social-preneur-vironment in bank sampah gemah ripah

19
LEMBAR COVER TUGAS 2012 Nama NoMahasiswa Kelompok 2 (terlampir) No. Mahasiswa terlampir Nama Matakuliah Masyarakat Ekonomi Dosen Pratikno, Amalinda Savirani, Erwin Endaryanta Judul Tugas Bank Sampah Gemah Ripah Badegan Bantul : SOCIAL-PRENEUR-VIRONMENT (SPV) BASED ECONOMIC ACTIVITIES Jumlah Kata 3.028 CHECKLIST Saya telah: Mengikuti gaya referensi tertentu secara konsisten........... Memberikan soft copy tugas................................... Deklarasi Pertama, saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa: Karya ini merupakan hasil karya saya pribadi. Karya ini sebagian besar mengekspresikan ide dan pemikiran saya yang disusun menggunakan kata dan gaya bahasa saya sendiri. Apabila terdapat karya atau pemikiran orang lain atau sekelompok orang, karya, ide dan pemikiran tersebut dikutip dengan benar, mencantumkan sumbernya serta disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku. Tidak ada bagian dari tugas ini yang pernah dikirimkan untuk dinilai, dipublikasikan dan/atau digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah lain sebelumnya. Kedua, saya menyatakan bahwa apabila satu atau lebih ketentuan di atas tidak ditepati, saya sadar akan menerima sanksi minimal berupa kehilangan hak untuk menerima nilai untuk mata kuliah ini.

Upload: agungwidodo14

Post on 29-Dec-2015

26 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

L E M B A R C O V E R T U G A S 2 0 1 2

Nama NoMahasiswa

Kelompok 2 (terlampir)

No. Mahasiswa terlampir

Nama Matakuliah Masyarakat Ekonomi

Dosen Pratikno, Amalinda Savirani, Erwin Endaryanta

Judul Tugas Bank Sampah Gemah Ripah Badegan Bantul : SOCIAL-PRENEUR-VIRONMENT (SPV) BASED ECONOMIC ACTIVITIES

Jumlah Kata 3.028

CHECKLIST

Saya telah:

Mengikuti gaya referensi tertentu secara konsisten..................................................................Memberikan soft copy tugas.....................................................................................................

Deklarasi

Pertama, saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:

Karya ini merupakan hasil karya saya pribadi.

Karya ini sebagian besar mengekspresikan ide dan pemikiran saya yang disusun menggunakan kata dan gaya bahasa saya sendiri.

Apabila terdapat karya atau pemikiran orang lain atau sekelompok orang, karya, ide dan pemikiran tersebut dikutip dengan benar, mencantumkan sumbernya serta disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku.

Tidak ada bagian dari tugas ini yang pernah dikirimkan untuk dinilai, dipublikasikan dan/atau digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah lain sebelumnya.

Kedua, saya menyatakan bahwa apabila satu atau lebih ketentuan di atas tidak ditepati, saya sadar akan menerima sanksi minimal berupa kehilangan hak untuk menerima nilai untuk mata kuliah ini.

______________________________ Tanda Tangan

Dede Destriyana 10 / 297156 / SP / 23938

A Satria Pratama 10 / 304862 / SP / 24326

Derinda Kusuma Astuti 10 / 297091 / SP / 23924

Dian Permana Surya 10 / 299505 / SP / 24153

Edwin Prianda 10 / 299377 / SP / 24115

Ismail Jiwo Atmoko 10 / 304919 / SP / 24334

BANK SAMPAH “GEMAH RIPAH” BADEGAN :

“SOCIAL-PRENEUR-VIRONMENT (SPV) BASED ECONOMIC ACTIVITIES”

Oleh Kelompok 2 Mata Kuliah Masyarakat Ekonomi

Abstraksi

Social-preneur-vironment (SPV) adalah temuan interseksional yang menjadi

landasan konsepsional berjalannya aktivitas Bank Sampah. Social, adalah bagaimana

Bank Sampah dijalankan dengan orientasi sosial yang mengedepankan semangat

kultural-tradisional dan kegotong royongan warga. Preneur, yang merupakan potongan

dari kata utuhnya, entrepreneur, adalah cara membaca bank sampah dari perspektif

ekonomi praksis alias membaca bank sampah sebagai perusahaan. Sementara

environmental adalah konsepsi dasar bank sampah yang berasal dari latar belakang

mindset Bambang Suwerda, yang memang ahli lingkungan. Menarik untuk kemudian

melihat interseksi ketiga konsep tersebut dalam satu implementasi organisasional

bernama bank sampah.

Kata kunci

Sosial, entrepreneur, environment, bank sampah

Kondisi ekonomi, permasalahan sosial dan bank sampah

Faktanya, data menunjukkan bahwa jumlah wirausahawan di Indonesia masih

sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah wirausahawan di negara – negara lain

yang kondisi ekonominya cenderung baik dan stabil. Menurut sebuah sumber literal yang

dijadikan referensi, Indonesia per hari ini baru memiliki 0,24 persen wirausaha saja dari

jumlah penduduk utuhnya yang mencapai 231,83 juta jiwa. Bandingkan misalnya dengan

beberapa negara seperti Amerika Serikat yang jumlah wirausahawannya mencapai 11

persen, China-Jepang 10 persen, dan Singapura 7 persen ( Kompas Online, Jumat 13

Februari 2010, jam 12:45 ). Data diatas menunjukkan bahwa ini merupakan masalah

pelik dan penting untuk dicarikan solusinya. Terlebih mengingat banyak - tidaknya

jumlah wirausahawan di Indonesia tentu saja akan berdampak banyak pada kestabilan

makroekonomi dan mikroekonomi Indonesia. Jika jumlah wirausahawan Indonesia

mengalami kenaikan, maka dampaknya akan menjadi demikian sistemik, yakni dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi

kriminalitas. Dari sudut pandang poltik pemerintahan, apabila kriminalitas menurun,

maka negara dianggap mampu menjalankan kontrol sosiopolitik dalam negeri dan oleh

karenanya legitimasi kepada negara akan relatif stabil pada level yang tinggi.

Disain paragraf pengantar seperti yang penulis sebutkan pada opening ini jelas

menunjukkan bahwa solusi untuk mensejahterakan masyarakat itu tidak selalu menjadi

domain pemerintah saja, melainkan juga idealnya menjadi domain masyarakat. Artinya,

inisiasi untuk memunculkan solusi kemiskinan bukanlah harus selalu berasal dari

pemerintah. Ini pun merupakan permasalahan masyarakat yang berarti menjadi

permasalahan bersama. Sehingga mindset yang harus kemudian dibentuk adalah bahwa

masyarakat hari ini bukan lagi hanya menjadi objek, melainkan juga subjek untuk

mencapai kesejahteraan. Singkatnya, inisiasi munculnya sebuah kebijakan bisa saja

dimulai secara bottom-up.

Celah inilah yang kemudian dipahami dengan sangat baik oleh Bambang

Suwerda, seorang dosen Politeknik Kesehatan (Poltekes) Kementerian Kesehatan

(Kemenkes) Republik Indonesia (RI) untuk berkotribusi secara riil : bersosial ekonomi.

Bersama - sama dengan warga Badegan, Bantul, terhitung mulai 2008 beliau pribadi dan

dibantu oleh banyak orang desa mendirikan Bank Sampah “Gemah Ripah” yang

ideologi nya adalah social – entrepreneur atau socialpreneur. Pembangunan bank

sampah “Gemah Ripah” ini dimulai pada tahun 2008, mengingat dalam berita media

tahun 2007 pembangunan bank sampah ini seiring dengan proses recovery pasca gempa

di Bantul pada tahun 2006.

Perihal bank sampah, akan ada banyak hal yang bisa penulis paparkan, termasuk

bagaimana mekanisme bank modern yang mampu menjadi senjata ampuh menarik minat

masyarakat pedesaan untuk mencari sampah lalu menabungkannya. Pemaparan ini akan

didapat berdasarkan rumusan masalah bagaimana aktivitas ekonomi bank sampah

“Gemah Ripah” Badegan Bantul dijelaskan melalui sudut pandang social-preneur-

vironment ?.

Social-preneur dalam hal ini adalah aktivitas ekonomi yang dijalankan tidak pada

orientasi untuk sepenuhnya mengambil untung nominal melainkan juga mengedepankan

sisi-sisi sosial. Awalnya, ini nampak ironis. Kebanyakan pedagang, wirausahawan, atau

profesi sejenis yang berlatar belakang niagawan selalu identik dengan orientasi

keuntungan (profit). Sementara socialpreneur dikesankan tidak. Padahal tidak demikian,

Sejatinya bank sampah “Gemah Ripah” juga merupakan unit usaha yang menjalankan

aktivitas ekonomi yang berorientasi profit, hanya saja sisi – sisi sosial juga

dikedepankan.

Dibangun secara multidimensional : interseksi ekonomi, lingkungan dan sosial

Dalam memposisikan diri sendiri sebagai seorang entrepreneur, dalam

menjalankan usaha tidak mungkin terlepas dari pengaruh latar belakang siapa diri kita.

Maksudnya, aspek apapun dalam berbisnis yang mencakup jenis bisnis, pengelolaan, dan

target pemasaran, akan sedikit banyak dipengaruhi oleh background sang pengusaha.

Bank sampah menjadi contoh riil yang membuktikan teori tersebut.

Bank sampah yang menjadi salahsatu contoh konkret dari eksplanasi teoretik

paragraf pengantar bagian kedua ini. Bambang Suwerda dapat disebut expert dalam ilmu

lingkungan, ini dikarenakan latar belakangnya sebagai seorang pengajar di Poltekes

Kemenkes RI yang paada kenyataannya juga memilih untuk tidak meninggalkan latar

belakang ke-lingkungan-an dalam menjalankan perusahaannya. Jika di breakdown total,

bank sampah sebenarnya bisa dibaca lebih dari sekedar perusahaan yang berdiri dan

dominan fokus untuk pemberdayaan masyarakat dari aspek sosial, melainkan juga

sebagai gerakan penyelamatan lingkungan melalui perpanjangan umur sampah. Pada

bagian lain akan dijelaskan secara sistematis bagaimana mekanisme berjalannya bank

sampah, namun dalam paragraf ini setidaknya penulis bisa mengawali satu intisari bahwa

prinsip – prinsip ekologis pada akhirnya juga tidak bisa dipisahkan sejak berdiri dan

kemudian berjalannya bank sampah. Sebaliknya, bank sampah justru menjadikan

lingkungan sebagai ideologi primer, yang kemudian diiriskan dengan orientasi ekonomi

dan kepentingan sosial. Inilah mengapa praktek – praktek pola pikir environmentalist ,

entrepreneural , dan social saling terinterseksi ke dalam ruh bank sampah.

Berdasarkan wawancara tatap muka kelompok 2 pada Selasa, 8 Mei 2012 dengan

Bambang Suwerda di ruang penimbangan sampah, bank sampah justru memunculkan

pula aspek lain di luar aspek social, profit dan environment seperti yang sudah penulis

dipaparkan di awal. Aspek lebih lanjut itu adalah aspek pendidikan yang secara khusus

maksudnya adalah pendidikan bagi anak melalui mekanisme menabung. Lebih lanjut,

Bambang Suwerda menjelaskan bahwa menabung sebenarnya merupakan cara anak

untuk belajar mempersiapkan masa depan. Hal ini harus dilihat sebagai sesuatu yang

penting, menabung adalah bentuk yang sangat baik untuk digunakan sebagai teaching

method bagi anak. Ketika orang tuanya menabung sampah, maka harapannya sang anak

kemudian mempunyai mindset bahwa menabung itu sesuatu yang baik karena dilakukan

oleh orang tuanya. Apalagi jika yang ditabung adalah sampah.

Walaupun begitu, menurut penulis aspek pendidikan ini lebih match untuk

terkategori sebagai dampak positif berjalannya bank sampah daripada unit analisis.

Argumentasinya adalah bahwa memang bukan pendidikan yang menjadi primary goal

Bambang, selain profit itu sendiri juga lingkungan dan sosial. Kalaupun ada kebaikan

kebaikan yang muncul untuk aspek pendidikan, menurut penulis itu tetap menjadi

domain dampak daripada soul. Hal ini lah yang kemudian membuat penulis tidak

menempatkan keberadaan pendidikan secara elaboratif sebagai sebuah latar belakang

substansi berdiri dan berjalannya bank sampah.

Sehingga jelas, bank sampah tidaklah secara sederhana dan tunggal dilihat hanya

dari nilai – nilai ekonomisnya semata, melainkan juga dibangun di atas pondasi aspek –

aspek multidimensional. Bank sampah adalah contoh bagaimana sebuah entitas ekonomi

menunjukkan geliat kreativitas mencari profitnya melalui miksasi aspek – aspek lain

yang jika dirasakan tidak bisa selalu ada hubungannya dengan ekonomi.

Skala usaha, dimensi – dimensi penyokong, peran stakeholders

Bank Sampah bukan satu – satunya entitas bisnis yang dibangun, melainkan

sekaligus dengan tempat penyokong eksistensinya, yaitu rumah produksi dan gerai

penjualan atau biasa disebut distro. Dalam posisi yang seperti ini, bank dilihat sebagai

tempat masuknya calon uang berupa sampah, sampah itu nanti akan kembali pada

penabung melalui mekanisme yang tidak sederhana dengan mengedepankan sirkulasi

‘kesampahan’ yang jelas. Sedangkan substansi dari keberadaan bank sampah, sebenarnya

dimulai dari ide – ide environmentalist dan juga sosial : memperpanjang umur sampah

dan mengkonversi sampah menjadi uang, lalu meningkatkan pendapatan masyarakat

melalui kepedulian ekologis.

Dari perspektif nasabah, ada mekanisme menabung yang terangkai dalam

beberapa alur. Alurnya, seorang nasabah datang dengan membawa sampah yang

sebaiknya sudah dipilah menjadi sampah kering, lalu dibawa ke bank untuk dicek potensi

harga nya, ditimbang dan kemudian disimpankan (ditabung). Tabungan sampah tersebut

kemudian akan dicatatkan oleh teller di dalam buku saku tabungan yang sudah dimiliki

nasabah, lalu setelah tiga bulan akan ada uang panen dan nasabah bisa menukarkan

pencapaian catatan kesampahannya pada teller untuk nantinya ditukarkan dengan uang.

Demikian seterusnya hingga sirkulasi sampah yang sederhana ini secara faktual mampu

memberikan penghasilan tambahan kepada nasabah.

Sementara dari sisi officer, setelah sampah terkumpul, maka kumpulan sampah

tersebut akan dijual kepada pengepul dengan mempertimbangkan fluktuasi harga sampah

yang tercatat secara dinamis melalui kurs pengepul. Selain dijual ke pengepul, beberapa

barang ada juga yang disisihkan untuk dibuat kerajinan oleh pekerja produksi, lalu

dipasarkan. Pemasaran, menurut hasil wawancara dilakukan di showroom (distro yang

khusus menjual produk bank sampah) untuk dijual secara tetap, dan ada juga yang dibawa

ke beberapa penyelenggaraan pameran. Sehingga jelas, sampah itu diputar sedemikian

baik untuk nantinya diubah menjadi uang dan hal inilah yang menarik orang untuk

kemudian bergabung menjadi nasabah bank sampah. Sekedar informasi, sejauh sampai

penelitian ini dilakukan jumlah member individual bank sampah sudah lebih dari 320an

orang, dan jumlah nasabah asosiasi mencapai 16 kelompok.

Skala Usaha : Menengah

Ketika bank sampah sedang dibaca sebagai sebuah entitas bisnis, maka secara

otomatis kita akan juga secara riil

membacanya sebagai sebuah perusahaan

manufaktur. Ini mengingat manufaktur

sendiri dipersepsikan sebagai industri

pengolahan barang baku untuk akhirnya

menjadi produk tertentu. Secara spesifik,

perusahaan ini adalah perusahaan yang

meng-handle proses produksi hingga

pemasaran daur ulang sampah. Dalam cara membaca yang lebih integratif seperti ini,

bank sampah otomatis tidak bisa dilihat ‘seorang diri’, melainkan ia merupakan pintu

masuk bahan bakar pengolahan, yaitu sampah, yang nantinya akan didaur ulang.

Jika industri dilihat dalam perspektif yang utuh, tentu saja seharusnya ia

dibicarakan pada level yang sangat makro. Tidak terkecuali dengan industri ini,

pengelolaan sampah, yang dalam hal ini ia juga harus dilihat sebagai industri yang

potensial dijalankan pada skala besar. Namun begitu secara kontekstual, bank sampah

pada kenyataannya belumlah sampai pada level ideal itu, melainkan memang masih pada

taraf menengah. Melalui respon atas beberapa pertanyaan yang penulis ajukan, Bambang

Suwerda menjelaskan bahwa bank sampah berikut entitas penyokong nya seperti pekerja

produksi dan distro pemasaran, sesungguhnya belum sempurna betul. Semua unit tersebut

bisa dikatakan masih dalam proses menuju perkembangan yang lebih baik lagi dari apa

yang sudah dicapai sekarang. Oleh karenanya menilai bank sampah sebagai perusahaan

yang bergerak di skala menengah menurut penulis sangatlah tepat dan beralasan.

Peran entitas penyokong : peran teknologi, peran modal dan peran ‘kultural’

Peran Teknologi

Seperti yang penulis sudah coba jelaskan pada bagian awal paper ini,

sesungguhnya, baik bank sampah ‘seorang diri’ atau ketika ia dibicarakan berbarengan

dengan entitas lainnya di dalam industri pengolahan sampah “gemah ripah”, merupakan

realisasi sangat sederhana dari ide yang sangat sederhana pula. Bank sampah menjalankan

aktivitas kesehariannya memang secara modern, tetapi modernisasi itu sebenarnya hanya

khusus terdapat pada model pelayanan dan tampilan luar kinerja bank sampah saja, tidak

dengan teknologi pendukungnya.

Untuk memperkuat argumentasi, penulis yang juga berkesempatan untuk bisa

berkunjung ke kantor bank sampah, secara riil memang melihat minimnya peran

teknologi dalam pengelolaan bank sampah, dimulai dari rendahnya aspek yang

membutuhkan sentuhan kemajuan teknologi di dalamnya. Dipertegas bahwa ini terjadi

karena secara konkret bank sampah dikelola secara sederhana dan relatif tidak

membutuhkan sentuhan update teknologi, sehingga kebutuhan akan tumbuh

berkembangnya

penerapan teknologi secara

internal menjadi hampir

tidak ada. Lagipula, target

nasabah sampai sejauh ini

masih dominan pada

warga pedesaan dan

target substansi yang

akan dikejar adalah pada

kesadaran membuang

sampah saja. Sehingga sangat

masuk akal apabila Bambang dan kawan kawan kemudian tidak terlalu memberikan

fokusnya pada sentuhan kemajuan teknologi dalam membangun bank sampah, setidaknya

sampai sejauh ini.

Peran modal dan kultural

Modal tentu saja punya meaning yang sangat luas, yang tidak terbatas pada

pengertian modal sebagai keberadaan uang saja, seperti selama ini mayoritas masyarakat

mempeyorasikan. Hanya saja, dari yang luas itu mungkin tetap akan penulis batasi

sehingga cukup dibicarakan dalam konteks modal nominal dan modal sosial saja.

Secara nominal, secara common sense saja, setiap perusahaan tentu membutuhkan

modal nominal, paling tidak untuk proses pendirian usaha, pembangunan usaha hingga

operasionalisasi. Hanya saja ketika ditanya dari mana sumbernya lalu seberapa jauh

perannya, menurut penulis bab inilah yang sebenarnya dicari sebagai substansi pada

paragraf ini.

Modal nominal dalam proses pembangunan dan operasionalisasi bank sampah

tentu saja dibutuhkan. Sumbernya berasal dari kas desa Badegan, sebagai bukti dari mulai

diterimanya bank sampah sebagai bagian dari prestasi desa Badegan dalam pengelolaan

sampah. Berkaitan dengan peran modal nominal untuk bank sampah itu sendiri,

sesungguhnya tidak lebih dari aktivitas – aktivitas minimal perusahaan yang

membutuhkan support keuangan. Ini secara argumentatif bisa dijelaskan karena

operasionalisasi bank sampah aktual masih bergerak pada tataran menuju pembentukan

industri pengelolaan sampah, dan fokus kajian hari ini masih berada di level menyadarkan

sebanyak – banyaknya masyarakat akan pentingnya menabung sampah. Berbeda halnya

suatu saat nanti mungkin, ketika industri pengelolaan sampah “gemah ripah” sudah benar

benar sampai pada level implementasi, bukan tidak mungkin secara ekonomis uang akan

bisa sangat sering diwacanakan, boleh jadi karena mulai bisa dibicarakannya keberadaan

donor dan investor untuk kepentingan social-preneur-vironment.

Selanjutnya adalah peran kultural, di mana modal dalam bentuk seperti ini

sebenarnya adalah bagian spesifik dari modal sosial. Modal sosial, menurut Fukuyama,

adalah bisa munculnya sebuah kemampuan kolektif yang timbul dari adanya kepercayaan

yang ada di dalam sebuah komunitas. Senada dengan yang Fukuyama teorisasikan,

Putnam berpendapat tidak jauh berbeda, yaitu bahwa modal sosial bisa juga dimaknai

sebagai kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi

keuntungan bersama (Soeharto 2008, h. 97).

Modal sosial pula yang kemudian menjelaskan betapa massifnya peran kultural

warga dalam proses pembangunan dan bahkan operasionalisasi bank sampah. Semangat

gotong royong yang diinisiasi oleh Bambang, akhirnya memang diasumsikan cukup

berhasil menjalankan perusahaan pengelolaan sampah itu. Kultural kemudian

diasumsikan sebagai karakter masyarakat pedesaan yang non-individualis, yang menjadi

primary catalist berkembangnya bank sampah hingga begitu populer seperti saat ini.

Baru ketika bank sampah mulai go national karena prestasinya, pemerintah mulai

turun tangan menawarkan bank sampah untuk menapaki peran yang lebih strategis.

Menurut Bambang, bank sampah hari ini bahkan sudah dijadikan percontohan oleh

kementerian Lingkungan Hidup RI untuk menjadi prototype pembangunan industri

pengelolaan sampah di Indonesia. Peran – peran strategis itu, dan termasuk juga kucuran

nominal, pada level ini bisa dikatakan lebih banyak kuantitasnya.

Kesimpulan: Mata rantai social–entrepreneur–environment : sociopreneurvironment

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah pada pendalaman pencarian

interseksi antara tiga aspek yang dominan menjelaskan siapa dan apa bank sampah

“gemah ripah” itu. Sementara dari sekian banyak data yang penulis peroleh di lapangan

lalu penulis lanjutkan dengan analisis dan pengolahan data, kenyataannya memang

ketiganya menjadi aspek yang punya relevansi sangat kuat. Penulis menjelaskannya

sebagai mata rantai, di mana ketiganya memang mesti dijelaskan dari pemaknaannya

masing – masing terlebih dahulu, baru kemudian secara integratif dimaknai

hubungannya.

Aspek sosial yang penulis maksud dalam konteks ini adalah ketika pada

kenyataannya, bank sampah memang didirikan di atas spirit kolektivitas kultural

masyarakat. Bank sampah didirikan oleh Bambang sebagai inisiator, tetapi proses

pengembangannya kemudian tidak lepas dari gotong royong sebagai dampak dari ada

dan munculnya kesadaran masyarakat sekitar. Atas apa kesadaran itu muncul, tentu saja

penekanannya ada pada aspek yang ekologis, karena di situ intinya, tetapi itu akan

penulis jelaskan pada bagiannya sendiri selanjutnya. Sehingga secara sosial, membaca

bank sampah adalah sama saja dengan membaca satu entitas perekat sosial-kultural

masyarakat Badegan, yang terikat karena sebuah isu, dalam hal ini adalah solusi

permasalahan ekologis-tradisional, yaitu menabung sampah.

Aspek kedua, adalah aspek yang menjadi inti dari proses perekatan sosial seperti

yang penulis telah sebutkan pada paragraf sebelumnya. Aspek ini adalah aspek ekologis,

yang mengambil fokus kajian pada pemanfaatan sampah yang diperpanjang umurnya.

Menurut penulis, peran yang sangat dominan dalam penekanan substansi

environmentalist sebagai ruh bank sampah, telah dengan sangat baik dilakukan oleh

Bambang mengingat latar belakang nya yang mendapatkan pendidikan lingkungan

secara teoretik. Aspek ekologis menjadi aspek yang sangat penting, karena pada aspek

inilah inti perusahaan itu bisa dibicarakan.

Sementara dari perspektif ekonomi sebagai aspek komplementer lainnya, berarti

menjelaskan nilai jual sampah setelah ada usaha untuk memperpanjang umurnya.

Sederhananya, seperti yang sudah penulis jelaskan pada bagian sebelumnya, inisiasi

didirikannya bank sampah salahsatunya bermula dari keresahan Bambang karena masih

minimnya pengetahuan warga Badegan akan tidak baiknya memusnahkan sampah

dengan membakarnya. Sebagai solusi, kemudian muncul yang disebut dengan usaha

memperpanjang umur sampah, berikut

pengelolaannya secara komersil hingga

sampai pada rumah produksi dan gerai distro

daur ulang. Ini jelas mengindikasikan

kemunculan cost dan price secara

berbarengan, yang diikuti dengan kemunculan

profit di tengahnya. Akhirnya, pengelolaan

sampah secara organisasional ini pada

kenyataannya juga bisa dibaca sebagai nilai

ekonomis.

Sebagai penutup, mengaitkan ketiganya

adalah usaha yang sebenarnya harus dilakukan mengingat relevansi ini juga menjadi

jawaban atas rumusan masalah yang penulis ajukan. Menjawab rumusan masalah melalui

serangkaian pembuktian kasuistis yang runtut, berarti memberikan produk akademik.

Berikut adalah kesimpulannya, penutupnya, yang sekaligus menjelaskan mata rantainya.

Terminologi social-preneur-vironment sesungguhnya merupakan perpaduan dari

tiga aspek yang sangat banyak penulis bicarakan pada bagian awal. Perpaduan ini adalah

sebuah kenyataan, di mana bank sampah secara riil memang menjalankan

operasionalisasi nya di atas interseksi tiga aspek ini.

Tujuan keberadaan bank sampah sesungguhnya sangat ekologis, karena di

dalamnya dijelaskan secara aksiologis bagaimana sampah itu bisa diperpanjang umurnya.

Hal yang dilakukan sebenarnya sangatlah sederhana, yaitu bagaimana kebiasaan

membakar sampah itu diubah menjadi menabung sampah. Secara ekologis, ini sangatlah

bernilai karena tentu saja berdampak baik pada lingkungan. Lalu tidak lepas dari

substansi environmentalist , berbarengan dengan itu ada pula sosial, karena di dalamnya

dapat kita temukan social values semacam gotong royong dan workship, yang secara

teoretik penulis turunkan dari interpretasi terhadap modal sosial. Ini menjadi aspek yang

tidak mungkin terpisahkan, karena penulis berangkat dari kondisi riil di lapangan yang

memang menunjukkan hal tersebut. Sementara aspek ekonomi ( entrepreneural ) adalah

aspek yang melengkapi kedua interseksi sebelumnya. Aspek ini sekaligus memberikan

interpretasi alternatif tentang cara menjalankan sebuah bisnis, yang bahkan sudah

menuju pada integrasi industrial. Setidaknya, Bambang memberikan pelajaran kepada

khalayak bahwa menjadi seorang entreprenur sesungguhnya tidak harus melulu

berorientasi pada profit semata, melainkan juga mengkompilasi perspektif lain seperti

halnya sosial dan ekologis.

Daftar Pustaka

Akbar, A 2010, Jumlah Pengusaha Indonesia Masih Rendah, Kompas Online, Jumat 13

Februari 2010 12:45, dilihat 13 Juni 2012,

<

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/02/13/12450552/Jumlah.Pengusaha.Indone

sia.Masih.Rendah>

Soeharto, Edi 2008, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Alfabeta, Bandung

Komunikasi personal, 2012, Bambang Suwerda, 08 Mei 2012, Bantul- Yogyakarta

Lembar kontribusi

Dede Destriyana Ikut semua wawancara dan visitasi ke Bank Sampah, membuat

narasi laporan, mencari teori

Dian Permana Surya Mencari artikel referensi untuk proposal awal, Ikut semua

wawancara dan visitasi ke Bank Sampah, Presentasi di kelas

Edwin Prianda Mencari atikel referensi untuk proposal awal, Ikut semua

wawancara dan visitasi ke bank sampah, Presentasi di kelas

Derinda Kusuma Astuti Ikut semua wawancara, ikut presentasi

Ismail Jiwo Atmoko Ikut semua wawancara dan visitasi ke bank sampah, ikut

presentasi

A Satria Pratama Ikut semua wawancara dan visitasi ke bank sampah, membuat

narasi laporan akhir, presentasi di kelas