skripsi korea gaya hidup

Upload: ana-zahida

Post on 13-Jul-2015

3.834 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pernahkah anda berpikir, mengapa hampir seluruh Mahasiswa di kampus Anda menggunakan celana Jeans pada saat yang bersamaan, atau mengapa teman-teman Anda lebih senang menghabiskan waktu di Starbucks atau JCo Donnut yang harganya lebih mahal enam sampai delapan kali lipat dari harga di warung pinggiran. Atau tidak timbulkah rasa heran di benak Anda mengapa sebagian besar penduduk dunia sangat menyukai ritual menonton sepak bola yang membutuhkan waktu ekstra dini hari yang akan mengurangi jatah tidur penikmat sepak bola. Tentunya aneh jika Anda berpikir bahwa hal itu dipicu atas kesepakatan bersama. Hal inilah yang dinamakan budaya populer atau lebih dikenal sebagai budaya pop saja yaitu budaya yang banyak diminati oleh masyarakat tanpa ada batasan geografis Budaya pop saat ini tidak hanya menjadi dominasi budaya Barat, tetapi Asia juga mulai menunjukkan taringnya dengan menjadi pengekspor budaya pop. Selain Jepang, Korea pun mulai menunjukkan tajinya sebagai negara pengekspor budaya pop melalui tayangan hiburannya dan menjadi saingan berat bagi Amerika dan negara-negara Eropa. Hal ini sejalan dengan kemajuan industri hiburan Korea dan kestabilan ekonomi mereka. Selama sepuluh tahun terakhir ini, demam budaya pop Korea melanda Indonesia. Fenomena ini dilatarbelakangi Piala Dunia Korea-Jepang 2002 1

yang berakhir dengan masuknya Korea sebagai kekuatan empat besar dunia dalam hal persepakbolaan. Kesuksesan Korea di Piala Dunia 2002 semakin mempersohor nama Korea di mata dunia. Beberapa waktu menjelang, selama dan setelah hiruk-pikuk Piala Dunia, beberapa stasiun televisi swasta di tanah air gencar bersaing menayangkan musik, film-film maupun sinetron-sinetron Korea. Berbeda dengan budaya pop Jepang yang penikmatnya didominasi anak-anak dan remaja, budaya pop Korea ternyata mampu menjangkau segala usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa sekalipun menjadi penikmat budaya pop Korea. Menurut Kim Song Hwan, seorang pengelola sindikat siaran televisi Korea Selatan, produk budaya Korea berhasil menjerat hati penggemar di semua kalangan terutama di Asia disebabkan teknik pemasaran Asian Values-Hollywood Style. Artinya, mereka mengemas nilai-nilai Asia yang dipasarkan dengan gaya modern. Istilah ini mengacu pada cerita-cerita yang dikemas bernuansakan kehidupan Asia, namun pemasarannya memakai cara internasional dengan mengedepankan penjualan nama seorang bintang atau menjual style. Globalisasi budaya pop Korea atau yang lebih dikenal dengan Korean Wave (Hallyu) ini berhasil mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia. Hasil diskusi dalam rangka memperingati hari jadi Jurusan Korea di Universitas Gadjah mada menyatakan bahwa Korea pada abad 21 dapat dikatakan berhasil menyaingi Hollywood dan Bollywood dalam melebarkan sayap budayanya ke dunia internasional. Berbagai produk budaya Korea mulai dari drama, film, lagu, fashion, hingga produk-produk industri menghiasi ranah

2

kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia. Bukan hanya di kawasan Asia tetapi sudah merambah ke Amerika dan Eropa. Beberapa film Korea diadopsi Hollywood dan di re-make seperti IlMare, My Wife is a Gangster, My Sassy Girl, Hi dan Dharma. Saat ini artis Korea pun sudah masuk jajaran artis Hollywood. Sebut saja Rain yang sukses dengan film Ninja Assasin dan meraih penghargaan Biggest Badast mengalahkan Angelina Jolie. Selain itu, produk-produk elektronik yang sering digunakan dalam tayangan Korea tak kalah tenarnya. Kita bisa berkaca dengan kesuksesan Samsung dan LG, dua merek elektronik internasional milik Korea. Kedua merek ini tentunya tidak asing lagi digunakan baik dalam sinetron maupun film Korea. Bahkan, Menurut beberapa situs forum Korea Lovers, penggemar Korea mengutarakan salah satu alasan mereka menggunakan dua produk ini karena selain memberikan kenyamanan dan kemudahan dalam penggunaan, juga karena produk ini digunakan oleh ikon pop Korea. Tidak bisa dipungkiri, saat ini tengah berlangsung Korean Wave. Hal ini mengacu pada popularitas tayangan hiburan Korea Selatan yang meningkat secara signifikan di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Meluasnya Korean Wave ini tidak bisa dilepaskan dari peran media massa yang secara sadar maupun tidak telah membantu terjadinya aliran budaya ini. Bisa dikatakan bahwa karena media massa-lah Korean Wave dapat memasuki semua sudut negara-negara Asia tak terkecuali Amerika dan Eropa. Mengacu pada banyaknya jumlah penggemar Korea saat ini, maka terbentuklah basis penggemar Korea yang dikenal dengan sebutan Korea Lovers. Mereka secara rutin saling bertemu dan berkomunikasi, saling tukar 3

menukar informasi. Bahkan mengganti nama-nama panggilan mereka dengan nama-nama Korea. Cara bicara mereka juga unik, yaitu dengan menyelipkan istilah-istilah dalam bahasa Korea. Tidak sampai disitu saja, mereka juga terobsesi untuk mempelajari bahasa Korea. Efeknya, saat ini tempat kursus bahasa Korea semakin menjamur. Tak ketinggalan pula, segala atribut yang berlabel Korea menarik minat mereka, mulai dari produk-produk elektronik, alat make-up, fashion, restoran makanan khas Korea, festival budaya Korea menjadi incaran fandom. Mereka berusaha untuk menunjukkan identitas keKorea-an mereka lewat produk-produk yang mereka gunakan. Korean Wave mampu mempengaruhi pola hidup dan cara berpikir masyarakat yang dipengaruhi. Hal ini lah yang disadari pemerintah Korea, bahwa dengan merebaknya Korean Wave, akan membuka jalan bagi kemajuan ekonomi Korea. Pemerintah Korea menyadari betul potensi Korean Wave sehingga rela mengucurkan dana untuk membiayai produksi hiburan mulai dari film, sinetron hingga musik. Biaya besar yang dikucurkan pemerintah Korea memang tidak sia-sia. Terbukti, setelah merebaknya Korean Wave, pendapatan negara meningkat dari sektor pariwisata. Menurut situs www.kbs.co.kr , sekitar 8,5 juta wisatawan asing berkunjung ke Korea di akhir tahun 2010. Jumlah ini sangat jauh berbeda dibandingkan tahun 2000 saat Korean Wave belum setenar sekarang, yaitu sekitar 1,5 juta wisatawan asing saja. Belum lagi dari sektor industri. Peningkatan penjualan juga terjadi pada produk-produk Korea yang sering digunakan para artis Korea. Selain itu, secara tidak langsung hal ini tentunya dapat meningkatkan citra nasional Korea. Penyebaran pengaruh Korean Wave bukan hanya 4

meningkatkan

peluang

untuk

melaksanakan

pertukaran

budaya,

meningkatkan interaksi budaya tetapi juga menjadi sarana untuk melegalkan ideologi Korea agar mudah diterima dunia Internasional. Ideologi merupakan sekumpulan ide-ide yang menyusun sebuah kelompok nyata, sebuah representasi dari sistem atau sebuah makna dari kode yang memerintah bagaimana individu dan kelompok melihat dunia (Littlejohn,2009:469). Berbicara tentang dominasi ideologi berarti juga terkait dengan hegemoni. Hegemoni adalah proses dominasi, dimana sebuah ide

menumbangkan atau membawahi ide lainnya. Hegemoni tercipta karena kemajuan media serta pengalaman populer kita terkait dengan konsumsi. Media menciptakan populer dengan mengonsumsi barang-barang komoditi. Ini merupakan bagian dari kapitalisme konsumsi. Terjadi penyeragaman rasa, baik dalam konsumsi barang-barang fisikal sampai dengan ilmu. Penyamaan rasa ini bisa menjadi salah satu landasan penting dalam kohesi sosial. Contoh nyata hegemoni budaya pop Korea adalah bergesernya penilaian selera mengenai pria idaman. Sebelum masuknya budaya pop Korea di Indonesia, masyarakat kita mengacu pada aktor Hollywood yang macho. Namun, setelah masyarakat mulai menggandrungi tayangan Korea baik itu film, sinetron, maupun musik, mereka cenderung beralih menyukai pria dengan gaya cute, imut, putih dan tinggi ala aktor Korea. Belum lagi pakaian ataupun produk produk yang digunakan artis Korea. Para artis Korea kini menjadi ikon dan seolah semua yang digunakan ataupun dilakukan mereka ditiru oleh penggemar budaya pop Korea.

5

Makassar sebagai salah satu kota besar di Indonesia pun tidak luput dari pengaruh Korean Wave. Kegilaan fandom di kota Anging Mammiri ini boleh dikatakan tidak jauh berbeda dibandingkan kota besar lainnya di Indonesia. Di sepanjang jalan dan pusat perbelanjaan dapat dengan mudah kita temui pengaruh Korean Wave. Remaja di makassar banyak yang telah mengadopsi fashion Korea untuk kesehariannya. Bukan hanya dari segi fashion, alat make-up, alat elektronik dan gadget buatan Korea pun menjadi incaran. Tempat penyewaan dan penjualan VCD dan DVD Korea pun semakin laris. Belum lagi tempat-tempat kursus bahasa Korea yang semakin menjamur seiring dengan meningkatnya minat untuk belajar bahasa Korea. Tidak ketinggalan pula Korea Lovers yang menganggap dirinya memiliki identitas ke-Korea-an yang tinggi menghimpun teman-temannya membentuk fandom artis Korea atau dikenal sebagai Korea Lovers. Saat ini tercatat ada tujuh fandom resmi di Makassar, yaitu: E.L.F, Sone, Shawol, Triple S, V.I.P, Cassiopea, B3auty yang aktif melakukan pertemuan dan gathering besar-besaran. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat judul BUDAYA POP DAN GAYA HIDUP (STUDI KASUS KOREA LOVERS DI MAKASSAR)

6

B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh mengonsumsi tayangan hiburan Korea terhadap gaya hidup Korea Lovers di Makassar? 2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan perbedaan tingkat pengaruh media terhadap individu Korea Lovers? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian a. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh mengonsumsi tayangan hiburan Korea terhadap gaya hidup Korea Lovers di Makassar 2. Untuk mengetahui faktor faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat pengaruh media terhadap individu Korea Lovers b. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Memberikan kontribusi terhadap berkembangnya ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu komunikasi yang berbasis pada pengembangan penelitian kajian budaya populer dari perspektif cultural studies dan komunikasi massa b. Dapat dipakai sebagai acuan bagi penelitian-penelitian sejenis untuk tahap selanjutnya. 7

2. Kegunaan Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan dalam memahami fenomena merebaknya budaya pop akibat

globalisasi dan cara menghadapinya melalui pemahaman terhadap media literacy. b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang gaya hidup penggemar budaya pop Korea.

D. Kerangka Konseptual a. Globalisasi Budaya dan Terbentuknya Budaya Media Fenomena McWorld!!!. Sebuah jargon yang sangat akrab di telinga generasi yang lahir pada dekade 70-an dan 80-an. McWorld merupakan gabungan dari tiga ikon besar yang menggenggam dunia yaitu MTV untuk musik, McDonald untuk perut, dan Macintosh sebagai pusat informasi. Fenomena McWorld merupakan salah satu fakta bahwa dunia mengalami globalisasi. Globalisasi merupakan suatu proses dimana antarindividu,

antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Globalisasi bisa juga diartikan sebagai penyusutan ruang dan waktu, dimana jarak dalam interaksi untuk motif-motif apapun menjadi tidak berarti. Menurut Wijendaru, globalisasi yang terjadi sejak akhir abad ke-20 mengharuskan masyarakat dunia bersiap-siap menerima masuknya 8

pengaruh budaya barat terhadap seluruh aspek kehidupan. Aspek kebudayaan menjadi isu penting globalisasi karena budaya pop (film, musik, pakaian dan sebagainya) mengusung nilai-nilai dan ideologi barat seperti pleasure, hiburan, gaya hidup modern (Muharrominingsih,2006:49) Berbicara mengenai globalisasi yang hanya menekankan pada bahaya amerikanisasi, sepertinya hanya merupakan wacana perdebatan lama. Di Asia khususnya, masyarakat mulai bosan dengan budaya popular Amerika yang notabene bertahun-tahun telah menguasai pasar, sehingga muncullah budaya global alternatif yang tidak didominasi oleh budaya popular Amerika tetapi mulai menyisipkan nilai-nilai Asia. Munculnya budaya global alternatif ini disebabkan kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya seperti tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat individu. Peneliti imperialisme budaya memang lebih menekankan diri pada unsur-unsur makro. Morley juga mengkritik model awal imperialisme budaya karena hanya

mempertimbangkan secara ekslusif arus komunikasi internasional searah dari Amerika ke seluruh belahan dunia lain. Contoh nyata saat ini, banyak terdapat counter flow eksporter program televisi dari pelbagai belahan dunia (Badruddin,2006:77). Korea merupakan salah satu contoh sukses eksporter program televisi, khususnya di wilayah Asia bahkan mulai merambah Eropa dan Amerika. Tidak bisa dipungkiri, Korea pada abad 21 dapat dikatakan berhasil menjadi saingan berat Hollywood dan Bollywood dalam melebarkan sayap budayanya ke dunia internasional melalui tayangan hiburan seperti film, drama dan musik yang bernuansa Asia. Budaya pop 9

Korea dengan segala kemajuan yang dialaminya tetap mengemas nilainilai Asia di dalamnya. Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi masyarakat Asia yang merasa ada kedekatan tersendiri saat menyaksikannya. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin memudarkan nilai-nilai budaya tradisional, tayangan Korea secara konsisten menampilkan nilai-nilai budaya Korea dan Asia, seperti sopan santun, penghormatan pada orang tua, pengabdian pada keluarga, nilai kolektivitas atau kebersamaan, serta nilai kesakralan cinta dan pernikahan. Nilai-nilai ini ditampilkan secara unik dalam situasi kehidupan sehari-hari masyarakat Korea modern yang telah mengalami kemajuan teknologi dan ekonomi yang pesat. Di dalam wilayah yang telah lama didominasi oleh budaya populer dari Hollywood, budaya pop dari Seoul ini menjadi fenomena yang unik serta mengejutkan. Para jurnalis dan media dari berbagai negara kini ramai membicarakan fenomena ini, sementara para akademisi dan peneliti mulai membuat teori-teori ilmiah untuk menjelaskan gelombang tersebut. Memang tidak terduga, Korea Selatan yang pada satu dasawarsa lalu tidak berpengaruh dalam bidang industri budaya populer dan bahkan berposisi marginal dalam bidang tersebut, kini telah berhasil menjadi salah satu negara cultural exporter di Asia. Korea telah menjadi sebuah negara dengan industri budaya yang kuat, mampu mengekspor produk-produk budaya populernya ke luar negeri dan menyebarkan pengaruh kultural. Tidak bisa dipungkiri, media menjadi pelaku utama globalisasi budaya. Sebuah budaya media telah hadir, dimana citra, suara dan lensa 10

membantu menghasilkan rajutan kehidupan sehari-hari, mendominasi waktu luang dan memberikan bahan yang digunakan orang untuk membangun identitas pribadi, seperti yang diungkapkan Kellner dalam bukunya Budaya Media : Radio, televisi, film dan berbagai produk lain dari industri budaya memberikan contoh tentang makna dari menjadi seorang pria atau wanita, dari kesuksesan atau kegagalan , berkuasa atau tidak berkuasa. Budaya media juga memberikan bahan yang digunakan banyak orang untuk membangun naluri tentang kelas mereka, tentang etnis dan ras, kebangsaan, seksualitas, tentang kita dan mereka. Budaya media membantu membentuk apa yang dianggap baik atau buruk, positif atau negatif bermoral atau biadab (Kellner,2010:1) Budaya media merupakan sebuah ketergantungan terhadap media. Media menempati posisi primer dalam kehidupan manusia. Orang menghabiskan amat banyak waktu mendengarkan radio, menonton televisi, pergi menonton bioskop, menikmati musik, membaca majalah dan koran, serta bentuk-bentuk budaya media lainnya. Maka, budaya media akhirnya mendominasi kehidupan sehari-hari sebagai latar belakang yang selalu hadir dan menggoda kita.

b. Media Massa dan Penggemar Budaya Pop Korea Kehidupan masyarakat di awal abad ke-21 diwarnai dengan beragam cara manusia menerima dan menggunakan teknologi. Salah satu bentuk teknologi yang mewarnai kehidupan manusia di masa sekarang adalah bentuk-bentuk beragam alat yang dapat menjaring komunikasi antarmanusia di seluruh dunia yaitu media massa. Kehadiran media massa sangat erat kaitannya dengan penyebaran budaya, karena melalui media massa lah orang-orang kreatif punya tempat 11

yang tepat. Media massa dapat memperkaya masyarakat dengan menyebarkan karya kreatif dari manusia seperti karya sastra, musik, dan film. (Vivian,2008:505). Budaya pop yang diproduksi secara massa untuk pasar massa dan dipublikasikan melalui media massa yang di dalamnya bersembunyi kepentingan-kepentingan kaum kapitalis maupun pemerintah disebut budaya massa. Pertumbuhan budaya ini berarti memberi ruang yang makin sempit bagi segala jenis kebudayaan yang tidak dapat menghasilkan uang, yang tidak dapat diproduksi secara massa (Strinati,2007:12). Media massa mempunyai peranan penting dalam menyosialisasikan nilai-nilai tertentu dalam masyarakat. Hal ini tampak dalam salah satu fungsi yang dijalankan media massa, yaitu fungsi transmisi, dimana media massa digunakan sebagai alat untuk mengirim warisan sosial seperti budaya. Melalui fungsi transmisi, media dapat mewariskan norma dan nilai tertentu dari suatu masyarakat ke masyarakat lain. Menurut Dominick, sebagai konsekuensi dari fungsi transmisi ini, media massa mempunyai kemampuan untuk menjalankan peran ideologis dengan menampilkan nilai-nilai tertentu sehingga menjadi nilai yang dominan. Fungsi ini dikenal sebagai fungsi sosialisasi yang merujuk pada cara orang mengdopsi perilaku dan nilai dari sebuah kelompok (Setiowati,2008:537). Budaya pop Korea yang marak di Indonesia pada mulanya ditujukan untuk menyaingi impor budaya luar ke dalam Korea serta menambah pendapatan ekonomi negara, namun karena pasar Asia ternyata potensial sejalan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia, 12

maka penyebaran budaya pop Korea ini menjadi sarana untuk melanggengkan kapitalisme Korea. Dengan semakin banyaknya penikmat budaya pop korea, maka akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Korea sendiri. Hal inilah yang dimanfaatkan kapitalis untuk memproduksi budaya pop Korea secara massal di berbagai wilayah Asia termasuk Indonesia. Penyebaran budaya pop Korea yang begitu pesat merupakan andil besar dari para pemegang modal (kapitalis) dan pemerintah Korea sendiri. Para pemegang modal membiayai produksi missal tayangan hiburan Korea dan memudahkan dalam penyebarluasannya. Sementara pemerintah sendiri mendukung dengan pemberian bantuan modal bagi produksi tayangan tersebut. Hal ini dilakukan untuk melanggengkan ideologi Korea melalui tayangan hiburan agar Korea dapat dengan mudah diterima di mata dunia.

c. Gaya Hidup dan Efek Terbatas Media Setiap manusia itu unik, maka gaya hidup mereka pun unik. Gaya hidup dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan nilai dan sikap dari seseorang. Gaya hidup merupakan adaptasi aktif individu terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain. Cara berpakaian, konsumsi makanan, cara kerja, dan bagaimana individu mengisi kesehariannya merupakan unsur-unsur yang membentuk gaya hidup.

13

Ketika suatu gaya hidup menyebar kepada banyak orang dan menjadi mode yang diikuti, pemahaman terhadap gaya hidup sebagai satu keunikan tidak memadai lagi digunakan. Gaya hidup bukan lagi semata tata cara atau kebiasaan pribadi dan unik dari individu , tetapi menjadi sesuatu yang populer diadopsi oleh sekelompok orang. Sifat unik tak lagi dipertahankan. Istilah gaya hidup, baik dari sudut pandang individual maupun kolektif mengandung pengertian bahwa gaya hidup mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan, dan pola respons terhadap hidup, serta terutama perlengkapan untuk hidup (Hujatnikajennong,2006:38-39) Gaya hidup tentu tidak lepas dari konsumerisme. Dengan menjalankan gaya hidup, berarti kita telah mengkonsumsi produk-produk yang menunjang gaya hidup atau sering disebut gaya hidup konsumeristis. Baudrillard mengembangkan dan menyimpulkan pemikiran Galbraith bahwa sistem kebutuhan adalah hasil dari sistem produksi. Inilah yang disebut jalur terbalik dimana pihak pemilik modal (kapitalis)

mengendalikan perilaku pasar, memandu, dan memberi model akan sikap sosial serta kebutuhan (Ferica,2006:3). Dalam konstruksi gaya hidup konsumerisme penggemar budaya pop Korea, keberadaan komunitas menjadi vital. Komunitas penggemar budaya pop Korea dapat dilihat sebagai sub-kultur. Mereka memiliki serangkaian nilai dan praktik budaya ekslusif bersama, yang berada di luar masyarakat dominan. Para penggemar budaya pop Korea memiliki gaya bicara yang khas dengan campuran-campuran Korea yang biasa digunakan dalam tayangan-tayangan Korea yang mereka konsumsi. Selain itu, mereka juga mengadopsi fashion ala Korea. Tidak ketinggalan pula 14

pemilihan produk baik kosmetik maupun gadget mengacu pada merek yang digunakan para ikon budaya pop Korea. Industri budaya pop Korea takkan seperti sekarang jika bukan karena basis penggemarnya. Dalam waktu singkat telah terjaring ratusan, ribuan, bahkan jutaan penggemar. Komunitas penggemar kemudian membentuk sub-kultur mandiri dan membuat industri budaya pop Korea tetap hidup sampai sekarang dan menjadi sebuah sub-kultur yang hadir secara global. Peran media massa dalam hal ini tentu sangat besar sebagai Transmission of Values atau penyebaran nilai-nilai, dalam hal ini penyebaran nilai-nilai yang ada pada tayangan-tayangan Korea yang kemudian diadopsi oleh khalayak penggemar. Hal ini juga sejalan dengan teori difusi inovasi yang diutamakan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Difusi berkaitan erat dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru dimana difusi sebagai proses dimana suatu inovasi

dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu diantara para anggota-anggota suatu sistem sosial, dalam hal ini komunitas penggemar tayangan Korea atau dikenal dengan sebutan Korea Lovers. Pada dasarnya, media memegang peranan penting dalam

penyebaran budaya pop Korea yang mengglobal beberapa tahun terakhir ini. Tetapi perlu diingat, media menurut McQuail bukanlah penentu atau sumber utama dari perubahan sosial dan budaya. Media secara bersama dengan latar belakang sejarah seseorang sedikit banyak menjadi sumber kedua untuk pembentukan gagasan-gagasan tentang masyarakat dan lingkungan tenpat ia tinggal. Hasil interaksi antara media dan perubahan

15

sosial dan budaya sangat bervariasi, tak bisa diprediksi, dan sangat berbeda antara satu keadaan dengan keadaan lainnya. Stuart Hall dalam Setiowati (2008:542) juga memperkuat pernyataan bahwa media bukanlah satu-satunya penyebab terjadinya perubahan sosial budaya, karena dalam hubungan antara produksi pesan dan penerimaan pesan akan dipengaruhi oleh banyak hal. Penerimaan pesan oleh khalayak bergantung pada bagaimana khalayak memroses dan menginterpretasikan pesan tersebut. Sebab dalam memroses dan

menginterpretasikan pesan, khalayak bersifat aktif, dan keaktifan khalayak itu juga bergantung pula dari latar belakang khalayak itu sendiri, sehingga efek yang didapatkan oleh seseorang akan amat berbeda dengan orang lain (Setiowati,2008:542). Hal ini sejalan dengan teori Uses and Gratifications dimana khalayak dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka hanya mengonsumsi isi media yang yang dianggap penting dan dibutuhkan oleh mereka, dan jelas diantara individu terdapat beragam kebutuhan yang berbeda. Hal ini lah yang menjadi salah satu faktor perbedaan pembacaan teks media diantara individu. Katz dan kawan-kawan menggambarkan logika yang mendasari penelitian Uses and Gratifications sebagai berikut :Harapanharapan terhadap media atau sumber lain yang mengarah pada

Faktor Sosial Psikologis menimbulkan

Kebutuhan yang melahirkan

Berbagai pola penghadapan media

Konsekuensi lain yang tidak diinginkan

Melalui bagan yang dibuat Katz dan kawan-kawan di atas dapat dipahami bahwa individu tertentu, seperti halnya sebagian besar manusia, 16

mempunyai kebutuhan dasar untuk mengadakan interaksi sosial. Dari pengalamannya, individu ini berharap bahwa konsumsi atau penggunaan media massa tertentu akan memenuhi sebagian kebutuhannya. Hal ini menuntunnya pada kegiatan menonton televisi tertentu atau membaca majalah tertentu dan sebagainya. Dalam beberapa kasus, kegiatan ini menghasilkan gratifikasi kebutuhan, tetapi dapat pula menimbulkan kebergantungan dan perubahan kebiasaan pada individu itu

(Ardianto,2007:72-73). Hall juga mengatakan bahwa teks media diinterpretasikan dengan cara berbeda oleh tiap individu. Pembacaan sebuah teks media dapat melibatkan proses penerimaan, penolakan atau negosiasi. Kemungkinankemungkinan yang bisa terjadi adalah: 1. dominant atau preferred reading (pembacaan dominan), dimana khalayak mengambil posisi yang ditawarkan oleh teks dan menerima posisi tersebut dengan menghormati mitos-mitos yang membentuknya 2. negotiated reading (pembacaan negosiasi), dimana khalayak tidak sepenuhnya mengambil posisi yang ditawarkan dan mempertanyakan beberapa mitosnya (Setiowati, 2008:542) 3. oppositional reading, dimana khalayak menolak sepenuhnya mitosmitos dan peran yang disediakan. Dalam hal ini, peneliti hanya akan memetakan khalayak yang dominant dan negotiated saja, sebab peneliti beranggapan bahwa khalayak yang menolak (oppositional) tidak akan menjadi objek penelitian karena tidak memenuhi kategori sebagai penggemar budaya pop Korea. 17

Menyinggung masalah identitas, Mary Jane Collier mengatakan, ketika kita menggunakan budaya sebagai pendekatan untuk melihat karakter atau identitas kelompok, kita harus menyadari bahwa tiap kelompok itu dibangun atas dasar pendapat-pendapat sekelompok individual. Selain itu, seseorang bisa mempunyai identitas yang beragam, tergantung peran apa yang sedang dijalankannya, sehingga kita harus menyadari bahwa identitas kultural itu kompleks dan diciptakan, dipelihara, dipertentangkan dan dipertandingkan pada saat kita melakukan hubungan dengan orang lain (Setiowati,2008:543). Martin dan Nakayama dalam Setiowati (2008:544) mengatakan terdapat tiga perspektif tentang identitas yaitu: perspektif psikologi sosial, perspektif komunikasi dan persfektif kritis. Dalam kasus pembentukan identitas dari para penggemar budaya pop Korea, untuk menganalisis pada skala mikro yaitu pada tataran individu, peneliti menggunakan persfektif komunikasi dimana proses avowal dan ascription merupakan hal yang penting. Seorang penggemar budaya pop Korea bisa saja melakukan avowal tentang identitas dirinya, namun jika proses ascription dari orang lain di lingkungannya itu bertentangan dengan apa yang digambarkan oleh dirinya, seorang penggemar budaya pop Korea yang termasuk dalam dominant reader akan menarik diri dari lingkungan sosialnya dan lebih memilih mencari teman bermain atau masuk dalam kelompok yang akan melakukan ascription yang sesuai dengan avovalnya. Sementara penggemar budaya pop Korea yang termasuk negotiated reader mungkin akan menegosiasikannya dan akan menyesuaikan identitas kulturalnya ke dalam identitas kultural yang dominan di lingkungannya, atau dengan kata 18

lain ia akan menyesuaikan proses avowalnya dengan proses ascription orang-orang di lingkungannya. Sementara itu dalam analisis skala meso, peneliti akan

menggunakan persfektif kritis karena identitas para penggemar Korea ini tercipta karena latar belakang sejarah, ekonomi, politik dan wacana yang beredar saat ini. Maraknya serbuan hiburan budaya pop Korea saat ini akan menciptakan suatu identitas kultural bagi penggemar budaya pop Korea. Berdasarkan pengamatan, identitas para penggemar budaya pop Korea akan Ke-Korea-an mereka mereka memang berbeda-beda baik dari segi jenis maupun tingkatannya. Hal ini tidak lepas dari latar belakang lingkungan sosialnya, pendidikan, agama dan lain-lain. Melihat fenomena efek terbatas media, maka peneliti menggunakan metode studi kasus dalam meneliti pengaruh budaya pop Korea terhadap gaya hidup melalui media massa. Hal ini sesuai dengan teori perbedaan individual yang berpendapat bahwa karena karakter psikologis pada setiap orang sangat beragam dan karena mereka memiliki persepsi yang berbedabeda terhadap sesuatu, pengaruh media berbeda-beda antara satu orang ke orang lain. Lebih spesifik, pesan media mengandung ciri stimulus tertentu yang memiliki interaksi yang berbeda dengan karakteristik pribadi masingmasing khalayak. Walaupun pada akhirnya individu tersebut membentuk suatu kelompok sosial atas dasar kesamaan, perbedaan individu dalam kelompok tetap ada. Kelompok sosial hanya menjadi penguat apa yang diyakini oleh individu, namun tingkat hegemoni di dalam kelompok tidak akan utuh. Mereka memang memiliki kesamaan namun tidak dalam segala hal karena ada faktor lain yang turut andil dalam membentuk individu. 19

Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah bagan dari kerangka konseptual penelitian ini:

GLOBALISASI

BUDAYA POP KOREA (TAYANGAN

KAPITALIS DAN PEMERINTAH

BUDAYA MEDIA

KOREA)

KOREA LOVERS DI MAKASSAR

EFEK TERBATAS MEDIA DAN FAKTORFAKTORNYA

GAYA HIDUP

D. Definisi Operasional 1. Globalisasi: Suatu proses dimana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. 2. Budaya Pop Korea: Budaya yang banyak digemari yang diproduksi untuk masyarakat massa, dalam hal ini adalah tayangan-tayangan Korea baik berupa drama, film, musik yang pada akhirnya akan menciptakan fanatisme terhadap produk budaya tersebut

20

3. Budaya Media: Ketergantungan masyarakat terhadap media dimana dalam kehidupannya tidak mampu lepas dari media. Menonton televisi atau mendengarkan radio misalnya adalah sebuah kebutuhan mutlak yang harus terpenuhi 4. Kapitalis: Kelompok penguasa industri yang memanfaatkan media untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya melalui fanatisme khalayak media 5. Pemerintah: Sekelompok orang yang secara bersama-sama memikul tanggung jawab terbatas untuk menggunakan kekuasaan dalam mengatur kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu negara 6. Korea Lovers: Sebutan untuk para penggemar tayangan Korea 7. Gaya Hidup : adaptasi aktif individu terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain

E. Metode Penelitian 1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan berlangsung di Makassar. Tepatnya di Ballroom Mall Panakkukang dan Food Court MTC yang merupakan tempat berkumpul fandom-fandom Korea. Waktu penelitian akan berlangsung dari bulan April Juli 2011. 2. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini bersifat kualitatif. Fokus penelitian ingin melihat bagaimana pengaruh budaya pop Korea yang saat ini tengah mewabah di tengah masyarakat diadopsi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi 21

gaya hidup mereka, baik itu dari segi fashion, selera mereka dalam memilih produk serta hubungan mereka dengan lingkungan sekitar. Dalam penelitian kualitatif, data utama diperoleh dari peneliti sendiri yang secara langsung mengumpulkan informasi yang didapat dari subjek penelitian yaitu Korea Lovers di Makassar dan ditambah dengan bantuan orang lain. Penelitian ini dilakukan secara intensif lewat observasi di lapangan, wawancara dengan narasumber, penelaahan melalui literature. Design penelitian ini pada tahap pembahasan penelitian, akan berisi uraian uraian tentang objek yang menjadi fokus penelitian yang ditinjau dari sisi sisi teori yang relevan dengannya dan tidak menutup kemungkinan bahwa design penelitian ini akan berubah sesuai dengan kondisi atau realitas di lapangan. 3. Subjek Penelitian Subjek penelitian dalam studi kasus ini terdiri atas enam orang yang merupakan anggota dari fandom Korea Lovers di Makassar. Keenam orang ini memiliki kriteria yang berbeda-beda karena pengaruh latar belakang sosial, agama, gender, usia maupun tingkat pendidikan. Subjek terdiri atas empat perempuan dan dua laki-laki. Hal ini dikarenakan jumlah anggota fandom perempuan jauh lebih besar disbanding laki-laki sehingga peneliti mengambil dua kali lipat jumlah sampel perempuan dibandingkan laki-laki. Data informan yang menjadi sampel dalam studi kasus Korea Lovers adalah sebagai berikut: a. Subjek 1 (Rifa): Perempuan, usia 23 tahun, Islam, menikah dengan dua anak, pegawai swasta, mengenal Korea sejak 2004. penggemar k22

pop sebagai prioritas utama, juga menyenangi drama, film dan variety show Korea. Ketua ELF Makassar b. Subjek 2 ( Didi): Perempuan, usia 21 tahun, Islam, belum menikah, mahasiswi, mengenal Korea sejak 2003, penggemar film Korea sebagai prioritas utama, juga menyukai drama, k-pop dan variety show Korea. Anggota ELF, Triple S, Shawol, Shone, V.I.P, Cassiopea c. Subjek 3 (Firman): Laki-laki, usia 20 tahun, Islam, belum menikah, mahasiswa, mengenal Korea sejak 2009, penggemar k-pop sebagai prioritas utama juga film, drama dan fashion Korea, anggota ELF, Triple S, dan Shawol d. Subjek 4 (Fitrah): Laki-laki, usia 23 tahun, Islam, belum menikah, mahasiswa, mengenal Korea sejak 2008, penggemar film Korea sebagai prioritas utama, juga k-pop dan drama Korea, anggota ELF dan Shawol e. Subjek 5 (Iga): Perempuan, usia 15 tahun, Protestan, belum menikah, pelajar, mengenal Korea sejak 2009, penggemar film Korea sebagai prioritas utama, juga drama, k-pop dan fashion Korea, anggota Primadona, Shawol, ELF f. Subjek 6 (Mitha): Perempuan, usia 19 tahun, Islam, belum menikah, mahasiswi, mengenal Korea sejak 2006, penggemar k-pop sebagai prioritas utama, juga drama dan film Korea, Ketua Cassiopea dan nggota ELF, Shawol, Triple S, Shone

23

4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini berpatokan pada kebutuhan penelitian. Adapun metode pengumpulan data yang dilakukan adalah: y Penelitian Pustaka (library research) atau studi literature. Dengan jalan mempelajrai dan mengkaji literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan untuk mendukung asumsi sebagai landasan teori permasalahan yang dikaji. y Melakukan survey khalayak diantaranya melalui observasi secara langsung pada fandom Korea Lovers di Makassar, wawancara mendalam (in-depth interview) yang sifatnya informal terhadap narasumber serta menggunakan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang dibutuhkan yang akan mendukung kelengkapan data y Dokumentasi, yaitu pengumpulan foto-foto kegiatan Korea Lovers di Makassar. 5. Teknik Pemilihan Subjek Penentuan subjek berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis sebelum permasalahan yang dikaji ditetapkan. Subjek berjumlah enam orang yang diambil dari anggota fandom Korea Makassar. Subjek ini dipilih mengacu pada representativitas informasi atau data. Penelitian ini menghindari generalisasi, tiap-tiap subjek mewakili dirinya sendiri. Pemilihan subjek lebih ditekankan pada alasan dan

pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk itu, peneliti akan memilih subjek dengan teknik purposive sampling 24

dimana peneliti telah membuat kriteria atau kategorisasi tentang jenis subjek yang layak dijadikan sample. Selain itu, metode penarikan sample untuk memilih subjek adalah dengan metode snowball yaitu suatu cara dimana peneliti akan memilih satu subjek kunci sebagai titik awal penelitian dan untuk informan berikutnya akan didasarkan pada rekomendasi dari subjek pertama. 6. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan selama penelitian. Hal ini dimaksudkan agar fokus penelitian tetap diberi perhatian khusus melalui wawancara mendalam, selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Proses analisa data mulai dilakukan ketika peneliti masih berada di lapangan dan setelah peneliti tidak berada di lapangan. Data yang diperoleh dari lapangan kemudian dipelajari dan ditelaah. Setelah itu dibuat abstraksi yang merupakan rangkuman inti dari proses wawancara. Hal ini diperlukan untuk menyempurnakan pemahaman terhadap data yang diperoleh kemudian menyajikannya kepada orang lain dengan lebih jelas tentang apa yang ditemukan dan didapat dari lapangan. Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik analisis data dalam dua level. Hal ini dikarenakan penelitian studi kasus merupakan penelitian yang multi-level analysis. Dua level analisis tersebut adalah: 1. Level Mikro yaitu menganalisis dari media mana awal mengkonsumsi budaya pop Korea, seberapa besar informan terpengaruh oleh terpaan media yang didapat dari mengkonsumsi tayangan-tayangan Korea terhadap gaya hidupnya. Di dalam analisis ini juga, peneliti akan 25

mengidentifikasi bagaimana individu penggemar budaya pop Korea memilih dan membentuk identitasnya. 2. Level Meso yaitu menganalisis komunitas penggemar budaya pop Korea sebagai sebuah sub-kultur yang menciptakan suatu fanatisme yang luar biasa terhadap budaya pop Korea. 3. Level Makro yaitu mengenalisis bagaimana anggota sub-kultur budaya pop Korea mengonsumsi budaya pop Korea dalam lingkup sosialnya.

26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Globalisasi Budaya Globalisasi adalah suatu fenomena khusus dalam peradaban manusia yang bergerak terus dalam masyarakat global dan merupakan bagian dari proses manusia global itu. Kehadiran teknologi informasi dan teknologi komunikasi mempercepat akselerasi proses globalisasi ini. Globalisasi menyentuh seluruh aspek penting kehidupan. Globalisasi menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab, dipecahkan dalam upaya memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan kehidupan. Secara umum, globalisasi berarti meningkatnya keterkaitan antara orang-orang dan tempat-tempat sebagai akibat dari kemajuan teknologi transportasi, komunikasi, dan informasi yang memunculkan konvergensi politik, ekonomi, dan budaya. Wacana globalisasi sebagai sebuah proses ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga ia mampu mengubah dunia secara mendasar. Komunikasi dan transportasi internasional telah menghilangkan batas-batas budaya setiapbangsa. (http://.en.wikipedia/org/wiki/Globalization)

Marshall McLuhan pelopor jargon desa global dalam bukunya Understanding Media, 1964 mengatakan: Today, after more than a century of electric technology, we have extended our central nervous system itself in a global embrace, abolishing both space and time as far as our planet is concerned.

27

Desa Global adalah konsep mengenai perkembangan teknologi komunikasi di mana dunia dianalogikan menjadi sebuah desa yang sangat besar. Konsep ini berangkat dari pemikiran McLuhan bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang. Desa Global menjelaskan bahwa tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang jelas. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam waktu yang sangat singkat, menggunakan teknologi media massa. McLuhan menyatakan bahwa desa global terjadi sebagai akibat dari penyebaran informasi yang sangat cepat dan massive di masyarakat. Penyebaran yang cepat dan massive ini menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (media massa). Hal ini juga diamini oleh Galperin. Menurut Galperin, globalisasi budaya meningkat di berbagai negara seiring perkembangan di bidang teknologi komunikasi dan informasi, globalisasi ekonomi, juga globalisasi di bidang tayangan televisi dan film. Bahkan, gencarnya perdagangan internasional program-program televisi dan film membuat globalisasi budaya semakin tak terbendung (Muharromaningsih, 2006:50) Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan

berkembangnya teknologi komunikasi melalui media massa. Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan sehingga tidak mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan massal. Globalisasi dalam kebudayaan dapat berkembang dengan cepat. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh adanya kecepatan dan kemudahan dalam memperoleh akses komunikasi dan berita namun hal ini justru menjadi 28

bumerang tersendiri dan menjadi suatu masalah yang paling krusial atau penting dalam globalisasi, yaitu kenyataan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dikuasai oleh negara-negara maju, bukan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Mereka yang memiliki dan mampu menggerakkan komunikasi internasional justru negara-negara maju.

Akibatnya, negara-negara berkembang, seperti Indonesia selalu khawatir akan tertinggal dalam arus globalisasi dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, termasuk kesenian kita. Kebudayaan setiap bangsa cenderung mengarah kepada globalisasi dan menjadi peradaban dunia sehingga melibatkan manusia secara menyeluruh. Simon Kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa globalisasi dalam bentuk yang alami akan meninggikan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Dalam proses alami ini, setiap bangsa akan berusaha menyesuaikan budaya mereka dengan perkembangan baru sehingga mereka dapat melanjutkan kehidupan dan menghindari kehancuran. Tetapi menurut Simon Kemoni, dalam proses ini negara-negara Dunia Ketiga harus memperkokoh dimensi budaya mereka dan memelihara struktur nilai-nilainya agar tidak dieliminasi oleh budaya asing. Dalam rangka ini, berbagai bangsa Dunia Ketiga haruslah mendapatkan informasi ilmiah yang bermanfaat dan menambah pengalaman mereka. Globalisasi budaya yang terus berkembang dan menelusup ke segala lingkup kehidupan kemudian memunculkan istilah baru yaitu global pop culture dimana budaya trend dalam suatu wilayah dipopulerkan dengan bantuan teknologi hingga ke taraf dunia atau lingkup global

(Hutagalung,2007:4). Global pop culture ( film, musik, pakaian dan 29

sebagainya) mengusung nilai-nilai ideologi dari negara asalnya yang mungkin saja jauh berbeda dari negara yang terkena imbas budaya pop. Budaya pop membuat mereka terlena akan hiburan yang ditawarkan. Transfer nilai budaya melalui hiburan ini mampu menciptakan kesamaan selera terhadap budaya pop tertentu yang dapat mengancam eksistensi budaya dan identitas

masyarakat lokal. Semakin sering kita ditawarkan produk budaya pop tersebut, kita semakin tidak sadar bahwa hal tersebut bukanlah budaya dan identitas kita, sebaliknya, kita menganggap ini sebagai bagian dari keseharian kita. Norma, nilai dan gaya hidup kemudian diadaptasi dari hasil mengonsumsi budaya pop tersebut dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita sehingga menyebabkan kita kehilangan karakteristik. Melihat begitu besarnya peran gobalisasi memporak-porandakan batas-batas geografis, bahkan mampu menghilangkan identitas, tetap saja kita tidak boleh semena-mena men-judge negatif kehadiran globalisasi di tengah arus modernitas. Menurut para penganut globalis positif, globalisasi hanya sebagai pemicu yang mampu memperkecil budaya lintas teritorial agar lebih mudah untuk dipahami dan diakses. Walaupun globalisasi dianggap sebagai ancaman oleh sebagian besar orang, lantas tidak menjadikannya sebagai alasan utama ketika kehadirannya menimbulkan bermacam-macam

kesempatan yang baik bagi individu dan masyarakat luas seperti: kesempatan ekonomi, wawasan lebih luas, kesempatan untuk keluar dari feodalisme, dan membukan diri terhadap nilai-nilai modernitas. Selain itu, globalisasi mampu menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan bertanggung jawab. Dalam pandangan kaum hiperglobalis, globalisasi budaya adalah,

.....homogenization of the world under the auspices of American Popular 30

Culture or Western consumerism in general. Ini berarti bahwa globalisasi budaya adalah proses hegemonisasi di dunia di bawah bantuan budaya popular Amerika. Di era globalisasi kebanyakan media tidak hanya ditujukan pada pasar dalam negeri, melainkan mengalir ke konsumen atau pengguna yang secara geografis hidup berjauhan. Atau sebaliknya, media itu ditemukan dan digunakan oleh orang yang pada awalnya tidak diperkirakan sebagai pengguna. Namun saat ini, globalisasi yang sering diidentikkan dengan Amerikanisasi atau Westernisasi sepertinya hanya merupakan wacana perdebatan lama. Di Asia khususnya, masyarakat mulai bosan dengan budaya popular Amerika yang notabene bertahun-tahun telah menguasai pasar, sehingga muncullah budaya global alternatif yang tidak didominasi oleh budaya popular Amerika tetapi mulai menyisipkan nilai-nilai Asia. Munculnya budaya global alternatif ini disebabkan kelemahan pada asumsi-asumsi imperialisme budaya seperti tidak melakukan analisis dinamika yang terjadi pada tingkat individu. Peneliti imperialisme budaya memang lebih menekankan diri pada unsur-unsur makro. Morley juga mengkritik model awal imperialisme budaya karena hanya mempertimbangkan secara ekslusif arus komunikasi internasional searah dari Amerika ke seluruh belahan dunia lain. Contoh nyata saat ini, banyak terdapat counter flow eksporter program televisi dari berbagai belahan dunia (Badruddin,2006:77).

B. Memahami Budaya Populer Secara umum, budaya populer atau sering disingkat budaya pop merupakan budaya yang ringan, menyenangkan, trendi, banyak disukai dan 31

cepat berganti. Menilik dari sejarahnya, kehadiran budaya populer tidak dapat terlepaskan dari perkembangan pembangunan pada abad ke-19 dan abad ke 20. Pada abad ke-19, pembangunan aspek media massa, khususnya surat kabar dan novel menjadikan jarak yang terpisah antara suatu masyarakat di belahan dunia yang berbeda dapat mengakses trend kultur, tidak terhambat oleh jarak. Memasuki abad ke-20, penemuan radio, televisi dan komputer semakin mempercepat penyebaran trend kultur dari belahan dunia yang satu ke belahan dunia lain. Budaya populer sebelum masa industri disebut juga sebagai budaya yang berasal dari budaya rakyat (folk culture). Ia mengangkat masalah ini melalui pendekatan yang beranggapan bahwa budaya pop adalah sessuatu yang diterapkan pada rakyat dari atas. Budaya pop adalah budaya otentik rakyat yang kemudian berkembang menjadi sebuah budaya yang populer di tengah masyarakat. Namun, seiring perkembangan kajian mengenai budaya pop dan terciptanya masyarakat industri, terjadi pergeseran makna terhadap budaya pop. Budaya pop kini dipandang sebagai budaya massa. Budaya massa acapkali diartikan sebagai budaya populer yang diproduksi oleh teknik industri dengan produksi massal dan dipasarkan kepada masyarakat massa demi keuntungan kapitalis. Budaya massa mulai banyak menarik perhatian teoritikus sejak tahun 1920 dimana pada tahun tersebut mulai bermunculan sinema dan radio, produksi massal dan konsumsi kebudayaan, bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara Barat Signifikansi sosial budaya populer di zaman modern ini dapat dipetakan berdasarkan bagaimana budaya populer itu diidentifikasikan 32

melalui gagasan budaya massa. Tidak bisa dipungkiri, industrialisasi dan urbanisasi merupakan elemen yang paling berpengaruh terhadap lahirnya khalayak budaya massa yang disebut masyarakat massa. Industrialisasi memicu konsumerisme yang berlebihan sementara urbanisasi menjadi perantara budaya secara geografis. Industrialisasi dan urbanisasi meruntuhkan perantara sosial yang sebelumnya menjadi petanda identitas sosial. Sebuah budaya yang akan memasuki dunia hiburan dan dipentaskan kemudian disebarluaskan ke berbagai wilayah di belahan dunia, pada umumnya menempatkan unsur populer sebagai unsur utamanya. Budaya itu kemudian memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai by pass penyebaran pengaruh di masyarakat. Konteks sosial semacam ini lebih cenderung membawa manusia dalam dunia yang serba tipuan. Maksudnya, kadang kefanaan menjadi suatu tujuan yang lebih konkret dari apa yang diperjuangkan oleh manusia itu sendiri. Dan disaat dunia tipuan ini dapat dimanipulasi oleh industri media, maka tipuan itu menjadi abadi dalam dunia fana. Kemajuan teknologi telekomunikasi telah membentuk dunia ini sekecil telur burung merpati. Batas-batas budaya dan negara menjadi musnah. Kekuasaan tertinggi di dunia ini tidak lagi terletak pada pemilikan, akan tetapi pada penguasaan ( Bungin, 2008:51) Pada awalnya kajian tentang budaya populer tidak bisa dilepaskan dari peran Amerika Serikat dalam memproduksi dan menyebarkan budaya populer. Negara itu telah menanamkan akar yang sangat kuat dalam industri budaya populer, antara lain melalui Music Television (MTV), McDonald, Hollywood, dan industri animasi mereka (Walt Disney, Looney Toones, dll). 33

Namun, perkembangan selanjutnya memunculkan negara-negara lain yang juga berhasil menjadi pusat budaya populer seperti Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan. Menurut Nissim Kadosh Otmazgin, peneliti dari Center for Southeast Asian Studies (CSEAS) Kyoto University, Jepang sangat sukses dalam menyebarkan budaya populernya. Ia mengemukakan bahwa, Selama dua dekade terakhir, produk-produk budaya populer Jepang telah diekspor, diperdagangkan, dan dikonsumsi secara besar-besaran di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara. Manga (komik Jepang), anime (film animasi), games, fashion, musik, dan drama Jepang (dorama) merupakan contoh-contoh budaya populer Jepang yang sukses di berbagai negara. Setelah kedigdayaan Jepang, menyusul Korea Selatan yang kini semakin menunjukkan kemampuannya menyaingi serbuan budaya Jepang yang terlebih dulu melakukan ekspansi melalui budaya populer dalam bentuk hiburan. Tidak ketinggalan, film, drama dan musik k-pop Korea semakin mendunia. Amerika Serikat sebagai negara asal budaya pop juga tidak luput terkena imbas Korean Wave (istilah penyebaran budaya pop Korea ke berbagai belahan dunia). Amerika kini menjadi basis para ikon budaya pop Korea memperluas pengaruhnya. Beberapa artis kenamaan Korea kini telah berhasil masuk ke dunia hiburan terbesar di dunia yaitu Hollywood. Selain itu, film-film Korea juga menjadi semacam magnet yang mengundang sutradara Hollywood untuk melakukan re-make film Korea, salah satunya Il Mare yang ceritanya diadopsi Hollywood menjadi Lake House. Kasus di Amerika Serikat tersebut menjadi contoh keberhasilan ekspansi budaya

34

populer Korea dan kekhawatiran yang menyertainya. Istilah Koreanisasi sering digunakan untuk menggambarkan penyebaran budaya populer Korea. Budaya populer sifatnya lebih banyak mempertontonkan sisi hiburan, yang kemudian mengesankan lebih konsumtif. Hiburan merupakan

kebutuhan pribadi masyarakat yang telah dipengaruhi oleh struktur kapitalis. Prinsip prinsip yang menonjol dalam hiburan adalah kesenangan yang tertanam dan menjelma dalam kehidupan manusia, sehingga pada saat lain akan menjelma membentuk budaya manusia. Akhirnya, kesenangan itu menjadi larut dalam kebutuhan manusia yang lebih besar, bahkan kadang menjadi eksistensi kehidupan manusia. Kesenangan juga membuat manusia manja dan terbiasa dengan kehidupan yang aduhai dan serba mengagumkan. Budaya pop sengaja dimunculkan untuk menjaga jarak keterlibatan orang-orang dari budaya riil. Kita juga dapat melihat bagaimana budaya pop sengaja dibangkitkan untuk menegaskan posisi orang-orang yang memusuhi mode manipulasi komersial yang disokong oleh ideologi industri budaya kapitalis. Dari kedua hal tersebut, nyata-nyata budaya pop digunakan sebagai agen penghancur budaya yang lain; sebuah bayang-bayang berbahaya yang mengancam dan menjegal kemajuan hal-hal yang riil.(Storey;2003:276) Dalam dunia kapitalisme, hiburan dan bahkan budaya telah menjelma menjadi industri. Pada konteks ini, Theodor Adorno dan Max Horkheimer mengatakan budaya industri adalah media tipuan. Budaya telah berubah menjadi alat industri serta menjadi produk standar ekonomi kapitalis. Dunia hiburan telah menjadi sebuah proses reproduksi kepuasan manusia dalam media tipuan. Hampir tidak ada perbedaan lagi antara kehidupan nyata dan

35

dunia yang digambarkan dalam film yang dirancang menggunakan efek suara dengan tingkat ilusi yang sempurna sehingga tak terkesan imaginator. Karl Marx dan pengikutnya selalu menganggap keberadaan media menjadi penunjang bertahannya budaya populer hingga saat ini dan mengakibatkan penurunan selera khalayak terhadap berbagai hal. Namun hal ini ditentang kaum populis yang melihat keberadaan budaya pop sebagai suatu hal yang positif. Kubu populis memandang bahwa tidak ada salahnya media massa melayani selera massa dalam masyarakat kapitalistik demokratis. Susan Sontag sebagai pelopor revisionisme budaya populer dalam bukunya On Culture and The New Sensibility menganggap bahwa budaya populer tidak sekedar budaya rendahan yang tidak memiliki nilai. Sontag menunjukkan bahwa budaya pop bisa mengangkat isu-isu serius seperti yang dilakukan seni tinggi dengan membandingkan kesan yang ditimbulkan lukisan Rauschenberg dengan lagu-lagu Supreme. Selain itu, Sontag juga memandang keberadaan budaya pop mampu menjadi perekat sosial. Hingga saat ini, kaum konservatif dan neokonservatif terus menyerang kebudayaan populer, namun anehnya kekuatan budaya populer semakin kuat dan mengakar pengaruhnya kepada miliaran manusia. Dan anehnya pula, kebudayaan populer lebih banyak berpengaruh pada kelompok orang muda dan menjadi pusat ideologi masyarakat dan kebudayaan, padahal budaya populer terus menjadi kontradiksi dan perdebatan ( Bungin, 2008:50) Mazhab Frankfurt dan Marxisme menjadi gagasan yang paling mengemuka banyak digunakan sebagai landasan dalam mengkaji budaya populer. Mazhab Frankfurt meyakini bahwa kapitalisme mampu bertahan 36 dan

lama

karena

kemakmuran

dan

konsumerisme.

Kapitalisme

mampu

menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu, menciptakan semacam ikon yang dipuja dan menjadikan kita sebagai korban fetisisme yang mengatasnamakan uang, lebih memuja harga, berupaya menaikkan status dalam pandangan orang lain dengan mengonsumsi barang-barang bermerek dan memaksakan diri memenuhi gaya hidup berlebihan. Konsep kapitalisme menyebabkan kita memiliki kebutuhan palsu. Pada dasarnya, manusia memiliki kebutuhan sejati untuk bersikap kreatif, lepas dan mandiri, menentukan nasibnya sendiri, berpasrtisipasi penuh sebagai anggota kelompok kolektif yang bermaknadan demokratis serta sanggup menjalani hidup bebas dan tanpa kekangan serta berpikir untuk diri sendiri. Oleh karena itu, konsep ini didasarkan pada pernyataan bahwa kebutuhan sejati tidak dapat direalisasikan dalam kapitalisme modern karena adanya kebutuhan-kebutuhan palsu yang baru dilahirkan sistem ini supaya dapat bertahan Mazhab Frankfurt menyatakan bahwa kapitalisme berhasil mengatasi banyak kontradiksi maupun krisis yang dihadapinya, sehingga memperoleh kekuatan stabilitas dan kesinambungan baru sekaligus yang belum pernah ada. Kapitalisme menyababkan pertumbuhan ekonomi, kemakmuran dan konsumerisme serta berbagai persoalannya seperti ketidakmerataan secara terus-menerus, kemiskinan dan rasisme. Adorno merupakan salah satu teoretikus penganut Mazhab Frankfurt yang pendapat-pendapatnya paling banyak dijadikan landasan dalam mempelajari budaya populer. Ia lebih merujuk budaya populer sebagai budaya massa yang diembel-embeli kapitalisme. Adorno beranggapan bahwa 37

bahwa budaya populer selera (yang lebih) rendah masyarakat secara keseluruhan, sehingga mengurangi kualitasnya sebagai masyarakat. Hal itu dianjurkan karena media massa dapat menakortikakan dan mengatomkan orang-orang, turut menyebabkan mereka dicurigai terhadap teknik persuasi massa dengan keterampilan demagogues yang mencabut demokrasi. Bernard Rosenberg merangkumnya sebagai berikut: Pada tempatnya yang terburuk, budaya massa diperlakukan tidak hanya untuk mengkerdilkan selera tetapi untuk membuat brutal sembari memberi jalan kepada totaliterianisme. Namun di balik semua keburukan itu, budaya populer mampu menciptakan sebuah kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik dan mensejahterakan. Teori ini juga menunjukkan adanya jarak intelektual dan politis antara Mazhab Frankfurt dan analisis Marx. Frankfurt melihat sifat tahan lama dari kapitalisme. Frankfurt jelas tidak menyangkal bahwa kapitalisme mengalami berbagai kontradiksi internal. Akan tetapi, selama masyarakat kapitalis mampu melahirkan tingkat kesejahteraan ekonomi yang semakin tinggi bagi sebagian besar populasi, termasuk kelas pekerjanya, peruntuhan akhir dan bangkitnya sosialisme menurut Marx agaknya nyaris tak mungkin terjadi. Marx yang menganggap bahwa suatu saat orang-orang akan menjadi jenuh dengan budaya pop yang disuguhkan akan meruntuhkan keberadaan dan kejayaan budaya pop dan melahirkan suatu kehidupan yang dinamai sosialisme

C. Menelisik Media dalam Kacamata Budaya Populer Lahirnya modernisasi kehidupan telah banyak merubah cara pandang dan pola hidup masyarakat, sehingga peradaban yang terlahir adalah 38

terciptanya budaya masyarakat konsumtif dan hedonis dalam lingkungan masyarakat kapitalis. Fenomena ini tidaklah dianggap terlalu aneh untuk dibicarakan, bahkan sudah menjadi bagian dari budaya baru hasil dari para importir yaitu para penguasa industri budaya yang sengaja memporakporandakan tatanan budaya yang sudah mapan selama bertahun tahun menjadi bagian dari jati diri bangsa Indonesia itu. Tergesernya budaya setempat dari lingkungannya disebabkan oleh kemunculannya sebuah kebudayaan baru yang konon katanya lebih atraktif, fleksibel dan mudah dipahami sebagian masyarakat, bahkan masyarakat rendah status

sosialnyapun dapat dengan mudah menerapkannya dalam aktifitas kehidupan. Sebuah istilah Budaya Populer atau disebut juga dengan Budaya Pop, dimana budaya ini dalam pengaktualisasiannya mendapat dukungan dari penggunaan perangkat berteknologi tinggi ini, sehingga dalam penyebarannya begitu cepat dan mengena serta mendapat respon sebagian besar kalangan. Dalam perspektif industri budaya, bahwa budaya populer adalah budaya yang lahir atas kehendak media. Hal ini dianggap bahwa media telah memproduksi segala macam jenis produk budaya populer yang dipengaruhi oleh budaya impor dan hasilnya telah disebarluaskan melalui jaringan global media hingga masyarakat tanpa sadar telah menyerapnya. Dampak dari hal itu, menyebabkan lahirlah perilaku yang cenderung mengundang sejuta tanya, karena hadirnya budaya populer di tengah masyarakat kita, tak lepas dari induknya yaitu media yang telah melahirkan dan membesarkannya. Media dalam menjalankan fungsinya, selain sebagai penyebar informasi dan hiburan, juga sebagai institusi pencipta dan pengendali pasar produk komoditas dalam suatu 39 lingkungan masyarakat. Dalam

operasionalisasinya, media selalu menanamkan ideologinya pada setiap produk hingga obyek sasaran terprovokasi dengan propaganda yang tersembunyi di balik tayangannya itu. Akibatnya, jenis produk dan dalam situasi apapun yang diproduksi dan disebarluaskan oleh suatu media, akan diserap oleh publik sebagai suatu produk kebudayaan, dan hal ini berimplikasi pada proses terjadinya interaksi antara media dan masyarakat. Kejadian ini berlangsung secara terus menerus hingga melahirkan suatu kebudayaan berikutnya. Kebudayaan populer akan terus melahirkan dan menampilkan sesuatu bentuk budaya baru, selama peradaban manusia terus bertransformasi dengan lingkungannya mengikuti putaran zaman. Kehadiran media massa sangat erat kaitannya dengan penyebaran budaya, karena melalui media massa lah orang-orang kreatif punya tempat yang tepat. Media massa dapat memperkaya masyarakat dengan menyebarkan karya kreatif dari manusia seperti karya sastra, musik, dan film. Meski media punya potensi menyebarluaskan karya kreatif tersebut, beberapa kritikus mengatakan bahwa media sangat obsesif terhadap subjek-subjek trendi yang kadang menggelikan. Para kritikus menemukan kesalahan serius dalam perhatian media terhadap budaya pop, karena budaya pop dianggap tidak mengandung isi yang signifikan. Hal ini disebabkan waktu yang dimiliki untuk memproduksi produk budaya berbanding terbalik dengan keinginan konsumen yang beragam sehingga nilai yang terkandung dalam budaya pop telah tereduksi menjadi sebutan umum terendah rata-rata selera manusia (Vivian,2008:505). Salah satu pandangan kritik media menyatakan bahwa media kurang memperhatikan karya besar dan lebih berkonsentrasi pada seni rendahan. 40

Pandangan elitis ini menyatakan bahwa media massa merusak masyarakat dengan menjadi kaki tangan selera rendah. Untuk mendeskripsikan selera rendah ini, kubu elite terkadang menggunakan istilah Jerman, kitsch yang diterjemahkan sebagai rongsokan. Istilah ini menunjukkan kemuakan mereka. Menurut pandangan klasik Marxisme, media merupakan alat produksi yang disesuaikan dengan tipe umum industri kapitalis beserta faktor produksi dan hubungan produksinya. Media cenderung dimonopoli oleh kelas kapitalis, yang penanganannya dilaksanakan baik secara nasional maupun internasional untuk memenuhi kepentingan kelas sosial tersebut. Para kapitalis melakukan hal tersebut dengan mengeksploitasi pekerja budaya dan konsumen secara material demi memperoleh keuntungan yang berlebihan. Para kapitalis tersebut bekerja secara ideologis dengan menyebarkan ide dan cara pandang kelas penguasa, yang menolak ide lain yang dianggap berkemungkinan untuk menciptakan perubahan atau mengarah ke terciptanya kesadaran kelas pekerja atas kepentingannya. Mobilisasi keasadaran semacam itu dihindari dengan menerapkan kebijakan politik tandingan secara aktif dan terorganisasi (McQuail,1989:63). Rosenberg dan White juga menambahkan bahwa isi yang lazim diproduksi dan disebarluaskan media massa selama berpuluh tahun disebut sebagai budaya massa. Istilah budaya massa mengandung konotasi buruk, terutama karena ada kaitannya dengan aspek budaya yang disenangi oleh para orang tidak terdidik atau orang yang tidak tahu membedakan (McQuail,1989:37)

41

Apabila kita menilik melalui kacamata teori masyarakat massa yang berkembang dari budaya pop, keberadaan media massa menjadi penting mengingat adanya hubungan timbal balik antara institusi yang memegang kekuasaan dan integrasi media terhadap sumber kekuasaan sosial dan otoritas. Melalui media, institusi pemegang kekuasaan, dalam hal ini kapitalis dan pemerintah mengontrol arus informasi masyarakat massa dengan

menggunakan media. Menurut Dennis McQuail dalam bukunya Teori Komunikasi Massa (1989:62), karena hubungan timbal balik tersebut, isi media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi. Namun demikian, meskipun media tidak bisa diharapkan menyuguhkan pandangan kritis atau tinjauan lain menyangkut masalah kehidupan, media tetap memiliki kecenderungan untuk membantu publik bebas dalam menerima keberadaannya sebagaimana adanya. Tanpa disadari atau disadari industri media khususnya televisi telah memberikan banyak pengaruh pada manusia. Televisi mampu menggiring alam pikiran manusia hingga pada akhirnya bisa merubah pola hidup, baik yang positif dan negatif di tengah-tengah kehidupan manusia. Segala macam apa yang ditayangkan televisi akan berdampak pada psikologi manusia yang mempunyai kecenderungan untuk meniru apa saja dari pengalaman yang mereka lihat, dan korbannya pun tanpa pandang bulu dibuatnya, siapapun sasarannya entah anak-anak, remaja, eksekutif muda ataupun orang tua sekalipun, semua bisa terjebak dalam ikatannya. Dengan kreatifitas tinggi media televisi dalam memvisualisasikan program tayangannya yang dikemas secara menajubkan dalam alur dramatiknya sebuah cerita, telah mampu menghadirkan suatu realitas dunia 42

maya, menjadi suatu realita baru yang seoalah-olah terlihat dalam kehidupan nyata. Itu semua karena peran media, bagaimana sebuah industri media menciptakan produknya dengan merekonstruksi nilai serta maknanya itu sedemikian rupa berdasarkan misi dari ideologi media tersebut hingga masyarakat tak berkutik dibuatnya. Media dianggap sebagai alat yang berkuasa dari ideologi yang dominan (dominant ideology). Mengutip apa yang dikatakan oleh Karl Marx dan Friderich Engels dalam German Ideology: The ideas of the ruling class are in every epoch the ruling ideas, i.e. the class which is the ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual force. The class which has the means of material production at its disposal, has control at the same time over the means of mental production, so that thereby, generally speaking, the ideas who lack the means of mental production are subject to it. Kenyataan ini menjelaskan bahwa Ideologi yang disebar luaskan lewat tayangan televisi, adalah melalui sistem kekuasaan. Dengan kekuasan media yang ada dalam genggamannya, maka ideologi yang ditanam lewat tayangan tersebut dapat terserap dengan sendirinya bersamaan dengan penangkapan pesan yang dikomunikasikan kepada masyarakat hingga masyarakat menjadi korbannya atas penyerapan dari tayangannya sebagai representatif dari budaya populer yang di bawa oleh televisi tersebut. Bagi Industri media televisi, tentunya sudah tidak asing lagi menciptakan perangkap acara yang dikemas secara menarik lewat beragam program acara dengan

pengkonstruksian nilai dan maknanya serta dilancarkan secara terus-menerus dalam setiap serial komoditas, sehingga pemirsa begitu tergila-gilanya mengikuti apa yang disuguhkan oleh industri media televisi yang pengaksesannya bisa dilakukan kapan saja dengan secara gratis itu. 43

Rentetan penjelasan di atas mengedepankan besarnya pengaruh media dalam kehidupan khalayak melalui hiburan. Banyak yang menganggap bahwa media merupakan pelaku utama perubahan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat akibat bombardir berbagai tayangan budaya pop. Namun, tidak sedikit pula teori yang menganggap bahwa media bukanlah faktor utama dan satu-satunya penentu perubahan sosial budaya yang terjadi pada khalayak media. Menurut McQuail, pada dasarnya media bukanlah penentu atau sumber utama dari perubahan sosial dan budaya. Media secara bersama dengan latar belakang sejarah seseorang sedikit banyak menjadi konsisten dan kemudian menjadi sumber kedua untuk pembentukan gagasan-gagasan tentang masyarakat dan lingkungan tempat ia tinggal. Hasil interaksi antara media dan perubahan sosial dan budaya sangat bervariasi, tak bisa diprediksi, dan sangat berbeda antara satu keadaan dengan keadaan lainnya. Pengaruh media pada umumnya tidak bisa langsung mengena pada khalayak. Media memang merubah harapan-harapan publik, peluang-peluang untuk memenuhi kebutuhan, dan khususnya cara-cara segala sesuatu diselesaikan dalam lembaga-lembaga sosial lainnya (Setiowati,2008:542) Stuart Hall dalam Setiowati (2008:542) juga memperkuat pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa dalam hubungan antara produksi pesan dan penerimaan pesan akan dipengaruhi oleh banyak hal. Penerimaan pesan oleh khalayak bergantung pada bagaimana khalayak memroses dan menginterpretasikan pesan tersebut. Sebab dalam memroses dan

menginterpretasikan pesan, khalayak bersifat aktif, dan keaktifan khalayak itu juga bergantung pula dari latar belakang khalayak itu sendiri, sehingga efek

44

yang didapatkan oleh seseorang akan amat berbeda dengan orang lain (Setiowati,2008:542). Hall mengatakan bahwa teks media diinterpretasikan dengan banyak cara oleh khalayak. Pembacaan sebuah teks termasuk teks media, dapat melibatkan proses penerimaan, penolakan atau negosiasi, dan dalam beberapa teks penerimaan posisi yang sudah ditawarkan. Kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi adalah: 1. dominant atau preferred reading (pembacaan dominan), dimana khalayak mengambil posisi yang ditawarkan oleh teks dan menerima posisi tersebut dengan menghormati mitos-mitos yang membentuknya 2. negotiated reading (pembacaan negosiasi), dimana khalayak tidak sepenuhnya mengambil posisi yang ditawarkan dan mempertanyakan beberapa mitosnya. 3. oppositional reading, dimana khalayak menolak sepenuhnya mitos-mitos dan peran yang disediakan. (Setiowati,2008:542) Teori efek terbatas media yang dikembangkan oleh Lazarfeld semakin mempertegas bahwa media tidak sepenuhnya memiliki kekuatan untuk memberikan pengaruh kepada khalayak karena ada banyak faktor yang menjadi hambatan media untuk memberikan efek kepada khalayak. Beberapa kesimpulan penting yang dirangkum Lazarfeld mengenai efek terbatas media dari tahun 1945 sampai 1960 adalah : 1. Media jarang memengaruhi individu secara langsung. Sebagian besar orang terlindungi dari manipulasi langsung media oleh keluarga, temanteman, rekan kerja, dan kelompok sosial. Jika mereka menemukan idea tau 45

informasi baru, maka mereka akan beralih ke orang lain untuk meminta saran dan kritik. 2. Ada dua langkah aliran dari pengaruh media. Media massa hanya akan berpengaruh jika opinion leader sebagai seseorang yang mengarahkan pengikutnya dipengaruhi terlebih dahulu. Oleh karena opinion leader adalah pengguna media yang canggih dan kritis, tidak mudah dimanipulasi oleh konten media. Mereka bertindak secara efektif sebagai gatekeepers dan membuat halangan terhadap pengaruh media. 3. Ketika sebagian besar orang tumbuh dewasa, mereka memilih komitmen yang kuat terhadap kelompok seperti partai politik dan afiliasi agama. Afiliasi ini memberikan halangan yang efektif melawan pengaruh media. 4. Ketika efek media terjadi, biasanya sangat lemah dan terlalu spesifik. Terlepas dari besar atau tidaknya pengaruh media terhadap khalayak, sulit dibantahkan lagi bahwa pada kenyataannya hampir semua media menjalankan fungsi hiburan. Hal inilah yang dimanfaatkan Korea untuk mendapatkan berbagai keuntungan dari produk hiburan yang mereka tawarkan. Beberapa tahun terakhir ini, Korea sangat gencar memasarkan produk hiburan mereka berupa film, drama maupun musik ke berbagai negara Asia maupun Eropa dan Amerika. Hasilnya sangat menjanjikan, ekspor produk hiburan Korea menghasilkan keuntungan berlipat-lipat dari segi finansial maupun citra Korea di mata dunia.

D. Ideologi Menempati Ruang-Ruang Produk Hiburan Kapitalisme Ideologi pertama kali diperkenalkan oleh Destutt de Tracy sebagai nama ilmu tentang ide dan sensasi pada tahun 1796. Dalam pandangannya 46

kita tidak dapat mengetahui benda-benda dalam dirinya dengan hanya melalui ide-ide yang terbentuk berdasarkan sensasi kita terhadap benda-benda tertentu. Jika ide dan sensasi akan dianalisis secara sistematis, syaratnya adalah kita harus memiliki pengetahuan ilmiah yang memadai dan dapat menarik kesimpulan secara praktis. De Tracy kemudian mengusulkan nama ideology atau ilmu tentang ide. Saat itu, ideologi bermakna positif, berguna dan sesuatu yang benar-benar teliti dan tepat. Namun, dalam

perkembangannya, semakin banyak yang mengkaji secara mendalam, muncullah Karl Marx yang mengaitkan ideologi dengan segala sesuatu yang bersifat negatif. Karl Marx menganggap bahwa ideologi memiliki kaitan erat dengan kapitalisme yang saat itu posisinya semakin memperkuat cengkeramannya pada tatanan masyarakat. Kapitalisme menurut Marx pada dasarnya serangkaian struktur yang membuat batas pemisah antara individu dan proses produksi, produk yang diproses dan orang lain; dan akhirnya memisahkan individu itu sendiri. Hal ini merupakan makna dasar dari alienasi. Lebih lanjut Marx mengatakan bahwa ideologi bekerja melalui tatanan sosial yang melakukan pemalsuan realitas terhadap individu anggotanya. Hal ini kemudian melahirkan sebuah represi sistematik terhadap sebuah kelompok masyarakat di mana pada akhirnya masyarakat dibutakan oleh tatanan yang telah mapan. Dalam bukunya A Contribution to The Critique of Political Economy , Marx mengatakan ideologi berasal dari kondisi ekonomi dan relasi kelas dalam produksi. Hal ini oleh Marx biasa diistilahkan dengan epifenomena. Ideologi dalam konteks ini merupakan sistem ide yang

mengekspresikan keinginan kelas dominan dan mencerminkan relasi antar 47

kelas dalam bentuknya yang ilusi. Itu berarti ideologi mengekspresikan keinginan kelas dominan dalam artian bahwa ide-ide yang membentuk ideologi adalah ide-ide yang periode sejarah tertentu mengartikulasikan ambisi, perhatian dan pertimbangan kelompok sosial dominan sebagai suatu cara melindungi dan mempertahankan posisi dominannya (Putra,2006;66-67) Bagi marx, ideologi merupakan suatu konsep yang relatif langsung. Ideologi merupakan sarana yang digunakan untuk ide-ide kelas dominan yang berkuasa sehingga bisa diterima oleh keseluruhan masyarakat sebagai alami dan wajar. Semua pengetahuan adalah berbasis kelas : pengetahuan dituliskan di dalam asal-usul kelasnya dan bekerja untuk melebih-lebihkan kepentingan kelasnya. Marx memahami bahwa para anggota kelas subordinat, yakni kelas pekerja, digiring untuk memahami pengalaman sosial dan relasi sosial mereka sehingga memahami mereka sendiri dengan menggunakan serangkaian gagasan yang bukan miliknya sendiri, yang datang dari kelas yang kepentingan ekonomi, dan kepentingan sosial serta politiknya, tidak hanya berbeda dari mereka tetapi juga secara aktif bertentangan dengan mereka. Teori-teori ideologis menekankan bahwa semua komunikasi dan semua makna memiliki dimensi sosio-politik dan bahwa komunikasi dan makna itu tak bisa dipahami di luar konteks sosialnya. Kerja ideologis ini selalu mendukung status quo, mendukung kelas-kelas dengan kuasa dominasi produksi dan distribusi bukan hanya barang, tapi juga gagasan dan makna. Sistem ekonomi pun diorganisasikan sesuai dengan kepentingannya, dan sistem ideologi bersumber dari sistem ekonomi itu dan bekerja untuk mendorong, menaturalisasikan, dan menyembunyikan kepentingan tadi. Apapun perbedaannya, semua teori ideologi sepakat bahwa ideologi bekerja 48

untuk menjaga dominasi kelas. Perbedaan diantara teori-teori ideologi itu hanya berkenaan dengan cara-cara menjalankan dominasi tersebut, yaitu derajat efektivitasnya dan meluasnya resistensi yang dihadapinya. Ada dua aspek dalam tulisan Marx yang dapat dijadikan landasan untuk menelusuri pemikiran-pemikiran sistem ide yang mengekspresikan keinginan kelas dominan dan mencerminkan relasi antar kelas dalam bentuknya yang ilusi atau diistilahkan sebagai kesadaran palsu. Pertama, Marx berpendapat bahwa ide-ide yang dominan dalam masyarakat adalah ide kelas berkuasa. Kelas berkuasa pada zaman modern seperti ini menggunakan media hiburan sebagai alat untuk mempertahankan posisinya sebagai kelas penguasa. Kedua, dia menyatakan bahwa apa yang kita persepsi sebagai karakter sejati relasi sosial di dalam kapitalisme sebenarnya adalah mistifikasi pasar. Jadi, kita menerima gagasan bahwa kita bebas menjual tenaga kita, dan bahwa kita mendapat harga yang pantas untuk itu. Namun, Marx berpendapat bahwa kapitalisme melibatkan eksploitasi pada level produksi melalui pemerasan nilai surplus dari kelas proletar. Walhasil, permukaan relasi egaliter pasar menutupi struktur eksploitasi yang ada di dalam. Di sini kita memiliki dua versi ideologi yang melegitimasi kepentingan sepihak kelas berkuasa, yaitu: y Ide sebagai pernyataan koheren tentang dunia dan dominannya ide-ide borjuis atau kapitalis y Pandangan dunia yang merupakan hasil sistematis dari struktur kapitalisme yang mengarahkan kita kepada pemahaman yang tidak tepat tentang dunia sosial. (Barker,2009;58) 49

Konsep ideologi sebagai kesadaran palsu tampaknya sangatlah penting dalam teori Marx karena hal ini menjelaskan mengapa mayoritas dalam masyarakat kapitalis menerima sebuah sistem sosial yang tak menguntungkan mereka. Teori Marx tentang ideologi sebagai kesadaran palsu terkait dengan basis ekonomi masyarakat dan menempatkan kepalsuannya itu pada kondisi-kondisi material kelas pekerja yang tak pelak lagi merupakan hasil dari runtuhnya tatanan ekonomi yang memproduksinya. Marx melihat itu sebagai beban gagasan minoritas dominan yang ditimpakan pada mayoritas subordinat. Kelompok mayoritas ini pada akhirnya mesti melihat melalui kesadaran palsu ini dan merubah tatanan sosial yang dipaksakan terhadap mereka. Mereka mengikuti kebutuhan pasar tanpa memiliki kekuatan lebih untuk melawan. Bahkan kadang tanpa sadar mereka menjadi penikmat pasar kapitalis karena begitu hebatnya kaum kapitalis menciptakan kesadaran palsu melalui hiburan yang tersedia melalui media. Menurut Marx, ideologi kelas dominan atau yang disebut Marx kelas borjuis berusaha menjaga para pekerja atau kaum proletar, tetap berada dalam kesadaran palsu. Kesadaran manusia tentang siapa dirinya, bagaimana mereka berelasi dengan bagian lain dari masyarakat, dan karena itu pengertian mereka tentang pengalaman sosialnya dihasilkan oleh masyarakat, bukan oleh alam atau biologi. Kesadaran kita ditentukan oleh masyarakat tempat kita dilahirkan, bukan oleh alam atau psikologi individu

(Fiske,2010:239). Kesimpulan Raymond Williams juga tidak berbeda jauh dengan pemikiran Marx, Ia mengategorikan definisi ideologi ke dalam tiga penggunaan utama, yaitu: 50

1. Suatu sistem keyakinan yang menandai kelompok atau kelas tertentu 2. Suatu sistem keyakinan ilusioner, gagasan palsu atau kesadaran palsu, yang bisa dikontraskan dengan pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah 3. Proses umum produksi makna dan gagasan Menurut Williams, dalam praktik ideologi, poin 1 dan 2 di atas tak pelak lagi akan saling berbaur. Karena itu, ideologi menjadi kategori-kategori ilusi dan kesadaran palsu yang berdasarkan hal tersebut kelas berkuasa menjaga dominasinya terhadap kelas pekerja. Karena kelas yang berkuasa mengontrol sarana-sarana pokok tempat ideologi digandakan dan

disebarluaskan pada seluruh masyarakat, maka ideologi bisa membuat kelas pekerja melihat subordinasinya itu sebagai hal yang alami maka benar. Di sinilah terletak kekeliruannya. Media ideologis tersebut mencakup sistemsistem pendidikan, politik, dan hukum serta media massa dan penerbitan buku. Berbicara mengenai upaya dominasi ideologi berarti juga terkait dengan hegemoni. Hegemoni terjadi jika kelompok dominan dalam masyarakat, yang biasanya secara fundamental merupakan kelas yang sedang memerintah, memelihara dominasinya dengan melindungi persetujuan spontan dan kelompok subordinat, termasuk kelas pekerja, melalui pembentukan sebuah konsensus politik dan ideologi yang dinegosiasikan yang berhubungan baik dengan kelompok dominan maupun kelompok yang mendominasi. (Setiowati:2008,538) Ideologi sebagai pengalaman yang dihidupi dan ide sistematis yang berperan mengorganisasi dan secara bersama-sama mengikat satu blok yang terdiri dari berbagai elemen sosial juga bertindak sebagai perekat sosial dalam 51

pembentukan blok hegemoni dan blok kontra hegemoni. Meski ideologi dapat berbentuk serangkaian ide koheren, ia lebih sering muncul sebagai maknamakna yang terfragmentasi dari nalar awam yang terkandung di dalam berbagai representasi. Bagi Gramsci, semua orang bercermin dari dunia, dan melalui nalar awam kebudayaan pop, mereka mengorganisasi kehidupan dan pengalaman mereka. Jadi, nalar awam menjadi arena krusial bagi konflik ideologis , dan khususnya perjuangan untuk membentuk logika yang baik, yang bagi Gramsci, berupa pengakuan atas karakter kelas dalam kapitalisme. Nalar awam merupakan arena paling penting dalam perjuangan ideologis karena ia menjadi lahan bagi hal-hal yang diterima apa adanya, suatu kesadaran praktis yang memandu tindakan dalam semesta keseharian. Serangkaian ide filosofis yang lebih koheren diperjuangkan dan

ditransformasikan dalam domain nalar awam. Jadi, Gramsci menaruh perhatian pada karakter pemikiran populer dan kebudayaan pop. Seperti kata Gramsci : Setiap aliran filosofis meninggalkan endapan nalar awam; endapan ini adalah catatan-catatan tentang seberapa efektif aliran tersebut. Nalar awam tidak rigid dan kaku namun terus-menerus mentransformasikan dirinya, memperkaya dirinya dengan gagasangagasan ilmiah dengan opini filosofis yang telah masuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Nalar awam menciptakan folk-lore masa depan, yaitu suatu fase pengetahun populer yang relatif rigid pada ruang dan waktu tertentu (Barker,2009; 63-64) Konsep hegemoni ideologi juga sangat bermanfaat dalam tataran budaya pop. Dari perspektif teori hegemoni, budaya pop menempati posisi khusus dan signifikan sebagai area tukar menukar antara sarana dominan dan subordinan dalam masyarakat. Hal ini dapat dianalisa dengan beberapa gambaran berbeda; gender, generasi, ras, daerah dan sebagainya. Budaya pop 52

terartikulasikan sebagai suatu lingkup terstruktur dari tukar menukar dan negosiasi antarbudaya antara unsur inkorporasi dan resistensi, suatu pergulatan antara usaha untuk menguniversalkan kepentingan dominan dan resistensi subordinan. Menurut perspektif ini, budaya pop adalah campuran kontradiktif antara berbagai kepentingan dan nilai-nilai yang saling bersaing, bukan antara menengah atau buruh, rasis atau bukan, sexis atau bukan, homopobik atau homopilik dan sebagainya, namun selalu sebagai posisi

imbangan antara keduanya. Budaya komersial yang tercipta dari budaya industri diarahkan, dibentuk dan diarahkan kembali melalui strategi seleksi konsumsi dan produksi pembacaan serta artikulasi yang seringkali tidak disengaja atau diramalkan oleh produsennya. Dengan menggunakan analisis Neo-Gramscian, budaya pop tidak lain kecuali adalah konsumsi aktif orang-orang terhadap teks dan praktik industri budaya. Subkultur pemuda bisa jadi merupakan contoh paling jelas mengenai proses ini. Hebdige memaparkan secara gamblang dan meyakinkan tentang proses bricolage dimana subkultur pemuda memamah biak komoditi komersial yang ada demi mencapai tujuan dan menemukan makna mereka sendiri. Produk itu digabungkan atau ditransformasikan dengan cara-cara yang tidak dikehendaki oleh produsennya. Komoditi itu diartikulasikan kembali untuk mencipta makna yang berlawanan. Contohnya, Teddy Boys yang memakai jaket Saville Row Edward, Mod yang memakai pakaian Italia. Dengan cara ini (dan melalui pola perilaku, cara berbicara selera musik yang berbeda dan sebagainya) subkultur pemuda masuk dalam bentuk simbolik resistensi terhadap budaya dominan dan orang tuanya. Kultur pemuda menurut model ini selalu bergerak dari orisinalitas dan oposisi pada 53

inkorporasi komersial dan pertahanan ideologis hingga akhirnya industri budaya berhasil dalam pemasaran resistensi subkultur untuk konsumsi dan keuntungan umum (Storey,176;2003). Seperti halnya Teddy Boys dan Mod yang memiliki ciri khas tersendiri yang akhirnya dikomersialkan oleh industri budaya, budaya Korea juga mengalami hal serupa, menjelma menjadi industri budaya pop yang mendunia dan digandrungi secara luas, tentunya dengan bantuan media massa. Ideologi tergantung pada material atau kepentingan ekonomi dari suatu kelompok tertentu yang dipelihara oleh kelompok tersebut untuk mencerminkan ideologi kelompok mereka. Suatu ideologi menjadi kuat karena dilegalkan, didistribusikan salah satunya lewat media massa. Ideologi diangkat dan dijelaskan oleh media massa, diberi legitimasi yang sangat baik, dan didistribusikan secara persuasif, kadang secara glamour kepada khalayak. Media memiliki kemampuan dalam mengundang perhatian khalayak untuk menyimak secara seksama simbol-simbol yang pasti, pribadi-pribadi, dan ideide secara efektif. Penyebarannya dengan image system, karena pesan-pesan tersebut ada dalam sistem dan by design. Media massa secara bersama-sama memberikan pengulangan terus menerus kepada masyarakat untuk

menyebarkan ideologi tertentu. Ada dua macam image system, yaitu : a) Ideational Systems : sesuatu yang nampak sebagai hiburan sebetulnya memiliki ideologi yang dominan. Ideologi dominan ini berulang-ulang membawa misi untuk mempengaruhi khalayak lewat media massa. b) Mediation Systems : disebarkan lewat teknologi atau menyebar melalui sosial.

54

Kata ideologi seringkali merujuk pada berbagai hal mengenai paham atau gagasan sistematis yang diartikulasikan sekelompok masyarakat tertentu. Namun, ideologi jika dipandang dari segi budaya pop dapat diartikan sebagai bentuk ideologis untuk menarik perhatian pada cara-cara yang selalu digunakan teks ( fiksi TV, lagu-lagu pop, novel, film-film roman, dan sebagainya) untuk mempresentasikan citra tertentu tentang dunia. Definisi ini sangat menggantungkan dirinya pada gagasan bahwa masyarakat adalah sesuatu yang bersifat konfliktual ketimbang konsensual. Dalam konflik ini, sadar atau tidak sadar, teks seringkali terjebak pada persoalan keberpihakan . Seorang dramawan Jerman, Bertolt Brecht mencoba meringkaskan persoalan ini dengan menyatakan: Baik atau jahat, sebuah drama selalu melibatkan sebuah citra tentang dunia..... Tidak ada pertunjukkan drama dan teater yang tidak mempengaruhi berbagai disposisi dan konsepsi para audiensnya. Tidak pernah ada seni tanpa konsekuensi. Ungkapan Brecht ini dapat digeneralisasikan untuk kemudian diterapkan pada seluruh teks budaya. Dengan cara lain bisa dikatakan bahwa pada akhirnya seluruh teks budaya bersifat politis.(Storey;2003:7) Seperti yang kita ketahui bersama, dalam kasus penyebaran budaya pop Korea juga memiliki muatan politis terhadap pemerintahan Korea Selatan. Mereka membangun citra negara mereka melalui industri budaya. Selain itu, perbaikan ekonomi melalui jalan industri hiburan juga sangat menguntungkan bagi negara tersebut. Budaya pop Korea yang marak di Indonesia sepertinya memang ditujukan untuk melegalkan ideologi Korea. Meskipun tujuan penyebarluasan budaya pop Korea pada mulanya ditujukan untuk menyaingi impor budaya 55

luar terutama budaya Jepang yang pada saat itu masih menguasai pasar di Korea, namun karena pasar Asia ternyata potensial sejalan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara di Asia, maka penyebaran budaya pop Korea ini menjadi sarana untuk melanggengkan kapitalisme Korea. Melalui ideational system yang dijalankan oleh berbagai media seperti film, drama, maupun musik, juga aneka festival Korea yang secara rutin digelar dengan dukungan Pusat Kebudayaan Korea, yang terus menerus diedarkan dan ditujukan kepada para remaja, ideologi dan nilai-nilai bangsa Korea tanpa sadar akan mempengaruhi para remaja ini. Penggemar budaya pop Korea merupakan pihak yang tersubordinasi oleh produsen industri budaya pop Korea. Korea sebagai salah satu negara maju memiliki kekuatan untuk melakukan dominasi dan melanggengkan pengaruhnya. Melalui media, produsen industri budaya pop Korea menciptakan suatu hagemoni yang membuat para penggemar budaya pop Korea tidak sadar bahwa mereka telah menjadi objek dari imperialisme budaya. Tanpa sadar mereka menyerap ideologi yang dilancarkan pihak yang dominan ini dan merasakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang wajar dalam kehidupan sehari-hari mereka. E. Menggagas Sub-Kultur Secara sosiologis, sebuah subkultur adalah sekelompok orang yang memiliki perilaku dan kepercayaan yang berbeda dengan kebudayaan induk mereka. Subkultur dapat terjadi karena perbedaan usia anggotanya, ras, etnisitas, kelas sosial, dan/atau gender, dan dapat pula terjadi karena

56

perbedaan aesthetik, religi, politik, dan seksual; atau kombinasi dari faktorfaktor tersebut (http://.en.wikipedia/org/wiki/Subkultur) Anggota dari suatu subkultur biasanya menunjukan keanggotaan mereka dengan gaya hidup atau simbol-simbol tertentu. Karenanya, studi subkultur seringkali memasukkan studi tentang simbolisme (pakaian, musik dan perilaku anggota sub kebudayaan) dan bagaimana simbol tersebut diinterpretasikan oleh kebudayaan induknya. Sebuah subkultur selalu hadir dalam ruang dan waktu tertentu, ia bukanlah satu gejala yang lahir begitu saja. Kehadirannya akan saling kait mengkait dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Thornton dalam usaha pendefinisian subkultur menjelaskan bahwa atribut subkultur diberikan berdasarkan pembedaan antara suatu kelompok sosial atau budaya tertentu dengan masyarakat atau kebudayaan yang lebih luas. Penggunaan kata sub sendiri berkonotasi dengan perbedaannya

dengan masyarakat dominan atau mainstream (Sosang,2009:26) Subkultur seringkali diidentikkan dengan budaya kaum muda. Menurut Johanna and Rob White, sebagai subjek dalam masyarakat, kaum muda seringkali didefinisikan dalam bingkai usia sebagai sebuah fase dalam kehidupan manusia. Saat dimana mereka mulai tertarik memperbincangkan hal-hal mengenai seksualitas, dan menemukan cara-cara mengekspresikan kemandirian mereka. Tindakan dan perhatian dalam hal ini dilihat sebagai kesadaran generasi. Namun pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa terdapat banyak jenis subkultur dan mengapa orang-orang memilih jenis subkultur tertentu (Sosang,2009:29) 57

Tidak

dipungkiri,

kebanyakan

dari

kita

menganggap

dan

mengidentikkan subkultur dengan suatu kegiatan yang sifatnya negatif. Geng motor, musik underground, anak jalanan dan perilaku amoral lainnya. Padahal, kalaulah kita tahu dan sadar akan arti dan tujuan kata tersebut dialamatkan, maka kita akan sadar dengan sendirinya bahwa subkultur tidak selalu ditujukan untuk hal yang negatif. Pesantren barangkali salah satu subkultur yang nyata dan jelas juga berkesan positif. Pesantren yang dimaksud adalah pesantren yang kiai dan sistem pendidikannya tidak mengacu pada sistem pendidikan nasional. Contoh lain selain pesantren adalah klub/komunitas pecinta sepeda motor yang mewadahi para pecinta atau pengendara sepeda motor ke arah yang lebih positif, subkultur anime yang mewadahi para pecinta komik atau korea lovers yang merupakan subkultur penggemar hiburan Korea. Konsep subkultur merupakan hal yang berdaya mobilitas

mengkonstitusi obyeknya dari studi. Hal ini merupakan suatu istilah klasifikatori yang mencoba memetakan dunia sosial didalam suatu tindakan terhadap representasi. Keakuratan sub kultur bukan pada sejauh mana mampu berfungsi dalam pemakaiannya. Kata Sub bermakna sebagai istilah dan menunjukkan pembedaan dengan jelas arus utama budaya dominan dalam masyarakat. Dengan kata lain, sub kultur dimaksudkan agar bagian masyarakat tertentu mampu memaknai hidup secara baru sehingga dapat menikmati kesadaran menjadi yang lain dalam perbedaan terhadap budaya dominan masyarakat. Dalam suatu subkultur, identitas kultural menjadi suatu cerminan dari suatu kelompok walaupun kita tidak bisa memungkiri dalam suatu kelompok 58

itu terdapat karakter individual yang berbeda satu sama lain diantara pa