spondilitis tuberkulosa
DESCRIPTION
KeperawatanTRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUANASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN SPONDILITIS
TUBERKULOSA
DISUSUN OLEH :RUDY ALFIYANSAH
KHG.D.12027
PROGRAM STUDY PROFESI NERSSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARSA HUSADA
GARUT2012
DEFINISI
Spondilitis tuberkulosa torakolumbal adalah suatu proses peradangan pada kolumna vertebrata yang disebabkan oleh kuman tuberculosis yang menyebar secara hematogen pada kolumna vertebra torakolumbal.
ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang
paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies
Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti
Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine
tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada
penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi
pola resistensi obat.
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat
acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional.
Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara
lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan
karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya
dengan spesies lain.
KLASIFIKASI
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1) Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada daerah
sentral vertebra.
2) Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada diskus.
Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3) Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium
destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis
atau gibbus.
4) Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di daerah
ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia
yaitu:
i. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh.
Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
ii. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat
melakukan pekerjaannya.
iii. Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas
penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia.
iv. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan
miksi. TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau
lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif,
paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau
kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan
pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara
perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi dan
gangguan vaskuler vertebra
5) Stadium deformitas residua
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau
gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang massif di depan (Savant,
2007).
MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada anak-
anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke garis
tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh tertekannya radiks
dorsalis di tingkat torakal.
d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
e. Deformitas pada punggung (gibbus)
f. Pembengkakan setempat (abses)
g. Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses
destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis yang
menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas
defisit sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian,
2005).
PATOFISIOLOGI
Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian, terjadi hyperemia dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan pelunakan korpus. Selanjutnya, terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus invertebra, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan akan menyebabkan terjadinya kifosis.
Kemudian, eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, tulang yang fibrosis, dan basil tuberkulosa) menyebar kedepan, dibawah ligament longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligament dan berekspansi ke berbagai arah sepanjang garis ligament yang lemah.
Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap ada di daerah toraks setempat, menempati daerah paravertebral, berebentuk massa yang menonjol dan fusiform. Pada kondisi lanjut, kerusakan kolumna vertebra menjadi lebih jelas dengan destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan berbentuk sekuetrum dan kerusakan diskus inverteba.
PEMERIKSAAN FISIK
Anamnesa dan inspeksi :
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam
yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia.
Pada pasien anak-anak, dapat juga terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar
rumah. Sering tidak tampak jelas pada pasien yang cukup gizi sementara pada pasien
dengan kondisi kurang gizi, maka demam (terkadang demam tinggi), hilangnya berat
badan dan berkurangnya nafsu makan akan terlihat dengan jelas.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri
dada. Pada beberapa kasus di Afrika terjadi pembesaran dari nodus limfatikus, tuberkel
di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar.
Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telingan atau
nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang
terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagiatorakal n bawah maka nyeri dapat
berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan
beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kakipendek,
karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya,
mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga
oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital. Rigiditas pada leher dapat
bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga
mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka
tampak pembengkakan di kedua sisi leher. Abses yang besar, terutama pada anak, akan
mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan
dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang
dewasa akan menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi atlantoaksial
karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi
cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena
gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal (Lal et al. 1992).
6. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat
mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan
punggungnya tetap kaku (coin test). Jika terdapat abses, maka abses dapat berjalan di
bagian kiri atau kanan mengelilingi rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan
lunak dinding dada. Jika menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat
menekan korda spinalis dan menyebabkan paralisis.
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di
atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis
dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan
lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan
meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan
deformitas fleksi sendi panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang),
skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi pada
kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di
temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak
spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola
jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi
gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut
seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi
mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa
Palpasi :
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya
terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik
yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx,
atau di sisi leher (di belakang otot sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi.
Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan
antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena.
Perkusi :
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae
yang terkena, sering tampak tenderness
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LABORATORIUM :
1.1 Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
1.2 Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD)
positif. Hasil yang positif dapat timbul pada kondisi pemaparan dahulu maupun
yang baru terjadi oleh mycobacterium. Tuberculin skin test ini dikatakan positif
jika tampak area berindurasi, kemerahan dengan diameter ≥ 10mm di sekitar
tempat suntikan 48-72 jam setelah suntikan. Hasil yang negatif tampak pada ±
20% kasus (Tandon and Pathak 1973; Kocen 1977) dengan tuberkulosis berat
(tuberkulosis milier) dan pada pasien yang immunitas selulernya tertekan (seperti
baru saja terinfeksi, malnutrisi atau disertai penyakit lain)
1.3 Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan
bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paruparu yang aktif)
1.4 Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif.
1.5 Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins,
typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada pusat
kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa
banding.
1.6 Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).
Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan kemungkinan infeksi TBC.
Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial akan memberikan hasil yang lebih
baik. Cairan serebrospinal akan tampak:
Xantokrom
Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal.
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut
responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen
and Parsons 1970; Traub et al 1984).
Kandungan protein meningkat.
Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat
kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan.
Pada keadaan arachnoiditis tuberkulosa (radiculomyelitis), punksi lumbal
akan menunjukkan genuine dry tap. Pada pasien ini adanya peningkatan
bertahap kandungan protein menggambarkan suatu blok spinal yang
mengancam dan sering diikuti dengan kejadian paralisis. Pemberian steroid
akan mencegah timbulnya hal ini (Wadia 1973). Kandungan protein cairan
serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 1-4g/100ml.
Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi
yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap
infeksi.
2. RADIOLOGIS :
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
1. Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
2. Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8
minggu onset penyakit.
3. Jika mungkin lakukan rontgen dari arah antero-posterior dan lateral.
4. Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior
corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak
penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae
anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area
subligamentous.
5. Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau
prosesus spinosus.
6. Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya deformita
scoliosis (jarang)
7. Pada pasien dengan deformitas gibbus karena infeksi sekunder tuberkulosa yang
sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari
lebarnya (vertebra yang normal mempunyai rasio lebar lebih besar terhadap
tingginya). Bentuk ini dikenal dengan nama long vertebra atau tall vertebra, terjadi
karena adanya stress biomekanik yang lama di bagian kaudal gibbus sehingga vertebra
menjadi lebih tinggi. Kondisi ini banyak terlihat pada kasus tuberkulosa dengan pusat
pertumbuhan korpus vertebra yang belum menutup saat terkena penyakit
tuberkulosa yang melibatkan vertebra torakal.
8. Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas.
Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi.
Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami
peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan. Deteksi
(evaluasi) adanya abses epidural sangatlah penting, oleh karena merupakan salah satu
indikasi tindakan operasi (tergantung ukuran abses).
COMPUTED TOMOGRAPHY – SCAN (CT)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga
yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior
seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.
MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat
kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang
belakang. Bermanfaat untuk :
Membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat
konservatif atau operatif.
Membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di
abses.
PENATALAKSANAAN UMUM
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk
menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau
defisit neurologis. Prinsip pengobatan Pottds paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).
Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:
TERAPI KONSERVATIF
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:
i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
a. Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan
Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
b. Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu selama 4
bulan (54 kali).
ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan,
termasuk penderita yang kambuh.
1. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi
hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3 kali
seminggu selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan
spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada
vertebra.
TERAPI OPERATIF
a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita diberikan obat
tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka,
debrideman, dan bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan
adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita
spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam beberapa
hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan
kifosis.
a. Cold absces
Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi spontan
dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
b. Lesi tuberkulosa
1) Debrideman fokal.
2) Kosto-transveresektomi.
3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
c. Kifosis
1) Pengobatan dengan kemoterapi.
2) Laminektomi.
3) Kosto-transveresektomi.
4) Operasi radikal.
5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang.
Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi
untuk bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau
operasi radikal (Graham, 2007)
PENGKAJIAN
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis.
2) Riwayat penyakit sekarang.
Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung bagian
bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai
nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan meningkat pada
malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang.
Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu makan menurun,
badan terasa lemah, sumer-sumer (Jawa) , keringat dingin dan penurunan berat badan.
3) Riwayat penyakit dahulu
Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada klien di dahului
dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru.
4) Riwayat kesehatan keluarga.
Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab timbulnya
adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita penyakit
tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit menular
tersebut.
5) Riwayat psikososial
Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan
sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan
terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga
emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai penderita.
6) Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi
persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien
mengerti benar perjalanan penyakitnya. Sehingga menimbulkan salah persepsi
dalam pemeliharaan kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya riwayat
tentang keadaan perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang mempengaruhi
keadaan kesehatan klien.
b. Pola nutrisi dan metabolisme.
Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan
amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat, sehingga
klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya.
c. Pola eliminasi.
Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke kamar
mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanya penata
laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAK harus ditempat
tidur dengan suatu alat. Dengan adanya perubahan tersebut klien tidak terbiasa
sehingga akan mengganggu proses eliminasi.
d. Pola aktivitas.
Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta
penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi
aktivitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik
tersebut.
e. Pola tidur dan istirahat.
Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak hospitalisasi
akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat.
f. Pola hubungan dan peran.
Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau tidak
mampu menjalani peran sebagai mana mestinya, baik itu peran dalam keluarga
ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya hubungan
interpersonal.
g. Pola persepsi dan konsep diri.
Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk
tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
h. Pola sensori dan kognitif.
Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi
komplikasi paraplegi.
i. Pola reproduksi seksual.
Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan terganggu
untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal curahan kasih
sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya melalui cara merawat sehari-hari
tidak terganggu atau dapat dilaksanakan.
j. Pola penaggulangan stres.
Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya , akan
mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasa stres, klien
akan bertanya - tanya tentang penyakitnya untuk mengurangi stres.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan.
Pada klien yang dalam kehidupan sehari-hari selalu taat menjalankan ibadah, maka
semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan kemampuannya.
Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula sebagai penaggulangan stres
dengan percaya pada tuhannya.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
b. Nyeri b.d proses peradangan
c. Resiko kerusakan integritas kulit b/d imobilisasi fisik
PROSES KEPERAWATAN
Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskuler
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Gangguan mobilitas fisik
Berhubungan dengan : - Gangguan metabolisme sel- Keterlembatan perkembangan- Pengobatan - Kurang support lingkungan- Keterbatasan ketahan
kardiovaskuler- Kehilangan integritas struktur
tulang- Terapi pembatasan gerak - Kurang pengetahuan tentang
kegunaan pergerakan fisik - Indeks massa tubuh diatas 75
tahun percentil sesuai dengan usia - Kerusakan persepsi sensori - Tidak nyaman, nyeri - Kerusakan muskuloskeletal dan
neuromuskuler - Intoleransi aktivitas/penurunan
kekuatan dan stamina- Depresi mood atau cemas - Kerusakan kognitif - Penurunan kekuatan otot, kontrol
dan atau masa - Keengganan untuk memulai gerak - Gaya hidup yang menetap, tidak
digunakan, deconditioning - Malnutrisi selektif atau umum
DO:- Penurunan waktu reaksi- Kesulitan merubah posisi- Perubahan gerakan (penurunan
untuk berjalan, kecepatan, kesulitan memulai langkah pendek)
- Keterbatasan motorik kasar dan halus
- Keterbatasan ROM- Gerakan disertai nafas pendek
atau tremor- Ketidak stabilan posisi selama
melakukan ADL- Gerakan sangat lambat dan tidak
terkoordinasi
NOC : Joint Movement : Active Mobility Level Self care : ADLs Transfer performance
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….gangguan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil: Klien meningkat dalam
aktivitas fisik Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas Memverbalisasikan perasaan
dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
NIC :Exercise therapy : ambulation Monitoring vital sign sebelm/sesudah latihan dan
lihat respon pasien saat latihan Konsultasikan dengan terapi fisik tentang
rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
berjalan dan cegah terhadap cedera Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain
tentang teknik ambulasi Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
secara mandiri sesuai kemampuan Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan
bantu penuhi kebutuhan ADLs ps. Berikan alat Bantu jika klien memerlukan. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
berikan bantuan jika diperlukan
Nyeri b.d proses peradangan
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan dengan:
Agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis), kerusakan jaringan
DS:- Laporan secara verbal
DO:- Posisi untuk menahan nyeri - Tingkah laku berhati-hati- Gangguan tidur (mata sayu,
tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri - Fokus menyempit (penurunan
persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan)
- Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu makan dan minum
NOC : Pain Level, pain control, comfort level
Setelah dilakukan tinfakan keperawatan selama …. Pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: Mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Tanda vital dalam rentang normal
Tidak mengalami gangguan tidur
NIC : Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan Kurangi faktor presipitasi nyeri Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala,
relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……... Tingkatkan istirahat Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab
nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri Kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikososial kronis (metastase kanker, injuri neurologis, artritis)
DS:- Kelelahan- Takut untuk injuri ulang
DO:- Atropi otot- Gangguan aktifitas- Anoreksia- Perubahan pola tidur- Respon simpatis (suhu dingin,
perubahan posisi tubuh , hipersensitif, perubahan berat badan)
NOC: Comfort level Pain control Pain level
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama …. nyeri kronis pasien berkurang dengan kriteria hasil: Tidak ada gangguan tidur Tidak ada gangguan
konsentrasi Tidak ada gangguan
hubungan interpersonal Tidak ada ekspresi menahan
nyeri dan ungkapan secara verbal
Tidak ada tegangan otot
NIC :
Pain Manajemen- Monitor kepuasan pasien terhadap manajemen
nyeri- Tingkatkan istirahat dan tidur yang adekuat- Kelola anti analgetik ...........- Jelaskan pada pasien penyebab nyeri- Lakukan tehnik nonfarmakologis (relaksasi,
masase punggung)
Resiko kerusakan integritas kulit b/d imobilisasi fisik
Diagnosa Keperawatan/ Masalah Kolaborasi
Rencana keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Risiko gangguan integritas kulit
Faktor-faktor risiko:
Eksternal : - Hipertermia atau hipotermia - Substansi kimia - Kelembaban udara - Faktor mekanik (misalnya : alat
yang dapat menimbulkan luka, tekanan, restraint)
- Immobilitas fisik - Radiasi - Usia yang ekstrim - Kelembaban kulit - Obat-obatan - Ekskresi dan sekresi
NOC : - Tissue Integrity : Skin and
Mucous Membranes- Status Nutrisi- Tissue Perfusion:perifer- Dialiysis Access Integrity
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…. Gangguan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil: Integritas kulit yang baik bisa
dipertahankan Melaporkan adanya
gangguan sensasi atau nyeri pada daerah kulit yang mengalami gangguan
Menunjukkan pemahaman
NIC : Pressure Management Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
longgar Hindari kerutan padaa tempat tidur Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua
jam sekali Monitor kulit akan adanya kemerahan Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah
yang tertekan Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien Monitor status nutrisi pasien Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat Gunakan pengkajian risiko untuk memonitor faktor
risiko pasien (Braden Scale, Skala Norton) Inspeksi kulit terutama pada tulang-tulang yang
menonjol dan titik-titik tekanan ketika merubah posisi pasien.
Jaga kebersihan alat tenun Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian tinggi
Internal : - Perubahan status metabolik - Tulang menonjol - Defisit imunologi - Berhubungan dengan dengan
perkembangan - Perubahan sensasi - Perubahan status nutrisi
(obesitas, kekurusan) - Perubahan pigmentasi - Perubahan sirkulasi - Perubahan turgor (elastisitas
kulit)- Psikogenik
dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang
Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami
Status nutrisi adekuat Sensasi dan warna kulit
normal
protein, mineral dan vitamin Monitor serum albumin dan transferin
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Johnson & Mass. 2008. Nursing Outcomes Classifications. 2nd edition. New York: Mosby-Year
Book inc
McCloskey & Bulechek. 2008. Nursing Interventions Classifications. 4th edition. New York:
Mosby-Year Book inc
NANDA. 2009-2011. Nursing Diagnosis: Definitions and classification. Philadelphia, USA