skripsi petrologi batuan gunung api

150
i GEOLOGI DAN PETROLOGI BATUAN GUNUNG API DAERAH MELIKAN, DAN SEKITARNYA KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA No Lembar Peta 8/45 1408-314 (Cawas), 4/15 1408-312 (Karangmojo) SKRIPSI TIPE I Diajukan untuk memenuhi kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta Oleh : Sofyan Samsudin 08. 10.0520 JURUSAN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND YOGYAKARTA 2015

Upload: opick-gamalama

Post on 14-Dec-2015

189 views

Category:

Documents


35 download

TRANSCRIPT

i

GEOLOGI DAN PETROLOGI BATUAN GUNUNG API DAERAH MELIKAN, DAN SEKITARNYA

KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

No Lembar Peta 8/45 1408-314 (Cawas), 4/15 1408-312 (Karangmojo)

SKRIPSI TIPE I

Diajukan untuk memenuhi kurikulum tingkat Sarjana pada

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta

Oleh : Sofyan Samsudin

08. 10.0520

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND

YOGYAKARTA 2015

ii

LEMBAR PENGESAHAN

GEOLOGI DAN PETROLOGI BATUAN GUNUNG API DAERAH MELIKAN DAN SEKITARNYA

KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

No Lembar Peta 8/45 1408-314 (Cawas), 4/15 1408-312 (Karangmojo)

SKRIPSI TIPE I

Diajukan untuk memenuhi kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,

Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta

iii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

GEOLOGI DAN PETROLOGI BATUAN GUNUNG API DAERAH MELIKAN DAN SEKITARNYA

KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

No Lembar Peta 8/45 1408-314 (Cawas), 4/15 1408-312 (Karangmojo)

SKRIPSI TIPE I

Diajukan untuk memenuhi kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,

Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

perna diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetathuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

perna ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka ini.

Yogyakarta, 2015

Sofyan Samsudin

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk kedua Orang Tua dan Kaka saya; terimakasih atas dukungan moril maupun do’a

selama ini.

Untuk teman-teman saya; semoga perjuangan yang kita lakukan sekarang tidak sia-sia dan semoga

kita semua menjadi generasi penerus bangsa yang takwa terhadap Tuhan YME, mencintai Negeri ini, serta selalu bersatu dalam setiap kesusahan

maupun kesenangan. Amin

vi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas

rahmat dan hidayah-Nya penulis diberikan kemudahan dan kelancaran sehingga

dapat menyelesaikan Skripsi Tipe I dengan judul Geologi dan Petrologi Batuan

Gunung api Daerah Melikan Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul

Daerah Istimewa Yogyakarta ini tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan dan penyelesaian laporan Skripsi Tipe I ini tidak akan

dapat penulis selesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Samsudin Hi Rauf (ayah), Munira Gandahur (Ibu), Nurjana Buamona

(kaka), Amirudin Buamona (kaka) dan Jubaida Buamona (kaka)

Tidak ada kata-kata selain ucapan terima kasih untuk cinta, perhatian,

doa, pengorbanan, nasehat, dukungan dan semua yang telah diberikan

buat saya selama ini. Terima kasih karena telah hadir bersama saya

baik disaat susah maupun senang, Semangat dan dorongan yang

kalian berikan sungguh menjadi cambuk buat saya.

2. Ibu Dr. Sri Mulyaningsih, S.T., M.T. selaku dosen pembimbing I dan

selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi. serta sebagai orang tua saya

selama di kampus IST Akprind yang telah memberikan motifasi,

bimbingan dan ilmu kegunungapian, selama kuliah sampai sekarang

menempuh skripsi.

3. Bapak Arie Noor Rakhman, S .T., M. T. Selaku dosen pembimbing II

yang telah membimbin, dan memberikan semangat selama di

perkuliahan, seminar dan sampai sekarang menempuh skripsi

4. Sahabat pemetaan Zona Pegunungan Selatan Stiwinder, Inonk, Erwin,

Karam, adik Yoli, Nur Aisah, Jose, Roby, dan teman teman Zona

Kendeng Bill, Yorim, Carla, Kristo, Fali, Didik dan teman-teman

seperjuangan 08 Teknik Geologi IST AKPRIND, dan semua pihak

vii

yang tidak dapat disebutkan semuanya yang selalu bersedia

membantu dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan tugas

akhir ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan segala kritik , saran dan masukan yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan tugas akhir ini. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 2015

Sofyan Samsudin

viii

INTISARI

Daerah penelitian secara administratif terletak di daerah Melikan dan sekitarnya, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewah Yogyakarta. Secara astronomis terletak pada koordinat 07°50’00” LS - 07°55’300” LS dan 110°40’00” BT - 110°45’00” BT. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui keadaan geologi daerah penelitian, yang meliputi geomorfologi, stratigrafi, geologi struktur, sejarah geologi, dan geologi lingkungannya, serta petrologi batuan gunung api yang berada pada daerah tersebut.

Metode yang digunakan dalam penyusunan tugas akhir adalah dengan pemetaan geologi permukaan yang meliputi beberapa tahapan, antara lain tahap persiapan, tahap pemetaan geologi permukaan, tahap analisis laboratorium, dan tahap penyusunan laporan.

Geomorfologi di daerah penelitian dibagi menjadi enam subsatuan geomorfologi, yaitu: subsatuan geomorfologi dataran aluvial, tubuh sungai, perbukitan bergelombang sedang-kuat (D2), perbukitan bergelombang sedang- kuat (D3) dan perbukitan bergelombang lemah-sedang (D4). Pola pengaliran berupa subdendritik, denritik, multibasinal, serta kontorted, dengan stadia daerah dewasa. Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari enam satuan batuan dari yang tua sampai muda adalah satuan breksi pumis, satuan tuff, satuan breksi polimik,breksi andesit, satuan batugamping, dan satuan endapan aluvial. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa sesar dan kekar. Di daerah penelitian terdapat terdapat sesar mendatar kiri bending, dengan arah timur barat. Sesumber geologi daerah penelitian berupa air, lahan, bahan galian (breksi pumis dan tuf dan batugamping). Bahaya geologi berupa banjir, dan tanah longsor. Hasil identifikasi morfologi, stratigrafi, serta struktur geologi membuktikan bahwa daerah penelitian merupakan daerah busur kepulauan gunung api pada masa lampau. Kegiatan vulkanisme dimulai dari fase pembentukan tubuh komposit (konstruktif) yang penyusunnya berupa lava andesit-basaltis - lava andesit-dasitis serta material piroklastik dan koloni gamping yang hidup di sekitar lereng gunung api pada saat itu. setelah itu mengalami fase penghancuran tubuh (destruktif) menghasilkan breksi polimik (campuran fragmen batuan sebelumnya), tuf, serta breksi pumis. Selanjutnya kontrol eksogen seperti pelapukan dan erosi berperan dan menghasilkan bentang alam seperti yang terlihat saat ini.

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii

HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... iii

PRAKATA .......................................................................................................... vi

INTISARI ............................................................................................................ .vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xviii

BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1

I.1. Latar belakang......................................................................................... 1

I.2. Maksud dan tujuan .................................................................................. 1

I.3. Letak, luas dan kesampaian daerah ......................................................... 2

I.4. Permasalahan ........................................................................................... 4

I.4.1 Pemetaan geologi ........................................................................... 4

I.4.2 Analisis batuan gunung api ............................................................ 5

I.5. Metode penelitian .................................................................................... 5

I.5.1 Tahap persiapan ............................................................................. 5

I.5.2 Penilitian lapangan ......................................................................... 6

I.5.3 Analisis laboratorium dan studio ................................................... 9

I.5.4 Pembuatan peta dan laporan .......................................................... 9

I.6. Alat dan bahan ....................................................................................... 10

I.7. Penelitian terdahulu ............................................................................... 11

x

BAB II. GEOMORFOLOGI .............................................................................. 13

II.1 Geomorfologi Regional ...................................................................... 13

II.2 Geomorfologi Daerah Penelitian ........................................................ 15

II.2.1 Sub satuan geomorfologi dataran aluvial .................................. 17

II.2.2 Sub satuan geomorfologi tubuh sungai ..................................... 18

II.2.3 . Satuan geomorfik asal denudasional (D2) ............................... 19

II.2.4 Satuan geomorfik asal denudasional (D3)……………………..20

II.2.5 Satuan geomorfik asal denudasional (D4) ............................... 21

II.3. Pola pengaliran sungai ........................................................................ 22

II.3.1 Pola pengaliran daerah penelitian ..................................................... 25

II.4. Stadia daerah penelitian ...................................................................... 28

BAB III. STRATIGRAFI ................................................................................... 31

III.1. Stratigrafi Regional ............................................................................ 31

III.1.1. Batuan metamorf ..................................................................... 31

III.1.2. Formasi Wungkal-Gamping .................................................... 32

III.1.3. Formasi Kebo-Butak ............................................................... 32

III.1.4. Formasi Semilir ....................................................................... 32

III.1.5. Formasi Nglanggran ................................................................ 33

III.1.6. Formasi Mambipitu ................................................................. 33

III.1.7. Formasi Oyo ............................................................................ 34

III.1.8. Formasi Wonosari .................................................................. 35

III.1.9. Formasi Kpek .......................................................................... 35

III.1.10. Endapan Aluvium ................................................................. 35

III.2 Stratigrafi daerah penelitian ................................................................ 37

III.2.1. Satuan breksi pumis ................................................................... 40

III.2.1.1. Dasar penamaan ................................................................... 40

xi

III.2.1.2. Penyebaran dan ketebalan .................................................... 40

III.2.1.3. Ciri litologi ........................................................................... 41

III.2.1.4. Umur dan hubungan stratigrafi ............................................ 42

III.2.2. Satuan tuf .................................................................................. 42

III.2.2.1 Dasar penamaan .................................................................... 42

III.2.2.2 Penyebaran dan ketebalan ..................................................... 43

III.2.2.3 Ciri litologi ............................................................................ 43

III.2.2.4 Umur dan hubungan stratigrafi ............................................. 44

III.2.3 Satuan breksi polimik .................................................................. 45

III.2.3.1 Dasar penamaan .................................................................... 45

III.2.3.2 Penyebaran dan ketebalan ..................................................... 45

III.2.3.3 Ciri Litologi ........................................................................... 45

III.2.3.4 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 46

III.2.4 Satuan Breksi Andesit ................................................................. 46

III.2.4.1 Dasar penamaan .................................................................... 46

III.2.4.2 Penyebaran dan Ketebalan .................................................... 47

III.2.4.3 Ciri Litologi ........................................................................... 47

III.2.4.4 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 48

III.2.5 Satuan Batugampig klastik .......................................................... 48

III.2.5.1 Dasar Penamaan .................................................................... 48

III.2.5.2 Penyebaran dan Ketebalan .................................................... 49

III.2.5.3 Ciri Litologi ........................................................................... 49

III.2.5.4 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 50

III.2.6 Endapan Aluvial ......................................................................... 51

III.2.6.1 Penyebaran dan Ketebalan .................................................... 51

III.2.6.2 Ciri Litologi ........................................................................... 51

xii

III.2.6.3 Umur dan Hubungan Stratigrafi ............................................ 52

BAB. IV STRUKTUR GEOLOGI..................................................................... 53

IV.1 Struktur Geologi Regional.................................................................. 53

IV.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian .................................................. 56

IV.2.1. Struktur kekar.......................................................................... 56

IV.2.2. Struktur sesar ........................................................................... 57

IV.2.2.1 Sesar mendatar kiri Bendung ............................................ 58

IV. 2.3. Struktur antiklin Ngampon ...................................................... 59

IV.3 Genesa Pembentukan Struktur Geologi Daerah Penelitian ................ 59

BAB V. SEJARAH GEOLOGI .......................................................................... 61

V.I Sejarah Geologi Daerah Penelitian ....................................................... 61

V.I.1. Kala Miosen Awal – Miosen Akhir ....................................... 61

V.I.2 Kala Miosen Tengah-Miosen Akhir ....................................... 63

V.I.3. Kala Pliosen Akhir ................................................................. 63

BAB VI. GEOLOGI LINGKUNGAN ............................................................... 65

VI.1. Potensi Sumber Daya Alam .............................................................. 65

VI.1.1. Air ....................................................................................... 65

VI.1.2. Bahan galian......................................................................... 66

VI.1.2.1. Breksi pumis dan tuf .................................................. 67

VI.1.2.1. Batugamping ............................................................. 68

VI.1.3. Sumber daya lahan ............................................................... 68

VI.2 Bencana Alam .................................................................................... 70

BAB VII. PETROLOGI BATUAN GUNUNG API…………………………..71

VII.1 Latar Belakang .................................................................................. 71

VII.2 Dasar Teori ........................................................................................ 73

VII.2.1 Pengertian gunung api ........................................................... 73

xiii

VII.2.2 Volkanisme dan batuan gunung api ...................................... 74

VII.2.2.1 Lava koheren ............................................................... .76

VII.2.2.2 Batuan klastika gunung api.......................................... .77

VII.2.2.3 Jenis endapan piroklastik................. ………………....82

VII.2.2.4 Identifikasi fasies gunung api berdasarkan stratigrafi gunung api.........................................………………...83

VII.3 Metode Pendekatan ......................................................................... .85

VII.4 Petrologi Batuan Gunung Api ......................................................... .86

VII.4.1 Analisis profil dan litofasies pada LP 44 .............................. 87

VII.4.1.1 Analisis profil satuan breksi polimik ........................... 87

VII.4.1.2 Breksi pumis ................................................................ 88

VII.4.1.3 Tuf kasar ...................................................................... 90

VII.4.1.4 Tuf halus ...................................................................... 93

VII.4.1.5 Breksi polimik .............................................................. 94

VII.4.1.6 Mekanisme pengendapan ............................................. 97

VII.4.2 Analisis profil dan litofasies pada LP 62 .............................. 99

VII.4.2.1 Analisis profil .............................................................. 99

VII.4.2.2 Breksi pumis…………………………………………101

VII.4.2.3 Tuf lapilli…………………………………………….103

VII.4.2.4 Tuf halus……………………………………………..105

VII.4.2.4 Mekanisme pengendapan…………………..………..107

VII.4.3 Analisis profil dan litofasies pada LP 35………………….108

VII.4.3.1 Analisis profil………………………………………..108

VII.4.3.2 Tuf halus……………………………………………..110

VII.4.3.3 Tuf kasar……………………………………………..111

VII.4.3.4 Breksi pumis…………………………………………113

xiv

VII.4.3.4 Mekanisme pengendapan……………………………116

BAB VIII. KESIMPULAN …………………………………………………...118

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ANALISIS PETROGRAFI

ANALISIS PALEONTOLOGI

LAMPIRAN LEPAS

PETA LINTASAN

PETA GEOLOGI

PETA GEOMORFOLOGI

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Peta indeks lokasi daerah penelitian dan letaknya dari Kota Yogyakarta, kotak warna hitam adalah daerah penelitian (Modifikasi dari peta RBI,2013) ................................................. 4

Gambar 1.2. Peta topografi daerah penelitian (Modifikasi dari peta

RBI,2014) .................................................................................... 6 Gambar 1.3. Bagian alir penelitian (Penulis 2013) .......................................... 11 Gambar 2.1. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur

(Bemmelen, 1949) ....................................................................... 15 Gamba2.2. Subsatuan gemorfik dataran aluvial, foto di ambil pada desa

Watusigar 173 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan ensah kamera menghadap ke Tenggara (foto penulis 2013) .... 18

Gambar 2.3. Morfologi tubuh sungai dengan pola tapal kuda (meander)

garis hijau menunjukan arah aliran berkelok-kelok sebagai pencirisungai tapal kuda Foto berada pada kali Oyo dusun Radusari dengan kondisi cuaca cerah dan lensa kamera menghadap ke timur laut (foto penulis 2013) .......................... 19

Gambar 2.4. Perbukitan bergelombang sedang-kuat (D2) foto di ambil pada

desa Bulurejo dengan arah kamera menghadap ke ketenggara .. 20 Gambar 2.5. Perbukitan bergelombang sedang-kuat, terdiri dari litologi

batugambing klastik dan tuf (D3) foto di ambil pada desa Tapansari cuaca cerah, dan arah lensa kamera menghadap ke selatan (foto penulis 2013) .......................................................... 21

Gambar 2.6. Perbukitan bergelombang lemah-sedang (D4) tersusun dari

litologi tuf dan napal,foto di ambil pada dusun Bendungan, dengan cuaca cerah dan arah lensa kamera menghadap ke Timurlaut (foto penulis 2013) ..................................................... 22

Gambar 2.7. Klasifikasi pola aliran (Howard, 1967). ................................... 23 Gambar 2.8. Kenampakan pola aliran pada daerah penelitian (penulis,

2013) .......................................................................................... 27

xvi

Gambar 2.9. Sungai dengan stadia muda, dimana menunjukan aliran yang deras dan penampang “V” dan tidak ada proses sedimentasi, cuaca cerah dan arah lensa menghadap ke selatan. (foto penulis, 2013). ........................................................................... 28

gambar 2.10. Penampang sungai stadia dewasa. Pola lembah huruf “U”

pada kali Oyo lensah kamera menghadap ke barat laut. (foto penulis, 2013) ............................................................................ 29

Gambar 3.1. Stratigrafi Pegunungan selatan menurut Surono, dkk., (1992).. 36 Gambar 3.2. Letak formasi di daerah penelitian dan posisi litostratigrafi

berdasarkan peta regional Surakarta-Giritontro oleh Surono, dkk (1992) ................................................................................. 37

Gambar 3.3. Stratigrafi daerah penelitian. (penulis 2013) ............................ 39

Gambar 3.4. Gambar 3.4. Kenampakan singkapan pada satuan breksi

pumis di LP 35 berada di Dusun Sorodadi, Kecamatan Ponjong, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini sebagian besar tertutup oleh rumput. Kedudukan batuan (N95 E/18) dan arah lensah kamera menghadap ke barat-dayat. (foto penulis, 2013). ...................... 41

Gambar 3.5. Ciri fisik Breksi Pumis di lapangan pada LP 42 di dusun jeruken (foto penulis, 2013) ...................................................... 42

Gambar 3.6. Tuf dengan struktur berlapis, Foto diambil pada LP 33 dengan

arah lensah kamera mnghadap ke barat. (foto penulis, 2013) .. 44 Gambar 3.7. Satuan breksi polimik dan hubungannya di lapangan dengan

anggota litologi yang lainnya. Foto diambil pada LP 44 dengan arah kamera menghadap ke barat (foto penulis, 2013) 46

Gambar 3.8. Foto Inset litologi breksi Andesit yang masih kelihatan fresh

singkapan Breksi Andesit ini berada pada LP 136. Cuaca cerah, (foto penulis 2013. (foto penulis, 2013).......................... 48

xvii

Gambar 3.9. Kenampakan kontak di lapangan antara satuan Tuf dan satuan Batugamping klastik, dimana kenampakan kontak antara satuan tersebut terdapat basalt konglomerat di (tengah) yang mencirikan bahwa kedua satuan ini tidak selaras foto ini di ambil pada LP 110 di desa bejono (foto penulis, 2013 ............. 49

Gambar 3.10. Ciri fisik batugamping klastik di lapangan, dengan (kondisi

Fres) foto diatas menunjukan batugamping berada di bagian bawah sedangkan soil berada di atas dengan kedudukan N 95’ E/10’ pada LP 24 Desa Watusigar (foto penulis,2013) ............ 50

Gambar 3.11. Klasifikasi lingkungan batimetri, gabungan dari Tipsword, dkk

(1966) dan Ingle (1980) ............................................................. 51 Gambar 3.12. Endapan Aluvial. Foto diambil pada LP 132. dengan arah

kamera menghadap ke tenggara, foto penulis, 2013) ................ 52 Gambar 3.13. Satuan endapan Aluvial pada LP 131 timurlaut, besar terdiri

dari atas pasir, kerikil. Bongkah dan lempung (foto penulis, 2013) ......................................................................................... 52

Gambar 4.1. Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya

(modifikasi dari Pulunggono dan Martodjojo, 1994 dalam Prasetyadi, 2007) ...................................................................... 53

Gambar 4.2. Pola struktur geologi regional daerah penelitian (Surono, dkk.,

1992) .......................................................................................... 55 Gambar 4.3. Kenampakan struktur kekar gerus pada satuan breksi pumis.

Foto diambil Pada LP 103, di Desa Bendung, lensa kamera menghadap ke barat (foto penulis, 2013) ................................. 56

Gambar 4.4. Sesar mendatar kiri Bendung pada singkapan breksi dan tuf,

pada satuan tuf di temukan bidang sesar yang menjadi bukti bahwa pada daerah Bendung berkembang sesar mendatar kiri, arah lensah kamera menghadap ke barat laut (penulis,2013) ..... 58

Gambar 4.5. Antiklin Ngampon pada singkapan tuf, di satuan tuf, di

dapatkan antiklin dengan arah umum barat-timur di interprestasikan bahwa ini merupakan struktur lipatan yang terjadi di daerah penelitian dikarenakan adanya proses kompresi, lensa kamera menghadap barat (foto penulis 2013) 59

xviii

Gambar 4.6. Pola struktur pada daerah vulkanik beserta struktur penyertanya (Penulis 2013) ...................................................... 57

Gambar. 5.1. 1) Kala Miosen Bawah aktivitas vulkanisme mengalami evolusi,

magma basal menjadi andesit basalt, andesit – dasit. 2) Kala Miosen Tengah Terjadi ledakan sangat eksplosif ditandai dengan kemunculan breksi pumis yang melimpah, setelah itu aktivitas vulkanisme berhenti & digantikan dengan pengendapan sedimen laut. 3) Kala Pliosen Akhir fase tektonik berupa pengangkatan. .................................................. 64

Gambar 6.1. Kali Oyo sebagai salah satu sumber daya air daerah penelitian.

Kamera menghadap ke barat (foto penulis, 2013) .................... 66 Gambar 6.2. Tempat penambangan breksi pumis pada desa Surodadi. Pada

LP 45 (foto penulis 2013) ......................................................... 67 Gambar 6.3. Tempat penambangan breksi pumis pada desa Surodadi. Pada

LP 35 (foto penulis 2013) ......................................................... 67 Gambar 6.4. Penambangan batugamping yang dilakukan oleh warga

setempat. Lensa kamera menghadap ke Barat-daya (foto penulis, 2013) ........................................................................... 68

Gambar 6.5. Perkebunan kayu putih pada geomorfik bergelombang sedang

di desa Kedongdowo kecamatan Karangmojo, di bagian barat daya daerah penelitian (foto penulis 2013) ............................... 69

Gambar 6.6. Daerah persawaan yang berada di dataran renda (alluvial), di

desa Randusari, kecamatan Ngawen berada di bagian tengah daerah penelitian (foto penulis 2013) ....................................... 69

Gambar 6.7. Tanah longsor yang terjadi pada Dusun Melikan. Arah foto

menghadap ke tenggara (foto penulis 2013) ............................. 70 Gambar 7.1. Peta Geologi Regional daerah penelitian. ( modifikasi dari

Surono,dkk., 1992) ................................................................... 72 Gambar 7.2. (a) Model Letusan gunung api, dan (b) fasies endapannya

yang menghasilkan breksi koignimbrit beserta batuan piroklastika kaya batuapung (Wright,1981, dalam Bronto,2009) ............................................................................. 81

xix

Gambar 7.3. Skema penampang kerucut gunung api komposit. A. Kerucut gunung api yang masih utuh, B. Kerucut gunung api yang sudah tererosi pada tingkat dewasa dan C. Kerucut gunung api yang sudah tererosi lanjut ( Williams & MacBirney ,1978 dalam Bronto, 2003) ................................................................. 81

Gambar 7.4. Karakteristik gunung api komposit (Lockwood and

Hazlet,2010) ............................................................................. 82 Gambar 7.5. Jenis-jenis endapan piroklastik (Colin and Bruce, 2000) ......... 83 Gambar 7.6. Pembagian fasies gunung api menjadi fasies sentral, fasies

poksimal, fasies medial dan fasies distal beserta komposisi batuan penyusun nya Bogie & Mackenzie, 1998) ..................... 85

Gambar 7.7. Foto singkapan Breksi Polimik pada LP 44 cuaca cerah dan

arah kamera menghadap ke barat (foto penulis 2013) .............. 88 Gambar 7.8. Kenampakan breksi pumis di Dusun Jirak, fragmen batuan

didominasi oleh pumis sedang bahan litik hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik foto (foto penulis 2013) ................... 89

Gambar 7.9. Singkapan tuf kasar dengan struktur berlapis di LP 44 (foto

penulis 2013) ............................................................................. 91 Gambar 7.10. Kenampakan tuf halus dengan struktur berlapis pada LP 44

(foto penulis 2013)..................................................................... 93 Gambar 7.11. Foto di atas merupakan singkapan breksi polimik di LP 44.

Fragmen batuan di dominasi oleh batuan beku berupa andesit dan basalt, sedangkan fragmen pumis dan asesoris hanya 10% tertanam dalam masa dasar tuf-lapili pumis, lensa kamera menghadap ke barat-laut (foto penulis 2013). ........................... 95

Gambar 7.12. Jenis dan ciri endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis

perlapisan pada LP 44, (modifikasi dari Fisher dan Schminke, 1984) .......................................................................................... 99

xx

Gambar 7.13. Kenampakan singkapan pada LP 44 berada di Dusun Kepek, Kecamatan Semin, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh tuf halus, kemudian lapisan tuf lapili dan paling bawah berupa breksi pumis. Singkapan ini berada di sungai dengan aliran sungai (N 85). Kedudukan batuan (N93 E/19) dan arah lensah kamera menghadap ke barat. (foto penulis, 2013) ......... 100

Gambar 7.14. Foto singkapan breksi pumis pada LP 62, di mana fragmen

batuan didominasi oleh pumis, (foto penulis 2013) .................. 101

Gambar 7.15. Singkapan tuf lapilli dengan struktur berlapis-gradasi berada

di LP 62, Desa Kepek, kecamatan Semin (foto penulis 2013). . 103 Gambar 7.16. Singkapan tuf halus pada LP 62 (foto penulis, 2013) ................ 106 Gambar 7.17. Jenis dan ciri endapan piroklastik, kotak merah adadlah jenis

perlapisan pada LP 62, (modifikasi dari Fisher dan Schminke, 1984) .......................................................................................... 108

Gambar 7.18. Kenampakan singkapan pada LP 35 berada di Dusun

Sorodadi, Kecamatan Ponjong, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini berada di gunung Panggung, foto di atas menunjukan tekstur pada singkapan ini berupa penghalusan ke bawah dengan kedudukan batuan (N105 E/8) dan arah lensah kamera menghadap ke barat-daya. (foto penulis, 2013). ....................... 109

Gambar 7.19. Kenampakan megaskopis tuf halus. Foto diambil pada LP 35

(foto penulis, 2013).................................................................... 110 Gambar 7.20. Kenampakan megaskopis tuf kasar dengan struktur berlapis

pada LP 35, Desa Sorodadi, Kecamatan Ponjong. Foto di atas ini menunjukan tekstur pada bagian luar nampak berlubang-lubang, foto penulis (2013) ........................................................ 112

Gambar 7.21. Foto di atas menunjukan kenampakan fragmen pumis yang

didominan, pada LP 35, cuaca cerah, (foto penulis, 2013) ...... 114

xxi

Gambar 7.19. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah

adalah jenis perlapisan pada LP 35, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984) ................................................................ 103

xxii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi lereng (Zuidam, 1983) ..................................................... 16

Tabel 7.1. Klasifikasi Nama Endapan dan Batuan Piroklastik, modifikasi menurut Fisher & Schmincke (1984) ................................................. 80

Tabel 7.2. Kolom profil LP 44 Dusun Jirak (tanpa skala) .................................. 87

Tabel 7.3. Kolom Profil LP 62 Desa Semin (tanpa skala) .................................. 100

Tabel 7.4. Kolom profil LP 35 (tanpa skala) ....................................................... 109

xxiii

DAFTAR LAMPIRAN

A. Lampiran Terikat

Lampiran I : Analisis Petrografi

Lampiran II : Analisis Paleontologi

B. Lampiran Lepas

Peta Lintasan

Peta Geomorfologi

Peta Geologi

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang kaya akan gunungapi, namun ternyata

ilmu tentang gunungapi di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding negara-

negara lain yang bahkan tidak memiliki gunung api sekalipun.

Kutipan di atas merupakan pemikiran awal yang melatar belakangi penulis

untuk mengambil judul “Geologi dan Petrologi Batuan Gunung api ” dimana

yang penulis akan pelajari batuan gunung api tapi bukanlah gunung api yang

muda seperti kutipan di atas, melainkan gunungapi yang berumur Tersier (purba)

dan telah tererosi lanjut dan kemungkinan besar bentang alamnya tidak kelihatan

lagi seperti gunung api masa sekarang, bahkan litologi maupun strukturnya

mungkin tidak “insitu” dan beraturan lagi seperti keadaan semula.

Namun dengan adanya literatur yang cukup mendukung penulis, dan

keinginan tahuan yang tinggi dari yang belum penulis ketahui, walaupun dengan

bekal “ the present is the key to the past” penulis memberanikan diri untuk

mengambil judul ini.

I.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari pemetaan geologi di daerah Melikan dan sekitarnya,Kabupaten

Gunungkidul, Daerah Istimewah Yogyakarta, adalah untuk memenuhi persyaratan

kurikulum tingkat Sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,

Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta.

2

Tujuan pemetaan geologi ini adalah untuk mengetahui dan memetakan

daerah penelitian, sehingga diperoleh data geologi yang meliputi geomorfologi,

stratigrafi, struktur geologi, geologi lingkungan, dan memberikan informasi

tentang keadaan geologi khususnya petrologi batuan gunung api di daerah

tersebut.

I.3 Letak, Luas dan Kesampaian Daerah

Lokasi daerah penelitian kurang lebih 65 kilometer dari Kota Yogyakarta

(Gambar 1.1), secara administrasi daerah penelitian berlokasi di beberapa desa,

antara lain Desa Bendung, Desa Kalitekuk, Desa Watusigar Desa Jatiayu dan

Desa Melikan. Selain itu, daerah penelitian termasuk dalam empat kecamatan,

yakni Kecamatan Ngawen, Kecamatan Semin. Kecamatan Krangmojo dan

Kecamatan Ponjong Yang terletak di Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta. Secara geografi daerah penelitian terletak pada koordinat

07 50 00 - 07 55 00 LS dan 110 40 00 - 110 45 00 BT Luas daerah penelitian

adalah 9 x 9 km atau jika di bentangkan memanjang sama dengan 81 km2. Skala

yang digunakan yaitu skala semi detail dengan besaran 1:25.000 yang artinya 1

cm di peta topografi sama dengan 250 meter di lapangan.

Daerah penelitian termasuk dalam Peta Rupa Bumi Indonesia Digital skala

1: 25.000 Lembar 1408-314 Cawas dan Lembar 1408-312 Karangmojo. Batas

administratif daerah penelitian, daerah utara berbatasan dengan Kecamatan Bayat

Kabupaten Klaten, daerah selatan berbatasan dengan Desa Umbulrejo Kecamatan

Ponjong, barat berbatasan dengan Kecamatan Nglipar, dan bagian Timur

berbatasan dengan Kecamatan Manyaran.

3

Akses jalan menuju lokasi penelitian dari Kota Yogyakarta relatif mudah

diakses, karena untuk menuju ke daerah penelitian dapat ditempuh dengan

mengunakan sepeda motor, mobil serta bus. Perjalanan dari Yogyakarta ke daerah

penelitian kurang lebih 1,5 jam, melalui jalan Jogja - Wonosari, kemudian sampai

di persimpangan arah ke Nglipar, kearah timur hingga sampai di Kecamatan

Semin, atau dapat juga melalui jalan lain yaitu dari Yogyakarta, ke arah jalan Solo

- Klaten, Setelah sampai di daerah Srowot kemudian menuju Kecamatan Wedi –

Kecamatan Bayat dan dilanjutkan kearah selatan menuju Kecamatan Ngawen dan

dilanjutkan ke timur menuju Kecamatan Semin. Namun, beberapa akses jalan di

lokasi penelitian tidak dapat dilalui dengan kendaraan, karena tidak semua jalan

beraspal, sehingga untuk melakukan pengamatan lapangan dilakukan dengan

berjalan kaki dan mengendarai sepeda motor apabila jalan memungkinkan untuk

dilalui. Jalan di daerah penelitian didominasi oleh jalan aspal, semen dan jalan

setapak.

Akses jalan yang menghubungkan antara kecamatan satu dengan lainnya

adalah jalan beraspal. Jalan yang menghubungkan antar kecamatan yang satu

dengan yang lain relative mudah diakses, dapat dilalui oleh mobil, truk dan bus

namun ada beberapa lokasi yang hanya dapat dilalui oleh sepeda motor. Selama

penelitian di lapangan, basecamp (pangkalan kerja) berada di Desa Gendangan

Tiga, Kecamatan Karangmojo terletak 1 kmdari kota Kecamatan Karangmojo,

mengingat akses yang mudah dijangkau sehingga lokasi basecamp yang dipilih

adalah di Desa Gendangan Tiga.

4

Gambar 1.1. Peta indeks lokasi daerah penelitian dan letaknya dari Kota Yogyakarta, kotak warna

merah menunjukan letak daerah penelitian (Modifikasi dari peta RBI,2013).

I.4. Permasalahan

Permasalahan dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu permasalahan

dalam pemetaan geologi dan permasalahan petrologi batuan gunung api di daerah

penelitian.

I.4.1. Pemetaan geologi

Permasalahan yang harus diselesaikan dalam pemetaan geologi

diantaranya adalah :

a. Geomorfologi

b. Litologi dan stratigrafi

5

c. Struktur geologi

d. Sejarah geologi

1. Geologi lingkungan, meliputi potensi sumber daya alam dan potensi bencana.

I.4.2. Analisis batuan gunung api

Permasalahan yang harus diselesaikan dalam petrologi batuan gunung api

diantaranya adalah :

a. anlisis profil

b. analisis litofasies

c. Mekanisme pengendapan

I.5 Metode Penelitian

Tahap penelitian dibagi atas 4 bagian besar, yaitu tahap persiapan,

penelitian lapangan, penelitian laboratorium, dan pembuatan peta dan laporan

akhir. Tahap-tahap tersebut saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya

dan susunannya saling melengkapi.

I.5.1 Tahap Persiapan

Persiapan awal dilakukan untuk mempersiapkan semua kebutuhan yang

akan menjadi bekal sebelum melakukan penelitian, diantaranya studi geologi

regional daerah penelitian, interpretasi peta topografi, interprestasi kondisi

geomorfologi daerah telitian, interprestasi jalan dan perencanaan lintasan,

persiapan alat yang nantinya di gunakan di lapangan, persiapan biaya yang di

butuhkan dan rencana waktu lamanya penelitian. Dengan persiapan awal

6

diharapkan penelitian ini dapat lebih mudah didalam melaksanakan pemetaan

geologi secara cepat dan tepat.

I.5.2 Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dibagi menjadi enam urutan pelaksanaan, yaitu

perencanaan lintasan, jalur jalan atau sungai, kemudian di lanjutkan dengan

7

pemetaan detail, pembuatan lintasan stratigrafi terukur, interpolasi batas satuan

batuan dan pembuatan sayatan geologi.

1. Perencanaan lintasan

Perencanaan ini dilakukan dengan mengadakan pengenalan medan

(recognize) sambil mencari segala singkapan yang dapat digunakan

dalam penelitian lebih lanjut. Tujuan lain dari recognize yaitu untuk

memilih jalur penampang stratigrafi terukur (measuring section)

dengan singkapan yang baik dan dengan jalur yang tidak terlalu

berbahaya. Persyaratan dalam merencanakan stratigrafi terukur yaitu:

a. Struktur sedimen harus dapat terlihat dan terekam dengan jelas

b. Batas-batas litologi terlihat dengan sangat baik

c. Satuan batuan secara umum dapat diketahui

2. Jalur jalan atau jalur sungai

Lintasan tersebut dapat melalui jalur jalan yang telah tersedia

dan apabila memungkinkan untuk melalui jalur sungai, maka hal itu

akan lebih baik dilakukan karena singkapan yang terdapat di sungai

merupakan singkapan hasil dari pengelupasan soil oleh air. Tahap ini

disertai dengan pengeplotan jalur yang akan digunakan untuk

stratigrafi terukur.

3. Penampang stratigrafi terukur (measuring section)

Pembuatan stratigrafi terukur bertujuan untuk mengetahui

susunan setiap batuan, ketebalan masing-masing satuan batuan, urutan

batuan, lokasi kontak antar satuan batuan, penentuan proses

8

sedimentasi, interpretasi sejarah geologi, penentuan lingkungan

pengendapan, dan membantu dalam memecahkan masalah-masalah

geologi.

4. Pemetaan detail

Pelaksanaan pemetaan detil dilakukan dengan pencarian data

litologi, struktur geologi, mataair dan pengeplotan lokasi pada peta

topografi. Pencarian data tersebut disertai dengan pengeplotan data

litologi, dan pengambilan sampel batuan yang akan dianalisis di

laboratorium sesuai kebutuhan, pengambilan foto penampakan

struktur geologi, struktur sedimen, litologi, bentang alam, bahan-

bahan galian, sesumber, bencana alam, dan segala sesuatu yang

berkaitan dengan penelitian.

5. Interpolasi batas satuan batuan

Dari hasil pemetaan detil, dengan pengeplotan data pada setiap

stasiun pengamatan dan lokasi pengamatan, selanjutnya dibuat

interpolasi batas satuan batuan dengan menghubungkan setiap titik

yang mempunyai ciri-ciri satuan batuan yang sama dengan

berpedoman pada stratigrafi terukur yang telah dibuat dan atau dengan

menggunakan metode three point problem. Selain pembuatan peta

geologi, dibuat juga peta geomorfologi berdasarkan data bentangalam

yang digabungkan dengan data yang terdapat pada peta geologi.

6. Pembuatan sayatan geologi

9

Pembuatan sayatan geologi bertujuan untuk membuat

interpretasi lapisan batuan serta struktur geologi yang terdapat pada

permukaan dan bawah permukaan. Selain itu, sayatan juga bertujuan

untuk mengetahui urutan batuan dari tua ke muda dan ketebalan

lapisan batuan, sehingga dapat dibuat legenda pada peta geologi dan

secara geologi yang tercermin pada sayatan geologi dapat mendukung

penjelasan lebih baik.

I.5.3. Analisis Laboratorium dan Studio

Penelitian laboratorium dilakukan selama dan setelah penelitian lapangan

selesai. Penelitian ini berupa analisis paleontologi, analisis petrografi. Analisis

paleontologi dilakukan untuk mengetahui kandungan fosil, menentukan jenis fosil

dan nama fosil sehingga dapat dipakai untuk menentukan umur dan lingkungan

pengendapan masing-masing satuan batuan. Analisis petrografi dilakukan untuk

mengetahui tekstur batuan, struktur batuan, dan mineral-mineral penyusunnya.

Hasil analisis petrografi dapat dipakai sebagai data pendukung untuk selanjutnya

dilakukan penginterpretasian terhadap batuan vulkanik yang ada di daerah

penelitian.

I.5.4. Pembuatan Peta dan Laporan Akhir

Penyusunan laporan ini berdasarkan atas data lapangan dan data

laboratorium. Draft laporan tersebut disajikan dalam bentuk peta lintasan dan

lokasi pengamatan, peta geomorfologi, dan peta geologi, serta dalam bentuk

uraian disertai dengan hasil pembahasan studi khusus yang diambil.

10

I.6 Alat dan Bahan

Peralatan yang akan digunakan selama mengadakan penelitian di lapangan

adalah:

1. Peta topografi skala 1 : 25.000

2. Kompas geologi tipe Brunton sistem azimut 0°-360°

3. Palu geologi batuan sedimen merk Estwing

4. Loupe dengan pembesaran 10x dan 20x

5. Larutan HCI 0,1 N

6. Kamera digital

7. Pita ukur 50 m

8. Alat tulis

9. Kantong sampel batuan

Peralatan yang digunakan dalam analisis laboratorium terdiri dari:

1. Mikroskop binokuler fosil dengan pembesaran 10x dan 20x untuk

determinasi

2. Mikroskop polarisasi batuan merk Olympus dengan pembesaran 40x

untuk determinasi

3. Mesh ukuran 40, 60, 80, 100, 150, dan 200 serta kuas cat, untuk

mengayak fosil

Proses penelitian geologi ini secara garis besar dari pra-penelitian hingga

pembuatan laporan dapat dilihat pada bagan berikut:

11

Gambar 1.3. Bagan alir penelitian (Penulis, 2013) I.7 Peneliti Terdahulu

Daerah penelitian termasuk dalam fisiografi zona pegunungan selatan

(Bemmelen, 1949), dimana daerah tersebut telah menjadi bagian dari penelitian

oleh banyak ahli diantaranya:

1. Bemmelen (1949), mengelompokan wilayah Jawa Tengah dan Jawa

Timur kedalam lima zona dari selatan ke utara: Zona Pegunungan

12

Selatan, Zona Solo, Zona Kendeng, Zona Randublatung, dan Zona

Rembang.

2. Surono, dkk., (1992), menyusun Peta Geologi Lembar Surakarta dan

Giritontro, Jawa, sekal 1:100.000. Daerah penelitian stratigrafi masuk

dalam formasi Semilir, formasi Ngalanggrang, formasi Oyo dan

formasih Wonosari

3. Bronto, dkk., (1998), membahas sebagian wilayah Pegunungan Selatan

di Kali Ngalang, Kali Putat dan Jentir sebagai batuan longsoran tubuh

gunungapi Tersier.

4. Lokier, (1999), membahas perkembangan sedimentasi volkaniklastik

primer dan sekunder di wilayah Pegunungan Selatan

5. Bronto, dkk., (2009), menentukan Waduk Parangjoho dan Songputri

sebagai alternatif sumber erupsi Formasi Semilir di daerah Eromoko,

Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

6. Hartono, (2009), Melakukan penelitian tentang analisis stratigrafi awal

kegiatan gunung api Gajahdangak di daerah Bulu, Sukoharjo;

implikasinya terhadap stratigrafi batuan gunung api di Pegunungan

Selatan, Jawa Tengah.

7. Hartono, (2008), melakukan penelitian gumuk gunung api purba

bawah laut di Tawangsari-Jomboran, Sukoharjo-Wonogiri, Jawa

Tengah.

13

BAB II

GEOMORFOLOGI

Geomorfologi adalah salah satu cabang ilmu kebumian yang mempelajari

tentang klasifikasi relief bumi, pemerian, dan cara terjadinya untuk mengetahui

genesa pembentukannya. Relief bumi itu sendiri adalah ketidakteraturan

permukaan bumi, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Studi geomorfologi

suatu daerah umumnya mempunyai dua tujuan utama, antara lain yang pertama

adalah mengelompokkan secara sistematik pemerian bentang alam dalam suatu

skema pengelompokan terhadap suatu nama yang diberikan berdasarkan konsep

tertentu. Kedua, mengetahui penyimpangan yang terjadi dari pengelompokan

guna membuktikan adanya suatu perubahan dalam lingkungan bentang alam yang

normal, untuk suatu tujuan dan sasaran yang ingin dicapai studi geomorfologi

tersebut.

II.1. Geomorfologi Regional

Daerah penelitian termasuk dalam Zona Pegunungan Selatan di bagian

selatan Daerah Istimewa Yogyakarta yang disebut sebagai Pegunungan Selatan

Jawa Timur Bagian Barat, secara regional daerah ini dibagian barat dibatasi oleh

Pantai Parangtriris di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan di bagian timur dibatasi

oleh Teluk Pacitan di Jawa Timur. Menurut Bemmelen (1949), Pegunungan

Selatan termasuk ke dalam satuan fisiografi regional di bagian selatan Pulau

Jawa, cakupan wilayah Pegunungan Selatan ini mulai dari Pantai Selatan di

Propinsi Jawa Barat hingga bagian selatan pulau-pulau utama di Nusa Tenggara

14

(Lesser Sunda). Zona Pegunungan Selatan secara umum merupakan suatu blok

yang relatif miring ke arah selatan-tenggara dengan topografi yang relatif terjal

dan dengan pola aliran meranting, serta disusun oleh dua kelompok batuan, yaitu

batuan vulkanik dan batuan karbonat yang tercermin dari litologinya.

Menurut Husein dan Srijono (2007), secara fisiografi Pegunungan Selatan

diduga mulai terangkat pada Plistosen Tengah, menghasilkan lajur-lajur

pegunungan dengan penyusun utama batuan vulkanik berumur Oligosen-Miosen,

yang membatasi bagian utara dan barat kawasan tersebut terhadap Zona Depresi

Solo dan Cekungan Yogyakarta. Di bagian selatan Pegunungan Selatan, proses

pengangkatan tersebut menghasilkan topografi karst Gunung Sewu. Menurut

Bemmelen (1949), secara fisiografi dan berdasarkan kesamaan morfologi serta

tektoniknya, daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah dibagi menjadi tujuh zona.

Berturut-turut dari utara ke selatan adalah sebagai berikut (Gambar 2.1) :

1. Zona Komplek Muria

2. Zona Dataran Aluvium Jawa Utara

3. Zona Rembang Madura

4. Zona Depresi Randublatung

5. Zona Kendeng

6. Zona Solo

7. Zona Pegunungan Selatan

15

Gambar 2.1. Peta Fisiografi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Bemmelen, 1949)

II.2 Geomorfologi Daerah Penelitian

Pembagian satuan geomorfologi pada daerah penelitian didasarkan pada

topografi, litologi, dan fasies gunung api serta proses-proses lain yang

berpengaruh membentuk geomorfologi pada daerah penelitian. Klasifikasi

geomorfologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi dari

klasifikasi Zuidam (1983) dengan modifikasi seperlunya sesuai dengan kondisi

morfologi pada daerah penelitian. Berdasarkan klasifikasi Zuidam (1983), aspek-

aspek geomorfologi yang berpengaruh dalam faktor pemerian morfologi adalah:

1. Morfologi, yaitu faktor relief secara umum yang meliputi aspek:

a. Morfografi, yaitu aspek yang bersifat pemerian pada suatu daerah,

seperti bukit, punggungan, lembah dan dataran.

16

b. Morfometri, yaitu aspek penggolongan kenampakan geomorfik yang

didasarkan pada segi kuantitatif, dengan melihat ketinggian dan

kemiringan lereng.

Tabel 2.1. Klasifikasi lereng (Zuidam, 1983)

No. Relief Kemiringan Lereng (%)

Kemiringan Lereng ( °)

1 Datar atau hampi datar 0 - 2 0 – 2 2 Miring landai 2 - 7 2 – 4 3 Miring 7 -15 4 - 8 4 Curam menengah 15 - 30 8 – 16 5 Curam 30 - 70 16 – 35 6 Sangat curam 70 - 140 35 – 55 7 Amat sangat curam > 140 > 55

2. Morfogenesa, yaitu proses geomorfologi yang menyebabkan terjadinya

perubahan bentuk lahan, meliputi aspek :

a. Morfostruktur aktif, mencakup gaya-gaya endogen atau tektonik dan

vulkanisme. Bentang alam yang dapat terbentuk oleh proses-proses

endogenik antara lain : pegunungan lipatan, pegunungan blok atau

patahan dan gunungapi.

b. Morfostruktur pasif, yaitu aspek material penyusun (litologi) dan

struktur geologinya.

c. Morfostruktur dinamik, yaitu aspek yang mencakup gaya-gaya

eksogen; seperti proses denudasional, fluvial, pelarutan/karstifikasi,

pantai, angin/eolian, dan glasial, yang disebabkan oleh faktor

topografi, batuan, iklim, vegetasi, organism, dan waktu, serta

kaitannya dengan umur bentuk lahan secara relatif dan absolut

(morfokronologi).

17

Atas dasar-dasar klasifikasi yang telah disebutkan diatas, maka daerah

penelitian dikelompokan berdasarkan aspek topografi dan litologi, dan menjadi

dua bentuk asal yang terbagi ke dalam enam sub satuan geomorfologi yaitu :

1. Subsatuan geomorfologi endapan aluvial

2. Subsatuan geomorfologi dataran tubu sungai

3. Subsatuan geomorfologi perbukitan breksi andesit dan pumis

bergelombang sedang-kuat

4. Subsatuan geomorfologi perbukitan batugamping dan tuf bergelombang

sedang-kuat

5. Subsatuan geomorfologi perbukitan tuf bergelombang lemah-sedang

II.2.1 Sub satuan geomorfologi dataran aluvial ((F2)

Subsatuan geomorfik dataran aluvial yang menempati luasan (2%) dari

seluruh daerah penelitian, relief berupa dataran, dengan kelerengan datar/hampir

datar (0-2%) , mempunyai kisaran elevasi antara 162,5 - 163,5 meter dari

permukaan laut. Satuan geomorfik ini tersusun dari material lepas hasil erosi dan

pelapukan dari batuan yang berukuran lempung, pasir, kerikil, hingga bongkah.

Subsatuan geomorfik ini terletak di bagian Selatan daerah penelitian, dataran yang

berada dekat sepanjang Sungai Oyo, dan pada bagian dataran aluvial ini umumnya

digunakan warga sebagai lahan pertanian, sawah, dan pemukiman.

18

Gambar 2.2. Subsatuan geomorfik dataran aluvial Foto diambil pada Desa Watusigar, 173 meter

dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke tenggara. (foto penulis, 2013)

II.2.2 Sub satuan geomorfologi tubuh sungai (F1)

Subsatuan geomorfologi tubuh sungai adalah satuan jenis morfologi yang

erat hubungannya dengan aliran sungai. Sedangkan pengertian sungai di sini tidak

termasuk di dalamnya alur-alur yang mengalir di lereng bukit dan gunung

(ephemeral stream). Morfologi fluvial hanya mungkin dijumpai pada suatu daerah

berstadia erosi dewasa-tua atau telah mengalami peremajaan.

Subsatuan geomorfologi tubuh sungai menempati ± 1% luas daerah

penelitian, meliputi sepanjang aliran Kali Oyo yang melalui subsatuan

geomorfologi dataran di daerah penelitian (Gambar 5), dalam subsatuan ini

termasuk juga chanel bar, point bar, dan dataran limpah banjir. Tubuh sungai ini

berair sepanjang tahun dan sangat berperan dalam proses sedimentasi di daerah

tersebut. Bentuk topografi hampir rata (nearly flat) dan mempunyai bentuk

19

lembah dominan “U”. mengalir dari arah timur ke barat. Bentuk tubuh sungai

relatif berkelok-kelok, mempunyai ketinggian ± 159 meter dari permukaan air

laut.

Gambar 2.3

Subsatuan geomorfologi tubuh sungai.dengan pola tapal kuda (meander), arah garis hijau menunjukan aliran sungai berkelok-kelok Foto diambil dari Kali Oyo, Dusun Randusari

Bawuran, lensa kamera menghadap ke Timur (foto penulis 2013)

II.2.3 Subsatuan perbukitan breksi andesit dan pumis bergelombang sedang-kuat (D2)

Subsatuan geomorfik perbukitan breksi andesit dan pumis bergelombang

sedang-kuat (D2).Subsatuan geomorfik ini dicirikan oleh topografi perbukitan

bergelombang sedang-kuat dengan kemiringan lereng 15°-35°, tersusun dari

breksi andesit, breksi pumis, tuf dan breksi polimik. Subsatuan geomorfik ini

menempati ± 23% dari total luas daerah penelitian, sebaran subsatuan ini di

bagian selatan daerah penelitian mulai dari Desa Ngadiloko sampeai dengan

20

daerah Melikan, seangkan pada bagian utara-barat laut, subsatuan ini

hanya menempati 2% dari lokasi daerah penelitian yang berada pada Desa Duren.

Gambar 2.4. Subsatuan perbukitan bergelombang sedang-kuat (atas) dan dataran aluvial (bawah).

Foto diambil pada Desa Bulurejo, 173 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke Tenggara. (foto penulis, 2013).

II.2.4 Subsatuan perbukitan batugamping dan tuf bergelombang sedang-

kuat (D3)

Subsatuan geomorfik ini dicirikan oleh topografi perbukitan bergelombang

sedang-kuat (D3) dengan kemiringan lereng 8°-16°, terdiri dari batuan Tuf,

Peckstone, dan breksi polimik. Subsatuan ini menempati ± 43% dari total luas

daerah penelitian,sebaran supsatuan ini pada daearh penelitian bagian selatan-

barat daya yang meliputi daerah, Jatiayu, Prebutan dan Kedonglowo, sedangkan

pada bagian utara-barat laut yang meliputi daerah Desa Bendung, Beji dan

Sumberejo.

21

Gambar 2.5. Subsatuan geomorfik perbukitan bergelombang sedang-kuat Foto diambil pada Desa

Tapansari, 173 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke selatan. (foto penulis 2013).

II.2.5 Subsatuan perbukitan batugamping dan tuf bergelombang lemah-sedang (D4)

Subsatuan geomorfik ini menempati ± 8 % dari total luas daerah

penelitian, dengan penyebaran yang terletak pada bagian timur-laut daerah

penelitian, dicirikan oleh topografi perbukitan bergelombang lemah-sedang (D4)

dengan kemiringan lereng (4°-8°).

Pada peta topografi subsatuan ini dicirikan oleh kenampakan pola kontur

yang renggang dan tersusun dari batugamping, tuf dan material lepas berupa

krikil-lempung, seabaran subsatuan ini pada bagian utara daerah penelitian yang

meliputi daerah Desa Kemejing, Bulurejo dan sampai dengan Dusun Banaran

bagian timur laut daerah penelitian.

22

Gambar 2.6. Subsatuan perbukitan bergelombang lemah-sedang Foto diambil pada Desa

Bendung 183 meter dari permukaan laut, cuaca cerah dengan lensa kamera menghadap ke timur laut. (foto penulis 2013).

II.3. Pola Pengaliran Sungai

Menurut Howard (1967), pola pengaliran didefinisikan sebagai suatu

kumpulan dari alur-alur sungai pada suatu daerah tanpa mempedulikan apakah

alur-alur tersebut merupakan alur yang permanen (permanent stream). Menurut

Zuidam (1983), perkembangan pola pengaliran pada suatu daerah dipengaruhi

oleh kelerengan, jenis batuan dasar, kerapatan vegetasi, serta iklim di daerah yang

bersangkutan.

Dalam proses geologi maupun pembentukan morfologi, air memegang

peranan yang sangat penting karena mempunyai kemampuan sebagai agen atau

media dalam proses pelapukan, erosi, transportasi dan proses sedimentasi. Dalam

hal ini proses erosi oleh air tersebut yang pada umumnya dominan melalui tubuh

sungai, akan menyebabkan sungai bertambah lebar, dalam, dan panjang, sehingga

23

membentuk pola sungai (stream pattern) dan selanjutnya membentuk pola

pengaliran (drainage pattern). Howard (1967), membuat klasifikasi pola

pengaliran menjadi 2 macam, yaitu:

1. Pola dasar (basic pattern): merupakan sebuah pola aliran yang mempunyai

karakteristik yang khas yang dapat secara jelas dapat dibedakan dengan pola

aliran lainnya. Pola dasar ini umumnya berasal dari perkembangan pola dasar

yang lain dan kebanyakan dikontrol oleh struktur regional (Gambar 2.8).

2. Pola ubahan (modified basic pattern): merupakan sebuah pola pengaliran yang

berbeda dari bentuk pola dasar dalam beberapa aspek regional. Pola ubahan

biasanya merupakan ubahan dari salah satu pola dasar (Gambar 2.9).

Gambar 2.7. Klasifikasi pola aliran sungai yang telah mengalami perubahan (modified basic pattern) (Howard, 1967).

24

Beberapa pola aliran dasar yang mengacu pada pola pengaliran dasar dan

ubahan dari Howard (1967), sebagai berikut:

1. Dendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-cabang

sungai (anak sungai) berhubungan dengan sungai induk membentuk

sudut-sudut yang runcing. Biasanya terbentuk pada batuan yang

homogen dengan sedikit atau tanpa pengendalian struktur,maupun

dikontrol oleh struktur baik lipatan maupun sesar. Contoh: pada batuan

beku atau lapisan horisontal.

2. Paralel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada

daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada

daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini

mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis.

Contoh: Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.

3. Trellis, menyerupai bentuk tangga dan sungai-sungai sekunder (cabang

sungai) membentuk sudut siku-siku dengan sungai utama, mencirikan

daerah pegunungan lipatan (antiklin, sinklin) dan kekar.

4. Rectangular, pola aliran yang dibentuk oleh pencabangan sungai-sungai

yang membentuk sudut siku-siku, lebih banyak dikontrol oleh faktor

kekar-kekar yang saling berpotongan dan juga sesar.

5. Radial, pola ini dicirikan oleh suatu jaringan yang memancar keluar dari

satu titik pusat, biasanya mencirikan daerah gunungapi atau kubah.

25

6. Annular, bentuknya melingkar mengikuti batuan lunak suatu kubah yang

tererosi puncaknya atau struktur basin dan mungkin intrusi stock, bertipe

subsekuen, cabangnya dapat obsekuen atau resekuen.

7. Multibasinal, pola yang terbentuk oleh banyaknya cekungan-cekungan

atau danau-danau kecil, biasanya terbentuk pada daerah rawa atau karst

topografi.

8. Contorted, merupakan pola yang berbentuk tidak beraturan, kadang

terlihat ada pola trellis. Biasanya berkembang di daerah metamorf yang

bertekstur kasar, batuan beku atau pada batuan berlapis yang memiliki

resistensi yang sama.

II.3.1 Pola pengaliran daerah penelitian

Dalam pembahasan mengenai pola pengaliran di daerah penelitian,

pendekatan yang digunakan adalah analisis peta topografi dan pengamatan

lapangan. Berdasarkan sifat alirannya, aliran sungai induk bersifat permanen,

yaitu mengalirannya sepanjang tahun. Sedang dan sifat mengalir pada anak-anak

sungai ada yang yang bersifat permanen dan periodik, yaitu ada aliran air pada

musim hujan saja.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan serta interpretasi peta topografi,

yang kemudian dilakukan pendekatan model pengaliran menurut klasifikasi dari

Howard (1967), maka daerah penelitian (Gambar 2.8) termasuk dalam pola

sebagai berikut

26

a) Subdendritik, berbentuk serupa cabang-cabang pohon dan cabang-cabang

sungai berhubungan dengan sungai induk membentuk sudut-s

b) udut yang agak tumpul, merupakan pola ubahan dari pola aliran denritik,

pola ini terbentuk pada satuan batuan relatif lunak, atau dengan batuan

dasar yang keras. Diantaranya breksi polimik, dan tuf, pola aliran ini

hanya di temukan di daerah dataran tinggi yang di identifikasi berdasarkan

pengamatan peta topografi.

c) Subparalel, pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada

daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada

daerah dengan morfologi yang paralel dan memanjang. Pola ini

mempunyai kecenderungan berkembang ke arah dendritik atau trellis.

Contoh: Pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.

27

28

II.4. Stadia Daerah Penelitian

Sungai di daerah penelitian digolongkan dalam sungai berstadia muda

dewasa, hingga tua. Sungai stadia muda (Gambar 2.10) dicirikan dengan

kemampuan mengikis alur secara vertikal dengan penampang sungai berbentuk

“V”, erosi vertikal yang dominan ditunjukan oleh banyaknya singkapan batuan

dasar, sungai sempit dalam, aliran cepat, serta tidak dijumpai adanya dataran

banjir. Sungai dengan stadia muda ini di daerah penelitian dijumpai pada sungai-

sungai kecil di daerah penelitian.

Gambar 2.9. Sungai dengan stadia muda dimana menunjukan aliran yang deras dan penampang

“V” dan tidak ada proses sedimentasi, cuaca cerah dan arah lensa kamera menghadap ke selatan

Sungai stadia dewasa dapat terlihat pada Sungai Oyo (gambar 12) dengan

penampang sungai berbentuk “U” dijumpai adanya dataran banjir yang lebar,

tedapat endapan tengah sungai (point bar) dan tepi sungai (chanel bar).

29

.

Gambar 2.12. Penampang sungai stadia dewasa dengan pola lembah huruf ”U” pada Kali Oyo, kamera menghadap ke barat laut

II.5. Morfogenesa

Morfogenesa pada daerah penelitian dipengaruhi oleh jenis litologi,

struktur geologi yang dibentuk oleh proses endogenik-vulkanisme, dan proses

eksogenik. Interaksi antara ketiga faktor ini terus berlangsung dalam tahapan

ruang dan waktu geologi, yang pada akhirnya menghasilkan bentang alam seperti

sekarang ini.

Proses pembentukan morfologi daerah penelitian diawali dengan adanya

dominasi proses endogenik yang sifatnya membangun, menghasilkan lingkungan

geologi gunungapi. Kegiatan vulkanisme di daerah penelitian ini ditunjukkan oleh

adanya satuan breksi pumis, satuan tuf dan satuan breksi polimik. Proses ini

kemudian berkembang dan terus berlanjut dengan adanya tenaga endogen berupa

30

gaya kompresif sehingga menghasilkan struktur-struktur geologi, seperti kekar

dan sesar yang banyak dijumpai di daerah penelitian.

Perbedaan jenis litologi memberikan suatu kenampakan morfologi yang

berbeda. Morfologi daerah penelitian dengan topografi tinggi tersusun oleh batuan

yang memiliki tingkat resistensi tinggi pula, berupa satuan breksi andesit dan

breksi pumis, sedangkan morfologi yang bertopografi rendah tersusun atas

batuan-batuan yang relatif lebih kurang resisten maupun yang berasal dari hasil

pelapukan batuan di sekitarnya, yaitu satuan tuf dan endapan aluvial. Namun

morfologi-morfologi tersebut masih tetap dipengaruhi pula oleh bentuk bentang

alam asal yang dihasilkan oleh aktivitas vulkanisme dan tektonik sebelum dan

setelahnya.

31

BAB III

STRATIGRAFI

Stratigrafi secara umum membahas tentang semua jenis batuan dalam

hubungan mula jadi dan sejarah pembentukanya dalam ruang dan waktu geologi.

Urutan pembahasannya meliputi unsur-unsur stratigrafi, yaitu pemerian litologi,

penamaan batuan, unsur perlapisan, struktur sedimen, hubungan antara batuan

yang satu dengan yang lain, penyebarannya secara vertikal dan lateral, serta

dinamika pengendapan dan lingkungan pengendapannya.

III.1. Stratigrafi Regional

Secara regional, daerah penelitian termasuk dalam Zona Pegunungan

Selatan Yogyakarta - Jawa Tengah yang merupakan bagian dari jalur Pegunungan

Selatan Jawa. Satuan batuan yang tertua di daerah ini berupa batuan metamorf

yang tersingkap di Pegunungan Jiwo, Bayat, dan Klaten, sedangkan batuan yang

termuda adalah Endapan Gunung Merapi, Gunung Lawu, dan Endapan Aluvium.

Untuk Pegunungan Selatan bagian barat, menurut Surono dkk (1992), pembagian

satuan batuan berumur Tersier dari tua ke muda adalah Formasi Kebo-Butak,

Formasi Semilir, Formasi Nglanggran, Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi

Wonosari dan Formasi Kepek (Tabel 2). Urut-urutan formasi batuan di

Pegunungan Selatan bagian barat adalah sebagai berikut (Surono dkk, 1992).

III.1.1. Batuan Metamorf

Merupakan batuan tertua yang berumur Kapur-Paleosen Awal terdiri

dari, pilit, sekis, marmer dan kuarsit.

32

III.1.2. Formasi Wungkal-Gamping

Formasi ini berumur Eosen Tengah-Eosen Akhir, terdiri atas batupasir,

napal pasiran, batulempung dan batugamping. Bagian bawahnya berupa

perselingan antara batupasir dan batulanau, serta batugamping. Bagian atasnya

berupa napal pasiran dan batugamping.

III.1.3. Formasi Kebo-Butak

Formasi Kebo-Butak ini berumur Miosen Awal yang disusun oleh

batupasir, batulempung, dan serpih. Litologi tersebut terletak di bagian bawah,

sedangkan bagian atas tersusun oleh batulanau, batupasir kerikilan, dan batupasir

tufan. Sebagian tempat di bagian tengahnya dijumpai retas andesit-basal dan di

bagian atasnya dijumpai breksi andesit. Batuan penyusun utama formasi ini adalah

endapan piroklastik yang berasal dari hasil erupsi gunungapi bawah laut. Pada

formasi ini disisipi oleh sill dan lava andesitik basaltik dengan ketebalan

diperkirakan 500-1000 m (Surono dkk, 1992).

III.1.4. Formasi Semilir

Formasi ini berumur Miosen Awal dengan ketebalan kurang lebih 1000 m

yang terletak selaras di atas Formasi Kebo-Butak. Formasi Semilir tersusun atas

batuan gunungapi yang terdiri dari tuf, breksi batuapung dasitan, batupasir tufan

dan serpih. Bagian bawah dari satuan ini berlapis baik, berstruktur sedimen

perairan, silang siur berskala menengah dan berpermukaan erosi. Di bagian

tengahnya dijumpai lignit yang berasosiasi dengan batupasir tufan gampingan dan

kepingan koral pada breksi gunungapi. Di bagian atasnya ditemukan batulempung

dan serpih dengan tebal lapisan sampai 15 cm dan berstruktur longsoran bawah

33

laut. Lingkungan pengendapannya berkisar dari laut dangkal yang berarus kuat

hingga laut dalam yang dipengaruhi arus turbid (Surono dkk, 1992).

III.1.5. Formasi Nglanggran

Formasi Nglanggran berumur Miosen Bawah bagian atas hingga Miosen

Tengah bagian bawah yang terdiri dari breksi gunungapi, aglomerat, lava andesit-

basal dan tuf. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi Formasi

Nglanggran umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit

basal, berukuran butir 2-50 cm. Di bagian tengah formasi pada breksi gunungapi

ditemukan batugamping koral yang membentuk lensa atau kepingan. Setempat

satuan ini disisipi batupasir gunungapi epiklastika dan tuf yang berlapis baik.

Struktur sedimen yang dijumpai berupa perlapisan sejajar, perlapisan bersusun,

dan cetakan beban (load cast) menunjukkan adanya aliran longsor (debris flow).

Pada bagian atasnya ditemukan permukaan erosi yang menunjukkan adanya

pengaruh arus kuat pada waktu pengendapan. Adanya batugamping koral

menunjukkan lingkungan laut. Sehingga secara umum lingkungan

pengendapannya adalah laut yang disertai longsoran bawah laut. Formasi ini

terletak selaras diatas Formasi Semilir, dan ketebalannya kurang lebih 300 meter

(Surono dkk, 1992).

III.1.6. Formasi Sambipitu

Formasi ini berumur Miosen Tengah, tersusun atas tuf, batulanau,

batupasir, dan serpih berfosil Lepidocyclina, Myogipsina, dan Cicloclypeus.

Formasi ini terletak selaras di atas Formasi Nglanggran dan diendapkan pada

cekungan laut yang tidak stabil pada kedalaman antara outer sublitoral sampai

34

bathyal dan terdapat pengaruh yang cukup kuat dari pengendapan arus turbidit,

ketebalannya kurang lebih 1000 m.

Di bagian bawah Formasi Sambipitu terdiri dari batupasir kasar, terutama

batupasir sela yang tidak berlapis dan batupasir halus yang setempat diselingi

serpih dan batulanau gampingan. Setempat dijumpai lensa breksi andesit klastika,

lempung, dan kepingan arang kayu. Struktur sedimen yang ditemukan berupa

perlapisan bersusun, perlapisan sejajar dan gelembur gelombang (current ripple),

yang menunjukkan adanya arus turbid. Bagian atasnya terbentuk oleh batupasir

feldspar yang berlapis baik dan bersisipan serpih, batulempung dan batulanau

dengan struktur perlapisan bersusun, perlapisan sejajar, silangsiur, gelembur

gelombang, longsoran, dan jejak binatang yang menunjukkan adanya longsaran

bawah laut yang berkembang menjadi arus turbid.

III.1.7. Formasi Oyo

Formasi ini diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Sambipitu.

Formasi ini tersusun atas batugamping, konglomerat, tuf andesitan, dan napal

tufan. Formasi Oyo umumnya berlapis, kandungan fosil Foraminifera cukup

banyak, yaitu Cycloclypeus (Katacyccloclypeus) annulatus MARTIN, dan

Lepidoclyna (Nephrolepidina) rutteni v.d. VLERK. Formasi ini dibedakan

menjadi dua fasies, yaitu fasies napal yang merupakan sedimen klastik dan fasies

tuf yang merupakan fasies piroklastik. Hubungan kedua fasies ini saling menjari,

umur formasi ini diperkirakan Miosen Tengah dan mempunyai ketebalan kurang

lebih 350 m, dengan lingkungan pengendapan laut dangkal (neritik) yang

dipengaruhi kegiatan gunungapi (Surono dkk, 1992).

35

III.1.8. Formasi Wonosari

Formasi ini tersusun atas batugamping, batugamping tufan, napal,

batugamping konglomeratan, batupasir tufan, dan batulanau. Batugamping yang

mendominasi satuan ini berupa batugamping berlapis baik dan batugamping

terumbu. Formasi ini mengandung foram kecil dan besar yang melimpah,

diantaranya Lepidocyclina sp, L. sumantrensis (BRADY), Miogypsina,

Operculina, Spiroclypeus dan Orbulina universa. Lingkungan pengendapan

formasi ini adalah laut dangkal yang mendangkal ke arah selatan. Ketebalan

formasi ini lebih dari 800 m (Surono dkk, 1992).

III.1.9. Formasi Kepek

Formasi ini berumur Miosen Bawah-Pliosen bawah yang litologinya terdiri

dari napal dan batugamping. Formasi ini terletak selaras diatas Formasi Wonosari

dan mempunyai ketebalan diperkirakan mencapai 200 m (Surono dkk, 1992).

III.1.10. Endapan Aluvium

Material penyusunnya berupa sedimen lepas yang berukuran pasir-

kerakalan yang terbawa oleh aliran sungai. Hal ini dibuktikan oleh adanya

endapan pada tepi-tepi sungai maupun pada tubuh sungai. Membentuk morfologi

aluvial, gosong sungai dan dataran limpah banjir (Surono dkk, 1992).

36

Gambar 3.1. Stratigrafi Pegunungan Selatan menurut Surono, dkk., (1992)

Stratigrafi daerah penelitian sendiri yaitu daerah Melikan dan sekitarnya

terdapat enam formasi yang mengacu pada Surono, dkk (1992) termasuk ke dalam

Formasi Semilir dan Nglanggrang yang merupakan formasi paling tua di daerah

penelitian, Formasi Oyo dan Formasi Wonosari (gambar 3.2).

37

III.2 Stratigrafi daerah penelitian

Penyusunan stratigrafi daerah penelitian didasarkan atas konsep

litostratigrafi yang dikembangkan dalam Sandi Stratigrafi Indonesia (SSI) tahun

38

1973 dan tahun 1996 (Martodjojo dan Djuheini, 1996). Penamaan dan

pengelompokan satuan batuan mengikuti kaidah penamaan satuan litostratigrafi

tidak resmi yang bersendikan ciri litologi, meliputi kombinasi jenis batuan, sifat

fisik batuan, kandungan fosil, keseragaman gejala atau genesa, dan kenampakan

khas pada tubuh batuan di lapangan yang dipetakan pada skala 1 : 25.000.

Satuan litostratigrafi daerah penelitian didasarkan pada pengamatan fisik

litologi di lapangan, analisis petrografi untuk penentuan nama batuan, analisis

paleontologi untuk menentukan umur dan lingkungan pengendapannya, analisis

petrografi untuk mengetahui tipe magma pada batuan vulkanik, serta studi pustaka

regional daerah penelitian. Urutan stratigrafi daerah penelitian disusun secara

sistematis berdasarkan data pengukuran di lapangan dan analisis dalam peta

geologi, meliputi jenis dan urutan perlapisan, ketebalan, hubungan stratigrafi,

umur dan lingkungan pengendapannya.

Dalam menentukan umur, penulis menggunakan kesebandingan dengan

stratigrafi regional daerah penelitian dari sifat-sifat fisik litologinya dan

berdasarkan kandungan fosil Foraminifera planktonik, setelah diketahui nama

fosilnya kemudian dicari kisaran umurnya dengan menggunakan Zonasi Blow

(1969). Sedangkan untuk penentuan lingkungan pengendapan, berdasarkan hasil

analisis fosil Foraminifera bentonik, dan menggunakan kisaran kedalaman

menurut Bandy (1967).

39

Berdasarkan uraian diatas serta pengamatan langsung di lapangan serta

analisis studio maka penulis membagi litostratigrafi daerah penelitian kedalam

enam (6) satuan batuan (gambar 3.3) dari yang tua ke yang muda sebagai berikut:

1. Satuan Breksi Pumis

2. Satuan Tuf

3. Satuan Breksi Polimik

4. Satuan Breksi Andesit

5. Satuan Batugamping

6. Satuan Aluvial

Gambar 3.3. Stratigrafi daerah penelitian. (penulis 2013)

40

III.2.1. Satuan breksi pumis

III.2.1.1. Dasar penamaan

Penamaan satuan breksi pumis dikarenakan batuan penyusun yang

dominan berupa breksi pumis dan mempunyai ciri kenampakan litologi berwarna

abu-abu - putih, bersifat masif dan sebagian perlapisan, berbutir sedang-halus,

subangular-Angular, sortasi baik, kemas terbuka, fragmen pumis, matrik tuf gelas

dan pumis, semen silika. Sayatan petrografi menunjukkan penyusun batuan

berupa gelas (15%), lithic (30%), kuarsa (5%), opak (3%), feldspar (6%) dan tuf

sebagai masa dasar (41%).Nama Petrografi: Litik Tuf (Klasifikasi Schmid, 1981)

Lampiran I análisis petrografi.

III.2.1.2 Penyebaran dan ketebalan

Satuan ini menempati ± 10,5 % dari total luas daerah penelitian dan

tersebar pada dataran tinggi Desa Melikan, Sorodadi, dan Bukit Grudo pada

bagian timur. Satuan ini mempunyai batas dengan satuan tuf, di lapangan ada

kontak langsung yang di temukan antara kedua satuan ini maupun dengan satuan

lainnya. Satuan ini tersusun oleh breksi pumis, tuf, breksi polimik. Berdasarkan

pengukuran pada penampang geologi (G-H), di dapatkan ketebalan satuan ini ±

730 meter.

41

Gambar 3.4. Kenampakan singkapan pada satuan breksi pumis di LP 35 berada di Dusun Sorodadi, Kecamatan Ponjong, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda.

Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini sebagian besar tertutup oleh rumput. Kedudukan batuan (N95

E/18) dan arah lensah kamera menghadap ke bara-dayat. (foto penulis, 2013).

III.2.1.3 Ciri litologi

Kenampakan satuan ini merupakan material piroklastik yang di hasilkan

oleh gunung api secara eksplosif dengan ciri-ciri di lapangan berwarna abu-abu

terang sampai putih keabuan, struktur masif-perlapisan dengan pemilahan baik,

bentuk fragmen menyudut tanggung-menyudut, kemas terbuka, ukuran butir tuf –

lapili (1/16 – 64 mm), matrik; tuf-lapili sebagian mengandung kristal kuarsa dan

feldspar yang banyak, fragmen pumis. semen silika.

42

Gambar 3.5. Ciri fisik breksi pumis di lapangan pada LP 42 di dusun Jeruken (foto penulis, 2013)

III.2.1.4 Umur dan hubungan stratigrafi

Karena tidak ditemukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur

satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar Surakarta-

Giritontro oleh Surono, dkk.,(1992), sehingga satuan ini mempunyai kisaran umur

yaitu Miosen Bawah. Satuan ini mempunyai hubungan selaras menjari dengan

satuan tuf.

III.2.2 Satuan tuf

III.2.2.1. Dasar penamaan

Penamaan satuan tuf dikarenakan litologi penyusun utama berupa tuf yang

memiliki ciri di lapangan berwarna putih – putih kekuningan, tuf ini terdiri dari

tuf gelas dan tuf kristal. Tuf gelas memiliki penyebaran lebih luas dibanding

dengan tuf kristal dan umumnya tuf ini memiliki asosiasi dengan breksi pumis,

dan breksi polimik. Sayatan petrografi menunjukkan penyusun batuan berupa

43

gelas (45 %), kuarsa (5%), tuf (50%). Nama petrografis: Vitrik Tuf (klasifikasi

Schmid, 1981), Terlampir I anlisis petrografi.

III.2.2.2. Penyebaran dan ketebalan

Satuan ini mempunyai penyebaran ± 42 % dari total luas daerah penelitian

dan menempati hampir semua bagian dari daerah penelitian, kecuali pada bagian

barat daerah penelitian. Satuan ini tersusun oleh; tuf, tuf kasar, breksi pumis dan

breksi polimik,. Berdasarkan pengukuran pada penampang geologi (G-H), di

dapatkan ketebalan satuan ini ± 325 meter.

III.2.2.3. Ciri litologi

Satuan ini merupakan material piroklastik yang dihasilkan oleh gunung api

secara eksplosif yang terdiri dari material halus dengan genesa berupa endapan

jatuhan piroklastik (fall deposit). Satuan ini memiliki ciri-ciri di lapangan

berwarna putih kekuningan, struktur perlapisan dengan pemilahan sangat baik,

kemas tertutup, ukuran butir tuf halus-kasar (1/16 – 2 mm), matrik; tuf, semen

silika.

44

Gambar 3.6. Tuf dengan struktur perlapisan, foto diambil pada LP 33. dengan arah kamera menghadap ke barat,( foto penulis 2013)

III.2.2.4. Umur dan hubungan stratigrafi

Karena tidak ditemukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur

satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar Surakarta-

Giritontro oleh Surono, dkk. (1992) serta kontak antara satuan ini dengan

batugamping yang ditemukan di lapangan, sehingga satuan ini mempunyai kisaran

umur yaitu Miosen Awal. Di lapangan, terutama pada Dusun Beji, satuan ini

sering di jumpai bersamaan dengan breksi polimik dengan batas berupa

perselingan, perlapisan bersusun, ada pula yang memiliki batas tidak jelas. Dari

data yang di dapatkan di lapangan bahwa hampir sebagian matrik dari breksi

polimik terdiri dari tuf ini maka di pastikan satuan tuf ini terjadi hampir

bersamaan dengan satuan breksi polimik, sedangkan hubungannya dilapangan

dengan breksi polimik dan breksi pumis adalah menjari, hal ini karena sering

ditemukan perselingan antara ketiga litologi tersebut.

45

III.2.3 Satuan breksi polimik

III.2.3.1 Dasar penamaan

Satuan ini dinamakan satuan breksi polimik karena tersusun oleh litologi

breksi dengan fragmen yang beragam pada batuan tersebut diantaranya andesit,

tuf, basalt dan setempat ditemukan fragmen dasit maupun fragmen asesoris,

namun secara keseluruhan fragmen penyusun yang paling dominan adalah

andesit.

III.2.3.2 Penyebaran dan ketebalan

Satuan ini memiliki penyebaran sangat luas pada bagian timur, dan

sebelah timur bagian tengah pada daerah penelitian dan menempati ± 11 % dari

total luas daerah penelitian. Tersusun oleh breksi aneka bahan (breksi polimik),

pumis dan tuff. Berdasarkan pengukuran ketebalan pada penampang (A-B), di

dapat ketebalan satuan ini ± 570 meter

III.2.3.3 Ciri litologi

Satuan ini merupakan endapan vulkanoklastik secara eksplosif dengan

ciri-ciri di lapangan berwarna abu-abu gelap - coklat, struktur masif-bergradasi

dengan pemilahan buruk-sedang, bentuk fragmen menyudut tanggung-menyudut,

kemas terbuka, ukuran butir dari kerikil 24 mm – > 256 mm, matrik, tuf pumis-

dan lapili pumis, fragmen terdiri dari andesit, basal, tuf pumis dan fragmen

asesoris. semen silika-oksida besi.

46

Gambar 3.7.Singkapan breksi polimik dengan beberapa fragmen yang berbeda berupa tuf, andesit,

pumis dan fragmen asesoris lain nya, singkapan ini berada pada LP 79, cuaca cera dan arah lensah kamerah menghadap ke utara. (foto penulis, 2013)

III.2.3.4 Umur dan hubungan stratigrafi

Karena tidak di temukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur

satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar Surakarta-

Giritontro oleh Surono, dkk.,(1992), sehingga satuan ini mempunyai kisaran umur

yaitu Miosen Bawah – Miosen Tengah.

III.2.4. Satuan breksi andesit

III.2.4.1 Dasar penamaan

Satuan ini merupakan hasil dari kegiatan gunung api dengan tipe erupsi

efusif dimana sifat nya lebih cenderung ke konstruksi di karenakan sifat magma

nya berkomposisi intermediet-basal, di namakan breksi andesit (Lihat Foto 3.9)

terdiri dari breksi andesit dengan warna coklat terang - hitam, krikil – bongkah,

terpilah buruk, membundar tanggung – menyudut, terbuka, komposisi fragmen:

47

batuan vulkanik (andesit), dengan matrik tuf kasar silika dengan struktur massif.

Secara petrografi, berwarna abu-abu keputih-putihanan, tekstur porfiritik, ukuran

pada fenokris 0,5 mm – 2 mm, bentuk subhedral, komposisinya terdiri dari

mineral plagioklas (50%) terutama andesin, hornblenda (15%), piroksin (5%),

opak (10%), dan gelas (20%). (Nama petrografi Andesit Hornblende) Lampiran I

analisis perografi.

III.2.4.2 Penyebaran dan ketebalan

Satuan Breksi Nglanggran tersebar kurang lebih meliputi ± 2% dari daerah

penelitian, meliputi dusun Duren, sebelah barat laut lokasi penelitian .

Berdasarkan penampang sayatan geologi (G-H), ketebalan total dari Satuan Breksi

Andesit yaitu kurang lebih dari 200m.

III.2.4.3 Ciri-ciri litologi

terdiri dari breksi andesit dengan warna coklat terang - hitam, krikil –

bongkah, terpilah buruk, membundar tanggung – menyudut, terbuka, komposisi

fragmen: batuan vulkanik (andesit), dengan matrik tuf kasar silika dengan struktur

massif

48

Gambar 3.8. Foto inset litologi breksi Andesit yang masih kelihatan fresh singkapan Breksi Andesit ini berada pada LP 136. Cuaca cerah, (foto penulis 2013)

III.2.4.4 Umur dan hubungan stratigrafi

Karena tidak di temukan fosil pada batuan ini, maka penentuan umur

satuan ini berdasarkan kesebandingan pada peta geologi lembar Surakarta-

Giritontro oleh Surono, dkk.,(1992), sehingga satuan ini mempunyai kisaran umur

yaitu (Miosen Awal ).

III.2.5 Satuan batugamping klastik

III.2.5.1 Dasar penamaan

Satuan Batugamping klastik terdiri dari perselinngan antara peckstone dan

weckstone, ketebalan 10-15 cm, putih (kondisi fresh) arenit buruk, membundar

tanggung-menyudut tanggung, komposisi : kalsit, pecahan cangkang dan sedikit

kuarsa, di beberapa tempat di temukan juga peckston dengan komposisi tuf,

Satuan ini merupakan litologi penyusun terbesar pada bagian barat tengah dan

barat bagian selatan daerah penelitian.

49

III.2.5.2 Penyebaran dan ketebalan

Satuan ini mempunyai penyebaran ± 38 % dari total luas daerah penelitian

dan mendominasi di selatan barat pada daerah penelitian. Tersusun oleh;

batugamping, tuf dan endapan aluvial. Berdasarkan pengukuran pada penampang

geologi (C-D), di dapatkan ketebalan satuan ini ± 230 meter. Satuan ini

mempunyai hubungan tidak selaras dengan satuan tuf, di LP 110 terdapat kontak

satuan batugamping klastik dengan tuf dan ke dua satuan tersebut adanya

konglomerat basalt dengan komposisi karbonat yang mengindifikasi ke tidak

selarasan suatu satuan.

Gambar 3.9.Kenampakan kontak satuan di lapangan antara satuan tuf dan satuan batugamping klastik, dimana kenampakan kontak antara satuan tersebut terdapat basalt konglomerat di (tengah) yang mencirikan bahwa kedua satuan ini tidak selaras foto ini di ambil pada LP 110 di desa bejono

(foto penulis, 2013)

III.2.5.3 Ciri litologi

Satuan ini merupakan material sedimen laut dangkal yang tersusun oleh

batugamping klastik terdiri dari Peckstone, weckstone dan tuf. Ciri-ciri di

lapangan yaitu: batugamping klastik; warna putih-putih kekuningan, struktur

50

masif-perlapisan, ukuran butir pasir sedang-halus, bentuk butir menyudut-

tanggung, sortasi baik, kemas tertutup. Matrik pasir dan semen karbonat.

Setempat terdapat matrik yang mengandung tuf. Hubungan satuan ini adalah tidak

selaras dengan satuan tuf.

Gambar 3.10. Ciri fisik batugamping klastik di lapangan, dengan (kondisi Fres) foto diatas menunjukan batugamping berada di bagian bawah sedangkan soil berada di atas dengan

kedudukan N 95’ E/10’ pada LP 24 Desa Watusigar (foto penulis,2013)

III.2.5.4 Umur dan hubungan stratigrafi

Berdasarkan fosil yang di temukan pada satuan batuan ini, dengan analisis

fosil maka di dapatkan umur (N 11 – N 15) atau sekitar Miosen Tengah bagian

atas – Miosen Akhir bagian bawah dan lingkungan pengendapan adalah neritik

tepi. Penetuan umur lingkungan pengendapan satuan batugamping klastik

berdasrkan fosil planktonik berada di lampiran II.

51

Gambar 3.11. Klasifikasi lingkungan batimetri, gabungan dari Tipsword,dkk (1966) dan Ingle (1980)

III.2.6 Endapan aluvial

III.2.6.1 Penyebaran dan ketebalan

Endapan alluvial merupakan material lepas hasil rombakan dari batuan

yang lebih tua dengan ukuran lempung-bongkah, material ini tersebar kurang

lebih meliputi ± 2 % dari daerah telitian, dan sebagian besar telah menjadi lahan

pertanian dan pemukiman penduduk, terletak pada bagian barat laut peta, dan

berada di daerah Randusari, Desa Watusigar

III.2.6.2 Ciri di lapangan

Satuan ini merupakan material lepas yang belum terlithifikasi dengan ciri-

ciri berupa endapan lepas hasil rombakan batuan yang lebih tua baik dari batuan

beku, piroklastik, maupun batugamping yang berada pada daerah penelitian.

Satuan ini terdiri dari lempung hitam dominan, sampai material dengan ukuran

kerikil-bongkah.

52

Gambar 3.14. Endapan Aluvial berada pada LP 132, di Desa Watusigar, arah foto menghadap ke Ttenggara

Gambar 3.15 Satuan endapan aluvial pada LP 131 yang sebagian besar terdiri atas pasir, kerikil, bongkah dan lempung

III.2.6.3 Umur dan hubungan stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara Pasir Lepas ini dengan satuan batuan yang

berada di bawahnya adalah tidak selaras, yaitu angular unconformity. Dimana

terdapat perbedaan umur yang jauh antara satuan pasir lepas dengan satuan batuan

di bawahnya.

53

BAB IV

STRUKTUR GEOLOGI

Struktur geologi adalah bentuk arsitektur kulit bumi yang disebebkan oleh

deformasi serta gejala-gejala yang menyebabkan terjadinya perubahan pada kulit

bumi dari gaya endogen. Pembahasan struktur geologi di sini lebih ditekankan

pada struktur sekunder, yaitu struktur kekar, sesar, dan lipatan.

IV.1. Struktur Geologi Regional

Terbentuknya struktur geologi regional daerah penelitian tidak lepas dari

tatanan tektonik Indonesia sejak Zaman Neogen, yaitu dengan adanya pergerakan

antara Lempeng Hindia-Australia yang reletif bergerak ke arah utara dan

menumbuk Lempeng Eurasia, sehingga membentuk sistem busur kepulauan dan

jalur gunungapi aktif, serta pola-pola kelurusan. Gambaran umum arah kelurusan-

kelurusan struktur geologi Pulau Jawa dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut :

Gambar 4.1. Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya (modifikasi dari Pulunggono dan

Martodjojo, 1994 dalam Prasetyadi, 2007)

54

Secara regional, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Pegunungan

Selatan Jawa Timur Bagian Barat. Menurut Bemmelen (1949), Pegunungan

Selatan merupakan sayap geantiklin Jawa yang berarah barat-timur. Pada Kala

Pleistosen Tengah, geantiklin Jawa ini terangkat sehingga menghancurkan

Perbukitan Jiwo dan ambles ke Utara. Jalur Solo dan Pegunungan Selatan

dipisahkan oleh sesar bertingkat yang kemudian tererosi dan memberikan

kenampakan gawir-gawir sesar.

Pada Kala Pleistosen Atas, blok yang terdapat di bawah cekungan

Wonosari memisahkan diri dari sayap selatan. Pada tahap ini gawir sesar

Baturagung menjadi antiklin satu sisi dan Perbukitan Jiwo terletak di atasnya.

Blok-blok miring yang terletak di antara Pegunungan Selatan dan Jalur Solo

sebagai contohnya ditemukan dekat Wonogiri dan Tirtomoyo. Blok sesar

terpisahkan dari blok utama Pegunungan Selatan oleh depresi (Surono dkk, 1992).

Struktur geologi di Pegunungan Selatan berupa kekar, sesar, dan lipatan.

Lipatan terdiri atas sinklin dan antiklin, mempunyai arah umum timurlaut-

baratdaya dan beberapa baratlaut-tenggara. Sayap lipatan bersudut kecil yaitu 3º-

15° dan umumnya berbentuk agak setangkup. Sesar pada umumnya berupa sesar

turun. Sesar utama berarah timurlaut yang dikenal dengan Sesar Opak dan berarah

baratlaut-tenggara yang memotong Gunung Gajahmungkur.

Zona Pegunungan Selatan telah mengalami beberapa fase orogenesa

antara lain: fase orogenesa Mesozoik, Tersier dan Kuarter. Proses ini mengontrol

pembentukan struktur geologi di Pegunungan Selatan. Fase pertama terjadi pada

Masa Mesozoikum, berupa terbentuknya sinklin berarah barat-timur. Proses

55

orogenesa pada akhir Zaman Kapur sampai awal Eosen mengakibatkan

terangkatnya Cekungan Pegunungan Selatan, sehingga menyebabkan fasies

batuan yang berumur Kapur mengalami gangguan. Hal ini dapat dibuktikan

dengan ditemukannya batuan yang berumur Pra-Tersier, kemudian pada Miosen

Tengah terjadi pengangkatan yang relatif lemah dan mengakibatkan Formasi

Wonosari mempunyai kemiringan yang landai ke arah selatan. Fase orogenesa

terakhir terjadi pada Kala Pleistosen Tengah, pada fase ini bagian dari puncak

Geantiklin Jawa mengalami keruntuhan ke arah utara membentuk gawir berarah

barat-timur dan sesar yang memiliki pola sama, kemudian pengendapan dari

proses vulkanisme dan aluvial mulai berlangsung.

Daerah penelitian menurut Surono dkk (1992), memiliki struktur yang

umumnya berupa struktur sesar (patahan), struktur ini mempunyai arah Timurlaut-

Baratdaya, Baratlaut-Tenggara dan Timur-Barat. Secara umum struktur yang

terbentuk di daerah penelitian tidak terlepas dari pengaruh tektonik dan sejarah

geologi yang terjadi di pulau Jawa (gambar 4.3 ).

Gambar 4.2. Pola struktur geologi regional daerah penelitian (modifikasi dari Surono, dkk., 1992)

56

IV.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian

Berdasarkan data pengamatan, pengukuran dan pencatatan data struktur di

lapangan, interpretasi peta topografi dan citra aster maupun landsat SRTM

(Shuttle Radar Topographical Map), maka disimpulkan bahwa pada daerah

penelitian berkembang struktur geologi berupa kekar, lipatan dan sesar.

IV.2.1. Struktur Kekar

Kekar merupakan suatu struktur rekahan pada batuan yang relatif belum

mengalami pergeseran. Struktur kekar yang dijumpai di daerah penelitian

dibedakan atas struktur kekar primer dan struktur kekar sekunder. Struktur kekar

primer terbentuk bersama terbentuknya batuan biasanya di temukan pada batuan

beku, sedangkan struktur kekar sekunder terbentuk setelah proses terbentuknya

batuan yang diakibatkan karena gaya-gaya endogen. Struktur kekar di lapangan di

temukan pada batuan piroklastik maupun pada batugamping.

Penentuan jenis struktur kekar pada daerah penelitian ditentukan

berdasarkan bentuk, ukuran, kerapatan, dan genesanya. Struktur kekar yang

dijumpai pada daerah penelitian adalah kekar gerus (gambar 4.4) dan kekar tarik.

Gambar 4.3. Kenampakan struktur kekar gerus pada LP 103.arah umum dari kekar ini N358⁰E/76⁰ dan N060⁰E/62⁰,lokasi di tepi sungai , kekar pada tuf

57

Pengukuran kekar untuk mengetahui arah gaya yang bekerja pada daerah

penelitian pada dusun LP 103, hal ini karena selain di tempat ini hampir semua

kekar yang ditemukan pada daerah penelitian sangat tidak ideal dan tidak

mungkin untuk di ambil karena posisi struktur yang sudah berantakan dan hancur.

IV.2.2. Struktur sesar

Sesar adalah suatu zona rekahan pada batuan yang telah mengalami

pergeseran dan sejajar terhadap bidang rekahan yang terbentuk sepanjang garis

lurus (translasi) atau berputar (rotasi). Unsur-unsur atau tanda-tanda geologi yang

mengindikasikan adanya sesar antara lain :

a. Bidang sesar

b. Gawir

c. Kelurusan topografi

d. Kelurusan sungai

e. Perbedaan offset litologi

Sesar yang terbentuk pada daerah penelitan berupa sesar turun dan sesar

mendatar kiri. Sesar-sesar ini membentuk pola garis lurus ataupun sedikit berotasi.

Sesar yang tergambar di peta geologi adalah sesar turun yang terindikasi

dilapangan berupa blok yang bergerak turun dan adanya kenampakan gawir sesar,

penarikan kelurusan pada peta topografi mengikuti kelurusan sungai di daerah

penelitian yang dimana sungai tersebut penulis indikasi dibuat pada zona

kelurusan sesar. Selain itu ada juga sesar-sesar kecil yang ditemukan di lapangan.

Sesar di lapangan ini di temukan dengan ciri-ciri adanya salah satu, bidang sesar

dan adanya offset pada batuan yang tersesarkan. Sesar-sesar ini memotong satuan

58

batuan breksi andesit, dan tuf yang kelurusannya hanya setempat-setempat pada

daerah penelitian. Selanjutnya untuk mengetahui setiap jenis sesar, mekanisme

dan daerah sebenarnya, maka sesar-sesar di sini diberi nama sesuai dengan nama

daerah yang dilalui sesar tersebut, sehingga memudahkan dalam pembahasannya.

IV.2.2.1 Sesar Mendatar Kiri Bendung

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terdapat indikasi sesar

mendatar kiri pada Daerah Banyukendil memanjang hingga ke arah timur laut di

sekitar Daerah Surobayan, Desa Bendung. Hal ini dapat disimpulkan karena

dilapangan ditemui offset akibat dari adanya sesar mendatar kiri . Pada daerah ini

litologi berupa tuf dan breksi andesit yang merupakan Satuan Tuf. Kemudian data

lain yang menguatkan bahwa pada daerah ini terdapat sesar mendatar kiri adalah

karena dilapangan ditemukannya zona sesar, pada daerah Banyukendil LP-96

yang apabila ditarik kemenerusannya, maka sampai pada Daerah Duwet. Pada

lokasi zona sesar, dijumpai bidang sesar dan dilakukan pengukuran bidang sesar

yaitu N021°E/67°

Gambar 4.4. Sesar Mendatar Kiri Bendung pada singkapan breksi dan tuf, Satuan Tuf, ditemukan

bidang sesar yang menjadi bukti bahwa pada daerah Bendung berkembang sesar mendatar kiri. Foto diambil pada Desa Bendung Lp-98.

59

IV.2.2.2 Struktur Antiklin Ngampon

Struktur lipatan yang berkembang pada daerah telitian yaitu sinklin dan

antiklin yang relatif berarah Barat – Timur. Indikasi adanya struktur lipatan

ditemukan di Daerah Tapansari, Desa Watusigar. Pada Lp-5 yaitu bagian sayap

utara lipatan, memiliki kedudukan N235°E/20°, N234°E/19° sedangkan pada LP-

109 bagian sayap selatan lipatan adalah memiliki kedudukan N086°E/30°,

N089°E/34° (Foto 3.28). Diinterpretasikan bahwa ini merupakan struktur lipatan

yang terjadi pada daerah telitian dikarenakan adanya proses kompresi.

Gambar 4.5. Antiklin Ngampon pada singkapan tuf , Satuan tuf, di dapatkan antiklin dengan arah umum barat –timur. Diinterpretasikan bahwa ini merupakan struktur lipatan yang terjadi

pada daerah telitian dikarenakan adanya proses kompresi. Foto diambil pada Desa ngampon LP 5

IV.3 Genesa Pembentukan Struktur Geologi di Daerah Penelitian

Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian diduga merupakan

hasil dari aktivitas vulkanisme dan tektonisme masa lampau. Struktur yang

berkembang pada umumnya merupakan kombinasi keduannya, dimana dari hasil

vulkanisme menyebabkan terbentuknya pola struktur radial, hal ini di perkuat

60

dengan adanya struktur-struktur sesar turun minor konsentris yang di temukan di

daerah penelitian, struktur ini diduga merupakan struktur mayor purba yang telah

tererosi sehingga tidak tampak kemenerusan di lapangan. Kemudian pembentukan

struktur geologi daerah penelitian berlanjut akibat adanya aktivitas tektonik pada.

Proses tektonik ini mengakibatkan terbentuknya struktur-struktur kekar dan sesar-

sesar mendatar yang memotong satuan-satuan batuan vulkanik dan satuan

batugamping yang telah terbentuk sebelumnya.

61

BAB V

SEJARAH GEOLOGI

V.I. Sejarah Geologi Daerah Penelitian

Sebelum Kala Miosen aktivitas tektonik yang global telah terjadi. Posisi

zona subduksi pertemuan antara Lempeng Eurasia dengan Lempeng Indo-

Australia telah mengalami pergeseran dan berada memanjang dari barat Sumatra

menerus sampai bagian selatan Pulau Jawa, ke timur sampai Nusa Tenggara

(Asikin,1974). Sehingga dengan adanya pergerakan lempeng yang bersifat

konvergen akan membentuk suatu jajaran gunungapi sebagai akibat pelelehan

(partial melting) dari gesekan keduanya.

V.I.1. Kala Miosen Awal-Miosen Akhir

Sejarah geologi di daerah penelitian diperkirakan dimulai pada Kala

Miosen Bawah, yang ditandai dengan aktivitas vulkanisme pada daerah ini.

Vulkanisme ini menghasilkan lava yang bersifat basaltik-andesitik, batuan gunung

api seperti tuf, dan breksi andesitik-basaltik, Diduga periode ini berlangsung pada

laut dangkal – laut dalam. Selama perkembangannya, aktivitas vulkanisme ini

mengalami suatu evolusi magma akibat adanya pemisahan gas dari cairan magma

selama proses diferensiasi dimulai dari basal menjadi andesit basal, andesit dan

dasit atau bahkan riolit. Pada fase ini terbentuk lava andesit-dasitik.

Tidak berlangsung lama pada kala Miosen Bawah perubahan magma ini

juga menyebapkan ledakan eksplosif yang sangat merusak sehingga membentuk

62

kaldera pada pusat erupsi tersebut. Letusan besar pembentukan kaldera gunung

api yang berada di luar lokasi bagian timur dan selatan, ini disebabkan oleh

tekanan gas di dalam magma yang sangat kuat. Kemungkinan lain terbentuknya

tekanan sangat kuat adalah karena terjadinya percampuran magma basal dengan

magma asam (magma mixing). Ciri khas batuan gunung api produk letusan sangat

besar ini banyak mengandung pumis dalam berbagai ukuran dan berkomposisi

asam.

Pada fase ini kemudian di endapkan satuan breksi polimik (breksi aneka

bahan) dimana fragmen pada breksi ini merupakan batuan yang lebih tua yang

terbentuk terlebih dahulu diantaranya basalt, andesit, serta fragmen tuf yang

terbentuk bersamaan dengan batuan breksi polimik ini. Fragmen beragam tersebut

tidak menutup kemungkinan bahwa fragmen-fragmen batuan tua dapat berasal

dari gunung api lain yang berada di sekitar daerah penelitian. Selain breksi

polimik, satuan tuf dan satuan breksi pumis juga terendapkan pada fase ini dengan

hubungan menjemari satu sama lainnya. Ketiga satuan ini diperkirakan

diendapkan pada lingkungan darat - laut dangkal dimana dari data dilapangan hal

ini di dukung oleh struktur sedimen yang terlihat pada litologi tersebut. Hal ini di

bahas secar rinci pada bab pembahasan selanjutnya.

Selanjutnya masih pada Kala Miosen Tengah secara selaras di atasnya

diendapkan satuan batuan breksi andesit, yang ditandai dengan aktivitas

vulkanisme pada satuan ini. Vulkanisme ini menghasilkan lava basaltik-andesitik

yang bersifat konstruktif

63

V.I.2. Kala Miosen Tengah – Miosen Akhir

Pada kala Miosen Tengah di duga kegiatan vulkanisme tersebut berhenti

yang kemudian dilanjutkan dengan pengendapan sedimen asal laut dangkal di

antaranya batugamping klastik di sebelah selatan dan tengah bagian barat daerah

penelitian yang di duga merupakan lingkungan laut dangkal pada saat itu.

Disamping proses pengendapan sedimen laut, proses eksogen juga berpengaruh

pada batuan vulkanik yang berada pada lingkungan darat. Sehingga sebagian

material tersebut mengalami pengerjaan ulang melalui proses sedimentasi

(epiklastik) kemudian mengendap pada kaki maupun danau bekas gunung api dan

terlithifikasi. Litotologi hasil pengerjaan ulang batuan gunung api ini yaitu

batupasir tufan yang terdapat pada daerah penelitian yang merupakan anggota dari

satuan tuf.

V.I.3 Kala pliosen Akhir

Pada akhir Pliosen terjadi fase tektonik berupa pengangkatan. Prosesnya di

tandai oleh berakhirnya pengendapan satuan batugamping di laut dan di gantikan

oleh sedimen darat berupa endapan alluvial maupun endapan asal gunung api

Kuarter. Fase tektonik inilah yang mengangkat daerah penelitian dari lingkungan

laut menjadi darat

64

Gambar. 5.1. 1) Kala Miosen Bawah aktivitas vulkanisme mengalami evolusi, magma basal menjadi andesit basalt, andesit – dasit. 2) Kala Miosen Tengah Terjadi ledakan sangat

eksplosif ditandai dengan kemunculan breksi pumis yang melimpah, setelah itu aktivitas vulkanisme berhenti & digantikan dengan pengendapan sedimen laut. 3) Kala Pliosen

Akhir fase tektonik berupa pengangkatan.

2

1

3

65

BAB VI

GEOLOGI LINGKUNGAN

Geologi lingkungan merupakan salah satu cabang ilmu geologi yang

mempelajari tentang interaksi antara manusia dengan alam lingkungannya, serta

pelestarian dan pemanfaatan bumi oleh manusia. Pembahasan geologi lingkungan

adalah untuk mengetahui potensi geologi di daerah penelitian. Potensi yang dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dalam hal ini adalah

sumber daya alam, sedangkan potensi yang merugikan adalah bencana alam.

VI.1. PotensiSumberDayaAlam

Sumberdaya alam adalah semua kekayaan alam yang terdapat di

lautmaupun di darat yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sumber

daya alam yang dapat ditemukan pada daerah penelitian diantaranya: sumberdaya

air, lahan, bahan galian dan sumber daya kayu.

VI.1.1. Air

Secara umum kondisi perairan di daerah penelitian cukup baik, dengan

curah hujan yang hamper merata setiap tahun, serta kondisi vegetasi yang lebat

dan masih terjaga sebagai media penahan air hujan yang meresap kedalam tanah.

Potensi air yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar daerah penelitian berasal

dari air permukaan, yaitu pada air sungai yang berada di sekitar pemukiman

penduduk dan airtanah pada air sumur. Besarnya debit air sungai yang ada di

daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh curah hujan. Masyarakat yang berada di

66

sekitar aliran sungai umumnya memanfaatkan air sungai untuk keperluan sehari-

hari, seperti mencuci, mandi, dan irigasi. Sedangkan untuk air minum, masyarakat

menggunakan airtanah (air sumur).

Sungai-sungai di daerah penelitian merupakan sungai yang bersumber dari

air hujan, hal ini dapat diketahui dari tidak tetapnya air sungai. Pada musim hujan

air mengalir sangat deras dan melimpah, sedangkan pada musin kemarau air

sungai sangat dangkal dan ada beberapa sungai yang menjadi kering

Gambar6.1.Air sungai sebagai sumber daya air pada Kali Oyo. Foto diambil dari

LP 25, di Desa watusigar, lensa kamera menghadap ke barat

VI.1.2. Bahangalian

Bahan galian sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia sehari-hari.

Bahan galian merupakan salah satu aspek geologi yang sangat berguna bagi

masyarakat, bahan galian ini sering dimanfaatkan sebagai bahan dasar bangunan,

jalan, jembatan, perabotan rumah, dan juga sebagai mata pencarian warga di

daerah penelitian maupun di luar daerah penelitian. Potensi bahan galian yang ada

67

di daerah penelitian termasuk dalam bahan galian golongan C berupa breksi

pumis, tuf, batugamping,serta pasir dan batu (sirtu).

VI.1.2.1. BreksiPumisdanTuf Breksi pumis pada daerah penelitian sering di jadikan masyarakat sebagai

bahan bangunan dimana kegiatan penambangan ini dilakukan secara tradisional

dengan menggunakan alat sederhana seperti linggis dan palu untuk mengupas

batuan tersebut.

Gambar6.2.TempatpenambanganbreksipumispadaDesaSurodadi LP

45.LensakameramenghadapkeTimur (fotopenulis 2013)

Gambar 6.3.TempatpenambanganbreksipumispadadesaSurodadi LP

35.LensakameramenghadapkeTimur (fotopenulis 2013)

68

VI.1.2.2. Batugamping Batugamping terdapat di sebelah Selatan bagian barat daerah penelitian,

dimana penyebarannya dari Desa Kedongdowo pada bagian selatan sampai Desa

Beji di bagian utara. Potensi batugamping di daerah penelitian sebenarnya cukup

baik untuk ditambang, namun kegiatan penambangan tidak secara besar-besaran

melainkan hanya setempat-setempat kecil oleh beberapa orang yang tinggal

didekat daerah penambangan tersebut. Batugamping ini sering dimanfaatkan

masyarakat sekitar sebagai bahan bangunan dan pengerasan jalan.

Gambar 6.4.Penambanganbatugamping yang

dilakukanolehwargasetempat.LensakameramenghadapkeBaratdaya VI.1.3. Sumber daya Lahan

Tanah di daerah penelitian mengandung unsure hara yang sangat baik bagi

tanaman, sehingga pemanfaatan lahan ini digunakan untuk bercocok tanam, yaitu

sebagai lahan pertanian dan lahan perkebunan. Daerah yang landai dan dekat

dengan tubuh sungai maupun dataran alluvial sering dimanfaatkan untuk lahan

pertanian dimana umunya di jadikan lahan persawahan, sedangkan tempat yang

69

tinggi sering dimanfaatkan untuk lahan perkebunan misalnya kebun kayuputi,

jagung, kebun kacang dan kebun singkong.

Gambar 6.5 Perkebunan kayuputi pada perbukitan bergelombang sedang, di desa kedong

dowo kecamatan karangmojo ,di barat daya lokasi daerah penelitian. Lensa kamera menghadap barat-laut (fotopenulis 2013)

Gambar 6.6.daearah persawaan yang berada di dataran rendah (aluvial), di desa randusari,

kecamatan ngawen, dibagian tengah lokasi daerah penelitian, lensa kamera menghadap ke tenggara. (foto penulis 2013)

70

VI.2 BencanaAlam

Bencana alam adalah suatu proses yang dapat menimbulkan kerugian bagi

makhluk hidup baik yang terjadi secara alamiah maupun yang di sebabkan oleh

aktifitas manusia. Bencana alam oleh proses almiah yang sering terjadi pada

daerah penelitian adalah tanah longsor hal ini dikarenakan derah penelitian

merupakan daerah perbukitan dengan kelerengan yang terjal sehingga berpotensi

longsor jika terjadi nya cura hujan yang

Gambar6.7. Tanah longsor yang terjadi pada Dusun Melikan. Arah foto menghadap ke tenggara

(foto penulis 2013)

71

BAB VII PETROLOGI BATUAN GUNUNG API

Bronto (2009), Batuan gunung api adalah batuan yang terbentuk sebagai

hasil dari kegiatan gunung api. Kegiatan gunung api diartikan sebagai proses

keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan

VII.1 Latar Belakang

Pegunungan Selatan merupakan bagian dari pembelajaran busur gunung

api berumur Tersier, selain yang tersebar luas di kepulauan Indonesia. Secara

umum, produk gunung api tersebut dikenal sebagai Old Andesite Formation

(Bemmelen, 1949) yang kemudian menjadi acuan para ahli geologi saat

menjumpai batuan gunung api berumur tua (Bronto, 2010).

Daerah penelitian merupakan Zona Pegunungan Selatan bagian barat.

Menurut Surono, dkk. (1992) dalam Peta Geologi Regional Surakarta-Giritontro

daerah Melikan Gunungkidul, disusun oleh beberapa kelompok batuan, di

antaranya: Breksi Pumis, Tuf dan Breksi Polimik yang di kelompokan kedalam

formasi Semilir. Secara stratigrafis, kelompok batuan tersebut adalah batuan

tertua berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Selaras-menjari di bagian atasnya

terdapat litologi Breksi Andesit yang di masukan kedalam Formasi Ngalanggrang

berumur Miosen Awal – Miosen Tengah. Formasi tersebut menjari dengan breksi

gunung api, aglomerat, lava andesit-basal dan tuf yang dimasukan ke dalam

Formasi Nglanggeran. Sedangkan pada formasi Oyo di bagian utara daerah

72

penelitian tidak selaras dengan formasi Nglanggrang, sedangkan pada bagian

selatan formasi Oyo selaras menjari dengan formasi Wonosari. Di daerah ini, ke

empat formasi tersebut dilingkupi oleh lempung hitam endapan lakustrin yang

oleh Surono, drr.,(1992) disebut Formasi Baturetno (gambar 7.1).

Gambar 7.1. Peta geologi regional daerah penelitian. ( modifikasi dari Surono,dkk., 1992)

Dari pembahasan diatas di terangkan secara jelas bahwasanya daerah

penelitian disusun oleh kelompok batuan gunung api selain batuan sedimen,

seperti breksi, aglomerat, braksi pumis, polimik dan tuf , sehingga penulis

berpendapat bahwa di daerah penelitian pernah berlangsung kegiatan gunung api

pada masa lampau. Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti daerah ini dengan

pembahasan mengenai petrologi gunung api daerah melikan dan sekitarnya

Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

73

VII.2 Dasar Teori

VII.2.1 Pengertian Gunung Api

Schieferdecker (1959 dalam Hartono, 2000) menyatakan bahwa gunung

api yaitu tempat di permukaan bumi di mana magma dari dalam bumi

keluar atau sudah keluar pada masa lampau, biasanya membentuk sebuah

gunung berupa kerucut yang mempunyai kawah di bagian puncaknya.

MacDonald (1972), menyatakan bahwa gunung api adalah tempat atau

bukaan dari mana batuan kental pijar atau gas, umumnya keduanya, keluar dari

dalam bumi ke permukaan, dan tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang

kemudian membentuk bukit atau gunung.

Dari kedua batasan tersebut dinyatakan bahwa setiap tempat keluarnya

magma ke permukaan bumi adalah gunung api Bronto (2010). Dalam

perkembangannya, gunung api tidak selalu menunjukkan bentuk timbul seperti

bukit atau gunung, namun dapat pula berbentuk cekung, seperti gunung api tipe

perisai.

Tempat atau bukaan keluarnya batuan bijar atau gas tersebut disebut

kawah atau kaldera, sedangkan batuan pijar dan gas adalah magma. Batuan atau

endapan gunung api adalah bahan padat berupa batuan atau endapan yang

terbentuk akibat kegiatan gunung api, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Wilson (1989), menyatakan bahwa gunung api dapat terjadi di

lingkungan tektonik dalam lempeng (samudra dan benua), dan atau di batas

lempeng (konstruktif dan destruktif). Gunung api yang terbentuk di kedua tatanan

74

tektonik tersebut mempunyai karakteristik tertentu di dalam kisaran kandungan

SiO2, afinitas magma, dan bentang alam gunung apinya. Sebagai contohnya,

gunung api yang terbentuk pada lingkungan tektonik konvergen menunjukkan

bentang alam sebagai busur kepulauan, afinitas magma toleit-alkalin, dan

menghasilkan batuan beku berkomposisi basa sampai asam. Secara umum,

memiliki bentang alam gunung api tipe komposit (strato), terdiri atas perselingan

lava dan batuan piroklastika, retas dan sill, kelerengan terjal, dan umumnya

membentuk kerucut simetris.

VII.2.2 Volkanisme dan Batuan Gunung api

Vulkanisme adalah proses alam yang berhubungan dengan kegiatan

gunung api, dimulai dari asal – usul pembentukan magma di dalam bumi hingga

kemunculannya ke permukaan bumi dalam berbagai bentuk dan kegiatan (Bronto

,2004).

Batuan gunung api merupakan hasil kegiatan gunung api secara langsung

(primer) maupun tidak langsung (sekunder). Kegiatan secara langsung merupakan

proses keluarnya magma ke permukaan bumi (erupsi) berupa letusan (eksplosi)

dan lelehan (efusi) atau proses yang berhubungan. Kegiatan tidak langsung

(sekunder) adalah proses yang mengikuti kejadian primer (Sandi Stratigrafi

Indonesia, 1996).

Penggunaan kata batuan di dalam penamaan batuan gunung api ini

diartikan secara luas, yaitu bahan hasil dari aktivitas gunung api baik secara

langsung maupun tidak langsung, mulai dari bahan lepas (loose material) sampai

dengan yang sudah membatu (lithified material). Pengertian langsung

75

dimaksudkan bahwa bahan erupsi gunung api itu setelah mendingin/mengendap

kemudian membatu di tempat itu juga (insitu), sedangkan pengertian tidak

langsung menunjukkan bahwa endapan/batuan gunung api tersebut sudah

mengalami pengerjaan ulang atau deformasi, baik oleh aktivitas vulkanisme

muda, proses – proses sedimentasi kembali, maupun aktivitas tektonik (Bronto,

2004). Umumnya dikenal ada dua jenis erupsi gunung api yaitu: erupsi lelehan

(efusie), dan erupsi letusan (eksplosif). Erupsi lelehan berupa lelehan lava yang

bila sudah membeku membentuk batuan beku luar. Berhubung mempunyai

kesamaan tekstur, batuan beku intrusi dangkal dan batuan beku luar dipandang

sebagai hasil kegiatan vulkanisme. Erupsi kedua yaitu erupsi letusan (eksplosif)

dimana material hasil erupsi letusan ini selalu bertekstur klastika sehingga

dimasukan ke dalam kelompok batuan klastika (piroklastik) gunung api (Bronto,

2004).

Menurut Cas dan Wright (1987) McPhie, dkk. (1993) dan Bronto (2004),

batuan hasil erupsi gunung api dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu lava

koheren (coherent lavas) dan batuan klastika gunung api (volcaniclastic rocks).

Mengenai struktur batuan gunung api, untuk lava koheren mengikuti hukum-

hukum yang berlaku di dalam batuan beku, seperti halnya struktur masif,

berlubang/berongga (vesicles), segregasi, konsentris, aliran dan rekahan radier

yang mencerminkan proses pendinginan. Pembentukan struktur di dalam endapan/

batuan bertekstur klastika (misalnya piroklastika dan epiklastika) lebih mengikuti

hukum batuan sedimen (proses pengendapan), misalnya struktur perlapisan/

laminasi, silang-siur, perlapisan, melensa, membaji, antidunes dan lain-lain. Itulah

76

sebabnya batuan gunung api sebaiknya tidak dipaksakan untuk masuk ke dalam

jenis batuan beku atau batuan sedimen tetapi lebih baik dipandang sebagai

kelompok batuan tersendiri yang berada di daerah transisi antara kedua jenis

batuan utama tersebut (Bronto 2004).

VII.2.2.1 Lava Koheren Lava koheren pada hakekatnya adalah lava erupsi lelehan (efusif), yaitu

magma yang keluar dari dalam bumi melalui lubang kepundan gunung api dan

membeku di permukaan bumi, (Bronto, 2004), menyatakan bahwa pembekuan

magma di dekat permukaan ini dimungkinkan karena :

1. Magma sudah mengkristal terlebih dahulu sebelum pergerakannya

mencapai ke permukaan bumi.

2. Tidak semua magma keluar ke permukaan bumi sewaktu gunung api

bererupsi atau meletus, tetapi juga tidak kembali ke dapurnya jauh di

dalam bumi setelah erupsi gunung api berhenti. Sebagian magma itu

tersisa dan membeku di sepanjang perjalanan dari dapur magma ke

permukaan bumi yang dalam hal ini adalah kawah atau kaldera gunung

api. Kelompok batuan sub-gunung api ini antara lain membentuk retas,

sill, leher gunung api atau kubah bawah permukaan. Magma yang

membeku di pipa kepundan sehingga bagian atasnya menyembul ke

permukaan sedangkan bagian bawahnya berada di bawah permukaan

disebut leher gunung api atau sumbat lava

77

VII.2.2.2 Batuan klastika gunung api

Batuan klastika gunung api adalah batuan gunung api yang bertekstur

klastika (disarikan dari Fisher, 1961, Fisher, 1966 Fisher dan Smith, 1991

Pettijohn, 1975, Walker dan James, 1992, Mathisen & McPherson, 1991 dalam

Bronto, 2004). Secara deskripsi, terutama tekstur (bentuk dan ukuran butir),

batuan klastika gunung api dapat berupa breksi gunung api (volcanic breccias),

konglomerat gunung api (volcanic conglomerate), batupasir gunung api (volcanic

sandstones), batulanau gunung api (volcanic siltstones) dan batulempung gunung

api (volcanic claystones). Perlu ditegaskan disini bahwa penggunaan kata pasir,

lanau dan lempung hanyalah untuk menunjukkan ukuran butir, tidak secara

langsung mencerminkan sebagai batuan sedimen epiklastika. Nama - nama

tersebut dapat ditambah dengan parameter warna, struktur dan atau komposisi

tergantung aspek mana yang menonjol dan mudah dikenali.

Berdasarkan asal-usul proses fragmentasi dan genesanya maka batuan

klastika gunung api dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu batuan autoklastika, batuan

piroklastika, batuan kataklastika dan batuan epiklastika (Bronto 2004).

Batuan autoklastika (breksi autoklastika/ autoclastic breccias) yaitu lava

yang karena pendinginan yang sangat cepat dan bersentuhan dengan batuan dasar

atau batuan samping yang dingin sehingga terjadi fragmentasi di bagian tepi atau

luar dari tubuh magma/ lava tersebut merupakan batuan beku luar. Berhubung

yang sering dijumpai adalah fragmentasi berukuran kasar dan berbentuk

meruncing maka batuannya disebut breksi autoklastika. Ciri-ciri batuan ini

78

bertekstur klastika tetapi komposisi fragmen dan matriks homogen, berupa batuan

beku berasal dari magma yang sama.

Batuan piroklastika yaitu batuan gunung api bertekstur klastika sebagai

hasil letusan gunung api atau guguran lava secara langsung. Sebanding dengan

batuan piroklastika adalah batuan hidroklastika, yakni batuan gunung api

bertekstur klastika sebagai hasil letusan uap air (letusan freatik, hidrotermal) yang

membongkar batuan tua di atasnya. Uap air berasal dari air bawah tanah

bercampur dengan uap magma yang terpancarkan, namun dalam hal-hal tertentu

uap air itu berasal dari air permukaan (air hujan, sungai, danau, es atau air laut).

Dalam hal ini bahan padat atau cairan dari magma tidak ikut terlontarkan. Letusan

transisi diantara letusan magmatik dengan letusan freatik adalah letusan

freatomagmatik.

Dikarenakan gunung api sangat erat hubungannya dengan batuan

piroklastik selain batuan beku ekstrusif seperti lava, penulis lebih tekankan akan

pengetahuan tentang batuan piroklastik.

Batuan piroklastik adalah batuan volkanik klastik yang dihasilkan

oleh serangkaian proses yang berkaitan langsung dengan letusan gunung api

(Cas & Wright, 1987). Hirokawa (1980) mendefinisikan batuan piroklastik

secara umum sebagai batuan yang tersusun oleh material-material fragmental

hasil lontaran (keluar) akibat letusan gunung api. Menurut Williams et

all.,(1982), batuan piroklastik yaitu batuan bertekstur klastik sebagai hasil

pengendapan fragmen bentukan kegiatan gunung api secara langsung, umumnya

berupa erupsi eksplosif. Sedangkan Fisher (1961) diikuti Pettijohn (1975), men

79

yatakan bahwa piroklastik merupakan kata sifat untuk batuan hasil letusan atau

lontaran material dari suatu lubang gunung api yang terakumulasi baik di

daratan maupun di bawah air laut.

Secara umum batuan piroklastik dapat dibagi menjadi beberapa litologi

diantaranya: breksi, aglomerat, lapili dan tuf (Fisher & Schminke 1984).

1. Breksi piroklastik a d a l a h batuan yang tersusun atas aglomerat dan

fragmen tuf. Batuan ini terbentuk akibat konsolidasi dari block-block

gunung api dan tuf. Berukuran lebih dari 64 mm, dengan bentuk butir

yang meruncing, grainsupported (masa dasar yang didukung butiran) dan

hubungan antar butir yang terbuka. Breksi Piroklastik adalah penamaan

batuan piroklastik berdasarkan tekstur menurut Fisher & Schminke,

(1984).

2. Aglomerat adalah batuan yang dibentuk oleh konsolidasi material-material

dengan kandungannya didominasi oleh bomb gunungapi dimana

kandungan 1apilli dan abu kurang dari 25%. Dengan bentuk butir yang

membundar, dan berukuran lebih dari 64mm. Agglomerat adalah

penamaan batuan piroklastik berdasarkan tekstur menurut Fisher &

Schminke (1984).

3. Lapili berasal dari bahasa latin yaitu lapillus, nama untuk hasil

erupsi eksplosif gunung api yang berukuran 2 mm - 64 mm. Selain

itu fragmen batuan kadang- kadang terdiri dari mineral-mineral augit,

olivin dan plagioklas. Karena ini adalah lapili tuf maka merupakan

80

fragmen lapili pada masa dasar tuf. Lapili adalah penamaan batuan

piroklastik berdasarkan tekstur menurut Fisher & Schminke (1984).

4. Tuf adalah batuan piroklastik yang berukuran 2 mm - 1/256 mm yang

dihasilkan oleh pelemparan dari magma akibat erupsi eksplosif. tuf

sudah mengalami konsolidasi, dengan kandungan abu mencapai 75%.

Tuf adalah penamaan batuan piroklastik berdasarkan tekstur menurut

Fisher & Schminke (1984).

Tabel 7.1. Klasifikasi Nama Endapan dan Batuan Piroklastik, modifikasi menurut Fisher & Schmincke (1984)

81

Gambar 7.2. (a) Model Letusan gunung api, dan (b) fasies endapannya yang menghasilkan breksi koignimbrit beserta batuan piroklastika kaya batuapung (Wright,1981, dalam

Bronto,2009)

Gambar 7.3. Skema penampang kerucut gunung api komposit. A. Kerucut gunung api yang masih utuh, B. Kerucut gunung api yang sudah tererosi pada tingkat dewasa dan C.

Kerucut gunung api yang sudah tererosi lanjut ( Williams & MacBirney ,1978 dalam Bronto, 2003)

82

Gambar 7.4. Karakteristik gunung api komposit (Lockwood and Hazlet,2010)

VII.2.2.3 Jenis Endapan Piroklastik

Sukhyar (1982) merinci hasil kegiatan hasil suatu gunung api, selain gas

yang tidak terekam ujudnya, maka dapat di bedakan tiga macam hasil kegiatan,

yaitu :

1. Endapan piroklastik jatuhan merupakan hasil endapan ekplosif dari

gunung api yang diendapkan melalui udara.Ciri-ciri: Memperlihatkan

struktur butiran bersusun dan endapan berlapis naik.

2. Endapan piroklastik aliran merupakan endapan piroklastik yang mana

material langsung teronggokan di suatu tempat.Ciri-ciri: Sebarannya

sangat dipengaruhi oleh morfologi, Batas bawah dibatasi oleh area dan

pada bagian atasnya relative datar dan umumnya mempunyai struktur

masif.

3. Endapan piroklatik surge merupakan endapan piroklastik yang berasal dari

suatu awan panas dengan kepadatan rendah, campuran dari unsure-unsur

83

padat, uap air, gas yang bergolak di atas permukaan dengan kecepatan

tinggi.Ciri-ciri: Perlapisan yang baik, adanya penjajaran butiran pipih dan

adanya perlapisan bergelombang.

Gambar 7.5..Jenis-jenis endapan piroklastik.(Colin and Bruce, 2000)

VII.2.2.4 Identifikasi fasies gunung api berdasarkan stratigrafi gunung api.

Identifikasi Fasies gunung api menurut modifikasi yang mengacu ke

dalam model fasies gunung api menurut (Bogie & Mackinzie, 1998, dalam

Bronto, 2006) (Gambar 7.6) model fasies gunung api ini dapat dipakai ke dalam

tipe gunung api strato. Seperti gunung api purba yang terdapat di daerah

penelitian peneliti. berdasarkan stratigrafi gunung api dibagi menjadi 4 Fasies

gunung api, yaitu:

84

1. Fasies Sentral merupakan bukaan keluarnya magma dari dalam bumi ke

permukaan. Oleh sebab itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan beku

yang berupa kubah lava dan berbagai macam batuan terobosan semi

gunung api (subvolcanic intrusions) seperti halnya leher gunung api

(volcanic necks), sill, retas, dan kubah bawah permukaan (cryptodomes).

Batuan terobosan dangkal tersebut dapat ditemukan pada dinding kawah

atau kaldera gunung api masa kini, atau pada gunung api purba yang sudah

tererosi lanjut. Selain itu, karena daerah bukaan mulai dari conduit atau

diatrema sampai dengan kawah merupakan lokasi terbentuknya fluida

hidrotermal, maka hal itu mengakibatkan terbentuknya mineral ubahan

atau bahkan mineralisasi. Apabila erosi di fasies ini sangat lanjut, batuan

berumur tua yang mendasari gunung api juga dapat tersingkap.

2. Fasies Proksimal merupakan kawasan gunung api yang paling dekat dengan

lokasi sumber atau Fasies pusat. Asosiasi batuan pada kerucut gunung api

komposit sangat dipengaruhi oleh perselingan aliran lava dengan breksi

piroklastika dan aglomerat. Kelompok batuan ini sangat resistan, sehingga

biasanya membentuk timbulan tertinggi pada gunung api purba.

3. Fasies Medial merupakan lokasi yang menjauhi sumber, aliran lava dan

aglomerat sudah berkurang, tetapi breksi piroklastika sangat dominan, dan

breksi lahar juga sudah mulai berkembang.

4. Fasies Distal merupakan daerah pengendapan terjauh dari sumber, Fasies

distal oleh endapan rombakan gunung api seperti halnya breksi lahar,

85

breksi fluviatil, konglomerat, batupasir, dan batulanau. Endapan primer

gunung api di fasies ini umumnya berupa tuf.

Ciri-ciri litologi secara umum tersebut tentunya ada perkecualian, apabila terjadi

letusan besar sehingga menghasilkan endapan piroklastika atau endapan longsoran

gunung api yang melampar jauh dari sumbernya.

Gambar 7.6. Pembagian fasies gunung api menjadi fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial,

dan fasies distal beserta komposisi batuan penyusunnya (Bogie & Mackenzie,1998)

VII.3 Metode Pendekatan

Metode yang dipakai untuk memecahkan masalah tentang petrologi batuan

gunung api yaitu dengan menggunakan analisis, sifat fisik yang meliputi tekstur,

struktur dan komposisi, yang diamati di lapangan serta penamaan batuan

berdasarkan klasifikasi Fisher & Schmincke, (1984), dan berdasarkan sifat optis

86

yang diamati di bawah mikroskop polarisasi serta penamaan berdasarkan

klasifikasi Schmid (1981) Gilbert (1982) dan Pettijohn, (1975).

Di samping metode di atas, indikasi gunung api purba mengacu pada

prinsip geologi “the present is the key to the past” (Hutton, 1788), Artinya,

bentuk bentang alam, jenis batuan, struktur geologi dan stratigrafi gunungapi, dan

tipe letusan yang terjadi pada masa sekarang dapat diterapkan untuk mengetahui

kondisi geologi diantaranya petrologi batuan gunung api yang terdapat pada

daerah penelitian saat ini.

VII.4 Petrologi Batuan Gunung Api

Daerah Melikan dan sekitarnya penulis interpretasikan sebagai suatu

bentang alam yang disusun oleh produk gunung api dalam jalur gunung api

Tersier Pegunungan Selatan Jawa Tengah selain bentang alam lain yang ada

disekitarnya. Hal ini didukung oleh morfologi dan terutama oleh litologi yang

tersusun oleh satuan-satuan stratigrafi tidak resmi yang terdiri dari breksi vulkanik

polimik, breksi pumis, dan tuf. Parameter yang digunakan peneliti dalam

identifikasi batuan gunung api di daerah penelitian mengacu pada metode

pendekatan oleh Bronto (1997 dan 2006).

Bronto (2006), secara deskriptif (pemerian) batuan gunungapi mempunyai

ciri-ciri khas di dalam tekstur dan komposisi, sebagai berikut:

1. tekstur hipokristalin porfir, vitrofir atau gelas, baik di dalam lava koheren

maupun sebagai komponen bahan piroklastika,

87

2. komposisi selalu mengandung gelas gunung api; kristal yang terbentuk

pada umumnya menunjukkan tekstur dan struktur pendinginan magma

sangat cepat; komponen fragmen batuan kebanyakan terdiri dari fragmen

batuan beku (luar), seperti basal, andesit, dasit atau riolit.

VII.4.1. Analisis profil dan litofasies pada LP 44

Analisis profil ini untuk mengetahui suatu penyebaran suatu satuan Dalam

penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan,

tekstur. Dan komposisi batuan serta geometri.

VII.4.1.1 Analisis profil

Anlisis profil pada LP 44 ini di dapatkan litologi berupa, breksi polimik,

tuf, dan breksi pumis. Profil di lapangan pada LP 44 ini dari bawah ke atas dapat

di jelaskan sebagai berikut :

Tabel 7.2. Kolom profil LP 44 Dusun Jirak (tanpa skala)

88

Gambar.7.7. Kenampakan singkapan pada LP 44 berada di Dusun Jirak, Kecamatan Semin,

singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi polimik, kemudian lapisan tuf dan paling bawah berupa breksi

pumis. Singkapan ini sebagian besar tertutup oleh rumput. Kedudukan batuan (N95 E/18) dan arah lensah kamera menghadap ke barat. (foto penulis, 2013).

VII.4.1.2 Breksi pumis

A. Penamaan lapangan

secara megaskopis breksi pumis mempunyai ciri-ciri warna segar abu-abu

gelap – putih dan warna lapuk hitam ke abu-abuan struktur massif, kenampakan

tekstur pada breksi pumis ini, di mana bentuk butir menyudut sampai menyudut

tanggung dengan ukuruan butir (2-64 mm) lapilli-bomb, pemilahan tepilah buruk,

komposisi pada breksi pumis berupa fragmen pumis dan tuf, sedang bahan litik

hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik dengan semen silika.

89

Gambar .7.8. kenampakan breksi pumis di Dusun Jirak, fragmen batuan didominasi oleh

pumis sedang bahan litik hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik foto penulis (2013).

B. Analisis litofasies

Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik

(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang

membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini

urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.

Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur

pengendapan, tekstur. Dan komposisi batuan serta geometri.

1 Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat

pemilahan.

a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa

pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan

belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.

90

b. Ukuran butir: fragmen berukuran (2-64 mm) berupa lapilli-bomb/bolk

tuf dan litik yang tertanam pada masa dasar matrik (1/2- 2 mm).

c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses

pengendapan batuan tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik.

Sehingga pada paket litofasies ini terjadi percampuran butiran dari

ukuran yang besar sampai dengan ukuran kecil sebagai masa dasar.

d. Kemas terbuka dapat ditentukan karena ukuran butiran sudah diatas

ukuran lapili keatas dan seolah-olah fragmen mengambang pada masa

dasar tuf dan litik.

3. Komposisi dengan dijumpai fragmen batuan beku dan fragmen piroklastik

pada masa dasar tuf halus dan litik dengan jenis semen silica maka dapat

disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik.

4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada

pelamparan secara vertical. Kesimpulan dengan dijumpai breksi piroklastik

termasuk kedalam produk dari endapan piroklastika aliran (flow deposit).

VII.4.1.3 Tuf kasar

A. Penamaan lapangan

secara megaskopis kenampakan tuf kasar mempunyai ciri-ciri warna segar

abu-abu kekuningan dan warna lapuk kuning kecoklatan struktur berlapis dan

gradasi, kenampakan tekstur pada tuf kasar ini, di mana bentuk butir membulat

sampai menyudut dengan ukuruan butir (1/16-2 mm) berupa abu-lapilli,

pemilahan tepilah baik, komposisi pada tuf kasar tersusun oleh bahan litik dan tuf

hanya berbutir halus terdapat di dalam matrik dengan semen silika.

91

Gambar .7.9 Singkapan tuf kasar degnan struktur berlapis di LP 44 foto penulis (2013)

B. Analisis litofasies

Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik

(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang

membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian

ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.

Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur

pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri

1 Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat

pemilahan.

a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat diinterpretasikan

bahwa pengendapan batuan dekat dengan sumber gunung api, karena

fragmen pada batuan belum mengalami transportasi yang jauh dari

sumber.

92

b. Ukuran butir: berupa abu kasar dan lapili (1/16-2 mm) yang terdapat di

dalam matrik pada masa dasar tuf, menceritakan bahwa tuf kasar ini

merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi silika. Derajat

pemilahan: terpilah sedang menceritakan bahwa pada proses

pengendapan batuan terjadi pemisahan butiran akibat dari gravitasi

bumi.

2. Struktur batuan: gradded bedding sehingga dapat diceritakan bahwa pada

paket litofasies ini terjadi pemisahan butiran dikarenakan butiran-butiran

yang berukuran lebih besar dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu

karena pengaruh dari gravitasi bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran

yang berukuran kecil diatasnya sehingga membentuk struktur batuan berupa

penghalusan kearah atas.

3. Komposisi dengan dijumpai fragmen batuan berupa tuf kristal dan fragmen

litik pada masa dasar tuf dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan

bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik.

4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada

pelamparan secara vertikal. Kesimpulan dengan dijumpai struktur batuan

gradded bedding, keterdapatan litik maka tuf kasar termasuk kedalam

produk dari endapan piroklastika jatuhan (fall deposit).

93

VII.4.1.4 Tuf halus

A. Penamaan lapangan

Kenampaka tuf halus di lapangan dengan ciri-ciri warna segar abu-abu

kekuningan dan warna lapuk hitam kecoklatan, struktur berlapis, tekstur ukuran

butir (< 0,04 mm) berupa abu halus dengan bentuk butir membulat sampai membulat

tanggung, pemilahan sangat baik, komposisi matrik tertanam pada masa dasar tuf dan

semen silika.

Gambar 7.10 Kenampakan tuf halus dengan struktur berlapis pada LP 44 foto penulis

(2013)

B. Penamaan petrografi

Sayatan tipis batuan piroklastik, Warna abu-abu kecoklatan, tekstur

klastik, ukuran butir lempung- pasir halus, komposisi terdiri dari gelas volkanik,

plagioklas (32%), hornblende (10%), kwarsa (14%), mineral opak (4%) dan gelas

vulkanik (58%) Nama Batuan Crystal tuff (Pettijohn, 1975) : Lampiran I

analisis petrografi.

94

C. Analisis litofasies

Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik

(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang

membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini

urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.

Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur

pengendapan, tekstur. Dan komposisi batuan serta geometri.

1. Tekstur pada batuan yang meliputi ukuran butir, abu halus (< 0,04 mm).

2. Komposisi tuf, dengan semen silika,

3. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada

pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf merupakan produk piroklastika

jatuhan (fall deposit). Tuf pengendapannya sangat dipengaruhi oleh arah

angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti bentuk

morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang

luas yang artinya dapat dijumpai dari fasies sentral- fasies distal.

VII.4.1.5 Breksi Polimik

A. Penamaan lapangan

Kenampakan breksi polimik di lapangan dengan ciri-ciri warna segar abu-

abi kehitaman dan warna lapuk hitam ke abu-abuan, tekstur kasar meliputi,

ukuran butir blok-lapili, bentuk butir menyudut sampai menyudut tanggung,

sortasi terlihat buruk dengan kemas terbuka, komposisi pada breksi polimik terdiri

dari beberapa fragmen berupa andesit, basalt, pumis, dan fragmen asesoris lain

95

nya, masa dasar litik dan tuf yang tertanam pada matrik, semen silika, struktur

masif.

Gambar.7.11 Foto di atas merupakan singkapan breksi polimik di LP 44. Fragmen batuan di

dominasih oleh batuan beku berupa andesit dan basal, sedangkan fragmen pumis dan asesoris hanya 10% tertanam dalam masa dasar tuf-lapili pumis, lensah kamera

menghadap ke barat-laut (foto penulis 2013).

B. Penamaan petrografi

Sayatan tipis batuan beku andesit, warna abu-abu kecokelat-cokelatan,

tekstur porfiro afanitik, ukuran pada fenokris 0,1–1 mm, bentuk subhedral,

komposisi terdiri dari mineral plagioklas (50%), hornblende (15%), piroksin (5%),

dan opak (10%), mimeral-mineral tertanam dalam massa dasar berupa mineral

plagioklas, opak, dan gelas, penamaan petrografi Andesit hornblende (Williams

et. al., 1954). Lampiran I analisis petrografi.

C. Analisis lithofasies breksi polimik

Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik

(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang

96

membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian

ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.

Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur

pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.

1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat

pemilahan.

a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa

pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan

belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.

b. Ukuran butir: fragmen berukuran berupa blok-bomb (64-256 mm), litik dan

tuf yang tertanam pada masa dasar breksi polimik (1/2- 2 mm).

c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses

pengendapan batuan tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik.

Sehingga pada paket litofasies ini terjadi percampuran butiran dari ukuran

yang besar sampai dengan ukuran kecil sebagai masa dasar.

d. Kemas terbuka dapat ditentukan karena ukuran butiran sudah di atas ukuran

lapili keatas dan seolah-olah fragmen mengambang pada masa dasar

breksi polimik.

2. Struktur massif.

3. Komposisi dengan dijumpai fragmen batuan beku berupa andesit dan basalt,

serta fragmen pumis dan asesoris pada masa dasar litik dan tuff dengan jenis

semen silika maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam

batuan piroklastik.

97

4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada

pelamparan secara vertikal. Kesimpulan dimana di jumpai fragmen andesit

yang dominan pada breksi polimik ini termasuk kedalam produk dari

endapan piroklastik aliran (flow deposit).

VII.4.1.6. Mekanisme pengendapan

Parameter yang di gunakan untuk mengidentifikasi endapan akibat proses

jatuhan dan aliran, geometri endapan, dan pemilahan serta perubahan berangsur

dari pada masing-masing lapisan

Geometri pada LP ini dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan

dari pada pelamparan secara vertikal dan merupakan produk endapan piroklastika

jatuhan (fall deposit) yang di hasilkan pada saat material dipancarakan secara

lontaran (eksplosif) tinggi ke arah atmosfir, kemudian akibat pengaruh gaya

gravitasi tertentu tergantung kecepatan angin dan ukuran butir. Tekstur pada pada

LP ini ukuran butir blok, lapilli dan tuf dapat di ceritakan bahwa pada proses

pengendapan terjadi pemisahan butir dikarenakan butiran-butiran yang berukuran

lebih besar dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari

gravitasi bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil

diatasnya sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas

(normal grading) pengendapannya menerus mengikuti bentang alam yang

ditutupinya dengan tebal relatif sama, namun secara umum menipis menjauhi

sumber erupsi dan tegak lurus menjauhi sumbu sebaran, dicirikan mengikuti

bentuk morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang

luas yang artinya dapat dijumpai dari fasies sentral-fasies medial.

98

Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis dan litik pada masa dasar tuf

dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa material ini hasil dari

letusan explosive atau penghancuran tubuh gunung api. Pada pengamatan dan

analisa profil pada LP 44, dengan keterdapatan asosiasi dengan tuf lapilli dan

breksi pumis, maka peneliti interpertasikan daerah ini terendapkan pada fasies

gunung api proksimal-Medial (didasarkan modifikasi model fasies gunung api

menurut Bogie & Mackinzie, 1998, dalam Bronto 2006).

Kemudian pada fase berikut nya terjadi erupsi dengan mekanisme

pengendapan aliran piroklastik (debris flow) didasarkan oleh tekstur yang meliputi

bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa

pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan ini belum

mengalami transportasi yang jauh dari sumber, fragmen berupa batuan beku yang

didominasi oleh andesit dan basal, sedangkan pada fragmen batuan piroklastik

antara lain tuf, pumis dan frgamen asesoris lain nya hanya terdapat 20%, maka

fragmen ini adalah hasil dari penghancuran tubu gunung api yang terfragmenkan

dengan masa dasar litik dan tuf, secara megaskopis fragmen ini dicirikan oleh

pada bagian luar sangat berongga dan makin ke dalam makin masif, derajat

pemilahan terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses pengendapan batuan

tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik. Sehingga pada paket litofasies ini

terjadi percampuran butiran dari ukuran yang besar sampai dengan ukuran kecil

sebagai masa dasar matrik, sehingga dapat dimasukkan kedalam produk endapan

piroklastika aliran, dimana strutktur pengendapannya symmetric grading sehingga

dapat menceritakan bahwa ada dua mekanisme pengendapannya yang berada pada

99

profil LP 44 ini yaitu jatuhan piroklastik (fall deposit).dan aliran piroklastik

(debris flow).

Gambar 7.12. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis perlapisan

pada LP 44, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984)

VII.4.2. Analisis profil dan litofasies pada LP 62

Analisis profil ini untuk mengetahui suatu penyebaran satuan. Dalam

penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan,

tekstur dan komposisi batuan serta geometri.

VII.4.2.1 Analisis profil

Analisis profil pada LP 62 ini di dapatkan litologi antara lain breksi pumis,

tuf kasar dan tuf, profil dilapangan pada LP 62 ini dari bawah ke atas dapat di

jelaskan sebagai berikut

100

Tabel 7.3. Kolom Profil LP 62 (tanpa skala)

Gambar 7.13. Kenampakan singkapan pada LP 44 berada di Dusun Kepek, Kecamatan Semin, singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas

tersusun oleh tuf halus, kemudian lapisan tuf lapili dan paling bawah berupa breksi pumis. Singkapan ini berada di sungai dengan aliran sungai (N 85). Kedudukan batuan (N93

E/19) dan arah lensah kamera menghadap ke barat. (foto penulis, 2013).

101

VII.4.2.2. Breksi pumis

A. Penamaan lapangan

Secara megaskopis warna breksi pumis mempunyai ciri-ciri berwarna

segar putih keabu-abuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan, tekstur pada breksi

pumis ini meliputi ukuran butir (2-64 mm) berupa lapilli-blok/bomb dan bentuk

butir menydut sampai menyudut tanggung pemilahan sortasi terlihat buruk dengan

kemas terbuka, komposisi fragmen batuan didominasi olah pumis, sedangkan

matrik tertanam pada masa dasar litik dan tuf, semin silika.

Gambar .7.14. Foto singkapan breksi pumis di LP 62, di mana fragmen batuan didominasi oleh

pumis, (foto penulis 2013).

B. Analisis litofasies

Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik

(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang

membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian

ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.

102

Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur

pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri

1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat

pemilahan.

a. Bentuk butir: membundar-membundar tanggung dapat diinterpretasikan

bahwa pengendapan batuan jauh dengan sumber gunung api, karena

fragmen pada batuan belum mengalami transportasi yang jauh dari

sumber.

b. Ukuran butir: fragmen berukuran lapili-bomb/bolk (2-64 mm), litik yang

tertanam pada masa dasar tuf halus (1/2-1/8 mm) menceritakan bahwa

fragmen tidak hanya fragmen pumis, tetapi terdapat juga fragmen litik

dan tuf sehingga breksi pumis ini merupakan produk piroklastik, dengan

komposisi silika.

c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses

pengendapan batuan terjadi percampuran butiran.

2. Struktur batuan pada breksi pumis yaitu struktur gradasi-berlapis .

3. Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis pada masa dasar tuf halus dengan

jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk

kedalam batuan piroklastik.

4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada

pelamparan secara vertikal. maka breksi pumis termasuk kedalam produk

dari piroklastik jatuhan.

103

VII.4.2.3. Tuf lapili

A. Penamaan lapangan

Secara megaskopis tuf lapili mempunyai ciri-ciri berwarna segar putih

keabu-abuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan, tekstur pada tuf lapili ini

meliputi ukuran butir (1/16-2 mm) berupa abu kasar-lapili dan bentuk butir

membulat sampai menyudut, pemilahan sortasi terlihat baik sampai dengan

sedang, komposisi matrik tertanam pada masa dasar litik, pumis dan tuf, semen

silika.

Gambar .7.15. Singkapan tuf lapilli dengan struktur berlapis-gradasi berada di LP 62, Desa Kepek,

kecamatan semin (foto penulis 2013).

B. Analisis litofasies

Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik

(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang

membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian

ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.

104

Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur

pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.

1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat

pemilahan.

a. Bentuk butir: membulat - menyudut dapat disimpulkan bahwa

pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena matrik pada batuan

belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.

b. Ukuran butir berupa abu kasar-lapili (1/16-2 mm) yang tertanam pada

masa dasar abu halus (1/2-1/8 mm) menceritakan bahwa tuf ini

merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi silikaan

c. Derajat pemilahan: terpilah halus-sedang menceritakan bahwa pada proses

pengendapan batuan terjadi pemisahan butiran dimana ukuran butir lapilli

jatu lebih dulu dari pada abu hal ini yana mengakibatkan akibat gaya

gravitasi bumi

d. Kemas tertutup dapat ditentukan karena ukuran butiran halus

2. Struktur pengendapan graded beding normal (lihat di gambar 7.14) sehingga

dapat diceritakan bahwa pada paket litofasies ini terjadi pemisahan butiran

dikarenakan butiran-butiran yang berukuran lebih besar dan yang lebih berat

mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari gravitasi bumi kemudian

disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil diatasnya sehingga

membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas.

105

3. Komposisi dengan dijumpai matrik lapilli pada masa dasar tuf halus sebagian

nampak kristal feldspar dan kuarsa dengan jenis semen silika maka dapat

disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik.

4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada

pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf lapili merupakan produk

piroklastika jatuhan (fall deposit). pengendapannya sangat dipengaruhi oleh

arah angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti

bentuk morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran

yang luas sesuai dengan tipe letusan nya, jika letusan nya sedang akan

mengendap dari sentral-medial, tetapi jika indeks letusan nya cukup besar

maka material ini akan mngendap mulai dari sentral-distal dan bahkan biasa

mencapi beberapa ribuan kilo meter.

VII.4.2.4. Tuf

A. Penamaan lapangan

Kenampaka tuf halus di lapangan dengan ciri-ciri warna segar putih abu-

abuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan struktur berlapis, tekstur meliputi

ukuran butir (< 0,04 mm) berupa abu halus dengan bentuk butir membulat sampai

membulat tanggung, pemilahan sangat baik, komposisi matrik tertanam pada masa

dasar tuf dan semen silika.

106

Gambar .7.16. Singkapan tuf di LP 62 foto penulis (2013)

B. Analisis litofasies

Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik

(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang

membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah penelitian

ini urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda,

dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur

pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.

1. Tekstur pada batuan yang meliputi ukuran butir, berupa abu halus (< 0,04

mm). dan pemilahan sangat baik.

2. Komposisi tuf, dengan semen silika,

3. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada

pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf merupakan produk piroklastika

jatuhan (fall deposit). Tuf pengendapannya sangat dipengaruhi oleh arah

angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti bentuk

107

morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang

luas yang artinya dapat dijumpai dari fasies sentral- fasies distal.

VII.4.2.5. Mekanisme pengendapan

Parameter yang di gunakan untuk mengidentifikasi endapan akibat proses

jatuhan adalah asosiasi batuan, geometri endapan, dan pemilahan serta perubahan

berangsur dari pada masing-masing lapisan

Geometri pada LP ini dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan

dari pada pelamparan secara vertical dan merupakan produk endapan piroklastika

jatuhan (fall deposit) yang di hasilkan pada saat material dipancarakan secara

lontaran (eksplosif) tinggi ke arah atmosfir, kemudian akibat pengaruh gaya

gravitasi tertentu tergantung kecepatan angin dan ukuran butir.Tekstur pada pada

LP ini ukuran butir lapilli-tuf dapat di ceritakan bahwa pada proses pengendapan

terjadi pemisahan butir dikarenakan butiran-butiran yang berukuran lebih besar

dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari gravitasi

bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil diatasnya

sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas (normal

grading). Pengendapannya menerus mengikuti bentang alam yang ditutupinya

dengan tebal relatif sama, namun secara umum menipis menjauhi sumber erupsi

dan tegak lurus menjauhi sumbu sebaran, dicirikan mengikuti bentuk morfologi

dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang luas yang artinya

dapat dijumpai dari fasies sentral-fasies medial.

Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis dan fragmen litik pada masa

dasar tuf dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa material ini

108

hasil dari letusan explosive atau penghancuran tubuh gunung api. Pada

pengamatan dan analisa profil pada LP 62 di Dusun Kepek, dengan keterdapatan

asosiasi dengan tuf lapilli dan breksi pumis, maka peneliti interpertasikan daerah

ini terendapkan pada fasies gunung api proksimal-Medial (fasies gunung api

menurut Bogie & Mackinzie, 1998, dalam Bronto 2006).

Gambar 7.17. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis perlapisan

pada LP 62, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984). VII.4.3. Analisis profil dan litofaspies breksi pumis

Analisis profil ini untuk mengetahui penyebaran suatu satuan. Dalam

penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur pengendapan,

tekstur dan komposisi batuan serta geometr.

VII.4.3.1 Analisis profi

Analisis profil litologi pada LP 35 antara lain: breksi pumis, tuf kasar, dan

tuf halus tuf, dengan urutan stratigrafi dari bawah ke atas dapat di jelaskan sebagai

berikut

109

Tabel 7.4. Profil LP 35 (tanpa skala)

Gambar 7.18. Kenampakan singkapan pada LP 35 berada di Dusun Sorodadi, Kecamatan Ponjong,

singkapan ini tersusun oleh beberapa lapisan litologi yang berbeda. Lapisan paling atas tersusun oleh breksi pumis, kemudian lapisan tuf kasar dan paling bawah berupa tuf halus. Singkapan ini berada di gunung Panggung, foto di atas menunjukan tekstur pada singkapan

ini berupa penghalusan ke bawah dengan kedudukan batuan (N105 E/8) dan arah lensah kamera menghadap ke barat-daya. (foto penulis, 2013).

110

VII.4.3.2. Tuf halus

A. Penamaan lapangan

Kenampaka tuf halus di lapangan dengan ciri-ciri warna segar abu-abu

keputihan dan kuning-kecoklatan, struktur berlapis, tekstur ukuran butir (< 0,04

mm) berupa abu halus dengan bentuk butir membulat sampai membulat tanggung,

pemilahan sangat baik, komposisi matrik tertanam pada masa dasar tuf dan semen

silika.

Gamabar .7.19. Kenampakan megaskopis Tuf halus. Foto diambil pada LP 35

B. Penamaan petrografi

Sayatan tipis batuan piroklastik, Warna abu-abu kecoklatan, tekstur

klastik, ukuran butir lempung- pasir halus, komposisi terdiri dari gelas volkanik,

kuarsa (5%), felspar (5%), opak(5%) dan gelas vulkanik (85%) Nama Batuan

Nama mikroskopis : Vitric tuf (Williams et. al., 1954) lampiran I analisis

petrografi.

111

C. Analisis litofasies

Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik

(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang

membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini

urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda

Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur

pengendapan, tekstu, dan komposisi batuan serta geometri

1. Tekstur pada batuan yang meliputi ukuran butir, ukuran butir: berupa abu

halus (< 0,04 mm)

2. Komposisi tuf, dengan semen silika,

3. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada

pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf merupakan produk piroklastika

jatuhan (fall deposit). Tuf pengendapannya sangat dipengaruhi oleh arah

angin dan gravitasi bumi. Pengendapannya selalu dicirikan mengikuti bentuk

morfologi dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang

luas yang artinya dapat dijumpai dari Fasies Sentral- Fasies Distal.

VII.4.3.3. Tuf kasar

A. Penamaan lapangan

Secara megaskopis tuf lapili mempunyai ciri-ciri berwarna segar putih

keabu-abuan dan warna lapuk abu-abu kekuningan, tekstur pada tuf kasar ini

meliputi ukuran butir berupa abu kasar-lapili (1/16-2 mm) dan bentuk butir

membulat sampai menyudut, pemilahan sortasi terlihat baik sampai dengan

sedang, komposisi matrik tertanam pada masa dasar tuf, semen silika.

112

Gambar .7.20 Kenampakan tuf kasar dengan struktur berlapis pada LP 35, Desa Sorodadi,

Kecamatan Ponjong. Foto di atas ini menunjukan tekstur pada bagian luar nampak berlubang-lubang, foto penulis (2013).

B. Analisis litofasies

Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik

(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang

membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini

urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.

Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur

pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.

1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat

pemilahan.

a. Bentuk butir: menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa

pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan

belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.

113

b. Ukuran butir berupa abu kasar-lapili (1/16-2 mm), menceritakan bahwa tuf

ini merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi silikaan.

c. Kemas tertutup dapat ditentukan karena ukuran butiran halus.

2. Struktur pengendapan perlapisan.

3. Komposisi dengan dijumpai matrik lapilli pada masa dasar tuf halus sebagian

nampak kristal feldspar dan kuarsa dengan jenis semen silika maka dapat

disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan piroklastik.

4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan dari pada

pelamparan secara vertikal. Kesimpulan tuf kasar merupakan produk

piroklastika jatuhan (fall deposit). pengendapannya sangat dipengaruhi oleh

arah angin dan gravitasi bumi.

VII.4.3.4. Breksi pumis

A. Penamaan lapangan

Secara megaskopis warna breksi pumis mempunyai ciri-ciri berwarna

segar putih keabu-abuan dan warna lapuk hitam keabu-abuan, tekstur pada breksi

pumis ini meliputi ukuran butir berupa lapilli-bolk/bomb (2-64 mm) dan bentuk

butir menydut sampai menyudut tanggung pemilahan sortasi terlihat buruk dengan

kemas terbuka, komposisi fragmen batuan didominasi olah pumis, sedangkan

matrik tertanam pada masa dasar litik dan tuf, semin silika.

114

Gambar 7.21.Foto di atas menunjukan kenampakan fragmen pumis yang didominan, pada LP 35,

cuaca cerah, (foto penulis, 2013)

B. Penamaan petrografi

Sayatan tipis batuan piroklastik, warna abu-abu kecoklatan- keputihan,

tekstur klastik dengan ukuran butir 0,06-0,4 mm (very fine sand), bentuk butir

menyudut-membulat tanggung, komposisi terdiri dari plagioklas (32%), kuarsa

(14%), hornblende (10%), mineral opak (4%), gelas volkanik (58%). Nama

batuan : Crystal tuff (Pettijohn, 1975) Lampiran I analisis perografi.

C. Analisis litofasies

Litofasies merupakan suatu tubuh batuan yang memiliki karakteristik fisik

(tekstur, struktur batuan, komposisi dan geometri) yang khas dan yang

membedakannya dengan batuan yang lain. Penjelasan litofasies daerah telitian ini

urut dari batuan yang berumur tua sampai batuan yang berumur lebih muda.

Dalam penentuan litofasies di lakukan dengan didasarkan pada struktur

pengendapan, tekstur dan komposisi batuan serta geometri.

115

1. Tekstur pada batuan yang meliputi bentuk butir, ukuran butir, derajat

pemilahan.

a. Bentuk butir menyudut - menyudut tanggung dapat disimpulkan bahwa

pengendapan batuan dekat dengan sumber, karena fragmen pada batuan

belum mengalami transportasi yang jauh dari sumber.

b. Ukuran butir fragmen berukuran berupa bomb-blok (4-64 mm) yang

tertanam pada masa dasar tuf halus (1/2-1/8 mm) menceritakan bahwa

breksi pumis ini merupakan produk volkaniklastik, dengan komposisi

silikaan.

c. Derajat pemilahan: terpilah buruk menceritakan bahwa pada proses

pengendapan batuan tidak terjadi pemisahan butiran dengan baik.

Sehingga pada paket litofasies ini terjadi percampuran butiran dari ukuran

yang besar sampai dengan ukuran kecil sebagai masa dasar.

d. Kemas terbuka dapat ditentukan karena ukuran butiran sudah diatas ukuran

lapili ke atas dan seolah-olah fragmen mengambang pada masa dasar tuf

dan lapilli.

2. Struktur pengendapan reverse grading (lihat di gambar 7.14) sehingga dapat

diceritakan bahwa pada paket litofasies ini terjadi beberapa fase pengendapan

di mana material yang berukran butir halus-sedang mengendap terlebih dahulu

kumudian fase ke dua material ukuran butir yang lebih besar mengendap di

atas material yang berukuran kecil sehingga membentuk struktur batuan

berupa penghalusan ke bawah.

116

3. Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis matrik lapilli pada masa dasar tuf

halus sebagian nampak kristal feldspar dan kuarsa dengan jenis semen silika

maka dapat disimpulkan bahwa jenis batuan termasuk kedalam batuan

piroklastik.

4. Geometri dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan daripada

pelamparan secara vertikal. Kesimpulan dengan dijumpai breksi pumis

termasuk kedalam produk dari endapan piroklastik jatuhan (fall deposit) dan

piroklastika aliran (flow deposit).

VII.4.3.5. Mekanisme pengendapan

Parameter yang di gunakan untuk mengidentifikasi endapan akibat proses

jatuhan adalah asosiasi batuan, geometri endapan, dan pemilahan serta perubahan

berangsur dari pada masing-masing lapisan.

Geometri pada LP ini dengan bentuk pelamparan horizontal lebih dominan

dari pada pelamparan secara vertical dan merupakan produk endapan piroklastika

jatuhan (fall deposit) yang di hasilkan pada saat material dipancarakan secara

lontaran (eksplosif) tinggi ke arah atmosfir, kemudian akibat pengaruh gaya

gravitasi tertentu tergantung kecepatan angin dan ukuran butir.Tekstur pada pada

LP ini ukuran butir lapilli-tuf dapat di ceritakan bahwa pada proses pengendapan

terjadi pemisahan butir dikarenakan butiran-butiran yang berukuran lebih besar

dan yang lebih berat mengendap terlebih dahulu karena pengaruh dari gravitasi

bumi kemudian disusul oleh butiran-butiran yang berukuran kecil diatasnya

sehingga membentuk struktur batuan berupa penghalusan kearah atas (normal

grading) Pengendapannya menerus mengikuti bentang alam yang ditutupinya

117

dengan tebal relatif sama, namun secara umum menipis menjauhi sumber erupsi

dan tegak lurus menjauhi sumbu sebaran, dicirikan mengikuti bentuk morfologi

dari pengendapan sebelumnya dan mempunyai penyebaran yang luas yang artinya

dapat dijumpai dari fasies sentral-fasies medial.

Komposisi dengan dijumpai fragmen pumis dan fragmen lithic pada masa

dasar tuf dengan jenis semen silika maka dapat disimpulkan bahwa material ini

hasil dari letusan explosive atau penghancuran tubuh gunung api. Pada

pengamatan dan analisa profil pada LP 35 di Desa Sorodadi, dengan keterdapatan

asosiasi dengan tuf lapilli dan breksi pumis, maka peneliti interpertasikan daerah

ini terendapkan pada fasies gunung api proksimal-Medial (fasies gunung api

menurut Bogie & Mackinzie, 1998, dalam Bronto 2006).

Gambar 7.22. Jenis dan ciri perlapisan endapan piroklastik, kotak merah adalah jenis perlapisan pada LP 35, (modifikasi dari Fisher and Schmincke,1984)

118

BAB VIII

KESIMPULAN

Dari hasil pengolahan dan interpretasi data lapangan dan data laboratorium

yang dilandasi konsep geologi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa keadaan

geologi daerah penelitian, yaitu Daerah Melikan dan sekitarnya, Kecamatan

Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Geomorfologi di daerah penelitian dibagi menjadi 6 (enam) subsatuan

geomorfologi, yaitu : subsatuan geomorfologi dataran, alluvial (F2) subsatuan

geomorfologi tubuh sungai, menempati (F1), subsatuan geomorfologi perbukitan

breksi pumis dan breksi andesit bergelombang sedang-kuat, (D2), subsatuan

geomorfologi perbukitan batugamping dan tuf bergelombang sedang kuat (D3),

perbukitan tuf bergelombang lemah-sedang (D4),

Stratigrafi daerah penelitian tersusun oleh batuan gunung api dan batuan

sedimen terdiri dari 6 (enam) satuan batuan dan 1 (satu) satuan endapan, dengan

urutan dari yang paling tua hingga paling muda adalah satuan breksi pumis, satuan

tuft, satuan breksi polimik, satuan breksi andesit, satuan batugamping dan satuan

endapan aluvial.

Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian berupa sesar dan

kekar. beberapa struktur geologi yang telah diidentifikasi berdasarkan data bidang

sesar dan kekar – kekar di daerah sesar, dan adanya kenampakan offset. Maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa pada daerah penelitian terdapat beberapa struktur

geologi yakni Struktur Sesar Mendatar Bendung, namun pada daerah Sesar

Mendatar Kali Lunyu ini tidak ditemukan adanya bidang sesar dikarenakan erosi

119

yang bekerja cukup kuat sehingga penulis menarik sesar diperkirakan. Sesar

diperkirakan berjenis sesar mendatar kiri yang dilihat dari kelurusan sumbu

lipatan dan pembelokan sungai yang tiba-tiba yang menunjukkan sesar mendatar

kiri, pada daerah penelitian juga terdapat struktur antiklin yang dinamakan

struktur antiklin Tapansari

Sesumber geologi yang ada di daerah penelitian berupa sumber daya air,

sumber daya lahan berupa lahan pertanian dan lahan perkebunan, dan bahan

galian golongan C berupa breksi pumis dan batugamping. Bencana geologi di

daerah penelitian berupa gempabumi, gerakan tanah, yaitu tanah longsor.

Dari hasil analisis litofasies dan petrografi dapat di ketahui bahwa litologi

yang berada di daerah penelitian merupakan batuan vulkanik fragmental

(piroklastik). Sedangkan keberadaan batugamping di daerah penelitian,

memberikan kesimpulan bahwa gunung api daerah penelitian merupakan pulau

gunung api, dimana fasies distalnya pada masa lampau beraada di bawa

permukaan laut

DAFTAR PUSTAKA

Alzwar, M., Samodra H, dan Jonatan J. Tarigan, 1988, Pengantar Dasar Ilmu Gunung api, Bandung : Penerbit Nova.

Asikin, S., 1987, Geologi Struktur Indonesia, Laboratorium Geologi Dinamik,. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Bandy, O.I., 1967, Foraminiferal Indices in Paleontology, Texas W. H.

Freemanand Company. Bakosurtanal, 2001, Peta Rupa Bumi Lembar Talun (1508-111), kecamatan

Nguntoronadi,Wonogiri. Bemmelen, R.W. Van, 1949, The Geology of Indonesia, Vol. I.A, General

Geology, Martinos Nijhoff, The Haque, Holand. Blow, 1969, Late Middle Eocene to Recent Planctonic Foraminifera

Biostratigraphy – Internal Cont. Planctonic – Microfossil, First Edition, Proc. Leiden E.J. Brill, Geneva.

Bogie, I., dan Mackenzie, K.M., 1998. The application of volcanic facies models

to an andesitic stratovolcano hosted geothermal system at Wayang Windu, Java, Indonesia. Proceedings, 20th New Zealand Geothermal Workshop.

Bronto.S, 2006, Fasies Gunung Api dan Aplikasinya, Jurnal Geologi

Indonesia, Pusat Survey Geologi, Bandung, Indonesia. Bronto.S., Mulyaningsih.S, 2009, Waduk Parangjoho dan Songoputri; Sumber

erupsi Formasi Semilir daerah Eromoko - Wonogiri, Jawa Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol.4.No.2 juni.,79-92

Cas, R.A.F & Wright, J.V, (1987), Volcanic Successions “Modern &

Ancient”a geological approach to processes, product and successions, Allen & Unwinn, London.

Fisher, R.V., and Schmincke, H.U. (1984), Pyroclastic Rocks, Springer-

Verlag, Berlin, Heidelberg, New York, Tokyo. Hamilton, W.H., 1979. Tectonics of Indonesia Region. Washington : U.S.Geology

Survey. Hartono.G., Bronto.S, 2007, Asal–usul pembentukan Gunung Batur di daerah

Wediombo, Gunungkidul, Yogyakarta, Jurnal IAGI, Vol.2.3 september., 143 – 158. Yogyakarta.

Hartono, G., 2000. Studi Gunung api Tersier: Sebaran Pusat erupsi dan Petrologi di Pegunungan Selatan Yogyakarta. Tesis S2, ITB, 168 h, tidak diterbitkan

Hirokawa, O., 1980, Introduction of Volcanoes and Volcanic, Mineral Tecnology

Development Centre, Bandung, Indonesia. Howard, A.D., 1967, Drainage Analysis in Geologic Interpretation, AAPG

Bulletin, vol. 51, pp 2246 - 2259. Huges, C.J, 1982, Igneous Petrology, Elscvier Scientific Publishing Company

Molenverf 1, P.O. Box. 211, 1.000 Ae Amsterdam The Netherlands, 551 p.

Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli

Geologi Indonesia. Le Bas, M.J., Le Maitre, R.W., Streckeisen, A., dan Zanettin, B., 1986, A

Chemical Classification of Volcanic Rocks Based on the Total Alkali–Silica Diagram, Journal of Petrology, 27, pp.745-750.

Lobeck, A.K., 1939, Geomorphology, An Introduction to the Study of Landscape,

Mc. Graw Hill Book Company Inc., New York .

MacDonald, G.A,. 1972, Volcanoes, Prentice – Hall, Inc., Englewoodliffs, New Jersey,510 h

Marks, P., 1957 , Stratigrapy Lexicon of Indonesia, Kementerian Perekonomian

Pusat Djawatan Geologi Bandung, Publikasi Keilmuan, No. 31 - A, seri Geologi, Hal. 233.

Martidjo. S., Djuhaeni, 1973, Sandi Stratigrafi Indonesia, Komisi Sandi

Stratigrafi Indonesia. Mulyaningsih, 2008. Pengantar Geologi Lingkungan. Yogyakarta : Ardana Media. Mulyaningsih.S, Sampurno, Zaim.Y, Puradimaja.D.J, Bronto.S, Siregar.D.A,

2006, Perkembangan Geologi pada Kuarter Awal sampai Masa Sejarah di Dataran Yogyakarta, Jurnal IAGI,vol.1. 2 juni, 103-113.

Pettijohn, F. J., 1975. Sedimentary Rock, 3rd edition, Harper & Row Publisher,

New York. Postuma, J.A., 1971, Manual of Planktonic Foraminifera, Royal Dutch/Shell

Group, The Hague, The Netherlands.

Prasetyadi.C., Sutarto., dan Pratiknyo.P., 2010, “Geologi Daerah Subduksi Zaman Kapur Tepi Tenggara Paparan Sunda”, Panduan Ekskursi Besar Geologi 2010, UPN”V”YK, Yogyakarta.

Schmid, R. 1981. Descriptive nomenclature and classification of pyroclastic

deposit and fragments: recommendation of the IUGS subcommission on the systematic of Igneous Rock. Geology 9,41-3.

Soeria Atmadja, R., Maory, R.C., Bellon, H., Harsono, P. Pribadi, B., Polve, M.,

1990, The Tertiary Magmafic Belt In Java, Proceedings Symposium on The Dynamic of Subduction and Its Products, page 98 – 121, LIPI Bandung, Indonesia.

Surono, 2008, Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak

di Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jurnal IAGI, vol.3, 4 desember, 183-193.

Surono, B. Toha dan I. Sudarno, 1992, Peta geologi lembar Surakarta –

Giritontro, Jawa, skala 1:100.000, Puslitbang Geologi, Bandung. Thornbury, W.D., 1969, Principle of Geomorphology, 2nd ed., New York : John

Willey & Sons Inc. Tucker, M. E., 1981. Sedimentary Petrology An Introduction, Blackwell Scientific

Publications Oxford Univ., London. Walker,G.P.L.,1993.Basaltic-Volcano System, Magmatic Proceses and Plate

Tectonic. Dalam: Prichard, H.M., Alabaster, T., Harris, N.B.W. dan Neary, C.R. (Eds), Geol. Society Sp ecial Publication, 76, h. 3-38.

Williams, H., Turner, F.J., Gilbert., 1982, Petrography An Introduction to The

Study of Rock in Thin Section, W.H., Freemen and Company San Fransisco.

Williams, H. dan McBirney, A.R., 1979. Volcanology. Freeman, Cooper & Co.,

San Francisco, 398 h. Wright, J.V. dan Walker, G.P.L., 1977. The ignimbrite source problem:

significance of a co-ignimbrite lag-fall deposit. Geology, 5, h.729-732. Zuidam, R.W., Van, 1983, Guide to Geomorphologic Aeral Photographic

Interpretation and Mapping, Section of Geology and Geomorphology, ITC, Enschede, The Netherlands.

Lampiran I: Anslisi Petrografi

Nomor sayatan/lokasi : 2/ LP 35 Perbesaran foto : 40 X Litologi/ Satuan batuan : Piroklastik/ Breksi Pumis

PEMERIAN PETROGRAFIS: Sayatan tipis batuan piroklastik, berwarna abu-abu, tekstur klastik dengan butiran berukuran 0,05–5,25 mm, terdiri dari lithic, kuarsa, feldspar, gelas dan mineral opak, bentuk menyudut tanggung, memiliki lubang gas akibat pendinginan yang cepat, Kristal tertanam dalam masa dasar piroklas. KOMPOSISI MINERAL: 1. Gelas (15%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang

menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung. 2. Lithic (30%), abu-abu, kecoklatan, didominasi oleh pecahan batuan

piroklastik (pumice) sedikit batuan beku, dengan ukuran butir 0,3-5,25 mm, bentuk menyudut tanggung.

3. Kwarsa (5%), tidak berwarna-kuning orde I, relief relief rendah, berukuran 0,06–0,1mm, pemadaman bergelombang.

4. opak (3%), hitam, kedap cahaya, relief sangat tinggi, berukuran 0,05–0,1 mm, bentuk menyudut tanggung, hadir setempat– setempat dalam sayatan.

5. Feldspar (6%), putih, relief rendah, berukuran 0,1–0,25mm, bentuk menyudut tanggung, berupa ortoklas.

6. Tuf (41%), tidak berwarna–keputih-putihan, relief rendah, pada pengamatan dengan nikol silang menjadi terang dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi ungu muda berkabut.

Nama petrografis: Lithic Tuff (Klasifikasi Schmid, 1981)

Lampiran I : Analisis Petrografi

Nama Petrografis: Cristal Tuff (Klasifikasi Schmid, 1981) Nomor sayatan/lokasi : 6/ LP 62 Perbesaran foto : 40 X Litologi/ Satuan batuan : Piroklastik/ Tuf

PEMERIAN PETROGRAFIS: Sayatan tipis batuan piroklastik, berwarna abu-abu keputihan, tekstur klastik terdiri dari tuf dengan masa dasar gelas dan tuf. Mineral lain berupa kuarsa yang menyatu dengan masa dasar tuf gelas. KOMPOSISI MINERAL: 1. Gelas (45%), tidak berwarna, pengamatan dengan menggunakan nikol silang

menjadi gelap, sebagian besar telah terubah menjadi mineral lempung. 2. Kuarsa (5%): Warna putih bening-tak berwarna, relief rendah, indeks bias nM <

nKb, plekroisme lemah, bentuk kristal anhedral, ukuran butir 0,04-0,15 mm. Bentuk butir menyudut tanggung sampai membulat tanggung. Hadir sebagai mikrolit Kristal dan urat.

7. Tuf (50%), tidak berwarna–keputih-putihan, relief rendah, pada pengamatan

dengan nikol silang menjadi terang dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi ungu muda berkabut.

Nama Petrografis: Vitrik Tuff (Klasifikasi Schmid, 1981)

Lampiran I : Analisis Petrografi

Nomor sayatan/ Lokasi : 7/ LP 44 Perbesaran foto : 10X Litologi/ Satuan breksi polimik: Fragmen Andesit

Deskripsi : Sayatan tipis batuan beku warna abu-abu kecokelat-cokelatan, tekstur porfiro afanitik, ukuran pada fenokris 0,1–1 mm, bentuk subhedral, terdiri dari mineral plagioklas, hornblende, piroksin, dan opak, mimeral-mineral tertanam dalam massa dasar berupa mineral plagioklas, opak, dan gelas. Komposisi mineral :

1. Plagioklas (50%): Warna putih bening, relief rendah sampai sedang, indeks bias nM < nKb sampai nM > nKb, kembaran karlsbad-albit, plekroisme kuat-sedang bentuk kristal euhedral-anhedral, ukuran fenokris 0,2-1 mm, pada massa dasar berukuran 0,05–0,1 mm.

2. Hornblende (15%): Warna kuning kecokelat-cokelatan , relief sedang-tinggi, indeks bias nM > nKb, pleokroisme sedang, belahan 2 arah membentuk sudut lancip 60°, bentuk kristal euhedral-subhedral, ukuran mineral 0,15-1,5 mm.

3. Piroksin (5%): Warna abu-abu kekuning-kuningan, relief sedang, indeks bias nM > nKb, pleokroisme sedang, belahan 2 arah membentuk sudut lancip 60°, bentuk kristal subhedral, ukuran mineral 0,15-0,3 mm.

4. Opak (10%): Warna hitam, tidak tembus cahaya, relief tinggi, bentuk kristal anhedral, ukuran mineral 0,03-0,3 mm, mineral opak diduga merupakan ubahan dari hornblende.

5. Gelas dan mineral lain yang tidak teridentifikasi (20%): Warna abu abu, relief rendah, pada pengamatan dengan nikol silang menjadi gelap, dan dimasukkan keping gips warnanya berubah menjadi gelap - abu-abu.

Nama mikroskopis : Andesit hornblende (Williams et. al., 1954)

2

Lampiran I : Analisis Petrografi

Deskripsi Mikroskopis : Warna abu-abu keruh, tekstur klastik, didukung oleh lumpur (mud supported) berukuran pasir sangat halus (< 0.01 -0,2)mm, pemilihan sedang, komposisi karbonat, terdiri dari kalsit ,fosil feldspar , mineral opak dan, lumpur karbonat Deskripsi mineral : Kalsit (34%) : Tidak berwarna – jernih, berukuran (0,08- 0,2) mm,

warna interferensi kuning orde IV

Fosil (38%) : Tidak berwarna, dijumpai sebagai butiran berukuran (0,08-0,2) mm, berupa fosil kecil, coral dan algae bentuk menyerupai lensa dan memanjang, sebagian telah mengalami rekristalisasi , warna interferensi kuning orde IV.

Feldspar (2%) : Tidak berwarna- putih abu-abu, hadir sebagai fragmen berukuran (0,07–0,08) mm, bentuk membulat tanggung, relief rendah, warna interferensi putih abu-abu orde I.

Min. opak (2%), hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,08-0,1mm, Lumpur karbonat (24%) : Warna abu-abu kotor, warna interferensi

kuning orde IV, sebagian telah mengalami rekristalisasi

Nama batuan : Packstone (Dunham, 1962)

Lampiran II : Analisi Paleontologi

Lokasi Pengambilan Sampel : LP 27 Nama Lapangan : Batugamping Klastik

Umur : N 12 – 15 (Miosen Tengah bagian atas – Miosen Akhir bagian bawah)

Lingkungan bathymetri : Neritik Tepi Kedalaman : 0 - 30 meter