slide ortho

47
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Konsep Teori Fraktur II.1.1 Defenisi Fraktur Batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur. Fraktur menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Doengoes (2000) memberikan batasan, fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Fraktur menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian (Chairudin Rasjad, 1998). Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Sylvia A. price, 1999). Pada beberapa keadaan trauma muskuloskeletal, sering fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan. Dislokasi atau luksasio adalah kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan sendi secara komplet/lengkap (Jeffrey M. spivak et al., 1999). Fraktur dislokasi diartikan dengan kehilangan hubungan yang normal antara kedua permukaan sendi disertai fraktur tulang persendian tersebut (Jeffrey M. Spivak et al., 1999). Disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh

Upload: muhammad-asmi

Post on 26-Dec-2015

57 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

orthopedi

TRANSCRIPT

Page 1: slide ortho

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Konsep Teori Fraktur

II.1.1 Defenisi Fraktur

Batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur. Fraktur

menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan

ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur

atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau

tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Doengoes (2000)

memberikan batasan, fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang.

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga

fisik (Price, 1995). Fraktur menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau

patah pada tulang yang utuh. Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang,

tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian (Chairudin Rasjad,

1998).

Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang, biasanya disebabkan oleh

trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga, keadaan tulang, dan

jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang

terjadi disebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila

seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak lengkap tidak melibatkan

seluruh ketebalan tulang (Sylvia A. price, 1999). Pada beberapa keadaan

trauma muskuloskeletal, sering fraktur dan dislokasi terjadi bersamaan.

Dislokasi atau luksasio adalah kehilangan hubungan yang normal antara

kedua permukaan sendi secara komplet/lengkap (Jeffrey M. spivak et al.,

1999). Fraktur dislokasi diartikan dengan kehilangan hubungan yang normal

antara kedua permukaan sendi disertai fraktur tulang persendian tersebut

(Jeffrey M. Spivak et al., 1999).

Disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang,

retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh

Page 2: slide ortho

8

trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya

trauma.

II.1.2 Etiologi

Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi kemampuan

tulang dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan

berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan

membengkok yang menyabkan fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis

tulang yang menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi,

kompresi vertical dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah,

misalnya pada badan vertebra, talus, atau fraktur buckle pada anak-anak

(Arif muttaqin, 2008).

Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan

puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002).

Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang

berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya

fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan

olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan

bermotor.

Pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur daripada

laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang

terkait dengan perubahan hormone pada menopause (Reeves, 2001).

II.1.3 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,

pemendekan ekstremitas, krepituis, pembekakan lokal, dan perubahan warna

(smeltzer, 2002). Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa

sakit, pembengkakan, dan kelainan bentuk.

a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang

di imobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan

Page 3: slide ortho

9

bentuk badai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan

antar fragmen tulang.

b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan

cendrung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)

bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada

fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat

maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan

membandingkan ekstermitas normal.ekstermitas tak dapat berfungsi

dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas

tulang tempat melengketnya otot.

c. Pada fraktur tulang panjang, terjadi pemendekan tulang yang

sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah

tempat fraktur. Fragmen sering Saling melingkupi satu sama lain

sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi).

d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu

dengan yang lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan

jaringan lunak yang lebih berat.

e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai

akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa

baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

II.1.4 Klasifikasi fraktur

Fraktur diklasifikasikan dalam beberapa keadaan berikut.

a. Fraktur traumatik. Terjadi karena trauma yang tiba-tiba mengenai

tulang dengan kekuatan yang besar dan tulang tidak mampu

menahan trauma tersebut sehingga terjadi patah.

b. Fraktur patologis. Terjadi karena kelemahan tulang tulang

sebelumnya akibat kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur

patologis terjadi pada daerah-daerah tulang yang menjadi lemah

Page 4: slide ortho

10

karena tumor atau proses patologis lainnya. Tulang sering kali

menunjukkan penurunan densitas. Penyebab yang paling sering dari

fraktur-fraktur semacam ini adalah tumor, baik tumor primer

maupun metastasis.

c. Fraktur stress. Terjadi karena adanya trauma yang terus-menerus

pada suatu tempat tertentu.

Gambar 2.1 gambaran skematis secara klinis dari fraktur

Klasifikasi jenis sangat umum digunakan dalam konsep fraktur pada

beberapa sumber. Jenis-jenis fraktur tersebut adalah simple fraktur

(fraktur tertutup), compound fracture (fraktur terbuka), transverse

fraktur (fraktur transversal/sepanjang garis tengah tulang), spiral fraktur

(fraktur yang memuntir seputar batang tulang), impact fraktur (fragmen

tulang terdorong ke fragmen tulang lain), greenstick fraktur (salah satu

tulang patah, sedangkan sisi lainnya membengkok), comminuted fraktur

(tulang pecah menjadi beberapa fragmen).

Secara umum, keadaan fraktur secara klinis dapat diklasifikasikan

sebagai berikut.

a. Fraktur tertutup (simple fraktur). Fraktur tertutup adalah fraktur yang

fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur

tidak tercemar oleh lingkungan/tidak mempunyai hubungan dengan

dunia luar.

Page 5: slide ortho

11

b. Fraktur terbuka (compound fraktur). Fraktur terbuka adalah fraktur

yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada

kulit dan jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam),

atau from without (dari luar).

Gambar 2.2. Beberapa gambaran radiologik konfigurasi fraktur

A. Transversal

B. Spiral dan Segmental

C. Segmental

D. Spiral dan segmental

E. Komunitif

F. Depresi

II.1.5 Patofisiologi

Page 6: slide ortho

12

Page 7: slide ortho

13

II.1.6 Komplikasi Fraktur

a. Komplikasi dini

Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca

trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca

trauma disebut komplikasi lanjut.

1) Pada Tulang

a) Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.

b) Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau

tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat

menimbulkan delayed union atau bahkan non union.

Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif

yang sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi

yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago

sendi dan berakhir dengan degenerasi.

2) Pada Jaringan lunak

a) Lepuh, Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit

superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup

kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik.

b) Dekubitus, terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang

oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal

pada daerah-daerah yang menonjol

3) Pada Otot

Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot

tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek

melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang.

Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup

lama akan menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley &

Solomon, 1993).

Page 8: slide ortho

14

4) Pada pembuluh darah

Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus

menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung

pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti

spontan. Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi

bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan

reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh

darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima

pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus pada

kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat

terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu

dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi

(Apley & Solomon, 1993)

5) Pada saraf

Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus),

aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka

dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley &

Solomon,1993).

b. Komplikasi lanjut

Pada tulang dapat berupa mal union, delayed union atau non union. Pada

pemeriksaaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan

atau perpanjang.

1) Delayed union

Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara

normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan

sklerosis pada ujung-ujung fraktur, Terapi konservatif selama 6

bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Lebih 20 minggu dilakukan

cancellus grafting (12-16 minggu).

Page 9: slide ortho

15

2) Non union

Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan. Tipe

I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan

fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang

masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi

fiksasi dan bone grafting. Tipe II (atrophic non union) disebut juga

sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul

sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, rosesunion tidak

akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.

3) Mal union

Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbulkan

deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi.

4) Osteomielitis

Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan

operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed

union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota

gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi

tulang berupa osteoporosis dan atropi otot.

5) Kekakuan sendi

Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan

imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler,

perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.

Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan

melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan

periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita

dengan kekakuan sendi menetap (Apley & Solomon,1993).

Page 10: slide ortho

16

II.1.7 Faktor penyembuhan tulang

Faktor-faktor yang menentukan lama penyembuhan fraktur adalah

sebagai berikut.

a) Usia penderita. Waktu penyembuhan tulang anak-anak jauh lebih

cepat daripada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan aktivitas

proses osteogenesis pada periosteum dan endosteum serta proses

pembentukan tulang pada bayi sangan aktif. Apabila usia bertambah,

proses tersebut semakin berkurang.

b) Lokalisasi dan konfigurasi fraktur. Lokalisasi fraktur memegang

peranan penting. Penyembuhan fraktur metafisis lebih cepat daripada

fraktur diafisis. Di samping itu, konfigurasi fraktur seperti fraktur

transversal lebih lambat penyembuhannya dibandingkan dengan

fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak.

c) Pergeseran awal fraktur. Pada fraktur yang periosteumnya tidak

bergeser, penyembuhannya dua kali lebih cepat dibandingkan

dengan fraktur yang bergeser.

d) Vaskularisasi pada kedua fragmen. Apabila kedua fragmen

mempunyai vaskularisasi yang baik, penyembuhannya tanpa

komplikasi. Bila salah satu sisi fraktur memeiliki vaskularisasi yang

jelek sehingga mengalami kematian, pembentukan union akan

terhambat atau mungkin terjadi nonunion.

e) Reduksi serta imoblisasi. Reposisi fraktur akan memberikan

kemungkinan untuk vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk

asalnya. Imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan dan

kerusakan pembuluh darah yang menggangu penyembuhan fraktur.

f) Waktu imobilisasi. Bila imoblisasi tidak dilakukan sesuai waktu

penyembuhan sebelum terjadi union, kemungkinan terjadinya non-

union sangat besar.

Page 11: slide ortho

17

g) Ruangan di antara kedua fragmen serta interposisi jaringan, baik

berupa periosteum maupun otot atau jaringan fibrosa lainnya akan

mengahambat vaskularisasi kedua ujung fraktur.

h) Faktor adanya infeksi dan keganasan lokal.

i) Cairan sinovial. Cairan sinovial yang terdapat pada persendian

merupakan hambatan dalam penyembuhan fraktur.

j) Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak. Gerakan aktif dan pasif

pada anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi daerah fraktur.

Akan tetapi, gerakan yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa

imobilisasi yang baik juga akan menggangu vaskularisasi.

Penyembuhan fraktur berkisar antara tiga minggu sampai empat bulan.

Secara kasar, waktu penyembuhan pada anak ½ waktu penyembuhan

orang dewasa. Faktor lain yang mempercepat adalah penyembuhan

fraktur adalah nutrisi yang baik, hormone-hormon pertumbuhan, tiroid,

kalsitonin, vitamin D, dan steroid anabolic, seperti kortikosteroid

(menghambat kecepatan perbaikan).

II.1.8 Pemeriksaan Penunjang

a. Radiografi pada dua bidang (cari lusensi dan diskontinuitas pada

korteks tulang).

b. Tomografi, CT Scan, MRI (jarang).

c. Ultrasonografi dan scan tulang dengan radioisotop. (Scan tulang

terutama berguna ketika radiografi/ CT Scan memberikan hasil

negatif pada kecurigaan fraktur secara klinis

II.1.9 Prinsip Dan Metode Pengobatan Fraktur

1. Prinsip Penanganan Fraktur

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan

pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi

(smeltzer, 2002). Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang

Page 12: slide ortho

18

pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk mencapai

reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi

terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada

sifat frakturnya.

Ada kebanyakan kasus, reproduksi tertutupdilakukan dengan

mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling

berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi

dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.

Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan

pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam

bentuk pin, kawat, skrup, paku atau batangan logam dapat digunakan

untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai

penyembuhan tulang solid terjadi.

Tahapan selanjutnya setelah fraktur direduksi adalah

mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan

kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat

dilakukan dengan fiksasi interna dan eksterna. Metode fiksasi eksterna

meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan tehnik gips.

Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna.

Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat

dilakukan dengan mempertahankan reduksi dan imobilisasi. Pantau

status neurovaskular, latihan isometrik, dan memotivasi klien intuk

berpartisipasi dalam memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

2. Prinsip-Prinsip Pengobatan Fraktur

1) Penatalaksanaan awal

Sebelum dilakukan pengobatan defenitif pada satu fraktur, maka

diperlukan:

a) Pertolongan pertama

Page 13: slide ortho

19

Pada penderita fraktur yang penting dilakukan adalah

membersihkan jalan napas, menutup luka dengan verban

bersih dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang

terkena agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri

sebelum diangkut dengan ambulans.

b) Penilaian klinis

Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian

klinis, pakah luka itu tembus tulang, adakah trauma

pembuluh darah/saraf ataukah trauma alat-alat dalam yang

lain.

c) Resusitasi

Kebanyakan penderita fraktur multiple tiba di rumah sakit

dengan syok, sehingga diperlukan resusitasi sebelum

diberikan terapi pada frakturnya sendiri berupa pemberian

transfuse darah dan cairan lainnya serta obat-obat anti nyeri.

2) Prinsip umum pengobatan fraktur

Ada enam prinsip pengobatan fraktur :

a) Jangan membuat keadaan lebih jelek

Beberapa komplikasi fraktur terjadi akibat trauma yang antara

lain disebabkan karena pengobatan yang diberikan disebut

sebagai iatrogenic. Hal ini perlu diperhatikan oleh karena

banyak kasus terjadi akibat penanganan dokter yang

menimbulkan komplikasi atau memperburuk keadaan fraktur

yang ada sehingga merupakan kasus malpraktek yang dapat

menjadi kasus di pengadilan. Beberapa komplikasi yang

bersifat iatrogenic, dapat dihindarkan apabila kita dapat

mencegahnya dengan melakukan tindakan yang memadai

seperti mencegah kerusakan jaringan lunak pada saat

Page 14: slide ortho

20

transportasi penderita, serta luka terbuka dengan perawatan

yang tepat.

b) Pengobatan berdasarkan atas diagnosis dan prognosis yang

akurat

Dengan melakukan diagnosis yang tepat pada fraktur, kita

dapat menentukan prognosis trauma yang dialami sehingga

dapat dipilih metode pengobatan yang tepat. Faktor-faktor

yang penting dalam penyembuhan fraktur yaitu umur

penderita, lokalisasi dan konfogurasi, pergeseran awal serta

vaskularisasi dari fragmen fraktur. Perlu ditetapkan apakah

fraktur ini memerlukan reduksi dan apabila perlu apakah

bersifat tertutup atau terbuka.

c) Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus

(1) Menghilangkan nyeri

Nyeri timbul karena trauma pada jaringan lunak termasuk

periosteum dan endosteum. Nyeri bertambah bila ada

gerakan pada daerah fraktur disertai spasme otot serta

pembengkakan yang progresif dalam ruang yang tertutup.

Nyeri dapat diatasi dengan imobilisasi fraktur dan

pemberian analgetik.

(2) Memperoleh posisi yang baik dari fragmen

Beberapa fraktur tanpa pergeseran fragmen tulang atau

dengan pergeseran yang sedikit saja sehingga tidak

diperlukan reduksi. Reduksi tidak perlu akurat secara

radiologic oleh karena kita mengobati penderita dan tidak

mengobati gambaran radiologic.

(3) Mengusahakan terjadinya penyambungan tulang

Umumnya fraktur yangtelah ditangani, dalam waktu

singkat dapat terjadi proses penyembuhan. Pada fraktur

tertentu, bila terjadi kerusakan yang hebat pada

Page 15: slide ortho

21

periosteum/jaringan lunak sekitarnya, kemungkinan

diperlukan usaha agar terjadi union misalnya dengan bone

graft.

(4) Mengembalikan fungsin secara optimal

Penyembuhan fraktur dengan imobilisasi harus dipikirkan

pencegahan atrofi pada anggota gerak, sehingga perlu

diberikan latihan yang bersifat aktif dinamik (isotonik).

Dengan latihan dapat pula dipertahankan kekuatan otot

serta sirkulasi darah.

(5) Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis

pengobatan

Dalam memilih pengobatan harus dipertimbangkan

pengobatan yang realistik dan praktis.

(6) Seleksi pengobatan sesuai dengan penderita secara

individual

Setiap fraktur memerlukan penilaian pengobatan yang

sesuai, yaitu dengan mempertimbangkan faktor umur, jenis

fraktur, komplikasi yang terjadi dan perlu pula

dipertimbangkan keadaan sosial ekonomi penderita secara

individual.

Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan

definitive, prinsip pengobatan ada empat (4R), yaitu:

1. Recognition; diagnosis dan penilaian fraktur

Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan

fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan

radioogis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan:

a. Lokalisasi fraktur

b. Bentuk fraktur

c. Menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan

Page 16: slide ortho

22

d. Komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah

pengobatan

2. Reduction; reduksi fraktur apabila perlu

Restorasi fragmen fraktur dilakukan untuk

mendapatkan posisi yang dapat diterima. Pada fraktur

intraartikuler diperlukan reduksi anatomis dan sedapat

mungkin mengembalikan fungsi normal dan mencegah

komplikasi seperti kekakuan, deformitas serta perubahan

osteoartritis di kemudian hari.

Posisi yang baik adalah:

a. Alignment yang sempurna

b. Posisi yang sempurna

Fraktur seperti fraktur klavikula, iga dan fraktur

impaksi dari humerus tidak memerlukan reduksi angulasi

< 5° pada tulang panjang anggota gerak bawah dan lengan

atas dan angulasi sampai 10° pada humerus dapat

diterima. Terdapat kontak sekurang-kurangnya 50%, dan

over-riding tidak melebihi 0,5 inchi pada fraktur femur.

Adanya rotasi tidak dapat diterima dimanapun lokalisasi

fraktur.

3. Retention; Imobilisasi fraktur

4. Rehabilitation; mengembalikan aktifitas fungsional

semaksimal mungkin.

3. Metode-Metode Pengobatan Fraktur

1) Fraktur tertutup

Metode pengobatan fraktur pada umumnya dibagi dalam:

a) Konservatif

b) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna atau fiksasi

kutaneus

Page 17: slide ortho

23

c) Reduksi terbuka dan fiksasi interna atau fiksasi eksterna

tulang

d) Eksisi fragmen tulang dan penggantian proses

a) Konservatif

Terdiri atas

(1) Proteksi semata-semata

Proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma lebih

lanjut misalnya dengan cara memberikan sling (mitela)

pada anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak

bawah.

Indikasi:

Terutama diindikasikan pada fraktur-fraktur tidak

bergeser, fraktur iga yang stabil falangs dan metacarpal

atau fraktur klavikula pada anak. Indikasi lain yaitu

fraktur kompresi tulang belakang, impaksi fraktur pada

humerus proksimal serta fraktur yang sudah mengalami

union secara klinis, tetapi belum mencapai konsolidasi

radiologik.

(2) Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi)

Imobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna hanya

memeberikan sedikit imobilisasi, biasanya

mempergunakan plester of paris (gips) atau dengan

bermacam-macam bidai dari plastic atau metal.

Indikasi:

Digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan

posisinya dalam proses penyembuhan.

(3) Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi

posisinya dalam proses penyembuhan.

Page 18: slide ortho

24

Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi, dilakukan

dengan baik dengan pembiusan umum ataupun lokal.

Reposisi yang dilakukan melawan kekuatan terjadinya

fraktur, penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan

alat utama pada tekhnik ini.

Indikasi

(a) Sebagai bidai pada fraktur untuk pertolongan pertama

(b) Imobilisasi sebagai pengobatan defenitif pada fraktur

(c) Diperlukan manipulasi pada fraktur yang bergeser

dan diharapkan dapat direduksi dengan cara tertutup

dan dapat dipertahankan. Fraktur yang tidak stabil

atau bersifat komunitif akan bergerak di dalam gips

sehingga diperlukan pemeriksaan radiologis

berulang-ulang.

(d) Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis

(e) Sebagai alat bantu tambahan pada fiksasi interna yang

kurang kuat

(4) Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan

imobilisasi

Reduksi tertutup pada fraktur yang diikuti dengan traksi

berlanjut dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu

traksi kulit dan traksi tulang.

(5) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi

Dengan mempergunakan alat-alat mekanik seperti bidai

Thomas, bidai Brown Bohler, bidai Thomas dengan

pearson knee flexion attachment.

Tindakan ini mempunyai dua tujuan utama berupa

reduksi yang bertahap dan imobilisasi.

Indikasi

Page 19: slide ortho

25

(a) Bilamana reduksi tertutup dengan manipulasi dan

imoblisasi tidak memungkinkan serta untuk

mencegah tindakan operatif misalnya pada fraktur

batang femur, fraktur vertebra servikalis.

(b) Bilamana terdapat otot yang kuat mengelilingi fraktur

pada tulang tungkai bawah yang menarik fragmen

dan menyebabkan angulasi, over-riding dan rotasi

yang dapat menimbulkan malunion atau delayed

union.

(c) Bilamana terdapat fraktur yang tidak stabil, oblik,

fraktur spiral atau komunitif pada tulang panjang.

(d) Fraktur vertebra servikalis yang tidak stabil.

(e) Fraktur femur pada anak-anak (traksi Bryant = traksi

Gallow).

(f) Fraktur dengan pembengkakan yang sangat hebat

disertai dengan pergeseran yang hebat serta tidak

stabil, misalnya pada fraktur suprakondiler humerus.

(g) Jarang pada fraktur metakarpal.

(h) Sekali-kali pada fraktur colles atau fraktur pada orang

tua dimana reduksi tertutup dan imobilisasi eksterna

tidak memungkinkan

Ada empat metode traksi kontinu yang digunakan:

(a) Traksi kulit

Traksi kulit dengan mempergunakan leukoplas yang

melekat pada kulit disertai dengan pemakaian bidai

Thomas atau bidai brown bohler. Traksi menurut

Bryant (gallow) pada anak-anak di bawah 2 tahun

dengan berat badan kurang dari 10 kg. Traksi juga

dapat dilakukan pada fraktur suprakondiler humeri

menurut Dunlop.

Page 20: slide ortho

26

(b) Traksi menetap

Traksi menetap juga mempergunakan leukoplas yang

melekat pada bidai Thomas dan bidai brown bohler

yang difiksasi pada salah satu bagian dari bidai

Thomas. Biasanya dilakukan pada fraktur femur yang

tidak bergeser.

(c) Traksi tulang

Traksi tulang dengan kawat Kirschner (K-wire) dan

pin Steinmann yang dimasukkan ke dalam tulang dan

juga dilakukan traksi dengan mempergunakan berat

beban dengan bantuan bidai Thomas dan bidai Brown

Bohler. Tempat untuk memasukkan pin, yaitu pada

bagian proksimal tibia di bawah tuberositas tibia,

bagian distal tibia, trokanter mayor, bagian distal

femur pada kondilus femur, kalkaneus (jarang

dilakukan), prosesus olekranon, bagian distal

metakarpal dan tengkorak.

(d) Traksi berimbang dan traksi sliding

Traksi berimbang dan traksi sliding terutama

digunakan pada fraktur femur, mempergunakan traksi

skeletal dengan beberapa katrol dan bantalan khusus,

biasanya dipergunakan bidai Thomas an pearson

attachment.

Page 21: slide ortho

27

Gambar 2.3. macam-macam traksi

A. Traksi dengan berat

B. Traksi menetap

C. Traksi Dunlop

D. Traksi Hamilton Russel

E. Traksi berimbang dengan bidai

Thomas dan pegangan pearson

Komplikasi dari traksi kontinu yaitu:

(a) Penyakit trombo-emboli

(b) Infeksi kulit superficial dan reaksi alergi

(c) Leukoplas yang mengalami robekan sehingga fraktur

mengalami pergeseran

(d) Infeksi tulang akibat pemasangan pin

(e) Terjadi distraksi diantara kedua fragmen fraktur

(f) Dekubitus pada daerah tekanan bidai Thomas,

misalnya pada tuberositas isiadikus.

Page 22: slide ortho

28

b) Reduksi tertutup dengn fiksasi eksterna atau fiksasi

perkutaneus dengan K-Wire

Setelah dilakukan reduksi tertutuppada fraktur yang

bersifat tidak stabil, maka resuksi dapat dipertahankan

dengan memasukkan K-wire perkutaneus misalnya pada

fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak atau fraktur

colles. Juga dapat dilakukan pada fraktur leher femur dan

pertrokanter dengan memasukkan batang metal, serta pada

fraktur batang femur dengan teknik tertutup dan hanya

membuat lubang kecil pada daerah proksimal femur. Teknik

ini biasanya memerlukan bantuan alat rontgen image

intensifier (C-arm).

c) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna atau fiksasi eksterna

tulang

Tindakan operasi harus diputuskan dengan cermat dan

dilakukan oleh ahli bedah serta pembantunya yang

berpengalaman dalam ruangan aseptic. Operasi harus

dilakukan secepatnya (dalam satu minggu) kecuali bila ada

halangan. Alat-alat uang dipergunakan dalam operasi yaitu

kawat bedah, kawat Kirschner, Screw, Screw dan plate, pin

Kuntscher intrameduler, pin rush, pin Steinmann, pin

Trephine, (pin smith Peterson), plate dan screw smith

Peterson, pin plate telekospik, pin Jewett dan protesis.

Page 23: slide ortho

29

Gambar 2.4. Beberapa macam penggunaan implant pada tindakan operasi

A. Kirschner wire

B. Screw

C. Plate dan screw

D. Kuntscher nail

E. Interlock nail

F. Protesis

Selain alat-alat metal, tulang yang mati ataupun hidup dapat

pula digunakan bone graft baik autograft/allograft, untuk

mengisi defek tulang atau pada fraktur yang nounion.

Operasi dilakukan dengan cara membuka daerah fraktur dan

fragment direduksi secara akurat dengan penglihatan

langsung. Saat ini teknik operasi pada tulang dikembangkan

oleh grup ASIF (metode AO) yang dilakukan di Swiss

dengan menggunakan peralatan yang secara biomekanik

telah diteliti.

Prinsip operasi teknik AO berupa reduksi akurat,

reduksi rigid dan mobilisasi dini yang akan memberikan hasil

fungsional yang maksimal.

Page 24: slide ortho

30

(1) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna

Indikasi:

(a) Fraktur intra-artikuler misalnya fraktur

maleolus,kondilus, olekranon, patella.

(b) Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan

misalnya fraktur radius dan ulna disertai malposisi

yang hebat atau fraktur yang tidak stabil.

(c) Bila terdapat interposisi jaringan di antara kedua

fragmen.

(d) Bila diperlukan fiksasi rigid misalnya pada fraktur

leher femur.

(e) Bila terjadi fraktur dislokasi yang tidak dapat

direduksi secara baik dengan reduksi tertutup

misalnya fraktur Monteggia dan fraktur Bennett.

(f) Fraktur terbuka.

(g) Bila terdapat kontraindikasi pada imobilisasi

eksterna sedangkan diperlukan mobilisasi yang

cepat, misalnya fraktur pada orang tua.

(h) Eksisi fragmen yang kecil.

(i) Eksisi fragmen tulang yang kemungkinan

mengalami nekrosis avaskuler misalnya fraktur

leher femur pada orang tua.

(j) Fraktur avulsi misalnya pada kondilus humeri

(k) Fraktur epifisis tertentu pada grade III dan IV

(Salter – Harris) pada anak-anak

(l) Fraktur multipel misalnya frakturpada tungkai atas

dan bawah

(m) Untuk mempermudah perawatan penderita

misalnya fraktur vertebra tulang belakang yang

disertai paraplegia.

Page 25: slide ortho

31

(2) Reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna

Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksterna dengan

mempergunakan kanselosa screw dengan

metilmetakrilat (akrilik gigi) atau fiksasi eksterna

dengan jenis-jenis lain misalnya menurut AO atau

inovasi sendiri dengan mempergunakan screw schanz

Indikasi:

(a) Fraktur terbuka grade II dan grade III

(b) Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau

tulang yang hebat

(c) Fraktur dengan infeksi atau infeksi pseudoartrosis

(d) Fraktur yang miskin jaringan ikat

(e) Kadang-kadang pada fraktur tungkai bawah

penderita diabetes mellitus

Komplikasi reduksi terbuka:

(a) Infeksi (osteomielitis)

(b) Kerusakan pembuluh darah dan saraf

(c) Kekakuan sendi bagian proksimal dan distal

(d) Kerusakan periosteum yang hebat sehingga terjadi

delayed union atau nounion

d) Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis

Pada fraktur leher femur dan sendi siku orang tua, biasanya

terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen atau nounion, oleh

karena itu dilakukan pemasangan protesis yaitu alat dengan

komposisi metal tertentu untuk menggantikan bagian yang

nekrosis. Sebagai bahan tambahan sering dipergunakan

metilmetakrilat.

Page 26: slide ortho

32

2) Fraktur terbuka

Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi

hubungan dengan lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi

kontaminasi bakteri sehingga timbul komplikasi berupa infeksi.

Luka pada kulit dapat berupa tusukan tulang yang tajam keluar

menembus kulit (from within) atau dari luar oleh karena

tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung (from

without).

Fraktur terbuka merupakan keadaan darurat yang

memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi

resiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi

penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak.

Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam

penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan

dengan segera, secara hati-hati, debridemen yang berulang-

ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang

dini serta pemberian antibiotik yang adekuat.

Secara klinis patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat

(pusponegoro A.D., 2007), yaitu:

Derajat I : terdapat luka tembus kecil seujung jarum, luka

ini di dapat dari tusukan fragmen-fragmen tulang dari dalam.

Derajat II : Luka lebih besar disertai dengan rusaknya kulit

subkutis. Kadang-kadang ditemukan adanya bebda-benda asing

di sekitar luka.

Derajat III : luka lebih besar dibandingkan dengan luka pada

derajat II. Kerusakan lebih hebat karena sampai mengenai tendon

dan otot-otot saraf tepi.

Page 27: slide ortho

33

Tabel 2.1

Klasifikasi yang dianut menurut Gustilo, Merkow dan

Templeman

Grade Keadaan Klinis

I

II

III

III a

III b

III c

Luka kecil kurang dari 1 cm panjangnya,

biasanya karena luka tusukan dari fragmen

tulang yang menembus keluar kulit. Terdapat

sedikit kerusakan jaringan dan tidak terdapat

tanda-tanda trauma yang hebat pada jaringan

lunak. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat

simpel, transversal, oblik pendek atau sedikit

komunitif

Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak ada

kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi kulit.

Terdapat kerusakan sedang dari jaringan

dengan sedikit kontaminasi dari fraktur.

Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan

lunak termasuk otot, kulit dan struktur

neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat.

Tipe ini biasanya disebabkan oleh karena

trauma dengan kecepatan tinggi.

Jaringan lunak cukup menutup tulang yang

patah walaupun terdapat laserasi yang hebat

ataupun adanya flap. Fraktur bersifat segmental

atau komunitif yang hebat.

Fraktur disertai dengan trauma hebat dengan

kerusakan dan kehilangan jaringan, terdapat

pendorongan (stripping) periost, tulang terbuka,

kontaminasi yang hebat serta fraktur komunitif

Page 28: slide ortho

34

yang hebat.

Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan

arteri yang memerlukan perbaikan tanpa

memperhatikan tingkat kerusakan jaringan

lunak.

Pada luka derajat I biasanya tidak mengalami kerusakan

kulit, sehingga penutupan kulit dapat ditutup secara primer.

Namun pada derajat II, luka lebih besar dan bila dipaksakan

menutup luka secara primer akan terjadi tegangan kulit. Hal ini

akan mengganggu sirkulasi bagian distal. Sebaiknya luka

dibiarkan terbuka dan luka ditutup setelah 5-6 hari (delayed

primary suture). Untuk fiksasi tulang pada derajat II dan III

paling baik menggunakian fiksasi eksterna. Fiksasi eksterna

yang sering dipakai adalah judet, roger anderson, dan methly

metbacrylate. Pemakain gips masih dapat diterima, bila peralatan

tidak ada. Namun, kelemahan pemakaian gips adalah perawatan

yang lebih sulit.

Salah satu tindakan untuk fraktur terbuka yaitu dilakukan

debridemen. Debridemen bertujuan untuk membuat keadaan luka

yang kotor menjadi bersih, sehingga secara teoritis fraktur

tersebut dapat dianggap fraktur tertutup. Namun secara praktis,

hal tersebut tidak pernah tercapai. Tindakan debridemen

dilakukan dalam anestesi umum dan selalu harus disertai dengan

pencucian luka dengan air yang steril/NaCl yng mengalir.

Pencucian ini memegang peranan penting untuk membersihkan

kotoran-kotoran yang menempel pada tulang.

Untuk menentukan batasan jaringan yang vital dan nekrotik.

Didaerah luka dicukur rambutnya, dicuci dengan detergen yang

lunak (missalnya physohek), sabun biasa dengan lamanya 10

Page 29: slide ortho

35

menit, dan dicuci dengan air mengalir. Dengan siraman air

mengalir diharapkan kotoran-kotoran dapat terangkat mengikuti

aliran air.

Tindakan pembedahan berupa eksisi pinggir luka, kulit,

subkutis, fisia, dan pada otot-otot nekrosis yang kotor. Fragmen

tulang yang kecil dan tidak mempengaruhi stabilitas tulang

dibuang. Fragmen yang cukup besar tetap dipertahankan.

Komplikasi fraktur terbuka :

a) Perdarahan, syok septic sampai kematian

b) Septikemia, toksemia oleh karena infeksi piogenik

c) Tetanus

d) Gangren

e) Perdarahan sekunder

f) Delayed union

g) Nounion dan malunion

h) Kekauan sendi

II.2 Konsep mobilisasi dini

Segala jenis aktivitas rutin yang biasa dilakukan individu dalam

kehidupan sehari-hari, seperti mandi, makan, menulis, dan lain-lain yang

berhubungan dengan otot, dan hal tersebut merupakan rentang

gerak/mobilisasi. Rentang gerak atau mobilisasi adalah kemampuan

maksimal seseorang dalam melakukan gerakan. Merupakan ruang gerak

atau batas-batas gerakan dari kontraksi otot dalam melakukan gerakan,

apakah otot memendek secara penuh atau tidak, atau memanjang secara

penuh atau tidak.

Latihan rentang gerak, dapat mencegah terjadinya kontraktur, atropi

otot, meningkatkan peredaran darah ke ekstremitas, mengurangi

kelumpuhan vascular, dan memberikan kenyamanan klien. Perawat harus

mempersiapkan, membantu, dan memberikan kenyamanan pada klien.

Page 30: slide ortho

36

Perawat harus mempersiapkan, membantu, dan mengajarkan klien untuk

latihan rentang gerak yang meliputi semua sendi.

II.2.1 Defenisi Mobilisasi

Mobilisasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada

pasien paska operasi dimulai dari bangun duduk dan duduk sampai

pasien turun dari tempat tidur dan mulai berjalan dengan bantuan alat

sesuai dengan kondisi pasien (Roper, 2002).

II.2.2 Manfaat Mobilisasi Dini.

Mobilisasi dini merupakan komponen penting dalam perawatan

paska operasi fraktur karena jika pasien membatasi pergerakannya di

tempat tidur dan sama sekali tidak melakukan mobilisasi pasien akan

semakin sulit untuk memulai berjalan.

Menurut beberapa literatur manfaat mobilisasi adalah:

a. Menurunkan insiden komplikasi imobilisasi paskaoperasi meliputi:

sistem kardiovaskular; penurunan curah jantung, peningkatan beban

kerja jantung, hipotensi ortostatik, tromboplebitis/deep vein

trombosis/DVT dan atelektasis. Sistem repirasi: penuran kapasitas

vital, penurunan ventilasi/perfusi setempat. Mekanisme bentuk yang

menurunkan. Embolisme pulmonari. Sistem perkemihan. Infeksi

saluran kemih. Iritasi kulit dan luka yang disebabkan oleh

penekanan, sistem muskuloskeletal: atropy otot, hilangnya kekuatan

otot, kontraktur, hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan osteoprosis.

Sistem gastrointestinal: paralitik ileus, konstipasi, stress ulser,

anoreksia dan gangguan metabolisme.

b. Mengurangi komplikasi respirasi dan sirkulasi.

c. Mempercepat pemulihan peristaltik usus dan kemungkinan distensi

abdomen.

d. Mempercepat proses pemulihan pasien paska operasi.

Page 31: slide ortho

37

e. Mengurangi tekanan pada kulit/ dekubitus.

f. Penurunan intensitas nyeri

g. Frekuensi nadi dan suhu tubuh kembali normal

(asmadi, 2008; Craven & hirenle, 2009; kamel et al, 1990; Lewis et

al, 2000; potter & perry, 1999; Brunner & suddart. 2002)

Mobilisasi dini merupakan komponen penting dalam perawatan paska

operasi fraktur karena jika pasien membatasi pergerakannya di tempat

tidur dan sama sekali tidak melakukan mobilisasi pasien akan semakin

sulit untuk mulai berjalan. Menurut beberapa literatur manfaat

mobilisasi adalah :

a. Gerakan tubuh yang teratur dapat meningkatkan kesegaran tubuh.

b. Memperbaiki tonus otot dan sikap tubuh, mengontrol berat badan,

mengurangi ketegangan, dan meningkatkan relaksasi.

c. Menjaga kebugaran (fitness) dari tubuh.

d. Merangsang peredaran darah dan kelenturan otot.

e. Menurunkan stress seperti hipertensi, kelebihan berat badan, kepala

pusing, kelelahan, dan depresi.

f. Merangsang pertumbuhan pada anak-anak

II.2.3 Jenis Mobilisasi

Jenis mobilisasi atau latihan rentang gerak terbagi menjadi dua, yaitu

rentang gerak aktif dan rentang gerak Pasif. Rentang gerak aktif adalah

kemampuan klien dalam melakukan pergerakan secara mandiri,

sedangkan rentang gerak pasif adalah pergerakan yang dilakukan

dengan bantuan orang lain, perawat atau alat bantu.

II.2.4 Gerakan Mobilisasi

Gerakan rentang gerak bisa dilakukan pada leher, ekstremitas atas, dan

ekstremitas bawah. Latihan rentang gerak pada leher, meliputi gerakan

fleksi ekstensi, rotasi lateral, dan fleksi lateral. Menurut Reeves (2001)

Page 32: slide ortho

38

rentang gerak (ROM) standar untuk ekstremitas atas dan ekstremitas

bawah, adalah sebagai berikut.

Ekstremitas atas

a. Bahu : abduksi, fleksi, ekstensi, dan hiperekstensi.

b. Siku: fleksi dan ekstensi.

c. Lengan depan : pronasi dan supinasi.

d. Pergelangan tangan : fleksi pergelangan, fleksi radialis, fleksi

ulnaris, hiperekstensi pergelangan.

e. Ibu jari : fleksi, ekstensi, dan oposisi (ibu jari berhadapan dengan

jari kelingking).

f. Jari-jari : abduksi, adduksi, fleksi, dan ekstensi.

Ekstremitas bawah

a. Kaki: fleksi, ekstensi, hiperekstensi, adduksi, abduksi, rotasi internal,

dan rotasi eksternal.

b. Lutut: fleksi dan ekstensi.

c. Pergelangan kaki: dorso fleksi, dan plantar fleksi.

d. Telapak kaki: supinasi, dan pronasi.

Page 33: slide ortho

39

Tabel 2.2

Rentang gerak sendi

Pergerakan Rentang

(cakupan)

Kelompok otot

1. Sendi temporomandibular

(synovial joint)

a. Membuka mulut.

b. Menutup mulut.

c. Protrusion.

d. Retrusion.

e. Lateral Motion.

1-2.5 inci

Menutup rapat

0,5 inci

0,5 inci

0,5 inci

Masseter, temporalis.

Pterigoid lateralis

Pterigoid medialis.

2. Tulang belakang (pivot joint)

a. Fleksi.

b. Ekstensi.

c. Hiperekstensi.

d. Fleksi lateral.

e. Rotasi.

45º setiap sisi

45º

10º

45º

90º

Sternokleidomastoid

Trapezius

Trapezius

Sternokleidomastoid

Sternokleidomastoid,

trapezius.

3. Bahu (ball and socket joint)

a. Fleksi.

b. Ekstensi.

c. Hiperekstensi.

d. Abduksi.

e. Abduksi.

f. Sirkumduksi.

80º

180º

50º

180º

230º

360º

Pektoralis mayor,

korakobrakialis, deltoid,

bisep brakii.

Teres mayor

Latissimus dorsi,

deltoid, teres mayor.

Deltoid, suprasinatus.

Pektoralis mayor, teres

mayor.

Deltoid,

Page 34: slide ortho

40

g. Rotasi eksternal.

h. Rotasi internal.

90º

90º

korakobrakialis,

latissimus dorsi, teres

mayor.

Subskapularis,

pektoralis mayor,

latissimus dorsi, teres

mayor.

Bisep brakii, brakialis,

brakioradialis.

4. Siku (hinge joint)

a. Fleksi.

b. Ekstensi.

c. Rotasi untuk supinasi

d. Rotasi untuk pronasi

150º

150º

70-90º

70-90º

Trisep brakii

Bisep brakii, supinator

Pronator teres, pronator

quadrates.

5. Pergelangan tangan

(condyloid joint)

a. Fleksi.

b. Ekstensi.

c. Hiperekstensi.

d. Fleksi radial.

80-90º

80-90º

80-90º

Hingga 20º

Fleksor karpiradialis,

fleksor karpiulnaris.

Fleksor karpiradialis

longus, ekstensor

karpiradialis brevis,

ekstensor karpiulnaris.

Fleksor karpiradialis

longus, ekstensor

karpiradialis brevis,

ekstensor karpiulnaris.

Ekstensor karpiradialis

longus, ekstensor

karpiradialis brevis,

Page 35: slide ortho

41

e. Fleksi ulna.

30-50º

fleksor karpiulnaris.

Ekstensor karpiulnaris,

fleksor karpiulnaris.

6. Tangan dan jari-jari

(condyloid and hinge joint)

a. Fleksi.

b. Ekstensi.

c. Hiperekstensi.

d. Abduksi.

e. Adduksi.

90º

90º

30-50º

25º

25º

Interoseus dorsalis

manus, fleksor

digitorum superfisialis.

Ekstensor indici,

ekstensor digiti minimi.

Ekstensor indici,

ekstensor digiti minimi.

Interoseus dorsalis

manus.

Interoseus Palmaris.

7. Ibu jari (sadle joint)

a. Fleksi.

b. Ekstensi.

c. Abduksi.

d. Adduksi.

e. Oposisi.

90º

90º

30º

30º

Bersentuhan

Fleksor polisis brevis,

oponen polisis.

Ekstensor polisis brevis,

ekstensor polisis longus.

Abductor polisis brevis,

abduktor polisis longus.

Adductor polisis

travensus, adductor

polisis obliqus.

8. Pinggul (ball and socket

joint).

a. Fleksi.

90º-120º

Psoas mayor, iliakus,

Page 36: slide ortho

42

b. Ekstensi.

c. Hiperekstensi.

d. Abduksi.

e. Adduksi.

f. Sirkumduksi.

g. Rotasi internal.

h. Rotasi eksternal.

90º-120º

30º-50º

40º-50º

20º-30º past

midline

360º

90º

90º

iliopsoas.

Gluteus maksimus,

adduktor magnus,

semitendinosus,

semimembranosus.

Gluteus maksimus,

adduktor magnus,

semitendinosus,

semimembranosus.

Gluteus medius, gluteus

minimus.

Adductor magnus,

adductor brevis,

adductor longus.

Psoas mayor, gluteus

maksimus, gluteus

medius, adductor

magnus.

Gluteus minimus,

gluteus medius, tensor

fascialata.

Obquadratus eksternus,

obturator internus,

quadrates femoris.

Page 37: slide ortho

43

9. Lutut (hinge joint).

a. Fleksi.

b. Ekstensi.

120º-130º

120º-130º

Biseps femoris,

semitendinosus,

semimembranosus.

Rektus femoris, vastus

lateralis, vastus

medialis, vastus

intermedius.

10. Ankle/mata kaki (hinge

joint)

a. Plantar fleksi.

b. Dorso fleksi.

45º-50º

20º

Gastroknemius, soleus.

Peroneus, tertius, tibialis

anterior.

11. Kaki.

a. Eversi.

b. Inverse.

Peroneus longus,

peroneus brevis.

Tibialis posterior,

tibialis interior.

12. Jari kaki

a. Fleksi.

b. Ekstensi.

35º-60º

35º-60º

Fleksor hallusis brebis,

lumbrikalis pedis,

fleksor digitorum brevis.

Ekstensor digitorum

longus, ekstensor

digitorum brevis,

ekstensor hallusis

longus.

Page 38: slide ortho

44

c. Abduksi.

d. Adduksi.

Hingga 15º

Hingga 15º

Interoseus dorsalis

pedis, abduktor hallusis.

Abduktor halllusis,

interoseus plantaris.

II.2.5 Persiapan Mobilisasi Dini.

a. Latihan otot-otot kuadriseps femoris dan otot-otot gluteal: (a)

intruksikan pasien mengontraksikan otot-otot panjang pada paha,

tahan selama 10 detik lalu dilepaskan (b) intruksikan pasien

mengkontraksikan otot-otot pada bokong bersama, tahan selama 10

detik lalu lepaskan, ulangi latihan ini 10-15 kali semampu pasien

(hoeman, 2001).

b. Latihan untuk menguatkan otot-otot ekstermitas atas dan lingkar

bahu: (a) bengkokan dan luruskan lengan pelan-pelan sambil

memegang berat traksi atau benda yang beratnya berangsur-angsur

ditambah dan jumlah pengulangannya. Ini berguna untuk menambah

kekuatan otot ekstermitas atas (b)menekan balon karet ini berguna

untuk meningkatkan kekuatan genggaman (c) angkat kepala dan

bahu dari tempat tidur kemidian rentangkan tangan sejauh mungkin

(d) duduk di tempat tidur atau kursi (Asmadi, 2008).

II.2.6 Alat Yang Digunakan Untuk Mobilisasi

Alat bantu yang digunakan untuk mobilisasi adalah:

a. Kruk sering digunakan untuk meningkatkan mobilisasi, terbuat dari

logam dan kayu dan sering digunakan permanen, misalnya

conventional, adjustable dan lofstrand. Kruk biasanya digunakan

pada pasien fraktur hip dan ekstremitas bawah. Kedua lengan yang

benar-benar kuat untuk menopang tubuh pasien dengan

keseimabngan yang bagus.

Page 39: slide ortho

45

b. Canes (tongkat) adalah alat yang ringan , mudah dipindahkan,

setinggi pinggang terbuat dari kayu atau logam, digunakan pada

pasien dengan lengan yang mampu dan sehat, meliputi tongkat

berkaki panjang lurus (single straight-legged) dan tongkat berkaki

segi empat (Quad cane).

c. Walkers adalah satu alat yang sangat ringan, mudah dipindahkan,

setinggi pinggang dan terbuat dari logam, walker mempunyai empat

penyangga yang kokoh klien memegang pemegang tangan pada

batang dibagian atas, melankah memindahkan walker lebih lanjut,

dan melangkah lagi. Digunakan pada pasien yang mengalami

kelemahan umum, lengan yang kuat dan mampu menopang tubuh

usila, pasien dengan masalah gangguan keseimbangan pasien dengan

fraktur hip dan ekstermitas bawah (Gartland, 1987: potter dan perry,

1999).

II.2.7 Pelaksanaan Mobilisasi Dini Pasien Paska Operasi Fraktur

Mobilisasi yang aman memerlukan keseimbangan dan kekuatan

yang cukup untuk menopang berat badan dan menjaga postur. Beberapa

pasien memerlukan bantuan dari peraat untuk bergerak dengan aman

(Hoeman, 2001). Berikut ini diuraikan beberapa tahapan mobilisasi yang

diterapkan pada pasien: preambulation bertujuan mempersiapkan otot

untuk berdiri dan bejalan yang dipersiapkan lebih awal ketika pasien

bergerak dari tempat tidur (Hoeman, 2001). Sitting balance yaitu

membantu pasien untuk duduk disisi tempat tidur dengan bantuan yang

diperlukan (Berger & Williams, 1992).

Pasien dengan disfungsi ekstermitas bawah biasanya dimulai dari

duduk ditempat tidur. Aktivitas ini seharusnya dilakukan 2 atau 3 kalli

selama 10 sampai ddengan 15 menit, kemudian dilatih untuk turun dari

tempat tidur dengan bantuan perawat sesuai dengan kebutuhan pasien

(Lewis at al, 1998). Jangan terlalu memaksakan pasien untuk

Page 40: slide ortho

46

melakukan banyak pergerakan pada saat bangun untuk menghindari

kelelahan standing balance yaitu melatih berdiri dan mulai berjalan.

Perhatiakn waktu pasien turun dari tempat tidur apakah menunjukan

gejala-gejala pusing, sulit bernafas, dan lain-lain. Dan tidak jarang

pasien tiba-tiba lemas akibat hipotensi ortostastik.

Menurut (Berger & Williams, 1992) memperhatikan pusing

sementara adalah tindakan pencegahan yang penting saat

mempersiapkan pasien untuk mobilisasi. Bahkan bedrest jangka pendek,

terutama setelah cedera atau tindakan pembedahan dapat disertai dengan

hipotensi ortostatik. Hipotensi ortosattik adalah komplikasi yang sering

terjadi pada bedrest jangka panjang, meminta pasien duduk disisi tempat

tidur untuk beberapa menit sebelum berdiri biasanya sesuai untuk

hipotensi ortostatik yang benar. Lakukan istirahat sebentar, ukur denyut

nadi (Asmadi, 2008).

Ketika membantu pasien turun dari tempat tidur perawat harus

berdiri tepat di depannya. Pasien meletakkan tangannya dipundak

perawat dan perawat meletakkan tangannya dibawah ketiak pasien.

Pasien dibiarkan berdiri sebentar untuk memastikan tidak merasa

pusing. Bila telah terbiasa dengan posisi berdiri, pasien dapat mulai

untuk berjalan. Perawat harus berada disebelah pasien untuk

memberikan dukungan dan dorongan fisik, harus hati-hati untuk tidak

membuat pasien merasa letih, lamanya periode mobilisasi beragam

tergantung pada jenis prosedur bedah dan kondisi fisik serta usia pasien

(Brunner & Suddarth, 2002).

a. Mobilisasi biasanya dimulai dari parallel bars dan untuk latihan

berjalan dengan menggunakan bantuan alat. Ketika pasien mulai jalan

perawat harus tahu weight bearing ambulation, meliputi : Non weight

bearing ambulation; tidak menggunakan alat bantu jalan sama sekali,

berjalan dengan tungkai tidak diberi beban (menggantung) dilakukan

selama 3 minggu setelah paska operasi.

Page 41: slide ortho

47

b. Partial weight bearing ambulation; menggunakan alat bantu jalan pada

sebagian aktivitas, berjalan dengan tungkai diberi beban hanya dari

beban tungkai itu sendiri dilakukan bila kallus mulai terbentuk (3-6

minggu) setelah paska operasi.

c. Full weight bearing ambulation; semua aktivitas sehari-hari

memerlukan bantuan alat, berjalan dengan beban penuh dari tubuh

dilakukan setelah 3 bulan paska operasi dimana tulang telah terjadi

konsolidasi (lewis et al, 1998).

Pasien paska operasi fraktur hip (pangkal femur) dengan ORIF

dianjurkan untuk mobilisasi duduk dalam periode yang singkat pada hari

pertama paska operasi. Menurut Oldmeadow et al (2006) mobilisasi dini

dianjurkan segera pada 48 jam pada pasien paska operasi fraktur hip.

Berangsur-angsur lakukan mobilisasi dengan kruk (tongkat) no weight

bearing selama 3 s/d 5 bulan proses penyembuhan baru akan terjadi.

Pasien dengan paska operasi batang femur perlu dilakukan latihan otot

kuadrisep dan gluetal untuk melatih kekauatan otot-otot ini penting

untuk mobilisasi, proses penyembuhan 10 s/d 16 minggu, berangsur-

angsur mulai partial weight bearing 4-6 minggu dan kemudian full

weight bearing dalam 12 minggu. Fraktur patella segera lakukan

mobilisasi weight bearing sesuai dengan kemampuan pasien setelah

paska oeparsi dan lakukan latihan isometris otot kuadrisep dengan lutut

berada pada posisi ekstensi. Paska operasi fraktur tibia dan fibula

lakukan mobilisasi dengan partial weight bearing disesuaikan dengan

tingkat cedera yang dialami pasien.

II.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan mobilisasi dini

pasien paska operasi

II.3.1 Kondisi kesehatan pasien

Perubahan status kesehatan dapat mempengaruhi system

muskuloskeletal dan sistem saraf berupa penurunan koordinasi.

Page 42: slide ortho

48

Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh penyakit, berkurangnya

kemampuan untuk melakukan aktivitas. Nyeri paska bedah

kemungkinan sebab lain harus dipertimbangkan. Setelah pembedahan

nyeri mungkin sangat berat, edema, hematom dan spasme otot

merupakan penyebab nyeri yang dirasakan, beberapa pasien menyatakan

bahwa nyerinya lebih ringan disbanding sebelum pembedahan dan

hanya memerlukan jumlah analgetik yang sedikit saja harus diupayakan

segala usaha untuk mengurangi nyeri dan ketidaknyamanan. Tersedia

berbagai pendekatan farmakologi berganda terhadap penatalaksanan

nyeri analgesia dikontrol pasien (ADP) dan analgesia epidural dapat

diberikan untuk mengontrol nyeri, pasien dianjurkan untuk meminta

pengobatan nyeri sebelum nyeri itu menjadi berat. Obat harus diberikan

segera dalam interval yang ditentukan bila awitan nyeri dapat

diramalkan misalnya ½ jam sebelum aktivitas terencana seperti

pemindahan dan latihan ambulasi (Brunner & Suddarth, 2002). Menurut

Brunner & Suddarth (2002) kebanyakan pasien merasa takut untuk

bergerak setelah paska operasi fraktur karena merasa nyeri pada luka

bekas operasi dan luka bekas trauma.

Efek immoblisasi pada system kardivaskular adalah hipotensi

ortostatik. Hipotensi orthostatik adalah suatu kondisi ketidak mampuan

berat dengan karakteristik tekanan darah yang menurun ketika pasien

berubah posisi horizontal ke vertical (posisi berbaring ke duduk atau

berdiri), yang dikatakan hipotensi ortostatik jika tekanan darahnya <100

mmhg (Dingle, 2003 dalam Perry & Potter, 2006). Ditandai dengan sakit

kepala ringan, pusing, kelemahan, kelelahan, kehilangan energy,

gangguan visual, dispnea, ketidaknyamanan kepala dan leher, dan

hampir pingsan atau pingsan (Gilden, 1993 dala Potter & Perry, 1999).

Keadaan ini sering menyebabkan pasien kurang melakukan mobilisasi.

Kelelahan dan kerusakan otot dan neuromuscular, kelelahan otot

mungkin karena gaya hidup, bedrest dan penyakit, keterbatasan

Page 43: slide ortho

49

kemampuan untuk bergerak dan beraktivitas karena otot lelah

menyebabkan pasien tidak dapat meneruskan aktivitas. Kelelahan otot

dapat menurunkan kekuatan pasien untuk bergerak, ditandai dengan

pergerakan yang lambat. Kelelahan yang berlebihan bisa menyebabkan

pasien jatuh atau mengalami ketidakseimbangan pada saat latihan.

Demam paska bedah dapat disebabkan oleh gangguan dan

kelainan. Peningkatan suhu badan pada hari pertama atau kedua

mungkin disebabkan oleh radang saluran nafas, sedangkan infeksi luka

operasi menyebabkan demam setelah kira-kira 1 minggu. Transfuse

darah juga sering menyebabkan demam, dan diperlukan kemungkinan

adanya dehidrasi (sjamsuhidayat & Jong, 2005).

Hipotermia pasien yang telah mengalami anastesi rentan terhadap

manggigil. Pasien yang telah menjalani pemajanan lama terhadap dingin

dalam ruang operasi dan menerima banyak infus intravena dipantau

terhadap hipotermi. Ruangan dipertahankan pada suhu yang nyaman dan

selimut disediakan untuk mencegah menggigil. Resiko hipotermia lebih

besar pada pasien yang berada diruang operasi untuk waktu yang lama

(Brunner & suddarth, 2002).

II.3.2 Emosi

Kondisi psikologis seseorang dapat memudahkan perubahan

perilaku yang dapat menurunkan kemampuan mobilisasi yang baik.

Seseorang yang mengalami perasaan tidak aman, tidak termotivasi dan

harga diri yang rendah akan mudah mengalami perubahan dalam

mobilisasi.

Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan

melakukan aktivitas sehingga lebih mudah, lelah karena mengeluarkan

energy cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya jadi pasien

mengalami keletihan secara fisik dan emosi (Potter & Perry, 1999).

Hubungan antara nyeri dan takut bersifat kompleks. Perasaan takut

Page 44: slide ortho

50

seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat

menimbulkan perasaan takut.

Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan

melakukan aktivitas. Pasien depresi biasa tidak termotivasi untuk

berpartisipasi. Pasien khawatir atau cemas lebih mudah lelah karena

mengeluarkan energy cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya

jadi mereka mengalami keletihan secara fisik dan emosional (Potter &

Perry, 1999).

Tidak bersemangat karena kurangnya motivasi dalam melaksanakan

mobilisasi. Penampilan luka, balutan yang tebal drain serta selang yang

menonjol keluar akan mengancam konsep diri pasien. Efek pembedahan,

seperti jaringan parut yang tidak beraturan dapat menimbulkan

perubahan citra diri pasien secara permanen, menimbulkan perubahan

citra diri pasien secara permanen, menimbulkan perasaan klien kurang

sempurna, sehingga klien merasa cemas, dengan keadaannya dan tidak

termotivasi untuk melakukan aktivitas. Pasien dapat menunjukkan rasa

tidak senang pada penampilannya yang ditunjukkan dengan cara

menolak melihat insisi, menutupi balutannya dengan baju, atau menolak

bangun dari tempat tidur karena adanya selang atau alat tertentu (Potter

& Perry, 1999).

II.3.3 Gaya hidup

Status kesehatan, nilai, kepercayaan, motivasi dan faktor lainnya

mempengaruhi mobilitas. Tingkat kesehatan seseorang dapat dilihat dari

gaya hidupnya dalam melakukan aktivitas dan dia mendefinisikan

aktivitas sebagai suatu yang mencakup kerja, permainan yang berarti,

dan pola hidup yang positif seperti makan yang teratur, latihan yang

teratur, isrtirahat yang cukup dan penanganan stress (Pender 1990 dalam

berger & Williams, 1992). Menurut Oldmeadow et al (2006) tahapan

Page 45: slide ortho

51

pergerakan dan aktivitas pasien sebelum operasi di masyarakat atau di

rumah dapat mempengaruhi pelaksanaan mobilisasi.

II.3.4 Dukungan sosial

Mendefinisikan dukungan sosial sebagai info verbal atau non

verbal, saran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh

orang-orang yang akrab dalam subjek di dalam lingkungan sosialnya

atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan

keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku

penerimannya. Menurut Sjamsuhidayat & Jong (2005). Keterlibatannya

anggota keluarga dalam rencana asuhan keoerawatan pasien dapat

memfasilitasi proses pemulihan. Membantu pasien mengganti balutan,

membantu pelaksanaan latihan mobilisasi atau memberi obat-obatan.

Menurut penelitian yang dilakukan Oldmeadow et al (2006) dukungan

sosial yaitu keluarga, orang terdekat dan perawat sangat mempengaruhi

untuk membantu pasien melaksanakan latihan mobilisasi. Menurut

Olson (1996 dalam Hoeman, 2001) mobilisasi dapat terlaksana

tergantung dari kesiapan pasien dan keluarga untuk belajar dan

berpartisipasi dalam latihan (Olson, 1996 dalam Hoeman, 2001).

II.3.6 Pengetahuan

Pasien yang sudah diajarkan mengenai gangguan muskuloskeletal

akan mengalami peningkatan alternative penanganan. Informasi

mengenai apa yang diharapkan termasuk sensasi selama dan setelah

penanganan dapat memberanikan pasien untuk berpartisipasi secara aktif

dalam pengembangan dan penerapan penanganan. Informasi khusus

mengenai antisipasi peralatan misalnya pemasangan alat fiksasi

eksternal, alat bantu mobilisasi (trapeze, walker, tongkat), latihan dan

medikasiharus didikusikan dengan pasien (Brunner & suddarth, 2002).

Page 46: slide ortho

52

Informasi yang diberikan tentang prosedur perawatan dapat mengurangi

ketakutan pasien.

II.4 Penelitian Terkait

1. Nova Mega Yanti (2009), dengan judul analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien paska operasi

ekstremitas bawah di Rindu B3 RSUP H. Adam Malik Medan. Desian

penelitian menggunakan deskriptif observasi dengan jumlah sampel 24

responden paska operasi ekstremitas bawah. Hasil penelitian analisis uji

regresi logistik menunjukan terdapat pengaruh yang signifikan antara

faktor kondisi kesehatan pasien; Hb terhadap pelaksanaan ambulasi dini

dimana (P═0,026<0,005) dan faktor dukungan sosial sedangkan faktor

dukungan sosial terhadap pelaksanaan ambulasi dini dimana

(p═0,029<0,05). Sedangkan faktor kondisi kesehatan, suhu, hipotensi

ortostatik, pernafasan dan nyeri, faktor emosi, faktor gaya hidup dan

pengetahuan tidak terdapat pengaruh terhadap pelaksanaan ambulasi

dini.

2. Salfitri Aruan dan Suryani (2004), dengan judul faktor-faktor yang

mempengaruhi klien post operasi fraktur untuk mengikuti mobilisasi

secara dini di RSUP Fatmawati. Jumlah responden adalah 30 orang.

Dengan hasil faktor keinginan untuk sembuh/hidup optimal (93,3%),

faktor eksternal stimulus lingkungan (83,3%), faktor internal

pengetahuan (66,7%), kondisi kesehatan (60%).

Page 47: slide ortho

53

II.5 Kerangka teori

Menurut Green, dalam Notoadmojo (2005)

Faktor Predisposisi :

A. Konsep Fraktur

1. Defenisi

2. Etiologi

3. Manifestasi klinis

4. Klasifikasi

5. Patofisiologi

6. Komplikasi

7. Faktor penyembuhan

tulang

8. Pemeriksaan penunjang

9. Prinsip dan metode

pengobatan

Pelaksanaan mobilisasi dini

Faktor pendukung

Mobilisasi dini:

1. Manfaat mobilisasi

2. Jenis mobilisasi

3. Gerakan mobilisasi

4. Persiapan mobilisasi

5. Alat yang digunakan

6. Pelaksanaan mobilisasi

Faktor pendorong

1. Kondisi kesehatan

2. Emosi

3. Gaya hidup

4. Dukungan sosial

5. Pengetahuan