skripsi pidana
DESCRIPTION
putusan hakimTRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum dan tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka, sehingga dapat diartikan bahwa Indonesia
merupakan negara demokratis yang menjunjung tinggi hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Negara Indonesia saat ini sedang
melaksanakan pembangunan nasional yang dilaksanakan secara
berkesinambungan yang meliputi seluruh bidang kehidupan, maka masyarakat
Indonesia senantiasa mengalami perkembangan yang seiring dengan
perkembangan dan kemajuan jaman.
Sebagaimana kita ketahui masyarakat itu bersifat dinamis, yang senantiasa
berkembang dari waktu ke waktu, perkembangan ini membawa dampak atau
pengaruh yang luar biasa yang dapat dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat,
pada dasarnya perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala sosial yang
bersifat umum, perkembangan merupakan proses penyesuaian masyarakat
terhadap kemajuan jaman.
Pembangunan nasional merupakan proses modernisasi yang membawa dampak
positif dan dampak negatif, dampak positif yang timbul adalah semakin maju dan
[Type a quote from the
document or the summary of
an interesting point. You can
position the text box anywhere
in the document. Use the Text
Box Tools tab to change the
formatting of the pull quote
text box.]
2
makmur kondisi ekonomi, sosial maupun politik, sedangkan dampak negatif yang
timbul antara lain adanya kesenjangan dalam masyarakat, terutama kesenjangan
sosial yang dalam hal ini dapat menimbulkan rasa iri atau dengki yang
mengakibatkan adanya keinginan untuk memperkecil kesenjangan apabila dalam
usahanya ia tidak mampu untuk bersaing dalam menghadapi kesenjangan tersebut
maka orang akan cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang sekiranya dapat
menguntungkan orang tersebut meskipun disadari bahwa perbuatan yang
dilakukan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang.
Menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) perbuatan
pidana terbagi menjadi dua macam yaitu kejahatan dan pelanggaran, kejahatan
diatur dalam buku ke dua KUHP sedangkan pelanggaran diatur dalam buku ke
tiga KUHP. Pada dasarnya kedua macam tindak pidana tersebut masing-masing
mempunyai konsekwensi tersendiri yang tidak sama, akan tetapi pada
kenyataannya masih ditemukan adanya suatu perbuatan pelanggaran yang disertai
dengan pelanggaran lain atau perbuatan kejahatan yang disertai kejahatan lain
atau bahkan perbuatan kejahatan yang bersamaan dengan pelanggaran dan
sebaliknya, kejadian tersebut biasa disebut dengan perbarengan tindak pidana.
Perbarengan tindak pidana merupakan terjemahan dari concursus atau samenloop
van strafbaarfeit, yang selanjutnya dalam penulisan skripsi ini disebut dengan
perbarengan tindak pidana. Perbarengan tindak pidana yang menjadi sorotan
adalah perbarengan dua atau lebih tindak pidana yang dipertanggungjawabkan
kepada satu orang atau beberapa orang dalam rangka penyertaan, kejadiannya
sendiri dapat merupakan hanya satu tindakan saja, dua atau lebih tindakan atau
3
beberapa tindakan secara berlanjut, dalam hal dua atau lebih tindakan tersebut
masing-masing merupakan delik tersendiri dan dipersyaratkan bahwa salah satu
diantaranya belum pernah diadili.
Sebagai contoh kasus perbarengan tindak pidana dalam rangka penyertaan adalah
sebagai berikut :
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.562 / PID.B / 2010 /
PN.TK pada tanggal 12 Agustus 2010, majelis hakim telah memutus mengenai
perkara pembunuhan yang disertai dengan perbuatan pidana.
Kronologis kejadian tindak pidana tersebut bermula ketika korban memanggil
terdakwa datang kerumah korban untuk diminta pertolongan menyelidiki pacar
suami korban dengan memberikan imbalan sejumlah uang kepada terdakwa
sekaligus meminta terdakwa untuk menyakiti bahkan membunuh pacar suami
korban, karena pada saat itu suami korban disangka telah berselingkuh oleh
korban.
Setelah mendapat perintah dari korban, terdakwa memberi tahu kepada suami
korban mengenai hal tersebut yang kemudian suami korban marah dan berbalik
memerintah terdakwa untuk membunuh korban dengan imbalan uang yang
jumlahnya lebih besar dibandingkan uang pemberian korban dengan memberi
petunjuk bahwa uang yang dapat diambil terdakwa terletak didalam lemari kamar
korban, maka terdakwa tergiur untuk lebih menuruti perintah suami korban.
Sebelum terdakwa melakukakan pembunuhan terhadap korban, terdakwa terlebih
dahulu melakukan penganiayaan yang pada akhirnya mengakibatkan kematian,
4
setelah diketahui korban tidak bernyawa maka terdakwa mengambil sejumlah
uang yang terletak di dalam lemari kamar korban.
Akibat perbuatan terdakwa, korban meninggal dunia sebagaimana tersebut dalam
Visum Et Repertum Nomor 353/1602/5.2/III/2010 tanggal 12 Maret 2010 yang
dikeluarkan oleh RSUD Abdul Moeloek Bandar Lampung, atas perbuatan
tersebut, majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan nomor perkara
562/PID.B/2010/PN.TK, mengadili dan memutus terdakwa melanggar Pasal 339
KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan diputus oleh majelis hakim dengan
pidana penjara selama 16 tahun.
Kronologis tersebut di atas diketahui bahwa telah terjadi suatu tindak pidana yang
dibarengi dengan tindak pidana lain atau yang disebut dengan perbarengan tindak
pidana, yakni pelaku tindak pidana telah melakukan beberapa perbuatan yang
masing-masing perbuatan tersebut berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa
tindak pidana, disamping itu masing-masing tindak pidana tersebut belum ada
yang dijatuhi hukuman oleh pengadilan dan akan diadili sekaligus oleh
pengadilan. Berdasarkan uraian kronologis diatas, perbuatan tindak pidana
tersebut termasuk dalam bentuk perbarengan perbuatan (concursus realis),
disamping itu dapat diketahui bahwa terdakwa dalam melaksanakan tindak pidana
tersebut bukanlah atas inisiatif sendiri, melainkan atas inisiatif orang lain yang
mempergunakan terdakwa untuk melaksanakan tindak pidana tersebut, maka
disinilah timbul yang disebut dengan penyertaan tindak pidana.
Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan pada kasus
diatas di jerat dengan Pasal 339 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan
5
ancaman pidana penjara seumur hidup, atau selama waktu tertentu paling lama 20
tahun penjara, dalam persidangan hakim menjatuhkan vonis 16 tahun penjara
terhadap terdakwa.
Berdasarkan kasus yang telah dipaparkan diatas, hakim telah menjatuhkan vonis
yang lebih ringan dari tuntutan jaksa kepada pelaku tindak pidana tersebut, oleh
karena itu perlu diadakan suatu analisis terhadap putusan hakim tersebut untuk
mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, apakah telah
sesuai dengan rasa keadilan bagi keluarga korban dan terdakwa, dan apakah dapat
menimbulkan efek jera pada masyarakat untuk tidak meniru perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa, sebagaimana diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan
oleh terdakwa adalah perbuatan yang sangat keji karena behubungan dengan
nyawa seseorang.
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas maka penulis tertarik untuk
menganalisis dan menuangkan dalam bentuk tulisan yang berbentuk skripsi
dengan judul “Analisis yuridis penerapan pidana terhadap pelaku
perbarangan tindak pidana pembunuhan dalam rangka penyertaan (Studi
Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
562/PID.B/2010/PN.TK) “
6
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas maka yang menjadi
permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :
a. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku perbarengan tindak pidana pembunuhan dalam rangka
penyertaan (perkara nomor 562/PID.B/2010/PN.TK) ?
b. Bagaimanakah sistem pemidanaan terhadap pelaku perbarengan tindak pidana
pembunuhan dalam rangka penyertaan ?
2. Ruang Lingkup
Untuk membahas permasalahan ini agar tidak terlalu meluas dan salah penafsiran
maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian terhadap perbarengan tindak
pidana pembunuhan dalam rangka penyertaan (Studi Kasus Putusan Pengadilan
Negeri Tanjung Karang Nomor 562/PID.B/2010/PN.TK).
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui secara jelas mengenai perbarengan
tindak pidana pembunuhan dalam rangka penyertaan (Studi Kasus Putusan
Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 562/PID.B/2010/PN.TK).
7
2. Kegunaan Penulisan
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis kegunaan penulisan skripsi ini adalah untuk menambah wawasan
ilmu pengetahuan khususnya penulis dan masyarakat pada umumnya atas hasil
analisis mengenai perbarengan tindak pidana pembunuhan dalam rangka
penyertaan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
562/PID.B/2010/PN.TK).
b. Kegunaan Praktis
1. Berguna sebagai bahan refensi untuk penelitian-penelitian berikutnya.
2. Skripsi ini diharapkan berguna untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
khususnya hukum pidana mengenai perbarengan tindak pidana pembunuhan
dalam rangka penyertaan.
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono
Soekanto,1984 : 124).
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa perbarengan tindak pidana
dibagi menjadi tiga bentuk yaitu, perbarengan peraturan (concursus idealis),
perbuatan berlanjut (Voortgezette Handeling), dan perbarengan perbuatan
8
(concursus realis), dari ketiga bentuk tersebut tentunya terdapat perbedaan dalam
sistem penjatuhan pidana, hal ini disebabkan karena ketiga bentuk perbarengan
tindak pidana tersebut masing-masing memiliki kriteria tertentu terhadap suatu
tindak pidana yang dimaksudkan agar termasuk kedalam salah satu bentuk
perbarengan tindak pidana tersebut.
Menurut Andi Hamzah :
“Gabungan delik disebut juga perbarengan delik atau concursus,
semenloop van strafbare feiten, satu orang melakukan beberapa perbuatan
(feiten) yang melanggar beberapa aturan delik atau satu perbuatan, tetapi
melanggar beberapa aturan delik yang diadili sekaligus atau beberapa kali,
tetapi yang dijatuhkan diperhitungkan“ (Andi Hamzah, 2008 : 63).
Pokok persoalan mengenai perbarengan tindak pidana terletak pada ukuran pidana
yang dikaitkan dengan sistem pemidanaannya dalam hal terjadi dua atau lebih
tindak pidana yang sekaligus disidangkan, baik karena satu tindakan maupun
karena dua atau lebih tindakan. Pasal 65 ayat (1) menyatakan bahwa, perbarengan
beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-
sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana
pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu pidana, sedangkan pada ayat (2)
maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang
diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari maksimum
pidana yang terberat ditambah sepertiga.
Aturan mengenai perbarengan mengenal empat sistem dalam penjatuhan pidana :
1. Sistem absorsi, adalah sistem yang menentukan bahwa hanya ketentuan pidana
yang terberat yang diperuntukkan;
9
2. Sistem absorsi yang dipertajam, maksudnya adalah ketentuan pidana yang
terberat yang diterapkan dengan ditambah sepertiga dari pidana maksimum;
3. Sistem kumulasi murni, bahwa tiap-tiap tindak pidana dijatuhkan pidana
sendiri-sendiri tetapi pidana itu hanya diterapkan atas tindak pidana
pelanggaran dan lama pidananya tidak boleh lebih dari 1 tahun 4 bulan;
4. Sistem kumulasi terbatas, pidana dapat dijatuhkan untuk tiap-tiap kejahatan
tetapi jumlah pidana tidak boleh melebihi maksimum pidana yang terberat
ditambah sepertiganya (Suharto RM, 1996 : 81).
Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan
mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak
tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pun pihak yang dapat mengintervensi
hakim dalam menjalankan tugasnya tersebut. Hakim dalam menjatuhkan putusan,
harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara
yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku,
sampai kepentingan pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan
pula rasa keadilan masyarakat.
Terdapat teori atau pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam
menjatuhkan putusannya, yaitu sebagai berikut :
a. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan
10
terdakwa, dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan
tergugat;
b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukum yang wajar bagi setiap
pelaku tindak pidana, pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam
penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh intuisi daripada pengetahuan
hakim;
c. Teori Pendekatan Keilmuan
Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam
memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi
semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga
wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputusnya;
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam
menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya, karena dengan pengalaman
tersebut, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan
yang dijatuhkan dalam suatu perkara, yang berkaitan dengan pelaku, korban
maupun masyarakat;
e. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
relevan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam
11
penjatuhan putusan, serta pertimbangn hakim harus didasarkan pada motivasi
yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak
yang berperkara.
f. Teori Kebijaksanaan
Teori ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu sebagai upaya perlindungan
terhadap masyarakat dari suatu kejahatan yang dilakukanoleh pelakunya,
sebagai upaya repersif agar penjatuhan pidana membuat jera, sebagai upaya
preventif agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang
dilakukan oleh pelakunya, mempersiap mental masyarakat dalam menyikapi
suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut (Ahmad Rifai, 2010 : 105-112).
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti
yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau di inginkan (Soerjono
Soekanto, 1986 : 132).
Kerangka konseptual yang diketengahkan akan dibatasi pada konsepsi pemakaian
judul dalam tulisan ini yaitu analis yuridis terhadap concursus dalam rangka
penyertaan tindak pidana. Adapun pengertian dari istilah tersebut adalah :
a. Analisis adalah penyelidikan dan penguraian terhadap suatu masalah untuk
mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1997 : 34).
b. Yuridis adalah menurut ilmu hukum dan perundang-undangan yang berlaku
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997 : 509).
12
c. Perbarengan adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang
dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi hukuman
pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana yang
berikutnya belum dibatasi oleh keputusan hakim (Adami Chazawi, 2007 : 109).
d. Penyertaan adalah terjadinya tindak pidana yang didalamnya terlibat beberapa
orang atau lebih dari seorang (Teguh Prasetyo, 2010 : 133).
e. Tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan yang dapat dikenakan hukuman
karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (Teguh Prasetyo,
2010 : 45).
f. Pembunuhan adalah mematikan dengan sengaja, menghilangkan nyawa (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1997 : 82)
E. Sistematika Penulisan
Guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka
disajikan penulisan sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi,
permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan
penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memeahami
pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan
tinjauan yang besifat teoritis yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan
studi perbandingan antara teori dan praktek
13
III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang
digunakan dalam pendekatan masalah serta uraian tentang sumber-sumber data,
pengolahan data dan analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan jawaban atas pembahasan dari pokok masalah yang akan dibahas
yaitu Analisis yuridis penerapan pidana terhadap pelaku perbarengan tindak
pidana dalam rangka penyertaan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung
Karang Nomor 562/PID.B/2010/PN.TK).
V. PENUTUP
Bab ini merupakan hasil dari pokok permasalahan yang diteliti yaitu merupakan
kesimpulan dan saran-saran dari penulis yang berhubungan dengan permasalahan
yang ada.
[Type a quote from the
document or the summary
of an interesting point. You
can position the text box
anywhere in the document.
Use the Text Box Tools tab
to change the formatting of
the pull quote text box.]
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf yang
diterjemahkan dengan pidana dan hukum, baar yang diterjemahkan dengan dapat
atau boleh, dan feit yang diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran,
dan perbuatan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak memberikan
penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri,
biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin
yakni kata delictum. Istilah stafbaar feit atau kadang disebut sebagai delict (delik)
diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dengan berbagai istilah. “Delik adalah
perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang tindak pidana“ (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997 :
116).
[Type a quote from the
document or the
summary of an
interesting point. You
can position the text box
anywhere in the
document. Use the Text
Box Tools tab to change
the formatting of the
pull quote text box.]
[Type a quote from the
document or the
summary of an interesting
point. You can position
the text box anywhere in
the document. Use the
Text Box Tools tab to
change the formatting of
the pull quote text box.]
15
Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa
unsur yakni :
a. Suatu perbuatan manusia;
b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman undang-undang;
c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan.
Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-
gerik jasmani seseorang, hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak
berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya seseorang tersebut, ia telah
melakukan tindak pidana.
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam
dengan pidana, di mana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang
bersifat aktif yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh undang-
undang, dan perbuatan yang bersifat pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang
sebenarnya diharuskan oleh hukum (Teguh Prasetyo, 2010 : 48).
Beberapa sarjana mengemukakan pendapat yang berbeda dalam mengartikan
intilah strafbaar feit, sebagai berikut :
1. Simons :
Tindak pidana adalah perbuatan (handeling) yang diancam dengan pidana yang
bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
16
2. Moeljatno :
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa
yang melanggar larangan tersebut.
3. Pompe :
Menjelaskan pengertian tindak pidana menjadi dua definisi, yaitu :
Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan
karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh peraturan
undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.
4. Vos :
Tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang diancam oleh peraturan
undang-undang, jadi suatu perbuatan yang pada umumnya dilarang dengan
ancaman pidana.
5. Van Hamel :
Tindak pidana adalah perbuatan orang yang dirumuskan dalam wet yang bersifat
melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Setiap Tindak Pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya
dibagi menjadi 2 macam unsur, yakni unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur
obyektif.
17
Unsur-unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
3) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad , misalnya terdapat di
dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
4) Perasaan takut atau vress, antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana
Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-
keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku
itu harus dilakukan.
Unsur-unsur obyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid.
2) Kualitas dari si pelaku.
3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu sebagai kenyataan (Lamintang, 1997 : 194).
18
C. Perbarengan Tindak Pidana (Concursus)
1. Pengertian Perbarengan Tindak Pidana
Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua atau lebih
tindak pidana oleh satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali
belum dijatuhi hukuman pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan
tindak pidana yang berikutnya belum dibatasi oleh putusan hakim (Adami
Chazawi, 2007 : 109).
KUHP mengatur perbarengan tindak pidana dalam bab VI Pasal 63 sampai
dengan Pasal 71, ketentuan mengenai perbarengan tindak pidana pada dasarnya
ialah suatu ketentuan mengenai bagaimana cara menyelesaikan perkara dan
menjatuhkan pidana (sistem penjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah
melakukan lebih dari satu tindak pidana dimana semua tindak pidana yang
dilakukan tersebut belum diperiksa dan diputus di pengadilan, konkritnya
ketentuan perbarengan ini mengatur dan menentukan mengenai, cara atau sistem
penjatuhan pidana terhadap satu orang pembuat yang telah melakukan tindak
pidana lebih dari satu yang semuanya belum diperiksa dan diputus di pengadilan.
Mengenai cara penyelesaian perkara demikian, undang-undang menghendaki
adalah dengan memberkas beberapa tindak pidana tersebut kedalam satu berkas
perkara dan menyidangkannya dalam satu perkara oleh satu majelis hakim, dan
tidak dipecah-pecah menjadi beberapa perkara dengan menyidangkan sendiri-
sendiri oleh beberapa majelis hakim.
19
Hal ini memang berbeda dengan terjadinya satu tindak pidana dimana pelakunya
lebih dari satu orang, yang dalam tindak pidana tersebut terdapat penyertaan yang
dengan alasan misalnya untuk kepentingan pemeriksaan maka boleh dilakukan
dengan memecah atau memisah-misah berdasarkan orang-orang yang terlibat
dalam tindak pidana tersebut, yang hal ini diperkenankan oleh Pasal 132 KUHAP
(Adami Chazawi, 2007 : 113).
Menurut Roeslan Saleh :
“Ada dua alasan pembentuk undang-undang dalam hal menghendaki
agar beberapa tindak pidana atau perbarengan tindak pidana (concursus)
diadili secara serentak dan diputus dalam satu putusan pidana dan tidak
dijatuhkan sendiri-sendiri dengan memperhitungkan sepenuhnya
ancaman pidana pada masing-masng tindak pidana yang dilakukan
tersebut, artinya agar tindak pidana yang terjadi dalam perbarengan
terebut tidak dipidana sepenuhnya sesuai ancaman masing-masing
pidana tersebut, ialah adanya pertimbangan psikologis dan pertimbangan
dari segi kesalahan” (Roeslan Saheh, 1981 : 106).
2. Bentuk-bentuk Perbarengan Tindak Pidana
Selain keharusan untuk menyidangkan atau menyelesaikan perkara perbarengan
tindak pidana dalam satu majelis dengan menjatuhkan satu pidana, hal yang
penting dalam perbarengan ini adalah mengenai hal sistem penjatuhan pidananya
yang berkaitan langsung dengan macam-macam atau bentuk-bentuk dari
perbarengan itu sendiri, perbarengan tindak pidana yang dapat dihukum
mempunyai tiga bentuk, hal ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana adalah sebgai berikut :
20
a. Perbarengan Peraturan (Concursus Idealis)
Terwujudnya apa yang disebut dengan perbarengan peraturan pada dasarnya
apabila satu wujud perbuatan melanggar lebih dari satu aturan pidana. Pengertian
dasar ini sesuai apa yang dirumuskan dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP, yang
menyataan bahwa “ jika suatu perbuatan masuk kedalam lebih dari satu aturan
pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, dan jika
berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling
berat “.
Kalimat “suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana” yang
menggambarkan arti dasar perbarengan peraturan. Dalam hal perbarengan
peraturan dengan rumusan di atas, yang menjadikan persoalan besar ialah bukan
sistem penjatuhan pidananya sebagaimana pada kalimat selebihnya dari rumusan
ayat (1) dan rumusan ayat (2) dari Pasal 63 itu, tetapi ialah persoalan mengenai
suatu perbuatan, hal ini juga terdapat dan sejalan dengan arti perbuatan pada Pasal
76 ayat (1) mengenai asas ne bis in idem dalam hukum pidana.
Penjatuhan pidana pada bentuk perbarengan peraturan menggunakan sistem
hisapan (absorbs stelsel), artinya hanya dipidana tehadap salah satu dari aturan
pidana tersebut, dan jika diantara aturan-aturan pidana itu berbeda-beda ancaman
pidananya, maka yang dikenakan adalah terhadap aturan pidana yang terberat
ancaman pidana pokoknya, dan apabila satu perbuatan itu masuk dalam aturan
pidana umum yang sekaligus masuk ke dalam aturan pidana khusus, maka yang
dikenakan adalah terhadap aturan pidana khusus saja, misalnya terjadi
pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku di ancam dengan pidana penjara 12
21
tahun menurut Pasal 285 KUHP (memperkosa), dan pidana penjara 2 tahun 8
bulan menurut Pasal 281 KUHP (melanggar kesusilaan dimuka umum), dengan
sistem absorbsi maka diambil yang terberat, yaitu 12 tahun.
Selanjutnya dalam Pasal 63 ayat (2) “jika suatu perbuatan masuk ke dalam suatu
aturan pidana umum, diatur pula dalam aturan pidan khusus, maka hanya yang
khusus itulah yang diterapkan”, maka dalam pasal ini terkandung adagium lex
specialis derogate legi generali (aturan undang-undang yang khusus meniadakan
aturan yang umum), jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsi/pengguguran
kandungan, maka ia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan pidana
penjara 15 tahun, namun karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang
tindak pidana ibu yang membunuh anaknya, maka dalam hal ini tidak berlaku
sistem absorbsi, ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341 KUHP.
Berdasarkan ketentuan ketentuan Pasal 63 KUHP mengenai sistem hisapan pada
perbarengan peraturan ini, dapat dikenakan tiga kemungkinan, ialah :
1. Pada perbarengan peraturan dri beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana
pokok yang sama berat ;
2. Pada perbarengan peraturan dari beberapa tindak pidana dengan ancama pidana
pokoknya tidak sama berat ;
3. Pada perbarengan peraturan dimana satu perbuatan itu masuk atau diatur dalam
suatu aturan pidana umum yang sekaligus masuk dalam aturan pidana khusus.
22
Menurut Adami Chazawi :
“Walaupun dalam hal perbarengan peraturan ini hakim hanya menerapkan
aturan pidana yang terberat ancaman pidana pokoknya atau aturan pidana
khususnya, tidak berarti majelis hakim tidak perlu mempertimbangkan
kesalahan yang telah diperbuat terhadap aturan pidana yang lebih ringan
atau aturan yang umum, pertimbangan yang demikian sangat diperlukan
walaupun tidak perlu diterapkan perlunya pertimbangan ini disebabkan
karena berhubungan dengan ketentuan pemberatan pada pengulangan, bila
majelis hakim tidak mempertimbangkan tentang kesalahan terdakwa dan
pelanggaran aturan yang lebih ringan demikian maka apa yang telah
dilakukan oleh majelis hakim itu lalai atau sengaja telah mempersempit
berlakunya hukum” (Adami Chazawi, 2007 : 128).
b. Perbuatan Berlanjut (voortgezette Handeling)
Mengenai perbuatan berlanjut diatur dalam Pasal 64 KUHP, rumusan dari isi
Pasal 64 KUHP tersebut adalah sebagai berikut :
(1) Jika beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan yang memuat
ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang yang
dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan
menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak.
(3) Akan tetapi, jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam
Pasal 364, 373, 379, dan 407 ayat (1), sebagai perbuatan berlanjut dan nilai
kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh
lima rupiah, maka ia dikenakan aturan pidana tersebut dalam Pasal 362, 372,
378, dan 406.
23
Banyak ahli hukum yang menterjemahkan voortgezette handeling dengan
perbuatan berlanjut. Utrecht menyebutnya dengan “perbuatan terus-menerus“,
Schravendjik sama dengan Wirjono Prodjodikoro menyebutnya dengan
“perbuatan yang dilanjutkan” dan Soesilo menyebutnya dengan “perbuatan yang
diteruskan”.
Apa pun istilah yang digunakan, mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan
yang berlanjut pada rumusan ayat pertama, pada dasarnya adalah beberapa
perbuatan baik berupa pelanggaran maupun kejahatan, yang satu dengan yang lain
terdapat hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan yang berlanjut. Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan
beberapa perbuatan baik kejahatan maupun pelanggaran dan perbuatan-perbuatan
tersebut ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai
suatu perbuatan berlanjut.
Perbuatan disini adalah berupa perbuatan yang melahirkan tindak pidana, bukan
semata-mata perbuatan jasmani atau juga bukan perbuatan yang menjadi unsur
tindak pidana, antara perbuatan yang satu dengan perbuatan lainnya harus ada
hubungan yang sedemikian rupa, namun demikian ada sedikit keterangan di dalam
Memorie van Toelichting (MvT) Belanda mengenai pembuatan Pasal ini, yaitu
bahwa berbagai perilaku harus merupakan pelaksanaan satu keputusan yang
terlarang, dan bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari
sekumpulan tindak pidana yang sejenis (Adami Chazawi, 2007 : 130).
24
Adapun ciri pokok dari perbuatan berlanjut ialah :
1. Adanya satu keputusan kehendak si pembuat;
2. Masing-masing perbuatan harus sejenis;
3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
Sistem pemberian pidana bagi perbuatan-perbuatan berlanjut menggunakan sistem
absosrbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana
berbeda-beda maka dikenakan pidana pokok yang terberat, Pasal 64 ayat (2)
KUHP merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata
uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) KUHP merupakan ketentuan khusus dalam hal
kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 KUHP (pencurian
ringan), 373 KUHP (penggelapan ringan), Pasal 407 KUHP (perusakan barang
ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut (Teguh Prasetyo, 2010 : 111).
c. Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis)
Pasal 65 KUHP menyebutkan :
1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga merupakan beberapa
kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya
dijatuhkan satu pidana.
2) Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang
diancamkan terhadap perbuatan itu, tetapi tidak boleh dari maksimum pidana
yang terberat ditambah sepertiga.
25
Letak manfaat dari pasal perbarengan perbuatan yang diatur dalam Pasal 63 dan
Pasal 65 KUHP disebutkan dalam surat dakwaan, apabila dalam surat dakwaan
diuraikan perbuatan materiil dari tiap unsur delik yang dilanggar pelaku baik
dalam surat dakwaan tunggal maupun kumulatif maka tuntutan pidana hanya
dituntut satu pidana apabila tiap-tiap delik diancam dengan pidana pokok yang
sama, bukan dituntut atas dasar tiap tindak pidana yang dilakukan.
Perbarengan perbuatan tersebut dari semua delik yang diajukan di muka sidang
pengadilan tetapi tuntutan pidana tersebut tidak boleh lebih dari ancaman pidana
yang terberat ditambah sepertiganya dari delik tersebut, sesuai dengan apa yang
diatur dalam Pasal 65 ayat (2) KUHP.
Perbarengan perbuatan kiranya dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 65 ayat (1)
KUHP dan Pasal 66 (1) KUHP, yakni “beberapa perbuatan yang masing-masing
harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan
beberapa kejahatan”, jadi berdasarkan rumusan ayat (1) Pasal 65 dan 66 KUHP
maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing tindak pidana-tindak pidana
dalam perbarengan perbuatan itu satu sama lain adalah terpisah dan berdiri
sendiri.
Sistem penjatuhan pidana pada perbarengan perbuatan dibedakan menurut
macamnya perbarengan perbuatan, mengenai perbarengan perbuatan undang-
undang membedakan menjadi empat macam, yaitu :
1. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yan masing-masing
diancam dengan pidana pokok yang sama jenisnya (Pasal 65 KUHP),
penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem hisapan yang diperberat,
26
yaitu dijatuhi satu pidana saja dan maksimum pidana yang dijatuhkan itu ialah
jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana itu, tetapi
boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat di tambah sepertiga;
2. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang dancam
dengan pidana pokok yang tidak sama jenisnya (Pasal 66 KUHP), penjatuhan
pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi terbatas, artinya masing-
masing kejahatan itu diterapkan yakni pada si pembuatnya dijatuhi pidana
sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dibuatnya, tetapi
jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana yang terberat
ditambah sepertiganya, apabila kejahatan yang satu diancam dengan pidana
denda sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana hilang kemerdekaan
(penjara atau kurungan), maka untuk pidana denda dihitung dari lamanya
kurungan pengganti denda;
3. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari kejahatan dengan pelanggaran,
penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi murni;
4. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari pelanggaran dengan pelanggaran,
menggunakan sistem kumulasi murni, artinya semua kejahatan maupun
pelanggaran itu diterapkan sendiri-sendiri dengan menjatuhkan pidana pada si
pembuat sesuai dengan ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran
itu tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan batas tertentu (Adami
Chazawi, 2007 : 142).
27
C. Pengertian Penyertaan Tindak Pidana
Pada saat ini hampir setiap tindak pidana yang terjadi dilakukan lebih dari
seorang, jadi pada setiap tindak pidana itu selalu terlihat lebih daripada seorang
yang berarti terdapat orang lain yang turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana
diluar diri pelaku, tiap-tiap peserta mengambil atau memberi sumbangannya
dalam bentuk perbuatan kepada peserta lain sehingga tindak pidana tersebut
terlaksana, dalam hal ini secara logis pertanggungjawabannya pun harus dibagi
diantara peserta, dengan perkataan lain tiap-tiap peserta juga harus
mempertanggungjawabka peruatannya.
Dapat dikatakan bahwa Penyertaan dalam suatu tindak pidana terjadi apabila
dalam suatu tindak pidana terlibat beberapa orang atau lebih dari seorang,
hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut dapat
bermacam-macam, yaitu :
1. Bersama-sama melakukan suatu tindak pidana.
2. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan sesuatu kejahatan
sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana
tersebut.
3. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain
membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.
Ajaran penyertaan tindak pidana berpokok pada menentukan pertanggungjawaban
peserta terhadap tindak pidana yang telah dilakukan, disamping itu juga
mempersoalkan peranan atau hubungan tiap-tiap peserta dalam suatu pelaksanaan
tindak pidana mengenai sumbangan atau peran apa yang telah diberikan tiap-tiap
28
peserta agar tindak pidana tersebut dapat diselesaikan (Teguh Prasetyo,
2010:134).
Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya, yakni:
1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri.
Yang termasuk jenis ini adalah mereka yang melakukan dan yang turut serta
melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai
atau dihargai sendiri-sendiri atas segala perbuatan atau tindakan yang
dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri.
Yang termasuk dalam jenis ini adalah pembujuk, pembantu dan yang
menyuruh untuk melakukan suatu tindak pidana, pertanggung jawaban dari
peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain (Teguh Prasetyo,
2010:134).
Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP, berdasarkan pasal-pasal
tersebut panyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu :
1. Pembuat / Dader (Pasal 55 KUHP) yang terdiri dari :
a. Pelaku (pleger), adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang
memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggung jawab atas
kejahatan
b. Yang menyuruh melakukan (doenpleger), adalah orang yang melakukan
perbuatan dengan perantara orang lain, sedang perantara itu hanya
digunakan sebagai alat.
29
c. Yang turut serta (medepleger), adalah orang yang sengaja turut berbuat atau
turut mengerjakan sesuatu, oleh karena itu kwalitas masing-masing peserta
tindak pidana tidak sama.
d. Penganjur (uitlokker), adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk
melakuka suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau
menjajikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan,
ancaman, atau penyesatan, dengan member kesempatan, sarana, atau
keterangan (Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP).
2. Pembantu / Medeplichtige (Pasal 56 KUHP) yang terdiri dari pembantu pada
saat kejahatan dilakukan dan pembantu sebelum kejahatan dilakukan.
D. Putusan Hakim
Putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan
dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan
(M.Yahya Harahap, 2000:236). Dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP disebutkan
bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-
undang ini.
Putusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang
diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut, proses penjatuhan putusan yang
dilakukan oleh seorang hakim merupakan suatu proses yang komplek dan sulit,
sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan.
30
Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus meyakini apakah
seorang terdakwa melakukan tindak pidana atau tidak, atau dalam perkara perdata
apakah ada sengketa hukum yang terjadi di antara pihak penggugat dan tergugat,
dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari
perbuatan yang dilakukan oleh seorang pelaku tindak pidana, atau untuk
menentukan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak
yang berperkara, yaitu apakah pihak penggugat atau tergugat yang melakukannya.
Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan
menjatuhkan keputusan yang dinamakan dengan putusan hakim, yang diucapkan
dalam sidang pengadilan yang terbukan untuk umum yang bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara.
Proses penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana menurut Moelyatno
dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu :
a. Tahap menganalisis perbuatan pidana ;
b. Tahap menganalisis tanggung jawab pidana ;
c. Tahap penentuan pemidanaan ( Ahmad Rifa’I, 2010:96 ).
Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 50 Undang-undang Nomor 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:
(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga
memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
31
(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang
memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
Sesudah putusan pemidanan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahu
kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :
1) Hak segera menerima atau segera menolak putusan (Pasal 196 ayat (3) huruf a
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
2) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak
putusan, dalam tenggang waktu yang telah ditentukan yaitu tujuh hari sesudah
putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang
tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) huruf b jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana).
3) Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mangajukan grasi, dalam hal ia
menerima putusan (Pasal 196 ayat (3) huruf c Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana).
4) Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan
dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak
hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana ,Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
5) Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a
(menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa selama
32
perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding
dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan
banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP dijelaskan tentang adanya formalitas yang
harus dipenuhi dalam pembuatan surat putusan pemidanaan, yang jika tidak
terpenuhi maka keputusan tersebut dapat mengakibatkan batal demi hukum.
Ketentuan tersebut adalah :
a. Kepala putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” ;
b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan terdakwa ;
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan ;
d. Pertimbangan yang disususn secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat pembuktiana yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang
menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa ;
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan ;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan
disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan ;
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara
diperiksa oleh hakim tunggal ;
33
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan
yang dijatuhkan ;
i. Ketentuan kepada barang siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti ;
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu ;
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan ;
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus,
dan nama panitera.
[Type a quote from the
document or the summary of
an interesting point. You can
position the text box anywhere
in the document. Use the Text
Box Tools tab to change the
formatting of the pull quote
text box.]
34
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penulisan ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan normatif
dilakukan dengan mempelajari, melihat, dan menelaah mengenai beberapa hal
yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berkenaan dengan
permasalahan yaitu mengenai analisis yuridis terhadap perbarengan tindak pidana
dalam rangka penyertaan tindak pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Karang Nomor 562/PID.B/2010/PN.TK).
Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan masalah dengan menelaah hukum
dalam kenyataan baik berupa penilaian, pendapat, sikap yang dimaksudkan untuk
memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan
objek yang sedang diteliti, digunakan metode wawancara dengan hakim, dan jaksa
yang menangani perkara tindak pidana Nomor : 562/PID.B/2010/PN.TK,
disamping itu juga pendapat Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung dan
penasihat hukum, semuanya berfungsi sebagai pembantu dalam menganalisis
skripsi ini. Jenis dan sifat penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian
yang bersifat analisis.
[Type a quote from
the document or the
summary of an
interesting point. You
can position the text
box anywhere in the
document. Use the
Text Box Tools tab to
change the formatting
of the pull quote text
box.]
[Type a quote from the
document or the summary
of an interesting point.
You can position the text
box anywhere in the
document. Use the Text
Box Tools tab to change
the formatting of the pull
quote text box.]
35
B. Sumber dan Jenis Data
Data yang dipergunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini, yaitu data
primer dan data sekunder.
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pemberi data atau orang
yang berhubungan langsung dengan objek penelitian dilapangan dengan
mengadakan wawancara langsung kepada hakim dan jaksa yang menangani
perkara pidana Nomor : 562/PID.B/2010/PN.TK serta Dosen Hukum Pidana
Universitas Lampung dan penasihat hukum.
2. Data sekundar adalah data yang diperoleh dari data kepustakaan yang terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari :
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti literatur-literatur, makalah-makalah,
putusan pengadilan negeri tanjung karang nomor 562/PID.B/2010/PN.TK,
dan lain-lain yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang sedang
diteliti.
36
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu
meliputi kamus ensiklopedia, literatur-literatur.
C. Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian (Burhan
Ashshofa, 2001 : 79). Dalam skripsi ini yang dijadikan populasi adalah pihak-
pihak yang berkaitan langsung dengan penerapan pidana terhadap pelaku
perbarengan tindak pidana pembunuhan dalam rangka penyertaan.
Untuk menentukan sampel dari populasi yang akan diteliti, digunakan metode
purposive sampling yaitu dalam menentukan sampel disesuaikan dengan tujuan
yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili populasi. Sampel yang
dijadikan responden adalah 1 (satu) orang orang hakim, 1 (satu) orang jaksa, 1
(satu) orang dosen, serta 1 orang penasihat hukum.
Responden dalam penulisan ini sebanyak 4 (lima) orang, yaitu :
1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang
2. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 Orang
3. Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung : 1 Orang
4. Penasihat Hukum Pada Kantor Hukum Kadri Husin dan Rekan : 1 Orang
Jumlah : 4 Orang
37
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, penulis
menggunakan prosedur studi lapangan dan studi kepustakaan.
a. Studi kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Studi kepustakaan
dilakukan dengan cara membaca, mengutip hal-hal yang dianggap penting dan
perlu dari beberapa peraturan perundang-undangan, literatur, dan bahan-bahan
tertulis lainnya yang berkaitan dengan materi pembahasan.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Studi lapangan
dilakukan dengan cara mengadakan wawancara (interview) dengan responden.
Wawancara dilakukan secara langsung dengan mengadakan tanya jawab secara
terbuka dan mendalam untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang utuh
sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapan. Metode wawancara
yang digunakan adalah standarisasi interview dimana hal-hal yang akan
dipertanyakan telah disiapkan terlebih dahulu (wawancara terbuka). Studi
lapangan dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang.
2. Metode Pengolahan Data
Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data yang kemudian diproses
melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :
38
a. Evaluasi, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakan masih
terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan, serta apakah data
tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.
b. Klasifikasi, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya
masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.
c. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap
pokok bahasan sistematis sehingga memudahkan pembahasan.
E. Analisis Data
Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian dilakukan
analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif dilakukan dengan cara
menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-
kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang
jelas tentang masalah yang akan diteliti, sehingga ditarik suatu kesimpulan dengan
berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu suatu cara berfikir dalam
mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang
bersifat khusus guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.
39
VI. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden
Penulis melakukan penelitian menggunakan studi wawancara terhadap sejumlah
responden, untuk mengutahui gambaran objektif dari diri responden maka
dikemukakan terlebih dahulu karakteristik responden yaitu 1 (satu) orang hakim
pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang, 1 (satu) orang Jaksa pada Kejaksaan
Negeri Bandar Lampung, 1 (satu) orang Penasihat Hukum pada kantor Hukum
Kadri Husin dan Rekan dan 1 (satu) orang Dosen Hukum Universitas Lampung.
1. Nama : Sri Widyastuti, SH
Jenis Kelamin : Perempuan
NIP : 040053567
Pangkat / Golongan : Hakim/IVb
Jabatan : Hakim
Instansi : Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang
2. Nama : Eka Aftriani, S.H.
Jenis Kelamin : Perempuan
NIP : 197904072002122005
Pangkat / Golongan : Jaksa Pratama / IIIC
Jabatan : Jaksa
Instansi : Kejaksaan Negeri Bandar Lampung
3. Nama : Rinaldy Amrullah, S.H.,M.H
Jenis Kelamin : Laki-laki
NIP : 198011182008011008
Pangkat / Golongan : Penata Muda Tk I / IIIb
Jabatan : Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung
Instansi : Universitas Lampung
[Type a quote from the
document or the summary of
an interesting point. You can
position the text box anywhere
in the document. Use the Text
Box Tools tab to change the
formatting of the pull quote
text box.]
40
4. Nama : Ngadimin, S.H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Jabatan : Advokat
B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
562/PID.B/2010/PN.TK
Penulisan skripsi ini yang penulis jadikan sebagai bahan penelitian yaitu putusan
hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 562/PID.B/2010/PN.TK
adapun gambaran umum dari perkara tersebut yaitu :
1. Identitas Terdakwa.
Nama : Kasyono alias Masno alias No Bin Komorejo
Tempat lahir : Kediri, Jawa Timur
Umur / Tanggal lahir : 45 tahun / 25 September 1965
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Jl. Teluk Semangka III Kp. Slirit Cikaung Kec. Panjang
Selatan Bandar Lampung
Agama : Islam
Pekerjaan : Buruh
2. Tentang duduk perkara.
Bahwa terdakwa pada hari selasa 22 Februari 2005 telah dengan sengaja
melakukan pembunuhan yang didahului oleh suatu perbuatan pidana yang
dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaannya untuk memastikan penguasaan barang yang diperoleh secara
melawan hukum. Adapun kronologis sebagai mana yang ada dalam surat dakwaan
Jaksa Penuntut Umum adalah sebagai berikut :
Pada awalnya hubungan antara saksi Bihman Sanusi dengan istrinya yang
bernama Hartati Saheh (korban) kurang harmonis karena saksi Bihman
Sanusi disangka oleh korban telah berselingkuh dengan wanita lain.
41
Selanjutnya beberapa hari sebelum hari selasa 22 Februari 2005 (peristiwa
pembunuhan) terdakwa diminta oleh korban Hartati Saheh agar datang
kerumah korban di Jl. MH Thamrin No. 54 Kel Gotong Royong Kec.
Tanjung Karang Pusat Bandar Lampung dan setelah itu terdakwa datang
kerumah korban lalu korban menyuruh terdakwa untuk mencari tahu siapa
pacar saksi Bihman Sanusi (suami korban) dan jika ketemu, korban
meminta kepada terdakwa agar pacar suami korban disakiti atau dibunuh
dengan mengiming-imingi uang sebesar Rp.1.500.000 (satu juta lima ratus
ribu rupiah), kemudian perintah korban tersebut oleh terdakwa
diberitahukan kepada saksi Bihman Sanusi (suami korban) melalui
telepon, dan setelah mendengar pemberitahuan terdakwa tersebut, saksi
Bihman Sanusi marah dan berbalik menyuruh terdakwa dengan kata-kata
“kamu jangan banyak omong,kalau kamu mau uang Rp 10.000.000
(sepuluh juta rupiah) lebih ambil dilaci lemari kamar dan kamu abisin
orangnya”.
Setelah mendapat perintah dan iming-iming uang dari saksi Bihman
Sanusi tersebut, maka terdakwa menjadi tergiur dan selanjutnya pada hari
selasa 22 Februari 2005 terdakwa mendapat telepon dari korban dan
meminta agar terdakwa datang kerumah korban dengan maksud untuk
menanyakan mengenai informasi tentang suami korban, dan pada saat
itulah terfikir oleh terdakwa bahwa inilah kesempatan yang tepat untuk
menghabisi korban sesuai perintah saksi Bihman Sanusi.
Kemudian terdakwa pergi kerumah korban dengan naik angkot dan
sesampainya dirumah korban, terdakwa diminta korban untuk memijit
kakinya dengan posisi korban duduk dikursi sedangkan terdakwa duduk
dilantai, kemudian korban mengeluarkan uang dari saku bajunya dan
diletakkan diatas meja yang menurut korban jumlahnya Rp.1.500.000
(satu juta lima ratus ribu rupiah) kemudian korban meminta agar terdakwa
memijit bahunya dan ketika sambil memijit bahu korban, terdakwa
memanfaatkan kesempatan untuk melaksanakan perintah suami korban,
yaitu menghabisi nyawa korban.
Terlihat oleh terdakwa sebuah palu yang terletak didalam kaleng yang ada
didekat korban, kemudian palu tersebut terdakwa ambil dan digunakan
terdakwa untuk memukul bagian tengkuk atau leher belakang korban
sebanyak dua kali hingga korban tersungkur dilantai dan mengeluarkan
darah dari mulutnya, lalu terdakwa menyeret korban kebelakang sampai
dekat sumur, lalu terdakwa mengambil tali timba yang tergantung disumur
dan melilitkannya ke leher dan badan korban, kemudian terdakwa
mendorong korban hingga jatuh kedalam sumur.
Selanjutnya terdakwa mengambil uang yang diletakkan diatas meja oleh
korban sebanyak Rp 1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan
kemudian masuk kedalam kamar korban dengan membawa linggis yang
diperoleh diruang tengah, untuk mencongkel lemari guna mengambil uang
yang diberitahu oleh saksi Bihman Sanusi, setelah berhasil membuka
42
lemari dan mengambil uang sebesar Rp18.000.000 (delapan belas juta
rupiah),kemudian terdakwa menghitung uang yang diperolehnya sejumlah
Rp.19.500.000 (sembilan belas juta lima ratus ribu rupiah) dan pergi
kerumah pacar terdakwa, dan mengajak pacar terdakwa pergi ke jawa.
Menurut Eka Aftriani dalam wawancara dengan penulis menyatakan bahwa,
dalam perkara register 562/PID.B/2010/PN.TK terdakwa didakwa dengan bentuk
dakwaan alternatif , artinya dalam surat dakwaan terdapat beberapa dakwaan yang
disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat
mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya, bentuk dakwaan ini digunakan bila
belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat
dibuktikan. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan tetapi hanya satu saja
yang akan dibuktikan, pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berusut
sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung pada dakwaan yang dipandang terbukti,
apabila salah satu dakwaan telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya
tidak perlu dibuktikan.
Pada tanggal 12 Agustus 2010, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung
Karang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Kasyono alias Masno alias No Bin
Komorejo dengan pidana penjara selama 16 tahun.
C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap
Pelaku Perbarengan Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Rangka
Penyertaan
Hakim adalah salah satu aparat yang berwenang dalam upaya penegakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana. Pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa semua peradilan diseluruh
wilayah Negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan
undang-undang serta menerapkan dan menegakkan hukum serta keadilan
43
berdasarkan Pancasila dan peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” juga diselenggarakan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan.
Pada dasarnya pelaksanaan tugas dan tanggung jawab hakim dilakukan dalam
rangka menegakkan kebenaran dan keadilan, dengan berpegang pada hukum,
undang-undang, dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat, dalam diri hakim
diemban amanah agar peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan
adil, dan apabila penerapan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan
ketidakadilan, maka hakim wajib berpihak pada keadilan dan mengenyampingkan
hukum atau peraturan perundang-undangan. Hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang tentunya
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam mengadili suatu perkara, hakim berusaha menegakkan kembali hukum
yang telah dilanggar, disamping itu dalam menegakkan hukum, hakim
melaksanakan hukum yang berlaku dengan dukungan rasa keadilan yang ada
padanya dan keadilan yang ada dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan
bahwa hakim adalah penegak hukum (J Pajar Widodo, 2010:2).
Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri kelas IA Tanjung Karang, Sri
Widyastuti mengatakan bahwa, proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh
hakim dalam perkara pidana dilakukan beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut.
44
1. Tahap menganalisis perbuatan pidana
Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana
atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan
sebagaimana tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana, jika perbuatan
terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam suatu pasal hukum pidana maka
terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan
kepadanya.
2. Tahap menganalisis tanggung jawab pidana
Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana
melanggar suatu Pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat
dinyatakan bertanggujawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya, pada
saat menyelidiki apakah terdakwa dapat melakukan pertanggungjawaban
terhadap perbuatannya, yang dipandang primer adalah orang itu sendiri.
Dapat dipidananya seseorang harus memenuhi dua syarat, yaitu perbuatan yang
bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan perbuatan yang
dilakukan tersebut dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan.
3. Tahap penentuan pemidanaan
Dalam hal ini jika hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan
perbuatan melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas perbuatannya
itu dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku, maka hakim akan menjatuhkan
pidana terhadap pelaku tersebut dengan melihat Pasal dalam Undang-undang
yang dilanggar oleh pelaku tersebut.
45
Sri Widyastuti juga menambahkan bahwa dalam menggali perkara yang
dihadapinya maka hakim akan :
1. Dalam kasus yang hukumannya sudah jelas, maka hakim tinggal menerapkan
hukumnya saja.
2. Dalam kasus yang hukumnya tidak ada atau belum jelas, maka hakim akan
menafsirkan hukum atau undang-undang melalui cara-cara penafsiran yang
lazim digunakan dalam ilmu hukum.
3. Dalam kasus dimana terjadi pelanggaran atau penerapan hukum yang
bertentangan dengan hukum atau undang-undang yang berlaku, maka hakim
akan menggunakan hak mengujinya (judicial review).
4. Dalam kasus yang belum ada undang-undangnya maka hakim harus
menemukan hukumnya dengan mengadili dan mengikuti nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Menurut analisa penulis, hakim dalam menjatuhkan putusan lebih cenderung
memperhatikan tingkat kesalahan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana,
disamping itu hakim juga akan melihat hal yang berkaitan dengan keadaan
psikologi pelaku tindak pidana pada saat melakukan tindak pidana, hal ini
dilakukan hakim karena pada dasarnya dalam menjatuhkan pidana tidak serta
merta berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang dilanggar oleh
pelaku tindak pidana, tetapi hakim juga mempunyai suatu keyakinan dalam
menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana.
46
Hakim dalam memutus suatu perkara mempunyai dasar pertimbangan melalui
proses pemikiran untuk kemudian memberikan keputusan mengenai hal-hal yang
bersifat yuridis maupun yang bersifat non yuridis, sebagi berikut :
1. Hal-hal yang bersifat yuridis :
a. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum;
b. Keterangan terdakwa dan saksi;
c. Barang bukti yang ditunjukkan dalam persidangan;
d. Pasal-pasal yang terdapat didalan hukum pidana.
2. Hal-hal yang bersifat non yuridis :
a. Latar belakang perbuatan terdakwa;
b. Akibat perbuatan terdakwa;
c. Kondisi diri terdakwa;
d. Keadaan sosial ekonomi terdakwa;
e. Fator agama dari terdakwa ( Rusli Muhammad, 2007 : 212 ).
Dalam hal terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan penuntut umum, maka
terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang
dilakukan, sebagai mana diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP.
Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai badan tertinggi pelaksana
kekuasaan kehakiman yang membawahi empat badan peradilan dibawahnya, yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha
Negara, telah menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala
47
aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin
dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah
keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan
masyarakat ( Ahmad Rifa’i, 2010 : 126 ).
Berdasarkan putusan pengadilan dengan nomor register perkara
562/PID.B/2010/PN.TK, diketahui bahwa telah terjadi suatu peristiwa pidana
yakni tindak pidana pembunuhan yang didahului dengan suatu perbuatan pidana
yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pelaksanaannya, untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara
melawan hukum. Untuk merumuskan unsur-unsur pidana tersebut sesuai dengan
dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang disusun dengan bentuk dakwaan alternatif
Pertama melanggar Pasal 339 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, yaitu :
a. Unsur Barang Siapa ;
b. Unsur Telah Sengaja Melakukan Pembunuhan ;
c. Unsur yang disertai oleh suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan
maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya untuk
memastikan penguasaan barang yang diperoleh secara melawan hukum.
Dalam perkara tersebut diatas maka majelis hakim Pengadilan Negeri Kelas IA
Tanjung Karang yang memeriksa dan mengadilinya berkesimpulan bahwa seluruh
unsur Pasal 339 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi dan oleh karena itu hakim telah
memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa, telah terbukti secara sah dan
48
meyakinkan dan selanjutnya menjatuhkan putusan berupa pidana penjara
selama16 (enam belas) tahun.
Adapun pertimbangan hukum oleh hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap
pelaku tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut :
a. Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa,
visum et repertum nomor 353/1602/5.2/III/2010 tanggal 12 Maret atas nama
Hartati Saheh, barang bukti serta fakta-fakta hukum lainnya yang terungkap di
persidangan, maka majelis hakim berpendapat bahwa seluruh unsur dakwaan
Jaksa Penuntut Umum yakni Pasal 339 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP
untuk perkara nomor 562/PID.B/2010/PN.TK atas nama Kasyono alias Masno
alias No Bin Komorejo telah terbukti sah dan meyakinkan.
b. Menimbang bahwa selain fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, terdakwa
melakukan pembunuhan terhadap korban karena bujukan dan janji dengan
imbalan berupa uang dari saksi Bihman Sanusi.
c. Menimbang, bahwa terdakwa mengambil uang yang ada didalam laci lemari
maupun yang ada disaku daster korban adalah tanpa seijin dari korban Hartati
Saheh, selain itu terdakwa mengetahui bila dilemari ada uang adalah atas
pemberitahuan saksi Bihman Sanusi.
d. Menimbang, bahwa selama proses persidangan terdakwa Kasyono alias Masno
alias No Bin Komorejo sehat jasmani dan akalnya serta mampu menjawab
seluruh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan majelis hakim dan penuntut
umum, dan selam persidangan berlangsung tidak ditemukan adanya alasan
pemaaf maupun alasan pembenar yang dapat menghapuskan
49
pertanggungjawaban pidana Kasyono alias Masno alias No Bin Komorejo
harus dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana yang setimpal dengan
perbuatannya.
Secara garis besar, uraian pertimbangan hukum oleh hakim diatas adalah :
1. Uraian putusan hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut
mendasar pada terpenuhinya atau tidak terpenuhinya seluruh unsur yang
didakwakan oleh jaksa penuntut umum, setelah itu akan ditentukan apakah
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tersebut adalah pelanggaran hukum
atau bukan merupakan pelanggaran hukum.
2. Setelah diketahui bahwa perbuatan tersebut melanggar hukum, maka
selanjutnya hakim akan menentukan kemampuan terdakwa dalam
mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
3. Jenis pidana yang dijatuhkan mempertimbangkan :
a. Tingkat kesalahan yang telah dilakukan.
b. Pengaruh tindak pidana yang telah dilakukan terhadap korban dan
masyarakat.
c. Ancaman terhadap Pasal yang didakwakan.
d. Hal yang meringankan dan hal yang memberatkan.
e. Fakta-fakta yang terungkap dipersidangan.
4. Lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, yaitu pidana penjara selama
16 tahun disesuaikan dengan tingkat kesalahan terdakwa, motivasi terdakwa
dalam melakukan tindak pidana tersebut, sikap batin terdakwa, serta fakta
hukum lainnya yang terungkap dipersidangan dan juga mempertimbangkan
hal-hal yang meringankan atau yang memberatkan bagi terdakwa.
50
Menurut Ngadimin dalam wawancara dengan penulis menyatakan bahwa hakim
dalam menjatuhkan putusannya lebih banyak mempertimbangkan dengan
menggunakan hati nurani dan menggunakan keyakinan hakim yang berdasarkan
pada peristiwa atau keadaan terdakwa.
Dalam kasus ini majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa terjadi
karena faktor ekonomi yang memotivasi terdakwa dalam melakukan tindak pidana
pembunuhan tersebut, hal ini dapat diketahui bahwa terdakwa melakukan
pembunuhan terhadap korban karena tergiur pada bujukan dan janji suami korban
yang akan memberikan sejumlah uang kepada terdakwa, sehingga majelis hakim
menjatuhkan pidana :
1. Menyatakan terdakwa Kasyono alias Masno alias No Bin Komorejo telah
terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Pembunuhan
yang didahului dengan suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan maksud
untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, untuk memastikan
penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum” ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Kasyono alias Masno alias No Bin
Komorejo dengan pidana penjara selama 16 (enam belas) tahun ;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang telah dijatuhkan ;
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan ;
5. Menyatakan barang bukti berupa palu besi bergagang besi, tali timba yang
terbuat dari karet ban mobil, foto buffet, difan dan lemari terbuat dari
51
kayu/papan dipergunakan untuk pembuktian dalam perkara lain atas nama
terdakwa Bihman Sanusi ;
6. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 2000
(dua ribu rupiah).
Dalam wawancara yang dilakukan penulis, Eka Aftriani menyatakan bahwa
pemidanaan bertujuan untuk :
1. Mencegah agar orang tidak lagi melakukan tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum.
2. Memasyarakatkan narapidana dengan cara pembinaan sehingga menjadikan
narapidana tersebut menjadi orang yang lebih baik.
3. Menyelesaikan konflik yang timbul akibat adanya suatu tindak pidana.
4. membebaskan rasa bersalah pada narapidana karena telah menjalani hukuman.
Rinaldy Amrullah menyatakan bahwa tujuan pemidanaan dimaksudkan bukan
dalam arti untuk pembalasan yang menimbulkan penderitaan dan merendahkan
martabat manusia, tetapi bertujuan untuk mendidik, memperbaiki pelaku atas
perbuatan yang merugikan orang lain, membuat efek jera kepada para pelaku
tindak pidana agar tidak mengulangi perbuatannya lagi dan menjadikan mereka
pribadi yang lebih baik bagi masyarakat luas.
Menurut analisa penulis, tujuan pemidanaan pada dasarnya sebagai alat untuk
memberikan pemahaman kepada pelaku tindak pidana, sekaligus kepada
masyarakat bahwa apabila seseorang melanggar ketentuan perundang-undangan
maka akan dikenakan sanksi pidana.
52
Setelah mencermati dan mempelajari isi dari putusan hakim, juga penelitian yang
dilakukan di Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, dapat diketahui bahwa
hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa dalam perkara nomor
562/PID.B/2010/PN.TK secara garis besar mempertimbangkan hal-hal sebagai
berikut :
1. Hal-hal yang bersifat yuridis.
a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Setelah jalannya persidangan, hal-hal yang didakwakan oleh Penuntut Umum
telah terbukti, terdakwa terbukti melakukan pembunuhan terhadap korban
yakni Hartati Saheh dengan latar belakang pembunuhan tersebut dilakukan
atas bujukan dan janji suami korban, yakni Bihman Sanusi yang akan
memberikan sejumlah uang kepada terdakwa dan memerintahkan terdakwa
megambil uang tersebut di laci lemari kamar dengan syarat membunuh
korban terlebih dahulu.
b) Keterangan terdakwa dan saksi
Setelah mendengar keterangan dari terdakwa dan empat orang saksi, didapat
keterangan bahwa para saksi mencurigai terdakwa adalah pelaku
pembunuhan terhadap korban, dikarenakan pada saat pemakaman korban,
terdakwa tidak hadir melayat padahal hubungan antara terdakwa dengan
keluarga korban sangat dekat, ditambah lagi dengan pengakuan terdakwa
yang menyatakan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan atas dasar perintah
dari saksi Bihman Sanusi yang mengatakan akan memberi uang sebesar Rp
10.000.000 (sepuluh juta rupiah) lebih dengan syarat membunuh korban
terlebih dahulu, disamping itu terdakwa juga mengakui semua perbuatannya
53
dan membenarkan apa yang telah dijelaskan oleh para saksi. Berdasarkan
keterangan saksi dan terdakwa jika dihubungkan, maka satu sama lainnya
akan saling berkaitan dan saling melengkapi.
c. Barang bukti yang ditujukan dalam persidangan
Setelah jalannya persidangan didapat barang bukti berupa palu besi
bergagang besi, tali timba yang terbuat dari karet ban mobil, foto buffet, difan
dan lemari terbuat dari kayu/papan. Barang bukti tersebut telah disita secara
sah menurut hukum dan setelah diperlihatkan kepada saksi-saksi dan
terdakwa mereka membenarkan barang bukti tersebut.
Disamping itu didapat keterangan yang sama antara saksi dan terdakwa yang
mengakui tentang adanya perbuatan tindak pidana pembunuhan, oleh karena
itu hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa kareana telah
terpenuhinya adanya minimal dua alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal
183 KUHAP.
2. Hal-hal yang bersifat non yuridis.
a) Latar belakang perbuatan terdakwa
Menurut penulis, setelah mencermati kronologis tindak pidana ini diketahui
bahwa latar belakang terdakwa melakukan tindak pidana pembunuhan adalah
karena motif ekonomi hal ini dapat diketahui bahwa terdakwa melakukan
pembunuhan terhadap korban atas dasar bujukan dan imbalan uang dengan
jumlah Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) lebih yang dijanjikan suami
korban kepada terdakwa dengan syarat, terdakwa harus membunuh korban
terlebih dahulu sebelum mengambil uang yang dijanjikan kepada terdakwa.
54
b) Akibat perbuatan terdakwa
Tindak pidana pembunuhan merupakan salah satu kejahatan yang paling keji
karena menyangkut hak hidup manusia, disamping itu pembunuhan juga dapat
mengakibatkan dampak negatif bagi keluarga korban.
3. Hal-hal yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa.
a) Hal-hal yang memberatkan yaitu : perbuatan terdakwa telah mengakibatkan
korban meninggal dunia, terdakwa sempat melarikan diri, terdakwa telah
menikmati hasil kejahatannya.
b) Hal-hal yang meringankan yaitu : terdakwa mengakui terus terang dan
menyesali perbuatannya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka dalam perkara nomor
562/PID.B/2010/PN.TK majelis hakim menjatuhkan pidana penjara selama 16
(enam belas) tahun terhadap terdakwa dan dinyatakan melanggar Pasal 339
KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Menurut hemat penulis, dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
sebagaimana dimaksud dalam perkara nomor 562/PID.B/2010/PN.TK hakim
lebih cenderung berlandaskan pada hati nurani dan rasa keadilan yang terdapat
dalam diri hakim, disamping itu hakim juga mempertimbangkan segala aspek
yang berkaitan dengan pokok perkara, seperti aspek kemanusiaan, kepastian
hukum, penegakan hukum, dan pendidikan bagi terdakwa. Dalam menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa hakim memiliki dasar peraturan perundang-undangan
sebagai alasan pembenar bahwa terdakwa telah melanggar peraturan perundang-
undangan, disamping itu dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, hakim
55
mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum yang bertujuan untuk
menegakkan kepastian hukum dan meberikan keadilan.
Hal tersebut sejalan dengan teori penjatuhan pidana yakni teori ratio decidendi
yaitu teori yang didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
relevan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan
pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam proses penjatuhan
putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas
untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang
berperkara.
D. Sistem Pemidanaan Terhadap Pelaku Perbarengan Tindak Pidana
Pembunuhan Dalam Rangka Penyertaan
Pada dasarnya pidana merupakan suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau
diberikan oleh negara kepada seorang atau beberapa orang sebagai sanksi baginya
atas perbuatannya yang telah melanggar larangan hukum pidana. KUHP sebagai
sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok
yaitu :
1. Pidana pokok, terdiri dari :
a) Pidana mati ;
b) Pidana penjara ;
c) Pidana kurungan ;
d) Pidana denda ;
56
e) Pidana tutupan.
2. Pidana tambahan, terdiri dari :
a) Pidana pencabutan hak tertentu ;
b) Pidana perampasan barang-barang tertentu ;
c) Pidana pengumuman keputusan hakim.
Secara objektif, hukum pidana berisi tentang berbagai macam perbuatan yang
dilarang, yang terhadap perbuatan-perbuatan itu telah ditetapkan ancaman pidana
kepada barang siapa yang melakukannya, sanksi pidana yang telah ditetapkan
dalam undang-undang tersebut kemudian oleh negara dijatuhkan dan dijalankan
kepada pelaku yang melanggar keterntuan undang-undang tersebut.
Terdapat beberapa macam teori pemidanaan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Teori absolut
Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan, inilah dasar pembenar dari
penjatuhan penderitaan berupa pidana kepada penjahat, negara berhak
menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan
perkosaan hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi ;
2. Teori relatif
Teori ini berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk
menegakkan hukum dlam masyarakat, tujuan pidana dalam teori ini adalah tata
tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana ;
57
3. Teori gabungan
Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata
tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan tersebut menjadi dasar dari
penjatuhan pidana (Adami Chazawi, 2007:157).
Berdasarkan wawancara dan analisis yang dilakukan oleh penulis terhadap
perkara dengan nomor register 562/PID.B/2010/PN.TK, dalam perkara tersebut
terdakwa melanggar Pasal 339 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP yang
diketahui bahwa terdakwa melakukan tindak pidana pembunuhan yang diikuti
dengan delik lain yakni pencurian, disamping itu perbuatan yang dilakukan
terdakwa merupakan bujukan orang lain dengan janji akan memberikan uang
kepada terdakwa apabila terdakwa melakukan pembunuhan tersebut, yang dalam
hal ini terdakwa telah melakukan perbarengan tindak pidana dalam rangka
penyertaan.
Menurut Rinaldy Amrullah, apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan,
perbuatan-perbuatan tersebut berdiri sendiri dan masing-masing merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan dan atau
pelanggaran, yang diantaranya belum ada yang dijatuhan hukuman oleh
pengadilan dan aka diadili sekaligus oleh pengadilan, maka perbarengan tindak
pidana tersebut dikenal dengan istilah perbarengan perbuatan atau concursus
realis.
Ketentuan mengenai perbarengan perbuatan atau concursus realis diatur dalam
KUHP yang dirumuska dalam Pasal 65, 66, 70, dan 70 bis.
58
Pasal 65 KUHP :
(1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan yang
diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan satu
pidana.
(2) Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana
yang diancamkan terhadap perbuatan itu, namun tidak boleh melebihi
maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.
Pasal 66 KUHP :
(1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang masing-masing harus
dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan
beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis,
maka dijatuhkan pidana atas tiap-tiap kejahatan tetapi jumlahnya tidak boleh
melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
(2) Pidana denda dalam hal ini dihitung menurut lamanya maksimum pidana
kurungan pengganti yang ditentukan untuk perbuatan tersebut.
Pasal 70 KUHP :
(1) Jika ada gabungan seperti yang dimaksud dalam Pasasl 65, dan 66, baik
gabungan pelanggaran dengan kejahatan, maupun pelanggaran dengan
pelanggaran, maka untuk tiap-tiap pelanggaran dijatuhkan pidan sendiri-
sendiri tanpa dikurangi.
59
(2) Mengenai pelanggaran, jumlah lamanya pidana kurungan dan pidana
kurungan pengganti paling banyak satu tahun empat bulan, sedangkan jumlah
lamanya pidana kurungan pengganti,paling banyak delapan bulan.
Pasal 70 bis :
Ketika menerapkan Pasal-pasal 65, 66, dan 70, kejahatan-kejahatan berdasarkan
Pasal-pasal 302 ayat (1), 352, 364, 373, 379, dan 482 dianggap sebagai
pelanggaran dengan pengertian, jika dijatuhkan pidan-pidana penjara atas
kejahatan-kejahatan itu jumlahnya paling banyak delapan bulan.
Berdasarkan hasil wawancara dan analisis yang dilakukan oleh penulis, bahwa
sistem pemidanaan yang dilakukan oleh hakim Pengadilan Negeri Kelas IA
Tanjung Karang terhadap perkara dengan nomor register 562/PID.B/2010/PN.TK
mengaju pada Pasal 65 KUHP karena dalam hal tindak pidana yang terjadi pada
putusan pengadilan dengan nomor register 562/PID.B/2010/PN.TK merupakan
tindak pidana yang ancaman pidananya sejenis, artinya kedua tindak pidana yang
dilakukan dalam waktu yang tidak terlampau lama tersebut sama-sama merupakan
kejahatan.
Menurut Sri Widyastuti, sistem pemberian pidana dalam perbarengan perbuatan
apabila berupa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya
dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak
boleh melebihi dari maksimum terberat, ditambah sepertiga.
Berdasarkan hasil wawancara dan analisis yang dilakukan penulis, dalam hal
penjatuhan pidana terhadap terdakwa, hakim mempunyai suatu pertimbangan dan
60
keyakinan, akan tetapi kedua hal tersebut harus diimbangi dan tetap mengacu
pada ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal yang didakwakan kepada
terdakwa, disamping itu hakim juga harus menganut sistem yang diatur dalam
undang-undang mengenai berapa lama pidana yang diterima oleh terdakwa.
Sistem penjatuhan pidana pada perbarengan perbuatan dibedakan menurut
macamnya perbarengan perbuatan, mengenai perbarengan perbuatan undang-
undang membedakan menjadi empat macam, yaitu :
1. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yan masing-
masing diancam dengan pidana pokok yang sama jenisnya (Pasal 65 KUHP),
penjatuhan pidananya dengan menggunakan sistem absorbsi yang dipertajam
yaitu dijatuhi satu pidana saja dan maksimum pidana yang dijatuhkan itu ialah
jumlah maksimum pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana itu, tetapi
boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat di tambah sepertiga;
2. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari beberapa kejahatan yang dancam
dengan pidana pokok yang tidak sama jenisnya (Pasal 66 KUHP), penjatuhan
pidananya dengan menggunakan sistem kumulasi terbatas, artinya masing-
masing kejahatan itu diterapkan yakni pada si pembuatnya dijatuhi pidana
sendiri-sendiri sesuai dengan kejahatan-kejahatan yang dibuatnya, tetapi
jumlahnya tidak boleh lebih berat dari maksimum pidana yang terberat
ditambah sepertiganya, apabila kejahatan yang satu diancam dengan pidana
denda sedangkan kejahatan yang lain dengan pidana hilang kemerdekaan
(penjara atau kurungan), maka untuk pidana denda dihitung dari lamanya
kurungan pengganti denda;
61
3. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari kejahatan dengan pelanggaran,
penjatuhan pidananya menggunakan sistem kumulasi murni;
4. Perbarengan perbuatan yang terdiri dari pelanggaran dengan pelanggaran,
menggunakan sistem kumulasi murni, artinya semua kejahatan maupun
pelanggaran itu diterapkan sendiri-sendiri dengan menjatuhkan pidana pada si
pembuat sesuai dengan ancaman pidana pada kejahatan maupun pelanggaran
itu tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan batas tertentu (Adami
Chazawi, 2007 : 142).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka diketahui bahwa
penjatuhan pidana dalam perkara nomor 562/PID.B/2010/PN.TK menggunakan
sistem absorbsi yang dipertajam yaitu dikenakan satu pidana dengan ketentuan
bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum pidana
yang terberat ditambah sepertiga, yang pada akhirnya hakim memutus perkara
tersebut dengan pidana penjara selama 16 tahun kepada terdakwa.
62
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasa yang telah diuraikan, maka dapat
dibuat kesimpulan sebagai berikut :
1. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku
perbarengan tindak pidana pembunuhan dalam rangka penyertaan sebagaimana
yang dimaksud dalam putusan hakim dengan nomor register perkara
562/PID.B/2010/PN.TK, mempertimbangkan tingkat kesalahan yang telah
dilakukan oleh terdakwa, pengaruh tindak pidana yang telah dilakukan
terhadap korban dan masyarakat, ancaman terhadap Pasal yang didakwakan,
hal yang meringankan dan hal yang memberatkan terdakwa, fakta-fakta yang
terungkap dipersidangan.
Berdasarkan dasar pertimbangan tersebut, dalam menjatuhkan pidana hakim
menggunakan teori ratio decidendi, yaitu teori yang didasarkan pada landasan
filsafat yang mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan
dengan pokok perkara yang relevan, kemudian mencari peraturan perundang-
undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai
dasar hukum dalam proses penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus
[Type a quote from the
document or the summary of
an interesting point. You can
position the text box anywhere
in the document. Use the Text
Box Tools tab to change the
formatting of the pull quote
text box.]
63
didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan
memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
2. Sistem pemidanaan terhadap pelaku perbarengan tindak pidana pembunuhan
dalam rangka penyertaan sebagaimana yang dimaksud dalam putusan hakim
dengan nomor register perkara 562/PID.B/2010/PN.TK menggunakan sistem
absorbsi yang dipertajam yang mengacu pada Pasal 65 KUHP :
(1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai
perbuatan yang berdiri sendiri, sehingga merupakan beberapa kejahatan
yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka hanya dijatuhkan
satu pidana.
(2) Maksimum pidana yang dapat dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana
yang diancamkan terhadap perbuatan itu, namun tidak boleh melebihi
maksimum pidana terberat ditambah sepertiga.
Secara garis besar diartikan bahwa apabila tindak pidana tersebut berupa
kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan
satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh
melebihi dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.
B. Saran
Dalam penjatuhan pidana terhadap perkara yang didalamnya terdapat unsur
perbarengan dan penyertaan jarang sekali majelis hakim menjatuhkan pidana
maksimum sebagaimana yang diancamkan dalam Pasal-pasal yang dilanggar oleh
terdakwa, pada dasarnya hakim menjatuhkan pidana menggunakan sistem
64
absorbsi yang dipertajam yaitu dalam perbarengan perbuatan apabila berupa
kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dikenakan satu
pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi
dari maksimum terberat, ditambah sepertiga. Sehingga dapat diartikan bahwa
sistem penjatuhan pidana dalam perbarengan tindak pidana tersebut meringankan
terdakwa dalam hal menerima hukuman. Maka penulis memberikan saran agar
dalam penjatuhan pidana tersebut diberikan pidana maksimum berdasarkan Pasal
yang dilanggar oleh terdakwa.