skripsi selada kompos
DESCRIPTION
yapsTRANSCRIPT
I . PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat seiring dengan
pertambahan penduduk. Dengan kemajuan teknologi beberapa produksi pertanian
masih dapat ditingkatkan melalui upaya intensifikasi pertanian. Upaya
intensifikasi akhir-akhir ini juga mengalami hambatan seperti semakin kecilnya
subsidi pemerintah terhadap sarana produksi pertanian (pupuk, pestisida dll).
Dengan adanya krisis ekonomi yang dialami oleh negara kita sampai
sekarang, dampaknya juga dirasakan oleh para petani. Di mana daya beli
masyarakat tani menjadi berkurang dan ditambah lagi harga pupuk dan sarana
produksi lain yang semakin tinggi. Hal ini menyebabkan petani tidak banyak
menerapkan budidaya yang baik untuk meningkatkan produksinya.
Masalah lain dari pupuk buatan yang digunakan selama ini adalah
rusaknya struktur tanah akibat pemakaian pupuk buatan yang terus menerus
sehingga perkembangan akar tanaman menjadi tidak sempurna. Hal ini juga akan
memberi dampak terhadap produksi tanaman yang diusahakan pada tanah yang
biasa di beri pupuk buatan. Begitu juga efek sarana produksi terhadap lingkungan
telah banyak dirasakan oleh masyarakat petani, penggunaan pupuk buatan yang
terus menerus menyebabkan ketergantungan dan lahan mereka menjadi lebih
sukar untuk diolah.
Sistem budidaya secara organik kini telah menampakkan hasil yang cukup
signifikan pada tingkat peneliti tetapi ditingkat petani masih terbatas yang
menerapkannya. Begitu juga penerapan budidaya secara hidroponik. Hidroponik
adalah teknik budidaya tanaman tanpa menggunakan media tanah sebagai media
tumbuhnya. Sistem hidroponik pun mempunyai kelemahan dalam pembiayaan
awal dan operasinya. Sehingga hidroponik kurang berkembang dimasyarakat
tani. Menurut hasil laporan Trubus (2002) sistem hidroponik sangat mahal,
terutama untuk pemberian nutrisi tanamanannya (70 % biaya produksi digunakan
untuk hal ini). Dilain pihak produksi yang rendah disebabkan beberapa hal, yaitu
banyak petani yang belum menerapkan cara budidaya yang baik, seperti
penggunaan pupuk yang kurang berimbang, perawatan yang kurang intensif dan
salah perhitungan waktu tanam.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas, maka diperlukan suatu alternatif
sistem budidaya pertanian pada lahan sempit dengan penggunaan kompos dalam
larutan hara hidroponik untuk mengurangi penggunaan larutan hara buatan secara
berlebihan. Di harapkan penggunaan larutan hara buatan menjadi berkurang atau
bahkan dihilangkan, sehingga didapatkan suatu sistem budidaya secara
hidroponik dengan menggunakan larutan hara alami.
Salah satu sayuran yang banyak dibudidayakan dengan menggunakan
sistem hidroponik adalah selada (Lactuca sativa L.). Karena, selain mudah
dibudidayakan sayuran ini juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Selada
biasanya dikonsumsi mentah atau bisa juga dijadikan sebagai penghias hidangan.
Tabel 1. Kandungan zat gizi dalam 1000 gr Selada
Zat Gizi KandunganProtein
Lemak
Karbohidrat
Ca
P
Fe
Vitamin A
Vitamin B
Vitamin C
1.2 gr
0.2 gr
2.9 gr
22.0 mg
25.0 mg
0.5 gr
162 mg
0.04 gr
8.0 gr
Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1979
Seiring dengan meningkatnya pengetahuan masayarakat, maka permintaan
akan produk sayuran yang bebas dari bahan kimia menjadi meningkat. Karena
konsumen menghendaki daun selada yang bebas racun serangga, penanaman
dilakukan secara organik. Tanaman tidak disemprot dengan insektisida, dan tidak
diberi pupuk kimia anorganik, tetapi pupuk kandang dan air dari kolam kompos.
Dalam hidroponik, kompos digunakan dalam bentuk pupuk organik cair
yang mudah dimanfaatkan oleh tanaman karena unsur didalamnya sudah terurai
dan tidak dalam jumlah yang terlalu banyak, sehingga cepat dimanfaatkan oleh
tanaman (Direktorat Serealia dalam Naswir 2003).
Dalam penelitian ini digunakan kompos Ayam. Karena, selain mudah
didapatkan dan harganya murah, kompos Ayam juga mempunyai unsur hara yang
cukup tinggi. Selain itu, penggunaan unsur hara buatan dalam Fertimix
mempunyai potensi residu pada tanaman yang dapat mengganggu kesehatan
manusia. Sehingga kompos Ayam diharapkan dapat menjadi bahan alternatif
dalam budidaya pertanian secara hidroponik.
1.2. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
· Untuk mengetahui pengaruh taraf dosis kompos Ayam yang dicampurkan
kedalam larutan Fertimix terhadap pertumbuhan dua kultivar selada
(Lactuca sativa L.)
· Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dalam pertumbuhan
masing-masing kultivar selada (Lactuca sativa L.)
· Untuk mengetahui apakah terdapat terdapat interaksi antara dosis kompos
Ayam dan kultivar selada (Lactuca sativa L.)
1.3. Hipotesis
- Banyaknya kompos yang diberikan akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman selada (Lactuca sativa L.).
- Setiap kultivar selada akan memberikan respon berbeda terhadap
pemberian kompos.
- Adanya interaksi antara banyaknya kompos yang diberikan pada setiap
kultivar yang akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
selada (Lactuca sativa L.).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sifat Botani Selada
Klasifikasi tanaman selada menurut Rukmana (1994) adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Lactuca
Spesies : Lactuca sativa L.
Bunga selada berwarna kuning, dengan panjang 0,6-1,2 mm. Pada
dasarnya bunga terdapat di bagian-bagian daun, tetapi makin ke atas bunga
tersebut tidak muncul (Ashari, 1995).
Daun selada relatif tipis dan terasa renyah, serta mempunyai penampilan
menarik, sehingga sering dijadikan lalapan dan penghias hidangan, akan tetapi
daun selada mudah busuk (Soeseno, 1999).
Menurut Ashari (1995), tanaman selada terdiri dari beberapa jenis antara
lain : 1). Selada telur atau kropsla var. capitata Jenis ini paling banyak
dibudidayakan, ciri tanaman ini membentuk krop sangat padat. 2). Selada umbi
var. longifolia daunnya roset, berbentuk silindris, lonjong atau bulat telur, tumbuh
tegak dan teksturnya kasar. Jenis ini pada umumnya melipat daunnya yang
berbentuk jantung. 3). Selada daun atau selada keriting var. crispa. Varietas ini
kurang membentuk krop, tekstur daunnya sama dengan var. capitata, namun
berbeda dalam kemampuan membentuk krop dan umumnya daunnya keriting. 4).
Selada asparagusvar. asparagina Bailey, biasanya di konsumsi tangkai daun,
tekstur daunnya kasar, kurang baik untuk salad, jenis ini banyak ditanam di Cina.
2.2. Syarat Tumbuh
Tanaman selada tumbuh baik di daerah yang mempunyai udara sejuk,
sehingga cocok ditanam di dataran tinggi. Bila ditanam di dataran rendah
memerlukan pemeliharaan intensif dan cenderung lebih cepat berbunga dan
berbiji. Tanaman selada kurang tahan terhadap sinar matahari langsung, sehingga
memerlukan naungan (Nazarudin, 2000).
Daerah yang cocok untuk penanaman selada pada ketinggian sekitar 500 -
2000 m dpl dan suhu rata-rata 15 °C – 20 °C, curah hujan antara 1000 - 1500 mm
per tahun dan kelembaban 60 – 100 % (Pracaya, 2002), pH yang dikehendaki
tanaman selada sebaiknya netral (6,5 - 7), apabila terlalu masam daun selada
menjadi kuning (Suprayitna,1996).
2.3. Hidroponik
Hidroponik adalah teknik budidaya tanaman yang menggunakan media
tumbuh selain tanah. Dengan kata lain dapat juga dikatakan budidaya tanpa tanah
(soilles culture) (Untung, 2000).
Menurut Lingga (2000), berdasarkan media tanam yang digunakan, maka
hidroponik dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu. 1).Metode kultur air. Pada
metode ini, air digunakan sebagai media tanam. 2). Metode kultur pasir, dengan
menggunakan pasir sebagai media. 3). Metode kultur porous, bahan yang
digunakan antara lain kerikil, pecahan genteng dan gabus putih.
Menurut Rini dan Yusdar (1999) dalam suprapto (2000) ada dua hal yang
perlu diperhatikan dalam budidaya sayuran secara hidroponik, yaitu pengelolaan
tanaman dan kesehatan tempat tumbuh tanaman. Pengelolaan tanaman meliputi
kesesuaian komoditas yang diusahakan, kesesuaian media tumbuh yang
digunakan, kesesuaian larutan nutrisi yang akan diberikan dan teknik
pemeliharaan. Lingkungan tempat tumbuh meliputi larutan nutrisi dalam media
tumbuh dan lingkungan sekitarnya, perlu dijaga kesehatannya untuk menghindari
adanya hama serta penyakit.
2.4. Nutrisi Hidroponik
Pemberian nutrisi pada tanaman dapat diberikan melalui akar dan
daun.Aplikasi melalui akar dapat dilakukan dengan merendam atau mengalirkan
larutan pada akar tanaman. Larutan nutrisi dibuat dengan cara melarutkan garam-
mineral kedalam air. Ketika dilarutkan dalam air, garam-mineral ini akan
memisahkan diri menjadi ion. Penyerapan ion-ion oleh tanaman berlangsung
secara kontinue di karenakan akar-akar tanaman selalu bersentuhan dengan
larutan (Yanti, 2004dalam Suwandi, A. 2006).
Nutrisi hidroponik dibuat dengan menggabungkan hara makro dan hara
mikro sesuai kebutuhan tanaman. Unsur hara makro adalah unsur hara yang
diperlukan tanaman dalam jumlah yang banyak, terdiri atas C, H, O, N, P, K, Ca,
Mg dan S. Apabila tanaman kekurangan unsur hara makro akan berpengaruh
langsung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman (Harjowigeno,2003).
Unsur hara mikro adalah unsur hara yang diperlukan oleh tanaman tetapi dalam
jumlah sedikit. Unsur hara mikro ini mutlak dibutuhkan oleh tanaman. Jika
kekurangan unsur hara mikro ini maka tanaman tidak akan tumbuh dengan
optimal. Jenis unsur hara mikro ini adalah Mn, Cu, Fe, Mo, Zn, B (Lingga, 2002).
2.5. Nutrisi Hidroponik Fertimix
Fertimix adalah nutrisi hidroponik yang diramu dari bahan-bahan yang
berkualitas tinggi. Semua bahan yang digunakan adalah water soluble
gradesehingga sangat cocok untuk diterapkan dengan sistem irigasi tetes atau
rakit apung. Fertimix dikemas dalam bentuk yang praktis dan ekonomis, dengan
unsur hara makro dan mikro didalamnya yang cukup lengkap. Fertimix dikemas
dalam bentuk paket yang terbagi menjadi dua sak, yaitu A dan B dan dalam
bentuk padat (crystal dan powder). Adapun komposisi bahan yang terdapat dalam
fertimix ada dalam tabel 2 berikut:
Tabel 2. Kandungan Unsur Hara dalam ”Fertimix”
Sak Unsur hara Jumlah (gr / 5000 L)A
B
Ca (NO3)2
Fe-HEEDTA 12 %
KNO3
K2PO4
mgSO4
K2SO4
mnSO4
znSO4
Borax
cuSO4
Natrium Molybdenum
4850
86
4420
1360
1230
298
4.2
5.4
14.3
0.94
0.94
0.32
2.6. Kompos
Bahan dasar pupuk organik, dapat diperoleh dari kompos, pupuk kandang
maupun limbah pertanian seperti: jerami dan sekam padi, kulit kacang tanah,
ampas tebu, batang jagung, sampah dapur atau pun bahan-bahan hijauan lainnya.
Kotoran ternak yang banyak dimanfaatkan adalah kotoran sapi, kerbau, kambing,
ayam, itik, babi, kuda dan lain-lain. Disamping itu dengan berkembangnya
pemukiman, perkotaan dan industri maka bahan dasar kompos makin beraneka
ragam. Bahan yang banyak dimanfaatkan antara lain: tinja, limbah cair,
sampah kota dan pemukiman (Sutanto, 2002).
Lingga, (1991) dalam Naswir, (2003) melaporkan bahwa jenis dan
kandungan hara yang terdapat pada beberapa kotoran ternak padat dan cair
dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:
Table 3. Jenis dan kandungan zat hara pada beberapa kotoran ternak padat dan
cair
Nama ternak dan bentuk kotorannya
Nitrogen
(%)Fosfor (%)
Kalium (%)
Air (%)
Kuda –padat 0.55 0.30 0.40 75
Kuda –cair 1.40 0.02 1.60 90
Kerbau –padat 0.60 0.30 0.34 85
Kerbau –cair 1.00 0.15 1.50 92
Sapi –padat 0.40 0.20 0.10 85
Sapi –cair 1.00 0.50 1.50 92
Kambing –padat 0.60 0.30 0.17 60
Kambing –cair 1.50 0.13 1.80 85
Domba –padat 0.75 0.50 0.45 60
Domba –cair 1.35 0.05 2.10 85
Babi – padat 0.95 0.35 0.40 80
Babi –cair 0.40 0.10 0.45 87
Ayam –padat dan cair 1.00 0.80 0.40 55
Sumber : Lingga, 1991
Menurut Sutanto (2000), Pengomposan dipengaruhi oleh faktor
kelembaban, sirkulasi udara (aerasi), penghalusan dan pencampuran bahan, nisbah
C/N, nilai pH dan suhu. Proses penguraian bahan organik menjadi kompos terjadi
dengan bantuan bakteri Untuk membantu proses pembuatan kompos dapat
digunakan berbagai mikroba yang tersedia dalam berbagai bentuk merk dagang
antara lain EM-4. Kompos yang diperoleh dapat digunakan setelah mengalami
proses fermentasi selama 4-7 hari atau setelah suhu kompos tidak tinggi dan tidak
berbau lagi. Sebagai sumber energi atau makanan bakteri, pada tahap awal
sebelum proses fermentasi diperlukan molase (tetes tebu). Molase ini dapat
diganti dengan menggunakan gula merah atau gula putih (Indriani, 2004).
2.7. Electrical Conductivity (EC)
Larutan hidroponik harus mempertimbangkan nilai EC (Electrical
Conductivity) yaitu daya hantar listrik dari suatu larutan, daya hantar listrik
meningkatkan kandungan ion-ion dalam suatu larutan menjadi tinggi. Dengan
demikian EC menunjukkan kepekatan dalam suatu larutan. Penurunan kepekatan
ini dapat dilihat dengan menggunakan alat yang disebut EC meter. EC meter ini
penting peranannya karena dapat dengan cepat memantau tinggi rendahnya
kepekatan bahan kimia dalam suatu larutan. Larutan ini harus terus dipantau
kepekatannya. Kalau turun, itu berarti tanaman sudah berhasil menyerap unsur
kimia yang terkandung didalamnya. Penurunan kepekatan juga dapat timbul kalau
matahari bersinar cerah tetapi kelembaban udara masih tinggi. Daya serap
tanaman akan meningkat dan menghabiskan unsur makanan lebih cepat sehingga,
kepekatan larutan pun akan turun dengan cepat pula. Jika itu terjadi maka,
kepekatan larutan harus dinaikkan dengan cepat (Soeseno, 1999). EC diukur
dalam satuan mS/cm, nilai EC dapat juga diberikan dalam uS/cm dimana 1
mS/cm = 1000 ppm (www. Nieukoopbv. Com, 2007).
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan bulan Agustus-Oktober 2007. Berlokasi di
rumah plastik (Green House) kebun percobaan jurusan Budidaya Pertanian,
Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan, Universitas Djuanda, Ciawi,
Bogor. Pada ketinggian 530 m dpl dan curah hujan 3529,5 mm pertahun
(Kecamatan Ciawi, 2007).
3.2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah selada kultivar New
grand rapid dan kultivar Chia tai seed, media semai rockwool, kompos ayam,
larutan nutrisi anorganik Fertimix, Em-4, gula pasir dan air. Sedangkan alat yang
digunakan adalah bak tanaman, styrofoam, penggaris, timbangan (ACS. Compact
multi-purpose balance-BC 500, Capacity 500 g x 0.1 g), gelas ukur, pinset, pisau
cutter, EC meter (Adwa, AD-204 mS), pH meter (Merk KgaA, Jerman),
termometer dan hygrometer (Haar-Synth.Hygro. Germany) dan drum wadah
larutan.
3.3. Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan percobaan faktorial menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL). Percobaan ini terdiri atas dua faktor. Faktor
pertama adalah kultivar tanaman selada (Lactuca sativa L.) yang terdiri atas dua
kultivar yaitu:
K1 = Kultivar 1 (New grand rapid)
K2 = Kultivar 2 (Chia tai seed)
Faktor kedua adalah kombinasi larutan hara yang terdiri dari lima taraf
yaitu:
T0 = Kontrol (Larutan nutrisi Fertimix sesuai dosis anjuran 2000 ppm)
T1 = Larutan nutrisi Fertimix 1500 ppm + larutan kompos 500 ppm
T2 = Larutan nutrisi Fertimix 1000 ppm + larutan kompos 1000 ppm
T3 = Larutan nutrisi Fertimix 500 ppm + larutan kompos 1500 ppm
T4 = Larutan kompos 2000 ppm
Dari dua faktor diatas maka terdapat 10 kombinasi perlakuan. Setiap
perlakuan terdiri dari 4 ulangan. Sehingga, terdapat 40 satuan percobaan. Setiap
satuan percobaan terdiri atas 3 tanaman sehingga seluruhnya terdapat 120 satuan
amatan (denah, lihat gambar lampiran 24).
Adapun model statistik yang digunakan dalam penelitian:
Yijk = µ + Ki + Pi + (KP)ij + ε ijk
i = Taraf dari komposisi nutrisi
j = Taraf dari faktor kultivar
k = Ulangan
µ = Nilai tengah populasi (rata-rata sesungguhnya)
Ki = Nilai pengamatan dari taraf ke-i komposisi nutrisi kompos
Pi = Nilai pengamatan dari taraf ke-j kultivar
(KP)ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor komposisi dan taraf ke-j faktor
kultivar
ε ijk = Pengaruh galat pada ulangan ke-k yang mendapat kombinasi perlakuan
ke-ij
Data dari setiap percobaan akan di analisis dengan sidik ragam (uji F). Jika
terdapat pengaruh nyata maka akan dilakukan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)
dengan α5 %.
3.4. Pelaksanaan Percobaan
3.4.1. Persemaian
Media semai yang dipakai adalah rockwool yang dipotong dengan ukuran
2,5 x 2,5 x 2,5 cm dan disusun di atas baki plastik. Tiap media semai ditanami
satu benih selada, kemudian media semai disiram dengan air bersih sampai basah.
Tempat persemaian ditutup dengan baki plastik selama ± 24 jam untuk
mempercepat perkecambahannya. Setelah benih berkecambah, baki plastik
penutup dibuka dan persemaian dibiarkan terkena sinar matahari. Posisi wadah
semai di putar seperlunya untuk menghindari agar tanaman tidak tumbuh condong
ke satu arah. Setelah bibit berumur 5 hari, bibit siap dipindah tanam ke dalam
sistem hidroponik rakit apung.
3.4.2. Pembuatan Kompos
Bahan-bahan kompos (pupuk kandang ayam, gula pasir, EM-4, Bekatul
dan air secukupnya) diaduk rata, kemudian disimpan dalam bak plastik yang telah
disediakan, ditutupi plastik dan diperciki air sampai lembab (tetapi tidak basah
atau tergenang air). Hasil adukan dibolak-balik dan disiram setiap 3 hari sekali
agar suhu dan kelembaban tetap terjaga. Pengomposan tersebut dilakukan selama
± 2 minggu agar mengalami penguraian oleh bakteri, dengan demikian kompos
tersebut menjadi matang. Kemudian kompos diayak untuk memisahkan kompos
dengan bahan yang tidak berguna seperti batang kayu, rumput dan bahan-bahan
lain yang tidak dapat hancur oleh bakteri.
Pembuatan larutan kompos dilakukan dengan cara mencampur 5 kg bahan
kompos dengan 5 liter air kemudian diperas dan disaring untuk memperoleh
pekatan kompos. Untuk mengetahui berapa larutan kompos ayam yang
dibutuhkan untuk 1 liter media tanam adalah dengan menggunakan EC meter.
Skala 1 pada EC meter menunjukan bahwa kandungan zat didalam larutan
tersebut adalah 1000 ppm. Dalam penelitian ini digunakan 2000 ppm, itu berarti
skala yang digunakan adalah 2 dalam skala EC meter. Dari hasil pengukuran
menggunakan EC meter diketahui, untuk memperoleh 1 liter larutan media tanam,
larutkan 200 ml / L untuk kandungan 2000 ppm (100 % kompos), 150 ml / L
untuk kandungan 1500 ppm (75 % kompos), 100 ml / L untuk 1000 ppm (50 %
kompos), 50 ml / L untuk 500 ppm (25 % kompos).
3.4.3. Pembuatan Nutrisi (Fertimix)
Pembuatan larutan nutrisi dilakukan dengan membuat larutan pekat
terlebih dahulu. Disiapkan dua buah wadah yang mempunyai volume 5 liter,
masing-masing diberi tanda A dan B. Tiap ember diisi air, masing-masing
sebanyak 2.5 liter. Nutrisi kantong A dimasukkan ke dalam ember A lalu diaduk
hingga larut dan ditambah air sampai menjadi 5 liter. Nutrisi paket B dimasukkan
ke ember B lalu diaduk hingga larut dan di tambah air sampai menjadi 5 liter.
Pembuatan larutan siap pakai dilakukan dengan cara melarutkan masing-
masing 5 cc larutan A dan B ke dalam 1 liter air untuk kandungan 2000 ppm
Fertimix (100 % Fertimix), 3,25 ml larutan A dan B untuk kandungan 1500 ppm
(75 % Fertimix), 2,5 ml larutan A dan B untuk kandungan 1000 ppm (50 %
Fertimix) dan 1,25 ml larutan A dan B untuk kandungan 500 ppm (25 %
Fertimix). Setelah itu, larutan diukur derajat kemasamannya dengan menggunakan
pH meter.
3.4.4. Penanaman
Penanaman dilakukan pada baki plastik yang berukuran 50 x 25 x 25 cm.
Baki tanam diisi dengan larutan nutrisi siap pakai sesuai dengan perlakuan
sebanyak 6 liter, kemudian bibit ditanam dengan menggunakan Styrofoam agar
mengapung. Lembar Styrofoam (ukuran 49 x 24 x 2 cm) dilubangi sebanyak 3
lubang dengan ukuran 1.5 x 1.5 cm. Setiap satu lubang ditanami satu bibit.
3.4.5. Pemeliharaan
Pemeliharaan meliputi pengangkatan styrofoam yang dilakukan 3 hari
sekali, pengendalian hama penyakit dan pengukuran suhu dan kelembaban yang
dilakukan 3 kali sehari yaitu pada pagi, siang dan sore hari.
Pengangkatan styrofoam dilakukan agar oksigen dapat masuk ke dalam
air. Sehingga tanaman dapat menyerap oksigen terutama di daerah perakaran yang
terendam air. Hama yang menyerang umumnya adalah belalang. Hama belalang
ini di kendalikan dengan cara manual, yaitu diambil dengan menggunakan tangan
kemudian dibunuh. Penyakit yang menyerang tanaman relatif tidak ada sehingga
tidak memerlukan pengendalian.
3.5. Peubah yang diamati
Tinggi tanaman: pada umur 5, 10, 15, 20, 25, 30 dan 35 hari setelah tanam
(HST). Dilakukan pengukuran tinggi tanaman. Pengamatan ini bertujuan
untuk mengetahui laju pertumbuhan tanaman. Bagian yang di ukur mulai
dari pangkal batang sampai pada bagian yang tertinggi dari tanaman.
Banyaknya daun: pada umur 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 HST dilakukan
perhitungan banyaknya daun. Kotiledon dan kuncup daun yang belum
mekar sempurna tidak dihitung.
Panjang akar: pada umur 10, 20, 30 dan 35 HST dilakukan pengukuran
panjang akar. Panjang akar di ukur mulai dari pangkal batang di bagian
bawah styrofoam sampai ujung akar.
Bobot basah pucuk: dilakukan saat panen (25 HST).
Bobot basah akar : dilakukan saat panen (25 HST)
Bobot basah brangkasan : dilakukan saat panen (25 HST)
Bobot kering pucuk: pengeringan dilakukan dalam oven selama 2 x 24 jam
pada suhu 80 °C.
Bobot kering akar : pengeringan dilakukan dalam oven selama 2 x 24 jam
pada suhu 80 °C.
Bobot kering brangkasan : pengeringan dilakukan dalam oven selama 2 x
24 jam pada suhu 80 °C.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum
Secara umum, suhu rata-rata didalam Green House pada saat penelitian
tinggi, yaitu 31,09 ° C. Hal itu dikarenakan saat penanaman dilakukan pada
musim kemarau. Rata-rata suhu pada pada pagi hari (07.00 WIB) 28,2 ° C, siang
(12.00 WIB) 37,8 ° C dan pada sore hari (17.00 WIB) 28,5 ° C. Kelembaban
udara pada pagi hari (07.00 WIB) 69,76 %, siang hari (12.00 WIB) 50,88 % dan
pada sore hari (17.00 WIB) 69,95 % (lihat lampiran). Kemasaman larutan nutrisi
dalam bak nutrisi sekitar 6,9 – 7,5.
Pertumbuhan tanaman selada selama persemaian cukup baik dan merata.
Hal itu bisa di lihat dari presentase tumbuhnya yang mencapai 95 %.
Hama yang menyerang pada saat penelitian adalah hama belalang.
Pengendalian hama tersebut dilakukan dengan cara manual yaitu mengambilnya
menggunakan tangan kemudian dimusnahkan. Penyakit yang menyerang tanaman
pada saat penelitian tidak ada.
4.2. Hasil Penelitian
4.2.1. Tinggi Tanaman
Grafik rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman selada dapat dilihat pada
gambar 1. Hasil pengukuran rata-rata tinggi tanaman selada umur 5 sampai
dengan 25 HST dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan tinggi tanaman selada
masing-masing kultivar pada umur 5 HST, 10 HST, 15 HST, 20 HST dan 25 HST
dapat dilihat pada Tabel 5, sementara hasil sidik ragam disajikan pada Tabel
Lampiran 1, 2, 3, 4, dan 5.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa antara komposisi nutrisi dan
kultivar terdapat interaksi pada umur 5, 10, 20 dan 25 HST. Tetapi pada umur 15
HST tidak terdapat interaksi.
Gambar 1 : Grafik Rata-rata Tinggi Tanaman
Tabel 4. Rata-rata tinggi tanaman selada umur 5 HST sampai dengan 25 HST
Perlakuan
Rata-rata Tinggi Tanaman Selada (cm)
5 HST 10 HST 15 HST 20 HST 25 HST
Komposisi
Nutrisi
T0
T1
T2
T3
T4
4.016
3.9
3.645
3.599
3.258
5.891
5.683
4.87
4.366
4.241
10.55 a
10.353 a
8.8 ab
7.141 bc
6.312 c
16.266
15.962
13.174
10.845
8.812
23.72
23.604
18.458
12.995
11.887Kultivar
K1
K2
3.491
3.876
4.869
5.053
8.673
8.589
13.594
12.429
19.343
16.923Interaksi * ** tn ** **
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %
tn : Tidak Nyata
* : Nyata
** : Sangat Nyata
Tabel 5. Rata-rata tinggi tanaman selada umur 5 HST, 10 HST, 15 HST, 20 HST
dan 25 HST.
N0
Umur
Perlakuan Komposisi Nutrisi
Kultivar T0 T1 T2 T3 T4
1
5 HST
K1 3.675 bcd 3.725 bcd 3.658 bcd 3.291 de 3.108 e
K2 4.358 a 4.075 ab 3.633bcde 3.908 abc 3.408 cde
2
10 HST
K1 5.633 ab 5.733 ab 5.208 bc 4.133 de 3.641 e
K2 6.15 a 5.633 ab 4.533 cd 4.6 cd 4.35 de
3
15 HST
K1 10.625 10.466 9.5 6.833 5.941
K2 10.475 10.241 8.1 7.45 6.683
4
20 HST
K1 16.616 a 16.383 a 15.558 b 10.458 d 8.958 e
K2 15.916 ab 15.541 b 10.791 cd 11.233 c 8.666 e
5
25 HST
K1 24.275 a 24.333 a 22.666 a 12.708 b 12.733 b
K2 23.166 a 22.875 a 14.25 b 13.283 b 11.041 b
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %
tn : Tidak Nyata
* : Nyata
** : Sangat Nyata
Pada umur 5 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat interaksi.
Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0 (larutan nutrisi Fertimix
2000 ppm), T1 (larutan nutrisi Fertimix 1500 ppm + larutan kompos Ayam 500
ppm) dan T2 (larutan nutrisi Fertimix 1000 ppm + larutan kompos Ayam 1000
ppm) nyata lebih tinggi dibanding yang diberi komposisi T3 (larutan nutrisi
Fertimix 500 ppm + larutan kompos Ayam 1500 ppm) dan T4 (larutan nutrisi
kompos Ayam 2000 ppm). Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0
(larutan nutrisi Fertimix 2000 ppm) nyata lebih tinggi dibanding yang
diberi komposisi T2 (larutan nutrisi Fertimix 1000 ppm + larutan kompos Ayam
1000 ppm) T3 (larutan nutrisi Fertimix 500 ppm + larutan kompos Ayam 1500
ppm) dan T4 (larutan nutrisi kompos Ayam 2000 ppm). Pada komposisi T2
(larutan nutrisi Fertimix 1000 ppm + larutan kompos Ayam 1000 ppm), T3
(larutan nutrisi Fertimix 500 ppm + larutan kompos Ayam 1500 ppm), T4 (larutan
nutrisi kompos Ayam 2000 ppm), kultivar New Green Rapid nyata lebih tinggi
dibanding kultivar Chia Tai Seed.
Pada umur 10 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat
interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan T2 nyata
lebih tinggi dibanding T3 dan T4. Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi
komposisi T0 dan T1 nyata lebih tinggi dibanding yang diberi komposisi T2, T3
dan T4. Kultivar New Green Rapid pada taraf T2 nyata lebih tinggi dibanding
kultivar Chia Tai Seed pada taraf T2.
Pada umur 15 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar tidak terdapat
interaksi. Perlakuan yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih tinggi di
banding yang diberi nutrisi T2, T3 dan T4. Sedangkan, komposisi T2 nyata lebih
tinggi dibanding T3 dan T4.
Pada umur 20 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat
interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata
lebih tinggi dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4. Taraf T2 nyata lebih
tinggi dibanding T3 dan T4 dan taraf T3 nyata lebih tinggi dibanding yang diberi
komposisi T4. Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 dan T1
nyata lebih tinggi dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4. Taraf T2 dan
T3 nyata lebih tinggi dibanding T4. Pada taraf T3, kultivar Chia Tai Seed nyata
lebih tinggi dibanding kultivar New Green Rapid. Pada taraf T4, kultivar New
Green Rapid nyata lebih tinggi dibanding kultivar Chia Tai Seed.
Pada umur 25 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat
interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan T2 nyata
lebih tinggi dibanding yang diberi komposisi T3 dan T4. Pada kultivar Chia Tai
Seed yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih tinggi dibanding yang diberi
komposisi T2, T3 danT4. Pada taraf T2, kultivar New Green Rapid nyata lebih
tinggi dibanding kultivar Chia Tai Seed.
Pada gambar 1 Grafik rata-rata tinggi tanaman, dapat dilihat bahwa rata-
rata tinggi tanaman dari umur 5 HST sampai dengan 25 HST cenderung bergerak
naik.
4.2.2. Jumlah Daun
Grafik rata-rata jumlah daun dapat dilihat pada gambar 2. Sedangkan, hasil
rata-rata jumlah daun dapat dilihat pada Tabel 6 dan hasil pengukuran jumlah
daun masing-masing kultivar tanaman selada umur 5 HST, 10 HST, 15 HST 20
HST dan 25 HST dapat dilihat pada Tabel 7. Sementara hasil sidik ragam
disajikan pada Tabel Lampiran 6, 7, 8, 9, dan 10.
Dari hasil sidik ragam pada umur 5, 10, 15, 20 dan 25 HST menunjukkan
bahwa antara komposisi nutrisi dan kultivar tidak terdapat interaksi.
Gambar 2 : Grafik Rata-rata Jumlah Daun
Tabel 6. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Selada umur 5 HST sampai dengan 25
HST
Perlakuan
Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Selada (Lembar)
5 HST 10 HST 15 HST 20 HST 25 HSTKomposisi
Nutrisi
T0
T1
T2
T3
T4
2
1.958
1.916
2
1.916
3.499
3.541
3.374
3.166
3.291
5.499 a
5.541 a
5.125 ab
4.916 b
4.791 b
7.833 a
7.875 a
7.333 ab
6.708 b
6.374 b
11.124 a
11.749 a
10.541 ab
9.083 b
8.708 bKultivar
K1
K2
1.916 b
2 a
3.349
3.399
5.116
5.233
7.149
7.299
10.049
10.433Interaksi tn tn tn tn tn
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %
tn : Tidak Nyata
* : Nyata
** : Sangat Nyata
Tabel 7. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Selada pada Umur 5 HST, 10 HST, 15
HST, 20 HST dan 25 HST
N0
Umur
Perlakuan Komposisi Nutrisi
Kultivar T0 T1 T2 T3 T41
5 HST
K1 2 1.916 1.833 2 1.833
K2 2 2 2 2 2 2
10 HST
K1 3.416 3.5 3.416 3.166 3.25
K2 3.583 3.583 3.333 3.166 3.333 3
15 HST
K1 5.333 5.5 5.25 4.833 4.666
K2 5.666 5.583 5 5 4.916 4
20 HST
K1 7.75 7.75 7.333 6.583 6.333
K2 7.916 8 7.333 6.833 6.416 5
25 HST
K1 10.916 11.583 10.833 8.416 8.5
K2 11.333 11.916 10.25 9.75 8.916
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %
tn : Tidak Nyata
* : Nyata
** : Sangat Nyata
Pada umur 5 HST tidak terdapat interaksi, perbedaan kultivar
mengakibatkan perbedaan pada jumlah daun. Kultivar Chia Tai Seed nyata lebih
banyak jumlah daunnya di banding kultivar New Green Rapid.
Pada umur 15 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar tidak terdapat
interaksi. Perlakuan yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih banyak jumlah
daunnya dibanding yang diberi komposisi T3 dan T4.
Pada umur 20 HST dan 25 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar
tidak terdapat interaksi. Perlakuan yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih
banyak jumlah daunnya dibanding yang diberi komposisi T4.
Pada gambar 2, Grafik rata-rata jumlah daun memperlihatkan bahwa
semakin bertambah umur tanaman, maka jumlah daun semakin meningkat.
4.2.3. Panjang Akar
Grafik rata-rata panjang akar dapat dilihat pada gambar 3. Sedangkan,
hasil pengukuran rata-rata panjang akar dapat dilhat pada Tabel 8 dan hasil
pengukuran panjang akar masing-masing kultivar dapat di lihat pada Tabel 9.
Sementara hasil sidik ragam di sajikan pada Tabel Lampiran 11, 12 dan 13.
Hasil Sidik Ragam pada umur 10, 20 dan 25 HST menunjukkan antara
komposisi nutrisi dan kultivar terdapat interaksi pada umur 20 HST. Tetapi pada
umur 10 dan 25 HST tidak terdapat interaksi.
Gambar 3 : Grafik Rata-rata Panjang Akar
Tabel 8. Rata-rata panjang akar umur 10 HST sampai dengan 25 HST
Perlakuan
Rata-rata Panjang Akar Tanaman Selada (cm)
10 HST 20 HST 25 HSTKomposisi
Nutrisi
T0
T1
T2
T3
T4
8.374 a
4.437 b
4.062 b
3.52 b
3.02 b
16.874
11.66
5.083
5.77
4.221
19.02 a
12.728 b
6.437 c
8.062 bc
5.069 cKultivar
K1
K2
4.333 b
5.033 a
8.674
8.771
10.216
10.31Interaksi tn ** tn
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %
tn : Tidak Nyata
* : Nyata
** : Sangat Nyata
Tabel 9. Rata-rata Panjang Akar umur 10 HST, 20 HST dan 25 HST
N0
Umur
Perlakuan Komposisi Nutrisi
Kultivar T0 T1 T2 T3 T4
1
10 HST
K1 7.666 4 4.208 3.083 2.708
K2 9.083 4.875 3.916 3.958 3.333
2
20 HST
K1 17.166 a 10.75 b 6.416 c 5.875 cd 3.166 d
K2 16.583 a 12.583 b 3.75 cd 5.666 cd 5.277 cd
3
25 HST
K1 19.375 11.791 8.25 8.25 3.416
K2 18.666 13.666 4.625 7.875 6.722
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %
tn : Tidak Nyata
* : Nyata
** : Sangat Nyata
Pada umur 10 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar tidak terdapat
interaksi. Perlakuan yang diberi komposisi T0 nyata lebih panjang akarnya
dibanding yang diberi komposisi T1, T2, T3 dan T4. Kultivar Chia Tai Seed nyata
lebih panjang akarnya dibanding kultivar New Green Rapid.
Pada umur 20 HST, terdapat interaksi antara komposisi nutrisi dan
kultivar. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0 nyata lebih panjang
akarnya dibanding yang diberi komposisi T1, T2, T3 dan T4. Taraf T1 nyata lebih
panjang akarnya dibanding yang diberi komposisi T2,T3 dan T4. Sedangkan, taraf
T2 dan T3 nyata lebih panjang akarnya dibanding yang diberi komposisi T4. Pada
kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 nyata lebih panjang akarnya
dibanding yang diberi komposisi T1, T2, T3 dan T4. Taraf T1 nyata lebih panjang
akarnya dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4 dan taraf T3 nyata lebih
panjang akarnya dibanding taraf T2 dan T4. Pada taraf T2, kultivar New Green
Rapid nyata lebih panjang akarnya dibanding kultivar Chia Tai Seed.
Pada umur 25 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar tidak terdapat
interaksi. Perlakuan yang diberi komposisi T0 nyata lebih panjang akarnya
dibanding yang diberi komposisi T1, T2, T3 dan T4. Taraf T1 nyata lebih panjang
akarnya dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4.
Pada gambar 3, dapat dilihat bahwa pertumbuhan akar cenderung
meningkat seiring dengan pertambahan hari penanaman.
4.2.5. Bobot Basah
4.2.5.1. Bobot Basah Pucuk (BBP), Bobot Basah Akar (BBA) dan Bobot Basah
Brangkasan (BBB)
Grafik bobot basah tanaman selada dapat dilihat pada gambar 4.
Sedangkan, hasil rata-rata bobot basah tanaman selada dapat dilihat pada Tabel 10
dan hasil pengukuran bobot basah tanaman selada (Bobot Basah Daun, Bobot
Basah Akar dan Bobot Basah Brangkasan) masing-masing kultivar dapat dilihat
pada Tabel 11. Sementara hasil sidik ragam disajikan pada Tabel Lampiran 14, 15
dan 16.
Hasil sidik ragam menunjukkan antara komposisi nutrisi dan kultivar
terdapat interaksi pada BBA dan BBB. Tetapi, pada BBP tidak terdapat interaksi.
Gambar 4 : Grafik Rata-rata Bobot Basah Selada
Tabel 10. Rata-rata Bobot Basah Pucuk, Bobot Basah Akar dan Bobot Basah
Brangkasan
Perlakuan
Rata-rata Bobot Basah Tanaman Selada (cm)
BBP BBA BBBKomposisi
Nutrisi
T0
T1
T2
T3
T4
49.92
60.124
34.34
17.962
14.15
17.462 a
17.279 a
10.479 b
11.654 ab
8.67 b
66.383
77.403
44.82
29.616
22.824
Kultivar
K1
K2
34.388
35.813
13.171
13.046
47.56
48.86Interaksi ** tn **
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %
tn : Tidak Nyata
* : Nyata
** : Sangat Nyata
Tabel 11. Rata-rata Bobot Basah Pucuk, Bobot Basah Akar dan Bobot Basah
Brangkasan
N0
Umur
Perlakuan Komposisi Nutrisi
Kultivar T0 T1 T2 T3 T4
1
BBP
K1 46.891 ab55.641 ab 43.033 bc 13.391 d 12.983 d
K2 50.95 ab 64.608 a 25.65 cd 22.533 d 15.325 d
2
BBA
K1 19.458 16.05 12.05 10.575 7.725
K2 15.466 18.508 8.908 12.733 9.616
3
BBB
K1 66.35 ab71.691 ab 55.083 bc 23.966 d 20.708 d
K2 66.416 ab 83.116 a 34.558 cd 35.266 cd 24.941 d
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %
tn : Tidak Nyata
* : Nyata
** : Sangat Nyata
Pada bobot basah pucuk, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat
interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan T2 nyata
lebih berat bobot basah pucuknya dibanding yang diberi komposisi T3 dan T4.
Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih berat
bobot basah pucuknya dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4. Pada taraf
T2, kultivar New Green Rapid nyata lebih berat bobot basah pucuknya dibanding
kultivar Chia Tai Seed.
Berbeda pada bobot basah pucuk, bobot basah akar tidak terdapat
interaksi. Pada bobot basah akar, perlakuan yang diberi komposisi T0 dan T1
nyata lebih berat bobot basah akarnya dibanding yang diberi komposisi T2, T3
dan T4.
Pada bobot basah brangkasan, antara komposisi nutrisi dan kultivar
terdapat interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan
T2 nyata lebih berat bobot brangkasannya dibanding yang diberi komposisi T3
dan T4. Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih
berat bobot basah brangkasannya dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4.
Pada taraf T2, Kultivar New Green Rapid nyata lebih berat bobot basah
brangkasannya dibanding kultivar Chia Tai Seed.
Pada gambar 4 dapat dilihat grafik bobot basah tanaman. Bobot basah
tertinggi diperlihatkan oleh satuan percobaan yang menggunakan komposisi T1.
4.2.6. Bobot Kering
4.2.6.1. Bobot Kering Pucuk (BKP), Bobot Kering Akar (BKA) dan Bobot Kering
Brangkasan (BKB)
Grafik rata-rata bobot kering tanaman selada dapat dilihat pada gambar 5.
Sedangkan, hasil rata-rata obot kering tanaman selada dapat dilihat pada Tabel 12
dan hasil pengukuran bobot basah tanaman selada (Bobot Kering Daun, Bobot
Kering Akar dan Bobot Kering Brangkasan) masing-masing kultivar dapat dilihat
pada Tabel 13. Sementara hasil sidik ragam disajikan pada Tabel Lampiran 17, 18
dan 19.
Hasil sidik ragam menunjukkan antara komposisi nutrisi dan kultivar
terdapat interaksi pada BKP dan BKB. Tetapi, pada BKA tidak terdapat interaksi.
Gambar 5 : Grafik Rata-rata Bobot Kering Selada
Tabel 12. Rata-rata Bobot kering Pucuk, Bobot Kering Akar dan Bobot Kering
Brangkasan
Perlakuan
Rata-rata Bobot Kering Tanaman Selada (cm)
BKP BKA BKBKomposisi
Nutrisi
T0
T1
T2
T3
T4
3.454
3.799
2.795
1.624
1.308
1.083 ab
1.245 a
0.908 b
1.008 ab
1.029 ab
4.537
5.045
3.704
2.633
2.337Kultivar
K1
K2
2.541
2.651
1.005
1.105
3.546
3.756
Interaksi ** tn **
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %
tn : Tidak Nyata
* : Nyata
** : Sangat Nyata
Tabel 13. Rata-rata Bobot kering Pucuk, Bobot Kering Akar dan Bobot Kering
Brangkasan
N0
Umur
Perlakuan Komposisi Nutrisi
Kultivar T0 T1 T2 T3 T4
1
BKP
K1 3.283 ab 3.341 a 3.466 a 1.341 c 1.275 c
K2 3.625 a 4.258 a 2.125 bc 1.908 c 1.341 c
2
BKA
K1 1.05 1.133 0.933 0.933 0.975
K2 1.116 1.358 0.883 1.083 1.083
3
BKB
K1 4.333 abc 4.475 a 4.4 ab 2.275 d 2.25 d
K2 4.741 a 5.616 a 3.008 bcd 2.991 cd 2.425 d
Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %
tn : Tidak Nyata
* : Nyata
** : Sangat Nyata
Pada bobot kering pucuk, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat
interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan T2 nyata
lebih berat bobot kering pucuknya dibanding yang diberi komposisi T3 dan T4.
Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih berat
bobot kering pucuknya dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4. Pada
taraf T2, Kultivar New Green Rapid nyata lebih berat bobot kering pucuknya
dibanding kultivar Chia Tai Seed.
Berbeda dengan bobot kering pucuk, bobot kering akar antara komposisi
nutrisi dan kultivar tidak terdapat interaksi. Pada bobot kering akar, perlakuan
yang diberi komposisi T1 nyata lebih berat bobot kering akarnya dibanding yang
diberi komposisi T2.
Pada bobot kering brangkasan, antara komposisi nutrisi dan kultivar
terdapat interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan
T2 nyata lebih berat bobot kering brangkasannya dibanding yang diberi komposisi
T3 dan T4. Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata
lebih berat bobot kering brangkasannya dibanding yang diberi komposisi T2, T3
dan T4. Pada taraf T2, kultivar New Green Rapid nyata lebih berat bobot kering
brangkasannya dibanding kultivar Chia Tai Seed.
Pada gambar 5 dapat dilihat grafik bobot kering tanaman. Bobot kering
tertinggi relatif diperlihatkan oleh satuan percoban yang menggunakan komposisi
T1.
4.3. Pembahasan
4.3.1. Tinggi Tanaman
Pada tinggi tanaman terdapat interaksi antara komposisi nutrisi dan
kultivar pada umur 5, 10, 20 dan 25 HST. Tinggi tanaman tertinggi terlihat pada
T0 dan T1. Sedangkan tinggi tanaman terendah terlihat pada komposisi T3 dan
T4. Hal itu diduga karena komposisi T0 dan T1 mempunyai unsur hara yang
cukup untuk pertumbuhan tanaman. Sedangkan pada T3 dan T4, unsur hara yang
terkandung didalamnya tidak mencukupi untuk pertumbuhan tanaman. Menurut
Morgan (1999), selada yang dibudidayakan dalam sistem hidroponik dapat
mengalami pertumbuhan yang cepat apabila kebutuhan hara tanaman tersebut
tersedia dalam jumlah yang cukup. Menurut Schwarz (1995) konsentrasi hara
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman dalam melaksanakan proses
fisiologis menyebabkan proses pertumbuhan dan perkembangan yang lambat dan
secara visual menunjukkan gejala yang abnormal dalam warna dan atau struktur.
Selain itu, diduga terdapat kekurangan hara N dan K pada taraf T2, T3 dan T4.
Menurut (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dalam Kesuburan Tanah 1991), tanaman yang kekurangan unsur
hara N dan K akan menurunkan produksi tanaman dan membuat tanaman menjadi
kerdil. Hal ini disebabkan, tanaman yang tumbuh membutuhkan N dalam
membentuk sel-sel baru. Fotosintesis menghasikan karbohidrat dari CO2 dan
H2O, namun proses tersebut berlangsung kurang optimal untuk menghasilkan
protein, asam nukleat dan sebagainya bilamana kekurangan N. Selain itu, diduga
terdapat kekurangan unsur hara mikro Zn dan Mo. Zn berperan dalam pembelahan
sel-sel meristem dan Mo berpengaruh terhadap pertumbuhan secara keseluruhan,
khususnya tinggi tanaman. Menurut Supari (1999), apabila tanaman kekurangan
Zn akan berpengaruh pada batang yaitu ruas-ruas batang memendek dan
pembelahan sel-sel meristem tidak sempurna. Menurut Novizan (2002), unsur
hara mikro Mo berperan dalam penyerapan N dan secara tidak langsung juga
berperan pada produksi asam amino dan protein. Respon positif pada tinggi
tanaman diperlihatkan oleh kultivar New Green Rapid (5, 10, dan 25 HST).
4.3.2. Jumlah Daun
Jumlah daun terbanyak terlihat pada komposisi T0 dan T1, sedangkan
jumlah daun terendah diperlihatkan oleh satuan percobaan dengan taraf komposisi
T3 dan T4. Hal ini diduga karena unsur hara didalam T0 dan T1 cukup untuk
pertumbuhan daun sedangkan pada komposisi T3 dan T4 unsur hara yang
terkandung didalamnya. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), daun berfungsi
sebagai penerima dan alat fotosintesis. Luas daun merupakan parameter utama
karena laju fotosintesis persatuan tanaman ditentukan sebagian besar oleh luas
daun. Selain itu, diduga juga terdapat kekurangan unsur hara pada T3 dan T4
terutama N dan Fosfor. Menurut Slamet. S, 1991, kekurangan N dan Fosfor dapat
mempengaruhi jumlah daun. Selain itu, diduga pada T3 dan T4 terdapat
kekurangan unsur hara mikro yaitu Zn, Mo, Fe, Mn, Co dan B. Menurut Supari
(1999), kekurangan unsur hara Zn, Mo, Fe, Mn, Co dan B dapat mempengaruhi
pertumbuhan vegetatif tanaman khususnya jumlah daun. Sedangkan pada T0 dan
T1, diduga unsur hara mikro ini terkandung dalam jumlah yang cukup.
4.3.3. Panjang Akar
Hasil pengukuran panjang akar tertinggi diperlihatkan oleh satuan
percobaan dengan komposisi T0 dan T1, sedangkan panjang akar terendah
diperlihatkan oleh satuan percobaan menggunakan komposisi T3 dan T4. Pada
tingkat konsentrasi hara yang rendah, perakaran mengalami defisiensi unsur hara
tertentu dan penghambatan distribusi hara (Jager dalam Sonneveld dan De Kruij,
1999), serta penyerapan air yang terhambat sebagai akibat lanjut defisiensi hara
yang terjadi (Dorais, M. et. Al 2001). Hal ini diperkuat oleh Islami dan Utomo
(1995), yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik,
tanaman harus mempunyai akar dan sistem perakaran yang cukup luas dan dalam
untuk memperoleh hara dan air sesuai kebutuhan pertumbuhan, namun tanaman
tidak selalu memerlukan sistem perakaran yang luas dan dalam pada kondisi hara
yang sudah mencukupi. Selain itu, jumlah oksigen terlarut dalam air juga
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Menurut Izzati, I.R (2006), oksigen terlarut
yang cukup dalam air akan membantu perakaran tanaman dalam mengikat
oksigen. Bila kadar oksigen terlarut cukup tinggi maka proses respirasi akan
lancar dan energi yang dihasilkan akar cukup banyak untuk menyerap hara yang
dapat diserap tanaman. Tanaman akan memiliki pertumbuhan yang cepat dan
menghasilkan produktifitas yang tinggi dan berkualitas. Hal ini diperkuat oleh
Lesmana dan Darmawan (2001), yang menyatakan bahwa pelarutan oksigen
kedalam air berkaitan dengan sirkulasi, pola arus dan turbulensi pergerakan air
berupa riak air maupun gelombang akan mempercepat difusi udara kedalam air.
Selain itu diduga pada komposisi T3 dan T4 kekurangan unsur hara Fosfor.
Menurut Slamet. S, (1991), kekurangan N dan Fosfor dapat mempengaruhi
pertumbuhan akar. Selain itu, diduga pada T3 dan T4 juga kekurangan unsur hara
B (Boron). Sutejo (1987) menyatakan bahwa jenis unsur hara Boron dapat diserap
tanaman dalam bentuk BO3 yang berperan dalam pembentukan atau pembelahan
sel terutama pada titik tumbuh pucuk, juga dalam pertumbuhan tepung sari dan
akar. Sarief (1989) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan akar
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tersedianya unsur hara. Morgan and
Lennard (2000) menyatakan bahwa tanaman selada dapat tumbuh dengan optimal
jika faktor yang mempengaruhinya terpenuhi, diantaranya adalah unsur hara dan
media tumbuh yang mendukung pertumbuhan akar.
4.3.4. Bobot Basah Pucuk (BBP),Bobot Basah Akar (BBA) dan Bobot
Basah Brangkasan (BBB).
Bobot basah pucuk, bobot basah akar dan bobot basah brangkasan terbaik
diperlihatkan oleh satuan percobaan yang menggunakan komposisi T0 dan T1.
Sedangkan, bobot basah pucuk, bobot basah akar dan bobot basah brangkasan
terendah diperlihatkan oleh satuan percobaan yang menggunakan komposisi T3
dan T4. Pada bobot basah tanaman selada dalam penelitian ini masih kurang dari
bobot ideal pertumbuhan. Karena, menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998),
bobot ideal tanaman selada berkisar antara 100-400 g. Pertumbuhan dalam arti
biologis didefinisikan sebagai bertambahnya berat yang tidk dapat terkendali
(irreversible) dari suatu mahluk hidup ( Netovia, 2007). Kozlowski (1974)
menambahkan bahwa pertumbuhan merupakan perkembangan jaringan akar,
batang, daun dan struktur produksi melalui pembelahan sel dan produksi
protoplasma. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), pengukuran biomassa total
tanaman merupakan parameter yang paling baik digunakan sebagai indikator
pertumbuhan tanaman. Karena, dipandang sebagai manisfestasi dari semua proses
dan peristiwa yang terjadi dalam pertumbuhan. Hal ini diduga pada komposisi T3
dan T4 secara keseluruhan, kandungan unsur haranya lebih rendah dibanding
komposisi T0 dan T1. Sehingga, satuan percobaan pada komposisi T3 dan T4
mempunyai pertumbuhan yang kurang optimal dibanding pada satuan percobaan
yang menggunakan T0 dan T1. Pernyataan ini didukung oleh Setyamidjaja
(1989), yang menyatakan bahwa unsur hara dalam bentuk yang tersedia akan
lebih cepat terserap oleh tanaman untuk digunakan dalam proses metabolisme
sehingga akan memberikan respon terhadap pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Nyoman (2002) menyatakan bahwa ketika mengalami kekurangan hara,
gejala yang terlihat meliputi terhambatnya pertumbuhan akar, batang dan daun
sehingga hasil yang diperoleh akan turun.
4.3.5. Bobot Kering Pucuk (BKP), Bobot Kering Akar (BKA) dan Bobot
Kering Brangkasan (BKB).
Bobot kering adalah hasil dari bobot basah yang dikeringkan dalam waktu
tertentu. Dari hasil pengukuran bobot kering dapat dilihat efesiensi penyerapan
unsur hara. Pada bobot kering pucuk terdapat interaksi. Efesiensi penyerapan
unsur hara yang paling baik diperlihatkan oleh satuan percobaan yang
menggunakan komposisi T0, T1 dan T2 pada kultivar New Green Rapid.
Sedangkan, pada kultivar Chia Tai Seed, efesiensi terbaik diperlihatkan oleh
satuan percobaan yang menggunakan komposisi T0 dan T1. Hasil ini
memperlihatkan bahwa, kultivar New Green Rapid pada taraf T2 mempunyai
daya serap unsur hara lebih baik dibanding kultivar Chia Tai Seed. Pada bobot
kering Akar tidak terdapat interaksi. Hasil terbaik diperlihatkan oleh satuan
percobaan yang menggunakan komposisi T1 dan hasil terendah diperlihatkan oleh
satuan percobaan yang menggunakan komposisi T2. Pada bobot kering
brangkasan terdapat interaksi. Efesiensi penyerapan unsur hara yang paling baik
diperlihatkan oleh satuan percobaan yang menggunakan komposisi T0, T1 dan T2
pada kultivar New Green Rapid. Sedangkan, pada kultivar Chia Tai Seed,
efesiensi terbaik diperlihatkan oleh satuan percobaan yang menggunakan
komposisi T0 dan T1. Hasil ini memperlihatkan bahwa, kultivar New Green
Rapid pada taraf T2 mempunyai daya serap unsur hara lebih baik dibanding
kultivar Chia Tai Seed.
Kultivar Chia Tai Seed memperlihatkan respon lebih baik dibanding
kultivar New Green Rapid. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suwandi, A
yang menyatakan bahwa kultivar New Green Rapid mempunyai respon lebih baik
dibanding kultivar Chia Tai seed. Tapi berbeda dengan hasil penelitian
Agustiawan (2006). 2006 yang menyatakan bahwa kultivar Chia Tai Seed
memperlihatkan respon lebih baik dibanding kultivar New Green Rapid. Soeseno
(1991) menyatakan secara morfologi setiap varietas memiliki karakteristik yang
berbeda, sehingga memberikan respon yang berbeda pula.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dosis komposisi T0 dan T1 berbeda nyata dengan komposisi T2, T3 dan
T4 pada tinggi tanaman (25 HST), jumlah daun (15, 20 dan 25 HST),
panjang akar (10 dan 25 HST), bobot basah (BBA) dan bobot kering
(BBA).
Kultivar Chia Tai Seed nyata lebih tinggi dibanding kultivar New Green
Rapid pada jumlah daun (5 HST) dan panjang akar (10 HST).
Terdapat interaksi antara komposisi nutrisi dengan kultivar pada tinggi
tanaman (5, 10, 15 dan 25 HST), Panjang akar (10 dan 25 HST), Bobot
basah tanaman (BBP dan BBB) dan bobot kering tanaman (BKP dan
BKB).
5.2. Saran
Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan bahan
organik tambahan untuk melengkapi kekurangan kandungan unsur hara pada
kompos Ayam.
DAFTAR PUSTAKA
Agustiawan. 2006. Pengaruh Konsentrasi Pupuk Mikro Majemuk Bentuk Kelat terhadap Pertumbuhan dan Produksi Dua Kultivar Selada (Lactuca sativa L.) dalam Sistem Hidroponik Rakit Apung. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Djuanda. Bogor.
Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Dorais, M., A.P. Papadopoulos, and A. Gosselin. 2001. Influence of Electric Conductivity Management on Green House Tomato Yield and Fruit Quality. Journal Agronomi. Australia.
Franklin, P. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia (UI. Press). Jakarta.
Gardner, Pearce, dan Mitchell. 1991. Fisiologa Tanaman Budidaya. Terjemahan H. Susilo dan Subyanto. Penerbit UI Jakarta.
Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Persindo. Jakarta
Haryanto, E., S, Tina., dan R, Restu. 2003. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya, Jakarta.
Indriani, Y.H. 2004. Membuat Kompos secara Kilat. Cet. Ke-VI. Penebar Swadaya. Jakarta.
Islami, T. dan W. H. Utomo. 1995. Hubungan Air, Tanah dan Tanaman. IKIP Semarang Press. Semarang.
Izzati, I.R. 2006. Penggunaan Pupuk Majemuk sebagai Sumber Hara pada Budidaya Selada (Lactuca Sativa L.) secara Hidroponik dengan Tiga Cara Fertigasi. Skripisi. Program Studi Hortikultura. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.
Kozlowski, T.T, 1974. Growth and Development of Trees Vol. I. Academic Press. New York.
Lesmana, S. dan I. Darmawan. 2001. Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer. Penebar Swadaya. Jakarta.
Lingga, P. 2002. Hidroponik: Bertanam Tanpa Tanah. Penebar Swadaya. Jakarta
Morgan, L. dan Lennard. 2000. Hydroponic Capsicum Production ; A Comprehensive Practica and Scientefe Guide to Commercial Hydroponic Capsicum Production.Casper Publication. Australia.
Morgan, L. 1999. Hydroponics Lettuce Production. Casper Publication. Australia.
Murbandono, L. 2004. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta.
Naswir. 2003. Pemanfaatan Urine Sapi yang Difermentasikan sebagai Nutrisi Tanaman. http://tumoutou.net/702_07134/naswir.htm. 04-08-2007.
Nazarudin, 2000. Budidaya dan Pengantar Panen Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Netovia, J. 2007. Efikasi Pupuk Mikro Majemuk sebagai Unsur Hara Mikro pada Budidaya Bayam (Amaranthus sp) dalam Sistem Hidroponik Rakit Apung. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Djuanda.Bogor.
Novizan. 2003. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Penerbit Agromedia Pustaka.Jakarta.
Novizan, Ir. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Penerbit Agromedia Pustaka.Jakarta.
Nobel, A. 2004. Electrical Conductivity. www. Nieukoopbv. Com.
Nyoman, Ir. 2002. Diagnosis Defisiensi dan Toksisitas Hara Mineral pada Tanaman. Makalah Falsafah Sain. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Pracaya, R. 2002. Bertanam Sayuran Organik Dikebun, Pot Polybag. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pratiwi, H. 2003. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Populasi Tanaman Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Lidah Buaya (Aloevera var. chinensis Baker). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Riana, A. 2000. Nutrient Selada. http://www.asiamaya.com/nutrients/selada.htm. 04-08-2007.
Rubatzky, V.E. dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia : Prinsip, Produksi dan Gizi. Ed. Terjemahan. C. Herison. ITB. Bandung.
Rukmana, R. 1994. Bertanam Selada dan Andewi. Kanisius. Yoyakarta.
Sarief, S. 1989. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Penerbit Pustaka Buana. Bandung.
Schwarz, M. 1995. Soilles Culture Management. Springer-Verlag Berlin. Heidelberg. Germany.
Setyamidjaja. 1989. Pupuk dan Pemupukan. CV. Simplex. Jakarta.
Soeseno, S. 1999. Bisnis Sayuran Hidroponik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Soeseno, S. 1991. Bercocok Tanam secara Hidroponik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sonneveld, C. and C. de Kreij. 1999. Response Cucumber (Cucumis sativus L.) to an Unequal Distributions of Salts in the Root Environment. Plant and Soil.
Sitompul, S. M. dan Guritno. 1995. Analisis Perumbuhan Tanaman. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta.
Supari. 1999. Tuntunan Membangun Agribisnis. Seri Praktek Ciputri Hijau. PT. Gramedia. Jakarta.
Suprapto. 2000. Laporan Akhir. Pengkajian Teknologi Usaha Tani Sayuran Pinggir Perkotaan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Denpasar.
Suprayitna, I. 1996. Sayur dan Buah Berkualitas. CV. Aneka. Solo.
Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik. Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.
Sutejo, M. 1987. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Suwandi, A. 2006. Pengaruh Penggunaan Kompos Kambing sebagai Tambahan Larutan Anorganik dalam Sistem Hidroponik Rakit Apung pada Budidaya Selada (Lactuca sativa L.) Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Djuanda. Bogor.
Untung, O. 2000. Hidroponik Sayuran Sistem Nutrien Film Teknik (NFT). Penebar Swadaya. Jakarta.
Winarno, F.G. et al. 2002. Pertanian dan Pangan Organik. Sistem dan Sertifikasi. M-Brio Press. Bogor.
Zulkarnain, I. 2007. Fertimix. CV. Andalas Prima Mandiri. Ciawi. Bogor
-------------2002. Hidroponik : Sistem Pertanian Mahal. Trubus.