainnya, dapat ditriangulasikan dengan menggunakan
metode ini. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan data yang valid. Validitas data
sangat diperlukan dalam penelitian ini karena keabsahan data yang didapat apakah
sesuai dengan fakta yang ada di lapangan atau tidak.
2. Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu teknik pengumpulan data dengan cara memperoleh data
dari karya ilmiah, media masa, teks book, artikel, koran dan masih banyak lagi untuk
menambah atau mendukung sumber informasi atau data yang diperlukan dalam
penelitian ini.
85
3. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu (Moleong, 2007:186). Wawancara digunakan sebagai teknik
pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk
menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin
mengetahui hal-hal dari informan yang lebih mendalam. (Sugiyono, 2011:137).
Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
secara mendalam, dimana peneliti melakukannya dengan sengaja untuk melakukan
wawancara dengan informan dan peneliti tidak sedang observasi partisipasi. Peneliti
bisa datang berkali-kali untuk melakukan wawancara, sifat wawancara mendalam
dipandu dengan pertanyaan-pertanyaan dalam pedoman wawancara. Tujuannya
adalah memperoleh data secara jelas, konkret dan lebih mendalam. Pada dasarnya
metode ini merupakan usaha untuk menggali keterangan yang lebih dalam dari
sebuah kajian dari sumber yang relevan berupa pendapat, kesan, pengalaman, pikiran
dan lain sebagainya yang berkaitan dengan Strategi Badan Narkotika Nasional
Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan
Narkoba. Berikut adalah pedoman wawancara yang peneliti buat :
86
Tabel 3.2
Pedoman Wawancara
No Dimensi Kisi-kisi Pertanyaan Informan
1 Prevention
(Berkaitan dengan
kegiatan atau
program yang
bertujuan
menunda
timbulnya
penggunaan
narkoba dan
mengatasi
penyebab yang
mendasari
penggunaan
narkoba di
Provinsi Banten)
1. Hal atau program kegiatan sebagai
upaya pencegahan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten.
2. Pihak yang terlibat dalam pemberian
kegiatan pencegahan dan
pemberdayaan masyarakat dari
penyalahgunaan narkoba di Provinsi
Banten.
3. Peran mitra/penggiat BNN Provinsi
Banten
4. Pihak yang menjadi sasaran dalam
kegiatan pencegahan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten
5. Media dalam diseminasi informasi
bahaya narkoba.
6. Strategi komunikasi BNN Provinsi
Banten.
7. Daerah rawan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten.
8. Kendala dalam pelaksanaan kegiatan
pencegahan penyalahgunaan narkoba
di Provinsi Banten.
1. Kepala Bidang
Pencegahan dan
Pemberdayaan
Masyarakat BNN
Provinsi Banten
2. Kepala Bidang
Pemberantasan BNN
Provinsi Banten
3. Kepala Bagian
Pembinaan dan
Operasional Polda
Banten
4. Pelaksana Sub Bagian
Pembinaan dan
Operasional Polda
Banten
5. Kepala Seksi
Rehabilitasi Tuna
Sosial, NAPZA dan
Korban Perdagangan
Orang (KPO) Dinas
Sosial Provinsi Banten
6. Kepala Bidang
Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit
(P2P) Dinas Kesehatan
Provinsi Banten
7. Kepala Seksi
Pembinaan dan
Pendidikan LAPAS
Serang
8. Mitra BNN Provinsi
Banten
87
2 Treatments
(Berkaitan dengan
kegiatan atau
program yang
mendorong
seseorang dengan
masalah
kecanduan
narkoba untuk
tidak kembali
menggunakan
narkoba)
1. Bentuk/jenis pelayanan rehabilitasi.
2. Sarana dan prasarana terkait
pelayanan rehabilitasi.
3. Syarat seseorang untuk dapat
menerima layanan rehabilitasi.
4. Mekanisme pemberian rehabilitasi.
5. Tolak ukur penentuan jenis dan waktu
rehabilitasi.
6. Alur proses pelaksanaan rehabilitasi.
7. Jangka waktu rehabilitasi.
8. Tahapan proses rehabilitasi yang
harus dijalani pengguna narkoba.
9. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi
lainnya di Provinsi Banten selain di
BNN Provinsi Banten.
10. Alat yang dapat mengukur derajat
toksinasi penggunaan narkoba.
11. Bentuk kegiatan pascarehabilitasi.
12. Pihak yang berkoordinasi dalam
penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi
maupun pascarehabilitasi.
13. Mekanisme pengguna narkoba yang
sedang dalam proses hukum namun
ingin mengajukan proses rehabilitasi
di BNN Provinsi Banten.
14. Peran Pemerintah Daerah Provinsi
Banten dalam mendukung atau
memfasilitasi kegiatan rehabilitasi
bagi penyalahguna narkoba.
1. Kepala Bidang
Rehabilitasi BNN
Provinsi Banten
2. Kepala Bidang
Pencegahan dan
Pemberdayaan
Masyarakat BNN
Provinsi Banten
3. Kepala Bidang
Pemberantasan BNN
Provinsi Banten
4. Dokter Seksi Penguat
Lembaga Rehabilitasi
BNN Provinsi Banten
5. Kepala Seksi
Rehabilitasi Tuna
Sosial, NAPZA dan
Korban Perdagangan
Orang (KPO) Dinas
Sosial Provinsi Banten
6. Kepala Seksi Tindak
Pidana Umum Lainnya
Kejaksaan Tinggi
Banten
7. Kepala Seksi
Pembinaan dan
Pendidikan LAPAS
Serang
8. Klien Rehabilitasi
BNN Provinsi Banten
9. Warga Binaan
Pemasyarakatan BNN
Provinsi Banten
3 Harm Reduction
(Berkaitan dengan
kegiatan atau
program yang
memfokuskan
pada bahaya
narkoba terhadap
1. Hal atau program kegiatan sebagai
upaya pengurangan dampak dari
penyalahgunaan narkoba.
2. Pihak yang berkoordinasi melakukan
upaya pengurangan dampak bagi
penyalahgunaan narkoba.
3. Tolak ukur keberhasilan pengurangan
1. Kepala Bidang
Pencegahan dan
Pemberdayaan
Masyarakat BNN
Provinsi Banten
2. Kepala Bidang
Pemberantasan BNN
88
individu dan
masyarakat dari
penjualan dan
penggunaan
narkoba)
dampak buruk dari penyalahgunaan
narkoba.
4. Jangka waktu harm reduction hingga
pasien pulih.
Provinsi Banten
3. Kepala Bidang
Rehabilitasi BNN
Provinsi Banten
4. Dokter seksi penguat
lembaga rehabilitasi
BNN Provinsi Banten
5. Mitra BNN Provinsi
Banten
4 Law
Enforcement
(Berkaitan dengan
penegakan hukum
terhadap narkoba
yang dilakukan
oleh pihak
kepolisian dan
aparat hukum
Provinsi Banten)
1. Dasar hukum penyalahgunaan
narkoba.
2. Sanksi hukum penyalahgunaan
narkoba.
3. Pihak yang berkoordinasi dalam
penegakan hukum penyalahgunaan
narkoba.
4. Proses penegakan hukum dalam kasus
penyalahgunaan narkoba.
5. Perbedaan wewenang BNN dengan
pihak Kepolisian dalam penegakan
hukum penyalahgunaan narkoba.
1. Kepala Bidang
Pencegahan dan
Pemberdayaan
Masyarakat BNN
Provinsi Banten
2. Kepala Bidang
Pemberantasan BNN
Provinsi Banten
3. Kepala Bidang
Rehabilitasi BNN
Provinsi Banten
4. Kepala Sub Bagian
Pembinaan dan
Operasional Polda
Banten
5. Kepala Seksi Tindak
Pidana Umum Lainnya
Kejaksaan Tinggi
Banten
6. Mitra BNN Provinsi
Banten
(Sumber : Data diolah Peneliti, 2017)
89
4. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder yang
diperlukan dalam sebuah penelitian. Metode ini merupakan suatu cara pengumpulan
data yang menghasilkan catatan-catatan penting yang berhubungan dengan masalah
yang diteliti, sehingga akan diperoleh data yang lengkap, sah, dan bukan berdasarkan
perkiraan. Metode ini hanya mengambil data yang sudah ada terkait Manajemen
Strategi ataupun sumber data lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan oleh peneliti. Metode ini juga digunakan untuk mengumpulkan data yang
sudah tersedia dalam catatan dokumen. Dalam penelitian sosial, fungsi data yang
berasal dari dokumentasi lebih banyak digunakan sebagai data pendukung dan
pelengkap bagi data primer yang diperoleh melalui observasi dan wawancara
mendalam. Penggunaan metode dokumentasi dalam penelitian mengenai Strategi
Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba, digunakan sebagai data pendukung terkait
masalah penelitian. Dengan adanya data pendukung tersebut ditujukan sebagai
penguat argumentasi dari data-data primer yang didapatkan dari hasil observasi dan
wawancara yang telah dilakukan peneliti sebelumnya.
3.7.2. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Bogdan & Biklen (dalam Moleong 2010:248)
adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan
90
data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,
dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Dalam menganalisis
data penelitian yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan, maka peneliti
menggunakan analisis data model Miles & Huberman. Model interaktif Miles &
Huberman dapat dipahami dengan gambar dibawah ini:
Gambar 3.1
Analisis Data Miles & Huberman
Gambar di atas merupakan tahapan dalam analisis data model interaktif
menurut Miles & Huberman dengan empat tahapan analisis data penelitian, yaitu
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Berikut
adalah penjelasan mengenai gambar analisis data menurut Miles & Huberman (dalam
Fuad & Nugroho 2014:16-18), yang diantaranya:
a. Pengumpulan Data (Data Collection), yaitu proses memasuki lingkungan
penelitian dan melakukan pengumpulan data penelitian. Ini merupakan tahap
Data
Reduction Conclusion:
Drawing/ Verifying
Data Display
Data
Collection
91
awal yang harus dilakukan peneliti agar peneliti dapat memperoleh informasi
mengenai masalah-masalah yang terjadi di lapangan.
b. Reduksi Data (Data Reduction), dimaknai sebagai proses memilah dan memilih,
menyederhanakan data yang terkait dengan kepentingan penelitian saja, abstraksi
dan transformasi data-data kasar dari catatan lapangan. Reduksi data perlu
dilakukan karena ketika peneliti semakin lama di kancah penelitian akan semakin
banyak data atau catatan lapangan yang peneliti kumpulkan. Tahap dari reduksi
adalah memilah dan memilih data yang pokok, fokus pada hal-hal yang penting,
mengelompokkan data sesuai dengan tema, membuat ringkasan, member kode,
membagi data dalam partisi-partisi dan akhirnya dianalisis sehingga terlihat pola-
pola tertentu.
c. Penyajian Data (Data Display) berupa uraian singkat, bagan, hubungan kausal
dengan kategori, flowchart dan sejenisnya. Penyajian data dapat membantu
peneliti dalam memahami apa yang terjadi, merencanakan analisis selanjutnya
berdasarkan apa yang sudah dipahami sebelumnya.
d. Menarik kesimpulan/ verifikasi (Conclusion: Drawing/ Verifying), merupakan
langkah terakhir dalam analisis data menurut Miles dan Huberman. Berdasarkan
pola-pola yang sudah tergambarkan dalam penyajian data, terdapat hubungan
kausal atau interaktif antara data dan didukung dengan teori-teori yang sesuai,
peneliti kemudian mendapatkan gambaran utuh tentang fenomena yang diteliti
dan kemudian dapat menyimpulkan fenomena tersebut sebagai temuan baru.
92
Berdasarkan penjelasan di atas terkait penggunaan teknik analisis data
penelitian, dalam penelitian mengenai Strategi Badan Narkotika Provinsi Banten
dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba, peneliti
menggunakan teknik analisis data menurut Miles & Huberman. Teknik analisis data
dalam penelitian ini dilakukan dengan empat langkah analisis data, yaitu
pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hal ini
digunakan sebagai alat untuk mempermudah peneliti untuk menganalisis data yang
didapat dari hasil penelitian lapangan dan mendapatkan kesimpulan mengenai
penelitian yang dilakukan peneliti.
3.7.3. Uji Validitas dan Reabilitas Data
Validitas dalam penelitian kualitatif memiliki keterkaitan dengan deskripsi
dan eksplansi, dan terlepas apakah eksplansi-eksplansi tersebut sesuai dan cocok
dengan deskripsi atau tidak. Terdapat dua macam validitas, validitas internal dan
validitas eksternal. Validitas internal dalam penelitian kualitatif disebut kredibiltas,
yaitu hasil penelitian memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi sesuai dengan fakta di
lapangan. Kemudian validitas eksternal dalam penelitian kualitatif disebut
transferabiltas. Hasil penelitian kualitatif memiliki standar transferabilitas yang tinggi
apabila para pembaca memperoleh pemahaman dan gambaran yang jelas tentang
konteks dan fokus penelitian.
93
Sedangkan reabilitas merujuk pada keterandalan alat ukur atau instrument
penelitian. Stainback menyatakan bahwa reabilitas berkenaan dengan derajat
konsistensi dan stabilitas data atau temuan.Peneliti kualitatif lebih menekankan pada
aspek validitas karena suatu realitas itu bersifat majemuk dan dinamis sehingga tidak
ada yang konsisten dan berulang seperti semula.
Uji keabsahan data dapat dilakukan dengan triangulasi pendekatan dengan
kemungkinan melakukan terobosan metodologis terhadap masalah-masalah tertentu
yang kemungkinan dapat dilakukan seperti yang dikatakan Denzin dengan
“Triangulasi”. Metode ini digunakan sebagai alat untuk menguji apakah data hasil
penelitian yang telah dikumpulkan terdapat perbedaan atau tidak, sehingga dapat
diketahui data tersebut dianggap absah atau tidak. Penelitian mengenai Strategi Badan
Narkotika Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba, menggunakan dua teknik triangulasi pendekatan untuk
menguji keabsahan data dari hasil penelitian lapangan. Berikut adalah teknik
triangulasi pendekatan yang digunakan peneliti, yang di antaranya:
a. Triangulasi sumber, dapat dilakukan dengan mengecek data yang sudah
diperoleh dari berbagai sumber. Data dari berbagai sumber tersebut
kemudian dipilah dan dipilih dan disajikan dalam bentuk tabel matriks. Data
dari sumber yang berbeda dideskripsikan, dikategorisasikan, mana
pandangan yang sama, berbeda dan mana yang lebih spesifik.
94
b. Triangulasi teknik, dapat dilakukan dengan melakukan cek data dari
berbagai macam teknik pengumpulan data. Misalnya dengan menggunakan
teknik wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Data dari ketiga
teknik tersebut dibandingkan, adakah konsistensi. Jika berbeda, maka dapat
dijadikan catatan dan dilakukan pengecekkan selanjutnya mengapa data bisa
berbeda (Fuad & Nugroho, 2014:19-20).
Berdasarkan pemaparan di atas, dalam menguji keabsahan data, peneliti
menggunakan dua teknik triangulasi pendekatan. Dengan menggunakan teknik
triangulasi sumber, peneliti memperoleh dari sudut pandang pemerintah dan
masyarakat. Sedangkan, teknik triangulasi teknik, peneliti melakukan cek data dari
berbagai sumber, yaitu observasi, studi pustaka, studi dokumentasi dan wawancara .
Hal ini dijadikan dasar oleh peneliti, untuk mengetahui apakah data yang didapatkan
terdapat perbedaan atau tidak. Dan jika terdapat perbedaan, maka selanjutnya peneliti
dapat melakukan pengecekkan ulang di lapangan. Selain itu, peneliti juga
menggunakan member check dalam menguji keabsahan data. Member check
dilakukan dengan melakukan pengecekkan data yang diperoleh kepada informan
penelitian. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh
telah sesuai dengan apa yang telah diberikan oleh informan penelitian, sehingga data
yang didapat merupakan data yang valid dan kredibel (dapat dipercaya) sesuai dengan
yang telah disesuaikan dan disepakati oleh informan penelitian yang kemudian
ditandatangani sebagai bukti autentik bahwa peneliti telah melakukan member check.
95
3.8. Jadwal Penelitian
Penelitian ini menganalisis Strategi Badan Narkotika Provinsi Banten dalam
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba, maka lokus
penelitian yang ditentukan adalah di Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten yang
beralamat di Jalan Syekh Nawawi Al-Bantani no.7 Banjar Agung, Cipocok Jaya,
Serang-Banten dengan timetable sebagai berikut :
Tabel 3.3
Jadwal Penelitian
No
Kegiatan
Waktu Penelitian
2016 2017
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb
1 Pengumuman Judul
2 Observasi Awal
3
Penyusunan
Proposal
4 Seminar Proposal
5
Revisi
Proposal
Skripsi
6
Pengumpulan
Data, Pengolahan
dan Analisa
Data
7 Penyusunan
Bab IV dan V
8
Sidang Skripsi
9
Revisi Sidang
(Sumber : Peneliti, 2017)
96
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Deksripsi Objek Penelitian
Deskripsi objek penelitian merupakan penjelasan mengenai objek penelitian
yang meliputi lokasi penelitian yang diteliti dan memberikan gambaran umum
Provinsi Banten dan gambaran umum Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten.
Hal tersebut akan dipaparkan sebagai berikut :
4.1.1 Deskripsi Wilayah Provinsi Banten
Banten adalah sebuah provinsi di Tatar Pasundan, serta wilayah paling barat
di Pulau Jawa, Indonesia. Provinsi ini pernah menjadi bagian dari Provinsi Jawa
Barat, namun menjadi wilayah pemekaran sejak tahun 2000, dengan keputusan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya berada di Kota
Serang.
Wilayah Banten terletak di antara 5º7'50"-7º1'11" Lintang Selatan dan
105º1'11"-106º7'12" Bujur Timur, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah 9.160,70 km². Wilayah laut Banten
merupakan salah satu jalur laut potensial, Selat Sunda merupakan salah satu jalur lalu
lintas laut yang strategis karena dapat dilalui kapal besar yang menghubungkan
Australia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand,
97
Malaysia, dan Singapura. Di samping itu Banten merupakan jalur penghubung antara
Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis, dan pemerintahan maka wilayah
Banten terutama daerah Tangerang raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan
Kota Tangerang Selatan) merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara
ekonomi wilayah Banten memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga
memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk
menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta, dan ditujukan untuk
menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura. Adapun batas wilayah Provinsi Banten
adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan langsung dengan Laut Jawa;
2. Sebelah Selatan berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia;
3. Sebelah Barat berbatasan langsung dengan Selat Sunda; dan
4. Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta
dan Jawa Barat.
Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten, 155 kecamatan, 1551
kelurahan/desa. Kabupaten dengan luas wilayah terbesar adalah Kabupaten Lebak
sebesar 3,426.56 km2 dan kabupaten dengan luas wilayah terkecil adalah Kabupaten
Tangerang sebesar 1,011.86 km2, sedangkan kota dengan luas wilayah terbesar
adalah Kota Serang sebesar 1,734.28 km2 dan kota dengan luas wilayah terkecil
adalah Kota Tangerang Selatan sebesar 147.19 km. Tabel berikut memberikan
98
gambaran tentang rincian jumlah kecamatan dan desa di kabupaten/kota di Provinsi
Banten dan luas wilayahnya sebagaimana dimaksud di atas.
Tabel 4.1
Luas Wilayah Provinsi Banten berdasarkan Kabupaten/Kota
No Kabupaten/Kota Jumlah Wilayah Luas
(km2) %
Kecamatan Desa
1 Kab.Pandeglang 35 339 2,746.89 28.427%
2 Kab.Lebak 28 345 3,426.56 35.461%
3 Kab.Tangerang 29 274 1,011.86 10.472%
4 Kab.Serang 29 326 1,734.28 17.948%
5 Kota Tangerang 13 104 153.93 1.593%
6 Kota Cilegon 8 43 175.50 1.816%
7 Kota Serang 6 66 266.71 2.760%
8 Kota Tangerang Selatan 7 54 147.19 1.523%
TOTAL 155 1551 9,662.92 100.000%
(Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2015)
4.1.1.1 Visi dan Misi Provinsi Banten
Visi Provinsi Banten
“ Banten yang Maju, Mandiri, Berdaya Saing, Sejahtera dan Berakhlakul
Karimah.”
99
Misi Provinsi Banten
1. Menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance);
2. Membangun dan meningkatkan kualitas infrastruktur;
3. Meningkatkan akses dan pemerataan pendidikan berkualitas;
4. Meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan kesehatan berkualitas;
5. Meningkatkan kualitas pertumbuhan dan pemerataan ekonomi.
4.1.1.2 Keadaan Penduduk Provinsi Banten
Dalam konteks demografi, Provinsi Banten mengalami peningkatan jumlah
penduduk setiap tahunnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Banten,
pada tahun 2015 jumlah penduduk Provinsi Banten berjumlah 11.955.243 jiwa
dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata sebesar 1.237 jiwa/km2. Jumlah
tersebut mengalami peningkatan sebanyak 250.366 jiwa dari tahun 2014 yang
berjumlah 11.704.877 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 1.211
jiwa/km2, dan pada tahun 2013 jumlah penduduk Provinsi Banten adalah 11.452.491
jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 1.185 jiwa/km2. Gambaran
tentang sebaran penduduk Provinsi Banten berdasrkan Kabupaten/Kota dapat dilihat
pada Tabel 4.2 sebagai berikut :
100
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk (jiwa) dan Kepadatan (jiwa/km2)Penduduk Provinsi Banten
Tahun 2013-2015
No Kabupaten/Kota Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015
Jumlah Kepadatan Jumlah Kepadatan Jumlah Kepadatan
1 Kab.Pandeglang 1.183.006
431
1.188.405
433
1.194.911
435
2 Kab.Lebak 1.247.906 364 1.259.305 368 1.269.812 371
3 Kab.Tangerang 3.157.780 3.121 3.264.776 3.227 3.370.594 3.331
4 Kab.Serang 1.450.894 837 1.463.094
844
1.474.301 850
5 Kota Tangerang 1.952.396 12.684 1.999.894 12.992 2.047.105 13.299
6 Kota Cilegon 398.304 2.270 405.303 2.309 412.106 2.348
7 Kota Serang 618.802 2.320 631.101 2.366 643.205 2.412
8 Kota Tangerang
Selatan
1.443.403 9.806 1.492.999 10.143 1.543.209 10.484
TOTAL 11.452.491 1.185 11.704.877 1.211 11.955.243 1.237
(Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2015)
Bila dilihat dari struktur usianya, penduduk Provinsi Banten lebih didominasi
oleh penduduk usia produktif (15-64 tahun) sebesar 8.165.589 atau 68,30%, dan
untuk usia non produktif (0-14 tahun) sebesar 3.417.496 jiwa atau 28,5% serta usia di
atas 65 tahun sebesar 372.158 atau 3,11%. Penjelasan rinci hal tersebut dapat dilihat
pada Tabel 4.4 berikut :
101
Tabel 4.3
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur
Tahun 2015
No Kelompok Umur Jumlah
1 0-4 1.229.320
2 5-9 1.144.193
3 10-14 1.043.983
4 15-19 1.055.372
5 20-24 1.076.033
6 25-29 1.098.783
7 30-34 1.081.522
8 35-39 1.011.191
9 40-44 885.962
10 45-49 728.422
11 50-54 560.403
12 55-59 403.469
13 60-64 264.432
14 65-69 167.570
15 70-74 104.501
16 75> 100.087
Jumlah 11.955.243
(Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2015)
Dilihat dari komposisinya, penduduk Provinsi Banten didominasi oleh jenis
kelamin laki-laki daripada perempuan. Komposisi jumlah penduduk berdasarkan jenis
kelamin dan rasio jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.3 berikut:
102
Tabel 4.4
Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin menurut Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2015
No Kabupaten/Kota Jenis Kelamin (jiwa) Rasio Jenis
Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Kab.Pandeglang 610. 412 584.499 1.194.911 104,43
2 Kab.Lebak 650.912 618.900 1.269.812 105,17
3 Kab.Tangerang 1.724.915 1.645.679 3.370.594 104,81
4 Kab.Serang 747.808 726.493 1.474.301 102,93
5 Kota Tangerang 1.045.113 1.001.992 2.047.105 104,30
6 Kota Cilegon 210.505 201.601 412.106 104,42
7 Kota Serang 329.806 313.399 643.205 105,24
8 Kota Tangerang
Selatan
777.713 765.496 1.543.209 101,60
Banten 6.097.184 5.858.059 11.955.243 104,08
(Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2015)
Berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk Provinsi Banten sebagian besar
tamat SMA/sederajat yaitu sebesar 1.827.154 jiwa atau 34,24%, diikuti dengan
penduduk yang tamat Sekolah Dasar (SD) sebesar 1.255.816 jiwa atau 23,53% dan
tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 872.559 jiwa atau 16,35%.
Gambaran jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan dapat
dilihat pada Tabel 4.5 di bawah ini :
Tabel 4.5
Jumlah Penduduk Provinsi Banten Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tertinggi yang ditamatkan
Pendidikan Tertinggi yang
Ditamatkan
Jumlah %
Tidak/Belum Pernah Sekolah 88.437 1,65
103
Tidak/Belum Tamat SD 559.085 10,46
Sekolah Dasar 1.255.816 23,53
Sekolah Menengah Pertama 872.559 16,35
Sekolah Menengah Atas 1.827.154 34,24
Diploma I/II/III/Akademi 160.779 3,01
Universitas 571 013 10,70
Jumlah 5.334.843 100,00
(Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2015)
4.1.2 Deskripsi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten
Keberadaan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) merupakan amanat
UU Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5062) yang mana menyebutkan bahwa BNN memiliki perwakilan
di Provinsi dan Kabupaten / Kota.
Sedangkan BNN Provinsi dan BNN Kabupaten/Kota merupakan insansi
vertikal. Organisasi BNNP tertuang dalam Peraturan Kepala Badan Narkotika
Nasional Nomor 3 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika
Nasional Provinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten/Kota.
4.1.2.1 Visi dan Misi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten
Visi Narkotika Nasional Provinsi Banten
“Menjadi Lembaga Non Kementerian yang profesional dan mampu
menggerakan seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara Indonesia
104
dalam melaksanakan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Bahan Adiktif
Lainnya di Indonesia.”
Misi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten
Untuk mewujudkan visi tersebut di atas, maka Badan Narkotika Nasional
Provinsi Banten menetapkan misi sebagai pernyataan komprehensif
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi serta sasaran dan tujuan yang hendak
dicapai. Misi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten adalah sebagai
berikut:
1. Menyusun kebijakan nasional P4GN
2. Melaksanakan operasional P4GN sesuai bidang tugas dan
kewenangannya
3. Mengkoordinasikan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Bahan
Adiktif lainnya (narkoba)
4. Memonitor dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan nasional P4GN
5. Menyusun laporan pelaksanaan kebijakan nasional P4GN dan
diserahkan kepada Presiden.
105
4.1.2.2 Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Struktur Organisasi Badan Narkotika
Nasional Provinsi Banten
a. Kedudukan
1) Badan Narkotika Nasional Provinsi yang selanjutnya dalam Peraturan
Kepala Badan Narkotika Nasional ini disebut BNNP adalah instansi
vertikal Badan Narkotika Nasional yang melaksanakan tugas, fungsi, dan
wewenang Badan Narkotika Nasional dalam wilayah Provinsi.
2) BNNP berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan
Narkotika Nasional.
3) BNNP dipimpin oleh Kepala.
b. Tugas Pokok dan Fungsi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten
Badan Narkotika Nasional Provinsi mempunyai tugas melaksanakan tugas,
fungsi, dan wewenang BNN dalam wilayah Provinsi.
Dalam melaksanakan tugas, Badan Narkotika Nasional Provinsi
menyelenggarakan fungsi:
1) Pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan rencana kerja
tahunan di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif
106
lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol
yang selanjutnya disebut P4GN dalam wilayah Provinsi;
2) Pelaksanaan kebijakan teknis di bidang pencegahan, pemberdayaan
masyarakat, rehabilitasi, dan pemberantasan dalam wilayah Provinsi;
3) Pelaksanaan pembinaan teknis dan supervisi P4GN kepada BNNK/Kota
dalam wilayah Provinsi;
4) Pelaksanaan layanan hukum dan kerja sama dalam wilayah Provinsi;
5) Pelaksanaan koordinasi dan kerja sama P4GN dengan instansi pemerintah
terkait dan komponen masyarakat dalam wilayah Provinsi;
6) Pelayanan administrasi BNNP; dan Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan
BNNP.
c. Struktur Organisasi
Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten mempunyai struktur organisasi
berdasarkan peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 3 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Narkotika Nasional Provinsi yaitu
BNNP terdiri atas :
1. Kepala;
2. Bagian Umum yang terdiri atas :
1) Subbagian Perencanaan;
2) Subbagian Sarana Prasarana; dan
107
3) Subbagian Administrasi.
3. Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat yang terdiri atas :
1) Seksi Pencegahan; dan
2) Seksi Pemberdayaan Masyarakat.
4. Bidang Rehabilitasi yang terdiri atas :
1) Seksi Penguatan Lembaga Rehabilitasi; dan
2) Seksi Pascarehabilitasi.
5. Bidang Pemberantasan yang terdiri atas :
1) Seksi Intelejen;
2) Seksi Penyidikan; dan
3) Seksi Pengawasan Tahanan dan Barang Bukti.
Tugas pokok menurut jabatan dalam struktur organisasi Badan Narkotika
Nasional Provinsi Banten adalah sebagai berikut :
1. Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi mempunyai tugas :
a. Memimpin BNNP dalam pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang
BNN dalam wilayah Provinsi; dan
b. Mewakili Kepala BNN dalam melaksanakan hubungan kerja sama
P4GN dengan instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat
dalam wilayah Provinsi.
108
2. Bagian Umum mempunyai tugas melaksanakan koordinasi penyusunan rencana
strategis dan rencana kerja tahunan P4GN, evaluasi dan pelaporan BNNP, dan
administrasi serta sarana prasarana BNNP.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas, Bagian Umum
menyelanggarakan fungsi :
a. Penyiapan penyusunan rencana program dan anggaran;
b. Penyiapan pelaksanaan pengelolaan sarana prasarana , dan urusan
rumah tangga BNNP;
c. Penyiapan pelaksanaan pengelolaan data informasi P4GN;
d. Penyiapan pelaksanaan layanan hukum dan kerja sama dalam wilayah
Provinsi;
e. Penyiapan pelaksanaan urusan tata persuratan, kepegawaian, keuangan,
kearsipan, dokumentasi, dan hubungan masyarakat; dan
f. Penyiapan pelaksannaan evaluasi dan pelaporan BNNP.
3. Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat mempunyai tugas
melaksanakan kebijakan teknis di bidang pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat dalam wilayah Provinsi.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Bidang Pencegahan
dan Pemberdayaan Masyarakat menyelenggarakan fungsi :
a. Penyiapan pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan
rencana kerja tahunan P4GN di bidang pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat dalam wilayah Provinsi;
109
b. Penyiapan pelaksanaan diseminasi informasi dan advokasi P4GN di
bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat dalam wilayah
Provinsi;
c. Penyiapan pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberdayaan
alternatif P4GN di bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat
dalam wilayah Provinsi;
d. Penyiapan pelaksanaan pembinaan teknis dan supervisi P4GN di bidang
pencegahan dan pemberdayaan masyarakat kepada BNNK/Kota dalam
wilayah Provinsi; dan
e. Penyiapan pelaksanaan evaluasi dan pelaporan P4GN di bidang
pencegahan dan pemberdayaan masyarakat dalam wilayah Provinsi.
4. Bidang Rehabilitasi mempunyai tugas melaksanakan kebijakan teknis P4GN di
bidang rehabilitasi dalam wilayah Provinsi.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Bidang Rehabilitasi
menyelenggarakan fungsi :
a. Penyiapan pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan
rencana kerja tahunan P4GN di bidang rehabilitasi dalam wilayah
Provinsi;
b. Penyiapan pelaksanaan asesmen penyalahguna dan/atau pecandu
narkotika dalam wilayah Provinsi;
c. Penyiapan pelaksanaan peningkatan kemampuan lembaga rehabiliasi
medis dan rehabilitasi sosial penyalahguna dan.atau pecandu narkotika,
110
baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat dalam
wilayah Provinsi;
d. Penyiapan pelaksanaan peningkatan kemampuan layanan
pascarehabilitasi dan pendampingan bagi mantan penyalahguna
dan/atau pecandu narkotika dalam wilayah Provinsi;
e. Penyiapan pelaksanaan penyatuan kembali ke dalam masyarakat dan
perawatan lanjut bagi mantan penyalahguna dan/atau pecandu narkotika
dalam wilayah Provinsi; dan
f. Penyiapan pelaksanaan pembinaan teknis dan supervisi P4GN di bidang
rehabilitasi kepada BNNK/Kota dalam wilayah Provinsi.
5. Bidang Pemberantasan mempunyai tugas melaksanakan kebijakan teknis P4GN
di bidang pemberantasan dalam wilayah Provinsi.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Bidang
Pemberantasan menyelenggarakan fungsi :
a. Penyiapan pelaksanaan koordinasi penyusunan rencana strategis dan
rencana kerja tahunan P4GN di bidang pemberantasan dalam wilayah
Provinsi;
b. Penyiapan pelaksanaan pemberantasan dan pemutusan jaringan
kejahatan terorganisasi penyalahgunaan peredaran gelap narkotika
dalam wilayah Provinsi;
111
c. Penyiapan pelaksanaan pembangunan dan pemanfaatan intelejen
teknologi dan kegiatan intelejen taktis, operasional dan produk dalam
rangka P4GN di bidang pemberantasan dalam wilayah Provinsi;
d. Penyiapan pelaksanaan administrasi penyelidikan dan penyidikan
terhadap tindak pidana narkotika, psikotropika, prekursor, dan bahan
adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol dalam
wilayah Provinsi;
e. Penyiapan pelaksanaan pengawasan distribusi prekursor sampai pada
pengguna akhir dalam wilayah Provinsi;
f. Penyiapan pelaksanaan pengawasan tahanan dan barang bukti dalam
wilayah Provinsi;
g. Penyiapan pelaksanaan pembinaan teknis dan supervisi P4GN di bidang
pemberantasan kepada BNNK/Kota dalam wilayah Provinsi; dan
h. Penyiapan pelaksanaan evaluasi dan pelaporan P4GN di bidang
pemberantasan dalam wilayah Provinsi.
112
GAMBAR 4.1
STRUKTUR ORGANISASI
BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI BANTEN
Sumber : Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten, 2017
KEPALA BNN PROVINSI BANTEN
MUHAMMAD NUROCHMAN, S.I.K
BRIGJEN POL / NRP.69030310
KEPALA BAGIAN UMUM
SUDARYAN, S.Sos, M,Si
NIP. 196702021989031011
KASUBAG PERENCANAAN HILKIA SITOHANG,SE, M.SI NIP.198001112001121002
KASUBAG SARPRAS
KASUBAG ADMINISTRASI
Drs.SYAROJI, MM NIP.19630404200112100
4
KEPALA BIDANG PEMBERANTASAN
ABDUL MAJID, SH,MH AKBP/NRP.65040523
KEPALA BIDANG RAHABILITASI
AGUS MULYANA, SE AKABP/NRP. 60080404
KABID PENCEGAHAN & DAYAMAS
SUGINO,SE,MH LETKOL INF/NRP.505762
KEPALA SEKSI
PENCEGAHAN
KEPALA SEKSI PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT
KEPALA SEKSI INTELIJEN YAYA SURIADIJAYA, SH
NIP. 197701102006041011
KEPALA SEKSI PASCA REHABILITASI
IP.
KASI WASTAHTI KEPALA SEKSI PENGUATAN LBG REHAB
ETIK KURNIA,SS NIP. 197601062001122006
KASI PENYIDIKAN
KELOMPOK JABATAN
FUNGSIONAL
113
4.2 Deskripsi Data
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data penelitian merupakan penjelasan mengenai data yang telah
didapatkan dari hasil penelitian. Data ini diperoleh dari hasil penelitian dengan
menggunakan metode kualitatif. Dalam penelitian mengenai Strategi Badan
Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba peneliti menggunakan dimensi yang mengacu pada teori
The Four Pillar Drug Strategy yang diadapsi dari N.E.W Mental Health Connection
(2016) diantaranya yaitu :
5. Prevention
6. Treatment
7. Harm Reduction
8. Law Enforcement
Mengingat bahwa jenis data dan analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitiatif, maka data yang diperoleh dan dihasilkan bersifat
deskriptif berbentuk kata dan kalimat dari hasil wawancara, hasil observasi lapangan
serta data atau hasil dokumentasi lainnya. Kata-kata dan tindakan informan
merupakan sumber utama penelitian.sumber data dari informan dicatat menggunakan
alat tulis dan direkam melalui handphone yang peneliti gunakan dalam penelitian.
Sumber data sekunder yang didapatkan peneliti berupa dokumentasi seperti dokumen
114
Rencana Strategis Badan Narkotika Nasional Tahun 2014-2019 dan Data Prevalensi
Penyalahgunaan Narkoba di Provinsi Banten yang merupakan data mentah yang
harus diolah dan dianalisis kembali untuk mendapatkan data yang dibutuhkan. Selain
itu bentuk data lainnya berupa foto-foto di lapangan dimana foto-foto tersebut
merupakan foto kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan melalui wawancara,
observasi, dan dokumentasi dilakukan reduksi data untuk mendapatkan tema dan
polanya serta diberi kode-kode pada aspek tertentu berdasarkan jawaban-jawaban
yang sama dan berkaitan dengan pembahasan permasalahan penelitian serta
dilakukan kategorisasi. Dalam menyusun jawaban penelitian, untuk mempermudah
peneliti dalam melakukan reduksi data, peneliti memberikan kode pada aspek tertentu
yaitu :
a. Kode Q untuk menunjukan kode pertanyaan.
b. Kode Q1, Q2, Q3 dan seterusnya untuk menunjukan urutan pertanyaan.
c. Kode I untuk menunjukan informan .
d. Kode I1, I2, I3 dan seterusnya untuk menunjukan urutan informan .
e. Kode I1.1, I1.2, I1.3, I1.4, menunjukkan daftar informan dari kategori Instansi
yaitu dari Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten .
f. Kode I2.1, I2.2, I2.3, I2.4, I2.5, I2.6, menunjukkan daftar informan kategori pihak
lain yang terkait pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
115
g. Kode I3.1, I3.2 dan I3.3 menunjukkan daftar informan dari kategori masyarakat.
h. Kode P menunjukan Peneliti.
Setelah pembuatan koding pada tahap reduksi data, langkah selanjutnya
adalah penyajian data, dimaksudkan agar lebih mempermudah bagi peneliti untuk
dapat melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data
penelitian. Data-data tersebut kemudian dipilih dan disisikan untuk disortir menurut
kelompoknya dan disusun sesuai dengan kategori yang sejenis untuk ditampilkan
agar selaras dengan permasalahan yang dihadapi, termasuk kesimpulan-kesimpulan
sementara yang diperoleh pada waktu data direduksi. Selanjutnya dengan triangulasi
yaitu proses check dan recheck antara sumber data dan sumber data lainnya. Setelah
semua proses analisis data telah dilakukan, peneliti dapat melakukan penyimpulan
akhir. Kesimpulan akhir dapat diambil ketika peneliti telah merasa bahwa data
peneliti sudah jenuh.
4.2.2 Data Informan
Pada penelitian mengenai Strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten
dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba, pemilihan
informan dilakukan oleh peneliti dengan teknik purposive, yaitu suatu teknik
pengambilan informan dengan pertimbangan tertentu dari pihak peneliti yang
memahami objek dan fokus penelitian. Informan yang terpilih merupakan pihak-
pihak yang secara langsung terkait dengan fokus penelitian dengan dasar bahwa
informan tersebut dianggap memiliki data-data dan informasi yang peneliti anggap
116
sangat penting untuk menjawab rumusan masalah yang telah dibuat oleh peneliti.
Hal ini juga telah dijelaskan pada bab sebelumnya mengenai metodologi penelitian.
Informan dalam penelitian ini adalah semua pihak baik aparatur pelaksana
upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba, serta pihak lainnya
yang memahami terhadap permasalahan upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten. Dalam hal ini yaitu Kepala Bidang
Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Narkotika Nasional Provinsi
Banten, Kepala Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten,
Kepala Bidang Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten, Dokter Seksi
Penguatan Lembaga Rehabilitasi Klinik Pratama BNN Provinsi Banten, Mitra Bidang
Pencegahan dan Pemberdayaan Mayarakat BNN Provinsi Banten, Kepala Sub Bagian
Pembinaan dan Operasional (Binopsnal) Direktorat Reserse Narkoba Kepolisian
Daerah Banten, Pelaksana Bagian Pembinaan dan Operasional (Binopsnal) Direktorat
Reserse Narkoba Kepolisian Daerah Banten, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum
Lainnya (TPUL) Kejaksaan Tinggi Banten, Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan
Lembaga Pemasyarakatan Serang, Kepala Bidang dan Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi Banten dan Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna
Sosial, NAPZA dan Korban Perdagangan Orang (KPO) Dinas Sosial Provinsi
Banten, Klien Rehabilitasi BNN Provinsi Banten dan Warga Binaan Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan Serang yang terlibat dalam Strategi Badan Narkotika
Nasional Provinsi Banten Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba.
117
Adapun informan-informan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel di bawah
ini:
Tabel 4.6
Informan Penelitian
No Kode
Informan
Informan Status Informan (SI)
1 I1.1 Sugino, SE, MH Kepala Bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Masyarakat Badan
Narkotika Nasional Provinsi Banten
2 I1.2 Abdul Majid, SH, MH
Kepala Bidang Pemberantasan
Badan Narkotika Nasional Provinsi
Banten
3 I1.3 Agus Mulyana, SE Kepala Bidang Rehabilitasi Badan
Narkotika Nasional Provinsi Banten
4 I1.4 dr. Ade Nurhilal Desrinah Dokter Seksi Penguatan Lembaga
Rehabilitasi Klinik Pratama BNN
Provinsi Banten
5 I1.5 Moh. Arif Mulyawan R Mitra Bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Mayarakat BNN
Provinsi Banten
6 I2.1 Kompol Kosasih SH, MH Kepala Sub Bagian Pembinaan dan
Operasional (Binopsnal) Direktorat
Reserse Narkoba Kepolisian Daerah
Banten
7 I2.2 BRIPKA Gunawan Pelaksana Bagian Pembinaan dan
118
Operasional (Binopsnal) Direktorat
Reserse Narkoba Kepolisian Daerah
Banten
8 I2.3 Asep Hanan, S.IP Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna
Sosial, NAPZA dan Korban
Perdagangan Orang (KPO) Dinas
Sosial Provinsi Banten
9 I2.4 H. R. Wahyu Santoso W.
SKM. M.Si
Kepala Bidang dan Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas
Kesehatan Provinsi Banten
10 I2.5 Tri Sutrisno, SH Kepala Seksi Tindak Pidana Umum
Lainnya Kejaksaan Tinggi Banten
11 I2.6 Heri Purnomo, SH Kepala Seksi Pembinaan dan
Pendidikan Lembaga
Pemasyarakatan Serang
12 I2.7 Taufik Klien Rehabilitasi BNN Provinsi
Banten
13 I2.8 Rohim Warga Binaan Pemasyarakatan
LAPAS Serang
(Sumber: Peneliti, 2017)
4.3 Temuan Lapangan
Data lapangan dalam penelitian ini merupakan data dan fakta yang peneliti
dapatkan langsung ketika melakukan observasi di lapangan, dengan membandingkan
teori dengan temuan-temuan yang ada di lapangan, serta analisis peneliti.
Berdasarkan temuan lapangan yang diperoleh peneliti, upaya Pencegahan dan
119
Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba merupakan upaya yang dilakukan
pemerintah dalam rangka mewujudkan “Indonesia Negeri Bebas Narkoba”.
Berdasarkan hal tersebut, untuk menentukan strategi yang akan dibuat dan
direkomendasikan oleh peneliti, terlebih dahulu peneliti melihat strategi yang
sebelumnya telah dilakukan oleh instansi terkait. Dalam hal ini, pihak yang
berwenang dalam pelaksanaan upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba adalah Badan Narkotika Nasional.
Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba ditetapkan
dalam Rencana Strategis Badan Narkotika Nasional Tahun 2015 – 2019, dan berikut
adalah strategi yang terdapat dalam Rencana Strategis Tahun 2015 – 2019 yang
menjadi acuan strategi yang dilakukan dalam upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba di Provinsi Banten:
a. Melakukan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi informasi pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba kepada seluruh lapisan masyarakat
dengan mengintegrasikan program pencegahan penyalahgunaan narkoba ke
dalam seluruh isu dan sektor pembangunan melalui konsep penganggaran
berwawasan anti narkoba, kebijakan berbasis anti narkoba, serta mendorong
pembangunan karakter manusia dengan memasukan nilai-nilai hidup sehat
tanpa narkoba ke dalam kurikulum pendidikan dasar sampai lanjutan atas.
120
b. Menumbuhkembangkan kepedulian dan kemandirian masyarakat dalam upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba dari tingkat desa/kelurahan dengan
mendorong relawan-relawan menjadi pelaku P4GN secara mandiri.
c. Mengembangkan akses layanan rehabilitasi penyalahguna, korban
penyalahguna, dan pecandu narkoba yang terintegrasi dan berkelanjutan, serta
mengoptimalkan peran K/L dalam pemanfaatan infrastruktur dan sumber daya
K/L.
d. Mengungkap jaringan sindikat peredaran gelap narkotika dan menyita seluruh
aset terkait kejahatan narkotika dengan menjalin kerjasama dan kemitraan
yang harmonis dengan penegak hukum baik dalam maupun luar negeri
khususnya dalam mengungkap jaringan peredaran gelap narkoba.
e. Melaksanakan tata kelola pemerintahan dengan membangun budaya
organisasi yang menjunjung tinggi good governance dan clean government di
lingkungan BNN.
Berdasarkan strategi yang terdapat dalam Rencana Strategis Badan Narkotika
Nasional Tahun 2015 – 2019 masih terdapat beberapa hal yang belum dilaksanakan
dengan baik atau pelaksanaannya belum optimal antara lain pelaksanaan diseminasi
informasi mengenai bahaya narkoba yang dilakukan oleh bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Masyarakat (P2M) dan belum dilakukannya pemberian layanan
rehabilitasi rawat inap karena belum tersedianya sarana dan prasarana pendukung
kegiatan. Dari beberapa strategi yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional
121
Provinsi Banten terlihat belum tepat dalam penentuan strateginya, selain itu dalam
pelaksanaannya juga belum optimal karena terdapat beberapa penyebab. Dengan
adanya hal tersebut, maka dalam penelitian mengenai Strategi Badan Narkotika
Nasional Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan Narkoba ini, peneliti menggunakan teori The Four Pillar Drug
Strategy untuk merekomendasikan strategi yang sebaiknya dilakukan BNN Provinsi
Banten dalam upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba.
Pemilihan teori tersebut didasarkan pada temuan lapangan yang relevan dengan
konsep teori ini, di mana teori tersebut merupakan empat pilar perspektif strategis
dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba yang diadapsi dari
N.E.W. Mental Health Connection. Adapun dimensi dari teori tersebut adalah (1)
Prevention (Pencegahan) yang bertujuan menunda timbulnya penggunaan narkoba
dan mengatasi penyebab yang mendasari penggunaan narkoba. (2)
Treatment (Pengobatan) dilakukan untuk mendorong seseorang dengan masalah
kecanduan narkoba untuk tidak kembali menggunakan narkoba. (3) Harm
Reduction (Pengurangan dampak buruk) yang memfokuskan pada bahaya narkoba
terhadap individu dan masyarakat dari penjualan dan penggunaan narkoba. (4) Law
Enforcement (Penegakan Hukum) yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan aparat
hukum untuk ketertiban umum dan keamanan masyarakat dari bahaya
penyalahgunaan narkoba. Empat pilar perspektif strategis dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba tersebut membantu memilih strategi
122
alternatif untuk meningkatkan strategi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
4.3.1 Prevention (Pencegahan)
Prevention (pencegahan) dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba bertujuan menunda timbulnya penggunaan narkoba dan
mengatasi penyebab yang mendasari penggunaan narkoba. Pilar ini mencakup
strategi dan intervensi yang membantu mencegah penggunaan berbahaya dari
narkoba alkohol, tembakau, dan obat-obatan ilegal yang dilakukan diantaranya
melalui pendidikan mengenai bahaya narkoba dan pelatihan kerja. Pencegahan
merupakan salah satu isi dalam Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba. Hal tersebut dilakukan oleh BNN
Provinsi Banten khususnya bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat
(P2M), selain itu juga dengan berkoordinasi dengan pihak lainnya baik pihak
kepolisian (Polda Banten), dengan instansi pemerintah yaitu Kemenkumham Kanwil
Banten, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial, maupun pihak lainnya seperti sekolah,
kampus hingga pihak swasta dalam penyelenggaraan kegiatan pencegahan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten. Berbicara mengenai apa saja hal atau
program kegiatan yang dilakukan sebagai upaya pencegahan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten, BNN Provinsi Banten telah melakukan berbagai kegiatan
pencegahan penyalahgunaan narkoba, sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak
123
Sugino SE, MH selaku Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat
BNN Provinsi Banten sebagai berikut :
“Pencegahan itu kita ada pencegahan diri yang terdiri dari advokasi yaitu
mempengaruhi kepada stakeholder baik itu pemerintah maupun swasta, untuk
mengajak supaya mari kita sama-sama memerangi masalah narkoba karena
sudah darurat narkoba. Kalau tidak bersama-sama, BNN juga tidak masif
karena BNN ini terbatas. Dasarnya adalah Permendagri Nomor 21 Tahun
2013, jadi Walikota Bupati Gubernur harus memberikan fasilitasi supaya
menganggarkan dasarnya Perda kepada STOK ataupun stakeholder ataupun
SKPD itu harus menganggarkan tentang pencegahan narkoba, nanti
pelaksanaannya bisa ke kampus, ke pekerja. Itulah advokasi. Yang kedua
adalah diseminasi yaitu dengan membuat media baik tatap muka, online,
ataupun video tron, berarti media cetak dan media elektronik gitu. Itulah
diseminasi. Bagaimana kita membuat iklan untuk mempengaruhi masyarakat
melalui TV , medsos, video tron, surat kabar. Kemudian juga ada sosialisasi,
ada KIE Komunikasi Informasi dan Edukasi itu langsung turun ke
masyarakat, ke pemerintahan, ke swasta. Jadi begitulah ada advokasi dan
diseminasi.”(Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19 Juni
2017 pukul 10.30 WIB)
Dari pendapat yang disampaikan oleh I1.1 dapat disimpulkan bahwa BNN
Provinsi Banten khususnya Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat
memiliki program dan menjalankan kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba
dengan kegiatan pencegahan diri yang terdiri dari advokasi dan diseminasi informasi.
Advokasi dilakukan dengan mempengaruhi stakeholder baik itu pemerintah maupun
swasta, untuk mengajak supaya bersama-sama memerangi masalah narkoba yang ada
di Provinsi Banten khususnya. Sedangkan diseminasi informasi dilakukan melalui
media cetak dan media elektronik untuk mempengaruhi masyarakat agar mengetahui
bahaya narkoba dan juga melalui KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) yang
dilakukan secara langsung atau tatap muka dengan masyarakat, instansi pemerintah
maupun swasta melalui kegiatan sosialisasi bahaya penyalahgunaan narkoba.
124
Selain itu, dipertanyakan juga mengenai advokasi ataupun fungsi koordinasi
yang dijalankan oleh BNN Provinsi Banten dengan instansi terkait upaya memerangi
bahaya narkoba. Dengan mengajukan pertanyaan mengenai pihak-pihak yang
berkoordinasi dalam kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi
Banten untuk dapat mengetahui siapa saja pihak yang terlibat dan seperti apa bentuk
koordinasi yang telah dilakukan sebagai upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba
di Provinsi Banten. Bapak Sugino SE, MH (I1.1) selaku Kepala Bidang Pencegahan
dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten memberikan pernyataan
sebagai berikut :
“Ya kita selalu ajak-ajak dari SKPD, dari OPD, termasuk Polda, Dinsos,
Dinkes, bahkan pariwisata, Dispora. Jadi memang luas kalau bicara
narkotika itu. Kita gabung-gabung bareng, kita ajak-ajak bahwa diharapkan
bisa masuk ke dunia narkotika agar tahu bagaimana mencegah narkotika di
lingkungannya. Jadi dilibatkan semuanya, swasta pun masuk seperti
Krakatau Posco juga masuk itu. Terus kita rekrut masyarakat juga, kita
jadikan relawan maupun penggiat yang harapannya adalah orang-orang
yang tidak terkena narkotika dengan adanya KIE menjadi tahu dan tidak
pakai. Kalau sudah terkena, harapannya dengan adanya penjelasan kita ya
hentikan dan rehabiltasi dengan datang ke BNN. Kalau dia sudah bandar dan
tidak mau menyerahkan diri, kalau kena berarti dia pidana.”(Wawancara
dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
pencegahan penyalahgunaan narkoba di Banten tidak hanya dilakukan oleh pihak
Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Banten saja, melainkan dengan
dilakukannya koordinasi dengan instansi pemerintah lainnya seperti Dinas Sosial,
Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata dan Dinas Pemuda dan Olahraga, selain itu juga
dari pihak kepolisian. Hal tersebut dilakukan sebagai upaya pencegahan
125
penyalahgunaan narkotika dimulai dari lingkungannya yang kemudian diharapkan
dapat juga memberikan pengaruh pada masyarakat untuk dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan narkotika. Selain dari instansi pemerintah, BNN Provinsi Banten
juga melibatkan pihak swasta dan masyarakat yang sebagai relawan atau penggiat
yang kemudian dijadikan mitra oleh BNN Provinsi Banten untuk membantu
pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pemberdayaan masyarakat melalui Komunikasi
Informasi dan Edukasi (KIE) dan juga memberikan pemahaman terkait keberadaan
BNN sebagai instansi pemerintah yang menyediakan layanan rehabilitasi sebagai
salah satu cara pengobatan penyalahgunaan narkoba tanpa melalui proses pidana.
Salah satu instansi pemerintah yang berperan dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba adalah Dinas Sosial Provinsi Banten, seperti
yang disampaikan oleh Bapak Asep selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial,
NAPZA dan Korban Perdagangan Orang (KPO) Dinas Sosial Provinsi Banten yaitu:
“Setidaknya ada 3 (tiga) aspek yang terkait dengan masalah NAPZA, yang
pertama ada aspek pencegahan, kemudian aspek pelaksanaan atau
rehabilitasi, kemudian yang ketiga itu after care atau pasca rehabilitasi dari
medis.” (Wawancara dengan I2.3 di Dinas Sosial Provinsi Banten pada 21 Juni
2017 pukul 11.05 WIB)
Dari pernyataan di atas menerangkan bahwa terdapat koordinasi antara Dinas
Sosial Provinsi Banten dengan BNN Provinsi Banten terkait pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba, yaitu dari aspek pencegahan, rehabilitasi
hingga pasca rehabilitasi. Ketiga aspek tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang
dilakukan Dinas Sosial sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan
126
penyalahgunaan narkoba di lingkungan masyarakat. Bentuk kegiatan terkait
pencegahan tersebut diungkapkan juga oleh Bapak Asep Hanan (I2.3) sebagai berikut:
“Untuk pencegahan itu adanya upaya pendataan dan penjangkauan di
titik/spot yang sekiranya terdapat narkoba, dan juga kita koordinasi dengan
organisasi atau lembaga kesejahteraan sosial yang terkait dengan
penanganan korban NAPZA dan HIV/AIDS. Sedangkan upaya pencegahan
langsung kaya penyuluhan keliling gitu selama ini ada di bidang PSDS
(Potensi dan Sumber Daya Sosial) itu yang melakukan penyuluhan. Kalau
dari bidang ini itu ya tadi pendataan dan penjangkauan sama UPSK (Unit
Penjangkauan Sosial Keliling), nanti di UPSK itu juga ada medisnya.”
(Wawancara dengan I2.3 di Dinas Sosial Provinsi Banten pada 21 Juni 2017
pukul 11.05 WIB)
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh I2.3 dapat disimpulkan bahwa
kegiatan dalam rangka koordinasi atau advokasi dengan BNN Provinsi Banten adalah
melalui upaya pendataan dan penjangkauan di titik/spot yang sekiranya terdapat
narkoba. Selain itu juga terdapat kegiatan langsung atau tatap muka seperti kegiatan
penyuluhan keliling untuk memberikan informasi bahaya narkoba yang dilakukan
oleh bidang PSDS (Potensi dan Sumber Daya Sosial).
Selain dengan Dinas Sosial Provinsi Banten, advokasi atau koordinasi juga
dilakukan dengan Kepolisian Daerah (Polda) Banten, hal tersebut diungkapkan oleh
Bapak Kosasih selaku Kepala Sub Bagian Pembinaan dan Operasional (Binopsnal)
Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten yaitu:
“Ada namanya operasi interdiksi atau operasi gabungan. Selain itu juga ada
kegiatan penyuluhan P4GN, instansi terkaitnya itu BNN, Denpom dengan TNI
untuk pengamannya.” (Wawancara dengan I2.1 di Direktorat Reserse Narkoba
Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
127
Berdasarkan pernyataan I2.1 di atas, terdapat koordinasi antara Kepolisian
Daerah (Polda) Banten khususnya Direktorat Reserse Narkoba dengan BNN Provinsi
Banten dalam upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba yaitu dalam kegiatan
penyuluhan P4GN dan pemberantasan narkoba dalam kegiatan operasi interdiksi atau
operasi gabungan yang juga dilakukan dengan pihak Detasemen Polisi Militer
(Denpom) dan pihak TNI.
Selain dengan Dinas Sosial Provinsi Banten dan Kepolisian Daerah (Polda)
Banten, instansi lain yang juga berkoordinasi dengan BNN Provinsi Banten dalam
upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah Dinas Kesehatan Provinsi Banten.
Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak H. R. Wahyu Santoso W. SKM. M.Si (I2.4)
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan
Provinsi Banten Dinas Kesehatan Provinsi Banten menyatakan bahwa:
“Ya ada, bentuk koordinasinya berupa pertemuan dan kerjasama, pelatihan
juga ada.” (Wawancara dengan I2.4 di Dinas Kesehatan Provinsi Banten pada
16 Juni 2017 pukul 9.50 WIB)
“Untuk pelatihan yang diselenggarakan Dinas Kesehatan ya dilakukan disini,
kami yang mengundang pihak BNN.” (Wawancara dengan I2.4 di Dinas
Kesehatan Provinsi Banten pada 16 Juni 2017 pukul 9.50 WIB)
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan I2.4, terdapat koordinasi antara
Dinas Kesehatan Provinsi Banten dengan BNN Provinsi Banten dalam upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba yaitu dengan dilakukannya pertemuan dan
kerjasama, selain itu juga terdapat kegiatan pelatihan yang diberikan Dinas Kesehatan
128
Provinsi Banten kepada BNN Provinsi Banten terkait masalah kesehatan pada
penyalahguna narkoba.
Instansi lain yang juga berkoordinasi dengan BNN Provinsi Banten dalam
upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba adalah pihak Kemenkumham Kanwil
Banten yang dalam hal ini bertugas di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Serang.
Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak Heri Purnomo (I2.6) selaku Kepala Seksi
Pembinaan dan Pendidikan LAPAS Serang sebagai berikut:
“Kami selalu ada koordinasi terkait penggeledahan di dalam, ditemukan atau
engga barang terlarang ataupun alat komunikasi yang mengarah ke
penggunaan ataupun peredaran gelap narkoba, BNN juga mengadakan tes
urine. Selain itu juga BNNP Banten pernah melakukan rehabilitasi.”
(Wawancara dengan I2.6 di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Serang pada 27
Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.6 di atas, terdapat koordinasi antara Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) Serang dengan BNN Provinsi Banten dalam upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba yaitu dengan dilakukannya penggeledahan di
dalam LAPAS untuk mengetahui apakah terdapat narkoba di dalam lingkungan
LAPAS Serang. Selain itu kegiatan lainnya sebagai upaya pencegahan
penyalahgunaan narkoba juga dilakukan dengan diadakannya tes urine pada warga
binaan blok narkoba LAPAS Serang untuk mengetahui apakah masih ada warga
binaan di LAPAS Serang yang menggunakan narkoba. Sedangkan kegiatan lainnya
yang juga dilakukan BNN Provinsi Banten di LAPAS Serang adalah rehabilitasi bagi
mantan pengguna narkoba.
129
Selain kegiatan yang rutin dilakukan dengan berkoordinasi dengan BNN
Provinsi Banten, Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Serang juga memberlakukan
kebijakan untuk mencegah masuknya narkoba ke dalam lingkungan LAPAS Serang.
Hal tersebut diungkapkan juga oleh Bapak Heri Purnomo (I2.6) selaku Kepala Seksi
Pembinaan dan Pendidikan LAPAS Serang sebagai berikut:
“Kita kan lalu lintas itu adanya selalu di pintu utama atau P2U (Pengamanan
Pintu Utama). Hal-hal yang dapat kita lakukan semaksimal mungkin ada tadi
alat pendetaksi metal, ada alat yang kaya masuk gawang itu juga, cuma untuk
alat yang secara khusus sebagai pendeteksi narkoba itu kita belum punya
karena itu harganya mahal bisa sampai 800 juta jadi belum tercover. Yang bisa
kita lakukan adalah ya kepentingan kita sajalah kaya pengiriman barang,
makanan selalu kita teliti mungkin kalau roti ya kita potong-potong dulu
takutnya di dalamnya diselipkan narkoba, nasi juga mohon maaf kita acak-
acak, terus sandal kita ganti dengan sandal yang ada di kita, karena modus
operandinya itu kan banyak sekali. Makanya penggeledahan-penggeledahan
itu kita intensifkan supaya meminimalisir tidak ada penyelundupan ke dalam
Lapas, itu pun masih banyak juga cara-cara yang lain. Terus mental pegawai
juga tidak menutup kemungkinan kan namanya manusia dengan iming-iming
ini itu ya kita tidak memunafikan itu ada.” (Wawancara dengan I2.6 di Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) Serang pada 27 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.6 di atas, hal yang dilakukan untuk mencegah
masuknya narkoba ke dalam lingkungan LAPAS Serang adalah dengan
memaksimalkan pengamanan di pintu utama, baik melalui alat maupun petugas yang
berjaga di P2U tersebut. Alat yang digunakan adalah alat pendetaksi metal baik yang
berbentuk alat genggam maupun berbentuk pintu masuk, sedangkan alat khusus
untuk mendeteksi narkoba sampai saat ini belum dimiliki LAPAS Serang
dikarenakan belum tercovernya anggaran untuk penyediaan alat tersebut. Selain itu
juga dilakukan pemeriksaan pada barang ataupun makanan kiriman untuk warga
130
binaan untuk mencegah masuknya narkoba melalui modus operandi melalui barang
tersebut. Sedangkan dari pihak internal LAPAS Serang, hal yang dilakukan adalah
mencegah masuknya narkoba melalui petugas setempat karena pihak LAPAS pun
mengakui bahwa mental para pegawai memang dapat berpengaruh pada keluar
masuknya narkoba di lingkungan LAPAS.
Program kegiatan lainnya di BNN Provinsi Banten sebagai upaya pencegahan
adalah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilakukan agar
masyarakat mampu melakukan upaya pencegahan diri untuk menanggulangi bahaya
penyalahgunaan narkoba yang saat ini sudah dalam keadaan darurat. Hal tersebut
menjadi tugas dan fungsi bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN
Provinsi Banten. Hal yang perlu dipertanyakan adalah apa saja hal atau program
kegiatan dalam rangka upaya pemberdayaan masyarakat di Provinsi Banten.
Bapak Sugino selaku Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan
Masyarakat BNN Provinsi Banten memaparkannya sebagai berikut :
“Kemudian masuk kepada pemberdayaan masyarakat yaitu kita mengajak
pembangunan wawasan anti narkoba, memberdayakan masyarakat, swasta
maupun instansi pemerintah dan pendidikan. Itu ajak-ajak supaya dia ada
program mandiri, misalnya kita ajak Untirta, sudah kita bentuk satgas sudah
tes urin mau tidak mau Untirta itu harus ada pemberdayaan, mari kita tolak
narkoba agar kampus ini bersih dari narkoba. Itu yang namanya
memberdayakan. Yang bermain itu satgas dan kader-kader yang sudah kita
cetak. Selain itu juga membuat kampung bersih narkoba, terus melakukan tes
urin. Itu contohnya program-program yang ada di BNN bidang pencegahan
dan pemberdayaan masyarakat.” (Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi
Banten pada 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
131
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan Bapak Sugino (I1.1), dapat
disimpulkan bahwa program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Bidang
Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten adalah mengajak
masyarakat dan memberikan wawasan anti narkoba kepada seluruh elemen
masyarakat, mulai dari tingkat sekolah dan universitas, instansi pemerintah hingga
pihak swasta. Pihak BNN Provinsi Banten pun membentuk program kemandirian
yang bekerjasama dengan pihak terkait salah satunya dengan Untirta dengan
mencetak kader atau penggiat yang bertugas memberikan tambahan wawasan kepada
lingkungan sekitar mengenai bahaya narkoba dan menjauhkan lingkungan tersebut
dari penyalahgunaan narkoba. Selain itu juga BNN Provinsi Banten telah membuat
kampung bersih narkoba yang terletak di lingkungan Pekarungan, Kelurahan
Kagungan Serang Banten dengan memantau masyarakat di lingkungan kampung
tersebut melalui tes urine secara berkala.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa BNN Provinsi Banten
melibatakan masyarakat sebagai relawan atau penggiat yang menjadi mitra
kemandirian dari BNN Provinsi Banten yang berperan aktif dalam kegiatan
pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten. Bapak Sugino SE, MH (I1.1)
menyampaikannya sebagai berikut:
“Kenapa kita ada penggiat? Bahwa BNN tidak mampu dan masalah narkotika
harus diatasi bersama, baik dari pemerintah, dari swasta, dari pendidikan dan
dari masyarakat. Mereka ini diharapkan bisa membantu kegiatan kami dan
nantinya antara lain dia kita TOT (Training of Trainer), itu kita ajak bersama-
sama. Ada yang punya yayasan, ada juga yang hanya menjadi relawan. Karena
132
kita ga mampu mengcover semuanya, jadi kita ajak-ajak kita bekali, kita
berikan identitas, diberikan kemampuan akhirnya nanti dia bicara bagaimana
mencegah narkotika di kalangan masyarakat. Mereka diawasi kita, karena kita
ada advokasi, pendahuluan, TOT atau materi, dan nanti kita minta juga
schadule kegiatan dia.” (Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada
19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa BNN Provinsi
Banten juga melibatkan masyarakat yang kemudian dijadikan mitra sebagai relawan
atau penggiat yang membantu pihak BNN Provinsi Banten dalam pelaksanaan
kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba dan atau pemberdayaan masyarakat.
Relawan atau penggiat tersebut dibekali pemahaman materi pencegahan
penyalahgunaan narkotika dan bahaya narkotika yang kemudian diharapkan dapat
disampaikan kepada masyarakat agar terhindar dari bahaya narkoba dengan
dilakukannya Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE).
Hal di atas diperkuat oleh keterangan Bapak Arif (I1.5) selaku Mitra Bidang
Pencegahan dan Pemberdayaan Mayarakat BNN Provinsi Banten sebagai berikut :
“Jadi gini, namanya penggiat itu kan disebutnya sebagai mitra, artinya
membantu peran-peran maupun tugas BNN secara teknis di lapangan. Tugas
BNN kan ada 3 bidang, bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat,
bidang rehabilitasi, dan bidang pemberantasan. Nah berarti tiga bidang ini
bersinergi, tetapi bidang pemberantasan ini lebih kencang daripada bidang
pencegahan seperti kasus yang kemarin di Anyer satu ton ditangkap, padahal
permasalahan narkotika itu bukan di supply tetapi demand. Nah ini yang
kurang dipahami oleh BNN, jadi saya sebagai mitra itu terkadang memberikan
masukan dengan mitra saya di bidang pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat (dayamas).” (Wawancara dengan I1.5 di Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa Serang pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.5 di atas, dapat disimpulkan bahwa penggiat atau
disebut sebagai mitra BNN adalah pihak eksternal yang membantu peran-peran
133
maupun tugas BNN secara teknis di lapangan salah satunya seperti yang diungkapkan
I1.1 yaitu melakukan Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat
mengenai narkoba serta menjelaskan keberadaan BNN dan juga memberikan
masukan kepada BNN sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Dalam penyelenggaraan kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba dan
pemberdayaan masyarakat di Provinsi Banten, tentu terdapat pihak-pihak yang
menjadi sasaran dalam kegiatan tersebut. Sasaran dimaksudkan untuk lebih
memaksimalkan tujuan yang ingin dicapai BNN Provinsi Banten. Menurut Bapak
Sugino selaku Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN
Provinsi Banten yang menjadi sasaran dalam kegiatan tersebut adalah sebagai
berikut:
“Ya itu tadi kalau pemberdayaan masyarakat ada peran serta masyarakat
termasuk kampus, pemerintahan, ada swasta dan ada juga elemen pendidikan.
Jadi kami bicara soal SD, SMP, SMA sampai kampus, ada juga pabrik-pabrik
itu.“ (Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19 Juni 2017 pukul
10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
sasaran dalam kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba dan pemberdayaan
masyarakat adalah seluruh elemen masyarakat, baik dari elemen pendidikan,
pemerintahan ataupun swasta.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa selain BNN Provinsi Banten
terdapat stakeholder yang berkoordinasi dalam kegiatan pencegahan penyalahgunaan
134
narkoba. Hal senada terkait sasaran kegiatan disampaikan pihak Direktorat Reserse
Narkoba Polda Banten Bapak Gunawan sebagai berikut:
“Sasarannya kalau untuk pencegahan itu yang lebih sering adalah anak
sekolah, selain itu juga ada masyarakat umum beserta tokoh agamanya karena
kan kita langsung terjun ke lingkungan ya, dan seluruh elemen masyarakat
didalamnya lah. Kalau pemberantasan itu pengunjung tempat hiburan
terutama.” (Wawancara dengan I2.2 di Direktorat Reserse Narkoba Polda
Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba yang dilakukan BNN
Provinsi Banten dengan Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten, yang menjadi
sasaran adalah siswa-siswi sekolah dan seluruh masyarakat di dalam lingkungan
tempat penyelenggaraan kegiatan.
Selain Polda Banten, stakeholder yang berkoordinasi terkait kegiatan
pencegahan penyalahgunaan narkoba dilakukan juga dengan Dinas Sosial Provinsi
Banten. Sedangkan pihak-pihak yang menjadi sasaran dalam kegiatan tersebut
disampaikan Bapak Asep Hanan S.Ip (I2.3) selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna
Sosial, NAPZA dan Korban Perdagangan Orang (KPO) Dinas Sosial Provinsi Banten
sebagai berikut:
“Kalau pencegahan yang kita undang adalah PSKS atau diistilah kami itu
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial seperti para LSM, tokoh masyarakat,
tokoh agama, karang taruna, tagana ataupun organisasi kepemudaan. Itu
biasanya satu kali pelaksanaan ada sebanyak 100 orang setiap kabupaten/kota,
berarti kalau seBanten kan delapan kabupaten/kota. Itu yang kita sasar, kita
beda ya dengan dinas lain.” (Wawancara dengan I2.3 di Dinas Sosial Provinsi
Banten pada 21 Juni 2017 pukul 11.05 WIB)
135
Berdasarkan pernyataan I2.3 di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan
pencegahan penyalahgunaan narkoba yang dilakukan Dinas Sosial Provinsi Banten
memiliki perbedaan dengan yang dilakukan BNN Provinsi Banten yaitu dalam
penentuan sasaran. Dinas Sosial Provinsi Banten lebih fokus pada masyarakat yang
diistilahkan atau dikategorikan sebagai Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial
yaitu LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama, karang taruna, tagana ataupun organisasi
kepemudaan. Seluruh PSKS tersebut diundang dari setiap Kabupaten dan Kota di
Provinsi Banten dengan perwakilan masing-masing sebanyak 100 orang.
Upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba dan pemberdayaan masyarakat
yang selama ini telah dilakukan secara rutin oleh pihak BNN Provinsi Banten
memiliki dua bentuk yaitu kegiatan pencegahan langsung dan pencegahan tidak
langsung, dalam pencegahan langsung perlu diketahui mekanisme penentuan tempat
sebagai lokasi penyelenggaraan kegiatan, apakah sudah ditentukan atau atas
permintaan masyarakat/instansi, yang juga dapat menjadi bahan pertimbangan terkait
optimalisasi BNN Provinsi Banten dalam penyelenggaraan kegiatan pencegahan.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten
mengatakan bahwa:
“Kegiatan itu ada dua sumber, pertama kita diminta misalnya Untirta atau
UIN mengadakan seminar, saya diminta untuk menjadi narasumber atau
pembicara disana, atau bisa juga penyelenggaraannya dengan anggaran kita
sendiri tetapi anggaran kita ini terbatas, jadi banyaknya yang non anggran.
Kita datang setelah ada surat ke kepala BNNP, baik itu dari masyarakat,
kampus, instansi pemerintahan ataupun swasta. Biasanya kalau dari anggaran
sendiri sih jarang untuk kegiatan seminar gitu, lebih banyak untuk kegiatan
pembinaan life skill.” (Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19
Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
136
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba yang dilakukan BNN Provinsi Banten memiliki
dua sumber yaitu atas permintaan instansi kepada BNN Provinsi Banten dan sumber
kedua dari anggaran BNN Provinsi Banten atau tanpa permintaan. Permintaan yang
ditujukan kepada BNN Provinsi Banten biasanya dilakukan untuk penyelenggaraan
kegiatan seminar dimana BNN Provinsi Banten dijadikan narasumber dalam acara
tersebut untuk memberikan pemahaman mengenai bahaya narkoba dengan terlebih
dahulu diajukan surat permohonan kepada Kepala BNN Provinsi Banten. Sedangkan
kegiatan yang berasal dari anggaran BNN Provinsi Banten lebih banyak digunakan
untuk kegiatan pembinaan life skill sebagai bentuk pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat.
Hal senada juga diungkapkan oleh BRIPKA Gunawan (I2.2) sebagai berikut:
“Ada dua, yang pertama Polda dan instansi terkait seperti BNN datang
langsung ke lokasi dan yang kedua itu berdasarkan permintaan. Ada juga
program kegiatan pencegahan terhadap anak-anak sekolah yang dilakukan
rutin 2 kali dalam satu bulan.” (Wawancara dengan I2.2 di Direktorat Reserse
Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba yang juga dilakukan Polda Banten dengan BNN
Provinsi Banten salah satunya, dilakukan berdasarkan dua sumber yaitu atas
permintaan dan tanpa permintaan. Pihak Polda dan instansi terkait seperti BNN dapat
mendatangi langsung lokasi untuk memberikan pemahaman bahaya narkoba.
137
Selain kegiatan pencegahan langsung yang dilakukan secara tatap muka,
terdapat kegiatan pencegahan lainnya yaitu diseminasi informasi. Diseminasi
informasi merupakan salah satu tugas bidang pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat dan BNN Provinsi Banten juga telah melakukan kegiatan tersebut, seperti
yang diungkapkan Bapak Sugino, SE, MH (I1.1) Kepala Bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Seperti tadi dalam diseminasi itu menggunakan media tatap muka, online,
ataupun video tron, berarti media cetak dan media elektronik gitu, bisa melalui
TV, medsos, video tron, surat kabar.” (Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi
Banten pada 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dalam pelaksanaan diseminasi informasi
bahaya narkoba dapat dilakukan melalui berbagai media, baik secara tatap muka,
media cetak seperti surat kabar, media elektronik seperti TV dan video tron, hingga
media online seperti melalui media sosial dan website. Diseminasi informasi tersebut
dapat berpengaruh dan mendukung pelaksanaan kegiatan pencegahan
penyalahgunaan narkoba serta dapat mempermudah akses masyarakat dalam mencari
informasi bahaya narkoba. Diseminasi informasi juga dapat menjadi salah satu
strategi komunikasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten dalam menginformasikan
bahaya narkoba, seperti yang disampaikan Bapak Sugino SE, MH (I1.1) sebagai
berikut:
“Kalau strategi komunikasi itu ya melalui berbagai media tadi, terus kita juga
libatkan pihak-pihak lain di luar karena sekali lagi masalah narkoba ini harus
diatasi bersama. Bahkan kita juga masukan ke medsos untuk supaya dibaca di
lihat oleh orang-orang. Supaya tahu bahwa perkembangan BNN ini
138
menjalankan kemitraan, termasuk pemuda-pemudi anti narkoba. Karena kalau
cuma dari BNN ya tentu tidak akan masif. SDM dan anggaran kita saja masih
kurang, sedangkan sekarang supply and demand ini kencang sekali. Ternyata
PCC dan narkotika-narkotika jenis baru ini terus masuk kan bisa dilihat di
media. Itulah yang terjadi, makanya kita ajak-ajak namanya penggiat, relawan
dan semua pihak.” (Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19
Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa strategi
komunikasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten adalah dengan diseminasi
informasi melalui media seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, selain itu juga
dengan melibatkan pihak luar seperti instansi dan masyarakat karena BNN Provinsi
Banten merasa tidak dapat berperan sendiri dalam mengatasi permasalahan narkoba
disebabkan diantaranya karena SDM dan anggaran di BNN Provinsi Banten yang
masih dirasa kurang. Namun peneliti melihat bahwa diseminasi informasi yang
dilakukan BNN Provinsi Banten melalui media khususnya tidak dilakukan secara
maksimal. Salah satu contoh yang peneliti temukan adalah tidak dimanfaatkannya
media sosial salah satunya website seperti gambar di bawah ini :
139
Gambar 4.2
Website BNN Provinsi Banten
(Sumber : http://bnnp-banten.org/ diakses 6 Oktober 2017 pukul 19.10 WIB )
Berdasarkan gambar di atas, menjelaskan bahwa BNN Provinsi Banten
khususnya bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat masih belum
maksimal dalam mendiseminasikan bahaya narkoba kepada masyarakat salah satunya
karena tidak dimanfaatkannya media sosial seperti website milik BNN Provinsi
Banten tersebut, padahal dalam keterangan I1.1 sebelumnya dikatakan bahwa BNN
Provinsi Banten menggunakan media tatap muka, media cetak, media elektronik dan
media sosial. Pertama, terlihat pada update kegiatan BNN Provinsi Banten yang di
publikasi terakhir pada tanggal 7 September 2016. Kedua, tidak adanya materi atau
informasi yang seharusnya dapat dibaca dan digunakan masyarakat untuk
memperoleh informasi dan pemahaman mengenai narkoba dan bahaya narkoba
sebagai bentuk pencegahan diri dari masyarakat. Selain itu juga BNN Provinsi
Banten tidak mempunyai media sosial lainnya seperti facebook, twitter ataupun
140
media sosial lainnya. Hal tersebut seharusnya dapat dilakukan BNN Provinsi Banten
sebagai sarana untuk pelaksanaan diseminasi informasi bahaya narkoba dan bentuk
publikasi pada masyarakat agar masyarakat lebih mengetahui peran-peran BNN
Provinsi Banten yang dapat dilakukan secara langsung pada masyarakat.
Selain pemanfaatan media, penyampaian informasi secara tatap muka
khususnya kepada anak muda yang lebih rentan terkena pengaruh penyalahgunaan
narkoba juga masih belum dapat dilakukan secara maksimal. Seperti yang
diungkapkan oleh Pak Arif (I1.5) selaku Mitra dari Bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Masyarakat sebagai berikut:
“Jadi menurut saya bagaimanapun bahwa kalau ingin memutuskan mata rantai
peredaran gelap ini ya kita ke demand bukan di supply. Demandnya ini yang
harus kita pangkas, misalnya semakin banyak kita melakukan penyuluhan,
sosialisasi, training atau membuat kader-kader pencegahan, kampung anti
narkoba dan lain sebagainya. Semakin banyak kita memberikan pengetahuan
tentang dasar narkoba, maka masyarakat pun akan semakin banyak tahu juga
dan kedua yang jadi masalah itu metode atau skill komunikasi BNN kepada
masyarakat. Ini yang saya coba koreksi, ini lebih cenderung pada pasal pasal
yang masyarakat belum tentu paham dengan pasal pasal itu, lebih cenderung
pada Undang-Undang, kebijakan yang masyarakat belum paham pada situasi
itu. Harusnya lebih pada komunikatif bagaimana ini narkoba, bahayanya gini,
efeknya gini, hal yang sederhana dan mudah diserap oleh masyarakat. Nah itu
tidak dilakukan oleh BNN. Kadang BNN ingin gaul dengan situasi anak muda
dan sebagainya tetapi membuat strategi komunikasinya kaku, ketika kaku itu
akhirnya jenuh, monotone dan mereka ga mau baca. Hal-hal kaya gitu yang
harus dipahami dulu.” (Wawancara dengan I1.5 di Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa Serang pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Dari pernyataan Pak Arif di atas, dapat disimpulkan bahwa BNN Provinsi
Banten khususnya bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat belum mampu
mendiseminasikan bahaya narkoba secara maksimal kepada masyarakat salah satunya
141
dikarenakan kurangnya skill BNN Provinsi Banten dalam membuat strategi
komunikasi khususnya pada situasi anak muda dimana selama ini BNN Provinsi
Banten masih terkesan kaku dan hanya terfokus pada kebijakan hukum seperti
Undang-Undang Narkotika yang justru masyarakat merasa sulit untuk memahami
bahaya narkoba dalam kehidupan sehari-hari.
Selain BNN Provinsi Banten, pihak lainnya yang juga melakukan pencegahan
melalui diseminasi informasi adalah Kepolisian Daerah (Polda) Banten, seperti yang
disampaikan Kompol Kosasih SH, MH (I2.1) sebagai berikut:
“Ya kita juga ada diseminasi, itu menggunakan media, media cetak maupun
online tetapi di bagian humas, jadi bukan kita berdiri sendiri.” (Wawancara
dengan I2.1 di Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul
10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
diseminasi informasi bahaya narkoba juga dilakukan Polda Banten yang merupakan
salah satu program di bagian hubungan masyarakat, hal tersebut dilakukan dengan
memanfaatkan penggunaan media baik cetak maupun online, sama seperti yang
dilakukan bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat BNN Provinsi Banten.
Dalam penyelenggaraan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
narkoba juga perlu diketahui daerah mana yang menjadi daerah paling rawan
penyalahgunaan narkoba sebagai bahan pertimbangan dalam seluruh program
kegiatan yang dilakukan BNN Provinsi Banten. Terkait hal tersebut, Kepala Bidang
142
Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten (I1.1) mengatakan
sebagai berikut:
“Dalam pemberdayaan alternatif itu kita memetakan daerah rawan, di
Provinsi Banten ini ada delapan Kabupaten/Kota, mana yang pertama
penyalahgunaan narkobanya itu paling tinggi, daerah rawan itu ada tempat
peredaran narkotika dan pemakainya tinggi, contohnya yang pertama itu Kota
Tangerang, kedua Kabupaten Tangerang, ketiga Tangerang Selatan, dan
kemudian baru Kota Serang dan Cilegon. Itu contoh dari ranking-ranking
pemetaan daerah rawan narkoba dari sisi P2M melibatkan unsur-unsur yang
terkait salah satunya kepolisian. Mana yang penyalahgunaan narkobanya
paling tinggi contohnya tadi Kota Tangerang karena adanya pemakai, adanya
bandar, adanya penjualan obat-obatan terlarang juga. Nah nantinya daerah
rawan itu kita jadikan model untuk dibina supaya mantan-mantan narkoba tadi
kita buat supaya punya keterampilan atau life skill.” (Wawancara dengan I1..1
di BNN Provinsi Banten pada 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh I1.1, BNN Provinsi Banten
dalam menentukan daerah dengan tingkat kerawanan penyalahgunaan narkoba
tertinggi, terlebih dahulu melakukan pemberdayaan alternatif dengan memetakan
daerah rawan dari seluruh Kota/Kabupaten yang ada di Provinsi Banten. Daerah
dengan tingkat penyalahgunaan narkoba tertinggi yaitu Kota Tangerang dimana
daerah tersebut menjadi tempat peredaran narkoba dan dengan nilai penggunaan
narkoba tertinggi, kemudian kedua Kabupaten Tangerang, ketiga Tangerang Selatan,
kemudian baru masuk Kota Serang dan Cilegon. Daerah rawan tersebut kemudian
diberikan pembinaan agar mantan-mantan pengguna narkoba dapat memiliki
keterampilan agar terhindar dari penyalahgunaan narkoba kembali.
Hal senada juga diungkapkan Abdul Majid, SH, MH (I1.2) selaku Kepala
Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
143
“Menurut kacamata saya, yang lebih dominan untuk sementara ini itu Kota
Tangerang, dan berdasarkan data juga Kota Tangerang menempati ranking
pertama dengan jumlah 41 kasus penyalahgunaan narkoba.” (Wawancara
dengan I1.2 di BNN Provinsi Banten pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan I1.2 dapat disimpulkan bahwa daerah
yang memiliki tingkat penyalahgunaan tertinggi dan menjadi daerah paling rawan
penyalahgunaan narkoba adalah Kota Tangerang dimana berdasarkan data yang
diperoleh terdapat 41 kasus penyalahgunaan narkoba di Kota Tangerang.
Pernyataan tersebut juga didukung dengan pernyataan Kompol Kosasih SH,
MH (I2.1) selaku Kepala Sub Bagian Pembinaan dan Operasional (Binopsnal)
Kepolisian Daerah Provinsi Banten yang juga melakukan pemetaan daerah rawan di
Provinsi Banten sebagai berikut:
“Berdasarkan data yang kami terima dari Polres sih lebih banyak kasusnya itu
di Kota Tangerang, untuk jumlah saat ini kita belum cek lagi, tapi memang
setiap tahunnya itu Kota Tangerang yang paling banyak kasus narkobanya.”
(Wawancara dengan I2.1 di Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten pada 5
Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan I2.1, daerah yang memiliki tingkat
penyalahgunaan narkoba tertinggi dan menjadi daerah paling rawan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten adalah Kota Tangerang dengan jumlah kasus
penyalahgunaan narkoba tertinggi setiap tahunnya.
Selain BNN Provinsi Banten dan Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten, hal
serupa yang mendukung keterangan pihak BNN Provinsi Banten terkait daerah yang
memiliki tingkat penyalahgunaan narkoba tertinggi dan menjadi daerah paling rawan
144
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten disampaikan oleh Bapak Asep Hanan
S.Ip (I2.3) Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial, NAPZA dan Korban Perdagangan
Orang (KPO) Dinas Sosial Provinsi Banten sebagai berikutl:
“Kalau untuk itu terus terang yang punya data itu sih BNN, tapi selama yang
kita dapet sih Tangerang itu zona merahnya.” (Wawancara dengan I2.3 di Dinas
Sosial Provinsi Banten pada 21 Juni 2017 pukul 11.05 WIB)
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan I2.3, daerah yang memiliki tingkat
penyalahgunaan narkoba tertinggi dan menjadi daerah paling rawan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten adalah daerah Tangerang yang dikategorikan sebagai
zona merah penyalahgunaan atau peredaran narkoba.
Dari data lapangan yang telah dijelaskan di atas, peneliti dapat menarik
kesimpulan bahwa dari aspek Prevention (Pencegahan) yang dilakukan BNN
Provinsi Banten adalah dengan melaksanakan program kegiatan pencegahan
penyalahgunaan narkoba yaitu kegiatan pencegahan diri yang terdiri dari advokasi
dan diseminasi informasi.
Prevention (Pencegahan)
Advokasi
(dilakukan dengan mempengaruhi stakeholder
untuk mengajak supaya bersama-sama memerangi
masalah narkoba)
Pemerintah
Swasta
Diseminasi
(dilakukan untuk mempengaruhi masyarakat
agar mengetahui bahaya narkoba)
Media Elektronik
Media Cetak
Masyarakat
KIE
(Komunikasi Informasi dan
Edukasi)
145
Advokasi merupakan upaya koordinasi yang dijalankan oleh BNN Provinsi
Banten dengan instansi pemerintah maupun swasta serta melibatkan penggiat atau
relawan dari masyarakat yang dijadikan mitra untuk membantu tugas BNN Provinsi
Banten di lapangan dalam upaya memerangi bahaya narkoba. Selain itu juga
dilakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan mengajak masyarakat dan
memberikan wawasan anti narkoba kepada seluruh elemen masyarakat serta membuat
lingkungan yang bersih dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
Sedangkan diseminasi informasi seharusnya dilakukan melalui media cetak, media
elektronik termasuk media sosial serta dengan pelaksanaan KIE (Komunikasi
Informasi dan Edukasi) melalui kegiatan sosialisasi bahaya penyalahgunaan narkoba
untuk memberi pemahaman mengenai bahaya narkoba agar dapat dilakukan
pencegahan diri untuk menolak penyalahgunaan narkoba.
4.3.2 Treatment (Pengobatan)
Treatment (pengobatan) dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba dilakukan untuk mendorong seseorang dengan masalah
kecanduan narkoba untuk tidak kembali menggunakan narkoba dan membuat
keputusan yang sehat tentang kehidupan mereka dengan cara wawancara ataupun
program pengobatan lainnya. Dalam konteks penyalahgunaan narkoba, pengobatan
dilakukan dengan rehabilitasi, baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial.
Rehabilitasi juga merupakan salah satu isi dalam Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan
146
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba yang dengan demikian
menjadi salah satu tugas dan fungsi yang harus dilakukan BNN Provinsi Banten
khususnya bidang rehabilitasi kepada korban penyalahguna narkoba. Untuk di BNN
Provinsi Banten, rehabilitasi yang dilakukan adalah rehabilitasi rawat jalan. Seperti
yang diungkapkan Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) selaku Kepala Bidang Rehabilitasi
BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Kita di BNN di bidang rehabilitasi ini melayani khususnya untuk rawat jalan
bagi pecandu dan korban penyalahguna narkoba. Jenisnya rehab medis dan
rehab sosial juga. Jadi kalo rehabilitasi bagi pecandu itu harus simultan ya
harus sama, karena yang diperbaiki itu bukan saja fisik tapi juga mental, jadi
dari fisiknya itu tadi ada dokternya terus ada psikolognya juga jadi sama-
sama harus berbarengan. Khusus untuk di BNN itu medisnya ada, sosialnya
juga ada.” (Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi Banten pada 30 Mei
2017 pukul 13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh I1.3, BNN Provinsi Banten
khususnya bidang rehabilitasi memiliki program kegiatan dalam upaya pengobatan
bagi pecandu dan korban penyalahguna narkoba dengan memberikan pelayanan
rehabilitasi dengan jenis rehabilitasi medis maupun sosial yang dilakukan secara
bersamaan untuk memperbaiki kondisi mental dan juga fisik pada penyalahguna
narkoba yang dilakukan dengan mekanisme rehabilitasi rawat jalan.
Hal senada juga diungkapkan Bapak Sugino, SE, MH (I1.1) selaku Kepala
Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten dan Bapak
Abdul Majid, SH, MH (I1.2) selaku Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi
Banten sebagai berikut:
147
“Untuk rehabilitasi itu ada rawat jalan dan rawat inap, jadi keputusannya itu
dari tim asesmen yang akan menentukan apakah rawat jalan atau rawat inap
tergantung orangnya. Tetapi di BNN Banten ini hanya melayani rawat jalan,
kalau rawat inap nanti kita kirim lagi ke Lido.”(Wawancara dengan I1.1 di
BNN Provinsi Banten pada 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
“Setau saya sih rehab medis ya, tetapi sosialnya juga ada.” (Wawancara
dengan I1.2 di BNN Provinsi Banten pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan I1.1 dan I1.2 di atas, dapat
disimpulkan bahwa BNN Provinsi Banten memberikan layanan rehabilitasi medis
dan sosial namun hingga saat ini pelayanan yang dapat dilakukan hanya rehabilitasi
rawat jalan saja sedangkan untuk rehabilitasi rawat inap belum bisa dilakukan di
BNN Provinsi Banten dan biasanya dilakukan pengiriman ke Balai Rehabilitasi BNN
di Lido Sukabumi, dan untuk keputusan apakah penyalahguna narkoba di rawat jalan
ataupun rawat inap diperoleh setelah dilakukannya asesmen.
Dalam pelaksanaan pemberian layanan rehabilitasi, BNN Provinsi Banten
memiliki tempat khusus untuk pelaksanaan rehabilitasi yaitu Klinik Pratama. Untuk
mengkonfirmasi keterangan di atas, peneliti menanyakan kembali terkait jenis
pelayanan rehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi Banten. Dokter Ade Nurhilal
Desrinah selaku Dokter Seksi Penguat Lembaga Rehabilitasi yang bertugas di Klinik
Pratama memberikan keterangan sebagai berikut :
“Rehabilitasi di Klinik Pratama ini adalah rehabilitasi rawat jalan dengan
metode Theraupeutic Community yang memang dilakukan di seluruh BNN.
Jenisnya itu rehabilitasi sosial, kalau rehabilitasi medis itu kan detoxifikasi.”
(Wawancara dengan I1.4 di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten pada 2 Juni
2017 pukul 13.10 WIB)
148
Berdasarkan pernyataan I2.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa jenis pelayanan
rehabilitasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten yaitu di Klinik Pratama adalah
rehabilitasi rawat jalan dengan metode Theraupeutic Community yang tergolong
rehabilitasi sosial, sedangkan untuk rehabilitasi medis tidak dilakukan di Klinik
Pratama BNN Provinsi Banten karena salah satu indikator pelayanan dalam
pelaksanaan rehabilitasi medis adalah dengan dilakukannya detoxifikasi yang hingga
saat ini belum dilakukan.
Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, terdapat perbedaan pandangan
mengenai jenis pelayanan rehabilitasi yang dilakukan di Klinik Pratama BNN
Provinsi Banten, dimana I1.1 dan I1.3 berpendapat bahwa jenis pelayanan rehabilitasi
yang diberikan adalah rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial karena pelayanan
yang diberikan adalah untuk memperbaiki fisik dan juga mental dengan melibatkan
dokter dan psikolog. Sedangkan dari pihak Klinik Pratama I1.4 menjelaskan bahwa
jenis pelayanan rehabilitasi yang diberikan tergolong rehabilitasi sosial karena dilihat
dari metode yang digunakan yaitu metode Theraupeutic Community dan untuk
rehabilitasi medis tidak dilakukan di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten karena
salah satu indikator pelayanannya adalah dengan dilakukannya detoxifikasi pada
pengguna narkoba atau klien rehabilitasi.
Dari sisi lain, Taufik (I2.7) selaku klien BNN Provinsi Banten menjelaskan
mengenai jenis pelayanan rehabilitasi sebagai berikut:
Rawat jalan. Setiap satu minggu itu wajib dua kali kesini. Ya konseling,
dikasih arahan, ditanya perkembangannya, dikasih materi juga makanya
149
bawa buku gini nanti di tes juga sama dokternya. (Wawancara dengan I2.7 di
Klinik Pratama BNN Provinsi Banten pada 5 Oktober 2017 pukul 14.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.7 di atas, pelayanan rehabilitasi yang beliau terima
sebagai klien atau pasien rehabilitasi di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten adalah
rehabilitasi rawat jalan dengan proses konseling dan diberikannya arahan serta materi
yang dilakukan setiap dua kali pertemuan di setiap minggunya.
Gambar 4.3
Pelaksanaan Konseling
Dalam pelaksanaan pemberian layanan rehabilitasi bagi para penyalahguna
narkoba, pihak BNN Provinsi Banten dan stakeholder membutuhkan sarana dan
prasarana untuk pelaksanaannya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti kemudian
menanyakan apakah BNN Provinsi Banten dan stakeholder sudah memiliki sarana
dan prasarana terkait kepentingan pelayanan rehabilitas. Bapak Agus Mulyana, SE
(I1.3) selaku Kepala Bidang Rehabilitasi BNN Provinsi Banten mengungkapkan
sebagai berikut:
150
“Belum ada tempat rehabilitasinya. Tapi sempat Pak Embai yang kemarin
mencalonkan itu memberikan tanah seluas 6,1 Ha ke BNN untuk dibuat
tempat rehabilitasi, tetapi pemda dan BNNnya belum mampu. Selain itu
memang diperlukan SDM yang tentunya disini masih kurang. Di BNN ini
seharusnya susunan personil lengkapnya itu sebanyak 212 orang untuk semua
bidang, namun saat ini baru ada 47 orang dan di bidang rehabilitasi
seharusnya ada 52 orang namun saat ini baru ada 8 orang ditambah TKK.
Padahal di aturan Permendagri Nomor 21 Tahun 2012, Pemda itu harus
memfasilitasi baik tempat rehabilitasi maupun tempat untuk wajib lapor.
Pihak kami sudah mengajukan tapi sampai sekarang belum juga. Bapak
Presiden juga menyampaikan bahwa Indonesia darurat narkoba, berarti kan
semuanya harus tertuju kesana.” (Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi
Banten pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 di atas, dapat disimpulkan bahwa terkait sarana
dan prasarana dalam hal pemberian layanan rehabilitasi di BNN Provinsi Banten
masih terkendala belum adanya tempat yang dapat dijadikan tempat rehabilitasi rawat
inap bagi penyalahguna narkoba yang sedang dalam masa pengobatan. Meskipun
sudah ada rencana untuk perwujudan pengadaan tempat rehabilitasi di Banten, namun
hingga saat ini belum dapat dilaksanakan oleh BNN Provinsi Banten dan masih
membutuhkan dukungan pemerintah untuk perwujudannya sesuai dengan
Permendagri Nomor 21 Tahun 2012 dimana Pemda wajib memfasilitasi baik tempat
rehabilitasi maupun tempat untuk wajib lapor bagi penyalahguna narkoba. Hal
tersebut pun dipertegas oleh Bapak Sugino, SE, MH (I1.1) selaku Kepala Bidang
Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Kita disini belum punya tempat rehab. Untuk rawat inapnya hanya punya
negara yaitu di Lido, tetapi kalau memilih yang punya masyarakat yang
bayar untuk makan minumnya ada tempat-tempat berbasis masyarakat
namanya.” (Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19 Juni
2017 pukul 10.30 WIB)
151
Pernyataan I1.1 di atas menjelaskan bahwa memang BNN Provinsi Banten
bahkan di seluruh daerah Banten belum terdapat tempat khusus rehabilitasi bagi
pengguna dan/atau pecandu narkoba, yang ada hanya tempat rehabilitasi milik
masyarakat yang memungut biaya khusus selama dilakukannya proses rehabilitasi.
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa BNN Provinsi Banten hanya dapat
memberikan layanan rehabilitasi rawat jalan, sedangkan untuk rehabilitasi rawat inap
dilakukan di balai rehabilitasi milik negara di Lido Sukabumi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Dokter Ade Nurhilal Desrinah (I1.4)selaku
Dokter Seksi Penguat Lembaga Rehabilitasi yang bertugas di Klinik Pratama BNN
Provinsi Banten sebagai berikut:
“Untuk rawat inap disini tidak ada, semuanya hanya rawat jalan saja. Pasien
yang datang sendiri kesini untuk melakukan terapi. Rumah sakit jiwa kita
belum punya, balai rehabilitasi juga kita belum punya. Kalau Banten ini lebih
ke religi ya, adanya yayasan yang berbasis agama gitu.” (Wawancara dengan
I1.4 di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten pada 2 Juni 2017 pukul 13.10
WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.4 di atas, dapat disimpulkan bahwa terkait sarana
dan prasarana dalam hal pemberian layanan rehabilitasi memang terkendala tempat
untuk layanan rehabilitasi rawat inap seperti balai rehabilitasi dan rumah sakit jiwa
yang belum ada di Provinsi Banten sehingga BNN Provinsi Banten tidak dapat
memberikan pelayanan rehabilitasi rawat inap, seluruh pasien diberikan rehabilitasi
rawat jalan dengan rutin melakukan terapi sesuai jangka waktu dan proses yang telah
ditentukan.
152
Hal senada juga diungkapkan Bapak Tri Sutrisno, SH (I2.5) selaku Kepala
Seksi Tindak Pidana Umum Lainnya Kejaksaan Tinggi Banten sebagai berikut:
“Mengenai rehabilitasi di Banten ini sendiri belum ada perangkat untuk
rehabilitasi. Itu yang kita butuhkan seperti balai rehabilitasi, karena selama
ini di lapangan itu rehabilitasinya dilakukan di LP yang menurut saya masih
kurang mengena karena kan masih tercampur dengan pelaku lainnya,
sedangkan pengguna ini harus dipisahkan tidak boleh dicampur. Kalau
rehabilitasi ya ditempatkan di tempat khusus yang selama ini kita kirim ke
Lido sedangakan Lido kan jauh, harusnya untuk sebesar Banten yang ada di
pinggiran ibu kota atau bisa dibilang penyangga ibu kota ya harusnya sudah
punya tempat rehabilitasi sendiri. Itu yang seharusnya Pemerintah Daerah
memikirkan kesana.” (Wawancara dengan I2.5 di Kejaksaan Tinggi Banten
pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.5 di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
penyelenggaraan rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba di Provinsi Banten masih
terkendala belum adanya tempat seperti balai rehabilitasi yang dapat digunakan
secara khusus untuk mendukung penyelenggaraan rehabilitasi, sehingga rehabilitasi
hanya dilakukan di BNN Provinsi Banten dan di Lembaga Pemasyarakatan yang
dirasa tidak efektif disebabkan para penyalahguna narkoba masih tercampur dengan
para pelaku kejahatan lainnya yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Sedangkan untuk rehabilitasi bagi pecandu berat dilakukan di balai rehabilitasi di
Lido Sukabumi. Padahal jika dilihat berdasarkan letak wilayah, Provinsi Banten
seharusnya sudah mampu menyediakan fasilitas rehabilitasi salah satunya dengan
adanya balai rehabilitasi narkoba.
153
Gambar 4.4
Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
Selain mengenai sarana untuk pelaksanaan rehabilitasi, Dokter Ade Nurhilal
Desrinah (I1.4) pun mengungkapkan hal lain yang menjadi kendala di BNN Provinsi
Banten sebagai berikut :
“Kendala kita itu jumlahnya makin banyak. Penyalahguna narkoba di Banten
ini jumlahnya banyak, sampai bulan ini saja yang sudah kita tangani ada 9
voluntary dan 121 compulsary, tapi SDM juga masih kurang dan serasa BNN
ini kerja sendiri padahal kita sudah mengupayakan dengan dinas lainnya.
SDMnya sih Dokter 1, Perawat 3, SKM ada 2, dan Sarjana Psikologi 1.
Kalau idealnya itu dalam satu hari per orang hanya menangani 4 (empat)
klien, itu maksimal banget karena kita ini tugasnya bukan hanya sebagai
konselor tapi juga punya tugas lain. Ada yang ngurusin asesmen perpaduan
terkait hukum juga, jadi dinisi kita itu ada yang konselor merangkap admin
walaupun sampai saat ini kita masih bisa tangani.” (Wawancara dengan I1.4
di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten pada 2 Juni 2017 pukul 13.10 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.4 di atas, dapat disimpulkan bahwa hal lain yang
menjadi kendala di BNN Provinsi Banten adalah SDM yang dimiliki BNN Provinsi
Banten khususnya di Klinik Pratama yang masih mengalami kekurangan dari segi
jumlah, hal tersebut juga berpengaruh terhadap pelayanan rehabilitasi yang diberikan.
154
Kekurangan SDM di Klinik Pratama pun membuat terjadinya double job sebagai tim
asesmen sampai staff administrasi yang dapat membuat rendahnya kualitas pelayanan
yang diberikan.
Hal senada terkait kendala juga disampaikan Bapak Abdul Majid, SH, MH
(I1.2) dan Bapak Sugino, SE, MH (I1.1) selaku Kepala Bidang Pencegahan dan Kepala
Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Kendala itu pertama untuk SDM disitu sangat terkendala, setau saya jumlah
keseluruhan realnya seharusnya itu di atas 200 orang, tapi kenyataannya
hanya satu per empatnya sekitar 50-60 orang. Untuk di bidang
pemberantasan ini ada 16 orang terbagi jadi kasi intelejen, kasi tindak/kasi
penyidik dan kasi Wastahti. Kasi intelejen tugasnya melakukan penyelidikan
baik konvensional maupun teknologi, kalau konvensional itu penyelidikannya
secara langsung atau manual baik itu terbuka maupun tertutup, terbuka itu
berarti orang tahu kalau keberadaan kita itu sebagai petugas, kalau tertutup
itu artinya orang tidak mengetahui bahwa kita itu petugas. Kalau yang
teknologi itu menggunakan teknologi informasi ya salah satunya melalui
media sosial. Kemudian kasi tindak/kasi penyidik bagian pemberkasan
pemeriksaan, yang ketiga kasi Wastahti (Pengawasan Tahanan dan Barang
Bukti). Kedua sarana pendukung khususnya senjata api, kita berhadapan
dengan pelaku kejahatan jadi diperlukan SDM yang cukup keahliannya dan
sarana pendukung senjata api, jadi senjata api ini masih pinjam punya polisi
(Polda, Polres).” (Wawancara dengan I1.2 di BNN Provinsi Banten pada 5
Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
“Kami belum masif karena terbatasnya anggaran dan terbatasnya Sumber
Daya Manusia. Itu termasuk kelemahan dan kendala. Kenapa narkotika
banyak, ya karena belum masif peran serta masyarakat dan pemerintah
daerah. Itu kunci dalam kendala sehingga masif, ternyata narkoba masih
banyak dan dibutuhkan solusi yaitu peran serta masyarakat dan peran serta
pemerintah daerah secara masif untuk bersama-sama menanggulangi
penyalahgunaan narkoba.” (Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten
pada 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 dan I1.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa hal lain
yang menjadi kendala di BNN Provinsi Banten adalah dari kurangnya Sumber Daya
155
Manusia (SDM) yang dimiliki BNN Provinsi Banten. Kekurangan tersebut ternyata
bukan hanya dirasakan di Klinik Pratama, melainkan di seluruh bidang yaitu bidang
pencegahan dan pemberdayaan masyarakat serta bidang pemberantasan. Dimana
perkiraan jumlah ideal SDM atau pegawai di BNN Provinsi Banten adalah sekitar
200 orang, namun hingga saat ini hanyalah 50-60 orang. Kendala lainnya yaitu dari
sisi anggaran dan peran serta baik dari masyarakat maupun dari pemerintah daerah,
sedangkan bidang pemberantasan merasa terkendala dari kurangnya sarana
pendukung senjata api yang saat ini masing meminjam ke pihak kepolisian.
Pemberian layanan rehabilitasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten juga
memiliki syarat untuk penentuan apakah seseorang dapat menerima layanan
rehabilitasi atau tidak sesuai dengan sumber klien yang dapat berasal dari pelaporan
diri secara langsung ke BNN ataupun yang merupakan penyerahan dari instansi lain
seperti pihak kepolisian. Status penyalahguna narkoba juga dibedakan menjadi
beberapa kategori yang dapat berpengaruh terhadap jenis dan waktu rehabilitasi yang
harus diterima bagi orang tersebut. BNN Provinsi Banten sebagai Institusi Penerima
Wajib Lapor (IPWL) sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika yang berarti harus
memberikan kemudahan bagi penyalahguna dan pecandu narkotika untuk mengakses
layanan rehabilitasi. Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) selaku Kepala Bidang
Rehabilitasi BNN Provinsi Banten memaparkannya sebagai berikut:
“Persyaratan di kita itu ada 4 (empat) sumber, yang pertama datang sendiri
atau sukarela, yang kedua dari hasil operasi, ketiga dari penyerahan Polda
156
dan Polres, keempatnya penyerahan dari hasil vonis pengadilan. Tentunya
yang datang sendiri dia harus bawa KTP, KK atau identitas. Untuk yang
lainnya ini tentunya harus ada surat pengantar dari instansi terkait tadi.”
(Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi Banten pada 30 Mei 2017 pukul
13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat
sumber klien penerima layanan rehabilitasi, yang pertama adalah pengguna dan/atau
pecandu narkotika yang mengajukan diri secara langsung ke BNN Provinsi Banten
melalui sekretariat IPWL dengan membawa identitas diri dan keluarga, kedua adalah
dari hasil operasi yang dilakukan pihak BNN Provinsi Banten, ketiga dari penyerahan
pihak kepolisian baik Polda maupun Polres, dan yang terakhir adalah penyerahan dari
kejaksaan setelah diperoleh hasil vonis pengadilan yang menerangkan bahwa
terpidana berhak menerima rehabilitasi dari BNN. Artinya bukan hanya pengguna
narkoba yang sudah terbukti secara hukum saja yang dapat menerima layanan
rehabilitasi, tetapi juga masyarakat umum yang memiliki masalah ketergantungan
narkotika dengan kesadaran diri melapor dan mengajukan diri untuk dapat
dilakukannya rehabilitasi. Hal senada juga diungkapkan Dokter Ade Nurhilal
Desrinah (I1.4) mengenai sebagai berikut :
“Jadi kan disini itu kita terima pasien yang pertama itu sukarela atau
voluntary, kedua pasien dari limpahan Polda atau Polres, yang ketiga dari
hukum ya atau dari keputusan pengadilan. Syarat pastinya harus bawa
identitas diri dan keluarga. Kalau yang dari Polda atau Polres itu harus ada
legal dokumen yaitu BAPnya kemudian bukti serah terima klien berserta
penyidiknya. Kalau yang putusan pengadilan harus ada BA 17 putusan
pengadilan sama jaksanya. Semua ini harus didampingi oleh keluarga klien.
Dan klien BNN ini dia memang harus penyalahgunaan narkotika, kalau
alkohol rokok itu tidak bisa, khusus narkotika. Karena badan narkotika ya,
jadi khusus narkotika.” (Wawancara dengan I1.4 di Klinik Pratama BNN
Provinsi Banten pada 2 Juni 2017 pukul 13.10 WIB)
157
Berdasarkan pernyataan I1.4 di atas, dapat disimpulkan klien atau pasien yang
menjalani rehabilitasi di BNN Provinsi Banten bersumber dari kedatangan klien ke
BNN Provinsi Banten secara sukarela untuk mengajukan diri agar dapat menerima
rehabilitasi dengan syarat membawa identitas diri dan keluarga, kedua adalah klien
yang merupakan pelimpahan dari pihak kepolisian dengan syarat melampirkan Berita
Acara Perkara (BAP) dan bukti serah terima klien, serta klien yang sudah
memperoleh putusan pengadilan dengan hasil putusan rehabilitasi dan melampirkan
BA 17. Keseluruhan klien tersebut adalah hanya seseorang yang menyalahgunakan
jenis narkotika dimana narkotika digolongkan kembali dalam 3 (tiga) golongan sesuai
Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, sedangkan untuk penyalahgunaan
jenis lain tidak dapat dilakukan rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
Salah satu pihak yang berkoordinasi dan dapat merekomendasikan seseorang
untuk dilakukannya rehabilitasi adalah pihak kepolisian, dalam hal ini Polda Banten
khususnya Satuan Reserse Narkoba. Namun tidak semua penyalahguna narkoba dapat
direkomendasikan untuk menerima layanan rehabilitasi di BNN Provinsi Banten,
seperti yang dikatakan Bapak Kosasih (I2.1) dan BRIPDA Gunawan (I2.2) sebagai
berikut:
“Khusus pengguna narkoba saja. Jika sekaligus pengedar, yang kita jadikan
acuan itu adalah yang tertinggi. Kemudian dikategorikan apakah dia
pengguna ringan, sedang atau berat.” (Wawancara dengan I2.1 di Direktorat
Reserse Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
“Dia harus pengguna, kalau pengedar ya dia termasuk pemain dan yang kita
jadikan acuan itu adalah yang tertinggi.” (Wawancara dengan I2.2 di
Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
158
Berdasarkan pernyataan I2.1 dan I2.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang dapat direkomendasikan dari pihak kepolisian untuk menerima
layanan rehabilitasi di BNN Provinsi Banten adalah seseorang yang sudah terbukti
sebagai pengguna narkoba saja, artinya tidak dalam tingkat yang lebih parah seperti
kurir atau pengedar. Dan apabila sudah terbukti sebagai pengguna, tahap selanjutnya
adalah mengkategorikan tingkat penggunaan apakah ringan, sedang atau berat yang
nantinya dapat berpengaruh pada proses rehabilitasi yang dijalani. Sedangkan untuk
penyalahguna narkoba yang menggunakan sekaligus mengedarkan narkoba
dikenakan hukuman tertinggi sesuai Undang-Undang Narkotika.
Selain pihak kepolisian, pihak yang juga memiliki kewenangan untuk
merekomendasikan seorang penyalahguna narkoba untuk dapat menerima rehabilitasi
di BNN adalah Kejaksaan. Dalam hal ini jaska dapat merekomendasikan sesuai
laporan yang diterima dari berkas BAP yang dilakukan pada saat penyidikan oleh
kepolisian. Seperti yang diungkapkan Bapak Tri Sutrisno, SH (I2.5) selaku Kepala
Seksi Tindak Pidana Umum Lainnya Kejaksaan Tinggi Banten sebagai berikut:
“Syaratnya pertama kita lihat dari berkasnya dulu, apakah dia pemakai atau
bukan. Kalau ada indikasi bahwa dia pemakai atau korban maka bisa
dilakukan asesmen, dan kita hanya memandang dari sisi hukumnya saja.
Nanti ada lagi dari tim asesmen medis biasanya dari kedokteran kepolisian
(dokpol) sama dokter umum, psikolog. Itulah rekomendasi kami.”
(Wawancara dengan I2.5 di Kejaksaan Tinggi Banten pada 5 Juli 2017 pukul
11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.5 di atas, dapat disimpulkan bahwa pihak kejaksaan
dapat merekomendasikan tersangka kasus penyalahgunaan narkoba untuk
159
mendapatkan rehabilitasi di BNN Provinsi Banten dengan dasar berkas yang
diserahkan pihak kepolisian yaitu Berita Acara Pemeriksaan (BAP), jika di dalam
BAP tersebut terindikasi bahwa tersangka hanya sebagai pemakai narkoba saja, maka
dapat direkomendasikan untuk dilakukannya asesmen baik secara hukum dan secara
medis. Pihak Kejaksaan Tinggi, BNNP, dan Polda merupakan tim asesmen hukum.
Dari hasil asesmen tersebut kemudian disimpulkan apakah tersangka tersebut layak
atau tidak untuk mendapatkan rehabilitasi.
Setelah diketahui syarat yang harus dipenuhi seorang penyalahguna narkotika
untuk mendapatkan rehabilitasi, maka dapat dilakukan asesmen serta membuat
rancangan terapi yang akan dilakukan pada klien untuk memperoleh gambaran
mengenai pelaksanaan rehabilitasi yang harus diberikan pada klien tersebut.
Pelaksanaan asesmen dan pembuatan racangan terapi dilakukan pada masing-masing
klien karena meskipun jenis rehabilitasi yang diberikan sama, namun pelayanan
rehabilitasi yang diberikan akan berbeda. Dokter Ade Nurhilal Desrinah (I1.4)
menjelaskan alur pelaksanaan rehabilitasi sebagai berikut:
“Tahapan alurnya datang klien, penerimaan terus tunjukin identitas dan tadi
itu harus ada legal dokumennya, terus rekam medis, kemudian asesmen,
diagnosa dan rancangan terapi, baru masuk rawat jalan atau rawat inap.
Kalau dia rawat jalan ya ikut delapan kali konseling, dua kali grup terapi.
Kalau rawat inap ya kita bawa ke Lido atau ke Lampung. Setelah rawat jalan
ada pasca rehab kemudian ke pembinaan lanjut. Klien juga harus ngisi yang
namanya inform concern itu ada lembar persetujuan dari keluarga pasien,
surat pernyataan dari klien bahwa dia bersedia mengikuti program
rehabilitasi, kemudian surat pernyataan selama rehab tidak boleh positif
narkoba.” (Wawancara dengan I1.4 di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
pada 2 Juni 2017 pukul 13.10 WIB)
160
Berdasarkan pernyataan I1.4 di atas, alur pelaksanaan rehabilitasi yang
dilakukan di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten yaitu penerimaan klien dengan
persyaratan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Setelah berkas persyaratan
dilengkapi, maka dilakukan rekam medis dan asesmen. Setelah dilakukan asesmen,
secara medis diperoleh diagnosa, kemudian dibuat rancangan terapi dan penentuan
jenis rehabilitasi apakah rawat jalan dan rawat inap. Tahap selanjutnya yaitu
pascarehabilitasi dan pembinaan lanjut. Seluruh kegiatan rehabilitasi yang dilakukan
harus sudah mendapat persetujuan dari keluarga dan klien mengisi surat pernyataan
kesediaan untuk mengikuti proses rehabilitasi dan menjamin untuk tidak
menggunakan narkoba.
Salah satu klien rehabilitasi BNN Provinsi Banten Taufik (I2.7) yang
merupakan pelimpahan dari pihak kepolisian memaparkan mengenai proses hingga
beliau dapat menerima layanan rehabilitasi sebagai berikut:
“Kalau saya itu ketangkap Polres, jadi kalau dari pihak Polres kesininya
saya gak tau gimana. Pokoknya waktu di Polres ya di BAP terus ya saya kan
cuma pemakai, ngakuin itu aja pas di proses. Terus dari pihak keluarga
menanyakan ke polisi biar saya bisa di rehab aja. Udah hampir satu bulan
saya di polres, dibawa kesini terus asesmen kaya di BAP ulang gitu lah.
Nunggu hasil akhirnya bisa rehabilitasi, saya dibebasin tapi harus ngisi
dokumen gitu terus bikin surat pernyataan dari saya dan surat jaminan dari
keluarga.” (Wawancara dengan I2.7 di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
pada 5 Oktober 2017 pukul 14.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.7 di atas, dapat disimpulkan bahwa klien atau
pasien yang menjalani rehabilitasi di BNN Provinsi Banten harus melewati
serangkaian proses untuk dapat menerima layanan rehabilitasi, diantaranya
161
pelaksanaan asesmen untuk menggali informasi lebih dalam mengenai
penyalahgunaan narkoba yang dilakukan, setelah diperoleh hasil asesmen dan
diberikan putusan rehabilitasi maka klien harus mengisi surat pernyataan dari klien
dan surat jaminan dari keluarga.
Asesmen dilakukan secara medis dan juga secara hukum untuk melakukan
pendalaman pada pengguna narkotika yang kemudian berpengaruh terhadap jangka
waktu maupun jenis rehabilitasi apakah rawat inap atau rawat jalan yang kemudian
akan dijalani. Pihak yang terlibat dalam pelaksanaan asesmen bukan hanya dari BNN
Provinsi Banten saja, melainkan juga dari instansi lain seperti pihak kepolisian
(Polda), Kejaksaan, dan juga Kemenkumham yaitu dari Lembaga Pemasyarakatan.
Seperti yang dinyatakan oleh Bapak Abdul Majid, SH, MH (I1.2) selaku Kepala
Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Kan di asesmen dulu disini, disitu dari berbagai macam akademisi yang
melakukan. Ada dari kepolisian, ada dari bagian kedokteran kesehatan, ada
dari bagian ditres narkoba, ada juga dari psikolog Polda, ada dari kejaksaan
terus dari Lembaga Pemasyarakatan, dan tentunya dari BNN sendiri tim
asesmen, bisa dari orang saya di bidang berantas, bisa dari rehab dan bisa
juga dari P2M. (Wawancara dengan I1.2 di BNN Provinsi Banten pada 5 Juli
2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa pihak yang
melakukan asesmen adalah pihak-pihak yang berkoordinasi dengan BNN Provinsi
Banten, yaitu pihak kepolisian yang terdiri dari bagian Direktorat Reserse Narkoba,
dokter dan juga psikolog, selain itu juga dari pihak kejaksaan. Sedangkan dari BNN
Provinsi Banten dapat dilakukan oleh semua bidang baik bidang pencegahan dan
162
pemberdayaan masyarakat, bidang rehabilitasi dan juga bidang pemberantasan.
Asesmen yang dilakukan oleh pihak-pihak terebut adalah dari tim asesmen hukum,
seperti yang disampaikan Bapak Tri Sutrisno, SH (I2.5) selaku Kepala Seksi Tindak
Pidana Umum Lainnya Kejaksaan Tinggi Banten sebagai berikut:
“Kita adalah tim asesmen hukum terdiri dari jaksa, polisi dan dari BNN. Tiga
unsur inilah yang menggali para penyalahguna, apakah dia benar-benar
penyalahguna atau dia pengedar terlibat jaringan narkotika dan ada indikasi
ketergantungan narkotika atau tidak. Ada tiga hal yang kita gali.”
(Wawancara dengan I2.5 di Kejaksaan Tinggi Banten pada 5 Juli 2017 pukul
11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.5 di atas, Kejaksaan Tinggi Provinsi Banten adalah
salah satu unsur dari tim asesmen hukum. Kemudian terdapat pula unsur atau pihak
lainnya yaitu dari kepolisian dan dari BNN Provinsi Banten. Fokus dalam asesmen
hukum terdiri dari tiga hal, pertama untuk mengetahui status penyalahguna apakah
pengguna atau pengedar, kedua untuk menggali keterlibatan seseorang dalam
jaringan narkotika dan terakhir untuk mengetahui tingkat ketergantungan narkotika.
Asesmen tersebut dilakukan sebagai cara untuk melakukan pendalaman pada
pengguna narkotika yang kemudian berpengaruh terhadap jangka waktu maupun jenis
rehabilitasi apakah rawat inap atau rawat jalan yang kemudian akan dijalani. Dalam
proses asesmen terdapat beberapa aspek yang ditekankan sebagai tolak ukur yaitu
seberapa jauh tingkat ketergantungan penggunaan narkotika dan setelah itu dapat
ditentukan kategori penggunaan narkotika ringan, sedang atau berat. Seperti yang
dijelaskan Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) sebagai berikut:
“Oh gini, pada saat asesmen kita perdalam riwayat penyalahgunaannya, asal
usulnya, berapa lama pemakaiannya. Dari situ kita bisa kategorikan dan
163
yang kita layani hanya yang pecandu ringan dan pecandu sedang. Pecandu
itu ada 3 (tiga) kelompok, ada ringan, sedang dan berat. Kalau pecandu
ringan dia pakai itu baru 1 (satu) sampai dengan 7 (tujuh) kali. Kalau
pecandu sedang itu 8 (delapan) sampai dengan 39 (tiga puluh sembilan) kali,
dan yang lebih dari 40 (empat puluh) kali itu dikategorikan sebagai pecandu
berat. Nah untuk yang ringan dan sedang ini cukup hanya berobat jalan di
kita waktunya 12 (dua belas) kali pertemuan, kalau yang pecandu berat kita
akan rujuk ke Lido atau ke RSKO.” (Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi
Banten pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
Pernyataan I1.3 di atas menjelaskan bahwa dalam proses asesmen, dilakukan
pendalaman mengenai riwayat penyalahgunaan narkotika, asal usul perolehannya dan
sudah berapa lama pemakaiannya. Dari hasil tersebut kemudian dikategorikan dan
kategori atau kelompok yang dapat menjalani rehabilitasi di BNN Provinsi Banten
adalah pengguna narkotika dengan tingkat kecanduan ringan dan sedang. Penentuan
kategori tersebut didasarkan pada penggunaan narkotika yang telah dilakukan,
dimana pada proses awal dilakukan pendalaman salah satunya untuk mengetahui
jumlah pemakaian narkotika yang telah dilakukan. Digolongkan pecandu ringan
apabila berkisar 1 (satu) sampai dengan 7 (tujuh) kali pemakaian, sedangkan untuk
pemakaian selama 8 (delapan) sampai dengan 39 (tiga puluh sembilan) kali
digolongkan dalam pecandu sedang, dan yang terakhir adalah pecandu berat dengan
jumlah pemakaian lebih dari 40 (empat puluh) kali pemakaian. Selain didasarkan
pada jumlah pemakaian narkotika yang telah dilakukan, dalam asesmen juga
diperdalam mengenai keadaan fisik dan psikis pada orang tersebut. Seperti yang
dinyatakan Bapak Sugino, SE (I1.1) sebagai berikut:
“Dalam proses asesmen itu ditentukan dia menjadi pemakai narkotika sudah
berapa lama, bagaimana psikologisnya, bagaimana kejiwaannya, nanti akan
ditentukan apakah rawat jalan yang harus 8-12 kali pertemuan dan kemudian
164
di tes urin sampai dia negatif narkoba dan nanti kita kontrol kedepannya, tapi
kalau yang namanya rawat inap itu biasanya yang sudah lima tahun pakai,
secara sosial sudah tidak punya harga diri, ditanya lima kali lima ga tau
padahal dia lulusan SLTA atau sarjana ya dia harus di rawat inap dan
membutuhkan sentuhan konselor yang berkompeten, bisa di LIDO atau di
tempat umum yang bayar.” (Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten
pada 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
Hal senada juga dinyatakan Dokter Ade Nurhilal Desrinah (I1.4) selaku Dokter
Seksi Penguat Lembaga Rehabilitasi sebagai berikut:
“Sebelumnya itu kan ada proses asesmen, disitu banyak kita gali tentang
riwayat penyalahgunaan narkobanya, status pekerjaannya, status keluarga,
status hukum dan status kesehatannya termasuk status keatris atau perasaan
depresi, gaduh gelisah. Disini kita lihat bukan hanya dari fisiknya saja, tapi
juga dari perubahan perilakunya, perubahan mindsetnya, perasaannya dia
sudah bisa belum menghandle feelingnya.” (Wawancara dengan I1.4 di Klinik
Pratama BNN Provinsi Banten pada 2 Juni 2017 pukul 13.10 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 dan I1.4 di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
menjadi tolak ukur dalam penentuan jangka waktu dan jenis rehabilitasi yang harus
dijalani pengguna narkotika adalah berdasarkan hasil proses asesmen, yaitu riwayat
penyalahgunaan narkotika yang telah dilakukan diantaranya jumlah pemakaian
narkotika dan kondisi fisik maupun psikis orang tersebut. Bahkan bukan hanya dari
segi medis saja, dari sisi lingkungan seperti status keluarga dan pekerjaan pun
didalami. Berdasarkan hasil tersebut, maka ditetapkan jangka waktu yang harus
dijalani dan jenis rehabilitasi apakah rawat jalan atau rawat inap karena setiap klien
dengan tingkat kecanduan yang berbeda, maka akan berbeda pula jenis pelayanan
rehabilitasi yang harus diberikan.
Hal tersebut diperkuat oleh keterangan Taufik (I2.7) sebagai salah salah satu
klien BNN Provinsi Banten yang telah menjalani proses asesmen sebagai berikut:
165
“Asesmen waktu itu sih ya diperiksa ditanya tanya pemakaiannya, jenisnya,
udah berapa lama, dapet darimana. Pokoknya sama kaya BAP tapi lebih
banyak pertanyaannya karna yang meriksa itu banyak bukan cuma polisi
sama dari BNN.” (Wawancara dengan I2.7 di Klinik Pratama BNN Provinsi
Banten pada 5 Oktober 2017 pukul 14.40 WIB)
Berdasarkan keterangan I2.7 di atas, dapat disimpulkan bahwa pada saat proses
asesmen, dilakukan pendalaman riwayat penyalahgunaan narkotika seperti jenis, lama
penggunaan dan sumber perolehan narkotika. Asesmen tersebut dilakukan sama
seperti klien dari sumber lainnya yaitu oleh pihak BNN, pihak kepolisian dan pihak
lainnya secara hukum dan secara medis.
Gambar 4.5
Tempat Pelaksanaan Asesmen
166
Setelah dilakukan asesmen baik secara medis maupun hukum, maka tahap
selanjutnya adalah membuat rancangan terapi yaitu menentukan jenis dan jangka
waktu yang harus dijalani selama proses rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
Mengenai jangka waktu proses rehabilitasi, Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) selaku
Kepala Bidang Rehabilitasi BNN Provinsi Banten menerangkan sebagai berikut:
“Rehabilitasi yang harus dijalani ini adalah selama 12 (dua belas) kali
pertemuan, dilakukan setiap minggu jadi kurang lebih ya 3 (tiga) bulanan
untuk proses rehabilitasinya.” (Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi
Banten pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 di atas, menyampaikan bahwa proses rehabilitasi
yang harus dijalani pengguna narkoba di BNN Provinsi Banten adalah selama 12 (dua
belas) kali pertemuan dengan jeda pertemuan satu kali setiap minggunya atau kurang
lebih selesai dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan. Rehabilitasi tersebut adalah
rehabilitasi medis dan sosial yang dilakukan di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya. Sedangkan masih ada kegiatan
pascarehabilitasi yang harus dijalani setelah selesai masa rehabilitasi selama 12 (dua
belas) kali pertemuan tersebut.
Hal senada juga diungkapkan Bapak Sugino, SE, MH (I1.1) sebagai berikut:
“Untuk rawat jalan di BNN itu antara 8 sampai 12 kali pertemuan.”
(Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19 Juni 2017 pukul
10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa jangka waktu
dalam proses rehabilitasi yang harus dijalani pengguna narkoba di BNN Provinsi
167
Banten adalah berkisar antara 8 (delapan) sampai dengan 12 (dua belas) kali
pertemuan.
Selama proses rehabilitasi yang dilakukan, terdapat beberapa tahapan kegiatan
yang harus dijalani klien dengan jangka waktu yang tidak dapat dipastikan karena
disesuaikan dengan kondisi klien pada masa rehabilitasi, Dokter Ade Nurhilal
Desrinah (I1.4) selaku Dokter Seksi Penguat Lembaga Rehabilitasi menyampaikannya
sebagai berikut:
“Berapa lamanya itu tidak bisa dipastikan sebulan, dua bulan atau tiga bulan
dan seterusnya. Disini itu minimal 12 kali pertemuan tapi ini ga ada
patokannya ya, tergantung perubahan perilakunya. Bisa ditambah dan bisa
dikurang. Tapi kalau yang putusan pengadilan mah ya sampai selesai
misalnya dia empat bulan ya sampai empat bulan. Cuma berlangsungnya itu
ada yang namanya tahap asesmen, kemudian delapan kali konseling, dan dua
kali grup terapi. Terus disini kan rehabilitasinya berkelanjutan ya, artinya
selain rehabilitasi rawat jalan nanti ada pascarehab terus pembinaan lanjut.
Itu namanya rehabilitasi berkelanjutan. Pembinaan lanjutnya nanti kita home
visit ke keluarga, ke rumah, ke tempat kerjanya.” (Wawancara dengan I1.4 di
Klinik Pratama BNN Provinsi Banten pada 2 Juni 2017 pukul 13.10 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.4 di atas, menyampaikan bahwa proses rehabilitasi
yang harus dijalani pengguna narkoba di BNN Provinsi Banten tidak dapat dipastikan
jangka waktunya, berbeda dengan keterangan I1.3 yang memperkirakan proses
rehabilitasi selama 3 (tiga) bulan dengan 12 (dua belas) kali pertemuan. Jangka waktu
proses rehabilitasi disesuaikan dengan perubahan perilaku klien selama masa
rehabilitasi, kecuali klien dengan status vonis pengadilan maka disesuaikan dengan
vonis yang telah ditetapkan. Tahapan rehabilitasi yang harus dijalani adalah tahap
asesmen seperti yang telah dipaparkan sebelumnya dan dalam hal ini I1.4 bertugas
sebagai tim asesmen medis, kemudian konseling selama 8 (delapan) kali pertemuan
168
dan juga grup terapi sebanyak 2 (dua) kali pertemuan. Setelah proses tersebut selesai
dijalani, dilanjutkan dengan kegiatan pascarehabilitasi dan pembinaan lanjut yang
biasnya dilakukan dengan pemantauan lingkungan ke rumah ataupun tempat kerja
klien.
Dalam tahapan asesmen yang harus dijalani pengguna narkoba yang ingin
melakukan rehabilitasi, perlu diketahui sejauh mana tingkat ketergantungannya
terhadap narkoba. Hal tersebut berpengaruh terhadap proses rehabilitasi yang
kemudian akan dijalani termasuk jangka waktu proses rehabilitasi. Seperti yang
diungkapkan Bapak Tri Sutrisno, SH (I2.5) selaku Kepala Seksi Tindak Pidana Umum
Lainnya Kejaksaan Tinggi Banten sebagai berikut:
“Jadi di dalam asesmen itu kan ada pendapat medis, disitu mereka akan
menakar menilai seberapa jauh ini orang ketergantungan terhadap obat
misal dia kategori ringan itu kita rehabilitasinya 3 bulan, kalau kategori
sedang bisa 6 bulan, kalau kategorinya berat sekali itu bisa sampai satu
tahun.” (Wawancara dengan I2.5 di Kejaksaan Tinggi Banten pada 5 Juli 2017
pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.5 di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam proses
asesmen yang dilakukan sebelum ditentukan jangka waktu untuk pelaksanaan
rehabilitasi yang akan dijalani, perlu diketahui seberapa jauh atau seberapa parah
tingkat penggunaan narkoba yang membuat ketergantungan pada klien, dan hal
tersebut dilakukan oleh tim asesmen medis. Berdasarkan kesimpulan atas asesmen
yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan jangka waktu yang harus dijalani selama
proses rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
169
Pelayanan rehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi Banten ternyata tidak
saja dilakukan di Klinik Pratama milik BNN Provinsi Banten, tetapi juga dilakukan di
Lembaga Pemasyarakatan di daerah Banten melalui kerjasama dengan Kementerian
Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kantor Wilayah Banten yang diberikan pada
warga binaan pemasyarakatan kasus narkoba di Lembaga Pemasyaratan yang
ditunjuk oleh Kemenkumham Kanwil Banten untuk melaksanakan kegiatan
rehabilitasi, seperti yang diungkapkan Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) selaku Kepala
Bidang Rehabilitasi BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Selain disini kita juga melaksanakan rehab ke Lapas-Lapas yang ditunjuk
Kumham. Ditujukan untuk WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) yang
sudah mau keluar 3 bulan lagi, 6 bulan lagi, dengan harapan nanti dia keluar
sudah bisa menjaga dirinya, memprotek diri jangan sampai menggunakan
narkoba lagi. Kalau yang masih jauh ya nanti begitu direhab percuma, dia
nanti kembali ke teman-temannya. Jadi yang tiga sampai enam bulan mau
keluar saja kita sisihkan, diberikan rehabilitasi. Jangka waktunya sama tiga
bulan juga. Jadi satu tahun itu ada tiga Lapas yang ditunjuk. Tahun ini itu di
Lapas Wanita, Lapas Pemuda dan Lapas Kelas I. Tapi karena kemaren itu
tidak ada pasien di Lapas Wanita, jadi diganti di Lapas Serang. Karena
minimal itu harus ada 30 orang, nah kemarin itu kalau ga salah ada delapan
orang terus saya koordinasikan ke pusat katanya ga boleh, akhirnya
dialihkan ke Lapas Serang.” (Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi Banten
pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 di atas, dapat disimpulkan bahwa selain di Klinik
Pratama BNN Provinsi Banten, pihak BNN Provinsi Banten melaksanakan kegiatan
rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan di wilayah Provinsi Banten yang ditunjuk
oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yaitu Lapas Wanita, Lapas
Pemuda dan Lapas Kelas I Tangerang. Namun dikarenakan Lapas Wanita tidak
memenuhi persyaratan dimana harus terdapat minimal 30 klien dalam pelaksanaan
170
kegiatan rehabilitasi tersebut, maka pihak BNN mengalihkan kegiatan tersebut ke
Lapas Serang. Pelayanan rehabilitasi diberikan pada warga binaan pemasyarakatan
yang sudah mendekati masa pembebasan antara 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam)
bulan lagi dengan harapan para klien tersebut dapat memprotek diri dan tidak kembali
menggunakan narkoba.
Hal senada juga disampaikan Dokter Ade Nurhilal Desrinah (I1.4) selaku
Dokter Seksi Penguat Lembaga Rehabilitasi sebagai berikut:
“Ya ada di Lapas juga, ada tiga lapas yang kita sudah laksanakan program
rehabnya. Ada di Lapas Serang, Lapas Tangerang Kelas I dan Lapas
Pemuda.” (Wawancara dengan I1.4 di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
pada 2 Juni 2017 pukul 13.10 WIB)
Berdasarkan keterangan I1.4, kegiatan rehabilitasi yang dilakukan BNN
Provinsi Banten tidak hanya dilakukan di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
melainkan juga dilakukan di tiga lembaga pemasyarakatan di wilayah Banten yaitu
Lapas Serang, Lapas Tangerang Kelas I dan Lapas Pemuda.
Sebagai tindak konfirmasi atas pernyataan I1.3 dan I1.4 di atas, peneliti
kemudian menanyakan hal tersebut kepada Bapak Heri Purnomo, SH selaku Kepala
Seksi Pembinaan dan Pendidikan LAPAS Serang dengan jawaban sebagai berikut:
“Kami selalu ada koordinasi terkait penggeledahan di dalam, ditemukan atau
engga barang terlarang ataupun alat komunikasi yang mengarah ke
penggunaan ataupun peredaran gelap narkoba, BNN juga mengadakan tes
urine. Selain itu juga BNNP Banten pernah melakukan rehabilitasi.”
(Wawancara dengan I2.6 di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Serang pada
27 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.6 di atas, bahwa benar salah satu bentuk koordinasi
yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Serang dengan BNN Provinsi Banten
171
adalah dalam kegiatan rehabilitasi, yaitu pihak BNN Provinsi Banten pernah
melakukan kegiatan rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Serang.
Mengenai jenis kegiatan rehabilitasi yang diberikan, Bapak Heri Purnomo SH
menjelaskannya sebagai berikut:
“Kalau rehab baru sekali, mungkin nanti akan rutin ya setahun sekali pasti
ada. Ada rehab medisnya, psikologisnya dan rehab sosialnya juga, ya
macam-macam life skillnya juga ada. Jadi ada beberapa komponen rehabnya
itu.” (Wawancara dengan I2.6 di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Serang
pada 27 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.6 di atas, pelaksanaan kegiatan rehabilitasi di
LAPAS Serang baru satu kali dilakukan, dengan beberapa komponen kegiatan yaitu
rehabilitasi baik secara medis, psikologis dan sosial. Kegiatan lainnya yaitu kegiatan
pembinaan dengan pemberian pelatihan life skill. Seluruh kegiatan tersebut dilakukan
oleh BNN Provinsi Banten dengan juga melibatkan petugas LAPAS Serang baik
tenaga medis ataupun petugas keamanan. Seperti yang disampaikan Bapak Heri
Purnomo, SH sebagai berikut:
“Pelaksanaan disini BNN itu menunjuk konselor, ia mempunyai tenaga ahli
di bidang konseling terus melibatkan juga tenaga dari kita walaupun itu
dibawah koordinasi dari BNN. Dokter, perawat dan tenaga keamanan yang
sudah di training untuk menangani warga binaan kasus penyalahgunaan
narkoba itu dilibatkan juga.” (Wawancara dengan I2.6 di Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) Serang pada 27 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
“Jangka waktunya untuk yang sudah kita lakukan kemarin itu selama 3
bulan.”(Wawancara dengan I2.6 di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Serang
pada 27 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.6 di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Serang dilakukan atas kerjasama BNN
172
Provinsi Banten dengan Kanwil Kemenkumham Banten di Lembaga Pemasyarakatan
Serang. Mekanisme pelaksanaannya adalah pihak LAPAS Serang sebagai penyedia
tempat penyelenggaraan kegiatan dan peserta rehabilitasi yaitu warga binaan blok
narkoba. Kemudian BNN Provinsi Banten mengirim tenaga ahli di bidang konseling
dan melibatkan juga tenaga medis dari LAPAS Serang seperti dokter dan perawat.
Selain itu dilibatkan juga tenaga keamanan untuk mengamankan selama
terselenggaranya aktivitas rehabilitasi yaitu selama 3 (tiga) bulan. Sedangkan pihak
BNN Provinsi Banten yaitu Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) dan Ibu dr. Ade Nurhilal
Desrinah (I1.4) menjelaskan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi di Lembaga
Pemasyarakatan Serang dari segi metode dan SDM sebagai berikut :
“Sama aja konseling, penguatan diri, perilaku sosial, dan sebagainya lah,
termasuk pembinaan life skill juga. Konselornya juga ada yang dari kita. Tapi
ada juga tenaga medisnya yang dari Lapas, tapi dia sudah kita latih.”
(Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi Banten pada 30 Mei 2017 pukul
13.45 WIB)
“Sama aja sih kalau metode ya melalui konseling dengan kita karena
konselornya tetap dari kita, tetapi ada juga tenaga medisnya itu dari Lapas.
Sama-sama rehab sosial pokoknya, tapi disana ga perlu ada asesmen dulu
kaya klien disini.” (Wawancara dengan I1.4 di Klinik Pratama BNN Provinsi
Banten pada 2 Juni 2017 pukul 13.10 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 dan I1.4 di atas, dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Serang dilakukan dengan
metode yang sama yaitu melalui konseling. Sedangkan untuk SDM dilibatkan dari
kedua belah pihak yaitu tenaga ahli BNN Provinsi Banten sebagai konselor dan
dibantu juga oleh tenaga medis dari LAPAS Serang yang sebelumnya telah diberikan
pelatihan. Terkait metode rehabilitasi dengan konseling seperti yang telah dipaparkan
173
sebelumnya, salah satu warga binaan pemasyarakatan yaitu Rohim (I2.8) yang
mengikuti program rehabilitasi di Lapas memberikan pernyataan senada sebagai
berikut:
“Jadi rehabnya itu pertama kaya konsultasi sama dokter gitu dari BNN, ya
sharing tentang berapa lama pakainya, terus jenisnya apa, kenapa bisa pakai
narkoba. Terus pertemuan berikutnya itu dikasih masukan, materi juga ada,
ya dapet banyak ilmu lah teh dari situ. Dikasih arahan banyak terus kita
suruh bener-bener pahamin renungin gitu. (Wawancara dengan I2.8 di
Lembaga Pemasyarakatan Serang pada 12 Oktober 2017 pukul 10.15 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.8 di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
pelaksanaan program rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Serang, metode yang
digunakan sama seperti yang dilakukan di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten yaitu
konseling. Proses konseling tersebut dilakukan oleh konselor dari BNN Provinsi
Banten untuk kemudian memberikan arahan dan masukan pada klien.
Selain mengenai pelaksanaan rehabilitasi yang dilakukan selain di BNN
Provinsi Banten, peneliti juga menanyakan mengenai sarana dan prasarana untuk
rehabilitasi seperti panti rehabilitasi, balai rehabilitasi, rumah sakit ketergantungan
obat dan sebagainya yang berada di Provinsi Banten, yang mana pada pemaparan
sebelumnya yang diungkapkan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan
Masyarakat, Kepala Bidang Pemberantasan dan Dokter Seksi Penguat Lembaga
Rehabilitasi BNN Provinsi Banten belum ada fasilitas atau tempat untuk pelaksanaan
rehabilitasi khususnya rehabilitasi rawat inap yang tidak dapat dilakukan di Klinik
Pratama BNN Provinsi Banten. Seluruh rumah sakit yang ada di Provinsi Banten
tidak dapat melaksanakan program rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba, yang ada
174
hanya tempat rehablitasi milik masyarakat yang belum memiliki standar pelayanan
medis dan metode rehabilitasi yang sesuai dengan yang dilakukan BNN. Hal tersebut
juga diakui oleh Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) selaku Kepala Bidang Rehabilitasi
BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Itu yang selalu kita upayakan kita koordinasikan dengan Dinas Kesehatan.
kita koordinasi masalah tempat-tempat rehab untuk segera dibuat karena kita
belum punya. Tapi untuk keseriusan ke arah sana sih memang belum ada, tapi
yang jelas faktanya Provinsi Banten membutuhkan tempat rehab antara
rumah sakit jiwa dengan panti rehab itu sangat dibutuhkan sekali. Di Banten
ini adanya yang punya masyarakat, yang metodenya berbeda-beda jadi kita
ga bisa mengirim pasien kesana, kalaupun koordinasi ya sebatas kasih
masukan aja.” (Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi Banten pada 30 Mei
2017 pukul 13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
permasalahan yaitu Provinsi Banten hingga saat ini belum memiliki tempat khusus
untuk rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba seperti panti rehabilitasi dan rumah
sakit jiwa, padahal tempat tersebut sangat dibutuhkan khususnya untuk BNN Provinsi
Banten karena meskipun sudah ada tempat rehabilitasi milik masyarakat namun pihak
BNN Provinsi Banten tidak dapat mengirimkan pasien ke tempat tersebut karena
metodenya yang berbeda. Upaya koordinasi telah dilakukan BNN Provinsi Banten
dengan Dinas Kesehatan Provinsi Banten namun hingga saat ini belum terdapat
kejelasan untuk pembangunan tempat tersebut.
Hal senada terkait tempat rehabilitasi di Provinsi Banten juga diungkapkan
Bapak Asep Hanan, S.Ip (I2.3) dan Bapak Tri Sutrisno, SH (I2.5) sebagai berikut:
“Kalau di Banten itu ada, tapi semuanya itu milik masyarakat tidak ada milik
pemerintah daerah. Dengan adanya kewenangan pusat kan berarti ditarik jadi
di kita tidak ada panti-panti rehab yang milik pemerintah. Ini khusus Banten
175
ya.” (Wawancara dengan I2.3 di Dinas Sosial Provinsi Banten pada 21 Juni 2017
pukul 11.05 WIB)
“Nah itu sih kendalanya, tapi lebih ke masukan ya mengenai rehabilitasi di
Banten ini sendiri belum ada perangkat untuk rehabilitasi. Itu yang kita
butuhkan seperti balai rehabilitasi, karena selama ini di lapangan itu
rehabilitasinya dilakukan di LP yang menurut saya masih kurang mengena
karena kan masih tercampur dengan pelaku lainnya, sedangkan pengguna ini
harus dipisahkan tidak boleh dicampur. Kalau rehabilitasi ya ditempatkan di
tempat khusus yang selama ini kita kirim ke Lido sedangakan Lido kan jauh,
harusnya untuk sebesar Banten yang ada di pinggiran ibu kota atau bisa
dibilang penyangga ibu kota ya harusnya sudah punya tempat rehabilitasi
sendiri. Itu yang seharusnya Pemerintah Daerah memikirkan kesana.”
(Wawancara dengan I2.5 di Kejaksaan Tinggi Banten pada 5 Juli 2017 pukul
11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.3 dan I2.5 di atas, dapat disimpulkan bahwa Provinsi
Banten belum memiliki perangkat untuk rehabilitasi salah satunya tempat rehabilitasi
milik pemerintah yang khusus diperuntukan bagi penyalahguna narkoba. Namun
terdapat pendapat berbeda yaitu I2.3 berpendapat bahwa hal tersebut sudah bukan
menjadi kewenangan pemerintah daerah dan menjadi kewenangan pusat untuk
pelaksanaannya, sedangkan I2.5 berpendapat bahwa pemerintah daerah harus
memikirkan hal tersebut karena ketidakefektivan rehabilitasi terutama yang
dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan dan pelaksanaan rehabilitasi rawat inap
yang selama ini harus dilakukan pengiriman pasien ke balai rehabilitasi di Lido
Sukabumi.
Pada paparan sebelumnya dijelaskan bahwa sebelum menjalani rehabilitasi
maka harus dilakukan asesmen baik secara medis maupun secara hukum yang
merupakan suatu proses untuk mengetahui riwayat penyalahgunaan narkoba yang
telah dilakukan serta untuk menentukan putusan yang diberikan, apakah dapat
176
direhabilitasi atau harus melalui proses hukum secara pidana. Secara medis asesmen
tersebut dilakukan dengan menakar atau menilai seberapa jauh penggunaan dan
ketergantungan terhadap narkotika. Untuk mendukung proses tersebut seharusnya
dapat dilakukan dengan menggunakan alat yang dapat mengukur derajat toksinasi
penggunaan narkoba, namun pihak BNN Provinsi Banten belum memiliki peralatan
tersebut. Hal tersebut dibenarkan oleh Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) selaku Kepala
Bidang Rehabilitasi BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Berupa alat secara khusus itu kami belum ada sih. Kayanya anggaran kita
belum sampai ke penyediaan alat itu, jadi untuk penilaian penggunaan
narkotikanya itu digali pada saat asesmen saja. Disitu juga kan dari banyak
pihak jadi bisa tergali walaupun tidak seakurat kalau pakai alat ya.”
(Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi Banten pada 30 Mei 2017 pukul
13.45 WIB)
Dari pernyataan I1.3 di atas, dapat diketahui bahwa BNN Provinsi Banten
belum memiliki alat yang dapat mengukur derajat toksinasi penggunaan narkotika
dan hingga saat ini penilaian penggunaan narkotika hanya dilakukan dengan
menggali keterangan klien pada saat asesmen. Hal tersebut diakui bahwa hasil
tersebut tidak seakurat jika menggunakan alat. Pernyataan lain pun dikemukakan oleh
Dokter Ade Nurhilal Desrinah (I1.4) selaku Dokter Seksi Penguat Lembaga
Rehabilitasi sebagai berikut:
“Kalau di BNNP Banten hanya melalui tes urine untuk tau positif atau negatif.
Tapi kalau mau lebih tau dia jenis amphetamine atau methampitamine kita
rujuknya ke lab BNN di pusat, itu biasanya pake GCMS metodenya Gas
Cromatografy Mass Spectrometry.” (Wawancara dengan I1.4 di Klinik Pratama
BNN Provinsi Banten pada 2 Juni 2017 pukul 13.10 WIB)
177
Berdasarkan kutipan wawancara dengan I1.4 di atas, dapat diketahui bahwa
BNN Provinsi Banten tidak dapat melakukan penilaian penggunaan narkotika dengan
menggunakan alat khusus, melainkan hanya dapat mengetahui positif atau negatif
penggunaan narkotika yaitu dengan tes urine. Sedangkan untuk mengetahui lebih
dalam mengenai penggunaan narkotika, pihak BNN Provinsi Banten merujuk pasien
untuk dilakukan pemeriksaan ke laboratorium BNN RI atau pusat dengan metode Gas
Cromatografy Mass Spectrometry.
Hal lain terkait permasalahan narkoba di Indonesia adalah permasalahan yang
dialami langsung oleh penyalahguna narkoba yaitu ketika seorang penyalahguna
selesai dan keluar dari tempat rehabilitasi, maka ia harus menghadapi respon dari
lingkungannya yang justru seringkali membuat dirinya merasa rendah diri karena
berbagai stigma masyarakat yang ditujukan. Mereka dicap buruk dan dianggap
sebagai kriminal yang lebih pantas dipenjarakan dan tidak diterima di tengah-tengah
masyarakat di lingkungannya. Stigma negatif masyarakat ini menimbulkan dampak
sosial seperti gangguan mental dan sikap anti-sosial, mereka cenderung tidak
berinteraksi dengan lingkungannya dan lebih memilih menyendiri atau hanya
menjalin hubungan dengan sebagian orang yang tidak mendiskriminasi dirinya dan
memungkinkan membuat timbulnya keinginan untuk kembali pada lingkungan
pengguna dan pengedar narkoba lainnya sehingga setelah dilakukannya rehabilitasi
secara medis maupun sosial, maka tahapan selanjutnya adalah kegiatan
pascarehabilitasi sebagai bentuk pengobatan dan persiapan mental dalam menghadapi
lingkungan dan agar benar-benar terhindar dari narkoba. Bapak Agus Mulyana, SE
178
(I1.3) selaku Kepala Bidang Rehabilitasi BNN Provinsi Banten menjelaskan bentuk
kegiatan pascarehabilitasi sebagai berikut:
“Bentuknya pembinaan, ada pembinaan fungsional dengan diberikan
pelatihan cara membuat sendal, telur asin, membuat pupuk, peternakan lele
dan sebagainya. Itu dilakukan di rumah damping yang digunakan untuk
kegiatan pasca rehabilitasi.” (Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi
Banten pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
pascarehabilitasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten adalah dalam bentuk
pembinaan fungsional, yaitu pembinaan pembentukan keahlian atau keterampilan
yang dapat digunakan sebagai bahan persiapan mantan pecandu narkoba dalam
berwirausaha setelah selesai masa rehabilitasi di BNN Provinsi Banten. Untuk tempat
pelaksanaan kegiatan, BNN Provinsi Banten tidak melakukannya di kantor BNNP
Banten melainkan di rumah damping yang khusus digunakan untuk kegiatan
pascarehabilitasi tersebut. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan oleh bidang rehabilitasi
saja, tetapi juga dilakukan oleh bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat,
seperti yang disampaikan Bapak Sugino, SE, MH (I1.1) selaku Kepala Bidang
Pencegahan dan Pemberdayaan MasyaraKat BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Kegiatan pasca rehabilitasinya itu dengan pembinaan life skill, termasuk
salah satu kegiatan yang dilakukan bidang P2M juga. Pembinaan life skill,
contohnya kemaren di daerah pekarungan. Daerah pekarungan itu daerah
narkoba banyak bekas pecandu narkoba, nah itu kami berikan life skill agar
mereka itu punya keterampilan seperti tukang cukur atau salon yang artinya
dia diberikan ketampilan, dibiayai dan diberikan seperangkat alat cukur.”
(Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19 Juni 2017 pukul
10.30 WIB)
179
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, kegiatan pascarehabilitasi yang dilakukan
BNN Provinsi Banten merupakan salah satu kegiatan yang juga dilakukan bidang
Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat (P2M). Bentuk kegiatan yang selama ini
dilakukan adalah sama seperti yang diungkapkan Bapak Agus Mulyana (I1.3) yaitu
dalam bentuk pembinaan keterampilan. Keterangan di atas diperkuat dan diperjelas
oleh Dokter Ade Nurhilal Desrinah (I1.4) selaku Dokter Seksi Penguat Lembaga
Rehabilitasi sebagai berikut:
“Pascarehabilitasinya di BNNP Banten itu ada seminar pengembangan diri,
FSG (Family Support Group) sama vocationalnya ada. Tahun ini juga kita
punya rumah damping bekerjasama dengan Balai Pemasyarakatan
(BAPAS).” (Wawancara dengan I1.4 di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
pada 2 Juni 2017 pukul 13.10 WIB)
Berdasarkan hasil wawancara di atas, I1.4 lebih memfokuskan penjelasan pada
jenis kegiatan pascarehabilitasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten yang terdiri
dari seminar pengembangan diri, FSG (Family Support Group) dan vocational.
Seluruh kegiatan tersebut dilakukan di BNN Provinsi Banten dan di rumah damping
dengan bekerjasama dengan Balai Pemasyarakatan.
Selain itu juga terdapat pihak luar yang juga berperan dalam kegiatan
pascarehabilitasi seperti yang diungkapkan Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) sebagai
berikut:
“Koordinasi itu dengan Dinas Sosial, dengan masyarakat setempat dan
BLKI. Kita minta dari Dinsos dan BLKI untuk menjadi pelatihnya. Selain itu
juga ada dari Dinas Kesehatan, Disperindag, peternakan, kelautan. Kalau
kita sudah menjalani pasca rehab, itu nanti Dinsos juga yang akan
memberikan semacam stimulan pembinaan atau uang sebagai bekal hidup
dia.” (Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi Banten pada 30 Mei 2017
pukul 13.45 WIB)
180
Berdasarkan pernyataan I1.3 di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
pelaksanaan kegiatan pascarehabilitasi, BNN Provinsi Banten melakukan koordinasi
dengan beberapa instansi pemerintah dan juga masyarakat sebagai pelatih dalam
kegiatan pembinaan life skill serta untuk mendukung baik dari sarana maupun
prasarana dalam pelaksanaan kegiatan pascarehabilitasi. Pernyataan senada juga
disampaikan Bapak Sugino, SE, MH (I1.1) selaku Kepala Bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
Pascarehab itu kan ada juga yang dilaksanakan disini, ada juga yang di
rumah damping, ada juga di lingkungan masyarakat kaya tadi itu di
pekarungan. Kalau yang disini itu pastinya bidang P2M dan bidang rehab
yang bertugas. Kalau yang diluar itu ada juga kerjasama dengan SKPD,
OPD seperti Dinsos, BLKI, terus pastimya dengan masyarakat.” (Wawancara
dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
pascarehabilitasi dilakukan di dua tempat yaitu di kantor BNN Provinsi Banten dan
juga di rumah damping. Pada pelaksanaan kegiatan di kantor BNN Provinsi Banten
dilakukan oleh bidang Rehabilitasi dan bidang Pencegahan dan Pemberdayaan
Masyarakat, sedangkan di rumah damping dilakukan atas kerjasama BNN Provinsi
Banten dengan SKPD, OPD dan juga masyarakat. Hal tersebut dibenarkan oleh
Bapak Asep Hanan S.IP (I2.3) selaku Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial, NAPZA
dan Korban Perdagangan Orang (KPO) Dinas Sosial Provinsi Banten sebagai berikut:
“After care atau katakanlah pelayanan pasca rehabilitasi, jadi para mantan
korban penyalahguna NAPZA yang telah dikatakan pulih oleh lembaga
rehabilitasi itu kita berikan pelatihan keterampilan sesuai dengan minat
bakat mereka. Selama ini biasanya ada bengkel sepeda motor, ada counter
181
pulsa, ada juga perwarungan, ada sablon, yang terbaru itu service
handphone. Pokoknya sesuai minat bakat mereka ya mereka mau apa,
misalnya pak nih saya maunya jual pulsa, ada juga yang jualan ikan. Asalkan
mereka sudah dikatakan pulih, didata oleh kita dan dari BNN juga ada,
dengan yayasan sosial pun ada. Diberikan pelatihan lalu mereka diberikan
bantuan stimulan berupa peralatan usaha ekonomi produktif yang mereka
pilih seharga biasanya lima juta rupiah.” (Wawancara dengan I2.3 di Dinas
Sosial Provinsi Banten pada 21 Juni 2017 pukul 11.05 WIB)
Berdasarkan keterangan I2.3 di atas, membenarkan bahwa Dinas Sosial
Provinsi Banten juga ikut berperanserta dalam pelaksanaan kegiatan pascarehabilitasi
atau disebut program after care di Dinas Sosial. Salah satu pihak yang berkoordinasi
adalah BNN Provinsi Banten dalam pendataan jumlah penyalahguna narkoba yang
selesai menjalani proses rehabilitasi dan masuk ke tahap pascarehabilitasi. Bentuk
kegiatan pascarehabilitasi yang dilakukan adalah pelatihan keterampilan sesuai
dengan minat bakat peserta, kemudian diberikan stimulan berupa peralatan untuk
mendukung terlaksananya usaha ekonomi produktif pasca diberikan pelatihan oleh
Dinas Sosial, BNN Provinsi Banten dan pihak lainnya.
Selain dilakukan di kantor BNN Provinsi Banten dan di rumah damping,
kegiatan pascarehabilitasi juga dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Serang dengan
bentuk kegiatan yang hampir serupa yaitu kegiatan pembinaan keterampilan
wirausaha, seperti yang diungkapkan Bapak Heri Purnomo (I2.6 ) selaku Kepala Seksi
Pembinaan dan Pendidikan Lembaga Pemasyarakatan Serang sebagai berikut:
“Untuk disini yang waktu itu dilakuin ada olahraga pagi sampai dengan
memberikan materi tentang wirausaha, terus tentang keterampilan ada juga
kaya buat kerajinan, service ac, ya pokoknya bekal-bekal keterampilan yang
bermanfaat banyak lah mba.” (Wawancara dengan I2.6 di Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS) Serang pada 27 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
182
Berdasarkan pernyataan I2.6 di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
pascarehabilitasi yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Serang hampir serupa
dengan kegiatan yang rutin dilakukan BNN Provinsi Banten di rumah damping, yaitu
dalam bentuk pembinaan keterampilan dan materi wirausaha sebagai bahan persiapan
untuk kemudian kembali pada lingkungan dan upaya menjauhkan diri dari bahaya
narkoba. Hal tersebut dibenarkan oleh Rohim (I2.8) sebagai salah satu warga binaan
pemasyarakatan yang mengikuti program rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan
Serang:
“Iya ada pelatihan untuk usaha, ada beberapa pilihan gitu bisa pilih sesuai
yang kita mau, kalau saya waktu itu ikut service hp. Lumayan lah teh buat
nanti kalau keluar kan bisa buat usaha saya.” (Wawancara dengan I2.8 di
Lembaga Pemasyarakatan Serang pada 12 Oktober 2017 pukul 10.15 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.8, salah satu kegiatan pada saat dilakukan program
rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan Serang adalah kegiatan pelatihan wirausaha.
Kegiatan tersebut dapat disesuaikan dengan minat bakat warga binaan, salah satunya
service handphone seperti yang diikuti oleh I2.8. kegiatan tersebut dirasa bermanfaat
sebagai bekal persiapan untuk berwirausaha setalah masa pembebasan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa BNN Provinsi Banten adalah
Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL), maka pemberian layanan rehabilitasi yang
dilakukan pihak BNN Provinsi Banten tidak hanya dilakukan pada klien yang
bersumber dari hasil tangkapan BNN Provinsi Banten maupun pihak kepolisian,
melainkan juga dapat diberikan pada penyalahguna narkoba atau masyarakat yang
183
merasa dirinya ataupun keluarganya memiliki masalah kecanduan narkotika dengan
melalui tahapan asesmen terlebih dahulu. Atas dasar hal tersebut, peneliti kemudian
menanyakan apakah terdapat perbedaan pelayanan antara pecandu narkoba yang
datang sendiri untuk melakukan rehabilitasi dengan yang merupakan penyerahan dari
instansi. Bapak Sugino, SE, MH (I1.1) selaku Kepala Bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten mengungkapkan sebagai berikut:
“Untuk pelayanannya sama saja karena disini itu namanya Institusi
Penerima Wajib Lapor (IPWL), itu di pasal 54 tidak dihukum atau hanya
harus wajib lapor termasuk pasal 127 dan 128, termasuk jika ada anak kecil
di bawah umur kita akan wadahi dan kita libatkan Komisi Perlindungan Anak
(KPA) ataupun orang tuanya agar dapat di rehab atau disembuhkan. Jadi
BNN bicara dari sebelum kena sampai pasca rehabilitasi.” (Wawancara
dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberian
layanan rehabilitasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten sebagai Institusi Penerima
Wajib Lapor (IPWL) pada klien yang datang sendiri untuk melakukan rehabilitasi
dengan yang merupakan penyerahan dari instansi dilakukan tanpa ada perbedaan
yaitu tidak dikenakan hukuman pidana sesuai pasal 54 Undang-Undang Narkotika
Tahun 2009 termasuk juga yang sebelumya dikenakan pasal 127 dan 128 namun
mendapat putusan rehabilitasi, maka klien menjalankan rehabilitasi rawat jalan dan
wajib lapor sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan berdasarkan hasil asesmen. Hal
tersebut didukung oleh pernyataan Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) selaku Kepala
Bidang Rehabilitasi BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
184
“Tidak, semua sama saja. Kita pulangkan dia, karena kalau dia bermaksud
untuk baik untuk sembuh tentunya harus ada kesadaran sendiri. Memang ada
sel kita disini tetapi kita tidak memasukan sel kecuali dia melakukan
pelanggaran, baru kita cari dan dimasukan sel.” (Wawancara dengan I1.3 di
BNN Provinsi Banten pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 di atas, dapat disimpulkan bahwa memang BNN
Provinsi Banten tidak memberikan perbedaan layanan pada klien yang datang sendiri
untuk melakukan rehabilitasi dengan yang merupakan penyerahan dari instansi.
Seluruh klien yang telah mendapat putusan rehabilitasi maka tidak dikenakan
penahanan. Penahanan di sel BNN Provinsi Banten hanya dilakukan pada klien yang
melakukan pelanggaran pada saat masa rehabilitasi. Pendapat lainnya juga
diungkapkan oleh Dokter Ade Nurhilal Desrinah (I1.4) selaku Dokter Seksi Penguat
Lembaga Rehabilitasi sebagai berikut:
“Tidak ada yang beda kalau soal penerimaannya ya. Tapi kalau namanya
terapi dan metodenya tetap kita berdasarkan individual treatment plan, jadi
setiap individu itu masing-masing beda meskipun sama-sama pakai shabu
tapi ya belum tentu sama treatmentnya. Kalau penyerahan yang sudah
putusan pengadilan itu kita sesuaikan dengan jangka waktunya yang sudah
diputuskan aja. Jadi penerimaan pas awal sama pelayanannya aja yang
sama.” (Wawancara dengan I1.4 di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten pada
2 Juni 2017 pukul 13.10 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.4 di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan yang diberikan antara pecandu narkoba yang datang sendiri untuk
melakukan rehabilitasi dengan yang merupakan penyerahan dari instansi khususnya
pada penerimaan dan pemberian layanan rehabilitasi, kecuali pada metode rehabilitasi
karena memang metode yang digunakan didasarkan pada rancangan terapi yang
dibuat pada masing-masing individu saat selesai proses asesmen.
185
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa terdapat dua sumber klien
penerima rehabilitasi yaitu pecandu narkoba yang datang sendiri untuk melakukan
rehabilitasi dengan yang merupakan penyerahan dari instansi, seperti yang sedang
dalam proses hukum oleh pihak kepolisian. Hal tersebut mengacu pada keputusan
bersama antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan HAM, Menteri
Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung Kapolri dan Kepala BNN tentang
Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam
Lembaga Rehabilitasi. Implementasi dari peraturan bersama tersebut diantaranya
dengan membentuk Tim Asesmen Terpadu (TAT) untuk melakukan upaya
penanganan rehabilitasi bagi penyalahguna dan pecandu narkotika yang sedang dalam
proses hukum. Kemudian peneliti menanyakan terkait pelaksanaan hal tersebut
melalui mekanisme pengguna narkoba yang sedang dalam proses hukum kemudian
direkomendasikan untuk menjalani tahapan untuk dapat dilakukan rehabilitasi di
BNN Provinsi Banten. Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) selaku Kepala Bidang
Rehabilitasi BNN Provinsi Banten menjelaskan sebagai berikut:
“Kalau terkait dengan hukum misalnya dia ditangkap terus di proses oleh
Polda maupun Polres dia harus melalui mekanisme namanya TAT (Tim
Asesmen Terpadu) dari pihak kepolisian, penyidik BNN, penyidik kejaksaan
dan penyidik dari kumham yang kaitannya dengan Lapasnya.” (Wawancara
dengan I1.3 di BNN Provinsi Banten pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 di atas, dapat disimpulkan bahwa mekanisme
yang digunakan bagi penyalahguna narkoba yang sedang dalam proses hukum
kemudian direkomendasikan untuk menjalani tahapan untuk dapat dilakukan
186
rehabilitasi adalah melalui tahapan asesmen terlebih dahulu oleh Tim Asesmen
Terpadu (TAT) yang terdiri dari pihak kepolisian, penyidik BNN, penyidik kejaksaan
dan penyidik dari kemenkumham untuk kaitannya dengan Lapas. Pernyataan tersebut
diperkuat oleh pernyataan Bapak Kompol Kosasih SH, MH (I2.1) dan Bapak BRIPKA
Gunawan (I2.2) selaku Kepala Sub Bagian dan Pelaksana Bagian Pembinaan dan
Operasional (Binopsnal) Kepolisian Daerah Provinsi Banten sebagai berikut:
“Di asesmen dulu, makanya tadi ada koordinasi dengan BNNP. Sebelum di
rehab dilakukan asesmen dulu.” (Wawancara dengan I2.1 di Direktorat
Reserse Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
“Jadi si penyalahguna tertangkap kita ajukan asesmen, nanti yang
menentukan vonsinya apakah di rehabilitasi atau tidak itu sesuai putusan
pengadilan. Kita hanya merekomendasikan saja.” (Wawancara dengan I2.2 di
Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.1 dan I2.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa
mekanisme yang digunakan khususnya di Polda Banten untuk merekomendasikan
seorang penyalahguna narkoba yang sedang dalam proses hukum untuk menjalani
tahapan guna dapat dilakukan rehabilitasi yaitu pertama-tama diajukan untuk
dilakukan asesmen. Disitulah kewenangan pihak kepolisian untuk
merekomendasikan, sedangkan untuk penentuan vonis atau keputusan selanjutnya
adalah kewenangan pihak pengadilan. Sedangkan Bapak Abdul Majid, SH, MH (I1.2)
selaku Kabid Pemberantasan BNN Provinsi Banten lebih memfokuskan pada status
dan barang bukti narkotika pada tersangka. Berikut pernyataan beliau:
“Ada prosedurnya untuk mengajukan rehabilitasi, pertama terkait tindak
pidana yang dilakukan oleh tersangka ini kategorinya dia selaku pengguna
187
narkoba ya bukan pengedar, dan menurut ukuran itu barang bukti yang
dilakukan penyitaan ini kurang dari 1 gram karena kalau pengedar juga
barang buktinya biasanya lebih dari 1 gram sedangkan pengguna biasanya
hanya nol koma sekian gram sisa-sisa pemakaian dan barang bukti tes
urinenya, bisa dilihat di Undang-Undang Narkotika ya.” (Wawancara dengan
I1.2 di BNN Provinsi Banten pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.2 di atas, hal yang difokuskan guna dapat
mengajukan atau merekomendasikan pengguna narkoba yang sedang dalam proses
hukum untuk menjalani tahapan guna dapat dilakukan rehabilitasi di BNN Provinsi
Banten adalah statusnya sebagai pengguna narkoba dengan barang bukti kurang dari
satu gram serta bukti hasil tes urine. Hal tersebutlah yang dijadikan acuan untuk
selanjutnya dapat dilakukan asesmen dan proses rehabilitasi berikutnya.
Dari data lapangan yang telah dijelaskan di atas, peneliti dapat menarik
kesimpulan bahwa dari aspek Treatment (pengobatan) dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba dilakukan BNN Provinsi Banten melalui
program rehabilitasi untuk memperbaiki kondisi mental dan juga fisik pada pengguna
dan/atau pecandu narkotika. Pelayanan rehabilitasi dilakukan di Klinik Pratama di
BNN Provinsi Banten yaitu rehabilitasi rawat jalan dengan metode Theraupetic
Community yang tergolong rehabilitasi sosial, sedangkan untuk rehabilitasi rawat
inap dan metode rehabilitasi medis belum dapat dilakukan di Klinik Pratama BNN
Provinsi Banten. Selain itu juga dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan di wilayah
Provinsi Banten melalui kerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkumham) Kantor Wilayah Banten.
188
Setelah dilakukannya proses rehabilitasi, selanjutnya dilakukan kegiatan
pascarehabilitasi sebagai bentuk pengobatan dan persiapan mental dalam menghadapi
lingkungan dan agar benar-benar terhindar dari narkoba yang dilakukan di BNN
Provinsi Banten dan di rumah damping dengan berkoordinasi dengan beberapa
instansi pemerintah seperti Dinas Sosial Provinsi Banten, Balai Pemasyarakatan,
Balai Latihan Kerja Industri (BLKI) dan juga masyarakat sebagai pelatih dalam
kegiatan pembinaan life skill serta untuk mendukung baik dari sarana maupun
prasarana dalam pelaksanaan kegiatan pascarehabilitasi.
4.3.3 Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk)
Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk) dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba memfokuskan pada bahaya narkoba
terhadap individu dan masyarakat dari penjualan dan penggunaan narkoba. Prinsip ini
mengharuskan untuk tidak membahayakan atau menyakiti mereka yang menderita
kecanduan dan fokus pada bahaya yang ditimbulkan dari narkoba. Seluruh kegiatan
dilakukan agar dapat membuat kehidupan yang lebih sehat untuk pengguna narkoba
maupun masyarakat umum. Harm Reduction menggunakan pendekatan pragmatis
untuk mengatasi permasalahan narkoba dan telah terbukti sukses dalam mengurangi
penggunaan narkoba, penyebaran HIV/AIDS dan hepatitis, overdosis dan kematian
akibat penggunaan narkoba.
Pengaturan mengenai pendekatan pengurangan dampak buruk narkotika diatur
melalui Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes), yaitu Kepmenkes No.
567/MENKES/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak
189
Buruk NAPZA.Strategi ini seharusnya dapat dilakukan oleh BNN Provinsi Banten
dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Banten Bidang Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit (P2P) karena kegiatan ini merupakan salah satu program di
bidang tersebut. Seperti yang diungkapkan Bapak H. R. Wahyu Santoso W. SKM.
M.Si (I2.4) selaku Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas
Kesehatan Provinsi Banten sebagai berikut:
“Program itu diperuntukan bagi para pemakai narkoba yang terindikasi
terkena HIV. HIV itu ada tiga macam, salah satu penyebabnya adalah pada
pengguna narkoba suntik. Sektor kesehatan itu telah mengantisipasi dengan
ada dua metode ya, yang pertama itu dengan program PTRM (Program
Terapi Rumatan Metadone) dan kemudian ada LAS (Layanan Alat Suntik
Steril).” (Wawancara dengan I2.4 di Dinas Kesehatan Provinsi Banten pada 16
Juni 2017 pukul 9.50 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.4, dapat disimpulkan bahwa program harm
reduction merupakan salah satu program Dinas Kesehatan Provinsi Banten yang
diperuntukan bagi pengguna narkoba yang terindikasi terkena HIV khususnya yang
berakibat dari penggunaan jenis narkoba suntik. Bentuk kegiatan dari program ini
adalah Program Terapi Rumatan Metadone (PTRM) dan Layanan Alat Suntik Steril
(LAS). Pernyataan tersebut diperkuat juga oleh pernyataan Bapak Arif (I1.5) selaku
Mitra Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Mayarakat BNN Provinsi Banten
sebagai berikut :
“Harm reduction itu kan program pengurangan dampak buruk, ini adalah
PTRM (Program Terapi Rumatan Metadone) atau Layanan Alat Suntik Steril.
Nah pengurangan dampak buruk ini sebetulnya untuk memutuskan mata
rantai kecanduan atau ketergantungan. Misalnya dia ketergantungan heroine
yang disuntikan, akhirnya kita rujuk untuk memutuskan proses menyuntik ini
kepada PTRM, narkotika heroinnya diganti dengan narkotika sintesis
190
metadone sehingga di oral. Ketika diganti dengan yang sintesis maka nanti
penguatannya akan mengikuti itu. Kalau untuk alat suntik sterile itu
pengurangan dampaknya lebih pada dia menyuntik sendiri daripada dia
tadinya satu suntikan itu bareng-bareng sehingga buruknya itu ke penyakit
yang diderita, bisa hepatitis, tubercolosis, bisa macem-macem lah ya nanti,
sehingga jarum suntik itu diberikan untuk diri sendiri, tidak sharing dengan
yang lain-lain.” (Wawancara dengan I1.5 di Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa Serang pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.5, dapat disimpulkan bahwa program harm
reduction atau program upaya pengurangan dampak buruk bagi penyalahguna
narkoba adalah melalui Program Terapi Rumatan Metadone (PTRM) dan Layanan
Alat Suntik Steril (LAS). Secara lebih rinci beliau menyampaikan bahwa kegiatan
PTRM dilakukan dengan mengganti narkotika nonsintesis menjadi narkotika sintesis
metadone. Hal tersebut untuk memutuskan mata rantai kecanduan atau
ketergantungan seseorang terhadap narkotika sehingga efek buruk dari narkotika
dapat diminimalisir. Sedangkan Layanan Alat Suntik Steril (LAS) dilakukan dengan
memberikan alat suntik yang bertujuan untuk mengurangi dampak penyebaran virus
penyakit melalui alat suntik yang digunakan secara berbarengan.
Program kegiatan Harm Reduction ini seharusnya dapat dilaksanakan dan
diberikan bagi penyalahguna narkoba (klien) BNN Provinsi Banten. Namun hal
tersebut belum dilakukan oleh BNN Provinsi Banten. Pelaksanaan upaya
pengurangan dampak buruk secara medis hanya dilakukan melalui kegiatan
rehabilitasi yaitu melalui konseling. Seperti yang diungkapkan oleh Dokter Ade
Nurhilal Desrinah (I1.4) selaku Dokter Seksi Penguat Lembaga Rehabilitasi sebagai
berikut:
191
“Harm reduction itu kan seharusnya dilakukan secara medis, dengan
program yang tujuannya meminimalisir efek buruk narotika, tapi sampai saat
ini program itu belum ada di BNNP Banten karena disini pun hanya melayani
rehab jalan dengan konseling jadi tidak ada pemberian obat sintesis maupun
non sintesis kepada klien. Untuk layanan alat suntik steril pun kita tidak
lakukan, karena sebenarnya itu ranah Dinas Kesehatan yang seharusnya
berkoordinasi dengan kita, tapi sampai sekarang belum dikasih pintu ke arah
sana. Kalau dari pihak sananya mengajak ya kami pasti siap” (Wawancara
dengan I1.4 di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten pada 2 Juni 2017 pukul
13.10 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.4, dapat disimpulkan bahwa program harm
reduction atau program upaya pengurangan dampak buruk bagi penyalahguna
narkoba belum dilakukan oleh BNN Provinsi Banten. Sampai saat ini pelayanan yang
dapat diberikan oleh BNN Provinsi Banten hanya rehabilitasi rawat jalan dengan
metode konseling dan tanpa pemberian obat baik sintesis maupun semisintesis.
Program harm reduction lainnya yaitu Layanan Alat Suntik Steril (LAS) juga belum
dilakukan karena belum terlaksananya koordinasi yang baik dengan Dinas Kesehatan
Provinsi Banten untuk pelaksanaan kegiatan layanan tersebut. Hal tersebut diperkuat
juga oleh pernyataan Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) selaku Kepala Bidang
Rehabilitasi BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Ga ada, kita hanya melalui rehab rawat jalan saja konseling, kalau
detoksifikasinya tidak ada. Kita juga tidak memberikan obat ke rumah, kita
tidak memberikan jenis obat atau narkoba yang jenisnya sama dengan
dikurangi dosisnya itu tidak berlaku di kita. Kalau itu kan seperti PTRM, tapi
kalau kita itu tidak pernah memberikan obat atau narkoba kita kasih narkoba
lagi, itu engga. Biasa kalau di PTRM kan misalkan saya pakai putau nih, itu
dia diberikan putau terus kan cuma dosisnya dikurangi. Kalau rawat inap
baru ada tapi kalau kita upayanya melalui konseling saja.” (Wawancara
dengan I1.3 di BNN Provinsi Banten pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
192
Berdasarkan pernyataan I1.3, program harm reduction atau program upaya
pengurangan dampak buruk bagi penyalahguna narkoba memang tidak dilakukan di
BNN Provinsi Banten. Seperti pernyataan I1.4 yang menerangkan bahwa BNN
Provinsi Banten hanya memberikan layanan rehabilitasi rawat inap dengan metode
konseling saja tanpa pemberian obat, sedangkan untuk Program Terapi Rumatan
Metadone (PTRM) tidak diberikan. Padahal harm reduction adalah program yang
harus dilakukan untuk mengurangi efek buruk akibat kecanduan atau ketergantungan
seseorang terhadap narkotika dan program ini seharusnya dapat dilakukan secara
bersamaan dengan kegiatan rehabilitasi karena tujuan serupa yang ingin dicapai. Hal
tersebut didukung oleh pernyataan Bapak Sugino, SE, MH (I1.1) selaku Kepala
Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten
mengungkapkan sebagai berikut:
“Harm reduction itu kan dikaitkan dengan Pak Agus di bidang rehabilitasi.
Artinya dia pengobatan dan pasca rehab itu bagian dari harm reduction itu.
Jadi manusia yang sudah kena ini bagaimana dan akan diapakan, sampai
kepada pascarehab.” (Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada
19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa program harm
reduction atau program upaya pengurangan dampak buruk bagi penyalahguna
narkoba berkaitan dengan program rehabilitasi di bidang rehabilitasi BNN Provinsi
Banten karena harm reduction merupakan bagian dari pengobatan pada pecandu
narkoba. Selain dari pihak BNN Provinsi Banten, peneliti juga menanyakan hal
193
tersebut kepada Taufik (I2.7) selaku klien yang sedang dalam proses rehabilitasi di
BNN Provinsi Banten dengan keterangan sebagai berikut:
Ga pernah kalau disini mah cuma konseling aja, ga dikasih obat apa-apa
pokoknya harus berhenti total aja karena di cek setiap minggunya.
(Wawancara dengan I2.7 di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten pada 5
Oktober 2017 pukul 14.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.7 di atas, dapat disimpulkan bahwa beliau sebagai
penerima layanan di BNN Provinsi Banten tidak menerima pelayanan lain selain
rehabilitasi rawat jalan dengan metode konseling. Program harm reduction atau
program upaya pengurangan dampak buruk bagi penyalahguna narkoba diakui beliau
tidak pernah dilakukan, seperti untuk Program Terapi Rumatan Metadone (PTRM).
Program rehabilitasi dan pascarehabilitasi yang dilakukan BNN Provinsi
Banten juga hanya dilakukan dalam kurun waktu 3 bulan sampai dengan satu tahun
dengan metode konseling tanpa ada program harm reduction, padahal seseorang yang
kecanduan terhadap narkotika tidak dapat pulih dalam jangka waktu yang sebentar.
Seperti yang diungkapkan Bapak Arif (I1.5) sebagai berikut:
“Sekarang logikanya orang ketergantungan narkotik selama 5-10 tahun,
tidak mungkin bisa berhenti dalam 1 sampai 2 tahun, artinya harus bertahap.
Jadi satu tahun pertama itu 200ml, tahun kedua 150ml, tahun ketiga 100ml,
jadi kurangi sampai abstinene (tidak menggunakan sama sekali).”
(Wawancara dengan I1.5 di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang pada 5
Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.5 di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
harm reduction sebagai upaya pengurangan dampak buruk bagi penyalahguna
narkoba dan untuk menghentikan kecanduan seseorang terhadap narkoba harus
194
dilakukan secara bertahap dan dalam kurun waktu yang cukup lama terlebih bagi
pecandu narkotika yang dalam kategori berat harus dilakukan selama bertahun-tahun.
Hal tersebut dibenarkan oleh dr. Ade Nurhilal Desrinah (I1.4) sebagai berikut:
“Untuk narkotika ini penyakit kronis dan dia bisa kambuh-kambuhan. Dia
merusak jaringan syaraf dan otak. Jadi sebenarnya kalau untuk dikatakan
pulih jangka waktunya lebih dari dua tahun. Artinya abstinen jadi selesai
rehab disini dia tetap harus tahap pemulihan seumur hidup bahkan sampai
dia mati.” (Wawancara dengan I1.4 di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
pada 2 Juni 2017 pukul 13.10 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.4 di atas, dijelaskan bahwa narkotika adalah sesuatu
yang dapat merusak jaringan syaraf dan otak, sehingga narkotika dapat menjadi
penyakit kronis dan terjadi dalam waktu yang tidak dapat ditentukan (kambuh-
kambuhan). Oleh sebab itu seseorang yang mengalami kecanduan narkotika tidak
dapat dipulihkan dalam jangka waktu yang sebentar, bahkan pemulihan harus
dilakukan selama seumur hidup.
Dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa program harm
reduction sebagai upaya pengurangan dampak buruk bagi penyalahguna narkoba
secara medis sampai saat ini belum dilakukan karena pihak BNN Provinsi Banten
belum dapat memberikan obat baik sintesis maupun nonsintensis kepada
penyalahguna narkoba dan terbatas pada layanan rehabilitasi dengan metode rawat
jalan saja. Namun disisi lain upaya pengurangan dampak buruk dilakukan oleh BNN
Provinsi Banten secara non medis yaitu melalui dalam kegiatan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba, seperti yang diungkapkan Bapak Abdul Majid, SH, MH
(I1.2) selaku Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Banten berikut:
195
“Oh untuk itu, kegiatannya kita melakukan penyelidikan untuk pelaku atau
jaringan sindikat narkotika. Kalau memang sudah cukup bukti ya kita
melakukan tindakan hukum, kira-kira begitu.” (Wawancara dengan I1.2 di
BNN Provinsi Banten pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.2 di atas, program harm reduction atau sebagai
upaya pengurangan dampak buruk bagi penyalahguna narkoba dilakukan dalam
kegiatan penyelidikan bagi pelaku atau jaringan sindikat narkotika. Terlihat bahwa
bidang pemberantasan lebih melihat dampak buruk yang ditimbulkan adalah
bersumber dari peredaran narkotika yang dilakukan oleh jaringan sindikat narkotika,
sehingga mereka melakukan tindakan pemberantasan dengan melakukan
penyelidikan terlebih dahulu sampai terdapat bukti yang cukup untuk seterusnya
dilakukan tindakan hukum. Hal tersebut dilakukan sebagaimana tugas pokok bidang
pemberantasan seperti yang disampaikan I1.2 sebagai berikut:
“Kalau di bagian pemberantasan, kita melakukan penyelidikan,
pengungkapan dan penindakan atau lidik sidik. Setalah dilakukan
penyelidikan, kalau memang unsur pembuktiannya ada, bisa ditindaklanjuti
artinya kita dapat melakukan eksekusi atau tindakan penyidikan.”
(Wawancara dengan I1.2 di BNN Provinsi Banten pada 5 Juli 2017 pukul
11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas bidang
pemberantasan BNN Provinsi Banten adalah melakukan penyelidikan, pengungkapan
dan penindakan terhadap pelaku penyalahguna narkoba atau jaringan sindikat
narkoba yang memberikan dampak buruk bagi lingkungan dengan melakukan
peredaran gelap narkoba. Kegiatan pemberantasan tersebut dilakukan bersama
beberapa pihak penegak hukum, seperti dalam keterangan (I1.2) berikut:
196
“Koordinasinya dengan kepolisian khususnya, kemudian dengan Korps Polisi
Militer untuk berantas karena terkait tindak pidana yang dilakukan baik oleh
masyarakat sipil atau militer. Selain itu juga dengan kejaksaan terkait
penyidikan, kalau untuk tindakan di lapangan itu dengan kepolisian Polda
Polres Polsek, kemudian Lapas juga.” (Wawancara dengan I1.2 di BNN
Provinsi Banten pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.2 di atas, kegiatan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkoba dilakukan dengan berkoordinasi dengan beberapa pihak
yaitu pihak kepolisian khususnya untuk tindakan pemberantasan di lingkungan
masyarakat umum dan dengan Korps Polisi Militer untuk kegiatan pemberantasan di
lingkungan masyarakat hingga militer. Kemudian juga dengan Kejaksaan pada saat
penyidikan setelah terbukti menyalahgunakan narkoba serta dengan pihak Lembaga
Pemasyarakatan untuk kegiatan pemberantasan narkoba di lingkungan Lapas. Hal
tersebut dibenarkan oleh Kompol Kosasih SH, MH (I2.1) selaku Kepala Sub Bagian
Pembinaan dan Operasional (Binopsnal) Kepolisian Daerah Provinsi Banten sebagai
berikut:
“Ada namanya operasi interdiksi atau operasi gabungan…..”(Wawancara
dengan I2.1 di Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017
pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
koordinasi antara Polda Banten dengan BNN Provinsi Banten khususnya untuk
kegiatan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, seperti dalam
kegiatan operasi interdiksi atau operasi gabungan.
197
Sedangkan untuk tempat pelaksanaan kegiatan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tidak dapat dipastikan, Bapak Abdul
Majid, SH, MH (I1.2) menjelaskan sebagai berikut:
“Itu relatif, dimana saja, kapan saja. Karena orang melakukan kejahatan itu
kan tidak mengenal waktu, tempat, umur dan sebagainya.” (Wawancara
dengan I1.2 di BNN Provinsi Banten pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba tidak dapat dipastikan
baik dari sisi tempat, waktu, maupun pihak sasarannya dengan alasan bahwa
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba adalah suatu kejahatan dan kejahatan
dapat dilakukan tanpa memandang hal-hal tersebut. Secara lebih rinci, pihak Polda
Banten yaitu Kompol Kosasih SH, MH (I2.1) menjelaskan tempat pelaksanaan
kegiatan pemberantasan sebagai berikut:
“Untuk operasi interdiksi biasanya dilakukan di pelabuhan, tempat hiburan,
kos-kosan.” (Wawancara dengan I2.1 di Direktorat Reserse Narkoba Polda
Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Dari pernyataan I2 .1 di atas, kegiatan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkoba yaitu operasi interdiksi dilakukan di tempat-tempat yang
dianggap rawan terjadi penyalahgunaan maupun peredaran gelap narkoba seperti
pelabuhan, tempat hiburan, kos-kosan.
Dari data lapangan yang telah dijelaskan di atas, peneliti dapat menarik
kesimpulan bahwa dari aspek Harm Reduction atau sebagai upaya pengurangan
dampak buruk bagi penyalahguna narkoba dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba belum dilakukan oleh pihak BNN Provinsi
198
Banten. BNN Provinsi Banten hanya memberikan layanan rehabilitasi rawat jalan
dengan metode konseling yang dianggap sebagai salah satu upaya pengurangan
dampak buruk bagi penyalahguna narkotika, disisi lain juga BNN Provinsi Banten
melakukan kegiatan pemberantasan narkoba untuk mengurangi dampak buruk yang
ditimbulkan dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
4.3.4 Law Enforcement (Penegakan Hukum)
Law Enforcement (Penegakan Hukum) dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba dilakukan oleh BNN Provinsi Banten, pihak
kepolisian dan aparat hukum untuk ketertiban umum dan keamanan masyarakat.
Strategi ini harus dilakukan dengan terintegrasi juga pada kegiatan pencegahan,
rehabilitasi, dan pengurangan dampak buruk agar dapat berjalan efektif.
Penegakan hukum dalam kasus penyalahgunaan narkoba mengacu pada
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, namun karena dalam penelitian ini
memfokuskan pada Strategi yang dilakukan Badan Narkotika Nasional Provinsi
Banten, maka dasar hukum yang dijadikan acuan adalah Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang ini merupakan revisi atas Undang-
Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang
Narkotika. Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi direvisinya UU Nomor
22 tahun 1997 tersebut, antara lain tindak pidana narkotika yang dilakukan dengan
modus operandi yang semakin canggih, materi undang-undang yang tidak lagi sesuai
dengan perkembangan situasi terkini, dan perlunya penguatan kelembagaan dalam hal
199
pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika. Secara umum, terdapat
beberapa hal baru yang dikenalkan oleh UU Narkotika, antara lain: adanya perubahan
dan penambahan definisi di dalam bab tentang ketentuan umum, ruang lingkup dan
tujuan yang diperluas, perluasan alat bukti dan adanya teknik penyidikan narkotika
yang baru, serta ancaman pidana minimal untuk semua golongan narkotika.
UU Narkotika tahun 2009 memasukan satu butir tujuan baru mengenai
rehabilitasi. Tujuan tersebut hendak mengatur upaya rehabilitasi baik secara medis
maupun sosial bagi pecandu dan panyalahguna narkotika. Dalam UU Narkotika tahun
1997 hal tersebut tidak dijadikan sebagai tujuan. Dengan demikian, adanya tujuan
tersebut di dalam UU Narkotika tahun 2009 membawa angin segar bagi perjuangan
pecandu narkotika untuk memperoleh pemulihan ketergantungan narkotika (melalui
rehabilitasi) dibanding dipenjarakan, dan hal tersebut merupakan tugas dan kewajiban
Badan Narkotika Nasional (BNN) baik di tingkat pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota di
setiap daerah di Indonesia. Pasal-pasal yang mengatur rehabilitasi bagi pecandu dan
panyalahguna narkotika adalah:
1) Pasal 4 huruf d: “menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial
bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.”
2) Pasal 54: “pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.”
3) Pasal 103 ayat (1): “hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
200
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika
tersebut tidak terbukti bersalahmelakukan tindak pidana narkotika.”
4) Pasal 127 ayat (1) huruf a, b, dan c: “setiap penyalahguna narkotika[...]
dipidana dengan pidana penjara paling lama[...]”
5) Pasal 127 ayat (2): “dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.”
6) Pasal 127 ayat (3): “dalam hal penyalahguna sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.”
Dasar hukum mengenai rehabilitasi bagi pecandu dan panyalahguna narkotika
juga disampaikan Bapak Sugino, SE, MH (I1.1) selaku Kepala Bidang Pencegahan
dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009. Untuk BNN secara
hukum rehabilitasi ada di pasal 54, kemudian di pasal 127 juga kalau dia
ketangkap bisa direhab tapi melalui proses penyidik dulu. Pasal 128 itu
ajakan supaya penyalahguna yang sifatnya ringan itu harus direhab,
syaratnya itu dia melapor nanti ditentukan rawat jalan atau rawat inap. Tapi
kalau tertangkap tentunya ada proses hukum, apalagi dia pakai dan memiliki
barang, tentunya dia proses hukum dan proses rehab.” (Wawancara dengan
I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
201
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat diketahui bahwa dasar hukum dalam
penegakan hukum kasus penyalahgunaan narkotika adalah Undang-Undang
Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dan pasal yang secara khusus
membahas ketentuan hukum untuk rehabilitasi terdapat pada pasal 54, pasal 127 dan
pasal 128 sesuai ketentuan masing-masing. Sedangkan Bapak Agus Mulyana, SE
(I1.3) selaku Kepala Bidang Rehabilitasi BNN Provinsi Banten menjelaskan pasal
yang menjamin pengaturan rehabilitasi sebagai berikut:
“Undang-Undangnya Nomor 35, yang khusus mengatur rehabilitasi itu pasal
4 huruf D kalau ga salah. Upaya menjamin pengaturan rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial bagi penyalahguna narkoba.” (Wawancara dengan I1.3 di
BNN Provinsi Banten pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh I1.3, yang menjadi dasar
hukum dalam penegakan hukum kasus penyalahgunaan narkotika adalah Undang-
Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 dan yang khusus mengatur rehabilitasi
terdapat pada pasal 4 huruf D yang berisi upaya menjamin pengaturan rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna narkoba. Hal senada juga
disampaikan oleh Bapak Abdul Majid, SH, MH (I1.2) selaku Kepala Bidang
Pemberantasan BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Untuk Narkotikanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, pasal
rehabilitasinya pasal 4 dan pasal 54, ada juga pasal lain tapi itu
kewenangannya jaksa dan hakim.” (Wawancara dengan I1.2 di BNN Provinsi
Banten pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh I1.2 di atas, dapat disimpulkan
bahwa penegakan hukum kasus penyalahgunaan narkotika didasari oleh Undang-
202
Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, dan pasal yang berisi aturan hukum
rehabilitasi ada pada pasal 4 dan pasal 54 dan pasal lainnya yang juga menjadi
kewenangan pihak kejaksaan dan hakim yang membuat putusan. Keterangan dari
pihak BNN Provinsi Banten tersebut diperkuat juga oleh keterangan pihak penegak
hukum yaitu dari Kepolisian Daerah (Polda) Banten (I2.1) dan (I2.2) dan juga
Kejaksaan Tinggi Banten (I2.5) sebagai berikut:
“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ada
tambahannya tahun 2017 ini itu Permenkes Nomor 2 Tahun 2017.”
(Wawancara dengan I2.1 di Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten pada 5
Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
“Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009.” (Wawancara dengan
I2.2 di Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30
WIB)
“Dasar hukumnya Undang-Undang Narkotika, itu Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009.” (Wawancara dengan I2.5 di Kejaksaan Tinggi Banten pada 5
Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.1, I2.2 dan I2.5 di atas, dapat disimpulkan bahwa
yang menjadi dasar hukum dalam penegakan hukum kasus penyalahgunaan narkoba
adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selain itu juga
terdapat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2017 yang berisi
perubahan penggolongan narkotika dimana terdapat narkotika jenis baru yang belum
termasuk dalam jenis narkotika di Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009.
Setelah diketahui dasar hukum dalam penegakan hukum kasus
penyalahgunaan narkoba, maka selanjutnya dapat diketahui sanksi hukum yang
diterima apabila menyalahgunakan narkoba. Bapak Abdul Majid, SH, MH (I1.2)
203
selaku Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Banten menjelaskan sanksi
hukum yang diterima sesuai pernyataan beliau sebelumnya mengenai pasal 4 dan
pasal 54 dalam Undang-Undang Narkotika tahun 2009 sebagai berikut:
“Undang-Undang mengatur disitu bahwa pengguna atau pecandu narkoba
itu kalau di BNN ini harus di rehab, bukan harus di hukum atau ya
hukumannya itu rehab, bukan harus diselesaikan di Lembaga
Pemasyarakatan, untuk waktunya ya minimal 3 bulan untuk rehabnya saja
belum termasuk pascarehab, tapi kembali lagi tergantung tingkat
kecanduannya.” (Wawancara dengan I1.2 di BNN Provinsi Banten pada 5 Juli
2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa sanksi hukum
dalam kasus penyalahgunaan narkoba khususnya pada pasal 4 dan pasal 54 Undang-
Undang Narkotika tahun 2009 adalah hukuman rehabilitasi bagi pengguna atau
pecandu narkoba dengan jangka waktu minimal 3 (tiga) bulan dan disesuaikan
dengan tingkat ketergantungan narkoba yang dialami.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa dalam kasus
penyalahgunaan narkoba terdapat dua kemungkinan mengenai hukuman yang
diterima, yaitu hukuman pidana atau rehabilitasi. Bapak Sugino, SE, MH (I1.1)
menjelaskan sebagai berikut:
“Sanksinya kalau cuma di rehab ya mulai dari 6 (enam) bulan, kalau pidana
dari 4 (empat) tahun sampai hukuman mati.” (Wawancara dengan I1.1 di BNN
Provinsi Banten pada 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat diketahui bahwa sanksi hukum
dalam penyalahgunaan narkoba dilihat berdasarkan putusan apakah penyalahguna
harus direhabilitasi atau dipidana. Apabila penyalahguna tersebut mendapat putusan
rehabilitasi, maka sanksi hukumnya minimal 6 (enam) bulan, sedangkan jika
204
putusannya berupa hukuman pidana maka minimal adalah 4 (empat) tahun penjara
dan maksimal hukuman mati. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Bapak Agus
Mulyana, SE (I1.3) sebagai berikut:
“Sanksinya tentu pertama dilihat dari hasil asesmen dulu kalau di kita, kalau
putusannya rehabilitasi ya dilihat lagi masuk kategori mana kan, ya berarti
mulai dari pecandu ringan yang tiga bulan sampai pecandu berat satu tahun.
Kalau yang putusannya pidana ya antara 4 tahun sampai hukuman mati
untuk yang tingkat internasional.” (Wawancara dengan I1.3 di BNN Provinsi
Banten pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 di atas, dapat disimpulkan bahwa sanksi hukum
dalam kasus penyalahgunaan narkoba didasarkan pada hasil asesmen yang kemudian
berpengaruh terhadap putusan yang dikeluarkan. Apabila diperoleh putusan
rehabilitasi, maka selanjutnya adalah melihat tingkat kecanduan pada penyalahguna
narkoba tersebut. Apabila diperoleh putusan pidana, maka sanksi hukumnya adalah 4
(empat) tahun penjara dan maksimal hukuman mati untuk kasus di tingkat
internasional.
Pihak lainnya yang juga bertugas sebagai aparat hukum atau penegak hukum
adalah pihak kepolisian dalam hal ini adalah dari Direktorat Reserse Narkoba Polda
Banten, namun pihak kepolisian lebih memfokuskan pada hukuman pidana sesuai
Undang-Undang Narkotika tahun 2009 dan menyesuaikan status penyalahgunaan
narkoba dengan pasal yang akan disangkakan. Bapak Kompol Kosasih SH, MH (I2.1)
dan Bapak BRIPKA Gunawan (I2.2) memberi pernyataan sebagai berikut:
“Untuk sanksi itu variatif tergantung pasal yang dikenakan, untuk pidana itu
minimal 4 tahun dan maksimalnya hukuman mati.” (Wawancara dengan I2.1 di
Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
205
“Sanksinya antara 4 tahun kurungan penjara sampai hukuman mati,
tergantung apakah dia pengguna di pasal 127, memiliki menguasai dan
menyimpan pasal 112 atau pengedar di pasal 114.” (Wawancara dengan I2.2
di Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30
WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.1 dan I2.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa sanksi
hukum khususnya sanksi pidana dalam kasus penyalahgunaan narkoba adalah
minimal 4 (empat) tahun dan maksimal hukuman mati. hukuman tersebut bergantung
pada pasal yang disangkakan sesuai dengan status penyalahgunaan narkoba yang
dilakukan, seperti pasal 112 apabila memiliki menguasai dan menyimpan narkoba,
pasal 127 apabila hanya menggunakan dan pasal 114 apabila mengedarkan narkoba.
Selain BNN dan kepolisian, Kejaksaan juga merupakan pihak penegak hukum
yang memiliki tugas dan kewenangan dalam mendakwakan pasal pada tersangka
kasus penyalahgunaan narkoba setelah melalui proses asesmen di BNN dan juga BAP
di kepolisian. Mengenai sanksi hukum yang diberikan, Bapak Tri Sutrisno, SH (I2.5)
mengungkapkan sebagai berikut:
“Tentu sesuai Undang-Undang dan pasal yang didakwakan, misalnya pasal
112 memiliki itu ada ancamannya minimal 4 tahun dan bisa sampai 15 tahun
atau hukuman mati.” (Wawancara dengan I2.5 di Kejaksaan Tinggi Banten
pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I2.5 di atas, pihak kejaksaan sebagai pihak yang
bertugas mendakwakan hukuman pada penyalahguna narkoba, menjelaskan bahwa
sanksi hukum yang diberikan adalah sesuai dengan Undang-Undang dan pasal yang
didakwakan yaitu dengan ancaman pidana minimal 4 (empat) tahun dan maksimal
hukuman mati.
206
Dari beberapa pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa sanksi hukum
dalam kasus penyalahgunaan narkoba yaitu disesuaikan dengan pasal yang
didakwakan, dan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 terdapat dua jenis
putusan yaitu rehabilitasi atau hukuman pidana. Untuk rehabilitasi disesuaikan
dengan kategori penyalahgunaan narkoba dengan jangka waktu 3 (tiga) sampai
dengan 1 (satu) tahun, sedangkan untuk hukuman pidana penjara adalah minimal 4
(empat) tahun sampai dengan hukuman mati.
Setelah diketahui apa yang menjadi dasar hukum dan sanksi hukum yang
diterima dalam kasus penyalahgunaan narkoba, perlu diketahui juga siapa saja pihak
yang berkoordinasi dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkoba untuk
kemudian diketahui masing-masing peran dari pihak yang terlibat. Bapak Sugino SE,
MH (I1.1) selaku Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN
Provinsi Banten menjelaskannya sebagai berikut :
“Ya kordinasi kita jalan baik dengan Polda kaitan dengan tahanan, terus
juga dengan Kemenkumham jalan terus karena itu merupakan mitra kerja
yang memang mengurusi narkotika dan ada mekanisme-mekanisme yang
memang ada sinergitas antara aparat penegak hukum dengan dinas-dinas
terkait.” (Wawancara dengan I1.1 di BNN Provinsi Banten pada 19 Juni 2017
pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa pihak yang
berkoordinasi dalam penegakan hukum kasus penyalahgunaan narkoba adalah pihak
kepolisian dalam hal ini di tingkat provinsi adalah Polda Banten untuk kaitannya
dengan tahanan, selain itu koordinasi dilakukan dengan Kemenkumham sebagai
207
aparat hukum yang menjadi mitra kerja BNN Provinsi Banten untuk mengurusi
permasalahan narkotika.
Pernyataan lain disampaikan Bapak Abdul Majid, SH, MH (I1.2) selaku
Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
“Koordinasinya dengan kepolisian khususnya, kemudian dengan Korps Polisi
Militer untuk berantas karena terkait tindak pidana yang dilakukan baik oleh
masyarakat sipil atau militer. Selain itu juga dengan kejaksaan terkait
penyidikan, kalau untuk tindakan di lapangan itu dengan kepolisian Polda
Polres Polsek, kemudian Lapas juga.” (Wawancara dengan I1.2 di BNN
Provinsi Banten pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.2 di atas, pihak yang terlibat dan berkoordinasi
dengan BNN Provinsi Banten dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkoba
adalah pihak kepolisian yaitu dari Polda, Polres dan Polsek, kemudian Korps Polisi
Militer dan juga Lapas untuk kegiatan pemberantasan atau tindakan di lapangan,
selain itu juga dengan kejaksaan untuk penyidikan kasus penyalahgunaan narkoba.
Pihak-pihak tersebut lebih berkaitan pada kegiatan pemberantasan penyalahgunaan
maupun peredaran gelap narkoba. Sedangkan yang kaitannya dengan rehabilitasi
dijelaskan Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3) selaku Kepala Bidang Rehabilitasi BNN
Provinsi Banten sebagai berikut:
“Kalau dari sisi hukumnya itu Kejaksaan, kepolisian (Polda), dan
Kemenkumham yang tadi kaitannya dengan Lapas baik pada saat asesmen
atau untuk pelaksanaan rehab yang kita adakan di Lapas itu.” (Wawancara
dengan I1.3 di BNN Provinsi Banten pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 di atas, pihak yang terlibat dan berkoordinasi
dengan BNN Provinsi Banten dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkoba
208
khususnya dengan kaitan proses rehabilitasi adalah dari Kejaksaan, pihak Kepolisian
dan juga Kemenkumham untuk kaitannya dengan Lapas. Pihak-pihak tersebut adalah
pihak yang berkoordinasi dalam melakukan asesmen hukum sebagai bahan
pertimbangan untuk proses rehabilitasi, khusus untuk Kemenkumham juga untuk
pelaksanaan rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan.
Dari beberapa pernyataan pihak BNN Provinsi Banten I1.1 I1.2 dan I1.3 di atas,
dapat disimpulkan bahwa pihak yang terlibat dan berkoordinasi dengan BNN
Provinsi Banten dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkoba adalah pihak
kepolisian yaitu dari Korps Polisi Militer, Polda, Polres dan Polsek untuk kaitannya
dengan tahanan, kegiatan pemberantasan maupun proses asesmen hukum, selain itu
juga dengan Kejaksaan untuk proses penyidikan atau asesmen hukum, dengan
Kemenkumham untuk kaitannya dengan Lembaga Pemasyarakatan, dalam proses
asesmen hingga penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan.
Hal senada juga disampaikan Bapak Arif (I1.5) selaku Mitra Bidang Pencegahan dan
Pemberdayaan Mayarakat BNN Provinsi Banten sebagai berikut :
“Ini ada yang namanya peraturan bersama. Peraturan bersama itu terdiri
dari Polda, BNN, Kejaksaan Tinggi, Pengadilan dan Kanwilkumham.
Peraturan bersama ini untuk menyikapi dan membedakan dia adalah user,
kurir, atau bandar. Kalau user sehingga putusan pengadilan adalah di
rehabilitasi, tetapi kalau misalnya dia kurir ataupun bandar terbukti dengan
barang bukti yang cukup memberatkan maka dia vonisnya adalah penjara.”
(Wawancara dengan I1.5 di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang pada 5
Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.5 di atas, dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak
yang terlibat dan berkoordinasi dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkoba
209
disebut dalam peraturan bersama yang terdiri dari pihak Kepolisian, BNN, Kejaksaan,
Pengadilan dan Kemenkumham, seluruh pihak tersebut berperan dalam penegakan
hukum dengan disesuaikan pada status penyalahguna narkoba. Salah satu pihak yang
berkoordinasi adalah pihak kepolisian, namun pihak kepolisian lebih memfokuskan
pada pihak penegak hukum untuk kaitannya dengan proses hukum pidana seperti
pernyataan Bapak Kompol Kosasih SH, MH (I2.1) dan Bapak BRIPKA Gunawan (I2.2)
selaku Kepala Sub Bagian dan Pelaksana Bagian Pembinaan dan Operasional
(Binopsnal) Kepolisian Daerah Provinsi Banten sebagai berikut:
“Selain BNN ada namanya Criminally Justice System yaitu Pengadilan,
Kejaksaan dan Kemenkumham.” (Wawancara dengan I2.1 di Direktorat
Reserse Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
“Koordinasinya dengan Kejaksaan, Pengadilan dan Kemenkumham.”
(Wawancara dengan I2.2 di Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten pada 5
Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Dari pernyataan I2.1 dan I2.2, pihak yang berkoordinasi dalam penegakan
hukum penyalahgunaan narkoba adalah pihak BNN dan yang disebut dengan
Criminally Justice System yaitu Pengadilan, Kejaksaan dan Kemenkumham sebagai
pihak penegak hukum. Pihak Kepolisian dan BNN adalah pihak yang terlihat
memiliki kesamaan tugas dan wewenang dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba, namun terdapat satu perbedaan wewenang
antara Kepolisian dan BNN, seperti yang dijelaskan Bapak Agus Mulyana, SE (I1.3)
selaku Kepala Bidang Rehabilitasi BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
210
“Kalau BNN dengan Polda ya. Polda bisa melakukan penyuluhan, Polda bisa
mengadakan operasi, Polda bisa melaksanakan penyidikan, cuma Polda ga
ada tempat untuk rehabilitasi, itu saja bedanya. Kalau BNN juga sosialisasi
iya, operasi juga iya, penyidikan juga iya, rehabilitasi pun bisa. Makanya
kalau di Polda tuh tugas pokoknya waktu saya disana ya, prehentif, preventif,
dan represif. Kalau di kita prehentif, preventif, represif dan kuratif. Jadi
Polda tidak memiliki itu yang ke empat.” (Wawancara dengan I1.3 di BNN
Provinsi Banten pada 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB)
Hal senada juga disampaikan Bapak Kompol Kosasih SH, MH (I2.1) sebagai berikut:
“Perbedaannya itu kita tidak bisa merehab, kalau BNN bisa merehab,
selebihnya sama.” (Wawancara dengan I2.1 di Direktorat Reserse Narkoba
Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
Berdasarkan pernyataan I1.3 dan I2.1 di atas, dapat disimpulkan bahwa
perbedaan wewenang antara BNN Provinsi Banten dengan Polda Banten dalam
penegakan hukum upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba
adalah dalam memberikan pelayanan rehabilitasi dimana BNN memiliki kewenangan
dan sarana prasarana untuk pelaksanaan rehabilitasi, sedangkan pihak kepolisian
tidak memiliki kewenangan untuk menyelenggarakannya atau secara rinci tugas dan
kewenangan BNN adalah prehentif, preventif, represif dan kuratif sedangkan pihak
kepolisian adalah prehentif, preventif dan represif. Namun dalam pelaksanaannya
terdapat permasalahan yaitu pihak kepolisian dalam beberapa kasus penyalahgunaan
narkoba tidak mengkoordinasikan untuk dapat dilakukannya proses rehabilitasi
dengan terlebih dahulu melakukan asesmen, pihak kepolisian cenderung
mengarahkan untuk ditindak secara hukum pidana meskipun dengan status pengguna,
seperti yang dipaparkan oleh Bapak Abdul Majid, SH, MH (I1.2) selaku Kepala
Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Banten sebagai berikut:
211
“Jadi gini, kadang-kadang dari pihak lain itu cuma pemakai saja dimajukan,
memang itu bisa kaya dikepolisian, itu hak dari penyidik memang. Pernah
saya melakukan koordinasi dengan salah satu instansi dan menanyakan
kenapa tidak pernah melakukan pengiriman korban pecandu narkotika ke
BNN, ada salah satu Polres ya. Ternyata mereka dimajukan terus, masalah
mau di rehab atau tidak itu urusan jaksa. Ada yang begitu meskipun barang
buktinya sedikit dan itu diterima juga oleh kejaksaan. Tapi kalau kita kan ada
faktor kemanusiaan, bahwa itu adalah salah satu korban kejahatan narkotika
yang perlu kita bina, perlu di rehabilitasi, perlu diobati, itu pandangan dari
pihak BNN.” (Wawancara dengan I1.2 di BNN Provinsi Banten pada 5 Juli
2017 pukul 11.40 WIB)
Dari pernyataan I1.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah yang timbul
dari hampir serupanya kewenangan antara BNN dengan kepolisian diantaranya
adalah keputusan pihak kepolisian dalam penanganan kasus penyalahgunaan narkoba,
yaitu pada saat pihak kepolisian memutuskan untuk memajukan kasus
penyalahgunaan narkoba melalui proses hukum meskipun status penyalahgunaannya
sebagai pemakai atau pengguna narkoba dengan barang bukti sedikit yang seharusnya
terlebih dahulu mengkoordinasikan dengan pihak BNN dan pihak terkait lainnya
untuk dapat dilakukannya asesmen guna kemudian dilihat dan ditentukan apakah
seseorang tersebut dapat menerima rehabilitasi atau melalui proses pidana. Hal
tersebut seharusnya tidak terjadi apabila tindakan yang dilakukan sesuai dengan
proses penegakan hukum dalam kasus penyalahgunaan narkoba sebagaimana
mestinya. Kompol Kosasih SH, MH (I2.1) menjelaskan proses hukum yang dilakukan
Polda Banten dalam kasus penyalahgunaan narkoba sebagai berikut:
“Pertama tersangka itu kita BAP kita gali keterangannya, kemudian kita
tentukan pasal, apabila dia hanya pemakai kita kenakan pasal 127 kemudian
bisa kita rekomendasi untuk asesmen di BNN, hasil asesmen itu dijadikan
bahan pertimbangan jaksa selanjutnya.” (Wawancara dengan I2.1 di
Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten pada 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB)
212
Berdasarkan pernyataan I2.1, proses hukum dalam kasus penyalahgunaan
narkoba di Polda Banten adalah dengan terlebih dahulu melakukan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) pada tersangka penyalahguna narkoba untuk menggali
keterangan mengenai penyalahgunaan yang telah dilakukan untuk kemudian dapat
ditentukan pasal yang sesuai. Apabila tersangka dikenakan pasal 127 yaitu dengan
status sebagai pengguna narkoba, maka pihak kepolisian merekomendasikan asesmen
kepada pihak BNN yang juga menjadi bahan pertimbangan jaksa untuk dakwaan
yang akan diberikan. Proses selanjutnya adalah pada pihak kejaksaan, yaitu
menyusun dakwaan yang disesuaikan dengan BAP ataupun hasil asesmen (apabila
berstatus pengguna) untuk kemudian dapat dibuktikan dalam persidangan, seperti
yang diungkapkan Bapak Tri Sutrisno, SH (I2.5) sebagai berikut:
“Setelah P21 dan penyerahan barang bukti, kami akan menyusun dakwaan
sesuai apa yang ada dalam berkas kepolisian, setelah dakwaan sempurna
lengkap dan jelas kita limpahkan ke pengadilan. Disanalah kita harus
buktikan dakwaan kita, apa yang ada dalam BAP dan kita dakwakan itu kita
buktikan di persidangan. Nanti kita hadirkan terdakwa, saksi, barang bukti
dan lima alat bukti yaitu petunjuk surat dan keterangan terdakwa itu sendiri.
Kita berusaha meyakinkan hakim bahwa si terdakwa benar melakukan
perbuatan pidana sesuai yang didakwakan. Dari situ proses pembuktian dan
kemudian hakim membuat putusan sesuai pasal yang kita dakwakan, bisa
pasal 114, 112, 127 atau pasal yang lainnya.” (Wawancara dengan I2.5 di
Kejaksaan Tinggi Banten pada 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB)
Berdasarkan keterangan I2.5 di atas, proses hukum dalam kasus
penyalahgunaan narkoba setelah dilakukannya BAP dan berstatus P21 yang artinya
berkas lengkap, maka dilakukan penyerahan barang bukti dari pihak kepolisian.
Setelah itu pihak kejaksaan melakukan penyusunan dakwaaan sesuai BAP tersebut
untuk kemudian dilimpahkan ke pengadilan dan dakwaan tersebut dibuktikan dalam
213
persidangan. Pembuktian tersebut yang dijadikan pertimbangan oleh hakim untuk
kemudian memberikan putusan dan vonis hukum sesuai pasal yang didakwakan.
Dari data lapangan yang telah dijelaskan di atas, peneliti dapat menarik
kesimpulan bahwa dari aspek Law Enforcement (Penegakan Hukum) dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba mengacu pada Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika, namun untuk Badan Narkotika Nasional yang
dijadikan acuan adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang merupakan revisi atas Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.
Sanksi hukum dalam kasus penyalahgunaan narkoba terbagi menjadi dua
putusan yaitu rehabilitasi dan putusan pidana. Putusan rehabilitasi diberikan apabila
status penyalahgunaan narkoba adalah sebagai pengguna dan memiliki kecanduan
terhadap narkoba, dengan jangka waktu yang didasarkan pada hasil asesmen baik
secara hukum maupun medis dengan melihat riwayat penyalahgunaan narkoba dan
tingkat kecanduan pada penyalahguna narkoba tersebut. Sedangkan putusan pidana
diberikan pada penyalahguna narkoba yang terlibat jaringan sindikat narkoba dengan
sanksi hukumnya adalah minimal 4 (empat) tahun penjara dan maksimal hukuman
mati untuk kasus di tingkat internasional.
214
4.4 Pembahasan
Pembahasan merupakan isi dari hasil analisis data dan fakta yang peneliti
dapatkan di lapangan serta disesuaikan dengan teori yang digunakan dalam penelitian
ini. Pembahasan hasil penelitian ini dilakukan untuk memberikan penjelasan terhadap
hasil yang diperoleh selama penelitian berlangsung.
Dari pemaparan di atas mengenai gambaran umum analisis Strategi dalam
Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan
Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan
upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba masih banyak yang
harus dikaji ulang baik dari internal organisasi maupun seluruh stakeholder yang
berada dilingkungan Provinsi Banten sehingga perlu analisis yang lebih mendalam.
Berdasarkan identifikasi permasalahan yang peneliti temui, peneliti masih
mengamati diantaranya belum optimalnya diseminasi informasi mengenai bahaya
narkoba yang dilakukan bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat (P2M),
belum adanya alat yang dapat menunjukkan derajat toksinasi penggunaan narkoba
serta belum tersedianya sarana dan prasarana untuk pelaksanaan rehabilitasi rawat
inap milik pemerintah baik di BNN Provinsi Banten maupun di seluruh wilayah
Provinsi Banten.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu kiranya menganalisis lebih
mendalam untuk menentukan strategi yang tepat dalam mengatasi permasalahan
215
dalam upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba. Dalam
penelitian berjudul Strategi Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya
Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba, peneliti menggunakan
teori The Four Pillar Drug Strategy yang diadapsi dari N.E.W Mental Health
Connection (2016) dimana terdapat empat dimensi yaitu Prevention
(Pencegahan), Treatment (Pengobatan), Harm Reduction (Pengurangan Dampak
Buruk), dan Law Enforcement (Penegakan Hukum).
4.4.1 Prevention (Pencegahan)
Prevention (Pencegahan) merupakan salah satu aspek penting yang berguna
untuk mencegah penggunaan berbahaya dari narkoba. Berdasarkan hasil analisis data
dan fakta yang peneliti dapatkan di lapangan, BNN Provinsi Banten memiliki
program kegiatan pencegahan diri yang terdiri dari advokasi dan diseminasi
informasi.
Dari sisi pemerintah, advokasi dilakukan dengan pihak Kepolisian Daerah
(Polda) Banten, Dinas Sosial Provinsi Banten, Dinas Kesehatan Provinsi Banten, dan
Kemenkumham Kanwil Banten khususnya di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan
serta melibatkan penggiat atau relawan dari masyarakat yang dijadikan mitra untuk
membantu tugas BNN secara teknis di lapangan serta untuk mensinergikan seluruh
bidang karena sering terlihat bahwa bidang pemberantasan lebih mendominasi
kegiatan BNN. Sedangkan diseminasi informasi dilakukan melalui media cetak,
216
media elektronik dan juga KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) melalui kegiatan
sosialisasi bahaya penyalahgunaan narkoba untuk mempengaruhi masyarakat agar
mengetahui bahaya narkoba. Selain itu juga dilakukan kegiatan pemberdayaan
masyarakat dengan mengajak dan memberdayakan masyarakat untuk membuat
lingkungan yang bersih dari narkoba, baik di lingkungan masyarakat umum, instansi
pemerintah, swasta maupun lingkungan pendidikan seperti sekolah dan universitas.
Namun dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat, terdapat beberapa masalah seperti belum optimalnya diseminasi
informasi yaitu kegiatan KIE lebih banyak dilakukan atas permintaan dari
sekolah/universitas, instansi pemerintah maupun dalam kegiatan-kegiatan lainnya
yang diselenggarakan masyarakat, bukan didasarkan pada program rutin yang dibuat
dan diselenggarakan oleh BNN Provinsi Banten, selain itu diseminasi informasi
melalui media elektronik dan media sosial juga tidak dimanfaatkan secara optimal
diantaranya penggunaan website yang pasif dan tidak dimilikinya media sosial lain
padahal media tersebut dapat dijadikan sebagai bentuk publikasi pada masyarakat
agar masyarakat lebih mengetahui peran-peran BNN Provinsi Banten yang dapat
dilakukan secara langsung pada masyarakat. Kedua, tidak adanya materi atau
informasi yang seharusnya dapat dibaca dan digunakan masyarakat untuk
memperoleh informasi dan pemahaman mengenai narkoba dan bahaya narkoba
sebagai bentuk pencegahan dini dari masyarakat karena tidak semua kegiatan
pencegahan langsung seperti sosialisasi dapat diakses oleh masyarakat, permasalahan
217
lainnya adalah kurangnya skill BNN Provinsi Banten dalam membuat strategi
komunikasi khususnya pada situasi anak muda untuk mengkomunikasikan dan
menginformasikan bahaya narkoba, pihak BNN Provinsi Banten masih terkesan kaku
dan hanya terfokus pada kebijakan hukum seperti Undang-Undang Narkotika yang
justru masyarakat merasa sulit untuk memahami bahaya narkoba dalam kehidupan
sehari-hari. Untuk daerah di Provinsi Banten yang menjadi daerah rawan dan
memiliki angka penyalahgunaan narkoba tertinggi adalah Kota Tangerang.
4.4.2 Treatment (Pengobatan)
Treatment (pengobatan) dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba dilakukan untuk mendorong seseorang dengan masalah
kecanduan narkoba untuk tidak kembali menggunakan narkoba dan membuat
keputusan yang sehat tentang kehidupan mereka dengan cara wawancara ataupun
program pengobatan lainnya.
Berdasarkan hasil analisis data dan fakta yang peneliti dapatkan di lapangan,
dari aspek Treatment (pengobatan) BNN Provinsi Banten lebih fokus pada
rehabilitasi untuk memperbaiki kondisi mental dan juga fisik pada penyalahguna
narkoba. Pelayanan rehabilitasi tersebut dilakukan di Klinik Pratama BNN Provinsi
Banten, namun pelayanan yang diberikan hanya rehabilitasi rawat jalan dengan
metode Theraupeutic Community yang tergolong rehabilitasi sosial. Rehabilitasi
diberikan pada penyalahguna narkotika yang memiliki masalah kecanduan dan
dikategorikan sebagai pecandu ringan yang berkisar 1 (satu) sampai dengan 7 (tujuh)
218
kali pemakaian dan pecandu sedang untuk pemakaian selama 8 (delapan) sampai
dengan 39 (tiga puluh sembilan) kali, sedangkan untuk pecandu berat dengan jumlah
pemakaian lebih dari 40 (empat puluh) kali pemakaian harus dilakukan rehabilitasi
rawat inap di Balai Rehabilitasi BNN di Lido Sukabumi. Hal tersebut juga yang
menjadi kendala dalam pemberian layanan rehabilitasi karena sarana dan prasarana
untuk layanan rehabilitasi rawat inap seperti balai rehabilitasi dan rumah sakit jiwa
belum ada di Provinsi Banten, kendala lainnya adalah kurangnya Sumber Daya
Manusia baik di Klinik Pratama yang memberikan layanan rehabilitasi maupun
bidang lainnya yaitu bidang pencegahan dan pemberdayaan masyarakat serta bidang
pemberantasan yang berpengaruh terhadap pelaksanaan upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba yang dilakukan BNN Provinsi Banten.
Terdapat empat sumber seseorang dapat mengajukan untuk dilakukannya
rehabilitasi, yang pertama adalah penyalahguna narkotika yang mengajukan diri
secara langsung ke BNN Provinsi Banten karena BNN Provinsi Banten sebagai
Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang berarti dapat memberikan pelayanan
berdasarkan laporan masyarakat salah satunya untuk rehabilitasi dengan syarat
membawa identitas diri dan keluarga, kedua adalah dari hasil operasi yang dilakukan
pihak BNN Provinsi Banten, ketiga dari penyerahan pihak kepolisian baik Polda
maupun Polres dengan syarat melampirkan Berita Acara Perkara (BAP) dan bukti
serah terima klien, dan yang terakhir adalah penyerahan dari kejaksaan setelah
diperoleh hasil vonis pengadilan yang menerangkan bahwa terpidana berhak
menerima rehabilitasi dari BNN dengan melampirkan BA 17.
219
Tolak ukur dalam penentuan jangka waktu dan jenis rehabilitasi yang harus
dijalani pengguna narkotika adalah berdasarkan hasil proses asesmen, yaitu riwayat
penyalahgunaan narkotika yang telah dilakukan diantaranya jumlah pemakaian
narkotika dan kondisi fisik dan psikis orang tersebut. Namun jangka waktu proses
rehabilitasi tidak dapat dipastikan melinkan disesuaikan dengan perubahan perilaku
klien selama masa rehabilitasi, kecuali klien dengan status vonis pengadilan maka
disesuaikan dengan vonis yang telah ditetapkan. Setelah proses tersebut selesai
dijalani, dilanjutkan dengan kegiatan pascarehabilitasi dan pembinaan lanjut yang
biasnya dilakukan dengan pemantauan lingkungan ke rumah ataupun tempat kerja
klien.
Pelayanan rehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi Banten ternyata tidak
saja dilakukan di Klinik Pratama milik BNN Provinsi Banten, tetapi juga dilakukan di
Lembaga Pemasyarakatan di wilayah Provinsi Banten melalui kerjasama dengan
Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) Kantor Wilayah Banten. Pelayanan
rehabilitasi diberikan pada warga binaan pemasyarakatan kasus narkoba di Lembaga
Pemasyaratan yang ditunjuk oleh Kemenkumham Kanwil Banten untuk
melaksanakan kegiatan rehabilitasi dengan metode yang sama yaitu melalui
konseling. Sedangkan untuk SDM dilibatkan dari kedua belah pihak yaitu tenaga ahli
BNN Provinsi Banten sebagai konselor dan dibantu juga oleh tenaga medis dari
Lembaga Pemasyarakatan yang sebelumnya telah diberikan pelatihan.
Permasalahan lainnya adalah BNN Provinsi Banten belum memiliki alat yang
dapat mengukur derajat toksinasi penggunaan narkotika dan hingga saat ini penilaian
220
penggunaan narkotika hanya dilakukan dengan menggali keterangan klien pada saat
asesmen serta tes urine yang hanya dapat mengetahui positif atau negatif penggunaan
narkotika, sedangkan untuk mengetahui lebih dalam mengenai penggunaan narkotika,
pihak BNN Provinsi Banten merujuk pasien untuk dilakukan pemeriksaan ke
laboratorium BNN RI atau pusat dengan metode Gas Cromatografy Mass
Spectrometry.
Setelah dilakukannya proses rehabilitasi, selanjutnya dilakukan kegiatan
pascarehabilitasi sebagai bentuk pengobatan dan persiapan mental dalam menghadapi
lingkungan dan agar benar-benar terhindar dari narkoba yang terdiri dari seminar
pengembangan diri, FSG (Family Support Group) dan vocational dalam bentuk
pembinaan pembentukan keahlian atau keterampilan. Kegiatan tersebut dilakukan di
BNN Provinsi Banten dan di rumah damping dengan berkoordinasi dengan beberapa
instansi pemerintah seperti Dinas Sosial Provinsi Banten, Balai Pemasyarakatan,
Balai Latihan Kerja Industri (BLKI) dan juga masyarakat sebagai pelatih dalam
kegiatan pembinaan life skill serta untuk mendukung baik dari sarana maupun
prasarana dalam pelaksanaan kegiatan pascarehabilitasi.
BNN Provinsi Banten sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) tidak
memberikan perbedaan layanan pada klien yang datang sendiri untuk melakukan
rehabilitasi dengan yang merupakan penyerahan dari instansi, kecuali pada metode
rehabilitasi karena memang metode yang digunakan didasarkan pada rancangan terapi
yang dibuat pada masing-masing individu saat selesai proses asesmen, sedangkan
mekanisme yang digunakan bagi penyalahguna narkoba yang sedang dalam proses
221
hukum kemudian direkomendasikan untuk menjalani tahapan untuk dapat dilakukan
rehabilitasi adalah melalui tahapan asesmen terlebih dahulu oleh Tim Asesmen
Terpadu (TAT) yang terdiri dari pihak kepolisian, penyidik BNN, penyidik kejaksaan
dan penyidik dari kemenkumham untuk kaitannya dengan Lapas.
4.4.3 Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk)
Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk) dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba memfokuskan pada bahaya narkoba
terhadap individu dan masyarakat dari penjualan dan penggunaan narkoba.
Berdasarkan hasil analisis data dan fakta yang peneliti dapatkan di lapangan,
dari aspek Harm Reduction atau sebagai upaya pengurangan dampak buruk bagi
penyalahguna narkoba belum dilakukan oleh pihak BNN Provinsi Banten meskipun
peraturan terkait pelaksanaan program kegiatan ini telah diatur dalam Keputusan
Menteri Kesehatan (Kepmenkes), yaitu Kepmenkes No. 567/MENKES/SK/VIII/2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk NAPZA yang seharusnya
dapat dijadikan acuan untuk membuat strategi dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten. BNN Provinsi Banten
hanya memberikan layanan rehabilitasi rawat jalan dengan metode konseling yang
dianggap sebagai salah satu upaya pengurangan dampak buruk bagi penyalahguna
narkotika, disisi lain juga BNN Provinsi Banten melakukan kegiatan pemberantasan
narkoba untuk mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan dari peredaran gelap
narkoba.
222
Program harm reduction atau program upaya pengurangan dampak buruk bagi
penyalahguna narkoba adalah program yang bertujuan untuk mengendalikan
ketergantungan seseorang terhadap narkotika serta untuk mengurangi dampak buruk
terjadinya penularan HIV/AIDS yang dapat dilakukan melalui Program Terapi
Rumatan Metadon (PTRM) dengan mengganti narkotika nonsintesis menjadi
narkotika sintesis metadone dan juga melalui Layanan Alat Suntik Steril (LAS)
dengan memberikan alat suntik yang bertujuan untuk mengurangi dampak
penyebaran virus penyakit salah satunya HIV/AIDS yang dapat tersebar melalui alat
suntik yang digunakan secara berbarengan.
4.4.4 Law Enforcement (Penegakan Hukum)
Law Enforcement (Penegakan Hukum) dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba dilakukan oleh BNN Provinsi Banten dan
aparat hukum untuk ketertiban umum dan keamanan masyarakat.
Berdasarkan hasil analisis data dan fakta yang peneliti dapatkan di lapangan,
dari aspek Law Enforcement (Penegakan Hukum) mengacu pada Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika, namun untuk Badan Narkotika Nasional yang dijadikan acuan
adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan
revisi atas Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 Tentang Narkotika.
223
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memasukan satu
butir tujuan baru mengenai rehabilitasi baik secara medis maupun sosial bagi pecandu
dan panyalahguna narkotika. Pasal-pasal yang mengatur rehabilitasi bagi pecandu dan
panyalahguna narkotika adalah Pasal 4 huruf d, Pasal 54, Pasal 103 ayat (1), Pasal
127 ayat (1) huruf a, b, dan c, Pasal 127 ayat (2), dan Pasal 127 ayat (3).
Sanksi hukum dalam kasus penyalahgunaan narkoba terbagi menjadi dua
putusan yaitu rehabilitasi dan putusan pidana. Putusan rehabilitasi diberikan apabila
status penyalahgunaan narkoba adalah sebagai pengguna dan memiliki kecanduan
terhadap narkoba, dengan jangka waktu yang didasarkan pada hasil asesmen baik
secara hukum maupun medis dengan melihat riwayat penyalahgunaan narkoba dan
tingkat kecanduan pada penyalahguna narkoba tersebut. Sedangkan putusan pidana
diberikan pada penyalahguna narkoba yang terlibat jaringan sindikat narkoba dengan
sanksi hukumnya adalah minimal 4 (empat) tahun penjara dan maksimal hukuman
mati untuk kasus di tingkat internasional. Namun dalam proses penegakan hukum
kasus penyalahgunaan narkoba terdapat permasalahan yang berkaitan dengan
wewenang antara BNN dengan pihak kepolisian. Kewenangan BNN adalah prehentif,
preventif, represif dan kuratif sedangkan pihak kepolisian adalah prehentif, preventif
dan represif, yang artinya BNN memiliki kewenangan khusus untuk pelaksanaan
rehabilitasi, sedangkan pihak kepolisian tidak memiliki kewenangan tersebut.
Permasalahan yang timbul adalah ketika pihak kepolisian dalam beberapa kasus
penyalahgunaan narkoba tidak mengkoordinasikan untuk dapat dilakukannya proses
224
rehabilitasi, pihak kepolisian cenderung mengarahkan untuk ditindak secara hukum
pidana meskipun dengan status sebagai pemakai atau pengguna narkoba dengan
barang bukti sedikit yang seharusnya dapat direkomendasikan untuk dilakukannya
asesmen guna kemudian dilihat dan ditentukan apakah seseorang tersebut dapat
menerima rehabilitasi atau melalui proses pidana.
Pihak yang terlibat dan berkoordinasi dengan BNN Provinsi Banten dalam
penegakan hukum penyalahgunaan narkoba adalah pihak kepolisian yaitu dari Korps
Polisi Militer, Polda, Polres dan Polsek untuk kaitannya dengan tahanan, kegiatan
pemberantasan maupun proses asesmen hukum, selain itu juga dengan Kejaksaan
untuk proses penyidikan atau asesmen hukum, dengan Kemenkumham untuk
kaitannya dengan Lembaga Pemasyarakatan, dalam proses asesmen hingga
penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi di Lembaga Pemasyarakatan.
Proses hukum dalam kasus penyalahgunaan narkoba oleh pihak kepolisian
adalah dengan terlebih dahulu melakukan penyidikan dalam pembuatan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP) pada tersangka penyalahguna narkoba untuk menggali
keterangan mengenai penyalahgunaan yang telah dilakukan untuk kemudian dapat
ditentukan pasal yang sesuai. Apabila tersangka dikenakan pasal 127 yaitu dengan
status sebagai pengguna narkoba, maka pihak kepolisian dapat merekomendasikan
untuk dilakukannya asesmen kepada pihak BNN yang juga menjadi bahan
pertimbangan jaksa untuk dakwaan yang akan diberikan. Proses selanjutnya adalah
pada pihak kejaksaan, yaitu menyusun dakwaan yang disesuaikan dengan BAP
225
ataupun hasil asesmen (apabila berstatus pengguna) untuk kemudian dapat dibuktikan
dalam persidangan.
Tabel 4.7
Rekapitulasi Pembahasan
No Dimensi Temuan Lapangan
1 Prevention
(Pencegahan)
1. Pencegahan dilakukan dengan program kegiatan
pencegahan diri yang terdiri dari advokasi dan
diseminasi. Pelaksanaan advokasi dilakukan dengan
berkoordinasi baik dengan instansi pemerintah,
swasta maupun relawan atau penggiat yang
dijadikan mitra. Sedangkan diseminasi dilakukan
melalui media cetak, media elektronik dan juga
KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) melalui
kegiatan sosialisasi bahaya penyalahgunaan
narkoba untuk mempengaruhi masyarakat agar
mengetahui bahaya narkoba.
2. Kegiatan dalam rangka upaya pemberdayaan
masyarakat di Provinsi Banten dilakukan dengan
mengajak dan memberdayakan masyarakat untuk
membuat lingkungan yang bersih dari narkoba, baik
di lingkungan masyarakat umum, instansi
pemerintah, swasta maupun lingkungan pendidikan
seperti sekolah dan universitas.
3. Pihak yang berkoordinasi dalam kegiatan
pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi
Banten terdiri dari instansi pemerintah, swasta dan
relawan atau penggiat yang dijadikan mitra.
Instansi pemerintah yang terlibat adalah Kepolisian
Daerah (Polda) Banten, Dinas Sosial Provinsi
Banten, Dinas Kesehatan Provinsi Banten, dan
Kemenkumham Kanwil Banten khususnya di
lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.
4. Penggiat atau mitra BNN Provinsi Banten memiliki
226
peran membantu tugas BNN secara teknis di
lapangan serta untuk mensinergikan seluruh bidang
karena sering terlihat bahwa bidang pemberantasan
lebih mendominasi kegiatan BNN.
5. Sasaran dalam kegiatan pencegahan dan
pemberdayaan masyarakat penyalahgunaan narkoba
di Provinsi Banten adalah seluruh elemen
masyarakat baik dari kalangan pelajar/mahasiswa,
pegawai instansi pemerintah maupun swasta serta
masyarakat umum.
6. Kegiatan pencegahan langsung lebih banyak
dilakukan atas permintaan dari sekolah/universitas,
instansi pemerintah maupun dalam kegiatan-
kegiatan lainnya yang diselenggarakan masyarakat,
bukan didasarkan pada program rutin yang dibuat
dan diselenggarakan oleh BNN Provinsi Banten.
7. Media yang digunakan dalam diseminasi informasi
bahaya narkoba seharusnya meliputi KIE
(Komunikasi Informasi dan Edukasi) melalui
kegiatan pencegahan langsung seperti sosialisasi
dan seminar, media cetak dan media elektronik
termasuk media sosial. Namun dalam
pelaksanaannya, kegiatan KIE lebih banyak
dilakukan atas permintaan seperti yang telah
disebutkan dalam point sebelumnya, selain itu
diseminasi informasi juga tidak dilakukan
diantaranya melalui website, padahal media
tersebut dapat dijadikan sebagai bentuk publikasi
pada masyarakat agar masyarakat lebih mengetahui
peran-peran BNN Provinsi Banten yang dapat
dilakukan secara langsung pada masyarakat. Kedua,
tidak adanya materi atau informasi yang seharusnya
dapat dibaca dan digunakan masyarakat untuk
memperoleh informasi dan pemahaman mengenai
narkoba dan bahaya narkoba sebagai bentuk
pencegahan dini dari masyarakat karena tidak
semua kegiatan pencegahan langsung seperti
227
sosialisasi dapat diakses oleh masyarakat.
8. Kurangnya skill BNN Provinsi Banten dalam
membuat strategi komunikasi khususnya pada
situasi anak muda dimana selama ini BNN Provinsi
Banten masih terkesan kaku dan hanya terfokus
pada kebijakan hukum seperti Undang-Undang
Narkotika yang justru masyarakat merasa sulit
untuk memahami bahaya narkoba dalam kehidupan
sehari-hari.
9. Daerah di Provinsi Banten yang menjadi daerah
rawan dan memiliki angka penyalahgunaan narkoba
tertinggi adalah Kota Tangerang.
2 Treatment
(Pengobatan)
1. Pelayanan rehabilitasi dilakukan di Klinik Pratama
BNN Provinsi Banten.
2. Jenis pelayanan rehabilitasi yang diberikan BNN
Provinsi Banten adalah rehabilitasi rawat jalan yang
diperuntukan bagi pecandu dan korban
penyalahguna narkoba kategori ringan dan sedang
dengan metode Theraupeutic Community yang
tergolong rehabilitasi sosial.
3. BNN Provinsi Banten tidak dapat memberikan
rehabilitasi rawat inap karena belum dimilikinya
sarana dan prasarana pendukung seperti balai
rehabilitasi dan rumah sakit jiwa. Untuk pecandu
berat dengan jumlah pemakaian lebih dari 40
(empat puluh) kali pemakaian harus dilakukan
rehabilitasi rawat inap di Balai Rehabilitasi BNN di
Lido Sukabumi.
4. BNN Provinsi Banten merasa kekurangan SDM,
baik di Klinik Pratama sebagai pemberi layanan
rehabilitasi maupun di bidang lainnya yaitu bidang
pencegahan dan pemberdayaan masyarakat serta
bidang pemberantasan.
5. Sumber klien rehabilitasi adalah penyalahguna
narkotika yang mengajukan diri secara langsung ke
BNN Provinsi Banten, dari hasil operasi yang
dilakukan pihak BNN Provinsi Banten, dari
228
penyerahan pihak kepolisian baik Polda maupun
Polres dan penyerahan dari kejaksaan setelah
diperoleh hasil vonis pengadilan yang menerangkan
bahwa terpidana berhak menerima rehabilitasi.
6. Syarat seseorang dapat menerima layanan
rehabilitasi adalah melampirkan identitas dan surat
pernyataan diri dan keluarga, bukti serah terima
klien apabila klien penyerahan dari instansi,
melampirkan Berita Acara Perkara (BAP) bagi
penyerahan dari kepolisian, dan melampirkan BA
17 bagi penyerahan dari kejaksaan.
7. Tolak ukur dalam penentuan jangka waktu dan
jenis rehabilitasi yang harus dijalani pengguna
narkotika adalah berdasarkan hasil proses asesmen,
yaitu riwayat penyalahgunaan narkotika yang telah
dilakukan.
8. Jangka waktu dalam proses rehabilitasi juga
ditentukan berdasarkan hasil asesmen, kategori
penyalahgunaa serta perubahan perilaku selama
menjalani proses rehabilitasi.
9. Kegiatan rehabilitasi juga diselenggarakan di
Lembaga Pemasyarakatan di wilayah Provinsi
Banten melalui kerjasama dengan Kementerian
Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kantor
Wilayah Banten dengan metode yang sama dalam
jangka waktu tiga bulan yang dilakukan di tiga
Lapas dalam satu tahun.
10. BNN Provinsi Banten belum memiliki alat yang
dapat mengukur derajat toksinasi penggunaan
narkotika dan hingga saat ini penilaian penggunaan
narkotika hanya dilakukan dengan menggali
keterangan klien pada saat asesmen serta tes urine
yang hanya dapat mengetahui positif atau negatif
penggunaan narkotika.
11. Setelah dilakukannya rehabilitasi secara medis dan
sosial, selanjutnya dilakukan kegiatan
pascarehabilitasi sebagai bentuk pengobatan dan
229
persiapan mental dalam menghadapi lingkungan
yang dilakukan di BNN Provinsi Banten dan di
rumah damping dengan berkoordinasi dengan
beberapa instansi pemerintah seperti Dinas Sosial
Provinsi Banten, Balai Pemasyarakatan, Balai
Latihan Kerja Industri (BLKI) dan juga masyarakat.
3 Harm Reduction
(Pengurangan
Dampak Buruk)
1. Harm Reduction atau sebagai upaya pengurangan
dampak buruk bagi penyalahguna narkoba belum
dilakukan oleh pihak BNN Provinsi Banten.
2. BNN Provinsi Banten hanya memberikan layanan
rehabilitasi rawat jalan dengan metode konseling
yang dianggap sebagai salah satu upaya
pengurangan dampak buruk bagi penyalahguna
narkotika, disisi lain juga BNN Provinsi Banten
melakukan kegiatan pemberantasan narkoba untuk
mengurangi dampak buruk yang ditimbulkan dari
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
4 Law Enforcement
(Penegakan
Hukum)
1. Law Enforcement (Penegakan Hukum)
penyalahgunaan narkoba mengacu pada Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pasal-pasal yang mengatur rehabilitasi bagi
pecandu dan panyalahguna narkotika adalah Pasal 4
huruf d, Pasal 54, Pasal 103 ayat (1), Pasal 127 ayat
(1) huruf a, b, dan c, Pasal 127 ayat (2), dan Pasal
127 ayat (3).
2. Sanksi hukum dalam kasus penyalahgunaan
narkoba terbagi menjadi dua putusan yaitu
rehabilitasi dan putusan pidana.
3. Jangka waktu hukuman rehabilitasi didasarkan pada
hasil asesmen dengan melihat riwayat
penyalahgunaan narkoba dan tingkat kecanduan
pada penyalahguna narkoba tersebut. Sedangkan
putusan pidana adalah minimal 4 (empat) tahun
penjara dan maksimal hukuman mati untuk kasus di
tingkat internasional.
4. Proses penegakan hukum kasus penyalahgunaan
narkoba terdapat permasalahan yang berkaitan
230
dengan wewenang antara BNN dengan pihak
kepolisian, yaitu ketika pihak kepolisian dalam
beberapa kasus penyalahgunaan narkoba tidak
mengkoordinasikan untuk dapat dilakukannya
proses rehabilitasi, pihak kepolisian cenderung
mengarahkan untuk ditindak secara hukum pidana
meskipun dengan status sebagai pemakai atau
pengguna narkoba dengan barang bukti sedikit
yang seharusnya dapat direkomendasikan untuk
dilakukannya asesmen guna kemudian dilihat dan
ditentukan apakah seseorang tersebut dapat
menerima rehabilitasi atau melalui proses pidana.
5. Pihak yang terlibat dan berkoordinasi dengan BNN
Provinsi Banten dalam penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba adalah pihak kepolisian
yaitu dari Korps Polisi Militer, Polda, Polres dan
Polsek, Kejaksaan dan Kemenkumham.
6. Proses hukum dalam kasus penyalahgunaan
narkoba oleh pihak kepolisian adalah dengan
terlebih dahulu melakukan penyidikan dalam
pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada
tersangka penyalahguna narkoba. Apabila tersangka
dikenakan pasal 127 yaitu dengan status sebagai
pengguna narkoba, maka pihak kepolisian dapat
merekomendasikan untuk dilakukannya asesmen
kepada pihak BNN yang juga menjadi bahan
pertimbangan jaksa untuk dakwaan yang akan
diberikan. Proses selanjutnya adalah pada pihak
kejaksaan, yaitu menyusun dakwaan yang
disesuaikan dengan BAP ataupun hasil asesmen
(apabila berstatus pengguna) untuk kemudian dapat
dibuktikan dalam persidangan.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang disesuaikan dengan teori The
Four Pillar Drug Strategy, peneliti mencoba merumuskan strategi alternatif yang
231
dapat dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten dalam Upaya
Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan Narkoba, strategi alternatif tersebut
diantaranya ialah:
1. Strategi I, stretegi penguatan kerjasama dengan seluruh pihak baik instansi
pemerintah, swasta maupun tokoh masyarakat termasuk penggiat/mitra dan
kader anti narkoba agar dapat bersama-sama mengkampanyekan program
P4GN melalui kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba yaitu advokasi
dan diseminasi informasi kepada seluruh elemen masyarakat secara rutin baik
secara tatap muka maupun dengan memanfaatkan seluruh media baik media
cetak, media elektronik hingga media sosial dan penguatan skill komunikasi
dalam pelaksanaan KIE (Komunikasi Edukasi dan Informasi) sebagai proses
penyampaian, penyebarluasan pesan tentang bahaya narkoba untuk
meningkatkan dan memantapkan pengetahuan, wawasan dan kemampuan
dalam rangka mengubah dan membentuk perilaku masyarakat untuk membuat
pencegahan diri dan menolak penyalahgunaan narkoba serta membuat
lingkungan yang bersih dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
2. Strategi II, strategi peningkatan kemampuan layanan rehabilitasi medis dan
sosial bagi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dalam wilayah Provinsi
Banten agar dapat memberikan layanan rehabilitasi rawat jalan maupun rawat
inap secara optimal, melibatkan peran serta Pemerintah Daerah Provinsi
Banten guna mewujudkan dan meningkatkan kemampuan lembaga
232
rehabilitasi yang dalam prosesnya harus berkesinambungan dengan program
rehabilitasi lanjutan yaitu pascarehabilitasi dan pembinaan lanjut sebagai
bentuk penyatuan kembali ke dalam masyarakat agar tidak terjadi diskriminasi
yang dapat menyebabkan kembali menyalahgunakan narkoba.
3. Strategi III, strategi mengembangkan upaya pengurangan dampak buruk
(harm reduction) secara medis maupun non medis sebagai upaya untuk
mengurangi dampak penggunaan maupun peredaran gelap narkoba dengan
cara melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap informasi jaringan
sindikat narkoba untuk menghindari dampak buruk dari peredaran gelap
narkoba dengan terus melakukan kegiatan pemberantasan. Secara medis
dilakukan dengan melaksanakan program kesehatan seperti Program Terapi
Rumatan Metadon dan pemberian Layanan Alat Suntik Steril untuk
mengendalikan ketergantungan seseorang terhadap narkoba serta untuk
mengurangi dampak buruk terjadinya penularan penyakit dari bahaya
penggunaan narkoba.
4. Strategi IV, strategi penegakan hukum sesuai Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika secara tegas dan memperkuat kerjasama
dengan pihak penegak hukum dengan memperhatikan kewenangan masing-
masing agar tidak terjadi kesenjangan di lapangan baik dari sisi tindakan
maupun pemberian sanksi hukum.
233
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan di lapangan, maka
penyimpulan akhir dari penelitian mengenai Strategi Badan Narkotika Nasional
Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan
Narkoba belum berjalan dengan optimal. Pencapaian strategi yang belum optimal ini
tidak terlepas dari beberapa temuan masalah dalam pelaksanaan upaya pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba sehingga dibutuhkan strategi alternatif
guna memaksimalkan upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten. Peneliti menggunakan teori The Four Pillar Drug
Strategy yang diadapsi dari N.E.W Mental Health Connection (2016) yang terdiri dari
empat dimensi yaitu Prevention, Treatment, Harm Reduction, dan Law Enforcement
dengan penjabaran sebagai berikut:
1. Prevention (Pencegahan) merupakan salah satu aspek penting yang berguna
untuk mencegah penggunaan berbahaya dari narkoba. Program kegiatan
pencegahan terdiri dari advokasi dan diseminasi informasi. Permasalahan
yang ditemui adalah belum optimalnya diseminasi informasi yaitu dalam
pelaksanaan kegiatan KIE yang tidak diselenggarakan secara rutin oleh BNN
234
Provinsi Banten melainkan lebih banyak dilakukan atas permintaan dari
instansi maupun masyarakat sehingga tidak dapat menyasar kepada seluruh
elemen masyarakat. Selain itu pelaksanaan diseminasi informasi melalui
media elektronik dan media sosial juga tidak dimanfaatkan secara optimal
diantaranya penggunaan website yang pasif dan tidak dimilikinya media sosial
lain sebagai upaya diseminasi informasi mengenai bahaya narkoba.
2. Treatment (pengobatan) dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba dilakukan dengan rehabilitasi rawat jalan di Klinik
Pratama BNN Provinsi Banten dengan metode Theraupeutic Community yang
tergolong rehabilitasi sosial yang diberikan pada pengguna dan/atau pecandu
narkotika yang bersumber dari pelaporan melalui mekanisme BNN sebagai
IPWL dan juga penyerahan dari instansi, dengan kategori ringan dan sedang.
Hambatan yang terjadi adalah tidak dapat dilakukannya rehabilitasi rawat inap
untuk pengguna dan/atau pecandu yang tergolong kategori berat karena di
Provinsi Banten belum ada sarana dan prasarana untuk layanan rehabilitasi
rawat inap seperti balai rehabilitasi dan rumah sakit jiwa serta kurangnya
SDM yang dirasakan oleh seluruh bidang di BNN Provinsi Banten yang
berpengaruh terhadap penyelenggaraan upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba.
3. Harm Reduction (Pengurangan Dampak Buruk) dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba memfokuskan pada bahaya narkoba
terhadap individu dan masyarakat dari penjualan dan penggunaan narkoba.
235
Permasalahannya adalah upaya yang telah diatur dalam Keputusan Menteri
Kesehatan (Kepmenkes), yaitu Kepmenkes No. 567/MENKES/SK/VIII/2006
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk NAPZA belum
dilakukan oleh pihak BNN Provinsi Banten. BNN Provinsi Banten hanya
melakukan upaya pengurangan dampak buruk yang ditimbulkan dari
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba melalui kegiatan pemberantasan
narkoba.
4. Law Enforcement (Penegakan Hukum) dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba mengacu pada Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pihak yang berkoordinasi adalah
pihak kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian Hukum dan HAM. Sanksi
hukum yang diberikan terbagi menjadi dua putusan yaitu rehabilitasi dengan
jangka waktu yang didasarkan pada hasil asesmen dan putusan pidana dengan
hukuman minimal 4 (empat) tahun penjara dan maksimal hukuman mati untuk
kasus di tingkat internasional. Permasalahan yang ditemui adalah kesenjangan
wewenang antara pihak BNNP dengan pihak kepolisian, yaitu ketika pihak
kepolisian tidak mengkoordinasikan untuk dapat dilakukannya proses
rehabilitasi dan cenderung mengarahkan untuk ditindak secara hukum pidana
meskipun dengan status sebagai pemakai atau pengguna narkoba dengan
barang bukti sedikit yang seharusnya dapat direkomendasikan untuk
dilakukannya asesmen guna kemudian dilihat dan ditentukan apakah
seseorang tersebut dapat menerima rehabilitasi atau melalui proses pidana.
236
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Strategi Badan Narkotika Nasional
Provinsi Banten dalam Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan
Narkoba, maka peneliti mencoba memberikan saran atau masukan dari hasil
penelitian agar dapat membantu dalam penyelenggaraan upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba sebagai berikut :
1. Melakukan penguatan kelembagaan Badan Narkotika Nasional Provinsi
Banten dengan cara meningkatkan manajemen organisasi sejak proses
perencanaan program hingga evaluasi kegiatan untuk mengatasi permasalahan
penyalahgunaan narkoba baik dari sisi pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat, pengobatan atau rehabilitasi, kegiatan pemberantasan maupun
sinkronisasi dalam upaya penegakan hukum, meningkatkan kemampuan SDM
baik secara kuantitas maupun kualitas serta mengoptimalkan peran mitra
maupun penggiat untuk pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba.
2. Membangun serta memperkuat kerjasama lintas sektor dalam melakukan
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
BNN Provinsi Banten perlu membangun dan mengoptimalkan kerjasama
lintas sektor dengan melakukan koordinasi secara intensif dengan instansi
terkait seperti pihak kepolisian, lembaga pemasyarakatan, kejaksaan dan
pengadilan bahkan dengan seluruh instansi baik dari sektor pemerintah
237
maupun swasta serta melakukan sinkronisasi program kerja organisasi
perangkat daerah terkait upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba agar seluruh program untuk mencegah dan
mengatasi permasalahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten dapat
terintegrasi dan berjalan efektif.
3. Mendorong peran serta masyarakat untuk berperan aktif dalam mencegah dan
memberantas penyalahgunaan narkoba. Diharapkan BNN Provinsi Banten
dapat merangkul masyarakat untuk bersama sama mengatasi permasalahan
penyalahgunaan narkoba yang bertujuan untuk meminimalisir dan mencegah
terjadinya peningkatan jumlah penyalahgunaan maupun peredaran narkoba di
Provinsi Banten.
4. Diperlukannya penguatan kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk dapat
menjauhi narkoba dan mencegah terjadinya penggunaan maupun peredaran
narkoba. Pada strategi ini BNN Provinsi Banten perlu meningkatkan
kepemahaman dan kepedulian masyarakat mengenai bahaya narkoba agar
melalui kegiatan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) baik secara
langsung atau tatap muka seperti sosialisasi ataupun seminar kepada seluruh
elemen masyarakat maupun melalui pemanfaatan media secara berkelanjutan
atau terus menerus dan dilakukan secara masif dan kreatif agar dapat
dilakukan pencegahan diri untuk menolak penyalahgunaan narkoba serta
membuat lingkungan yang bersih dari penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkoba.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
David, Fred R. 2005. Manajemen Strategi (Manajemen Strategi Konsep) Buku I.
Jakarta : Salemba Empat
Denzim, Norman K. & Yvonna S. Lincoln, 2009. Handbook of qaualitative research.
Terjemahan oleh Dariyanto dkk. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Dirgantoro, Crown, 2005. Manajemen Stratejik Konsep, Kasus dan Implementasi.
Jakarta. Grasindo.
Farrell, Michael and John Stran. 1998. Britain's New Strategy for Tackling Drugs
Misuse: Shows a Welcome Emphasis on Evidence. BMJ Publishing Group.
Handoko, 2003. Manajemen. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Hunger J. David & Thomas L. Wheelen. 2003. Manajemen Strategis.
Yogyakarta:ANDI Yogyakarta.
Mieczkowsky, Thomas. 1992. Drugs, Crime And Social policy : Reaserch Issues and
Concern. United States Of America : Allyn And Baccon.
Miles, Matthew B & A. Micheal Huberman, 2009. Analisis Data Kualitatif. Jakarta :
Universitas Indonesia Press.
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
Nawawi, Hadari. 2005. Manajemen Strategik : Organisasi Non Provit Bidang
Pemerintahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pearce II, John A. & Richard B. Robinson. 2011. Manajemen Strategi s-Formulasi,
Implementasi, dan Pengendalian. Jakarta : Salemba Empat.
Sedarmayanti, 2014. Manajemen Strategi. Bandung : PT. Revika Aditama
Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kualitatif R & D. Bandung : CV Alfabeta
Sumber Dokumen:
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Instruksi Presiden RI Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan
Strategi Nasional Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 2 Tahun 2017
Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Fasilitasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor
Pecandu Narkotika
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. Survei Prevalensi Penyalahgunaan
Narkoba Tahun Anggaran 2014
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. Rencana Strategis Badan Narkotika
Nasional Tahun 2015-2019
Riswanda (2016), ‘War on drugs: polemic on policy formation and policy
implementation’_Penyuluhan Bahaya Narkoba, KNPI, Serang-Banten, Indonesia
Jurnal Penelitian:
Putri, Verayan. 2015. Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan di Kabupaten
Lampung Selatan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa: Skripsi.
Amali, Wungu. 2017. Strategi Dinas Perdagangan Perindustrian dan Koperasi
dalam Pembinaan Koperasi di Kota Serang. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa: Skripsi.
Sumber lain:
http://www.antaranews.com/berita/474528/bnn-transaksi-narkoba-indonesia-
tertinggi-se-asean
http://www.bnn.go.id/portal/uploads/post/2012/01/26/20120126130403-10111.pdf
http://www.bnn.go.id/read/page/8005/sejarah-bnn
http://www.bnn.go.id/read/pressrelease/10155/peresmian-gedung-bnnp-banten
http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2014/03/20/957/dampak-langsung-
dan-tidak-langsung-penyalahgunaan-narkoba
http://indonews.id/berita/banten-dari-daerah-transit-jadi-tujuan-penyebaran-narkoba/
http://nasional.kompas.com/read/2013/08/17/0402245/Inilah.Kronologi.Pengungkapa
n.Pabrik.Sabu.di.LP.Cipinang
http://newmentalhealthconnection.org/page/fox-valley-substance-abuse-coalition-0
http://news.liputan6.com/read/112327/pabrik-ekstasi-terbesar-di-indonesia-digerebek
https://www.unodc.org/documents/wdr2015/WDR2015_Drug_use_health_consequen
ces.pdf
PEDOMAN WAWANCARA
KEPALA BIDANG PENCEGAHAN DAN PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT BNN PROVINSI BANTEN
Dimensi : Prevention
1. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba
di Provinsi Banten.
2. Hal atau program kegiatan dalam rangka pemberdayaan masyarakat di Provinsi
Banten.
3. Pihak yang terlibat dalam pemberian pencegahan dan pemberdayaan masyarakat
dari penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
4. Peran mitra/penggiat BNN Provinsi Banten.
5. Pihak yang menjadi sasaran dalam kegiatan pencegahan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten.
6. Tempat pelaksanaan kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi
Banten.
7. Media yang digunakan untuk diseminasi informasi bahaya narkoba.
8. Strategi komunikasi BNN Provinsi Banten.
9. Daerah rawan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
10. Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat BNN Provinsi Banten.
11. Kendala dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten.
Dimensi : Treatment
1. Bentuk/jenis pelayanan rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
2. Sarana dan prasarana terkait pelayanan rehabilitasi.
3. Mekanisme pemberian rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
4. Tolak ukur penentuan jenis dan waktu rehabilitasi.
5. Jangka waktu rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
6. Bentuk kegiatan pascarehabilitasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten.
7. Pihak yang berkoordinasi dalam penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi maupun
pascarehabilitasi.
8. Mekanisme pengguna narkoba yang sedang dalam proses hukum namun ingin
mengajukan proses rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
Dimensi : Harm Reduction
1. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pengurangan dampak dari
penyalahgunaan narkoba.
2. Pihak yang berkoordinasi melakukan upaya pengurangan dampak buruk dari
penyalahgunaan narkoba.
3. Tolak ukur keberhasilan pengurangan dampak buruk dari penyalahgunaan
narkoba.
Dimensi : Law Enforcement
1. Dasar hukum penyalahgunaan narkoba.
2. Sanksi hukum penyalahgunaan narkoba.
3. Pihak yang berkoordinasi dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkoba.
4. Peran Pemerintah Daerah Provinsi Banten dalam kasus penyalahgunaan narkoba.
PEDOMAN WAWANCARA
KEPALA BIDANG PEMBERANTASAN BNN PROVINSI BANTEN
Dimensi : Prevention
1. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pencegahan dan atau pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
2. Tempat pelaksanaan kegiatan pencegahan dan atau pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
3. Pihak yang menjadi sasaran dalam kegiatan pencegahan dan atau pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
4. Pihak yang terlibat dalam kegiatan pencegahan dan atau pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
5. Daerah rawan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
6. Jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang pemberantasan BNN Provinsi
Banten.
7. Kendala dalam pelaksanaan kegiatan pemberantasan penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten.
Dimensi : Treatment
1. Bentuk/jenis pelayanan rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
2. Mekanisme pemberian rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
3. Tolak ukur penentuan jenis dan waktu rehabilitasi.
4. Mekanisme pengguna narkoba yang sedang dalam proses hukum namun ingin
mengajukan proses rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
Dimensi : Harm Reduction
1. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pengurangan dampak dari
penyalahgunaan narkoba.
2. Pihak yang berkoordinasi melakukan upaya pengurangan dampak buruk dari
penyalahgunaan narkoba.
3. Tolak ukur keberhasilan pengurangan dampak buruk dari penyalahgunaan
narkoba.
Dimensi : Law Enforcement
1. Dasar hukum penyalahgunaan narkoba.
2. Sanksi hukum penyalahgunaan narkoba.
3. Proses penegakan hukum dalam kasus penyalahgunaan narkoba.
4. Perbedaan wewenang BNN dengan pihak Kepolisian dalam penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba.
PEDOMAN WAWANCARA
KEPALA BIDANG REHABILITASI BNN PROVINSI BANTEN
Dimensi : Treatment
1. Bentuk/jenis pelayanan rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
2. Sarana dan prasarana terkait pelayanan rehabilitasi.
3. Syarat seseorang untuk dapat menerima layanan rehabilitasi.
4. Mekanisme pemberian rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
5. Tolak ukur penentuan jenis dan waktu rehabilitasi.
6. Jangka waktu rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
7. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lainnya di Provinsi Banten selain di BNN
Provinsi Banten.
8. Alat yang dapat mengukur derajat toksinasi penggunaan narkoba.
9. Bentuk kegiatan pascarehabilitasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten.
10. Pihak yang berkoordinasi dalam penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi maupun
pascarehabilitasi.
11. Mekanisme pengguna narkoba yang sedang dalam proses hukum namun ingin
mengajukan proses rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
Dimensi : Harm Reduction
1. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pengurangan dampak dari
penyalahgunaan narkoba.
2. Pihak yang berkoordinasi melakukan upaya pengurangan dampak buruk dari
penyalahgunaan narkoba.
3. Tolak ukur keberhasilan pengurangan dampak buruk dari penyalahgunaan
narkoba.
Dimensi : Law Enforcement
1. Dasar hukum penyalahgunaan narkoba.
2. Sanksi hukum penyalahgunaan narkoba.
3. Pihak yang berkoordinasi dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkoba.
PEDOMAN WAWANCARA
DOKTER SEKSI PENGUAT LEMBAGA REHABILITASI
BNN PROVINSI BANTEN
Dimensi : Treatment
1. Bentuk/jenis pelayanan rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
2. Sarana dan prasarana terkait pelayanan rehabilitasi.
3. Syarat seseorang untuk dapat menerima layanan rehabilitasi.
4. Mekanisme pemberian rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
5. Tolak ukur penentuan jenis dan waktu rehabilitasi.
6. Jangka waktu rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
7. Alur proses pelaksanaan rehabilitasi.
8. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lainnya di Provinsi Banten selain di BNN
Provinsi Banten.
9. Alat yang dapat mengukur derajat toksinasi penggunaan narkoba.
10. Bentuk kegiatan pascarehabilitasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten.
11. Pihak yang berkoordinasi dalam penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi maupun
pascarehabilitasi.
12. Mekanisme pengguna narkoba yang sedang dalam proses hukum namun ingin
mengajukan proses rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
Dimensi : Harm Reduction
1. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pengurangan dampak dari
penyalahgunaan narkoba.
2. Pihak yang berkoordinasi melakukan upaya pengurangan dampak buruk dari
penyalahgunaan narkoba.
3. Tolak ukur keberhasilan pengurangan dampak buruk dari penyalahgunaan
narkoba.
4. Jangka waktu harm reduction hingga pasien pulih.
PEDOMAN WAWANCARA
DIREKTORAT RESERSE NARKOBA
KEPOLISIAN DAERAH (POLDA) BANTEN
Dimensi : Prevention
1. Bentuk koordinasi Polda Banten dengan BNN Provinsi Banten dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
2. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba
di Provinsi Banten.
3. Pihak yang melakukan kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi
Banten.
4. Target atau sasaran dalam kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten.
5. Tempat pelaksanaan kegiatan pencegahan dan atau pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
6. Daerah rawan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
Dimensi : Treatment
1. Syarat seseorang untuk dapat menerima layanan rehabilitasi.
2. Mekanisme pemberian rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
3. Mekanisme pengguna narkoba yang sedang dalam proses hukum namun ingin
mengajukan proses rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
Dimensi : Law Enforcement
1. Dasar hukum penyalahgunaan narkoba.
2. Sanksi hukum penyalahgunaan narkoba.
3. Pihak yang berkoordinasi dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkoba.
4. Proses penegakan hukum dalam kasus penyalahgunaan narkoba.
5. Perbedaan wewenang BNN dengan pihak Kepolisian dalam penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba.
PEDOMAN WAWANCARA
KEPALA SEKSI REHABILITASI TUNA SOSIAL, NAPZA DAN KORBAN
PERDAGANGAN ORANG (KPO) DINAS SOSIAL PROVINSI BANTEN
Dimensi : Prevention
1. Bentuk koordinasi Dinas Sosial Provinsi Banten dengan BNN Provinsi Banten
dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
2. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba
di Provinsi Banten.
3. Pihak yang terlibat dalam pemberian pencegahan penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten.
4. Pihak yang menjadi sasaran dalam kegiatan pencegahan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten.
5. Tempat pelaksanaan kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi
Banten.
6. Daerah rawan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten.
Dimensi : Treatment
1. Bentuk koordinasi dengan BNN Provinsi Banten terkait pemberian layanan
rehabilitasi.
2. Sarana dan prasarana terkait pelayanan rehabilitasi di Provinsi Banten.
3. Mekanisme pemberian rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
4. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lainnya di Provinsi Banten selain di BNN
Provinsi Banten.
5. Bentuk kegiatan pascarehabilitasi yang dilakukan bersama BNN Provinsi Banten.
6. Pihak yang berkoordinasi dalam penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi maupun
pascarehabilitasi.
PEDOMAN WAWANCARA
KEPALA BIDANG PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
DINAS KESEHATAN PROVINSI BANTEN
Dimensi : Prevention
1. Bentuk koordinasi Dinas Kesehatan Provinsi Banten dengan BNN Provinsi
Banten dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
2. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba
di Provinsi Banten.
3. Pihak yang terlibat dalam pemberian pencegahan penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten.
4. Pihak yang menjadi sasaran dalam kegiatan pencegahan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten.
5. Tempat pelaksanaan kegiatan pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi
Banten.
Dimensi : Treatment
1. Bentuk koordinasi dengan BNN Provinsi Banten terkait pemberian layanan
rehabilitasi.
2. Sarana dan prasarana terkait pelayanan rehabilitasi di Provinsi Banten.
3. Mekanisme pemberian rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
Dimensi : Harm Reduction
1. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pengurangan dampak dari
penyalahgunaan narkoba.
2. Tolak ukur keberhasilan pengurangan dampak buruk dari penyalahgunaan
narkoba.
3. Jangka waktu harm reduction hingga pasien pulih.
PEDOMAN WAWANCARA
KEPALA SEKSI TINDAK PIDANA UMUM LAINNYA
KEJAKSAAN TINGGI BANTEN
Dimensi : Prevention
1. Bentuk koordinasi Kejaksaan Tinggi Banten dengan BNN Provinsi Banten dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
2. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba
di Provinsi Banten.
Dimensi : Treatment
1. Bentuk koordinasi dengan BNN Provinsi Banten terkait pemberian layanan
rehabilitasi.
2. Syarat seseorang untuk dapat menerima layanan rehabilitasi.
3. Mekanisme pemberian rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
4. Tolak ukur penentuan jenis dan waktu rehabilitasi.
5. Jangka waktu rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
6. Sarana dan prasarana terkait pelayanan rehabilitasi di Provinsi Banten.
7. Pihak yang berkoordinasi dalam penyelenggaraan kegiatan rehabilitasi.
Dimensi : Law Enforcement
1. Dasar hukum penyalahgunaan narkoba.
2. Sanksi hukum penyalahgunaan narkoba.
3. Pihak yang berkoordinasi dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkoba.
4. Proses penegakan hukum dalam kasus penyalahgunaan narkoba.
PEDOMAN WAWANCARA
KEPALA SEKSI PEMBINAAN DAN PENDIDIKAN
LEMBAGA PEMASYARAKATAN SERANG
Dimensi : Prevention
1. Bentuk koordinasi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Serang dengan BNN
Provinsi Banten dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba.
2. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba
khususya di Lapas Serang.
Dimensi : Treatment
1. Bentuk koordinasi dengan BNN Provinsi Banten terkait pemberian layanan
rehabilitasi di Lapas Serang.
2. Bentuk/jenis pelayanan rehabilitasi.
3. Syarat seseorang untuk dapat menerima layanan rehabilitasi.
4. Mekanisme pemberian rehabilitasi.
5. Jangka waktu rehabilitasi.
6. Kegiatan pascarehabilitasi.
Dimensi : Law Enforcement
1. Tindakan dan sanksi hukum yang diberikan apabila terdapat warga binaan
pemasyarakatan ataupun petugas Lapas yang terbukti menyalahgunakan dan/atau
mengedarkan narkoba di lingkungan Lapas Serang.
PEDOMAN WAWANCARA
MITRA BNN PROVINSI BANTEN
Dimensi : Prevention
1. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba
di Provinsi Banten.
2. Peran mitra/penggiat BNN Provinsi Banten.
Dimensi : Treatment
1. Mekanisme pemberian rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
2. Tolak ukur penentuan jenis dan waktu rehabilitasi.
Dimensi : Harm Reduction
1. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pengurangan dampak buruk dari
penyalahgunaan narkoba.
2. Jangka waktu harm reduction hingga pasien pulih.
Dimensi : Law Enforcement
1. Pihak yang berkoordinasi dalam penegakan hukum penyalahgunaan narkoba.
2. Proses penegakan hukum dalam kasus penyalahgunaan narkoba.
PEDOMAN WAWANCARA
KLIEN/PASIEN REHABILITASI BNN PROVINSI BANTEN
Dimensi : Treatment
1. Bentuk/jenis pelayanan rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
2. Mekanisme untuk memperoleh rehabilitasi di BNN Provinsi Banten.
3. Tolak ukur penentuan jenis dan waktu rehabilitasi.
4. Alur proses pelaksanaan rehabilitasi.
Dimensi : Harm Reduction
1. Hal atau program kegiatan sebagai upaya pengurangan dampak buruk dari
penyalahgunaan narkoba.
PEDOMAN WAWANCARA
WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN
LAPAS SERANG
Dimensi : Treatment
1. Bentuk/jenis pelayanan rehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi Banten.
2. Metode rehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi Banten.
3. Bentuk kegiatan pembinaan pascarehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi
Banten.
MEMBER CHECK
Nama : Sugino, SE, MH
Jabatan : Kepala Bidang Pencegahan
dan Pemberdayaan
Masyarakat BNN Provinsi
Banten
Hari / Tanggal : Senin, 19 Juni 2017
Waktu : 10.30 WIB
Tempat : BNN Provinsi Banten
I
Q
I 1.1
Q1 Apa saja hal atau program kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Pencegahan itu kita ada pencegahan diri yang terdiri dari advokasi yaitu
mempengaruhi kepada stakeholder baik itu pemerintah maupun swasta,
untuk mengajak supaya mari kita sama-sama memerangi masalah narkoba
karena sudah darurat narkoba. Kalau tidak bersama-sama, BNN juga tidak
masif karena BNN ini terbatas. Dasarnya adalah Permendagri Nomor 21
Tahun 2013, jadi Walikota Bupati Gubernur harus memberikan fasilitasi
supaya menganggarkan dasarnya Perda kepada STOK ataupun stakeholder
ataupun SKPD itu harus menganggarkan tentang pencegahan narkoba,
nanti pelaksanaannya bisa ke kampus, ke pekerja. Itulah advokasi.
Yang kedua adalah diseminasi yaitu dengan membuat media baik tatap
muka, online, ataupun video tron, berarti media cetak dan media elektronik
gitu. Itulah diseminasi. Bagaimana kita membuat iklan untuk
mempengaruhi masyarakat melalui TV, medsos, video tron, surat kabar.
Kemudian juga ada sosialisasi, ada KIE Komunikasi Informasi dan
Edukasi itu langsung turun ke masyarakat, ke pemerintahan, ke swasta.
Jadi begitulah ada advokasi dan diseminasi.
Kemudian masuk kepada pemberdayaan masyarakat yaitu kita mengajak
pembangunan wawasan anti narkoba, memberdayakan masyarakat, swasta
maupun instansi pemerintah dan pendidikan. Itu ajak-ajak supaya dia ada
program mandiri, misalnya kita ajak Untirta, sudah kita bentuk satgas
sudah tes urin mau tidak mau Untirta itu harus ada pemberdayaan, mari
kita tolak narkoba agar kampus ini bersih dari narkoba. Itu yang namanya
memberdayakan. Yang bermain itu satgas dan kader-kader yang sudah kita
cetak. Selain itu juga membuat kampung bersih narkoba, terus melakukan
tes urin. Itu contohnya program-program yang ada di BNN bidang
pencegahan dan pemberdayaan masyarakat.”
Q2 Siapa saja pihak yang berkoordinasi dalam kegiatan pencegahan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Ya kita selalu ajak-ajak dari SKPD, dari OPD, termasuk Polda, Dinsos,
Dinkes, bahkan pariwisata, Dispora. Jadi memang luas kalau bicara
narkotika itu. Kita gabung-gabung bareng, kita ajak-ajak bahwa diharapkan
bisa masuk ke dunia narkotika agar tahu bagaimana mencegah narkotika di
lingkungannya. Jadi dilibatkan semuanya, swasta pun masuk seperti
Krakatau Posco juga masuk itu. Terus kita rekrut masyarakat juga, kita
jadikan relawan maupun penggiat yang harapannya adalah orang-orang
yang tidak terkena narkotika dengan adanya KIE menjadi tahu dan tidak
pakai. Kalau sudah terkena, harapannya dengan adanya penjelasan kita ya
hentikan dan rehabiltasi dengan datang ke BNN. Kalau dia sudah bandar
dan tidak mau menyerahkan diri, kalau kena berarti dia pidana.”
Q3 Apa peran penggiat atau mitra di BNN Provinsi Banten?
“Kenapa kita ada penggiat? Bahwa BNN tidak mampu dan masalah
narkotika harus diatasi bersama, baik dari pemerintah, dari swasta, dari
pendidikan dan dari masyarakat. Mereka ini diharapkan bisa membantu
kegiatan kami dan nantinya antara lain dia kita TOT (Training of Trainer),
itu kita ajak bersama-sama. Ada yang punya yayasan, ada juga yang hanya
menjadi relawan. Karena kita ga mampu mengcover semuanya, jadi kita
ajak-ajak kita bekali, kita berikan identitas, diberikan kemampuan akhirnya
nanti dia bicara bagaimana mencegah narkotika di kalangan masyarakat.
Mereka diawasi kita, karena kita ada advokasi, pendahuluan, TOT atau
materi, dan nanti kita minta juga schadule kegiatan dia.”
Q5 Siapa saja pihak yang menjadi sasaran dalam kegiatan pencegahan
dan pemberdayaan masyarakat penyalahgunaan narkoba di Provinsi
Banten?
“Ya itu tadi kalau pemberdayaan masyarakat ada peran serta masyarakat
termasuk kampus, pemerintahan, ada swasta dan ada juga elemen
pendidikan. Jadi kami bicara soal SD, SMP, SMA sampai kampus, ada
juga pabrik-pabrik itu.“
Q6 Dalam kegiatan pencegahan langsung, apakah tempatnya sudah
ditentukan atau atas permintaan masyarakat/instansi?
“Kegiatan itu ada dua sumber, pertama kita diminta misalnya Untirta atau
UIN mengadakan seminar, saya diminta untuk menjadi narasumber atau
pembicara disana, atau bisa juga penyelenggaraannya dengan anggaran kita
sendiri tetapi anggaran kita ini terbatas, jadi banyaknya yang non anggran.
Kita datang setelah ada surat ke kepala BNNP, baik itu dari masyarakat,
kampus, instansi pemerintahan ataupun swasta. Biasanya kalau dari
anggaran sendiri sih jarang untuk kegiatan seminar gitu, lebih banyak
untuk kegiatan pembinaan life skill.”
Q7 Media yang digunakan dalam diseminasi informasi bahaya narkoba?
“Seperti tadi dalam diseminasi itu menggunakan media tatap muka, online,
ataupun video tron, berarti media cetak dan media elektronik gitu, bisa
melalui TV, medsos, video tron, surat kabar.”
Q8 Bagaimana strategi komunikasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten
kepada masyarakat dalam menginformasikan bahaya narkoba?
“Kalau strategi komunikasi itu ya melalui berbagai media tadi, terus kita
juga libatkan pihak-pihak lain di luar karena sekali lagi masalah narkoba
ini harus diatasi bersama. Bahkan kita juga masukan ke medsos untuk
supaya dibaca di lihat oleh orang-orang. Supaya tahu bahwa perkembangan
BNN ini menjalankan kemitraan, termasuk pemuda-pemudi anti narkoba.
Karena kalau cuma dari BNN ya tentu tidak akan masif. SDM dan
anggaran kita saja masih kurang, sedangkan sekarang supply and demand
ini kencang sekali. Ternyata PCC dan narkotika-narkotika jenis baru ini
terus masuk kan bisa dilihat di media. Itulah yang terjadi, makanya kita
ajak-ajak namanya penggiat, relawan dan semua pihak.”
Q9
Daerah mana di Provinsi Banten yang menjadi daerah rawan dan
memiliki angka penyalahgunaan narkoba tertinggi?
“Dalam pemberdayaan alternatif itu kita memetakan daerah rawan, di
Provinsi Banten ini ada delapan Kabupaten/Kota, mana yang pertama
penyalahgunaan narkobanya itu paling tinggi, daerah rawan itu ada tempat
peredaran narkotika dan pemakainya tinggi, contohnya yang pertama itu
Kota Tangerang, kedua Kabupaten Tangerang, ketiga Tangerang Selatan,
dan kemudian baru Kota Serang dan Cilegon. Itu contoh dari ranking-
ranking pemetaan daerah rawan narkoba dari sisi P2M melibatkan unsur-
unsur yang terkait salah satunya kepolisian. Mana yang penyalahgunaan
narkobanya paling tinggi contohnya tadi Kota Tangerang karena adanya
pemakai, adanya bandar, adanya penjualan obat-obatan terlarang juga. Nah
nantinya daerah rawan itu kita jadikan model untuk dibina supaya mantan-
mantan narkoba tadi kita buat supaya punya keterampilan atau life skill.”
Q10 Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan kegiatan pencegahan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Kami belum masif karena terbatasnya anggaran dan terbatasnya Sumber
Daya Manusia. Itu termasuk kelemahan dan kendala. Kenapa narkotika
banyak, ya karena belum masif peran serta masyarakat dan pemerintah
daerah. Itu kunci dalam kendala sehingga masif, ternyata narkoba masih
banyak dan dibutuhkan solusi yaitu peran serta masyarakat dan peran serta
pemerintah daerah secara masif untuk bersama-sama menanggulangi
penyalahgunaan narkoba.”
Q11
Apa jenis pelayanan rehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi
Banten?
“Untuk rehabilitasi itu ada rawat jalan dan rawat inap, jadi keputusannya
itu dari tim asesmen yang akan menentukan apakah rawat jalan atau rawat
inap tergantung orangnya. Tetapi di BNN Banten ini hanya melayani rawat
jalan, kalau rawat inap nanti kita kirim lagi ke Lido.”
Q12 Apakah BNN Provinsi Banten sudah memiliki sarana dan prasarana
untuk kegiatan rehabilitasi?
“Kita disini belum punya tempat rehab. Untuk rawat inapnya hanya punya
negara yaitu di LIDO, tetapi kalau memilih yang punya masyarakat yang
bayar untuk makan minumnya ada tempat-tempat berbasis masyarakat
namanya.”
Q13
Apa saja aspek yang ditekankan pada saat dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis rehabilitasi dan jangka waktu dalam
proses rehabilitasi?
“Dalam proses asesmen itu ditentukan dia menjadi pemakai narkotika
sudah berapa lama, bagaimana psikologisnya, bagaimana kejiwaannya,
nanti akan ditentukan apakah rawat jalan yang harus 8-12 kali pertemuan
dan kemudian di tes urin sampai dia negatif narkoba dan nanti kita kontrol
kedepannya, tapi kalau yang namanya rawat inap itu biasanya yang sudah
lima tahun pakai, secara sosial sudah tidak punya harga diri, ditanya lima
kali lima ga tau padahal dia lulusan SLTA atau sarjana ya dia harus di
rawat inap dan membutuhkan sentuhan konselor yang berkompeten, bisa di
LIDO atau di tempat umum yang bayar.”
Q14 Berapa jangka waktu dalam proses rehabilitasi di BNN Provinsi
Banten?
“Untuk rawat jalan di BNN itu antara 8 sampai 12 kali pertemuan.”
Q15 Bagaimana pelaksanaan kegiatan pascarehabilitasi yang dilakukan
BNN Provinsi Banten?
“Kegiatan pasca rehabilitasinya itu dengan pembinaan life skill, termasuk
salah satu kegiatan yang dilakukan bidang P2M juga. Pembinaan life skill,
contohnya kemaren di daerah pekarungan. Daerah pekarungan itu daerah
narkoba banyak bekas pecandu narkoba, nah itu kami berikan life skill agar
mereka itu punya keterampilan seperti tukang cukur atau salon yang
artinya dia diberikan ketampilan, dibiayai dan diberikan seperangkat alat
cukur.”
Q16 Pihak mana saja yang berkoordinasi dalam penyelenggaraan kegiatan
rehabilitasi maupun pascarehabilitasi?
“Pasca rehab itu kan ada juga yang dilaksanakan disini, ada juga yang di
rumah damping, ada juga di lingkungan masyarakat kaya tadi itu di
pekarungan. Kalau yang disini itu pastinya bidang P2M dan bidang rehab
yang bertugas. Kalau yang diluar itu ada juga kerjasama dengan SKPD,
OPD seperti Dinsos, BLKI, terus pastimya dengan masyarakat.”
Q17 Apakah terdapat perbedaan antara pecandu narkoba yang datang
sendiri untuk melakukan rehabilitasi dengan yang merupakan
penyerahan dari instansi?
“Untuk pelayanannya sama saja karena disini itu namanya Institusi
Penerima Wajib Lapor (IPWL), itu di pasal 54 tidak dihukum atau hanya
harus wajib lapor termasuk pasal 127 dan 128, termasuk jika ada anak kecil
di bawah umur kita akan wadahi dan kita libatkan Komisi Perlindungan
Anak (KPA) ataupun orang tuanya agar dapat di rehab atau disembuhkan.
Jadi BNN bicara dari sebelum kena sampai pascarehabilitasi.”
Q18 Apa saja hal atau program kegiatan sebagai upaya harm reduction
(pengurangan dampak buruk) dari penyalahgunaan narkoba?
“Harm reduction itu kan dikaitkan dengan Pak Agus di bidang rehabilitasi.
Artinya dia pengobatan dan pasca rehab itu bagian dari harm reduction itu.
Jadi manusia yang sudah kena ini bagaimana dan akan diapakan, sampai
kepada pasca rehab.”
Q19 Apa dasar hukum kasus penyalahgunaan narkoba?
“Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009. Untuk BNN secara
hukum rehabilitasi ada di pasal 54, kemudian di pasal 127 juga kalau dia
ketangkap bisa direhab tapi melalui proses penyidik dulu. Pasal 128 itu
ajakan supaya penyalahguna yang sifatnya ringan itu harus direhab,
syaratnya itu dia melapor nanti ditentukan rawat jalan atau rawat inap. Tapi
kalau tertangkap tentunya ada proses hukum, apalagi dia pakai dan
memiliki barang, tentunya dia proses hukum dan proses rehab.”
Q20
Apa sanksi hukum yang diberikan kepada penyalahguna narkoba?
“Sanksinya kalau cuma di rehab ya mulai dari 6 (enam) bulan, kalau
pidana dari 4 (empat) tahun sampai hukuman mati.”
Q21
Siapa saja pihak yang berkoordinasi dalam penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba?
“Ya kordinasi kita jalan baik dengan Polda kaitan dengan tahanan, terus
juga dengan Kemenkumham jalan terus karena itu merupakan mitra kerja
yang memang mengurusi narkotika dan ada mekanisme-mekanisme yang
memang ada sinergitas antara aparat penegak hukum dengan dinas-dinas
terkait.”
Q22
Bagaimana peran Pemerintah Daerah Provinsi Banten dalam kasus
penyalahgunaan narkoba?
“Pemda itu masih kurang masif, dia itu yang punya mata anggaran. BNN
itu adalah lembaga vertikal yang kerja untuk rakyat Banten tetapi masih
kurang masif. Harapannya adalah harusnya ada Perda terus nanti dia
menganggarkan dan akhirnya masif baik ke pendidikan, masyarakat dan
pemerintahan. Itu harapannya.
Informan
MEMBER CHECK
Nama : Abdul Majid, SH, MH
Jabatan : Kepala Bidang
Pemberantasan BNN Provinsi
Banten
Hari / Tanggal : Rabu, 5 Juli 2017
Waktu : 11.40 WIB
Tempat : BNN Provinsi Banten
I
Q
I 1.2
Q1 Apa saja hal atau program kegiatan di bidang pemberantasan sebagai
upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Kalau di bagian pemberantasan, kita melakukan penyelidikan,
pengungkapan dan penindakan atau lidik sidik. Setalah dilakukan
penyelidikan, kalau memang unsur pembuktiannya ada, bisa ditindaklanjuti
artinya kita dapat melakukan eksekusi atau tindakan penyidikan.”
Q2 Dimana tempat pelaksanaan kegiatan pencegahan dan atau
pemberantasan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Itu relatif, dimana saja, kapan saja. Karena orang melakukan kejahatan itu
kan tidak mengenal waktu, tempat, umur dan sebagainya.”
Q3 Daerah mana di Provinsi Banten yang paling rawan penyalahgunaan
narkoba?
“Menurut kacamata saya, yang lebih dominan untuk sementara ini itu Kota
Tangerang, dan berdasarkan data juga Kota Tangerang menempati ranking
pertama dengan jumlah 41 kasus kemudian yang kedua adalah Kota Serang
sebanyak 27 kasus narkoba.”
Q4 Apa jenis pelayanan rehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi
Banten?
“Setau saya sih rehab medis ya, tetapi sosialnya juga ada.”
Q5 Apa saja aspek yang ditekankan pada saat dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis rehabilitasi dan jangka waktu dalam
proses rehabilitasi?
“Dalam asesmen itu ada dari berbagai macam akademisi yang melakukan.
Ada dari kepolisian, ada dari bagian kedokteran kesehatan, ada dari bagian
ditres narkoba, ada juga dari psikolog Polda, ada dari kejaksaan terus dari
Lembaga Pemasyarakatan, dan tentunya dari BNN sendiri tim asesmen,
bisa dari orang saya di bidang berantas, bisa dari rehab dan bisa juga dari
P2M. Asesmen itu kita teliti dari mulai waktu penggunaannya, jenisnya,
sumbernya, pokonya kita dalami untuk nanti bisa dibuatkan rancangan
rehabilitasinya.”
Q6 Bagaimana mekanisme pengguna narkoba yang sedang dalam proses
hukum kemudian direkomendasikan untuk menjalani tahapan untuk
dapat dilakukan rehabilitasi ?
“Ada prosedurnya untuk mengajukan rehabilitasi, pertama terkait tindak
pidana yang dilakukan oleh tersangka ini kategorinya dia selaku pengguna
narkoba ya bukan pengedar, dan menurut ukuran itu barang bukti yang
dilakukan penyitaan ini kurang dari 1 gram karena kalau pengedar juga
barang buktinya biasanya lebih dari 1 gram sedangkan pengguna biasanya
hanya nol koma sekian gram sisa-sisa pemakaian dan barang bukti tes
urinenya, bisa dilihat di Undang-Undang Narkotika ya.”
Q6 Apa saja hal atau program kegiatan sebagai upaya harm reduction
(pengurangan dampak buruk) bagi penyalahguna narkoba?
“Oh untuk itu, kegiatannya kita melakukan penyelidikan untuk pelaku atau
jaringan sindikat narkotika. Kalau memang sudah cukup bukti ya kita
melakukan tindakan hukum, kira-kira begitu.”
Q7
Apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan kegiatan
pemberantasan sebagai bagian dari pengurangan dampak buruk
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Kendala itu pertama untuk SDM disitu sangat terkendala, setau saya
jumlah keseluruhan realnya seharusnya itu di atas 200 orang, tapi
kenyataannya hanya satu per empatnya sekitar 50-60 orang. Untuk di
bidang pemberantasan ini ada 16 orang terbagi jadi kasi intelejen, kasi
tindak/kasi penyidik dan kasi Wastahti. Kasi intelejen tugasnya melakukan
penyelidikan baik konvensional maupun teknologi, kalau konvensional itu
penyelidikannya secara langsung atau manual baik itu terbuka maupun
tertutup, terbuka itu berarti orang tahu kalau keberadaan kita itu sebagai
petugas, kalau tertutup itu artinya orang tidak mengetahui bahwa kita itu
petugas. Kalau yang teknologi itu menggunakan teknologi informasi ya
salah satunya melalui media sosial. Kemudian kasi tindak/kasi penyidik
bagian pemberkasan pemeriksaan, yang ketiga kasi Wastahti (Pengawasan
Tahanan dan Barang Bukti).
Kedua sarana pendukung khususnya senjata api, kita berhadapan dengan
pelaku kejahatan jadi diperlukan SDM yang cukup keahliannya dan sarana
pendukung senjata api, jadi senjata api ini masih pinjam punya polisi
(Polda, Polres).”
Q8 Apa dasar hukum kasus penyalahgunaan narkoba?
“Untuk Narkotikanya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, pasal
rehabilitasinya pasal 4 dan pasal 54, ada juga pasal lain tapi itu
kewenangannya jaksa dan hakim.”
Q9
Apa sanksi hukum yang diberikan kepada penyalahguna narkoba?
“Undang-Undang mengatur disitu bahwa pengguna atau pecandu narkoba
itu kalau di BNN ini harus di rehab, bukan harus di hukum atau ya
hukumannya itu rehab, bukan harus diselesaikan di Lembaga
Pemasyarakatan.”
Q10 Siapa saja pihak yang terlibat dalam kegiatan pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Koordinasinya dengan kepolisian khususnya, kemudian dengan Korps
Polisi Militer untuk berantas karena terkait tindak pidana yang dilakukan
baik oleh masyarakat sipil atau militer. Selain itu juga dengan kejaksaan
terkait penyidikan, kalau untuk tindakan di lapangan itu dengan kepolisian
Polda Polres Polsek, kemudian Lapas juga.”
Q11 Bagaimana proses penegakan hukum dalam kasus penyalahgunaan
narkoba?
“Jadi gini, kadang-kadang dari pihak lain itu cuma pemakai saja
dimajukan, memang itu bisa kaya dikepolisian, itu hak dari penyidik
memang. Pernah saya melakukan koordinasi dengan salah satu instansi dan
menanyakan kenapa tidak pernah melakukan pengiriman korban pecandu
narkotika ke BNN, ada salah satu Polres ya. Ternyata mereka dimajukan
terus, masalah mau di rehab atau tidak itu urusan jaksa. Ada yang begitu
meskipun barang buktinya sedikit dan itu diterima juga oleh kejaksaan.
Tapi kalau kita kan ada faktor kemanusiaan, bahwa itu adalah salah satu
korban kejahatan narkotika yang perlu kita bina, perlu di rehabilitasi, perlu
diobati, itu pandangan dari pihak BNN.”
Informan
Abdul Majid, SH, MH
MEMBER CHECK
Nama : Agus Mulyana, SE
Jabatan : Kepala Bidang Rehabilitasi
BNN Provinsi Banten
NRP : AKBP/NRP. 60080404
Hari / Tanggal : Jumat, 30 Mei 2017
Waktu : 13.45 WIB
Tempat : Badan Narkotika
Nasional Provinsi
Banten
I
Q
I1.3
Q1 Apa jenis pelayanan rehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi
Banten?
“Kita di BNN di bidang rehabilitasi ini melayani khususnya untuk rawat
jalan bagi pecandu dan korban penyalahguna narkoba. Jenisnya rehab
medis dan rehab sosial juga. Jadi kalo rehabilitasi bagi pecandu itu harus
simultan ya harus sama, karena yang diperbaiki itu bukan saja fisik tapi
juga mental, jadi dari fisiknya itu tadi ada dokternya terus ada psikolognya
juga jadi sama-sama harus berbarengan. Khusus untuk di BNN itu
medisnya ada, sosialnya juga ada.”
Q2 Apakah BNN Provinsi Banten sudah memiliki sarana dan prasarana
untuk kegiatan rehabilitasi?
“Belum ada tempat rehabilitasinya. Tapi sempat Pak Embai yang kemarin
mencalonkan itu memberikan tanah seluas 6,1 Ha ke BNN untuk dibuat
tempat rehabilitasi, tetapi pemda dan BNNnya belum mampu. Selain itu
memang diperlukan SDM yang tentunya disini masih kurang. Di BNN ini
seharusnya susunan personil lengkapnya itu sebanyak 212 orang untuk
semua bidang, namun saat ini baru ada 47 orang dan di bidang rehabilitasi
seharusnya ada 52 orang namun saat ini baru ada 8 orang ditambah TKK.
Padahal di aturan Permendagri Nomor 21 Tahun 2013, Pemda itu harus
memfasilitasi baik tempat rehabilitasi maupun tempat untuk wajib lapor.
Pihak kami sudah mengajukan tapi sampai sekarang belum juga. Bapak
Presiden juga menyampaikan bahwa Indonesia darurat narkoba, berarti kan
semuanya harus tertuju kesana.”
Q3 Apa syarat seseorang dapat menerima layanan rehabilitasi?
“Persyaratan di kita itu ada 4 (empat) sumber, yang pertama datang sendiri
atau sukarela, yang kedua dari hasil operasi, ketiga dari penyerahan Polda
dan Polres, keempatnya penyerahan dari hasil vonis pengadilan. Tentunya
yang datang sendiri dia harus bawa KTP, KK atau identitas. Untuk yang
lainnya ini tentunya harus ada surat pengantar dari instansi terkait tadi.”
Q4 Apa saja aspek yang ditekankan pada saat dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis rehabilitasi dan jangka waktu dalam
proses rehabilitasi?
“Oh gini, pada saat asesmen kita perdalam riwayat penyalahgunaannya,
asal usulnya, berapa lama pemakaiannya. Dari situ kita bisa kategorikan
dan yang kita layani hanya yang pecandu ringan dan pecandu sedang.
Pecandu itu ada 3 (tiga) kelompok, ada ringan, sedang dan berat. Kalau
pecandu ringan dia pakai itu baru 1 (satu) sampai dengan 7 (tujuh) kali.
Kalau pecandu sedang itu 8 (delapan) sampai dengan 39 (tiga puluh
sembilan) kali, dan yang lebih dari 40 (empat puluh) kali itu dikategorikan
sebagai pecandu berat. Nah untuk yang ringan dan sedang ini cukup hanya
berobat jalan di kita waktunya 12 (dua belas) kali pertemuan, kalau yang
pecandu berat kita akan rujuk ke LIDO atau ke RSKO.”
Q5 Berapa jangka waktu dalam proses rehabilitasi di BNN Provinsi
Banten?
“Rehabilitasi yang harus dijalani ini adalah selama 12 (dua belas) kali
pertemuan, dilakukan setiap minggu jadi kurang lebih ya 3 (tiga) bulanan
untuk proses rehabilitasinya.”
Q6 Apakah terdapat pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lainnya di Provinsi
Banten selain di BNN Provinsi Banten?
“Selain disini kita juga melaksanakan rehab ke Lapas-Lapas yang ditunjuk
Kumham. Ditujukan untuk WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) yang
sudah mau keluar 3 bulan lagi, 6 bulan lagi, dengan harapan nanti dia
keluar sudah bisa menjaga dirinya, memprotek diri jangan sampai
menggunakan narkoba lagi. Kalau yang masih jauh ya nanti begitu direhab
percuma, dia nanti kembali ke teman-temannya. Jadi yang tiga sampai
enam bulan mau keluar saja kita sisihkan, diberikan rehabilitasi. Jangka
waktunya sama tiga bulan juga. Jadi satu tahun itu ada tiga Lapas yang
ditunjuk. Tahun ini itu di Lapas Wanita, Lapas Pemuda dan Lapas Kelas I.
Tapi karena kemaren itu tidak ada pasien di Lapas Wanita, jadi diganti di
Lapas Serang. Karena minimal itu harus ada 30 orang, nah kemarin itu
kalau ga salah ada delapan orang terus saya koordinasikan ke pusat katanya
ga boleh, akhirnya dialihkan ke Lapas Serang.”
Q7 Apakah metode rehabilitasi yang digunakan di Lembaga
Pemasyarakatan sama dengan yang dilakukan di BNN Provinsi
Banten?
“Sama aja konseling, penguatan diri, perilaku sosial, dan sebagainya lah,
termasuk pembinaan life skill juga. Konselornya juga ada yang dari kita.
Tapi ada juga tenaga medisnya yang dari Lapas, tapi dia sudah kita latih.”
Q8 Apakah terdapat tempat rehabilitasi lainnya di Provinsi Banten selain
di BNN Provinsi Banten?
“Itu yang selalu kita upayakan kita koordinasikan dengan Dinas Kesehatan.
kita koordinasi masalah tempat-tempat rehab untuk segera dibuat karena
kita belum punya. Tapi untuk keseriusan ke arah sana sih memang belum
ada, tapi yang jelas faktanya Provinsi Banten membutuhkan tempat rehab
antara rumah sakit jiwa dengan panti rehab itu sangat dibutuhkan sekali. Di
Banten ini adanya yang punya masyarakat, yang metodenya berbeda-beda
jadi kita ga bisa mengirim pasien kesana, kalaupun koordinasi ya sebatas
kasih masukan aja.”
Q9 Apakah terdapat alat yang dapat mengukur derajat toksinasi
penggunaan narkoba?
“Berupa alat secara khusus itu kami belum ada sih. Kayanya anggaran kita
belum sampai ke penyediaan alat itu, jadi untuk penilaian penggunaan
narkotikanya itu digali pada saat asesmen saja. Disitu juga kan dari banyak
pihak jadi bisa tergali walaupun tidak seakurat kalau pakai alat ya.”
Q10 Bagaimana bentuk pelaksanaan kegiatan pascarehabilitasi yang
dilakukan BNN Provinsi Banten?
“Bentuknya pembinaan, ada pembinaan fungsional dengan diberikan
pelatihan cara membuat sendal, telur asin, membuat pupuk, peternakan lele
dan sebagainya. Itu dilakukan di rumah damping yang digunakan untuk
kegiatan pasca rehabilitasi.”
Q11
Pihak mana saja yang berkoordinasi dalam penyelenggaraan kegiatan
rehabilitasi maupun pascarehabilitasi?
“Koordinasi itu dengan Dinas Sosial, dengan masyarakat setempat dan
BLKI. Kita minta dari Dinsos dan BLKI untuk menjadi pelatihnya. Selain
itu juga ada dari Dinas Kesehatan, Disperindag, peternakan, kelautan.
Kalau kita sudah menjalani pasca rehab, itu nanti Dinsos juga yang akan
memberikan semacam stimulan pembinaan atau uang sebagai bekal hidup
dia.”
Q12 Apakah terdapat perbedaan antara pecandu narkoba yang datang
sendiri untuk melakukan rehabilitasi dengan yang merupakan
penyerahan dari instansi?
“Tidak, semua sama saja. Kita pulangkan dia, karena kalau dia bermaksud
untuk baik untuk sembuh tentunya harus ada kesadaran sendiri. Memang
ada sel kita disini tetapi kita tidak memasukan sel kecuali dia melakukan
pelanggaran, baru kita cari dan dimasukan sel.”
Q13 Bagaimana mekanisme pengguna narkoba yang sedang dalam proses
hukum kemudian direkomendasikan untuk menjalani tahapan untuk
dapat dilakukan rehabilitasi ?
“Kalau terkait dengan hukum misalnya dia ditangkap terus di proses oleh
Polda maupun Polres dia harus melalui mekanisme namanya TAT (Tim
Asesmen Terpadu) dari pihak kepolisian, penyidik BNN, penyidik
kejaksaan dan penyidik dari kumham yang kaitannya dengan Lapasnya.”
Q14 Apa saja hal atau program kegiatan sebagai upaya harm reduction
(pengurangan dampak buruk) bagi penyalahguna narkoba?
“Ga ada, kita hanya melalui rehab rawat jalan saja konseling, kalau
detoksifikasinya tidak ada. Kita juga tidak memberikan obat ke rumah, kita
tidak memberikan jenis obat atau narkoba yang jenisnya sama dengan
dikurangi dosisnya itu tidak berlaku di kita. Kalau itu kan seperti PTRM,
tapi kalau kita itu tidak pernah memberikan obat atau narkoba kita kasih
narkoba lagi, itu engga. Biasa kalau di PTRM kan misalkan saya pakai
putau nih, itu dia diberikan putau terus kan cuma dosisnya dikurangi.
Kalau rawat inap baru ada tapi kalau kita upayanya melalui konseling
saja.”
Q15 Bagaimana bentuk kegiatan sebagai upaya pengurangan dampak
buruk bagi penyalahguna narkoba?
“Yang namanya pemakai narkoba itu kan yang diserang susunan syaraf
pusat ya bahkan menurut penelitian bisa merubah bentuk otak untuk yang
pecandu berat, jadi ada kemungkinan dia akan relaps atau kembali,
makanya setelah selesai proses rehabilitasi dilanjutkan ke pascarehabilitasi
kemudian dilanjut dengan pembinaan lanjut, dan setelah 6 (enam) bulan
selesai kita serahkan kepada pihak keluarga. Itu bentuk pengawasannya,
karena kalau disini dia tidak bisa bohong karena setiap pertemuan itu
dilakukan tes urine.”
Q16 Apa dasar hukum kasus penyalahgunaan narkoba?
“Undang-Undangnya Nomor 35, yg khusus mengatur rehabilitasi itu pasal
4 huruf D kalau ga salah. Upaya menjamin pengaturan rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial bagi penyalahguna narkoba.”
Q17 Apa sanksi hukum yang diberikan dalam kasus penyalahgunaan
narkoba?
“Sanksinya tentu pertama dilihat dari hasil asesmen dulu kalau di kita,
kalau putusannya rehabilitasi ya dilihat lagi masuk kategori mana kan, ya
berarti mulai dari pecandu ringan yang tiga bulan sampai pecandu berat
satu tahun. Kalau yang putusannya pidana ya antara 4 tahun sampai
hukuman mati untuk yang tingkat internasional.”
Q18 Siapa saja pihak yang berkoordinasi dalam penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba?
“Kalau dari sisi hukumnya itu Kejaksaan, kepolisian (Polda), dan
Kemenkumham yang tadi kaitannya dengan Lapas baik pada saat asesmen
atau untuk pelaksanaan rehab yang kita adakan di Lapas itu.”
Q19 Apa perbedaan wewenang antara BNN Provinsi Banten dengan Polda
Banten dalam penegakan hukum upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba?
“Kalau BNN dengan Polda ya. Polda bisa melakukan penyuluhan, Polda
bisa mengadakan operasi, Polda bisa melaksanakan penyidikan, cuma
Polda ga ada tempat untuk rehabilitasi, itu saja bedanya. Kalau BNN juga
sosialisasi iya, operasi juga iya, penyidikan juga iya, rehabilitasi pun bisa.
Makanya kalau di Polda tuh tugas pokoknya waktu saya disana ya,
prehentif, preventif, dan represif. Kalau di kita prehentif, preventif, represif
dan kuratif. Jadi Polda tidak memiliki itu yang ke empat.”
Informan
Agus Mulyana, SE
NRP. 60080404
MEMBER CHECK
Nama : dr. Ade Nurhilal Desrinah
Jabatan : Dokter Seksi Penguat
Lembaga Rehabilitasi
NIP : 198512212015022002
Hari / Tanggal : Jumat, 2 Juni 2017
Waktu : 13.10 WIB
Tempat : Klinik Pratama BNN
Provinsi Banten
I
Q
I 1.4
QI Apa jenis pelayanan rehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi
Banten?
“Rehabilitasi di Klinik Pratama ini adalah rehabilitasi rawat jalan dengan
metode Theraupeutic Community yang memang dilakukan di seluruh
BNN. Jenisnya itu rehabilitasi sosial, kalau rehabilitasi medis itu kan
detoxifikasi.”
Q2 Apakah BNN Provinsi Banten sudah memiliki sarana dan prasarana
untuk kegiatan rehabilitasi?
“Untuk rawat inap disini tidak ada, semuanya hanya rawat jalan saja.
Pasien yang datang sendiri kesini untuk melakukan terapi. Rumah sakit
jiwa kita belum punya, balai rehabilitasi juga kita belum punya. Kalau
Banten ini lebih ke religi ya, adanya yayasan yang berbasis agama gitu.”
Q3 Apa syarat seseorang dapat menerima layanan rehabilitasi?
“Jadi kan disini itu kita terima pasien yang pertama itu sukarela atau
voluntary, kedua pasien dari limpahan Polda atau Polres, yang ketiga dari
hukum ya atau dari keputusan pengadilan. Syarat pastinya harus bawa
identitas diri dan keluarga. Kalau yang dari Polda atau Polres itu harus ada
legal dokumen yaitu BAPnya kemudian bukti serah terima klien berserta
penyidiknya. Kalau yang putusan pengadilan harus ada BA 17 putusan
pengadilan sama jaksanya. Semua ini harus didampingi oleh keluarga
klien. Dan klien BNN ini dia memang harus penyalahgunaan narkotika,
kalau alkohol rokok itu tidak bisa, khusus narkotika. Karena badan
narkotika ya, jadi khusus narkotika.”
Q4 Apa saja aspek yang ditekankan pada saat dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis rehabilitasi dan jangka waktu dalam
proses rehabilitasi?
“Sebelumnya itu kan ada proses asesmen, disitu banyak kita gali tentang
riwayat penyalahgunaan narkobanya, status pekerjaannya, status keluarga,
status hukum dan status kesehatannya termasuk status keatris atau perasaan
depresi, gaduh gelisah. Disini kita lihat bukan hanya dari fisiknya saja, tapi
juga dari perubahan perilakunya, perubahan mindsetnya, perasaannya dia
sudah bisa belum menghandle feelingnya.”
Q5 Bagaimana alur proses rehabilitasi di BNN Provinsi Banten?
“Tahapan alurnya datang klien, penerimaan terus tunjukin identitas dan
tadi itu harus ada legal dokumennya, terus rekam medis, kemudian
asesmen, diagnosa dan rancangan terapi, baru masuk rawat jalan atau rawat
inap. Kalau dia rawat jalan ya ikut delapan kali konseling, dua kali grup
terapi. Kalau rawat inap ya kita bawa ke Lido atau ke Lampung. Setelah
rawat jalan ada pasca rehab kemudian ke pembinaan lanjut. Klien juga
harus ngisi yang namanya inform concern itu ada lembar persetujuan dari
keluarga pasien, surat pernyataan dari klien bahwa dia bersedia mengikuti
program rehabilitasi, kemudian surat pernyataan selama rehab tidak boleh
positif narkoba.”
Q6 Berapa jangka waktu dalam proses rehabilitasi di BNN Provinsi
Banten?
“Berapa lamanya itu tidak bisa dipastikan sebulan, dua bulan atau tiga
bulan dan seterusnya. Disini itu minimal 12 kali pertemuan tapi ini ga ada
patokannya ya, tergantung perubahan perilakunya. Bisa ditambah dan bisa
dikurang. Tapi kalau yang putusan pengadilan mah ya sampai selesai
misalnya dia empat bulan ya sampai empat bulan. Cuma berlangsungnya
itu ada yang namanya tahap asesmen, kemudian delapan kali konseling,
dan dua kali grup terapi. Terus disini kan rehabilitasinya berkelanjutan ya,
artinya selain rehabilitasi rawat jalan nanti ada pasca rehab terus
pembinaan lanjut. Itu namanya rehabilitasi berkelanjutan. Pembinaan
lanjutnya nanti kita home visit ke keluarga, ke rumah, ke tempat kerjanya.”
Q7 Apakah terdapat pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lainnya di Provinsi
Banten selain di BNN Provinsi Banten?
“Ya ada di Lapas juga, ada tiga lapas yang kita sudah laksanakan program
rehabnya. Ada di Lapas Serang, Lapas Tangerang Kelas I dan Lapas
Pemuda.”
Q8 Apakah metode rehabilitasi yang digunakan di Lembaga
Pemasyarakatan sama dengan yang dilakukan di BNN Provinsi
Banten?
“Sama aja sih kalau metode ya melalui konseling dengan kita karena
konselornya tetap dari kita, tetapi ada juga tenaga medisnya itu dari Lapas.
Sama-sama rehab sosial pokoknya, tapi disana ga perlu ada asesmen dulu
kaya klien disini.”
Q9 Apakah terdapat alat yang dapat mengukur derajat toksinasi
penggunaan narkoba?
“Kalau di BNNP Banten hanya melalui tes urine untuk tau positif atau
negatif. Tapi kalau mau lebih tau dia jenis amphetamine atau
methampitamine kita rujuknya ke lab BNN di pusat, itu biasanya pake
GCMS metodenya Gas Cromatografy Mass Spectrometry.”
Q10 Apakah terdapat perbedaan antara pecandu narkoba yang datang
sendiri untuk melakukan rehabilitasi dengan yang merupakan
penyerahan dari instansi?
“Tidak ada yang beda kalau soal penerimaannya ya. Tapi kalau namanya
terapi dan metodenya tetap kita berdasarkan individual treatment plan, jadi
setiap individu itu masing-masing beda meskipun sama-sama pakai shabu
tapi ya belum tentu sama treatmentnya. Kalau penyerahan yang sudah
putusan pengadilan itu kita sesuaikan dengan jangka waktunya yang sudah
diputuskan aja. Jadi penerimaan pas awal sama pelayanannya aja yang
sama.”
Q11 Bagaimana pelaksanaan kegiatan pascarehabilitasi yang dilakukan
BNN Provinsi Banten?
“Pascarehabilitasinya di BNNP Banten itu ada seminar pengembangan diri,
FSG (Family Support Group) sama vocationalnya ada. Tahun ini juga kita
punya rumah damping bekerjasama dengan Balai Pemasyarakatan
(BAPAS).”
Q12
Bagaimana mekanisme pengguna narkoba yang sedang dalam proses
hukum namun ingin mengajukan proses rehabilitasi di BNN Provinsi
Banten?
“Itu berarti masuknya kategori compulsary, jadi mekanismenya pertama
harus melengkapi persyaratan legal dokumen seperti tadi yg di persyaratan
itu ya, kemudian nanti ada serah terima klien untuk selanjutnya dilakukan
asesmen secara medis dan secara hukum lengkap dengan pihak kepolisian
dan jaksanya, setelah lolos tahap asesmen sama saja dibuatkan rancangan
terapinya.”
Q10 Apa saja hal atau program kegiatan sebagai upaya harm reduction
(pengurangan dampak buruk) bagi penyalahguna narkoba?
“Harm reduction itu kan seharusnya dilakukan secara medis, dengan
program yang tujuannya meminimalisir efek buruk narotika, tapi sampai
saat ini program itu belum ada di BNNP Banten karena disini pun hanya
melayani rehab jalan dengan konseling jadi tidak ada pemberian obat
sintesis maupun non sintesis kepada klien. Untuk layanan alat suntik steril
pun kita tidak lakukan, karena sebenarnya itu ranah Dinas Kesehatan yang
seharusnya berkoordinasi dengan kita, tapi sampai sekarang belum dikasih
pintu ke arah sana. Kalau dari pihak sananya mengajak ya kami pasti siap”
Q11 Berapa jangka waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan harm
reduction sampai pasien dikatakan pulih?
“Untuk narkotika ini penyakit kronis dan dia bisa kambuh-kambuhan. Dia
merusak jaringan syaraf dan otak. Jadi sebenarnya kalau untuk dikatakan
pulih jangka waktunya lebih dari dua tahun. Artinya abstinen jadi selesai
rehab disini dia tetap harus tahap pemulihan seumur hidup bahkan sampai
dia mati.”
Q11 Apa yang menjadi kendala dalam pemberian layanan rehabilitasi?
“Kendala kita itu jumlahnya makin banyak. Penyalahguna narkoba di
Banten ini jumlahnya banyak, sampai bulan ini saja yang sudah kita
tangani ada 9 voluntary dan 121 compulsary, tapi SDM juga masih kurang
dan serasa BNN ini kerja sendiri padahal kita sudah mengupayakan dengan
dinas lainnya. SDMnya sih Dokter 1, Perawat 3, SKM ada 2, dan Sarjana
Psikologi 1. Kalau idealnya itu dalam satu hari per orang hanya menangani
4 (empat) klien, itu maksimal banget karena kita ini tugasnya bukan hanya
sebagai konselor tapi juga punya tugas lain. Ada yang ngurusin asesmen
perpaduan terkait hukum juga, jadi dinisi kita itu ada yang konselor
merangkap admin walaupun sampai saat ini kita masih bisa tangani.”
Informan
dr. Ade Nurhilal Desrinah
NIP. 198512212015022002
MEMBER CHECK
Nama : Kompol Kosasih SH, MH
Jabatan : Kepala Sub Bagian
Pembinaan dan Operasional
(Binopsnal) Direktorat
Reserse Narkoba Polda
Banten
Hari / Tanggal : Rabu, 5 Juli 2017
Waktu : 10.30 WIB
Tempat : Direktorat Reserse
Narkoba Polda Banten
I
Q
I 2.1
QI Bagaimana bentuk koordinasi Polda Banten dengan BNNP Banten
dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba?
“Koordinasinya itu terkait pemeriksaan barang bukti maupun urine ke lab
karena kita belum memiliki lab untuk pemeriksaan urine.”
Q2 Apa saja hal atau program kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Ada namanya operasi interdiksi atau operasi gabungan. Selain itu juga ada
kegiatan penyuluhan P4GN.”
Q3 Pihak mana saja yang melakukan kegiatan pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Instansi terkaitnya itu BNN, Denpom dengan TNI untuk pengamannya.”
Q4 Siapa saja pihak yang menjadi sasaran dalam kegiatan pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Sasarannya kalau untuk pencegahan itu yang lebih sering adalah anak
sekolah, selain itu juga ada masyarakat umum beserta tokoh agamanya
karena kan kita langsung terjun ke lingkungan ya, dan seluruh elemen
masyarakat didalamnya lah. Kalau pemberantasan itu pengunjung tempat
hiburan terutama.”
Q5
Bagaimana pelaksanaan diseminasi informasi bahaya narkoba yang
dilakukan Polda Banten?
“Ya kita juga ada diseminasi, itu menggunakan media, media cetak
maupun online tetapi di bagian humas, jadi bukan kita berdiri sendiri.”
Q6 Tempat pelaksanaan kegiatan pencegahan dan atau pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Untuk operasi interdiksi biasanya dilakukan di pelabuhan, tempat hiburan,
kos-kosan. Untuk penyuluhan itu ada di sekolah atau bisa juga di instansi
pemerintah atau swasta.”
Q7 Daerah mana di Provinsi Banten yang menjadi daerah rawan dan
memiliki angka penyalahgunaan narkoba tertinggi?
“Berdasarkan data yang kami terima dari Polres sih lebih banyak kasusnya
itu di Kota Tangerang, untuk jumlah saat ini kita belum cek lagi, tapi
memang setiap tahunnya itu Kota Tangerang yang paling banyak kasus
narkobanya.”
Q8 Apa syarat dapat dilakukannya asesmen hingga rehabilitasi?
“Dia harus pengguna, kalau pengedar ya dia termasuk pemain dan yang
kita jadikan acuan itu adalah yang tertinggi.”
Q9 Bagaimana mekanisme pengguna narkoba yang sedang dalam proses
hukum kemudian direkomendasikan untuk menjalani tahapan untuk
dapat dilakukan rehabilitasi ?
“Di asesmen dulu, makanya tadi ada koordinasi dengan BNNP. Sebelum di
rehab dilakukan asesmen dulu.”
Q10 Apa dasar hukum kasus penyalahgunaan narkoba?
“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan ada
tambahannya tahun 2017 ini itu Permenkes Nomor 2 Tahun 2017.”
Q11 Apa sanksi hukum yang diberikan dalam kasus penyalahgunaan
narkoba?
“Untuk sanksi itu variatif tergantung pasal yang dikenakan, untuk pidana
itu minimal 4 tahun dan maksimalnya hukuman mati.”
Q12 Siapa saja pihak yang berkoordinasi dalam penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba?
“Selain BNN ada namanya Criminally Justice System yaitu pengadilan,
kejaksaan dan kemenkumham.”
Q13 Apa perbedaan wewenang antara BNN Provinsi Banten dengan Polda
Banten dalam penegakan hukum upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba?
“Perbedaannya itu kita tidak bisa merehab, kalau BNN bisa merehab,
selebihnya sama.”
Q14 Bagaimana proses penegakan hukum dalam kasus penyalahgunaan
narkoba?
“Pertama tersangka itu kita BAP kita gali keterangannya, kemudian kita
tentukan pasal, apabila dia hanya pemakai kita kenakan pasal 127
kemudian bisa kita rekomendasi untuk asesmen di BNN, hasil asesmen itu
dijadikan bahan pertimbangan jaksa selanjutnya.”
Informan
Kompol Kosasih SH, MH
MEMBER CHECK
Nama : BRIPKA Gunawan
Jabatan : Pelaksana Bagian
Pembinaan dan Operasional
(Binopsnal) Direktorat
Reserse Narkoba Polda
Banten
Hari / Tanggal : Rabu, 5 Juli 2017
Waktu : 10.30 WIB
Tempat : Direktorat Reserse
Narkoba Polda Banten
I
Q
I 2.2
QI Bagaimana bentuk koordinasi Polda Banten dengan BNNP Banten
dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba?
“Untuk Polda yang pertama terkait asesmen apa yang kita tangkap kita
amankan, kalau terbukti menggunakan atau membawa narkotika, kita
lakukan tes urine kemudian kita kirim ke BNN karena di Polda belum ada
lab untuk pemeriksaan urine.”
Q2 Apa saja hal atau program kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Ada namanya operasi interdiksi atau operasi gabungan. Selain itu juga ada
kegiatan penyuluhan P4GN.”
Q3 Pihak mana saja yang melakukan kegiatan pencegahan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten, BNNP Banten, dan Denpom
terkait instansi samping ataupun dari TNI untuk pengamanannya.”
Q4 Dalam kegiatan pencegahan langsung, apakah tempatnya sudah
ditentukan atau atas permintaan masyarakat/instansi?
“Ada dua, yang pertama Polda dan instansi terkait seperti BNN datang
langsung ke lokasi dan yang kedua itu berdasarkan permintaan. Ada juga
program kegiatan pencegahan terhadap anak-anak sekolah yang dilakukan
rutin 2 kali dalam satu bulan.”
Q5 Media yang digunakan dalam diseminasi informasi bahaya narkoba?
“Untuk pencegahan sementara terpusat di humas. Jadi kita mengirimkan
data dan bahannya, nanti humas yang mempublikasikannya.”
Q6 Tempat pelaksanaan kegiatan pencegahan dan atau pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Untuk operasi interdiksi biasanya dilakukan di pelabuhan, tempat hiburan,
kos-kosan. Untuk penyuluhan itu ada di sekolah atau bisa juga di instansi
pemerintah atau swasta.”
Q7 Daerah mana di Provinsi Banten yang menjadi daerah rawan dan
memiliki angka penyalahgunaan narkoba tertinggi?
“Daerah dengan penyalahgunaan teringgi itu kita hanya bisa kasih tau
secara umum, tidak bisa disebutkan secara spesifik jumlahnya ya.
Daerahnya itu pertama Kota Tangerang, diantara Kota/Kabupaten lainnya
memang Tangerang, pertama Kota kedua Kabupatennya, baru menyusul
daerah lain seperti Serang, Cilegon Pandeglang dan lainnya.”
Q8 Apa syarat dapat dilakukannya asesment hingga rehabilitasi?
“Khusus pengguna narkoba saja. Jika sekaligus pengedar, yang kita jadikan
acuan itu adalah yang tertinggi. Kemudian dikategorikan apakah dia
pengguna ringan, sedang atau berat.”
Q9 Bagaimana mekanisme pengguna narkoba yang sedang dalam proses
hukum kemudian direkomendasikan untuk menjalani tahapan untuk
dapat dilakukan rehabilitasi ?
“Jadi si penyalahguna tertangkap kita ajukan asesmen, nanti yang
menentukan vonsinya apakah di rehabilitasi atau tidak itu sesuai putusan
pengadilan. Kita hanya merekomendasikan saja.”
Q10
Apa dasar hukum kasus penyalahgunaan narkoba?
“Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009.”
Q14 Apa sanksi hukum kepada penyalahguna narkoba?
“Sanksinya antara 4 tahun kurungan penjara sampai hukuman mati,
tergantung apakah dia pengguna di pasal 127, memiliki menguasai dan
menyimpan pasal 112 atau pengedar di pasal 114.”
Q15 Siapa saja pihak yang berkoordinasi dalam penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba?
“Koordinasinya dengan Kejaksaan, Pengadilan dan Kemenkumham.”
Informan
BRIPKA Gunawan
MEMBER CHECK
Nama : Asep Hanan S.IP
Jabatan : Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna
Sosial, NAPZA dan Korban
Perdagangan Orang (KPO) Dinas
Sosial Provinsi Banten
Hari / Tanggal : Rabu, 21 Juni 2017
Waktu : 11.05 WIB
Tempat : Dinas Sosial Provinsi
Banten
I
Q
I 2.3
QI Bagaimana bentuk koordinasi Dinas Sosial Provinsi Banten dengan
BNN Provinsi Banten dalam pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba?
“Setidaknya ada 3 (tiga) aspek yang terkait dengan masalah NAPZA, yang
pertama ada aspek pencegahan, kemudian aspek pelaksanaan atau
rehabilitasi, kemudian yang ketiga itu after care atau pasca rehabilitasi dari
medis.”
Q2 Apa saja hal atau program kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Untuk pencegahan itu adanya upaya pendataan dan penjangkauan di
titik/spot yang sekiranya terdapat narkoba, dan juga kita koordinasi dengan
organisasi atau lembaga kesejahteraan sosial yang terkait dengan
penanganan korban NAPZA dan HIV/AIDS. Sedangkan upaya pencegahan
langsung kaya penyuluhan keliling gitu selama ini ada di bidang PSDS
(Potensi dan Sumber Daya Sosial) itu yang melakukan penyuluhan. Kalau
dari bidang ini itu ya tadi pendataan dan penjangkauan sama UPSK (Unit
Penjangkauan Sosial Keliling), nanti di UPSK itu juga ada medisnya.”
Q3 “Pihak mana saja yang melakukan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Pihaknya itu ada BNNP Banten, Dinas Kesehatan, ada dari Lapas atau
Bapas (Balai Pemasyarakatan) juga.”
Q4 Siapa saja pihak yang menjadi sasaran dalam kegiatan pencegahan
dan pemberdayaan masyarakat penyalahgunaan narkoba di Provinsi
Banten?
“Kalau pencegahan yang kita undang adalah PSKS atau diistilah kami itu
Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial seperti para LSM, tokoh
masyarakat, tokoh agama, karang taruna, tagana ataupun organisasi
kepemudaan. Itu biasanya satu kali pelaksanaan ada sebanyak 100 orang
setiap kabupaten/kota, berarti kalau seBanten kan delapan kabupaten/kota.
Itu yang kita sasar, kita beda ya dengan dinas lain.”
Q5 Daerah mana di Provinsi Banten yang menjadi daerah rawan dan
memiliki angka penyalahgunaan narkoba tertinggi?
“Kalau untuk itu terus terang yang punya data itu sih BNN, tapi selama
yang kita dapet sih Tangerang itu zona merahnya.”
Q6 Apakah terdapat tempat rehabilitasi lainnya di Provinsi Banten selain
di BNN Provinsi Banten?
“Kalau di Banten itu ada, tapi semuanya itu milik masyarakat tidak ada
milik pemerintah daerah. Dengan adanya kewenangan pusat kan berarti
ditarik jadi di kita tidak ada panti-panti rehab yang milik pemerintah. Ini
khusus Banten ya.”
Q7 Bagaimana pelaksanaan kegiatan pascarehabilitasi yang dilakukan
dengan BNN Provinsi Banten?
“After care atau katakanlah pelayanan pasca rehabilitasi, jadi para mantan
korban penyalahguna NAPZA yang telah dikatakan pulih oleh lembaga
rehabilitasi itu kita berikan pelatihan keterampilan sesuai dengan minat
bakat mereka. Selama ini biasanya ada bengkel sepeda motor, ada counter
pulsa, ada juga perwarungan, ada sablon, yang terbaru itu service
handphone. Pokoknya sesuai minat bakat mereka ya mereka mau apa,
misalnya pak nih saya maunya jual pulsa, ada juga yang jualan ikan.
Asalkan mereka sudah dikatakan pulih, didata oleh kita dan dari BNN juga
ada, dengan yayasan sosial pun ada. Diberikan pelatihan lalu mereka
diberikan bantuan stimulan berupa peralatan usaha ekonomi produktif yang
mereka pilih seharga biasanya lima juta rupiah.”
Informan
Asep Hanan S.IP
MEMBER CHECK
Nama : H. R. Wahyu Santoso W.
SKM. M.Si
Jabatan : Kepala Bidang Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit
(P2P) Dinas Kesehatan
Provinsi Banten
Hari / Tanggal : Jumat, 16 Juni 2017
Waktu : 9.50 WIB
Tempat : Dinas Kesehatan
Provinsi Banten
I
Q
I 2.4
Q1 Apakah terdapat kordinasi antara Dinas Kesehatan Provinsi Banten
dengan BNN Provinsi Banten dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba?
“Ya ada, bentuk koordinasinya berupa pertemuan dan kerjasama, pelatihan
juga ada.”
Q2 Dimana tempat pelaksanaan kegiatan pencegahan dan atau
pemberantasan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Untuk pelatihan yang diselenggarakan Dinas Kesehatan ya dilakukan
disini, kami yang mengundang pihak BNN.”
Q3 Bagaimana pelaksanaan diseminasi informasi bahaya narkoba yang
dilakukan Dinas Kesehatan Provinsi Banten?
“Tugas dan fungsi Dinas Kesehatan adalah memantau peredarannya. Kalau
terkait dengan penyalahgunaan narkoba, menginformasikan bahaya
narkoba ke masyarakat tentunya ada, untuk bidang P2P ini lebih ke
pemberantasan penyakit termasuk dengan jiwa sebenarnya.”
Q4 Apakah terdapat peran Dinas Kesehatan dalam pelaksanaan
rehabilitasi yang dilakukan BNN Provinsi Banten?
“Untuk saat ini belum, karena kita belum punya tempat rehab bagi pecandu
narkoba di wilayah Banten, yang ada adalah dukungan terhadap
pelaksanaan IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) bagi orang yang
tertangkap dan dia menderita HIV.”
Q5 Bagaimana bentuk kegiatan sebagai upaya pengurangan dampak
buruk bagi penyalahguna narkoba?
“Program itu diperuntukan bagi para pemakai narkoba yang terindikasi
terkena HIV. HIV itu ada tiga macam, salah satu penyebabnya adalah pada
pengguna narkoba suntik. Sektor kesehatan itu telah mengantisipasi dengan
ada dua metode ya, yang pertama itu dengan program PTRM (Program
Terapi Rumatan Metadon) dan kemudian ada LAS (Layanan Alat Suntik
Steril).”
Informan
MEMBER CHECK
Nama : Heri Purnomo, SH
Jabatan : Kepala Seksi Pembinaan dan
Pendidikan LAPAS Serang
NIP : 197108181993031001
Hari / Tanggal : Kamis, 27 Juli 2017
Waktu : 10.30 WIB
Tempat :Lembaga
Pemasyarakatan
(LAPAS) Serang
I
Q
I 2.6
Q1 Bagaimana bentuk koordinasi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)
Serang dengan BNN Provinsi Banten dalam pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan narkoba?
“Kami selalu ada koordinasi terkait penggeledahan di dalam, ditemukan
atau engga barang terlarang ataupun alat komunikasi yang mengarah ke
penggunaan ataupun peredaran gelap narkoba, BNN juga mengadakan tes
urine. Selain itu juga BNNP Banten pernah melakukan rehabilitasi.”
Q2 Apa saja hal atau program kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba khususnya di LAPAS Serang
ini?
“Kita kan lalu lintas itu adanya selalu di pintu utama atau P2U
(Pengamanan Pintu Utama). Hal-hal yang dapat kita lakukan semaksimal
mungkin ada tadi alat pendetaksi metal, ada alat yang kaya masuk gawang
itu juga, cuma untuk alat yang secara khusus sebagai pendeteksi narkoba
itu kita belum punya karena itu harganya mahal bisa sampai 800 juta jadi
belum tercover. Yang bisa kita lakukan adalah ya kepentingan kita sajalah
kaya pengiriman barang, makanan selalu kita teliti mungkin kalau roti ya
kita potong-potong dulu takutnya di dalamnya diselipkan narkoba, nasi
juga mohon maaf kita acak-acak, terus sandal kita ganti dengan sandal
yang ada di kita, karena modus operandinya itu kan banyak sekali.
Makanya penggeledahan-penggeledahan itu kita intensifkan supaya
meminimalisir tidak ada penyelundupan ke dalam Lapas, itu pun masih
banyak juga cara-cara yang lain. Terus mental pegawai juga tidak menutup
kemungkinan kan namanya manusia dengan iming-iming ini itu ya kita
tidak memunafikan itu ada.”
Q3 Apa jenis pelayanan rehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi Banten
di LAPAS Serang ini?
“Kalau rehab baru sekali, mungkin nanti akan rutin ya setahun sekali pasti
ada. Ada rehab medisnya, psikologisnya dan rehab sosialnya juga, ya
macam-macam life skillnya juga ada. Jadi ada beberapa komponen
rehabnya itu.”
Q4 Bagaimana mekanisme pelaksanaan rehabilitasi di LAPAS Serang?
“Pelaksanaan disini BNN itu menunjuk konselor, ia mempunyai tenaga
ahli di bidang konseling terus melibatkan juga tenaga dari kita walaupun
itu dibawah koordinasi dari BNN. Dokter, perawat dan tenaga keamanan
yang sudah di training untuk menangani warga binaan kasus
penyalahgunaan narkoba itu dilibatkan juga.”
Q5 Berapa jangka waktu pelaksanaan rehabilitasi yang dilakukan BNN
Provinsi Banten di LAPAS Serang?
“Jangka waktunya untuk yang sudah kita lakukan kemarin itu selama 3
bulan.”
Q6 Apakah terdapat juga pelaksanaan kegiatan pascarehabilitasi yang
dilakukan BNN Provinsi Banten?
“Untuk disini yang waktu itu dilakuin ada olahraga pagi sampai dengan
memberikan materi tentang wirausaha, terus tentang keterampilan ada juga
kaya buat kerajinan, service ac, ya pokoknya bekal-bekal keterampilan
yang bermanfaat banyak lah mba.”
Q7 Apa sanksi yang diberikan apabila terdapat warga binaan yang
terbukti memiliki atau menggunakan narkoba?
“Oh kalau seperti itu kan Lapas bukan pihak yang berwenang menangani
kasus peredaran narkoba, jadi apabila terbukti disini ada penyalahgunaan
atau penyelundupan gitu kita serahkan lagi ke pihak yang berwajib, ke
polisi baik itu Polres Polda ataupun BNNP untuk menindaklanjuti, dalam
arti nanti akan ada perkara baru untuk dia, akan di sidik lagi disamping
disini pasti akan mendapatkan hukuman disiplin yaitu pencabutan hak-
haknya sebagai warga binaan seperti tidak mendapatkan remisi selama satu
tahun, tidak mendapat hak untuk dapat pembebasan bersyarat.”
Q8
Apakah terdapat kendala dalam koordinasi dengan BNN Provinsi
Banten?
“Kalau kendala sih tidak ada, tapi lebih ke hambatannya ya itu program
rehabilitasinya tidak berkesinambungan. Mereka mungkin pas greget pas
ada anggaran turun, segera mungkin mereka mengasesmen kalau tidak
anggaran ya udah begini begini aja. Padahal yang bagus kan
berkesinambungan. Setelah keluar juga harusnya ada evaluasi atau
pascarehabilitasi untuk dimonitor masih memakai atau tidak, terus yang
dikasih materi itu bermanfaat atau tidak, terkait pola hidupnya terus
wirausahanya gimana apakah mereka bisa mencari pekerjaan yang lain
atau masih kembali ke itu-itu saja bahkan mungkin meningkat jadi
pengedar.”
Informan
Heri Purnomo, SH
MEMBER CHECK
Nama : Tri Sutrisno, SH
Jabatan : Kepala Seksi Tindak Pidana
Umum Lainnya
NIP : 19820303 200501 1 005
Hari / Tanggal : Rabu, 5 Juli 2017
Waktu : 11.40 WIB
Tempat : Kejaksaan Tinggi
Banten
I
Q
I 2.5
Q1 Bagaimana bentuk koordinasi Kejaksaan Tinggi Banten dengan
BNNP Banten dalam pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan narkoba?
“Kita lebih fokus pada penegakan hukum karena kita kan penegak hukum
ya, dan lebih fokusnya kepada pemberantasannya. Sesuai dengan Undang-
undang kita kan selaku jaksa penuntut umum, koordinasi kita dengan BNN
itu dalam bidang penegakan hukum seperti dalam penanganan perkara
misalnya ada perkara tindak pidana narkotika, penyidiknya adalah BNN
disitulah awal kita berkoordinasi, BNNP selaku penyidik dan kita selaku
jaksa penuntut umum. Ada juga dalam hal perkara ini penyalahguna adalah
pemakai atau korban, disitu kita ada konsolidasi tersendiri diatur dalam
Undang-Undang ada mekanisme namanya asesmen. Itulah yang menjadi
sinergitas kita dengan BNN.”
Q2 Apa saja hal atau program kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Kalau pencegahannya itu kan ada bidangnya masing-masing, di kami
kalau untuk pencegahannya itu kerjasama dengan intel memberikan
penyuluhan kepada masyarakat, kepada anak sekolah. Itu bidang
pencegahannya.”
Q3 Apa syarat seseorang dapat menerima layanan rehabilitasi?
“Syaratnya pertama kita lihat dari berkasnya dulu, apakah dia pemakai atau
bukan. Kalau ada indikasi bahwa dia pemakai atau korban maka bisa
dilakukan asesmen, dan kita hanya memandang dari sisi hukumnya saja.
Nanti ada lagi dari tim asesmen medis biasanya dari kedokteran kepolisian
(dokpol) sama dokter umum, psikolog.”
Q4
Apa saja aspek yang ditekankan pada saat dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis rehabilitasi dan jangka waktu dalam
proses rehabilitasi?
“Kalau kami dari sisi hukum itu meneliti apakah dia terlibat jaringan
narkotika atau tidak, apakah dia benar-benar penyalahguna atau tidak.
Disitulah yang kita teliti, apabila dia terlibat jaringan narkotika maka
timbul kesimpulannya dan dia tidak layak rehabilitasi. Kalau dia pemakai
atau korban penyalahgunaan narkotika kita akan memberikan kesimpulan
bahwa ini tidak terlibat jaringan dan dia hanya pengguna maka layak untuk
dilakukan rehabilitasi.”
Q5 Berapa jangka waktu dalam proses rehabilitasi di BNN Provinsi
Banten?
“Jadi di dalam asesmen itu kan ada pendapat medis, disitu mereka akan
menakar menilai seberapa jauh ini orang ketergantungan terhadap obat
misal dia kategori ringan itu kita rehabilitasinya 3 bulan, kalau kategori
sedang bisa 6 bulan, kalau kategorinya berat sekali itu bisa sampai satu
tahun.”
Q6 Bagaimana ketersediaan sarana dan prasarana untuk kegiatan
rehabilitasi di Provinsi Banten?
“Nah itu sih kendalanya, tapi lebih ke masukan ya mengenai rehabilitasi di
Banten ini sendiri belum ada perangkat untuk rehabilitasi. Itu yang kita
butuhkan seperti balai rehabilitasi, karena selama ini di lapangan itu
rehabilitasinya dilakukan di LP yang menurut saya masih kurang mengena
karena kan masih tercampur dengan pelaku lainnya, sedangkan pengguna
ini harus dipisahkan tidak boleh dicampur. Kalau rehabilitasi ya
ditempatkan di tempat khusus yang selama ini kita kirim ke LIDO
sedangakan LIDO kan jauh, harusnya untuk sebesar Banten yang ada di
pinggiran ibu kota atau bisa dibilang penyangga ibu kota ya harusnya
sudah punya tempat rehabilitasi sendiri. Itu yang seharusnya Pemerintah
Daerah memikirkan kesana.”
Q7 Pihak mana saja yang terlibat dalam pelaksanaan asesmen?
“Kita adalah tim asesmen hukum terdiri dari jaksa, polisi dan dari BNN.
Tiga unsur inilah yang menggali para penyalahguna, apakah dia benar-
benar penyalahguna atau dia pengedar terlibat jaringan narkotika dan ada
indikasi ketergantungan narkotika atau tidak. Ada tiga hal yang kita gali.”
Q8 Apa dasar hukum kasus penyalahgunaan narkoba?
“Dasar hukumnya Undang-Undang Narkotika, itu Undang-Undang Nomor
35 Tahun 2009.”
Q9 Apa sanksi hukum yang diberikan dalam kasus penyalahgunaan
narkoba?
“Tentu sesuai Undang-Undang dan pasal yang didakwakan, misalnya pasal
112 memiliki itu ada ancamannya minimal 4 tahun dan bisa sampai 15
tahun atau hukuman mati.”
Q10 Bagaimana proses penegakan hukum dalam kasus penyalahgunaan
narkoba?
“Setelah P21 dan penyerahan barang bukti, kami akan menyusun dakwaan
sesuai apa yang ada dalam berkas kepolisian, setelah dakwaan sempurna
lengkap dan jelas kita limpahkan ke pengadilan. Disanalah kita harus
buktikan dakwaan kita, apa yang ada dalam BAP dan kita dakwakan itu
kita buktikan di persidangan. Nanti kita hadirkan terdakwa, saksi, barang
bukti dan lima alat bukti yaitu petunjuk surat dan keterangan terdakwa itu
sendiri. Kita berusaha meyakinkan hakim bahwa si terdakwa benar
melakukan perbuatan pidana sesuai yang didakwakan. Dari situ proses
pembuktian dan kemudian hakim membuat putusan sesuai pasal yang kita
dakwakan, bisa pasal 114, 112, 127 atau pasal yang lainnya.”
Informan
Tri Sutrisno, SH
NIP. 19820303 200501 1 005
MEMBER CHECK
Nama : Moh. Arif Mulyawan. R
Jabatan : Mitra BNN Provinsi
Banten/Konsultan
Hari / Tanggal : Rabu, 5 Juli 2017
Waktu : 11.40 WIB
Tempat : Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa Serang
I
Q
I 1.5
Q1 Apa saja hal atau program kegiatan yang dilakukan sebagai upaya
pencegahan penyalahgunaan narkoba di Provinsi Banten?
“Jadi menurut saya bagaimanapun bahwa kalau ingin memutuskan mata
rantai peredaran gelap ini ya kita ke demand bukan di supply. Demandnya
ini yang harus kita pangkas, misalnya semakin banyak kita melakukan
penyuluhan, sosialisasi, training atau membuat kader-kader pencegahan,
kampung anti narkoba dan lain sebagainya. Semakin banyak kita
memberikan pengetahuan tentang dasar narkoba, maka masyarakat pun
akan semakin banyak tahu juga dan kedua yang jadi masalah itu metode
atau skill komunikasi BNN kepada masyarakat. Ini yang saya coba koreksi,
ini lebih cenderung pada pasal pasal yang masyarakat belum tentu paham
dengan pasal pasal itu, lebih cenderung pada Undang-Undang, kebijakan
yang masyarakat belum paham pada situasi itu. Harusnya lebih pada
komunikatif bagaimana ini narkoba, bahayanya gini, efeknya gini, hal yang
sederhana dan mudah diserap oleh masyarakat. Nah itu tidak dilakukan
oleh BNN. Kadang BNN ingin gaul dengan situasi anak muda dan
sebagainya tetapi membuat strategi komunikasinya kaku, ketika kaku itu
akhirnya jenuh, monotone dan mereka ga mau baca. Hal-hal kaya gitu yang
harus dipahami dulu.”
Q2
Apa peran mitra atau penggiat di BNN Provinsi Banten?
“Jadi gini, namanya penggiat itu kan disebutnya sebagai mitra, artinya
membantu peran-peran maupun tugas BNN secara teknis di lapangan.
Tugas BNN kan ada 3 bidang, bidang Pencegahan dan Pemberdayaan
Masyarakat, bidang rehabilitasi, dan bidang pemberantasan. Nah berarti
tiga bidang ini bersinergi, tetapi bidang pemberantasan ini lebih kencang
daripada bidang pencegahan seperti kasus yang kemarin di Anyer satu ton
ditangkap, padahal permasalahan narkotika itu bukan di supply tetapi
demand. Nah ini yang kurang dipahami oleh BNN, jadi saya sebagai mitra
itu terkadang memberikan masukan dengan mitra saya di bidang
pencegahan dan pemberdayaan masyarakat (dayamas).”
Q3 Apa saja aspek yang ditekankan pada saat dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis rehabilitasi dan jangka waktu dalam
proses rehabilitasi?
“Biasanya BNN melakukan asesmen kepada penyalahguna, mulai dari tes
urine, cek kesehatan, tes psikologinya juga oleh dokter psikiater atau
psikolog, terus mulai dari kronologisnya, riwayat hidupnya, nah baru hasil
asesmen itu disimpulkan bahwa memang dia adalah pengguna, jadi tidak
bisa dibohongi, kalau misalnya saya pengguna nih tapi faktanya dia adalah
bandar, tapi ketika bandar ternyata dia user yang butuh barang.”
Q4 Apa saja hal atau program kegiatan sebagai upaya harm reduction
(pengurangan dampak buruk) bagi penyalahguna narkoba?
“Harm reduction itu kan program pengurangan dampak buruk, ini adalah
PTRM (Program Terapi Rumatan Metadone) atau Layanan Alat Suntik
Steril. Nah pengurangan dampak buruk ini sebetulnya untuk memutuskan
mata rantai kecanduan atau ketergantungan. Misalnya dia ketergantungan
heroine yang disuntikan, akhirnya kita rujuk untuk memutuskan proses
menyuntik ini kepada PTRM, narkotika heroinnya diganti dengan
narkotika sintesis metadone sehingga di oral. Ketika diganti dengan yang
sintesis maka nanti penguatannya akan mengikuti itu. Kalau untuk alat
suntik sterile itu pengurangan dampaknya lebih pada dia menyuntik sendiri
daripada dia tadinya satu suntikan itu bareng-bareng sehingga buruknya itu
ke penyakit yang diderita, bisa hepatitis, tubercolosis, bisa macem-macem
lah ya nanti, sehingga jarum suntik itu diberikan untuk diri sendiri, tidak
sharing dengan yang lain-lain.”
Q5 Berapa jangka waktu yang dibutuhkan dalam pelaksanaan harm
reduction?
“Sekarang logikanya orang ketergantungan narkotik selama 5-10 tahun,
tidak mungkin bisa berhenti dalam 1 sampai 2 bulan, artinya harus
bertahap. Jadi satu tahun pertama itu 200ml, tahun kedua 150ml, tahun
ketiga 100ml, jadi kurangi sampai abstinene (tidak menggunakan sama
sekali).”
Q6
Siapa saja pihak yang berkoordinasi dalam penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba?
“Ini ada yang namanya peraturan bersama. Peraturan bersama itu terdiri
dari Polda, BNN, Kejaksaan Tinggi, Pengadilan dan Kanwilkumham.
Peraturan bersama ini untuk menyikapi dan membedakan dia adalah user,
kurir, atau bandar. Kalau user sehingga putusan pengadilan adalah di
rehabilitasi, tetapi kalau misalnya dia kurir ataupun bandar terbukti dengan
barang bukti yang cukup memberatkan maka dia vonisnya adalah penjara.”
Q7 Bagaimana proses penegakan hukum dalam kasus penyalahgunaan
narkoba?
“Jadi ketika misalnya BNN yang menangkap ternyata dia adalah user
(pengguna), kemudian BNN merekomendasikan bahwa dia harus di rehab.
Tapi ketika kepolisian menangkap bahwa ada kurir maka direkomendasi
oleh penyidik polda adalah di penjara. Nah ketika BAP yang dikeluarkan
oleh BNN maupun Polda, itu kan masuk ke Kejaksaan untuk diolah dikaji
untuk menilai sudah cukup atau belum ini (P21 atau belum) apabila sudah
P21 maka dilanjut ke Pengadilan untuk persidangan berkaitan dengan
hakim, jaksa penuntut umum, maka keputusan itu kewenangan hakim
sedangkan tuntutan itu kewenangan jaksa. Setelah ada putusan masuklah
ke penjara (Lapas) dengan kewenangan kanwilkumham, apakah dia di
rutan atau di Lapas khusus narkotika atau Lapas umum.”
Informan
Moh. Arif Mulyawan. R
(taufik) (Wawancara dengan I2.7 di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten pada 5
Oktober 2017 pukul 14.40 WIB)
Apa jenis pelayanan rehabilitasi yang diberikan BNN Provinsi Banten?
Rawat jalan. Setiap satu minggu itu wajib dua kali kesini. Ya konseling, dikasih
arahan, ditanya perkembangannya, dikasih materi juga makanya bawa buku gini nanti
di tes juga sama dokternya.
proses rehab
Kalau saya itu ketangkap Polres, jadi kalau dari pihak Polres kesininya saya gak tau
gimana. Pokoknya waktu di Polres ya di BAP terus ya saya kan cuma pemakai,
ngakuin itu aja pas di proses. Terus dari pihak keluarga menanyakan ke polisi biar
saya bisa di rehab aja. Udah hampir satu bulan saya di polres, dibawa kesini terus
asesmen kaya di BAP ulang gitu lah. Nunggu hasil akhirnya bisa rehabilitasi, saya
dibebasin tapi harus ngisi dokumen gitu terus bikin surat pernyataan dari saya dan
surat jaminan dari keluarga.
Apa saja aspek yang ditekankan pada saat dilakukan asesmen sebagai tolak
ukur penentuan jenis rehabilitasi dan jangka waktu dalam proses rehabilitasi?
Asesmen waktu itu sih ya diperiksa ditanya tanya pemakaiannya, jenisnya, udah
berapa lama, dapet darimana. Pokoknya sama kaya BAP tapi lebih banyak
pertanyaannya karna yang meriksa itu banyak bukan cuma polisi sama dari BNN.
HARM REDUCTION
Ga pernah kalau disini mah cuma konseling aja, ga dikasih obat apa-apa pokoknya
harus berhenti total aja karena di cek setiap minggunya.
Lapas (rohim) (Wawancara dengan I2.8 di Lembaga Pemasyarakatan Serang pada 12
Oktober 2017 pukul 10.15 WIB)
Jadi rehabnya itu pertama kaya konsultasi sama dokter gitu dari BNN, ya sharing
tentang berapa lama pakainya, terus jenisnya apa, kenapa bisa pakai narkoba. Terus
pertemuan berikutnya itu dikasih masukan, materi juga ada, ya dapet banyak ilmu lah
teh dari situ. Dikasih arahan banyak terus kita suruh bener-bener pahamin renungin
gitu.
Iya ada pelatihan untuk usaha, ada beberapa pilihan gitu bisa pilih sesuai yang kita
mau, kalau saya waktu itu ikut service hp. Lumayan lah teh buat nanti kalau keluar
kan bisa buat usaha saya.
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : Sugino, SE, MH
Jabatan : Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN
Provinsi Banten
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Senin, 19 Juni 2017 pukul 10.30 WIB di
BNN Provinsi Banten
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Prevention
(Pencegahan)
Apa saja hal atau program
kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya pencegahan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Pencegahan itu kita ada pencegahan diri
yang terdiri dari advokasi yaitu
mempengaruhi kepada stakeholder baik itu
pemerintah maupun swasta, untuk mengajak
supaya mari kita sama-sama memerangi
masalah narkoba karena sudah darurat
narkoba. Kalau tidak bersama-sama, BNN
juga tidak masif karena BNN ini terbatas.
Dasarnya adalah Permendagri Nomor 21
Tahun 2013, jadi Walikota Bupati Gubernur
harus memberikan fasilitasi supaya
menganggarkan dasarnya Perda kepada
STOK ataupun stakeholder ataupun SKPD itu
harus menganggarkan tentang pencegahan
narkoba, nanti pelaksanaannya bisa ke
kampus, ke pekerja. Itulah advokasi.
Yang kedua adalah diseminasi yaitu dengan
membuat media baik tatap muka, online,
ataupun video tron, berarti media cetak dan
media elektronik gitu. Itulah diseminasi.
Bagaimana kita membuat iklan untuk
mempengaruhi masyarakat melalui TV,
medsos, video tron, surat kabar. Kemudian
juga ada sosialisasi, ada KIE Komunikasi
Informasi dan Edukasi itu langsung turun ke
masyarakat, ke pemerintahan, ke swasta. Jadi
begitulah ada advokasi dan diseminasi.
Kemudian masuk kepada pemberdayaan
masyarakat yaitu kita mengajak
pembangunan wawasan anti narkoba,
memberdayakan masyarakat, swasta maupun
instansi pemerintah dan pendidikan. Itu ajak-ajak supaya dia ada program mandiri,
misalnya kita ajak Untirta, sudah kita bentuk
satgas sudah tes urin mau tidak mau Untirta
itu harus ada pemberdayaan, mari kita tolak
narkoba agar kampus ini bersih dari narkoba.
Itu yang namanya memberdayakan. Yang
bermain itu satgas dan kader-kader yang
sudah kita cetak. Selain itu juga membuat
kampung bersih narkoba, terus melakukan tes
urin. Itu contohnya program-program yang
ada di BNN bidang pencegahan dan
pemberdayaan masyarakat.”
Siapa saja pihak yang
berkoordinasi dalam kegiatan
pencegahan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten?
“Ya kita selalu ajak-ajak dari SKPD, dari
OPD, termasuk Polda, Dinsos, Dinkes,
bahkan pariwisata, Dispora. Jadi memang
luas kalau bicara narkotika itu. Kita gabung-
gabung bareng, kita ajak-ajak bahwa
diharapkan bisa masuk ke dunia narkotika
agar tahu bagaimana mencegah narkotika di
lingkungannya. Jadi dilibatkan semuanya,
swasta pun masuk seperti Krakatau Posco
juga masuk itu. Terus kita rekrut masyarakat
juga, kita jadikan relawan maupun penggiat
yang harapannya adalah orang-orang yang
tidak terkena narkotika dengan adanya KIE
menjadi tahu dan tidak pakai. Kalau sudah
terkena, harapannya dengan adanya
penjelasan kita ya hentikan dan rehabiltasi
dengan datang ke BNN. Kalau dia sudah
bandar dan tidak mau menyerahkan diri,
kalau kena berarti dia pidana.”
Pihak mana saja yang
melakukan kegiatan
pencegahan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten?
“Selain dari BNN, kita menjadikan relawan
mapun penggiat yang harapannya adalah
orang-orang yang tidak terkena narkotika
dengan adanya KIE menjadi tahu dan tidak
pakai. Kalau sudah terkena, harapannya
dengan adanya penjelasan kita ya hentikan
dan rehabiltasi dengan datang ke BNN. Kalau
dia sudah bandar dan tidak mau menyerahkan
diri, kalau kena berarti dia pidana.”
Apa peran penggiat atau
mitra di BNN Provinsi
Banten?
“Kenapa kita ada penggiat? Bahwa BNN
tidak mampu dan masalah narkotika harus
diatasi bersama, baik dari pemerintah, dari
swasta, dari pendidikan dan dari masyarakat.
Mereka ini diharapkan bisa membantu
kegiatan kami dan nantinya antara lain dia kita TOT (Training of Trainer), itu kita ajak
bersama-sama. Ada yang punya yayasan, ada
juga yang hanya menjadi relawan. Karena
kita ga mampu mengcover semuanya, jadi
kita ajak-ajak kita bekali, kita berikan
identitas, diberikan kemampuan akhirnya
nanti dia bicara bagaimana mencegah
narkotika di kalangan masyarakat. Mereka
diawasi kita, karena kita ada advokasi,
pendahuluan, TOT atau materi, dan nanti kita
minta juga schadule kegiatan dia.”
Siapa saja pihak yang
menjadi sasaran dalam
kegiatan pencegahan dan
pemberdayaan masyarakat
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Ya itu tadi kalau pemberdayaan masyarakat
ada peran serta masyarakat termasuk kampus,
pemerintahan, ada swasta dan ada juga
elemen pendidikan. Jadi kami bicara soal SD,
SMP, SMA sampai kampus, ada juga pabrik-
pabrik itu.“
Dalam kegiatan pencegahan
langsung, apakah tempatnya
sudah ditentukan atau atas
permintaan
masyarakat/instansi?
“Kegiatan itu ada dua sumber, pertama kita
diminta misalnya Untirta atau UIN
mengadakan seminar, saya diminta untuk
menjadi narasumber atau pembicara disana,
atau bisa juga penyelenggaraannya dengan
anggaran kita sendiri tetapi anggaran kita ini
terbatas, jadi banyaknya yang non anggran.
Kita datang setelah ada surat ke kepala
BNNP, baik itu dari masyarakat, kampus,
instansi pemerintahan ataupun swasta.
Biasanya kalau dari anggaran sendiri sih
jarang untuk kegiatan seminar gitu, lebih
banyak untuk kegiatan pembinaan life skill.”
Media yang digunakan dalam
diseminasi informasi bahaya
narkoba?
“Seperti tadi dalam diseminasi itu
menggunakan media tatap muka, online,
ataupun video tron, berarti media cetak dan
media elektronik gitu, bisa melalui TV,
medsos, video tron, surat kabar.”
Bagaimana strategi
komunikasi yang dilakukan
BNN Provinsi Banten kepada
masyarakat dalam
menginformasikan bahaya
narkoba?
“Kalau strategi komunikasi itu ya melalui
berbagai media tadi, terus kita juga libatkan
pihak-pihak lain di luar karena sekali lagi
masalah narkoba ini harus diatasi bersama.
Bahkan kita juga masukan ke medsos untuk
supaya dibaca di lihat oleh orang-orang.
Supaya tahu bahwa perkembangan BNN ini
menjalankan kemitraan, termasuk pemuda-
pemudi anti narkoba. Karena kalau cuma dari
BNN ya tentu tidak akan masif. SDM dan
anggaran kita saja masih kurang, sedangkan sekarang supply and demand ini kencang
sekali. Ternyata PCC dan narkotika-narkotika
jenis baru ini terus masuk kan bisa dilihat di
media. Itulah yang terjadi, makanya kita ajak-
ajak namanya penggiat, relawan dan semua
pihak.”
Daerah mana di Provinsi
Banten yang menjadi daerah
rawan dan memiliki angka
penyalahgunaan narkoba
tertinggi?
“Dalam pemberdayaan alternatif itu kita
memetakan daerah rawan, di Provinsi Banten
ini ada delapan Kabupaten/Kota, mana yang
pertama penyalahgunaan narkobanya itu
paling tinggi, daerah rawan itu ada tempat
peredaran narkotika dan pemakainya tinggi,
contohnya yang pertama itu Kota Tangerang,
kedua Kabupaten Tangerang, ketiga
Tangerang Selatan, dan kemudian baru Kota
Serang dan Cilegon. Itu contoh dari ranking-
ranking pemetaan daerah rawan narkoba dari
sisi P2M melibatkan unsur-unsur yang terkait
salah satunya kepolisian. Mana yang
penyalahgunaan narkobanya paling tinggi
contohnya tadi Kota Tangerang karena
adanya pemakai, adanya bandar, adanya
penjualan obat-obatan terlarang juga. Nah
nantinya daerah rawan itu kita jadikan model
untuk dibina supaya mantan-mantan narkoba
tadi kita buat supaya punya keterampilan atau
life skill.”
Apa yang menjadi kendala
dalam pelaksanaan kegiatan
pencegahan penyalahgunaan
narkoba di Provinsi Banten?
“Kami belum masif karena terbatasnya
anggaran dan terbatasnya Sumber Daya
Manusia. Itu termasuk kelemahan dan
kendala. Kenapa narkotika banyak, ya karena
belum masif peran serta masyarakat dan
pemerintah daerah. Itu kunci dalam kendala
sehingga masif, ternyata narkoba masih
banyak dan dibutuhkan solusi yaitu peran
serta masyarakat dan peran serta pemerintah
daerah secara masif untuk bersama-sama
menanggulangi penyalahgunaan narkoba.”
Treatment
(Pengobatan)
Apa jenis pelayanan rehabilitasi yang diberikan
BNN Provinsi Banten?
“Untuk rehabilitasi itu ada rawat jalan dan rawat inap, jadi keputusannya itu dari tim
asesmen yang akan menentukan apakah rawat
jalan atau rawat inap tergantung orangnya.
Tetapi di BNN Banten ini hanya melayani
rawat jalan, kalau rawat inap nanti kita kirim
lagi ke Lido.”
Apakah BNN Provinsi Banten sudah memiliki sarana
dan prasarana untuk kegiatan
rehabilitasi?
“Kita disini belum punya tempat rehab. Untuk rawat inapnya hanya punya negara
yaitu di LIDO, tetapi kalau memilih yang
punya masyarakat yang bayar untuk makan
minumnya ada tempat-tempat berbasis
masyarakat namanya.”
Apa saja aspek yang
ditekankan pada saat
dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis
rehabilitasi dan jangka waktu
dalam proses rehabilitasi?
“Dalam proses asesmen itu ditentukan dia
menjadi pemakai narkotika sudah berapa
lama, bagaimana psikologisnya, bagaimana
kejiwaannya, nanti akan ditentukan apakah
rawat jalan yang harus 8-12 kali pertemuan
dan kemudian di tes urin sampai dia negatif
narkoba dan nanti kita kontrol kedepannya,
tapi kalau yang namanya rawat inap itu
biasanya yang sudah lima tahun pakai, secara
sosial sudah tidak punya harga diri, ditanya
lima kali lima ga tau padahal dia lulusan
SLTA atau sarjana ya dia harus di rawat inap
dan membutuhkan sentuhan konselor yang
berkompeten, bisa di LIDO atau di tempat
umum yang bayar.”
Berapa jangka waktu dalam
proses rehabilitasi di BNN
Provinsi Banten?
“Untuk rawat jalan di BNN itu antara 8
sampai 12 kali pertemuan.”
Bagaimana pelaksanaan
kegiatan pascarehabilitasi
yang dilakukan BNN Provinsi
Banten?
“Kegiatan pasca rehabilitasinya itu dengan
pembinaan life skill, termasuk salah satu
kegiatan yang dilakukan bidang P2M juga.
Pembinaan life skill, contohnya kemaren di
daerah pekarungan. Daerah pekarungan itu
daerah narkoba banyak bekas pecandu
narkoba, nah itu kami berikan life skill agar
mereka itu punya keterampilan seperti tukang
cukur atau salon yang artinya dia diberikan
ketampilan, dibiayai dan diberikan
seperangkat alat cukur.”
Pihak mana saja yang
berkoordinasi dalam
penyelenggaraan kegiatan
“Pasca rehab itu kan ada juga yang
dilaksanakan disini, ada juga yang di rumah
damping, ada juga di lingkungan masyarakat
rehabilitasi maupun pascarehabilitasi?
kaya tadi itu di pekarungan. Kalau yang disini itu pastinya bidang P2M dan bidang rehab
yang bertugas. Kalau yang diluar itu ada juga
kerjasama dengan SKPD, OPD seperti
Dinsos, BLKI, terus pastimya dengan
masyarakat.”
Apakah terdapat perbedaan
antara pecandu narkoba yang
datang sendiri untuk
melakukan rehabilitasi
dengan yang merupakan
penyerahan dari instansi?
“Untuk pelayanannya sama saja karena disini
itu namanya Institusi Perlindungan Wajib
Lapor (IPWL), itu di pasal 54 tidak dihukum
atau hanya harus wajib lapor termasuk pasal
127 dan 128, termasuk jika ada anak kecil di
bawah umur kita akan wadahi dan kita
libatkan Komisi Perlindungan Anak (KPA)
ataupun orang tuanya agar dapat di rehab atau
disembuhkan. Jadi BNN bicara dari sebelum
kena sampai pasca rehabilitasi.”
Apa saja hal atau program
kegiatan sebagai upaya
pengurangan dampak buruk
dari penyalahgunaan
narkoba?
“Harm reduction itu kan dikaitkan dengan
Pak Agus di bidang rehabilitasi. Artinya dia
pengobatan dan pasca rehab itu bagian dari
harm reduction itu. Jadi manusia yang sudah
kena ini bagaimana dan akan diapakan,
sampai kepada pasca rehab.”
Law
Enforcement
(Penegakan
Hukum)
Apa dasar hukum kasus
penyalahgunaan narkoba?
“Undang-Undang Narkotika Nomor 35
Tahun 2009. Untuk BNN secara hukum
rehabilitasi ada di pasal 54, kemudian di pasal
127 juga kalau dia ketangkap bisa direhab
tapi melalui proses penyidik dulu. Pasal 128
itu ajakan supaya penyalahguna yang sifatnya
ringan itu harus direhab, syaratnya itu dia
melapor nanti ditentukan rawat jalan atau
rawat inap. Tapi kalau tertangkap tentunya
ada proses hukum, apalagi dia pakai dan
memiliki barang, tentunya dia proses hukum
dan proses rehab.”
Apa sanksi hukum yang
diberikan kepada
penyalahguna narkoba?
“Sanksinya kalau cuma di rehab ya mulai dari
6 (enam) bulan, kalau pidana dari 4 (empat)
tahun sampai hukuman mati.”
Siapa saja pihak yang
berkoordinasi dalam
penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba?
“Ya kordinasi kita jalan baik dengan Dinsos,
Dinkes, Polda kaitan dengan tahanan, terus
juga dengan Kemenkumham jalan terus
karena itu merupakan mitra kerja yang
memang mengurusi narkotika dan ada
mekanisme-mekanisme yang memang ada
sinergitas antara aparat penegak hukum
dengan dinas-dinas terkait.”
Harm
Reduction
(Pengurangan
Dampak
Buruk)
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : Abdul Majid, SH, MH
Jabatan : Kepala Bidang Pemberantasan BNN Provinsi Banten
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB di
BNN Provinsi Banten
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Prevention
(Pencegahan)
Apa saja hal atau program
kegiatan di bidang
pemberantasan sebagai
upaya pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Kalau di bagian pemberantasan, kita
melakukan penyelidikan, pengungkapan dan
penindakan atau lidik sidik. Setalah dilakukan
penyelidikan, kalau memang unsur
pembuktiannya ada, bisa ditindaklanjuti
artinya kita dapat melakukan eksekusi atau
tindakan penyidikan.”
Dimana tempat pelaksanaan
kegiatan pencegahan dan
atau pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Itu relatif, dimana saja, kapan saja. Karena
orang melakukan kejahatan itu kan tidak
mengenal waktu, tempat, umur dan
sebagainya.”
Daerah mana di Provinsi
Banten yang paling rawan
penyalahgunaan narkoba?
“Menurut kacamata saya, yang lebih dominan
untuk sementara ini itu Kota Tangerang, dan
berdasarkan data juga Kota Tangerang
menempati ranking pertama dengan jumlah
41 kasus kemudian yang kedua adalah Kota
Serang sebanyak 27 kasus narkoba.”
Apa jenis pelayanan
rehabilitasi yang diberikan
BNN Provinsi Banten?
“Setau saya sih rehab medis ya, tetapi
sosialnya juga ada.”
Apa saja aspek yang
ditekankan pada saat
dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis
rehabilitasi dan jangka
waktu dalam proses
rehabilitasi?
“Dalam asesmen itu ada dari berbagai macam
akademisi yang melakukan. Ada dari
kepolisian, ada dari bagian kedokteran
kesehatan, ada dari bagian ditres narkoba, ada
juga dari psikolog Polda, ada dari kejaksaan
terus dari Lembaga Pemasyarakatan, dan
tentunya dari BNN sendiri tim asesmen, bisa
dari orang saya di bidang berantas, bisa dari
rehab dan bisa juga dari P2M. Asesmen itu
kita teliti dari mulai waktu penggunaannya,
jenisnya, sumbernya, pokonya kita dalami
Treatment
(Pengobatan)
untuk nanti bisa dibuatkan rancangan rehabilitasinya.”
Bagaimana mekanisme
pengguna narkoba yang
sedang dalam proses hukum
kemudian
direkomendasikan untuk
menjalani tahapan untuk
dapat dilakukan rehabilitasi?
“Ada prosedurnya untuk mengajukan
rehabilitasi, pertama terkait tindak pidana
yang dilakukan oleh tersangka ini kategorinya
dia selaku pengguna narkoba ya bukan
pengedar, dan menurut ukuran itu barang
bukti yang dilakukan penyitaan ini kurang
dari 1 gram karena kalau pengedar juga
barang buktinya biasanya lebih dari 1 gram
sedangkan pengguna biasanya hanya nol
koma sekian gram sisa-sisa pemakaian dan
barang bukti tes urinenya, bisa dilihat di
Undang-Undang Narkotika ya.”
Harm Reduction
(Pengurangan
Dampak Buruk)
Apa saja kegiatan yang
dilakukan terkait upaya
pengurangan dampak dari
peredaran narkoba?
“Oh untuk itu, kegiatannya kita melakukan
penyelidikan untuk pelaku atau jaringan
sindikat narkotika. Kalau memang sudah
cukup bukti ya kita melakukan tindakan
hukum, kira-kira begitu.”
Apa yang menjadi kendala
dalam pelaksanaan kegiatan
pemberantasan sebagai
bagian dari pengurangan
dampak buruk
penyalahgunaan narkoba?
“Kendala itu pertama untuk SDM disitu
sangat terkendala, setau saya jumlah
keseluruhan realnya seharusnya itu di atas
200 orang, tapi kenyataannya hanya satu per
empatnya sekitar 50-60 orang. Untuk di
bidang pemberantasan ini ada 16 orang
terbagi jadi kasi intelejen, kasi tindak/kasi
penyidik dan kasi Wastahti. Kasi intelejen
tugasnya melakukan penyelidikan baik
konvensional maupun teknologi, kalau
konvensional itu penyelidikannya secara
langsung atau manual baik itu terbuka
maupun tertutup, terbuka itu berarti orang
tahu kalau keberadaan kita itu sebagai
petugas, kalau tertutup itu artinya orang tidak
mengetahui bahwa kita itu petugas. Kalau
yang teknologi itu menggunakan teknologi
informasi ya salah satunya melalui media
sosial. Kemudian kasi tindak/kasi penyidik
bagian pemberkasan pemeriksaan, yang
ketiga kasi Wastahti (Pengawasan Tahanan
dan Barang Bukti).
Kedua sarana pendukung khususnya senjata
api, kita berhadapan dengan pelaku kejahatan
jadi diperlukan SDM yang cukup keahliannya
dan sarana pendukung senjata api, jadi senjata
api ini masih pinjam punya polisi (Polda,
Polres).”
Bagaimana pembagian tugas
di Bidang Pemberantasan
BNN Provinsi Banten?
Kita ada kasi intelejen yang tugasnya untuk
melakukan penyelidikan baik konvensional
maupun teknologi, kalau konvensional itu
penyelidikannya secara langsung atau manual
baik itu terbuka maupun tertutup, terbuka itu
berarti orang tahu kalau keberadaan kita itu
sebagai petugas, kalau tertutup itu artinya
orang tidak mengetahui bahwa kita itu
petugas. Kalau yang teknologi itu
menggunakan teknologi informasi ya salah
satunya melalui media sosial. Kemudian kasi
tindak/kasi penyidik bagian pemberkasan
pemeriksaan, yang ketiga kasi Wastahti
(Pengawasan Tahanan dan Barang Bukti).”
Law
Enforcement
(Penegakan
Hukum)
Apa dasar hukum kasus
penyalahgunaan narkoba?
“Untuk Narkotikanya Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009, pasal rehabilitasinya
pasal 4 dan pasal 54, ada juga pasal lain tapi
itu kewenangannya jaksa dan hakim.”
Apa sanksi hukum yang
diberikan kepada
penyalahguna narkoba?
“Undang-Undang mengatur disitu bahwa
pengguna atau pecandu narkoba itu kalau di
BNN ini harus di rehab, bukan harus di
hukum atau ya hukumannya itu rehab, bukan
harus diselesaikan di Lembaga
Pemasyarakatan.”
Siapa saja pihak yang
berkoordinasi dalam
penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba?
“Koordinasinya dengan kepolisian
khususnya, kemudian dengan Korps Polisi
Militer untuk berantas karena terkait tindak
pidana yang dilakukan baik oleh masyarakat
sipil atau militer. Selain itu juga dengan
kejaksaan terkait penyidikan, kalau untuk
tindakan di lapangan itu dengan kepolisian
Polda Polres Polsek, kemudian Lapas juga.”
Bagaimana proses
penegakan hukum dalam
kasus penyalahgunaan
narkoba?
“Jadi gini, kadang-kadang dari pihak lain itu
cuma pemakai saja dimajukan, memang itu
bisa kaya dikepolisian, itu hak dari penyidik
memang. Pernah saya melakukan koordinasi
dengan salah satu instansi dan menanyakan
kenapa tidak pernah melakukan pengiriman
korban pecandu narkotika ke BNN, ada salah
satu Polres ya. Ternyata mereka dimajukan
terus, masalah mau di rehab atau tidak itu
urusan jaksa. Ada yang begitu meskipun
barang buktinya sedikit dan itu diterima juga
oleh kejaksaan. Tapi kalau kita kan ada faktor
kemanusiaan, bahwa itu adalah salah satu korban kejahatan narkotika yang perlu kita
bina, perlu di rehabilitasi, perlu diobati, itu
pandangan dari pihak BNN.”
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : Agus Mulyana, SE
Jabatan : Kepala Bidang Rehabilitasi BNN Provinsi Banten
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 30 Mei 2017 pukul 13.45 WIB di
BNN Provinsi Banten
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Treatment
(Pengobatan)
Apa jenis pelayanan
rehabilitasi yang diberikan
BNN Provinsi Banten?
“Kita di BNN di bidang rehabilitasi ini
melayani khususnya untuk rawat jalan bagi
pecandu dan korban penyalahguna narkoba.
Jenisnya rehab medis dan rehab sosial juga.
Jadi kalo rehabilitasi bagi pecandu itu harus
simultan ya harus sama, karena yang
diperbaiki itu bukan saja fisik tapi juga
mental, jadi dari fisiknya itu tadi ada
dokternya terus ada psikolognya juga jadi
sama-sama harus berbarengan. Khusus untuk
di BNN itu medisnya ada, sosialnya juga
ada.”
Apakah BNN Provinsi
Banten sudah memiliki
sarana dan prasarana untuk
kegiatan rehabilitasi?
“Belum ada tempat rehabilitasinya. Tapi
sempat Pak Embai yang kemarin
mencalonkan itu memberikan tanah seluas
6,1 Ha ke BNN untuk dibuat tempat
rehabilitasi, tetapi pemda dan BNNnya belum
mampu. Selain itu memang diperlukan SDM
yang tentunya disini masih kurang. Di BNN
ini seharusnya susunan personil lengkapnya
itu sebanyak 212 orang untuk semua bidang,
namun saat ini baru ada 47 orang dan di
bidang rehabilitasi seharusnya ada 52 orang
namun saat ini baru ada 8 orang ditambah
TKK. Padahal di aturan Permendagri Nomor
21 Tahun 2013, Pemda itu harus
memfasilitasi baik tempat rehabilitasi
maupun tempat untuk wajib lapor. Pihak
kami sudah mengajukan tapi sampai sekarang
belum juga. Bapak Presiden juga
menyampaikan bahwa Indonesia darurat
narkoba, berarti kan semuanya harus tertuju
kesana.”
Apa syarat seseorang dapat
menerima layanan
rehabilitasi?
“Persyaratan di kita itu ada 4 (empat) sumber,
yang pertama datang sendiri atau sukarela,
yang kedua dari hasil operasi, ketiga dari
penyerahan Polda dan Polres, keempatnya
penyerahan dari hasil vonis pengadilan.
Tentunya yang datang sendiri dia harus bawa
KTP, KK atau identitas. Untuk yang lainnya
ini tentunya harus ada surat pengantar dari
instansi terkait tadi.”
Apa saja aspek yang
ditekankan pada saat
dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis
rehabilitasi dan jangka
waktu dalam proses
rehabilitasi?
“Oh gini, pada saat asesmen kita perdalam
riwayat penyalahgunaannya, asal usulnya,
berapa lama pemakaiannya. Dari situ kita bisa
kategorikan dan yang kita layani hanya yang
pecandu ringan dan pecandu sedang. Pecandu
itu ada 3 (tiga) kelompok, ada ringan, sedang
dan berat. Kalau pecandu ringan dia pakai itu
baru 1 (satu) sampai dengan 7 (tujuh) kali.
Kalau pecandu sedang itu 8 (delapan) sampai
dengan 39 (tiga puluh sembilan) kali, dan
yang lebih dari 40 (empat puluh) kali itu
dikategorikan sebagai pecandu berat. Nah
untuk yang ringan dan sedang ini cukup
hanya berobat jalan di kita waktunya 12 (dua
belas) kali pertemuan, kalau yang pecandu
berat kita akan rujuk ke LIDO atau ke
RSKO.”
Berapa jangka waktu dalam
proses rehabilitasi di BNN
Provinsi Banten?
“Rehabilitasi yang harus dijalani ini adalah
selama 12 (dua belas) kali pertemuan,
dilakukan setiap minggu jadi kurang lebih ya
3 (tiga) bulanan untuk proses
rehabilitasinya.”
Apakah terdapat
pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi lainnya di
Provinsi Banten selain di
BNN Provinsi Banten?
“Selain disini kita juga melaksanakan rehab
ke Lapas-Lapas yang ditunjuk Kumham.
Ditujukan untuk WBP (Warga Binaan
Pemasyarakatan) yang sudah mau keluar 3
bulan lagi, 6 bulan lagi, dengan harapan nanti
dia keluar sudah bisa menjaga dirinya,
memprotek diri jangan sampai menggunakan
narkoba lagi. Kalau yang masih jauh ya nanti
begitu direhab percuma, dia nanti kembali ke
teman-temannya. Jadi yang tiga sampai enam
bulan mau keluar saja kita sisihkan, diberikan
rehabilitasi. Jangka waktunya sama tiga bulan
juga. Jadi satu tahun itu ada tiga Lapas yang
ditunjuk. Tahun ini itu di Lapas Wanita,
Lapas Pemuda dan Lapas Kelas I. Tapi karena kemaren itu tidak ada pasien di Lapas
Wanita, jadi diganti di Lapas Serang. Karena
minimal itu harus ada 30 orang, nah kemarin
itu kalau ga salah ada delapan orang terus
saya koordinasikan ke pusat katanya ga
boleh, akhirnya dialihkan ke Lapas Serang.”
Apakah metode rehabilitasi
yang digunakan di Lembaga
Pemasyarakatan sama
dengan yang dilakukan di
BNN Provinsi Banten?
“Sama aja konseling, penguatan diri, perilaku
sosial, dan sebagainya lah, termasuk
pembinaan life skill juga. Konselornya juga
ada yang dari kita. Tapi ada juga tenaga
medisnya yang dari Lapas, tapi dia sudah kita
latih.”
Apakah terdapat tempat
rehabilitasi lainnya di
Provinsi Banten selain di
BNN Provinsi Banten?
“Itu yang selalu kita upayakan kita
koordinasikan dengan Dinas Kesehatan. kita
koordinasi masalah tempat-tempat rehab
untuk segera dibuat karena kita belum punya.
Tapi untuk keseriusan ke arah sana sih
memang belum ada, tapi yang jelas faktanya
Provinsi Banten membutuhkan tempat rehab
antara rumah sakit jiwa dengan panti rehab
itu sangat dibutuhkan sekali. Di Banten ini
adanya yang punya masyarakat, yang
metodenya berbeda-beda jadi kita ga bisa
mengirim pasien kesana, kalaupun koordinasi
ya sebatas kasih masukan aja.”
Apakah terdapat alat yang
dapat mengukur derajat
toksinasi penggunaan
narkoba?
“Berupa alat secara khusus itu kami belum
ada sih. Kayanya anggaran kita belum sampai
ke penyediaan alat itu, jadi untuk penilaian
penggunaan narkotikanya itu digali pada saat
asesmen saja. Disitu juga kan dari banyak
pihak jadi bisa tergali walaupun tidak
seakurat kalau pakai alat ya.”
Bagaimana bentuk
pelaksanaan kegiatan
pascarehabilitasi yang
dilakukan BNN Provinsi
Banten?
“Bentuknya pembinaan, ada pembinaan
fungsional dengan diberikan pelatihan cara
membuat sendal, telur asin, membuat pupuk,
peternakan lele dan sebagainya. Itu dilakukan
di rumah damping yang digunakan untuk
kegiatan pasca rehabilitasi.”
Pihak mana saja yang
berkoordinasi dalam
penyelenggaraan kegiatan
rehabilitasi maupun
pascarehabilitasi?
“Koordinasi itu dengan Dinas Sosial, dengan
masyarakat setempat dan BLKI. Kita minta
dari Dinsos dan BLKI untuk menjadi
pelatihnya. Selain itu juga ada dari Dinas
Kesehatan, Disperindag, peternakan,
kelautan. Kalau kita sudah menjalani pasca
rehab, itu nanti Dinsos juga yang akan memberikan semacam stimulan pembinaan
atau uang sebagai bekal hidup dia.”
Apakah terdapat perbedaan
antara pecandu narkoba
yang datang sendiri untuk
melakukan rehabilitasi
dengan yang merupakan
penyerahan dari instansi?
“Tidak, semua sama saja. Kita pulangkan dia,
karena kalau dia bermaksud untuk baik untuk
sembuh tentunya harus ada kesadaran sendiri.
Memang ada sel kita disini tetapi kita tidak
memasukan sel kecuali dia melakukan
pelanggaran, baru kita cari dan dimasukan
sel.”
Bagaimana mekanisme
pengguna narkoba yang
sedang dalam proses hukum
kemudian
direkomendasikan untuk
menjalani tahapan untuk
dapat dilakukan rehabilitasi?
“Kalau terkait dengan hukum misalnya dia
ditangkap terus di proses oleh Polda maupun
Polres dia harus melalui mekanisme namanya
TAT (Tim Asesmen Terpadu) dari pihak
kepolisian, penyidik BNN, penyidik
kejaksaan dan penyidik dari kumham yang
kaitannya dengan Lapasnya.”
Harm Reduction
(Pengurangan
Dampak Buruk)
Apa saja hal atau program
kegiatan sebagai upaya
harm reduction
(pengurangan dampak
buruk) bagi penyalahguna
narkoba?
“Ga ada, kita hanya melalui rehab rawat jalan
saja konseling, kalau detoksifikasinya tidak
ada. Kita juga tidak memberikan obat ke
rumah, kita tidak memberikan jenis obat atau
narkoba yang jenisnya sama dengan
dikurangi dosisnya itu tidak berlaku di kita.
Kalau itu kan seperti PTRM, tapi kalau kita
itu tidak pernah memberikan obat atau
narkoba kita kasih narkoba lagi, itu engga.
Biasa kalau di PTRM kan misalkan saya
pakai putau nih, itu dia diberikan putau terus
kan cuma dosisnya dikurangi. Kalau rawat
inap baru ada tapi kalau kita upayanya
melalui konseling saja.”
Bagaimana bentuk kegiatan
sebagai upaya pengurangan
dampak buruk bagi
penyalahguna narkoba?
“Yang namanya pemakai narkoba itu kan
yang diserang susunan syaraf pusat ya bahkan
menurut penelitian bisa merubah bentuk otak
untuk yang pecandu berat, jadi ada
kemungkinan dia akan relaps atau kembali,
makanya setelah selesai proses rehabilitasi
dilanjutkan ke pascarehabilitasi kemudian
dilanjut dengan pembinaan lanjut, dan setelah
6 (enam) bulan selesai kita serahkan kepada
pihak keluarga. Itu bentuk pengawasannya,
karena kalau disini dia tidak bisa bohong
karena setiap pertemuan itu dilakukan tes
urine.”
Apa dasar hukum kasus
penyalahgunaan narkoba?
“Undang-Undangnya Nomor 35, yg khusus
mengatur rehabilitasi itu pasal 4 huruf D
Law
Enforcement
(Penegakan
Hukum)
kalau ga salah. Upaya menjamin pengaturan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi
penyalahguna narkoba.”
Apa sanksi hukum yang
diberikan kepada
penyalahguna narkoba?
“Sanksinya tentu pertama dilihat dari hasil
asesmen dulu kalau di kita, kalau putusannya
rehabilitasi ya dilihat lagi masuk kategori
mana kan, ya berarti mulai dari pecandu
ringan yang tiga bulan sampai pecandu berat
satu tahun. Kalau yang putusannya pidana ya
antara 4 tahun sampai hukuman mati untuk
yang tingkat internasional.”
Siapa saja pihak yang
berkoordinasi dalam
penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba?
“Kalau dari sisi hukumnya itu Kejaksaan,
kepolisian (Polda), dan Kemenkumham yang
tadi kaitannya dengan Lapas baik pada saat
asesmen atau untuk pelaksanaan rehab yang
kita adakan di Lapas itu.”
Apa perbedaan wewenang
antara BNN Provinsi Banten
dengan Polda Banten dalam
penegakan hukum upaya
pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba?
“Kalau BNN dengan Polda ya. Polda bisa
melakukan penyuluhan, Polda bisa
mengadakan operasi, Polda bisa
melaksanakan penyidikan, cuma Polda ga ada
tempat untuk rehabilitasi, itu saja bedanya.
Kalau BNN juga sosialisasi iya, operasi juga
iya, penyidikan juga iya, rehabilitasi pun bisa.
Makanya kalau di Polda tuh tugas pokoknya
waktu saya disana ya, prehentif, preventif,
dan represif. Kalau di kita prehentif,
preventif, represif dan kuratif. Jadi Polda
tidak memiliki itu yang ke empat.”
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : dr. Ade Nurhilal Desrinah
Jabatan : Dokter Seksi Penguat Lembaga Rehabilitasi
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 2 Juni 2017pukul 13.10 WIB di
Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Treatment
(Pengobatan)
Apa jenis pelayanan
rehabilitasi yang diberikan
BNN Provinsi Banten?
“Rehabilitasi di Klinik Pratama ini adalah
rehabilitasi rawat jalan dengan metode
Theraupeutic Community yang memang
dilakukan di seluruh BNN. Jenisnya itu
rehabilitasi sosial, kalau rehabilitasi medis itu
kan detoxifikasi.”
Apakah BNN Provinsi
Banten sudah memiliki
sarana dan prasarana untuk
kegiatan rehabilitasi?
“Untuk rawat inap disini tidak ada, semuanya
hanya rawat jalan saja. Pasien yang datang
sendiri kesini untuk melakukan terapi. Rumah
sakit jiwa kita belum punya, balai rehabilitasi
juga kita belum punya. Kalau Banten ini lebih
ke religi ya, adanya yayasan yang berbasis
agama gitu.”
Apa syarat seseorang dapat
menerima layanan
rehabilitasi?
“Jadi kan disini itu kita terima pasien yang
pertama itu sukarela atau voluntary, kedua
pasien dari limpahan Polda atau Polres, yang
ketiga dari hukum ya atau dari keputusan
pengadilan. Syarat pastinya harus bawa
identitas diri dan keluarga. Kalau yang dari
Polda atau Polres itu harus ada legal
dokumen yaitu BAPnya kemudian bukti
serah terima klien berserta penyidiknya.
Kalau yang putusan pengadilan harus ada BA
17 putusan pengadilan sama jaksanya. Semua
ini harus didampingi oleh keluarga klien. Dan
klien BNN ini dia memang harus
penyalahgunaan narkotika, kalau alkohol
rokok itu tidak bisa, khusus narkotika. Karena
badan narkotika ya, jadi khusus narkotika.”
Apa saja aspek yang ditekankan pada saat
dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis
rehabilitasi dan jangka
waktu dalam proses
rehabilitasi?
“Sebelumnya itu kan ada proses asesmen, disitu banyak kita gali tentang riwayat
penyalahgunaan narkobanya, status
pekerjaannya, status keluarga, status hukum
dan status kesehatannya termasuk status
keatris atau perasaan depresi, gaduh gelisah.
Disini kita lihat bukan hanya dari fisiknya
saja, tapi juga dari perubahan perilakunya,
perubahan mindsetnya, perasaannya dia
sudah bisa belum menghandle feelingnya.”
Bagaimana alur proses
rehabilitasi di BNN Provinsi
Banten?
“Tahapan alurnya datang klien, penerimaan
terus tunjukin identitas dan tadi itu harus ada
legal dokumennya, terus rekam medis,
kemudian asesmen, diagnosa dan rancangan
terapi, baru masuk rawat jalan atau rawat
inap. Kalau dia rawat jalan ya ikut delapan
kali konseling, dua kali grup terapi. Kalau
rawat inap ya kita bawa ke Lido atau ke
Lampung. Setelah rawat jalan ada pasca
rehab kemudian ke pembinaan lanjut. Klien
juga harus ngisi yang namanya inform
concern itu ada lembar persetujuan dari
keluarga pasien, surat pernyataan dari klien
bahwa dia bersedia mengikuti program
rehabilitasi, kemudian surat pernyataan
selama rehab tidak boleh positif narkoba.”
Berapa jangka waktu dalam
proses rehabilitasi di BNN
Provinsi Banten?
“Berapa lamanya itu tidak bisa dipastikan
sebulan, dua bulan atau tiga bulan dan
seterusnya. Disini itu minimal 12 kali
pertemuan tapi ini ga ada patokannya ya,
tergantung perubahan perilakunya. Bisa
ditambah dan bisa dikurang. Tapi kalau yang
putusan pengadilan mah ya sampai selesai
misalnya dia empat bulan ya sampai empat
bulan. Cuma berlangsungnya itu ada yang
namanya tahap asesmen, kemudian delapan
kali konseling, dan dua kali grup terapi. Terus
disini kan rehabilitasinya berkelanjutan ya,
artinya selain rehabilitasi rawat jalan nanti
ada pasca rehab terus pembinaan lanjut. Itu
namanya rehabilitasi berkelanjutan.
Pembinaan lanjutnya nanti kita home visit ke
keluarga, ke rumah, ke tempat kerjanya.”
Apakah terdapat pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi lainnya di
Provinsi Banten selain di
BNN Provinsi Banten?
“Ya ada di Lapas juga, ada tiga lapas yang kita sudah laksanakan program rehabnya.
Ada di Lapas Serang, Lapas Tangerang Kelas
I dan Lapas Pemuda.”
Apakah metode rehabilitasi
yang digunakan di Lembaga
Pemasyarakatan sama
dengan yang dilakukan di
BNN Provinsi Banten?
“Sama aja sih kalau metode ya melalui
konseling dengan kita karena konselornya
tetap dari kita, tetapi ada juga tenaga
medisnya itu dari Lapas. Sama-sama rehab
sosial pokoknya, tapi disana ga perlu ada
asesmen dulu kaya klien disini.”
Apakah terdapat alat yang
dapat mengukur derajat
toksinasi penggunaan
narkoba?
“Kalau di BNNP Banten hanya melalui tes
urine untuk tau positif atau negatif. Tapi
kalau mau lebih tau dia jenis amphetamine
atau methampitamine kita rujuknya ke lab
BNN di pusat, itu biasanya pake GCMS
metodenya Gas Cromatografy Mass
Spectrometry.”
Apakah terdapat perbedaan
antara pecandu narkoba
yang datang sendiri untuk
melakukan rehabilitasi
dengan yang merupakan
penyerahan dari instansi?
“Tidak ada yang beda kalau soal
penerimaannya ya. Tapi kalau namanya terapi
dan metodenya tetap kita berdasarkan
individual treatment plan, jadi setiap individu
itu masing-masing beda meskipun sama-sama
pakai shabu tapi ya belum tentu sama
treatmentnya. Kalau penyerahan yang sudah
putusan pengadilan itu kita sesuaikan dengan
jangka waktunya yang sudah diputuskan aja.
Jadi penerimaan pas awal sama pelayanannya
aja yang sama.”
Bagaimana pelaksanaan
kegiatan pascarehabilitasi
yang dilakukan BNN
Provinsi Banten?
“Pascarehabilitasinya di BNNP Banten itu
ada seminar pengembangan diri, FSG
(Family Support Group) sama vocationalnya
ada. Tahun ini juga kita punya rumah
damping bekerjasama dengan Balai
Pemasyarakatan (BAPAS).”
Bagaimana mekanisme
pengguna narkoba yang
sedang dalam proses hukum
namun ingin mengajukan
proses rehabilitasi di BNN
Provinsi Banten?
“Itu berarti masuknya kategori compulsary,
jadi mekanismenya pertama harus
melengkapi persyaratan legal dokumen
seperti tadi yg di persyaratan itu ya,
kemudian nanti ada serah terima klien untuk
selanjutnya dilakukan asesmen secara medis
dan secara hukum lengkap dengan pihak
kepolisian dan jaksanya, setelah lolos tahap
asesmen sama saja dibuatkan rancangan
terapinya.”
Apa yang menjadi kendala “Kendala kita itu jumlahnya makin banyak.
dalam pemberian layanan rehabilitasi?
Penyalahguna narkoba di Banten ini jumlahnya banyak, sampai bulan ini saja
yang sudah kita tangani ada 9 voluntary dan
121 compulsary, tapi SDM juga masih
kurang dan serasa BNN ini kerja sendiri
padahal kita sudah mengupayakan dengan
dinas lainnya. SDMnya sih Dokter 1, Perawat
3, SKM ada 2, dan Sarjana Psikologi 1. Kalau
idealnya itu dalam satu hari per orang hanya
menangani 4 (empat) klien, itu maksimal
banget karena kita ini tugasnya bukan hanya
sebagai konselor tapi juga punya tugas lain.
Ada yang ngurusin asesmen perpaduan terkait
hukum juga, jadi dinisi kita itu ada yang
konselor merangkap admin walaupun sampai
saat ini kita masih bisa tangani.”
Harm Reduction
(Pengurangan
Dampak Buruk)
Apa saja hal atau program
kegiatan sebagai upaya
harm reduction
(pengurangan dampak
buruk) bagi penyalahguna
narkoba?
“Harm reduction itu kan seharusnya
dilakukan secara medis, dengan program
yang tujuannya meminimalisir efek buruk
narotika, tapi sampai saat ini program itu
belum ada di BNNP Banten karena disini pun
hanya melayani rehab jalan dengan konseling
jadi tidak ada pemberian obat sintesis
maupun non sintesis kepada klien. Untuk
layanan alat suntik steril pun kita tidak
lakukan, karena sebenarnya itu ranah Dinas
Kesehatan yang seharusnya berkoordinasi
dengan kita, tapi sampai sekarang belum
dikasih pintu ke arah sana. Kalau dari pihak
sananya mengajak ya kami pasti siap”
Berapa jangka waktu yang
dibutuhkan dalam
pelaksanaan harm reduction
sampai pasien dikatakan
pulih?
“Untuk narkotika ini penyakit kronis dan dia
bisa kambuh-kambuhan. Dia merusak
jaringan syaraf dan otak. Jadi sebenarnya
kalau untuk dikatakan pulih jangka waktunya
lebih dari dua tahun. Artinya abstinen jadi
selesai rehab disini dia tetap harus tahap
pemulihan seumur hidup bahkan sampai dia
mati.”
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : Moh. Arif Mulyawan. R
Jabatan : Mitra BNN Provinsi Banten
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB di
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Prevention
(Pencegahan)
Apa saja hal atau program
kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya pencegahan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Jadi menurut saya bagaimanapun bahwa
kalau ingin memutuskan mata rantai
peredaran gelap ini ya kita ke demand
bukan di supply. Demandnya ini yang
harus kita pangkas, misalnya semakin
banyak kita melakukan penyuluhan,
sosialisasi, training atau membuat kader-
kader pencegahan, kampung anti narkoba
dan lain sebagainya. Semakin banyak kita
memberikan pengetahuan tentang dasar
narkoba, maka masyarakat pun akan
semakin banyak tahu juga dan kedua yang
jadi masalah itu metode atau skill
komunikasi BNN kepada masyarakat. Ini
yang saya coba koreksi, ini lebih
cenderung pada pasal pasal yang
masyarakat belum tentu paham dengan
pasal pasal itu, lebih cenderung pada
Undang-Undang, kebijakan yang
masyarakat belum paham pada situasi itu.
Harusnya lebih pada komunikatif
bagaimana ini narkoba, bahayanya gini,
efeknya gini, hal yang sederhana dan
mudah diserap oleh masyarakat. Nah itu
tidak dilakukan oleh BNN. Kadang BNN
ingin gaul dengan situasi anak muda dan
sebagainya tetapi membuat strategi
komunikasinya kaku, ketika kaku itu
akhirnya jenuh, monotone dan mereka ga
mau baca. Hal-hal kaya gitu yang harus
dipahami dulu.”
Apa peran mitra atau penggiat di BNN Provinsi
Banten?
“Jadi gini, namanya penggiat itu kan disebutnya sebagai mitra, artinya
membantu peran-peran maupun tugas
BNN secara teknis di lapangan. Tugas
BNN kan ada 3 bidang, bidang
Pencegahan dan Pemberdayaan
Masyarakat, bidang rehabilitasi, dan
bidang pemberantasan. Nah berarti tiga
bidang ini bersinergi, tetapi bidang
pemberantasan ini lebih kencang daripada
bidang pencegahan seperti kasus yang
kemarin di Anyer satu ton ditangkap,
padahal permasalahan narkotika itu bukan
di supply tetapi demand. Nah ini yang
kurang dipahami oleh BNN, jadi saya
sebagai mitra itu terkadang memberikan
masukan dengan mitra saya di bidang
pencegahan dan pemberdayaan
masyarakat (dayamas).”
Treatment
(Pengobatan)
Apa saja aspek yang
ditekankan pada saat
dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis
rehabilitasi dan jangka
waktu dalam proses
rehabilitasi?
“Biasanya BNN melakukan asesmen
kepada penyalahguna, mulai dari tes urine,
cek kesehatan, tes psikologinya juga oleh
dokter psikiater atau psikolog, terus mulai
dari kronologisnya, riwayat hidupnya, nah
baru hasil asesmen itu disimpulkan bahwa
memang dia adalah pengguna, jadi tidak
bisa dibohongi, kalau misalnya saya
pengguna nih tapi faktanya dia adalah
bandar, tapi ketika bandar ternyata dia user
yang butuh barang.”
Harm Reduction
(Pengurangan
Dampak Buruk)
Apa saja hal atau program
kegiatan sebagai upaya
harm reduction
(pengurangan dampak
buruk) bagi penyalahguna
narkoba?
“Harm reduction itu kan program
pengurangan dampak buruk, ini adalah
PTRM (Program Terapi Rumatan
Metadone) atau Layanan Alat Suntik
Steril. Nah pengurangan dampak buruk ini
sebetulnya untuk memutuskan mata rantai
kecanduan atau ketergantungan. Misalnya
dia ketergantungan heroine yang
disuntikan, akhirnya kita rujuk untuk
memutuskan proses menyuntik ini kepada
PTRM, narkotika heroinnya diganti
dengan narkotika sintesis metadone
sehingga di oral. Ketika diganti dengan
yang sintesis maka nanti penguatannya
akan mengikuti itu. Kalau untuk alat
suntik sterile itu pengurangan dampaknya
lebih pada dia menyuntik sendiri daripada dia tadinya satu suntikan itu bareng-bareng
sehingga buruknya itu ke penyakit yang
diderita, bisa hepatitis, tubercolosis, bisa
macem-macem lah ya nanti, sehingga
jarum suntik itu diberikan untuk diri
sendiri, tidak sharing dengan yang lain-
lain.”
Berapa jangka waktu yang
dibutuhkan dalam
pelaksanaan harm
reduction?
“Sekarang logikanya orang
ketergantungan narkotik selama 5-10
tahun, tidak mungkin bisa berhenti dalam
1 sampai 2 bulan, artinya harus bertahap.
Jadi satu tahun pertama itu 200ml, tahun
kedua 150ml, tahun ketiga 100ml, jadi
kurangi sampai abstinene (tidak
menggunakan sama sekali).”
Law
Enforcement
(Penegakan
Hukum)
Siapa saja pihak yang
berkoordinasi dalam
penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba?
“Ini ada yang namanya peraturan bersama.
Peraturan bersama itu terdiri dari Polda,
BNN, Kejaksaan Tinggi, Pengadilan dan
Kanwilkumham. Peraturan bersama ini
untuk menyikapi dan membedakan dia
adalah user, kurir, atau bandar. Kalau user
sehingga putusan pengadilan adalah di
rehabilitasi, tetapi kalau misalnya dia kurir
ataupun bandar terbukti dengan barang
bukti yang cukup memberatkan maka dia
vonisnya adalah penjara.”
Bagaimana proses
penegakan hukum dalam
kasus penyalahgunaan
narkoba?
“Jadi ketika misalnya BNN yang
menangkap ternyata dia adalah user
(pengguna), kemudian BNN
merekomendasikan bahwa dia harus di
rehab. Tapi ketika kepolisian menangkap
bahwa ada kurir maka direkomendasi oleh
penyidik polda adalah di penjara. Nah
ketika BAP yang dikeluarkan oleh BNN
maupun Polda, itu kan masuk ke
Kejaksaan untuk diolah dikaji untuk
menilai sudah cukup atau belum ini (P21
atau belum) apabila sudah P21 maka
dilanjut ke Pengadilan untuk persidangan
berkaitan dengan hakim, jaksa penuntut
umum, maka keputusan itu kewenangan
hakim sedangkan tuntutan itu kewenangan
jaksa. Setelah ada putusan masuklah ke
penjara (Lapas) dengan kewenangan
kanwilkumham, apakah dia di rutan atau
di Lapas khusus narkotika atau Lapas umum.”
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : Kompol Kosasih SH, MH
Jabatan : Kepala Sub Bagian Pembinaan dan Operasional (Binopsnal) Direktorat
Reserse Narkoba Polda Banten
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB di
Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Prevention
(Pencegahan)
Bagaimana bentuk
koordinasi Polda Banten
dengan BNNP Banten
dalam pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba?
“Koordinasinya itu terkait pemeriksaan
barang bukti maupun urine ke lab karena kita
belum memiliki lab untuk pemeriksaan
urine.”
Apa saja hal atau program
kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya pencegahan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Ada namanya operasi interdiksi atau operasi
gabungan. Selain itu juga ada kegiatan
penyuluhan P4GN.”
Pihak mana saja yang
melakukan kegiatan
pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Instansi terkaitnya itu BNN, Denpom
dengan TNI untuk pengamannya.”
Siapa saja pihak yang
menjadi sasaran dalam
kegiatan pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Sasarannya kalau untuk pencegahan itu yang
lebih sering adalah anak sekolah, selain itu
juga ada masyarakat umum beserta tokoh
agamanya karena kan kita langsung terjun ke
lingkungan ya, dan seluruh elemen
masyarakat didalamnya lah. Kalau
pemberantasan itu pengunjung tempat
hiburan terutama.”
Bagaimana pelaksanaan
diseminasi informasi bahaya
narkoba yang dilakukan
Polda Banten?
“Ya kita juga ada diseminasi, itu
menggunakan media, media cetak maupun
online tetapi di bagian humas, jadi bukan kita
berdiri sendiri.”
Tempat pelaksanaan
kegiatan pencegahan dan
“Untuk operasi interdiksi biasanya dilakukan
di pelabuhan, tempat hiburan, kos-kosan.
atau pemberantasan penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
Untuk penyuluhan itu ada di sekolah atau bisa juga di instansi pemerintah atau swasta.”
Daerah mana di Provinsi
Banten yang menjadi daerah
rawan dan memiliki angka
penyalahgunaan narkoba
tertinggi?
“Berdasarkan data yang kami terima dari
Polres sih lebih banyak kasusnya itu di Kota
Tangerang, untuk jumlah saat ini kita belum
cek lagi, tapi memang setiap tahunnya itu
Kota Tangerang yang paling banyak kasus
narkobanya.”
Treatment
(Pengobatan)
Apa syarat dapat
dilakukannya asesmen
hingga rehabilitasi?
“Dia harus pengguna, kalau pengedar ya dia
termasuk pemain dan yang kita jadikan acuan
itu adalah yang tertinggi.”
Bagaimana mekanisme
pengguna narkoba yang
sedang dalam proses hukum
kemudian
direkomendasikan untuk
menjalani tahapan untuk
dapat dilakukan rehabilitasi?
“Di asesmen dulu, makanya tadi ada
koordinasi dengan BNNP. Sebelum di rehab
dilakukan asesmen dulu.”
Law
Enforcement
(Penegakan
Hukum)
Apa dasar hukum kasus
penyalahgunaan narkoba?
“Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dan ada tambahannya
tahun 2017 ini itu Permenkes Nomor 2 Tahun
2017.”
Apa sanksi hukum yang
diberikan dalam kasus
penyalahgunaan narkoba?
“Untuk sanksi itu variatif tergantung pasal
yang dikenakan, untuk pidana itu minimal 4
tahun dan maksimalnya hukuman mati.”
Siapa saja pihak yang
berkoordinasi dalam
penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba?
“Selain BNN ada namanya Criminally Justice
System yaitu pengadilan, kejaksaan dan
kemenkumham.”
Apa perbedaan wewenang
antara BNN Provinsi Banten
dengan Polda Banten dalam
penegakan hukum upaya
pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba?
“Perbedaannya itu kita tidak bisa merehab,
kalau BNN bisa merehab, selebihnya sama.”
Bagaimana proses
penegakan hukum dalam
kasus penyalahgunaan
narkoba?
“Pertama tersangka itu kita BAP kita gali
keterangannya, kemudian kita tentukan pasal,
apabila dia hanya pemakai kita kenakan pasal
127 kemudian bisa kita rekomendasi untuk
asesmen di BNN, hasil asesmen itu dijadikan
bahan pertimbangan jaksa selanjutnya.”
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : BRIPKA Gunawan
Jabatan : Pelaksana Bagian Pembinaan dan Operasional (Binopsnal) Direktorat
Reserse Narkoba Polda Banten
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 10.30 WIB di
Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Prevention
(Pencegahan)
Bagaimana bentuk
koordinasi Polda Banten
dengan BNNP Banten
dalam pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba?
“Untuk Polda yang pertama terkait asesmen
apa yang kita tangkap kita amankan, kalau
terbukti menggunakan atau membawa
narkotika, kita lakukan tes urine kemudian
kita kirim ke BNN karena di Polda belum ada
lab untuk pemeriksaan urine.”
Apa saja hal atau program
kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya pencegahan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Ada namanya operasi interdiksi atau operasi
gabungan. Selain itu juga ada kegiatan
penyuluhan P4GN.”
Pihak mana saja yang
melakukan kegiatan
pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten,
BNNP Banten, dan Denpom terkait instansi
samping ataupun dari TNI untuk
pengamanannya.”
Dalam kegiatan pencegahan
langsung, apakah tempatnya
sudah ditentukan atau atas
permintaan
masyarakat/instansi?
“Ada dua, yang pertama Polda dan instansi
terkait seperti BNN datang langsung ke lokasi
dan yang kedua itu berdasarkan permintaan.
Ada juga program kegiatan pencegahan
terhadap anak-anak sekolah yang dilakukan
rutin 2 kali dalam satu bulan.”
Bagaimana pelaksanaan
diseminasi informasi bahaya
narkoba yang dilakukan
Polda Banten?
“Untuk pencegahan sementara terpusat di
humas. Jadi kita mengirimkan data dan
bahannya, nanti humas yang
mempublikasikannya.”
Tempat pelaksanaan
kegiatan pencegahan dan
atau pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di
“Untuk operasi interdiksi biasanya dilakukan
di pelabuhan, tempat hiburan, kos-kosan.
Untuk penyuluhan itu ada di sekolah atau
bisa juga di instansi pemerintah atau swasta.”
Provinsi Banten?
Daerah mana di Provinsi
Banten yang menjadi daerah
rawan dan memiliki angka
penyalahgunaan narkoba
tertinggi?
“Daerah dengan penyalahgunaan teringgi itu
kita hanya bisa kasih tau secara umum, tidak
bisa disebutkan secara spesifik jumlahnya ya.
Daerahnya itu pertama Kota Tangerang,
diantara Kota/Kabupaten lainnya memang
Tangerang, pertama Kota kedua
Kabupatennya, baru menyusul daerah lain
seperti Serang, Cilegon Pandeglang dan
lainnya.”
Treatment
(Pengobatan)
Apa syarat dapat
dilakukannya asesmen
hingga rehabilitasi?
“Khusus pengguna narkoba saja. Jika
sekaligus pengedar, yang kita jadikan acuan
itu adalah yang tertinggi. Kemudian
dikategorikan apakah dia pengguna ringan,
sedang atau berat.”
Bagaimana mekanisme
pengguna narkoba yang
sedang dalam proses hukum
kemudian
direkomendasikan untuk
menjalani tahapan untuk
dapat dilakukan rehabilitasi?
“Jadi si penyalahguna tertangkap kita ajukan
asesmen, nanti yang menentukan vonsinya
apakah di rehabilitasi atau tidak itu sesuai
putusan pengadilan. Kita hanya
merekomendasikan saja.”
Law
Enforcement
(Penegakan
Hukum)
Apa dasar hukum kasus
penyalahgunaan narkoba?
“Undang-Undang Narkotika Nomor 35
Tahun 2009.”
Apa sanksi hukum yang
diberikan dalam kasus
penyalahgunaan narkoba?
“Sanksinya antara 4 tahun kurungan penjara
sampai hukuman mati, tergantung apakah dia
pengguna di pasal 127, memiliki menguasai
dan menyimpan pasal 112 atau pengedar di
pasal 114.”
Siapa saja pihak yang
berkoordinasi dalam
penegakan hukum
penyalahgunaan narkoba?
“Koordinasinya dengan Kejaksaan,
Pengadilan dan Kemenkumham.”
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : Asep Hanan S.IP
Jabatan : Kepala Seksi Rehabilitasi Tuna Sosial, NAPZA dan Korban Perdagangan
Orang (KPO) Dinas Sosial Provinsi Banten
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Rabu, 21 Juni 2017 pukul 11.05 WIB di
Dinas Sosial Provinsi Banten
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Prevention
(Pencegahan)
Bagaimana bentuk
koordinasi Dinas Sosial
Provinsi Banten dengan
BNN Provinsi Banten dalam
pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba?
“Setidaknya ada 3 (tiga) aspek yang terkait
dengan masalah NAPZA, yang pertama ada
aspek pencegahan, kemudian aspek
pelaksanaan atau rehabilitasi, kemudian yang
ketiga itu after care atau pasca rehabilitasi
dari medis.”
Apa saja hal atau program
kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya pencegahan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Untuk pencegahan itu adanya upaya
pendataan dan penjangkauan di titik/spot
yang sekiranya terdapat narkoba, dan juga
kita koordinasi dengan organisasi atau
lembaga kesejahteraan sosial yang terkait
dengan penanganan korban NAPZA dan
HIV/AIDS. Sedangkan upaya pencegahan
langsung kaya penyuluhan keliling gitu
selama ini ada di bidang PSDS (Potensi dan
Sumber Daya Sosial) itu yang melakukan
penyuluhan. Kalau dari bidang ini itu ya tadi
pendataan dan penjangkauan sama UPSK
(Unit Penjangkauan Sosial Keliling), nanti di
UPSK itu juga ada medisnya.”
“Pihak mana saja yang
melakukan pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Pihaknya itu ada BNNP Banten, Dinas
Kesehatan, ada dari Lapas atau Bapas (Balai
Pemasyarakatan) juga.”
Siapa saja pihak yang menjadi sasaran dalam
kegiatan pencegahan dan
pemberdayaan masyarakat
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Kalau pencegahan yang kita undang adalah PSKS atau diistilah kami itu Potensi dan
Sumber Kesejahteraan Sosial seperti para
LSM, tokoh masyarakat, tokoh agama,
karang taruna, tagana ataupun organisasi
kepemudaan. Itu biasanya satu kali
pelaksanaan ada sebanyak 100 orang setiap
kabupaten/kota, berarti kalau seBanten kan
delapan kabupaten/kota. Itu yang kita sasar,
kita beda ya dengan dinas lain.”
Daerah mana di Provinsi
Banten yang menjadi daerah
rawan dan memiliki angka
penyalahgunaan narkoba
tertinggi?
“Kalau untuk itu terus terang yang punya data
itu sih BNN, tapi selama yang kita dapet sih
Tangerang itu zona merahnya.”
Treatment
(Pengobatan)
Apakah terdapat tempat
rehabilitasi lainnya di
Provinsi Banten selain di
BNN Provinsi Banten?
“Kalau di Banten itu ada, tapi semuanya itu
milik masyarakat tidak ada milik pemerintah
daerah. Dengan adanya kewenangan pusat
kan berarti ditarik jadi di kita tidak ada panti-
panti rehab yang milik pemerintah. Ini khusus
Banten ya.”
Bagaimana pelaksanaan
kegiatan pascarehabilitasi
yang dilakukan dengan
BNN Provinsi Banten?
“After care atau katakanlah pelayanan pasca
rehabilitasi, jadi para mantan korban
penyalahguna NAPZA yang telah dikatakan
pulih oleh lembaga rehabilitasi itu kita
berikan pelatihan keterampilan sesuai dengan
minat bakat mereka. Selama ini biasanya ada
bengkel sepeda motor, ada counter pulsa, ada
juga perwarungan, ada sablon, yang terbaru
itu service handphone. Pokoknya sesuai
minat bakat mereka ya mereka mau apa,
misalnya pak nih saya maunya jual pulsa, ada
juga yang jualan ikan. Asalkan mereka sudah
dikatakan pulih, didata oleh kita dan dari
BNN juga ada, dengan yayasan sosial pun
ada. Diberikan pelatihan lalu mereka
diberikan bantuan stimulan berupa peralatan
usaha ekonomi produktif yang mereka pilih
seharga biasanya lima juta rupiah.”
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : H. R. Wahyu Santoso W. SKM. M.Si
Jabatan : Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas
Kesehatan Provinsi Banten
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Jumat, 16 Juni 2017 pukul 9.50 WIB di
Dinas Kesehatan Provinsi Banten
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Prevention
(Pencegahan)
Apakah terdapat kordinasi
antara Dinas Kesehatan
Provinsi Banten dengan
BNN Provinsi Banten dalam
upaya pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba?
“Ya ada, bentuk koordinasinya berupa
pertemuan dan kerjasama, pelatihan juga
ada.”
Dimana tempat pelaksanaan
kegiatan pencegahan dan
atau pemberantasan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Untuk pelatihan yang diselenggarakan Dinas
Kesehatan ya dilakukan disini, kami yang
mengundang pihak BNN.”
Bagaimana pelaksanaan
diseminasi informasi bahaya
narkoba yang dilakukan
Dinas Kesehatan Provinsi
Banten?
“Tugas dan fungsi Dinas Kesehatan adalah
memantau peredarannya. Kalau terkait
dengan penyalahgunaan narkoba,
menginformasikan bahaya narkoba ke
masyarakat tentunya ada, untuk bidang P2P
ini lebih ke pemberantasan penyakit termasuk
dengan jiwa sebenarnya.”
Treatment
(Pengobatan)
Apakah terdapat peran
Dinas Kesehatan dalam
pelaksanaan rehabilitasi
yang dilakukan BNN
Provinsi Banten?
“Untuk saat ini belum, karena kita belum
punya tempat rehab bagi pecandu narkoba di
wilayah Banten, yang ada adalah dukungan
terhadap pelaksanaan IPWL (Institusi
Penerima Wajib Lapor) bagi orang yang
tertangkap dan dia menderita HIV.”
Harm Reduction
(Pengurangan
Dampak Buruk)
Bagaimana bentuk kegiatan
sebagai upaya pengurangan
dampak buruk bagi
penyalahguna narkoba?
“Program itu diperuntukan bagi para pemakai
narkoba yang terindikasi terkena HIV. HIV
itu ada tiga macam, salah satu penyebabnya
adalah pada pengguna narkoba suntik. Sektor
kesehatan itu telah mengantisipasi dengan ada
dua metode ya, yang pertama itu dengan
program PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon) dan kemudian ada LAS (Layanan
Alat Suntik Steril).”
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : Tri Sutrisno, SH
Jabatan : Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Lainnya Kejaksaan Tinggi Banten
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Rabu, 5 Juli 2017 pukul 11.40 WIB di
Kejaksaan Tinggi Banten
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Prevention
(Pencegahan)
Apa saja hal atau program
kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya pencegahan
penyalahgunaan narkoba di
Provinsi Banten?
“Kalau pencegahannya itu kan ada bidangnya
masing-masing, di kami kalau untuk
pencegahannya itu kerjasama dengan intel
memberikan penyuluhan kepada masyarakat,
kepada anak sekolah. Itu bidang
pencegahannya.”
Treatment
(Pengobatan)
Apa syarat seseorang dapat
menerima layanan
rehabilitasi?
“Syaratnya pertama kita lihat dari berkasnya
dulu, apakah dia pemakai atau bukan. Kalau
ada indikasi bahwa dia pemakai atau korban
maka bisa dilakukan asesmen, dan kita hanya
memandang dari sisi hukumnya saja. Nanti
ada lagi dari tim asesmen medis biasanya dari
kedokteran kepolisian (dokpol) sama dokter
umum, psikolog.”
Apa saja aspek yang
ditekankan pada saat
dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis
rehabilitasi dan jangka
waktu dalam proses
rehabilitasi?
“Kalau kami dari sisi hukum itu meneliti
apakah dia terlibat jaringan narkotika atau
tidak, apakah dia benar-benar penyalahguna
atau tidak. Disitulah yang kita teliti, apabila
dia terlibat jaringan narkotika maka timbul
kesimpulannya dan dia tidak layak
rehabilitasi. Kalau dia pemakai atau korban
penyalahgunaan narkotika kita akan
memberikan kesimpulan bahwa ini tidak
terlibat jaringan dan dia hanya pengguna
maka layak untuk dilakukan rehabilitasi.”
Berapa jangka waktu dalam
proses rehabilitasi di BNN
Provinsi Banten?
“Jadi di dalam asesmen itu kan ada pendapat
medis, disitu mereka akan menakar menilai
seberapa jauh ini orang ketergantungan
terhadap obat misal dia kategori ringan itu
kita rehabilitasinya 3 bulan, kalau kategori
sedang bisa 6 bulan, kalau kategorinya berat
sekali itu bisa sampai satu tahun.”
Bagaimana ketersediaan sarana dan prasarana untuk
kegiatan rehabilitasi di
Provinsi Banten?
“Nah itu sih kendalanya, tapi lebih ke masukan ya mengenai rehabilitasi di Banten
ini sendiri belum ada perangkat untuk
rehabilitasi. Itu yang kita butuhkan seperti
balai rehabilitasi, karena selama ini di
lapangan itu rehabilitasinya dilakukan di LP
yang menurut saya masih kurang mengena
karena kan masih tercampur dengan pelaku
lainnya, sedangkan pengguna ini harus
dipisahkan tidak boleh dicampur. Kalau
rehabilitasi ya ditempatkan di tempat khusus
yang selama ini kita kirim ke LIDO
sedangakan LIDO kan jauh, harusnya untuk
sebesar Banten yang ada di pinggiran ibu
kota atau bisa dibilang penyangga ibu kota ya
harusnya sudah punya tempat rehabilitasi
sendiri. Itu yang seharusnya Pemerintah
Daerah memikirkan kesana.”
Pihak mana saja yang
terlibat dalam pelaksanaan
asesmen?
“Kita adalah tim asesmen hukum terdiri dari
jaksa, polisi dan dari BNN. Tiga unsur inilah
yang menggali para penyalahguna, apakah
dia benar-benar penyalahguna atau dia
pengedar terlibat jaringan narkotika dan ada
indikasi ketergantungan narkotika atau tidak.
Ada tiga hal yang kita gali.”
Law
Enforcement
(Penegakan
Hukum)
Bagaimana bentuk
koordinasi Kejaksaan
Tinggi Banten dengan
BNNP Banten dalam
pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba?
“Kita lebih fokus pada penegakan hukum
karena kita kan penegak hukum ya, dan lebih
fokusnya kepada pemberantasannya. Sesuai
dengan Undang-undang kita kan selaku jaksa
penuntut umum, koordinasi kita dengan BNN
itu dalam bidang penegakan hukum seperti
dalam penanganan perkara misalnya ada
perkara tindak pidana narkotika, penyidiknya
adalah BNN disitulah awal kita
berkoordinasi, BNNP selaku penyidik dan
kita selaku jaksa penuntut umum. Ada juga
dalam hal perkara ini penyalahguna adalah
pemakai atau korban, disitu kita ada
konsolidasi tersendiri diatur dalam Undang-
Undang ada mekanisme namanya asesmen.
Itulah yang menjadi sinergitas kita dengan
BNN.”
Apa dasar hukum kasus
penyalahgunaan narkoba?
“Dasar hukumnya Undang-Undang
Narkotika, itu Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009.”
Apa sanksi hukum yang diberikan dalam kasus
penyalahgunaan narkoba?
“Tentu sesuai Undang-Undang dan pasal yang didakwakan, misalnya pasal 112
memiliki itu ada ancamannya minimal 4
tahun dan bisa sampai 15 tahun atau
hukuman mati.”
Bagai
mana proses penegakan
hukum dalam kasus
penyalahgunaan narkoba?
“Setelah P21 dan penyerahan barang bukti,
kami akan menyusun dakwaan sesuai apa
yang ada dalam berkas kepolisian, setelah
dakwaan sempurna lengkap dan jelas kita
limpahkan ke pengadilan. Disanalah kita
harus buktikan dakwaan kita, apa yang ada
dalam BAP dan kita dakwakan itu kita
buktikan di persidangan. Nanti kita hadirkan
terdakwa, saksi, barang bukti dan lima alat
bukti yaitu petunjuk surat dan keterangan
terdakwa itu sendiri. Kita berusaha
meyakinkan hakim bahwa si terdakwa benar
melakukan perbuatan pidana sesuai yang
didakwakan. Dari situ proses pembuktian dan
kemudian hakim membuat putusan sesuai
pasal yang kita dakwakan, bisa pasal 114,
112, 127 atau pasal yang lainnya.”
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : Heri Purnomo, SH
Jabatan : Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan Lembaga Pemasyarakatan
Serang
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Kamis, 27 Juli 2017 pukul 10.30 WIB di
Lembaga Pemasyarakatan Serang
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Prevention
(Pencegahan)
Bagaimana bentuk
koordinasi Lembaga
Pemasyarakatan (LAPAS)
Serang dengan BNN
Provinsi Banten dalam
pencegahan dan
pemberantasan
penyalahgunaan narkoba?
“Kami selalu ada koordinasi terkait
penggeledahan di dalam, ditemukan atau
engga barang terlarang ataupun alat
komunikasi yang mengarah ke penggunaan
ataupun peredaran gelap narkoba, BNN juga
mengadakan tes urine. Selain itu juga BNNP
Banten pernah melakukan rehabilitasi.”
Apa saja hal atau program
kegiatan yang dilakukan
sebagai upaya pencegahan
penyalahgunaan narkoba
khususnya di LAPAS
Serang ini?
“Kita kan lalu lintas itu adanya selalu di pintu
utama atau P2U (Pengamanan Pintu Utama).
Hal-hal yang dapat kita lakukan semaksimal
mungkin ada tadi alat pendetaksi metal, ada
alat yang kaya masuk gawang itu juga, cuma
untuk alat yang secara khusus sebagai
pendeteksi narkoba itu kita belum punya
karena itu harganya mahal bisa sampai 800
juta jadi belum tercover. Yang bisa kita
lakukan adalah ya kepentingan kita sajalah
kaya pengiriman barang, makanan selalu kita
teliti mungkin kalau roti ya kita potong-
potong dulu takutnya di dalamnya diselipkan
narkoba, nasi juga mohon maaf kita acak-
acak, terus sandal kita ganti dengan sandal
yang ada di kita, karena modus operandinya
itu kan banyak sekali. Makanya
penggeledahan-penggeledahan itu kita
intensifkan supaya meminimalisir tidak ada
penyelundupan ke dalam Lapas, itu pun
masih banyak juga cara-cara yang lain. Terus
mental pegawai juga tidak menutup
kemungkinan kan namanya manusia dengan
iming-iming ini itu ya kita tidak memunafikan itu ada.”
Treatment
(Pengobatan)
Apa jenis pelayanan
rehabilitasi yang diberikan
BNN Provinsi Banten di
LAPAS Serang ini?
“Kalau rehab baru sekali, mungkin nanti akan
rutin ya setahun sekali pasti ada. Ada rehab
medisnya, psikologisnya dan rehab sosialnya
juga, ya macam-macam life skillnya juga ada.
Jadi ada beberapa komponen rehabnya itu.”
Bagaimana mekanisme
pelaksanaan rehabilitasi di
LAPAS Serang?
“Pelaksanaan disini BNN itu menunjuk
konselor, ia mempunyai tenaga ahli di bidang
konseling terus melibatkan juga tenaga dari
kita walaupun itu dibawah koordinasi dari
BNN. Dokter, perawat dan tenaga keamanan
yang sudah di training untuk menangani
warga binaan kasus penyalahgunaan narkoba
itu dilibatkan juga.”
Berapa jangka waktu
pelaksanaan rehabilitasi
yang dilakukan BNN
Provinsi Banten di LAPAS
Serang?
“Jangka waktunya untuk yang sudah kita
lakukan kemarin itu selama 3 bulan.”
Apakah terdapat juga
pelaksanaan kegiatan
pascarehabilitasi yang
dilakukan BNN Provinsi
Banten?
“Untuk disini yang waktu itu dilakuin ada
olahraga pagi sampai dengan memberikan
materi tentang wirausaha, terus tentang
keterampilan ada juga kaya buat kerajinan,
service ac, ya pokoknya bekal-bekal
keterampilan yang bermanfaat banyak lah
mba.”
Apakah terdapat kendala
dalam koordinasi dengan
BNN Provinsi Banten?
“Kalau kendala sih tidak ada, tapi lebih ke
hambatannya ya itu program rehabilitasinya
tidak berkesinambungan. Mereka mungkin
pas greget pas ada anggaran turun, segera
mungkin mereka mengasesmen kalau tidak
anggaran ya udah begini begini aja. Padahal
yang bagus kan berkesinambungan. Setelah
keluar juga harusnya ada evaluasi atau
pascarehabilitasi untuk dimonitor masih
memakai atau tidak, terus yang dikasih materi
itu bermanfaat atau tidak, terkait pola
hidupnya terus wirausahanya gimana apakah
mereka bisa mencari pekerjaan yang lain atau
masih kembali ke itu-itu saja bahkan
mungkin meningkat jadi pengedar.”
Law
Enforcement
(Penegakan
Hukum)
Apa sanksi yang diberikan
apabila terdapat warga
binaan yang terbukti
memiliki atau menggunakan
“Oh kalau seperti itu kan Lapas bukan pihak
yang berwenang menangani kasus peredaran
narkoba, jadi apabila terbukti disini ada
penyalahgunaan atau penyelundupan gitu kita
narkoba? serahkan lagi ke pihak yang berwajib, ke polisi baik itu Polres Polda ataupun BNNP
untuk menindaklanjuti, dalam arti nanti akan
ada perkara baru untuk dia, akan di sidik lagi
disamping disini pasti akan mendapatkan
hukuman disiplin yaitu pencabutan hak-
haknya sebagai warga binaan seperti tidak
mendapatkan remisi selama satu tahun, tidak
mendapat hak untuk dapat pembebasan
bersyarat.”
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : Taufik
Jabatan : Klien/Pasien Rehabilitasi BNN Provinsi Banten
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Kamis 5 Oktober 2017 pukul 14.40 WIB
di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Treatment
(Pengobatan)
Apa jenis pelayanan
rehabilitasi yang diberikan
BNN Provinsi Banten?
Rawat jalan. Setiap satu minggu itu wajib dua
kali kesini. Ya konseling, dikasih arahan,
ditanya perkembangannya, dikasih materi
juga makanya bawa buku gini nanti di tes
juga sama dokternya.
Bagaimana proses untuk
bisa mendapatkan akses
rehabilitasi di Klinik BNN
Provinsi Banten?
Kalau saya itu ketangkap Polres, jadi kalau
dari pihak Polres kesininya saya gak tau
gimana. Pokoknya waktu di Polres ya di BAP
terus ya saya kan cuma pemakai, ngakuin itu
aja pas di proses. Terus dari pihak keluarga
menanyakan ke polisi biar saya bisa di rehab
aja. Udah hampir satu bulan saya di polres,
dibawa kesini terus asesmen kaya di BAP
ulang gitu lah. Nunggu hasil akhirnya bisa
rehabilitasi, saya dibebasin tapi harus ngisi
dokumen gitu terus bikin surat pernyataan
dari saya dan surat jaminan dari keluarga.
Apa saja aspek yang
ditekankan pada saat
dilakukan asesmen sebagai
tolak ukur penentuan jenis
rehabilitasi dan jangka
waktu dalam proses
rehabilitasi?
Asesmen waktu itu sih ya diperiksa ditanya
tanya pemakaiannya, jenisnya, udah berapa
lama, dapet darimana. Pokoknya sama kaya
BAP tapi lebih banyak pertanyaannya karna
yang meriksa itu banyak bukan cuma polisi
sama dari BNN.
Harm Reduction
(Pengurangan
Dampak Buruk)
Apakah selama menjalani
rehabilitasi disini pernah
menerima layanan seperti
Program Terapi Rumatan
Metadon atau upaya
pemberian obat sintesis
untuk mengganti narkotika?
Ga pernah kalau disini mah cuma konseling
aja, ga dikasih obat apa-apa pokoknya harus
berhenti total aja karena di cek setiap
minggunya.
MATRIKS KATEGORISASI DATA
Nama : Rohim
Jabatan : Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan Lembaga Pemasyarakatan
Serang
Catatan Lapangan : Wawancara dilakukan pada hari Kamis, 12 Oktober 2017 pukul 10.15
WIB di Lembaga Pemasyarakatan Serang
Dimensi Pertanyaan Jawaban
Treatment
(Pengobatan)
Bagaimana proses
rehabilitasi yang pernah
diberikan BNN Provinsi
Banten beberapa waktu lalu
mas?
Jadi rehabnya itu pertama kaya konsultasi
sama dokter gitu dari BNN, ya sharing
tentang berapa lama pakainya, terus jenisnya
apa, kenapa bisa pakai narkoba. Terus
pertemuan berikutnya itu dikasih masukan,
materi juga ada, ya dapet banyak ilmu lah teh
dari situ. Dikasih arahan banyak terus kita
suruh bener-bener pahamin renungin gitu.
Setelah selesai proses
rehabilitasi itu, ada kegiatan
pembinaan keterampilan
gak?
Iya ada pelatihan untuk usaha, ada beberapa
pilihan gitu bisa pilih sesuai yang kita mau,
kalau saya waktu itu ikut service hp.
Lumayan lah teh buat nanti kalau keluar kan
bisa buat usaha saya.
PRESIDENREPUBLIK INDONESIA
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2OII
TENTANG
PELAKSANAAN KEBIJAKAN DAN STRATEGI NASIONAL PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP
NARKOBA TAHUN 2011 - 2015
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Untuk lebih memfokuskan pencapaian "Indonesia Negeri Bebas Narkoba", diperlukan
Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN) sebagai bentuk komitmen bersama seluruh
komponen masyarckat, bangsa, dan negara Indonesia, dengan ini menginstruksikan:
Kepada : l. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II;
2. Sekretaris Kabinet;
3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
4. Jaksa Agung;
5. Panglima Tentara Nasional Indonesia;
6, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;
7 . Para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian;
8. Para Gubernur; dan
9. Para Bupati/Walikota;
Untuk:
PERTAMA : Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan
kewenangan masing-masing, dalam rangka pelaksanaan Jakstranas
P4GN Tahun 20lI - 2015, yang meliputi bidang:
1. Pencegahan ...
PRESIDENR E P U B L I K I N D O N E S I A
-2
t .
2 .
3 .
4 .
Pencegahan;
Pemberd ay aan Masyarakat;
Rehabilitasi; dan
Pemberantasan.
Dalam rangka pelaksanaan Jakstranas P4GN Tahun z}Ll - z}Is
sebagaimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA:
l. Bidang Pencegahan, lnemfokuskan pada:
a, Upaya menjadikan siswa/pelajar pendidikan menengah dan
mahasiswa rnemiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba;
b. upaya menjadikan para pekerja memiliki pola pikir, sikap, dan
terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.
2. Bidang Pemberdayaan Masyarakat, memfokuskan pada:
a. Upaya menciptakan lingkungan pendidikan menengah dan
kampus bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba
terutama ganja, shabu, ekstasi, dan heroin;
b. Upaya menciptakan lingkungan kerja bebas dari penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkoba terutama ganja, shabu, ekstasi, dan
heroin;
c. Upaya penyadaran dengan pemberdayaan masyarakat di daerah-
daeratr yang secara sosiologis dan ekonomis melakukan
, penanaman ganja.
3. Bidang Rehabilitasi, memfokuskan pada:
a. Upaya mengintensifkan Wajib Lapor Pecandu Narkotika;
KEDUA
b. Upaya .. .
P R E S I D E NR E P U B L I K I N D O N E S I A
-3
b. Upaya memberikan pelayanan rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial kepada penyalahguna, korban penyalahgunaan, dan pecandu
narkoba;
c. Upaya pembangunan kapasitas lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial secara prioritas berdasarkan kerawanan daerah
penyalahgunaan narkoba;
d. Upaya pembinaan lanjut kepada mantan penyalahguna, korban
penyalahgunaan, dan pecandu narkoba.
4. Bidang Pemberantasan, memfokuskan pada:
a. Upaya pengawasan ketat terhadap impor, produksi, distribusi,
penggunaan (end user), ekspor, dan re-ekspor bahan kimia
prekusor dan penegakan hukum terhadap jaringan tersangka yang
melakukan p enyimpangan ;
b. Upaya pengungkapan pabrikan gelap narkoba dan/atau
laboratorium rumahan dan jaringan sindikat yang terlibat;
c. Upaya pengungkapan tindak pidana pencucian uang yang
berkaitan dengan tindak pidana narkotika secara tegas dan keras
sesuai peraturan perundang-undangan ;
d. Upaya penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, dan peradilan
jaringan sindikat narkoba baik dalam maupun luar negeri secara
sinergi;
e. Upaya penindakan yang tegas dan keras terhadap aparat penegak
hukum dan aparat pemerintah lainnya yang terlibat jaringan
sindikat narkoba;
f. Upaya peningkatan kerja sama antar penegak hukum untuk
menghindari kesenj angan di lapangan;
g. Upaya .. .
PR,ESIDENREPUBLIK INDONESIA
-4
g. Upaya kerja sama dengan aparat penegak hukum tingkat
internasional.
Para Menteri dan Kepala Lembaga bertindak sebagai penanggung jawab
di lingkungan keda masing-masing terhadap pencapaian target sesuai
Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan
dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 20lI 2015 sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Instruksi Presiden ini.
KETIGA
KEEMPAT
KELIMA
KEENAM
Para Gubernur:
1. Dalam waktu 3 (tiga) bulan, menyusun dan
Aksi Tahun 20Il - 2015 di tingkat Provinsi
dalam Diktum KEDUA;
2. Melaporkan secara berkala kepada Presiden
Narkotika Nasional.
melaksanakan Rencana
sebagaimana dimaksud
melalui Kepala Badan
Para Bupati/Walikota:
l. Dalam waktu 3 (tiga) bulan, menyusun dan melaksanakan Rencana
Aksi Tahun 20lI - 2015 di tingkat Kabupaten/I(ota sebagaimana
dimaksud dalam Diktum KEDUA;
2. Melaporkan secara berkala kepada Presiden melalui Kepala Badan
Narkotika Nasional.
Kepala Badan Narkotika Nasional melakukan pemantauan dan
pengendalian terhadap pelaksanaan Jakstranas P4GN Tatrun 20lt - 2015
dan qnengkompilasi laporan untuk disampaikan kepada Presiden.
Melaksanakan Instruksi Presiden ini dengan sungguh-sungguh dan penuh
tanggung jawab.
KETUJUH
Instruksi " ..
REPUBLIK INDONESIA
-5
Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.
Dikeluarkan di Jakarta
pada tanggal 27 Juni 20ll
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
nd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET zu
Deputi Bidang Politik, Hukum,
DOKUMENTASI
Lokasi Penelitian : Badan Narkotika Nasional Provinsi Banten
Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
Kondisi Sel Tahanan di BNN Provinsi Banten
Tempat Pelaksanaan Asesmen dan Penerimaan Laporan
Kegiatan Pemusnahan Barang Sitaan Narkotika di BNN Provinsi Banten
Struktur Organisasi BNN Provinsi Banten
Pelaksanaan Konseling di Klinik Pratama BNN Provinsi Banten
Narasumber : Agus Mulyana, SE
Jabatan : Kepala Bidang Rehabilitasi BNN Provinsi Banten
Narasumber : dr. Ade Nurhilal Desrinah
Jabatan : Dokter Seksi Penguat Lembaga Rehabilitasi BNN Provinsi Banten
Narasumber : Tri Nurtopo, S.E
Jabatan : Kepala Bagian Umum dan Kepegawaian BNN Provinsi Banten
Narasumber : Kompol. Kosasih SH, MH dan BRIPKA Gunawan
Jabatan : Kepala Sub Bagian dan Pelaksana Pembinaan dan Operasional
Direktorat Reserse Narkoba Polda Banten
Narasumber : Tri Sutrisno, SH
Jabatan : Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Lainnya Kejaksaan
Tinggi Banten
Narasumber : Heri Purnomo, SH
Jabatan : Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan Lembaga
Pemasyarakatan Serang
Narasumber : Moh. Arif Mulyawan. R
Jabatan : Mitra/Konsultan BNN Provinsi Banten
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : Diah Utami Ningsih
Alamat : Perum BCK Blok B.03A No. 01
RT/RW 001/011, Kec.Cibeber, Cilegon-Banten
Tempat,Tanggal Lahir: Serang, 24 Mei 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Phone : 081299397101/081906358628
E-mail : [email protected]
IDENTITAS ORANG TUA
Nama Ayah : Dendi Suhendi
Nama Ibu : Lina Yanuarti
Pekerjaan Ayah : Wiraswasta
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
RIWAYAT PENDIDIKAN
(2001 - 2007) SD Negeri Blok C Cilegon
(2007 - 2010) SMP Negeri 2 Cilegon
(2010 - 2013) SMA Negeri 1 Cilegon
(2013 - 2017) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa