skripsi wahyu full
DESCRIPTION
svvvvvTRANSCRIPT
-
Struktur Semantik Kosa Kata Emosi
dalam Bahasa Indonesia
SKRIPSI
Wahyu Widhiarso 97/116660/PS/03507
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
JOGJAKARTA
2004
-
ii
Dipertahankan di depan Panitian Ujian Skripsi
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian
Dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S-1 Psikologi
Pada tanggal
__________________________
Mengesahkan
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Dekan,
(Drs. Saifuddin Azwar, MA)
Dewan Penguji, Tanda Tangan
1. Prof. Dr. Johana Endang Prawitasari ___________________
2. ____________________
3. ____________________
-
iii
Kalau Kata Tak Lagi Bermakna.... Lebih Baik Diam Saja
-
iv
Kado Mungil Untuk para Orang Tua Sekaligus Guruku :
Tutuk Masahim dan Lilik Umiati M. Noor Rochman Hadjam dan Sofia Retnowati
-
v
KATA PENGANTAR
alhamdulillah rob al alamin
Sujud syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya yang tercurah
selama proses pengerjaan skripsi maupun seluruh proses kehidupan yang dijalani
penulis. Tanpa karunia-Nya yang menyirami jiwa dan raga peneliti, penulis tidak
akan mampu menyelesaikan proses pengerjaan skripsi yang membutuhkan energi
yang besar. Sudah menjadi ketertarikan penulis semenjak awal masa kuliah untuk
memahami hal-hal yang berkaitan dengan fenomena psikologi yang dinamakan
dengan emosi. Banyak sekali berkecamuk pertanyaan mengenai emosi dalam
pikiran yang mengusik ketenangan. Semakin peneliti mengetahui sedikit hal
mengenai emosi, semakin peneliti mengetahui begitu banyak hal-hal lain yang
perlu dipahami. Pada titik inilah proses skripsi dimaknai oleh peneliti sebagai
salah salah satu wadah untuk meredahkan ketenangan yang terusik.
Di tahap-tahap awal masa berkenalan dengan emosi, beberapa jawaban
pertanyaan mengenai emosi banyak penulis dapatkan dari beberapa karya
penelitian monumental dari Prof. Dr. J. Endang Prawitasari. Berkenalan dengan
emosi menjadi semakin akrab tatkala beliau bersedia meluangkan waktunya
menjadi pembimbing skripsi. Peneliti mengucapkan terima kasih atas segala
perhatian dan bimbingannya yang tidak hanya pada proses pengerjaan skripsi saja
tetapi juga pada saat berproses di kampus. Penulis sangat menantikan hadirnya ide
dan gagasan beliau mengenai emosi dalam sebuah buku yang dapat dinikmati
kalangan yang lebih luas.
-
vi
Di sisi lain puluhan pengalaman pasangan serasi Dr. M. Noor Rochman
Hadjam, SU dan Drs. Sofia Retnowati, MS dalam mengaplikasikan pemahaman
emosi non-verbal pada praktek psikoterapi dan konseling juga sangat berarti
dalam meredam kegelisahan pikiran peneliti untuk mengetahui aplikasi dari
pemahaman mengenai emosi. Pasangan serasi ini juga dengan ikhlas dan sabar
memberikan dukungan dan semangat yang tiada henti sebagai bapak dan ibu
penulis, untuk menyelesaikan proses pengambilan data dan penulisan laporan.
Tak hanya itu, keduanya juga menyadarkan bahwa penulis harus segera
menyelesaikan masa kuliah dan berhenti berpura-pura bahwa masa mahasiswa
adalah abadi.
Dukungan yang lain juga diberikan oleh Dra. Aisah Indati, MSi, selaku
pembimbing akademik. Tidak sekedar itu, semangat dan dukungan yang
diberikan pada peneliti selama proses perkuliahan dan pengerjaan skripsi ternyata
bukan karena tugas beliau sebagai pembimbing akademik, tetapi karena cerminan
perhatian dan kasih sayang ibu kepada anaknya yang nakal ini.
Proses pengerjaan skripsi ini juga dibantu oleh Dra. Nida Ul Hasanat, Msi
yang meminjamkan wacana dalam penyusunan alat ukur, kepada bantuan yang
diberikan beliau peneliti mengucapkan terima kasih. Tak lupa kepada segenap
pimpinan universitas, fakultas, maupun pihak terkait, yang membantu proses
administrasi selama proses penelitian penulis juga mengucapkan terima kasih.
Kepada Joko Setyo Purnomo, Nafan Arifian, Handoko Wijatmiko dan
Aldi Agung Permana, para sahabat yang menemai masa-masa tersulit pengerjaan
skripsi. Semoga kerja sama ini kita teruskan di luar dunia kampus.
Peneliti juga mengucapkan kepada para sahabat dalam wadah
PSIKOMEDIA, yang memberikan inspirasi melalui diskusi mengenai tema
-
vii
penelitian yang diangkat oleh peneliti hingga membantu proses pengumpulan kata
emosi yang tertulis pada buku dan cerpen. Mereka-mereka tersebut antara lain
Januar, Mayang, Wresti, Yoyon, Kumi, Kudil, Anta, Khuri, Dodi, Mila, Ana,
Indri, Ardi, Dafa serta Lusi dan Rety.
Para aktor emosi dalam Keluarga Teater RAPAT juga tak ketinggalan
untuk penulis ucapkan terima kasih karena penulis dapat mengeksplorasi emosi
baik melalui melalui latihan bersama. mereka Mereka adalah Hendro Rumpoko,
Dicky, Ikhsan, Yossi, Huda, Arif, Amy, Nanas, Bogel, Sony, Ani dan Greg.
Tak ketinggalan juga para motivator yang selalu menanyakan
perkembangan penelitian seperti Kusumawardani, Rokhmah, Monika, Ana, Diana
Setyawati, Duma, Fatan, Satriyo, Yeye, Sambodo, Gurit dan keluarga besar
Angkatan 97 yang namanya tak mungkin disebut satu persatu.
Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada nama-nama lain yang
mungkin lupa dan belum saya cantumkan disini, yang juga turut mewarnai
kehidupan saya di perkulihan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, saya
ucapkan terima kasih. Semoga karya kecil dari idealisme penulis cukup
memberikan sumbangan dalam menjadikan dunia lebih baik untuk ditinggali bagi
manusia, setidaknya bagi peneliti sendiri, dengan sedikit memudarnya kerisauan
karena sebagian pertanyaan hidup sudah terjawab.
Penulis
-
viii
DAFTAR ISI halaman
Judul ... i
Halaman Pengesahan .... ii
Moto .. iii
Persembahan iv
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi . viii
Daftar Tabel ... x
Daftar Gambar ..... xii
Abstrak .... xiii
BAB I PENGANTAR ....... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Tujuan Penelitian ....... 11
C. Manfaat Penelitian ...... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA . 12
A. Kata Emosi ... 12
1. Kata . 12
2. Emosi . 15
3. Kata Emosi ..... 20
B. Struktur dan Dimensi Kosa Kata Emosi .. 26
C. Kajian Semantik Kosa Kata Emosi ... 38
D. Hipotesis ............................ 46
BAB III METODE PENELITIAN ........ 47
A. Variabel Penelitian ............... 47
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian .... 47
C. Subjek Penelitian .......................................... 49
D. Validitas dan Reliabilitas ......... 49
1. Validitas .. 49
2. Reliabilitas .. 50
E. Instrumen Penelitian ...... 50
F. Metode Analisis Data . 53
-
ix
BAB IV PELAKSANAAN PENELITIAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Pelaksanaan Penelitian .................................... 54
B. Deskripsi Data Penelitian .... 56
1. Analisis Deskriptif antar Dimensi ............................... 57
2. Analisis Deskriptif antar Kata Emosi ...... 58
C. Hasil penelitian ........ 62
1. Analisis Faktor ............................................................. 62
2. Dimensi Emosi (Analisis Skala Multidimensional) ..... 65
3. Struktur Kosa Kata Emosi (Analisis Profil Unsur Semantik)...... 71
D. Pembahasan ............ 79
1. Dimensi Kosa Kata Emosi ........................................... 79
2. Peta Emosi ................................................................... 82
3. Keterbatasan Penelitian ............................................... 89
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 90
A. Kesimpulan ......... 90
B. Saran ....................... 94
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kosa Kata Emosi yang Hendak Dianalisis dalam penelitian ............. 10
Tabel 2.1 Rangkuman Struktur Kosa Kata Emosi .............................................. 30
Tabel 2.2 Dimensi dan Struktur Emosi Berdasarkan
Stimulus Evaluation Check ............................................................... 31
Tabel 2.3 Kemiripan dimensi emosi dengan dimensi Semantik Differensial .... 33
Tabel 2.4 Rangkuman Struktur dan Dimensi Kosa Kata Emosi ........................ 36
Tabel 2.5 Gambaran Emosi Dasar Manusia Menurut Beberapa Ahli ................ 40
Tabel 3.1 Kosa Kata Emosi yang Hendak Dianalisis dalam Penelitian ............. 47
Tabel 3.2 Cetak Biru Skala Semantik Diferensial pada Kosa Kata Emosi ........ 51
Tabel 3.3 Sebaran Butir Pasangan Kata Sebelum Seleksi Butir.......................... 52
Tabel 3.4 Sebaran Butir Pasangan Kata Setelah Seleksi Butir ........................... 53
Tabel 4.1 Distribusi Jenis Kelamin Responden ................................................. 55
Tabel 4.2 Distribusi Suku Bangsa Responden ................................................... 55
Tabel 4.3 Distribusi Usia Responden ................................................................. 55
Tabel 4.4 Statisitik Deskriptif Pasangan Kata Sematik Diferensial .................. 58
Tabel 4.5. Perbandingan Nilai Rerata Kata Emosi antar Dimensi ..................... 59
Tabel 4.6. Hasil Uji Analisis Faktor Kosa Kata Emosi ....................................... 63
Tabel 4.7. Koordinat Kata Emosi pada Peta Kata Emosi ................................... 68
Tabel 4.8 Tinjauan kosa kata emosi berdasarkan struktur kosa kata emosi. ..... 75
Tabel 4.8 Peta Kata Emosi Ditinjau Berdasarkan Kategori Tiap Dimensi ....... 83
-
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Contoh Hasil Analisis Kosa Kata Emosi dengan Menggunakan
Teknik Multidimensional Scaling ................................................ 41
Gambar 2.2 Contoh Hasil Analisis Kosa Kata Emosi dengan Menggunakan
Teknik Hierarchical Cluster ........................................................ 42
Gambar 2.3 Contoh Hasil Analisis Kosa Kata Emosi dengan menggunakan
teknik Natural Semantic Metalanguage (NSM) .......................... 44
Gambar 4.1 Skema Peta Kata Emosi ............................................................... 57
Gambar 4.2. Perbandingan Rentang dan Rerata Kata Emosi pada Dimensi
Evaluasi ........................................................................................ 61
Gambar 4.3 Perbandingan Rentang dan Rerata Kata Emosi pada Dimensi
Aktifitas ........................................................................................ 62
Gambar 4.4 Pemetaan Pasangan Kata Semantik Diferensial Berdasarkan
Kemiripan dalam Menjelaskan Kata Emosi ................................. 65
Gambar 4.5. Peta Kata Emosi Berdasarkan Rerata Tiap Dimensi/Faktor ........ 67
Gambar 4.6 Profil Pasangan Kata Semantic Differential pada kelompok kata
Marah dan Senang ........................................................................ 76
Gambar 4.7 Profil Pasangan Kata Semantic Differential pada kelompok kata
Sedih dan Takut............................................................................ 77
Gambar 4.8. Kluster-kluster di dalam Peta Kata Emosi ................................... 88
-
xii
Struktur Semantik Kosa Kata Emosi dalam Bahasa Indonesia
ABSTRAK
Wahyu Widhiarso
Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap struktur semantik kosa kata emosi dalam Bahasa Indonesia. Hasil identifikasi ini kemudian direfleksikannya ke dalam sebuah peta kata emosi yang menjelaskan posisi tiap kata berdasarkan kemiripan dengan kosa kata emosi lainnya. Peta kata emosi tersebut menjelaskan posisi kata emosi pada koordinat tiga dimensi kosa kata emosi, yaitu dimensi evaluasi, aktifitas dan potensi. Hipotesis Penelitian. Berdasarkan kemiripannya, kata Emosi dalam Bahasa Indonesia memiliki struktur semantik yang dapat disederhanakan menjadi tiga dimensi, yaitu evaluasi, potensi dan aktifitas Prosedur. Subjek penelitian adalah mahasiswa dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang berusia 19-28 tahun. Jumlah subjek penelitian adalah 115 orang. Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala semantik diferensial yang terdiri dari 11 butir polarisasi kata dan telah diuji coba dengan nilai reliabilitas alpha sebesar 0,9034 Hasil. Berdasarkan analisis semantik melalui analisis multidimensional scaling (MDS) didapatkan bahwa berdasarkan kemiripannya, kata Emosi dalam Bahasa Indonesia memiliki struktur semantik yang dapat disederhanakan dalam dua dimensi, sehingga dapat dikatakan bahwa hipotesis penelitian ditolak. Nilai stres yang dihasilkan dari analisis sebesar sebesar 0,38. Nilai stres adalah hasil pengukuran yang menandakan proporsi perbedaan varian yang tidak dapat dijelaskan oleh data. Semakin kecil nilai stres menunjukkan bahwa antara varian dari data yang didapatkan dari responden penelitian (original distance) memiliki kesamaan dengan data yang diharapkan (derived distance). Nilai stres yang didapatkan pada penelitian tergolong kecil karena mendekati nilai nol. Dimensi evaluasi dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu evaluasi positif dan negatif, sedangkan dimensi aktifitas dikelompokkan menjadi aktifitas aktif dan pasif. Tiap dimensi mewakili struktur semantik yang menggambarkan makna yang dimuat pada tiap kata emosi. Kesimpulan dan Saran. Tinjauan dua dimensi pada kata emosi berupa dimensi evaluasi dan dimensi aktifitas terbukti mampu menjelaskan kata emosi dalam Bahasa Indonesia dibanding dengan tiga dimensi. Hal ini dibuktikan dengan nilai sumbangan efektif yang didapatkan adalah 68,52 persen. Pada peta emosi yang tersusun didapatkan keterangan mengenai letak kelompok kata emosi, antara lain: kelompok kata emosi senang terletak pada kuadran I (positif-aktif), 2) emosi sedih pada kuadran IV (negatif-pasif), 3) emosi marah pada kuadran II (negatif-aktif), 4) emosi takut pada kuadran IV (negatif-pasif) dan 5) emosi terkejut pada kuadran IV (negatif-pasif). Tiap kelompok kata emosi memiliki struktur semantik yang khas dan dapat membedakannya dengan kelompok kata emosi lainnya. Pada dimensi evaluasi struktur semantik kosa kata emosi terdiri dari unsur kenyamanan, konsekuensi, atraksi, pemeliharaan diri. Pada dimensi aktifitas struktur semantik kosa kata emosi terdiri dari unsur unsur keaktifan, kemantapan, keteraturan aktifitas, ketegangan, kekuatan, kecepatan, dan unsur kegairahan. Melalui keterbatasan penelitian ini, disarankan pada selanjutnya agar menggunakan kosa kata emosi secara murni dengan membuat batasan yang lebih tegas dan menggunakan butir pasangan semantik yang lebih baik.
-
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang Permasalahan
Bahasa yang diwujudkan dalam kata-kata adalah representasi realitas.
Untuk menyimbolkannya dalam bentuk kata-kata manusia memotong dunia
realitas dan mengklasifikasikannya ke dalam kategori yang berbeda antara satu
budaya dengan budaya lainnya. Cara yang digunakan oleh tiap budaya dalam
memotong realitas adalah dengan subjektif (arbitrary) seperti halnya memotong
sebuah kue sehingga fenomena ini terkenal dengan nama cookie cutter effect
(Albrecht, 1986). Setiap budaya memiliki cara tersendiri dalam memilih satu
wilayah tertentu dari keseluruhan realitas untuk diwujudkan dalam sebuah kata-
kata.
Kata meja misalnya, meskipun berbentuk bundar atau persegi, orang
Indonesia menyatakan bahwa kedua benda tersebut memiliki esensi yang sama
karena melayani fungsi yang sama. Fenomena ini berbeda dengan orang non Indo-
Eropa yang tidak memotong realitas berdasarkan pada fungsinya, melainkan pada
bentuk dasarnya: bundar, persegi, padat, atau cair. Oleh karena itu orang non
Indo-Eropa memiliki kata sendiri untuk tiap meja yang didasarkan pada betuknya
(Izutsu, 1993). Masyarakat non Indo-Eropa melihat bahwa bentuk dan rupa
menentukan apakah sebuah benda itu menjadi milik kategori satu atau kategori
yang lain.
Cohen (dalam Izutsu, 1993), pernah mengambil contoh begitu bahayanya
menyamakan begitu saja kata dalam Bahasa Yunani, arete dengan kata dalam
-
2
Bahasa Inggris, virtue. Padahal kata arete tidak hanya memuat unsur makna
kebajikan saja seperti halnya kata virtue, melainkan juga memuat unsur
keunggulan serta kekaguman yang besar. Penyamaan yang tergesa-gesa antara
satu kata dalam budaya satu dengan budaya lainnya tidak akan pernah mampu
memberikan dasar yang dapat diandalkan untuk memberikan gambaran karakter
psikologis individu didalamnya. Dengan demikian, kata arete apabila ditafsirkan
dengan tergesa-gesa akan memberikan makna yang jauh berbeda dengan makna
aslinya.
Pada contoh yang sederhana, misalnya kata meja saja sudah
mengindikasikan adanya perbedaan antara unsur semantik antara satu budaya
dengan budaya lain, maka betapa lebih banyak lagi perbedaan yang ditemukan
pada sebuah kata dengan objek dengan abstraksi yang lebih tinggi, misalnya kata-
kata yang menggambarkan emosi yang dialami individu. Misalnya kata anger
dalam bahasa Inggris dan marah dalam Bahasa Indonesia, kedua kata tersebut
sebenarnya menjelaskan status psikologis dan memiliki wilayah semantik yang
berbeda, walaupun individu kerap melihat keduanya sebagai kata yang memiliki
kesamaan (Goddard, dalam Wierzbicka, 1999a).
Melalui studinya di Indonesia, Heider (1991) menemukan adanya
perbedaan antara kata cinta dan love. Heider (1991) menyimpulkan bahwa bagi
orang Indonesia, kata cinta lebih menggambarkan nuansa kesedihan sedangkan
kata love lebih mencerminkan kegembiraan. Van Loon (dalam Heider, 1991) juga
melihat bahwa kata amok dan latah dalam budaya Indonesia juga tidak memiliki
padanan kata dalam Bahasa Inggris. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Doi
(1995) yang menemukan bahwa kata amae, sebuah kata dalam Bahasa Jepang
-
3
yang menggambarkan perasaan yang haru bercampur malu, tidak dapat
diterjemahkan dalam bahasa apapun.
Adanya kekhasan budaya dalam memberi label pada pengalaman emosi
juga ditemukan oleh Wierzbicka (1995) yang membuktikan kata anger berbeda
dengan rabbia (bahasa Italia) yang kerap dilihat sebagai kata yang sama,
sebenarnya memiliki perbedaan. Levi (dalam Wierzbicka, 1995) melalui studinya
di Tahiti menjelaskan bahwa tidak ada kesamaan antara perasaan buruk (bad
feelings) dalam pemahaman orang Tahiti jika dibandingkan dengan orang Inggris.
Dalam Bahasa Inggris perasaan tersebut dilambangkan dengan kata sad
sedangkan dalam Bahasa Tahiti perasaan tersebut dilambangkan dengan kata
moemoe. Meskipun keduanya berbasis pada perasaan yang hampir sama yaitu
perasaan negatif (bad feeling), akan tetapi sad dan moemoe tidak dapat begitu
saja dipadankan karena ada muatan makna yang berbeda di dalamnya. Misalnya
kata moemoe lebih menekankan pada perasaan kesepian dan kesendirian,
sedangkan kata sad memiliki muatan makna yang lebih umum. Levi
menambahkan bahwa hal ini tidak menandakan bahwa orang Inggris tidak dapat
merasakan moemoe dan juga sebaliknya, orang Tahiti tidak bisa merasakan sad,
akan tetapi hal ini menandakan bahwa kedua kata tersebut itu menggambarkan
status emosi yang berbeda sehingga tidak dapat disejajarkan.
Penelitian yang hampir sama tentang kosa kata emosi dengan
menggunakan analisis semantik yang mengacu kepada bahasa spesifik sebuah
budaya pernah dilakukan Boster terhadap kosa kata emosi Bahasa Ekuador, Ye
terhadap kosa kata emosi sedih dalam Bahasa Cina (misalnya bei, ai dan chou)
dan Zalizniak terhadap kosa kata emosi dalam bahasa Rusia yang menekankan
-
4
pada perasaan positif dan negatif (misalnya toska, obida) dan perasaan
kebersamaan (misalnya zhalost dan rodnoj) (Sharoff, 2002).
Wierzbicka (1995) menyimpulkan bahwa kata emosi bukanlah kata-kata
yang bebas budaya karena terkait erat dengan bahasa serta skenario kognitif dari
masyarakatnya. Kata anger misalnya, adalah hasil interpretasi orang Inggris
terhadap sebuah pengalaman emosi (raw emotion experience) sedangkan bahasa
lain juga memiliki hasil interpretasi yang berbeda.
Penelitian lain pada konteks lintas budaya juga dilakukan oleh Wierzbicka
(1999a) yang melihat bahwa kata Schadenfreude (Bahasa Jerman) yang memiliki
arti kenikmatan yang diakibatkan oleh kemalangan orang lain, tidak mendapatkan
padanan dalam kosa kata Bahasa Inggris (Wierzbicka dalam Matsumoto, 1995).
Leff dan Hiat (dalam Matsumoto, 1995) juga melakukan penelitian serupa dan
menemukan adanya perbedaan emosi dalam kajian lintas budaya. Leff
menemukan bahwa pada beberapa bahasa di Afrika dua emosi yaitu marah dan
sedih dilambangkan dengan satu kata, sedangkan Hiat menemukan bahwa lima
kata dalam Bahasa Inggris, yaitu terror, horror, dread, apprehension, dan timidity
dapat diwakili dalam satu kata gurakadi (Bahasa Suku Aborigin).
Lutz (dalam Bamberg, 2000) melalui studinya pada masyarakan Ifaluk
menemukan adanya perbedaan antara kata yang menggambarkan perasaan marah
antara metagu (Bahasa Ifaluk) dan anger (Bahasa Inggris). Melalui temuan ini
Lutz (dalam Bamberg, 2000) menyimpulkan bahwa pengalaman emosi terkait
dengan proses pemberian label, penjelasan dan persuasi yang dipengaruhi oleh
budaya. Penjelasan Lutz ini kemudian didukung oleh Harre (1980) yang
mengeluarkan gagasan tentang emotionology, yaitu pandangan bahwa emosi
-
5
dipengaruhi oleh cara individu dalam menggunakan kosa kata emosi dalam
budayanya. Lazarus (1991) juga mendukung peran pentingnya kosa kata emosi
pada emosi individu. Ditambahkan olehnya bahwa sebuah emosi memiliki pusat
jaringan makna (core relation theme) yang menunjukkan kekhasan sebuah emosi.
Pusat jaringan makna adalah gambaran semantik pengalaman emosi yang
merupakan kekhasan emosi tersebut.
Kajian mengenai label-label emosi ini menjadi hal yang kurang
diperhatikan oleh para peneliti dalam mengkaji emosi, hal inilah yang
menyebabkan Harre (dalam Strongman, 1996) pernah menyindir beberapa
psikolog yang banyak berkutat pada tataran konsep yang terlalu abstrak dalam
membedah fenomena emosi. Bagi Harre kalangan psikolog yang mengkaji emosi
hanya berkutat pada satu ilusi yang permanen (permanent illusison) mengenai
keberadaan emosi dimana para psikolog sering mengabaikan persoalan bahwa
proses emosi juga terdiri dari dinamika penggunaan kata emosi.
Melalui beberapa hasil penelitian di muka dapat disimpulkan bahwa kosa
kata emosi yang dipakai oleh sebuah budaya adalah bersifat spesifik (language-
specific) sehingga tidak dapat begitu saja disejajarkan dengan kosa kata emosi
dalam budaya yang berbeda. Pengklasifikasian kata emosi pada satu budaya juga
tidak dapat direfleksikan dalam klasifikasi atau kategori budaya yang berbeda
pula (Wierzbicka, 1995). Melalui uraian tersebut dapat ditarik keterangan bahwa
untuk memahami sebuah kata emosi diperlukan analisis yang didasarkan pada
kekhasan dan keunikan budaya tersebut.
Wacana kajian mengenai psikologi emosi mencakup wilayah cukup luas
yang menyinggung wilayah budaya. Permasalahan kemudian muncul ke
-
6
permukaan ketika masyarakat dengan tergesa-gesa menyejajarkan sebuah kata
emosi dari budaya tertentu dengan kata emosi dari budayanya sendiri (Izutsu,
1993).
Banyak dijumpai dalam kancah penelitian, peneliti di Indonesia mencoba
memahami dinamika sebuah realitas yang terbahasakan dalam budaya Indonesia
dengan menggunakan bahasa dari budaya lain. Misalnya memahami perasaan
marah dengan mengacu pada perasaan anger dalam Bahasa Inggris pada wacana
manca budaya. Hal ini dikarenakan dalam bidang psikologi, penelitian tentang
kosa kata emosi yang murni dalam Bahasa Indonesia sedikit mendapat perhatian
penuh dari peneliti (Mulyadi, tanpa tahun).
Penelitian-penelitian yang berpola grounded research tentang makna
semantik konsep emosi masih jarang dilakukan. Sehubungan dengan keterbatasan
ini, maka sebuah perspektif baru perlu disajikan dalam kajian emosi yaitu
mengungkap makna emosi dalam konstelasi sebuah budaya melalui pemahaman
anggota masyarakat di dalamnya (Mulyadi, tanpa tahun). Penelitian tentang aspek
verbal emosi, yaitu kosa kata emosi akan dapat menjadi pelengkap penelitian-
penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya misalnya penelitian tentang
emosi secara non verbal yang telah dilakukan oleh Prawitasari dkk. (1998) dan
Prawitasari (1995)
Pada kancah penelitian di Indonesia, peneliti melihat bahwa penelitian
mengenai emosi yang dilakukan masih mengabaikan peranan kekhasan budaya ini
dalam membentuk sistem pengetahuan individu. Seperti yang diungkapkan oleh
Lutz (1985), budaya tidak hanya mempengaruhi terbentuknya sistem pengetahuan
dalam aktifitas berpikir dan berbahasa, akan tetapi lebih dari itu, budaya
-
7
membentuk substansi kesadaran individu. Dengan demikian kesadaran mengenai
emosi sangat terkait dengan struktur bahasa melalui unsur-unsur semantik yang
termuat pada tiap kata yang menggambarkan pengalaman emosi. Oleh karena itu
pemahaman mengenai sebuah emosi dapat dilakukan dengan menganalisis kata
emosi yang didapatkan dari masyarakat pemakai bahasa tersebut.
Sampai saat ini upaya pemahaman emosi di Indonesia masih kerap
mengacu kepada referensi emosi dari manca budaya. Model yang digunakan
adalah menyejajarkan secara tiba-tiba sebuah kata emosi dalam Bahasa Indonesia
dengan kata emosi dari bahasa lain yang diperkirakan memiliki arti dan kategori
yang sama berdasarkan makna yang ada di dalam kamus. Penafsiran secara tiba-
tiba tanpa membedakan kekhasan kata emosi juga terlihat jelas dalam kepentingan
praktis. Misalnya seorang peneliti yang hendak meneliti tentang dinamika emosi
marah dan sedih cukup dengan mempelajari dinamika emosi anger dan sad yang
didapatkan dari referensi Bahasa Inggris.
Wacana yang dijadikan acuan dalam memahami sebuah kata--dalam hal
ini kata emosi--adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Melalui KBBI
pengertian mengenai kata emosi dan beberapa kata yang sinonim dengan kata
tersebut dipaparkan dengan jelas. Namun demikian paparan yang disampaikan
oleh KBBI hanya memuat pengertian secara umum sehingga kurang memberikan
informasi yang lebih lengkap mengenai pengalaman emosi. Misalnya intensitas
emosi, unsur-unsur semantik serta perbandingan antara satu kata emosi dengan
kata emosi lainnya tidak dijelaskan oleh KBBI. Oleh karena itu diperlukan sebuah
upaya untuk menganalisis kata emosi dalam Bahasa Indonesia yang diaplikasikan
dalam sebuah kancah penelitian. Mengacu pada apa yang terjadi pada bahasa lain,
-
8
misalnya Bahasa Inggris, pengertian mengenai emosi yang dihasilkan dari
berbagai penelitian sangat memadai. Bahkan sebuah kamus yang berisi tentang
pengertian kata emosi sudah diterbitkan (Davitz dalam Strongman, 1996). Oleh
karena itu pemahaman mengenai kata emosi berupa pengertian, unsur semantik,
dan perbandingan antar sebuah kata emosi dengan kata emosi lainnya sangat
diperlukan.
Minimnya wacana yang membahas kata emosi merupakan sebuah masalah
yang harus dicari penyelesaiannya. Hal ini dikarenakan pemahaman mengenai
kata emosi memberikan manfaat yang sangat besar sekali baik dalam
pengembangan ilmu psikologi emosi maupun psikologi dalam lingkup praktis.
Dalam bidang psikiatri misalnya, pemahaman terhadap depresi sangat bergantung
pada bagaimana budaya menterjemahkan emosi, sehingga pemahaman mengenai
makna sebuah kata emosi merupakan hal yang penting (Lutz, 1985).
Emosi adalah fenomena yang dikonstruksi oleh budaya (Schimmack dkk.,
2002), persoalan inilah yang menjadi perhatian beberapa peneliti yang tertarik
pada masalah emosi dengan mengkaitkannya pada unsur kespesifikan budaya dan
lebih menekankan pada bahasa sebagai media individu dalam memaknai status
emosi yang dialaminya. Untuk mengimplementasikan gagasan tersebut dalam
tingkatan yang lebih aplikatif, kajian emosi dengan memperhatikan masalah
budaya dan bahasa dapat diarahkan pada analisis kata-kata emosi yang merupakan
salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari emosi itu sendiri.
Emosi mewadahi individu untuk berhubungan dengan dunia, tetapi
hubungan ini tidak lengkap sampai emosi dikaitkan dengan status kognitif
individu yang memberikan sebuah label berupa kata-kata pada emosinya (Frijda,
-
9
dalam Strongman, 1996). Thoits menjelaskan bahwa emosi adalah isyarat respon
individu terhadap situasi kompleks, yang terdiri dari perubahan fisiologis, gerak
ekspresif, serta label emosi (Thoits dalam Strongman, 1996). Label emosi beserta
struktur konotatifnya dapat mendikte cara (dictate the way) individu dalam
melihat situasi dan bagaimana mengevaluasi situasi yang memunculkan emosi.
Dapat disimpulkan bahwa kata emosi tidak lahir dengan sendirinya secara
tiba-tiba tanpa didahului adanya sebuah realitas (berupa status emosi) yang
dilambangkan dengan kata tersebut. Ketika unsur budaya yang mulai memberikan
pengaruh pada pembentukan kata emosi tersebut, maka yang terjadi adalah
rumusan bahwa sebuah kata emosi dalam satu budaya memiliki keunikan yang
tidak dapat dibandingkan dengan kata emosi dalam budaya lain. Oleh karena itu
untuk memahami sebuah status emosi dalam sebuah budaya diperlukan telaah
mengenai kata emosi yang digunakan dalam bahasa tersebut.
Banyak penelitian mengenai emosi dalam konteks lintas budaya sudah
dilakukan (Morgan dan Heise 1988). Dimensi yang digunakan dalam mengurai
kosa kata emosi dalam sebuah budaya adalah tiga dimensi yang digagas oleh
Osgood (1957). Penggunaan model tiga dimensi ini lebih mencapai hasil analisis
yang maksimal dibanding dengan dua dimensi atau lebih dari tiga dimensi dalam
melakukan analisis terhadap emosi. Ketiga dimensi tersebut sudah dibuktikan
konsistensinya pada beberapa budaya. Shalif (1998) melihat bahwa ada kesamaan
antara dimensi umum yaitu tindakan manusia dan dimensi emosi memiliki
kesamaan dengan dimensi yang dipaparkan oleh Osgood (1957) dalam metode
semantik differensial yang disusun. Shaver dkk. (dalam Morgan dan Heise 1988)
dari hasil penelitiannya terhadap kata emosi secara murni, menyimpulkan tiga
-
10
dimensi lebih menggambarkan status emosi secara komprehensif dibandingkan
dengan dua dimensi. Averill (dalam Morgan dan Heisse, 1988) juga
mengemukakan bahwa tiga dimensi lebih tepat jika digunakan untuk
mendefinisikan status emosi dibandingkan dengan dua dimensi.
Tabel 1.1 Kosa Kata Emosi yang Hendak Dianalisis dalam Penelitian
Asal Kata Kata Emosi
Kata Emosi yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari (16 kata)
Marah, Curiga, Cemburu, Kesal, Bosan, Jengkel, Gembira, Kecewa, Takut, Khawatir, Cemas, Sedih, Heran, Malu, Puas, Benci
Kata emosi yang didapatkan dari Pelaporan Pengalaman Emosi (20 kata)
Dengki, Sebal, Ngeri, Was-was, Dongkol, Segan, Gugup, Suntuk, Gentar, Riang, Haru, Sayang, Duka, Rindu, Merana, Geli, Gundah, Pilu, Ragu, Cinta
Pilihan peneliti (9 kata) Ciut, Bahagia, Sesal, Murung, Murka, Putus asa, Gemas, Henyak, Girang
Berdasarkan studi preliminari yang dilakukan oleh peneliti, didapatkan 45
kosa kata emosi dalam Bahasa Indonesia. 16 kata didapatkan dari pelaporan emosi
yang sering dialami dalam kehidupan sehari-hari, 20 kata didapatkan dari data
eksplorasi pengalaman emosi dan 9 kata merupakan hasil pilihan peneliti sendiri
yang didapatkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (1984). Hasil studi
preliminari tersebut dapat dilihat pada tabel 1.1. Kata emosi tersebut kemudian
diidentifikasi struktur semantik yang termuat didalamnya dan disajikan pada peta
kata emosi. Peta kata emosi ini berisi posisi kata emosi pada koordinat dari tiga
dimensi kosa kata emosi, yaitu dimensi evaluasi, aktifitas dan potensi. Hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Berdasarkan kemiripannya, kata
Emosi dalam Bahasa Indonesia memiliki struktur semantik yang dapat
disederhanakan menjadi tiga dimensi, yaitu evaluasi, potensi dan aktifitas
-
11
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap struktur semantik kosa kata
emosi dalam Bahasa Indonesia. Hasil identifikasi ini kemudian direfleksikannya
ke dalam sebuah peta kata emosi yang menjelaskan posisi tiap kata berdasarkan
kemiripan dengan kosa kata emosi lainnya. Peta kata emosi tersebut menjelaskan
posisi kata emosi pada koordinat tiga dimensi kosa kata emosi, yaitu dimensi
evaluasi, aktifitas dan potensi.
C. Manfaat Penelitian
Kata emosi mengandung unsur bahasa spesifik (language specific) yang
dipengaruhi oleh faktor budaya. Dengan memahami makna semantik kosa kata
emosi yang sesuai dengan bahasa individu (subjek yang hendak diteliti), upaya
pemahaman emosi dengan menggunakan kerangka atau aspek emosi dari bahasa
lain yang memungkinkan mengandung unsur bias budaya, dapat dihindari.
Carpenter (2000) menjelaskan bahwa banyak klien yang ditangani oleh
psikolog memiliki masalah dengan emosi mereka. Para klien ini memiliki
keterbatasan dalam mengenali, menggambarkan dan mengemukakan emosinya.
Dengan memahami struktur semantik sebuah kata emosi, maka psikolog lintas
budaya dapat menuntun klien memberi nama dan menggambarkan emosinya.
Pengetahuan tentang unsur semantik kosa kata emosi berguna bagi para psikolog
lintas budaya untuk mengenali dan merefleksikan emosi yang diungkapkan oleh
klien secara verbal dengan lebih tepat.
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kosa Kata Emosi
1. Kata
Withgenstein (dalam Katsof, 1998) mengatakan bahwa batas dunia
manusia adalah batas bahasa mereka. Pernyataan tersebut mengandung maksud
bahwa apa yang dikenali sebagai dunia oleh manusia adalah apa yang dapat
dibahasakan oleh manusia melalui simbol berupa kata-kata. Kata selalu melekat
kepada realitas karena kata adalah label yang dikenakan kepada realitas setelah
realitas tersebut dapat terbahasakan oleh manusia. Menurut Aminuddin (2001)
keterkaitan kata dengan realitas dapat terjadi dalam tiga bentuk, bentuk tersebut
antara lain:
a. Kata sebagai simbol (words as symbols)
Simbol adalah sesuatu yang merujuk atau mengingatkan pada sesuatu yang
lain karena alasan hubungan, asosiasi, kebetulan berdasarkan konvensi dalam
sebuah budaya. Kata sebagai simbol menjelaskan rumusan bahwa kata
merupakan simbol dari sebuah objek tertentu yang menjelaskan hubungan
antara kata dan simbol tersebut dibangun oleh konvensi sosial dalam sebuah
budaya (Leech, 2003).
b. Kata sebagai atribut objek (words as attribute)
Kata merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah objek.
Dengan demikian kelengkapan sebuah objek terdiri dari bentuk konkrit objek
12
-
13
tersebut dan bentuk abstrak objek tersebut yaitu berupa kata yang
menggambarkannya.
c. Kata sebagai objek (words as object)
Kata-kata adalah objek itu sendiri karena kata diterima sebagai sesuatu yang
ada dalam pikiran seperti halnya objek-objek konkrit lainnya. Rumusan ini
tampak ketika individu mendengar sebuah kata yang terucap, individu tersebut
akan mereaksi kata tersebut sebagai objek itu ada di dalam dunia nyatanya.
Kata sebagai objek banyak terlihat pada pikiran masa anak-anak pada tahap
operasional konkrit seperti yang ditemukan oleh Piaget dan Vigotsky
(Ginsburg, 1979). Piaget dan Vigotsky melaporkan bahwa penerimaan anak-
anak terhadap nama dan objek tidak dapat dibedakan lagi. Bagi anak-anak
kata meja atau kursi adalah sebuah objek realitas yang independen bukan
sebagai simbol dari realitas yang lain.
Pernyataan Withgenstein di muka juga diperjelas melalui fungsi bahasa
dalam kehidupan manusia. Kata-kata adalah bagian dari bahasa yang digunakan
oleh manusia untuk menerima, mengolah, serta menyampaikan informasi. Segala
sesuatu yang berkaitan dengan manusia selalu menggunakan media bahasa karena
individu tidak mungkin melakukan interaksi dengan individu yang lain tanpa
menggunakan bahasa (Sumaryono, 1993).
Sebagai media dalam berpikir, kata-kata sangat terkait erat dengan pikiran.
Proses berpikir adalah proses asosiasi antara konsep atau simbol satu dengan
konsep lain yang diakhiri dengan penarikan kesimpulan (Taylor, dalam Rakhmat,
1996). Keterkaitan antara kata dan bahasa dapat dipetakan dalam tiga pendapat
-
14
(Psikomedia, Juni 2000), tiap pendapat tersebut didasarkan pada variabel yang
menjadi penyebab dan akibat.
a. Kata-kata mempengaruhi pikiran
Pemahaman terhadap kata mempengaruhi pandangan individu terhadap
realitas. Pikiran individu dapat dikondisikan melalui kata yang digunakan
olehnya ketika mengasosiasikan simbol-simbol dalam berpikir. Tokoh yang
mendukung hubungan ini adalah Whorf dan Saphir (Rakhmat, 1996). Whorf
(dalam Rakhmat, 1996) mengambil contoh Bangsa Jepang yang mempunyai
pikiran yang sangat tinggi karena orang Jepang mempunyai banyak kosa kata
dalam menjelaskan sebuah realitas. Hal ini membuktikan bahwa mereka
mempunyai pemahaman yang mendetail tentang realitas.
b. Pikiran mempengaruhi kata
Pendukung pendapat ini adalah Piaget (dalam Ginsburg, 1979). Melalui
observasi yang dilakukan oleh Piaget terhadap perkembangan aspek kognisi
anak. Piaget melihat bahwa perkembangan aspek kognisi anak akan
mempengaruhi luasnya kata-kata yang digunakannya. Semakin tinggi
perkembangan kognisi anak semakin luas kata-kata yang digunakannya.
c. Kata-kata dan pikiran saling mempengaruhi
Hubungan timbal balik antara kata-kata dan pikiran dikemukakan oleh
Vigotsky, seorang ahli semantik berkebangsaan Rusia yang teorinya dikenal
sebagai pembaharu teori Piaget, yang mengatakan bahwa bahasa dan pikiran
saling mempengaruhi. Penggabungan Vigotsky terhadap kedua pendapat di
atas banyak diterima oleh kalangan ahli psikologi kognisi.
-
15
Kata-kata dan pikiran memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Di
satu sisi kata-kata merupakan media yang digunakan untuk memahami dunia serta
digunakan dalam proses berpikir, di sisi yang lain pemahaman terhadap kata-kata
merupakan hasil dari aktifitas pikiran (Forrester, 1996).
Melalui beberapa uraian di muka, peneliti menyimpulkan bahwa kata
adalah sebuah simbol dari realitas. Sebuah kata tidak dapat berdiri sendiri karena
didahului oleh adanya sebuah realitas yang disimbolkan oleh kata-kata tersebut.
Pada tahap selanjutnya kata dan pikiran saling terkait satu sama lain, aktifitas
berpikir tidak terlepas dari kata-kata karena aktifitas berpikir selalu membutuhkan
adanya simbol berupa kata-kata untuk diasosiasikan. Sebaliknya pikiran juga
mempengaruhi kata-kata karena hasil dari aktifitas berpikir adalah kesimpulan
berupa kata-kata.
2. Emosi
Emosi berasal dari kata e-movere yang berarti menggerakkan. Emosi
menggambarkan adanya kecenderungan manusia untuk bertindak yang secara
sederhana dirumuskan sebagai aktivasi simpatetik, fight or flight, (melawan atau
melarikan diri). Rumusan ini kemudian meletakkan emosi dalam dua kutub yang
berlawanan yaitu kutub posistif dan kutub negatif, kenyamanan dan
ketidaknyamanan, yang disebabkan oleh evaluasi yang dilakukan oleh pikiran
terhadap stimulus eksternal atau stimulus imajinatif (Greenspan, 1998). Emosi
negatif yang berbeda, misalnya marah dan takut dibedakan oleh interpretasi
pikiran terhadap stimulus yang diimpresi oleh individu. Wierzbicka (1995)
-
16
melihat bahwa emosi adalah kerja kognisi yang berbasis pada perasaan
(cognitively based feelings).
Individu secara otomatis selalu menilai dan mengevaluasi hal apa saja
yang mereka hadapi, yakni mendekati sesuatu yang menurut mereka baik,
menjauhi yang buruk, serta menolak sesuatu yang tidak menarik baginya.
Penilaian dan pengevaluasian tersebut antara satu individu dengan individu
lainnya berbeda-beda. Perbedaan penilaian tersebut menyebabkan adanya
perbedaan pengalaman emosi antar individu. Melalui gagasan ini, kemudian para
ahli menyatakan bahwa pengalaman emosi dapat dipengaruhi oleh proses
penilaian (appraisal). Fokus utama pendekatan ini adalah menempatkan
anteseden pengalaman emosi tidak hanya berkisar pada ciri-ciri stimulus (stimulus
features) berupa situasi yang dapat menimbulkan emosi saja akan tetapi juga
menekankan pada aspek penilaian individu terhadap situasi tersebut (Cacioppo,
1999).
Penekanan konsep emosi pada aspek penilaian ini diawali oleh Arnold
yang dikenal sebagai pencetus pendekatan kognisi modern terhadap emosi, yang
jika dilacak pada masa perkembangan filsafat, termasuk aliran Filsafat Hellenistik
(Cornelius, 2000). Arnold menjelaskan bahwa emosi adalah tendesi perasaan
untuk melangkah pada objek yang nyaman dan menjauhi objek yang tidak
memberi kenyamanan yang merupakan hasil evaluasi individu terhadap situasi
yang mereka hadapi (Strongman, 1996). Dinamika psikologis yang menjadi kata
kunci dari pendekatan ini adalah istilah appraisal (penilaian, evaluasi), yang
-
17
menyatakan bahwa emosi adalah hasil dari penilaian kognisi (emotion as
cognitive appraisal).
Moffat (dalam Davis, 2001) melalui perspektif computational model
mengatakan bahwa emosi dan kognisi sangat berkaitan erat. Moffat menempatkan
emosi dalam pusat pikiran (core of mind) yang bertentangan dengan pandangan
Plato yang melihat bahwa emosi sebagai distraktor pikiran, dan Darwin yang
melihat emosi sebagai kapasitas manusia sebagai produk dari evousi sejarah dan
perkembangan individu. Moffat menempatkan emosi sebagai bagian dari sistem
penalaran (reasoning system) (Davis, 2001).
Oatly dan Jenkins (dalam Strongman, 1996) juga melihat pentingnya
dimensi penilaian dalam memunculkan emosi individu dengan menambahkan
adanya aspek yang turut terlibat, yaitu tujuan yang hendak dicapai individu. Oatly
dan Jenkins melihat bahwa pengalaman emosi muncul ketika suatu peristiwa turut
mempengaruhi tujuan yang hendak dicapai oleh individu. Munculnya emosi pada
konteks ini disebabkan oleh adanya evaluasi individu terhadap peristiwa tersebut
berdasarkan tujuan yang hendak dicapai (Albin, 1986). Emosi tergolong positif
jika mengarah pada pencapaian tujuan, dan emosi tegolong menjadi negatif jika
menghambat pencapaian tujuan.
Pendapat Oatly dan Jenkins menurut peneliti juga sejalan dengan pendapat
Clore dan Ortony (1991) yang mendeskripsikan bahwa pengalaman emosi
individu bergantung pada situasi yang mereka hadapi. Emosi adalah reaksi positif
atau negatif kepada lingkungan karena sesuatu yang berada dalam lingkungan
mengundang individu untuk memberikan penilaian kepadanya. Emosi dibangun
-
18
oleh kerja kognisi yang melakukan interpretasi terhadap situasi. Clore dan Ortony
kemudian membagi faktor kognisi ini menjadi tiga aspek yaitu: peristiwa (events),
agen (agents), dan objek (objects). Gagasan mengenai pentingnya aspek penilaian
individu juga didukung oleh pernyataan Frijda (1986) yang menambahkan adanya
unsur sensasi inderawi individu. Menurut Frijda (1986), hadirnya emosi dalam
diri individu lebih disebabkan oleh pengenalan kognisi terhadap situasi sosial oleh
sensasi indera manusia.
Evaluasi terhadap situasi yang dihadapi individu merupakan hasil dari
aktivitas kognisi, sehingga kognisi kemudian menjadi salah satu aspek yang
menjadi bagian penting dalam pengalaman emosi individu (Morgan dan Heisse,
1999). Schachter (dalam Strongman 1996) mengatakan bahwa faktor utama yang
mempengaruhi emosi adalah faktor kognisi. Faktor kognisi terlihat pada upaya
Individu dalam mempersepsi, menafsirkan, dan mengklasifikasikan kemunculan
kondisi fisiologis kemudian mengkaitkannya dengan situasi yang dialaminya.
Bower (dalam Strongman, 1996) lebih jauh lagi memfokuskan konsep
mengenai aktifitas kognisi pada aspek pemaknaan individu yang diistilahkan
dengan jaringan makna (relational meaning). Ia mengatakan bahwa emosi
memiliki sebuah jaringan makna yang berhubungan dengan segala sesuatu yang
berkaitan dengan ide, aktifitas otonomi, aktifitas otot, pola ekspresi, serta
peristiwa yang dialami individu. Keberadaan unsur jaringan makna pada
pengalaman emosi manusia juga di dukung oleh Lazarus (1991) yang mengatakan
bahwa premis utama para peneliti yang melakukan pendekatan emosi sebagai
penilaian kognisi adalah penilaian terhadap stimulus emosi meliputi jaringan
-
19
makna, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan kondisi lingkungan saat ini
(conditions present in the environment), tujuan pribadi (personal goals),
keyakinan (beliefs), serta sumber daya penyesuaian (adaptational resources).
Adanya unsur jaringan makna dalam pengalaman emosi manusia, menurut
peneliti mengindikasikan adanya keterkaitan yang besar antara emosi dengan kata
yang dipakai dalam menggambarkan emosi tersebut karena setiap kata memuat
unsur-unsur makna di dalamnya.
Scachter yang terkenal dengan teori emosi dua faktor (two factor theory)
mengatakan bahwa pengalaman emosi bergantung pada faktor bangkitnya
fisiologis individu (physiological arousal) dan penilaian kognisi individu terhadap
situasi (cognitive appraisal of the situation). Dengan demikian emosi individu
dapat dipetakan menjadi dua faktor, yaitu faktor arousal menentukan aktif-
pasifnya sebuah emosi sedangkan faktor kognisi menentukan evaluasi berupa
nyaman tidaknya sebuah emosi.
Melalui paparan beberapa ahli di muka dapat disimpulkan bahwa aktivitas
penalaran dalam emosi yang tercermin pada penilaian dan evaluasi individu
berkaitan dengan beberapa hal, misalnya terkait dengan peristiwa yang dialami
individu (Arnold, dalam Cornellius, 2000), terkait dengan tujuan individu (Oatly
dalam Strongman, 1996), terkait dengan kondisi fisiologis (Schachter, dalam
Strongman 1996) serta terkait dengan penilaian situasi sosial berdasarkan sensasi
inderawi (Frijda, dalam Strongman, 1996) dan budaya masyarakat (Schimmack,
dkk., 2002). Pada akhirnya aktivitas penalaran tersebut membuahkan sebuah label
-
20
yang merupakan status psikologi dari situasi-situasi tersebut yang dinamakan
dengan kosa kata emosi (emotion lexicon).
-
21
3. Kata Emosi
Emosi ialah suatu perasaan yang dialami oleh seseorang ketika
menghadapi situasi tertentu. Secara semantik, orang yang mengalami emosi itu
disebut sebagai pelaku. Kata emosi merupakan bagian dari pemahaman individu
terhadap pengalaman emosinya. Dalam bahasa sehari-hari, pengalaman emosi
secara sederhana diartikan sebagai status perasaan yang dilabeli dengan kata
marah, benci, atau senang (Hess, 2001). Cara individu dalam mengekspresikan
status perasaan ini beraneka ragam, tergantung kepada pengalaman yang pernah
dialaminya, antara lain :
a. Ekspresi non verbal, yaitu ungkapan non verbal ini disampaikan melalui
ekspresi wajah, gerakan tangan, mata, dan bahasa tubuh yang lain.
b. Ekspresi verbal, yaitu ungkapan emosi melalui sebuah kata yang dianggap
mampu menggambarkan atau mewakili emosi yang dirasakannya.
Kata emosi secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
emosi yang berhubungan dengan peristiwa yang baik (emosi positif) dan emosi
yang berhubungan dengan peristiwa yang buruk (emosi negatif). Emosi dalam
kelompok pertama meliputi kata-kata seperti gembira, senang, riang, dan bangga.
Emosi dalam kelompok kedua yang disebut juga sebagai emosi negatif mencakup
kata-kata seperti sedih, marah, malu, takut, dan kecewa (Wijokongko, 1997).
Kosa kata emosi adalah label-label verbal yang digunakan untuk
menggambarkan dan mengekspresikan status emosi (emotional state) yang
dialami individu (Ortony dan Clore, dalam Morgan dan Heisse, 1988). Bahasa
Indonesia memiliki banyak ragam kosa kata emosi. Tiap kosa kata emosi
-
22
memiliki sinonim atau kesamaan arti misalnya kesal dan sebal (KBBI, 1984).
Dalam bahasa Indonesia label ini dapat berupa: 1) kosa kata yang
menggambarkan emosi murni (marah, sedih), 2) kosa kata yang menggambarkan
perilaku ketika emosi muncul (menangis, tertawa), 3) kosa kata sebagai metafora
suasana hati (tercabik, berbunga).
Kata emosi dalam tiap bahasa banyak sekali ragamnya. Beberapa kata
emosi kerap dicampuradukkan dengan kata lain yang sebenarnya tidak berkaitan
dengan status emosi, misalnya tertawa dan menangis. Tertawa adalah sebuah
bentuk kata kerja yang menggambarkan perilaku individu ketika berada pada
status emosi gembira. Untuk menghindari tumpang tindih pemakaian kata emosi
dengan kata yang lain, dari hasil penelitiannya Shalif, (1988) mendapatkan
keterangan bahwa ada beragam bentuk kata yang kerap dikaitkan dengan emosi.
Kata-kata itu terbagi menjadi tiga kategori, yaitu:
a. Emosi nyata (misalnya marah atau takut);
b. Emosi yang menggambarkan perilaku (tertawa atau menangis);
c. Emosi yang spesifik (mood, perasaan, sensasi).
Hess (2001) menjelaskan bahwa pada beberapa budaya, kata emosi dapat
menjadi rancu ketika dihubungkan dengan kondisi fisiologis. Hess (2001)
mengambil contoh bahwa budaya Tahiti memberi label kerinduan terhadap rumah
(homesickness), yang dalam budaya lain dianggap hal yang dapat diwakilkan pada
emosi sedih, tetapi bagi budaya Tahiti digambarkan sebagai bentuk
ketidaknyamanan secara fisik (physical illness). Dengan demikian sebuah kata
-
23
dilihat sebagai kata emosi atau bukan kata emosi sangat tergantung pada cara
budaya menafsirkan kata tersebut.
Dineen (dalam Mulyadi, tanpa tahun) mengusulkan empat komponen yang
perlu diperhatikan dalam membatasi makna kata emosi:
a. Munculnya perasaan tertentu dalam diri pelaku di dalam pusat emosi yang
merupakan bagian tubuh yang kerap dijadikan acuan pada saat mengalami
emosi. Bagi bahasa Melayu misalnya, pusat emosi ini ialah hati, bagi bahasa
Jepang adalah perut, pada Bahasa Inggris pusat emosi adalah jantung, pada
sebuah suku di Afrika adalah pusat emosi terletak pada anus. Segala sesuatu
yang tidak terjadi di luar pusat emosi adalah bukan kata emosi.
b. Penilaian terhadap emosi. Komponen ini mengimplikasikan adanya situasi dan
tindakan yang dinilai atau dievaluasi oleh individu sehingga menyebabkan
munculnya perasaan dalam diri pelaku.
c. Adanya pencetus yang menimbulkan kemunculan emosi dalam diri pelaku.
Dalam hal ini, banyak faktor yang dapat menjadi penyebabnya seperti pujian
atau makian oleh orang yang belum dikenal, atau situasi ditinggalkan kekasih.
d. Reaksi terhadap emosi. Jenis reaksi yang muncul bergantung pada pencetus
emosi seperti tertawa, menangis, menyembunyikan diri, atau beberapa
tindakan lain.
Beberapa komponen tersebut sangat penting untuk membedakan antara emosi
dengan kata lainnya. Oleh karena itu dalam penelitian ini keempat uraian tersebut
dilihat dipakai sebagai acuan untuk menentukan apakah sebuah kata akan
dilibatkan dalam penelitian yang akan dilakukan ataukah tidak dilibatkan.
-
24
Tiap budaya memiliki kata emosi yang menunjukkan kekhasan budaya
tersebut. Ada dua pendapat yang bertentangan dalam kajian tentang kata emosi
dalam perspektif lintas budaya, yaitu :
a. Kata emosi dalam bahasa yang berbeda dapat dipadankan
Pendapat ini didasarkan pada keyakinan bahwa konsep emosi dasar sama
dalam semua bahasa di dunia atau universal. Oleh sebab itu, konsep emosi
seperti gembira, sedih dan takut diterima secara universal sebagai kategori
pelakuan yang berbeda.
b. Konsep emosi dalam bahasa yang berbeda tidak dapat dibandingkan.
Pendapat ini mensyaratkan bahwa konsep emosi dibentuk oleh keunikan
budaya masing-masing. Dengan hal demikian, setiap bahasa mempunyai kata
yang mengandung konsep budaya yang relevan dan masyarakat
pendukungnya. Contohnya, emosi malu dalam Bahasa indonesia tidak dapat
diparalelkan dengan shame (Inggris), whakamaa (Maori), haama (Tahiti),
atau haji (Jepang).
Untuk menjawab apakah sebuah kata emosi antar budaya dapat
dipadankan ataukah tidak dengan kata emosi yang berasal dari budaya lain, Russel
(dalam Strongman, 1996) mengemukakan hipotesis yang berkenaan dengan
persamaan dan perbedaan emosi dalam konteks lintas budaya beserta kategori dan
dimensinya secara integral di dalamnya. Hipotesis tersebut dapat digunakan untuk
menjawab apakah sebuah kata emosi dapat dipandankan dengan kata emosi lain
dalam budaya yang berbeda. Hipotesis itu antara lain:
-
25
a. Kategori dasar emosi secara universal itu ada, akan tetapi dalam konteks
kategori yang lebih kecil terdapat kemungkinan adanya perbedaan.
b. Kategori dasar emosi secara universal itu ada, akan tetapi struktur kognisi
yang digunakan tiap budaya dalam mengevaluasi situasi terdapat adanya
perbedaan.
Melalui hipotesis yang dipaparkan oleh Russel tersebut tampak bahwa emosi
universal pada tataran yang lebih besar benar-benar ada, akan tetapi pada tataran
yang lebih spesifik, tiap budaya memiliki emosi yang dapat dikatakan tidak
dimiliki oleh budaya yang lain. Faktor bahasa dilihat sebagai faktor yang dominan
dalam menentukan kespesifikan emosi.
Bahasa adalah pemicu adanya perbedaan karakter dan domain status yang
digambarkan oleh sebuah kata emosi (affective lexicon) di tiap budaya. Konsep
emosi mencerminkan struktur kognisi dan struktur sosial pada budaya masyarakat
pendukungnya. Wierzbicka (1995) mengatakan bahwa perbedaan sebuah kata
emosi antara satu budaya dengan budaya lainnya dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, misalnya:
a. Gramatika
Wierzbicka (1995) mengatakan bahwa tata bahasa (grammar) turut
menentukan struktur kognisi pemakai bahasa. Wierzbicka mengambil contoh
dalam tata bahasa Inggris, misalnya to bear grudge (merasa dendam) dan to
feel sorry (merasa menyesal). Dari aturan tata bahasa, To bear tidak dapat
disambung dengan kata sorry, demikian juga sebaliknya to feel tidak dapat
-
26
diikuti dengan grudge. Tata bahasa secara tidak langsung menuntun
pemakainya untuk memaknai kata emosi.
b. Skenario kognisi
Unsur skenario kognisi membedakan ukuran dan karakter sebuah kata emosi
(emotion term). Skenario kognisi inilah yang mempengaruhi individu pada
sebuah budaya untuk melakukan penalaran terhadap sebuah situasi yang
mereka hadapi.
Selain kedua hal yang dikemukakan oleh Wierzbicka (1995) di muka terdapat
beberapa faktor lain yang mempengaruhi adanya perbedaan sebuah kata emosi
dalam satu budaya dengan budaya lainnya, misalnya :
a. Efek Cookie Cutter
Efek Cookie Cutter adalah efek budaya dalam memotong realitas secara
arbritari yang kemudian mengklasifikasikannya dalam kategori yang berbeda-
beda pada kata-kata dalam bahasa mereka (Albrecht, 1986).
b. Pengenalan situasi
Tiap reaksi emosi menghasilkan efek yang mengkomunikasikan informasi
sosial kepada orang lain. Dengan kata lain, reaksi emosi bergantung tidak
hanya pada pengenalan terhadap situasi tetapi juga pengenalan terhadap cara
orang lain mengenal situasi tersebut (Frijda, 1986).
Kata emosi berkaitan erat dengan status emosi karena merupakan objek
yang diwakili kata emosi. Dengan demikian kategori-kategori kata emosi tidak
terlepas dari cara status emosi dikategorikan. Pengkategorian yang sering
digunakan oleh para peneliti adalah kategori berdasarkan konsep emosi dasar
-
27
manusia. Oleh karena itu sebuah kata emosi tidak akan jauh berbeda dengan status
emosi dasar manusia sehingga sebuah kata emosi akan menjadi sub-ordinat dari
kata emosi yang mampu menggambarkan emosi dasar manusia. Misalnya kata
emosi murka dan dendam akan menjadi sub ordinat dari kata emosi marah.
Melalui uraian di muka dapat disimpulkan bahwa kata emosi adalah label
yang dipakai oleh individu untuk menggambarkan sebuah status emosi.
Sebaliknya, disamping sebagai penggambaran, kata emosi juga menjadi premis
yang digunakannya untuk memahami status emosi. Penggambaran ini sangat
bergantung kepada penafsiran dan pemahaman terhadap situasi dan kondisi
fisiologis yang dialami individu pada proses penafsiran dan pemahaman
tergantung kepada bahasa yang ia pakai. Faktor budaya dalam mempengaruhi
pemaknaan individu terhadap emosi kemudian turut berpengaruh ketika budaya
memiliki pola tersendiri dalam menentukan keterkaitan antara status emosi
dengan kata-kata emosi.
B. Struktur dan Dimensi Kosa Kata Emosi
Pada konteks emosi, Frijda (dalam Strongman, 1996) membedakan antara
dimensi, hierarkhi dan kategori emosi. Emosi memiliki kategori, dapat diartikan
bahwa emosi dapat dibentuk dalam kelas-kelas atau golongan yang berbeda
berdasarkan situasi yang diacu. Emosi memiliki hierarkhi, menjelaskan bahwa
ragam emosi memiliki tingkatan-tingkatan, sedangkan emosi memiliki dimensi,
menjelaskan bahwa emosi merupakan campuran dari beberapa unsur, misalnya
kenyamanan atau aktifitas (Moore dkk., 2002).
-
28
Secara harfiah, dimensi adalah bagian atau ukuran yang terdapat di dalam
sebuah objek (KBBI, 1984). Dimensi tersebut memuat unsur-unsur pembentuk
dimensi yang dinamakan dengan struktur (Morgan dan Heise, 1988). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dimensi kosa kata emosi memiliki struktur
emosi berupa unsur-unsur semantik (Romney dkk., 2003).
Mauro dkk., (1992) mengusulkan beberapa dimensi emosi yang memuat
sekaligus struktur emosi yang dapat diidentifikasi sebagai struktur semantik kosa
kata emosi. Dimensi beserta unsur di dalamnya tersebut terbukti dapat diterapkan
pada beberapa budaya. Dimensi tersebut antara lain : 1) dimensi kenikmatan
(pleasantness) yang terdiri dari unsur kesenangan, kenyamanan dan mendapatkan
apa yang didapatkan. 2) Dimensi perhatian (attentional activity) yang memuat
unsur perhatian dan pertimbangan. 3) Dimensi kemantapan (certainty) yang
memuat unsur pemahaman, prediksi dan keyakinan. 4) Dimensi kemampuan
koping (coping ability) yang memuat unsur kemampuan koping. 5) Dimensi
kendali (control) yang memuat unsur kendali diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan. 6) Dimensi tanggung jawab (responsibility) yang memuat tanggung
jawab pada diri, orang lain dan lingkungan. 7) Dimensi antisipasi pengaruh
(anticipated effort) yang memuat penggunaan (exertion) dan pengaruh
Dimensi emosi dapat digunakan untuk melakukan studi tentang emosi
dalam berbagai macam tipe data yang telah didapatkan, misalnya ekspresi wajah,
ekspresi vokal, adegan perilaku, serta makna kata emosi. Teknik dimensi
(dimensional technique) juga merupakan salah satu pendekatan sistematik untuk
menggambarkan status emosi dalam kerangka kerja yang nyata (Cowie, 1999).
-
29
Penggunaan dimensi emosi sebagai acuan dalam menelaah sebuah emosi telah
menampakkan hasil yang konsisten, sehingga penggunaan dimensi dalam kajian
emosi menjadi pertimbangan yang penting (Lazarus, 1991).
Penelitian tentang emosi dapat dilakukan melalui beberapa model dimensi,
yaitu model dua dimensi sampai tiga dimensi dan lebih dari tiga dimensi, yang
dapat diorganisasikan dalam pola sirkular, kanonikal, serta spatial, yang
tergantung pada penekanan yang dipakai dalam melihat cara merespon emosi
diorganisasikan secara psikologis.
Struktur yang terdapat pada tiap dimensi terbagi menjadi dua pandangan
yaitu pandangan unipolar dan bipolar. Pandangan unipolar melihat bahwa
kenyamanan dan ketidaknyamanan merupakan dua hal yang berbeda, yang
dibedakan oleh tinggi rendahnya intensitasnya. Sebuah pengalaman emosi dapat
terukur memiliki kenyamanan dan ketidaknyamanan yang tinggi atau rendah.
Pandangan bipolar melihat bahwa kenyamanan dan ketidaknyamanan bukan
sebagai dua variabel yang berbeda, melainkan satu variabel yang bersifat
kontinum dari yang paling tinggi, netral, kemudian paling rendah. Melalui
mekanisme secara bipolar dapat dilihat bahwa tiap dimensi kosa kata emosi
memiliki struktur semantik yang terpolarisasi dalam dua kutub, misalnya nikmat-
pahit, tinggi-rendah atau aktif-pasif (Romney dkk., 1997).
Faktor penilaian dapat digunakan untuk melakukan kajian terhadap
pembedaan dan pengkategorian emosi dalam menentukan dimensi emosi.
Roseman (dalam Cacioppo, 1999) melihat bahwa penilaian terhadap sesuatu yang
tidak diinginkan (unexpectedness), status situasi (situational state), status motivasi
-
30
(motivational state), peluang (probability), potensi kendali (control potential),
sumber masalah (source problem), dan agen (agency) telah mampu membedakan
17 macam emosi, yang juga dibuktikan oleh Scherer dalam satu studi lintas
budaya yang menemukan bahwa dimensi penilaian mampu juga membedakan
kategori besar emosi.
Ahli lain yaitu Frijda (1986) juga merumuskan pengalaman emosi
berdasarkan penilaian kognisi yang kemudian merekomendasikan empat dimensi,
antara lain: 1) kenikmatan (pleasantness), tentang nikmat tidaknya individu ketika
situasi terjadi, 2) perhatian (attention), tentang apa yang menjadi pusat perhatian
pada situasi, 3) agen (Agency), tentang keyakinan apakah pelaku dalam kendali
ataukah tidak, 4) kepastian (certainty), tentang kejelasan situasi dan apakah hasil
yang muncul dapat diprediksi ataukah tidak.
Lang (dalam Strongman, 1996) melakukan studi pada pengorganisasian
konsep emosi (conceptual organization of emotion) mengatakan bahwa
pengetahuan individu tentang emosi terorganisasi secara heirarkhis dengan
superordinat emosi positif dan negatif. Konsep yang mendasari pemakaian
superordinat positif-negatif adalah manifestasi dari perilaku mendekat dan
menghindar (approach-withdraw) yang merupakan pemahaman dasar terhadap
emosi. Pandangan para ahli terhadap dimensi emosi antara satu ahli dengan ahli
lainnya berbeda-beda. Pandangan tersebut antara lain terdiri dari dua sampai lima
dimensi.
Shalif (2000) mengajukan 15 struktur kosa kata emosi yang dapat
digunakan untuk meninjau sebuah kata emosi. Struktur tersebut adalah rangkuman
-
31
yang diperoleh dari studinya mengenai emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Struktur tersebut dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Rangkuman Struktur Kosa Kata Emosi
No Struktur Kosa Kata Emosi 1 Kenyamanan Contentment (Pleasure - Sorrow) 2 Pusat perhatian Concern (Love - Hate) 3 Keamanan diri Security (Fear - Serenity) 4 Keseriusan Play (Seriousness - Frolic) 5 Kedekatan dengan sebuah objek Belonging (Attachment - Solitude) 6 Harapan terhadap kekuatan Will power (Volition - Surrender) 7 Mobilisasi Energi Energy (Rigor - Flimsiness) 8 Frustrasi Frustration (Anger - Leniency) 9 Keterlibatan pada situasi Involvement (Interest - Boredom) 10 Penghargaan terhadap diri Self Respect (Pride - Shame) 11 Keyakinan terhadap keutamaan diri Eminence (Superiority - Inferiority) 12 Respek pada objek Respect (Adoration - Scorn) 13 Kewaspadaan Vigilance (Wariness - Dreaminess) 14 Harapan pribadi Expectancy (Surprise - Routine) 15 Masalah daya tarik Attraction (Disgust - Desire)
Dikutip dari Shalif. 2000. The Emotions. http://www.shalif.com/psychology/content7.htm Pandangan dua dimensi. Pandangan dua dimensi diwakili oleh Watson
(dalam Morgan dan Heisse, 1988) yang mengatakan bahwa kajian tentang emosi
dapat memakai dua dimensi, yaitu masalah dimensi kenyamanan (pleasantness-
unpleasantness) dan dimensi tegangan (activation-deactivation).
Pandangan tiga dimensi. Pandangan tiga dimensi dikemukakan oleh
Wundt (dalam Lazarus, 1991) yang mengajukan tiga dimensi dalam melakukan
analisa terhadap emosi, yaitu 1) kenyamanan (pleasantness), menjelaskan dengan
nyaman tidaknya emosi, 2) ketegangan (tension), menjelaskan ketegangan
fisiologis pada saat emosi muncul, 3) kebangkitan (arousal), menjelaskan
kegairahan aktifitas pada saat emosi muncul. Ortony dkk. (dalam Strongman)
membagi juga emosi menjadi tiga dimensi yaitu: 1) konsekuensi terhadap
-
32
peristiwa (consequence of events) misalnya antara menyenangkan dan tidak
menyenangkan, 2) aksi perantara (action of agents) misalnya antara disetujui dan
tidak disetujui, 3) aspek dari objek (aspect of object) misalnya antara disukai dan
tidak disukai.
Tabel 2.2 Dimensi dan Struktur Emosi Berdasarkan Stimulus Evaluation Check
DIMENSI/ STRUKTUR
EMOSI SENANG
EMOSI JIJIK
EMOSI SEDIH
EMOSI TAKUT
EMOSI MARAH
KEASLIAN (NOVELTY)
Kecepatan Rendah Terbuka Rendah Tinggi Rendah Familiaritas Terbuka Rendah Rendah Terbuka Terbuka Prediksi Menengah Rendah Terbuka Rendah Menengah KENYAMANAN INSTRINSIK
Tinggi Sangat rendah
Terbuka Rendah Terbuka
KEBERMAKNAAN TUJUAN
Relevansi Kepentingan
Terbuka Tubuh Terbuka Tubuh Tugas
Probabilitas Keluaran
Sangat tinggi
Sangat tinggi
Sangat tinggi Tinggi Sangat tinggi
Harapan Sesuai Terbuka Terbuka Tak sesuai Terbuka Dukungan Konduktif Terbuka Menghalangi Mengalangi menghalangi Urgensi Sangat
rendah Menengah Rendah Sangat
tinggi Menengah
POTENSI KOPING Penyebab : agen Terbuka Terbuka Terbuka Alamiah Terbuka Penyebab : motif intent Terbuka Kelalaian Terbuka Tidak suka Kendali Terbuka Terbuka Sangat
rendah Terbuka Tinggi
Kekuatan Terbuka Terbuka Sangat rendah
Sangat rendah
Menengah
Penyesuaian Tinggi Terbuka menengah Sangat rendah
Tinggi
STANDAR KOMPATIBILITAS
Eksternal Terbuka Terbuka Terbuka Terbuka Terbuka Internal terbuka terbuka terbuka terbuka Terbuka
Dikutip dari Scherer, K.R. Tanpa Tahun. Toward a Dynamic Theory of Emotion : The Component Process model of Affectiveness. Paper tidak dipublikasikan. NIAS (lampiran) Pandangan empat dimensi. Davitz (dalam Strongman, 1999) yang telah
menyusun sebuah Kamus Makna Emosi (Dictionary of Emotinal Meaning)
mengajukan empat dimensi yang berguna dalam membedakan beberapa kata
-
33
emosi, antara lain 1) aktivasi (activation-deactivation), 2) hubungan (related-non
related), 3) kenikmatan (pleasure-displeasure), 4) kompetensi (comptence-
incomptence).
Pandangan lima dimensi. Roseman (1979) yang membangun teori tentang
emosi dari 200 tulisan pengalaman emosi memaparkan 5 dimensi emosi yaitu 1)
evaluasi (positif-negatif) yang menjelaskan tentang motivasi untuk menjauh atau
mendekat pada situasi, 2) kehadiran (hadir-absen) yang menjelaskan bahwa situasi
yang dihadapi individu sesuai dengan motivasinya ataukah tidak, 3) kepastian
(pasti-mungkin) yang menjelaskan bahwa situasi yang dihadapi subyek adalah
pasti atau hanya sebatas kemungkinan 4) kepantasan (pantas-tidak pantas) yang
menjelaskan bahwa apakah individu layak mendapatkannya ataukah tidak, 5)
pelaku (diri sendiri-orang lain) yang menjelaskan siapa yang memulai situasi yang
terjadi.
Pandangan lima dimensi juga digagas oleh Scherer (tanpa tahun) yang
mengusulkan lima dimensi beserta struktur yang ada didalamnya yang berguna
untuk membedakan pengalaman emosi satu dengan emosi lainnya. Kelima
dimensi tersebut dinamakan dengan Stimulus Evaluation Check (SEC). Dimensi
tersebut terdiri dari: 1) uji kebaruan (novelty check) yang menjelaskan perubahan
internal dan eksternal, 2) uji kenyamanan (instrinsic pleasantnes check) yang
menjelaskan nikmat tidaknya sebuah pengalaman emosi, 3) uji kebermaknaan
tujuan (goal significance check) yang menjelaskan apakah emosi mampu memberi
dukungan terhadap tercapainya tujuan. 4) uji potensi koping (potential coping
check) yang menjelaskan kemampuan individu untuk mengendalikan emosi, 5) uji
-
34
kompatibilitas (compatibility check) yang membandingkan standar internal-
eksternal dengan standar yang lain. Ditambahkan oleh Scherer (tanpa tahun)
bahwa setiap kelompok emosi dapat ditinjau berdasarkan lima dimensi ini. Lima
dimensi beserta strukturnya dalam meninjau emosi dapat dilihat pada tabel 2.2
Dari berbagai uraian yang mengenai dimensi emosi yang dikemukakan
oleh para ahli di muka, peneliti menekankan pada teori emosi dalam tiga dimensi.
Hal ini dikarenakan pengalaman manusia secara umum dapat dikategorikan dalam
tiga dimensi. Rumusan ini sesuai dengan pendapat Spinoza dan De Rivera (dalam
Shalif, 1999) menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi yang berpengaruh dalam
penilaian manusia yaitu: ketekunan (persistence), upaya (attainment) serta
keperluan (necessity) dapat diturunkan menjadi 3 dimensi emosi yaitu : 1) gairah
(desire) yang menjelaskan perubahan aktifitas individu pada saat hadirnya emosi,
2) kenikmatan (pleasure) yang menjelaskan seberapa jauh individu dapat
menikmati emosi yang muncul, 3) penderitaan (pain) yang menjelaskan seberapa
jauh individu merasa terganggu dengan kehadiran emosi.
Tabel 2.3 Kemiripan dimensi emosi dengan dimensi Semantik Differensial
No Dimensi Emosi Dimensi dalam Semantik Differensial
1 Upaya (attainment) Kenikmatan (pleasure)
Evaluasi (evaluation)
2 Ketekunan (persistence) Gairah (desire)
Aktifitas (activation)
3 Kebutuhan (necessity) Penderitaan (pain)
Potensi, intensitas, control (potency, intensity, control)
Dikutip dari Shalif. 1988. The Emotions And The Dimensions Of Discrimination Among Them In Daily Life. Disertasi. Barilan Univ. Ramatgan. Israel. www.shalif.com/psychology/diserta1.htm
Pembagian emosi menjadi tiga dimensi juga sering dipakai dalam
beberapa penelitian-penelitian empirik misalnya penggunaan tiga dimensi yang
-
35
dipakai oleh Osgood (1957) dalam menyusun semantik differensial, yaitu :
Evaluasi, Potensi, dan Aktivitas. Ketiga dimensi tersebut sudah dibuktikan
konsistensinya pada beberapa budaya. Shalif (1998) melihat bahwa ada kesamaan
antara dimensi umum yaitu tindakan manusia dan dimensi emosi memiliki
kesamaan dengan dimensi yang dipaparkan oleh Osgood (1957) dalam metode
semantik differensial yang disusun.
Kesamaan antara dimensi emosi dan dimensi dalam teknik semantik
differensial menjadi alasan yang kuat bagi peneliti untuk menggunakan teknik
semantik differensial dalam menelaah kosa kata emosi. Teknik semantik
differensial adalah metode untuk mengukur reaksi dan penilaian individu terhadap
stimulus berupa kata atau konsep dalam sebuah perbandingan (rating) dalam skala
bipolar. Dengan menggunakan teknik semantik differensial nilai semantik tiap
kosa kata emosi akan dapat dipahami secara sistematis. Kajian tentang emosi
dalam dunia modern kerap menggunakan pendekatan semantik differensial dari
Osgood (1957) karena memiliki tiga faktor analisis yang mirip dengan dimensi-
dimensi yang ada di dalam emosi (Barret dan Fossum, 2001). Dari paparan di
muka dapat disimpulkan bahwa ketiga dimensi semantik diferensial memiliki
unsur-unsur yang menjelaskan struktur semantik kosa kata emosi yang stabil jika
diuji pada berbagai budaya.
Melalui uraian beberapa ahli mengenai dimensi emosi beserta struktur
yang terdapat di dalamnya, peneliti menyederhanakan menjadi tiga dimensi kosa
kata emosi yang terbukti lebih stabil jika diuji pada lintas budaya. Rangkuman
dimensi dan struktur emosi tersebut antara lain :
-
36
Dimensi Evaluasi. Dimensi evaluasi menjelaskan penilaian terhadap
kenikmatan yang pada kata emosi. Dimensi ini merupakan dimensi yang paling
utama karena mengacu pada konsep emosi secara dasar yang diformulasikan pada
fight-fligt (Mauro dkk., 1992). Di dalam dimensi evaluasi ini termuat: 1) unsur
kenyamanan yang menjelaskan unsur kenikmatan yang dirasakan individu ketika
menghadapi sebuah situasi yang menimbulkan emosi (Altariba, 2003), 2) unsur
konsekuensi yang menjelaskan apakah konsekuensi sebuah emosi dinilai
mengganggu atau tidak (Ortony, Clore, Collins, dalam Morgan dan Heisse, 1988).
Konsekuensi negatif dibuktikan dengan adanya ketenangan atau kestabilan dan
sebaliknya konsekuensi positif menimbulkan kegelisahan atau ketidakstabilan. 3)
Unsur pemeliharaan diri yang menunjukkan apakah sebuah emosi menimbulkan
kesantaian atau kecemasan. Unsur ini didapatkan dari Oatley (dalam Long, tanpa
tahun) yaitu pemelirahaan pribadi (self-preservation) menunjukkan unsur
kecemasan di dalam sebuah kata emosi.
Dimensi Aktifitas. Dimensi aktifitas menandakan ekspresi emosi dalam
perilaku motorik atau reaksi fisiologis. Dimensi aktifitas memuat beberapa unsur
kata emosi, antara lain : 1) unsur keaktifan yang menandakan intensitas dan
frekuensi tindakan pada saat pengalaman emosi (Osgood, 1957; Davitz dalam
Strongman, 1999), 2) unsur keteraturan aktifitas yang menunjukkan pengendalian.
Keteraturan dan kedinamisan aktifitas menunjukkan bahwa individu mampu
mengendalikan emosi (Scherer, tanpa tahun). 3) Unsur ketegangan yang
menunjukkan intensitas reaksi fisiologis tubuh (Schacter dalam Morgan, 1995;
Ortony, Clore and Collins dalam Long, tanpa tahun). Unsur kekuatan
-
37
menunjukkan adanya unsur kekuasaan, keyakinan terhadap diri dan dominasi
pada emosi (Russel, 2003; Morgan & Heise, 1988; Scherer, tanpa tahun). 4)
Unsur kegairahan yang menunjukkan adanya unsur semangat dan motivasi dan
mendorong individu menjadi bergairah pada saat munculnya emosi. Unsur ini
diturunkan dari gagasan Shalif (1988), mengenai dimensi fasilitasi emosi dalam
meningkatkan dan menurunkan performansi aktifitas individu. Unsur gairah juga
menunjukkan adanya unsur keseriusan pada emosi Feldman, Barret dan Russel
(dalam Christie, 2001).
Tabel 2.4 Rangkuman Struktur dan Dimensi Kosa Kata Emosi
No Dimensi Kosa Kata
Emosi
Struktur Kosa Kata Emosi Keterangan
Kenyamanan Unsur kenikmatan di dalam emosi Unsur relevansi terhadap
kepentingan pribadi
Gangguan Tingkat kesulitan dalam meregulasi emosi 1 Evaluasi (evaluation)
Kesantaian Perasaan terbebani atau terganggu harapan,
Aktifitas Frekuensi tindakan Intensitas tindakan
Keteraturan Gerak Kendali Kedinamisan Ketegangan Intensitas reaksi fisiologis,
2 Aktifitas (activation)
Kegairahan Semangat dan motivasi Regulasi Kekuatan Dominasi, kuasa, kehendak
Kecepatan Urgensi (mendesak-tidak mendesak), perubahan 3 Potensi
(potency) Atraksi Penyajian/pengungkapan
Kemantapan Prediksiketeraturan, tanggung jawab, kejelasan
Dimensi Potensi. Dimensi potensi menjelaskan adanya sumber kekuatan
pada pengalaman emosi yang memuat: 1) unsur kekuatan yang berkaitan dengan
-
38
persepsi terhadap status individu (Kemper dalam Heise dan Weir, 1999).
Misalnya penurunan kekuatan akan menyebabkan munculnya emosi cemas dan
takut. 2) Unsur kecepatan yang menggambarkan perubahan tindakan pada saat
emosi berlangsung (Schneider, 1996). Unsur kecepatan juga menunjukkan adanya
kepentingan yang segera dipenuhi (urgency) (Frijda, 1986; Scherer, tanopa tahun)
3) unsur atraksi yang menunjukkan tampilan apakah sebuah emosi dinilai kasar
atau halus. Heider (1991) membuktikan unsur ini mampu membedakan emosi
sayang dan cinta dengan emosi lainnya. 4) Unsur kemantapan yang
menggambarkan kestabilan dan keseimbangan individu dalam mengendalikan
emosi (Smith dan Ellsworth, dalam Mauro dkk., 1992). Rangkuman ketiga
dimensi kosa kata emosi beserta strukturnya dapat dilihat pada tabel 2.4.
Penggunaan model tiga dimensi, misalnya tiga dimensi dalam semantik
differensial, lebih mencapai hasil analisis yang maksimal dibanding dengan dua
dimensi atau lebih dari tiga dimensi dalam melakukan analisis terhadap emosi.
Shaver dkk. (dalam Morgan dan Heise 1988) dari hasil penelitiannya terhadap
kata emosi secara murni, menyimpulkan tiga dimensi lebih menggambarkan status
emosi secara komprehensif dibandingkan dengan dua dimensi. Averill (dalam
Morgan dan Heisse, 1988) juga mengemukakan bahwa tiga dimensi lebih tepat
jika digunakan untuk mendefinisikan status emosi dibandingkan dengan dua
dimensi.
Melalui uraian di muka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
kemiripannya, kosa kata emosi membentuk tiga dimensi yang terdiri dari dimensi
evaluasi, potensi dan aktifitas yang memuat unsur semantik yang bipolar. Tiap
-
39
dimensi tersebut terdiri dari struktur semantik kosa kata emosi yang merupakan
unsur-unsur pembentuk dimensi tersebut. Dimensi evaluasi memuat unsur
kenyamanan, kelembutan dan kecemasan, dimensi aktifitas memuat keaktifan,
tegangan dan daya serta dimensi potensi memuat kekuatan, kecepatan dan
kemantapan.
C. Kajian Semantik Kosa Kata Emosi
Semantik adalah bagian dari kajian semiotika (ilmu tanda) yang
mempelajari tentang simbol dan tanda dalam kajian lingusitik yang mempelajari
struktur bahasa. Kata semantik berasal dari bahasa Yunani, yaitu to signify, yang
berarti memaknai. Menurut Bauerle (1979) secara teknis kata semantik kemudian
diartikan sebagai studi tentang makna. Ditambahkan oleh Bauerle (1979), analisis
semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakkan
makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman manusia.
Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan di dalam Ensiclopedy
Britanica (1965), yang mengatakan bahwa semantik adalah studi tentang
hubungan antara linguistik dengan hubungan proses mental dalam aktifitas
komunikasi. Proses mental yang dimaksudkan di sini adalah proses penalaran
dalam memberikan simbol dalam bahasa. Oleh karena luasnya bidang yang
berkaitan dengan semantik, George (dalam Pateda, 2001) menggambarkan posisi
semantik terletak pada daerah perpotongan antara linguistik, psikologi, logika, dan
filsafat.
-
40
Laventhal (dalam Strongman, 1996) mengatakan bahwa untuk
mempelajari emosi, beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain:
a. Studi harus diawali dengan paparan verbal (verbal report) pengalaman
subjektif individu.
b. Emosi adalah bentuk pemaknaan individu karena yang dihasilkan dari aktifitas
kognisi yang melakukan pemaknaan. Oleh karena itu studi mengenai emosi
hendaknya menyentuh bentuk kognisi (form of cognition). Ada bermacam-
macam tipe dalam proses kognisi dan sistem pemaknaan yang selalu berubah
dan berkembang
c. Makna dibentuk oleh proses sistem persepsi (perceptual processing system)
sehingga untuk menghasilkan satu analisis yang akurat dan tidak terjebak pada
analisis yang terlalu umum, diperlukan pembedaan antara kajian tentang kata
emosi dengan kata-kata lain di luar emosi.
d. Analisis kata emosi dilakukan dengan mempertimbangkan peta kata (lexical
maps)
Analisis kata emosi bukanlah analisis terhadap kata-kata secara
independen melainkan analisis sebuah kata dalam satu jaringan kata emosi
(emotion clusters) sehingga sebuah status emosi dapat digambarkan dengan
beberapa kata. Rumusan ini akan membebaskan peneliti dari penilaian ketat yaitu
one word = one emotion, satu kata emosi mewakili satu emosi (Heider, 1991).
Melalui bukti empirik dari penelitian langsung tentang kelompok kata (lexical
cluster) dalam bahasa Indonesia, Brandt dan Boucer (dalam Heider, 1991),
-
41
menemukan bahwa kajian mengenai kata emosi melalui kelompok kata lebih
mendapatkan makna yang signifikan daripada satu kata secara independen.
Tabel 2.5 Gambaran Emosi Dasar Manusia Menurut Beberapa Ahli
Ahli Emosi dasar Arnold Marah, enggan, berani, kesal, hasrat, putus asa,
khawatir, benci, harap, cinta, sedih (Anger, aversion, courage, dejection, desire, despair, fear, hate, hope, love, sadness)
Berkaitan dengan kecenderungan
Ekman, Friesen, dan Ellsworth
Marah, jijik, khawatir, gembira, sedih, terkejut (Anger, disgust, fear, joy, sadness, surprise)
Ekspresi wajah secara universal
Frijda hasrat, gembira, minat, terkejut, ragu, murung (Desire, happiness, interest, surprise, wonder, sorrow)
Bentuk kesiapan bertindak
Gray kalap dan ngeri, cemas, senang (Rage and terror, anxiety, joy)
Izard Marah, jijik, muak, menderita, khawatir, sesal, minat, gembira, malu, heran (Anger, contempt, disgust, distress, fear, guilt, interest, joy, shame, surprise)
James Khawatir, gagal, cinta, kalap (Fear, grief, love, rage)
Reaksi tubuh
McDougall Marah, muak, girang, khawatir, lemah, emosi-lembut, ragu (Anger, disgust, elation, fear, subjection, tender-emotion, wonder)
Berkaitan dengan insting
Mowrer Sakit, senang (Pain, pleasure)
Oatley and Johnson-Laird
Marah, muak, cemas, senang, sedih (Anger, disgust, anxiety, happiness, sadness)
Isi perasaan
Panksepp Harap, khawatir, kalap, panik (Expectancy, fear, rage, panic)
Plutchik Menerima, marah, antisipasi, muak, senang, khawatir, sedih, terkejut (Acceptance, anger, anticipation, disgust, joy, fear, sadness, surprise)
Berkaitan dengan proses adaptif secara biologis
Tomkins Marah, minat, jijik, muak, duka, khawatir, senang, malu, terkejut (Anger, interest, contempt, disgust, distress, fear, joy, shame, surprise)
Kondisi syaraf
Russel Kenyamanan-ketidaknyamanan, tenang-gejolak (Pleasant-unpleasant, mild-intense)
Watson Khawatir, cinta, kalap (Fear, love, rage) Weiner and Graham
Sedih, gembira (Happiness, sadness) Tanda-tanda yang independen
-
42
Dikutip dari : Ortony, A., & Turner, T. J. (1990). What's basic about basic emotions? Psychological Review, 97, halaman 315-331.
Dengan melibatkan adanya dimensi pada emosi, peneliti melihat bahwa
analisis kata emosi juga diharapkan tetap melibatkan pembagian kategori besar
berupa emosi dasar manusia. Berdasarkan paparan Ekman (Smith dan Bond,
1993), ada beberapa kategori emosi dasar yang konsisten dalam berbagai budaya.
Kajian mengenai emosi akan menghasilkan satu paparan yang lebih tepat jika
melibatkan emosi dasar. Beberapa ahli yang mengungkapkan emosi dasar
manusia dapat dilihat pada tabel 2.5.
Terdapat beberapa cara yang digunakan untuk menginvestigasi sebuah
kata emosi yang sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, cara tersebut
antara lain:
a. Teknik Multidimensional Scaling
Gambar 2.1 Contoh Hasil Analisis Kosa Kata Emosi dengan menggunakan teknik multidimensional scaling. Dikutip dari Heider, K. G. 1991. Landscape of Emotion: Mapping Three Culture of Emotion in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. (halaman 36)
-
43
Bagbeg (pride/love) Metau (playful happiness) Chegas (romantic pride) Bosu (excitement/jealously) Ker (happiness) Gachu (liking) Bobo (dissapointed) Metagu (fear/anxiety) Rus (panic/fright/surprise) Lugumet (discomfort) Ma (shame/embarassment) Fago (compassion/love/sadness) Lalomweiu (loneliness/sadness) Liyemam (longing) Pak (homesickness) Laloileng (insecurity) Gasechala (hate) Lingeringer (iritation) Timochmoch (short-temper) Song (justified anger) Tang (frustration) Niyefiyef (regret/anger at self) Sangeaw (jealously) Filengaw (incapability/discomfort) Niyabut (disgust) Komyaya (incapability/indecision) Saumawal (confusion) Yeyewal (indecision/doubt) Nguch (sick and tired) Waires (worry/conflict) Welingaw (sudenly bad)
C
D
B
A
Gambar 2.2 Contoh Hasil Analisis Kosa Kata Emosi dengan menggunakan teknik Hierarchical Cluster. Dikutip dari Heider, K. G. 1991. Landscape of Emotion: Mapping Three Culture of Emotion in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. (halaman 36)
Multidimensional adalah cara yang digunakan untuk merepresentasikan
metode semantik differential dalam bentuk peta. Peta ini memaparkan posisi kata
emosi dalam aksis-aksis (absis-ordinat) yang merupakan faktor dari semantik
differential yaitu evaluasi, potensi, dan aktivitas. Melalui pendekatan ini dapat
-
44
menangkap kespesifikan budaya dalam memaknai kata emosi dalam bahasa
budaya tersebut (Heider, 1991). Penggunaan metode multidimensional scaling
digunakan oleh Morgan dan Heisse (1988), untuk menganalisis struktur-struktur
yang ada dalam emosi, dipakai oleh Averill (1982), untuk melakukan rating pada
suasana hati, dipakai oleh Lorr dan Shea (1979 dalam Heider, 1991) dengan