skripsi selada kompos

69
I . PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Dengan kemajuan teknologi beberapa produksi pertanian masih dapat ditingkatkan melalui upaya intensifikasi pertanian. Upaya intensifikasi akhir-akhir ini juga mengalami hambatan seperti semakin kecilnya subsidi pemerintah terhadap sarana produksi pertanian (pupuk, pestisida dll). Dengan adanya krisis ekonomi yang dialami oleh negara kita sampai sekarang, dampaknya juga dirasakan oleh para petani. Di mana daya beli masyarakat tani menjadi berkurang dan ditambah lagi harga pupuk dan sarana produksi lain yang semakin tinggi. Hal ini menyebabkan petani tidak banyak menerapkan budidaya yang baik untuk meningkatkan produksinya. Masalah lain dari pupuk buatan yang digunakan selama ini adalah rusaknya struktur tanah akibat pemakaian pupuk buatan yang terus menerus sehingga

Upload: ryan-chris-wijaya

Post on 21-Oct-2015

196 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

yaps

TRANSCRIPT

I . PENDAHULUAN 

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan akan bahan pangan terus meningkat seiring dengan

pertambahan penduduk. Dengan kemajuan teknologi beberapa produksi pertanian

masih dapat ditingkatkan melalui upaya intensifikasi pertanian. Upaya

intensifikasi akhir-akhir ini juga mengalami hambatan seperti semakin kecilnya

subsidi pemerintah terhadap sarana produksi pertanian (pupuk, pestisida dll).

Dengan adanya krisis ekonomi yang dialami oleh negara kita sampai

sekarang, dampaknya juga dirasakan oleh para petani. Di mana daya beli

masyarakat tani menjadi berkurang dan ditambah lagi harga pupuk dan sarana

produksi lain yang semakin tinggi. Hal ini menyebabkan petani tidak banyak

menerapkan budidaya yang baik untuk meningkatkan produksinya.

Masalah lain dari pupuk buatan yang digunakan selama ini adalah

rusaknya struktur tanah akibat pemakaian pupuk buatan yang terus menerus

sehingga perkembangan akar tanaman menjadi tidak sempurna. Hal ini juga akan

memberi dampak terhadap produksi tanaman yang diusahakan pada tanah yang

biasa di beri pupuk buatan. Begitu juga efek sarana produksi terhadap lingkungan

telah banyak dirasakan oleh masyarakat petani, penggunaan pupuk buatan yang

terus menerus menyebabkan ketergantungan dan lahan mereka menjadi lebih

sukar untuk diolah.

Sistem budidaya secara organik  kini telah menampakkan hasil yang cukup

signifikan pada tingkat peneliti tetapi ditingkat petani masih terbatas yang

menerapkannya. Begitu juga penerapan budidaya secara hidroponik. Hidroponik

adalah teknik budidaya tanaman tanpa menggunakan media tanah sebagai media

tumbuhnya. Sistem hidroponik pun mempunyai kelemahan dalam pembiayaan

awal dan operasinya. Sehingga hidroponik kurang berkembang dimasyarakat

tani. Menurut hasil laporan Trubus (2002) sistem hidroponik sangat mahal,

terutama untuk pemberian nutrisi tanamanannya (70 % biaya produksi digunakan

untuk hal ini). Dilain pihak produksi yang rendah  disebabkan beberapa hal, yaitu

banyak petani yang belum menerapkan cara budidaya yang baik, seperti

penggunaan pupuk yang kurang berimbang, perawatan yang kurang intensif dan

salah perhitungan waktu tanam.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas, maka diperlukan suatu alternatif

sistem budidaya  pertanian pada lahan sempit dengan penggunaan kompos dalam

larutan hara hidroponik untuk mengurangi penggunaan larutan hara buatan secara

berlebihan. Di harapkan penggunaan larutan hara buatan menjadi berkurang atau

bahkan dihilangkan, sehingga didapatkan suatu sistem budidaya secara

hidroponik dengan menggunakan larutan hara alami.

            Salah satu sayuran yang banyak dibudidayakan dengan menggunakan

sistem hidroponik adalah selada (Lactuca sativa L.). Karena, selain mudah

dibudidayakan sayuran ini juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Selada

biasanya dikonsumsi mentah atau bisa juga dijadikan sebagai penghias hidangan.

 

 

 

 

Tabel 1. Kandungan zat gizi dalam 1000 gr Selada

Zat Gizi KandunganProtein

Lemak

        Karbohidrat

               Ca

               P

               Fe

    Vitamin A

    Vitamin B

    Vitamin C

1.2 gr

0.2 gr

2.9 gr

22.0 mg

25.0 mg

0.5 gr

162 mg

0.04 gr

8.0 gr

 Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI, 1979

Seiring dengan meningkatnya pengetahuan masayarakat, maka permintaan

akan produk sayuran yang bebas dari bahan kimia menjadi meningkat. Karena

konsumen menghendaki daun selada yang bebas racun serangga, penanaman

dilakukan secara organik. Tanaman tidak disemprot dengan insektisida, dan tidak

diberi pupuk kimia anorganik, tetapi pupuk kandang dan air dari kolam kompos.

Dalam hidroponik, kompos digunakan dalam bentuk pupuk organik cair

yang mudah dimanfaatkan oleh tanaman karena unsur didalamnya sudah terurai

dan tidak dalam jumlah yang terlalu banyak, sehingga cepat dimanfaatkan oleh

tanaman (Direktorat Serealia dalam Naswir 2003).

Dalam penelitian ini digunakan kompos Ayam. Karena, selain mudah

didapatkan dan harganya murah, kompos Ayam juga mempunyai unsur hara yang

cukup tinggi. Selain itu, penggunaan unsur hara buatan dalam Fertimix

mempunyai potensi residu pada tanaman yang dapat mengganggu kesehatan

manusia. Sehingga kompos Ayam diharapkan dapat menjadi bahan alternatif

dalam budidaya pertanian secara hidroponik.

 

1.2. Tujuan penelitian

            Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

·        Untuk mengetahui pengaruh taraf dosis kompos Ayam yang dicampurkan

kedalam larutan Fertimix terhadap pertumbuhan dua kultivar selada

(Lactuca sativa L.)

·        Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dalam pertumbuhan

masing-masing kultivar selada (Lactuca sativa L.)

·        Untuk mengetahui apakah terdapat terdapat interaksi antara dosis kompos

Ayam dan kultivar selada (Lactuca sativa L.)

 

1.3. Hipotesis

-         Banyaknya kompos yang diberikan  akan berpengaruh terhadap

pertumbuhan tanaman selada (Lactuca sativa L.).

-         Setiap kultivar selada akan memberikan respon berbeda terhadap

pemberian kompos.

-         Adanya interaksi antara banyaknya kompos yang diberikan pada setiap

kultivar yang akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman

selada (Lactuca sativa L.).

II. TINJAUAN PUSTAKA

 

2.1. Sifat Botani Selada

            Klasifikasi tanaman selada menurut Rukmana (1994) adalah sebagai

berikut :

Kingdom          : Plantae

Divisio              : Spermatophyta

Subdivisio         : Angiospermae

Kelas               : Dicotyledoneae

Ordo                : Asterales

Famili               : Asteraceae

Genus               : Lactuca

Spesies : Lactuca sativa L.

            Bunga selada berwarna kuning, dengan panjang 0,6-1,2 mm. Pada

dasarnya bunga terdapat di bagian-bagian daun, tetapi makin ke atas bunga

tersebut tidak muncul (Ashari, 1995).

            Daun selada relatif tipis dan terasa renyah, serta mempunyai penampilan

menarik, sehingga sering dijadikan lalapan dan penghias hidangan, akan tetapi

daun selada mudah busuk (Soeseno, 1999).

            Menurut Ashari (1995), tanaman selada terdiri dari beberapa jenis antara

lain : 1). Selada telur atau kropsla var. capitata Jenis ini paling banyak

dibudidayakan, ciri tanaman ini membentuk krop sangat padat. 2). Selada umbi

var. longifolia daunnya roset, berbentuk silindris, lonjong atau bulat telur, tumbuh

tegak dan teksturnya kasar. Jenis ini pada umumnya melipat daunnya yang

berbentuk jantung. 3). Selada daun atau selada keriting var. crispa. Varietas ini

kurang membentuk krop, tekstur daunnya sama dengan var. capitata, namun

berbeda dalam kemampuan membentuk krop dan umumnya daunnya keriting. 4).

Selada asparagusvar. asparagina Bailey, biasanya di konsumsi tangkai daun,

tekstur daunnya kasar, kurang baik untuk salad, jenis ini banyak ditanam di Cina.

 

2.2. Syarat Tumbuh

            Tanaman selada tumbuh baik di daerah yang mempunyai udara sejuk,

sehingga cocok ditanam di dataran tinggi. Bila ditanam di dataran rendah

memerlukan pemeliharaan intensif dan cenderung lebih cepat berbunga dan

berbiji. Tanaman selada kurang tahan terhadap sinar matahari langsung, sehingga

memerlukan naungan (Nazarudin, 2000).

            Daerah yang cocok untuk penanaman selada pada ketinggian sekitar 500 -

2000 m dpl dan suhu rata-rata 15 °C – 20 °C, curah hujan antara 1000 - 1500 mm

per tahun dan kelembaban 60 – 100 % (Pracaya, 2002), pH yang dikehendaki

tanaman selada sebaiknya netral (6,5 - 7), apabila terlalu masam daun selada

menjadi kuning (Suprayitna,1996).

 

2.3. Hidroponik

            Hidroponik adalah teknik budidaya tanaman yang menggunakan media

tumbuh selain tanah. Dengan kata lain dapat juga dikatakan budidaya tanpa tanah

(soilles culture) (Untung, 2000).

            Menurut Lingga (2000), berdasarkan media tanam yang digunakan, maka

hidroponik dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu. 1).Metode kultur air. Pada

metode ini, air digunakan sebagai media tanam. 2). Metode kultur pasir, dengan

menggunakan pasir sebagai media. 3). Metode kultur porous, bahan yang

digunakan antara lain kerikil, pecahan genteng dan gabus putih.

            Menurut Rini dan Yusdar (1999) dalam suprapto (2000) ada dua hal yang

perlu diperhatikan dalam budidaya sayuran secara hidroponik, yaitu pengelolaan

tanaman dan kesehatan tempat tumbuh tanaman. Pengelolaan tanaman meliputi

kesesuaian komoditas yang diusahakan, kesesuaian media tumbuh yang

digunakan, kesesuaian larutan nutrisi yang akan diberikan dan teknik

pemeliharaan. Lingkungan tempat tumbuh meliputi larutan nutrisi dalam media

tumbuh dan lingkungan sekitarnya, perlu dijaga kesehatannya untuk menghindari

adanya hama serta penyakit.

 

2.4. Nutrisi Hidroponik

            Pemberian nutrisi pada tanaman dapat diberikan melalui akar dan

daun.Aplikasi melalui akar dapat dilakukan dengan merendam atau mengalirkan

larutan pada akar tanaman. Larutan nutrisi dibuat dengan cara melarutkan garam-

mineral kedalam air. Ketika dilarutkan dalam air, garam-mineral ini akan

memisahkan diri menjadi ion. Penyerapan ion-ion oleh tanaman berlangsung

secara kontinue di karenakan akar-akar tanaman selalu bersentuhan dengan

larutan (Yanti, 2004dalam Suwandi, A. 2006).

            Nutrisi hidroponik dibuat dengan menggabungkan hara makro dan hara

mikro sesuai kebutuhan tanaman. Unsur hara makro adalah unsur hara yang

diperlukan tanaman dalam jumlah yang banyak, terdiri atas C, H, O, N, P, K, Ca,

Mg dan S. Apabila tanaman kekurangan unsur hara makro akan berpengaruh

langsung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman (Harjowigeno,2003).

Unsur hara mikro adalah unsur hara yang diperlukan oleh tanaman tetapi dalam

jumlah sedikit. Unsur hara mikro ini mutlak dibutuhkan oleh tanaman. Jika

kekurangan unsur hara mikro ini maka tanaman tidak akan tumbuh dengan

optimal. Jenis unsur hara mikro ini adalah Mn, Cu, Fe, Mo, Zn, B (Lingga, 2002).

 

2.5. Nutrisi Hidroponik Fertimix

            Fertimix adalah nutrisi hidroponik yang diramu dari bahan-bahan yang

berkualitas tinggi. Semua bahan yang digunakan adalah water soluble

gradesehingga sangat cocok untuk diterapkan dengan sistem irigasi tetes atau

rakit apung. Fertimix dikemas dalam bentuk yang praktis dan ekonomis, dengan

unsur hara makro dan mikro didalamnya yang cukup lengkap. Fertimix dikemas

dalam bentuk paket yang terbagi menjadi dua sak, yaitu A dan B dan dalam

bentuk padat (crystal dan powder). Adapun komposisi bahan yang terdapat dalam

fertimix ada dalam tabel 2 berikut:

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 2. Kandungan Unsur Hara dalam ”Fertimix”

Sak Unsur hara Jumlah (gr / 5000 L)A

 

B

Ca (NO3)2

Fe-HEEDTA 12 %

KNO3

K2PO4

mgSO4

K2SO4

mnSO4

znSO4

Borax

cuSO4

Natrium Molybdenum

4850

86

4420

1360

1230

298

4.2

5.4

14.3

0.94

0.94

0.32

 

2.6. Kompos

            Bahan dasar pupuk organik, dapat diperoleh dari kompos, pupuk kandang

maupun limbah pertanian seperti: jerami dan sekam padi, kulit kacang tanah,

ampas tebu, batang jagung, sampah dapur atau pun bahan-bahan hijauan lainnya.

Kotoran ternak yang banyak dimanfaatkan adalah kotoran sapi, kerbau, kambing,

ayam, itik, babi, kuda dan lain-lain. Disamping itu dengan berkembangnya

pemukiman, perkotaan dan industri maka bahan dasar kompos makin beraneka

ragam. Bahan yang banyak dimanfaatkan antara lain: tinja, limbah cair,

sampah kota dan pemukiman (Sutanto, 2002).

Lingga, (1991) dalam Naswir, (2003) melaporkan  bahwa jenis dan

kandungan  hara yang terdapat pada beberapa kotoran ternak padat dan  cair

dapat dilihat pada Tabel 3 berikut:

 

 

Table 3. Jenis dan kandungan zat hara pada beberapa kotoran ternak padat dan

cair

Nama ternak dan bentuk kotorannya

Nitrogen

(%)Fosfor (%)

Kalium (%)

Air (%)

Kuda –padat 0.55 0.30 0.40 75

Kuda –cair 1.40 0.02 1.60 90

Kerbau –padat 0.60 0.30 0.34 85

Kerbau –cair 1.00 0.15 1.50 92

Sapi –padat 0.40 0.20 0.10 85

Sapi –cair 1.00 0.50 1.50 92

Kambing –padat 0.60 0.30 0.17 60

Kambing –cair 1.50 0.13 1.80 85

Domba –padat 0.75 0.50 0.45 60

Domba –cair 1.35 0.05 2.10 85

Babi – padat 0.95 0.35 0.40 80

Babi –cair 0.40 0.10 0.45 87

Ayam –padat dan cair 1.00 0.80 0.40 55

Sumber : Lingga, 1991

            Menurut Sutanto (2000), Pengomposan dipengaruhi oleh faktor

kelembaban, sirkulasi udara (aerasi), penghalusan dan pencampuran bahan, nisbah

C/N, nilai pH dan suhu. Proses penguraian bahan organik menjadi kompos terjadi

dengan bantuan bakteri Untuk membantu proses pembuatan kompos dapat

digunakan berbagai mikroba yang tersedia dalam berbagai bentuk merk dagang

antara lain EM-4. Kompos yang diperoleh dapat digunakan setelah mengalami

proses fermentasi selama 4-7 hari atau setelah suhu kompos tidak tinggi dan tidak

berbau lagi. Sebagai sumber energi atau makanan bakteri, pada tahap awal

sebelum proses fermentasi diperlukan molase (tetes tebu). Molase ini dapat

diganti dengan menggunakan gula merah atau gula putih (Indriani, 2004).

 

2.7. Electrical Conductivity (EC)

            Larutan hidroponik harus mempertimbangkan nilai EC (Electrical

Conductivity) yaitu daya hantar listrik dari suatu larutan, daya hantar listrik

meningkatkan kandungan ion-ion dalam suatu larutan menjadi tinggi. Dengan

demikian EC menunjukkan kepekatan dalam suatu larutan. Penurunan kepekatan

ini dapat dilihat dengan menggunakan alat yang disebut EC meter. EC meter ini

penting peranannya karena dapat dengan cepat memantau tinggi rendahnya

kepekatan bahan kimia dalam suatu larutan. Larutan ini harus terus dipantau

kepekatannya. Kalau turun, itu berarti tanaman sudah berhasil menyerap unsur

kimia yang terkandung didalamnya. Penurunan kepekatan juga dapat timbul kalau

matahari bersinar cerah tetapi kelembaban udara masih tinggi. Daya serap

tanaman akan meningkat dan menghabiskan unsur makanan lebih cepat sehingga,

kepekatan larutan pun akan turun dengan cepat pula. Jika itu terjadi maka,

kepekatan larutan harus dinaikkan dengan cepat (Soeseno, 1999). EC diukur

dalam satuan mS/cm, nilai EC dapat juga diberikan dalam uS/cm dimana 1

mS/cm = 1000 ppm (www. Nieukoopbv. Com, 2007).

 

 

 

 

 

 

 

III. BAHAN DAN METODE

 

3.1. Waktu dan Tempat

            Penelitian ini dilaksanakan bulan Agustus-Oktober 2007. Berlokasi di

rumah plastik (Green House) kebun percobaan jurusan Budidaya Pertanian,

Fakultas Agribisnis dan Teknologi Pangan, Universitas Djuanda, Ciawi,

Bogor. Pada ketinggian 530 m dpl dan curah hujan 3529,5 mm pertahun

(Kecamatan Ciawi, 2007).

 

3.2. Bahan dan Alat

            Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah selada kultivar New

grand rapid dan kultivar Chia tai seed, media semai rockwool, kompos ayam,

larutan nutrisi anorganik Fertimix, Em-4, gula pasir dan air. Sedangkan alat yang

digunakan adalah bak tanaman, styrofoam, penggaris, timbangan (ACS. Compact

multi-purpose balance-BC 500, Capacity 500 g x 0.1 g), gelas ukur, pinset, pisau

cutter, EC meter (Adwa, AD-204 mS), pH meter (Merk KgaA, Jerman),

termometer dan hygrometer (Haar-Synth.Hygro. Germany) dan drum wadah

larutan.

 

3.3. Metode Penelitian

            Penelitian dilaksanakan dengan percobaan faktorial menggunakan

rancangan acak lengkap (RAL). Percobaan ini terdiri atas dua faktor. Faktor

pertama adalah kultivar tanaman selada (Lactuca sativa L.) yang terdiri atas dua

kultivar yaitu:

K1 = Kultivar 1 (New grand rapid)

K2 = Kultivar 2 (Chia tai seed)

            Faktor kedua adalah kombinasi larutan hara yang terdiri dari lima taraf

yaitu:

T0 = Kontrol (Larutan nutrisi Fertimix sesuai dosis anjuran 2000 ppm)

T1 = Larutan nutrisi Fertimix 1500 ppm + larutan kompos 500 ppm

T2 = Larutan nutrisi Fertimix 1000 ppm + larutan kompos 1000 ppm

T3 = Larutan nutrisi Fertimix 500 ppm + larutan kompos 1500 ppm

T4 = Larutan kompos 2000 ppm

            Dari dua faktor diatas maka terdapat 10 kombinasi perlakuan. Setiap

perlakuan terdiri dari 4 ulangan. Sehingga, terdapat 40 satuan percobaan. Setiap

satuan percobaan terdiri atas 3 tanaman sehingga seluruhnya terdapat 120 satuan

amatan (denah, lihat gambar lampiran 24).

            Adapun model statistik yang digunakan dalam penelitian:

Yijk      = µ + Ki + Pi + (KP)ij + ε ijk

i           = Taraf dari komposisi nutrisi

j           = Taraf dari faktor kultivar

k          = Ulangan

µ          = Nilai tengah populasi (rata-rata sesungguhnya)

Ki        = Nilai pengamatan dari taraf ke-i komposisi nutrisi kompos

Pi         = Nilai pengamatan dari taraf ke-j kultivar

(KP)ij   = Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor komposisi dan taraf ke-j faktor

kultivar

ε ijk      = Pengaruh galat pada ulangan ke-k yang mendapat kombinasi perlakuan

ke-ij

            Data dari setiap percobaan akan di analisis dengan sidik ragam (uji F). Jika

terdapat pengaruh nyata maka akan dilakukan uji Beda Nyata Jujur (BNJ)

dengan α5 %.

 

3.4. Pelaksanaan Percobaan

3.4.1. Persemaian

            Media semai yang dipakai adalah rockwool yang dipotong dengan ukuran

2,5 x 2,5 x 2,5 cm dan disusun di atas baki plastik. Tiap media semai ditanami

satu benih selada, kemudian media semai disiram dengan air bersih sampai basah.

Tempat persemaian ditutup dengan baki plastik selama ± 24 jam untuk

mempercepat perkecambahannya. Setelah benih berkecambah, baki plastik

penutup dibuka dan persemaian dibiarkan terkena sinar matahari. Posisi wadah

semai di putar seperlunya untuk menghindari agar tanaman tidak tumbuh condong

ke satu arah. Setelah bibit berumur 5 hari, bibit siap dipindah tanam ke dalam

sistem hidroponik rakit apung.

3.4.2. Pembuatan Kompos

            Bahan-bahan kompos (pupuk kandang ayam, gula pasir, EM-4, Bekatul

dan air secukupnya) diaduk rata, kemudian disimpan dalam bak plastik yang telah

disediakan, ditutupi plastik dan diperciki air sampai lembab (tetapi tidak basah

atau tergenang air). Hasil adukan dibolak-balik dan disiram setiap 3 hari sekali

agar suhu dan kelembaban tetap terjaga. Pengomposan tersebut dilakukan selama

± 2 minggu agar mengalami penguraian oleh bakteri, dengan demikian kompos

tersebut menjadi matang. Kemudian kompos diayak untuk memisahkan kompos

dengan bahan yang tidak berguna seperti batang kayu, rumput dan bahan-bahan

lain yang tidak dapat hancur oleh bakteri.

            Pembuatan larutan kompos dilakukan dengan cara mencampur 5 kg bahan

kompos dengan 5 liter air kemudian diperas dan disaring untuk memperoleh

pekatan kompos. Untuk mengetahui berapa larutan kompos ayam yang

dibutuhkan untuk 1 liter media tanam adalah dengan menggunakan EC meter.

Skala 1 pada EC meter menunjukan bahwa kandungan zat didalam larutan

tersebut adalah 1000 ppm. Dalam penelitian ini digunakan 2000 ppm, itu berarti

skala yang digunakan adalah 2 dalam skala EC meter. Dari hasil pengukuran

menggunakan EC meter diketahui, untuk memperoleh 1 liter larutan media tanam,

larutkan 200 ml / L untuk kandungan 2000 ppm (100 % kompos), 150 ml / L

untuk kandungan 1500 ppm (75 % kompos), 100 ml / L untuk 1000 ppm (50 %

kompos), 50 ml / L untuk 500 ppm (25 % kompos).

3.4.3. Pembuatan Nutrisi (Fertimix)

            Pembuatan larutan nutrisi dilakukan dengan membuat larutan pekat

terlebih dahulu. Disiapkan dua buah wadah yang mempunyai volume  5 liter,

masing-masing diberi tanda A dan B. Tiap ember diisi air, masing-masing

sebanyak 2.5 liter. Nutrisi kantong A dimasukkan ke dalam ember A lalu diaduk

hingga larut dan ditambah air sampai menjadi 5 liter. Nutrisi paket B dimasukkan

ke ember B lalu diaduk hingga larut dan di tambah air sampai menjadi 5 liter.

            Pembuatan larutan siap pakai dilakukan dengan cara melarutkan masing-

masing 5 cc larutan A dan B ke dalam 1 liter air untuk kandungan 2000 ppm

Fertimix (100 % Fertimix), 3,25 ml larutan A dan B untuk kandungan 1500 ppm

(75 % Fertimix), 2,5 ml larutan A dan B untuk kandungan 1000 ppm (50 %

Fertimix) dan 1,25 ml larutan A dan B untuk kandungan 500 ppm (25 %

Fertimix). Setelah itu, larutan diukur derajat kemasamannya dengan menggunakan

pH meter.

3.4.4. Penanaman

            Penanaman dilakukan pada baki plastik yang berukuran 50 x 25 x 25 cm.

Baki tanam diisi dengan larutan nutrisi siap pakai sesuai dengan perlakuan

sebanyak 6 liter, kemudian bibit ditanam dengan menggunakan Styrofoam agar

mengapung. Lembar Styrofoam (ukuran 49 x 24 x 2 cm) dilubangi sebanyak 3

lubang dengan ukuran 1.5 x 1.5 cm. Setiap satu lubang ditanami satu bibit.

3.4.5. Pemeliharaan

            Pemeliharaan meliputi pengangkatan styrofoam yang dilakukan 3 hari

sekali, pengendalian hama penyakit dan pengukuran suhu dan kelembaban yang

dilakukan 3 kali sehari yaitu pada pagi, siang dan sore hari.

            Pengangkatan styrofoam dilakukan agar oksigen dapat masuk ke dalam

air. Sehingga tanaman dapat menyerap oksigen terutama di daerah perakaran yang

terendam air. Hama yang menyerang umumnya adalah belalang. Hama belalang

ini di kendalikan dengan cara manual, yaitu diambil dengan menggunakan tangan

kemudian dibunuh. Penyakit yang menyerang tanaman relatif tidak ada sehingga

tidak memerlukan pengendalian.

 

3.5. Peubah yang diamati

Tinggi tanaman: pada umur 5, 10, 15, 20, 25, 30 dan 35 hari setelah tanam

(HST). Dilakukan pengukuran tinggi tanaman. Pengamatan ini bertujuan

untuk mengetahui laju pertumbuhan tanaman. Bagian yang di ukur mulai

dari pangkal batang sampai pada bagian yang tertinggi dari tanaman.

Banyaknya daun: pada umur 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 HST dilakukan

perhitungan banyaknya daun. Kotiledon dan kuncup daun yang belum

mekar sempurna tidak dihitung.

Panjang akar: pada umur 10, 20, 30 dan 35 HST dilakukan pengukuran

panjang akar. Panjang akar di ukur mulai dari pangkal batang di bagian

bawah styrofoam sampai ujung akar.

Bobot basah pucuk: dilakukan saat panen (25 HST).

Bobot basah akar : dilakukan saat panen (25 HST)

Bobot basah brangkasan : dilakukan saat panen (25 HST)

Bobot kering pucuk: pengeringan dilakukan dalam oven selama 2 x 24 jam

pada suhu 80 °C.

Bobot kering akar : pengeringan dilakukan dalam oven selama 2 x 24 jam

pada suhu 80 °C.

Bobot kering brangkasan : pengeringan dilakukan dalam oven selama 2 x

24 jam pada suhu 80 °C.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

 

4.1. Kondisi Umum

            Secara umum, suhu rata-rata didalam Green House pada saat penelitian

tinggi, yaitu 31,09 ° C. Hal itu dikarenakan saat penanaman dilakukan pada

musim kemarau. Rata-rata suhu pada pada pagi hari (07.00 WIB) 28,2 ° C, siang

(12.00 WIB) 37,8 ° C dan pada sore hari (17.00 WIB) 28,5  ° C. Kelembaban

udara pada pagi hari (07.00 WIB) 69,76 %, siang hari (12.00 WIB) 50,88 % dan

pada sore hari (17.00 WIB) 69,95 % (lihat lampiran). Kemasaman larutan nutrisi

dalam bak nutrisi sekitar 6,9 – 7,5.

            Pertumbuhan tanaman selada selama persemaian cukup baik dan merata.

Hal itu bisa di lihat dari presentase tumbuhnya yang mencapai 95 %.

            Hama yang menyerang pada saat penelitian adalah hama belalang.

Pengendalian hama tersebut dilakukan dengan cara manual yaitu mengambilnya

menggunakan tangan kemudian dimusnahkan. Penyakit yang menyerang tanaman

pada saat penelitian tidak ada.

 

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Tinggi Tanaman

            Grafik rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman selada dapat dilihat pada

gambar 1. Hasil pengukuran rata-rata tinggi tanaman selada umur 5 sampai

dengan 25 HST dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan tinggi tanaman selada

masing-masing kultivar pada umur 5 HST, 10 HST, 15 HST, 20 HST dan 25 HST

dapat dilihat pada Tabel 5, sementara hasil sidik ragam disajikan pada Tabel

Lampiran 1, 2, 3, 4, dan 5.

            Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa antara komposisi nutrisi dan

kultivar terdapat interaksi pada umur 5, 10, 20 dan 25 HST. Tetapi pada umur 15

HST tidak terdapat interaksi.

Gambar 1 : Grafik Rata-rata Tinggi Tanaman

Tabel 4. Rata-rata tinggi tanaman selada umur 5 HST sampai dengan 25 HST

Perlakuan

 

                        Rata-rata Tinggi Tanaman Selada (cm)

5 HST 10 HST 15 HST 20 HST 25 HST

Komposisi

Nutrisi

T0

T1

T2

T3

T4

 

 

4.016

3.9

3.645

3.599

3.258

 

 

5.891

5.683

4.87

4.366

4.241

 

 

10.55    a  

10.353  a 

8.8        ab      

7.141  bc      

6.312  c    

 

 

16.266

15.962

13.174

10.845

8.812

 

 

23.72

23.604

18.458

12.995

11.887Kultivar

K1

K2

 

3.491

3.876

 

4.869

5.053

 

8.673

8.589

 

13.594

12.429

 

19.343

16.923Interaksi  * **  tn  **  ** 

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda  nyata pada Uji BNJ taraf 5 %          

 tn : Tidak Nyata

  * : Nyata                     

** : Sangat Nyata

Tabel 5. Rata-rata tinggi tanaman selada umur 5 HST, 10 HST, 15 HST, 20 HST

dan 25 HST.

N0

 

Umur

 

Perlakuan Komposisi Nutrisi

Kultivar T0 T1 T2 T3 T4

1

 

5 HST

 

K1 3.675   bcd 3.725   bcd 3.658 bcd 3.291   de 3.108   e

K2 4.358    a 4.075   ab 3.633bcde 3.908  abc 3.408 cde

2

 

10 HST

 

K1 5.633    ab 5.733    ab 5.208   bc 4.133   de 3.641   e

K2 6.15      a 5.633    ab 4.533   cd 4.6       cd 4.35     de

3

 

15 HST

 

K1 10.625   10.466   9.5        6.833     5.941 

K2 10.475   10.241   8.1        7.45       6.683 

4

 

20 HST

 

K1 16.616   a 16.383   a 15.558  b 10.458  d 8.958   e

K2 15.916   ab 15.541   b 10.791 cd 11.233  c 8.666   e

5

 

25 HST

 

K1 24.275   a 24.333   a 22.666  a 12.708  b 12.733  b

K2 23.166   a 22.875   a 14.25    b 13.283  b 11.041  b

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %          

 tn : Tidak Nyata

  * : Nyata                     

** : Sangat Nyata

 

            Pada umur 5 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat interaksi.

Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0 (larutan nutrisi Fertimix

2000 ppm), T1 (larutan nutrisi Fertimix 1500 ppm + larutan kompos Ayam 500

ppm) dan T2 (larutan nutrisi Fertimix 1000 ppm + larutan kompos Ayam 1000

ppm) nyata lebih tinggi dibanding yang diberi komposisi T3 (larutan nutrisi

Fertimix 500 ppm + larutan kompos Ayam 1500 ppm) dan T4 (larutan nutrisi

kompos Ayam 2000 ppm). Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0

(larutan nutrisi Fertimix 2000 ppm) nyata lebih tinggi dibanding yang

diberi  komposisi T2 (larutan nutrisi Fertimix 1000 ppm + larutan kompos Ayam

1000 ppm) T3 (larutan nutrisi Fertimix 500 ppm + larutan kompos Ayam 1500

ppm) dan T4 (larutan nutrisi kompos Ayam 2000 ppm). Pada komposisi T2

(larutan nutrisi Fertimix 1000 ppm + larutan kompos Ayam 1000 ppm),  T3

(larutan nutrisi Fertimix 500 ppm + larutan kompos Ayam 1500 ppm), T4 (larutan

nutrisi kompos Ayam 2000 ppm), kultivar New Green Rapid nyata lebih tinggi

dibanding kultivar Chia Tai Seed.

            Pada umur 10 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat

interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan T2 nyata

lebih tinggi dibanding T3 dan T4. Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi

komposisi T0 dan T1 nyata lebih tinggi dibanding yang diberi komposisi  T2, T3

dan T4. Kultivar New Green Rapid pada taraf T2 nyata lebih tinggi dibanding

kultivar Chia Tai Seed pada taraf T2.

            Pada umur 15 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar tidak terdapat

interaksi. Perlakuan yang diberi komposisi  T0 dan T1 nyata lebih tinggi di

banding yang diberi nutrisi T2, T3 dan T4. Sedangkan, komposisi T2 nyata lebih

tinggi dibanding T3 dan T4.

            Pada umur 20 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat

interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0  dan T1 nyata

lebih tinggi dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4. Taraf T2  nyata lebih

tinggi dibanding T3 dan T4 dan taraf T3 nyata lebih tinggi dibanding yang diberi

komposisi T4. Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 dan T1

nyata lebih tinggi dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4. Taraf T2 dan

T3 nyata lebih tinggi dibanding T4. Pada taraf T3, kultivar Chia Tai Seed nyata

lebih tinggi dibanding kultivar New Green Rapid. Pada taraf T4, kultivar New

Green Rapid nyata lebih tinggi dibanding kultivar Chia Tai Seed.

            Pada umur 25 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat

interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan T2 nyata

lebih tinggi dibanding yang diberi komposisi T3 dan T4. Pada kultivar Chia Tai

Seed yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih tinggi dibanding yang diberi

komposisi T2, T3 danT4. Pada taraf T2, kultivar New Green Rapid nyata lebih

tinggi dibanding kultivar Chia Tai Seed.

            Pada gambar 1 Grafik rata-rata tinggi tanaman, dapat dilihat bahwa rata-

rata tinggi tanaman dari umur 5 HST sampai dengan 25 HST cenderung bergerak

naik.

4.2.2. Jumlah Daun

            Grafik rata-rata jumlah daun dapat dilihat pada gambar 2. Sedangkan, hasil

rata-rata jumlah daun dapat dilihat pada Tabel 6 dan hasil pengukuran jumlah

daun masing-masing kultivar tanaman selada umur 5 HST, 10 HST, 15 HST 20

HST dan 25 HST dapat dilihat pada Tabel 7. Sementara hasil sidik ragam

disajikan pada Tabel Lampiran 6, 7, 8, 9, dan 10.

            Dari hasil sidik ragam pada umur 5, 10, 15, 20 dan 25 HST menunjukkan

bahwa antara komposisi nutrisi dan kultivar tidak terdapat interaksi.

 

 

 

 

 

Gambar 2 : Grafik Rata-rata Jumlah Daun

Tabel 6. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Selada umur 5 HST sampai dengan 25

HST

Perlakuan

 

                 Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Selada (Lembar)

5 HST 10 HST 15 HST 20 HST 25 HSTKomposisi

Nutrisi

T0

T1

T2

T3

T4

 

 

2

1.958

1.916

2

1.916

 

 

3.499

3.541

3.374

3.166

3.291

 

 

5.499    a

5.541    a

5.125  ab

4.916    b

4.791    b

 

 

7.833    a

7.875    a

7.333  ab

6.708  b

6.374   b

 

 

11.124    a

11.749    a

10.541  ab

9.083    b

8.708     bKultivar

K1

K2

 

1.916 b

2        a

 

3.349

3.399

 

5.116

5.233

 

7.149

7.299

 

10.049

10.433Interaksi  tn tn  tn  tn  tn 

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda  nyata pada Uji BNJ taraf 5 %          

 tn : Tidak Nyata

  * : Nyata                     

** : Sangat Nyata

 

 

 

Tabel 7. Rata-rata Jumlah Daun Tanaman Selada pada Umur 5 HST, 10 HST, 15

HST, 20 HST dan 25 HST

N0

 

Umur

 

Perlakuan Komposisi Nutrisi

Kultivar T0 T1 T2 T3 T41

 

5 HST

 

K1 2             1.916    1.833    2          1.833 

K2 2             2           2            2           2        2

 

10 HST

 

K1 3.416      3.5        3.416    3.166    3.25   

K2 3.583      3.583    3.333    3.166    3.333 3

 

15 HST

 

K1 5.333      5.5        5.25     4.833    4.666  

K2 5.666      5.583    5            5          4.916 4

 

20 HST

 

K1 7.75        7.75      7.333    6.583    6.333  

K2 7.916      8           7.333    6.833    6.416 5

 

25 HST

 

K1 10.916    11.583  10.833   8.416    8.5     

K2 11.333   11.916  10.25    9.75        8.916   

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda  nyata pada Uji BNJ taraf 5 %           

 tn : Tidak Nyata

  * : Nyata                     

** : Sangat Nyata

 

Pada umur 5 HST tidak terdapat interaksi, perbedaan kultivar

mengakibatkan perbedaan pada jumlah daun. Kultivar Chia Tai Seed nyata lebih

banyak jumlah daunnya di banding kultivar New Green Rapid.

            Pada umur 15 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar tidak terdapat

interaksi. Perlakuan yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih banyak jumlah

daunnya dibanding yang diberi komposisi T3 dan T4.

            Pada umur 20 HST dan 25 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar

tidak terdapat interaksi. Perlakuan yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih

banyak jumlah daunnya dibanding yang diberi komposisi T4.

            Pada gambar 2, Grafik rata-rata jumlah daun memperlihatkan bahwa

semakin bertambah umur tanaman, maka jumlah daun semakin meningkat.

4.2.3. Panjang Akar

             Grafik rata-rata panjang akar dapat dilihat pada gambar 3. Sedangkan,

hasil pengukuran rata-rata panjang akar dapat dilhat pada Tabel 8 dan hasil

pengukuran panjang akar masing-masing kultivar dapat di lihat  pada Tabel 9.

Sementara hasil sidik ragam di sajikan pada Tabel Lampiran 11, 12 dan 13.

            Hasil Sidik Ragam pada umur 10, 20 dan 25 HST menunjukkan antara

komposisi nutrisi dan kultivar terdapat interaksi pada umur 20 HST. Tetapi pada

umur 10 dan 25 HST tidak terdapat interaksi.

Gambar 3 : Grafik Rata-rata Panjang Akar

 

 

 

 

Tabel 8. Rata-rata panjang akar umur 10 HST sampai dengan 25 HST

Perlakuan

 

Rata-rata Panjang Akar Tanaman Selada (cm)

10 HST 20 HST 25 HSTKomposisi

Nutrisi

T0

T1

T2

T3

T4

 

 

8.374  a

4.437  b

4.062  b

3.52   b

3.02   b

 

 

16.874

11.66

5.083

5.77

4.221

 

 

19.02  a

12.728 b

6.437  c

8.062  bc

5.069  cKultivar

K1

K2

 

4.333 b

5.033 a

 

8.674

8.771

 

10.216

10.31Interaksi tn   ** tn 

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda  nyata pada Uji BNJ taraf 5 %          

 tn : Tidak Nyata

  * : Nyata                     

** : Sangat Nyata

 

Tabel 9. Rata-rata Panjang Akar umur 10 HST, 20 HST dan 25 HST

N0

 

Umur

 

Perlakuan Komposisi Nutrisi

Kultivar T0 T1 T2 T3 T4

1

 

10 HST

 

K1 7.666     4          4.208     3.083      2.708   

K2 9.083     4.875   3.916     3.958      3.333    

2

 

20 HST

 

K1 17.166   a 10.75    b 6.416     c 5.875     cd 3.166   d

K2 16.583   a 12.583  b 3.75       cd 5.666     cd 5.277  cd

3

 

25 HST

 

K1 19.375   11.791  8.25       8.25       3.416  

K2 18.666   13.666   4.625     7.875      6.722  

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda  nyata pada Uji BNJ taraf 5 %          

 tn : Tidak Nyata

  * : Nyata                     

** : Sangat Nyata

 

Pada umur 10 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar tidak terdapat

interaksi. Perlakuan yang diberi komposisi T0 nyata lebih panjang akarnya

dibanding yang diberi komposisi T1, T2, T3 dan T4. Kultivar Chia Tai Seed nyata

lebih panjang akarnya dibanding kultivar New Green Rapid.

            Pada umur 20 HST, terdapat interaksi antara komposisi nutrisi dan

kultivar. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0 nyata lebih panjang

akarnya dibanding yang diberi komposisi T1, T2, T3 dan T4. Taraf T1 nyata lebih

panjang akarnya dibanding yang diberi komposisi T2,T3 dan T4. Sedangkan, taraf

T2 dan T3 nyata lebih panjang akarnya dibanding yang diberi komposisi T4. Pada

kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 nyata lebih panjang akarnya

dibanding yang diberi komposisi T1, T2, T3 dan T4. Taraf T1 nyata lebih panjang

akarnya dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4 dan taraf T3 nyata lebih

panjang akarnya dibanding taraf T2 dan T4. Pada taraf T2, kultivar New Green

Rapid nyata lebih panjang akarnya dibanding kultivar Chia Tai Seed.

            Pada umur 25 HST, antara komposisi nutrisi dan kultivar tidak terdapat

interaksi. Perlakuan yang diberi komposisi T0 nyata lebih panjang akarnya

dibanding yang diberi komposisi T1, T2, T3 dan T4. Taraf T1 nyata lebih panjang

akarnya dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4.

            Pada gambar 3, dapat dilihat bahwa pertumbuhan akar cenderung

meningkat seiring dengan pertambahan hari penanaman.

4.2.5. Bobot Basah

4.2.5.1. Bobot Basah Pucuk (BBP), Bobot Basah Akar (BBA) dan Bobot Basah

Brangkasan (BBB)

            Grafik bobot basah tanaman selada dapat dilihat pada gambar 4.

Sedangkan, hasil rata-rata bobot basah tanaman selada dapat dilihat pada Tabel 10

dan hasil pengukuran bobot basah tanaman selada (Bobot Basah Daun, Bobot

Basah Akar dan Bobot Basah Brangkasan) masing-masing kultivar dapat dilihat

pada Tabel 11. Sementara hasil sidik ragam disajikan pada Tabel Lampiran 14, 15

dan 16.

            Hasil sidik ragam menunjukkan antara komposisi nutrisi dan kultivar

terdapat interaksi pada BBA dan BBB. Tetapi, pada BBP tidak terdapat interaksi.

Gambar 4 : Grafik  Rata-rata Bobot Basah Selada

        

Tabel 10. Rata-rata Bobot Basah Pucuk, Bobot Basah Akar dan Bobot Basah

Brangkasan

Perlakuan

 

Rata-rata Bobot Basah Tanaman Selada (cm)

BBP BBA BBBKomposisi

Nutrisi

T0

T1

T2

T3

T4

 

 

49.92

60.124

34.34

17.962

14.15

 

 

17.462  a

17.279  a

10.479  b

11.654  ab

8.67      b

 

 

66.383

77.403

44.82

29.616

22.824

Kultivar

K1

K2

 

34.388

35.813

 

13.171

13.046

 

47.56

48.86Interaksi **  tn ** 

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %          

 tn : Tidak Nyata

  * : Nyata                     

** : Sangat Nyata

 

 

 

 

 

Tabel 11. Rata-rata Bobot Basah Pucuk, Bobot Basah Akar dan Bobot Basah

Brangkasan

N0

 

Umur

 

Perlakuan Komposisi Nutrisi

Kultivar T0 T1 T2 T3 T4

1

 

BBP

 

K1 46.891    ab55.641 ab 43.033  bc 13.391   d 12.983  d

K2 50.95      ab 64.608  a 25.65    cd 22.533   d 15.325  d

2

 

BBA

 

K1 19.458    16.05    12.05      10.575   7.725   

K2 15.466    18.508  8.908     12.733   9.616   

3

 

BBB

 

K1 66.35      ab71.691 ab 55.083  bc 23.966   d 20.708  d

K2 66.416    ab 83.116  a 34.558  cd 35.266   cd 24.941  d

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda  nyata pada Uji BNJ taraf 5 %          

 tn : Tidak Nyata

  * : Nyata                      

** : Sangat Nyata

 

 

            Pada bobot basah pucuk, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat

interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan T2 nyata

lebih berat bobot basah pucuknya dibanding yang diberi komposisi T3 dan T4.

Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih berat

bobot basah pucuknya dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4. Pada taraf

T2, kultivar New Green Rapid nyata lebih berat bobot basah pucuknya dibanding

kultivar Chia Tai Seed.

            Berbeda pada bobot basah pucuk, bobot basah akar tidak terdapat

interaksi. Pada bobot basah akar, perlakuan yang diberi komposisi T0 dan T1

nyata lebih berat bobot basah akarnya dibanding yang diberi komposisi T2, T3

dan T4.

            Pada bobot basah brangkasan, antara komposisi nutrisi dan kultivar

terdapat interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan

T2 nyata lebih berat bobot brangkasannya dibanding yang diberi komposisi T3

dan T4. Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih

berat bobot basah brangkasannya dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4.

Pada taraf T2, Kultivar New Green Rapid nyata lebih berat bobot basah

brangkasannya dibanding kultivar Chia Tai Seed.

            Pada gambar 4 dapat dilihat grafik bobot basah tanaman. Bobot basah

tertinggi diperlihatkan oleh satuan percobaan yang menggunakan komposisi T1.

4.2.6. Bobot Kering

4.2.6.1. Bobot Kering Pucuk (BKP), Bobot Kering Akar (BKA) dan Bobot Kering

Brangkasan (BKB)

            Grafik rata-rata bobot kering tanaman selada dapat dilihat pada gambar 5.

Sedangkan, hasil rata-rata obot kering tanaman selada dapat dilihat pada Tabel 12

dan hasil pengukuran bobot basah tanaman selada (Bobot Kering Daun, Bobot

Kering Akar dan Bobot Kering Brangkasan) masing-masing kultivar dapat dilihat

pada Tabel 13. Sementara hasil sidik ragam disajikan pada Tabel Lampiran 17, 18

dan 19.

            Hasil sidik ragam menunjukkan antara komposisi nutrisi dan kultivar

terdapat interaksi pada BKP dan BKB. Tetapi, pada BKA tidak terdapat interaksi.

 

 

 

 

 

 

Gambar 5 : Grafik Rata-rata Bobot Kering Selada

Tabel 12. Rata-rata Bobot kering Pucuk, Bobot Kering Akar dan Bobot Kering

Brangkasan

Perlakuan

 

Rata-rata Bobot Kering Tanaman Selada (cm)

BKP BKA BKBKomposisi

Nutrisi

T0

T1

T2

T3

T4

 

 

3.454

3.799

2.795

1.624

1.308

 

 

1.083  ab

1.245  a

0.908  b

1.008  ab

1.029  ab

 

 

4.537

5.045

3.704

2.633

2.337Kultivar

K1

K2

 

2.541

2.651

 

1.005

1.105

 

3.546

3.756

Interaksi **  tn  ** 

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji BNJ taraf 5 %          

 tn : Tidak Nyata

  * : Nyata                     

** : Sangat Nyata

 

 

 

 

Tabel 13. Rata-rata Bobot kering Pucuk, Bobot Kering Akar dan Bobot Kering

Brangkasan

N0

 

Umur

 

Perlakuan Komposisi Nutrisi

Kultivar T0 T1 T2 T3 T4

1

 

BKP

 

K1 3.283    ab 3.341    a 3.466    a 1.341    c 1.275    c

K2 3.625    a 4.258    a 2.125    bc 1.908    c 1.341    c

2

 

BKA

 

K1 1.05      1.133    0.933    0.933    0.975   

K2 1.116    1.358    0.883    1.083    1.083  

3

 

BKB

 

K1 4.333    abc 4.475    a 4.4       ab 2.275    d 2.25     d

K2 4.741    a 5.616    a 3.008  bcd 2.991    cd 2.425   d

Keterangan : Nilai rata-rata pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama, menunjukkan tidak berbeda  nyata pada Uji BNJ taraf 5 %          

 tn : Tidak Nyata

  * : Nyata                     

** : Sangat Nyata

 

            Pada bobot kering pucuk, antara komposisi nutrisi dan kultivar terdapat

interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan T2 nyata

lebih berat bobot kering pucuknya dibanding yang diberi komposisi T3 dan T4.

Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata lebih berat

bobot kering pucuknya dibanding yang diberi komposisi T2, T3 dan T4. Pada

taraf T2, Kultivar New Green Rapid nyata lebih berat bobot kering pucuknya

dibanding kultivar Chia Tai Seed.

            Berbeda dengan bobot kering pucuk, bobot kering akar antara komposisi

nutrisi dan kultivar tidak terdapat interaksi. Pada bobot kering akar, perlakuan

yang diberi komposisi T1 nyata lebih berat bobot kering akarnya dibanding yang

diberi komposisi T2.

            Pada bobot kering brangkasan, antara komposisi nutrisi dan kultivar

terdapat interaksi. Kultivar New Green Rapid yang diberi komposisi T0, T1 dan

T2 nyata lebih berat bobot kering brangkasannya dibanding yang diberi komposisi

T3 dan T4. Pada kultivar Chia Tai Seed yang diberi komposisi T0 dan T1 nyata

lebih berat bobot kering brangkasannya dibanding yang diberi komposisi T2, T3

dan T4. Pada taraf T2, kultivar New Green Rapid nyata lebih berat bobot kering

brangkasannya dibanding kultivar Chia Tai Seed.

            Pada gambar 5 dapat dilihat grafik bobot kering tanaman. Bobot kering

tertinggi relatif diperlihatkan oleh satuan percoban yang menggunakan komposisi

T1.

 

4.3. Pembahasan

4.3.1. Tinggi Tanaman

            Pada tinggi tanaman terdapat interaksi antara komposisi nutrisi dan

kultivar pada umur 5, 10, 20 dan 25 HST. Tinggi tanaman tertinggi terlihat pada

T0 dan T1. Sedangkan tinggi tanaman terendah terlihat pada komposisi T3 dan

T4. Hal itu diduga karena komposisi T0 dan T1 mempunyai unsur hara yang

cukup untuk pertumbuhan tanaman. Sedangkan pada T3 dan T4, unsur hara yang

terkandung didalamnya tidak mencukupi untuk pertumbuhan tanaman. Menurut

Morgan (1999), selada yang dibudidayakan dalam sistem hidroponik dapat

mengalami pertumbuhan yang cepat apabila kebutuhan hara tanaman tersebut

tersedia dalam jumlah yang cukup. Menurut Schwarz (1995) konsentrasi hara

yang tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman dalam melaksanakan proses

fisiologis menyebabkan proses pertumbuhan dan perkembangan yang lambat dan

secara visual menunjukkan gejala yang abnormal dalam warna dan atau struktur.

Selain itu, diduga terdapat kekurangan hara N dan K pada taraf T2, T3 dan T4.

Menurut (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan dalam Kesuburan Tanah 1991), tanaman yang kekurangan unsur

hara N dan K akan menurunkan produksi tanaman dan membuat tanaman menjadi

kerdil. Hal ini disebabkan, tanaman yang tumbuh membutuhkan N dalam

membentuk sel-sel baru. Fotosintesis menghasikan karbohidrat dari CO2 dan

H2O, namun proses tersebut berlangsung kurang optimal untuk menghasilkan

protein, asam nukleat dan sebagainya bilamana kekurangan N. Selain itu, diduga

terdapat kekurangan unsur hara mikro Zn dan Mo. Zn berperan dalam pembelahan

sel-sel meristem dan Mo berpengaruh terhadap pertumbuhan secara keseluruhan,

khususnya tinggi tanaman. Menurut Supari (1999), apabila tanaman kekurangan

Zn akan berpengaruh pada batang yaitu ruas-ruas batang memendek dan

pembelahan sel-sel meristem tidak sempurna. Menurut Novizan (2002), unsur

hara mikro Mo berperan dalam penyerapan N dan secara tidak langsung juga

berperan pada produksi asam amino dan protein. Respon positif pada tinggi

tanaman diperlihatkan oleh kultivar New Green Rapid (5, 10, dan 25 HST).

4.3.2. Jumlah Daun

            Jumlah daun terbanyak terlihat pada komposisi T0 dan T1, sedangkan

jumlah daun terendah diperlihatkan oleh satuan percobaan dengan taraf komposisi

T3 dan T4.  Hal ini diduga karena unsur hara didalam T0 dan T1 cukup untuk

pertumbuhan daun sedangkan pada komposisi T3 dan T4 unsur hara yang

terkandung didalamnya. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), daun berfungsi

sebagai penerima dan alat fotosintesis. Luas daun merupakan parameter utama

karena laju fotosintesis persatuan tanaman ditentukan sebagian besar oleh luas

daun. Selain itu, diduga juga terdapat kekurangan unsur hara pada T3 dan T4

terutama N dan Fosfor. Menurut Slamet. S, 1991, kekurangan N dan Fosfor dapat

mempengaruhi jumlah daun. Selain itu, diduga pada T3 dan T4 terdapat

kekurangan unsur hara mikro yaitu Zn, Mo, Fe, Mn, Co dan B. Menurut Supari

(1999), kekurangan unsur hara Zn, Mo, Fe, Mn, Co dan B dapat mempengaruhi

pertumbuhan vegetatif tanaman khususnya jumlah daun. Sedangkan pada T0 dan

T1, diduga unsur hara mikro ini terkandung dalam jumlah yang cukup. 

4.3.3. Panjang Akar

            Hasil pengukuran panjang akar tertinggi diperlihatkan oleh satuan

percobaan dengan komposisi T0 dan T1, sedangkan panjang akar terendah

diperlihatkan oleh satuan percobaan menggunakan komposisi T3 dan T4. Pada

tingkat konsentrasi hara yang rendah, perakaran mengalami defisiensi unsur hara

tertentu dan penghambatan distribusi hara (Jager dalam Sonneveld dan De Kruij,

1999), serta penyerapan air yang terhambat sebagai akibat lanjut defisiensi hara

yang terjadi (Dorais, M. et. Al 2001). Hal ini diperkuat oleh Islami dan Utomo

(1995), yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik,

tanaman harus mempunyai akar dan sistem perakaran yang cukup luas dan dalam

untuk memperoleh hara dan air sesuai kebutuhan pertumbuhan, namun tanaman

tidak selalu memerlukan sistem perakaran yang luas dan dalam pada kondisi hara

yang sudah mencukupi. Selain itu, jumlah oksigen terlarut dalam air juga

mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Menurut Izzati, I.R (2006), oksigen terlarut

yang cukup dalam air akan membantu perakaran tanaman dalam mengikat

oksigen. Bila kadar oksigen terlarut cukup tinggi maka proses respirasi akan

lancar dan energi yang dihasilkan akar cukup banyak untuk menyerap hara yang

dapat diserap tanaman. Tanaman akan memiliki pertumbuhan yang cepat dan

menghasilkan produktifitas yang tinggi dan berkualitas. Hal ini diperkuat oleh

Lesmana dan Darmawan (2001), yang menyatakan bahwa pelarutan oksigen

kedalam air berkaitan dengan sirkulasi, pola arus dan turbulensi pergerakan air

berupa riak air maupun gelombang akan mempercepat difusi udara kedalam air.

Selain itu diduga pada komposisi T3 dan T4 kekurangan unsur hara Fosfor.

Menurut Slamet. S, (1991), kekurangan N dan Fosfor dapat mempengaruhi

pertumbuhan akar. Selain itu, diduga pada T3 dan T4 juga kekurangan unsur hara

B (Boron). Sutejo (1987) menyatakan bahwa jenis unsur hara Boron dapat diserap

tanaman dalam bentuk BO3 yang berperan dalam pembentukan atau pembelahan

sel terutama pada titik tumbuh pucuk, juga dalam pertumbuhan tepung sari dan

akar. Sarief (1989) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan akar

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tersedianya unsur hara. Morgan and

Lennard (2000) menyatakan bahwa tanaman selada dapat tumbuh dengan optimal

jika faktor yang mempengaruhinya terpenuhi, diantaranya adalah unsur hara dan

media tumbuh yang mendukung pertumbuhan akar.

4.3.4. Bobot Basah Pucuk (BBP),Bobot Basah Akar (BBA) dan Bobot

Basah Brangkasan (BBB).

            Bobot basah pucuk, bobot basah akar dan bobot basah brangkasan terbaik

diperlihatkan oleh satuan percobaan yang menggunakan komposisi T0 dan T1.

Sedangkan, bobot basah pucuk, bobot basah akar dan bobot basah brangkasan

terendah diperlihatkan oleh satuan percobaan yang menggunakan komposisi T3

dan T4. Pada bobot basah tanaman selada dalam penelitian ini masih kurang dari

bobot ideal pertumbuhan. Karena, menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1998),

bobot ideal tanaman selada berkisar antara 100-400 g. Pertumbuhan dalam arti

biologis didefinisikan sebagai bertambahnya berat yang tidk dapat terkendali

(irreversible) dari suatu mahluk hidup ( Netovia, 2007). Kozlowski (1974)

menambahkan bahwa pertumbuhan merupakan perkembangan jaringan akar,

batang, daun dan struktur produksi melalui pembelahan sel dan produksi

protoplasma. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), pengukuran biomassa total

tanaman merupakan parameter yang paling baik digunakan sebagai indikator

pertumbuhan tanaman. Karena, dipandang sebagai manisfestasi dari semua proses

dan peristiwa yang terjadi dalam pertumbuhan. Hal ini diduga pada komposisi T3

dan T4 secara keseluruhan, kandungan unsur haranya lebih rendah dibanding

komposisi T0 dan T1. Sehingga, satuan percobaan pada komposisi T3 dan T4

mempunyai pertumbuhan yang kurang optimal dibanding pada satuan percobaan

yang menggunakan T0 dan T1. Pernyataan ini didukung oleh Setyamidjaja

(1989), yang menyatakan bahwa unsur hara dalam bentuk yang tersedia akan

lebih cepat terserap oleh tanaman untuk digunakan dalam proses metabolisme

sehingga akan memberikan respon terhadap pertumbuhan dan perkembangan

tanaman. Nyoman (2002) menyatakan bahwa ketika mengalami kekurangan hara,

gejala yang terlihat meliputi terhambatnya pertumbuhan akar, batang dan daun

sehingga hasil yang diperoleh akan turun.

4.3.5. Bobot Kering Pucuk (BKP), Bobot Kering Akar (BKA) dan Bobot

Kering Brangkasan (BKB).

Bobot kering adalah hasil dari bobot basah yang dikeringkan dalam waktu

tertentu. Dari hasil pengukuran bobot kering dapat dilihat efesiensi penyerapan

unsur hara. Pada bobot kering pucuk terdapat interaksi. Efesiensi penyerapan

unsur hara yang paling baik diperlihatkan oleh satuan percobaan yang

menggunakan komposisi T0, T1 dan T2 pada kultivar New Green Rapid.

Sedangkan, pada kultivar Chia Tai Seed, efesiensi terbaik diperlihatkan oleh

satuan percobaan yang menggunakan komposisi T0 dan T1. Hasil ini

memperlihatkan bahwa, kultivar New Green Rapid pada taraf T2 mempunyai

daya serap unsur hara lebih baik dibanding kultivar Chia Tai Seed. Pada bobot

kering Akar tidak terdapat interaksi. Hasil terbaik diperlihatkan oleh satuan

percobaan yang menggunakan komposisi T1 dan hasil terendah diperlihatkan oleh

satuan percobaan yang menggunakan komposisi T2. Pada bobot kering

brangkasan terdapat interaksi. Efesiensi penyerapan unsur hara yang paling baik

diperlihatkan oleh satuan percobaan yang menggunakan komposisi T0, T1 dan T2

pada kultivar New Green Rapid. Sedangkan, pada kultivar Chia Tai Seed,

efesiensi terbaik diperlihatkan oleh satuan percobaan yang menggunakan

komposisi T0 dan T1. Hasil ini memperlihatkan bahwa, kultivar New Green

Rapid pada taraf T2 mempunyai daya serap unsur hara lebih baik dibanding

kultivar Chia Tai Seed.

            Kultivar Chia Tai Seed memperlihatkan respon lebih baik dibanding

kultivar New Green Rapid. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Suwandi, A

yang menyatakan bahwa kultivar New Green Rapid mempunyai respon lebih baik

dibanding kultivar Chia Tai seed. Tapi berbeda dengan hasil penelitian

Agustiawan (2006). 2006 yang menyatakan bahwa kultivar Chia Tai Seed

memperlihatkan respon lebih baik dibanding kultivar New Green Rapid. Soeseno

(1991) menyatakan secara morfologi setiap varietas memiliki karakteristik yang

berbeda, sehingga memberikan respon yang berbeda pula.

 

 

V. KESIMPULAN DAN SARAN

 

5.1. Kesimpulan

Dosis komposisi T0 dan T1 berbeda nyata dengan komposisi T2, T3 dan

T4 pada tinggi tanaman (25 HST), jumlah daun (15, 20 dan 25 HST),

panjang akar (10 dan 25 HST), bobot basah (BBA) dan bobot kering

(BBA).

Kultivar Chia Tai Seed nyata lebih tinggi dibanding kultivar New Green

Rapid pada jumlah daun (5 HST) dan panjang akar (10 HST).

Terdapat interaksi antara komposisi nutrisi dengan kultivar pada tinggi

tanaman (5, 10, 15 dan 25 HST), Panjang akar (10 dan 25 HST), Bobot

basah tanaman (BBP dan BBB) dan bobot kering tanaman (BKP dan

BKB).

 

5.2. Saran

            Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan bahan

organik tambahan untuk melengkapi kekurangan kandungan unsur hara pada

kompos Ayam.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Agustiawan. 2006. Pengaruh Konsentrasi Pupuk Mikro Majemuk Bentuk Kelat terhadap Pertumbuhan dan Produksi Dua Kultivar Selada (Lactuca sativa L.) dalam Sistem Hidroponik Rakit Apung. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Djuanda. Bogor.

 

Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

 

Dorais, M., A.P. Papadopoulos, and A. Gosselin. 2001. Influence of Electric Conductivity Management on Green House Tomato Yield and Fruit Quality. Journal Agronomi. Australia.

 

Franklin, P. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit Universitas Indonesia (UI. Press). Jakarta.

 

Gardner, Pearce, dan Mitchell. 1991. Fisiologa Tanaman Budidaya. Terjemahan H. Susilo dan Subyanto. Penerbit UI Jakarta.

 

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Persindo. Jakarta

 

Haryanto, E., S, Tina., dan R, Restu. 2003. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya, Jakarta.

 

Indriani, Y.H. 2004. Membuat Kompos secara Kilat. Cet. Ke-VI. Penebar Swadaya. Jakarta.

 

Islami, T. dan W. H. Utomo. 1995. Hubungan Air, Tanah dan Tanaman. IKIP Semarang Press. Semarang.

Izzati, I.R. 2006. Penggunaan Pupuk Majemuk sebagai Sumber Hara pada Budidaya Selada (Lactuca Sativa L.) secara Hidroponik dengan Tiga Cara Fertigasi. Skripisi. Program Studi Hortikultura. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor.

 

Kozlowski, T.T, 1974. Growth and Development of Trees Vol. I. Academic Press. New York.

 

Lesmana, S. dan I. Darmawan. 2001. Budidaya Ikan Hias Air Tawar Populer. Penebar Swadaya. Jakarta.

 

Lingga, P. 2002. Hidroponik: Bertanam Tanpa Tanah. Penebar Swadaya. Jakarta

 

Morgan, L. dan Lennard. 2000. Hydroponic Capsicum Production ; A Comprehensive Practica and Scientefe Guide to Commercial Hydroponic Capsicum Production.Casper Publication. Australia.

 

Morgan, L. 1999. Hydroponics Lettuce Production. Casper Publication. Australia.

 

Murbandono, L. 2004. Membuat Kompos. Penebar Swadaya. Jakarta.

 

Naswir. 2003. Pemanfaatan Urine Sapi yang Difermentasikan sebagai Nutrisi Tanaman. http://tumoutou.net/702_07134/naswir.htm. 04-08-2007.

 

Nazarudin, 2000. Budidaya dan Pengantar Panen Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya. Jakarta.

 

Netovia, J. 2007. Efikasi Pupuk Mikro Majemuk sebagai Unsur Hara Mikro pada Budidaya Bayam (Amaranthus sp) dalam Sistem Hidroponik Rakit Apung. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Djuanda.Bogor.

Novizan. 2003. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Penerbit Agromedia Pustaka.Jakarta.

 

Novizan, Ir. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Penerbit Agromedia Pustaka.Jakarta.

 

Nobel, A. 2004. Electrical Conductivity. www. Nieukoopbv. Com.

 

Nyoman, Ir. 2002. Diagnosis Defisiensi dan Toksisitas Hara Mineral pada Tanaman. Makalah Falsafah Sain. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

 

Pracaya, R. 2002. Bertanam Sayuran Organik Dikebun, Pot Polybag. Penebar Swadaya. Jakarta.

 

Pratiwi, H. 2003. Pengaruh Jenis Pupuk Kandang dan Populasi Tanaman Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Lidah Buaya (Aloevera var. chinensis Baker). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

 

Riana, A. 2000. Nutrient Selada. http://www.asiamaya.com/nutrients/selada.htm. 04-08-2007.

 

Rubatzky, V.E. dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia : Prinsip, Produksi dan Gizi. Ed. Terjemahan. C. Herison. ITB. Bandung.

 

Rukmana, R. 1994. Bertanam Selada dan Andewi. Kanisius. Yoyakarta.

 

Sarief, S. 1989. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Penerbit Pustaka Buana. Bandung.

 

 

Schwarz, M. 1995. Soilles Culture Management. Springer-Verlag Berlin. Heidelberg. Germany.

 

Setyamidjaja. 1989. Pupuk dan Pemupukan. CV. Simplex. Jakarta.

 

Soeseno, S. 1999. Bisnis Sayuran Hidroponik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

 

Soeseno, S. 1991. Bercocok Tanam secara Hidroponik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

 

Sonneveld, C. and C. de Kreij. 1999. Response Cucumber (Cucumis sativus L.) to an Unequal Distributions of Salts in the Root Environment. Plant and Soil.

 

Sitompul, S. M. dan Guritno. 1995. Analisis Perumbuhan Tanaman. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta.

 

Supari. 1999. Tuntunan Membangun Agribisnis. Seri Praktek Ciputri Hijau. PT. Gramedia. Jakarta.

 

Suprapto. 2000. Laporan Akhir. Pengkajian Teknologi Usaha Tani Sayuran Pinggir Perkotaan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Denpasar.

 

Suprayitna, I. 1996. Sayur dan Buah Berkualitas. CV. Aneka. Solo.

 

Sutanto, R. 2002. Pertanian Organik. Menuju Pertanian Alternatif dan Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta.

 

Sutejo, M. 1987. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

 

 

Suwandi, A. 2006. Pengaruh Penggunaan Kompos Kambing sebagai Tambahan Larutan Anorganik dalam Sistem Hidroponik Rakit Apung pada Budidaya Selada (Lactuca sativa L.) Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Djuanda. Bogor.

 

Untung, O. 2000. Hidroponik Sayuran Sistem Nutrien Film Teknik (NFT). Penebar Swadaya. Jakarta.

 

Winarno, F.G. et al. 2002. Pertanian dan Pangan Organik. Sistem dan Sertifikasi. M-Brio Press. Bogor.

 

Zulkarnain, I. 2007. Fertimix. CV. Andalas Prima Mandiri. Ciawi. Bogor

 

-------------2002. Hidroponik : Sistem Pertanian Mahal. Trubus.