skripsi pidana

64
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, sehingga dapat diartikan bahwa Indonesia merupakan negara demokratis yang menjunjung tinggi hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Negara Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan nasional yang dilaksanakan secara berkesinambungan yang meliputi seluruh bidang kehidupan, maka masyarakat Indonesia senantiasa mengalami perkembangan yang seiring dengan perkembangan dan kemajuan jaman. Sebagaimana kita ketahui masyarakat itu bersifat dinamis, yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu, perkembangan ini membawa dampak atau pengaruh yang luar biasa yang dapat dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat, pada dasarnya perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala sosial yang bersifat umum, perkembangan merupakan proses penyesuaian masyarakat terhadap kemajuan jaman. Pembangunan nasional merupakan proses modernisasi yang membawa dampak positif dan dampak negatif, dampak positif yang timbul adalah semakin maju dan [Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document. Use the Text Box Tools tab to change the formatting of the pull quote text box.]

Upload: ekoyuliyanto

Post on 22-Oct-2015

200 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

putusan hakim

TRANSCRIPT

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka, sehingga dapat diartikan bahwa Indonesia

merupakan negara demokratis yang menjunjung tinggi hukum berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Negara Indonesia saat ini sedang

melaksanakan pembangunan nasional yang dilaksanakan secara

berkesinambungan yang meliputi seluruh bidang kehidupan, maka masyarakat

Indonesia senantiasa mengalami perkembangan yang seiring dengan

perkembangan dan kemajuan jaman.

Sebagaimana kita ketahui masyarakat itu bersifat dinamis, yang senantiasa

berkembang dari waktu ke waktu, perkembangan ini membawa dampak atau

pengaruh yang luar biasa yang dapat dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat,

pada dasarnya perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala sosial yang

bersifat umum, perkembangan merupakan proses penyesuaian masyarakat

terhadap kemajuan jaman.

Pembangunan nasional merupakan proses modernisasi yang membawa dampak

positif dan dampak negatif, dampak positif yang timbul adalah semakin maju dan

[Type a quote from the

document or the summary of

an interesting point. You can

position the text box anywhere

in the document. Use the Text

Box Tools tab to change the

formatting of the pull quote

text box.]

2

makmur kondisi ekonomi, sosial maupun politik, sedangkan dampak negatif yang

timbul antara lain adanya kesenjangan dalam masyarakat, terutama kesenjangan

sosial yang dalam hal ini dapat menimbulkan rasa iri atau dengki yang

mengakibatkan adanya keinginan untuk memperkecil kesenjangan apabila dalam

usahanya ia tidak mampu untuk bersaing dalam menghadapi kesenjangan tersebut

maka orang akan cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang sekiranya dapat

menguntungkan orang tersebut meskipun disadari bahwa perbuatan yang

dilakukan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.

Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perbuatan

pidana terbagi menjadi dua macam yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan

diatur dalam buku ke dua KUHP sedangkan pelanggaran diatur dalam buku ke

tiga KUHP. Pada dasarnya kedua macam tindak pidana tersebut masing-masing

mempunyai konsekwensi tersendiri yang tidak sama, akan tetapi pada

kenyataannya masih ditemukan adanya suatu perbuatan pelanggaran yang disertai

dengan pelanggaran lain atau perbuatan kejahatan yang disertai kejahatan lain

atau bahkan perbuatan kejahatan yang bersamaan dengan pelanggaran dan

sebaliknya, kejadian tersebut biasa disebut dengan perbarengan tindak pidana.

Perbarengan tindak pidana merupakan terjemahan dari concursus atau samenloop

van strafbaarfeit, yang selanjutnya dalam penulisan skripsi ini disebut dengan

perbarengan tindak pidana. Perbarengan tindak pidana yang menjadi sorotan

adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan

kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan, kejadiannya

sendiri dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua atau lebih tindakan atau

3

beberapa tindakan secara berlanjut, dalam hal dua atau lebih tindakan tersebut

masing-masing merupakan delik tersendiri dan dipersyaratkan bahwa salah satu

diantaranya belum pernah diadili.

Sebagai contoh kasus perbarengan tindak pidana dalam rangka penyertaan adalah

sebagai berikut :

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.562 / PID.B / 2010 /

PN.TK pada tanggal 12 Agustus 2010, majelis hakim telah memutus mengenai

perkara pembunuhan yang disertai dengan perbuatan pidana.

Kronologis kejadian tindak pidana tersebut bermula ketika korban memanggil

terdakwa datang kerumah korban untuk diminta pertolongan menyelidiki pacar

suami korban dengan memberikan imbalan sejumlah uang kepada terdakwa

sekaligus meminta terdakwa untuk menyakiti bahkan membunuh pacar suami

korban, karena pada saat itu suami korban disangka telah berselingkuh oleh

korban.

Setelah mendapat perintah dari korban, terdakwa memberi tahu kepada suami

korban mengenai hal tersebut yang kemudian suami korban marah dan berbalik

memerintah terdakwa untuk membunuh korban dengan imbalan uang yang

jumlahnya lebih besar dibandingkan uang pemberian korban dengan memberi

petunjuk bahwa uang yang dapat diambil terdakwa terletak didalam lemari kamar

korban, maka terdakwa tergiur untuk lebih menuruti perintah suami korban.

Sebelum terdakwa melakukakan pembunuhan terhadap korban, terdakwa terlebih

dahulu melakukan penganiayaan yang pada akhirnya mengakibatkan kematian,

4

setelah diketahui korban tidak bernyawa maka terdakwa mengambil sejumlah

uang yang terletak di dalam lemari kamar korban.

Akibat perbuatan terdakwa, korban meninggal dunia sebagaimana tersebut dalam

Visum Et Repertum Nomor 353/1602/5.2/III/2010 tanggal 12 Maret 2010 yang

dikeluarkan oleh RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung, atas perbuatan

tersebut, majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan nomor perkara

562/PID.B/2010/PN.TK, mengadili dan memutus terdakwa melanggar Pasal 339

KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan diputus oleh majelis hakim dengan

pidana penjara selama 16 tahun.

Kronologis tersebut di atas diketahui bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yang

dibarengi dengan tindak pidana lain atau yang disebut dengan perbarengan tindak

pidana, yakni pelaku tindak pidana telah melakukan beberapa perbuatan yang

masing-masing perbuatan tersebut berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa

tindak pidana, disamping itu masing-masing tindak pidana tersebut belum ada

yang dijatuhi hukuman oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh

pengadilan. Berdasarkan uraian kronologis diatas, perbuatan tindak pidana

tersebut termasuk dalam bentuk perbarengan perbuatan (concursus realis),

disamping itu dapat diketahui bahwa terdakwa dalam melaksanakan tindak pidana

tersebut bukanlah atas inisiatif sendiri, melainkan atas inisiatif orang lain yang

mempergunakan terdakwa untuk melaksanakan tindak pidana tersebut, maka

disinilah timbul yang disebut dengan penyertaan tindak pidana.

Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan pada kasus

diatas di jerat dengan Pasal 339 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan

5

ancaman pidana penjara seumur hidup, atau selama waktu tertentu paling lama 20

tahun penjara, dalam persidangan hakim menjatuhkan vonis 16 tahun penjara

terhadap terdakwa.

Berdasarkan kasus yang telah dipaparkan diatas, hakim telah menjatuhkan vonis

yang lebih ringan dari tuntutan jaksa kepada pelaku tindak pidana tersebut, oleh

karena itu perlu diadakan suatu analisis terhadap putusan hakim tersebut untuk

mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, apakah telah

sesuai dengan rasa keadilan bagi keluarga korban dan terdakwa, dan apakah dapat

menimbulkan efek jera pada masyarakat untuk tidak meniru perbuatan yang

dilakukan oleh terdakwa, sebagaimana diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan

oleh terdakwa adalah perbuatan yang sangat keji karena behubungan dengan

nyawa seseorang.

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk

menganalisis dan menuangkan dalam bentuk tulisan yang berbentuk skripsi

dengan judul “Analisis yuridis penerapan pidana terhadap pelaku

perbarangan tindak pidana pembunuhan dalam rangka penyertaan (Studi

Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor

562/PID.B/2010/PN.TK) “

6

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas maka yang menjadi

permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap pelaku perbarengan tindak pidana pembunuhan dalam rangka

penyertaan (perkara nomor 562/PID.B/2010/PN.TK) ?

b. Bagaimanakah sistem pemidanaan terhadap pelaku perbarengan tindak pidana

pembunuhan dalam rangka penyertaan ?

2. Ruang Lingkup

Untuk membahas permasalahan ini agar tidak terlalu meluas dan salah penafsiran

maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian terhadap perbarengan tindak

pidana pembunuhan dalam rangka penyertaan (Studi Kasus Putusan Pengadilan

Negeri Tanjung Karang Nomor 562/PID.B/2010/PN.TK).

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui secara jelas mengenai perbarengan

tindak pidana pembunuhan dalam rangka penyertaan (Studi Kasus Putusan

Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 562/PID.B/2010/PN.TK).

7

2. Kegunaan Penulisan

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis kegunaan penulisan skripsi ini adalah untuk menambah wawasan

ilmu pengetahuan khususnya penulis dan masyarakat pada umumnya atas hasil

analisis mengenai perbarengan tindak pidana pembunuhan dalam rangka

penyertaan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor

562/PID.B/2010/PN.TK).

b. Kegunaan Praktis

1. Berguna sebagai bahan refensi untuk penelitian-penelitian berikutnya.

2. Skripsi ini diharapkan berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan

khususnya hukum pidana mengenai perbarengan tindak pidana pembunuhan

dalam rangka penyertaan.

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono

Soekanto,1984 : 124).

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa perbarengan tindak pidana

dibagi menjadi tiga bentuk yaitu, perbarengan peraturan (concursus idealis),

perbuatan berlanjut (Voortgezette Handeling), dan perbarengan perbuatan

8

(concursus realis), dari ketiga bentuk tersebut tentunya terdapat perbedaan dalam

sistem penjatuhan pidana, hal ini disebabkan karena ketiga bentuk perbarengan

tindak pidana tersebut masing-masing memiliki kriteria tertentu terhadap suatu

tindak pidana yang dimaksudkan agar termasuk kedalam salah satu bentuk

perbarengan tindak pidana tersebut.

Menurut Andi Hamzah :

“Gabungan delik disebut juga perbarengan delik atau concursus,

semenloop van strafbare feiten, satu orang melakukan beberapa perbuatan

(feiten) yang melanggar beberapa aturan delik atau satu perbuatan, tetapi

melanggar beberapa aturan delik yang diadili sekaligus atau beberapa kali,

tetapi yang dijatuhkan diperhitungkan“ (Andi Hamzah, 2008 : 63).

Pokok persoalan mengenai perbarengan tindak pidana terletak pada ukuran pidana

yang dikaitkan dengan sistem pemidanaannya dalam hal terjadi dua atau lebih

tindak pidana yang sekaligus disidangkan, baik karena satu tindakan maupun

karena dua atau lebih tindakan. Pasal 65 ayat (1) menyatakan bahwa, perbarengan

beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-

sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana

pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu pidana, sedangkan pada ayat (2)

maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang

diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum

pidana yang terberat ditambah sepertiga.

Aturan mengenai perbarengan mengenal empat sistem dalam penjatuhan pidana :

1. Sistem absorsi, adalah sistem yang menentukan bahwa hanya ketentuan pidana

yang terberat yang diperuntukkan;

9

2. Sistem absorsi yang dipertajam, maksudnya adalah ketentuan pidana yang

terberat yang diterapkan dengan ditambah sepertiga dari pidana maksimum;

3. Sistem kumulasi murni, bahwa tiap-tiap tindak pidana dijatuhkan pidana

sendiri-sendiri tetapi pidana itu hanya diterapkan atas tindak pidana

pelanggaran dan lama pidananya tidak boleh lebih dari 1 tahun 4 bulan;

4. Sistem kumulasi terbatas, pidana dapat dijatuhkan untuk tiap-tiap kejahatan

tetapi jumlah pidana tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat

ditambah sepertiganya (Suharto RM, 1996 : 81).

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan

mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak

tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dapat mengintervensi

hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim dalam menjatuhkan putusan,

harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara

yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku,

sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan

pula rasa keadilan masyarakat.

Terdapat teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam

menjatuhkan putusannya, yaitu sebagai berikut :

a. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat

yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang

tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya

keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan

10

terdakwa, dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan

tergugat;

b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukum yang wajar bagi setiap

pelaku tindak pidana, pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam

penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh intuisi daripada pengetahuan

hakim;

c. Teori Pendekatan Keilmuan

Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam

memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi

semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga

wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus

diputusnya;

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam

menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya, karena dengan pengalaman

tersebut, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan

yang dijatuhkan dalam suatu perkara, yang berkaitan dengan pelaku, korban

maupun masyarakat;

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

relevan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan

dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam

11

penjatuhan putusan, serta pertimbangn hakim harus didasarkan pada motivasi

yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak

yang berperkara.

f. Teori Kebijaksanaan

Teori ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu sebagai upaya perlindungan

terhadap masyarakat dari suatu kejahatan yang dilakukanoleh pelakunya,

sebagai upaya repersif agar penjatuhan pidana membuat jera, sebagai upaya

preventif agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang

dilakukan oleh pelakunya, mempersiap mental masyarakat dalam menyikapi

suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut (Ahmad Rifai, 2010 : 105-112).

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah merupakan kerangka yang menggambarkan

hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti

yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau di inginkan (Soerjono

Soekanto, 1986 : 132).

Kerangka konseptual yang diketengahkan akan dibatasi pada konsepsi pemakaian

judul dalam tulisan ini yaitu analis yuridis terhadap concursus dalam rangka

penyertaan tindak pidana. Adapun pengertian dari istilah tersebut adalah :

a. Analisis adalah penyelidikan dan penguraian terhadap suatu masalah untuk

mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia,

1997 : 34).

b. Yuridis adalah menurut ilmu hukum dan perundang-undangan yang berlaku

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997 : 509).

12

c. Perbarengan adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang

dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi hukuman

pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana yang

berikutnya belum dibatasi oleh keputusan hakim (Adami Chazawi, 2007 : 109).

d. Penyertaan adalah terjadinya tindak pidana yang didalamnya terlibat beberapa

orang atau lebih dari seorang (Teguh Prasetyo, 2010 : 133).

e. Tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan yang dapat dikenakan hukuman

karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (Teguh Prasetyo,

2010 : 45).

f. Pembunuhan adalah mematikan dengan sengaja, menghilangkan nyawa (Kamus

Besar Bahasa Indonesia, 1997 : 82)

E. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka

disajikan penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi,

permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan

penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memeahami

pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan

tinjauan yang besifat teoritis yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan

studi perbandingan antara teori dan praktek

13

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang

digunakan dalam pendekatan masalah serta uraian tentang sumber-sumber data,

pengolahan data dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan jawaban atas pembahasan dari pokok masalah yang akan dibahas

yaitu Analisis yuridis penerapan pidana terhadap pelaku perbarengan tindak

pidana dalam rangka penyertaan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung

Karang Nomor 562/PID.B/2010/PN.TK).

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil dari pokok permasalahan yang diteliti yaitu merupakan

kesimpulan dan saran-saran dari penulis yang berhubungan dengan permasalahan

yang ada.

[Type a quote from the

document or the summary

of an interesting point. You

can position the text box

anywhere in the document.

Use the Text Box Tools tab

to change the formatting of

the pull quote text box.]

14

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf yang

diterjemahkan dengan pidana dan hukum, baar yang diterjemahkan dengan dapat

atau boleh, dan feit yang diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran,

dan perbuatan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak memberikan

penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri,

biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin

yakni kata delictum. Istilah stafbaar feit atau kadang disebut sebagai delict (delik)

diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan berbagai istilah. “Delik adalah

perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran

terhadap undang-undang tindak pidana“ (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997 :

116).

[Type a quote from the

document or the

summary of an

interesting point. You

can position the text box

anywhere in the

document. Use the Text

Box Tools tab to change

the formatting of the

pull quote text box.]

[Type a quote from the

document or the

summary of an interesting

point. You can position

the text box anywhere in

the document. Use the

Text Box Tools tab to

change the formatting of

the pull quote text box.]

15

Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa

unsur yakni :

a. Suatu perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman undang-undang;

c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan.

Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-

gerik jasmani seseorang, hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak

berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya seseorang tersebut, ia telah

melakukan tindak pidana.

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam

dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang

bersifat aktif yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh undang-

undang, dan perbuatan yang bersifat pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang

sebenarnya diharuskan oleh hukum (Teguh Prasetyo, 2010 : 48).

Beberapa sarjana mengemukakan pendapat yang berbeda dalam mengartikan

intilah strafbaar feit, sebagai berikut :

1. Simons :

Tindak pidana adalah perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana yang

bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

16

2. Moeljatno :

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa

yang melanggar larangan tersebut.

3. Pompe :

Menjelaskan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu :

Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan

karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk

mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan

undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.

4. Vos :

Tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang diancam oleh peraturan

undang-undang, jadi suatu perbuatan yang pada umumnya dilarang dengan

ancaman pidana.

5. Van Hamel :

Tindak pidana adalah perbuatan orang yang dirumuskan dalam wet yang bersifat

melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Setiap Tindak Pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya

dibagi menjadi 2 macam unsur, yakni unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur

obyektif.

17

Unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.

3) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad , misalnya terdapat di

dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

4) Perasaan takut atau vress, antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana

Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-

keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku

itu harus dilakukan.

Unsur-unsur obyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid.

2) Kualitas dari si pelaku.

3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan

sesuatu sebagai kenyataan (Lamintang, 1997 : 194).

18

C. Perbarengan Tindak Pidana (Concursus)

1. Pengertian Perbarengan Tindak Pidana

Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih

tindak pidana oleh satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali

belum dijatuhi hukuman pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan

tindak pidana yang berikutnya belum dibatasi oleh putusan hakim (Adami

Chazawi, 2007 : 109).

KUHP mengatur perbarengan tindak pidana dalam bab VI Pasal 63 sampai

dengan Pasal 71, ketentuan mengenai perbarengan tindak pidana pada dasarnya

ialah suatu ketentuan mengenai bagaimana cara menyelesaikan perkara dan

menjatuhkan pidana (sistem penjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah

melakukan lebih dari satu tindak pidana dimana semua tindak pidana yang

dilakukan tersebut belum diperiksa dan diputus di pengadilan, konkritnya

ketentuan perbarengan ini mengatur dan menentukan mengenai, cara atau sistem

penjatuhan pidana terhadap satu orang pembuat yang telah melakukan tindak

pidana lebih dari satu yang semuanya belum diperiksa dan diputus di pengadilan.

Mengenai cara penyelesaian perkara demikian, undang-undang menghendaki

adalah dengan memberkas beberapa tindak pidana tersebut kedalam satu berkas

perkara dan menyidangkannya dalam satu perkara oleh satu majelis hakim, dan

tidak dipecah-pecah menjadi beberapa perkara dengan menyidangkan sendiri-

sendiri oleh beberapa majelis hakim.

19

Hal ini memang berbeda dengan terjadinya satu tindak pidana dimana pelakunya

lebih dari satu orang, yang dalam tindak pidana tersebut terdapat penyertaan yang

dengan alasan misalnya untuk kepentingan pemeriksaan maka boleh dilakukan

dengan memecah atau memisah-misah berdasarkan orang-orang yang terlibat

dalam tindak pidana tersebut, yang hal ini diperkenankan oleh Pasal 132 KUHAP

(Adami Chazawi, 2007 : 113).

Menurut Roeslan Saleh :

“Ada dua alasan pembentuk undang-undang dalam hal menghendaki

agar beberapa tindak pidana atau perbarengan tindak pidana (concursus)

diadili secara serentak dan diputus dalam satu putusan pidana dan tidak

dijatuhkan sendiri-sendiri dengan memperhitungkan sepenuhnya

ancaman pidana pada masing-masng tindak pidana yang dilakukan

tersebut, artinya agar tindak pidana yang terjadi dalam perbarengan

terebut tidak dipidana sepenuhnya sesuai ancaman masing-masing

pidana tersebut, ialah adanya pertimbangan psikologis dan pertimbangan

dari segi kesalahan” (Roeslan Saheh, 1981 : 106).

2. Bentuk-bentuk Perbarengan Tindak Pidana

Selain keharusan untuk menyidangkan atau menyelesaikan perkara perbarengan

tindak pidana dalam satu majelis dengan menjatuhkan satu pidana, hal yang

penting dalam perbarengan ini adalah mengenai hal sistem penjatuhan pidananya

yang berkaitan langsung dengan macam-macam atau bentuk-bentuk dari

perbarengan itu sendiri, perbarengan tindak pidana yang dapat dihukum

mempunyai tiga bentuk, hal ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana adalah sebgai berikut :

20

a. Perbarengan Peraturan (Concursus Idealis)

Terwujudnya apa yang disebut dengan perbarengan peraturan pada dasarnya

apabila satu wujud perbuatan melanggar lebih dari satu aturan pidana. Pengertian

dasar ini sesuai apa yang dirumuskan dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP, yang

menyataan bahwa “ jika suatu perbuatan masuk kedalam lebih dari satu aturan

pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, dan jika

berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling

berat “.

Kalimat “suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana” yang

menggambarkan arti dasar perbarengan peraturan. Dalam hal perbarengan

peraturan dengan rumusan di atas, yang menjadikan persoalan besar ialah bukan

sistem penjatuhan pidananya sebagaimana pada kalimat selebihnya dari rumusan

ayat (1) dan rumusan ayat (2) dari Pasal 63 itu, tetapi ialah persoalan mengenai

suatu perbuatan, hal ini juga terdapat dan sejalan dengan arti perbuatan pada Pasal

76 ayat (1) mengenai asas ne bis in idem dalam hukum pidana.

Penjatuhan pidana pada bentuk perbarengan peraturan menggunakan sistem

hisapan (absorbs stelsel), artinya hanya dipidana tehadap salah satu dari aturan

pidana tersebut, dan jika diantara aturan-aturan pidana itu berbeda-beda ancaman

pidananya, maka yang dikenakan adalah terhadap aturan pidana yang terberat

ancaman pidana pokoknya, dan apabila satu perbuatan itu masuk dalam aturan

pidana umum yang sekaligus masuk ke dalam aturan pidana khusus, maka yang

dikenakan adalah terhadap aturan pidana khusus saja, misalnya terjadi

pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku di ancam dengan pidana penjara 12

21

tahun menurut Pasal 285 KUHP (memperkosa), dan pidana penjara 2 tahun 8

bulan menurut Pasal 281 KUHP (melanggar kesusilaan dimuka umum), dengan

sistem absorbsi maka diambil yang terberat, yaitu 12 tahun.

Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) “jika suatu perbuatan masuk ke dalam suatu

aturan pidana umum, diatur pula dalam aturan pidan khusus, maka hanya yang

khusus itulah yang diterapkan”, maka dalam pasal ini terkandung adagium lex

specialis derogate legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan

aturan yang umum), jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran

kandungan, maka ia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan pidana

penjara 15 tahun, namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang

tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku

sistem absorbsi, ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341 KUHP.

Berdasarkan ketentuan ketentuan Pasal 63 KUHP mengenai sistem hisapan pada

perbarengan peraturan ini, dapat dikenakan tiga kemungkinan, ialah :

1. Pada perbarengan peraturan dri beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana

pokok yang sama berat ;

2. Pada perbarengan peraturan dari beberapa tindak pidana dengan ancama pidana

pokoknya tidak sama berat ;

3. Pada perbarengan peraturan dimana satu perbuatan itu masuk atau diatur dalam

suatu aturan pidana umum yang sekaligus masuk dalam aturan pidana khusus.

22

Menurut Adami Chazawi :

“Walaupun dalam hal perbarengan peraturan ini hakim hanya menerapkan

aturan pidana yang terberat ancaman pidana pokoknya atau aturan pidana

khususnya, tidak berarti majelis hakim tidak perlu mempertimbangkan

kesalahan yang telah diperbuat terhadap aturan pidana yang lebih ringan

atau aturan yang umum, pertimbangan yang demikian sangat diperlukan

walaupun tidak perlu diterapkan perlunya pertimbangan ini disebabkan

karena berhubungan dengan ketentuan pemberatan pada pengulangan, bila

majelis hakim tidak mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa dan

pelanggaran aturan yang lebih ringan demikian maka apa yang telah

dilakukan oleh majelis hakim itu lalai atau sengaja telah mempersempit

berlakunya hukum” (Adami Chazawi, 2007 : 128).

b. Perbuatan Berlanjut (voortgezette Handeling)

Mengenai perbuatan berlanjut diatur dalam Pasal 64 KUHP, rumusan dari isi

Pasal 64 KUHP tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Jika beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau

pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang

sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan yang memuat

ancaman pidana pokok yang paling berat.

(2) Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang yang

dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan

menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak.

(3) Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam

Pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan nilai

kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh

lima rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam Pasal 362, 372,

378, dan 406.

23

Banyak ahli hukum yang menterjemahkan voortgezette handeling dengan

perbuatan berlanjut. Utrecht menyebutnya dengan “perbuatan terus-menerus“,

Schravendjik sama dengan Wirjono Prodjodikoro menyebutnya dengan

“perbuatan yang dilanjutkan” dan Soesilo menyebutnya dengan “perbuatan yang

diteruskan”.

Apa pun istilah yang digunakan, mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan

yang berlanjut pada rumusan ayat pertama, pada dasarnya adalah beberapa

perbuatan baik berupa pelanggaran maupun kejahatan, yang satu dengan yang lain

terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu

perbuatan yang berlanjut. Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan

beberapa perbuatan baik kejahatan maupun pelanggaran dan perbuatan-perbuatan

tersebut ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai

suatu perbuatan berlanjut.

Perbuatan disini adalah berupa perbuatan yang melahirkan tindak pidana, bukan

semata-mata perbuatan jasmani atau juga bukan perbuatan yang menjadi unsur

tindak pidana, antara perbuatan yang satu dengan perbuatan lainnya harus ada

hubungan yang sedemikian rupa, namun demikian ada sedikit keterangan di dalam

Memorie van Toelichting (MvT) Belanda mengenai pembuatan Pasal ini, yaitu

bahwa berbagai perilaku harus merupakan pelaksanaan satu keputusan yang

terlarang, dan bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari

sekumpulan tindak pidana yang sejenis (Adami Chazawi, 2007 : 130).

24

Adapun ciri pokok dari perbuatan berlanjut ialah :

1. Adanya satu keputusan kehendak si pembuat;

2. Masing-masing perbuatan harus sejenis;

3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.

Sistem pemberian pidana bagi perbuatan-perbuatan berlanjut menggunakan sistem

absosrbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana

berbeda-beda maka dikenakan pidana pokok yang terberat, Pasal 64 ayat (2)

KUHP merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata

uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) KUHP merupakan ketentuan khusus dalam hal

kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 KUHP (pencurian

ringan), 373 KUHP (penggelapan ringan), Pasal 407 KUHP (perusakan barang

ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut (Teguh Prasetyo, 2010 : 111).

c. Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis)

Pasal 65 KUHP menyebutkan :

1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai

perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa

kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya

dijatuhkan satu pidana.

2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang

diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh dari maksimum pidana

yang terberat ditambah sepertiga.

25

Letak manfaat dari pasal perbarengan perbuatan yang diatur dalam Pasal 63 dan

Pasal 65 KUHP disebutkan dalam surat dakwaan, apabila dalam surat dakwaan

diuraikan perbuatan materiil dari tiap unsur delik yang dilanggar pelaku baik

dalam surat dakwaan tunggal maupun kumulatif maka tuntutan pidana hanya

dituntut satu pidana apabila tiap-tiap delik diancam dengan pidana pokok yang

sama, bukan dituntut atas dasar tiap tindak pidana yang dilakukan.

Perbarengan perbuatan tersebut dari semua delik yang diajukan di muka sidang

pengadilan tetapi tuntutan pidana tersebut tidak boleh lebih dari ancaman pidana

yang terberat ditambah sepertiganya dari delik tersebut, sesuai dengan apa yang

diatur dalam Pasal 65 ayat (2) KUHP.

Perbarengan perbuatan kiranya dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 65 ayat (1)

KUHP dan Pasal 66 (1) KUHP, yakni “beberapa perbuatan yang masing-masing

harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan

beberapa kejahatan”, jadi berdasarkan rumusan ayat (1) Pasal 65 dan 66 KUHP

maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing tindak pidana-tindak pidana

dalam perbarengan perbuatan itu satu sama lain adalah terpisah dan berdiri

sendiri.

Sistem penjatuhan pidana pada perbarengan perbuatan dibedakan menurut

macamnya perbarengan perbuatan, mengenai perbarengan perbuatan undang-

undang membedakan menjadi empat macam, yaitu :

1. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yan masing-masing

diancam dengan pidana pokok yang sama jenisnya (Pasal 65 KUHP),

penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem hisapan yang diperberat,

26

yaitu dijatuhi satu pidana saja dan maksimum pidana yang dijatuhkan itu ialah

jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana itu, tetapi

boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat di tambah sepertiga;

2. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang dancam

dengan pidana pokok yang tidak sama jenisnya (Pasal 66 KUHP), penjatuhan

pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi terbatas, artinya masing-

masing kejahatan itu diterapkan yakni pada si pembuatnya dijatuhi pidana

sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dibuatnya, tetapi

jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana yang terberat

ditambah sepertiganya, apabila kejahatan yang satu diancam dengan pidana

denda sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana hilang kemerdekaan

(penjara atau kurungan), maka untuk pidana denda dihitung dari lamanya

kurungan pengganti denda;

3. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari kejahatan dengan pelanggaran,

penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi murni;

4. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari pelanggaran dengan pelanggaran,

menggunakan sistem kumulasi murni, artinya semua kejahatan maupun

pelanggaran itu diterapkan sendiri-sendiri dengan menjatuhkan pidana pada si

pembuat sesuai dengan ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran

itu tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan batas tertentu (Adami

Chazawi, 2007 : 142).

27

C. Pengertian Penyertaan Tindak Pidana

Pada saat ini hampir setiap tindak pidana yang terjadi dilakukan lebih dari

seorang, jadi pada setiap tindak pidana itu selalu terlihat lebih daripada seorang

yang berarti terdapat orang lain yang turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana

diluar diri pelaku, tiap-tiap peserta mengambil atau memberi sumbangannya

dalam bentuk perbuatan kepada peserta lain sehingga tindak pidana tersebut

terlaksana, dalam hal ini secara logis pertanggungjawabannya pun harus dibagi

diantara peserta, dengan perkataan lain tiap-tiap peserta juga harus

mempertanggungjawabka peruatannya.

Dapat dikatakan bahwa Penyertaan dalam suatu tindak pidana terjadi apabila

dalam suatu tindak pidana terlibat beberapa orang atau lebih dari seorang,

hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut dapat

bermacam-macam, yaitu :

1. Bersama-sama melakukan suatu tindak pidana.

2. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan sesuatu kejahatan

sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana

tersebut.

3. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain

membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.

Ajaran penyertaan tindak pidana berpokok pada menentukan pertanggungjawaban

peserta terhadap tindak pidana yang telah dilakukan, disamping itu juga

mempersoalkan peranan atau hubungan tiap-tiap peserta dalam suatu pelaksanaan

tindak pidana mengenai sumbangan atau peran apa yang telah diberikan tiap-tiap

28

peserta agar tindak pidana tersebut dapat diselesaikan (Teguh Prasetyo,

2010:134).

Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya, yakni:

1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri.

Yang termasuk jenis ini adalah mereka yang melakukan dan yang turut serta

melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai

atau dihargai sendiri-sendiri atas segala perbuatan atau tindakan yang

dilakukan.

2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri.

Yang termasuk dalam jenis ini adalah pembujuk, pembantu dan yang

menyuruh untuk melakukan suatu tindak pidana, pertanggung jawaban dari

peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain (Teguh Prasetyo,

2010:134).

Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, berdasarkan pasal-pasal

tersebut panyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu :

1. Pembuat / Dader (Pasal 55 KUHP) yang terdiri dari :

a. Pelaku (pleger), adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang

memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas

kejahatan

b. Yang menyuruh melakukan (doenpleger), adalah orang yang melakukan

perbuatan dengan perantara orang lain, sedang perantara itu hanya

digunakan sebagai alat.

29

c. Yang turut serta (medepleger), adalah orang yang sengaja turut berbuat atau

turut mengerjakan sesuatu, oleh karena itu kwalitas masing-masing peserta

tindak pidana tidak sama.

d. Penganjur (uitlokker), adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk

melakuka suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang

ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau

menjajikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan,

ancaman, atau penyesatan, dengan member kesempatan, sarana, atau

keterangan (Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP).

2. Pembantu / Medeplichtige (Pasal 56 KUHP) yang terdiri dari pembantu pada

saat kejahatan dilakukan dan pembantu sebelum kejahatan dilakukan.

D. Putusan Hakim

Putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan

dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan

(M.Yahya Harahap, 2000:236). Dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP disebutkan

bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang

pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-

undang ini.

Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang

diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut, proses penjatuhan putusan yang

dilakukan oleh seorang hakim merupakan suatu proses yang komplek dan sulit,

sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan.

30

Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus meyakini apakah

seorang terdakwa melakukan tindak pidana atau tidak, atau dalam perkara perdata

apakah ada sengketa hukum yang terjadi di antara pihak penggugat dan tergugat,

dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari

perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku tindak pidana, atau untuk

menentukan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak

yang berperkara, yaitu apakah pihak penggugat atau tergugat yang melakukannya.

Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan

menjatuhkan keputusan yang dinamakan dengan putusan hakim, yang diucapkan

dalam sidang pengadilan yang terbukan untuk umum yang bertujuan untuk

mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara.

Proses penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana menurut Moelyatno

dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu :

a. Tahap menganalisis perbuatan pidana ;

b. Tahap menganalisis tanggung jawab pidana ;

c. Tahap penentuan pemidanaan ( Ahmad Rifa’I, 2010:96 ).

Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 48 tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:

(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga

memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan

atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

31

(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang

memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.

Sesudah putusan pemidanan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahu

kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :

1) Hak segera menerima atau segera menolak putusan (Pasal 196 ayat (3) huruf a

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

2) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak

putusan, dalam tenggang waktu yang telah ditentukan yaitu tujuh hari sesudah

putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang

tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) huruf b jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana).

3) Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang

ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mangajukan grasi, dalam hal ia

menerima putusan (Pasal 196 ayat (3) huruf c Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana).

4) Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan

dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak

hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana ,Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana.

5) Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a

(menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa selama

32

perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding

dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan

banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3) Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP dijelaskan tentang adanya formalitas yang

harus dipenuhi dalam pembuatan surat putusan pemidanaan, yang jika tidak

terpenuhi maka keputusan tersebut dapat mengakibatkan batal demi hukum.

Ketentuan tersebut adalah :

a. Kepala putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA” ;

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan terdakwa ;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan ;

d. Pertimbangan yang disususn secara ringkas mengenai fakta dan keadaan

beserta alat pembuktiana yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang

menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa ;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan ;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan

disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan ;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara

diperiksa oleh hakim tunggal ;

33

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam

rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan

yang dijatuhkan ;

i. Ketentuan kepada barang siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan

jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti ;

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana

letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu ;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan ;

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus,

dan nama panitera.

[Type a quote from the

document or the summary of

an interesting point. You can

position the text box anywhere

in the document. Use the Text

Box Tools tab to change the

formatting of the pull quote

text box.]

34

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penulisan ini menggunakan

pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan normatif

dilakukan dengan mempelajari, melihat, dan menelaah mengenai beberapa hal

yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berkenaan dengan

permasalahan yaitu mengenai analisis yuridis terhadap perbarengan tindak pidana

dalam rangka penyertaan tindak pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri

Tanjung Karang Nomor 562/PID.B/2010/PN.TK).

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan masalah dengan menelaah hukum

dalam kenyataan baik berupa penilaian, pendapat, sikap yang dimaksudkan untuk

memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan

objek yang sedang diteliti, digunakan metode wawancara dengan hakim, dan jaksa

yang menangani perkara tindak pidana Nomor : 562/PID.B/2010/PN.TK,

disamping itu juga pendapat Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung dan

penasihat hukum, semuanya berfungsi sebagai pembantu dalam menganalisis

skripsi ini. Jenis dan sifat penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian

yang bersifat analisis.

[Type a quote from

the document or the

summary of an

interesting point. You

can position the text

box anywhere in the

document. Use the

Text Box Tools tab to

change the formatting

of the pull quote text

box.]

[Type a quote from the

document or the summary

of an interesting point.

You can position the text

box anywhere in the

document. Use the Text

Box Tools tab to change

the formatting of the pull

quote text box.]

35

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini, yaitu data

primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pemberi data atau orang

yang berhubungan langsung dengan objek penelitian dilapangan dengan

mengadakan wawancara langsung kepada hakim dan jaksa yang menangani

perkara pidana Nomor : 562/PID.B/2010/PN.TK serta Dosen Hukum Pidana

Universitas Lampung dan penasihat hukum.

2. Data sekundar adalah data yang diperoleh dari data kepustakaan yang terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum

yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari :

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer seperti literatur-literatur, makalah-makalah,

putusan pengadilan negeri tanjung karang nomor 562/PID.B/2010/PN.TK,

dan lain-lain yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang sedang

diteliti.

36

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu

meliputi kamus ensiklopedia, literatur-literatur.

C. Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian (Burhan

Ashshofa, 2001 : 79). Dalam skripsi ini yang dijadikan populasi adalah pihak-

pihak yang berkaitan langsung dengan penerapan pidana terhadap pelaku

perbarengan tindak pidana pembunuhan dalam rangka penyertaan.

Untuk menentukan sampel dari populasi yang akan diteliti, digunakan metode

purposive sampling yaitu dalam menentukan sampel disesuaikan dengan tujuan

yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi. Sampel yang

dijadikan responden adalah 1 (satu) orang orang hakim, 1 (satu) orang jaksa, 1

(satu) orang dosen, serta 1 orang penasihat hukum.

Responden dalam penulisan ini sebanyak 4 (lima) orang, yaitu :

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang

2. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang

3. Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung : 1 Orang

4. Penasihat Hukum Pada Kantor Hukum Kadri Husin dan Rekan : 1 Orang

Jumlah : 4 Orang

37

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, penulis

menggunakan prosedur studi lapangan dan studi kepustakaan.

a. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Studi kepustakaan

dilakukan dengan cara membaca, mengutip hal-hal yang dianggap penting dan

perlu dari beberapa peraturan perundang-undangan, literatur, dan bahan-bahan

tertulis lainnya yang berkaitan dengan materi pembahasan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Studi lapangan

dilakukan dengan cara mengadakan wawancara (interview) dengan responden.

Wawancara dilakukan secara langsung dengan mengadakan tanya jawab secara

terbuka dan mendalam untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang utuh

sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapan. Metode wawancara

yang digunakan adalah standarisasi interview dimana hal-hal yang akan

dipertanyakan telah disiapkan terlebih dahulu (wawancara terbuka). Studi

lapangan dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang.

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data yang kemudian diproses

melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

38

a. Evaluasi, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakan masih

terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan, serta apakah data

tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya

masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.

c. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap

pokok bahasan sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian dilakukan

analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif dilakukan dengan cara

menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-

kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang

jelas tentang masalah yang akan diteliti, sehingga ditarik suatu kesimpulan dengan

berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu suatu cara berfikir dalam

mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang

bersifat khusus guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.

39

VI. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Penulis melakukan penelitian menggunakan studi wawancara terhadap sejumlah

responden, untuk mengutahui gambaran objektif dari diri responden maka

dikemukakan terlebih dahulu karakteristik responden yaitu 1 (satu) orang hakim

pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, 1 (satu) orang Jaksa pada Kejaksaan

Negeri Bandar Lampung, 1 (satu) orang Penasihat Hukum pada kantor Hukum

Kadri Husin dan Rekan dan 1 (satu) orang Dosen Hukum Universitas Lampung.

1. Nama : Sri Widyastuti, SH

Jenis Kelamin : Perempuan

NIP : 040053567

Pangkat / Golongan : Hakim/IVb

Jabatan : Hakim

Instansi : Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang

2. Nama : Eka Aftriani, S.H.

Jenis Kelamin : Perempuan

NIP : 197904072002122005

Pangkat / Golongan : Jaksa Pratama / IIIC

Jabatan : Jaksa

Instansi : Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

3. Nama : Rinaldy Amrullah, S.H.,M.H

Jenis Kelamin : Laki-laki

NIP : 198011182008011008

Pangkat / Golongan : Penata Muda Tk I / IIIb

Jabatan : Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung

Instansi : Universitas Lampung

[Type a quote from the

document or the summary of

an interesting point. You can

position the text box anywhere

in the document. Use the Text

Box Tools tab to change the

formatting of the pull quote

text box.]

40

4. Nama : Ngadimin, S.H

Jenis Kelamin : Laki-laki

Jabatan : Advokat

B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor

562/PID.B/2010/PN.TK

Penulisan skripsi ini yang penulis jadikan sebagai bahan penelitian yaitu putusan

hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 562/PID.B/2010/PN.TK

adapun gambaran umum dari perkara tersebut yaitu :

1. Identitas Terdakwa.

Nama : Kasyono alias Masno alias No Bin Komorejo

Tempat lahir : Kediri, Jawa Timur

Umur / Tanggal lahir : 45 tahun / 25 September 1965

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kebangsaan : Indonesia

Tempat Tinggal : Jl. Teluk Semangka III Kp. Slirit Cikaung Kec. Panjang

Selatan Bandar Lampung

Agama : Islam

Pekerjaan : Buruh

2. Tentang duduk perkara.

Bahwa terdakwa pada hari selasa 22 Februari 2005 telah dengan sengaja

melakukan pembunuhan yang didahului oleh suatu perbuatan pidana yang

dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah

pelaksanaannya untuk memastikan penguasaan barang yang diperoleh secara

melawan hukum. Adapun kronologis sebagai mana yang ada dalam surat dakwaan

Jaksa Penuntut Umum adalah sebagai berikut :

Pada awalnya hubungan antara saksi Bihman Sanusi dengan istrinya yang

bernama Hartati Saheh (korban) kurang harmonis karena saksi Bihman

Sanusi disangka oleh korban telah berselingkuh dengan wanita lain.

41

Selanjutnya beberapa hari sebelum hari selasa 22 Februari 2005 (peristiwa

pembunuhan) terdakwa diminta oleh korban Hartati Saheh agar datang

kerumah korban di Jl. MH Thamrin No. 54 Kel Gotong Royong Kec.

Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung dan setelah itu terdakwa datang

kerumah korban lalu korban menyuruh terdakwa untuk mencari tahu siapa

pacar saksi Bihman Sanusi (suami korban) dan jika ketemu, korban

meminta kepada terdakwa agar pacar suami korban disakiti atau dibunuh

dengan mengiming-imingi uang sebesar Rp.1.500.000 (satu juta lima ratus

ribu rupiah), kemudian perintah korban tersebut oleh terdakwa

diberitahukan kepada saksi Bihman Sanusi (suami korban) melalui

telepon, dan setelah mendengar pemberitahuan terdakwa tersebut, saksi

Bihman Sanusi marah dan berbalik menyuruh terdakwa dengan kata-kata

“kamu jangan banyak omong,kalau kamu mau uang Rp 10.000.000

(sepuluh juta rupiah) lebih ambil dilaci lemari kamar dan kamu abisin

orangnya”.

Setelah mendapat perintah dan iming-iming uang dari saksi Bihman

Sanusi tersebut, maka terdakwa menjadi tergiur dan selanjutnya pada hari

selasa 22 Februari 2005 terdakwa mendapat telepon dari korban dan

meminta agar terdakwa datang kerumah korban dengan maksud untuk

menanyakan mengenai informasi tentang suami korban, dan pada saat

itulah terfikir oleh terdakwa bahwa inilah kesempatan yang tepat untuk

menghabisi korban sesuai perintah saksi Bihman Sanusi.

Kemudian terdakwa pergi kerumah korban dengan naik angkot dan

sesampainya dirumah korban, terdakwa diminta korban untuk memijit

kakinya dengan posisi korban duduk dikursi sedangkan terdakwa duduk

dilantai, kemudian korban mengeluarkan uang dari saku bajunya dan

diletakkan diatas meja yang menurut korban jumlahnya Rp.1.500.000

(satu juta lima ratus ribu rupiah) kemudian korban meminta agar terdakwa

memijit bahunya dan ketika sambil memijit bahu korban, terdakwa

memanfaatkan kesempatan untuk melaksanakan perintah suami korban,

yaitu menghabisi nyawa korban.

Terlihat oleh terdakwa sebuah palu yang terletak didalam kaleng yang ada

didekat korban, kemudian palu tersebut terdakwa ambil dan digunakan

terdakwa untuk memukul bagian tengkuk atau leher belakang korban

sebanyak dua kali hingga korban tersungkur dilantai dan mengeluarkan

darah dari mulutnya, lalu terdakwa menyeret korban kebelakang sampai

dekat sumur, lalu terdakwa mengambil tali timba yang tergantung disumur

dan melilitkannya ke leher dan badan korban, kemudian terdakwa

mendorong korban hingga jatuh kedalam sumur.

Selanjutnya terdakwa mengambil uang yang diletakkan diatas meja oleh

korban sebanyak Rp 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan

kemudian masuk kedalam kamar korban dengan membawa linggis yang

diperoleh diruang tengah, untuk mencongkel lemari guna mengambil uang

yang diberitahu oleh saksi Bihman Sanusi, setelah berhasil membuka

42

lemari dan mengambil uang sebesar Rp18.000.000 (delapan belas juta

rupiah),kemudian terdakwa menghitung uang yang diperolehnya sejumlah

Rp.19.500.000 (sembilan belas juta lima ratus ribu rupiah) dan pergi

kerumah pacar terdakwa, dan mengajak pacar terdakwa pergi ke jawa.

Menurut Eka Aftriani dalam wawancara dengan penulis menyatakan bahwa,

dalam perkara register 562/PID.B/2010/PN.TK terdakwa didakwa dengan bentuk

dakwaan alternatif , artinya dalam surat dakwaan terdapat beberapa dakwaan yang

disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat

mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya, bentuk dakwaan ini digunakan bila

belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat

dibuktikan. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan tetapi hanya satu saja

yang akan dibuktikan, pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berusut

sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung pada dakwaan yang dipandang terbukti,

apabila salah satu dakwaan telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya

tidak perlu dibuktikan.

Pada tanggal 12 Agustus 2010, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung

Karang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Kasyono alias Masno alias No Bin

Komorejo dengan pidana penjara selama 16 tahun.

C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap

Pelaku Perbarengan Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Rangka

Penyertaan

Hakim adalah salah satu aparat yang berwenang dalam upaya penegakan hukum

terhadap pelaku tindak pidana. Pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 48 tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa semua peradilan diseluruh

wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan

undang-undang serta menerapkan dan menegakkan hukum serta keadilan

43

berdasarkan Pancasila dan peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa” juga diselenggarakan dengan sederhana, cepat, dan

biaya ringan.

Pada dasarnya pelaksanaan tugas dan tanggung jawab hakim dilakukan dalam

rangka menegakkan kebenaran dan keadilan, dengan berpegang pada hukum,

undang-undang, dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, dalam diri hakim

diemban amanah agar peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan

adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan

ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan dan mengenyampingkan

hukum atau peraturan perundang-undangan. Hukum yang baik adalah hukum

yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang tentunya

merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam mengadili suatu perkara, hakim berusaha menegakkan kembali hukum

yang telah dilanggar, disamping itu dalam menegakkan hukum, hakim

melaksanakan hukum yang berlaku dengan dukungan rasa keadilan yang ada

padanya dan keadilan yang ada dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan

bahwa hakim adalah penegak hukum (J Pajar Widodo, 2010:2).

Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri kelas IA Tanjung Karang, Sri

Widyastuti mengatakan bahwa, proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh

hakim dalam perkara pidana dilakukan beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut.

44

1. Tahap menganalisis perbuatan pidana

Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana

atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan

sebagaimana tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana, jika perbuatan

terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam suatu pasal hukum pidana maka

terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan

kepadanya.

2. Tahap menganalisis tanggung jawab pidana

Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana

melanggar suatu Pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat

dinyatakan bertanggujawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya, pada

saat menyelidiki apakah terdakwa dapat melakukan pertanggungjawaban

terhadap perbuatannya, yang dipandang primer adalah orang itu sendiri.

Dapat dipidananya seseorang harus memenuhi dua syarat, yaitu perbuatan yang

bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan perbuatan yang

dilakukan tersebut dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan.

3. Tahap penentuan pemidanaan

Dalam hal ini jika hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan

perbuatan melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas perbuatannya

itu dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku, maka hakim akan menjatuhkan

pidana terhadap pelaku tersebut dengan melihat Pasal dalam Undang-undang

yang dilanggar oleh pelaku tersebut.

45

Sri Widyastuti juga menambahkan bahwa dalam menggali perkara yang

dihadapinya maka hakim akan :

1. Dalam kasus yang hukumannya sudah jelas, maka hakim tinggal menerapkan

hukumnya saja.

2. Dalam kasus yang hukumnya tidak ada atau belum jelas, maka hakim akan

menafsirkan hukum atau undang-undang melalui cara-cara penafsiran yang

lazim digunakan dalam ilmu hukum.

3. Dalam kasus dimana terjadi pelanggaran atau penerapan hukum yang

bertentangan dengan hukum atau undang-undang yang berlaku, maka hakim

akan menggunakan hak mengujinya (judicial review).

4. Dalam kasus yang belum ada undang-undangnya maka hakim harus

menemukan hukumnya dengan mengadili dan mengikuti nilai-nilai hukum

yang hidup dalam masyarakat.

Menurut analisa penulis, hakim dalam menjatuhkan putusan lebih cenderung

memperhatikan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana,

disamping itu hakim juga akan melihat hal yang berkaitan dengan keadaan

psikologi pelaku tindak pidana pada saat melakukan tindak pidana, hal ini

dilakukan hakim karena pada dasarnya dalam menjatuhkan pidana tidak serta

merta berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang dilanggar oleh

pelaku tindak pidana, tetapi hakim juga mempunyai suatu keyakinan dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana.

46

Hakim dalam memutus suatu perkara mempunyai dasar pertimbangan melalui

proses pemikiran untuk kemudian memberikan keputusan mengenai hal-hal yang

bersifat yuridis maupun yang bersifat non yuridis, sebagi berikut :

1. Hal-hal yang bersifat yuridis :

a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum;

b. Keterangan terdakwa dan saksi;

c. Barang bukti yang ditunjukkan dalam persidangan;

d. Pasal-pasal yang terdapat didalan hukum pidana.

2. Hal-hal yang bersifat non yuridis :

a. Latar belakang perbuatan terdakwa;

b. Akibat perbuatan terdakwa;

c. Kondisi diri terdakwa;

d. Keadaan sosial ekonomi terdakwa;

e. Fator agama dari terdakwa ( Rusli Muhammad, 2007 : 212 ).

Dalam hal terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan penuntut umum, maka

terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang

dilakukan, sebagai mana diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.

Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai badan tertinggi pelaksana

kekuasaan kehakiman yang membawahi empat badan peradilan dibawahnya, yaitu

Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha

Negara, telah menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala

47

aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin

dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah

keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan

masyarakat ( Ahmad Rifa’i, 2010 : 126 ).

Berdasarkan putusan pengadilan dengan nomor register perkara

562/PID.B/2010/PN.TK, diketahui bahwa telah terjadi suatu peristiwa pidana

yakni tindak pidana pembunuhan yang didahului dengan suatu perbuatan pidana

yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah

pelaksanaannya, untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara

melawan hukum. Untuk merumuskan unsur-unsur pidana tersebut sesuai dengan

dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun dengan bentuk dakwaan alternatif

Pertama melanggar Pasal 339 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu :

a. Unsur Barang Siapa ;

b. Unsur Telah Sengaja Melakukan Pembunuhan ;

c. Unsur yang disertai oleh suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan

maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya untuk

memastikan penguasaan barang yang diperoleh secara melawan hukum.

Dalam perkara tersebut diatas maka majelis hakim Pengadilan Negeri Kelas IA

Tanjung Karang yang memeriksa dan mengadilinya berkesimpulan bahwa seluruh

unsur Pasal 339 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang didakwakan oleh

Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi dan oleh karena itu hakim telah

memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa, telah terbukti secara sah dan

48

meyakinkan dan selanjutnya menjatuhkan putusan berupa pidana penjara

selama16 (enam belas) tahun.

Adapun pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap

pelaku tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut :

a. Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa,

visum et repertum nomor 353/1602/5.2/III/2010 tanggal 12 Maret atas nama

Hartati Saheh, barang bukti serta fakta-fakta hukum lainnya yang terungkap di

persidangan, maka majelis hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dakwaan

Jaksa Penuntut Umum yakni Pasal 339 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP

untuk perkara nomor 562/PID.B/2010/PN.TK atas nama Kasyono alias Masno

alias No Bin Komorejo telah terbukti sah dan meyakinkan.

b. Menimbang bahwa selain fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, terdakwa

melakukan pembunuhan terhadap korban karena bujukan dan janji dengan

imbalan berupa uang dari saksi Bihman Sanusi.

c. Menimbang, bahwa terdakwa mengambil uang yang ada didalam laci lemari

maupun yang ada disaku daster korban adalah tanpa seijin dari korban Hartati

Saheh, selain itu terdakwa mengetahui bila dilemari ada uang adalah atas

pemberitahuan saksi Bihman Sanusi.

d. Menimbang, bahwa selama proses persidangan terdakwa Kasyono alias Masno

alias No Bin Komorejo sehat jasmani dan akalnya serta mampu menjawab

seluruh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan majelis hakim dan penuntut

umum, dan selam persidangan berlangsung tidak ditemukan adanya alasan

pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan

49

pertanggungjawaban pidana Kasyono alias Masno alias No Bin Komorejo

harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana yang setimpal dengan

perbuatannya.

Secara garis besar, uraian pertimbangan hukum oleh hakim diatas adalah :

1. Uraian putusan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut

mendasar pada terpenuhinya atau tidak terpenuhinya seluruh unsur yang

didakwakan oleh jaksa penuntut umum, setelah itu akan ditentukan apakah

perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut adalah pelanggaran hukum

atau bukan merupakan pelanggaran hukum.

2. Setelah diketahui bahwa perbuatan tersebut melanggar hukum, maka

selanjutnya hakim akan menentukan kemampuan terdakwa dalam

mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.

3. Jenis pidana yang dijatuhkan mempertimbangkan :

a. Tingkat kesalahan yang telah dilakukan.

b. Pengaruh tindak pidana yang telah dilakukan terhadap korban dan

masyarakat.

c. Ancaman terhadap Pasal yang didakwakan.

d. Hal yang meringankan dan hal yang memberatkan.

e. Fakta-fakta yang terungkap dipersidangan.

4. Lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, yaitu pidana penjara selama

16 tahun disesuaikan dengan tingkat kesalahan terdakwa, motivasi terdakwa

dalam melakukan tindak pidana tersebut, sikap batin terdakwa, serta fakta

hukum lainnya yang terungkap dipersidangan dan juga mempertimbangkan

hal-hal yang meringankan atau yang memberatkan bagi terdakwa.

50

Menurut Ngadimin dalam wawancara dengan penulis menyatakan bahwa hakim

dalam menjatuhkan putusannya lebih banyak mempertimbangkan dengan

menggunakan hati nurani dan menggunakan keyakinan hakim yang berdasarkan

pada peristiwa atau keadaan terdakwa.

Dalam kasus ini majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa terjadi

karena faktor ekonomi yang memotivasi terdakwa dalam melakukan tindak pidana

pembunuhan tersebut, hal ini dapat diketahui bahwa terdakwa melakukan

pembunuhan terhadap korban karena tergiur pada bujukan dan janji suami korban

yang akan memberikan sejumlah uang kepada terdakwa, sehingga majelis hakim

menjatuhkan pidana :

1. Menyatakan terdakwa Kasyono alias Masno alias No Bin Komorejo telah

terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan

yang didahului dengan suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan maksud

untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, untuk memastikan

penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum” ;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Kasyono alias Masno alias No Bin

Komorejo dengan pidana penjara selama 16 (enam belas) tahun ;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan ;

4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan ;

5. Menyatakan barang bukti berupa palu besi bergagang besi, tali timba yang

terbuat dari karet ban mobil, foto buffet, difan dan lemari terbuat dari

51

kayu/papan dipergunakan untuk pembuktian dalam perkara lain atas nama

terdakwa Bihman Sanusi ;

6. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 2000

(dua ribu rupiah).

Dalam wawancara yang dilakukan penulis, Eka Aftriani menyatakan bahwa

pemidanaan bertujuan untuk :

1. Mencegah agar orang tidak lagi melakukan tindak pidana dengan menegakkan

norma hukum.

2. Memasyarakatkan narapidana dengan cara pembinaan sehingga menjadikan

narapidana tersebut menjadi orang yang lebih baik.

3. Menyelesaikan konflik yang timbul akibat adanya suatu tindak pidana.

4. membebaskan rasa bersalah pada narapidana karena telah menjalani hukuman.

Rinaldy Amrullah menyatakan bahwa tujuan pemidanaan dimaksudkan bukan

dalam arti untuk pembalasan yang menimbulkan penderitaan dan merendahkan

martabat manusia, tetapi bertujuan untuk mendidik, memperbaiki pelaku atas

perbuatan yang merugikan orang lain, membuat efek jera kepada para pelaku

tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatannya lagi dan menjadikan mereka

pribadi yang lebih baik bagi masyarakat luas.

Menurut analisa penulis, tujuan pemidanaan pada dasarnya sebagai alat untuk

memberikan pemahaman kepada pelaku tindak pidana, sekaligus kepada

masyarakat bahwa apabila seseorang melanggar ketentuan perundang-undangan

maka akan dikenakan sanksi pidana.

52

Setelah mencermati dan mempelajari isi dari putusan hakim, juga penelitian yang

dilakukan di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, dapat diketahui bahwa

hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa dalam perkara nomor

562/PID.B/2010/PN.TK secara garis besar mempertimbangkan hal-hal sebagai

berikut :

1. Hal-hal yang bersifat yuridis.

a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Setelah jalannya persidangan, hal-hal yang didakwakan oleh Penuntut Umum

telah terbukti, terdakwa terbukti melakukan pembunuhan terhadap korban

yakni Hartati Saheh dengan latar belakang pembunuhan tersebut dilakukan

atas bujukan dan janji suami korban, yakni Bihman Sanusi yang akan

memberikan sejumlah uang kepada terdakwa dan memerintahkan terdakwa

megambil uang tersebut di laci lemari kamar dengan syarat membunuh

korban terlebih dahulu.

b) Keterangan terdakwa dan saksi

Setelah mendengar keterangan dari terdakwa dan empat orang saksi, didapat

keterangan bahwa para saksi mencurigai terdakwa adalah pelaku

pembunuhan terhadap korban, dikarenakan pada saat pemakaman korban,

terdakwa tidak hadir melayat padahal hubungan antara terdakwa dengan

keluarga korban sangat dekat, ditambah lagi dengan pengakuan terdakwa

yang menyatakan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan atas dasar perintah

dari saksi Bihman Sanusi yang mengatakan akan memberi uang sebesar Rp

10.000.000 (sepuluh juta rupiah) lebih dengan syarat membunuh korban

terlebih dahulu, disamping itu terdakwa juga mengakui semua perbuatannya

53

dan membenarkan apa yang telah dijelaskan oleh para saksi. Berdasarkan

keterangan saksi dan terdakwa jika dihubungkan, maka satu sama lainnya

akan saling berkaitan dan saling melengkapi.

c. Barang bukti yang ditujukan dalam persidangan

Setelah jalannya persidangan didapat barang bukti berupa palu besi

bergagang besi, tali timba yang terbuat dari karet ban mobil, foto buffet, difan

dan lemari terbuat dari kayu/papan. Barang bukti tersebut telah disita secara

sah menurut hukum dan setelah diperlihatkan kepada saksi-saksi dan

terdakwa mereka membenarkan barang bukti tersebut.

Disamping itu didapat keterangan yang sama antara saksi dan terdakwa yang

mengakui tentang adanya perbuatan tindak pidana pembunuhan, oleh karena

itu hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa kareana telah

terpenuhinya adanya minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal

183 KUHAP.

2. Hal-hal yang bersifat non yuridis.

a) Latar belakang perbuatan terdakwa

Menurut penulis, setelah mencermati kronologis tindak pidana ini diketahui

bahwa latar belakang terdakwa melakukan tindak pidana pembunuhan adalah

karena motif ekonomi hal ini dapat diketahui bahwa terdakwa melakukan

pembunuhan terhadap korban atas dasar bujukan dan imbalan uang dengan

jumlah Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) lebih yang dijanjikan suami

korban kepada terdakwa dengan syarat, terdakwa harus membunuh korban

terlebih dahulu sebelum mengambil uang yang dijanjikan kepada terdakwa.

54

b) Akibat perbuatan terdakwa

Tindak pidana pembunuhan merupakan salah satu kejahatan yang paling keji

karena menyangkut hak hidup manusia, disamping itu pembunuhan juga dapat

mengakibatkan dampak negatif bagi keluarga korban.

3. Hal-hal yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa.

a) Hal-hal yang memberatkan yaitu : perbuatan terdakwa telah mengakibatkan

korban meninggal dunia, terdakwa sempat melarikan diri, terdakwa telah

menikmati hasil kejahatannya.

b) Hal-hal yang meringankan yaitu : terdakwa mengakui terus terang dan

menyesali perbuatannya.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dalam perkara nomor

562/PID.B/2010/PN.TK majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 16

(enam belas) tahun terhadap terdakwa dan dinyatakan melanggar Pasal 339

KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Menurut hemat penulis, dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa

sebagaimana dimaksud dalam perkara nomor 562/PID.B/2010/PN.TK hakim

lebih cenderung berlandaskan pada hati nurani dan rasa keadilan yang terdapat

dalam diri hakim, disamping itu hakim juga mempertimbangkan segala aspek

yang berkaitan dengan pokok perkara, seperti aspek kemanusiaan, kepastian

hukum, penegakan hukum, dan pendidikan bagi terdakwa. Dalam menjatuhkan

pidana terhadap terdakwa hakim memiliki dasar peraturan perundang-undangan

sebagai alasan pembenar bahwa terdakwa telah melanggar peraturan perundang-

undangan, disamping itu dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, hakim

55

mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum yang bertujuan untuk

menegakkan kepastian hukum dan meberikan keadilan.

Hal tersebut sejalan dengan teori penjatuhan pidana yakni teori ratio decidendi

yaitu teori yang didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

relevan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan

pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam proses penjatuhan

putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas

untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang

berperkara.

D. Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku Perbarengan Tindak Pidana

Pembunuhan Dalam Rangka Penyertaan

Pada dasarnya pidana merupakan suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau

diberikan oleh negara kepada seorang atau beberapa orang sebagai sanksi baginya

atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. KUHP sebagai

sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana sebagaimana

dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok

yaitu :

1. Pidana pokok, terdiri dari :

a) Pidana mati ;

b) Pidana penjara ;

c) Pidana kurungan ;

d) Pidana denda ;

56

e) Pidana tutupan.

2. Pidana tambahan, terdiri dari :

a) Pidana pencabutan hak tertentu ;

b) Pidana perampasan barang-barang tertentu ;

c) Pidana pengumuman keputusan hakim.

Secara objektif, hukum pidana berisi tentang berbagai macam perbuatan yang

dilarang, yang terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana

kepada barang siapa yang melakukannya, sanksi pidana yang telah ditetapkan

dalam undang-undang tersebut kemudian oleh negara dijatuhkan dan dijalankan

kepada pelaku yang melanggar keterntuan undang-undang tersebut.

Terdapat beberapa macam teori pemidanaan, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Teori absolut

Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan, inilah dasar pembenar dari

penjatuhan penderitaan berupa pidana kepada penjahat, negara berhak

menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan

perkosaan hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi ;

2. Teori relatif

Teori ini berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk

menegakkan hukum dlam masyarakat, tujuan pidana dalam teori ini adalah tata

tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana ;

57

3. Teori gabungan

Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata

tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan tersebut menjadi dasar dari

penjatuhan pidana (Adami Chazawi, 2007:157).

Berdasarkan wawancara dan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap

perkara dengan nomor register 562/PID.B/2010/PN.TK, dalam perkara tersebut

terdakwa melanggar Pasal 339 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang

diketahui bahwa terdakwa melakukan tindak pidana pembunuhan yang diikuti

dengan delik lain yakni pencurian, disamping itu perbuatan yang dilakukan

terdakwa merupakan bujukan orang lain dengan janji akan memberikan uang

kepada terdakwa apabila terdakwa melakukan pembunuhan tersebut, yang dalam

hal ini terdakwa telah melakukan perbarengan tindak pidana dalam rangka

penyertaan.

Menurut Rinaldy Amrullah, apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan,

perbuatan-perbuatan tersebut berdiri sendiri dan masing-masing merupakan

pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan dan atau

pelanggaran, yang diantaranya belum ada yang dijatuhan hukuman oleh

pengadilan dan aka diadili sekaligus oleh pengadilan, maka perbarengan tindak

pidana tersebut dikenal dengan istilah perbarengan perbuatan atau concursus

realis.

Ketentuan mengenai perbarengan perbuatan atau concursus realis diatur dalam

KUHP yang dirumuska dalam Pasal 65, 66, 70, dan 70 bis.

58

Pasal 65 KUHP :

(1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai

perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang

diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu

pidana.

(2) Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana

yang diancamkan terhadap perbuatan itu, namun tidak boleh melebihi

maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.

Pasal 66 KUHP :

(1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang masing-masing harus

dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan

beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis,

maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan tetapi jumlahnya tidak boleh

melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.

(2) Pidana denda dalam hal ini dihitung menurut lamanya maksimum pidana

kurungan pengganti yang ditentukan untuk perbuatan tersebut.

Pasal 70 KUHP :

(1) Jika ada gabungan seperti yang dimaksud dalam Pasasl 65, dan 66, baik

gabungan pelanggaran dengan kejahatan, maupun pelanggaran dengan

pelanggaran, maka untuk tiap-tiap pelanggaran dijatuhkan pidan sendiri-

sendiri tanpa dikurangi.

59

(2) Mengenai pelanggaran, jumlah lamanya pidana kurungan dan pidana

kurungan pengganti paling banyak satu tahun empat bulan, sedangkan jumlah

lamanya pidana kurungan pengganti,paling banyak delapan bulan.

Pasal 70 bis :

Ketika menerapkan Pasal-pasal 65, 66, dan 70, kejahatan-kejahatan berdasarkan

Pasal-pasal 302 ayat (1), 352, 364, 373, 379, dan 482 dianggap sebagai

pelanggaran dengan pengertian, jika dijatuhkan pidan-pidana penjara atas

kejahatan-kejahatan itu jumlahnya paling banyak delapan bulan.

Berdasarkan hasil wawancara dan analisis yang dilakukan oleh penulis, bahwa

sistem pemidanaan yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri Kelas IA

Tanjung Karang terhadap perkara dengan nomor register 562/PID.B/2010/PN.TK

mengaju pada Pasal 65 KUHP karena dalam hal tindak pidana yang terjadi pada

putusan pengadilan dengan nomor register 562/PID.B/2010/PN.TK merupakan

tindak pidana yang ancaman pidananya sejenis, artinya kedua tindak pidana yang

dilakukan dalam waktu yang tidak terlampau lama tersebut sama-sama merupakan

kejahatan.

Menurut Sri Widyastuti, sistem pemberian pidana dalam perbarengan perbuatan

apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya

dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak

boleh melebihi dari maksimum terberat, ditambah sepertiga.

Berdasarkan hasil wawancara dan analisis yang dilakukan penulis, dalam hal

penjatuhan pidana terhadap terdakwa, hakim mempunyai suatu pertimbangan dan

60

keyakinan, akan tetapi kedua hal tersebut harus diimbangi dan tetap mengacu

pada ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal yang didakwakan kepada

terdakwa, disamping itu hakim juga harus menganut sistem yang diatur dalam

undang-undang mengenai berapa lama pidana yang diterima oleh terdakwa.

Sistem penjatuhan pidana pada perbarengan perbuatan dibedakan menurut

macamnya perbarengan perbuatan, mengenai perbarengan perbuatan undang-

undang membedakan menjadi empat macam, yaitu :

1. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yan masing-

masing diancam dengan pidana pokok yang sama jenisnya (Pasal 65 KUHP),

penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem absorbsi yang dipertajam

yaitu dijatuhi satu pidana saja dan maksimum pidana yang dijatuhkan itu ialah

jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana itu, tetapi

boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat di tambah sepertiga;

2. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang dancam

dengan pidana pokok yang tidak sama jenisnya (Pasal 66 KUHP), penjatuhan

pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi terbatas, artinya masing-

masing kejahatan itu diterapkan yakni pada si pembuatnya dijatuhi pidana

sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dibuatnya, tetapi

jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana yang terberat

ditambah sepertiganya, apabila kejahatan yang satu diancam dengan pidana

denda sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana hilang kemerdekaan

(penjara atau kurungan), maka untuk pidana denda dihitung dari lamanya

kurungan pengganti denda;

61

3. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari kejahatan dengan pelanggaran,

penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi murni;

4. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari pelanggaran dengan pelanggaran,

menggunakan sistem kumulasi murni, artinya semua kejahatan maupun

pelanggaran itu diterapkan sendiri-sendiri dengan menjatuhkan pidana pada si

pembuat sesuai dengan ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran

itu tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan batas tertentu (Adami

Chazawi, 2007 : 142).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka diketahui bahwa

penjatuhan pidana dalam perkara nomor 562/PID.B/2010/PN.TK menggunakan

sistem absorbsi yang dipertajam yaitu dikenakan satu pidana dengan ketentuan

bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum pidana

yang terberat ditambah sepertiga, yang pada akhirnya hakim memutus perkara

tersebut dengan pidana penjara selama 16 tahun kepada terdakwa.

62

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasa yang telah diuraikan, maka dapat

dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku

perbarengan tindak pidana pembunuhan dalam rangka penyertaan sebagaimana

yang dimaksud dalam putusan hakim dengan nomor register perkara

562/PID.B/2010/PN.TK, mempertimbangkan tingkat kesalahan yang telah

dilakukan oleh terdakwa, pengaruh tindak pidana yang telah dilakukan

terhadap korban dan masyarakat, ancaman terhadap Pasal yang didakwakan,

hal yang meringankan dan hal yang memberatkan terdakwa, fakta-fakta yang

terungkap dipersidangan.

Berdasarkan dasar pertimbangan tersebut, dalam menjatuhkan pidana hakim

menggunakan teori ratio decidendi, yaitu teori yang didasarkan pada landasan

filsafat yang mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan

dengan pokok perkara yang relevan, kemudian mencari peraturan perundang-

undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai

dasar hukum dalam proses penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus

[Type a quote from the

document or the summary of

an interesting point. You can

position the text box anywhere

in the document. Use the Text

Box Tools tab to change the

formatting of the pull quote

text box.]

63

didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan

memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

2. Sistem pemidanaan terhadap pelaku perbarengan tindak pidana pembunuhan

dalam rangka penyertaan sebagaimana yang dimaksud dalam putusan hakim

dengan nomor register perkara 562/PID.B/2010/PN.TK menggunakan sistem

absorbsi yang dipertajam yang mengacu pada Pasal 65 KUHP :

(1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai

perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan

yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan

satu pidana.

(2) Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana

yang diancamkan terhadap perbuatan itu, namun tidak boleh melebihi

maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.

Secara garis besar diartikan bahwa apabila tindak pidana tersebut berupa

kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan

satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh

melebihi dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.

B. Saran

Dalam penjatuhan pidana terhadap perkara yang didalamnya terdapat unsur

perbarengan dan penyertaan jarang sekali majelis hakim menjatuhkan pidana

maksimum sebagaimana yang diancamkan dalam Pasal-pasal yang dilanggar oleh

terdakwa, pada dasarnya hakim menjatuhkan pidana menggunakan sistem

64

absorbsi yang dipertajam yaitu dalam perbarengan perbuatan apabila berupa

kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu

pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi

dari maksimum terberat, ditambah sepertiga. Sehingga dapat diartikan bahwa

sistem penjatuhan pidana dalam perbarengan tindak pidana tersebut meringankan

terdakwa dalam hal menerima hukuman. Maka penulis memberikan saran agar

dalam penjatuhan pidana tersebut diberikan pidana maksimum berdasarkan Pasal

yang dilanggar oleh terdakwa.