staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · web viewdalam banyak kasus,...

34
PENGELOLAAN TERPADU SUMBERDAYA AIR (Integrated Water Resources Management - IWRM) BERBASIS DAS PADA DAS CILIWUNG 1 Astrid Damayanti 2 ([email protected]) dan Onesimus Patiung 3 ([email protected]) ABSTRAK Pemahaman daerah aliran sungai (DAS) secara teknis (biogeofisik) mengantarkan para pengambil keputusan dan/atau para peneliti mencari solusi masalah-masalah DAS dari sudut pandang teknologi. Sementara itu dari sudut pandang kelembagaan, pemahaman tersebut mengantarkan pengambilan keputusan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS, batas yurisdiksi pihak-pihak yang berada dalam DAS maupun hubungan hulu-hilir dalam pengelolaan DAS. Sejak dilaksanakannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terjadi kecenderungan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH) yang dimiliki masing-masing daerah kabupaten/kota secara parsial tanpa mempertimbangkan dampak lintas wilayah dan antar sektor yang ditimbulkannya. Hal ini terkait dengan distorsi pelaksanaan amanat UU No. 32/2004 bahwa kewenangan pengelolaan sumberdaya termasuk yang diserahkan sepenuhnya kepada daerah (kabupaten dan kota). Makalah ini secara khusus membahas pengelolaan sumberdaya air secara terpadu (integrated water resources management – IWRM) berbasis DAS pada DAS Ciliwung. Pengelolaan sumberdaya air terpadu pada DAS Ciliwung meliputi dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat. Kurangnya pemahaman dan perhatian tentang adanya proses keterkaitan biogeofisik antara aktivitas manusia (di hulu) yang berkaitan dengan perubahan bentang lahan dengan ekosistem di hilir DAS Ciliwung telah menyebabkan tidak efektifnya pemanfaatan ruang dalam pengelolaan SDA dan penanggulangan dampak lingkungan yang mengikutinya. Untuk keberlanjutan pengelolaan SDA dan LH diperlukan suatu rencana pengelolaan SDA dan LH terpadu dan menyeluruh. Untuk pola pengaturan kelembagaan pengelolaan SDA dan LH berbasis ekosistem DAS yang lebih efektif memerlukan kajian lebih lanjut tentang peran, tugas, dan tanggung jawab masing-masing lembaga dengan mempertimbangkan “natural properties” suatu ekosistem DAS. Kata kunci: biogeofisik, DAS Ciliwung, LH, pengelolaan terpadu dan menyeluruh, SDA I. PENDAHULUAN 1 Disampaikan pada saat Seminar Nasional dan Kongres MKTI VII dengan tema ”Konservasi Tanah dan Air Menjamin Keanekaragaman Hayati dan Kehidupan Masa Depan Bersama” pada tanggal 24-25 Nopember 2010 di Ratu Convention Center, Jambi 2 Staf pengajar Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia 3 Staf Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan 1

Upload: lamkhuong

Post on 11-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

PENGELOLAAN TERPADU SUMBERDAYA AIR(Integrated Water Resources Management - IWRM)

BERBASIS DAS PADA DAS CILIWUNG1

Astrid Damayanti2 ([email protected]) dan Onesimus Patiung3 ([email protected])

ABSTRAK

Pemahaman daerah aliran sungai (DAS) secara teknis (biogeofisik) mengantarkan para pengambil keputusan dan/atau para peneliti mencari solusi masalah-masalah DAS dari sudut pandang teknologi. Sementara itu dari sudut pandang kelembagaan, pemahaman tersebut mengantarkan pengambilan keputusan menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS, batas yurisdiksi pihak-pihak yang berada dalam DAS maupun hubungan hulu-hilir dalam pengelolaan DAS. Sejak dilaksanakannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, terjadi kecenderungan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH) yang dimiliki masing-masing daerah kabupaten/kota secara parsial tanpa mempertimbangkan dampak lintas wilayah dan antar sektor yang ditimbulkannya. Hal ini terkait dengan distorsi pelaksanaan amanat UU No. 32/2004 bahwa kewenangan pengelolaan sumberdaya termasuk yang diserahkan sepenuhnya kepada daerah (kabupaten dan kota). Makalah ini secara khusus membahas pengelolaan sumberdaya air secara terpadu (integrated water resources management – IWRM) berbasis DAS pada DAS Ciliwung. Pengelolaan sumberdaya air terpadu pada DAS Ciliwung meliputi dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat. Kurangnya pemahaman dan perhatian tentang adanya proses keterkaitan biogeofisik antara aktivitas manusia (di hulu) yang berkaitan dengan perubahan bentang lahan dengan ekosistem di hilir DAS Ciliwung telah menyebabkan tidak efektifnya pemanfaatan ruang dalam pengelolaan SDA dan penanggulangan dampak lingkungan yang mengikutinya. Untuk keberlanjutan pengelolaan SDA dan LH diperlukan suatu rencana pengelolaan SDA dan LH terpadu dan menyeluruh. Untuk pola pengaturan kelembagaan pengelolaan SDA dan LH berbasis ekosistem DAS yang lebih efektif memerlukan kajian lebih lanjut tentang peran, tugas, dan tanggung jawab masing-masing lembaga dengan mempertimbangkan “natural properties” suatu ekosistem DAS.

Kata kunci: biogeofisik, DAS Ciliwung, LH, pengelolaan terpadu dan menyeluruh, SDA

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) bila diartikan secara teknis (biogeofisik) akan

memberikan pemahaman kepada kita terhadap faktor-faktor biogeofisik DAS. Pemahaman

tersebut akan mengantarkan para pengambil keputusan dan/atau para peneliti untuk mencari

solusi masalah-masalah DAS dari sudut pandang teknologi. Sementara itu dari sudut

pandang kelembagaan, pemahaman tersebut akan mengantarkan pengambilan keputusan

1 Disampaikan pada saat Seminar Nasional dan Kongres MKTI VII dengan tema ”Konservasi Tanah dan Air Menjamin Keanekaragaman Hayati dan Kehidupan Masa Depan Bersama” pada tanggal 24-25 Nopember 2010 di Ratu Convention Center, Jambi2 Staf pengajar Departemen Geografi FMIPA Universitas Indonesia3 Staf Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan

1

Page 2: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

menunjuk pada hak-hak terhadap sumberdaya di dalam DAS, batas yurisdiksi pihak-pihak

yang berada dalam DAS maupun hubungan hulu-hilir dalam pengelolaan DAS.

Kondisi DAS di beberapa wilayah Indonesia mengalami penurunan kualitas yang

diindikasikan dengan meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir,

dan kekeringan. Pada umumnya kondisi tersebut banyak disebabkan oleh pemanfaatan

sumberdaya alam dalam DAS yang lebih menekankan aspek ekonomi daripada aspek

ekologis, sosial, dan kelembagaan, sehingga daya dukungnya menurun. Hal ini

mengakibatkan makin banyak wilayah DAS di Indonesia yang berada dalam kondisi kritis

dan prioritas untuk ditangani.

Daerah Aliran Sungai Ciliwung merupakan DAS prioritas yang memiliki nilai

hidrologis, ekonomis dan sosial yang sangat penting bagi kelangsungan kehidupan

masyarakat wilayah Bogor, Depok dan DKI Jakarta. Pada wilayah bagian hilir DAS

Ciliwung mencakup wilayah DKI Jakarta sebagai ibukota negara serta pusat kegiatan

ekonomi nasional dan internasional. Wilayah hulu merupakan kawasan pemukiman dan

pertanian terbatas yang terus berkembang menjadi daerah tujuan wisata yang menarik

masyarakat dan para pengembang untuk menanamkan investasinya. Sumberdaya air di DAS

Ciliwung banyak dimanfaatkan untuk air baku (PDAM), pertanian, perikanan, kehutanan,

pariwisata, perkebunan serta industri (Karyana, 2007).

Penurunan kualitas DAS Ciliwung ditunjukkan oleh karakteristik hidrologis wilayah

DAS tersebut yang relatif buruk, seperti fluktuasi debit yang tinggi antara musim kemarau

dan musim hujan, serta erosi tanah dan sedimentasi diepanjang sungai yang tinggi.

Penurunan debit pada saat musim kemarau dan semakin naiknya debit puncak pada musim

hujan menyebabkan tidak seimbangnya neraca air DAS Ciliwung. Dampak kerusakan DAS

Ciliwung dapat terlihat dari frekuensi dan jumlah banjir yang semakin meningkat dan sulit

diprediksi.

Kegiatan ekonomi masyarakat di wilayah DAS Ciliwung sangat beragam dan terus

mengalami pergeseran sejalan dengan perkembangan wilayah di sekitarnya. Pergeseran

kegiatan ekonomi masyarakat dari sektor pertanian ke sektor industri, perdagngan dan jasa

telah terjadi secara nyata hampir di seluruh wilayah DAS Ciliwung. Kegiatan ekonomi

masyarakat pada sektor pertanian, dimana kegiatan usahanya tergantung pada lahan sudah

semakin terbatas, terutama pada wilayah DAS Ciliwung Hulu. Beberapa kawasan di DAS

Ciliwung bagian hulu yang seharusnya menjadi daerah resapan air telah beralih fungsi

menjadi areal pemukiman, industri, tempat wisata dan lain-lain. Kegiatan pembangunan

2

Page 3: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

yang sangat intensif di bagian hulu DAS Ciliwung menyebabkan banyaknya penyimpangan

pemanfaatan tata ruang wilayah.

Persoalan semakin luas sejak dilaksanakannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999

(kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah. Terjadi

kecenderungan masing-masing daerah kabupaten/kota mengelola sumberdaya yang dimiliki

secara parsial tanpa mempertimbangkan dampak lintas wilayah dan antar sektor yang

ditimbulkannya. Hal ini terkait dengan distorsi pelaksanaan amanat UU No. 32/2004 bahwa

kewenangan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH) termasuk yang

diserahkan sepenuhnya kepada daerah (kabupaten dan kota).

Dampak negatif yang seringkali muncul akibat pemindahan kewenangan

pengelolaan SDA dan LH dari pemerintah pusat ke daerah ini adalah degradasi SDA dan LH

karena pola pengelolaan SDA dan LH sangat berorientasi pada peningkatan pendapatan asli

daerah (PAD). Contohnya adalah banyaknya ijin pemanfaatan lahan di kawasan

lindung/konservasi untuk tujuan komersial jangka pendek berakibat pada degradasi SDA dan

LH. Degradasi SDA akibat alih fungsi lahan, misalnya degradasi hutan di daerah hulu, dalam

konteks hubungan biogeofisik daerah hulu dan hilir suatu ekosistem Daerah Aliran Sungai

(DAS), tidak hanya meningkatkan erosi dan air larian setempat, melainkan juga

meningkatkan frekuensi banjir, kekurangan air, dan turunnya kualitas air sungai karena

sedimentasi di daerah hilir. Persoalan LH lintas wilayah ini, pada banyak kasus telah

mengakibatkan kerugian ekonomi sangat besar termasuk konflik sosial.

Fenomena tersebut mengindikasikan semakin meningkatnya kompleksitas

pengelolaan sumberdaya air pada DAS Ciliwung sehingga diperlukan adanya keterpaduan

dalam pengelolaan. Dalam makalah ini secara khusus akan membahas pengelolaan

sumberdaya air secara terpadu (integrated water resources management – IWRM) berbasis

DAS pada DAS Ciliwung. Pengelolaan sumberdaya air terpadu pada DAS Ciliwung meliputi

dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat terdapat tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Kota

Bogor, Kota Depok dan DKI Jakarta terdapat empat Kota yaitu Jakarta Selatan, Jakarta

Timur, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.

B. Pengertian Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu (IWRM)

Pengelolaan sumberdaya air secara terpadu adalah suatu proses yang

mengedepankan pembangunan dan pengelolaan sumberdaya terkait lainnya secara

3

Page 4: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

terkoordinasi dalam rangka memaksimalkan resultan ekonomi dan kesejahteraan sisial secara

adil tanpa mengorbankan keberlanjutan (sustainability) ekosistem yang vital.

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan

kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung,

menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara

alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan

daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (UU No 7/2004 Ps 1)

Pengelolaan DAS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal

balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya untuk

mewujudkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian

DAS serta kesejahteraan masyarakat.

II. KONDISI DAS CILIWUNG SAAT INI

Kondisi umum DAS Ciliwung yang disampaikan oleh Direktur Pengelolaan DAS

Departemen Kehutanan yaitu luas DAS Ciliwung 50.307 ha dengan panjang sungai 117 km

dengan hulu sungai berada di Tugu/Gunung Pangrango yang mengalir melalui Bogor, Depok,

Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Jenis tanah di DAS Ciliwung

dominan oleh Latosol dan Podsolik merah kuning (pekah terhadap erosi).curah hujan tahunan

rata-rata 3.636 mm/tahun. Kelerengan pada daerah hulu curam sampai sangat curam diatas

40%. Bentuk DAS Ciliwung sempit memanjang serta pola aliran memanjang dengan

kerapatan rendah. Erosi yang terjadi yaitu 159 ton/ha/tahun atau diatas ambang batas yang

ditoleransi yaitu 15 ton/ha/tahun. Pada tahun 2006 debit sungai Ciliwung : Qmax =tma 130=

216,19 m3/detik dan Qmin = tma 28cm = 2,03 m3/detik.

A. Luas Hutan

Berdasarkan hasil analisis citra satelit landsat TM periode 2000, 2005, 2007 dan

2008 yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dapat diketahui pola perubahan

lahan yang terjadi secara signifikan pada DAS Ciliwung. Pada tahun 2000 luas tutupan hutan

4.918 ha (9.43%) kemudian mengalami penurunan pada tahun 2005 menjadi 4.162 ha

(7,98%). Pada tahun 2007 kembali mengalami penurunan yang sangat signifikan dengan luas

tutupan hutan tinggal 1.665 ha (3,19%) dan terakhir pada tahun 2008 terus mengalami

4

Page 5: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

penurunan menjadi 1.265 ha atau tinggal 2,42% dari luas DAS Ciliwung sekitar 52.169 ha.

(Press Release, KLH 2009)

Deputi III Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Peningkatan Konservasi

Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan menyatakan bahwa penurunan

luas penutupan hutan berbanding terbalik dengan peningkatan luas kawasan permukiman dari

tahun 2000-2008. Pada tahun 2000 luas pemukiman mencapai 24.833 ha (47,60%), tahun

2005 seluas 31,580 (60,53 %), tahun 2007 menjadi 33.395 ha (64,01 %) dan pada tahun 2008

menjadi 35.750 hektar atau 68,53%. Pernyataan tersebut disampaikan pada saat kunjungan

empat menteri (Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, Menteri Negara Lingkungan Hidup

Rachmat Witoelar, Menteri Kehutanan MS Kaban, dan Menteri Pertanian Anton

Apriyantono) dalam rangka melihat kerusakan lingkungan yang terjadi di daerah resapan air.

di kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat, 2 Maret 2009. Kegiatan tersebut terkait dengan

rencana upaya pemulihan kualitas DAS Ciliwung

Sementara itu, menurut Data Departemen Kehutanan tahun 2008, terjadi kondisi

penutupan lahan pada DAS Ciliwung terutama hutan yang berbeda dengan yang dikaji oleh

KLH. Kondisi hutan secara administrasi masih 11,58 % namun sudah banyak mengalami

perubahan. Tabel 1 menunjukkan kondisi penutupan lahan di DAS Ciliwung tahun 2008.

Tabel 1. Kondisi Penutupan Lahan DAS Ciliwung

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha) (%)

1 Hutan Dataran tinggi 5.826 11,582 Hutan Mangrove 0 03 Pertanian lahan kering 15.440 30,694 Pertanian irigasi/sawah 73 0,155 Perkebunan 473 0,946 Pemukiman 28.209 56,077 Pertambangan 0 08 Semak/Belukar 149 0,299 Tanah Terbuka 17 0,0310 Lain – lain 123 0,24

Jumlah 50.307 100,00Sumber: Departemen Kehutanan, 2008

B. Banjir

Curah hujan tinggi yang terjadi dalam waktu singkat menyebabkan rasio air yang

terintersepsi tanaman, terinfiltrasi tanah tidak sebanding dengan runoff. Hal ini diperparah

apabila kejadian hujan berlangsung lama, maka hampir semua curah hujan akan ditransfer

menjadi aliran permukan karena tanah sudah dalam keadaan jenuh akibat hujan sebelumnya.

Banjir dan genangan di wilayah hilir yang terjadi belakangan ini terus meningkat baik

5

Page 6: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

intensitas maupun frekuensinya disebabkan kerusakan DAS Ciliwung baik di bagian hulu,

tengah dan di bagian hilir. Kerusakan DAS tersebut disebabkan lebih banyak oleh adanya

perubahan fungsi lahan karena persaingan kepentingan. Menurut Sinukaban, 2007 tingginya

aliran permukaan juga mengakibatkan hilangnya jumlah air sebanyak 1,5 miliar liter kubik di

setiap musim hujan. Padahal, dengan jumlah tersebut, dapat memenuhi kebutuhan air bagi 11

juta warga Jakarta dan dapat mengairi sekitar 20 ribu hektar area persawahan.

Sebagai contoh, kejadian banjir di Jakarta pada bulan Pebruari 2008 yang lalu.

Berdasarkan data BMG pada tanggal 1 Pebruari 2008 dengan curah hujan di Jakarta

mencapai 171 mm (di atas normal = 100mm) dari jam 07.00 – 14.00. Pada saat yang sama

curah hujan di Bogor hanya mencapai 67 mm. DKI Jakarta tergenang air di 130 titik seluruh

Jakarta, 35 Kelurahan dan di ke-5 wilayah kota dengan ketinggian mencapai 20 cm – 100cm,

han tersebut menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas di semua ruas jalan. Fasilitas

Bandara Soekarno Hatta ditutup selama 5 jam, menyebabkan 233 penerbangan terganggu,

pengalihan pendaratan 54 pesawat dan 179 ditunda.

Penyebab banjir di DKI Jakarta pada saat itu banyak dipengaruhi oleh :

1. Jumlah penduduk daerah hulu maupun di Jakarta sangat padat;

2. Elevasi daratan Jakarta dan sekitarnya seluas 40% berada di bawah permukaan laut;

3. Intensitas hujan sangat tinggi pada 1 Pebruari 2008 mencapai 171 mm/hari (BMG 2008);

4. Sangat minimnya daerah resapan air (recharge area) di wilayah DKI Jakarta

dibandingkan dengan daerah yang terbangun oleh pemukiman dan fasilitas umum;

5. Sistem drainase yang sangat buruk baik di jalan raya dan pemukiman penduduk;

6. Minimnya areal yang berpenutupan vegetasi seperti hutan kota, penghijauan lingkungan

dan pemukiman di DKI Jakarta;

7. Sedimentasi sungai utama dan didaerah muara sungai sangat besar menyebabkan

pendangkalan sungai;

8. Pencemaran sungai oleh sampah domestik sangat besar.

Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu menyebabkan peningkatan debit

banjir 100 tahunan DAS Ciliwung dari 370 m3/dt pada tahun 1973 menjadi 570 m3/dt pada

tahun 2000 (Suwiyo 2009). Usaha pengelolaan DAS secara vegetatif dengan berbagai tipe

penggunaan lahan, seperti hutan dan sawah disusul oleh kebun dengan tanaman bertajuk

rindang mempunyai fungsi hidrologis lebih baik dibanding dengan jenis penggunaan lainnya

seperti tegalan dan ladang. Secara nasional di sektor pertanian rata-rata luas tanaman padi

yang rusak akibat bencana banjir mencapai 100 ribu hektar sedang akibat kekeringan

mencapai 200 ribu hektar/tahun.

6

Page 7: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

C. Lahan Kritis

Hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung

pada tahun 2004 menunjukkan bahwa luas lahan kritis di DAS Ciliwung telah mencapai

2.284,9 ha. Luas lahan kritis sampai saat ini terus terjadi akibat berbagai kebijakan dan

pengelolaan yang tidak sesuai dengan RUTRW. Berbagai kegiatan yang telah dilakukan

untuk mengurangi luas lahan kritis namun tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Hal

ini disebabkan bukan hanya program yang tidak berhasil tetapi juga disebabkan oleh

kelembagaan yang terdapat dalam pengelolaan wilayah DAS Ciliwung.

Menurut Sinukaban, 2008 penyebab terjadinya degradasi lahan dan rusaknya fungsi

hidrologis DAS tersebut kemungkinan disebabkan beberapa faktor:

1. Penggunaan dan peruntukan lahan menyimpang dari RTRW atau RTRD. Misalnya,

daerah yang diperuntukkan sebagai hutan lindung dialihfungsikan menjadi pertanian,

hutan produksi dialihfungsikan menjadi permukiman, lahan budi daya pertanian

dialihfungsikan menjadi permukiman atau industri, dan sebagainya.

2. Penggunaan lahan di DAS tidak sesuai dengan kemampuan lahan. Banyak lahan yang

semestinya hanya untuk cagar alam, tetapi sudah diolah menjadi pertanian, atau lahan

yang hanya cocok untuk hutan dijadikan lahan pertanian, bahkan permukiman. Banyak

lahan yang kemiringan lerengnya >30% bahkan 45% masih dijadikan pertanian yang

intensif atau jadi permukiman.

3. Perlakuan terhadap lahan di dalam DAS tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang

diperlukan oleh lahan atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah, serta teknik

konservasi tanah dan air yang diterapkan tidak memadai. Setiap penggunaan lahan (hutan,

pertanian, industri, permukiman) harus sesuai dengan syarat, yakni menerapkan teknik

konservasi tanah dan air yang memadai. Teknik konservasi yang memadai di suatu

bidang lahan belum tentu memadai di lahan yang lain. Pemilihan teknik konservasi yang

memadai di suatu bidang lahan sangat dipengaruhi oleh faktor biogeofisik (tanah,

topografi, penggunaan lahan, hujan/iklim) lahan yang bersangkutan. Jenis teknik

konservasi tanah dan air yang tersedia untuk dipilih dan diterapkan mulai dari yang paling

ringan sampai berat, antara lain, penggunaan mulsa, penanaman mengikuti kontur,

pengolahan mengikuti kontur, pengolahan tanah konservasi (tanpa olah tanah, pengolahan

tanah minimum), pengaturan jarak tanam, penanaman dalam strip (strip cropping), dan

penanaman berurutan (rotasi).

7

Page 8: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

4. Tidak adanya Undang-undang Konservasi Tanah dan Air yang mengharuskan masyarakat

menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara memadai di setiap penggunaan lahan.

Dengan tidak adanya UU ini maka masyarakat tidak merasa berkewajiban untuk

melaksanakan teknik konservasi tanah dan air, sehingga degradasi lahan terus meningkat.

5. Kurang memadainya kesungguhan pemerintah mencegah degradasi lahan. Hal ini

terindikasi dari tidak jelasnya program pencegahan degradasi lahan atau penerapan teknik

konservasi tanah dan air di setiap tipe penggunaan lahan. Kementerian yang berkaitan

dengan penggunaan lahan, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian PU, dan

Kementerian Dalam Negeri, kurang memprioritaskan program pencegahan degradasi

lahan dan penerapan teknologi konservasi tanah dan air.

D. Curah Hujan

Rata-rata curah hujan harian terbesar di 17 stasiun yang tersebar dari hulu hingga

hilir DAS Ciliwung dalam kurun waktu 1972 – 1999 seperti pada tabel berikut

Tabel 1. Curah Hujan Harian dan Tahunan (mm)

No Stasiun Terbesar harian bawah

Terbesar harian rerata Terbesar harian atas

Tahunan

1 Tugu Selatan 50 101 162 35412 Citeko 69 102 151 33033 Cibeureum 70 102 150 34804 Ciawi 74 135 227 39255 Katulampa 83 114 150 38346 Empang 50 128 210 42107 Hambalang 99 136 200 41168 KBR Bogor 80 138 262 41249 Cimanggu 100 132 160 411310 Atang Sanjaya 69 134 316 373611 Cibinong 60 110 180 315312 Citayam 64 109 155 257913 Depok 65 95 126 256214 Psr Minggu 71 133 170 208215 HP. Kusuma 58 105 162 190116 Rawamangun 78 108 181 177117 BMG 61 94 148 1812

Sumber : Data Curah Hujan BMG (1972-1999) dalam Fakhrudin, 2003

E. Situ

Situ merupakan danau kecil yang dibangun untuk menampung aliran permukaan.

Luas situ bervariasi mulai dari 1 ha sampai puluhan ha. Berdasarkan survey yang dilakukan

oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Ditjen Pengairan, Direktorat Bina Pelaksanaan Wilayah

Tengah pada tahun 1989 di Jabotabek diperoleh data jumlah situ sebanyak 200 dengan

8

Page 9: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

rincian sebagai berikut : Bogor sebanyak 122 situ, tangerang 45 situ, Bekasi 17 situ dan DKI

17 situ. Jumlah situ tersebut hanya sebagian kecil yang terdapat pada wilayah DAS Ciliwung.

Berdasarkan fungsinya sebagai kolam penyimpan atau penampung aliran permukaan akan

mempengaruhi puncak banjir dan meningkatkan waktu mencapai banjir. Selain itu situ juga

berfungsi sebagai untuk menampung sedimentasi, menginfiltrasikan air hujan kedalam tanah

melalui dasar dan sisi dari situ.

F. Tata Ruang

Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Bopunjur No 17 tahun

2000 dengan 10 arahan penggunaan lahan seluas 295.551,9 ha, terdapat banyak

penyimpangan. Penyimpangan terbesar pada pemukiman perkotaan seluas 31,68%,

pemukiman pedesaan 29,44%, pertanian lahan kering 19,27%, hutan produksi dan hutan

8,67% (LIPI, 2003). Kawasan hutan berada pada bagian hulu DAS Ciliwung dan telah

menjadi daerah wisata yang terdapat di Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Mega Mendung

dengan luas 2.739,15 ha, terdapat 2.220 buah villa yang tersebar di Kecamatan Cisarua 1.210

buah, Kecamatan Mega Mendung 1.210 buah dan kecamatan Ciawi 780 buah. Keberadaan

villa tersebut sangat tidak memperhatikan kondisi lingkungan dan tata ruang khususnya

daerah resapan dan kegiatan konservasi (Karyana, 2007).

G. Kelembagaan

Lembaga pemerintah yang terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam

pengelolaan DAS Ciliwung paling sedikit 21 buah seperti pada tabel 2. Selain Lembaga

pemerintah juga terdapat berbagai lembaga/organisasi lain yang memiliki keterkaitan baik

secara langsung maupun tidak, namum memberikan pengaruh yang sangat besar dalam

pengelolaan DAS Ciliwung. Lembaga/organisasi non pemerintah seperti Taman Safari,

Pengembang, Lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pengusaha, dll.

Tabel 2. Lembaga pemerintah yang terkait dalam pengelolaan DAS Ciliwung

No Lembaga Keterkaitan12345678

Kementerian KehutananKementerian Dalam NegeriKementerian Lingkungan HidupKementerian Pekerjaan UmumKementerian PertanianKementerian KeuanganBadan Pertanahan NasionalPemerintah DKI

Terkait Tidak Terkait LangsungTidak Terkait Langsung

Terkait Tidak Terkait LangsungTidak Terkait Langsung

Terkait Terkait Langsung

9

Page 10: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

91011121314151617181920

Pemerintah Provnsi Jawa BaratBappeda Provinsi Jawa BaratBappeda DKI JakartaPerum PerhutaniPT. PerkebunanBalai Pengelolaan Sumberdaya Air Ciliwung CisadaneBalai Pengelolaan DAS Citarum CiliwungTaman Nasional Gunung Gede PangrangoDinas Pendapatan Daerah Kab BogorDinas Tata Ruang Kab BogorDinas Pertanian dan kehutanan Kabupaten BogorDinas Perindustrian dan Perdagangan

Terkait LangsungTidak Terkait LangsungTidak Terkait Langsung

Terkait LangsungTerkait LangsungTerkait LangsungTerkait LangsungTerkait Langsung

Tidak Terkait LangsungTerkait LangsungTerkait Langsung

Tidak Terkait LangsungSumber : Karyana 2007

III. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR BERBASIS DAS SECARA TERPADU

A. Keterkaitan Biogeofisik Hulu-Hilir DAS

Ada lima paradigma pengaturan pemanfaatan sumberdaya air lintas wilayah

administratif, terutama yang melibatkan pemerintahan berbeda (Singh and Gosain, 2004).

1. Prinsip “kebebasan” dalam pemanfaatan sungai/sumberdaya air yang berada di wilayah

administrasi (negara bagian, propinsi, kabupaten) tanpa kewajiban untuk menanggulangi

dampak lingkungan yang ditimbulkannya (principle of absolute territorial sovereignty).

2. Prinsip kedua, merupakan kebalikannya, yaitu wilayah hilir mempunyai hak penuh untuk

memperoleh manfaat (tidak terputus) atas keberadaan suatu sungai (principle of absolute

territorial integrity). Dengan kata lain, kepentingan wilayah hilir DAS sedemikian

menonjol tanpa kewajiban yang jelas atas privilege yang mereka peroleh. Kedua prinsip

pengaturan pemanfaatan sumberdaya air (sungai) ini tidak operasional karena terlalu

ekstrim dalam pengelolaan sumberdaya air/sungai.

3. Prinsip ketiga, tidak memprioritaskan kepentingan wilayah hulu maupun hilir, tetapi

memberi prioritas kepada yang pertama kali memanfaatkan sumberdaya air yang tersedia

(principle of prior appropriation). Prinsip ini banyak ditentang oleh daerah/negara

berkembang karena tidak mampu bersaing dengan daerah/negara maju yang memiliki

iptek lebih baik sehingga dapat memanfaatkan sumberdaya air lebih leluasa.

4. Prinsip keempat adalah jika pemanfaatan sumberdaya air/sungai tidak menimbulkan

dampak negatif terhadap daerah lain, maka dapat dibenarkan (principle of no significant

harm). Persoalannya dengan sistem ini adalah ada kecenderungan masing-masing daerah

untuk memanfaatkan sumberdaya air sesuai dengan keinginannya sepanjang tidak ada

10

Page 11: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

keluhan dari daerah lain. Sistem pengaturan ini juga kemudian ditentang karena dianggap

tidak fair dan tidak kompatibel dengan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.

5. Prinsip kelima dikenal sebagai principle of equitable apportionment, yaitu prinsip

pengelolaan sumberdaya air/sungai yang dianggap cukup progresif dalam menyerap

aspirasi banyak pihak (sektoral dan spasial) karena mampu menjaga kepentingan

ekonomi, lingkungan hidup, hidrologi dan kepentingan lain pada saat yang sama. Dalam

prinsip ini dikatakan bahwa sumberdaya air/sungai lintas wilayah administrasi harus

dimanfaatkan bersama secara adil dan proporsional. Dengan kata lain, prinsip kelima ini

telah mempertimbangkan pula prinsip ketiga dan keempat.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, perhatian pakar lingkungan, mulai

mengarah pada dampak yang terjadi di daerah hilir sebagai akibat intervensi manusia di

wilayah hulu DAS. Hal ini terutama berkaitan dengan semakin berkembangnya isu-isu

lingkungan hidup regional dan global seperti pendangkalan waduk dan muara sungai akibat

sedimentasi dan hujan asam. Gangguan-gangguan terhadap lingkungan hidup tersebut

umumnya bersifat lintas wilayah yang seringkali melampaui batas-batas pemerintahan daerah

dan negara. Dengan demikian, semakin disadari bahwa keberlanjutan pemanfaatan

sumberdaya air di satu wilayah DAS tidak dapat lagi dilepaskan dari aktivitas pembangunan

yang berlangsung di wilayah lain dari DAS yang sama. Dengan kata lain, keberlanjutan

pemanfataan sumberdaya air di daerah hilir suatu ekosistem DAS tidak dapat dilepaskan dari

pola pemanfaatan lahan (tata ruang) di daerah hulu.

Dalam suatu ekosistem DAS, daerah hulu dan hilir tidak hanya terkait secara

hidrologis, tapi juga dapat menimbulkan konflik lintas wilayah. Intensitas dan skala konflik

meningkat seiring dengan distorsi pelaksanaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang cenderung mengeksploitasi sumberdaya untuk kepentingan PAD.

Meningkatnya potensi konflik tersebut lebih bersumber pada: (1) kurang difahaminya

keterkaitan spasial biogeofisik dan sosek antara daerah hulu dan hilir suatu ekosistem DAS,

(2) tidak/belum disiapkannya mekanisme resolusi konflik yang berkaitan dengan pengelolaan

sumberdaya air antar wilayah, dan (3) tidak/belum diimplementasikannya mekanisme

pemerataan biaya dan keuntungan atas pengelolaan menyeluruh sumberdaya air dalam

konteks pengelolaan DAS.

B. Model Pengelolaan DAS Terpadu

11

Page 12: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

Pengelolaan SDA dan LH dalam suatu DAS dilaksanakan berdasarkan prinsip

kelestarian sumberdaya (resources sustainability) yang menekankan keterpaduan antara

prinsip produktifitas dan konservasi sumberdaya dalam mencapai tujuan-tujuan pengelolaan

DAS. Asdak, 2008 mengemukakan bahwa tujuan pengelolaan DAS adalah: a) terjaminnya

pemanfaatan sumberdaya alam skala DAS secara berkelanjutan; b) tercapainya keseimbangan

ekologis sebagai sistem penyangga kehidupan; c) terjaminnya kuantitas dan kualitas air

sepanjang tahun; d) pengendalian aliran permukaan dan banjir; dan e) pengendalian erosi

tanah dan proses degradasi lahan lainnya. Prinsip keberlanjutan (sutainability) menjadi acuan

dalam mengelola DAS, ketika fungsi ekologis, ekonomi dan sosial-budaya dari sumberdaya-

sumberdaya (resources) dalam DAS dapat terjamin secara berimbang (balance).

Pengelolaan DAS Terpadu adalah proses perumusan tujuan bersama pengelolaan

sumberdaya dalam DAS, singkronisasi program sektoral dalam mencapai tujuan bersama,

monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan pencapaian hasil program sektoral terhadap tujuan

bersama pengelolaan DAS dengan mempertimbangkan aspek bio-fisik, klimatik, sosial,

politik, ekonomi, dan kelembagaan yang bekerja dalam DAS tersebut. Pengelolaan tersebut

direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan kesepakatan bersama melalui suatu mekanisme

partisipatif dan adaptif. Dengan demikian, makna keterpaduan dalam pengelolaan DAS

adalah upaya memadukan program-program sektoral dan kerangka kerja kelembagaan yang

berbeda, baik di dalam maupun di luar wilayah administrasi (lintas wilayah) dalam satu

kesatuan DAS. Dengan mekanisme pengelolaan sumberdaya antar sektor, antar wilayah dan

antar kelembagaan sebagai satu kesatuan ini, maka selain tujuan masing-masing sektor,

tujuan bersama pengelolaan DAS juga dapat tercapai.

Selama ini ada kerancuan dalam mengartikan substansi program pengelolaan DAS,

yaitu pengelolaan DAS semata didasarkan pada hubungan-hubungan yang bersifat fisik

(physical interrelationships). Bahkan ada kecenderungan pengelolaan DAS dipersepsikan

sebatas program konservasi lingkungan fisik seperti hutan, tanah, dan air (utamanya di daerah

hulu) dan bukan sebagai pengelolaan SDA yang bertujuan untuk (tercapainya) keberlanjutan

ekosistem DAS (watershed ecosystem sustainability). Untuk tujuan yang terakhir ini konsep

pengelolaan DAS seharusnya selain merupakan pengelolaan yang bersifat lintas sektor juga

pengelolaan sumberdaya lintas wilayah (hulu dan hilir DAS). Selain pengelolaan sumberdaya

lintas sektor dan lintas wilayah administrasi/politik, pengelolaan DAS seharusnya juga

dilakukan secara terpadu, antara lain, dalam identifikasi dan pemecahan masalah,

menetapkan sasaran dan tujuan (bersama), merencanakan kegiatan, melaksanakan kegiatan

sesuai rencana, serta pemantauan dan evaluasi hasil kegiatan. Pengelolaan DAS terpadu

12

Page 13: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

seharusnya juga memperhitungkan faktor lainnya terutama yang berkaitan dengan aspek

ekonomi, aspek regulasi, dan aspek pengaturan kelembagaan karena melibatkan lebih dari

satu lembaga pelaksana program pengelolaan SDA.

Mengapa keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya skala DAS ini penting?

Karena selama ini lembaga perencana dan pelaksana pengelolaan sumberdaya adalah masing-

masing lembaga/instansi sektoral sesuai dengan tupoksinya yang dalam pelaksanaannya

dikoordinasikan oleh Bapeda. Dengan mekanisme kerja pengelolaan sumberdaya ini,

pencapaian tujuan sektoral lebih menonjol sehingga belum menunjukkan keterpaduan dalam

mencapai tujuan bersama (antar sektor dan antar wilayah dalam suatu DAS). Yang diartikan

sebagai tujuan bersama adalah tercapainya lima tujuan pengelolaan DAS tersebut di atas.

Uraian di atas menegaskan tiga karakteristik pengelolaan DAS yang harus difahami secara

menyeluruh sebagaimana ditegaskan oleh Nakamura (2003), bahwa pengelolaan DAS

terpadu memerlukan: a) pendekatan ekosistemik, b) pendekatan pengaturan kelembagaan

lintas sektor dan lintas wilayah, dan c) pencapaian tujuan ganda (multi-objectives).

Persoalan yang dihadapi dalam pengelolan DAS terpadu oleh suatu unit organisasi,

utamanya terkait dengan belum terselesaikannya tiga hal berikut: a) perbedaan batas

administrasi dan batas ekologi dalam pengelolaan DAS secara terpadu, b) bagaimana struktur

bentuk partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS, dan c) bagaimana dan

kepada siapa akuntabilitas pengambilan keputusan pengelolaan DAS? (Blomquist dan

Schlager, 2005). Oleh karena itu, ketiga hal tersebut di atas seharusnya dimanfaatkan untuk

memahami kesenjangan antara prinsip-prinsip pengelolaan DAS terpadu dan prinsip-prinsip

pengelolaan sumberdaya yang sifatnya sektoral/parsial. Dengan kata lain, diperlukan suatu

legal framework/arrangement yang memungkinkan kerjasama sinergis antar sektor, antar

wilayah, dan antar lembaga dalam suatu DAS. Aspek legal yang dibutuhkan, dalam hal ini,

adalah Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan DAS Terpadu. Dengan adanya peraturan

ini, diharapkan masing-masing sektor dan wilayah dituntut untuk dapat bekerjasama dalam

pemaduan program termasuk pendanaan.

C. Pendekatan Ekosistemik

Pengelolaan sumberdaya dalam sub sistem DAS seringkali berada pada tapak yang

sama dan dikelola oleh berbagai pihak yang cenderung bersifat sektoral dan dalam lingkup

batas administrasi pemerintahan otonom. Sebagai ilustrasi pendekatan ekosistem dalam

pengelolaan sumberdaya, ditunjukkan dalam pengelolaan sumberdaya air. Keterkaitan antara

13

Page 14: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

ekosistem DAS (sebagai sistem produksi air) dengan sistem konsumsi dan sistem

pembangunan ekonomi, dari perspektif pengelolaan sumberdaya air.

Asdak, 2004 mengemukakan bahwa pengelolaan sumberdaya air melalui pendekatan

ekosistem secara umum bersifat:

1. Menjelaskan bagaimana komponen-komponen suatu sistem lingkungan hidup, termasuk

di dalamnya sumberdaya air, tanah, hutan dan manusia, berinteraksi.

2. Holistik, komprehensif, dan lintas ilmu/sektor serta bersifat menjelaskan dinamika

sistem, misalnya melalui konsep stabilitas dan umpan balik.

3. Membatasi ekosistem secara alamiah, misalnya batas hidrologis, bio-region atau eco-

region serta menempatkan sumberdaya air pada berbagai tingkatan struktur, proses, dan

fungsinya.

4. Berorientasi pada prinsip-prinsip manajemen serta memasukkan dan/atau

mempertimbangkan dinamika faktor-faktor manusia dan kelembagaan ke dalam proses

analisis.

5. Memanfaatkan proses-proses perencanaan dan penelitian yang antisipatif, lentur dan

adaptif.

Pendekatan ekosistem menempatkan komponen-komponen kajian dalam konteks

keterkaitan antar komponen dalam keseluruhan sistem pengelolaan sumberdaya DAS. Dalam

konteks pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan, pendekatan ekosistem menunjukkan tiga

sub-sistem yang harus menjadi perhatian. Ketiga sub-sistem tersebut adalah sub-sistem

produksi, sub-sistem konsumsi, dan sub-sistem distribusi.

Sub-sistem produksi merupakan sistem alam dalam bentuk DAS. Sistem ini juga

umum dikenal sebagai sistem tata air. Besarnya produksi air selain tergantung pada besarnya

curah hujan juga akan ditentukan oleh karakteristik dan kondisi biogeofisik DAS. Dalam

banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang

bersifat antropogenik, utamanya terkait dengan perubahan fungsi lahan dari yang bersifat

meresapkan air ke dalam tanah menjadi kurang/tidak meresapkan air karena perubahan

penggunaan lahan.

Sub-sistem ketiga dari keseluruhan sub-sistem yang harus dipertimbangkan dalam

pengelolaan DAS berkelanjutan adalah sub-sistem distribusi. Persoalan distribusi air dan

sumberdaya lain sangat erat kaitannya dengan: (a) jaminan akses masyarakat kurang mampu

dalam memperoleh atau memanfaatkan sumberdaya air, dan (b) penentuan prioritas distribusi

air untuk berbagai keperluan. Kedua hal ini, apabila tidak dipertimbangkan secara sungguh-

14

Page 15: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

sungguh dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya air, dapat menimbulkan konflik antar

pemanfaat sumberdaya air.

D. Kerangka Kerja dan Mekanisme Kelembagaan

Persoalan pengelolaan DAS umumnya terkait dengan kompleksitas permasalahan

yang dihadapi dalam pemanfaatan ruang dalam suatu DAS dan masih terbatasnya kapasitas

(SDM dan kelembagaan) dalam penanganan masalah pemanfaatan ruang. Selain itu, belum

ada kelembagaan terpadu yang menangani rencana induk pengembangan dan pengelolaan

SDA dalam suatu DAS secara terpadu (antar sektor dan antar wilayah) yang secara konsisten

digunakan sebagai dasar penyusunan program kerja tahunan sektor terkait. Akibatnya

program kerja disusun secara parsial oleh berbagai instansi (sektoral) dan implikasi yang

sering terjadi adalah tabrakan kepentingan antar sektor sehingga secara keseluruhan (hulu-

hilir), hasil pemanfaatan ruang skala DAS tidak efektif.

Selama ini substansi pemanfaatan ruang skala DAS yang melibatkan banyak instansi

sektoral dilaksanakan dengan pola ko-operasi dan ko-ordinasi. Secara konseptual, pola

pengelolaan ini menggunakan pendekatan perencanaan ter-koordinasi (co-ordinated

planning), yaitu perencanaan pengelolaan DAS yang dilaksanakan oleh masing-masing

pemerintah daerah dan oleh masing-masing sektor/dinas (Blomquist and Schlager, 2005).

Dalam pola perencanaan ter-koordinasi (co-ordinated planning), perumusan program

kegiatan dan tujuan yang akan dicapai dilaksanakan oleh masing-masing pemerintah daerah.

Artinya, karena tujuan pengelolaan DAS dirumuskan secara sepihak (masing-masing oleh

pemerintah daerah dari hulu hingga hilir secara terpisah), maka tujuan pengelolaan DAS

tidak menunjukkan satu kesatuan (hulu-hilir) yang bersifat menyeluruh. Demikian pula,

karena belum menyatunya visi, misi, persepsi dan tujuan yang sama di antara pemangku

kepentingan (stakeholders) dan lemahnya komitmen bersama terhadap pentingnya

pengelolaan DAS mengakibatkan tidak berjalannya pelaksanaan ko-ordinasi, integrasi,

sinkronisasi, dan simplifikasi dalam pengelolaan DAS.

Alternatif pengelolaan lain, adalah pola pengelolaan DAS secara terpadu

menyeluruh melalui perencaan bersama (joint planning) (Blomquist and Schlager, 2005).

Pola pengelolaan DAS ini juga dikenal sebagai: satu DAS, satu rencana, satu pengelolaan

(one watershed, one plan, one management). Dengan pola ini, kecenderungan terjadinya

“ego-sector” dan pola pengelolaan yang bersifat parsial dapat dihindari karena orientasi dan

komitmen perencana, pelaksana, dan pengawas program pengelolaan DAS akan tertuju pada

15

Page 16: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

lembaga bersama (joint organization) yang telah dibentuk dan meliputi keseluruhan (hulu-

hilir) DAS. Dalam naskah RPP Pengelolaan DAS Terpadu (Dirjen RLPS, 2006), lembaga

bersama tersebut adalah Lembaga/Badan Koordinasi Pengelolaan DAS Terpadu. Bentuk dan

mekanisme kerja lembaga pengelola DAS ini tidak sepenuhnya sama dengan pola joint

planning, melainkan kombinasi antara co-ordinated planning dan joint planning. Pola ini

tidak bersifat mengambil-alih kewenangan masing-masing sektor/dinas dalam melaksanakan

program sektoralnya. Tapi, lebih pada penyesuaian pencapaian tujuan sektoral terhadap

tujuan bersama dalam pengelolaan DAS.

Apabila pada pola perencaan ter-koordinasi program kegiatan dan tujuan

pengelolaan DAS ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah untuk kemudian diko-

ordinasikan, dalam pola perencanaan bersama, program dan tujuan pengelolaan DAS

ditentukan secara bersama-sama oleh pemerintah daerah dari hulu hingga hilir DAS. Melalui

pola perencanaan bersama ini, keterpaduan program termasuk implementasi prinsip-prinsip

pembebanan secara bersama atas biaya dan manfaat pengelolaan (cost and benefit sharing)

secara teoritis lebih mudah diimplementasikan dibandingkan dengan pola perencanaan ter-

koordinasi. Namun demikian, di tingkat lapangan, kendala yang dihadapi cukup besar,

terutama masih kuatnya kepentingan parsial dinas sektoral dan rendahnya komitmen politik

masing-masing pemerintah daerah.

Perlu disadari bahwa proses perencanaan pengelolaan DAS bervariasi tergantung

pada karakteristik biologi, fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik lokal. Dalam hal ini,

inisiasi rencana program pengelolaan DAS dapat dilakukan oleh pemangku kepentingan

(pemerintah, swasta, masyarakat). Langkah selanjutnya adalah menyampaikan rencana

tersebut kepada Lembaga/Badan Koordinasi Pengelolaan DAS. Lembaga ini sangat penting

karena akan memberikan arah pengelolaan yang akan dituju serta menunjukkan bentuk ko-

ordinasi yang dianggap efektif. Demikian pula, dalam struktur organisasi pengelolaan DAS

seharusnya memberikan peran lebih jelas kepada masing-masing komponen dalam Lembaga

Koordinasi. Tidak kalah pentingnya adalah masukan dari masyarakat/LSM dan pelaku usaha

pada tingkat lokal dalam proses penyusunan rencana. Peran dan fungsi masyarakat dalam

proses perencanaan harus dinyatakan dan diatur dengan jelas melalui suatu pedoman

kebijakan dan kerangka kerja kelembagaan. Dengan demikian, konsep Lembaga Pengelolaan

DAS dapat ditafsirkan merupakan gabungan kelembagaan (formal dan non-formal) yang

berperan dalam pengelolaan DAS. Terlepas dari posisi mana yang paling sesuai, Lembaga

Pengelolaan DAS Terpadu harus bersifat kemitraan dan egaliter dan berasas pada

kebersamaan, efisien, keadilan, dan berkelanjutan.

16

Page 17: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

Proses perencanaan pengelolaan DAS terpadu secara partisipatif dan adaptif harus

mempertimbangkan secara realistik aspek-aspek kebijakan, legislasi, regulasi dan yurisdiksi

untuk dapat dilaksanakan dan untuk terwujudnya hasil pengelolaan yang optimal. Tantangan

terbesar pada tahap implementasi pengelolaan DAS adalah terbangunnya organisasi dan

kelembagaan yang memungkinkan berjalannya mekanisme ko-operasi dan ko-ordinasi antar

lembaga pada setiap jenjang pemerintahan (pusat, propinsi, dan kabupaten/kota).

Kompleksitas permasalahan implementasi pengelolaan DAS terpadu ini terutama tuntutan

terwujudnya pengelolaan secara efektif melalui pola kerjasama yang sinergis. Hal yang harus

disadari dalam hal ini adalah bahwa mekanisme administrasi akan bervariasi tergantung pada

struktur pemerintahan (Davar et al., 1998).

E. Pembiayaan Bersama (Cost Sharing)

Batas ekosistem DAS tidak selalu kompatibel dengan batas pemerintahan. Implikasi

terhadap perencanaan pengelolaan sumberdaya air yang dapat terjadi adalah bahwa

mekanisme pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengelolaan tersebut harus

melibatkan lebih dari satu ekosistem DAS, tergantung pada luas wilayah administrasi yang

menjadi kajian. Untuk dapat melakukan pemantauan dan evaluasi yang efektif dan tepat

sasaran, maka diperlukan identifikasi tentang bagian wilayah administrasi mana yang

termasuk/tidak termasuk dalam DAS yang menjadi kajian. Oleh karenanya, adalah penting

untuk mengidentifikasi dan menentukan lokasi, kategori, dan bentuk aktivitas pemangku

kepentingan dalam suatu DAS, baik yang berada di daerah hulu maupun yang berada di

daerah tengah dan hilir DAS. Untuk daerah tengah, identifikasi pemangku kepentingan dapat

diarahkan kepada kelompok maupun perorangan yang melakukan aktivitas (ekonomi) dengan

menggunakan sumberdaya air sebagai modal usahanya. Termasuk dalam kategori ini, antara

lain, adalah Perusahaan Daerah Air Minum dan pengusaha air kemasan, petani pemakai air

irigasi, kelompok industri, pariwisata air, dan pengguna sumberdaya air lainnya.

Dengan mengetahui kategori dan bentuk aktivitas pemangku kepentingan serta

lokasi keberadaannya, maka dapat ditentukan siapa yang diperkirakan akan memperoleh

keuntungan ekonomi dengan dilaksanakannya program pengelolaan DAS di daerah hulu, dan

dengan demikian, harus menanggung ongkos untuk kegiatan pengelolaan DAS tersebut.

Mempertimbangkan kemungkinan adanya transfer sumberdaya air lintas wilayah dari dua

DAS berbeda, maka identifikasi pemangku kepentingan juga harus tetap dilaksanakan untuk

kasus ini. Dengan diketahuinya pemangku kepentingan yang diperkirakan akan memperoleh

17

Page 18: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

manfaat dan mereka yang akan dibebani ongkos, maka diharapkan dapat dirumuskan

kebijakan pengelolaan DAS (untuk sumberdaya air) yang telah mempertimbangkan

mekanisme regulasi dan pengaturan kelembagaan yang akan menerapkan prinsip-prinsip

insentif-disinsentif (subsidi-pajak) terhadap pemangku kepentingan, sesuai dengan kategori

dan kedudukannya dalam perspektif cost-benefit sharing principles. Perumusan dan

implementasi kebijakan insentif-disinsentif tersebut di atas harus tetap diupayakan dalam

konteks pemerataan biaya dan manfaat yang harus ditanggung oleh masing-masing

pemangku kepentingan yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan sumberdaya air skala

DAS. Dengan demikian, prinsip pengelolaan DAS yang berkeadilan (fairness) dapat

dilaksanakan. Prinsip ini menjadi salah satu faktor penentu bagi keberlanjutan program

pengelolaan DAS.

Dengan regulasi dan pengaturan kelembagaan yang akan menciptakan mekanisme

pengaturan hak dan kewajiban masing-masing pemangku kepentingan secara proporsional

dan fair, maka pelaksanaan program konservasi tanah dan air termasuk kawasan hutan

(sebagai bagian dari program pengelolaan DAS secara keseluruhan) di daerah hulu DAS

diharapkan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dengan dukungan finansial dari

pemangku kepentingan yang memperoleh manfaat ekonomi dan manfaat lainnya

(lingkungan) oleh adanya program tersebut. Dengan mekanisme ini, pola-pola “keproyekan”

dalam melaksanakan pengelolaan sumberdaya air yang selama ini diterapkan secara bertahap

dapat ditinggalkan dan digantikan dengan pola self-funded dan self-regulated mechanism

yang akan dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan.

F. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan

Banyak hasil kajian menegaskan bahwa kapasitas kelembagaan (formal maupun

non-formal) memainkan peranan penting untuk tercapainya hasil pengelolaan sumberdaya

secara optimal dan berkelanjutan. Hasil kajian yang sama juga menunjukkan bahwa kapasitas

kelembagaan kita masih jauh dari memuaskan. Oleh karena itu, upaya peningkatan kapasitas

kelembagaan termasuk kapasitas sumberdaya manusia perlu diprioritaskan untuk tercapainya

solidaritas hulu-hilir DAS. Dalam hal ini, keberadaan dan peran Forum/Lembaga Koordinasi

Pengelolaan DAS Ciliwung yang telah terbentuk dapat dijadikan titik awal model

peningkatan kapasitas kelembagaan pengelola DAS terpadu.

18

Page 19: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

IV. Penutup

Uraian dalam makalah menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman dan perhatian

tentang adanya proses keterkaitan biogeofisik antara aktivitas manusia (di hulu) yang

berkaitan dengan perubahan bentang lahan dengan ekosistem di hilir DAS Ciliwung telah

menyebabkan tidak efektifnya pemanfaatan ruang dalam pengelolaan SDA dan

penanggulangan dampak lingkungan yang mengikutinya. Apabila pola kerja perencanaan

pemanfaatan ruang dan penanggulangan dampak lingkungan sebagai akibat pembangunan

yang terjadi di daerah hilir masih bersifat parsial, maka penyelesaian menyeluruh atas

permasalahan lingkungan dan pengelolaan sumberdaya alam di daerah hulu dan hilir sulit

untuk diwujudkan. Oleh karenanya, untuk keberlanjutan pengelolaan SDA dan LH (skala

DAS) diperlukan suatu rencana pengelolaan SDA dan LH terpadu dan menyeluruh dan

mencakup perumusan penyelesaian masalah, sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Untuk itu,

para pembuat/pengambil keputusan, baik pada tingkat kebijakan, perencanaan, dan program,

harus memahami bagaimana ekosistem DAS bekerja, terutama dalam kaitannya dengan

keterkaitan biogeofisik dan sosek antara daerah hulu dan hilir ekosistem DAS.

Untuk pola pengaturan kelembagaan pengelolaan SDA dan LH berbasis ekosistem

DAS Ciliwung yang lebih efektif memerlukan kajian lebih lanjut tentang peran, tugas, dan

tanggung jawab masing-masing lembaga dengan mempertimbangkan natural properties suatu

ekosistem DAS. Proses perencanaan pengelolaan SDA secara komprehensif berbasis

ekosistem DAS termasuk pengaturan kelembagaan antar sektor antar wilayah diharapkan

dapat terwujud dengan memberlakukan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan DAS

Terpadu.

19

Page 20: staff.ui.ac.idstaff.ui.ac.id/system/files/users/astrid.damayanti/... · Web viewDalam banyak kasus, produksi air dalam suatu ekosistem DAS telah mengalami gangguan yang bersifat antropogenik,

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. Undang Undang Sumberdaya Air Nomor 7 Tentang Sumber Daya Air.

Anonimous. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 17 Tahun 2000 Tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor.

Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan keempat (Revisi). Penerbit : Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Asdak, C. 2004. Kajian Lingkungan Strategik: Instrumen Pengelolaan Lingkungan Lintas Wilayah Berkelanjutan. Makalah Policy Dialoque “Kajian Lingkungan Strategik Kawasan Bodebek”. Bandung, 15-16 Desember 2004.

Asdak, C. 2003. Perspektif Baru dalam Pengelolaan DAS: menuju solidaritas daerah hulu-hilir. Makalah untuk Diskusi Strategi Energi Balik Hulu-Hilir Dalam Rangka Program Pembangunan Kehutanan. 27 Agustus 2003, Cipayung, Jawa Barat.

Blomquist, W. and E. Schlager. 2005. Political Pitfalls of Integrated Watershed Management. Society and Natural Resources (18):101-117.

Dirjen RLPS. 2006. Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Pengelolaan DAS Terpadu. Direktorat Pengelolaan DAS, Dirjen RLPS, Departemen Kehutanan.

Davar, K.S., B.C. Burrell, J.M. Henderson, and J.D. McLaughlin. 1998. Comprehensive Watershed Management: Experience of New Brunswick, Canada. Proceedings of the International Symposium on Comprehensive Watershed Management, 7-10 September 1998, Beijing, China.

Fakhrudin, M. 2003. Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Dengan Model Sedimot II. Tesis. IPB.

Karyana, A. 2007. Analisis Posisi dan Peran Lembaga Serta Pengembangan Kelembagaan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Disertasi. IPB.

Khanna, P., P.R. Babu and M.S. George. 1999. Carrying capacity as a basis for sustainable development: A case study of National Capital Region in India. Progress in Planning (52): 101-163.

Nakamura, T. 2003. Ecosystem-based River Basin Management: its approach and policy-level application. Hydrological Processes (17): 2711-2725.

Rozengurt, M.M. and J.W. Hedgpeth. 1989. The impact of altered river flow on the ecosystem of the Caspian Sea. Review of Aquatic Sciences (1):337-362.

Simenstad, C.A., D. A. Jay, and C.R. Sherwood. 1992. Impacts of Watershed Management on Land-Margin Ecosystems: The Columbia River Estuary. In R.J. Naiman (ed.): Watershed Management: balancing sustainability and environmental change. Springer-Verlag, New York.

Singh, A. and A.K. Gosain. 2004. Resolving conflicts over transboundary watercourses: an Indian perspective. Land use and Water Resources Research (4):2.1-2.5.

Sinukaban 2007, Perlu dibangun cek dam di kawasan puncak, Harian Bisnis Indonesia, halaman Depan Lingkungan, 09-02-2007

20