status tanah desa perdikan di jawa
TRANSCRIPT
Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa Suatu Catatan dari Sumber
Prasasti Kuno
Oleh: Machi Suhadi
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa dari masa Mataram awal sampai dengan
masa Majapahit banyak yang menyebutkan anugerah kepada pejabat desa atau perorangan
berupa tanah dengan status sima atau perdikan. Sebagian prasasti menyebutkan perincian
hak-hak yang diperoleh pemegang status itu dengan atau tanpa kewajiban tertentu kepada
raja atau pemberi status itu. Yang lebih penting lagi di sana ada sebutan bahwa status
perdikan atau swatantara itu berlaku untuk selama-lamanya dan tidak boleh diubah-ubah
oleh siapa saja termasuk raja-raja yang akan memerintah daerah itu di kemudian hari.
Pernyataan yang terakhir ini menggugah akal sehat kita untuk meneliti sejauh mana
pernyataan itu berlaku.
Telaah terhadap masalah tanah atau desa perdikan pernah dilakukan oleh beberapa
sarjana seperti Fokkens Jr. (1886), Schrieke (1919), Boekari (1963) dan lain-lain. Penelitian
mereka ini perlu diteruskan karena hasilnya belum memadai bagi perkembangan ilmu
pengetahuan dewasa ini.
1.2. Batasan
Di Indonesia khususnya pulau Jawa terdapat ratusan buah prasasti. Dalam lima tahun
terakhir, penelitian lapangan terhadap prasasti belum mencapai jumlah 50 buah sehingga
bahan masukan untuk telaah ini kurang memadai. Dalam tulisan ini semua prasasti yang
tersedia menjadi bahan, sedangkan prasasti yang belum diterbitkan atau belum dibaca agak
dikesampingkan.
Diambil dari Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kurun waktu arkeologi klasik terbentang lebih dari 1000 tahun. Sekiranya tiap 100
tahun telaah ini diwakili oleh sebuah prasati, kertas kerja ini akan menjadi sangat panjang.
Karena alasan ini, jarak waktu keluarnya prasati itu diambil agak jauh. Di samping itu,
masa Islam yang berada di luar masa klasik kami bahas pula agar kelangsungan uraian ini
mencapai titik akhir.
2. Jaman Mataram Awal
2.1. Jumlah Sima
Prasasti pertama yang mengandung keterangan tentang status tanah/ desa perdikan
dijumpai di dalam prasasti Dieng bertahun 731 Saka (809 M). Menurut Sarkar (1972)
dimuat 112 buah prasasti dan di sana dapat ditemukan 75 buah prasasti yang berisi
penetapan sima, dengan catatan bahwa sebuah di antaranya memakai istilah swatantra
(prasasti Timbangan Wungkal, tahun 913 M). Data ini menunjukkan bahwa antara tahun
809-928 M (119 tahun) telah ditetapkan 75 buah tanah/ desa perdikan. Jumlah tanah/ desa
perdikan unu akan bertambah jika prasasti lain di luar daftar ini akan bertambah jika
prasasti lain di luar daftar yang disusun Sarkar sempat ditelaah.
2.2. Unsur-unsur Isi Prasasti
Prasasti penetapan tanah perdikan ada yang pendek dan ada yang panjang. Jenis
prasasti yang pendek tidak dapat menunjukkan keterangan mengenai sistem sosial atau
ekonomi. Sebaliknya, prasasti yang panjang dapat menunjukkan lebih banyak data
mengenai masalah tersebut di atas. Sebagai contohnya, menurut Sarkar (1972) prasasti
Kancana bertahun 782 S (860 M) menyebutkan bahwa:
(1) tahun Saka 782 dan Raja Lokapala;
(2) perintah raja diturunkan melalui rakryan mahamentri kepada Sang Boddhiwimba
untuk membebaskan tanah milik warga desa Bungur Selatan dengan pembayaran
sejumlah uang;
(3) daftar warga Bungur Selatan yang menjual tanah;
(4) ukuran luas tanah Bungur Selatan ;
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
(5) tanah di Bungur Utara dan Asana juga dijual dengan harga tertentu serta ukurannya;
(6) tanah di Bungur Selatan dan Kuryyak ada di bawah administrasi wilayah Ganting;
(7) semua tanah Bungur Selatan dijadikan perdikan oleh Sang Boddhiwimba dan dapat
diwarisi oleh anaknya yang bernama Dyah Imbangi dan Dyah Anargha dan aku
berlaku untuk selama-lamanya;
(8) Boddhiwimba dimintai tolong oleh Mpu Dharmasakti untuk memohonkan status
perdikan bagi tanah di Bungur Utara dan Asana;
(9) Boddhiwimba meresmikan status perdikan bagi Bungur Utara dan Asana;
(10) Batu sima ditanam di 8 penjuru angin dan menghadap ke bangunan candi yang
berisi arca Buddha;
(11) Batas-batas tanah perdikan;
(12) Perincian bagi hasil dari tanah dan sawah serta luasnya yang menjadi hak bagi
bangunan candi, bagi bhatara dan bhatari, bagi para pendeta dan pengikutnya dan
biaya pemeliharaannya;
(13) Kewajiban melakukan upacara di bulan Asadha;
(14) Hak-hak istimewa: tidak boleh dimasuki pemungut pajak, urusan denda, dan
keamanan ditanggung sendiri; uraian tentang perdagangan dan kerajinan “makanan
raja” yang boleh dimakan, perabotan rumah tangga yang boleh dipakai;
(15) Boddhiwimba mempersembahkan sejumlah uang emas kepada raja, para pemimpin
dan pejabat lainnya;
(16) Upacara peresmian status perdikan;
(17) Kutukan bagi orang yang melawan keputusan raja.
Isi pokok mengenai tanah/ desa perdikan ada pada butir no. 11 s.d. 15 yang menyebut
batastanah, hak-hak dan kewajibannya. Hak-hak istimewa inilah yang membedakan desa
perdikan dengan desa biasa.
2.3. Hak-hak Tanah/ Desa Perdikan
Perincian hak-hak tanah/ desa perdikan yang tersebut di dalam prasasti Kancana ialah:
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
(1) melakukan upacara korban dengan segala perlengkapannya yang berkaitan dengan
bangunan suci;
(2) tidak boleh didatangi sang manakatrini (pejabat yang tiga di bidang bea dan cukai)
yaitu: pangkur, tawan, dan tirip; juga tidak boleh dimasuki oleh pinghe, wahuta,
rama, nayaka-pratyaya, sang mangilala drahaji, wuluwulu prawulu (kelompok
orang yang mendapatkan nafkah dari pungutan pajak dan cukai), jumlah
perinciannya ada 92 orang);
(3) hal-hal yang berhubungan dengan denda dan hukuman aibat pelanggaran atau
kejahatan (jumlahnya 20 hal), semuanya diatur sendiri oleh desa Kancana;
(4) hal-hal berkaitan dengan kegiatan perekonomian dan perdagangan hasil kerajinan
(ada 12 hal1)
(5) boleh memakan raja mangsa (makanan raja,umumnya berupa daging) dan
kebiasaan lain yang dilakukan raja (jumlah perinciannya 27 hal);
Jika daftar hak-hak istimewa ini ditulis lengkap, daftarnya menjadi panjang sekali.
2.4 Kewajiban Tanah/ Desa Perdikan
Kewajiban yang tertera di dalam prasasti Kancana ini sedikit, yaitu:
(1) menyelenggarakan upacara pemujaan pada bulan Kartika (Oktober-November
dengan menyediakan uang perak 5 masa dan minuman keras 1 pikul bagi tiap
penduduk dewasa;2
(2) menyelenggarakan upacara korban pada saat purnama bulan Asadha (Juni-Juli)
dengan menyediakan uang perak 6 masa dan air kendi.
Selain kewajiban yang berhubungan dengan pemeliharaan bangunan suci atau
pemujaan, pada prasasti lain dijumpai kewajiban yang sifatnya profan, misalnya
menyeberangkan orang dari satu tepi ke tepi sungai lainnya (prasasti Telang II,
tahun 825 S).
2.5 Bagi Hasil
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pemegang tanah/ desa perdikan tidak memetik semua hasil bumi untuk diri sendiri,
melainkan diatur pula oleh kerajaan. Tanah itu sudah dibagi-bagi penggunaannya. Prasasti
Kancana menguraikan hal itu sebagai berikut.
(1) untuk keperluan bhatara luasnya 2 tampah, letaknya Asana;
(2) untuk keperluan bhatari luasnya 2 jong dan 1 kikil;
(3) untuk bayai (?) luasnya 5 jong;
(4) untuk upacara pentahbisan luasnya 2 tampah; letaknya di Gayatri;
(5) untuk upacara pentahbisan pendeta Brahma yang dipimpin Hasthawira, luasnya 1
jong;
(6) untuk keperluan para pembantu luasnya 1 jong;
(7) untuk keperluan para pesuruh luasnya 2 jong;
(8) untuk pemeliharaan dinding (candi) luasnya 2 jong;
(9) untuk warisan bagi anak-anaknya luasnya 20 tampah.3)
Demikianlah sedikit gambaran mengenai keadaan tanah/ desa perdikan di zaman
Mataram yang sumbernya diambil dari prasasti Kancana bertahun 782 S (860 M).
3. Zaman Kediri
3.1 Jumlah Tanah/ Desa Perdikan
Zaman Kediri merupakan salah sastu tonggak sejarah kita dalam kaitan dengan
masalah tanah/ desa perdikan. Zaman Kediri (1044-1222 M) cukup jauh jarak waktunya
dengan zaman Mataram, khususnya dari saat keluarnya parasasti Kancana (860 M).
Namun, sejak awal pemerintahan Mpu Sindok (929 M) hingga akhir masa Kediri (1222 M)
sedikitnya telah dikeluarkan 53 buah prasasti mengenai tanah/ desa perdikan, perinciannya
ialah 27 prasasti dari masa Sindok, 8 prasasti dari masa Erlangga dan 18 prasasti dari
zaman Kediri. Jumlah prasasti ini masih akan bertambah banyak sesudah beberapa prasasti
lain dapat dibaca dan diterbitkan.
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
3.2. Isi Prasasti Talan (1136 M)
Sebuah prasasti yang menjembatani dua generasi akan menarik perhatian kita. Ia
adalah prasasti Talan atau Gurit yang terletak di wilayah Wlingi, Kabupaten Blitar. Prasasti
ini menghubungkan masa Erlangga dengan masa Kediri. Isi singkat prasasti Talan sebagai
berikut:
(1) Tahun 1058 S (1136) warga desa Talan memohon kepada raja Jayabhaya agar
prasasti ripta (lontar) yang dimilikinya dan bercap Garuda Mukha dari Bhatara
Guru (Erlangga dikukuhkan menjadi prasasti linggopala (batu).
(2) Prasasti ripta dari Bhatara Guru bertahun 961 S (1039) Menyebutkan batas tanah,
yaitu tanah datar, gunung, tegalan, sawah, kebun, tepian sungai dan semua rawa;
menyebutkan pula bahwa desa Talan tidak boleh dimasuki oleh katrini (pegawai
yang tiga) dan pemungut bead an pajak bagi raja (ada 113 jenis); menyebut urusan
denda dan keamanan ditanggung desa Talan sendiri (18 hal).
(3) Isi tambahan anugrah raja Jayabhaya yang tertulis pada linggopala antara lain:
1) boleh mendirikan bangunan bertiang delapan, membuat tempat tidur berukir,
merawat senjata, memelihara dayang dan budak, makan raja mangsa dan lain-
lain (15 hal).
2) bebas pajak tanah;
3) mendapat kewajiban melakukan upcara pada bulan Asuji.
(4) Isi prasasti linggopala berlaku untuk selama-lamanya;
(5) yang merubah isi prasasti dikenai denda 2 kati dan 10 suwarna disertai 5
kesengsaraan dunia-akhirat;
(6) Kutukan bagi yang durhaka;
(7) Daftar nama penerima anugerah raja;
(8) penulis prasasti dan pemimpin upacara.
3.3 Hak-hak Tanah/ Desa Perdikan
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hak warga Talan dalam tahun 1136 M, telah tercantum di dalam uraian butir 3.2
tersebut di atas. Secara garis besar hak-hak ini tidak berbeda dengan yang berlaku di zaman
sebelumnya.
4. Zaman Majapahit
4.1. Jumlah Tanah/ Desa Perdikan
Tonggak sejarah yang akan diamati di sini ialah sebuah prasasti dari akhir abad 14 M.
Sehingga jarak waktu dari masa Kediri yang dibahas dalam butir 3 ada tiga abad. Prasasti
yang terhimpun dalam masa sesudah zaman Kediri ada sedikitnya 33 buah (menurut OJO),
tidak termasuk beberapa prasasti yang belum diterbitkan. Perinciannya ialah 5 prasasti dari
zaman Singasari dan 28 prasasti dari zaman Majapahit. Sekitar 5 buah prasasti dari masa ini
bukan mengenai masalah perdikan, melainkan berkaitan dengan penyebaran agama
Buddha. Gambaran tentang keadaan tanah/ desa perdikan dari sumber prasasti saja agak
sukar diketahui.
4.2. Jenis Tanah/ Desa Perdikan
Di dalam prasasti, jenis tanah/ desa perdikan yang dituliskan kurang jelas
kegunaannya. Dalam Kitab Negarakertagama pupuh 25 dijelaskan beberapa jenis dharma
atau bangunan suci sebagai berikut, dharma i dalem, dharma l pas, kalagyan, parhyangan,
kuti, wihara, tapawsi, dharma haji. Menurut pupuh 74, dharmma haji ada 27 buah;
menurut pupuh 76, dharma l pas ada 10 buah, yaitu di Kanci, Kapulungan, Roma, Wwatan,
Iswara, Gerha, Walandit, Tajung, Kuti, Lamba, dan Taruna. Jenis parhyangan ada 5 buah,
yaitu Kuti Jati, Candi Lima, Nilakusuma, Hariandana dan Uttamasuka. Jenis prasada haji
ada 4, yaitu Sadang, Panggumulan, Kuti Sanggraha dan Jayasika. Jenis spatikeyang ada 20
buah yaitu Jayamanulu, Haribhawana, Candi Wungkal, Pigit, Nyudenta, Katuda, Srangan,
Kapuran, Jayamuka, Kulanandana, Kanigara, Rembut, Waluhen, Kinawong, Sukawijaya,
Kajaha, Campen, Rati Manmathasrama, Kulang Kaling, Batu Putih. Jenis dharmma
kasogatan kawiyana l pas ada 41 buah. Jenis dharma karessyan l pas ada 7 buah. Jenis
dharma l pas dan sima menjadi swatantra ada 11 buah.
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sumber Negarakertagama ini dengan sangat jelas menyebut sebelas tempat berstatus
swatantra. Dilihat dari konteksnya, semua istilah dharma l pas dapat ditafsirkan sebagai
tempat suci yang memiliki hak perdikan walaupun kadarnya mungkin kurang. Dengan
demikian, sumber Negarakertagama telah menyebutkan 62 tanah dengan bangunan suci di
atasnya yang berstatus perdikan.
4.3. Prasasti Selamandi
Prasasti zaman Majapahit yang dapat menunjukkan isi yang agak berbeda dengan isi
prasasti dari zaman sebelumnya mengenai masalah kswatantraan, antara lain ialah prasasti
Selamandi bertahun 1316-1318 S (1394-1396 M). Prasasti ini antara lain menyebutkan hal-
hal sebagai berikut:
(1) tahun 1316 S tanah Si Darani di Selomandi menjadi hadeg ringgit (bebas, tidak
bergantung).
(2) tanah ini dibebaskan dari beberapa iuran/ pajak (7 hal).
(3) kewajibannya ialah membuat witana (bangsal suci).
(4) ukuran luas tanah.
(5) tahun 1317 S: menyebut keputusan ini sebagai pihagem (piagam).
(6) batas tanah Si Darani tdak boleh dilanggar, yang melanggar akan didenda.
(7) tahun 1318 S, tanah S Darani dibebaskan dari bermacam-macam iuran/ pajak (14
hal).
Dibandingkan dengan isi prasasti dari masa sebelumnya, prasasti Selomandi ini khusus
membicarakan masalah pajak. Bentuk-bentuk steriotip seperti daftar nama penerima
perintah raja, daftar penerima pasek-pasek, upacara peresmian sima dan kutukan bagi
pelanggarnya sudah tidak digunakan lagi. Uraian mengenai masalahpajak agaknya
berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat pada masa itu yang terlalu banyak
dibebani bermacam-macam pajak dan iuran. Di lain pihak, mungkin pajak-pajak ini
menjadi satu-satunya sumber pendapatan negara.
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
4.4. Hak-hak Tanah/ Desa Perdikan
Pembebasan pajak yang disebutkan dalam tahun 1316 S, ialah:
palawang (pajak rumah)
tahil (iuran dengan uang tahil)
rajakarya (iuran bagi tugas kerajaan)
titiban (pembayaran wajib?)
titisara (uang upeti)
rarawuhan (biaya bagi tamu)
arik purih (iuran dari dalam?)
Pembebasan pajak yang disebut dalam tahun 1318 S ialah:
putajenan (pungutan oleh para pangeran)
ririmbagan (iuran membuat cetakan bata)
pabata (iuran membuat/ menyerahkan bata)
titisara
rarawuhan
titiban
jajalukan (pungutan wajib)
susuguhan (iuran untuk hidangan tamu)
pangisi kandi (sumbangan lewat kendi)
sosorohan garem (iuran pembelian garam)
5. Zaman Kasultanan
5.1. Jumlah Tanah/ Desa Perdikan
Sesudah zaman Majapahit, kerajaan yang bersifat Islam meneruskan sebagian tradisi
untuk membiarkan tanah/ desa perdikan tetap hidup. Bahkan ketika pemerintah Belanda
menguasai seluruh kerajaan di Jawa (termasuk Madura), tradisi pemberian status perdikan
masih dilaksanakan tanpa menghapuskan status perdikan yang pernah ada sebelumnya.
Menurut telaah Fokkens Jr. (1886) di Jawa dan Madura terdapat 241 buah desa perdikan.
Perinciannya sebagai berikut.
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bagelen : 69 desa perdikan
Banyumas : 41 desa perdikan
Pekalongan : 20 desa perdikan
Tegal : 1 desa perdikan
Kedu : 1 desa perdikan
Cirebon : 1 desa perdikan
Semarang : 2 desa perdikan
Jepara : 9 desa perdikan
Rembang : 2 desa perdikan
Madiun : 51 desa perdikan
Kediri : 6 desa perdikan
Surabaya : 5 desa perdikan
Madura : 33 desa perdikan
5.2. Jenis Tanah/ Desa Perdikan
Pada masa ini desa perdikan dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu mijen,
pakuncen dan keputihan. Desa mijen tidak mempunyai tanah sebagai hadiah, tetapi
beberapa orang atau keluarga dtunjuk oleh penguasa untuk mengelola tanah dan sebagian
besar hasilnya diserahkan kepada pemiliknya. Penghuni desa mijen tidak mempunyai hak
pembebasan dari pajak serta kewajiban kerajaan, tetapi harus menjaga bangunan suci. Desa
keputihan ialah desa yang terikat pada tugas-tugas peyelenggaraan pendidikan agama
seperti pesantren. Desa ini juga dibebaskan agama seperti pesantren. Desa ini juga
dibebaskan dari pajak. Bagelen yang memiliki 69 desa perdikan, 33 desa betul-betul bebas
dari semuanya dan 36 desa lainnya hanya bebas pajak, tetapi tetap harus menjalani
kewajiban kerajaan. Demikian pula Madiun memiliki 51 desa perdikan, 6 desa bebas
1 Jumlah ini belum semuanya karena sebuah lempeng prasasti berisi 6 baris yang berkaitan dengan bagian ini
hilang.2 Masa adalah nama ukuran berat; 1 masa = 2,412 gram.3 Nama-nama ukuran luas ini belum diketahui persamaannya dalam ukuran metrik. Lihat uraian lebih lanjut
tulisan Drs. Riboet Darmosutopo dalam PIA, I, 1977, hal. 514-515.Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
semuanya, 13 desa bebas pajak dengan sebagian kewajiban kerajaan dan 32 desa tetap
membayar pajak, tetapi bebas dari sebagian kewajiban kerajaan.
Yang dimaksud pajak di sini tidak selalu berupa uang, melainkan berupa barang hasil
desa itu yang lazim disebut sebagai bulubekti. Masih di Madiun, desa Kuncen, banjarsari
Kulon, Banjarsari Wetan dan Sewulan menyerahkan bulubekti kepada bupati antara lain
berupa 1 kapun, 7 kati beras dan 25 buah kelapa. Variasi besarnya bulubekti berbeda-beda .
Desa Giripurna di wilayah Magetan menyerahkan pajak berupa 25 duit untuk tiap bahu
tanah kepada pengelola masjid di Yogyakarta (daerah Madiun ada di bawah kekuasaan
Sultan Yogyakarta). Di wilayah Surabaya, besarnya pajak ditentukan o;eh surat keputusan
Gubernur Jenderal SK. Tanggal 9 Desember 1851 dan tanggal 8 Agustus 1861 yang
menerangkan bahwa pajak in natura untuk sawah ialah 2/5 bagian, untuk tanah tegalan
ialah 1/3 bagian.
5.3. Pemberi Status Tanah/ Desa Perdikan
Kelangsungan hidup desa perdikan ada yang diatur oleh pemerintah Belanda dan ada
yang diatur oleh Kasultanan. Menurut Staatblad (Stbld) 1853 No.77 yang merupakan
kelanjutan dari Stbld. 1819 art. 26, penduduk desa perdikan dibebaskan dari semua pajak.
Hal ini juga tercantum di dalam Stbld. 1901 No. 88 (Schrieke, 1919: 418-419). Dokumen
tahun 1819 juga menyebutkan lima desa di Kabupaten Pati berstatus perdikan yang
diberikan oleh pemerintah Inggris kepada keluarga Bupati (Schrieke, 1919: 416). Menurut
SK tanggal 20 Desember 1912 No. 25 (byblad) 7847), kepala desa perdikan tidak diangkat
oleh gubernur, tetapi oleh residen.
Sultan Hamengkubuwono I dari Mataram (Yogyakarta) pada tahun 1625 S (1737 M)
memberikan wewenang kepada seorang kiyai untuk memerintah desa Tawangsari (wilayah
Tulungagung) sebagai desa perdikan, karena telah berjasa besar kepada Sultan. Desa
perdikan Tawangsari ini nanti akan berumur lebih dari 200 tahun.
5.4. Hak-hak Tanah / Desa Perdikan
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hak desa perdikan telah mengalami penyusutan dibandingkan dengan hak desa
perdikan dari zaman sebelumnya. Schrieke (1919) telah menyimpulkan lima hal mengenai
hak dan status desa perdikan ini. Kesimpulan itu memang sesuai dengan kenyataan yang
berlaku pada masa Kasultanan itu.
(1) Pada zaman Kasultanan (disebutnya Mataram) hak milik (eigendomrecht) tidak
berbeda jauh dengan keadaan zaman pra Majapahit di bidang bea, toll dan
kewajiban negara.
(2) Pada zaman Kasultanan, lembaga perdikan masih ada tetapi hak-haknya dikurangi
kecuali yang berupa kebiasaan keagamaan.
(3) Kepala lembaga pendidikan tidak berkuasa lagi atas tanah yang diterimanya, tetapi
terbatas pada hak penggunaan tanah saja.
(4) Terjadi perubahan dan perbedaan dalam sistem pajak; objeknya bukan tanah, tetapi
pekerjaan manusia; batas tanah perdikan menjadi tidak jelas.
(5) Hak turun-temurun atas tanah/ desa perdikan telah mengalami perubahan. Jadi,
keturunannya tidak mutlak menerima hak perdikan itu.
6. Zaman Kemerdekaan
6.1. Penghapusan Status Tanah/ Desa Perdikan
Menurut struktur pemerintahan Republik Indonesia, semua bentuk kekuasaan yang
bersifat otonom di dalam wilayah negara RI dihapuskan. Pengecualian hanya diberikan
kepada suatu daerah yang sangat berjasa di dalam usaha mencapai kemerdekaan. Daerah
semacam ini diberi status “istimewa” yang kedudukannya sejajar dengan pemerintahan
provinsi di dalam administrasi sipil, misalnya daerah Yogyakarta menjadi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Dengan adanya peraturan yang tertuang di dalam Undang-undang No. 13 tahun 1946
itu, semua desa perdikan yang pernah ada dihapuskan. Pelaksanaan penghapusan status
perdikan ini tidak semudah seperti yang direncanakan sehingga dikeluarkan SK Menteri
Dalam Negeri No.15 tanggal 21 Agustus 1956. Tidak kami ketahui dengan pasti berapa
jumlah desa perdikan saat itu.
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
6.2. Kasus Tanah/ Desa Perdikan di Tulungagung
Di Kecamatan Kedungwaru ada tiga buah desa, yaitu Tawangsari, Winong, dan Majan
memiliki status perdikan yang diterimanya dari Sultan Hamengkubowono I pada tahun
1753 M. Pada mulanya hanya sebuah desa, yakni Tawangsari yang dijadikan perdikan,
tetapi pada masa kemudian desa itu telah berkembang mengikuti pertambahan penduduk
yang dilahirkan oleh keturunan kiyai pemegang hak perdikan yang pertama kali.
Pengembangan satu desa perdikan menjadi tiga desa perdikan ini juga diketahui oleh
pemerintah Belanda dan pada tahun 1912 pemerintah Belanda tetap membebaskan tiga desa
itu dari kewajiban membayar pajak.
Status perdikan desa Tawangsari tetap dipertahankan oleh penghuninya mengikuti pola
perdikan lama yang hak-haknya sangat banyak. Masalah nikah, talak, cerai, rujuk (NTCR)
juga diatur sendiri oleh kepala desa itu. Hal ini juga menimbulkan kesulitan bagi
pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. Dalam bidang pembangunan, desa ini tersisih
sehingga seolah-olah merupakan suatu enclave tersendiri-yang tidak dikehendaki di dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia karena beberapa masalah telah timbul maka realisasi
SK Menteri Dalam Negeri tahun 1956 itu harus segera dilaksanakan.
6.3. Keputusan dan Pelaksanaan Penhapusan Status Perdikan
Masalah tanah atau keagrariaan menjadi hal yang rumit di dalam pelaksanaan
penghapusan status perdikan. Keluarga Kiyai tahun 1753 M pada tahun 1980 telah
berkembang menjadi 953 kk yang tersebar di desa Tawangsari, Winong dan Majan.
Penyelesaian masalah perdikan ini dilaksanakan secara bertahap. Bupati Tulungagung
melalui SK No. HK/II/15/79 tanggal 1 Mei 1979 mengeluarkan larangan bagi para kiyai di
tiga desa itu untuk melaksanakan pencatatan NTCR. Selang 1 bulan kemudian dikeluarkan
SK No. PM.002.i/18/79 tanggal 18 Juni 1979 yang isinya menetapkan pemberhentian
pejabat dan pamong desa disertai pemberian tunjangan atau ganti rugi sebesar Rp 11.500,00
bagi pejabat yang diberhentikan.
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Untuk masalah tanah, wewenangnya ada pada Gubernur dan Menteri Dalam Negeri.
Tanah seluas 940.266.32 meter persegi milik 907 kk telah dibuatkan sertifikat tanah oleh
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur. Selanjutnya ada tanah seluas
164.704.84 meter persegi milik 46 kk dibuatkan sertifikat tanahnya oleh Menteri Dalam
Negeri. Secara simbolis, sertifikat tanah itu telah diserahkan oleh Gubernur kepada para
pemegang haknya pada tanggal 2 Oktober 1980. Dengan demikian, status desa perdikan
bagi desa Tawangsari, Winong, dan Majan di Kabupaten Tulungagung itu telah berakhir
dan menjadi desa biasa. Mungkin pula penghapusan status perdikan itu merupakan babak
sejarah terakhir dari kekuasaan dan kejayaan para pemegang desa perdikan yang
diwarisinya sejak ratusan tahun yang silam.
7. Penutup
7.1. Sisa Status Tanah/ Desa Perdikan: Tanah Bengkok
Secara hukum yang sah dan resmi, status desa perdikan tidak ada lagi. Namun, dalam
pemerintah kita sekarang masih berlaku suatu peraturan tentang tanah bengkok yang
pengelolaannya diserahkan kepada kepala dan pamong desa sebagai pengganti upah atau
gajih. Besar atau luasnya tanah bengkok akan menentukan jumlah pamong yang menerima
hak pengelolaannya dan juga luasnya tanah bengkok yang akan diterimanya. Sebagai misal
akan dituturkan pembagian tanah bengkok yang berlaku di daerah Banyumas.
lurah/ kepala desa : 16 – 20 bahu4
carik : 5 bahu
lebai/ modin : 100 ubin
kebayan : 200 ubin
congkong : 200 ubin
polisi desa : 100 ubin
4 Ukuran 1 bahu = 500 ubin; 1 ubin = 14 meter persegi
1 bahu = 500 x 14 meter persegi = 7000 meter persegi
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hak mengelola tanah bengkok ini biasanya berlaku hingga yang bersangkutan meninggal
dunia karena di dalam pemerintahan desa tidak berlaku sistem pensiun. Peraturan tanah
bengkok pada hakikatnya merupakan penyusutan dari peraturan perdikan yang berlaku pada
masa sebelumnya.
7.2. Sisa Status Tanah/ Desa Perdikan: Tanah Wakaf
Pada zaman Kesultanan ada jenis perdikan yang disebut keputihan. Tanah keputihan
ada yang berasal dari negara-dalam hal ini Kesultanan-dan ada pula yang merupakan
hadiah dari perorangan kepada badan atau organisasi yang biasanya disebut wakaf (istilah
Islam). Tanah wakaf, baik yang berupa kuburan, pesantren maupun masjid semuanya tidak
dikenakan pajak, misalnya Ireda atau Ipeda. Jika dipandang dari sudut pembayaran pajak,
tampak pula bahwa sistem tanah wakaf juga merupakan sisa-sisa sistem perdikan.
DAFTAR PUSTAKA
Boechari. 1963. “A preliminary note on the study of the Old Javanese civil administration”.
Dalam MISI, 1/2.
---------. 1977. “Candi dan Lingkungannya”. Dalam MISI, VII/2.
Brandes. J.L.A. 1913. “Oud-Javaansche Oorkonden Nagelten transcriptie van Wijlen Dr.
J.L.A. Brandes, uitgegeven door Dr. N.J. Kroom”. Dalam VBG, LX.
Casparis, J.G. de. 1954. “Sedikit tentang golongan-golongan di dalam masyarakat Jawa
Kuno Dalam AMERTA, 2. Jakarta.
--------. 1956. Selected inscription from the 7th to the 9th century A.D. Prasasti Indonesia,
II. Bandung.
Darmosutopo, Riboet. 1980. “Ukuran dan satuan”. Pertemuan Ilmiah Arkeologi, I, 1977.
Fokkens, JR. F. 1886. “Vry desa’s op Java en Madura”. Dalam TBG XXXI, p.u77-517.
Pigeaud, Th, G.Th. 1960. Java in the 14th century. 5 vols.”s-Gravenhage.
Sarkar, Himansu Bhusan. 1972. Corpus of the inscriptions of Java, (Corpus inscriptions
Javanicarum), I-II. (up to 928 A.D.). Calcuta.
Schrieke, B. 1919. “Iiets over het Perdikan instituut”. Dalam TBG, 58.
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Slamet Muljana. 1979. Negarakertagama dan Tafsir sejarahnya. Jakarta: Bharata.
Suhadi, Machi. 1970. “Prasasti Talan”. Skripsi pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Jakarta.
--------. 1980. Penelitian “Epigrafi Jawa Tengah”. (Laporan).
Suhadi, Machi. “Status Tanah/ Desa Perdikan di Jawa: Suatu Catatan dari Sumber Prasasti
Kuno”. Majalah Analisis Kebudayaan, Tahun II, Nomor 1, 1981/1982, hlm 137-143.
Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.