ssbi-kebudayaan daerah

Upload: lelilynn

Post on 08-Jul-2015

170 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGUNAAN BAHASA DAERAH SEBAGAI SARANA KOMUNIKASI DAN SIMBOLIK ANTAR GENERASI

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem Sosial Budaya Indonesia Disusun oleh :

Dini Luthfiatsari Rosalina Affifatuzzahroh Karisma Indahwati Medianti Laksinta Ruthi Tri Damayanti Leli Ristawati Anhar Imam Prakoso Evi Dianti

F1C010020 F1C010037 F1C010042 F1C010044 F1C010045 F1C010047 F1C010048 F1C010064 F1C010065

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Gorys Keraf (1997: 1), bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bahasa haruslah merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bukannya sembarang bunyi. Dan bunyi itu sendiri haruslah merupakan simbol atau perlambang. Bahasa merupakan suatu sarana komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indra. Demikian pula yang terjadi dengan bahasa daerah. Bahasa yang memiliki ciri khasnya masing-masing pada tiap daerah, memiliki arti yang berbeda-beda meski bunyinya sama, memiliki tingkatan dalam penggunaannya, dan memiliki hak untuk dilestarikan. Di Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, secara langsung juga akan memiliki banyak bahasa daerah yang unik. Sebagaimana telah dijelaskan pada paragraf sebelumnya bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi, yang pemaknaannya akan berbeda bergantung dari sudut mana seseorang memaknainya. Dalam makalah ini kami mencoba untuk menemukan hubungan antara bahasa daerah dari suku Jawa, Samin, Sunda, Bali, Tolaki, Dayak dan Gayo, dengan fungsinya sebagai sarana komunikasi dan simbolik ditengah-tengah eksistensinya di era modern. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah bahasa daerah digunakan sebagai sarana komunikasi dan simbolik di era modern sekarang ini?

C. Tujuan Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana penggunaan penggunaan bahasa daerah di beberapa suku di Indonesia sebagai sarana komunikasi dan simbolik antar generasi dan eksistensinya di era modern.

BAB II PEMBAHASAN A. Landasan Teori 1. Teori Interaksi Simbolik Teori Interaksi Simbolik menekankan pada simbol dan interaksi. Teori ini mengagumi kemampuan manusia untuk menggunakan simbol, bahwa orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul dalam situasi tertentu. Orang tergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikan pada orang, benda dan peristiwa. Asumsi Teori Interaksi Simbolika.

Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang

diberikan orang lain pada mereka. Asumsi ini menjelaskan perilaku sebagai suatu rangkaian pemikiran dan perilaku yang dilakukan secara sadar antara rangsangan dan respons orang berkaitan dengan rangsan tersebut. b. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia. Makna dapat ada, menurut Mead, hanya ketika orang-orang memiliki interprertasi yang sama mengenai simbol yang mereka pertukarkan dalam interaksi. c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif. Blumer menyatakan bahwa proses interpretif memiliki dua langkah. Pertama, para pelaku menentukan benda-benda yang mempunyai makna. Kedua, melibatkan pelaku untuk memilih, mengecek, dan melakukan transformasi makna di dalam konteks dimana mereka berada.d.

Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan

orang lain. Asumsi ini menyatakan bahwa kita membangun perasaan akan diri (sense of self) tidak selamanya melalui kontak dengan orang lain. e. Konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku Mead berpendapat bahwa manusia memiliki diri, mereka memiliki mekanisme untuk berinteraksi dengan dirinya sendiri. Mekanisme ini digunakan untuk menuntun perilaku dan sikap.

f.

Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial Asumsi

ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku individu. Selain itu budaya secara kuat mempengaruhi perilaku dan sikap yang kita anggap penting dalam konsep diri. g. posisi Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial. Asumsi ini menengahi yang diambil oleh asumsi sebelumnya. Interaksi Simbolik

mempertanyakan pandangan bahwa struktur sosial tidak berubah serta mengakui bahwa individu dapat memodifikasi status sosial. 2. Bahasa sebagai Alat Komunikasi Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4). B. Studi Pustaka1. Suku Jawa

Masyarakat Jawa merupakan ladang potensial yang masih memendam segudang informasi budaya untuk dapat digali seiring dengan perkembangan waktu. Harus diakui bahwa usaha untuk mengungkap alam pikiran, pandangan, dan kehidupan orang Jawa tidak akan pernah tuntas dan bahkan diperlukan cara-cara baru dalam mengungkap misteri kebudayaan Jawa tersebut. Magnis-Suseno (1984:1), mengatakan bahwa kebudayaan Jawa mempunyai ciri khas yaitu terletak dalam kemampuan luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang- gelombang kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir tersebut dapat mempertahankan keasliannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kebudayaan Jawa justru tidak menemukan

diri dan berkembang kekhasannya dalam

isolasi, melainkan dalam mencerna

masukan-masukan budaya dari luar. Hal tersebut menjadikan kebudayaan Jawa kaya akan unsur-unsur budaya yang kemudian menyatu dan kemudian menjadi milik kebudayaan Jawa seperti sekarang ini, di mana berbagai macam persilangan budaya justru telah memberikan warna terhadap kedinamisan budaya Jawa. Walaupun terpaan ideologi modern cukup kuat, namun manusia Jawa yang hidup dalam bayang-bayang Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta masih tetap menyimpan dan memegang teguh pandangan budayanya misalnya tentang keberadaan makhluk supranatural, mitos, adat istiadat dan lain-lain. Tentunya pandangan-pandangan tersebut mengandung suatu makna yang dalam dan mempunyai keeratan hubungan dengan konsepsi manusia Jawa tentang dunia. Peta kognitif ini merupakan dokumen dan khazanah pengetahuan penting dalam usaha memahami budaya Jawa saat ini, apabila budaya dipandang sebagai sesuatu yang secara internal heterogen dan muncul dari peristiwa-peristiwa yang paling mendasarinya. Bahasa Jawa Bahasa Jawa adalah bahasa pertuturan yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia. Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu Ngoko dan Kromo. Ngoko sendiri dalam perkembangannya secara tidak langsung terbagi-bagi lagi menjadi ngoko kasar dan ngoko halus ( campuran ngoko dan kromo ). Selanjutnya Krama itu terbagi lagi menjadi Krama, Krama Madya, Krama Inggil ( Krama Halus ). Krama Madya inipun agak berbeda antara Krama yang dipergunakan dikota / Sala dengan Krama yang dipergunakan di pinggiran / desa. Sedangkan Krama Haluspun berbeda antara Krama Halus/Inggil yang dipergunakan oleh kalangan Kraton dengan kalangan rakyat biasa. Lapisan sosiala.

Priyayi Kata priyayi konon berasal dari dua kata Jawapara danyayi yang secara

harafiah berarti "para adik". Yang dimaksud adalah para adik raja. Namun

menurut Robson (1971) kata ini bisa pula berasal dari kata Sansekertapriy, yang berarti kekasihDalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan. Golongan priyayi tertinggi disebut Priayi Ageng (bangsawan tinggi). Gelar dalam golongan ini terbagi menjadi bermacam-macam berdasarkan tinggi rendahnya suatu kehormatan. Beberapa gelar dari yang tertinggi hingga dengan hanya satu gelar saja yaitu Raden. Gelar seorang priyayi juga dapat meningkat seiring dari usianya. Misalnya ketika seorang anak laki-laki lahir diberi nama Bomantara, ia bergelar Raden Mas, jadi nama lengkapnya adalah Raden Mas Bomantara, ketika menginjak akil balik gelarnya bertambah satu kata menjadi Bandara Raden Mas, ketika menapak dewasa (18 atau 21 tahun) bertambah lagi menjadi Bandara Raden Mas Aryo. Pada saat dewasa dan telah memiliki jabatan dalam hierarki kebangsawanan, ia akan memiliki gelar yang berbeda dari gelar yang telah ia miliki. Misalnya ia menduduki jabatan pemimpin ksatrian maka gelarnya akan berubah menjadi Gusti Pangeran Adipati Haryo. Dan setiap kedudukan yang ia jabat ia akan memilki gelar tambahan atau gelar yang berubah nama. b. Ningrat Adalah keluarga keraton dan keturunan bangsawan lainnya. Yang biasanya mempunyai gelar-gelar yang menandakan tingkat kebangsawanannya. Misalnya seorang laki-laki ningrat yang merupakan keturunan langsung (generasi pertama) dari raja/pemimpin yang memerintah akan mendapat tambahanBandara (baca "bandoro") di depan gelarnya, sehingga menjadi Bandara Raden Mas. c. Wong Cilik Merupakan golongan masyarakat yang paling bawah, biasanya hidup didesa- desa dengan sesuai dengan mata pencaharian mereka sebagai petani, tukang dan pekerja kasar lainnya. Golongan ini juga dapat digolongkan lagi menjadi :

o Wong baku merupakan lapisan tertinggi dalam lingkungan desa di Jawa, mereka adalah keturunan orang-orang yang dahulu yang pertama kali menetap didesa, mereka memiliki sawah, rumah, serta pekarangannya.o Kuli gandok atau lindung. Mereka adalah orang laki-laki yang sudah

kawin, akan tetapi tidak mempunyai tempat tinggal sendiri,sehingga terpaksa menetap di kediaman mertuanya.o

Joko, sinoman, atau bujangan. Mereka semua belum menikah, dan masih

tinggal bersama orang tuanya atau tinggal (ngenger) dirumah orang lain. akan tetapi golongan bujang ini bisa mempunyai tanah baik dari pembelian atau warisan. Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini dari kalimat Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"a.

Ngoko kasar: Eh, aku arep takon, omah Budi kuwi, nng*ndi? Ngoko alus: Aku nyuwun pirsa, dalem mas Budi kuwi, nng endi? Ngoko meninggikan diri sendiri: Aku kersa ndangu, omah mas Budi

b.c.

kuwi, nng ndi? (ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan leksikon krama inggil untuk diri sendiri) d. e. f. Madya: Nuwun swu, kula ajeng tanglet, griyan mas Budi niku, teng Madya alus: Nuwun swu, kula ajeng tanglet, dalem mas Budi niku, Krama andhap: Nuwun swu, dalem badh nyuwun pirsa, dalemipun mas pundi? (ini krama desa (substandar)) teng pundi? (ini juga termasuk krama desa (krama substandar)) Budi punika, wonten pundi? (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem 'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa) g. h. Krama lugu: Nuwun sewu, kula badh takn, griyanipun mas Budi Krama alus Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi? punika, wonten pundi?

*

nng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari

bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nng. Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya. 2. Suku Sunda Sunda sebagai nama kerajaan kiranya baru muncul pada abad ke- 8 sebagai lanjutan atau penerus kerajaan Tarumanegara. Pusat kerajaannya berada disekitar Bogor, sekarang. Sejarah Sunda mengalami babak baru karena arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan kompeni Belanda sejak (1610) dan dari arah pedalaman sebelah timur masuk kekuasaan Mataram (sejak 1625). Secara kultural daerah Pasundan di daerah timur dibatasi oleh sungai-sungai Cilosari dan Citanduy, yang merupakan perbatassan bahasa. Wilayah ini sendiri memiliki luas 55.390 km serta terdiri atas 20 kabupaten. Tanah Pasundan ini dikenal karena iklimnya yang sejuk dan keindahan panoramanya. Berada di daerah dataran tinggi dengan curah hujan tinggi sehingga kesuburan tanahnya tidak diragukan lagi. Bahasa Sunda Bahasa Sunda juga mengenal tingkatan dalam bahasa, yaitu unda-usuk bahasa untuk membedakan golongan usia dan status sosial antara lain yaitu : 1. Bahasa Sunda lemes (halus) yaitu dipergunakan untuk berbicara dengan orang tua, orang yang dituakan atau disegani. 2. Bahasa Sunda sedang yaitu digunakan antara orang yang setaraf, baik usia maupun status sosialnya. 3. Bahasa Sunda kasar yaitu digunakan oleh atasan kepada bawahan, atau kepada orang yang status sosialnya lebih rendah. Namun demikian, di Serang, dan Cilegon, bahasa Banyumasan (bahasa Jawa tingkatan kasar) digunakan oleh etnik pendatang dari Jawa.

Undak-usuk Karena pengaruh budaya Jawa pada masa kekuasaan kerajaan MataramIslam, bahasa Sunda - terutama di wilayah Parahyangan - mengenal undak-usuk atau tingkatan berbahasa, mulai dari bahasa halus, bahasa loma/lancaran, hingga bahasa kasar. Namun, di wilayah-wilayah pedesaan/pegunungan dan mayoritas daerah Banten, bahasa Sunda loma (bagi orang-orang daerah Bandung terdengar kasar) tetap dominan. Di bawah ini disajikan beberapa contoh: Waktu Bahasa Indonesia sebelum sesudah ketika Besok Tempat Bahasa Indonesia di atas .. di belakang .. di bawah .. di dalam .. di luar .. di samping .. di antara .. dan .. Bahasa Sunda Bahasa Sunda (normal) (sopan/lemes) di luhur .. di tukang .. di handap .. di jero .. di luar .. di sisi .. di antara .. jeung .. di luhur .. di pengker .. di handap .. di lebet .. di luar .. di gigir .. di antawis .. sareng .. Bahasa Sunda (normal) Bahasa Sunda (sopan/lemes)

saacan, saencan, sammh sateuacan sanggeus basa Isukan saparantos nalika Enjing

Lain Lain Bahasa Indonesia Dari Ada Tidak Saya Bahasa Sunda (normal) Tina Aya Embung Urang Tina Nyondong Alim Abdi/sim kuring/pribados Bahasa Sunda (sopan/lemes)

Selama ini kita lebih sering mendengar penggunaan bahasa Sunda dengan bahasa Indonesia. Memang agak lucu kedengarannya memakai bahasa Indonesia dicampur bahasa sunda, misalkan begini Kamu teh asal mana maksudnya Kamu berasal dari mana atau Yang baju merah kadie atuh maksudnya Yang baju merah kesini sajalah. Memang agak merusak kedua bahasa tapi itu akan membantu sekali untuk orang yang lagi belajar. Contoh kalimat bahasa Indonesia Sunda di bawah ini: Saya mencintaimu = Abdy bogoh ka maneh Itu bayi siapa yang nangis = Eta orok saha nu ceurik Ini harga baju berapa = Ieu harga acuk sabaraha Mau apa kesini kamu = Bade naon kadie maneh Anak siapa yang tampan = Murangkalih saha nu kasep Bisa kenalan tidak = Tiasa wanoh teu 3. Suku Samin Sekitar tahun 1890, saminisme pertama kali disebarkan oleh Samin Surosentiko, seorang pangeran. Nama Samin adalah nama samaran dari Raden Kohar bangsawan, guru kebatinan yang mempunyai nama samaran Suro Kuncung menurut serat punjer kawitan. Ia menghimpun kekuatan melawan kolonialisme Belanda dengan pergerakan rakyat anti kekerasan. Raden kohar adalah salah satu dari lima bersaudara putra Raden Surowijaya, sesepuh samin.

Nggendeng (pura-pura gila) sering dilakukan oleh Prabu Puntadewa dalam menghadapi musuh-musuhnya. Saripan Sadi Hutomo dalam Basis, Januari 1985 menuliskan, di samping melakukan perlawanan, Samin Suro Sentiko juga mengajarkan untuk bagaimana berperilaku di dunia dan di akhirat yang diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Dengan format gerakan tersebut, Belanda akhirnya bersikap tegas. Tanggal satu maret 1907 Belanda menghambat gerakan samin dengan melakukan penangkapan. Aktivitas orang-orang samin di Kedung Tubanpun tercium oleh Belanda ketika orang-orang samin tengah melakukan selamatan. Belanda lalu melumpuhkan aktivitas-aktivitas orang-orang samin termasuk delapan pengikut Samin Suro Sentiko. Delapan murid setia samin surosentiko tersebut kemudian dibuang di luar Jawa yaitu di Ceylon(Sailon). sedangkan penangkapan Samin Surosentiko dilakukan setelah dia menerima panggilan Bupati Rembang dan dibuang bersama-sama dengan delapan muridnya. Namun, penangkapan dan pembuangan tersebut tidak menyurutkan perjuangan orang-orang Samin. Mereka tetap melakukan perlawanan-perlawanan terhadap Belada dan menyebarkan ajarannya. Pokok ajaran Samin Surosentiko (nama aslinya Raden Kohar, kelahiran Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, tahun 1859, dan meninggal saat diasingkan ke Padang, 1914) diantaranya: a. Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membedabedakan agama, yang penting adalah tabiat dalam hidupnya. b. Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati dan jangan suka mengambil milik orang lain. c. Bersikap sabar dan jangan sombong. d. Manusia harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya. e. Bila orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dilarang berdagang karena terdapat unsur ketidakjujuran didalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk apapun. Masyarakat Samin terkesan lugu, bahkan lugu yang amat sangat, berbicara apa

adanya, dan tidak mengenal batas halus kasar dalam berbahasa karena bagi mereka tindak-tanduk orang jauh lebih penting daripada halusnya tutur kata. Bahasa Suku Samin Bahasa yang digunakan oleh orang Samin yaitu bahasa kawi yang ditambah dengan dialek setempat, yaitu bahasa kawi desa kasar. Para pengikut Samin berpendapat, langkah swastanisasi kehutanan tahun 1875 yang mengambil alih tanahtanah kerajaan menyengsarakan masyarakat dan membuat mereka terusir dari tanah leluhurnya. Sebelumnya, pemahaman pengikut Samin adalah: tanah dan udara adalah hak milik komunal yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor hutan dan para pengelola dengan bahasa krama. Sebagai gantinya para saminis memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa yang sama, Jawa ngoko yang kasar alias tidak taklim. Sasaran mereka sangat jelas, para mandor hutan dan pejabat pemerintah Belanda. Ketika mandor hutan menarik pajak tanah, secara demonstratif mereka berbaring di tengah tanah pekarangannya sambil berteriak keras, Kanggo! (punya saya). Ini membuat para penguasa dan orang-orang kota menjadi sinis dan mengkonotasikan pergerakan tersebut sebagai sekadar perkumpulan orang tidak santun. Penguasa bahkan mendramatisasikan dengan falsafah Jawa kuno yang menyatakan Wong ora bisa basa! atau dianggap tak beradab. Akibatnya, para pengikut Samin yang kemudian disebut orang Samin, dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan. 4. Suku Bali Pulau Bali adalah bagian dari Kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112 km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa. Secara astronomis, Bali terletak di 82523 Lintang Selatan dan 1151455 Bujur Timur Ibu kota Bali adalah Denpasar. Tempat-tempat penting lainnya adalah Ubud sebagai pusat seni terletak di Kabupaten Gianyar, sedangkan Kuta, Sanur, Seminyak, Jimbaran dan Nusa Dua adalah beberapa tempat yang menjadi tujuan pariwisata, baik wisata pantai maupun tempat peristirahatan.Luas wilayah Provinsi Bali adalah 5.636,66 km2 atau

0,29% luas wilayah Republik Indonesia. Secara administratif Provinsi Bali terbagi atas 9 kabupaten/kota, 55 kecamatan dan 701 desa/kelurahan. Penghuni pertama pulau Bali diperkirakan datang pada 3000-2500 SM yang bermigrasi dari Asia. Peninggalan peralatan batu dari masa tersebut ditemukan di desa Cekik yang terletak di bagian barat pulau. Zaman prasejarah kemudian berakhir dengan datangnya ajaran Hindu dan tulisan Sansekerta dari India pada 100 SM. Kebudayaan Bali kemudian mendapat pengaruh kuat kebudayaan India yang prosesnya semakin cepat setelah abad ke-1 Masehi. NamaBalidwipa (pulau Bali) mulai ditemukan di berbagai prasasti, di antaranya Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada913 M dan menyebutkan kata Walidwipa. Diperkirakan sekitar masa inilah sistem irigasi subak untuk penanaman padi mulai dikembangkan. Beberapa tradisi keagamaan dan budaya juga mulai berkembang pada masa itu. Kerajaan Majapahit (12931500 AD) yang beragama Hindu dan berpusat di pulau Jawa, pernah mendirikan kerajaan bawahan di Bali sekitar tahun 1343 M. Saat itu hampir seluruh nusantara beragama Hindu, namun seiring datangnya Islam berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di nusantara yang antara lain menyebabkan keruntuhan Majapahit. Banyak bangsawan, pendeta, artis dan masyarakat Hindu lainnya yang ketika itu menyingkir dari Pulau Jawa ke Bali. Orang Eropa yang pertama kali menemukan Bali ialah Cornelis de Houtman dari Belanda pada 1597. Bahasa Bali Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia, sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual. Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi menjadi 2 yaitu, bahasa Aga yaitu bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Mojopahit, yaitu bahasa yang pengucapannya lebih halus.

Pengucapan Bahasa Bali hampir mirip dengan bahasa indonesia, bahasa Jawa dan bahkan bahasa inggris, hanya saja akhiran a pada kata2 Bali ada yang dibaca e walaupun tulisannya berakhiran a contoh : Indonesia Nasi Tangan Sepuluh Sembilan Makan Bali Nasi Tangan/ Lima (Lime) Dasa (Dase) Sia (Sie), Sanga (Sange) Ngajeng, Medaar, Merayunan, Neda (Nede) Bisa dilihat ada sedikit persamaan antara bahasa Bali dan Bahasa Jawa begitu juga Indonesia dan kata-kata lainnya juga begitu. Berikut sedikit contoh kalimat sehari-hari yang biasa diucapkan antara lain: Terima kasih Siapa nama kamu? Anda mau kemana? Kemana Anda tadi? Apa kabar? Baik-baik saja. Saya Saya sakit Besar Itu apa? Matur Sukma Sira panjenengan ragane? Lunga kija? Kija busan? Kenken kabare? Becik-becik kemantan (kemanten). Tiang Tiang gelem Ageng Napi punika? / Nika nike napi? / Ape ento? 5. Suku Dayak Suku dayak adalah suku atau penduduk asli yang bertempat tinggal di Kalimantan. Istilah kata dayak muncul pada akhir abad ke-19 dalam konteks pendudukan penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku suku yang tinggal di daerah pedalaman Kalimantan. Dayak mempunyai 450 subsuku yang tersebar di seluruh Kalimantan. Ada banyak versi tentang kelompok kelompok suku tersebut. Istilah Dayak secara kolektif merujuk kepada orang-orang nonMuslim atau non-Melayu yang merupakan penduduk asli Borneo pada umumnya. kumpulan berbagai subetnis Austronesia yang dianggap sebagai penduduk asli yang Jawa Nasi/ Sego Tangan Sepuluh/ Sedoso Songo Mangan, Dahar

mendiami Pulau Borneo (Sarawak, Brunei, Sabah dan Kalimantan). Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Di daerah selatan Kalimantan Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389. Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520). Tak ada batasan yang objektif seputar Dayak, dan karenanya satu-satunya jalan untuk menentukan apakah seseorang benar-benar Dayak adalah dengan mencari tahu apakah dia mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai Dayak, atau diidentifikasi sebagai Dayak oleh orang lain. Commans (1987) dan Djuweng (1996) mencatat bahwa pada awalnya Dayak adalah sebuah istilah yang bernada menghina yang diperuntukkan bagi orang-orang yang tinggal di pedalaman Kalimantan atau bagi orang-orang non-muslim Kalimantan. Tetapi sekarang orang-orang Dayak sendiri menggunakan istilah ini untuk mengidentifikasi diri mereka sendiri (Commons, 1987;Lahajir etal, 1993). Commons (1987) berpendapat bahwa pada dasawarsa-dasawarsa terakhir ini orang-orang Dayak menggunakan istilah itu untuk mencapai kepentingan-kepentingan kolektif dalam kebudayaan, ekonomi, dan politik. Schiller juga menulis bahwa pada tahun 1950-an dan 1960-an sebuah partai politik yang disebut Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia didirikan, sebagian sebagai cara untuk membangun sebuah provinsi Dayak dan dengan demikian lari dari kekuasaan politik pemerintah yang didominasi orang-orang muslim di Propinsi Kalimantan Selatan (1996:413).

Bahasa Dayak Bahasa Iban atau Bahasa Dayak Iban adalah bahasa yang digunakan etnik Dayak dari suku Iban yang tinggal di Pulau Kalimantan. Perbandingan dengan Bahasa Banjar

Melayu Sengsara Kemudian Nakal Contoh: a.b.

Iban merinsa dudi manchal

Banjar marista dudi macal

Anang manchal! - "Jangan nakal!" Apa kabar? - Nama berita? Siapakah nama anda? - Sapa nama nuan? Siapa datang dengan anda? - Sapa enggau nuan? Berapakah harga barang ini? - Berapa rega utai tu? Dimana ___ ? - Dini alai ____ ? Anda dari mana? - Ari ni penatai nuan? Sekarang pukul berapa? - Pukul berapa diatu? Sekarang pukul 5 - Diatu pukul 5 Saya mau pulang - Ka pulai dulu

c. d. e. f. g. h. i. 1.6. Suku Tolaki

Orang Tolaki mendiami wilayah daerah kabupaten Kendari dan kabupaten Kolaka di Sulawesi Tenggara. Keduanya adalah bekas wilayah Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga. Permukaan bumi wilayah propinsi ini, khususnya wilayah kabupaten Kendari dan Kabupaten Kolaka terdiri dan ditandai oleh gunung-gunung dan lembah daratan yang luas, yang ditutupi hutan lebat tetapi juga belukar dan alang-alang akibat perladangan liar oleh penduduk. Dipandang dari sudut kekayaan alam wilayah Sulawesi Tenggara dapat dipandang memang kaya. Kekayaan alam ini berupa: kekayaan hutan, kekayaan laut, sungai dan rawa, dan kekayaan bahan mineral. Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolahianga (orang dari langit). Menurut cerita mitologi, Kerajaan Konawe dan Kerajaan Mekongga masngmasing didirikan oleh dua orang bersaudara kakak-adik, ialah Wekoila dan Larumbalangi. Pusat kerajaan Konawe mula-mula di Olo-Oloho di desa Uepai

sekarang, kemudian pindah ke Unaaha. Kerajaan Mekongga mula-mula berlokasi di Bende, dan kemudian pindah ke Wundulako. Orang Tolaki kemudian terpencar ke utara sampai Routa, ke barat sampai Kondeeha lewat Mowewe dan kemudian ada yang sampai di Mekongga atau Konawe. Bahasa Tolaki Bahasa Tolaki adalah salah satu bahasa yang tergolong dalam keluarga bahasa Bungku-Laki. Bahasa Tolaki mempunyai paling sedikit dua dialek yaitu dialek bahasa Konawe, dan dialek bahasa Mekongga. Ditinjau dari segi lapisan social pemakainya, dalam bahasa Tolaki seperti juga bahasa yang lain, tampak bervariasi dalam beberapa gaya. Ada tiga jenis bahasa Tolaki, yaitu tulura anakia ( bahasa golongan bangsawan), tulura lolo (bahasa golongan menengah), dan tulura ata (bahasa golongan budak). Bahasa golongan bangsawan adalah bahasa yang dipakai dalam berkomunikasi antar sesame golongan bangsawan. Jika seseorang dari golongan menengah atau dari golongan budak berbicara kepada golongan bangsawan maka ia juga menggunakan kata-kata dalam bahasa bangsawan. Bahasa golongan menengah adalah bahasa yang dipakai dikalangan umum masyarakat. Berbeda dengan bahasa golongan bangsawan yang penuh dengan perasaan melebihkan, meninggikan, membesarkan, pada bahasa ini antara pembicara dan pendengar tidak ada perbedaan derajat meskipun beda umur, dan status sosial dalam mayarakat. Bahasa golongan budak adalah bahasa yang dipakai dalam kalangan budak. Bahasa ini disebut juga bahasa dalo langgai (bahasa orang-orang bodoh), maksudnya bahasa yang kurang mengikuti aturan bahasa umum agar mudah dipahami oleh pendengarnya.

7. Suku Gayo

Daerah yang merupakan wilayah tempat tinggal orang Gayo pada umumnya, terletak di tengah-tengah wilayah administratif yang kini disebut Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Wilayah tempat tinggal suku bangsa Gayo ini

dikenal juga dengan nama Daratan Tinggi Gayo. Dataran Tinggi ini merupakan bagian dari rangkaian Bukit Barisan yang melintasi Pulau Sumatera. Lingkungan alam yang berbukit-bukit ini, rupanya telah menyebabkan orang-orang Gayo terbagi kedalam kelompok-kelompok. Antara kelompok-kelompok itu sejak waktu yang relatif lama hampir tidak ada kontak satu dengan yang lain, karena tiadanya prasarana perhubungan yang baik. Wilayah kediaman orang Gayo ini merupakan wilayah yang paling terkurung di wilayah Daerah Istimewa Aceh; artinya prasarana perhubungan dunia luar sangat buruk dan jauh. Sejarah dari masyarakat Gayo, sampai sekarang dapat dikatakan masih belum terungkap dengan jelas. Bahan-bahan sejarah yang pernah ditulis, di samping sangat terbatas, tampaknya masih simpang siur. Dalam berbagai tulisan dikatakan bahwa orang Gayo adalah sekelompok orang tidak mau masuk Islam di daerah pantai, karena itu mereka melarikan diri ke pedalaman. Kata Gayo itu sendiri berasal dari kata kayo yang berarti takut atau melarikan diri. Ada juga legenda yang mengatakan bahwa orang Gayo pertama berasal dari Negeri Rum. Orang itu adalah seorang laki-laki yang bernama Genali, terdampar ke sebuah pulau kecil. Pulau kecil yang dimaksud adalah Pulau Sumatera sekarang. Orang ini mengadakan hubungan dengan anak raja dari negeri lain yaitu Negeri Johor dan kemudian mereka kawin. Putri Johor ini membawa penginang dan pengasuhnya, sehingga mulai saat itu berkembanglah penduduk pulau kecil tadi, di mana sebagai raja pertamanya adalah Genali sendiri. Sistem Kemasyarakatan Adanya pelapisan sosial dalam satu masyarakat tentunya mempunyai dasardasar tertentu, seperti dasar senoritas dalam umur, sifat keaslian, kekuasaan, kekayaan, kepandaian dan lain-lain. Tapi dalam masyarakat Gayo, pelapisan sosial itu tidak terlalu jelas dan ketat. Oleh sebab itu seakan-akan ada kecenderungan sering terjadi pergeseran dasar pelapisan sosial. Umumnya dalam suatu masyarakat seseorang dapat diketahui termasuk ke dalam suatu lapisan tertentu, dapat dilihat dari lambang-lambang status tertentu, misalnya dari pakaiannya, alat-alat yang

dipakainya, bentuk rumah tempat tinggal dan sebagainya. Lambang-lambang seperti itu hampir tak dapat ditemukan dalam masyarakat Gayo Bahasa Suku Gayo Semuanya menuturkan satu bahasa dengan perbedaan setempat yang agak kecil berupa logat dan kebiasaan tuturan. Contohnya adalah penduduk Bobasan dan Pegaseng dengan segala yang termasuk di situ dapat dibedakan karena penggunaan beberapa kata dan ucapan yang khas dari beberapa vokal, dengan para penghuni lainnya di daerah Danau. Di Gayo Luos, terdapat konsonan pada akhir kata suku, diucapkan kurang lebih seperti di Jawa Tengah meskipun suku kata itu diikuti oleh akhiran yang mulai dengan vokal. Sebaliknya di tanah Gayo lainnya konsonan k itu pada akhir suku kata hanya didengar kurang lengkap dan di antara dua vokal selalu didengan dengan kuat. Contoh Percakapan perkenalan dalam bahasa Gayo: Basa Gayo = Bahasa Gayo Sahen Geral ni Kam = Siapa nama Kamu Geralku Sejuk = Nama saya Sejuk Hana kber? = Apa kabar? Kber jeroh = Kabar baik Nge ke mangan? = Sudah makan? Gre ilen = Belum I Gayo ko taring i sihen? = Di Gayo kamu tinggal dimana? Aku taring i Lut Kucak = Saya tinggal di Lut Kucak Selo gh w ku umahku? = Kapan dia datang ke rumah saya? Ama mal beluh ku Linge serloni = Ayah akan pergi ke Linge hari ini Singah ku umah = Mampir ke rumah Barik selo ike ara masa = Kapan-kapan kalau ada waktu I pangan yoh, enti keml-keml! = Ayo dimakan, jangan malu-malu! Aku mal ulak = Saya mau pulang Tengah ngune? = Sedang apa? Tengah mubasuh = Sedang mencuci/membasuh

Telah disinggung sebelumnnya bahawa pelapisan sosial pada masyarakat Gayo tidak terlalu kentara, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa penggunaan bahasa dalam masyarakat Gayo tidak ada aturan tingkat-tingkatannya. Setidaknya masih ada orang yang lebih tua yang harus dihormati dan orang yang lebih muda untuk diajari nilai-nilai kesopanan dari bahasa yang digunakan masyarakat setempat. Namun sayangnya hal itu tidak ditemukan dalam proses pencarian bahan makalah kali ini. C. Penjelasan Bahasa merupakan alat vital dalam kehidupan kita. Bahasa Indonesia, misalnya, mempersatukan rakyat Indonesia yang berasal dari berbagai penjuru dan daerah, dengan berbagai latar belakang dan budaya. Begitu pula halnya dengan bahasa daerah yang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul dalam situasi tertentu. Sepeti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita. Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dan simbolik, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Pemakaian bahasa daerah secara tidak langsung memaksa kita untuk menyesuaikannya dengan kondisi atau status orang yang kita ajak berbicara. Hal ini bermakna sebagai penghormatan kita terhadap orang lain yang berbeda generasi atau status sosial. Makna-makna ini diciptakan dalam bahasa yang juga digunakan orang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya. Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai dirinya sendiri dan untuk berinteraksi dengan orang lainnya dalam sebuah komunitas.

BAB III PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas relasi antara bahasa daerah sebagai sarana komunikasi dan simbolik antar generasi adalah: 1. Bahasa daerah memiliki 3 tingkatan dalam penggunaannya, yaitua.

Gaya bahasa untuk orang yang lebih tua atau dihormati Gaya bahasa untuk orang yang sebaya umur atau kelas/ jabatannya Gaya bahasa untuk orang yang lebih muda atau rendah kelasnya

b.c.

2. Pemaknaan yang timbul dalam penggunaan bahasa dan simbol tersebut

bergantung pada orang yang memakai dan diberi makna. Bisa berbedabeda tiap orangnnya.3. Bahasa yang merupakan norma sosial membatasi perilaku individu pada

individu atau kelompok lain dalam satu komunitas. Dalam hal ini konteksnya adalah nilai-nilai kesopanan.4. Bahasa daerah yang dikembangkan dan dilestarikan dengan baik selain dapat

menumbuhkan rasa cinta terhadap budaya sendiri juga dapat mempererat hubungan kekerabatan antar pengguna bahasa yang sama. Semakin banyak kita paham suatu bahasa, makin dalam kita memaknai suatu peristiwa. Bahasa membuka manusia untuk mengembangkan kemampuan perasaan diri dan untuk melakukan interaksi diri dengan yang lain dalam suatu komunikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman. 1978, Kedudukan Hukum Adat dalam rangka Pembangunan Nasional, Penerbit Alumni. Bandung Ali, Chidir. 1981, Hukum Adat Bali dan Lombok. Penerbit Pradnya Paramamita. Jakarta Pusat Hurgonje, Snouck C. 1996, Tanah Gayo dan Penduduknya. INIS. Jakarta Tarimana, Abdurrauf. 1993, Kebudayaan Tolaki. Penerbit Balai Pustaka. Jakarta Maunati, Yekti. 2004, IDENTITAS DAYAK Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, Penerbit LKis Yogyakarta. Yogyakarta Melalatoa,MJ. 1982, Kebudayaan Gayo. Penerbit PN Balai Pustaka. Jakarta Sedyawati, Edi. 2003, Warisan Budaya Takbenda. Penerbit Pusat penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Depok