speaking english by using role play technique amongst students of
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian ini menggunakan beberapa referensi yang diambil dari referensi hasil
penelitian terdahulu. Adapun penelitian yang mengangkat topik yang sama dan masih
berhubungan dengan penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut.
Penelitian pertama yang digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini
dilakukan oleh Harun (2010) dengan penelitian yang berjudul “Role Play dalam
Pembelajaran Speaking di Kelas III Sekolah Dasar (Penelitian Tindakan Kelas di
Kelas III Sekolah Dasar Laboratorium UPI Kampus Cibiru Kecamatan Cileunyi
Kabupaten Bandung)”. Penelitian ini mengangkat topik bermain peran sebagai salah
satu teknik yang diterapkan dalam upaya meningkatkan kemampuan bicara
pembelajar. Peneliti menerapkan tiga siklus dalam penelitiannya. Pada tiap siklus
lanjutan peneliti memberikan materi yang menarik sesuai dengan kehidupan
keseharian pembelajar. Pada tiap-tiap siklus terdapat peningkatan yang signifikan:
siklus I sebesar 40,7%, siklus II 55,5%, dan siklus III sebesar 74 %. Penelitian tidak
hanya dipusatkan penerapan teknik, tetapi keterampilan berbicara pembelajar juga
dikaji, seperti kemampuan ekspresif dan pelafalannya. Secara umum penelitian yang
dilakukan oleh Harun dan penelitian ini sama-sama mengkaji keterampilan berbicara
11
pembelajar dengan menggunakan teknik bermain peran di dalamnya, tetapi
perbedaannya dapat dilihat dari objek penelitian. Penelitian Harun mengenai
penelitian teknik bermain peran diterapkan pada pembelajar kelas III sekolah dasar
yang termasuk ke dalam pengajaran pedagogi, sedangkan objek penelitian dalam
penelitian ini adalah mahasiswa yang termasuk ke dalam andragogi. Dilihat dari jenis
penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Harun merupakan penelitian PTK karena
yang diteliti adalah peningkatan kemampuan berbicara. Sebaliknya, penelitian ini
termasuk dalam action research, namun penelitian tidak difokuskan pada
peningkatan kemampuan pembelajar, tetapi juga data yang dihasilkan oleh
pembelajar dilihat dari unsur linguistiknya, yaitu pelafalan (fonetik) dan tindak tutur
(pragmatik) serta hambatan yang dialami mahasiswa.
Penelitian yang dilakukan oleh Siska (2011) dalam Jurnal UPI yang berjudul
“Penerapan Metode Bermain Peran (Role Playing) dalam Meningkatkan
Keterampilan Sosial dan Keterampilan Berbicara Anak Usia Dini (Penelitian
Tindakan Kelas di Kelas B Taman Kanak-kanak Al Kautsar Bandar Lampung Tahun
Ajaran 2010-2011)”. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Harun,
dalam penelitian ini diterapkan tiga siklus. Ketiga siklus tersebut menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan yang signifikan, pada siklus I, siklus II maupun siklus ke
III dalam hal meningkatkan keterampilan sosial dan keterampilan berbicara. Dari
penelitian itu diketahui bahwa jenis kelamin memengaruhi perkembangan sosial dan
bahasa anak. Artinya, anak perempuan menunjukkan perkembangan yang lebih cepat
12
daripada anak laki-laki. Selain peningkatan yang terjadi, dalam penelitian ini
ditemukan beberapa kendala, seperti media bermain peran yang sulit, orang tua yang
beranggapan bahwa bermain peran bukan suatu proses pembelajaran, kurangnya
pengetahuan guru dalam menerapkan metode bermain peran, serta sarana dan prasana
dalam lingkungan sekolah yang kurang memadai. Secara keseluruhan penelitian yang
dilakukan oleh Siska dan penelitian ini sama-sama meneliti kemampuan berbicara
pembelajar dan penerapan teknik yang sama, tetapi penelitian yang dilakukan oleh
Siska menambahkan unsur keterampilan sosial di dalamnya. Dilihat dari segi jenis
dan objek penelitian memiliki perbedaan. Siska meneliti teknik bermain peran untuk
meningkatan kemampuan pebelajar yang disebut PTK sedangkan pada penelitian ini
teknik bermain peran menjadi sarana untuk mengkaji ilmu kelinguistikan di
dalamnya. Sama halnya dengan objek penelitian yang dimiliki oleh Harun, penelitian
yang dilakukan oleh Siska juga diterapkan kepada objek penelitian terhadap
pembelajar usia dini atau PAUD yang tergolong ke dalam pengajaran pedagogi.
Sebaliknya, penelitian ini diterapkan pada pembelajar dewasa (mahasiswa) yang
tergolong ke dalam pengajaran andragogi.
Kajian pustaka ketiga berkaitan erat dengan pragmatik yang dilakukan oleh
Budiarsa dkk.(2009) dengan judul “Bentuk, Fungsi, dan Makna Pragmatik Tuturan
Pemandu Wisata di Daerah Pariwisata Badung dan Denpasar, Bali”. Dalam penelitian
ini dianalisis data yang berupa dialog yang mengandung unsur-unsur pragmatik dan
berlatar belakang budaya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ungkapan verbal
13
yang digunakan sebagian besar dalam bentuk tindak tutur langsung dan berfungsi
ekspresif, sedangkan makna pragmatik dari tuturan adalah makna lokusi seperti
leksikon yang membentuk tuturan tersebut. Dari tingkat kesantunan diketahui bahwa
tuturan verbal pemandu wisata pada umumnya sangat santun, sedangkan dialek yang
digunakan menunjukkan kedekatan hubungan antara pemandu wisata dan wisatawan
dan melalui bahasa telah terjadi kontak budaya antara pemandu wisata dan
wisatawan. Kesamaan penelitian yang dilakukan oleh Budiarsa dkk. dengan
penelitian ini adalah sama-sama mengangkat unsur pragmatik di dalamnya. Akan
tetapi, dalam penelitian ini terdapat unsur applied linguistic, yaitu proses belajar
mengajar dalam proses pemerolehan data yang berupa ujaran-ujaran (tindak tutur
mahasiswa) dan pelafalan (pronounciation) yang dihasilkan oleh mahasiswa Jurusan
Kantor Depan PPLP MAPINDO.
2.2 Konsep
1. Keterampilan Berbicara (Speaking)
Tarigan (2008:17) mendefinisikan keterampilan berbicara sebagai kemampuan
mengungkapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan,
menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Hornby (2005)
mendefinisikan berbicara (speaking), sebagai”to talk to somebody about something,
to have a conversation with somebody”. Jadi, berbicara adalah sebuah kegiatan yang
14
dilakukan seseorang kepada orang lain tentang suatu hal atau kegiatan percakapan
yang dilakukan seseorang kepada orang lain.
2. Keterampilan Berbahasa
Dalam berkomunikasi atau berbicara diperlukan sebuah alat yang disebut bahasa.
Hornby (1974) mendefinisikan bahasa itu sendiri sebagai berikut “ language is a
human and non instinctive method of communicating ideas, feeling, and desires by
means of a system of sound and sound symbols”. Dari definisi di atas dapat dikatakan
bahwa bahasa memiliki fungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan ide,
perasaan, dan keinginan dalam bentuk bunyi dan simbol bunyi. Dalam penelitian ini
bahasa Inggris menjadi bahasa yang diteliti karena bahasa Inggris merupakan bahasa
internasional dan menjadi bahasa asing yang sering digunakan di Indonesia. Dalam
pemerolehan bahasa kedua atau asing dapat dibagi menjadi dua proses pemerolehan
seperti yang diutarakan oleh Klein (1986:15).
“A second language can be acquired in a variety of ways, at any age, for
different purposes, and to varying degrees. Accordingly, we may
distinguish different types of second language learning. Traditionally, a
fundamental distinction has been made between tutored (guided) and
untutored (spontaneous) language learning.”
Dari kutipan di atas Klein berpendapat bahwa dalam proses pemerolehan bahasa
kedua dapat terjadi dalam berbagai cara, usia, dan tujuan apa pun. Secara tradisional
proses pemerolehan bahasa dapat muncul karena dua jenis pembelajaran, baik
diajarkan secara langsung, yaitu adanya keterlibatan pendidik maupun secara alami
atau spontan karena faktor lingkungan.
15
3. Teknik
Menurut Anthony (1963), “A technique is implementational that which actually
take place in the classroom. It is particular tricks, stratagem, or contrivance, used to
accomplish an immediate objective. Technique must be consistent with a method, and
therefore in harmony with an approach as well.”
Jadi, dapat dikatakan bahwa teknik adalah pelaksanaan pembelajaran yang terjadi di
dalam kelas yang dapat berupa trik, siasat, atau penemuan yang digunakan untuk
mencapai tujuan dari pembelajaran. Teknik juga harus konsisten dengan metode dan
selaras dengan pendekatan.
4. Bermain Peran
Bermain peran merupakan salah satu teknik pembelajaran yang digunakan dalam
proses belajar mengajar khususnya pada keterampilan bercakap-cakap. Berikut
adalah beberapa definisi mengenai teknik bermain peran. Menurut Hadfield (1986),
bermain peran adalah sejenis permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan, aturan,
dan sekaligus melibatkan unsur senang. Dalam bermain peran pembelajar
diperlakukan sebagai subjek pembelajaran, secara aktif melakukan paktik-praktik
berbahasa (bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris) bersama teman-temannya
pada situasi tertentu (Muslich, 2010:247).
Menurut Cross (1991:282), teknik bermain peran termasuk dalam drama
activities. Cross membagi drama activities menjadi empat, yaitu sebagai berikut.
1) Role adoption, yaitu istilah untuk menggambarkan jenis kegiatan drama di
mana hanya satu pembelajar dari kelompok pasangan mengambil identitas
baru, mengubah praktik dan eksploitasi teks ke dalam kinerja nyata. Peran
16
adopsi juga bisa didasarkan pada karakter dalam suatu bagian membaca
dalam buku teks. Salah satu dari setiap pasangan menjadi karakter utama
dari teks dan pasangan bebas untuk mengajukan pertanyaan kepada tokoh
tersebut.
2) Prescribed role play, yaitu kegiatan dalam bentuk drama karena kegiatan
ini lebih difokuskan pada situasi fungsional dengan serangkaian tugas
yang harus diselesaikan dalam situasi tertentu. Biasanya siswa diajarkan
ekspresi yang diperlukan dan telah dirumuskan sebelumnya dan kosa kata
yang terkait. Jenis bermain peran ini menawarkan latihan kepada
pembelajar untuk di kemudian hari, komunikasi dengan melibatkan
pembelajar dalam situasi simulasi, memaksa mereka untuk memenuhi
kebutuhan dan mengekspresikan makna dengan menggunakan sumber
linguistik yang terbatas. Penerapan bermain peran ini biasanya
menggunakan media yang disebut talk cards. Pembelajar menggunakan
kartu tersebut sebagai dasar topik dalam berkomunikasi.
3) Free role play; pada teknik ini para pembelajar merancang adegan mereka
sendiri. Keuntungan dari penerapan jenis permainan peran ini adalah
pembelajar yang kurang kemampuannya dapat membatasi diri pada
kemampuan mereka. Sebaliknya, pembelajar yang memiliki kemampuan
lebih ada kebebasan untuk berkreasi dan pengambilan risiko. Pada
17
penerapan teknik ini digunakan beberapa teks yang berisi petunjuk yang
bisa dijadikan topik dalam percakapan.
4) Free role play from a text, Selain menggunakan teks ada teknik free role
play tanpa menggunakan teks. Pada permainan peran jenis ini tidak ada
persiapan waktu sebelumnya, baik bagi pembelajar maupun pengajar.
Beberapa orang ditunjuk untuk maju ke depan kelas menjadi orang-orang
yang digambarkan dalam sebuah insiden dalam sehari- hari.
2.3 Kerangka Teori
2.3.1 Pemerolehan Bahasa Kedua
Arifuddin (2010: 114) mengemukakan dua pemerolehan bahasa yang dialami
manusia yaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.
Pemerolehan bahasa pertama atau bahasa ibu adalah bahasa yang diperoleh pertama
kali dan pemerolehan bahasa kedua adalah kajian tentang bagaimana pembelajar
mempelajari sebuah bahasa lain setelah dia memperoleh bahasa ibunya. Proses
pemerolehan bahasa dapat terjadi dalam berbagai cara, usia, dan tujuan apa pun.
Terdapat dua jenis proses pembelajaran bahasa kedua yaitu pemerolehan secara
langsung atau spontan dan pemerolehan bahasa dengan cara dipandu (guided
learning). Pemerolehan secara spontan atau langsung menunjukan pemerolehan
bahasa dalam kehidupan sehari-hari dengan cara alami, dan bebas dari bimbingan
18
yang sistematis. Berbeda dengan pembelajaran dengan spontan dalam guided
language learning, setiap pemerolehan bahasa 'dipandu' oleh beberapa faktor, seperti
misalnya ruang lingkup dan jenis data linguistik yang tersedia untuk pelajar. Proses
ini dapat kita jumpai di sekolah dimana dalam proses pembelajaran bahasa kedua ini
akan mengacu kepada sistematik bahasa kedua, dan tentunya dalam proses ini metode
„belajar sendiri‟ sudah termasuk didalamnya (Klein, 1986:15).
Hynes (2007:30) mengemukakan beberapa tahapan pemerolehan bahasa kedua
sebagai berikut:
1) Pre-production (Silent Period)
Pre-production atau Silent Period ini dapat berlangsung selama 10 jam
hingga enam bulan. Pada tahap ini, seseorang yang baru mengenal bahasa
Inggris dapat memberikan respon terhadap gambar-gambar atau hal-hal visual
lainnya dengan menggunakan beberapa cara seperti menunjuk, melakukan
sesuatu kegiatan, menggunakan isyarat-isyarat (menggeleng dan
mengangguk).
2) Early Production
Tahap Early Production ini dapat berlangsung selama enam bulan berikutnya
setelah tahap Silent Period. Frasa-frasa satu atau dua kata mulai bisa
diungkapkan dan pemahaman materi-materi baru dapat ditunjukkan dengan
memberikan jawaban-jawaban singkat untuk pertanyaan-pertanyaan yes/no,
either/or, atau pertanyaan-pertanyaan yang menggunakan who/what/where.
19
3) Speech Emergence
Tahap Speech Emergence dapat berlangsung hingga satu tahun berikutnya.
Kemampuan berdialog dan bertanya serta menjawab pertanyaan-pertanyaan
sederhana diperoleh pada tahap ini. Kalimat-kalimat yang lebih panjang dapat
diproduksi meskipun masih terdapat kekurangan seperti grammatical errors
dalam berkomunikasi.
4) Intermediate Proficiency
Tahap Intermediate Proficiency dapat berlangsung sekitar setahun setelah
tahap speech emergence. Salah satu ciri yang mulai tampak pada tahap ini
adalah produksi kalimat-kalimat yang lebih kompleks. Seseorang dapat
menyatakan pendapat, mengajukan pertanyaan untuk klarifikasi, berbagi
pendapat atau bertukar pikiran, dan berbicara lebih lama dalam bahasa
Inggris.
5) Advanced Fluency
Pada tahap Advanced Fluency, seseorang yang melewati proses akuisisi
bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dapat dikatakan mahir yang ditandai
dengan kemampuan berbicara bahasa Inggris menggunakan tata bahasa dan
kosa kata yang dapat dibandingkan atau hampir sama dengan seorang penutur
asli.
Dalam penelitian ini bahasa Inggris menjadi salah satu bahasa yang dikaji
penggunaannya dan juga menjadi salah satu bahasa asing di Indonesia. Pemerolehan
20
bahasa kedua atau bahasa asing dalam penelitian ini dilaksanakan dalam proses
guided learning atau pemerolehan di dalam kelas. Penggunnaan teori pemerolehan
bahasa dalam penelitian ini bertujuan untuk memeberikan gambaran bagi peneliti
mengenai pemerolehan bahasa kedua atau asing serta mengetahui pengelompokan
kemampuan pembelajar dalam penerapan teknik bermain peran.
2.3.2 Keterampilan Berbicara
Salah satu keterampilan berbahasa yang dikaji dalam penelitian ini adalah
keterampilan berbicara menggunakan bahasa Inggris. Menurut Iskandarwassid dan
Sunendar (2009:239), keterampilan berbicara memiliki kaitan yang erat dengan
keterampilan menyimak. Seorang pembicara mengasosiasikan makna, mengatur
interaksi; siapa harus mengatakan apa, kepada siapa, kapan, dan tentang apa. Dalam
konteks komunikasi pembicara berlaku sebagai pengirim (sender), sedangkan
penerima (receiver) adalah penerima warta (message) yang merupakan objek dari
komunikasi. Kemudian, balikan (feedback) akan muncul setelah warta diterima dan
merupakan reaksi dari penerima pesan. Keterampilan berbicara merujuk pada prinsip
stimulus-respons, yang hakikatnya merupakan keterampilan memproduksi arus
sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan
keinginan pada orang lain. Berikut adalah beberapa tujuan dari keterampilan
berbicara yang mencakup pencapaian sejumlah hal.
21
1) Kemudahan Berbicara
Peserta didik harus mendapatkan kesempatan yang besar untuk berlatih
berbicara sampai mereka mengembangkan keterampilan ini secara wajar,
lancar, dan menyenangkan, baik dalam kelompok kecil maupun di hadapan
pendengar umum yang lebih besar jumlahnya.
2) Kejelasan
Dalam hal ini peserta didik berbicara dengan tepat dan jelas, baik artikulasi
maupun diksi kalimat-kalimatnya dan gagasan yang diucapkan harus tersusun
dengan baik.
3) Bertanggung Jawab
Latihan berbicara yang bagus menekankan pembicara untuk bertanggung
jawab agar berbicara dengan tepat dan dapat dipikirkan dengan sungguh-
sungguh mengenai apa yang menjadi topik pembicaraan, tujuan pembicaraan,
siapa yang diajak bicara, dan bagaimana situasi pembicaraan serta
momentumnya.
4) Membentuk Pendengaran yang Kritis
Selain berbicara yang baik, latihan ini sekaligus mengembangkan
keterampilan menyimak secara tepat dan kritis. Peserta didik perlu belajar
untuk mengevaluasi kata-kata, niat, dan tujuan pembicara.
22
5) Membentuk Kebiasaan
Kebiasaan berbicara tidak dapat dicapai tanpa kebiasaan berinteraksi dalam
bahasa yang dipelajari, bahkan dalam bahasa ibu. Faktor ini demikian penting
dalam membentuk kebiasaan berbicara dalam perilaku seseoramg.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan keterampilan berbicara adalah
kemampuan mahasiswa Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO di dalam
mengungkapkan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan pada orang lain serta
mampu mengasosiasikan makna, mengatur interaksi kepada siapa berbicara,
mengatakan apa (tata bahasa), kapan, dan tentang apa (topik pembicaraan) dan di
mana pembicaraan itu berlangsung. Hal ini dimaksudkan agar proses aktivitas
berbicara berjalan dengan baik.
2.3.3 Faktor-Faktor Penunjang Keefektifan Berbicara
Seorang pembicara yang baik hendaknya mampu mengekspresikan keinginan
ataupun pemikirannya dengan baik, baik dari segi linguistik atau kebahasaan maupun
segi nonkebahasaan. Arsjad dan Mukti (1988:17) mengemukakan beberapa faktor
penunjuang keefektifan berbicara yang dibagi menjadi faktor verbal dan faktor
nonverbal sebagai berikut.
1) Faktor Verbal
(a) Ketepatan ucapan
Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi
bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat dapat
23
mengalihkan perhatian pendengar. Hal ini akan mengganggu keefektifan
berbicara. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang kurang tepat atau cacat akan
menimbulakan kebosanan, kurang menyenangkan, kurang menarik, atau
setidaknya dapat mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi
bahasa dianggap cacat apabila menyimpang terlalu jauh dari ragam bahasa
lisan biasa sehingga terlalu menarik perhatian, mengganggu komunikasi atau
pemakainya (pembicara) dianggap aneh.
(b) Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi
Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi merupakan daya tarik
tersendiri dalam berbicara, bahkan terkadang merupakan faktor penentu.
Walaupun masalah yang dibicarakan kurang menarik, dengan penempatan
tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai akan menyebabkan masalahnya
menjadi menarik. Sebaliknya, jika penyampaiannya datar saja, hampir dapat
dipastikan akan menimbulkan kejemuan dan keefektifan tentu berkurang.
Penempatan tekanan pada kata atau suku kata yang kurang sesuai akan
mengakibatkan kejanggalan.
(c) Pilihan kata (diksi)
Pilihan kata hendaknya jelas, tepat, dan bervariasi. Dalam setiap
pembicaraan pemilihan kata-kata populer tentu akan lebih efektif daripada
kata-kata yang muluk-muluk. Kata-kata yang belum dikenal memang
24
mengakibatkan rasa ingin tahu, tetapi akan menghambat kelancaran
komunikasi.
(d) Ketepatan sasaran pembicaraan
Ketepatan sasaran menyangkut penggunaan kalimat. Pembicara yang
menggunakan kalimat efektif akan memudahkan pendengar menangkap
pembicaraannya. Seorang pembicara harus mampu menyusun kalimat efektif,
kalimat yang mengenai sasaran sehingga mampu menimbulkan pengaruh,
meninggalkan kesan, atau menimbulkan akibat.
2) Faktor Nonverbal
(a) Sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku
Pembicaraan yang tidak tenang, lesu, dan kaku tentu akan memberikan
kesan pertama yang kurang menarik. Dari sikap yang wajar saja sebenarnya
pembicara sudah dapat menunjukkan otoritas dan integritas dirinya. Sikap ini
sangat banyak ditentukan oleh situasi, tempat, dan penguasaan materi. Sikap
ini memerlukan latihan dan jika sudah terbiasa, rasa gugup saat tampil akan
hilang dan akan timbul rasa tenang dan wajar.
(b) Pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara
Pandangan berbicara hendaknya diarahkan kepada semua pendengar.
Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah akan menyebabkan pendengar
merasa kurang diperhatikan. Banyak pembicara ketika berbicara tidak
memerhatikan pendengar, tetapi melihat ke atas, ke samping, atau menunduk.
25
Akibatnya, perhatian pendengar berkurang. Hendaknya diusahakan supaya
pendengar merasa terlibat dan diperhatikan.
(c) Kesediaan menghargai pendapat orang lain
Dalam menyampaikan isi pembicaraan, seorang pembicara hendaknya
memiliki sikap terbuka, dalam arti dapat menerima pendapat orang lain,
bersedia menerima kritik, bersedia mengubah pendapatnya kalau memang
keliru. Namun, tidak berarti si pembicara begitu saja mengikuti pendapat
orang lain dan mengubah pendapatnya. Ia juga harus mampu
mempertahankan pendapatnya dan menyakinkan orang lain. Tentu saja
pendapat itu harus mengandung argumantasi yang kuat, yang diyakini
kebenarannya.
(d) Gerak- gerik dan mimik yang tepat.
Gerak- gerik dan mimik yang tepat dapat pula menunjang keefektifan
berbicara. Hal-hal penting selain mendapatkan tekanan, biasanya juga sering
dibantu dengan gerak tangan atau mimik. Hal ini dapat menghidupkan
komunikasi, artinya tidak kaku. Akan tetapi, gerak gerik yang berlebihan akan
mengganggu keefektifan berbicara. Mungkin perhatian pendengar akan
terarah pada gerak gerik dan mimik yang berlebihan ini sehingga pesan
kurang dipahami.
26
(e) Kenyaringan suara
Tingkat kenyaringan ini tentunya disesuaikan dengan situasi, tempat, dan
jumlah pendengar. Yang perlu diperhatikan adalah tidak berteriak,
kenyaringan suara diatur supaya dapat didengar oleh pendengar dengan jelas.
(f) Kelancaran
Seorang pembicara yang lancar berbicara akan memudahkan pendengar
menangkap isi pembicaraannya.
(g) Relevansi atau penalaran
Setiap gagasan yang disampaikan harus diutarakan secara logis. Gagasan
yang berbelit-belit membuat para pendengar menjadi bingung sehingga tidak
mengerti tentang isi pembicaraan.
(h) Penguasaan topik
Pembicaraan formal selalu menuntut persiapan. Tujuannya tidak lain
supaya topik yang dipilih betul-betul dikuasai. Penguasaan topik yang baik
akan menumbuhkan keberanian dan kelancaran. Penguasaan topik ini sangat
penting, bahkan merupakan faktor utama dalam berbicara.
Dalam penelitian ini teori mengenai keefektifan berbicara digunakan sebagai
acuan penilaian kemampuan berbicara pembelajar dalam penerapan teknik bermain
peran.
27
2.3.4 Hambatan Keterampilan Berbicara
Kemampuan atau keterampilan berbicara seseorang tentunya berbeda-beda dan
setiap orang memiliki kendala dalam proses pemerolehan bahasa khususnya dalam
hal keterampilan berbicara. Rusmiati (2002:30) menyebutkan beberapa hal yang
menjadi faktor penghambat dalam keterampilan berbicara, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal.
1) Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor penghambat yang muncul dari dalam diri
pembicara, yang dapat dipaparkan sebagai berikut:
a. Ketidaksempurnaan alat ucap
Ketidaksempurnaan alat ucap merupakan salah satu hambatan dalam proses
berbicara. Ketidaksempurnaan ini dapat berupa bawaan lahir ataupun akibat dari
sebuah kejadian. ketidaksempurnaan alat ucap ini dapat memengaruhi kegiatan
berbicara, seperti kesalahan penafsiran atau ketidakpahaman pendengar.
b. Penguasaan komponen kebahasaan
Hambatan dalam komponen kebahasaan meliputi lafal dan intonasi, pilihan kata,
struktur bahasa, dan gaya bahasa.
c. Penguasaan komponen isi
Hambatan dalam komponen isi meliputi hubungan isi dengan topik, struktur isi,
kualitas isi, dan kuantitas isi. Penguasaan komponen isi tidak akan menjadi
sebuah hambatan bagi pembicara jika pembicara dapat menguasai komponen isi
28
dengan baik dan mempersiapkan bahan pembicaraan dengan matang serta
didukung dengan pengetahuan yang luas.
d. Kelelahan dan kesehatan, baik fisik maupun mental
Kelelahan dan kesehatan, baik fisik maupun mental, menjadi salah satu faktor
hambatan selain penguasaan kebahasaan dan komponen isi karena jika seorang
pembicara memiliki kesehatan fisik yang tidak stabil maka proses berbicara pun
akan menjadi terganggu.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan hambatan yang berasal dari luar pembicara.
Hambatan-hambatan tersebut meliputi suara atau bunyi, kondisi ruangan, media, dan
pengetahuan pendengar.
Faktor-faktor hambatan keterampilan berbicara di atas dipakai untuk mengetahui
hambatan apa saja yang dihadapi pembelajar ketika berbicara dalam penerapan teknik
bermain peran.
2.3.5 Fonetik
Selama berkomunikasi salah satu aspek penting yang harus diperhatikan adalah
pelafalan. Pelafalan yang tepat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman dalam
berkomunikasi. Salah satu ilmu yang mempelajari pelafalan atau bunyi ujaran adalah
fonetik. Muslich (2011:1) menyebutkan bahwa kajian mendalam tentang bunyi-bunyi
ujar diselidiki oleh cabang linguistik yang disebut fonologi. Dalam fonologi terdapat
dua cabang kajian, yaitu fonetik dan fonemik. Menurut Muslich, fonetik adalah
29
bunyi-bunyi ujar dipandang sebagai media bahasa semata, tak ubahnya seperti benda
atau zat. Dengan demikian, bunyi-bunyi dianggap sebagai bahan mentah, bagaikan
batu, pasir, semen sebagai bahan mentah bangunan rumah. Ladefoged (1975:25)
memberikan definisi fonetik sebagai berikut: “Phonetic is concerned with describing
the speech sounds that occur in the languages of the world”. Jadi, fonetik merupakan
kajian yang terfokus pada penggambaran bunyi bahasa yang terdapat dalam bahasa-
bahasa di seluruh dunia. Dalam proses pelafalan bahasa terdapat beberapa hal yang
memengaruhi pelafalan tersebut, yaitu sebagai berikut.
1) Tempat artikulasi
Dalam proses pembentukan bunyi terdapat unsur artikulasi yang memengaruhi
pembentukan bunyi tersebut, baik yang berupa segmen vokal maupun segmen
konsonan. Dalam proses pembentukan bunyi tempat artikulasi ditandai dengan aliran
udara yang bergerak dari satu artikulasi rendah menuju ke tempat artikulasi yang
lebih tinggi (Ladefoged, 1975:5).
Ladefoged (1975:6) mengemukakan beberapa tempat artikulasi, yaitu sebagai
berikut.
(a) Bilabial
(Terbentuk dari kedua bibir). Bunyi yang dihasilkan terjadi akibat terkatupnya
kedua bibir untuk bunyi pertama yang dihasilkan dalam setiap kata seperti kata
“pie, buy, my” ,dll.
30
(b) Labiodental
(Bibir bawah dan gigi atas depan). Bunyi terjadi akibat naiknya bibir bagian
bawah hingga hampir menyentuh gigi atas depan, seperti bunyi konsonan
pertama pada kata “five, vie”, dll.
(c) Dental
(Ujung lidah dan gigi atas depan). Berikut adalah beberapa contoh kata yang
termasuk ke dalam kategori dental seperti bunyi konsonan pertama pada kata
“thigh, thy.” Beberapa orang (mayoritas pembicara dari bahasa Inggris Amerika)
memiliki ujung lidah yang menonjol antara bagian atas dan bawah gigi depan,
sedangkan pembicara lainnya (pembicara bahasa Inggris British) memiliki ujung
lidah yang dekat di belakang gigi depan bagian bawah. Kedua jenis suara
tersebut adalah normal dalam bahasa Inggris dan sama-sama disebut dental.
(d) Alveolar
(Ujung lidah dan daerah rongga gigi). Ada dua kemungkinan yang terdapat
dalam bahasa Inggris yang memiliki sistem pengucapan yang hampir sama antara
alveolar dan dental. Berikut adalah beberapa contoh bunyi konsonan pertama
pada kata-kata yang termasuk kedalam kelompok alveolar” tie, die, nigh, sigh,
zeal, lie”. Kata-kata tersebut diucapkan dengan posisi ujung lidah menyentuh
daerah rongga gigi. Sedangkan konsonan pertama pada kata-kata seperti ”ten dan
tenth” merupakan dental dalam proses pengucapannya posisi lidah menyentuh
gigi bagian atas.
31
(e) Retrofleks
(Ujung lidah dan bagian belakang daerah rongga gigi). Banyak pembicara bahasa
Inggris tidak menggunakan bunyi retrofleks. Akan tetapi, dalam beberapa kata
terdapat unsur bunyi retrofleks seperti bunyi konsonan pertama dalam kata “rye,
row, ray”. Pembicara yang melafalkan huruf “r” pada akhir sebuah kata juga
memiliki bunyi retrofleks, yaitu posisi lidah meninggi dalam kata-kata “ire,
hour, air”
(f) Palato Alveolar
(Pisau lidah dan bagian belakang rongga gigi) Berikut beberapa contoh kata-kata
yang konsonan pertama berbunyi atau termasuk ke dalam palate alveolar “shy,
she, show”. Selama mengucapkan konsonan pada kata-kata tersebut, posisi ujung
lidah bisa turun ke belakang gigi depan bagian bawah, atau naik dekat dengan
rongga gigi. Akan tetapi, pisau lidah selalu dekat menuju bagian belakang dari
rongga gigi.
(g) Palatal
(Bagian depan lidah dan langit-langit keras). Bunyi ini terdapat pada konsonan
pertama pada kata “you”. Ketika kita mengucapkan konsonan pada kata tersebut,
dapat dirasakan bahwa posisi bagian depan lidah terangkat menuju langit-langit
keras atau hard palate.
32
(h) Velar
(Bagian belakang lidah dan langit-langit lembut) Konsonan yang memiliki
tempat artikulasi terjauh dalam bahasa Inggris terdapat dalam akhir kata pada
kata-kata berikut ”hack, hag, hang”. Keseluruhan bunyi tersebut memosisikan
bagian belakang lidah yang terangkat sehingga menyentuh bagian bagian
belakang langit-langit yang lunak atau velum.
2) Fonetik dalam Bahasa Inggris
Simbol-simbol konsonan beserta posisi artikulasi dan cara pengucapan artikulasi
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1
Fonetik
Sumber: Ladefoged (1975:37)
Pada Tabel 2.1 di atas tempat artikulasi terlihat pada bagian atas bagan yang dimulai
dari artikulasi yang paling depan (bilabial) hingga suara-suara yang diproduksi oleh
Bilabial labio
dental Dental alveolar
palato
alveolar palatal velar
Nasal (stop)
m n ŋ
Stop
p b t d k g
Fricative
f v θ ð s z ʃ ʒ
(central)
Approximant (w) ɹ j w
Lateral
(approximant)
l
33
bagian belakang mulut (velar). Cara artikulasi terlihat pada bagian vertikal dalam
tabel, sedangkan bersuara atau tidak bersuaranya simbol-simbol tersebut terlihat pada
peletakannya. Simbol yang bersuara terletak di sebelah kiri dan simbol yang tidak
bersuara terletak di sebelah kanan.
Jika dilihat pada Tabel 2.1 di atas, simbol [w] ditempatkan pada dua tempat. Hal
ini disebabkan oleh simbol tersebut diartikulasikan dengan membuka kedua celah
bibir yang sempit yang membuatnya menjadi bilabial dan naiknya bagian belakang
lidah menuju langit-langit lunak, yang akan membuatnya menjadi velar. Konsonan
[h] juga tidak terdapat pada bagan di atas. [h] berperan sebagai konsonan dalam
bahasa Inggris. Akan tetapi, jika ditinjau dari sudut pandang pengucapan atau
artikulasi, [h] termasuk ke dalam kategori tidak bersuara atau voiceless dari
keseluruhan bunyi. Simbol [h] tidak memiliki tempat yang tepat dalam artikulasi dan
cara pengucapannya pun sama dengan pengucapan vokal (Ladefoged, 1975:37).
Penggunaan konsonan dalam kata-kata bahasa Inggris dapat dilihat pada Tabel
2.2 di bawah ini.
34
Tabel 2.2
Symbols for transcribing English consonants. (alternative symbols that may be
found in other books are given in parentheses)
p pie eea
t tie tea
k kye key
b by bee
d dye d
ɡ guy
m my me ram
n nigh knee ran
ŋ rang
f fie fee
v vie v
θ thigh
ð thy thee
s sigh sea listen
z z mizzen
ʃ (š) shy she mission
ʒ (ž) vision
l lie lee
w why we
ɹ (r) rye
J (y) ye
h high he
Note also the following
tʃ (c ) chi(me) chea(p)
d ʒ ( j) ji(ve) g
Sumber: Ladefoged (1975:27)
Di atas telah dipaparkan beberapa simbol konsonan. Pada Tabel 2.3 berikut
dipaparkan simbol-simbol bahasa Inggris yang termasuk ke dalam vokal atau vowel
sebagai berikut.
35
Tabel 2.3
Simbol-simbol Vokal
Front central back
High i u
Mid high I ʊ
e ɜ o
Mid
Mid low ɛ ɔ
ʌ
Low æ ɒ
a ɑ
Sumber :Ladefoged (1975:38)
Secara umum tingkatan dari simbol-simbol vokal dapat dilihat dari Tabel 2.3 di
atas yang menunjukkan kualitas tingkatan dari simbol vokal. Misalnya, [i] digunakan
untuk vokal tinggi depan, [u] untuk vokal tinggi belakang, [I] untuk vokal tengah
depan yang lebih rendah.
“The transcription of the contrasting vowels in English is more difficult than
the transcription in consonants for two reason. First, dialect of English differ
more in their use of vowels that in their use of consonant. Second, authorities
differ widely in their views of what constitutes an appropriate description of
vowels.” (Ladefoged, 1975:29)
Dari ujaran di atas Ladefoged berpendapat bahwa trankripsi untuk vokal dalam
bahasa Inggris lebih sulit yang disebabkan oleh dua alasan. Pertama, dialek-dialek
dalam bahasa Inggris lebih banyak perbedaannya dalam hal penggunaan vokal
36
daripada konsonan. Kedua, para otoritas lebih membedakan pandangan mereka
tentang apa yang merupakan deskripsi yang tepat bagi vokal. Penggunaan simbol-
simbol vokal di atas dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.
Tabel 2.4
Symbols for transcribing contrasting vowels in English. Column 1 applies to many
speakers of American English, colomn 2 to most speaker of British English
1 2 3
I i heed he bead heat keyed
I I hid bid hit kid
eI eI hayed hay bayed hate cade
ɛ ɛ head bed
æ æ had bad hat cad
ɑɹ ɑ hard bard heart card
ɑ ɒ hod bod hot cod
ɔ ɔ hawed haw bawd cawed
ʊ ʊ hood could
oʊ əʊ hoed hoe bode code
U u who‟d who booed hoot cooed
ʌ ʌ hudd bud hut cud
ɜ ɜ herd her bird hurt curd
aI aI hide high bide hight
aʊ aʊ how bowed cowed
ɔI ɔI (a)hoy boyd
Iɹ Iə Here beard
eɹ ɛə Hair bared cared
aIɹ aə hired Hire
Note also
Ju ju hued hue bude cued
Sumber: Ladefoged (1975:29)
Pengguaan teori fonetik dalam penelitian ini berfungsi sebagai kerangka teori
dalam menganalisis data dan untuk mengkaji lebih dalam penguasaan bahasa Inggris
37
oleh pembelajar di PPLP MAPINDO khususnya dari segi pelafalan (pronounciation)
yang dihasilkan dalam penerapan teknik bermain peran. Peneliti menggunakan teori
fonetik bahasa Inggris yang dimaksudkan untuk mengetahui kesulitan atau kendala
yang dialami pembelajar dalam hal pelafalan dalam penerapan teknik bermain peran
selama proses belajar mengajar. Dengan menggunakan teori fonetik ini, peneliti
mencoba membantu pembelajar untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan pelafalan
bahasa Inggris yang dihasilkan dalam berkomunikasi.
2.3.6 Pragmatik
Kridalaksana (2008) memberikan dua pengertian tentang pragmatik, yaitu (1)
syarat-syarat yang mengakibatkan serasi atau tidaknya pemakaian bahasa dalam
komunikasi, (2) aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang
memberikan sumbangan pada makna ujaran. Dalam pragmatik terdapat beberapa
teori yang dipakai untuk menganalisis tindak tutur sebagai berikut:
2.3.6.1 Teori Etnografi Berbicara
Salah satu kerangka teori yang dipakai di dalam penelitian ini adalah teori
etnografi berbicara yang mengemukakan adanya unsur-unsur dalam setiap terjadinya
hubungan berbahasa (Dell Hymes, 1972). Unsur-unsur yang membangun situasi
wicara ini disebut sebagai etnography of speaking yang berjumlah delapan buah yang
disingkat dalam suatu akronim, yaitu SPEAKING. Kedelapan unsur tersebut adalah
sebagai berikut.
38
1. S : Setting and Scene (tempat dan waktu)
2. P : Participant (peserta pembicaraan)
3. E : End (hasil pembicaraan), akibat atau tujuan pembicaraan yang
diharapkan.
4. A : Act Sequence (amanat), adalah bentuk dan isi yang tertuang dalam
bentuk kata-kata dan pokok pembicaraan.
5. K : Key (cara), yaitu usaha yang dilakukan dalam menyertai
pembicaraan.
6. I : Instrumentalistis (sarana) adalah variasi dan cara pemakaian bahasa
yang dilakukan pada saat peristiwa itu dilakukan.
7. N : Norms (norma)
8. G : Genres (jenis) adalah kategori bentuk percakapan yang dipakai
dalam suatu peristiwa bicara..
Dalam penelitian ini unsur-unsur yang terdapat dalam teori Dell Hymes
digunakan untuk menilai kemampuan keterampilan berbicara pembelajar.
2.3.6.2 Tindak tutur
Tindak tutur yang diujarkan oleh objek penelitian diteliti dengan teori yang
dikemukakan oleh Searle (1969). Beliau mengemukakan bahwa setidaknya ada tiga
jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi
(locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi
(perlocutionary act).
39
1. Tindak Lokusi
Tindak lukosi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Berikut adalah
contoh tindak lokusi.
a. Ikan paus adalah binatang menyusui.
b. Jari tangan jumlahnya lima.
Bila diamati, kedua kalimat di atas diutarakan oleh penutur yang bertujuan
untuk memberikan informasi tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi
untuk memengaruhi lawan tuturnya. Lebih jauh, tindak lokusi adalah tindak
tutur yang relatif paling mudah diidentifikasikan karena
pengindentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan
konteks tututran yang tercakup dalam situasi tutur, seperti penutur dan lawan
tutur, konteks tuturan, dan tujuan tuturan.
2. Tindak Ilokusi
Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan
sesuatu, dapat juga digunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi,
tindak tutur yang terbentuk adalah tindak ilukosi. Berikut adalah contoh
tindak ilukosi.
a. Saya tidak dapat datang.
b. Ujian sudah dekat.
Kalimat pertama diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja
merayakan ulang tahun. Tuturan itu tidak hanya berfungsi untuk menyatakan
40
sesuatu tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf. Kalimat kedua
bila diucapkan oleh seorang guru kepada muridnya, akan berfungsi untuk
memberikan peringatan agar lawan tuturnya (murid) mempersiapkan diri.
Dari apa yang terurai di atas jelaslah bahwa tindak ilukosi sangat sukar
diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur
dan lawan tutur, kapan, dan di mana tindak tutur itu terjadi.
3. Tindak Perlokusi
Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang sering kali mempunyai daya
pengaruh (perlucotionary force) atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek
atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan
oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk
memengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Berikut adalah
contoh tindak perlokusi.
a. Rumahnya jauh.
b. Kemarin saya sangat sibuk.
Kedua kalimat di atas mengandung unsur tindak lokusi. Akan tetapi, bila
kalimat (a) diutarakan oleh seseorang kepada ketua perkumpulan, maka
ilukosinya adalah secara tidak langsung menginformasikan bahwa orang yang
dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di dalam organisasinya. Adapun efek
perlokusi yang diharapkan agar ketua tidak terlalu banyak memberikan tugas
kepadanya. Kalimat kedua diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat
41
menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya. Kalimat ini
merupakan tindak ilukosi untuk meminta maaf dan perlokusi (efek) yang
diharapkan adalah orang yang mengundang dapat memakluminya.
Selain mengemukakan tiga jenis tindakan yang dilakukan oleh penutur seperti
uraian di atas, Wijana dan Rohmadi (2011:27) membagi tindak tutur ke dalam
beberapa jenis, yaitu seperti dibawah ini:
1. Tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung
Secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi
kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat
perintah (imperatif). Secara konvensional, kalimat berita digunakan
untuk memberikan suatu informasi, kalimat tanya untuk menanyakan
sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan,
permintaan, atau permohonan. Tindak tutur yang terbentuk dari kalimat
berita, tanya dan perintah dikategorikan sebagai tindak tutur langsung.
Berikut adalah contoh kalimat tindak tutur langsung.
(a) Sidin memiliki lima ekor kucing.
(b) Di manakah letak Pulau Bali?
(c) Ambilkan baju saya!
Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung biasanya tidak dapat
dijawab secara langsung, tetapi harus segera dilaksanakan maksud yang
42
terimplikasi di dalamnya. Berikut adalah contoh jenis tindak tutur tidak
langsung.
(a) Saya kemarin tidak dapat hadir.
(b) Jam berapa sekarang?
(c) + Saya kemarin tidak dapat hadir.
- Sudah tahu. Kemarin kamu tidak kelihatan.
(d) + Jam berapa sekarang?
- Jam 12 malam, Bu
(e) + Saya kemarin tidak dapat hadir
- Ya tidak apa-apa
(f) + Jam berapa sekarang?
- Ya Bu, sekarang saya pamit
Tuturan a dan b yang secara tidak langsung digunakan untuk memohon
maaf dan menyuruh seorang tamu meninggalkan tempat pondokan
mahasiswa putri tidak dapat dijawab secara langsung, tetapi dengan
pemberian maklum atau maaf, dan tindakan untuk segera meningalkan
pondokan. Oleh karena itu, c, d terasa janggal karena jawaban yang
diberikan berupa jawaban langsung tanpa ada maksud lain dan jawaban
hanya didasarkan pada konteks pertanyaan yang sebenarnya. Sedangkan
e dan f terasa lazim untuk mereaksi a dan b dalam konteks tersebut.
Uraian di atas dapat digambarkan dalam Tabel 2.5 sebagai berikut.
43
Tabel 2.5
Tindak Tutur
Modus Tindak Tutur
Langsung Tidak langsung
Berita memberitakan menyuruh
Tanya bertanya menyuruh
Perintah memerintah -
Sumber : Wijana dan Rohmadi (2011:30)
2. Tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal, yang jika
diinterseksikan dengan tindak tutur langsung dan tidak langsung, akan
didapatkan tindak tutur berikut.
a. Tindak tutur langsung literal (direct literal speech)
Tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang
sama dengan maksud pengutaraannya.
Contoh:
(1) Orang itu sangat pandai.
(2) Buka mulutmu!
(3) Jam berapa sekarang?
b. Tindak tutur tidak langsung literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect speech act) adalah tindak
tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai
dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang
menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur.
44
Contoh:
(1) Lantainya kotor (adanya unsur memerintah membersihkan
lantai).
(2) Di mana handuknya? (adanya unsur memerintah untuk
mengambilkan handuk).
c. Tindak tutur langsung tidak literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech) adalah
tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai
dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak
memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud
memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah dan maksud
menginformasikan dengan kalimat berita.
Contoh:
(1) Suaramu bagus, kok (sebenarnya tidak bagus).
(2) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu!
d. Tindak tutur tidak langsung tidak literal
Tidak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act)
adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna
kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang diutarakan.
45
Contoh:
(1) Lantainya bersih sekali.
(Seseorang menyuruh pembantu menyapu lantai yang kotor dan
mengutarakan kalimat tersebut dengan nada tertentu.)
Dalam penelitian ini tindak tutur digunakan untuk mengetahui tindak tutur mana yang
paling sering digunakan oleh mahasiswa dalam berkomunikasi.
2.3.6.3 Prinsip kerja sama menurut Grice
Dalam berkomunikasi terdapat proses interaksi antara penutur dan mitra tutur
sehingga terwujud suatu komunikasi yang baik dan lancar. Kerja sama yang baik
antara penutur dan mitra tutur diperlukan dalam berkomunikasi. Salah satu prinsip
pragmatik yang mengangkat hubungan kerja sama antara peserta tutur adalah prinsip
kerja sama yang dikemukakan oleh Grice (1975). Beliau mengemukakan mengenai
prinsip-prinsip percakapan. Prinsip tersebut dibagi menjadi empat maksim sebagai
berikut.
1. Maksim Kuantitas
Berikanlah jumlah informasi yang tepat, yaitu sebagai berikut.
a. Sumbangan informasi Anda harus seinformatif yang dibutuhkan
b. Sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan
2. Maksim Kualitas
Usahakan agar sumbangan informasi Anda benar, yaitu seperti berikut.
46
a. Jangan mengatakan sesuatu yang Anda yakini bahwa itu tidak benar
b. Jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang
menyakinkan.
3. Maksim Hubungan
Usahakan agar perkataan Anda ada relevansinya
4. Maksim Cara: usahakan agar mudah dimengerti, yaitu sebagai berikut.
a. Hindarilah pernyataan-pernyataan yang samar
b. Hindarilah ketaksaan
c. Usahakan agar ringkas (hindarilah pertanyaan-pertanyaan yang panjang
dan lebar dan bertele-tele)
d. Usahakan agar Anda berbicara teratur
Dalam penelitian ini prinsip kerja sama Grice digunakan untuk mengetahui
maksim yang digunakan dan penerapan prinsip ini oleh mahasiswa dalam
berkomunikasi selama penerapan teknik bermain peran. Dengan demikian, diketahui
kuantitas, kualitas, hubungan, dan cara tindak tutur mahasiswa dalam berkomunikasi
selama penerapan teknik ini.
2.3.6.4 Perinsip kesantunan menurut Leech
Selain Grice ahli bahasa lain yang mengemukakan maksim atau kaidah
kebahasaan adalah Leech (1993) yang terkenal dengan maksim kesantunannya.
Maksim kesantunan menganjurkan para peserta tutur untuk berkomunikasi dengan
sopan dan menghindari ujaran-ujaran yang tidak sopan. Prinsip kesantunan Leech
47
menitikberatkan suatu tuturan atas dasar biaya dan keuntungan, persetujuan, pujian,
dan simpati. Dalam prinsip ini Leech mengemukakan untuk mengurangi penggunaan
tuturan yang kurang sopan selama bertindak tutur. Leech memaparkan pembagian
maksim kesantunan menjadi enam bagian sebagai berikut.
1. Maksim Kebijaksanaan ( Tact Maxim)
a. Kurangi kerugian orang lain
b. Tambahi keuntungan orang lain
Hendaknya para penutur berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi
keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan orang lain dalam
kegiatan bertutur. Penutur yang berpegang pada maksim kebijaksanaan ini
dapat dikatakan sebagai orang yang santun. Maksim ini dapat dilihat dalam
contoh berikut.
Tuan Rumah: “Silakan makan saja dulu Nak!”
Tadi kami sudah mendahului
Tamu: “Wah saya jadi tidak enak Bu”
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu
di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, dia harus berada di rumah ibu tersebut
sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda.
48
2. Maksim Kedermawanan (Generousity Maxim)
Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta
pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap
orang lain terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya
sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Contoh berikut dapat
memperjelas maksim kedermawanan.
Anak kos A : “Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak,kok
yang kotor.”
Anak kos B : “Tidak usah, mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok.”
Informasi indeksal:
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antara anak kos pada sebuah
rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan erat dengan anak
yang satunya.
3. Maksim Penghargaan ( Approbation Maxim)
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dianggap santun
apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada
pihak lain. Dengan maksim ini diharapkan agar para peserta pertuturan tidak
saling mengejek, saling membenci, atau saling merendahkan pihak lain.
Peserta tutur yang sering mengejek peserta tutur lain di dalam kegiatan
bertutur dikatakan sebagai orang yang tidak sopan. Dikatakan demikian,
49
karena tindakan mengejek merupakan tindakan tidak menghargai orang lain.
Berikut adalah contoh maksim penghargaan.
Dosen A : “Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas business
English.”
Dosen B : “ Oya, tadi aku mendengar bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.”
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen di
dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi.
4. Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)
Dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur
diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian
terhadap dirinya sendiri. Orang dikatakan sombong dan congkak hati apabila
di dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.
Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan
kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan
seseorang. Berikut adalah contoh maksim kesederhanaan.
Ibu A : “ Nanti ibu yang memberikan sambutannya ya dalam rapat dasa
wisma!”
Ibu B : “Waduh,…..nanti grogi aku.”
Informasi indeksal:
50
Dituturkan oleh seorang ibu anggota Dasa Wisma kepada temannya sesama
anggota perkumpulan tersebut ketika mereka bersama-sama berangkat ke
tempat pertemuan.
5. Maksim Pemufakatan (Agreement Maxim)
Maksim kemufakatan sering kali disebut dengan maksim kecocokan. Di
dalam maksim ini ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina
kecocokan atau kemufakatan dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat
kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam
kegiatan bertutur, masing-masing dapat dikatakan bersikap santun. Dalam
masyarakat tutur Jawa, orang tidak diperbolehkan memenggal, bahkan
membantah secara langsung apa yang dituturkan oleh pihak lain. Hal
demikian tampak sangat jelas terutama dalam hal umur, jabatan, dan status
sosial penutur berbeda dengan si mitra tutur. Pada jaman kerajaan di Jawa
zaman dahulu, orang yang berjenis kelamin wanita tidak diperkenankan
menentang sesuatu yang dikatakan dan diperintahkan sang pria. Kalau kita
mencermati orang bertutur pada zaman sekarang ini, sering kali didapatkan
bahwa dalam memerhatikan dan menanggapi penutur, si mitra tutur
menggunakan anggukan tanda setuju dan beberapa hal lain yang sifatnya
paralinguistik kinesik untuk menyatakan maksud tertentu. Contoh tuturan
berikut dapat memperjelas maksim ini.
51
Guru A : “Ruangannya gelap ya, Bu”
Guru B : “ He..eh! saklarnya mana ya?
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang guru kepada rekannya yang juga seorang guru pada
saat mereka diruang guru.
6. Maksim Simpati (Sympathy Maxim)
Dalam maksim simpati, para peserta tutur diharapkan dapat memaksimalkan
sikap simpati antara pihak yang satu dan pihak yang lain. Sikap antipati
terhadap salah seorang peserta tutur dianggap sebagai tindakan tidak santun.
Rasa simpati terhadap pihak lain sering ditunjukkan dengan senyuman,
anggukan, gandengan tangan, dan sebagainya. Berikut adalah contoh maksim
simpati.
Karyamahasiswa A : “ Mas, aku akan ujian tesis minggu depan.”
Karyamahasiswa B : “ Wah, Proficiat ya! Kapan pesta?”
Informasi indeksal:
Dituturkan oleh seorang karyamahasiswa kepada karyamahasiswa yang lain
pada saat mereka berada di ruang perpustakaan kampus.
Leech (1993) memaparkan beberapa skala sebagai parameter untuk menentukan
tingkat kesantunan sebuah tuturan. Skala kesantunan Leech adalah sebagai berikut.
52
1. Skala kerugian atau keuntungan (cost-benefit scale), menunjuk kepada
besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah
tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan itu merugikan diri
penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian pula
sebaliknya.
2. Skala pilihan (optionally scale), menunjuk kepada banyak atau sedikitnya
pilihan yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam
kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau
mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, dianggap
semakin santunlah tuturan itu, dan begitu pula sebaliknya.
3. Skala ketidaklangsungan (indirectness scale), menunjuk kepada peringkat
langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan
itu bersifat langsung dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu, begitu
pula sebaliknya.
4. Skala keotoritasan (authority scale), menunjuk kepada hubungan status
sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan.
Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dan mitra tutur, tuturan
itu cenderung menjadi semakin santun, begitu pula sebaliknya.
5. Skala jarak sosial (social distance scale), menunjuk kepada peringkat
hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah
pertuturan. Ada kecenderungannya bahwa semakin dekat jarak peringkat
53
sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan
itu. Demikian sebaliknya. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan
antara penutur dan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan
tuturan yang digunakan dalam bertutur.
Dalam penelitian ini prinsip kesantunan Leech digunakan untuk mengetahui
maksim kesantunan yang digunakan oleh mahasiswa serta penerapan kesantunan
pada tuturan yang dihasilkan mahasiswa dalam berkomunikasi selama penerapan
tehnik bermain peran. Secara keseluruhan, penggunaan prinsip kerja sama Grice dan
kesantunan Leech digunakan dalam penelitian ini bertujuan sebagai tolak ukur
relevansi dan kesantunan dalam tuturan yang dihasilkan mahasiswa selama penerapan
teknik bermain peran berlangsung
2.4 Model Penelitian
Secara garis besar model penelitian dapat dilihat pada Bagan 2.1 berikut.
54
Bagan 2.1
Model Penelitian
Bagan 2.1 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Objek penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah mahasiswa jenjang
Diploma 1 Jurusan Kantor Depan PPLP MAPINDO. Mahasiswa Jurusan Kantor
Mahasiswa Jurusan Kantor Depan
PPLP MAPINDO
PEMBELAJARAN
BERBICARA BAHASA
INGGRIS
1. PELAFALAN (FONETIK)
2. PRAGMATIK
3. HAMBATAN MAHASISWA DALAM
PEMBELAJARAN BERBICARA PADA
PENERAPAN TEKNIK ROLE PLAY
PEMEROLEHAN BAHASA
ASING
PROSES BELAJAR MENGAJAR
Penerapan
(pendekatan, metode, teknik (role play)
1. Teknik role play Cross (1991)
2. Teori fonetik Ladefoged (1975)
3. Teori pragmatic Dell Hymes (1972), Searle (1969),
Wijana dan Rohmadi (2011), prinsip kerja sama
Grice (1975), serta prinsip kesantunan Leech (1983)
55
Depan dipilih karena mereka akan sering menggunakan salah satu kemampuan
berbahasa, yaitu kemampuan berbicara. Mereka akan terjun langsung berinteraksi
dengan tamu dalam dunia kerja khususnya perhotelan setelah mengenyam pendidikan
teori selama satu semester dan praktik kerja industri pada semester berikutnya.
Sebagai salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh para pembelajar,
keterampilan berbicara merupakan salah satu proses pemerolehan bahasa. Dalam
penelitian ini bahasa yang diteliti adalah bahasa Inggris yang termasuk sebagai
bahasa asing di Indonesia dan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama yang
memiliki fungsi sebagai jembatan penghubung dalam pemerolehan bahasa asing
(bahasa Inggris). Dalam proses pemerolehan bahasa dapat dibagi menjadi dua proses,
yaitu pemerolehan bahasa pertama (bahasa ibu) dan bahasa kedua atau bahasa asing.
Pemerolehan bahasa Inggris sebagai bahasa asing menjadi salah satu aspek yang
diulas dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini proses pemerolehan bahasa asing didapatkan dari proses
belajar mengajar (guided learning) yang dilakukan di dalam kelas dengan mata
kuliah, yaitu BIP untuk kantor depan. Pelaksanaannya dua kali seminggu dan dalam
tiap pertemuan memiliki waktu seratus lima puluh menit. Dalam proses belajar
mengajar, terdapat beberapa penerapan yang dilakukan oleh peneliti, seperti
penerapan pendekatan, penerapan metode, dan penerapan teknik. Adapun pendekatan
yang digunakan dalam proses belajar mengajar adalah pendekatan komunikatif.
Pendekatan ini digunakan karena dapat mengeksplor kemampuan mahasiswa
56
khususnya dalam keterampilan berbicara. Pendekatan ini lebih memusatkan pada
aktivitas pembelajar atau student center learning. Kemudian metode yang digunakan
adalah metode kooperatif. Metode kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan
cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengonstruksi konsep,
menyelesaikan persoalan, atau inkuiri (Suyatno, 2009:51). Teknik yang diterapkan
dalam proses belajar mengajar adalah teknik bermain peran khususnya pada
kemampuan lisan. Menurut Hadfield (1986), teknik bermain peran, yaitu teknik
sejenis permainan gerak yang di dalamnya ada tujuan, aturan, dan sekaligus
melibatkan unsur senang. Jadi, dengan penerapan teknik bermain peran akan tercipta
suasana yang menyenangkan di dalam kelas sehingga diharapkan para siswa akan
mampu memahami materi ajar yang diberikan oleh guru dengan mudah serta dapat
mengeksplorasi kemampuan mereka khususnya dalam keterampilan berbicara. Dari
proses belajar mengajar tersebut, diperoleh data yang dikaji seperti bagaimana
pelafalan (pronounciation) yang dihasilkan oleh pembelajar dalam bentuk ujaran
bahasa Inggris yang dalam linguistik termasuk ke dalam aspek fonetik. Kemudian
bagaimana tindak tutur (pragmatik) yang dihasilkan oleh pembelajar dalam
penerapan teknik bermain peran seperti bentuk kalimat ujaran serta makna pragmatik
yang dihasilkan dan maksim-maksim yang dipakai sesuai dengan kerangka teori yang
digunakan. Dari penerapan teknik bermain peran ini dikaji faktor-faktor apa saja yang
memengaruhi dalam proses pemerolehan bahasa asing (hambatan) yang dihadapi oleh
pembelajar dalam penerapan teknik ini.