stanislaus sandarupa - warisan dan pewarisan budaya

12
1 WARISAN DAN PEWARISAN BUDAYA: GLOKALISASI WARISAN BUDAYA 1 STANISLAUS SANDARUPA, PH.D Indonesia yang terdiri atas ratusan kelompok etnis mempraktikkan budaya masing-masing dengan berbagai kearifan lokalnya. Budaya-budaya ini merupakan pewarisan dari masa lampau. Berbagai masalah telah muncul yang berkaitan dengan pelestarian (preservation). Dalam kaitannya dengan pewarisan, masyarakat Indonesia terus menerus berinteraksi aktif dengan masa lampau dan dengan antar budaya. Masa lampau merupakan inspirasi untuk kehidupan kini dan masa depan. Masa lampau mempengaruhi kehidupan masa sekarang. Sebaliknya, masa sekarang mempengaruhi masa lampau serta masa depan. Manusia Indonesia terus menerus mengevaluasi ulang, merevitalisasi, dan mencipta masa lampau untuk bisa melangsungkan kehidupannya. Semakin pelestarian dilakukan semakin perubahan dan reinterpretasi terjadi pada warisan budaya. Dalam pewarisan, perubahan terjadi. Faktor penting yang sangat berpengaruh pada warisan budaya adalah bahwa di era globalisasi kita sudah menjadi penduduk dunia di kampung global. Globalisasi merupakan konsep kekinian yang menjadi satu elemen penentu bahkan bersifat hegemonik dalam mengevaluasi warisan budaya. Karena intensitasnya sangat tinggi, ia punya efek negatif pada warisan budaya sehingga dapat menghilangkan identitas maka timbul pertanyaan apakah kita akan luluh dalam perubahan tanpa permanensi? Satu cara yang dapat dilakukan adalah penguatan budaya-budaya lokal. Namun, cara ini ternyata tidak tepat karena ia berasumsi bahwa realitas masa lampau harus sama dengan yang dulu. Warisan budaya menjadi tertutup padahal kita sudah berada di era globalisasi. Otonomi tertutup sangat menekankan perbedaan tanpa kesatuan. Sebagai alternatif penyelesaian masalah diajukan teori glokalisasi budaya – budaya Indonesia. Glokalisasi adalah konsep kompleks yang terdiri atas global dan lokal dalam batas Indonesia dan dunia. Inti makalah membahas proses glokalisasi yaitu membangun keharmonisan antara yang global dan lokal, universal dan partikular, persamaan dan perbedaan. Singkatnya, bhinneka tunggal ika. Ia berupusat pada dialogisme kebudayaan, pelestarian dan perencanaan kawasan, dan pendidikan. Berdasarkan hasil dialogisme antar budaya Indonesia, dikemukakan kearifan lokal Indonesia yang dapat diglobalkan yang mengandung outstanding universal values. [pewarisan, globalisasi, glokalisasi budaya, dialogisme, pelestarian, pendidikan, bhinneka tunggal ika] 1. Pengantar Banyak yang menolak globalisasi karena berdampak negatip pada bahkan merusak budaya-budaya lokal. Ada pula yang menginginkannya karena memberikan keuntungan. Karena globalisasi tidak dapat dihindari maka kita harus membangun sikap positip yaitu menerima globalisasi dengan menolak sisi negatipnya dan memaksimalkan sisi positipnya. 1 Makalah ini dipresentasikan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Jogyakarta pada tanggal 8-10 Oktober 2013.

Upload: ilham-rachmadi

Post on 11-Nov-2015

19 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Glokalisasi

TRANSCRIPT

  • 1

    WARISAN DAN PEWARISAN BUDAYA: GLOKALISASI WARISAN BUDAYA1

    STANISLAUS SANDARUPA, PH.D

    Indonesia yang terdiri atas ratusan kelompok etnis mempraktikkan budaya masing-masing dengan berbagai kearifan lokalnya. Budaya-budaya ini merupakan pewarisan dari masa lampau. Berbagai masalah telah muncul yang berkaitan dengan pelestarian (preservation). Dalam kaitannya dengan pewarisan, masyarakat Indonesia terus menerus berinteraksi aktif dengan masa lampau dan dengan antar budaya. Masa lampau merupakan inspirasi untuk kehidupan kini dan masa depan. Masa lampau mempengaruhi kehidupan masa sekarang. Sebaliknya, masa sekarang mempengaruhi masa lampau serta masa depan. Manusia Indonesia terus menerus mengevaluasi ulang, merevitalisasi, dan mencipta masa lampau untuk bisa melangsungkan kehidupannya. Semakin pelestarian dilakukan semakin perubahan dan reinterpretasi terjadi pada warisan budaya. Dalam pewarisan, perubahan terjadi.

    Faktor penting yang sangat berpengaruh pada warisan budaya adalah bahwa di era globalisasi kita sudah menjadi penduduk dunia di kampung global. Globalisasi merupakan konsep kekinian yang menjadi satu elemen penentu bahkan bersifat hegemonik dalam mengevaluasi warisan budaya. Karena intensitasnya sangat tinggi, ia punya efek negatif pada warisan budaya sehingga dapat menghilangkan identitas maka timbul pertanyaan apakah kita akan luluh dalam perubahan tanpa permanensi?

    Satu cara yang dapat dilakukan adalah penguatan budaya-budaya lokal. Namun, cara ini ternyata tidak tepat karena ia berasumsi bahwa realitas masa lampau harus sama dengan yang dulu. Warisan budaya menjadi tertutup padahal kita sudah berada di era globalisasi. Otonomi tertutup sangat menekankan perbedaan tanpa kesatuan.

    Sebagai alternatif penyelesaian masalah diajukan teori glokalisasi budaya budaya Indonesia. Glokalisasi adalah konsep kompleks yang terdiri atas global dan lokal dalam batas Indonesia dan dunia. Inti makalah membahas proses glokalisasi yaitu membangun keharmonisan antara yang global dan lokal, universal dan partikular, persamaan dan perbedaan. Singkatnya, bhinneka tunggal ika. Ia berupusat pada dialogisme kebudayaan, pelestarian dan perencanaan kawasan, dan pendidikan. Berdasarkan hasil dialogisme antar budaya Indonesia, dikemukakan kearifan lokal Indonesia yang dapat diglobalkan yang mengandung outstanding universal values.

    [pewarisan, globalisasi, glokalisasi budaya, dialogisme, pelestarian, pendidikan,

    bhinneka tunggal ika] 1. Pengantar Banyak yang menolak globalisasi karena berdampak negatip pada bahkan merusak budaya-budaya lokal. Ada pula yang menginginkannya karena memberikan keuntungan. Karena globalisasi tidak dapat dihindari maka kita harus membangun sikap positip yaitu menerima globalisasi dengan menolak sisi negatipnya dan memaksimalkan sisi positipnya. 1 Makalah ini dipresentasikan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Jogyakarta pada tanggal 8-10 Oktober 2013.

  • 2

    Salah satu caranya ialah dengan melakukan glokalisasi yaitu, membangun warisan budaya yang memperhatikan keseimbangan harmonis antara yang global dan lokal. Proses glokalisasi ini menghasilkan inkulturalisme atau interkulturalisme. 2. Warisan budaya di era globalisasi 2.1 Kebudayaan dan perubahannya

    Di era globalisasi semua kelompok etnis dan budayanya di Indonesia terus-menerus mengalami perubahan. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terbuka. Para budayawan lokal merekayasa budayanya dengan mengadopsi unsur-unsur baru ke dalam kebudayaannya sejauh itu dimungkinkan oleh adanya kategori-kategori budaya lokal.

    Kebudayaan adalah serangkaian pemahaman dan kesadaran yang sedang dikonstruksi yang dipakai anggota-anggota masyarakat untuk menginterpretasi dunia sekelilingnya. Atau semacam alat atau serangkaian skenario yang anggota anggota masyarakat pakai untuk melaksanakan kehidupan sehari-harinya (Fox 1990). Kebudayaan adalah sebuah perjuangan yang bersifat kompleks. Kompleksitas ini ditandai oleh adanya pengertian kebudayaan bermacam-macam dan terdapatnya berbagai kelompok masyarakat yang mempunyai pengertian kebudayaan yang berbeda-beda seperti para eksekutif dan politisi, para ilmuan sosial seperti antropolog dan sosiolog, dan para budayawan dan seniman (Kleden 1988 [1987]).

    Untuk melihat kompleksitas kebudayaan, di sini dipakai Hannerz yang mengajukan bahwa kebudayaan mempunyai tiga dimensi (Hannerz 1992). Ketiga dimensi ini saling berinteraksi dan membentuk suatu identitas yang dapat menunjang integrasi nasional: Pertama, dimensi ide dan cara pikir masyarakat seperti konsep-konsep, proposisi, sistem nilai yang dianut bersama oleh masyarakat dan bagaimana sikap-sikap dan cara menanganinya. Kedua, bentuk-bentuk eskternalisasi yaitu bahwa nilai-nilai di atas yang pada dasarnya bersifat abstrak dieksternalisasikan ke dalam bentuk-bentuk budaya yang dapat dicapai dan dimengerti oleh masyarakat. Akhirnya dimensi ketiga, yang berkaitan dengan distribusi sosial yaitu bagaimana cara makna budaya kolektif ini dan bentuk-bentuk eksternal yang sarat dengan makna tersebar di masyarakat luas dan bagaimana hubungannya satu dengan yang lain. 2.2 Penemuan warisan budaya lokal

    Warisan budaya dapat berupa benda dan way of life. Dalam kamus Poerwadarminta kata warisan berarti harta peninggalan dan bersinonim dengan kata pusaka. Di bawah entri pusaka terdapat kata kerja memusakai yang artinya mendapat pusaka dari misalnya, menurut adat kebiasaan yang telah dipusakai mereka dari dahulu (Poerwadarminta 1982). Menurut UNESCO warisan budaya mencakup 1) harta benda peninggalan nenek moyang, pusaka yang memiliki nilai sejarah, arkeologis, ilmiah dan lain-lain, seperti monumen, bangunan-bangunan, keris, dan kain-kain tua, 2) Alam berupa pemandangan yang indah, gua-gua bersejarah, habitat keragaman biologis, species yang hampir punah, 3) lanskap budaya yang mencakup kombinasi antara nilai-nilai alam dan budaya yang memperlihatkan interaksi yang signifikan antara manusia dan lingkungan alam (Adams 2000).

    Kebudayaan disadari bersifat dinamis dan flux. Dalam berbagai upaya untuk menyelamatkan warisan budaya untuk kepentingan pariwisata dan pembentuk identitas,

  • 3

    entah itu lewat objektifikasi budaya, pengepakan budaya, komodifikasi budaya, konservasi budaya, atau revitalisasi budaya untuk public audience, para budayawan dan pengambil kebijakan diperhadapkan pada proses perubahan budaya bahkan perusakan warisan budaya. Pelestari budaya ibarat Cratylus, murid Heraclitus yang mengembangkan pikiran gurunya dan berdalih kita tidak dapat melangkah ke dalam sungai yang sama sekalipun karena sambil sungai mengalir kita juga terus menerus berubah (Smith 1934). Dapat dikatakan bahwa orang yang paling ingin melestarikan warisan budayanya adalah orang yang paling banyak mengubahnya.

    Berbagai pihak berupaya untuk menyelematkan warisan budaya tetapi dalam upaya mengonstruksi warisan budaya, kita berhadapan dengan fakta yang Hobsbawm sebut the invention of tradition (penemuan tradisi atau invensi tradisi). Invensi tradisi adalah

    a set of practices, normally governed by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values and norms of behavior by repetition, which automatically implies continuity with the past (Hobsbawm 1992 [1983]).

    Dalam mengetengahkan hasil penelitiannya dari Quebec, Canada, Handler mempresentasikan bagaimana para ahli folklor dalam upaya melestarikan budaya lokal malah membantu penganut budaya itu untuk menggantinya dengan tradisi baru yang diobjektifikasi. Sambil berupaya untuk mengingatkan orang kota akan keindahan kehidupan desa, para ahli folklor malah mengobjektifikasi aspek-aspek kehidupan sosial yang mereka lestarikan (preserved), yaitu, dengan mentransformasikannya ke dalam benda-benda yang berdiri sendiri (discrete things) untuk dipelajari, dikatalogkan, dan dipertontonkan. Kegiatan tersebut melibatkan seleksi dan interpretasi dimana dipilih ciri-ciri (traits), hal-hal yang dianggap berasal dari budaya tersebut dan mengisolasikannya ke dalam konteks baru lalu memotretnya, menginskripsikannya, mempertunjukkannya, menggantungnya dalam museum yang malah megubah makna bagi penganut budaya, orang yang melakukan objektifikasi dan para penonton itu sendiri. Secara paradoks, upaya untuk melestarikan tradisi lewat objektifikasi secara otomatis mengubah budaya itu sendiri (Handler 1988). Ia mengalami proses dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi yang terbuka untuk publik. Dalam situasi demikian masyarakat mengalami perubahan dari nilai ritual ke nilai eksibisi (Benjamin 1968 [1955]). 2.3. Warisan budaya global Berbagai ahli telah membahas globalisasi. Appadurai membahas era globalisasi yang dicirikan oleh dua hal yaitu migrasi besar-besaran dan mediasi elektronik (Appadurai 2003). Walaupun masih diperdebatkan kapan globalisasi mulai terjadi (ada yang katakan sejak dulu, atau sejak abad 18, kotemporal dengan munculnya moderninasi, atau fenomena baru yang dihubungkan dengan proses-proses sosial seperti post-industrialisasi, postmodernisme), sebagai ide kunci ia muncul pada tahun 1990an (Waters 2000 [1995]) ketika Robertson mengingatkan kita akan pentingnya konsep ini dalam sosiologi (Robertson 1992). Penjelasan Robertson tentang globalisasi sebagai eskalasi saling ketergantungan global dan intensifikasi kesadaran global dalam memasuki millenium ketiga merupakan hal penting yang perlu digarisbawahi. Globalisasi adalah sebuah penyebaran warisan budaya yang memainkan peranan penting dalam tiga arena kehidupan sosial yaitu ekonomi, politik, dan sosial budaya dimana ditemukan tiga tipe pertukaran (exchange). Ketiga tipe pertukaran ini berkaitan

  • 4

    dengan ruang (space). Di bidang ekonomi hubungan organisasi sosial dan territorialitas tampak dalam pertukaran material seperti perdagangan, gaji, dan akumulasi kapital. Pertukaran ini mengaitkan hubungan sosial dengan lokalitas seperti produksi benda-benda yang dipertukarkan melibatkan konsentrasi pekerja lokal dan lain-lain. Water menjelaskan hubungan bidang-bidang ini sebagai berikut (Water, hal 7-10). Dalam bidang pertukaran politik hubungan-hubungan itu dikembangkan ke territorial yang bertujuan untuk penduduk yang tinggal di kawasan itu, memakai sumber-sumbernya untuk integrasi territorial atau ekspansi. Pertukaran politik ini memuncak dalam pembangunan batas teritorial yang sama dengan masyarakat bangsa-negara. Pertukaran politik antar unit-unit ini cenderung mengukuhkan batas teritorial. Akhirnya, pertukaran simbolis budaya berkaitan terutama dengan proses komunikasi dalam berbagai media seperti komunikasi oral, internet, publikasi, performans, pengajaran, hiburan, propaganda, iklan, ritual, eksibisi dan tontonan. Pertukaran simbolik ini membebaskan hubungan-hububungan sosial dari ruang. Simbol-simbol dapat diproduksi di mana-mana pada waktu kapan saja. Pembatasan produksi dan reproduksi simbol minim. Karena simbol berkaitan erat dengan hal-hal fundamental tenteng manusia maka ada klaim nilai universalnya. Kata Water, material exchanges localize; political exchanges internationalize; and symbolic exchanges globalize (hal 9). Dalam kaitannya dengan ini, dan ini posisi yang diambil dalam makalah ini, globalisasi masyarakat manusia tergantung pada budaya dan aspek inilah yang menentukan kedua bidang lain. Mengikuti Walter, ekonomi dan politik diglobalkan sejauh mereka dibudayakan. Pertukaran di dalamnya dilakukan secara simbolis budaya. Globalisasi berpusat pada dua konsep penting yaitu saling keterhubungan (interconnectedness) dan deterritorialisasi (Fernandez 2009; Waters 2000 [1995]). Fernandez memaparkan kedua konsep itu dengan meringkas berbagai pandangan ahli sebagai berikut. Lewat saling keterhubungan di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya kegiatan-kegiatan kehidupan sosial terhubungkan sehingga dunia semakin sempit. Keterhubungan globalisasi mengubah tatanan lokal dengan membuat peristiwa-peristiwa jauh menjadi relevan ke dalam kehidupan lokal dan menciptakan ketergantungan antara yang lokal dan global. Ciri lain globalisasi adalah deterritorialisasi yang menunjuk pada kemungkinan-kemungkinan interaksi antar individu dan kelompok tanpa memandang lokasi. Semakin dunia saling terhubungkan semakin jarak dan lokasi bukan masalah dalam interaksi antar individu dan kelompok sosial. Saling keterhubungan dan deterritorialisasi merupakan dua konsep yang menjelaskan bagaimana peristiwa jauh mempengaruhi yang lokal dan sebaliknya. Saling keterhubungan mencairkan batas-batas yang berakhir pada deterritorialisasi. Dunia semakin terhubungkan dengan adanya perkembangan dalam teknologi seperti internet, pesawat dan televisi satelit. Pemakai internet dari berbagai belahan dunia dapat menggalang kelompok-kelompok untuk tujuan tertentu dan lain-lain. Perjalanan wisatawan dimungkinkan dalam waktu singkat dengan adanya pesawat. Perjalanan Kapten James Cook dari London ke Hawai yang dulunya berlangsung 19 bulan sekarang ini bisa ditempuh dalam 18 jam. Terjadi kedekatan global. Intensitas globalisasi berdampak pada budaya-budaya-budaya lokal. Budaya-budaya lokal yang terdiri atas kebudayaan material seperti praktik-praktik, kesusastraan

  • 5

    dan media dan simbolik seperti tata nilai, kepercayaan-kepercayaan, dan tradisi memberi ciri lokal menempa kehidupan seseorang dan kelompok sosial. Budaya dan lokalitas menjadi ungkapan identitas secara linguistik, geografis dan historis. Arus globalisasi dapat berdampak positip dan negatip pada budaya-budaya lokal. Pertumbuhan ekonomi global dan perkembangan teknologi berpengaruh positip terhadap budaya lokal. Sebaliknya, globalisasi dapat berpengaruh negatip dengan merusak budaya lokal dan tradisi karena menciptakan budaya global yang homogen. Lihat misalnya, pengaruh aspek budaya negara adidaya Amerika. Ada 30,000 McDonald di seluruh dunia, MTV punya 280 juta pelanggan di seluruh dunia, dan CNN dapat ditonton di 212 negara (Barber 2004). Selama ini Indonesia menerima pengaruh globalisasi dalam berbagai kehidupan. Berbagai kelompok etnis di Indonesia mengalami kondisi ini dalam berbagai tingkat dan skala. Karena kemungkinan adanya pengaruh negatip maka perlu dicarikan jalan keluarnya. Konsep glokalisasi dapat diusulkan sebagai jalan keluarnya dengan mempertimbangkan antara yang global dan lokal. 2.4 Glokalisasi warisan budaya

    Glokal yang terdiri atas kata globe dan lokal adalah sebuah proses yang mengevaluasi pengaruh-pengaruh global dalam konteks lokal seperti tampak dalam definisi Friedman sebagai berikut:

    The ability of a culture when it encounters other strong cultures, to absorb influences that naturally fit into and can enrich that culture, to resist those things that are truly alien and to compartementalize those things that, while different can nevertheles be enjoyed and celebrated as different (Friedman 2000).

    Metode bagaimana sebuah budaya melakukan dan mengevaluasi glokalisasi bervariasi dari budaya ke budaya. Ada kelompok yang merasa globalisasi menekan mereka yang dilakukan oleh hegemonisme masyarakat adidaya, tapi ada juga yang berupaya mengundangnya. Apakah globalisasi dipaksakan atau diinginkan, ia tak dapat dihindari. Karena itu budaya-budaya harus berupaya memaksimalkan efek positipnya dan meminimalkan efek negatipnya. Cara budaya-budaya melakukan keseimbangan antara yang global dan lokal adalah dengan melakukan glokalisasi.

    Pertanyaannya sekarang adalah manakah identitas keindonesiaan yang patut dipertahankan dintengah-tengah arus globalisasi? Setelah terbuka ke dunia luar tidak mungkin kita kembali menutup diri. Untuk maksud tersebut identitas keindonesiaan harus mengandung unsur universal yang dapat diterima dunia dan pada saat yang sama unik hanya di Indonesia.

    Hal itu berarti kita harus mencari nilai tertinggi yang ada dalam budaya ini yang bisa diangkat sebagai milik dunia. Mungkin kita sudah mengalami entropi kebudayaan dimana nilai itu masih ada dan dikenal tetapi sudah tak punya daya lagi. Kalau masyarakat Indonesia membangun dan mempertahankan identitas ini, maka dunia pada masa mendatang akan mengangkatnya dan mempraktikkannya dalam kehidupan mereka.

    Budaya-budaya sudah melakukan glokalisasi apabila sudah melakukan pertukaran budaya, mengambil elemen-elemen dari budaya lain yang meningkatkan dan memperkaya budaya mereka dan menghindari elemen-elemen yang negatip. Misalnya proses meminjam dan menyelaraskan praktik-praktik asing, kepercayaan-kepercayaan dan produk-produk asing untuk disesuaikan dengan gaya hidup-gaya hidup budaya

  • 6

    setempat adalah hal yang biasa dalam sejarah. Kebanyakan budaya-budaya dunia adalah budaya-budaya hibrid sebagai akibat dari pertukaran budaya dan glokalisasi.

    Dalam proses glokalisasi budaya-budaya perlu persiapan dalam menghadapi kekuatan-kekuatan global. Hanya mampu menyaring mana yang cocok mana yang tidak cocok tidak cukup. Ia harus mampu mencari keseimbangan antara yang global dan lokal. Cara budaya melakukan glokalisasi ialah dengan dialogisme (Fernandez 2009). Dialog antar budaya merupakan satu aspek penting glokalisasi. Untuk Indonesia penting sekali melakukan dialogisme antar budaya-budaya lokal yang ada untuk menemukan persamaan dan perbedaan.

    Diharapkan lewat interaksi-interaksi dan dialog antara budaya-budaya lokal maka muncul norma-norma dan nilai-nilai universal. Dalam berdialog akan muncul kemiripan-kemiripan. Kemiripan akan membangun kesadaran yang mengantar kita pada ide bahwa yang lokal mempunyai elemen global.

    Selanjutnya dalam berdialog budaya-budaya akan sampai pada perbedaan-perbedaan dan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan yang berkonflik dan ini membangun kesadaran akan adanya praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan yang lain. Dengan adanya kesadaran akan adanya praktik dan kepercayaan lain, budaya-budaya mampu membandingkan, mengontras, dan mengevaluasi praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaannya secara kritis (bdk Fernandez 2009).

    Dengan menemukan nilai universal yang dapat diklaim dunia, maka langkah berikutnya adalah mendialogkan identitas keindonesiaan dengan yang global. Dalam dialog antar budaya, budaya-budaya mempu berinteraksi secara demokratis, dimana tiap budaya punya kemampuan untuk mengungkapkan dan mempertahankan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan serta menyelidiki dan mengadopsi praktik dan kepercayaan budaya lain.

    3. Dialogisme antara yang universal dan lokal 3.1 Antara Foto dan Nenek Moyang Glokalisasi adalah pertemuan antar dua budaya yaitu yang global dan yang lokal yang dikelola secara harmonis dan seimbang. Proses ini terjadi secara berbeda-beda dari budaya lokal ke budaya lokal dalam tingkat dan intensitas yang berbeda-beda. Ambil contoh Toraja. Jauh sebelum Indonesia merdeka berbagai kelompok etnis telah berinteraksi langsung dengan penyebaran modernitas dan agama secara global. Di Toraja Belanda tiba di sana pada tahun 1905 dikikuti oleh penyebaran agama Kristen Protestan pada tahun 1913 dan Katolik pada tahun 1937. Agama-agama besar ini berinteraksi dengan agama lokal Aluk to dolo (agama nenek moyang) atau disingkrat Alukta. Para zending menilai bahwa agama lokal ini perlu dimurnikan dari kepercayaan pada takhyul ke kepercayaan universal Yesus Kristus. Karena itu persoalan utama yang mereka hadapi adalah persoalan inkulturasi satu aspek dari glokalisasi warisan budaya. Dalam proses itu sinkretisme, yaitu menempatkan kedua sistem kepercayaan itu secara bersamaan, sedapat mungkin dihindari. Maka terjadilah pedebatan-perdebatan antara pengikut Kristen Toraja elemen-elemen mana yang bisa diuniversalkan. Satu praktik yang ditolak adalah pembuatan patung atau tau-tau untuk orang mati kelas menengah ke atas pada upacara kematian karena terdapat perbedaan besar tentang konsep arwah dalam kedua agama. Konsep arwah dalam Alukta jauh lebih kompleks ketimbang konsep arwah dalam paham Kristen. Dalam konteks lokal, tau-tau adalah

  • 7

    badan baru arwah calon dewa. Mulai dari pemilihan pohon sampai pembuatannya disertai dengan ritual dan korban ayam dan babi. Ada juga upacara massabu tau-tau, yaitu upacara melantik tau-tau menjadi badan baru dewa yang sudah lengkap upacaranya. Lalu ia disemayamkan di sisi kiri mayat selama semalam untuk menangkap arwah si mati. Seperti yang kita ketahui tujuan suatu upacara kematian-rambu solo Alukta adalah untuk mentransformasi bombo (arwah yang menakutkan) menjadi bombo mendeatanna (arwah setengah dewa) di Puya dan lewat masseroi, mensucikan arwah dan keluarga yang ditinggalkan yang kemudian diikuti upacara rambu tuka, bombo mendeatanna menjadi mendeatanna, dewa (untuk orang menengah ke bawah) dan mengkapuanganna, menjadi Puang). Dengan kata lain, upacara kematian bertujuan mentransformasi arwah menjadi dewa yang badan barunya adalah tau-tau. Tau-tau ini ditempatkan di atas balkon secara berjejer di dekat liang tempat mengurburkan mayat yang kemudian sangat terkenal dan menarik wisatawan ke Toraja. Rambu solo dan rambu tuka menciptakan nenek moyang ke depan. Dewa-dewa ini sangat dipercayai kekuatannya oleh penganut Alukta.

    Hal-hal inilah yang membuat pihak gereja mencap praktik ini sebagai kepercayaan tahyul, sehingga selama beberapa dekade patung-patung ini dilarang pemakaiannya dalam upacara kematian.

    Keadaan berubah ketika kesadaran baru muncul untuk menemukan kembali tradisi yang sudah ditinggalkan. Konsep universal arwah yang langsung menghadap Tuhan, suatu ajaran Calvin dan Luther, kemudian diterima dan ditunjang oleh universalisme teknologi kamera yang diperkenalkan ke daerah itu sejak kedatangan Belanda. Terjadilah reinterpretasi dengan mendialogkan yang lokal dan global.

    Pemakaian patung dibolehkan gereja kembali sejauh tau-tau tersebut foto almarhum. Dengan kata lain penekanannya pada representasi suatu momen kehidupan almarhum sebagaimana layaknya makna foto. Perubahan konsep ini menyebabkan terjadinya perubahan pada ciri-ciri patung yang dibuat. Muncullah artis gaya baru dengan karya gaya realistik. Untuk itu patung dibuat sesuai dengan wajah almarhum posisi tangan berubah. Semua ciri dualitas Alukta diubah ke ciri monoteis Kristen seperti posisi tangan dan lain-lain.

    Yang menarik ialah tau-tau menjadi tempat kontestasi berbagai ideologi. Dalam hal ini proses glokalisasi bermain pada dimensi waktu. Aspek universalismenya adalah konsep arwah yang langsung menghadap Tuhan ditunjang oleh teknologi modern, kamera. Patung menjadi representasi suatu momen kehidupan di masa lalu tapi tanpa menghapus konsep penciptaan badan baru nenek moyang ke masa yang akan datang. Patung ini masih disebut masyarakat nene.

    3.2 Dialogisme budaya-budaya lokal Pemakaian patung di atas memberikan gambaran tentang proses glokalisasi yang dialami kelompok etnis Toraja dalam berinteraksi dengan globalisasi agama Kristen. Contoh lain sudah penulis kemukakan dalam Kongres Kebudayaan 2008 lalu (Sandarupa 2010). Indonesia terdiri atas kurang lebih 350 kelompok etnis dengan budaya dan bahasa masing-masing. Dalam era globalisasi, budaya-budaya lokal menjadi semakin penting karena ia berinteraksi dengan warisan budaya global. Warisan budaya warisan budaya ini berinteraksi dengan budaya global dalam skala yang berbeda-beda.

  • 8

    Bila budaya-budaya lokal didialogkan maka akan tampak persamaan dan perbedaan. Dalam hal ini penting diingat bahwa Indonesia adalah masyarakat multikultural, suatu masyarakat yang punya diversitas budaya. Di sini penting diingat tentang multikulturalisme yaitu mencari cara melestarikan identitas-identitas etnis dan pada saat yang sama menemukan identitas kewarganegaraan yang menyatukan semua kelompok etnis (Appadurai 2003; Kivisto 2002). Pada dasarnya budaya-budaya lokal Indonesia memperlihatkan satu ciri utama yaitu harmoni. Dalam setiap kebudayaan lokal terdapat tatanan relasi harmonis antara manusia dan Yang Kuasa, manusia dengan manusia, manusia dengan alam (tumbuhan, hewan dan lingkunngan), tumbuhan dengan tumbuhan, hewan dengan hewan dan lain-lain. Inilah aspek universalisme yang ditata oleh nilai kesatuan. Aspek ini kemudian muncul dalam berbagai ungkapan budaya yang berbeda-beda, misalnya di Bali disebut tri hita karana, di Toraja di sebut tallu lolona (tiga pucuk kehidupan). Dalam pola pikir ini manusia ditempatkan berada bersama makhluk hidup lainnya. Manusia diminta tidak tunduk pada alam, tetapi berlaku solider terhadap alam. Menurut Kleden, akal dan kebebasan manusia bukan lagi bebas lingkungan tapi bebas menjaga lingkungan. Terdapat hubungan kewajiban antara keduanya. Alam wajib menghidupi manusia dan manusia wajib melestarikan alam. Pola ini tidak lagi menekankan prosedur logis tapi prosedur dialektis. Kemiskinan alam akan berhubungan dengan keserakahan manusia, kekayaan dan kelestarian alam berhubungan dengan tanggung jawab dan kesadaan ekologis manusia. Logika dan etika menjadi satu. Inilah pola pikir yang ada dalam budaya-budaya lokal Indonesia dan ini disebut holisme. 3.3 Glokalisasi pendidikan

    Hasil dialogisme budaya-budaya lokal Indonesia memperlihatkan suatu pola pikir holisme di mana manusia hanya merupakan bahagian dan berkomun bersama makhluk-makhluk lainnya. Sistem pikir ini berinteraksi dengan globalisasi atau universalisme pemikiran ilmiah yang dilakukan lewat sistem pendidikan.

    Sistem pendidikan ini berlatar belakang suatu pola pikir yang menempatkan manusia sebagai pusat kosmos. Kleden mengajukan beberapa argumen untuk menjelaskan bahwa pola pikir mengkarakterisasi pikiran barat. Pola pikir ini memakai prinsip kausalitas ilmu yang menerapkan salah satu prosedur dalam logika Aristoteles yang disebut modus ponens yaitu kebenaran kesimpulan dideduksi dari kebenaran premis. Rumus dasarnya berbunyi: Kalau a, maka b. Logika Aristotelian ini menjelma menjadi kausalitas ilmiah dalam ilmu dan menjelmah lagi kenjadi efficient logic dalam teknologi. Inilah yang memberikan kedudukan yang sangat unggul pada manusia sebagai penguasa alam dan bukan sebagai penanggung jawab atas alam. Pertama, antroposentrisme,

    Kedudukan ini semakin dimantapkan dengan munculnya rasionalisme Descartes (1596-1650) yang bersamaan dengan penemuan-penemuan ilmu pada abad ke-17 dan kemudian penemuan-penemuan teknologi pada abad ke-19, yang sekali lagi menempatkan manusia sebagai pusat kosmos seperti terungkap dalam dasar filsafatnya cogito ergo sum, saya berpikir maka saya adalah (Descartes 1996). Unsur cogito menempati kedudukan yang sangat penting. Descartes membahas dua bidang filsafat yaitu psikologi (res cogitans) yang mencakup segala sesuatu yang berada dalam diri manusia, dan kosmologi yang mencakup segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (res extensa). Namun kepentingan kosmologi sangat rendah dibandingkan dengan

  • 9

    kepentingan psikologi. Dengan demikian, rasionalisme Descartes telah membuat akal manusia menjadi sangat egosentris dan melahirkan subjektivisme yang tertutup. Pandangan Descartes ini mendapatkan reaksi dari aliran-aliran filsafat lain seperti eksistensialisme dan fenomenologi. Dalam eksistesialisme terjadi pergeseran dari tema pemikiran ke tema pertemuan dan dalam fenomenologi terjadi pergeseran dari tema pemikiran ke tema kesadaran. Namun, eksistensi utama adalah eksistensiku dan kesadaran tentang yang lain menjadi mungkin karena ego membuka diri. Sekali lagi manusia adalah pusat kosmos dan melihat dirinya sebab kebudayaan dan secara tak sadar merasa dirinya juga sebab dari alam. Manusia penguasa alam. Keunggulan manusia harus dimenangkan dan alam harus dikalahkan demi kepentingan manusia. Pola pikir ini disebut antroposentrisme.

    Pendidikan dengan latar belakang pola pikir ini mengglobal dan diterima ke dalam sistem pendidikan kita. Ia mulai diperkenalkan di Indonesia pada permulaan abad ke 17 ketika Belanda mendirikan sekolah-sekolah antara lain di Ambon, kepulauan Banda dan Jakarta. Sistem pendidikan ini tentu menarik untuk dibandingkan dengan sistem pendidikan klasik yang dipengaruhi oleh Hindu, suatu pendidikan klasik yang tampak dalam zaman pemerintahan Erlangga (990-1409) dengan huruf Pallawa, dan pada Zaman Sriwijaya serta sistem pendidikan Islam yang dimulai abad ke 13.

    Sebagaimana diketahui ilmu dan teknologi mempunyai dampak negatip dan mengarah pada perusakan manusia dan lingkungan. Kalau globalisasi pendidikan ini diterima tanpa kritis maka sistem pendidikan kita mengulangi kelemahan-kelemahan yang ada di dalamnya.

    Di sini diusulkan melakukan glokalisasi terhadap sistem pendidikan antroposentrisme yaitu dengan mendialogkannya dengan sistem holisme yang ada dalam budaya-budaya lokal kita. Sebagaimana yang diusulkan berbagai ahli glokalisasi seperti Fernandez salah satu cara budaya dan bangsa melakukan glokalisasi ialah lewat pendidikan. Pengetahuan lokal penting karena pengetahuan yang telah dites dan divalidasi dalam konteks lokal. Semakin dunia berhubungan semakin penting individu dan kelompok mendapatkan pendidikan dalam pengetahuan budaya lokal. Sudah diterima bahwa budaya dan pengetahuan lokal membangun suatu kerangka yang darinya individu dan kelompok kolektif mampu mengerti dan menginterpretasi dunia sekeliling mereka. Pengetahuan lokal individu dan kelompok sosial membantu masyarakat menyaring pengaruh eksternal globalisasi. Begitu individu dan kelompok sosial dapat merangkul pengaruh asing globalisasi dan mengintegrasikan saja aspek-aspek yang bernilai dan perlu bagi budayanya maka budaya-budaya lokal tidak akan tergantikan oleh pengaruh-pengaruh-pengaruh globalisasi. Dengan mengembangkan kerangka kultural yang kuat lewat pendidikan dapat membantu individu dan kelompok sosial dalam melindungi kepentingan lokal dan membantu suatu keseimbangan antara yang lokal dan global (Fernandez 2009). 4. Simpulan

    Glokalisasi adalah sebuah proses mendialogkan dan menginterasikan berbagai warisan budaya dunia dalam suatu keseimbangan yang harmonis. Berpikir global dan bertindak lokal. Dalam hal ini, glokalisasi adalah mempartikularkan yang universal dan menguniversalkan yang partikular. Makalah ini telah mengetengahkan dua contoh proses

  • 10

    glokalisasi satu aspek budaya Toraja dan sistem pendidikan di Indonesia sebagai suatu proses inkulturasi.

    Sistem pendidikan dengan latar belakang pemikiran holisme telah memudar sehingga budaya-budaya lokal kita meninggalkan identitasnya. Telah hilang identitas relasi keharmonisan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Perusakan hutan, eksploitasi alam yang tidak tepat seperti lumpur lapindo, pemerkosaan, pembunuhan, perbudakan terjadi di mana-mana. Dan korupsi sudah tak dapat dibendung. Padahal dalam setiap kelompok etnis yang ada di Indonesia terdapat norma yang mengatur relasi harmonis dengan sesama di mana diajarkan hidup bersih. Salah satu penyebab maraknya korupsi ilah tidak diketahuinya dan tidak dipraktikkannya kearifan-kearifan lokal yang dalam budaya kita. Budaya dengan kearifan antikorupsi telah dilupakan (Sandarupa 14/5/2011).

    Langkah utama yang segera dilakukan adalah menemukan kembali tradisi holisme yang ada di dalam budaya-budaya lokal Indonesia dan melestarikannya. Tradisi ini kemudian didialogkan dengan universalisme pola pikir ilmiah antroposentrisme. Dengan demikan akan terbangun sistem pendidikan Indonesia hasil glokalisasi. Logika dan etika menjadi satu.

    Upaya pemerintah dalam hal ini patut diapresisasi karena telah berhasil mengajukan sistem subak dengan filsafat tri hita karana di Bali dan telah mendapatkan pengakuan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization)sebagai warisan dunia. Menyusul Toraja yang diusulkan ke UNESCO untuk dinominasikan sebagai warisan dunia. Sejumlah warisan budaya telah juga berterima seperti Komodo, Lagaligo, Babad Diponegoro dan Negarakertagama dan lain-lain. Penetapan sejumlah daerah sebagai cagar budaya. Penentuan hukum-hukum zoning yang mengatur pemakaian lahan. Kalau penggunaan lahan tidak diatur maka akan terjadi bencana tertutama dalam pengembangan industri yang cepat. Misalnya, pendirian pabrik yang membuat polusi. Penzoningan penting untuk pemakaian lahan supaya tidak terjadi perusakan lingkungan. Lingkungan penting untuk kehidupan budaya. Pemakaian hukum-hukum zoning membantu budaya-budaya dan bangsa melakukan glokalisasi mencari keseimbangan.

    Pengakuan internasional berarti ada nilai lokal yang universal yang dapat diklaim oleh dunia. Bila selama ini Indonesia hanya menerima pengaruh globalisasi Indonesia akan mengglobalkan warisan budayanya seperti sistem pendidikan holisme dan sejumlah aspek-aspek budaya lokal mulai dari bahasa, batik sampai tahu, tempe, sate dan rendang. Hal ini dapat dilakukan lewat diplomasi kebudayaan, pengajuan dan pengakuan badan dunia seperti UNESCO, pariwisata dan lain-lain.

  • 11

    Daftar Pustaka

    Adams, Kethleen, Marie 2000 Negotiated identities. In Home and hegemony. M.a.D. Kethleen Adams,

    Sara, ed. Ann Arbor: University of Michigan Press. Appadurai, Arjun 2003 Modernity at large: cultural dimensions of globalization. Minneapolis,

    London: University of Minnesota Press. Barber, Benjamin 2004 Jihad vs. McWorld. In The globalization reader. F. J.Lechner and J. Boli,

    eds. Pp. 29-35. Malden, MA: Blackwell. Benjamin, Walter 1968 [1955] Illuminations. New York: Schocken Books. Fernandez, Sarah Elizabeth 2009 A theory of cultural glocality, University of Florida. Fox, Richard G 1990 Nationalist ideologies and the production of national cultures. Washington

    D.C.: American Ethnological Society Monograph Series Number 2. Friedman, Thomas 2000 The lexus and the Olive tree: understanding globalization. New York:

    Random House. Handler, Richard 1988 Nationalism and the politics of culture in Quebec. Madison, Wisconsin:

    The University of Wisconsin Press. Hannerz, Ulf 1992 Cultural complexity: studies in the social organization of meaning.

    Columbia: Columbia University Press. Hobsbawm, Eric, and T. Ranger 1992 [1983] The invention of tradition. Cambridge, Great Britain: University

    Press. Kivisto, Peter 2002 Multiculturalism in a global society. Malden, MA: Blackwell Publishing. Kleden, Ignas 1988 [1987] Sikap ilmiah dan kritik kebudayaan. Jakarta: LP3ES. Poerwadarminta, W.J.S 1982 Kamus umum bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pusataka. Robertson, R 1992 Globalization. London: Sage. Sandarupa, Stanislaus 14/5/2011 Kearifan lokal antikorupsi. In Kompas. Pp. 6. Jakarta.

  • 12

    2010 Ritual kematian tanpa mayat, kanibalisme budaya dan pariwisata. In Industri budaya, budaya industri: kongres kebudayaan Indonesia 2008. K. Nurhan, ed. Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

    Smith, T.V. 1934 Philosophers speak for themselves. Chicago: The University of Chicago

    Press. Waters, Malcom 2000 [1995] Globalization. London and New York: Routledge.