step 7 sken 2 blok 6 dewandaru

40
BAB V OBYEK PEMBELAJARAN 1. Mengapa kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi & depresi respon imun? 2. Bagaimana regulasi & fungsi gonadokortikoid (androgen), epinefrin dan norepinefrin serta efeknya? 3. Mengapa pasien hipotensi, hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia & osteoporosis ? 4. Apa kaitan MSH dengan kasus? 5. All about Sindrom Cushing? 6. Cara menegakkan diagnosis (anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang) 7. All about insufisiensi adrenal! 8. All about Addison disease!

Upload: dewandaru-i-a-b

Post on 13-Sep-2015

38 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

fk

TRANSCRIPT

BAB V

OBYEK PEMBELAJARAN

1. Mengapa kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi & depresi respon imun?2. Bagaimana regulasi & fungsi gonadokortikoid (androgen), epinefrin dan norepinefrin serta efeknya?

3. Mengapa pasien hipotensi, hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia & osteoporosis ?4. Apa kaitan MSH dengan kasus?

5. All about Sindrom Cushing?

6. Cara menegakkan diagnosis (anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang)

7. All about insufisiensi adrenal!

8. All about Addison disease! BAB VIIBERBAGI INFORMASI7.1. Efek antiinflamasi dan depresi respon imun Kortikosteroid 1) Efek antinflamasi

Menurut Sitompul (2011) mekanisme kerja Kortikosteroid sebagai Anti-inflamasi adalah sebagai berikut : Efek antiinflamasi kortikosteroid mempengaruhi berbagai sel imunokompeten seperti sel T, makrofag, sel dendritik, eosinofil, neutrofil, dan sel mast, yaitu dengan menghambat respons inflamasi dan menyebabkan apoptosis berbagai sel tersebut. Kerja kortikosteroid menekan reaksi inflamasi pada tingkat molekuler terjadi melalui mekanisme genomik dan nongenomik. Glukokortikoid (GK) berdifusi pasif dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid (RG) di sitosol. Ikatan GKRG mengakibatkan translokasi kompleks tersebut ke inti sel untuk berikatan dengan sekuens DNA spesifik, yaitu glucocorticoid response elements (GRE). Ikatan GK-RG dengan DNA mengakibatkan aktivasi atau supresi proses transkripsi. Mekanisme non-genomik GK terjadi melalui aktivasi endothelial nitric oxide synthetase (eNOS) yang menyebabkan lebih banyak pelepasan nitric oxide (NO), suatu mediator anti-inflamasi. Imunosupresi secara genomik terjadi melalui aktivasi annexin-1 (lipocortin-1) dan mitogen-activated proteinkinase (MAPK) phosphatase . Selain itu, GK juga meningkatkan transkripsi gen anti-inflamasi secretory leukoprotease inhibitor (SLPI) interleukin-10 (IL-10) dan inhibitor nuclear factor-kB (IkB-a). Annexin-1 menghambat pelepasan asam arakhidonat sehingga produksi mediator inflamasi menurun (prostaglandin, tromboksan, prostasiklin, dan leukotrien). Kerja enzim MAPK phosphatase 1 menyebabkan MAPK 1 tidak aktif sehingga aktivasi sel T, sel dendritik, dan makrofag terhambat. Mekanisme genomik lain berupa inhibisi faktor transkripsi yang berperan dalam produksi mediator inflamasi, yaitu nuclear factor-kB (NF-kB) dan activator protein-1 (AP-1).4,5 NF-kB dan AP-1 mengatur ekspresi gen sitokin, inflammatory enzymes, protein dan reseptor yang berperanan dalam inflamasi (IFN-g, TNF-a, dan IL-1). Penghambatan keduanya akan menurunkan produksi mediator inflamasi2) Depresi respon imunMenurut Azis (2000) beberapa aktivitas glukokortikoid sebagai imunosupresan diantaranya adalah :

Peningkatan pelepasan neutrofil dari sumsum tulang, tetapi menurunkan pemasukan neutrofil ke daerah radang Eosinofil terletak jauh dari sirkulasi perifer dan jauh dari daerah radang, sehingga terjadi eosinopenia Monosit tidak dilepaskan dalam jangka lama dari sumsum tulang, sehingga menyebabkan monositopenia Limfosit juga tidak terdapat di daerah radang dalam jangka lama Produksi interleukin 2 (growth factor sel T) dihambat sehingga menyebabkan penurunan proliferasi sel T

7.2. Regulasi dan fungsi1) Regulasi dan fungsi androgen Menurut Sherwood (2014) androgen (hormon seks laki-laki) yang sekresinya meningkat drastis saat pubertas, juga berperan menyebabkan lonjakan pertumbuhan pubertas dengan mendorong sintesis protein dan pertumbuhan tulang. Androgen poten dari testis laki-laki, testesteron sangat penting dalam mendorong peningkatan sistem tajam tinggi badan, sementara androgen adrenal yang kurang poten dari kelenjar adrenal yang juga meningkat sekresinya selama masa remaja, kemungkinan besar penting dalam lonjakan pertumbuhan pubertas pada anak perempuan.

Diferensiasi menjadi sistem reproduksi tipe laki-laki diinduksi oleh androgen hormon maskulinisasi yang disekresikan oleh testis yang sedang terbentuk, dimana testesteron adalah endrogen yang paling poten. Tidak adanya hormon testis ini pada janin wanita menyebabkan terbentuknya sistem reproduksi tipe wanita (Sherwood, 2014). 2) Regulasi dan fungsi Norepinefrin dan EpinefrinMenurut Sherwood (2014) adalah sebagai berikut : Norepinefrin dan epinefrin juga dikenal sebagai noradrenalin dan adrenalin, hormon kimia yang disekresi oleh medula dari kelenjar adrenal. Epinefrin dan norepinefrin juga diproduksi di ujung serabut saraf simpatis, di mana mereka berfungsi sebagai mediator kimia untuk menyampaikan impuls saraf ke organ efektor. Mereka mengerahkan tindakan farmakologis yang sama, yang menyerupai efek stimulasi dari sistem saraf simpatik. oleh karena itu, epinefrin dan norepinefrin diklasifikasikan sebagai agen simpatomimetik. Sekresi aktif dari medula adrenal mengandung sekitar 80 persen epinefrin dan norepinefrin 20 persen; namun proporsi ini terbalik dalam saraf simpatik.

Norepinefrin dan epinefrin adalah bahan kimia yang menentukan respon metabolisme dalam tubuh, seperti merilis oksigen dalam otot, pelebaran dan penyempitan pembuluh darah serta meningkatkan tekanan darah. Proses ini akan diaktifkan bila dibutuhkan tubuh untuk menanggapi situasi darurat dan kemudian pulih dengan sendirinya. Kedua proses kimia ini saling melengkapi satu sama lain dan hanya memiliki sedikit perbedaan.

Fungsi

Tindakan epinefrin dan norepinefrin umumnya sama, meskipun mereka berbeda satu sama lain dalam beberapa efek. Norepinefrin mengkonstriksi hampir semua pembuluh darah, sedangkan epinefrin menyebabkan penyempitan di banyak jaringan pembuluh darah, tapi melebarkan pembuluh darah di otot rangka dan hati. Kedua hormon meningkatkan tingkat dan kekuatan kontraksi jantung, sehingga meningkatkan output darah dari jantung dan meningkatkan tekanan darah. Hormon-hormon juga memiliki tindakan metabolik penting. Epinefrin merangsang pemecahan glikogen menjadi glukosa di hati, yang menghasilkan kenaikan tingkat gula darah. Kedua hormon meningkatkan tingkat sirkulasi asam lemak. Jumlah tambahan glukosa dan asam lemak dapat digunakan oleh tubuh sebagai bahan bakar pada saat stres atau bahaya di mana peningkatan kewaspadaan atau tenaga diperlukan. Epinefrin kadang-kadang disebut hormon darurat karena dilepaskan selama stres dan efek stimulasi yang membentengi dan mempersiapkan untuk melawan atau lari.Efek Norepinefrin

Norepinefrin bekerja seperti epinefrin dalam hal itu juga meningkatkan tekanan darah dan merangsang pernapasan dan kontraksi pencernaan, tetapi dua bahan kimia saling menyeimbangkan. Norepinefrin menurunkan denyut jantung dan meningkatkan tindakan dari sistem saraf perifer oleh konstriksi pembuluh darah. Hal ini juga mengkonstriksi pembuluh darah di otot dan kulit, dan mengurangi stimulasi saluran udara bronkus dalam paru-paru untuk kembali tubuh ke keadaan homeostasis atau fungsi dasar. Setiap menit tubuh mengatur ulang dengan lingkungannya, perubahan tekanan darah, peningkatan atau penurunan detak jantung tergantung pada aktivitas, tubuh menyesuaikan dan mengatur suhu serta fungsi organ internal. Tubuh biasanya hanya mengaktifkan hanya untuk melawan atau pola yang pada saat stres yang ekstrim (Sherwood, 2014)Efek Epinefrin

Epinefrin mempengaruhi sistem saraf perifer dengan merangsang dan penghambatan. Epinefrin mempengaruhi sistem saraf pusat dengan meningkatkan respirasi dan meningkatkan aktivitas otot. Hormon kimia ini merangsang sel-sel otot polos dan pembuluh darah di organ dan jaringan di seluruh tubuh. Epinefrin meningkatkan denyut jantung dan meningkatkan kekuatan kontraksi otot. Epinefrin juga merupakan bagian dari pengaturan insulin dalam sistem endokrin (Sherwood, 2014)

7.3. Hipotensi, hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia & osteoporosis

1) Hipotensi dan hiponatremiaMenurut FK UI (2012) timbulnya hipotensi dikarenakan terjadinya pengeluaran Na+ yang berlebihan melalui ginjal akibat adanya insufiensi adrenal dengan mekanisme sebagai berikut : Pada keadaan normal dengan diet normal, hampir seluruh Na+ yang difiltrasi glomerulus (99,5%) akan direabsorpsi oleh tubuli ginjal, jumlah ini diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan Na+ yang identik dengan 24.000 mEq Na+. Adapun pada kondisi insufiensi adrenal dengan diet yang sama tadi, reabsorpsi maksimal hanya mencapai 98,5% saja, sehingga ada kekurangan reabsorpsi sebanyak 1% pada pasien yaitu sekitar 240 mEq Na+ perhari akan hilang melalui ginjal, dimana menurut perhitungan Na+ yang hilang tersebut berada pada 1,7 liter cairan ekstrasel, dan ternyata jumlah cairan yang ditarik oleh Na+ keluar < 1,7 liter. Jadi Na+ yang keluar lebih banyak daripada air (terjadi hiponatremia), maka cairan ekstrasel akan menjadi hipoosmotik dan air dari ektrasel akan masuk ke intrasel sehingga terjadi hidrasi sel. Akibatnya terjadi pengurangan volume plasma yang membuat darah menjadi kental, dimana keadaan tersebut dapat menyebabkan hipotensi seperti yang terjadi pada kasus dengan tekanan darah 90/80.2) HipoglikemiaPada kasus pasien sudah sejak 5 tahun lalu mengkonsumsi obat penambah berat badan yang dibeli di toko obat, sehingga diasumsikan mengkonsumsi dengan dosis suprafisiologis karena tanpa resep dari dokter. Disamping itu, karena merasa sudah gemuk/berat badan bertambah maka konsumsi obat tersebut dihentikan. Menurut Azis (2000) pada kondisi demikian dapat mengganggu kinerja adrenal sehingga terjadi insufiensi adrenal yang mengakibatkan berkurangnya produksi hormon kortisol. Dengan berkurangnya hormon kortisol dapat menghambat proses glukoneogenesis. Menurut Sherwood (2014) glukoneogenesis merupakan proses sintesis (pembentukan) glukosa, dimana pada umumnya glukoneogenesis terjadi di hati untuk menjaga kadar glukosa darah agar tetap dalam kondisi normal. Oleh karena itu, dengan adanya hambatan proses glukoneogenesis, maka terjadi pengurangan kandungan glukosa dalam darah yang mengakibatkan terjadinya hipoglikemia yang ditandai kandungan glukosa darah yang cukup rendah pada pasien yaitu 70 mg/dl.3) Hiperkalsemia dan OsteoporosisGinayah & Sanusi (2011) menyatakan bahwa pada keadaan insufiensi adrenal dapat terjadi penurunan kalsium ginjal dan peningkatan masukan kalsium kedalam sirkulasi darah yang dapat menyebabkan hiperkalsemia. Akibat insufiensi adrenal terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, sehingga terjadi penurunan filtrasi kalsium oleh glomerulusdan peningkatan reabsorpsi kalsium di tubulus proksimal.Nair & Simmons (2002) melaporkan bahwa pada penderita insufiensi adrenal kalsium dapat pula dilepaskan dari tulang, dimana pelepasan kalsium dari tulang yang berlangsung lama dapat menyababkan penyakit osteoporosis.

7.4. Kaitan MSH (Melanocyte Stimulating Hormone) dengan kasusPada kasus ini penegakkan diagnosisnya adalah penyakit Addison, yang diantaranya disebabkan oleh defisiensi hormon kortisol (Adhiarta & Soetedjo, 2007; Gardner & Shoback, 2011), dimana menurut Schteingart (2014) konsekuensi lain dari defisiensi hormon kortisol adalah peningkatan umpan balik negatif dalam sekresi peptida yang berasal dari proolomelanokortin (POMC), termasuk ACTH dan melanocyte stimulating hormone- dan . Campbell, Reece & Mitchell (2004) dan Grennstein & Wood (2010) menyatakan bahwa fungsi hormon MSH adalah mengatur aktifitas sel yang mengandung pigmen pada kulit. Sehingga menurut Schteingart (2014) dengan adanya hormon MSH yang berlebih terjadi konsikuensi klinis hiperpigmentasi pada kulit dan mokosa karena penimbunan melanin, yang biasanya terjadi di bagian distal ekstremitas di daerah yang terpajan matahari walaupun juga dapat mengenai daerah yang dalam keadaan normal tidak terpajan matahari. Daerah-daerah ini mencakup puting payudara, permukaan ekstensor ektremitas, genitalia, mukosa pipi, lidah, lipatan di telapak tangan dan buku jari. Beberapa penelitian melaporkan bahwa hiperpigmentasi didapatkan 100% pada penderita penyakit Addison. Oleh karena itu, terjadinya hiperpigmentasi pada kulit dan mukosa merupakan salah satu tanda dan gejala dari penyakit Addison. 7.5. Cushing Sindrom

1) DefinisiSindrom Cushing adalah manifestasi kilinis dari kelebihan abnormal hormon glukokortikoid dalam waktu yang lama dengan segala konsekuensinya. Definisi ini juga mencakup adanya insufisiensi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal dan gangguan pada ritme sekresi sirkadian kortisol (Tarigan, 2014).

2) Etiologi

Menurut Tarigan (2014) dan Adi & Pranoto (2014) etiologi sindrom cushing adalah sebagai berikut :Tabel 1. Penyebab sindrom Cushing

Penyebab ACTH-dependent

1. Penyakit Cushing2. Sindrom ACTH ectopic (misal bronchial, timus atau pancreatic carcinoids, karsinoma tiroid meduler)

3. Sindrom CRH ectopic

4. Hiperplasia macronudular adrenal

5. Iatrogenik (pengobatan dengan 1-24 ACTH)

Penyebab ACTH-independent

1. Adenoma dan karsinoma adrenal2. Primary pigmented nodular hyperplasia dan sindrom Camey

3. Sindrom McCune-Albright

4. Ekpresi reseptor abberant (gastric inhibitory polypeptide interleukin 1-5. Iatrogenik (misal pemberian prednisolon, dexamethasone dosis farmakologis)

3) Patogenesis

Kelebihan produksi hormon kortisol di korteks adrenal bisa sebagai akibat kelebihan ACTH (ACTH-dependent) dari berbagai sumber atau memang kelenjar adrenal secara otonom memproduksi kortisol berlebihan tanpa rangsangan dari ACTH (ACTH-independent), dimana hormon kortisol sangat essensial untuk menjaga kenormalan metabolisme glukosa dan protein, keseimbangan elektrolit, fungsi imun dan juga tekanan darah.

Sekitar 80% sindrom Cushing adalah ACTH-dependent, dimana ACTH dapat disekresi oleh adenoma hipofisis (80% dari ACTH-dependent) atau berasal dari non hipofisis (ektopik, sekitar 20% dari ACTH-dependent). Sisa 20% kasus sindrom Cushing adalah ACTH-independent, dimana kortisol diproduksi secara otonom oleh kelenjar adrenal dengan perincian : 60% kasus adenoma, 38% kasus karninoma, dan kurang dari 2% penyebabnya adalah hiperplasia adrenal masif yang masih jarang seperti primary pigmented nodular adrenal disease atau sindrom McCune-Albright (Tarigan, 2014; Adi & Pranoto, 2014).4) PatofisiologiKelebihan glukokortikoid dapat menyebabkan perubahan fisiologi seperti berikut :1. Metabolisme protein dan karbohidrat.Glukokortikoid mempunyai efek katabolik dan antianabolik pada protein, menyebabkan menurunnya kemampuan sel-sel pembentuk protein untuk mensistesis protein, sebagai akibatnya terjadi kehilangan protein pada jaringan seperti kulit, otot, pembuluh darah, dan tulang. Secara klinis dapat ditemukan : (1) kulit mengalami atropi dan mudah rusak, luka-luka sembuh dengan lambat; (2) ruptura serabut-serabut elastis pada kulit menyebabkan tanda regang pada kulit berwarna ungu (striae): (3) otot-otot mengalami atropi dan menjadi lemah; (4) penipisan dinding pembuluh darah dan melemahnya jaringan penyokong vaskule menyebabkan mudah timbul luka memar; (4) matriks protein tulang menjadi rapuh dan menyebabkan osteoporosis, sehingga dapat dengan mudah terjadi fraktur patologis. Metabolisme karbohidrat dipengaruhi dengan merangsang glukoneogenesis dan menganggu kerja insulin pada sel-sel perifer, sebagai akibatnya penderita dapat mengalami hiperglikemia. Pada seseorang yang mempunyai kapasitas produksi insulin yang normal, maka efek dari glukokortikoid akan dilawan dengan meningkatkan sekresi insulin untuk meningkatkan toleransi glukosa. Sebaliknya penderita dengan kemampuan sekresi insulin yang menurun tidak mampu untuk mengkompensasi keadaan tersebut, dan menimbulkan manifestasi klinik DM.2. Distribusi jaringan adiposa.Distribusi jaringan adiposa terakumulasi didaerah abdominal dan wajah (obesitas wajah bulan atau moon face). Memadatnya fossa supraklavikulare dan tonjolan servikodorsal (buffalo hump), obesitas trunkus dengan ekstremitas atas dan bawah yang kurus akibat atropi otot memberikan penampilan klasik berupa penampilan Chusingoid.3. ElektrolitEfek minimal pada elektrolit serum. Kalau diberikan dalam kadar yang terlalu besar dapat menyebabkan retensi natrium dan pembuangan kalium. Menyebabkan edema, hipokalemia dan alkalosis metabolik.4. Sistem kekebalanAda dua respon utama sistem kekebalan; yang pertama adalah pembentukan antibody humoral oleh sel-sel plasma dan limfosit B akibat ransangan antigen yang lainnya tergantung pada reaksi-reaksi yang diperantarai oleh limfosit T yang tersensitas. Glukokortikoid mengganggu pembentukan antibodi humoral dan menghabat pusat-pusat germinal limpa dan jaringan limpoid pada respon primer terhadap anti gen. Gangguan respon imunologik dapat terjadi pada setiap tingkatan berikut ini : (1) proses pengenalan antigen awal oleh sel-sel sistem monosit makrofag; (2) induksi dan proleferasi limfosit imunokompeten; (3) produksi anti bodi; (4) reaksi peradangan; (5) menekan reaksi hipersensitifitas lambat.5. Sekresi lambungSekeresi asam lambung dapat ditingkatkan sekresi asam hidroklorida dan pepsin dapat meningkat. Faktor-faktor protekitif mukosa dirubah oleh steroid dan faktor-faktor ini dapat mempermudah terjadinya tukak.6. Fungsi otakPerubahan psikologik terjadi karena kelebihan kortikosteroid, hal ini ditandai dengan oleh ketidak stabilan emosional, euforia, insomnia, dan episode depresi singkat.7. EritropoesisInvolusi jaringan limfosit, rangsangan pelepasan neutrofil dan peningkatan eritropoiesis. Namun secara klinis efek farmakologis yang bermanfaat dari glukokortikoid adalah kemampuannya untuk menekan reaksi peradangan. Dalam hal ini glukokortikoid dapat menghambat hiperemia, ekstra vasasi sel, migrasi sel, dan permeabilitas kapiler, menghambat pelapasan kiniin yang bersifat pasoaktif dan menekan fagositosis. Efeknya pada sel mast; menghambat sintesis histamin dan menekan reaksi anafilaktik akut yang berlandaskan hipersensitivitas yang diperantarai anti bodi. Penekanan peradangan sangat deperlukan, akan tetapi terdapat efek anti inflamasi yang merugikan penderita. Pada infeksi akut tubuh mungkin tidak mampu melindungi diri sebagai layaknya sementara menerima dosis farmakologik. 5) Manifestasi klinis

Menurut Tarigan (2014), Adi & Pranoto (2014) dan Prihartanto (2015) manifestasi klinis sbb : Perubahan selera makan yang meningkat Obesitas sentral

Kenaikan berat badan

Moon face

Hipertensi

Atrofimkulit dan memar

Diabetes atau intoleransi glukosa

Disfungsi gonad Kelemahan otot

Hirsutisme, jerawat

Gangguan mood

Edema

Polidipsi/poliuri

Infeksi jamur

Penurunan konsentrasi berpikir

Penurunan libido

Kelelahan

Gangguan memori jangka pendek

Insomnia

Iritabilitas

Gangguan menstruasi

Osteoporosis

Pada anak-anak :

Virilisasi genital abnormal

Pubertas tertunda

Pertumbuhan terhenti

Pubertas pseudoprekoks

Perawakan pendek

Petumbuhan lambat6) KomplikasiMenurut Tarigan (2014) dan Prihartanto (2015) komplikasi sistemik yang timbul adalah : Obesitas sentral

Hipertensi

Gangguan toleransi glukosa

Diabetes

Dislipidemia

Trombosis

Kelainan psikiatrik

Penyakit ginjal

Osteoporosis

Meningkatnya risiko kardiovaskular

Infeksi dan sepsis

Gangguan kognitif yang dikenal sebagai steroid dimentia syndrome7) PenatalaksanaanAdi & Pranoto (2014) menyatakan bahwa pengelolaan disesuaikan dengan penyakit dasarnya dan lokasi organ yang terlibat. Adrenal sebagai penyebab1. Adenoma unilateral, harus dilakukan adrenalektomi, angka kesembuhan mencapai 100%. Lapascopic adrenalektomy merupakan pilihan untuk tumor adrenal unilateral. Setelah operasi adrenal kontralateral akan masih tersupresi dan membutuhkan waktu berbulan-bulan bahkan tahun untuk kembali normal. Disarankan memberikan terapi sulih hormon dengan dosis suboptimal Deksametason 0,5 mg pagi hari, dengan pengukuran berkala kadar kortisol pagi sebelum minum Deksametason. Bila kadar kortisol dalam plasma pagi hari > 180 nmol/l (6,5 /dl), maka deksametason dihentikan.2. Karsinoma adrenal, pengangkatan tumor primer tetap dilakukan walaupun sudah mengalami metastasis, dengan tujuan untuk meningkatkan respon terhadap terapi dengan adrenolytic mitotane. Mengingat bahwa radioterapi dan metastasis tidak memberikan manfaat. Sindrom cushing yang Pituitary-dependent Terapi pilihan adalah adrenalektomi bilateral, pada saat operasi penderita harus mendapatkan terapi kortikosteroid, dan setelah oparasi penderita memerlukan sulih hormon dengan hidrokortison dan fludrokortison. Sindrom ACTH ectopicPengobatan penyakit ini tergantung penyebabnya. Bila tumor menjadi penyebab dan belum menyebar, maka pengangkatan tumor bisa memberikan penyembuhan. Dan apabila sumber penyakit tidak bisa ditemukan, diperlukan pembedahan adrenalektomi bilateral.Terapi medis sindrom cushing :

Menurut Karnath & Ojo (2008) dan Adi & Pranoto (2014) terapi medis yang dilakukan adalah sebagai berikut : Metyrapone merupakan obat yang paling banyak digunakan. Dosis harian harus disesuaikan dengan hasil pengukuran kadar kortisol bebas dalam plasma atau urin. Target terapi adalah mencapai kadar kortisol plasma rerata sekitar 300 nmol/l pada siang hari atau kadar kortisol bebas yang normal dalam urin. Obat diberikan dalam dosis 250 mg 2 kali sehari sampai dengan 1,0 g tiap 6 jam. Aminoglutethimide adalah obat pilihan yang lebih toksik. Dosis 1,5 g sampai dengan 3 g sehari, diawali dengan 25 mg tiap 8 jam. Ketoconazole suatu derivat imidazol dengan dosis 400-800 mg perhari.

Thiazolidinedione rosiglitaone dengan dosis sampai dengan 8 mg perhari dapat menekansekresi kortisol, dimana obat ini menunjukkan manfaat pada hampir 20% kasus.

Mitotane dengan dosis bisa mencapai 5 g perhari untuk mengatasi kelebihan glukokortikoid

Pasireotide 600 g injeksi subkutan 2 kali sehari selama 15 hari menunjukkan sekresi kortisol akan turun pada 75% penderita, akan tetapi normalisasi kortisol bebas dalam urin hanya dicapai oleh 20% penderita. 8) Prognosis

Jika tidak diobati secara adekuat, penyakit ini secara signifikan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, dan survival median dari pasien hanya sekitar 4,6 tahun. Dari beberapa studi didapatkan angka kematian sindrom cushing non malignansi sekitar 2-4 kali dibandingkan denga populasi normal, smentara sindrom cushing dengan penyakit dasar keganasan prognosisnya sangat buruk, umumnya meninggal selama dalam usaha pengobatan awal. Adapun pasien yang gagal dengan operasi angka kematiannya 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi normal jika dibandingkan dengan pasien yang remisi dengan operasi (Tarigan, 2014).

Menurut Adi & Pranoto (2014) setelah pengobatan gambaran sindrom cushing akan menghilang setelah 2-12 bulan. Hipertensi dan DM akan membaik, namun mungkin tidak akan menghilang sama sekali. Osteopenia akan membaik dengan cepat dalam 2 tahun pertama setelah terapi namun perbaikan ini akan melambat. Gangguan reproduksi dan fungsi seksual akan kembali normal dalam 6 bulan, yang menandakan bahwa fungsi hipofisis anterior tidak terganggu. Keseluruhan perbaikan akan memperbaiki kualitas hidup, namun kualitas hidup tidak bisa kembali ke normal.7.6. Penegakkan Diagnosis

Penegakkan diagnosis dilakukan dengan melakukan interpretasi atas anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan CT-scan sebagai berikut :Tabel Interpretasi anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan CT-scan

AnamnesisInterpretasiInterpretasi dugaan penyakit

Konsumsi obat kortikosteroid yg lama Badan lemah-

AbnormalCushing sindrom/Insufiensi adrenal

Cushing sindrom

Pemeriksaan fisikInterpretasi

TD 90/60 mmHg

Moon faceHipotensi

AbnormalInsufiensi adrenalCushing sindrom

Pemeriksaan labInterpretasi

Glukosa darah 70mg/dl

Na 121 meq/ml

K 2,9 meq/ml

Ca 7,1 meq/mlHipoglikemia (N=70-110mg/dl) Hiponatremia (N=135-145meq/ml)

Hipokalemia (N=3,7-5,2meq/ml)

Hiperkalsemia (N=45,6meq/ml)Insufiensi adrenalInsufiensi adrenal

Insufiensi adrenal skunder kronik

Addison

Pemeriksaan CT-scanInterpretasi

Kelenjar hypotalamus dan pituitary normalNormalInsufiensi adrenal primer kronik

Pada awalnya pasien dicurigai mengalami penyakit Cushing sindrom namun hal ini tidak terbukti sebab hasil pemeriksaan CT scan kepalanya menunjukkan bahwa kelenjar hipothalamus dan hipofisisnya dalam keadaan normal, dimana penderita Cushing sindrom mengalami kelainan pada 2 kelenjar tersebut.Oleh karena itu, berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratoium dan pemeriksaan CT-scan tersebut, terutama didapatnya kelenjar hypotalamus dan pituitary yang normal, maka diduga pasien menderita penyakit Addison disease yang merupakan Insufiensi adrenal primer kronis. Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu lama (5 tahun) dapat menimbulkan efek samping, dimana pada penghentian kortikosteroid jangka lama secara tiba- tiba dapat menimbulkan gangguan sekresi hormon dari kelenjar adrenal, sehingga terjadi kekurangan hormon kortisol maupun aldosteron. Insufiensi terjadi akibat kurang berfungsinya kelenjar adrenal yang telah lama tidak memproduksi kortikosteroid endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik oleh kortikosteroid eksogen dari obat. Adapun komplikasi yang timbul akibat mengkonsumsi obat kortikosteroid yang terlalu lama adalah terjadinya moon face yang merupakan gejala cushing sindrom.Pemeriksaan penunjang

Menurut Adi & Pranoto (2014), Isselbacher et al. (2014) Price & Wilson, (2014). untuk penegakkan diagnosis tersebut harus dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu : Pemeriksaan hormon seperti kortisol (kortikosteroid) bebas pada plasma dan urin, androgen dan aldosteron, dimana hormon-hormon tersebut sekresinya sangat dipengaruhi oleh kinerja kelenjar adrenal. Pencitraan CT-scan atau MRI pada kelenjar adrenal untuk memastikan apakah adanya adenoma ataupun karsinoma adrenal yang mengganggu produksi hormon kortikosteroid.

Pemeriksaan scintigraphy, yang sering dipakai adalah iodine 131-labeled-6-iodomethyl-19-norcholesterol, merupakan marker ambilan kolesterol di adrenokortikal. Penderita dengan adenoma adrenal akan menunjukkan bahwa isotop akan diserap oleh adenoma.7.7. Insufiensi Adrenal

Menurut Adhiarta & Soetedjo (2007) dan Schteingart (2014) insufiensi adrenal di definisikan sebagai sekresi yang adekuat dari adrenokortikosteroid, dapat terjadi sebagai hasil dari sekresi ACTH yang tidak cukup atau karena kerusakan dari kelenjar adrenal dapat sebagian atau seluruhnya. Manifestasi yang terjadi dapat bermacam-macam, dapat terjadi tiba-tiba dan mengancam jiwa atau dapat juga berkembang secara bertahap dan perlahan-lahan. Prevalensi dan faktor risiko insufisiensi adrenal

Jumlah kasus untuk Addison disease adalah satu 1-4 kasus dari 100.000 jiwa. Adapun faktor resiko adalah usia 20-50 tahun, wanita lebih rentan, penggunaan steroid jangka lama, riwayat penyakit autoimun, riwayat penyakit infeksi, stres fisiologik yang berat seperti sepsis, trauma, luka bakar, tindakan pembedahan.Klasifikasi

Insufiensi adrenal diklasifikasikan menjadi 3 tipe tergantung dari dimana terjadinya masalah pada kelenjar hipothamik-pituitary-adrenal dan seberapa cepat turunnya hormon-hormon tersebut : (1) Chronic primary adrenal insufficiency (Addison disease); (2) Chronic secondary adrenal insufficiency; (3) Acute adrenal insufficiency (Adrenal crisis) (Adhiarta & Soetedjo, 2007; Schteingart, 2014; Williams & Dluhy, 2014).1) Chronic primary adrenal insufficiency (Addison disease)

Penyakit ini berhubungan dengan kerusakan secara lambat dari kelenjar adrenal, dengan defisiensi kortisol, aldosterone, dan adrenal androgen dan kelebihan dari ACTH dan CRH yang berhubungan dengan hilangnya feedback negative

a. Etiologi dan patofisiologi: Gangguan autoimun

Pada gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh membuat antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri atau organ-organ dan perlahan-lahan menghancurkan mereka.Penghancuran secara bertahap korteks adrenal, oleh sistem kekebalan tubuh menyebabkan sampai 80 persen dari penyakit Addison. TuberkulosisTuberkulosis (TBC), infeksi yang dapat menghancurkan kelenjar adrenal, menyumbang kurang dari 20% kasus penyakit Addison di banyak negara. Keganasan

(metastase dari paru paru, mamae, carcinoma colon, melanoma, lymphoma) Tumor yang bermetastase ke kortex adrenal dapat menyebabkan kerusakan fungsi sel-sel yang menghasilkan hormon sehingga jumlah hormone tidak adekuat.

b. Diagnosis :

Anamnesis

Keluhan: Lemah badan, cepat lelah, anoreksia, mual, muntah, dehidrasi, diare

Riwayat keluarga

Riwayat penyakit: diabetes, infeksi, hypopituitarism, hyperthyroidism (Graves disease), hypothyroidism (Hashimotos disease)

Pemeriksaan fisik

Hiperpigmentasi kulit

Kehilangan bulu bulu axilla dan pubis

Nyeri abdominal

Vital sign: hipotensi, denyut nadi menurun

Pemeriksaan penunjang

ACTH stimulation test: tidak terlalu berpengaruh pada kadar glukokortikoid

Cek darah dan urin: glukosa menurun, Na+ meningkat, K+ menurun, cek elektrolit lain

Radiologi: X-Ray, MRI

c. Penatalaksanaan:

Pemberian kortisol po 15 mg pagi hari dan hidrokortison po 10 mg sore hari ( dosis dikurangi secara bertahap, lalu gunakan dosis terendah yang masih dapat ditoleransi Gantikan aldosteron dengan fludrikortison 50-200mcg/hari, dosis titrasi sesuai dengan tekanan darah dan kadar Kalium Yang paling penting adalah memakai tanda ditangan yang menerangkan penyakit penderita dan instruksi untuk meningkatkan duakali lipat atau tiga kali lipat dosis hidrokortison selama stres fisiologikd. Komplikasi : Krisis adrenal

2) Chronic secondary adrenal insufficiency

Adalah penurunan kadar kortisol yang berlebihan, berhubungan dengan kehilangan fungsi secara lambat dari hypothalamus dan pituitari. Kadar kortisol dan ACTH keduanya menurun, tetapi kadar aldosteron dan adrenal androgen biasanya normal karena keduanya diregulasi diluar jalur hipotalamus hipofise

a. Etiologi dan patofisiologi:

Insufisiensi adrenal sekunder dapat terjadi ketika seseorang yang telah meminum hormon glukokortikoid sintetik seperti prednison untuk waktu yang lama dan berhenti minum obat, baik tiba-tiba atau bertahap. Hormon glukokortikoid, yang sering digunakan untuk mengobati penyakit radang seperti rheumatoid arthritis, asma, dan kolitis ulseratif, blok pelepasan baik CRH dan ACTH. Sebagai akibatnya, adrenal mungkin mulai atrofi dan menyebabkan kurangnya stimulasi ACTH kemudian gagal untuk mengeluarkan kortisol. Penyebab lain insufisiensi adrenal sekunder adalah operasi pengangkatan, tumor kelenjar hipofisis Penyakit infeksi dan infiltrasi dari kelenjar pituitari ( sarkoid, hystiosistosis,TB, histoplasmosis)b. Diagnosis:

Anamnesis

Keluhan: Lemah badan, cepat lelah, anoreksia, mual, muntah, dehidrasi, diare

Riwayat penyakit: infeksi, tumor hipofisis

Riwayat pengobatan: penggunaan kortikosteroid jangka panjang

Pemeriksaan fisik

Hiperpigmentasi kulit

Kehilangan bulu bulu axilla dan pubis

Nyeri abdominal

Vital sign: hipotensi, denyut nadi menurun

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan kadar kortisol dan ACTH pagi hari rendah

ACTH stimulation test: sangat berpengaruh pada peningkatan kadar glukokortikoid

Cek darah dan urin: glukosa menurun, Na+ urin meningkat, K+ urin menurun, cek elektrolit lain

Radiologi: CT SCAN

c. Penatalaksanaan:

Berikan kortisol 15 mg pada pagi hari dengan hidrocortison 10 mg pada sore hari ( dosis dapat di turunkan, gunakan dosis terendah yang masih dapat ditoleransi.atau gunakan glukokortikoid dan kemudian lakukan tappering off. Yang paling penting adalah memakai tanda ditangan yang menerangkan penyakit penderita dan instruksi untuk meningkatkan duakali lipat atau tiga kali lipat dosis hydrokortison selama stres fisiologis.

d. Komplikasi : Krisis adrenal

3) Acute adrenal insufficiency (Adrenal Crisis)

a. Etiologi dan patofisiologi:

Penyebab primer adalah perdarahan kelenjar adrenal bilateral, trombosis atau nekrosis selama terjadi sepsis atau ketika mendapat antikoagulan. Bila kehilangan kelenjar adrenal unilateral tidak akan menyebabkan insufisiensi adrenal.

Penyebab sekunder adalah peripartum pituitary infark (Sheehan`s syndrom), Pituitary apoplexy ( perdarahan pada kelenjar pituitary), trauma kepala dengan gangguan batang kelenjar pitutari, tetapi biasanya tidak seberat pada keadaan adrenal insuficiency primer karena sekresi aldosteron tidak dipengaruhi.

SHAPE \* MERGEFORMAT

Gambar 1. Alur kejadian Krisis Addisonb. Diagnosis:

Anamnesis

Keluhan: cepat lelah, lemah badan, anoreksia, mual mual dan muntah , diare.

Biasanya pasien datang dalam keadaan tak sadar.

Pemeriksaan fisik

Syok yang sulit dijelaskan etiologinya biasanya tidak ada pengaruh dengan pemberian resusitasi cairan atau vasopresor

Hiperpigmentasi kulit

Kehilangan bulu bulu axilla dan pubis

Nyeri abdomen dan pinggang yang berhubungan dengan perdarahan kelenjar

Vital sign: Hipotermia atau hipertermia, hipotensi.

Pemeriksaan penunjang

ACTH stimulation test: tidak terlalu berpengaruh pada kadar glukokortikoid

kortisol biasanya kadarnya kurang dari 20 mcg/dl

Cek darah dan urin: glukosa menurun, Na+ darah menurun, K+ darah meningkat, cek elektrolit lain

eosinofilia dan limpositosis

Radiologi: Foto thorax (tanda tuberculosis, histoplasmosis, keganasan, sarkoid dan lymphoma), CT scan

EKG

c. Penatalaksanaan:

Cairan isotonik seperti NaCl 9% diberikan untuk menambah volume dan garam. Jika penderita hipoglikemi dapat di berikan cairan dextrose 50% Steroid IV secepatnya : dexametason 4 mg atau hydrokortisone 100 mg. Setelah penderita stabil lanjutkan dengan dexametasone 4 mg IV tiap 12 jam atau hydrokortison 100 mg IV tiap 6-8 jam. Obati penyakit dasarnya seperti infeksi dan perdarahan, untuk infeksi dapat diberikan antibiotik. Untuk meningkatkan tekanan darah dapat diberikan dopamin atau norepineprin. Terapi pengganti mineralokortikoid dengan fludricortisone Penderita harus dikonsultasikan dengan endokrinologist, spesialis penyakit Infeksi, ahli critical care, kardiologis, ahli bedah

d. Komplikasi : kematiane. Pencegahan Adrenal Cortex Failure:

Minimalisir factor resiko, Diagnosis dini penatalaksanaan yang tepat.

7.8. Addison DiseaseMenurut Adhiarta & Soetedjo (2007) dan Gardner & Shoback (2011) addison disease didefinisikan sebagai panyakit yang berhubungan dengan kerusakan secara lambat dari kelenjar adrenal, dengan defisiensi hormon kortisol, aldosteron dan androgen, serta kelebihan ACTH dan CRH yang berhubungan dengan hilangnya feedbeck negatif. 1) Etiologi

Proses autoimun

Karena proses autoimun didapatkan 75% dari penderita karena histologi tidak ditemukan 3 lapisan korteks adrenal

Tuberkolosis

Kerusakan kelenjar adrenal akibat tuberkolosis ditemukan pada 21% dari penderita. Ini terjadi karena tampak daerah nekrosis yang dikelilingi oleh jaringan ikat dengan serbukan limfosit yang kadang kadang dijumpai tuberkel

Bahan bahan kimia

Obat-obatan dapat menyebabkan hipofungsi kelenjar adrenal karena mampu membloking enzim Iskemia

Embolisasi dan trombosis dapat menyebabkan iskemia korteks adrenal, walaupun hal ini jarang terjad Infiltrasi

Hipofungsi korteks adrenal akibat infiltrasi misalnya metastasis tumor.

Sekresi ACTH Sekresi ACTH yang tidak adekuat dari kelenjar hipofisis akan menimbulkan insufisiensi adrenal akibat penurunan stimulasi korteks adrenal.

Infeksi lain Penyebab kerusakan kelenjar adrenal karena infeksi oleh kuman stapilococcus yang sering menyebabkan pendaharan dan nekrosis2) Patofisiologi

Defisit produksi glukokortikoid atau mineralkortikoid pada glandula adrenal menghasilkan adrenokortikal insufisiensi, yang mana disebabkan oleh salah satu konsekuensi dari destruksi atau disfungsi dari korteks adrenal (insufisiensi adrenokortikal primer, atau penyakit addisons) atau akibat sekunder dari defisit sekresi adrenocorticotropin (ACTH) pituitary (insufisiensi adrenokortikal sekunder). Kehilangan fungsi lebih dari 90% pada kedua korteks andrenal menghasilkan manifestasi klinis insufisiensi adrenokortikal. Destruksi dari glandula, seperti terdapat pada kondisi idiopatik dan kondisi invasif dari suatu penyakit, hal ini menyebabkan terjadinya kronisitas dari adrenal insufisiensi. Bagaimanapun juga, desrtuksi yang berlangsung cepat terjadi pada beberapa kasus; sekitar 25% dari pasien berada pada tahap krisis atau impending krisis pada saat di diagnosis. Fase awal dari destruksi pada glandula adrenakortikal terjadi pengurangan dari cadangan adrenal; meskipun demikian basal sekresi steroid masih normal, namun demikian sekresi tersebut tidak meningkat pada respon stres. Jadi, akut adrenal krisis dapat terjadi pada kondisi stress akibat pembedahan, trauma, atau infeksi, yang mana memerlukan peningkatan sekresi kortikosteroid. Kehilangan lebih lanjut jaringan korteks pada glandula adrenal, menyebabkan terjadinya defisit sekresi dari basal glukokortikoid, menimbulkan manifestasi kronisitas adrenal insufisiensi. Defesiensi mineralkortikoid dapat terjadi pada tahap awal maupun akhir. Destruksi dari glandula adrenal akibat hemoragik menghasilkan kehilangan secara tiba tiba sekresi dari mineralkortikoid dann glukokortikoid, menyebabkan kondisi akut adrenal krisis. Dengan berkurangan nya sekresi dari kortisol, level plasma dari ACTH meningkat akibat dari penurunan umpan balik negative yang menginhibisi sekresi ACTH. Sebagai akibatnya, peningkatan level plasma dari ACTH pada awal merupakan kondisi sangat supoptimal dalam mengsekresikan cadangan dari adrenokortikal..

3) Manifestasi klinik

Penurunan berat badan

Kelemahan otot

Kelelahan

Hipotensi

Kadang kadang hipersegmentasi

4) Tanda gejala

Hiperpigmentasi Hiperpigmentasi pada penyakit Addison disebabkan karena timbunan melanin pada kulit dan mukosa. Pigmentasi dapat juga terjadi pada penderita yang menggunakan kortikosteroid jangka panjang, karena timbul insufisiensi adrenal dengan akibat meningkatnya ACTH. Pigmentasi ini terutama pada kulit yang mendapatkan tekanan dan pigmentasi pada mukosa sering tampak pada mukosa mulut.

Hipotensi

Ini merupakan gejala dini penyakit addison , dimana tekanan darah sistolik antara 80-100 mmhg. Sedangkan tekanan tekanan diastoliknya berkisar antara 50-60 mmhg. Mekanisme penyebab terjadinya hipotensi ini diduga kareba menurunya hormon yang mempunyai efek langsung pada tonus arteriol serta akibat gangguan elektrolit

Kelemahan badan

Kelemahan badan ini disebabkan karenan gangguan keseimbangan air dan elektrolit serta gangguan metabolisme karbohidrat dan protein menyebabkan otot lemah. Gejala kelemahan otot berkurang setelah pemberian cairan garam serta kortikosteroid

Penurunan berat badan

Penurunan berat badan ini karena adanya anoreksia , gangguan gastroinstinal lain. Dehidrasi serta katabolisme protein yang meningkat pada jaringan ekstra hepatik , terutama jaringan otot. Dengan pengobatan yang adekuat akan didapatkan kenaikan berat badan 5) Pemeriksaan diagnostik

Hasil laboratorium mencakup penurunan konsentrasi glukosa darah dan natrium (hipoglikemi dan hiponatremi) dan peningkatan jumlah sel darah putih

Diagnosis pasti ditegakan berdasarkan kadar hormon adrenokortikal yang rendah dalam urin darah

Pemeriksaan darah mengukur kadar CRH, ACTH, dan glukokortikoid

Hiponatremi, hiperkalemia dan hipotensi dapat terjadi apabila sel adrenal menghasilkan hormon aldosteron rusak

Pemeriksaan lain dapat dilakukan

USG abdomen, tuberculin skin, CT-Scan, MRI 6) Penatalaksanaan

Terapi darurat ditunjukan untuk mengatasi syok memulihkan sirkulasi darah , memberikan cairan , melakukan terapi penggantian kortikosteroid. Hidrokortison disuntukan secara intaravena , kemudian diberi infuse dektosa 5% dalam larutan normal saline

Pemberian glukokortikoid meningkat selama periode stres yang mencakup infusiensi adrenal berkaitan dengan tumor hipofisis , infusiensi adrenal dapat diobati dengan kemoterapi , radiasi / pembedahan

Jika kelenjar adrenal tidak berfungsi kembali pasien memerlakukan terapi penggantian kortikosteroid dan mineralkortikoid seumur hidup untuk mencegah timbulnya kembali infusiensi adrenal serta krisis addison7) Prognosis Kesehatan dan usia hidup pasien biasanya normal, kecuali bila terjadikrisis adrenal yang membuat prognosanya akan menjadi lebih buruk. Sedangkan pigmentasi bisa menetap. Dengan terapi hormon pengganti, sebagian besar penderita penyakit Addison dapat hidup normal.DAFTAR PUSTAKA

Adi, S. & Pranoto, A. (2014). Gangguan korteks adrenal. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2484-2513). Jakarta : Interna Publishing.

Adhiarta, I.G.N., & Soetedjo, N.M. (2007). Krisis Adrenal. Bandung : FK Universitas Padjadjaran/RSUD Hasan sadikin.

Aziz, A.L. (2000). Penggunaan Kortikoateroid di Klinik. Surabaya : FK Universitas Airlangga/RSUD dr Soetomo.

Campbell, N.A., Reece, J.B., & Mitchell, L.G. (2004). Biologi. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Karnath, B.M. & Ojo, O.B. (2008) Cushings Syndrome. Hospital Phisician, April 25-29FK UI. (2012). Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FK. Universitas Indonesia.

Gardner, D.G. & Shoback, D. (2011). Greenspans Basic and Clinical Endocrinology. 9th Edition. New York : McGraw-Hill.

Ginayah, M. & Sanusi, H. (2011). Hiperkalsemia. Continuing Medical Education, 38(3), 191-195.

Grennstein, B. & Wood, D. (2010). At A Glance Sistem Endokrin. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Williams, G.H. & Dluhy, R.G. (2014). In. Isselbacher, K.J., Braunwald, E., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci, A.S.,. & Kasper, D.L. (2014). Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 5. Edisi 13. (pp. 2168-2192). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Nair, G.K.V., & Simmons, D.L. (2002) Adrenal Insufficiency Presenting as Hypercalcemia. Hospital Phys, 33-36.Schteingart, D.E. (2014). Insufisiensi Adrenal. In. Price, S.A. & Wilson, L.M. (Eds.). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Poses Penyakit Volume 2. Edisi 6. (pp. 1254-1258). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Prihartanto, D. (2015) Steroid dimentia syndrome sebagai Salah satu Komplikasi Cushing Syndrome. Continuing Profesional Development, 42(7), 65-68.Sherwood, L. (2014). Fisiologi Manusia, Dari Sel ke Sistem. Edisi 6 Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.Tarigan, T.J.E. (2014). Sindrom cushing dan penyakit cushing. In. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B. & Syam, A.F. (Eds.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (pp. 2478-2483). Jakarta : Interna Publishing.