sosok mutakhlr kela~ menengah · dalam abstraksi teoritik atau em pirisme kuantitatif. mereka juga...

1
ADA yang mengganggu dalam perbincangan tentang kelas me- nengah Indonesia belakangan ini. Sering dikatakan bahwa kelas me- nengah Indonesia tidak ada. Teta- pi juga dikatakan terlalu lemah. sehingga tidak penting diperhi- tungkan dalam proses demokrati- sasi. Ada dua alasan yang sering dikemukakan untuk penilaian negatif ini. Dikatakan bahwa kelas ini terlalu kecil jumlahnya. Juga dikatakan kelas ini terlalu bergan-' tung pada pihak yang sedang berkuasa, khususnya birokrasi negara dan para pejabatnya. Pandangan demikian memang tidak barn. Juga, tidak sepenuh- nya keliru. Sepuluh tahun lalu gagasan itu menjadi pandangan yang sangat kuat dalam perdeba- tan ten tang kelas menengah Indo- nesia. Sudah sejak masa itu ia pan- tas diperdebatkan. Baik secara konseptual maupun empirik. Teta- pi, ketika pandangan serupa dike- mukakan kembali di pertengahan I 990-an, gugatan terhadapnya terasa semakin mendesak. Apa yang istimewa pada dekade ini, sehingga ada alasan khusus untuk menggugat pemahaman umum tentang kelas menengah itu? Sudah sukup jelas bagi para pe- ngamatmasyarakatIndonesiamu- takhir bahwa tahun-tahun belaka- ngan ini menjadi tahun kebangki- tan politik kelas menengah. Ham- pir semua berita terbesar di media massa selama parnh pertama de- kade ini dikuasai oleh masalah ini. Tentu saja, ini bukan berarti telah terjadi revolusi yang melenyap- kan atau menjungkirbalikkan se- mua pranata yang ada sebelum- nya. Yang terjadi adalah sebuah pergeseran sosial yang tidak total dan merata, tetapi fundamental. Berikut ini beberapa contoh ge- jala luar dari proses yang kita bi- earakan. Pertama, terjadinya ge- jolak 'dalam hal kemandirian or- ganisasi swasta dalam menghada- pi intervensi pemerintah. Terma- suk di sini yang dial ami partai politik, LSM, organisasi massa seperti NU atau lembaga agama (HKBP) hingga asosiasi profesio- nal (PWI versus AJI). Kedua, soal kebebasan berkumpul dan ber- pendapat. lni terkuak dalam per- debatan berkepanjang tentang izini pembubaran seminar, diskusi, demonstrasi, serta SIUPP untuk media massa. Di bidang ekonomi ada gugatan pengusaha menengah yang menguat terhadap kolusi eko- keluarga pejabat. Di sektor politik terjadi pengkajian ulang UU pemilu dan perwakilan ABRI di parlemen. Dalam dunia pendidikan terjadi sejumlah sengketa akademik ver- sus pengelola universitas, dengan kasus PHK Arief Budiman di UKSW sebagai primadonanya. Semua merupakan sisi lain (yakni konflik) dari sosok kelas menengah yang selama ini lebih ditonjolkan (yakni kaya dan ber- gaya). Sudah terlalu jelas bagi kita semua bagaimana dekade 1990-an ini menjadi dekade bangkitnya gairah konsumen di kota-kota be- sar Indonesia. Menjamurnya pu- sat belanja, acara liburan, pentas hiburan megabintang, menu ma- kanan eksotik, peragaan busana, seminar seks, keperdulian pada lingkungan hidup, pameran kese- nian, aksesori untuk rumah, mo- bil, dan tas menjadi gejala yang tidak punya preseden dalam selu- ruh sejarah republik ini. Bagaima- na semua ini dapat dipahami se- eara lebih baik? Sosok Mutakhlr Menengah Jawa Pos JUMA T PON 28 JULI 1995 HALAMAN 4 PERUBAHAN SOSIAL Pertama-tama pantas disimak ada beda di antara pernyataan bah- wa kelas menengah Indonesia tidak ada dan kelas menengah itu kecil atau lemah. Kalau kelas me- nengah itu tidak ada, maka ia tidak bisa kecil atau besar, lemah atau kuat. Sering terjadi keraneuan dalam pembahasan yang serba meremehkan kelompok so sial yang dibilang kelas menengah ini. Yang sebentar dikatakan tidak ada, kemudian digambar- kan lemah atau keci!. Kita lebih dapat memahami dan menghargai pernyataan bahwa tidak ada kelas menengah apabila yang dimaksudkan adalah ter- belahnya masyarakat menjadi dua kelompok (kelas) yang besar: kaum berkuasa dan kaum lemah. Mereka yang kay a dan mereka yang miskin. Kaum berwenang dan mereka yang tersisih. Dalam pandangan demikian, istilah ke- las menengah hanya mengabur- kan kenyataan dan mengacau pembicaraan ten tang kenyataan terse but. Kitajuga perlu mengkaji seeara kritis pandangan yang kini domi- nan bahwa kelas menengah Indo- nesia lemah atau kecil. Di sini kita perlu berhati-hati membedakan pengertian kelas menengah yang kecil atau yang lemah. Keduanya sering dicampuradukkan. Atau dianggap tidak terpisahkan. Se- apabila kelas menengah ltu kecII, maka dianggap dengan sendirinya lemah. Apabila ia lemah, maka sering ada diasumsi- kan bahwa ia terlalu bergantung pada penguasa. Logika ini layak diperiksa ulang. Pantas diingat, sejarah telah me- ngajarkan kepada kita: baik per- tumbuhan masyarakat maupun perubahan masyarakat tidak sela- lu membutuhkan sebuah gerakan sosial yang dipimpin oleh kelom- pok dalam jumlah besar. Peruba- han sosial yang bersifat kualitatif ti dak selalu menuntut atau disertai oleh dinamika so sial yang bersifat kuantitatif. Sebaliknya perubahan sosial yang besar-besaran seeara tidak dengan sendiririya dnkutl oleh peru bah an kualitatif besar-besaran pula. Sejarah nasional kita memberi- kan ilustrasi yang bagus. Masya- rakat di nusantara dijajah bang- sa-bangsa Eropa bukan karen a yang tersebut belakangan jumlah- nya lebih besar. Justru sebaliknya, mereka berjumlah sang at kecil. Tetapi, bangs a asing ini mampu menguasai dan memeras rakyat dalam jumlah yang berlipat ganda lebih besar. . Sejarah penjajahan berakhirjuga bukan semata- mata atau terutama karena besarnya perlawanan kuan- titatif dari pihak terjajah. Prokla- masi kemerdekaan RI yang tahun ini dirayakan besar-besaran ada- lah hasil yang dipersiapkan dan dibaeakan oleh sekelompok kecil elite mlsionf(lis .. Bangsa-bangsa Eropa yangjum- lahnya kecil dapat menjajah bangsa-bangsa Asia dan Afrika karena ada kerja sarna yang besar dari pihak terjajah. Sarna halnya dengan yang terjadi dengan pe- nindasan terhadap kaum perem- puan. Juga, sistem apartheid di Afrika Selatan. Atau kemelut di Timor Timur. Mengapa hal itu sampai terjadi, merupakan disku- si tersendiri. Di sini kita hanya mempersoalkan tidak adanya hubungan lang sung di antara uku- ran kuantita suatu kelompok so- sial dengan kekuatannya secara kualitlltif. Menyepelekan kekua- tan kelas menengah Indonesia .semata-mata berdasarkan fakta atau asumsi bahwa jumlahnya kecil merupakan pernyataan yang lemah secara nalar. Seandainya masalah jumlah ti- dak terlalu relevan, bagaimana menjelaskan "kelemahan" keias menengah Indonesia? Mungkin pertama-tama perlu dikaji ulang apa benar kelas menengah ini lemah? Dalam .pengertian apa ia dikatakan lemah atau kuat? De- ngan ukuran apa kekuatannya hendak diukur? Tentu, tulisan ini tidak mampu memberikan jawa- ban yang pantas, apalagi tuntas. Namun sebuah catatan kecil di- tawarkan di sini untuk mellghada- pi soal itu. SEJARAH DAN GERAKAN Dengan segala prestasi yang ada, kita layak mengakui masih ba- nyaknya kelemahan dalam pem- bahasan kita selama ini ten tang kelas menengah Indonesia. Ba- nyak bahasan menyempitkan pe- ngertian kelas menengah pada kelompok-kelompok pedagang kecillmenengah, at au manajer yang biasanya memang berwatak konservatif di mana pun di dunia ini. Yang kurang diperhitungkan adalah profesional di bidang hukum, jurnalistik, kebudayaan, seni, akademik, atau para aktivis LSM pada umumnya. Kalau kelas menengah diartikan sesempit itu masih ada yang perlu dipert.anyaitan. Sifat konservatif atau antiperubahan suatu kelas sosial tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa kelas itu lemah secara sosial-politik. Me- ngapa mereka harus mendobrak status-quo dan merintis peruba- han sosiaI? Apalagi bilastatus-quo itu menguntungkan kepentingan- nya. Justru keadaan ini mungkin menunjukkankekuatannya. Bukan kelemahannya. Kalau kelompok-kelompok ra- dikal kelas menengah diperhitung- kan, masih sering ada kelemahan lain dalam pembahasan yang membuahkan kesimpulan negatif. Pembahasan ten tang keiom- pok-kelompok radikal ini disusun dalam abstraksi teoritik atau em- pirisme kuantitatif. Mereka juga tidak dipahami dalam suatu pro- ses s,ejar<lh_l'ang dinamik. Ofeh Ariel Heryanto * , Lebih jelasnya begini. Kelom- pok-kelompok radikal kelas,me- nengah ini disepelekan karena, mereka tampil sebagai minoritas dalam angka-angka- yang-keidll pada tabel statistik. Mereka juga disepelekan karena dinilai ber- kali-kali gagal memperjuangkan demokratisasi. Penilaian ini di- susun berdasarkan fakta empirik tentang gerakan sosial yang dipi- sahkan dari sejarah. Dan, getakan sosial itu dituntut memenuhi hara- pan muluk yang ditetapkan sewe- nang-wenang oleh si peneliti ber- sarna khalayak umum. Karena terbuai berbagai dongeng heroik tentang perjuangan kaum intelektual dan demonstran, ba- nyak orang kecewa. Semua itu tinggal mitos di awang-awang. Ak- ibatnya sangat sulit bagi kita un- . tuk menghargai berbagai keber- hasilan kecil-kecilan yang telah banyak dicapai oleh aktivis kelas menengah ini. Kelas menengah, seperti kelas yang mana pun, bukan Ratu Adil yang akan menciptakan kese- jahteraan bagi seluruh masyarakat tanpa pamrih. Sebagai sebuah kelas sosial mereka dibebani ke- pentingan kelasnya sendiri. Per- soalannya, bukan apakah mereka mampu membuang kepentingan sendiri. Tetapi, apakah dalam memperjuangkan kepentingan sendiri mereka mampu memper- luas dan menampung berbagai kepentingan kelompok atau kelas lain. Khususnya kaum bawahan yang menjadi mayoritas sosia!. Dalam pemahasan selama ini juga sering diabaikan bahwa per- juangan demokratisasi di mana pun butuh l)1elalui sejumlah ke- lokan dan tahapan. Tidak sela- lu lurus dan tidak segera menca- pai hasil positif. Upaya yang semula kelihatan- nya terhempas pada suatu kondisi ternyata membuahkan hasil pada kondisi lain. Proses sejarah ini . tidak mungkin terekam dalam tabel statistik, 'dan biasanya te- rabaikan dalam ulasan yang me- ngandalkan empirisme. Perjuangan demokratisasi kelas menengah di Indonesia mengala- mi hal serupa. Banyak peneliti terkemuka membuat kesimpulan negatif ten tang mereka pada 1980-an. Kini kesimpulan itu ter- paksa diralat, karena dibuat ber- dasarkan fakta empirik sesaat dan dipoles aneka teori yang dipaksa- kan untuk mendukungnya. * Dr Ariel Heryanto, staJ pengajar UKSW, Salatiga. Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Upload: vuonglien

Post on 28-Apr-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ADA yang mengganggu dalam perbincangan tentang kelas me­nengah Indonesia belakangan ini. Sering dikatakan bahwa kelas me­nengah Indonesia tidak ada. Teta­pi juga dikatakan terlalu lemah. sehingga tidak penting diperhi­tungkan dalam proses demokrati­sasi. Ada dua alasan yang sering dikemukakan untuk penilaian negatif ini. Dikatakan bahwa kelas ini terlalu kecil jumlahnya. Juga dikatakan kelas ini terlalu bergan-' tung pada pihak yang sedang berkuasa, khususnya birokrasi negara dan para pejabatnya.

Pandangan demikian memang tidak barn. Juga, tidak sepenuh­nya keliru. Sepuluh tahun lalu gagasan itu menjadi pandangan yang sangat kuat dalam perdeba­tan ten tang kelas menengah Indo­nesia. Sudah sejak masa itu ia pan­tas diperdebatkan. Baik secara konseptual maupun empirik. Teta­pi, ketika pandangan serupa dike­mukakan kembali di pertengahan I 990-an, gugatan terhadapnya terasa semakin mendesak.

Apa yang istimewa pada dekade ini, sehingga ada alasan khusus untuk menggugat pemahaman umum tentang kelas menengah itu? Sudah sukup jelas bagi para pe­ngamatmasyarakatIndonesiamu­takhir bahwa tahun-tahun belaka­ngan ini menjadi tahun kebangki­tan politik kelas menengah. Ham­pir semua berita terbesar di media massa selama parnh pertama de­kade ini dikuasai oleh masalah ini. Tentu saja, ini bukan berarti telah terjadi revolusi yang melenyap­kan atau menjungkirbalikkan se­mua pranata yang ada sebelum­nya. Yang terjadi adalah sebuah pergeseran sosial yang tidak total dan merata, tetapi fundamental.

Berikut ini beberapa contoh ge­jala luar dari proses yang kita bi­earakan. Pertama, terjadinya ge­jolak 'dalam hal kemandirian or­ganisasi swasta dalam menghada­pi intervensi pemerintah. Terma­suk di sini yang dial ami partai politik, LSM, organisasi massa seperti NU atau lembaga agama (HKBP) hingga asosiasi profesio­nal (PWI versus AJI). Kedua, soal kebebasan berkumpul dan ber­pendapat. lni terkuak dalam per­debatan berkepanjang tentang izini pembubaran seminar, diskusi, demonstrasi, serta SIUPP untuk media massa. Di bidang ekonomi ada gugatan pengusaha menengah yang menguat terhadap kolusi eko-

r1offii-dannakrstf~ewa keluarga pejabat. Di sektor politik terjadi pengkajian ulang UU pemilu dan perwakilan ABRI di parlemen. Dalam dunia pendidikan terjadi sejumlah sengketa akademik ver­sus pengelola universitas, dengan kasus PHK Arief Budiman di UKSW sebagai primadonanya.

Semua i~u merupakan sisi lain (yakni konflik) dari sosok kelas menengah yang selama ini lebih ditonjolkan (yakni kaya dan ber­gaya). Sudah terlalu jelas bagi kita semua bagaimana dekade 1990-an ini menjadi dekade bangkitnya gairah konsumen di kota-kota be­sar Indonesia. Menjamurnya pu­sat belanja, acara liburan, pentas hiburan megabintang, menu ma­kanan eksotik, peragaan busana, seminar seks, keperdulian pada lingkungan hidup, pameran kese­nian, aksesori untuk rumah, mo­bil, dan tas menjadi gejala yang tidak punya preseden dalam selu­ruh sejarah republik ini. Bagaima­na semua ini dapat dipahami se­eara lebih baik?

Sosok Mutakhlr Kela~ Menengah

Jawa Pos JUMA T PON 28 JULI 1995 HALAMAN 4

PERUBAHAN SOSIAL Pertama-tama pantas disimak

ada beda di antara pernyataan bah­wa kelas menengah Indonesia tidak ada dan kelas menengah itu kecil atau lemah. Kalau kelas me­nengah itu tidak ada, maka ia tidak bisa kecil atau besar, lemah atau kuat. Sering terjadi keraneuan dalam pembahasan yang serba meremehkan kelompok so sial yang dibilang kelas menengah ini. Yang sebentar dikatakan tidak ada, kemudian digambar­kan lemah atau keci!.

Kita lebih dapat memahami dan menghargai pernyataan bahwa tidak ada kelas menengah apabila yang dimaksudkan adalah ter­belahnya masyarakat menjadi dua kelompok (kelas) yang besar: kaum berkuasa dan kaum lemah. Mereka yang kay a dan mereka yang miskin. Kaum berwenang dan mereka yang tersisih. Dalam pandangan demikian, istilah ke­las menengah hanya mengabur­kan kenyataan dan mengacau pembicaraan ten tang kenyataan terse but.

Kitajuga perlu mengkaji seeara kritis pandangan yang kini domi­nan bahwa kelas menengah Indo­nesia lemah atau kecil. Di sini kita perlu berhati-hati membedakan pengertian kelas menengah yang kecil atau yang lemah. Keduanya

sering dicampuradukkan. Atau dianggap tidak terpisahkan. Se­~an-~an apabila kelas menengah ltu kecII, maka dianggap dengan sendirinya lemah. Apabila ia lemah, maka sering ada diasumsi­kan bahwa ia terlalu bergantung pada penguasa. Logika ini layak diperiksa ulang.

Pantas diingat, sejarah telah me­ngajarkan kepada kita: baik per­tumbuhan masyarakat maupun perubahan masyarakat tidak sela­lu membutuhkan sebuah gerakan sosial yang dipimpin oleh kelom­pok dalam jumlah besar. Peruba­han sosial yang bersifat kualitatif ti dak selalu menuntut atau disertai oleh dinamika so sial yang bersifat kuantitatif. Sebaliknya perubahan sosial yang besar-besaran seeara j~~I~ tidak dengan sendiririya dnkutl oleh peru bah an kualitatif besar-besaran pula.

Sejarah nasional kita memberi­kan ilustrasi yang bagus. Masya­rakat di nusantara dijajah bang­sa-bangsa Eropa bukan karen a yang tersebut belakangan jumlah­nya lebih besar. Justru sebaliknya, mereka berjumlah sang at kecil. Tetapi, bangs a asing ini mampu menguasai dan memeras rakyat dalam jumlah yang berlipat ganda lebih besar.

. Sejarah penjajahan berakhirjuga bukan semata- mata atau terutama karena besarnya perlawanan kuan­titatif dari pihak terjajah. Prokla­masi kemerdekaan RI yang tahun ini dirayakan besar-besaran ada­lah hasil yang dipersiapkan dan dibaeakan oleh sekelompok kecil elite mlsionf(lis ..

Bangsa-bangsa Eropa yangjum­lahnya kecil dapat menjajah bangsa-bangsa Asia dan Afrika karena ada kerja sarna yang besar dari pihak terjajah. Sarna halnya dengan yang terjadi dengan pe­nindasan terhadap kaum perem­puan. Juga, sistem apartheid di Afrika Selatan. Atau kemelut di Timor Timur. Mengapa hal itu sampai terjadi, merupakan disku­si tersendiri. Di sini kita hanya mempersoalkan tidak adanya hubungan lang sung di antara uku­ran kuantita suatu kelompok so­sial dengan kekuatannya secara kualitlltif. Menyepelekan kekua­

tan kelas menengah Indonesia .semata-mata berdasarkan fakta atau asumsi bahwa jumlahnya kecil merupakan pernyataan yang lemah secara nalar.

Seandainya masalah jumlah ti­dak terlalu relevan, bagaimana menjelaskan "kelemahan" keias menengah Indonesia? Mungkin pertama-tama perlu dikaji ulang apa benar kelas menengah ini lemah? Dalam .pengertian apa ia dikatakan lemah atau kuat? De­ngan ukuran apa kekuatannya hendak diukur? Tentu, tulisan ini tidak mampu memberikan jawa­ban yang pantas, apalagi tuntas. Namun sebuah catatan kecil di­tawarkan di sini untuk mellghada­pi soal itu.

SEJARAH DAN GERAKAN Dengan segala prestasi yang ada,

kita layak mengakui masih ba­nyaknya kelemahan dalam pem­bahasan kita selama ini ten tang kelas menengah Indonesia. Ba­nyak bahasan menyempitkan pe­ngertian kelas menengah pada kelompok-kelompok pedagang kecillmenengah, at au manajer yang biasanya memang berwatak konservatif di mana pun di dunia ini. Yang kurang diperhitungkan adalah kau~ profesional di bidang hukum, jurnalistik, kebudayaan, seni, akademik, atau para aktivis LSM pada umumnya.

Kalau kelas menengah diartikan sesempit itu masih ada yang perlu dipert.anyaitan. Sifat konservatif atau antiperubahan suatu kelas sosial tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa kelas itu lemah secara sosial-politik. Me­ngapa mereka harus mendobrak status-quo dan merintis peruba­han sosiaI? Apalagi bilastatus-quo itu menguntungkan kepentingan­nya. Justru keadaan ini mungkin menunjukkankekuatannya. Bukan kelemahannya.

Kalau kelompok-kelompok ra­dikal kelas menengah diperhitung­kan, masih sering ada kelemahan lain dalam pembahasan yang membuahkan kesimpulan negatif. Pembahasan ten tang keiom­pok-kelompok radikal ini disusun dalam abstraksi teoritik atau em­pirisme kuantitatif. Mereka juga tidak dipahami dalam suatu pro­ses s,ejar<lh_l'ang dinamik.

Ofeh Ariel Heryanto *

, Lebih jelasnya begini. Kelom­pok-kelompok radikal kelas,me­nengah ini disepelekan karena, mereka tampil sebagai minoritas

dalam angka-angka- yang-keidll pada tabel statistik. Mereka juga disepelekan karena dinilai ber­kali-kali gagal memperjuangkan demokratisasi. Penilaian ini di­susun berdasarkan fakta empirik tentang gerakan sosial yang dipi­sahkan dari sejarah. Dan, getakan sosial itu dituntut memenuhi hara­pan muluk yang ditetapkan sewe­nang-wenang oleh si peneliti ber­sarna khalayak umum.

Karena terbuai berbagai dongeng heroik tentang perjuangan kaum intelektual dan demonstran, ba­nyak orang kecewa. Semua itu tinggal mitos di awang-awang. Ak­ibatnya sangat sulit bagi kita un-

. tuk menghargai berbagai keber­hasilan kecil-kecilan yang telah banyak dicapai oleh aktivis kelas menengah ini.

Kelas menengah, seperti kelas yang mana pun, bukan Ratu Adil yang akan menciptakan kese­jahteraan bagi seluruh masyarakat tanpa pamrih. Sebagai sebuah kelas sosial mereka dibebani ke­pentingan kelasnya sendiri. Per­soalannya, bukan apakah mereka mampu membuang kepentingan sendiri. Tetapi, apakah dalam memperjuangkan kepentingan sendiri mereka mampu memper­luas dan menampung berbagai kepentingan kelompok atau kelas lain. Khususnya kaum bawahan yang menjadi mayoritas sosia!.

Dalam pemahasan selama ini juga sering diabaikan bahwa per­juangan demokratisasi di mana pun butuh l)1elalui sejumlah ke­lokan dan tahapan. Tidak sela­lu lurus dan tidak segera menca­pai hasil positif.

Upaya yang semula kelihatan­nya terhempas pada suatu kondisi ternyata membuahkan hasil pada kondisi lain. Proses sejarah ini

. tidak mungkin terekam dalam tabel statistik, 'dan biasanya te­rabaikan dalam ulasan yang me­ngandalkan empirisme.

Perjuangan demokratisasi kelas menengah di Indonesia mengala­mi hal serupa. Banyak peneliti terkemuka membuat kesimpulan negatif ten tang mereka pada 1980-an. Kini kesimpulan itu ter­paksa diralat, karena dibuat ber­dasarkan fakta empirik sesaat dan dipoles aneka teori yang dipaksa­kan untuk mendukungnya.

* Dr Ariel Heryanto, staJ pengajar UKSW, Salatiga.

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>