step 7 tutorial dmf sken 2

13
1. Mekanisme Terjadinya Karies Karies dapat terjadi disebabkan karena adanya empat factor, yaitu host, diet, mikroorganisme, dan waktu. Terjadinya karies diawali dengan terbentuknya pelikel pada permukaan gigi. Pelikel merupakan lapisan tipis yang tersusun dari lipid, glikoprotein, dan fosfolipid. Pelikel ini memiliki permukaan yang sangat lengket, sehingga bakteri sangat mudah menempel pada pelikel tersebut. Ketika kita mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, terutama sukrosa dan menyisakan dalam rongga mulut maka bakteri seperti Streptococcus mutans akan mensekresikan enzim glukosil transferase yang akan mengubah sukrosa menjadi glukan. Glukan tersebut digunakan bakteri untuk melekatkan dirinya pada pelikel dan bakteri yang lain. Semakin lama semakin banyak bakteri yang melekatkan dirinya pada pelikel sehingga membentuk plak. Ketika terdapat sisa makanan yang menempel pada plak, terutama yang mengandung sukrosa maka bakteri dalam plak tersebut akan memetabolisme sukrosa menjadi asam piruvat melalui proses glikolisis. Kemudian asam piruvat difermentasi oleh bakteri hingga menjadi asam laktat yang akan menurunkan PH plak hingga mencapai PH kritis, yaitu 5,5. Kondisi yang asam ini menguraikan ikatan hidroksiapatit dengan menghancurkan kolagen, sehingga akan terjadi demineralisasi enamel dan pada akhirnya menyebabkan terbentuknya suatu kavitas atau karies. DEMINERALISASI

Upload: bestarika

Post on 06-Nov-2015

7 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kg

TRANSCRIPT

1. Mekanisme Terjadinya KariesKaries dapat terjadi disebabkan karena adanya empat factor, yaitu host, diet, mikroorganisme, dan waktu. Terjadinya karies diawali dengan terbentuknya pelikel pada permukaan gigi. Pelikel merupakan lapisan tipis yang tersusun dari lipid, glikoprotein, dan fosfolipid. Pelikel ini memiliki permukaan yang sangat lengket, sehingga bakteri sangat mudah menempel pada pelikel tersebut. Ketika kita mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, terutama sukrosa dan menyisakan dalam rongga mulut maka bakteri seperti Streptococcus mutans akan mensekresikan enzim glukosil transferase yang akan mengubah sukrosa menjadi glukan. Glukan tersebut digunakan bakteri untuk melekatkan dirinya pada pelikel dan bakteri yang lain. Semakin lama semakin banyak bakteri yang melekatkan dirinya pada pelikel sehingga membentuk plak. Ketika terdapat sisa makanan yang menempel pada plak, terutama yang mengandung sukrosa maka bakteri dalam plak tersebut akan memetabolisme sukrosa menjadi asam piruvat melalui proses glikolisis. Kemudian asam piruvat difermentasi oleh bakteri hingga menjadi asam laktat yang akan menurunkan PH plak hingga mencapai PH kritis, yaitu Kondisi yang asam ini menguraikan ikatan hidroksiapatit dengan menghancurkan kolagen, sehingga akan terjadi demineralisasi enamel dan pada akhirnya menyebabkan terbentuknya suatu kavitas atau karies.DEMINERALISASIKomponen mineral dari enamel, dentin, dan sementum adalah Hidroksiapatit (HA) Ca10(PO4)6(OH)2. Pada lingkungan netral HA seimbang dengan lingkugan lokal (saliva) yang banyak mengandung ion-ion Ca2+ dan PO43-.HA bersifat reaktif dengan ion hidrogen dibawah pH 5,5; atau biasa dikenal dengan pH kritis HA. H+ bereaksi secara khusus dengan fosfat dengan segera didekat permukaan kristal. Proses tersebut dapat dapat dideskripsikan sebagai konversi PO43- menjadi HPO42- melalui adisi H+ dan pada saat yang sama H+ akan bereaksi dengan OH- membentuk H2O. HPO42- kemudian tidak dapat berperan kembali pada keseimbangan HA karena mengandung PO43- lebih daripada HPO42- dan Kristal HA menjadi larut. Reaksi dari asam (H+) dengan Hydroksi sebagai berikut :Ca10(PO4)6(OH)2 + 8H+ 10Ca2+ + 6 HPO42- + 2H2OReaksi diatas secara terus menerus sehingga jumlah Ca (Calsium) yang lepas bertambah banyak lama kelamaan Ca akan keluar dari email Hal tersebut dikenal sebagai peristiwa demineralisasi. . Demineralisasi yang terus menerus akan membentuk pori-pori kecil pada enamel yang disebut juga porositas, yang dapat menyebabkan kekerasan enamel menurun.Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke arah dentin melalui lubang fokus tetapi belum sampai kavitasi (pembentukan lubang).

REMINERALISASIRemineralisasi merupakan kebalikan dari demineralisasi yaitu penempatan kembali garam-garam mineral ke gigi. Proses remineralisasi dapat terjadi jika pH saliva menjadi netral dan terdapat ion Ca2+ dan PO43- yang cukup di lingkungan saliva. Pengembalian mineral ini dapat terjadi dengan proses buffer, atau ion Ca2+ dan PO43- pada saliva dapat menghalangi proses larutnya mineral melalui efek ion yang biasa.

Selain itu saliva kandungan bikarbbonat dalam saliva juga membbantu proses remineralisasi dengan menetralkan Ph asam yang dihasilkan bakteri. Ion bikarbonat yang dihasilkan oleh saliva akan bereaksi dengan H+ membentuk asam bikarbonat, sehingga Ph asam dapat dinetralkan dan mencegah bereaksinya H+ dengan ion pospat. HCO3- + H+H2CO3 SUMBER:Panjaitan, B. R. (2010). Efek pH Minuman Teh botol, Kopi dan Bir Terhadap Kekerasan Permukaan Gigi.Universitas Sumatra Utara BUKU SINTANyeri gigi merupakan suatu gejala nyeri yang dapat timbul ketika terkena bermacam-macam rangsangan. Beberapa keluhan yang biasa dikemukakan pasien bersifat subjektif dan bervariasi berupa keluhan gatal, ngilu, nyeri yang kadang-kadang timbul jika ada rangsang seperti dingin atau panas, dan nyeri yang berdenyut-denyutNyeri gigi ditimbulkan oleh rangsang yang diterima melalui struktur gigi yaitu email, kemudian diteruskan ke dentin, sampai ke hubungan pulpa-dentin, yang mengandung reseptor nyeri dan akhirnya ke pulpa. Reseptor nyeri tersebut merupakan nosiseptor. Pada nosiseptor terjadi proses perubahan rangsang menjadi impuls saraf. Rangsang pada nosiseptor akan menimbulkan impuls nyeri. Impuls nyeri dari gigi akan dihantarkan melalui serabut saraf cabang saraf maksilaris dan mandubularis yang keduanya merupakan cabang dari saraf trigeminus. Saraf maksilaris manghantarkan impuls nyeri dari gigi bagian rahang atas, sedangkan impuls nyeri dari gigi bagian rahang bawah dihantarkan oleh saraf mandibularis.Faktor yang mempengaruhi tingkat nyeri gigi adalah faktor jenis kelamin, Sebenarnya secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Akan tetapi dari penelitian terakhir memperlihatkan bahwa hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi nyeri. Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada testosteron binatang, sedangkan estrogen meningkatkan sensitifitas tehadap nyeri Sedangkan factor yang bisa mempengaruhi lagi adalah usia, dengan bertambahnya usia, ambang reaksi nyeri akan meninggi.

Jurnal Keperawatan Volume 01 / Nomor 01 / Januari 2011 Desember 2011. EFEKTIFITAS KUMUR AIR GARAM TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA PENDERITA NYERI GIGI DI SUMOLEPEN KELURAHAN BALONGSARI KOTA MOJOKERTO oleh : Nuris Kushayati, S.Kep.Ns

3. Respon tubuh terhadap kariesa) Sklerosis tubulerSuatu proses dimana mineral diletakkan didalam lumen tubulus dentin dan bisa dianggap sebagai ekstensi mekanisme normal dari pembentukan dentin peritubuler. Reaksi jaringan, yang memerlukan pengaruh odontoblas vital, biasanya terlihat pada daerah perifer karies dentin. Sklerosis tubuler mengakibatkan terjadinya daerah yang strukturnya lebih homogen. Sklerosis tubuler merupakan suatu pelindung dalam arti ia menurunkan permeabilitas jaringan, seningga mencegah penetrasi asm dan toksin-toksin bakteri.b) Dentin reaksionerSuatu lapisan dentin yang terbentuk diantara dentin dan pulpa, sebagai suatu reaksi terhadap rangsang yang terjadi didaerah perifer. Oleh karena itu, penyebaran dentin reparatif terbatas didaerah dibawah rangsang. Dentin reaksioner terbentuk sebagai atas rangsang yang ringan. Tetapi keparahan yang meningkat akan menimbulkan kerusakan odontoblas yang meningkat pula serta displasia dentin reaksioner yang baru terbentuk. Rangsang yang sangat hebat dapat mengakibatkan kematian odaotoblast dan pada keadaan ini tak akan ada dentin reaksioner yang terbentuk. Akan tetapi, kadang-kadang ada sel-sel lain didalam pulpa yang berdiferensiasi menjadi sel atubuler yang terkalsifikasi. Suplai darah kedalam dianggap merupakan faktor penting dalam menentukan kesanggupan pulpa membentuk dentin reaksioner. Oleh karena itu, diperlukan gigi muda mampu membentuk dentin reaksioner dari pada gigi tua.Apabila gigi, telinga, dan kepala mengalami sakit yang bersamaan, kemungkinan persendian pada rahang terganggu. Sebab, gejala yang timbul pada saat sendi temporomandibula mengalami gangguan antara lain gigi menjadi sensitive, sakit di daerah pelipis, belakang kepala bahkan leher, serta sakit pada telinga. Kemungkinan lain adalah karies yang telah mencapai bagian pulpa sehingga mengenai saraf dan menyebabkan infeksi sampai ke daerah apikal. Gigi yang mengalami infeksi sampai apikal dapat mempengaruhi organ tubuh lain seperti kepala dan telinga akibat bakteri dari karies gigi tersebut.Rasa sakit yang cekot-cekot ini merupakan suatu usaha sistem tubuh untuk memompa darah ke bagian yang terkena infeksi. Bila tempat yang ada kariesnya diperiksa dengan sonde, hal ini akan menyebabkan rasa sakit yang menyengat dan selang beberapa saat, rasa sakit yang berdenyut akan mereda, kemudian akan timbul rasa hangat disekitar daerah yang tadinya sakit dan akan ada perasaan legaRespon terhadap plak Respon Imun terhadap plak gigi Respon imun terhadap plak gigi bervariasi dan kompleks. Sejumlah besar bakteri gram positif dan gram negative berikut produknya seperti LPS, LTA, dekstran dan levan akan mampu menstimulasi respon imun. Dua jalur komplemen, klasik dan alternative diaktivasi, limfosit distimulasi, limfokin dilepaskan, dan makrofag juga menjadi aktif. Reaksi potensial ini, mungkin diatur melalui efek potensiasi dan supresi oleh beberapa komponen yang ada di dalam plak gigi dan akan menghasilkan respon inflamasi holds yang terlokalisasi. Efek toksik langsung komponen plak pada jaringan gusi, mempunyai andil pada reaksi inflamasi lanjut. Akumulasi plak gigi dalam kaitannya dengan inflamasi gusi, berkorelasi dengan peningkatan transformasi limfosit dan pelepasan MIF. Aktivasi komplemen merupakan picu timbulnya respon inflamasi yang kompleks karena pelepasan histamine oleh mastosit yang diinduksi oleh C3a dan C5a. Kedua komponen komplemen ini juga menyebabkan agregasi platelet sehingga terjadi pembekuan intravaskuler. Kejadian ini dapat menghambat penyebaran bakteri, namun juga mengakibatkan kerusakan jaringan karena kurangnya pasokan darah. Akhir aktivasi system komplemen, berupa sintesis prostaglandin E yang dapat mengakibatkan resorpsi tulang. Akibat respon imun seluler terhadap plak gigi, kolagenase juga disekresikan oleh makrofag yang diaktivasi oleh LPS sehingga terjadi degradasi kolagen. Enzim lisosom merupakan agen potensial yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan. OAF juga dilepaskan oleh limfosit yang teraktivasi, sehingga terjadi resorpsi tulang alveolar. Respon terhadap karies gigi Selama perkembangan karies, antibodi ditemukan di dalam air liur, cairan pulpa gigi, dan cairan dentin. Hal ini menunjukkan bahwa liur, dentin dan pulpa gigi dapat memberikan respon imunologik terhadap serangan antigen kuman penyebab karies gigi. Imunoglobin juga ditemukan di dalam dentin sehat dan yang mengalami karies, terletak dibawah dentin yang mengalami karies. Antibodi ini berasal dari cairan pulpa, sedangkan antibody yang ditemukan di dalam dentin karies yang lunak berasal dari air liur. Komponen sekresi, baik yang terikat pada IgA maupun dalam bentuk sIgA hanya ditemukan pada lesi yang dangkal. Selain itu ditemukan IgG,IgA dan transferin di dalam karies yang dalam, sedangkan komponen sekresi tidak ada. Di bawah lesi karies tidak ditemukan adanya kuman. Pada saat karies gigi sudah mengenai dentin, antigen bakteri yang larut akan menginduksi respon peradangan klasik pada pulpa gigi berupa vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan eksudasi cairan serta PMN. Begitu karies mendekati pulpa, ditemukan adanya makrofag, limfosit dan sel plasma. Selain itu terdapat juga immunoglobulin ekstravaskuler dengan IgG paling banyak, disertai sel plasma yang mengandung IgG, IgA, IgE dan kadang-kadang IgM. Karies gigi yang tidak ditumpat akan memperluas demineralisasi dan dekalsifikasi dentin yang akhirnya akan mengenai atap pulpa. Pada keadan ini, biasanya sudah menimbulkan respon imun di dalam jaringan pulpa. Bila keadaan ini tidak segera diatasi, maka antigen kuman akan berdifusi kedalam jaringan pulpa dan menimbulkan berbagai kelainan di dalam pulpa gigi. Selanjutnya daerah periapikal juga akan diserang dan menjadikan abses periapikal akut atau bentuk tiga kondisi kronis: abses kronis, ganuloma, atau kista tergantung kekuatan respon imunnya. Respon imun periapikalRespon imun pada kelainan pulpa Di dalam jaringan pulpa gigi dengan pulpitis yang ireversibel, akan terlihat adanya limfosit dan makrofag sebagai sel infiltrasi radang yang mendominasi.Pada pulpitis yang reversible, maka lebih dari 90% limfosit yang ada di dalam pulpa adalah sel T8, sedangkan sel T4 nya sekitar 0,56. Pada pulpitis yang irevesibel, jumlah sel T4 ini mencapai 1,14 dibandingkan sel T8 dan sel B. Dalam jaringan pulpa yang mengalami peradangan, ditemukan antibodi terbanyak adalah IgG dibandingkan IgA dan IgM. Antibodi tersebut semua ditemukan lebih banyak dibandingkan dalam keadaan pulpa normal. Begitu pula sel plasma yang mengandung IgG dan IgA lebih banyak di dalam pulpa yang meradang, disamping ditemukan Pula C3. Eksudat radang yang terbentuk sebagai respon terhadap perkembangan karies gigi, sulit mendapatkan ruangan karena pulpa gigi dibatasi oleh struktur dentin yang kaku. Akibatnya jaringan pulpa di dalam saluran akar akan terlibat. Bila efek protektif respon imunologik tidak cukup baik, maka karies akan berkembang menjadi pulpitis akut. Namun, bila proses kariesnya berkembang lambat dan respon imunitasnya mampu mencegah kerusakan jaringan pulpa lebih lanjut, yang akan timbul hanyalah pulpitis kronis. Pada kelainan pulpa ini ditemukan respon seluler, respon humoral dan C3. Efek samping respon imunologik ini adalah reaksi hipersensifitas tipe I yang menimbulkan reaksi inflamasi dan rasa sakit, tipe III dengan akibat kerusakan jaringan pulpa, dan tipe IV yang jugs bertanggung jawab pada kerusakan lokal. Respon imun pada kelainan apikal Jaringan pulpa yang rusak, akan bertindak sebagai autoantigen yang bersama antigen kuman mengakibatkan penyebaran reaksi radang ke daerah periapikal. Akibatnya akan terjadi abses akut atau kondisi kronis (abses kronis, granuloma atau kista). Semua lesi tersebut dapat terjadi bila efek protektif respon imun tidak cukup baik, sehingga hanya mampu melokalisasi kerusakan lebih lanjut. Kadar immunoglobulin dalam serum subyek yang mengalami flare up (pembengkaan disertai rasa sakit dan resorbsi tulang pada gigi nonvital yang terjadi dengan cepat) setelah perawatan endodontik, menunjukkan hanya IgE yang meningkat dibandingkan keadaan normal. Keadaan ini diikuti kenaikan kadar histamine pada abses akut, sedangkan pada abses kronis dapat terjadi kenaikan ataupun tetapnya kadar IgE dalam sirkulasi. Akibat selanjutnya adalah permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi udema dan pembengkaan pada daerah ini. IgG dan IgM ditemukan juga pada daerah periapikal ini yang mampu bereakasi spesifik dengan antigen yang terdapat di dalam saluran akar. Kadar IgG, IgM, IgE dan komplemen C3 dalam serum penderita abses akut akan tampak lebih tinggi. Respon imunitas humoral pada lesi periapikal juga ikut berperan pada kelainan periapikal ini. Antara kadar kompleks-imun, IgG, IgM, IgE dan komplemen C3 di dalam serum penderita kelainan periapikal setelah dan sebelum dirawat saluran akarnya juga berbeda bermakna. Kadar Ig E dalam senun penderita yang mengalami kematian gigi tanpa gejala, ditemukan lebih tinggi. Respon CMI pada lesi periapikal, menunjukkan bahwa makrofag merupakan sel radang terbanyak, disusul limfosit T dengan sel Th lebih dominant. Dalam jaringan granuloma ditemukan banyak sekali sel plasma, IgG, IgA dan IgM. Pada dinding kista keadaan ini meningkat jumlahnya mencapai 2 atau 3 kali dibandingkan dalam serum. Di dalam epitel kista apikal juga ditemukan sel Langerhans dan makrofag. Dalam keadaan patologis, sel Langerhans berfungsi memproses dan menyajikan antigen kepada limfosit T, seperti fungsi makrofag. Sel ini juga mempunyai kemampuan fagositosis, walaupun terbatas. Di dalam kista dan granuloma lebih banyak mengandung makrofag daripada sel-T. Karena daerah periapikal dibatasi oleh dinding padat tulang alveolar, antigen tadi akan terlokalisasi di daerah ini. Pada saat mengunyah, daerah tadi akan mengalami tekanan dan iritasi, akibatnya antigen akan masuk kedalam kelenjar limfa dan pembuluh darah serta menstimulasi respon imunologik lokal dan di dalam nodus limfatikus submaksilaris. Respon imun periapikal ini berfungsi untuk pertahanan, namun juga menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Pada keadaan abses periapikal akut, terjadi kenaikan kadar IgG, IgM, IgE dan C3. Keadaan ini mengindikasikan adanya reaksi hipersensitivitas tipe I dan III yang merupakan respon humoral. Pada reaksi alergi tipe III, kompleks imun akan mengaktifkan sistim komplemen yang menyebabkan penarikan leukosit PMN dan trombosit di dalam pembuluh darah, sehingga terbentuk abses dan kerusakan membran sel jaringan periapikal. Bila membran sel rusak, akan terjadi pembentukan prostaglandin (PG) yang dapat mengakibatkan resorpsi tulang dan amplifikasi system kini. Kinin akan menyebabkan rasa sakit. Dengan adanya PG rasa sakit bertambah berat. PG juga merupakan bahan pirogen yang dapat menimbulkan demam. Bila jaringan periapikal pejamu mengalami kesulitan dalam mengeliminasi antigen, respon imun CMI kronis akan dibangkitkan untuk melokalisasi antigen tadi. Respon CMI ini akan menarik banyak makrofag pada daerah tersebut ( seperti dalam granuloma). Kemudian makrofag akan melepaskan IL-1 yang dapat merangsang OAF dan FAF dan P. Ketiga mediator ini sangat berperan dalam patogenitas lesi periapikal, karena dapat mengakibatkan pembentukan granuloma dan kista. Dengan ditemukannya sel Langerhans dan makrofag di dalam kista epithelium kista gigi, menunjukan bahwa pada kelainan periapikal kronis, respon CMI dalam bentuk reaksi alergi Tipe IV cukup besar peranannya.